MONITORING PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH (Studi Kasus: Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
MITA ARIYANTY
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
MITA
ARIYANTY.
Monitoring
Perubahan
Penutupan
Lahan
dengan
Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibimbing oleh SYARTINILIA. Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua merupakan kecamatan yang terletak di DAS Ciliwung hulu. Ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah tangkapan atau resapan air hujan yang saat ini mengalami perubahan penutupan lahan dengan cepat. Perubahan yang terjadi khususnya dari area terbuka hijau menjadi area terbangun. Oleh karena itu kegiatan monitoring perubahan penutupaan lahan sangat dianjurkan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di lokasi ini dari waktu ke waktu. Dengan tersedianya citra yang memiliki resolusi tinggi seperti AVNIR-2 (Resolusi 10x10 m) yang dikombinasikan dengan SIG dan penginderaan jauh, maka kegiatan monitoring bisa dilakukan lebih akurat. Penelitian dilakukan di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan peta penutupan lahan di lokasi tersebut dengan menggunakan citra AVNIR-2 resolusi 10x10 m, menganalisis tingkat akurasi peta yang telah dihasilkan, dan menganalisis besarnya perubahan penutupan lahan yang terjadi sejak tahun 2002. Peta penutupan lahan tahun 2009 dihasilkan dengan menggunakan metode Maximum Likelihood dari Klasifikasi Terbimbing yang akan dibandingkan dengan peta penutupan lahan tahun 2002 yang dihasilkan dari citra LANDSAT ETM+ 2002/12/22 (Syartnilia, 2004) dan dianalisis perubahan lahannya. Dari penelitian ini, diperoleh peta penutupan lahan tahun 2009 dengan tingkat akurasi umum sebesar 91,67% dengan 7 jumlah kelas penutupan lahan hasil klasifikasi, dimana penutupan lahan terluas berupa hutan sebesar 5.401,29 ha. Perubahan lahan yang terjadi di Kawasan Puncak mencapai 11.339,7 ha atau sebesar 63,30% dari luas seluruh kawasan. Penutupan lahan yang paling tinggi mengalami peningkatan luasan yaitu pemukiman yang mencapai 2.170,47 ha atau 11,75% dari tahun 2002. Sejak tahun 2002 hingga tahun 2009, Kecamatan yang paling besar mengalami perubahan penutupan lahan yaitu Cisarua dengan luas
lahan yang berubah sebesar 4.727,79 ha yang didominasi oleh perubahan dari hutan ke perkebunan (395,15 ha). Kemudian Kecamatan Megamendung dengan luas lahan yang berubah sebesar 4.306,56 ha yang didominasi oleh perubahan dari ladang ke sawah (734,58 ha). Kecamatan Ciawi mengalami perubahan sebesar 2.577,79 ha yang didominasi oleh perubahan dari ladang ke pemukiman (301,59 ha). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, berkaitan dengan fungsi lokasi penelitian sebagai kawasan resapan air hujan/konservasi air dan trend perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian menjadi pemukiman dan area pertanian, maka rekomendasi yang dapat diajukan yaitu 1) Di bagian timur dan selatan Kecamatan Cisarua, di bagian utara Kecamatan Megamendung, dan di bagian selatan Kecamatan Ciawi perlu dilakukan rehabilitasi lahan dengan cara penghijauan/reboisasi (di dalam kawasan hutan) dan kegiatan agroforestry (di luar kawasan hutan). 2) Di bagian selatan Kecamatan Ciawi, bagian barat Kecamatan Megamendung, dan bagian selatan Kecamatan Cisarua merupakan kawasan sempadan sungai, sekitar danau, sekitar mata air, kawasan gerakan tanah tinggi, kawasan resapan air, pertanian lahan kering dan basah, perkebunan, maka perlu dilakukan pembuatan dam, teras gulud, parit, embung, dan sumur resapan. 3) Kecamatan Cisarua dan Megamendung sebagai kecamatan yang
mengalami
banyak perubahan, maka Perlu peningkatan penegasan hukum mengenai penetapan kawasan hutan, perubahan status hutan, dan fungsi kawasan hutan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001, pembatasan secara ketat kegiatan yang akan mengakibatkan perubahan penutupan lahan apabila tidak sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan, dan kewajiban penanaman di lahan Hak Guna Usaha yang terlantar.
MONITORING PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH (Studi Kasus: Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
MITA ARIYANTY A44070016
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi saya yang berjudul:
MONITORING PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH (Studi Kasus: Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Merupakan gagasan atau hasil penelitian skripsi saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun, dengan bimbingan Dosen Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah dinyatakan secara jelas dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka Skripsi ini.
Bogor, Oktober 2011
Mita Ariyanty NRP A44070016
® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Monitoring Perubahan Penutupan Lahan dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Penginderaan Jauh (Studi Kasus : Kawasan Puncak, Kabupataen Bogor, Jawa Barat)
Nama
: Mita Ariyanty
NRP
: A44070016
Departemen
: Arsitektur Lanskap
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Syartinilia, SP, M.Si NIP 19781209 200604 2 025
Diketahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP 19480912 197412 2 001
Tanggal Kelulusan:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 Februari 1989 dari ayah Drs. Daryanto dan ibu Elis Nurweni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1994 dan menyelesaikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Trisula, Indramayu pada tahun 1995. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SD N Paoman III, Indramayu. Kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SLTP N 2 Sindang, Indramayu. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA N 1 Sindang, Indramayu. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalankan studi di IPB, penulis menerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik dua periode berturut-turut. Penulis juga pernah mengikuti Sayembara Eco-Airport Soekarno-Hatta, menjadi asisten dosen mata kuliah Teknik Penulisan Ilmiah, Pengelolaan Lanskap, dan Teknik Studio. Selain kegiatan akademik, penulis juga mengikuti kegiatan-kegiatan di luar akademik, seperti
menjadi
pengurus
Himpunan
Mahasiswa
Arsitektur
Lanskap
(HIMASKAP) divisi Minat dan Bakat periode 2009/2010, divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2010/2011, anggota UKM Taekwondo IPB, anggota UKM Gentra Kaheman. Penulis juga pernah menjadi pengisi acara dalam berbagai kegiatan, yaitu Penari Rampak Gendang dalam acara Pembukaan Asian Games Junior tahun 2008, Senayan, Jakarta, Tari Topeng Indramayu di acara Seminar Seni dan Kebudayaan se-Asia Tenggara tahun 2008 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Tari Topeng acara pembukaan Gala Dinner Workshop Nasional Arsitektur Lanskap tahun 2010 di IPB. Selain itu, penulis juga aktif ikut serta dalam kepanitian-kepanitian di berbagai acara.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan Syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas KebesaranNya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan serta dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, antara lain : 1. Dr. Syartinilia, SP,M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan masukan serta saran yang sangat berguna dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Ayah Drs. Daryanto dan Ibunda Elis Nurweni serta adik-adik (Diki Hernawan Sutanto dan Muhammad Edi Sutrisno) serta keluarga besar atas doa, semangat, perhatian, dan kasih sayang. 3. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Pertanian IPB, khusunya Departemen Arsitektur Lanskap atas kelancaran penulisan skripsi ini. 4. Mas Tri, staf PPLH, Kak Beni yang telah membantu saya mendapatkan software yang saya butuhkan untuk penelitian ini. 5. Galih Radityo, S. Hut atas segala bantuan dan kerjasamanya dalam mengajarkan berbagai software yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 6. Teman-teman di Lab Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Kak Muis, Arga Pandiwijaya, S. Hut, Kak Bebi, dan Kak Age atas bantuan tenaga, waktu, dan pikiran. 7. Teman-teman di Lab Remote Sensing (GIS), Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Kak Edwin, Kak Aswin, Kak Oki, Adek yang telah membantu mengenai pemahaman remote sensing pada penutupan lahan. 8. Sahabat-sahabat atas semangat, dorongan, gurauan, dan kebersamaannya selama ini. 9. Agus yang telah membantu saya dalam pengambilan data di lapangan. 10. Teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 44 atas bantuan, semangat, dorongan dan kebersamaannya.
11. Anggy, Opi, Mba Ratih, Sherly, Mira, Ade, Padi, Nawang, yang tidak pernah lelah saling mengingatkan untuk mengerjakan skripsi. 12. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut memberikan sumbangsihnya yang tidak ternilai.
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dengan judul “Monitoring Perubahan Penutupan lahan dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” di bawah bimbingan Dr. Syartinilia, SP, M.Si. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini merupakan wadah bagi penulis untuk melatih keterampilan dan wawasan penulis dalam menyusun sebuah Karya Ilmiah, sehingga penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan penulis untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2011
Mita Ariyanty NRP A44070016
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
vii
I. PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................
3
1.3 Manfaat Penelitian ...............................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ..............................................................
5
2.2 Perubahan Penutupan Lahan ...............................................................
6
2.3 Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk Studi Penutupan Lahan ..
7
2.4 AVNIR-2 .............................................................................................
9
2.5 Klasifikasi Penutupan Lahan ...............................................................
10
2.5.1 Training Area ............................................................................
11
2.5.2 Analisis Keterpisahan (Separability Assesment) .......................
12
2.5.3 Penggabungan Kelas / Merging / Grouping ..............................
12
2.5.4 Labeling .....................................................................................
12
2.5.5 Pendugaan Akurasi ....................................................................
13
2.5.6 Deteksi Perubahan Penutupan Lahan ........................................
13
III. METODOLOGI .......................................................................................
14
3.1 Waktu Penelitian ................................................................................
14
3.2 Lokasi Penelitian ................................................................................
14
3.3 Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................
15
3.3.1 Penutupan Lahan tahun 2002 ....................................................
16
3.4 Metode Penelitian ..............................................................................
18
3.4.1 Inventarisasi Data ......................................................................
19
3.4.2 Analisis ......................................................................................
20
3.4.2.1 Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) ...........
20
3.4.2.2 Training Area ......................................................................
20
ii
3.4.3.3 Pendugaan Akurasi .............................................................
23
3.4.2.4 Deteksi Perubahan Penutupan Lahan ..................................
24
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...........................................
26
4.1 Karakteristik Biofisik .........................................................................
26
4.1.1 Letak Geografis .........................................................................
26
4.1.2 Iklim ..........................................................................................
26
4.1.3 Hidrologi ...................................................................................
28
4.1.4 Kemiringan Lahan.....................................................................
30
4.1.5 Tanah dan Geologi ....................................................................
31
4.1.6 Kawasan Lindung dan Non-Lindung ........................................
33
4.1.7 Penutupan Lahan .......................................................................
34
4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukkan ..........................
37
4.2.1 Sosial Ekonomi .........................................................................
37
4.2.2 Kependudukan ..........................................................................
38
4.2.3 Pariwisata ..................................................................................
39
4.3 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) .............................................
39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
42
5.1 Penutupan Lahan tahun 2009 ..............................................................
42
5.2 Perbandingan Luas Penutupan Lahan tahun 2002 dan 2009 ...............
46
5.3 Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 ..............................
49
5.4 Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002- 2009 tiap Kecamatan .....
56
5.5 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penutupan Lahan..................
68
5.5.1 Faktor Alam...............................................................................
68
5.5.2 Faktor Manusia ..........................................................................
69
5.5.2.1 Pertumbuhan Penduduk ......................................................
69
5.5.2.2 Mata Pencaharian ................................................................
70
5.5.2.3 Aksesibilitas dan Fasilitas ...................................................
70
5.5.2.4 Kebijakan Pemerintah .........................................................
71
5.6 Implikasi Perubahan Penutupan Lahan terhadap Lanskap ..................
73
VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI .....................................................
74
6.1 Simpulan ............................................................................................
74
5.2 Rekomendasi ......................................................................................
75
iii
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
77
LAMPIRAN ...................................................................................................
80
iv
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Spesifikasi AVNIR-2 ..............................................................................
10
2. Kriteria Tingkat Keterpisahan ................................................................
12
3. Jenis dan Sumber Data Kegiatan Monitoring .........................................
16
4. Luas Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan 2002 .......................................
17
5. Deskripsi Kelas Penutupan Lahan ..........................................................
21
6. Penampakkan Training Area pada AVNIR-2 tahun 2009 ......................
21
7. Data Iklim Lokasi Penelitian pada Tahun 2009-2010 ............................
27
8. Data Hari Hujan Lokasi Penelitian pada Tahun 2009 .............................
27
9. Debit Maksimum dan Minimum Sungai Ciliwung di Bendungan Katulampa ...........................................................................
28
10. Kondisi Kemiringan Lahan Lokasi Penelitian ......................................
31
11. Jenis Tanah di Lokasi Penelitian ...........................................................
31
12. Jumlah Bangunan Menurut Jenisnya Tahun 2009 ................................
36
13. Tingkat Pendidikan di Lokasi Penelitian Tahun 2009 ..........................
37
14. Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian Tahun 1997-2009....................
38
15. Obyek Wisata dan Jumlah Wisatawan di Lokasi Penelitian tahun 2009 .............................................................................................
39
16. Matrik nilai keterpisahan antar kelas penutupan lahan hasil klasifikasi terbimbing ............................................................................
43
17. Luas Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan 2009 .....................................
43
18. Pendugaan Akurasi dari Penutupan Lahan Tahun 2009 .......................
45
19. Perbandingan luas penutupan lahan tahun 2002 dan 2009 ...................
48
20. Nilai penutupan lahan yang tetap/tidak berubah periode 2002-2009....
49
21. Nilai penutupan lahan yang mengalami perubahan periode 2002-2009
50
22. Penutupan lahan yang tetap dan berubah periode 2002-2009 ...............
52
23. Persentase kecenderungan perubahan penutupan lahan menjadi penutupan lahan lain di seluruh lokasi penelitian ...................
53
24. Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Tiap Kecamatan ....
56
25. Penutupan Lahan yang Tetap/Tidak Berubah Periode 2002 – 2009 Tiap Kecamatan ...............................................................
57
v
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian ..........................................................................
4
2. Lokasi Penelitian (Kec. Ciawi, Megamendung, dan Cisarua) ...................
15
3. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 ...........................................................
17
4. Bagan Alir Penelitian.................................................................................
18
5. Proses Subset Studi Area ...........................................................................
19
6. Matriks Post Classification Comparison ...................................................
23
7. Danau Telaga Warna, salah satu sumber mata air di DAS Ciliwung Hulu ...........................................................................................
28
8. Peta Drainase Lokasi Penelitian ................................................................
29
9. Peta Kemiringan Lahan Lokasi Penelitian .................................................
30
10. Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian ..........................................................
32
11. Kawasan lindung dan non-lindung di lokasi penelitian ...........................
33
12. Grafik Peningkatan Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian ....................
38
13. RTRW Kabupaten Bogor sampai dengan Tahun 2025 ............................
41
14. Peta Penutupan Lahan Tahun 2009 .........................................................
44
15. Diagram perbandingan luas penutupan lahan 2002-2009 ........................
47
16. Peta Penutupan Lahan yang Tetap dan Mengalami Perubahan Periode 2002 - 2009 .................................................................................
51
17. Peta Kelas Penutupan Lahan yang Tetap (Tidak Mengalami Perubahan) Periode 2002 - 2009 .................................................................................
54
18. Peta Perubahan Kelas Penutupan Lahan Periode 2002 – 2009 ................
55
19. Perubahan hutan menjadi 6 kelas lainnya periode 2002 - 2009 ...............
57
20. Perubahan perkebunan menjadi 6 kelas lainnya periode 2002 - 2009 .....
59
21. Perubahan semak belukar menjadi 6 kelas lainnya periode 2002 - 2009 .................................................................................
60
22. Perubahan sawah menjadi 6 kelas lainnya periode 2002 - 2009..............
61
23. Perubahan ladang menjadi 6 kelas lainnya periode 2002 - 2009 .............
62
24. Perubahan pemukiman menjadi 6 kelas lainnya periode 2002 - 2009 .....
63
vi
25. Perubahan badan air menjadi 6 kelas lainnya periode 2002 - 2009 .........
64
26. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 – 2009 Kecamatan Ciawi .....................................................................................
65
27. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 – 2009 Kecamatan Megamendung .......................................................................
66
28. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Kecamatan Cisarua...................................................................................
67
vii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Matriks perkalian post classification comparison .....................................
81
2. Modeler fungsi perkalian post classification comparison .........................
82
3. Laporan hasil akurasi penutupan lahan tahun 2009...................................
83
4. Perubahan Luas Penutupan Lahan di Seluruh Lokasi Penelitian (2002 – 2009).............................................................................................
85
5. Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kecamatan Ciawi (2002 – 2009) ...
87
6. Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kecamatan Megamendung (2002 – 2009).............................................................................................
89
7. Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kecamatan Cisarua (2002 – 2009).............................................................................................
