PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT (ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : MUHAMMAD SYAIFUDIN NIM 062311006
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2012
Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. Perum Perdana Merdeka H/2 Ngaliyan Semarang H. Tolkah, M. A. Karonsih Baru Raya No.87 RT 3/XII Ngaliyan Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Muhammad Syaifudin Assalamu‟alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara: Nama
: Muhammad Syaifudin
NIM
: 062311006
Jurusan
: Muamalah
Judul Skripsi
: PENGGUGURAN
SEBAGAI (ANALISIS
HAK
MUALLAF
MUSTAHIQ PEMIKIRAN
ZAKAT UMAR
BIN
KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT) Dengan ini saya mohon kiranya naskah saudara skripsi tersebut dapat segera diujikan. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu‟alaikum Wr. Wb. Semarang, 13 Juni 2012 Pembimbing I ,
Pembimbing II,
Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. NIP. 19700410 199503 1 001
H. Tolkah, M. A. NIP. 19690507 199603 1 005
ii
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Prof. Hamka Km. 02 Semarang Telp/Fax. (024)7601291 PENGESAHAN Skripsi saudara
: Muhammad Syaifudin
NIM
: 062311006
Judul
: PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI
MUSTAHIQ ZAKAT (ANALISIS PEMIKIRAN UMAR
BIN
KHATTAB
TENTANG
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT) telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/baik/cukup, pada tanggal: 27 Juni 2012 dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 tahun akademik 2011/2012 Semarang, 27 Juni 2012 Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
H. Muhammad Saifullah, M.Ag. NIP. 19700321 199603 1 003
H. Tolkah, M. A. NIP. 19690507 199603 1 005
Penguji I
Penguji II
Dr. H. Musahadi, M.Ag. NIP. 19690709 199403 1 003
Afif Noor, S.Ag, S.H, M.Hum. NIP. 19760615 200501 1 005
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. NIP. 19700410 199503 1 001
H. Tolkah, M. A. NIP. 19690507 199603 1 005 iii
MOTTO
“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29)
iv
PERSEMBAHAN Dengan setulus hati dan penuh kasih, ku persembahkan karya tulis skripsi ini untuk;
Bapak dan ibu tercinta (Bapak Kamalin dan Ibu Muaenah), kakak dan adik yang ku sayangi (Mas Zaenal Arifin dan Imam Munajat) serta seluruh keluarga besar yang ku banggakan.
Ummi Khadijah yang sangat ku sayangi
Ustadz Ahmad Mifdhol Muthohar beserta keluarga
Seluruh Asatidz di PONPES Al-Hikmah Karanggede
Seluruh santri PONPES Al-Hikmah Karanggede
Untuk semua orang yang memberi warna dalam perjalanan hidupku
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2012
Deklarator,
Muhammad Syaifudin 062311006
vi
ABSTRAK Menurut syariat Islam, mustahiq zakat berjumlah delapan (al-asnaf atstsamaniyah), dan salah satunya adalah kelompok muallaf. Pada masa kenabian, zakat difungsikan sebagai media dakwah untuk menarik simpati orang-orang kafir terhadap Islam, demikianlah pemberian zakat kepada orang-orang muallaf tetap berlanjut hingga Rasulullah wafat. Dan pada masa Khulafaurrasyidin, keempat khalifah tidak lagi memberikan bagian muallaf kepada yang berhak, berpijak pada Umar bin Khattab yang dengan tegas menolak memberikan bagian zakat kepada para muallaf di masa pemerintahan Abu Bakar, dan di masa pemerintahannya. Padahal sejak masa Nabi mereka terus menerus menerima zakat. Di sinilah Umar mengeluarkan satu statemen hukum, bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan bagian zakat, yang tidak ada satu pun dari sahabat yang menentangnya. Sehingga pendapat Umar bin Khattab tersebut menjadi ketetapan (ijma‟) para sahabat dan dianggap menasakh bagian muallaf. Berpijak dari uraian tersebut, ada dua permasalahan yang dirumuskan, pertama, Apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq zakat? Kedua, Bagaimana fuqaha kontemporer mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh? Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Yang menelaah kisah Umar bin Khattab dari berbagai referensi buku. Dalam penelitian ini, penulis tidak membedakan jenis data primer maupun sekunder, karena Umar bin Khattab tidak meninggalkan karya yang bisa dikategorikan sebagai sumber data primer (primary source). Namun data-data penulis kumpulkan dari berbagai sumber yang relevan dengan pembahasan tema ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu dengan memaparkan kembali data yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya menganalisa data tersebut secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada. Disamping juga menggunakan metode Ushuliyah guna memahami hakikat pemikiran Khalifah Umar bin Khattab dalam hal pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Karena Umar hidup pada beberapa abad lalu, maka digunakan pendekatan sejarah untuk merekontruksi apa yang terjadi pada masa dahulu agar bisa dicerna pada saat ini. Hasil dari penelitian ini adalah, pertama, Umar bin Khattab menggugurkan hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” sebagai penerima zakat adalah karena adanya suatu „illat (alasan-alasan dibalik solusi-solusi dan keputusan tersebut) yaitu keadaan “lemah agama” dan keadaan umat Islam pada permulaan sejarahnya yang masih minoritas sehingga diberikannya bagian harta zakat kepada kelompok “al-muallafah qulubuhum” adalah disamping mereka diharap berubah dan masuk Islam, juga untuk menolak kemungkinan datangnya kejahatan dari mereka. Namun pada masa khalifah Abu bakar, keadaan umat Islam telah cukup kuat dan tidak diperlukan lagi untuk melunakkan musuh-musuh Islam, maka pemberian zakat kepada golongan muallaf (dari golongan orang kafir) dihentikan Umar bin Khattab, karena „illat hukumnya sudah tidak ada lagi.