91
8. Kebijakan pemerintah mengenai kehutanan ..............................................
93
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan kota pariwisata dengan bentuk kawasan usahatani dan daerah resapan air. Kawasan ini berada pada perlintasan dua kota pusat pertumbuhan ekonomi, yaitu Bandung -
Jakarta. Berhubungan dengan
fungsi sebagai daerah resapan air, kawasan Puncak terletak di DAS Ciliwung Hulu. Karakterisitik DAS ini mempunyai bentuk daerah hulu dan tengah dengan kelerengan terjal. Sedangkan daerah tengah sampai hilir sangat datar dan luas. Bentuk DAS ini begitu hujan jatuh maka air hujan dari daerah hulu langsung mengalir ke bawah dengan waktu konsentrasi yang singkat. Dilihat dari segi curah hujan, wilayah DAS dapat dibedakan menjadi 2 yaitu wilayah yang berfungsi sebagai wilayah resapan dan wilayah yang berfungsi sebagai wilayah pengaturan (drainase). Berfungsi tidaknya wilayah tersebut akan sangat terkait dengan penutupan lahan (Warta Bumi, 2008). Kawasan Puncak khususnya Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua merupakan kawasan yang berperan penting dalam konservasi air. Perkembangan penduduk yang terus meningkat di kawasan ini berkorelasi dengan meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan pertanian. Selain kegiatan usahatani, wilayah yang memiliki panorama alam berupa perkebunan teh dan pegunungan dengan udara sejuk yang dimilikinya menjadikan kawasan ini sebagai kawasan pariwisata,
sehingga
terjadi
penyimpangan
pemanfaatan
ruang,
seperti
pengurangan kawasan hutan, penggunaan lahan di sepanjang bantaran sungai, dan pemanfaatan ruang di wilayah resapan air. Persoalan utama di tiga kecamatan tersebut yaitu adanya perubahan penutupan lahan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tekanan yang besar terhadap sumberdaya alam oleh aktivitas manusia salah satunya dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan penutupan lahan yang begitu cepat, sedangkan perubahan penutupan lahan di suatu kawasan akan mempengaruhi sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang akan memberi dampak lanjutan berupa penurunan kualitas lahan (Nugroho, 1990). Sebagai informasi, pada periode tahun 1981 – 2001, perubahan sawah menjadi pemukiman menempati luas terbesar diikuti oleh perubahan hutan menjadi kebun teh dengan luas masing-masing 1902,29 ha dan
2
1060,96 ha (Janudianto, 2004). Pada tahun 1995-1997, pemukiman mengalami peningkatan terus menerus dari 1621,89 ha pada tahun1995 kemudian meningkat menjadi 2461,77 ha di tahun 1997 (Lisnawati dan Wibowo, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan akan pemukiman dan lahan untuk usaha merupakan faktor terbesar yang mendorong terjadinya konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan pembangunan di bagian hulu kawasan telah mempersempit areal vegetasi penutup permukaan tanah dan penyempitan sungai yang berdampak pada meningkatnya aliran permukaan. Perubahan penutupan lahan ini diprediksikan akan terus menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Keadaan seperti yang digambarkan di atas telah disadari oleh Pemerintah Republik Indonesia sejak lama, sehingga dikeluarkan beberapa peraturan yang terkait dengan keadaan tersebut. Untuk mengendalikan hal itu dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1963 tentang penertiban pembangunan di sepanjang jalan antara Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur, setelah itu dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dimana telah ditetapkan bahwa kawasan Bogor-Puncak-Cianjur merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan
perlindungan
kawasan
bawahannya
sehingga
membutuhkan
penanganan khusus. Kemudian dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan BogorPuncak-Cianjur yang telah menetapkan ketiga kecamatan yang telah disebutkan di atas termasuk dalam kecamatan yang diprioritaskan dalam usaha rehabilitasi fungsi kawasan. Untuk mengetahui secara keseluruhan perubahan lahan pada DAS Ciliwung bagian hulu semakin baik atau semakin buruk dari tahun ke tahun, maka perlu dilakukan monitoring perubahan penutupan lahan pada daerah tersebut. Data perubahan kondisi penutupan lahan sangat diperlukan sebagai dasar pengelolaan suatu kawasan yang harus dilakukan secara periodik. Seiring dengan berkembangnya kemajuan teknologi di bidang Sistem Informasi Geografi (SIG) dan penginderaan jauh serta tersedianya image yang memiliki resolusi tinggi seperti AVNIR-2 (resolusi 10 x 10 meter), maka kegiatan monitoring perubahan
3
penggunaan dan penutupan lahan bisa dilakukan lebih akurat. Penggunaan teknologi SIG dalam metode monitoring lahan merupakan alat penting yang dapat menyatukan data menjadi database yang sangat berguna bagi seorang perencana dalam melakukan evaluasi ataupun monitoring (Lillesand dan Kiefer, 1979). Dengan kemampuan SIG untuk meng-overlay peta dalam studi perubahan penutupan lahan bisa diketahui bagaimana perubahan penutupan lahan dalam periode waktu tertentu. Teknologi ini jika dikombinasikan dengan penginderaan jauh maka kemampuan tersebut bisa dilakukan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji agar lebih efektif. Kerangka pikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menghasilkan peta penutupan lahan di Kawasan Puncak dengan menggunakan AVNIR-2 periode 19 Juli 2009 dengan resolusi 10x10m. 2. Menganalisis tingkat akurasi peta perubahan penutupan lahan yang telah dihasilkan. 3. Menganalisis besarnya perubahan penutupan lahan di Kawasan Puncak sejak tahun 2002.
1.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai rekomendasi dan bahan pertimbangan bagi berbagai pihak khususnya pihak pengelola Kabupaten Bogor dalam menyusun tata ruang wilayah sehingga penutupan lahan pada Kawasan Puncak dapat diatur secara bijaksana dan lingkungan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.
4
Daerah konservasi air
Peningkatan kebutuhan lahan
Perubahan lanskap
Perubahan penutupan lahan
RTH menjadi ruang terbangun
Pengurangan Kapasitas Resapan Air Hujan
Monitoring Perubahan Penutupan Lahan
Kerusakan Lingkungan
DATA BASE
Monitoring
Penutupan Lahan LANDSAT ETM+2002/12/22 Resolusi 30 x 30m (Sumber: Syartinilia, 2004)
GIS Penginderaan Jauh
Image AVNIR-2 (19 Juli 2009), Resolusi 10X10m (Sumber: Japan Aerospace Exploration Agency, 2009)
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2002). Di dalam sebuah DAS, sumberdaya alam yang dimanfaatkan secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya lahan dan sumberdaya air. Pemanfaatan sumberdaya lahan meliputi pertanian, perkebunan, hutan, serta semua yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya air antara lain berupa irigasi, PLTA dan suplai air minum. Agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan maka harus dikelola secara seksama (Budiarso dan Sudirman, 2004). Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Tim Peneliti BP2TPDAS-IBB, 2004). Dengan demikian maka keggiatan-kegiatan penanganan dalam rangka pengelolaan DAS mulai dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi harus disesuaikan dengan permasalahannya. Beberapa contoh permasalahan penurunan kualitas lingkungan DAS adalah (Tim Peneliti BP2TPDAS-IBB, 2004): 1. terjadinya banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau secara terus-menerus. 2. terjadinya sedimentasi pada DAS yang ada bangunan airnya seperti bendungan atau waduk, sehingga dapat mengurangi umur fungsinya. 3. terganggunya kualitas air, baik untuk air minum maupun air irigasi, yang disebabkan oleh sedimentasi maupun pencemaran bahan kimia. 4. penurunan muka air tanah yang dapat mempercepat proses intrusi air laut. 5. meningkatnya erosi pada lahan di dalam dan luar kawasan uhtan yang menyebabkan menurunnya kesuburan tanah. 6. kurang sesuainya perencanaan tata ruang dengan daya dukung lahan.
6
7. semakin berkurangnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian DAS Menurut Koppelman dan De Chiara (1994), apabila banjir menerjang daerah yang terbangun, seluruh kota dikacaukan dan kapasitas produksinya menjadi terhambat. Idealnya, lahan yang pernah mengalami banjir pada suatu saat tertentu tidak boleh dibangun kecuali diambil langkah-langkah pengendalian banjir yang meniadakan bahaya tersebut untuk seterusnya. Tetapi, apabila daerah yang akan dibangun menunjukkan adanya indikasi banjir dalam selang waktu kurang dari 25 tahun, maka lahan tersebut harus dinyatakan tidak boleh dibangun.
2.2 Perubahan Penutupan Lahan Kebutuhan
manusia
akan
kelangsungan
produktivitas
hidupnya
menyebabkan manusia sebagai aktor utama dibalik terjadinya perubahan penutupan lahan. Perubahan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial-ekonomi, politik dan budaya. Menurut Jayadinata (1992), terdapat nilai-nilai sosial dalam hubungan dengan penggunaan tanah, yang dapat berhubungan dengan kebiasaan, sikap moral, pantangan, pengaturan pemerintah, peninggalan kebudayaan, pola tradisional, dan sebagainya. Lebih lanjut Jayadinata (1992) menyatakan bahwa tindakan manusia menunjukkan cara bagaimana manusia atau masyarakat bertindak dalam hubungannya dengan nilai (values) dan cita-cita (ideas) mereka. Nilai dan cita-cita tersebut adalah hasil dari pengalaman manusia dalam perekonomian dan kebudayaan tertentu dan dalam keadaan alam tertentu, dan merupakan pelengkap dari naluri-naluri dasar dalam kehidupan manusia. Tindakan manusia dalam tata guna tanah disebabkan oleh kebutuhan manusia dan keinginan manusia dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Misalnya kemudahan atau kenyamanan yang sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat, dicerminkan dalam pengaturan lokasi tempat tinggal, tempat bekerja, dan rekreasi. Berkaitan dengan penggunaan tanah, pembangunan kota yang semakin pesat menjadikan wilayah di sekitar hulu sungai menjadi sarana pembangunan baru. Perubahan yang sering terjadi adalah konversi lahan konservasi, terutama hutan menjadi area pertanian atau bahkan pemukiman. Kegiatan konservasi lahan ini
7
dimaksudkan untuk mendukung tersedianya sarana dan prasarana kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Namun begitu, perubahan ekosistem yang terjadi sebagai akibat dari perubahan penutupan lahan tersebut juga akan mengubah kemampuan alam dalam mendukung keberadaan manusia diatasnya. Salah satu akibat nyata dari perubahan penutupan lahan yaitu banjir. Banjir pada hakikatnya hanyalah salah satu output dari pengelolaan DAS yang tidak tepat. Beberapa penyebab banjir secara biofisik yaitu ; curah hujan yang sangat tinggi, karakterisitk DAS itu sendiri, penyempitan saluran drainase dan perubahan penutupan lahan.
2.3
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk Studi Perubahan Penutupan Lahan Informasi penutupan lahan menjadi hal yang penting untuk memahami
penutupan lahan dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam studi perubahan lingkungan memerlukan ketersediaan data penutupan lahan secara spasial. Pada skala lokal, foto udara dapat membantu untuk menghasilkan data ini, dalam skala nasional atau regional dapat menggunakan data statistik, data non-spasial, dan citra satelit. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang Sistem Informasi Geografi (SIG) dan penginderaan jauh, maka evaluasi penutupan lahan semakin mudah dilakukan dibandingkan dengan menggunakan cara konvensional. SIG merupakan alat yang memungkinkan untuk pengolahan data spasial menjadi suatu informasi dan digunakan untuk membuat keputusan tentang beberapa bagian dari bumi (Demers, 2005). Hal penting yang dimiliki oleh SIG, yaitu: (1) SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan geo-reference sebagai dasar utama dalam proses penyimpanan dan akses informasi. (2) SIG merupakan sebuah teknologi yang terintegrasi, karena dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS), Computer-Aided Design (CAD) dan lainnya. (3) SIG dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak. Data yang diperoleh dari SIG dapat dikolaborasikan dengan hasil penginderaan jarak jauh. Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu
8
pengetahuan dan seni dalam memperoleh informasi tentang suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tertentu tanpa ada kontak dan investigasi dengan objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1979). Informasi remote sensing yang dihasilkan dari satellite image untuk analisis lebih lanjutnya menggunakan SIG. Secara umum data dari pengginderaan jauh agar dapat digunakan di SIG harus diinterpretasi dan dikoreksi geometrik terlebih dahulu (Jaya, 2010). Dikatakan pula bahwa saat ini penginderaan jauh tidak hanya mencakup pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik. Secara konseptual, semua rancangan untuk keberhasilan penginderaan jauh paling tidak harus memenuhi (Lillesand dan Kiefer, 1979): 1. perumusan yang jelas masalah yang dihadapi. 2. evaluasi
potensi
untuk
menyesuaikan
permasalahan
dengan
teknik
penginderaan jauh. 3. identifikasi prosedur perolehan data penginderaan jauh yang sesuai dengan tujuan. 4. penentuan prosedur interpretasi data yang akan diterapkan dan pemilihan data rujukan yang dibutuhkan. 5. identifikasi kriteria yang digunakan untuk menilai kualitas informasi yang dikumpulkan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, data yang telah dihasilkan dapat diketahui keakuratannya dengan melakukan pendugaan akurasi klasifikasi. Pendugaan akurasi dapat dibantu menggunakan ERDAS. Menurut Surati Jaya (2010) proses pendugaan akurasi dengan ERDAS dapat dilakukan dengan membuat tiga bentuk laporan, yaitu: 1. matrik yang secara sederhana membandingkan kelas acuan dengan kelas hasil dalam matrik c x c, 2. laporan total akurasi yang dihitung secara statistik, dan 3. Kappa statistik.
9
2.4 AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) AVNIR-2 instrumen on-board Advanced Land Observing Satellite (ALOS) adalah sebuah spektrometer pencitraan resolusi tinggi yang beroperasi pada spektrum tampak dan inframerah-dekat.
Data diperoleh melalui empat band
multi-spektral dengan resolusi spasial 10 meter. Alat ini dapat di-track depointed untuk mendapatkan sudut pandang dalam rentang [-44, 44] derajat. Berbeda dengan AVNIR-instan, bidang view AVNIR-2 menyediakan resolusi gambar 10 dibandingkan dengan 16 m AVNIR dalam wilayah multi spektral. Hal ini diwujudkan dengan perbaikan dari detektor CCD (AVNIR:5.000 pixel per CCD, AVNIR-2:7.000 pixel per CCD) dan peningkatan elektronik tersebut (European Space Agency, 2000-2010 ). AVNIR-2 memiliki beberapa level (European Space Agency, 2000-2010), yaitu: •
Level 1A: AVNIR-2 data mentah yang diekstrak dari tingkat data 0, diperluas dan menghasilkan baris. Tambahan informasi seperti informasi radiometrik dan lain-lain yang diperlukan untuk memproses, lebih unggul dari level 1B.
•
Level 1B1: data yang dihasilkn merupakan koreksi radiometrik data level 1A, dan menambahkan koefisien kalibrasi absolut. Tambahan informasi seperti informasi radiometrik dan lain-lain yang diperlukan untuk memproses, lebih unggul dari level 1B2.
•
Tingkat 1B2: data yang dihasilkan merupakan koreksi geometri untuk data level 1B1. Pilihan koreksi berikut ini tersedia: R: Geo-acuan data; G: data Geo-dijalin dengan tali; D: Rough DEM (Digital Elevation Model) koreksi: mengoreksi pengaruh topografi ke daerah mana DEM tertutup. Koreksi DEM efektif hanya di wilayah Jepang. Ada kemungkinan bahwa kesalahan koreksi DEM akan terjadi ketika menunjuk sudut besar. Dalam hal ini, akurasi tidak dijamin karena interpolasi dilakukan di daerah kesalahan. Jika menetapkan pilihan ini di luar wilayah Jepang, opsi D menjadi efektif.
10
Tabel 1. Spesifikasi AVNIR-2 (Japan Aerospace Exploration Agen, Tim Proyek ALOS) Mayor Spesifikasi AVNIR-2 Pengamatan Band
BAND1: 0,42 ~ 0,50 mikron BAND2: 0,52 ~ 0,60 mikron BAND3: 0,61 ~ 0,69 mikron BAND4: 0,76 ~ 0,89 mikron
S/N
lebih dari 200
MTF
0,2 atau lebih
Resolusi Khusus
10m (di Nadir)
Lebar petak
70 km (di Nadir)
Menunjuk Sudut
+ - 44 deg
2.5 Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut Jaya (2010) klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Kelas-kelas ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang telah dikenali di lapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh komputer. Selanjutnya pendekatannya,
Jaya
(2010)
klasifikasi
menjelaskan
kuantitatif
bahwa
dibedakan
atas
berdasarkan
teknik
Klasifikasi
Tidak
Terbimbing (unsupervised classification) dan Klasifikasi Terbimbing (supervised classification). Klasifikasi Tidak Terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer. Kelaskelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung pada data itu sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Kelas-kelas ini tidak berhubungan secara langsung dengan watak-watak tertentu dari fitur atau obyek yang ada pada citra. Pada klasifikasi ini hanya sebagian kecil saja yang ditetapkan atau didesain oleh analis, misalnya jumlah kelas atau klaster yang akan dibuat, teknik yang akan digunakan, jumlah iterasi, dan band-band atau kanal yang akan digunakan.
11
Berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh analisis melalui pembuatan training area (Jaya, 2010). Klasifikasi penutupan lahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) dengan menggunakan metode Peluang Maksimum (Maksimum Likelihood Classifier). Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dan merupakan metode standar. Metode ini mempertimbangkan peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Dapat dihitung dengan menghitung persentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas (satu per jumlah kelas yang dibuat) (Jaya, 2010). Setelah menentukan training area, maka akan dilakukan proses lain seperti penggabungan kelas (Merging) berdasarkan nilai keterpisahannya, labelling, pendugaan akurasi, dan proses deteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan.
2.5.1
Training Area Dalam klasifikasi terbimbing, analisis perlu membuat kelas-kelas yang
diinginkan dan selanjutnya membuat signature atau penciri yang sesuai dengan yang digunakan. Dalam hal ini diperlukan suatu cara untuk mendapatkan datadata yang mewakili setiap kelas yang ingin diekstrak. Klasifikasi ini sangat sesuai, jika ingin membuat kelas-kelas yang jelas kita inginkan. Training area diperlukan dalam setiap kelas yang akan dibuat, dan diambil dari areal yang cukup homogen. Pada saat pembuatan, analisis harus bisa melihat secara jelas perbedaan yang tampak pada citra. Jika perbedaan tidak tampak secara jelas, maka kemungkinan ada kesalahan klasifikasi. Masing-masing training area mewakili satu kelas atau kategori tutupan lahan. Secara teoritis jumlah piksel yang harus diambil per kelas adalah sebanyak jumlah band yang digunakan plus satu (N+1). Tetapi pada prakteknya, jumlah piksel yang harus diambil dari setiap kelas biasanya 10 sampai 100 kali jumlah band yang digunakan (Jaya, 2010). Pada ERDAS, pembuatan training area dilakukan menggunakan: a. layer dari vektor.
12
b. membuat secara langsung pada citra dengan Tools AOI. c. metode kesamaan spektral (speed pixel) dengan piksel-piksel yang ada di sekitarnya. d. menggunakan batasan radius tertentu. e. menggunakan hasil klastering.
2.5.2
Analisis Keterpisahan (Separability Assesment) Analisis keterpisahan adalah analisis kuantitatif yang menunjukan
keterpisahan statistik antara kelas penutupan lahan, apakah suatu kelas layak untuk digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat keterpisahan (Jaya, 2006). Kriteria tingkat keterpisahan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Tingkat Keterpisahan Nilai Transformasi Keterpisahan
Keterangan
< 1.600
Tidak terpisahkan (inseperable)
1.600 – < 1.800
Cukup baik (poor)
1.700 – < 1.900
Baik (fair)
1.900 – < 2.000
Sangat baik (good)
2.000
Sempurna (excellent)
Sumber : Jaya (2006)
2.5.3
Penggabungan Kelas / Merging / Grouping Merging adalah proses penggabungan kelas-kelas yang memiliki jarak yang
dekat dengan mempertimbangkan jumlah piksel pada setiap kelas, kemiripan (similarity), serta nilai keterpisahaan antar kelas (Jaya, 2006).
2.5.4
Labeling Labeling merupakan proses pemberian identitas label pada setiap kelas yang
telah dihasilkan. Pemberiaan label sebaiknya terukur serta dilakukan ketika kita telah mengetahui ciri-ciri dari obyek yang akan diberi label setelah melakukan interpretasi visual (Jaya, 2006).
13
2.5.5
Pendugaan Akurasi Akurasi sering dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi, yaitu suatu
matrik bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi (Jaya, 2010). Matrik ini juga sering disebut error matrix atau confusion matrix. Secara konvensional, akurasi klasifikasi biasanya diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan). Akurasi ini menggunakan seluruh elemen dalam matrik, termasuk di dalamnya terdapat producer’s accuracy, user’s accuracy dan akurasi secara keseluruhan (overall accuracy).
2.5.6
Deteksi Perubahan Penutupan Lahan Land Cover Change Detection (LCCD) merupakan aplikasi penting dari
teknik penginderaan jauh karena kemampuannya untuk merekam penginderaan yang dilakukan berulang kali dengan kualitas gambar yang konsisten pada interval yang pendek, skala global, dan selama satu siklus penuh. Tujuan dari LCCD adalah untuk membandingkan perubahan penutupan lahan yang berbeda baik secara kualitatif ataupun kuantitatif (Civco et al, 2002). Metode yang biasa digunakan dalam metode ini adalah Post Classification Comparison. Metode ini melakukan deteksi perubahan dengan membandingkan peta klasifikasi yang diperoleh dengan mengklasifiksikannya secara independen antara dua citra dari area yang sama dalam waktu yang berbeda (Bruzzone dan Seprico, 1997). Selanjutnya
Bruzzon
dan
Seprico
(1997)
menjelaskan
bahwa
dengan
menggunakan cara ini sangat mungkin untuk mendeteksi perubahan dan memahami jenis-jenis perubahan yang terjadi. Klasifikasi citra multitemporal ini menghindari kebutuhan untuk menormalkan kondisi atmosfer, perbedaan sensor antara dua akuisisi. Namun, teknik Post Classification Comparison tergantung pada akurasi dari peta klasifikasi. Hal ini disebabkan karena adanya fakta bahwa metode ini tidak mengambil dan memperhitungkan ketergantungan yang ada antara dua citra di daerah yang sama dalam waktu yang berbeda.
III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan data), membuat database spasial, analisis.
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga kecamatan yang terletak pada DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ketiga kecamatan tersebut juga berada di kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yaitu (1) Kecamatan Ciawi (2) Kecamatan Megamendung (3) Kecamatan Cisarua. Pemilihan ketiga lokasi ini didasarkan atas adanya alasan-alasan sebagai berikut: 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yang telah menetapkan ketiga kecamatan yang telah disebutkan di atas termasuk dalam kecamatan yang diprioritaskan di Daerah Kabupaten Bogor dalam usaha rehabilitasi fungsi kawasan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 3. Bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, sehingga pemanfaatan ruangnya perlu ditertibkan kembali.
15 Jawa Barat
Pulau Jawa
DAS Cikarang
Megamendung
Ciawi
Sub DAS Cibeet
DAS Ciliwung Sub DAS Cigundul
DAS Cisadane
Cisarua
Sub DAS Cisokan
Gambar 2. Lokasi Penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua)
3.3 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) GPS (Global Positioning System) (2) Komputer dalam pengolahan data menggunakan Geographic Information System (GIS) seperti ERDAS Imagine 9.1 dan Arc GIS 9.3 Version. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah AVNIR-2 sebagai spektrometer pencitraan resolusi tinggi yang beroperasi pada spektrum tampak dan inframerah-dekat. Selain itu juga dilakukan pengkajian data lapangan dalam memonitoring perubahan penutupan lahan.
16
Tabel 3. Jenis dan Sumber Data Kegiatan Monitoring Perubahan Penutupan Lahan di Kawasan DAS Hulu Ciliwung No.
Jenis Data
Bentuk
Sumber
Data 1
AVNIR-2 (19 Juli 2009)
2
Peta Penutupan Lahan (LANDSAT ETM+2002/12/22 )
3
Raster, Resolusi 10x10m Raster
Japan Aerospace Exploration Agency Syartinilia, 2004
Resolusi 30 x 30m
5
Digital peta rupa bumi lembar Vektor Bakosurtanal 1209-124, 1209-141, 1209-142, 1209-144, 1209-231 Peta rupa bumi 1998 lembar 1209- Lembaran Bakosurtanal 124, 1209-141, 1209-142, 1209144, 1209-231 Peta Administrasi Vektor Bakosurtanal
6
Peta Batas DAS
4
3.3.1
Vektor
BPDAS
Penutupan Lahan Tahun 2002 Penutupan
lahan
(LANDSAT
ETM+2002/12/22)
diperoleh
dengan
menggunakan metode Maximum Likelihood dari Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) (Gambar 3) dimana mengklasifikasikan penutupan lahan menjadi 7 kelas, yaitu hutan, perkebunan, semak belukar, sawah, ladang, pemukiman, dan badan air.
Nilai akurasi umum hasil klasifikasi terbimbing
dalam peta penutupan lahan tahun 2002 ini adalah sebesar 75,34%, sedangkan akurasi kappa yang diperoleh sebesar 65%. Berdasarkan Peta Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2002 (Gambar 3), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas di DAS Ciliwung Hulu adalah ladang yaitu sebesar 6.293,8 Ha atau sekitar 34,08% dari total luas DAS Ciliwung Hulu di lokasi penelitian. Selain badan air (23,2 Ha), perkebunan memiliki luasan yang paling kecil jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lain yaitu sebesar 1.188,0 Ha atau hanya 6,43% dari luas total. Gambaran lebih jelas mengenai luasan masing-masing kelas pada peta penutupan lahan disajikan pada Tabel 4.
17
Sumber: Syartinilia, 2004
Gambar 3. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 Tabel 4. Luas Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan 2002 No.
Penutupan Lahan
Luas (Ha)
Luas (%)
1
Hutan
4.956,6
26,84
2
Perkebunan
1.188,0
6,43
3
Semak belukar
2.489,0
13,48
4
Sawah
2.322,1
12,57
5
Ladang
6.293,8
34,08
6
Pemukiman
1.196,3
6,48
7
Badan air
23,2
0,12
18.468,8
100,00
Total Sumber: Syartinilia, 2004
18
3.4 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu: (1) Inventarisasi (survei, pengumpulan data), (2) Analisis dan (3) Output. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Persiapan Data (AVNIR-2 19 Juli 2009 Resolusi 10x10 m)
Pengumpulan Data Spasial dan non-Spasial
Koreksi Geometrik
Subset Studi Area Survei Lapang
Inventarisasi
Analisis
Klasifikasi Penutupan Lahan : Klasifikasi Terbimbing
Training Area
Deteksi Perubahan Penutupan Lahan
a
Peta Penutupan Lahan 2002 Resolusi 30x30m
Peta Penutupan Lahan 2009 Resolusi 10x 10m
Resampling menjadi Resolusi 30x30m
Perubahan Penutupan Lahan (Periode 2002-2009)
Output Rekomendasi
Gambar 4. Bagan Alir Penelitian
Pendugaan Akurasi
19
3.4.1
Inventarisasi Data Pada tahap inventarisasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain persiapan
data, pengumpulan data spasial dan non-spasial, serta survei lapang. Data yang dikumpulkan berupa data spasial serta data fisik dan biofisik mencakup lokasi, iklim, hidrologi, jenis tanah, kemiringan lahan, dan data sosial ekonomi. Pada kegiatan survei lapang dilakukan pengambilan titik tujuh kelas penutupan lahan (hutan, perkebunan, semak belukar, ladang, sawah, pemukiman, dan badan air), pengamatan secara langsung di lokasi penelitian dan melakukan dokumentasi keadaan tapak. Selain itu juga dilakukan studi pustaka yang terkait dan mendukung tujuan dilakukannya penelitian, Data satelit citra yang digunakan pada penelitian ini adalah citra dari AVNIR-2 periode 19 Juli 2009 Resolusi 10x10 m WGS 1984 UTM Zone 48S. Sebelum diinterpretasi, dilakukan pra-proses pada citra yang terdiri dari proses koreksi geometrik dan subset studi area. Subset studi area merupakan proses pemotongan citra yang dilakukan untuk memisahkan areal yang menjadi fokus penelitian, yaitu Kecamatan Ciawi, Cisarua, dan Megamendung yang termasuk dalam kawasan DAS Ciliwung Hulu. Areal yang dipotong disesuaikan dengan batas peta Administrasi Kabupaten Bogor. Hasil subset studi area dapat dilihat pada Gambar 5.
a
b
Gambar 5. Proses Subset Studi Area a. AVNIR-2 sebelum proses subset, b. AVNIR-2 setelah proses subset yang menjadi fokus penelitian.
20
3.4.2
Analisis Klasifikasi
citra
dihasilkan
dari
Supervised
Classification
dengan
menggunakan metode Maximum Likelihood yang menggunakan area latihan (Training Area) yang diperoleh dari hasil ground check pada tanggal 24 Maret dan 9 April 2011. Penutupan lahan yang diperoleh kemudian diuji akurasinya menggunakan accuracy assesment dari software ERDAS Imagine 9.1. Tingkat akurasi yang bisa dipercaya adalah minimal 75% untuk akurasi keseluruhan (Syartinilia, 2004). Sebelum dibandingkan dengan peta penutupan lahan tahun 2002 resolusi 30x30m, peta penutupan lahan 2009 di-resampling terlebih dahulu menjadi reolusi 30x30m. Setelah memiliki resolusi yang sama, lalu dilakukan proses deteksi perubahan penutupan lahan dengan menggunakan metode Post Comparison Classification. 3.4.2.1 Klasifikasi Terbimbing (Supervised classification) Klasifikasi ini dilakukan dengan menggunaan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh dari pembuatan training area. Pada penelitian kali ini, metode yang digunakan adalah Metode Peluang Maksimum (Maximum Likelihood Classifier). Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dan merupakan metode standar. Metode ini mempertimbangkan peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Dapat dihitung dengan menghitung persentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. 3.4.2.2 Training Area Training area diperlukan dalam setiap kelas yang akan dibuat dan harus bisa melihat secara jelas perbedaan yang tampak pada citra. Masing-masing training area mewakili satu kelas atau kategori penutupan lahan. Sebelum dilakukan training area, ditetapkan batasan mengenai kelas yang akan diklasifikasikan. Training area tidak hanya digunakan untuk proses klasifikasi, tetapi juga digunakan untuk proses akurasi hasil klasifikasi. Perbandingan bobot training area sebagai sampel untuk proses klasifikasi dan akurasi adalah 75% : 25% dari total training area yang dibuat. Deskripsi kelas penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.
21
Tabel 5. Deskripsi Kelas Penutupan Lahan No.
Label Kelas
1
Hutan
2
Perkebunan
3
Semak belukar
4
Sawah
5
Ladang
6
Pemukiman
7
Badan Air
8
Awan
Deskripsi Seluruh hamparan baik kering maupun basah yang didominasi oleh pohon. Seluruh kawasan kenampakkan kebun dengan jenis vegetasi teh. Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara vegetasi tinggi dan vegetasi rendah yang tumbuh secara liar dan belum termanfaatkan. Seluruh kawasan berupa pertanian lahan basah yang ditanami padi. Seluruh kawasan berupa pertanian lahan kering yang ditanami non-padi seperti singkong, umbi-umbian, jagung, sayuran. Seluruh kawasan pemukiman padat (perumahan) atau bangunan lainnya. Seluruh kawasan dengan kenampakkan perairan, termasuk sungai, danau, dan waduk. Sekumpulan piksel yang berwarna putih (tidak mengandung informasi mengenai penutupan lahan) (no data)
Pembuatan training area pada penelitian ini dilakukan dengan membuat secara langsung pada citra dengan Tools AOI. Contoh penampakkan training area masing-masing kelas penutupan pada AVNIR-2 resolusi 10x10 m dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Penampakkan Training Area pada AVNIR-2 tahun 2009 No. 1
Kelas Hutan
Penampakkan pada Citra
Keterangan • Band combinations Red : Layer 3 Green : Layer 2 Blue : Layer 1
22 2
Perkebunan
• Band combinations Red : Layer 3 Green : Layer 2 Blue : Layer 1
3
Semak belukar
• Band combinations Red : Layer 3 Green : Layer 2 Blue : Layer 1
4
Sawah
• Band combination Red : Layer 3 Green : Layer 2 Blue : Layer 1
5
Ladang
• Band combinations Red : Layer 3 Green : Layer 2 Blue : Layer 1
6
Pemukiman
• Band combinations Red : Layer 3 Green : Layer 2 Blue : Layer 1
7
Air
• Band combinations Red : Layer 4 Green : Layer 3 Blue : Layer 2
23
3.4.2.3 Pendugaan Akurasi Setelah dihasilkan peta penutupan lahan tahun 2009, maka perlu dilakukan evaluasi dengan menghitung tingkat akurasi peta tersebut. Akurasi tersebut disajikan dalam bentuk matrik kesalahan. Matrik kesalahan tersebut memberikan informasi mengenai penyimpangan klasifikasi yang berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau emisi (omission) dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau komisi (comission). Kesalahan emisi (omission error) dikenal juga dengan istilah akurasi pembuat (producer’s accuracy) yaitu akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Akurasi lainnya adalah akurasi pengguna (user’s accuracy), yaitu akurasi yang diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel yang dikelaskan ke dalam kelas tersebut, akurasi ini dikenal juga dengan istilah kesalahan komisi (comission error). Besarnya akurasi hasil klasifikasi keseluruhan dapat diukur menggunakan akurasi umum (overall accuracy) dan akurasi kappa. Akurasi umum adalah akurasi yang dihitung berdasarkan jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas, dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan. Akurasi ini akan menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate karena dalam proses perhitungannya, akurasi umum hanya melibatkan piksel-piksel yang dikelaskan dengan benar saja. Untuk saat ini selain akurasi umum, evaluasi hasil klasifikasi sangat disarankan menggunakan akurasi kappa. Piksel-piksel yang terlibat dalam perhitungan akurasi kappa adalah seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan untuk pengukuran akurasi hasil klasifikasi, sehingga jika dibandingkan dengan akurasi umum, perhitungan akurasi kappa akan lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi. Pada penelitian kali ini, metode akurasi yang digunakan adalah Kappa. Seluruh proses pendugaan akurasi ini dilakukan di ERDAS. Sampel yang digunakan sebanyak 25% dari total training area yang dibuat. Secara matematik, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:
24
Dimana: Xii = nilai diagonal dari matarik kontingensi baris ke-i dan klom ke-i X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i N
= banyaknya piksel dalam contoh
3.4.2.4 Deteksi Perubahan Penutupan Lahan Salah satu metode yang digunakan pada proses ini adalah Post Classification Comparison. Metode ini bertujuan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian. Matrik metode ini disajikan pada Gambar 6. Peta tahun 2002
Peta tahun 2009
Fungsi perkalian
Peta Perubahan
Gambar 6. Matriks Post Classification Comparison Metode ini menggunakan fungsi perkalian antara nilai kelas penutupan lahan tahun 2002 dengan tahun 2009 yang telah di-recode terlebih dahulu. Proses tersebut menghasilkan image baru yang mengandung informasi berupa penutupan lahan yang berubah ataupun yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut. Proses recode masing-masing nilai kelas pada masing-masing peta penutupan lahan dilakukan menggunakan ERDAS Imagine yang selanjutnya akan dilakukan fungsi perkalian antar nilai kelas (Lampiran 1) dengan menggunakan
25
modeler dengan fungsi pekalian (Lampiran 2). Dari hasil perkalian matriks tersebut diperoleh kelas penutupan lahan dengan nilai baru. Nilai tersebut menggambarkan perubahan masing-masing kelas dalam kurun waktu 2002-2009.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1
Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua,
Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37’10” LS sampai dengan 6⁰46’15” LS dan 106⁰49’48” BT sampai dengan E107⁰0’25” BT. Luas wilayah penelitian adalah 18.468 Ha. Selain berada di sistem DAS Ciliwung Hulu, wilayah ini juga berada pada kawasan Bopunjur dan merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 362 m sampai 3000 m dpl. Batas dari lokasi penelitian adalah sebagai berikut: •
Sebelah barat berbatasan dengan DAS Cisadane,
•
Sebelah timur berbatasan dengan Sub Das Cikeas,
•
Sebelah utara berbatasan dengan DAS Ciliwung Tengah, dan
•
Sebelah selatan berbatasan dengan DAS Cisadane Hulu.
4.1.2
Iklim Lokasi penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua)
mempunyai curah hujan rata-rata sebesar 2929 – 4956 mm/ tahun. Perbedaan bulan basah dan kering sangat mencolok yaitu 10.9 bulan basah per tahun dan hanya 0.6 bulan kering per tahun. Tipe iklim DAS Ciliwung Hulu menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson (1951) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (>200 mm) dan Bulan Kering (<100 mm) adalah termasuk ke dalam Type A (Abdurachman, 2009) Data iklim lainnya seperti suhu udara untuk periode tahun 2009-2010 diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Besar Wilayah II Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. Suhu udara untuk wilayah Ciawi diwakili oleh Darmaga, sedangkan suhu udara untuk wilayah Cisarua dan Megamendung diwakili oleh wilayah Citeko.
27
Tabel 7. Data Iklim Lokasi Penelitian pada Tahun 2009-2010 Darmaga (Ciawi) 2009 Bulan
Citeko (Cisarua, Megamendung)
2010
2009
2010
Suhu
CH
Suhu
CH
Suhu
CH
Suhu
CH
(⁰C)
(mm/bln)
(⁰C)
(mm/bln)
(⁰C)
(mm/bln)
(⁰C)
(mm/bln)
Januari
25,0
360,8
25,3
252
20,1
594,2
20,6
416
Februari
25,1
305,3
25,9
461
19,5
534,1
21,3
531
Maret
25,8
261,1
26,0
415
21,0
386,4
21,5
471
April
26,2
259,9
27,1
43
21,8
220,6
22,5
82
Mei
26,1
570,6
26,7
331
21,7
368,7
22,4
289
Juni
26,1
338,1
25,9
303
21,7
128,4
21,4
255
Juli
25,8
131,1
25,8
270
21,2
87,2
21,3
137
Agustus
26,3
33,1
25,8
478
21,3
14,9
21,3
305
September
26,6
156,8
25,3
601
21,9
64,6
21,2
374
Oktober
26,0
415,8
25,4
436
21,8
356,1
21,3
425
November
26,3
407,0
25,0
284
21,6
308,6
21,5
286
Desember
26,1
258,2
25,5
177
21,4
229,9
20,7
291
Sumber: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, 2010
Tabel 8. Data Hari Hujan Lokasi Penelitian pada Tahun 2009 Bulan
Ciawi
Cisarua
Januari
25
26
26
Februari
23
13
13
Maret
13
25
25
April
14
21
21
Mei
22
17
17
Juni
11
12
12
Juli
5
16
16
Agustus
7
11
11
September
8
10
10
Oktober
18
18
18
November
22
25
25
Desember
22
16
16
15,83
18
17,5
Rata-rata
Megamendung
Sumber: Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung dalam Angka, 2010
28
4.1.3
Hidrologi Lokasi penelitian yang berada pada DAS Ciliwung Hulu merupakan sistem
DAS dengan sungai utama adalah Sungai Ciliwung. Sungai ini mengalir dari arah selatan ke utara. Mata air dari Sungai Ciliwung berdasar dari Danau Telaga Warna yang terletak pada ketinggian 1433 m dpl. Kawasan Danau Telaga Warna juga dijadikan obyek wisata yang lahannya merupakan milik negara dan dikelola oleh Departemen Kehutanan dengan luas danau 1 ha dan area penyangga 5 ha.
Gambar 7. Danau Telaga Warna, salah satu sumber mata air di DAS Ciliwung Hulu
Intensitas curah hujan memiliki korelasi yang positif terhadap terjadinya peningkatan aliran limpasan (run off), yang dapat meningkatkan volume serta fluktuasi debit sungai.
Tabel 9. Debit Maksimum dan Minimum Sungai Ciliwung di Bendungan Katulampa No.
Tahun
1
Besarnya Debit Sungai (liter/detik) Maksimum
Minimum
2002
16.197,17
6.238,08
2
2003
7.599,25
4.983,58
3
2004
13.740,75
8.454,58
4
2005
13.574,50
6.914,42
5
2006
10.039,83
4.093,42
6
2007
13.748,92
7.506,67
7
2008
30.673,58
18.694,17
8
2009
29.097,00
15.963,83
Sumber: Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, 2011
29
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa adanya fluktuasi debit sungai yang sangat besar. Hal ini merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa di lokasi penelitian telah mengalami kerusakan sehingga selalu menimbulkan ancaman banjir pada setiap tahunnya, khususnya pada musim penghujan. Berikut peta drainase yang dihasilkan dari penggabungan informasi mengenai kondisi drainase dari peta tanah DAS Ciliwung Hulu dengan peta tanah Kabupaten Bogor (Gambar 8) (Syartinilia, 2004).
Sumber: Syartinilia, 2004
Gambar 8. Peta Drainase Lokasi Penelitian
30
4.1.4
Kemiringan Lahan Berdasarkan bentuk lerengnya, kemiringan lahan di lokasi penelitian
bervariasi antara bentuk datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam. Pembagian lokasi penelitian berdasarkan kemiringan lahan dan bentuk wilayah diklasifikasikan ke dalam bentuk kelas lereng seperti dapat dilihat pada Gambar 9 dan Tabel 10.
Sumber: Syartinilia, 2004 Gambar 9. Peta Kemiringan Lahan di Lokasi Penelitian
31
Tabel 10. Kondisi Kemiringan Lahan Lokasi Penelitian No.
Kelas Kemiringan (%)
Luas (Ha)
1
0-8
3.809,07
2
8 - 15
3.627,54
3
15 – 25
3.261,96
4
25 - 40
2.924,1
5
40 - 55
1.999,08
6
> 55
2.844,36
Sumber: Syartinilia, 2004
4.1.5
Tanah dan Geologi Pada lokasi penelitian dijumpai 4 ordo tanah, yaitu Entisol, Inceptisol,
Ultisol, dan Andisol. Keempat ordo tanah ini dijabarkan lebih detil menjadi 5 jenis tanah dengan luas yang bervariasi di lokasi penelitian (Tabel 11). Jenis tanah yang mendominasi adalah Latosol, Andosol, dan Regosol. Jenis tanah Latosol (Gambar 10) pada umumnya berbahan induk batuan vulkanik yang bersifat intermedier, bersolum dalam, pH agak tinggi dengan kepekaan erosi rendah. Jenis tanah latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, stuktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya >90 cm, dan agak tahan terhadap erosi, serta pH tanah yang agak netral dan kandungan bahan organik yang rendah atau sedang. Jenis tanah Regosol dan Andosol umumnya agak peka terhadap erosi, kedalaman efektifnya bervariasi, kandungan hara dan bahan organik relatif tinggi.
Tabel 11. Jenis Tanah di Lokasi Penelitian No.
Jenis Tanah
Luas Hektar
%
1
Andosol Coklat Kekuningan
5.522,37
30,65
2
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat
4.788,27
26,06
3
Komplek Regosol Kelabu dan Litosol
366,16
1,99
4
Latosol Coklat
7.122,44
38,76
5
Latosol Coklat Kemerahan
576,65
3,14
Sumber: Peta tanah semi detail DAS Ciliwung Hulu skala 1 : 50.000, Puslitnak dan agroklimat, 1992.
32
Sumber: Syartinilia, 2004
Gambar 10. Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian Berdasarkan sifat erodibilitas, tanah Latosol tergolong peka, sedangkan erodibilitas tanah Andosol dan Regosol masing-masing tergolong peka dan sangat peka. Potensi erosi di lokasi penelitian relatif tinggi, sehingga limpasan air hujan yang masuk ke dalam sungai akan mengakibatkan sedimentasi yang tinggi. Lokasi penelitian dibangun oleh formasi geologi vulkanik, yaitu komplek utama Gunung Salak dan Komplek Gunung Pangrango. Deskripsi litologi lokasi ini adalah tufa glas litnik kristal: tufa pumice, breksi pumice, dan batu pasiran tufa, sedangkan kondisi fisiografi lokasi ini merupakan daerah pegunungan dan berbukit. Bahan induk tanah yang terdapat di lokasi ini berupa tufa vulkanik tua dan merupakan bahan dasar pembentuk jenis tanah Latosol. Adanya pencampuran
33
bahan vulkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya jenis tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol yaitu Regosol dan Andosol (Abdurrachman, 2009). 4.1.6
Kawasan Lindung dan Non-lindung Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua merupakan area resapan air
hujan. Untuk menjaga fungsi tersebut, maka
seluas 15.556,8 ha merupakan
kawasan lindung (84,2%) dan sisanya seluas 2.910,3 ha merupakan kawasan nonlindung (15,8%) (Syartinilia, 2004) (Gambar 11).
Sumber: Syartinilia, 2004
Gambar 11. Kawasan lindung dan non-lindung di lokasi penelitian
34
4.1.7
Penutupan Lahan Kepemilikan lahan di lokasi penelitian digolongkan menjadi tiga, yaitu hak
milik, lahan negara, dan hak guna usaha. Lahan hak milik merupakan lahan milik masyarakat yang tinggal di sekitar DAS Ciliwung Hulu di luar lahan negara dan lahan hak guna usaha. Biasanya digunakan untuk pemukiman, sawah, ladang, perkebunan, tempat rekreasi. Lahan negara merupakan lahan yang dikelola oleh pemerintah, seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam seperti Cagar Alam Telaga Warna, dan PT. Perhutani untuk kawasan lindung dan kawasan hutan produksi. Sedangkan Pemda setempat seperti Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah mengelola lahan dalam bentuk situ dan badan sungai. Sedangkan lahan hak guna usaha digunakan oleh PT. Gunung Mas dan PT. Ciliwung untuk areal perkebunan (tempat rekreasi Riung Gunung). Tipe penutupan lahan saat ini secara garis besar terbagi dalam 7 tipe penutupan lahan yaitu: 1. Hutan Hutan yang berada di lokasi penelitian terbagi menjadi dua, yaitu hutan lindung yang berstatus milik negara dan hutan produksi yang didominasi oleh tanaman pinus dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. 2. Perkebunan Tipe pemanfaatan lahan jenis ini didominasi
oleh
perkebunan
teh.
Perkebunan tersebut dikelola oleh PT. Gunung Mas dan PT. Ciliwung. Saat ini perkebunan telah menjadi obyek wisata, seperti Riung Gunung dan Agrowisata Paralayang.
35
3. Semak belukar Tipe
penutupan
lahan
ini
merupakan bagian sebelum punggung bukit yang belum ditanami sehingga ditumbuhi
tanaman
liar,
rumput-
rumputan, alang-alang, dan tanaman paku-pakuan.
4. Sawah Pemanfaatan
lahan
jenis
ini
memegang peranan sangat penting dan banyak dijumpai bercampur dengan areal
pemukiman.
sawahnya
Sebagian
menggunakan
besar sistem
pengairan baik teknis ataupun sederhana (95%),
dan
sisanya
menggunakan
sistem pengairan tadah hujan (5%) (Balai Pengelolaan DAS Ciliwung-Citarum, 2003).
5. Ladang Tipe
penutupan
lahan
ini
umumnya menempati daerah yang agak tinggi.
Termasuk
usaha
pertanian
tanaman pangan lahan kering yang dirotasikan dengan padi gogo atau tanaman sayuran. Tanaman yang umum diusahakan adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, singkong, tanaman sayuran.
36
6. Pemukiman Tipe Ciliwung
pemukiman Hulu
di
DAS
merupakan
tipe
pemukiman pedesaan yang digabung dengan
sistem
pertanian
atau
perkebunan. Tempat tinggal cenderung menyebar dan memusat. Dari tahun ke tahun, jumlah pemukiman di kawasan ini cenderung meningkat pesat, terutama ke arah berkembangnya kawasan wisata. Selain sebagai tempat tinggal (hunian), pemukiman di kawasan ini juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan yang hanya dihuni pada saat tertentu saja. Tabel 12. Jumlah Bangunan Menurut Jenisnya di Lokasi Penelitian Tahun 2009 No.
Kecamatan
Permanen
Semi
Tidak
Permanen
Permanen
Jumlah
1
Ciawi
12.599
1.905
1.801
16.305
2
Cisarua
20.826
2.506
204
23.536
3
Megamendung
12.847
4.443
2.202
19.492
46.272
8.854
4.207
59.333
Jumlah
Sumber: Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung dalam Angka, 2010
7. Badan Air Lokasi penelitian yang terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua merupakan kecamatan yang terletak di sistem DAS Ciliwung Hulu dengan sungai utama yaitu Sungai Ciliwung. Sungai ini mengalir dari utara hingga ke selatan. Mata airnya berdasar di Telaga Warna. yang terletak pada ketinggian 1433 m dpl.
37
4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan 4.2.1
Sosial Ekonomi Kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah ini sangat beragam dan terus
mengalami pergeseran. Pergeseran kegiatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan, dan jasa telah terjadi secara nyata di ketiga kecamatan ini. Kegiatan ekonomi masyarakat di bidang pertanian, dimana kegiatan usahanya tergantung pada lahan sudah semakin terbatas. Demikian pula jika melihat perkembangan tingginya alih fungsi (konversi) lahan dan alih pemilikan lahan pada wilayah ini, ada kecenderungan yang sangat kuat bahwa kegiatan ekonomi berbasis lahan tidak dapat dipertahankan lagi. Semenjak timbulnya arus komersialisasi lahan, banyak masyarakat petani lokal yang tergiur melepaskan sebagian atau seluruh lahan miliknya kepada orang kota yang bermodal kuat. Pada kondisi ini sebagian masyarakat mencari pekerjaan di sektor non-pertanian seperti menjadi tukang ojek sepeda motor, penjaga villa peristirahatan milik orang kota, karyawan rumah makan, padang golf, dan sebagainya. Tingkat Pendidikan penduduk di lokasi penelitian relatif rendah, karena didominasi oleh belum sekolah-tidak tamat SD-Tamat SD. Berdasarkan data tahun 2009, di Cisarua jumlah penduduk yang belum sekolah-tidak tamat SDTamat SD mencapai 54,6% dari jumlah penduduknya, dan di Megamendung mencapai 67,4%. Sementara yang mampu tamat hingga jenjang perguruan tinggi hanya 1% untuk Kecamatan Cisarua dan 0,64% untuk Kecamatan Megamendung. Sementara selebihnya merupakan tamatan SLTP, SLTA, dan akademi (Tabel 13).
Tabel 13. Tingkat Pendidikan di Lokasi Penelitian Tahun 2009 No. 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan Belum sekolah-tidak tamat SD-Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi Tamat Universitas Total
Cisarua 60.585 23.383 24.825 999 1.110 110.902
Sumber: Kecamatan Cisarua, Megamendung dalam Angka, 2010
Megamendung 61.532 16.714 11.456 896 585 91.183
38
4.2.2
Kependudukan Jumlah penduduk di lokasi penelitian pada tahun 1997-2009 mengalami
perubahan. Pada tahun 1997-2009 jumlah penduduk terbanyak setiap tahunnya terdapat di Kecamatan Cisarua (Tabel 14).
Tabel 14. Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian Tahun 1997-2009 Kecamatan
1997
2000
2007
2008
2009
Ciawi
71.323
71.167
92.510
92.642
93.749
Cisarua
75.517
86.525
109.800
109.882
110.040
Megamendung
74.469
72.818
91.069
91.036
91.518
221.309
230.510
293.379
293.560
295.307
Total
Sumber: Kabupaten Bogor dalam Angka, 1997, 2000, 2007, 2010
Jumlah penduduk di Kecamatan Ciawi mengalami penurunan pada tahun 2000, namun pada tahun 2007-2009 jumlah penduduknya terus meningkat. Hal yang serupa juga dialami oleh Kecamatan Megamendung yang mengalami penurunan pada tahun 2000 dan mengalami peningkatan sampai tahun 2009. Berbeda dengan Kecamatan Cisarua yang terus mengalami penningkatan jumlah penduduk dari tahun 1997-2009. Namun secara keseluruhan, jumlah penduduk di tiga kecamatan ini mengalami peningkatan dari tahun 1997-2009 (Gambar 12).
Gambar 12. Grafik Peningkatan Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian
39
4.2.3
Pariwisata Sektor pariwisata di lokasi penelitian berkembang cukup baik, hal ini dapat
terlihat dari jumlah wisatawan pada tahun 2009 mencapai 1.195.448 yang terdiri dari 1.180.772 wisatawan nusantara dan 14.676 wisatawan mancanegara (Tabel 15). Keadaan ini didukung oleh kondisi lokasi penelitian yang memiliki suhu udara yang nyaman serta pemandangan alam pegunungan yang indah yang mampu menarik perhatian wisatawan untuk datang ke lokasi ini.
Tabel 15. Obyek Wisata dan Jumlah Wisatawan di Lokasi Penelitian tahun 2009 Obyek Wisata
Jenis Wisatawan
Jumlah
Nusantara
Mancanegara
Taman Safari Indonesia
632.205
7.687
639.892
Wisata Agro Gunung Mas
273.093
2.129
275.222
Telaga Warna
14.511
520
15.031
Panorama Alam Riung Gunung
12.960
30
12.990
187.203
4.300
191.503
60.800
10
60.810
1.180.772
14.676
1.195.448
Curug Cilember Taman Bunga Melrimba Jumlah
Sumber: Kabupaten Bogor dalam Angka, 2010
4.3 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Dalam Perda Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 20052025 (Gambar 13), RTRW merupakan perencanaan tata ruang yang mencakup struktur ruang dan pola ruang.
Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat
pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. RTRW ini disusun agar mampu mendukung proses pengendalian pemanfaatan ruang, yakni upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam Perda tentang RTRW tahun 2005-2025 dijelaskan bahwa:
40
1. kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. 2. kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 3. kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. 4. kawasan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Gambar 13. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor sampai dengan Tahun 2025
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh dari analisis melalui pembuatan training area yang telah dibuat pada proses sebelumnya. Seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Syartinilia, 2004), kelas penutupan lahan terdiri dari tujuh kelas kategori penutupan lahan, yaitu hutan, perkebunan, semak belukar, sawah, ladang, pemukiman, dan badan air. Namun pada penelitian ini ditambahkan satu kelas yang tidak terklasifikasi sebagai penutupan lahan yaitu awan. Kelas ini tidak mengandung informasi mengenai penutupan lahan, namun pada proses pengolahannya kelas ini tetap dilibatkan karena akan berpengaruh pada proses serta hasil klasifikasi. Kelas hasil klasifikasi diberi label (nama kelas) sesuai dengan penutupan lahan dimana piksel-piksel dalam kelas tersebut tersebar. Tujuh kelas penutupan lahan tersebut memiliki nilai rata-rata keterpisahan sebesar 1.999,82 serta keterpisahan terendah sebesar 1.996,25. Nilai keterpisahan terendah tersebut terdapat di antara kelas penutupan lahan yang memiliki kemiripan yaitu sawah dan ladang. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan sawah dan ladang dalam satu lahan dalam satu periode tertentu. Pada citra LANDSAT ETM+ yang direkam pada tanggal 22 Desember 2002 (musim hujan) lahan sedang digunakan sebagai sawah, sedangkan pada citra AVNIR-2 yang direkam pada tanggal 19 Juli 2009 penggunaan lahan tersebut berupa ladang (JuliOktober). Kemudian pada saat dilakukan ground check pada tanggal 24 Maret dan 9 April 2011, lahan tersebut sedang dimanfaatkan sebagai sawah. Walaupun terdapat nilai keterpisahan terendah antara sawah dan ladang, namun dengan nilai rata-rata keterpisahan sebesar 1.999,82 memiliki makna bahwa kelas-kelas tersebut dapat dipisahkan dengan sangat baik. Matrik nilai keterpisahan antar kelas hasil klasifikasi terbimbing disajikan dalam Tabel 16.
43
Tabel 16. Matrik nilai keterpisahan antar kelas penutupan lahan hasil klasifikasi terbimbing Penutupan Lahan
1
2
3
4
5
6
7
1. Hutan
0
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2. Perkebunan
2000
0
2000
2000
2000
2000
2000
3. Semak belukar
2000
2000
0
1999.98
2000
2000
2000
4. Sawah
2000
2000
1999.98
0
1996.25
2000
2000
5. Ladang
2000
2000
2000
2000
0
2000
1999.98
6. Pemukiman
2000
2000
2000
2000
2000
0
2000
7. Badan air
2000
2000
2000
2000
1999.98
2000
0
Xmin = 1996,25
Xmaks = 2000
Xrata-rata = 1999,82
Berdasarkan Peta Penutupan Lahan Kawasan Puncak tahun 2009 (Gambar 14), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas di lokasi ini adalah hutan yaitu sebesar 5.041,29 Ha atau sekitar 27,29% dari total luas lokasi penelitian. Selain badan air (353,97 Ha), perkebunan memiliki luas yang paling kecil jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lain yaitu sebesar 1.380,07 Ha atau hanya 7,47% dari luas total. Gambaran lebih jelas mengenai luas masingmasing kelas pada peta penutupan lahan disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Luas Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan 2009 No.
Penutupan Lahan
Luas (ha)
Luas (%)
1
Hutan
5.041,29
27,29
2
Perkebunan
1.380,07
7,47
3
Semak belukar
1.536,98
8,32
4
Sawah
2.743,81
14,86
5
Ladang
3.931,23
21,29
6
Pemukiman
3.366,77
18,23
7
Air
353,97
1,92
8
Awan (No data)
114,68
0,62
18.468,80
100,00
Total
44
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 14. Peta Penutupan Lahan Tahun 2009 (AVNIR-2 19 Juli 2009 Resolusi 10x10 m)
45
Di antara kelas-kelas penutupan lahan yang terdapat pada peta penutupan lahan, terdapat kelas yang mewakili penutupan awan dan bayangan awan yaitu sebesar 114,68 ha (0,62%). Penutupan awan menyebabkan informasi mengenai tipe penutupan lahan hilang sebesar 0,62%. Penutupan tipe ini tidak dimasukkan ke dalam kelas klasifikasi penutupan lahan tahun 2009 karena tidak mengandung informasi mengenai penutupan lahan, tetapi dalam proses pengklasifikasiannya tetap dilibatkan karena akan berpengaruh pada hasil klasifikasi. Hasil klasifikasi dievaluasi menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix) atau matrik kontingensi yang dibuat melalui proses klasifikasi piksel yang diwakili oleh titik pada training area. Matriks akurasi dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Pendugaan Akurasi dari Penggunaan dan Penutupan Lahan Tahun 2009 Kelas
Data Acuan
Total Baris
UA (%)
1
2
3
4
5
6
7
1
70
3
0
0
0
0
0
73
95,89
2
0
116
0
0
0
0
0
116
100,00
3
0
0
98
0
0
0
0
98
100,00
4
0
0
0
71
1
7
0
79
89,87
5
0
0
1
0
116
2
24
143
81,12
6
0
0
0
19
0
93
0
112
83,04
7
0
0
0
0
0
0
62
62
100,00
Total Kolom
70
119
99
90
117
102
86
683
100 97,48 98,99 PA (%) Overall Accuracy (%) 91,67
78,89
99,15
91,18
72,09
Kappa Accuracy (%)
90,22
Ket : 1 = Hutan; 2 = Perkebunan ; 3 = Semak belukar; 4 = Sawah; 5 = Ladang; 6 = Pemukiman; 7 = Badan air UA = User’s Accuracy; PA = Producer’s Accuracy
Matrik kesalahan tersebut memberikan informasi mengenai penyimpangan klasifikasi yang berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau emisi (omission) dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau komisi (comission). Kesalahan emisi (omission error) dikenal juga dengan istilah akurasi pembuat (producer’s accuracy) yaitu akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas.
46
Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air sebesar 72,09%, sedangkan nilai akurasi tertinggi sebesar 100% terdapat pada kelas penutupan lahan hutan. Akurasi lainnya adalah akurasi pengguna (user’s accuracy), yaitu akurasi yang diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel yang dikelaskan ke dalam kelas tersebut, akurasi ini dikenal juga dengan istilah kesalahan komisi (comission error). Nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan ladang yaitu sebesar 81,12%, sedangkan nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan perkebunan dan semak belukar belukar yaitu sebesar 100%. Besarnya akurasi hasil klasifikasi keseluruhan dapat diukur menggunakan akurasi umum (overall accuracy) dan akurasi kappa. Akurasi umum adalah akurasi yang dihitung berdasarkan jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas, dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan. Akurasi ini akan menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate karena dalam proses perhitungannya, akurasi umum hanya melibatkan piksel-piksel yang dikelaskan dengan benar saja. Untuk saat ini selain akurasi umum, evaluasi hasil klasifikasi sangat disarankan menggunakan akurasi kappa. Piksel-piksel yang terlibat dalam perhitungan akurasi kappa adalah seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan untuk pengukuran akurasi hasil klasifikasi, sehingga jika dibandingkan dengan akurasi umum, perhitungan akurasi kappa akan lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi. Nilai akurasi umum hasil klasifikasi terbimbing dalam penelitian ini adalah sebesar 91,67%, sedangkan akurasi kappa yang diperoleh sebesar 90,22%. 5.2 Perbandingan Luas Penutupan Lahan Tahun 2002 dan Tahun 2009 Perbandingan luas penutupan lahan dilakukan antara peta penutupan lahan tahun 2002 (LANDSAT ETM+2002/12/22) (Syartinilia, 2004) (Gambar 3 dan Tabel 4) dengan peta penutupan lahan tahun 2009 (AVNIR-2 19 Juli 2009) (Gambar 14 dan Tabel 17) yang diperoleh dari hasil klasifikasi dengan metode terbimbing. Peta tahun 2009 dengan resolusi 10 x 10 meter yang dihasilkan dari metode klasifikasi terbimbing memiliki akurasi lebih besar jika dibandingkan dengan peta
47
tahun 2002 dengan resolusi 30 x 30 meter yang juga dihasilkan dari metode klasifikasi terbimbing. Perbandingan ini dilakukan untuk mendapat gambaran mengenai perubahan luas yang terjadi dari kelas-kelas penutupan lahan hasil klasifikasi citra AVNIR-2. Perbandingan luas penutupan lahan tahun 2002 dengan penutupan lahan tahun 2009 disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Diagram perbandingan luas penutupan lahan tahun 2002-2009 Berdasarkan hasil klasifikasi citra AVNIR-2 tahun 2009 resolusi 10 x 10 meter, lokasi penelitian mengalami perubahan penutupan lahan pada setiap tipe penutupan lahannya. Dalam kurun waktu 2002-2009 telah terjadi peningkatan dan penurunan luas wilayah penutupan lahan yang terdapat di wilayah tersebut. Berdasarkan Gambar 15 hampir semua tipe penutupan lahan mengalami peningkatan luas, seperti hutan, perkebunan, sawah, pemukiman, dan badan air. Sedangkan penutupan lahan semak belukar dan ladang mengalami penurunan luas penutupan lahan. Dari semua tipe penutupan lahan, yang mengalami peningkatan luas paling tinggi yaitu pemukiman yang semula (tahun 2002) memiliki luas 1.196,3 ha kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 3.366,77 ha atau meningkat sebesar 2170,47 ha (11,75%) dengan laju peningkatan sebesar 1,68% per tahun (Tabel 19). Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan lahan.
48
Selain itu, ketiga lokasi ini merupakan kawasan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan dari luar kota, lokal, maupun internasional. Keadaan ini mendorong masyarakat untuk terus membangun area komersial seperti area perdagangan, villa, hotel, dan lain-lain. Oleh sebab itu, konversi lahan oleh masyarakat di tiga kecamatan ini terus-menerus dilakukan.
Tabel 19. Perbandingan luas penutupan lahan tahun 2002 dan tahun 2009 No.
Kelas
2002
2009
Δ Luas
Luas (ha)
Luas (ha)
(ha)
Peningkatan Laju/thn Luas (%)
(%)
1
Hutan
4.956,6
5.041,29
84,69
0,45
0,06
2
Perkebunan
1.188,0
1.380,07
192,07
1,04
0,15
3
Semak belukar
2.489,0
1.536,98
-952,02
5,16
0,74
4
Sawah
2.322,1
2.743,81
421,71
2,29
0.33
5
Ladang
6.293,8
3.931,23
-2.362,57
12,79
1.83
6
Pemukiman
1.196,3
3.366,77
2.170,47
11,75
1,68
7
Badan air
23,2
353,97
330,77
1,80
0,26
Pada penelitian ini, hutan mengalami peningkatan luas paling kecil selama kurun waktu 2002-2009, yaitu sebesar 84,69 ha atau 0,45% dari total luas hutan dengan laju peningkatan hanya sebesar 0,06% per tahun. Perubahan tipe penutupan lahan perkebunan, semak belukar, sawah, ladang, pemukiman, dan badan air menjadi hutan yang mengakibatkan luas hutan bertambah dapat disebabkan karena adanya perbedaan resolusi citra yang digunakan sehingga terjadi distorsi luas hutan. Citra dengan resolusi 10x10 meter seperti AVNIR-2 akan menyimpan informasi lebih banyak bila dibandingkan dengan citra dengan resolusi 30x30 meter seperti LANDSAT ETM+. Peningkatan luas selanjutnya terjadi pada sawah yaitu sebesar 2,29%. Peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk telah mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai lahan-lahan budidaya. Lahan pertanian yang terdesak oleh pemukiman yang biasanya terjadi di wilayah perkotaan juga dapat mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk dijadikan lahan pertanian.
49
Peningkatan luas penutupan lahan juga terjadi pada badan air yaitu sebesar 330,77 ha atau sekitar 1,8% dari luas awal di tahun 2002. Hal ini juga dapat disebabkan oleh penggunaan citra dengan resolusi yang berbeda pada kedua peta. Peta yang dihasilkan dari klasifikasi AVNIR-2 dengan resolusi 10 x 10 meter mempunyai informasi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan citra LANDSAT ETM+ dengan resolusi 30 x 30 meter. Jadi, penampakkan badan air yang mempunyai luas kurang dari 30 meter tidak bisa terlihat di peta 2002 namun bisa terlihat di peta 2009. Kelas yang mengalami penurunan terbesar dari semua tipe penutupan lahan yaitu ladang. Tahun 2002 luas ladang mencapai 6.293,8 ha yang kemudian menurun menjadi 3.931,23 ha pada tahun 2009 atau menurun sebesar 12,79% (2362,57 ha) dari luas ladang tahun 2002. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi lokasi penelitian yang memiliki curah hujan tinggi, sehingga pertanian lahan kering kurang cocok diterapkan di kawasan ini yang mengakibatkan berkurangnya minat masyarakat untuk berladang. Penurunan luas yang besar ini juga dapat terjadi karena terjadinya peningkatan luas tipe penutupan lahan yang lain terutama pemukiman. 5.3 Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 – 2009 Pada proses deteksi perubahan penutupan lahan dengan menggunakan metode Post Comparison Classification, diperoleh nilai-nilai baru yang mengandung informasi mengenai perubahan penutupan lahan periode 2002-2009 seperti yang disajikan pada Tabel 20 dan Tabel 21. Tabel 20. Nilai penutupan lahan yang tetap/tidak berubah periode 2002-2009 Nilai
Penutupan Lahan
11
Tetap Hutan
36
Tetap Perkebunan
65
Tetap Semak belukar
98
Tetap Sawah
135
Tetap Ladang
160
Tetap Pemukiman
187
Tetap Badan Air
50
Tabel 21. Nilai penutupan lahan yang mengalami perubahan periode 2002-2009 Nilai
Dari
Menjadi
Nilai
Dari
Menjadi
12
Hutan
Perkebunan
105
Sawah
Ladang
13
Hutan
Semak belukar
112
Sawah
Pemukiman
14
Hutan
Sawah
119
Sawah
Badan air
15
Hutan
Ladang
99
Ladang
Hutan
16
Hutan
Pemukiman
108
Ladang
Perkebunan
17
Hutan
Badan Air
117
Ladang
Semak belukar
33
Perkebunan
Hutan
126
Ladang
Sawah
39
Perkebunan
Semak belukar
144
Ladang
Pemukiman
42
Perkebunan
Sawah
153
Ladang
Badan air
45
Perkebunan
Ladang
110
Pemukiman
Hutan
48
Perkebunan
Pemukiman
120
Pemukiman
Perkebunan
51
Perkebunan
Badan air
130
Pemukiman
Semak belukar
55
Semak belukar Hutan
140
Pemukiman
Sawah
60
Semak belukar Perkebunan
150
Pemukiman
Ladang
70
Semak belukar Sawah
170
Pemukiman
Badan air
75
Semak belukar Ladang
121
Badan air
Hutan
80
Semak belukar Pemukiman
132
Badan air
Perkebunan
85
Semak belukar Badan air
143
Badan air
Semak belukar
77
Sawah
Hutan
154
Badan air
Sawah
84
Sawah
Perkebunan
165
Badan air
Ladang
91
Sawah
Semak belukar
176
Badan air
Pemukiman
Selama kurun waktu 2002-2009, tidak semua lahan di lokasi penelitian mengalami perubahan penutupan lahan, selain ada yang mengalami perubahan ada juga yang tetap atau tidak mengalami perubahan (Gambar 16). Luas penutupan lahan yang mengalami perubahan mencapai 11.339,7 ha atau sebesar 63,30% dari luas seluruh kawasan, sedangkan penutupan lahan yang tetap hanya sebesar 6.576,03 ha atau sebesar 36,70% dari luas seluruh kawasan (Tabel 22).
51
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 16. Peta Penutupan Lahan yang Tetap dan Mengalami Perubahan dalam Periode 2002 – 2009
52
Tabel 22. Penutupan lahan yang tetap dan berubah periode 2002-2009 Tetap Hutan
Luas (ha) 3.153,24
%
Berubah
Luas (ha)
47,95 Hutan
%
1.375,45
12,13
857,07
7,56
Perkebunan
308,97
4,70 Perkebunan
Semak belukar
371,16
5,64 Semak belukar
2.059,02
18,16
Sawah
581,85
8,85 Sawah
1.728,54
15,24
27,03 Ladang
4.489,56
39,59
808,47
7,13
21,6
0,19
11.339,7
100,00
Ladang Pemukiman Badan Air Total A
1.777,77 381,60 1,44 6.576,03
5,80 Pemukiman 0,03 Badan Air 100,00
Total B
Tetap = Total A : (Total A + Total B) x 100% = 36,70 % Berubah = Total B : (Total A + Total B) x 100% = 63,30%
Berdasarkan Tabel 22, penutupan lahan di lokasi penelitian yang paling besar tetap/tidak mengalami perubahan yaitu hutan (47,95%). Hal ini berkaitan dengan tiga fungsi utama hutan, yaitu fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi. Fungsi lindung hutan yaitu sebagai perlindungan sistem dan penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, menyerap air hujan, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi konservasi, hutan memiliki peran dalam menjaga keanekaragaman satwa dan ekosistemnya. Oleh sebab itu, hutan sangat dijaga keberadaannya agar kemampuannya untuk memperbaharui diri sendiri selalu terpelihara. Kelas penutupan ladang paling banyak mengalami perubahan dalam periode 2002 – 2009 (39,59%). Ketiga kecamatan ini memiliki rata-rata hari hujan yang tinggi pada tahun 2009, yaitu Kecamatan Ciawi 15,83 hari, Megamendung 17,5 hari, dan Kecamatan Cisarua 18 hari. Dengan kondisi seperti itu, pertanian lahan kering mungkin kurang cocok diterapkan di daerah ini. Selain itu, peningkatan luas pemukiman juga bisa menyebabkan penurunan luas ladang. Informasi mengenai perubahan penutupan lahan menjadi penutupan lahan lainnya dapat di lihat pada Tabel 23 serta Gambar 17 dan Gambar 18.
53
Tabel 23. Persentase kecenderungan perubahan penutupan lahan menjadi penutupan lahan lain di seluruh lokasi penelitian M
D
1
1
2
3
4
5
6
7
Total
41,21
19,54
11,41
12,80
13,92
1,12
100
17,50
4,46
10,40
14,09
0,27
100
12,55
26,40
10,99
0,79
100
43,47
36,38
4,50
100
36,97
3,62
100
6,95
100
2
53,28
3
38,19
11,08
4
5,37
1,72
8,56
5
11,54
4,67
12,42
30,78
6
5,83
3,06
4,17
36,25
43,74
7
0,42
0,00
1,25
27,08
39,17
32,08
100
Ket : D = Dari; M = Menjadi ; 1 = Hutan; 2 = Perkebunan ; 3 = Semak belukar; 4 = Sawah; 5 = Ladang; 6 = Pemukiman; 7 = Badan air
Berdasarkan Tabel 23, hutan banyak berubah menjadi perkebunan. Hal ini dapat disebabkan karena lokasi penelitian merupakan kawasan pariwisata dengan background perkebunan. Panorama alam yang dimiliki oleh lokasi ini serta udara sejuk yang dimiliki oleh lokasi ini mengundang wisatawan untuk datang ke lokasi ini. Dari tahun 2002, tempat wisata berbasis perkebunan mengalami peningkatan jumlah penduduk. Jumlah wisatawan di Wisata Agro Gunung Mas sebanyak 69.798 jiwa (Syartinilia, 2004), meningkat menjadi 275.222 jiwa pada tahun 2009. Jumlah wisatawan di Panorama Alam Riung Gunung pada tahun 2002 sebanyak 5.480 jiwa, sedangkan pada tahun 2009 wisatawan yang berkunjung sebanyak 12.990. Berdasarkan data tersebut, area rekreasi perkebunan menjadi pilihan untuk kegiatan wisata, sehingga luas perkebunan terus bertambah. Informasi perubahan penutupan lahan akan dijelaskan di tiap kecamatan.
54
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 17. Peta Kelas Penutupan Lahan yang Tetap (Tidak Mengalami Perubahan) dalam Periode 2002 – 2009
55
Kawasan Puncak AVNIR-2 19 Juli 2009 (Resolusi 30 x 30 meter)
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 18. Peta Perubahan Kelas Penutupan Lahan dalam Periode 2002 - 2009
56
5.4 Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Tiap Kecamatan Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua merupakan tiga kecamatan di kawasan DAS Ciliwung Hulu dan Bogor-Puncak-Cianjur yang diprioritaskan dalam usaha rehabilitasi fungsi kawasan. Selain itu, kawasan ini juga merupakan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya karena merupakan kawasan konservasi air. Namun, dengan adanya perubahan yang terjadi berupa perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, maka fungsi sebagai area resapan air hujan di kawasan hulu tidak berjalan dengan baik. Perubahan penutupan lahan di kawasan ini dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Tiap Kecamatan No. Kecamatan
Tetap (ha)
Berubah (ha)
Total (ha)
1.
Ciawi
1.849,41
2.577,79
4.427,20
2.
Megamendung
2.073,96
4.306,56
6.380,52
3.
Cisarua
2.687,76
4.727,79
7.415,55
Berdasarkan Tabel 24, kecamatan yang banyak mengalami perubahan yaitu Kecamatan Cisarua. Lahan seluas 4.727,79 ha telah mengalami perubahan. Perubahan lahan yang cukup besar juga terjadi di Kecamatan Megamendung, yaitu sebesar 4.306,56 ha. Kegiatan pariwisata, jasa dan perdagangan mulai berkembang di dua kecamatan ini. Potensi pemandangan dan udara sejuk yang dimiliki Megamendung dan Kecamatan Cisarua mendorong pembangunan tempat wisata, vila, dan hotel di lokasi ini. Hal ini menyebabkan pembangunan terusmenerus yang mengakibatkan perubahan atau alih fungsi berbagai kelas penutupan lahan menjadi kelas penutupan lainnya, terutama dari lahan terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Dibandingkan kecamatan lainnya, Kecamatan Ciawi mengalami perubahan lahan terendah yaitu sebesar 2.577,79 ha. Uraian kelas penutupan lahan yang tetap/tidak mengalami perubahan di ketiga kecamatan tersebut dapat di lihat pada Tabel 25.
57
Tabel 25. Penutupan Lahan yang Tetap/Tidak Berubah Periode 2002 – 2009 tiap Kecamatan No.
Kelas
Ciawi (ha)
Megamendung (ha)
Cisarua (ha)
972,90
632,79
1.557,00
2,34
34,47
273,15
1.
Tetap Hutan
2.
Tetap Perkebunan
3.
Tetap Semak belukar
142,74
184,14
47,16
4.
Tetap Sawah
142,38
292,41
153,09
5.
Tetap Ladang
473,85
824,67
493,56
6.
Tetap Pemukiman
115,02
104,49
163,53
7.
Tetap Badan Air
0,18
0,99
0,27
1.849,41
2.073,96
2.687,76
Total
Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan Tabel 25, lokasi yang masih memiliki banyak hutan yaitu Kecamatan Cisarua. Di lokasi ini banyak terdapat hutan lindung yang harus dijaga keberadaannya. Selain itu, lokasi ini merupakan hulu dari DAS Ciliwung, jadi keberadaan hutan sangat penting untuk mencegah banjir. Untuk mengetahui detail informasi perubahan penutupan lahan tiap kecamatan, maka akan disajikan perjenis penutupan lahan sebagai berikut: 1.
Hutan
Gambar 19. Perubahan hutan menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009
58
Berdasarkan Gambar 19, perubahan hutan banyak terjadi di Kecamatan Cisarua. Seluas 395,19 ha hutan (72,58%) berubah menjadi perkebunan. Sebagian besar tempat wisata di kecamatan ini berupa perkebunan teh seperti Wisata Agro Gunung Mas, Paralayang, kebun teh di sekitar Telaga Warna, dan Riung Gunung. Di Kecamatan Ciawi hutan seluas 168,3 ha (40,58%) berubah menjadi semak belukar, sedangkan hutan di Megamendung banyak berubah menjadi ladang (241,2 ha atau 38,64%). Perubahan besar dari hutan menjadi perkebunan, semak belukar, ladang, sawah, dan pemukiman menunjukkan adanya penebangan dan perambahan kawasan hutan. Lokasi penelitian memiliki fungsi utama sebagai area resapan air hujan, oleh karena itu lahan seluas 15.556,8 ha merupakan kawasan lindung. Namun pada tahun 2002 kawasan yang masih dilindungi hanya 7.052 ha (Syartinilia, 2004) dan kini kawasan hutan hanya tersisa 5.041,29 ha. Hal tersebut menunjukkan adanya perambahan kawasan hutan. Kegiatan budidaya seperti perkebunan, sawah, ladang, bahkan pemukiman yang seharusnya berada pada kawasan non-lindung tetapi kini banyak yang dibangun di kawasan lindung yang seharusnya tidak boleh digunakan. Hutan yang berubah menjadi perkebunan banyak terjadi di sebelah timur dan selatan Kecamatan Cisarua (Gambar 28). Berdasarkan RTRW sampai dengan tahun 2025, lokasi tersebut merupakan kawasan hutan lindung. Perubahan hutan menjadi ladang banyak terjadi di bagian utara Kecamatan Megamendung (Gambar 27). Di lokasi ini memiliki drainase yang baik dan jenis tanahnya adalah latosol coklat yang cocok untuk kegiatan pertanian. Perubahan hutan menjadi semak belukar banyak terjadi di selatan Kecamatan Ciawi (Gambar 26), dalam RTRW hingga tahun 2025 di lokasi ini merupakan kawasan hutan konservasi (taman nasional dan taman wisata alam). 2. Perkebunan Perubahan perkebunan banyak terjadi di Kecamatan Cisarua (Gambar 20). Seluas 337,14 ha perkebunan (66,73%) berubah menjadi hutan dan banyak terjadi di bagian timur Kecamatan Cisarua (Gambar 28). Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Megamendung, seluas 70,02 ha perkebunan berubah menjadi hutan. perubahan dari perkebunan menjadi hutan dapat disebabkan adanya perbedaan
59
resolusi yang dimiliki oleh kedua citra dan adanya kemiripan penampakan antara hutan dan perkebunan sehingga terjadi distorsi luas hutan dan perkebunan.
Gambar 20. Perubahan perkebunan menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Selain menjadi hutan, di Kecamatan Cisarua juga perkebunan banyak berubah menjadi pemukiman (88,74 ha). Menurut Lisnawati dan Wibowo (2007), perubahan perkebunan menjadi penutupan lahan lain terjadi karena adanya konversi menjadi ladang dan pemukiman. Perkebunan yang dikonversi ke ladang oleh sebagian petani penggarap kemudian diperjualbelikan dengan status oper alih garapan, yang kemudian hari banyak berkembang menjadi lahan pemukiman. Selain itu kecamatan ini merupakan pusat kegiatan pariwisata. Panorama alam serta udara sejuk yang dimiliki lokasi ini menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke lokasi ini. Maka dibangunlah kawasan pemukiman berupa vila-vila atau hotel-hotel yang dihuni hanya pada waktu tertentu. Di bagian utara Kecamatan Ciawi perkebunan banyak berubah menjadi semak belukar (62,82 ha atau 35,67%) (Gambar 26), di lokasi ini merupakan kawasan hutan konservasi (RTRW sampai dengan tahun 2025) . Hal ini dapat disebabkan karena lahan perkebunan yang sudah tidak produktif ditinggalkan begitu saja dan tidak digarap dalam waktu yang lama, sehingga ditumbuhi oleh semak belukar.
60
3. Semak belukar Perubahan semak belukar banyak terjadi di Kecamatan Megamendung. Seluas 347,31 ha semak belukar (35,73%) berubah menjadi ladang dan seluas 326,16 ha berubah menjadi hutan (Gambar 21).
Gambar 21. Perubahan semak belukar menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Perubahan semak belukar menjadi kelas penutupan lahan lainnya menunjukkan bahwa lahan yang sebelumnya belum dimanfaatkan sekarang telah dimanfaatkan. Perubahan dari semak belukar ke ladang atau ke sawah berkaitan dengan kebutuhan perekonomian yang semakin meningkat. Hal ini menuntut masyarakat untuk membuka usaha berupa pertanian lahan kering ataupun lahan basah yang hasilnya dapat dinikmati sendiri atau dijual ke pihak lain. Perubahan semak belukar menjadi ladang banyak terjadi di bagian utara Kecamatan Megamendung, berdekatan dengan lahan hutan yang berubah menjadi ladang (Gambar 27). Di bagian ini memiliki drainase yang baik dan memiliki jenis tanah latosol coklat dan kemerahan. Di Kecamatan Cisarua, semak belukar yang berubah menjadi hutan tersebar di bagian timur dan selatan Kecamatan Cisarua (Gambar 28). 4. Sawah Sawah banyak berubah menjadi pemukiman di semua kecamatan (Gambar 22). Perubahan sawah menjadi pemukiman di Kecamatan Ciawi, Megamendung,
61
dan Cisarua berturut-turut sebesar 160,29 ha, 214,29 ha, dan 258,66 ha. Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan jumlah penduduk yang besar di ketiga
kecamatan. Perubahan dari ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun seperti pemukiman akan mengurangi area resapan air hujan. Area yang awalnya mampu menyerap kelebihan air hujan kini menjadi kedap, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Gambar 22. Perubahan sawah menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Selain menjadi pemukiman, sawah juga banyak yang berubah menjadi ladang. Hal ini bisa terjadi karena adanya sistem penggunaan lahan sawah bergantian dengan ladang pada waktu tertentu. Pada masa setelah panen, lahan sawah di berakan terlebih dahulu sebelum ditanami padi kembali. Hal ini bertujuan untuk mengembalikkan kesuburan dan unsur hara tanah. Selama diberakan, lahan sawah digunakan untuk berladang (Juli - Oktober). Perubahan sawah menjadi pemukiman banyak terjadi di sepanjang jalan utama (dari jalan raya Ciawi sampai jalan raya Puncak) yaitu bagian selatan Ciawi, bagian barat Megamendung, dan bagian selatan Kecamatan Cisarua (Gambar 26, 27, dan 28). Hal ini disebabkan karena daerah tersebut lebih dekat dengan aktivitas ekonomi ataupun lebih dekat dengan perkotaan. Berdasarkan RTRW hingga tahun 2025, lokasi tersebut merupakan kawasan sempadan sungai, sekitar danau, sekitar mata air, kawasan gerakan tanah tinggi, kawasan resapan
62
air, pertanian lahan kering dan basah, perkebunan, serta kawasan pemukiman perdesaan hunian jarang dan rendah. 5. Ladang
Gambar 23. Perubahan ladang menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Ladang merupakan salah satu kelas penutupan lahan yang mengalami penurunan luas paling besar. Berdasarkan Gambar 23, ladang banyak berubah menjadi pemukiman di semua kecamatan. Perubahan ladang menjadi pemukiman di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua berturut-turut sebesar 301,59 ha, 558,09 ha, dan 810 ha. Selama kurun waktu 7 tahun, pemukiman merupakan penutupan lahan yang paling banyak mengalami peningkatan luas lahan. Faktor utama penyebab peningkatan ini akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal dan lahan untuk membuka usaha berupa area perdagangan, hotel, villa pun meningkat. Selain menjadi pemukiman, ladang juga banyak berubah menjadi sawah. Hal ini juga dapat disebabkan karena adanya sistem penggunaan lahan ladang menjadi sawah. Penggunaan ladang sekitar bulan Juli – Oktober dengan sistem rotasi tanaman, yaitu sistem penanaman bergilir antara padi dengan tanaman palawija atau sayuran. Tanaman yang biasanya dirotasikan yaitu 1) sayuran – sayuran – bera, 2) palawija – sayuran – bera, 3) padi – palawija – bera. Seperti
63
perubahan yang terjadi pada sawah, perubahan ladang menjadi pemukiman juga banyak terjadi di pusat-pusat kegiatan bermukim, perdagangan, dan jasa (Gambar 26, 27, dan 28). 6. Pemukiman
Gambar 24. Perubahan pemukiman menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Sebagian besar mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian ini adalah di bidang pertanian. Berdasarkan Gambar 24, pemukiman yang berubah menjadi ladang banyak terjadi di Kecamatan Ciawi. Seluas 137,79 ha (55,65%) pemukiman di kecamatan ini berubah menjadi ladang. Di Kecamatan Megamendung dan Cisarua perubahan pemukiman menjadi ladang berturut-turut seluas 126,54 ha (44,72%) dan 90,09 ha (32,16%). Selain menjadi ladang, pemukiman juga banyak berubah menjadi sawah. Hal ini disebabkan karena ekonomi dan terbatasnya lahan yang dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Di Megamendung lahan pemukiman seluas 122,76 ha berubah menjadi sawah, di Kecamatan Cisarua 88,11 ha dan di Kecamatan Ciawi seluas 83,25 ha lahan pemukimannya berubah menjadi sawah. Perubahan pemukiman menjadi penutupan lahan lain dimungkinkan pemukiman yang berubah sifatnya semi permanen atau tidak permanen yang sudah tidak digunakan dalam jangka waktu yang relatif lama, sehingga memungkinkan terjadinya pengalihgunaan lahan oleh masyarakat untuk dijadikan penutupan lahan lain
64
sepert sawah atau ladang. Perubahan ini banyak terjadi di bagian bawah masingmasing kecamatan (Gambar 26, 27, dan 28). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, di lokasi ini memiliki jenis tanah yang baik untuk pertanian dan berdrainase baik. Hal ini memudahkan dalam proses irigasi dan sesuai denga RTRW yang telah dibuat, bahwa di lokasi tersebut merupakan kawasan sempadan sungai, pertanian lahan kering dan basah, serta perkebunan. 7. Badan air
Gambar 25. Perubahan badan air menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Berdasarkan Gambar 25, badan air paling banyak berubah menjadi ladang di Megamendung (4,86 ha), menjadi sawah di Megamendung (3,15 ha), dan menjadi pemukiman di Kecamatan Cisarua (2,97 ha). Perubahan ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama karena adanya perbedaan musim antara tahun 2002 dengan tahun 2009. Pada tahun 2002 terjadi musim hujan, sedangkan pada tahun 2009 terjadi musim kemarau. Selama musim kemarau tersebut, terjadi kekeringan di pinggir atau tepi badan air. Faktor lain juga bisa disebabkan karena perbedaan resolusi pada kedua peta yang mempengaruhi kedetailan penampakkan penutupan lahan berupa badan air di citra. Citra dengan resolusi 30x30 meter tidak dapat merekam badan air yang memiliki luas kurang dari 30x30 meter.
65
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua
Kec. Ciawi
Gambar 26. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 – 2009 Kecamatan Ciawi
66
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua
Kec. Ciawi
Gambar 27. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Kecamatan Megamendung
67
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua
Kec. Ciawi
Gambar 28. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Kecamatan Kecamatan Cisarua
68
5.5 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu faktor alam dan faktor manusia. 5.5.1 Faktor Alam Faktor alam yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan di suatu wilayah biasanya berupa bencana alam. Bencana alam juga bisa terjadi karena faktor manusia atau bencana yang terjadi karena faktor alam. Di tiga kecamatan ini, jarang terjadi bencana alam yang benar-benar terjadi karena alam seperti gempa bumi atau letusan gunung berapi. Bencana alam yang biasanya terjadi di lokasi ini berupa banjir, longsor, atau kebakaran yang disebabkan oleh perilaku manusia. Terjadinya bencana tersebut dapat menyebabkan perubahan penutupan lahan di lokasi yang terkena bencana. Seperti yang terjadi pada tanggal 4 Februari 2007, longsor menimpa Megamendung yang disebabkan karena ambrolnya tebing di Megamendung akibat hujan deras yang melanda kawasan puncak. Kemudian pada tanggal 17 januari 2010 kontur tanah yang gembur mengakibatkan rumpun pohon bambu seluas 500 meter persegi pada ketinggian 50 meter menimpa pemukiman di Desa Tugu, Kecamatan Cisarua. Hal ini juga diakibatkan oleh hujan deras yang terjadi di kawasan puncak (Pos Kota, 2010). Selain longsor, pada tanggal 12 Februari 2010 lalu, banjir bandang melanda Kecamatan Cisarua (Desa Cisarua, Desa Citeko, Desa Cilember dan Leuwimalang), Kecamatan Megamendung (Desa Megamendung, Cipayung Girang, Desa Kuta dan Sukaresmi). Banjir bandang di lokasi tersebut disebabkan oleh meluapnya sejumlah anak sungai Ciliwung termasuk Sungai Cibeureum akibat hujan deras di daerah puncak. Hal ini mengakibatkan ratusan rumah rusak dan terbawa arus (Andri, 2010). Bencana alam banjir, longsor, dan kebakaran kemungkinan akan mengubah berbagai tipe penutupan lahan menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Sebenarnya bencana alam yang terjadi di lokasi penelitian seperti banjir disebabkan karena pola DAS itu sendiri. Karakterisitik DAS Ciliwung Hulu
69
mempunyai bentuk daerah hulu dan tengah dengan kelerengan terjal. Sedangkan daerah tengah sampai hilir sangat datar dan luas. Bentuk DAS seperti ini begitu hujan jatuh maka air hujan dari daerah hulu langsung mengalir ke bawah dengan waktu konsentrasi yang singkat. Sehingga banjir bandang sering terjadi di lokasi ini, ditambah lagi adanya perubahan penutupan lahan di sekitar DAS. Selain perubahan yang terjadi akibat bencana alam, terdapat pula mekanisme alam atau proses suksesi alam yang dapat merubah suatu penutupan lahan menjadi penutupan lahan yang lain. Misalnya, pada lahan kosong yang sudah tidak digarap oleh manusia mendorong tumbuhnya semak belukar ataupun tanaman perdu lainnya, sehingga yang awalnya lahan tersebut merupakan lahan kosong/lahan terbuka berubah menjadi lahan dengan hamparan semak belukar. Lahan budidaya seperti lahan pertanian ataupun perkebunan, apabila tidak digarap dalam waktu yang lama akan berubah menjadi semak belukar. 5.5.2 Faktor Manusia Manusia merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan penutupan lahan pada suatu kawasan. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun mendorong penduduk untuk melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupannya termasuk perubahan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada yang berdampak pada perubahan penutupan lahan yang ada. Faktor dari manusia yang dapat mempengaruhi perubahan penutupan lahan
diantaranya adalah
pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas dan fasilitas, serta kebijakan pemerintah. 5.5.2.1 Pertumbuhan Penduduk Meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk di suatu wilayah akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan, sehingga akan terjadi konversi lahan di kawasan yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Periode 1997 – 2009 di tiga kecamatan ini mengalami peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya, yaitu dari 221.309 jiwa di tahun 1997, menjadi 230.510 jiwa (2000), 293.379 jiwa (2007), 293.560 jiwa (2008), dan akhirnya meningkat menjadi 295.307 jiwa di tahun 2009. Tingginya peningkatan tersebut akan mengakibatkan manusia membuka lahan baru yang digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan
70
pertanian. Pada kawasan DAS Ciliwung Hulu telah terbukti bahwa dari tahun 2002 sampai tahun 2009 luas yang mengalami peningkatan paling tinggi yaitu pemukiman. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan penduduk yang terus berkembang yang menyebabkan penutupan lahan lain berubah menjadi pemukiman. Pertumbuhan penduduk juga menyebabkan meningkatnya lahan pertanian. Lahan pertanian yang terdesak oleh pemukiman yang biasanya terjadi di wilayah perkotaan juga dapat mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk dijadikan lahan pertanian. 5.5.2.2 Mata Pencaharian Mata pencaharian di wilayah Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua sebagian besar di bidang pertanian dan jasa rata-rata 5.468 jiwa dan 7.856 jiwa (BPS tahun 2000), baik itu pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, maupun perkebunan. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang pertanian dan jasa, maka kebutuhan lahan untuk budidaya dan area komersil semakin meningkat dan kegiatan konversi lahan pun akan terus terjadi. Pada penelitian ini telah terbukti bahwa selain konversi lahan menjadi pemukiman, perubahan lahan juga banyak yang menjadi sawah, ladang, dan perkebunan. 5.5.2.3 Aksesibilitas dan Fasilitas Aksesibilitas dan fasilitas merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia karena menyangkut kenyamanan hidup manusia pada lokasi tertentu. Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan kawasan pusat pemukiman, kegiatan pariwisata, jasa, dan perdagangan. Aksesibilitas dan fasilitas di lokasi ini lebih lengkap dari Kecamatan Ciawi. Badan Pusat Statistik tahun 2010 mencatat bangunan permanaen, semi permanen, dan tidak permanen yang ada di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua adalah sebanyak 23.536 bangunan dan 19.492 bangunan. Jumlah bangunan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan Kecamatan Ciawi. Tempat rekreasi dan wisata pun banyak yang terletak di dua kecamatan ini, seperti Taman Safari Indonesia, Wisata Agro Gunung Mas, Telaga Warna, Panorama Alam Riung Gunung, Curug Cilember, dan Taman Bunga Melrimba. Pada tahun 2002, wisatawan yang berkunjung ke
71
Wisata Agro Gunung Mas sebanyak 69.798 jiwa sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 275.222 jiwa. Di Panorama Alam Riung Gunung wisatawan yang berkunjung sebanyak 5.480 jiwa namun pada tahun 2009 meningkat menjadi 12.990 jiwa. Dengan bertambahnya wisatawan yang datang ke tempat rekreasi tersebut, maka akan terus menambah fasilitas, sarana dan prasarana, serta kemudahan dalam aksesibilitas. Data tersebut menunjukkan bahwa di wilayah ini akan mengalami perkembangan pembangunan yang lebih pesat dan lebih banyak mengalami perubahan penutupan lahan bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya. 5.5.2.4 Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah baik yang berasal dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat memiliki peranan yang penting dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam berpengaruh langsung terhadap perubahan penutupan lahan pada wilayah tersebut. Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap perubahan penutupan lahan yaitu kebijakan mengenai tata ruang wilayah. Kebijakan mengenai tata ruang wilayah memberikan arahan pembangunan dan pola tata ruang di wilayah tersebut. Perubahan-perubahan tata ruang dalam rangka pembangunan di wilayah Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua harus berpedoman pada kebijakan-kebijakan yang berlaku. Kebijakan pemerintah mengenai tata ruang yang berlaku di kawasan Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Apabila semua pihak menjalankan peraturan tersebut tentu akan memberikan dampak positif terhadap penutupan lahan. Bagian terpenting dari DAS Ciliwung Hulu adalah hutan. Secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan,
72
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berpedoman pada undang– undang tersebut, maka di kawasan hutan tidak semestinya terdapat area pemukiman karena akan mengurangi fungsi hutan. Namun dalam pelaksanaannya masih ada pihak yang membangun pemukiman di sekitar hutan bahkan masih ada yang tidak memiliki IMB. Di Kecamatan Cisarua terdapat 1046 unit villa dan hanya 804 unit yang memiliki IMB, di Kecamatan Megamendung terdapat 669 unit villa dan hanya 36 unit yang memiliki IMB, dan di Kecamatan Ciawi ada 6 unit villa yang dibangun di tanah milik negara (Syartinilia, 2004). Hal ini dapat disebabkan karena masih lemahnya hukum yang berlaku di kawasan ini.
73
5.6 Implikasi Perubahan Penutupan Lahan terhadap Lanskap Lanskap merupakan totalitas karakter baik abiotik maupun biotik serta proses yang berlangsung diantaranya. Dalam proses terbentuknya lanskap, prosesnya terjadi tidak statis namun dinamis, setiap waktu lanskap mengalami perubahan. Untuk dapat mengelola lanskap dengan baik, kita mengenal tiga faktor penting didalam manajemen lanskap yaitu struktur, fungsi dan perubahan. Struktur merupakan hubungan spasial antara ekosistem, fungsi merupakan interaksi antara elemen spasial, sedangkan perubahan adalah berubahnya struktur dan fungsi. Pada penelitian di Kawasan Puncak, Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi di kawasan tersebut seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam potensi yang dimiliki oleh lokasi tersebut sehingga mampu menarik berbagai kegiatan untuk terus dikembangkan. Perubahan tersebut cenderung terjadi dari area terbuka menjadi area terbangun yang akan berimplikasi pada kondisi ekologis lingkungan, karena salah satu akibat dari pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal berupa limbah yang mampu mencemari lingkungan. Berkaitan dengan perkembangan pembangunan yang terjadi di Kawasan Puncak, persaingan penggunaan lahan akan mengarah pada terjadinya perubahan penutupan lahan dengan intensitas yang semakin tinggi. Akibat yang ditimbulkan adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi pusat kegiatan di Kawasan Puncak ke daerah pinggiran Puncak. Adanya fenomena semakin berkurangnya lahan terbuka hijau karena perluasaan lahan terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami urbanisasi memberikan konsekuensi bahwa semakin besar perubahan lahan hutan, pertanian dan daerah resapan air menjadi pemukiman (non-pertanian) memberikan dampak terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan jumlah dan mutu lingkungan diantaranya penurunan mutu dari keberadaan sumberdaya alam seperti, tanah, tata air dan keanekaragaman hayati, menurunnya produksi pertanian dan lain-lain.
VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Simpulan Berdasarkan
pembahasan
yang
telah
diuraikan
sebelumnya,
dapat
disimpulkan bahwa peta yang dihasilkan dari AVNIR-2 19/7/2009 Resolusi 10x10 meter hasil Klasifikasi Terbimbing (supervised classification) dengan metode Maximum Likelihood lebih baik bila dibandingkan dengan peta penutupan lahan dari LANDSAT ETM+2002/12/22 Resolusi 30 x 30 meter. Tingkat akurasi yang dihasilkan yaitu 91,67% dengan 7 jumlah kelas penutupan lahan hasil klasifikasi dimana penutupan lahan terluas berupa hutan sebesar 5.401,29 ha. Di lokasi penelitian masih terjadi penyimpangan pola dan struktur ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW sampai dengan tahun 2025. Selama 7 tahun yakni dari tahun 2002-2009, perubahan lahan yang terjadi di lokasi penelitian mencapai 11.339,7 ha atau sebesar 63,30% dari luas seluruh kawasan. Penutupan lahan yang paling tinggi mengalami peningkatan luasan yaitu pemukiman yang mencapai 2.170,47 ha. Sementara, hutan merupakan penutupan lahan yang memiliki laju peningkatan luas terkecil yaitu sebesar 0,06% per tahun. Secara keseluruhan, trend perubahan yang terjadi di lokasi penelitian yaitu perubahan penutupan lahan lain menjadi pemukiman dan area pertanian. Perubahan banyak terjadi di kawasan usahatani, pariwisata, pusat perdagangan dan jasa. Ditunjukkan dengan kecamatan yang paling besar mengalami perubahan penutupan lahan yaitu Kecamatan Cisarua dengan luas lahan yang berubah yaitu sebesar 4.727,79 ha yang didominasi oleh perubahan dari hutan ke perkebunan (395,19 ha). Kedua adalah Megamendung dengan luas lahan yang berubah sebesar 4.306,56 ha didominasi oleh perubahan dari ladang ke sawah (734,58 ha). Ketiga adalah Kecamatan Ciawi sebesar 2.577,79 ha yang didominasi oleh perubahan dari ladang ke pemukiman (301,59 ha).
75
6.2 Rekomendasi Selama periode 2002-2009, trend perubahan yang banyak terjadi yaitu perubahan menjadi area pemukiman dan area pertanian. Rekomendasi yang diajukan sebagai rencana pengelolaan di lokasi penelitian yaitu: 1. Di bagian timur dan selatan Kecamatan Cisarua, di bagian utara Kecamatan Megamendung, dan di bagian selatan Kecamatan Ciawi perlu dilakukan rehabilitasi lahan dengan cara: •
Penghijauan/reboisasi (di dalam kawasan hutan) yang dimaksudkan untuk menghutankan kembali lahan yang mengalami kerusakan. Kegiatan ini dilakukan khususnya di area dengan penutupan lahan semak belukar dan ladang. Sesuai dengan penetapan peruntukan kawasan hutan menjadi wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap, dan wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap.
•
Agroforestry (di luar kawasan hutan), yaitu teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian, peternakan atau perikanan. Idealnya, agroforestry dapat mendekati struktur hutan alam sehingga fungsi hutan tidak jauh berkurang.
2. Di bagian selatan Kecamatan Ciawi, bagian barat Kecamatan Megamendung, dan bagian selatan Kecamatan Cisarua merupakan kawasan sempadan sungai, sekitar danau, sekitar mata air, kawasan gerakan tanah tinggi, kawasan resapan air, pertanian lahan kering dan basah, perkebunan (RTRW sampai dengan tahun 2025), maka perlu dilakukan beberapa kegiatan terkait dengan fungsi kawasan ini sebagai kawasan resapan air/konservasi air, seperti: •
Pembuatan dam dan mempertahankan situ yang ada untuk menghambat larinya air permukaan. Dam dibuat pada lahan dengan kemiringan lahan 15-30%.
•
Pembuatan teras gulud, yaitu tumpukkan tanah yang memanjang mengikuti kontur atau memotong lereng dilengkapi dengan saluran di bagian atas guludan. Cara ini berfungsi untuk menghambat aliran permukaan
sedangkan
saluran
berfungsi
untuk
menampung
dan
76
meresapkan air. Pembuatan teras gulud dilakukan pada lahan dengan kemiringan lahan >5% yang telah berubah menjadi ladang. •
Pembuatan parit, yaitu bangunan konservasi tanah berupa lubang panjang untuk menangkap aliran permukaan dan tanah yang tererosi. Pembuatan parit dilakukan pada lahan dengan kemiringan lahan >5%.
•
Pembuatan embung, yaitu bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk menampung air hujan dan air limpasan (run off) atau air rembesan dari lahan tadah hujan sebagai cadangan kebutuhan air pada musim kemarau. Embung sebaiknya dibuat pada tempat yang lebih tinggi dari daerah pemukiman atau di atas daerah yang cekung ke tempat air biasa mengalir.
•
Pembuatan sumur resapan yang memiliki sistem kerja mengubah aliran permukaan (run off) menjadi aliran bawah permukaan (sub surface flow). Sumur resapan ini sebaiknya dibuat pada daerah pemukiman padat dengan curah hujan tinggi.
3. Kecamatan Cisarua dan Megamendung sebagai kecamatan yang mengalami banyak perubahan, maka pendekatan hukum yang dapat diterapkan yaitu: •
Perlu peningkatan penegasan hukum mengenai penetapan kawasan hutan, perubahan status hutan, dan fungsi kawasan hutan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001.
•
Pembatasan secara ketat kegiatan yang akan mengakibatkan perubahan penutupan lahan apabila tidak sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.
•
Kewajiban penanaman di lahan Hak Guna Usaha yang terlantar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, AA. 2009. Pengelolaan DAS. http://staff.blog.ui.ac.id/ tarsoen.waryono/files/2009/12/das_ciliwung_auliaazharabdurahman.pdf [28 Maret 2011] Amri, A. 2001. Sistem Informasi Geografis (SIG). http://www. Bakorsutanal. go. id/signas up paper sig-asmaru.pdf. [20 Mei 2010]. Andri. 2010. Ratusan Rumah di Bogor Rusak diterjang Banjir. http://www. Pikiran-rakyat.com [6 Juli 2011] Anonim. 2004. Gambaran Umum DAS Ciliwung Bagian Hulu. Ciliwung2004. tripod.com/Ciliwung_Hulu.htm [15 Maret 2011] Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah ALiran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Balai Pengelolaan DAS Ciliwung-Citarum. 2003. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Ciliwung. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Barus B. dan US Wiradisatra. 1997. Sistem Informasi Geografi Sarana Manajemen Sumberdaya. Bogor : Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Budiarso W, Sudirman. 2004. Petunjuk Teknis Pengelolaan DAS. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS. Wilayah Indonesia Bagian Barat. Bruzzone L, Serpico SB. 1997. An Alternative for the Detection of Land Cover Transition in Multitemporal Remote Sensing Image. Vol. 35 No. 4 Spt.dibe.unige.it./IPRS/paper/tgrs35-04-1997.pdf [27 September 2011] Cal/Val Portal. 2004. Kalibrasi Instrumen Informasi–ALOS_AVNIR-2. http:// calvalportal. ceos.org/cvp/web/guest/avnir-2-instruments-information. [20 Mei 2010].
78
Civco DL, Hurd JD, Wilson EH, Mingjun Song, Zhenkui Zhang. 2002. A Comparison of Land Use and Land Cover Change Detection Methods. http://www.mendeley.com/research/a-comparison-of-land-use-and-landcover-change-detection-methods/#page-1 [8 Juli 2011] De Chiara, J. and Koppelman Lee, E. 1994. Standar Perencanaan Tapak. Erlangga: Jakarta. Demers, MN. 2005. Fundamentals of Geographyc Information System. New Mexico State University. John Wiley and Sons Inc. Third Edition. Departemen Kehutanan. 2010. Penyusunan Rencana Detail Penanganan Banjir di Wilayah Jabodetabekjur. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial.
Balai
Pengelolaan
Citarum-Ciliwung.
Bogor.
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/konsep-pemerintah/bpdas-citarumciliwung-2/ [28 Juli 2011] European Space Agency. 2000-2010. http://earth.esa.int/object/index.cfm? fobjectid =1656. [20 Mei 2010]. Ilyas, M.A. 1985. Monitoring, Evaluasi Sedimentasi dan Erosi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Dirjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. Janudianto. 2004. Analisis Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Debit Maksimum-Minimum di Sub DAS Ciliwung Hulu. [Skripsi]. IPB. Jaya INS. 2006. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Penginderaan Jarak Jauh. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Jaya, INS. 2010. Analisis Citra Digital, Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Jayadinata, JT. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB.
79
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. Canada: John Wiley and Sons, Inc. Lisnawati, Y dan Wibowo, A. 2007. Penggunaan Citra Landsat ETM+ untuk Monitoring Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Puncak. Bogor. http://library.forda-mof.org/libforda/data_pdf/2198.pdf [28 Juli 2011] Nugroho B. 1990. Pengkajian Perubahan Penggunaan Lahan Daerah Sekitar Puncak dan Akibat yang Ditimbulkan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Syartinilia. 2004. Penerapan Multi Criteria Decision Making (MCDM) dan Geographical Information System (GIS) pada Evaluasi Peruntukan Lahan (Studi Kasus: DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [Tesis]. Departemen Arsitektur Lanskap. Institut Pertanian Bogor. Tim Peneliti BP2TPDAS-IBB.2004. Pedoman Monnitoring Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS. Wilayah Indonesia Bagian Barat. Edisi revisi 2004. Warta Bumi. 2008. Banjir Jakarta. http://skmajabodetabek.blogspot.com/2008/ 02/banjir-jakarta.html. [29 Oktober 2010] Xiaofeng Yang, Xingping Wen. 2011. Post Classification Comparison Change Detection of GuangZhou Metropolis, China. Key Engineering Material Volume 467-469. http://www.scientific.net /KEM.467-469.19. [28 Juli 2011]
80
LAMPIRAN
81
Lampiran 1. Matriks perkalian post classification comparison Nilai Peta tahun 2002 1 3 5 7 9 10 11
11 11 33 55 77 99 110 121
12 12 36 60 84 108 120 132
13 13 39 65 91 117 130 143
Keterangan: Nilai Peta tahun 2002 (Recode) 1 = Hutan 3 = Perkebunan 5 = Semak belukar 7 = Sawah 9 = Ladang 10 = Pemukiman 11 = Badan air
Nilai Peta tahun 2009 (Recode) 11 = Hutan 12 = Perkebunan 13 = Semak belukar 14 = Sawah 15 = Ladang 16 = Pemukiman 17 = Badan air
Nilai Peta tahun 2009 14 14 42 70 98 126 140 154
15 15 45 75 105 135 150 165
16 16 48 80 112 144 160 176
17 17 51 85 119 153 170 187
82
Lampiran 2. Modeler fungsi perkalian post classification comparison
83
Lampiran 3. Laporan hasil akurasi penggunaan dan penutupan lahan tahun 2009 CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT ----------------------------------------ERROR MATRIX -------------
Classified Data --------------unsupervised Hutan Perkebunan Semak Sawah Ladang Pemukiman Air Awan Column Total
Classified Data --------------unsupervised Hutan Perkebunan Semak Sawah Ladang Pemukiman Air Awan Column Total
Classified Data --------------unsupervised Hutan Perkebunan Semak Sawah Ladang Pemukiman Air
Reference Data -------------unsupervis Hutan Perkebunan Semak ---------- ---------- ---------- ---------1 0 0 0 0 70 3 0 0 0 116 0 0 0 0 98 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
70
119
99
Reference Data -------------Sawah Ladang Pemukiman Air ---------- ---------- ---------- ---------0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 71 1 7 0 0 116 2 24 19 0 93 0 0 0 0 62 0 0 0 0 90
117
Reference Data -------------Awan Row Total ---------- ---------0 1 0 73 0 116 0 98 0 79 0 143 0 112 0 62
102
86
84
Awan Column Total
0
0
0
684
----- End of Error Matrix -----
ACCURACY TOTALS ---------------Class Name Accuracy ---------unsupervised Hutan Perkebunan Semak Sawah Ladang Pemukiman Air Awan
Reference Classified Number Totals Totals Correct
Producers Accuracy
Users
---------- ---------- ------1 1 1 70 73 70 119 116 116 99 98 98 90 79 71 117 143 116 102 112 93 86 62 62 0 0 0
----------100.00% 97.48% 98.99% 78.89% 99.15% 91.18% 72.09% ---
------95.89% 100.00% 100.00% 89.87% 81.12% 83.04% 100.00% ---
Totals
684
684
Overall Classification Accuracy =
627
91.67%
----- End of Accuracy Totals ----KAPPA (K^) STATISTICS --------------------Overall Kappa Statistics = 0.9022 Conditional Kappa for each Category. -----------------------------------Class Name ---------unsupervised Hutan Perkebunan Semak Sawah Ladang Pemukiman Air Awan
Kappa ----1.0000 0.9542 1.0000 1.0000 0.8834 0.7722 0.8006 1.0000 0.0000
----- End of Kappa Statistics -----
85
Lampiran 4. Perubahan Penutupan Lahan di Seluruh Lokasi Penelitian (2002 – 2009)
Dari Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan
Menjadi Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan Air Total
Luas (Ha) 566,82 268,74 156,96 176,11 191,43 15,39 1.375,45
Luas (%) 41,21 19,54 11,41 12,80 13,92 1,12 100,00
Dari Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Menjadi Hutan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 456,66 149,94 38,25 89,10 120,78 2,34 857,07
Luas (%) 53,28 17,50 4,46 10,40 14,09 0,27 100
Dari Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar
Menjadi Hutan Perkebunan Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 786,33 228,24 258,48 543,42 226,35 16,20 2.059,02
Luas (%) 38,19 11,08 12,55 26,40 10,99 0,79 100,00
Dari Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 92,88 29,79 147,96 751,32 628,92 77,67 1.728,54
Luas (%) 5,37 1,72 8,56 43,47 36,38 4,50 100,00
86
Dari Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 517,95 209,61 557,64 1382,13 1659,69 162,54 4.489,56
Luas (%) 11,54 4,67 12,42 30,78 36,97 3,62 100,00
Dari Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Badan air Total
Luas (Ha) 47,16 24,75 33,75 293,04 353,61 56,16 808,47
Luas (%) 5,83 3,06 4,17 36,25 43,74 6,95 100,00
Dari Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Total
Luas (Ha) 0,09 0,00 0,27 5,85 8,46 6,93 21,60
Luas (%) 0,42 0,00 1,25 27,08 39,17 32,08 100,00
87
Lampiran 5. Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kecamatan Ciawi (2002 – 2009)
Dari Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan
Menjadi Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan Air Total
Luas (Ha) 44,46 168,30 43,29 125,28 31,23 2,16 414,72
Luas (%) 10,72 40,58 10,44 30,21 7,53 0,52 100,00
Dari Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Menjadi Hutan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 51,84 62,82 12,78 37,53 11,16 0,00 176,13
Luas (%) 29,43 35,67 7,26 21,30 6,34 0,00 100,00
Dari Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar
Menjadi Hutan Perkebunan Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 116,10 4,86 65,79 161,19 56,16 2,79 406,89
Luas (%) 28,53 1,19 16,17 39,62 13,80 0,69 100,00
Dari Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 20,16 0,00 72,18 272,79 160,29 15,84 541,26
Luas (%) 3,72 0,00 13,33 50,39 29,61 2,95 100,00
88
Dari Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 51,84 1,98 157,23 244,44 301,59 31,05 788,13
Luas (%) 6,58 0,25 19,95 31,02 38,27 3,93 100,00
Dari Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Badan air Total
Luas (Ha) 0,36 0,00 11,61 83,25 137,79 14,58 247,59
Luas (%) 0,15 0,00 4,68 33,62 55,65 5,90 100,00
Dari Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang pemukiman Total
Luas (Ha) 0,09 0,00 0,00 0,72 0,72 1,53 3,06
Luas (%) 2,93 0,00 0,00 23,45 23,45 2,93 100,00
89
Lampiran 6. Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kecamatan Megamendung (2002 – 2009)
Dari Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan
Menjadi Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan Air Total
Luas (Ha) 128,16 71,73 103,50 241,20 67,50 12,15 624,24
Luas (%) 20,53 11,49 16,58 38,64 10,81 1,95 100,00
Dari Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Menjadi Hutan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 70,02 49,41 12,78 29,88 21,69 0,18 183,96
Luas (%) 38,06 26,86 6,95 16,24 11,79 0,10 100,00
Dari Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar
Menjadi Hutan Perkebunan Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 326,16 32,85 170,10 347,31 85,59 9,90 971,91
Luas (%) 33,56 3,38 17,50 35,73 8,81 1,02 100,00
Dari Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 8,37 0,09 29,88 293,85 214,29 37,53 584,01
Luas (%) 1,43 0,02 5,12 50,32 36,69 6,42 100,00
90
Dari Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 75,60 12,24 187,47 734,58 558,09 81,00 1.648,98
Luas (%) 4,58 0,74 11,37 44,55 33,84 4,92 100,00
Dari Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Badan air Total
Luas (Ha) 4,05 0,00 5,22 122,76 126,54 24,39 282,96
Luas (%) 1,43 0,00 1,84 43,38 44,72 8,63 100,00
Dari Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Total
Luas (Ha) 0,00 0,00 0,09 3,15 4,86 2,43 10,53
Luas (%) 0,00 0,00 0,85 29,91 46,15 23,09 100,00
91
Lampiran 7. Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kecamatan Cisarua (2002 – 2009)
Dari Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan
Menjadi Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan Air Total
Luas (Ha) 395,19 30,69 10,62 13,32 93,51 1,17 544,50
Luas (%) 72,58 5,64 1,95 2,45 17,17 0,21 100,00
Dari Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Menjadi Hutan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 337,14 40,23 13,50 23,49 88,74 2,16 505,26
Luas (%) 66,73 7,96 2,67 4,65 17,56 0,43 100,00
Dari Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar Semak belukar
Menjadi Hutan Perkebunan Sawah Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 346,59 190,89 24,48 38,61 86,67 3,51 690,75
Luas (%) 50,18 27,64 3,54 5,58 12,55 0,51 100,00
Dari Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Ladang Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 65,97 29,70 47,52 192,24 258,66 24,93 619,02
Luas (%) 10,66 4,79 7,68 31,06 41,78 4,03 100,00
92
Dari Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Pemukiman Badan air Total
Luas (Ha) 394,56 195,66 215,73 412,92 810,00 51,12 2079,99
Luas (%) 18,97 9,41 10,37 19,85 38,94 2,46 100,00
Dari Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Badan air Total
Luas (Ha) 42,93 24,75 17,01 88,11 90,09 17,28 280,17
Luas (%) 15,32 8,83 6,07 31,45 32,16 6,17 100,00
Dari Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air Badan air
Menjadi Hutan Perkebunan Semak belukar Sawah Ladang Pemukiman Total
Luas (Ha) 0,00 0,00 0,18 2,16 2,79 2,97 8,10
Luas (%) 0,00 0,00 2,22 26,67 34,44 36,67 100,00
93
Lampiran 8. Kebijakan pemerintah mengenai kehutanan
GBHN 1993 Kebijakan Umum Pembangunan Kehutanan dalam Pelita VI a. Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan fungsi hutan, dan dengan mengutamakan pelestarian sumberdaya alam dan fungsi lingkungan hidup, memelihara tata air, serta untuk memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja, meningkatkan sumber dan pendapatan negara, devisa serta mengacu pembangunan daerah. b. Pengembangan produksi hasil kayu dan non kayu diselenggarakan melalui upaya peningkatan pengusahaan hutan produksi, hutan rakyat, hutan tanaman industri dan upaya peningkatan produktivitas hutan alam yang didukung oleh penyediaan bibit hutan tanaman hutan yang unggul dan budidaya kehutanan yang tangguh. c. Hutan sebagai salah satu penentu ekosistem, pengelolaannya ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan untuk menjaga dan memelihara fungsi tanah, air, udara, iklim dan lingkungan hidup serta memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi masyarakat. d. Upaya rehabilitasi hutan dan tanah kritis, konservasi tanah, rehabilitasi sungai, rawa, pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora dan fauna langka serta pengembangan fungsi DAS ditingkatkan dan makin disempurnakan. e. Dalam pembangunan kehutanan, keikutsertaan masyarakat di kawasan hutan sekitarnya termasuk masyarakat transmigrasi kehutanan perlu diberi peluang dan ditingkatkan. f. Pengusahaan hasil hutan disesuaikan dengan daya dukung sumberdaya alamnya agar kelestarian sumberdaya hutan terjamin dan perusakan lingkungan dapat dicegah. g. Pembangunan
kehutanan
perlu
didukung
dengan
kegiatan
penyuluhan,
pendidikan dan pelatihan, peraturan perundang-undangan, penyediaan informasi serta penelitian dan pengembangan.