vii
Kedua, dalam khazanah ilmu fiqh, fuqaha kontemporer berbeda pendapat mengenai status asnaf “al-muallafah qulubuhum”, akan tetapi pada umumnya mereka tidak menyalahi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Mereka mendudukkan pemikiran Umar tersebut sebagai dasar ijtihad dengan ketentuan jika jiwa yang melatar belakangi („illat hukum) itu masih terlihat, maka ketentuan hukum berlaku, sedangkan jika jiwa yang melatar belakangi itu tidak terlihat atau tidak sesuai dalam penerapannya pada suatu saat dan keadaan tertentu, maka ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tersebut tidak perlu lagi untuk dilaksanakan.
viii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena hanya berkat rahmat, Taufiq, Hidayah, dan Inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat dan Salam penulis haturkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW., yang memberikan uswatun hasanah kepada umatnya bagaimana berperilaku sehari-hari, baik kepada Allah SWT, maupun kepada sesama manusia. Penulis tidak dapat mengelak bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran serta orang-orang di sekitar penulis. Oleh karena itu penulis haturkan terima kasih kepada; 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo. 2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah, dan juga dosen pembimbing I yang sudi meluangkan waktu untuk mengoreksi dan memberi arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Moh. Arifin, M.Hum, dan Bapak Afif Noor, S.Ag, S.H, M.Hum., sebagai kajur dan sekjur Muamalah yang senantiasa memberi nasehat. 4. Bapak H. Tolkah,
M.A., sebagai dosen pembimbing II,
yang
menyempatkan waktunya untuk menelaah dari bab perbab pembuatan skripsi ini. 5. Segenap dosen yang telah mendidik dengan tulus, terima kasih atas ilmu yang ditularkan, dan para pegawai di Fakultas Syari‟ah yang telah memberi pelayanan administratif kepada mahasiswa. 6. Bapak H. Ahmad Mifdhol Muthohar, Lc, MSI., selaku Direktur PONPES Al Hikmah, yang selalu membimbing dan memotivasi penulis. 7. Teman-teman kelas MUA dan MUB angkatan 2006, Hasan, Munip, Bety, Yeni, Helin, Yusmanto, Nazil, Aan, Aniq, dll. Semoga karya tak seberapa ini bermanfaat. Sukses selalu untuk kita semua. Semarang, 12 Juni 2012
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii HALAMAN MOTTO ..................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ........................................................................... 8 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8 D. Telaah Pustaka ................................................................................... 9 E. Metode Penelitian .............................................................................. 12 F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 14
BAB II BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB A. Umar bin Khattab sebelum dan ketika masuk Islam ......................... 16 B. Keutamaan Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi dan Khalifah ... 26 C. Metode Ijtihad Umar bin Khattab dan Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihadnya .............................................................................. 34
BAB III PEMIKIRAN
UMAR
BIN
KHATTAB
TENTANG
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT A. Pengertian dan Klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum ...... 45
x
B. Pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat ...................................................................... 52 C. Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab menggugurkan hak muallaf sebagai mustahiq zakat ......................... 61
BAB IV ANALISIS
PEMIKIRAN
UMAR
BIN
KHATTAB
TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT A. Analisis
terhadap
pemikiran
Umar
bin
Khattab
tentang
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat ............................ 65 B. Posisi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat dalam Pandangan Ulama‟ ............... 78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 89 B. Saran .................................................................................................. 90 C. Penutup .............................................................................................. 91
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima. Demikian pentingnya ibadah ini, ia menduduki posisi ketiga sesudah shalat. Kata zakat dalam berbagai bentuk dan konteksnya disebut dalam al-Qur‟an sebanyak enam puluh kali, dua puluh enam kali diantaranya Allah menyebutkan soal zakat selalu berdampingan penyebutannya dengan shalat dalam Al-Qur‟an.1 Ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai arti yang sangat penting dan memiliki hubungan yang erat. Shalat merupakan ibadah jasmaniyah yang paling utama, sedang zakat dipandang sebagai ibadah harta yang paling mulia.2 Zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang bersifat kemanusiaan saja dan bukan pula sekedar ibadah yang dilakukan secara pribadi, tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka yang berwenang untuk mengurus zakat, terutama permasalahan sasaran zakat.3 Pada satu sisi, memang tidak diragukan lagi, bahwa zakat itu suatu rukun dari rukun-rukun agama, suatu fardhu dari fardhu-fardhu agama yang wajib diselenggarakan.4
1
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 hal. 262 2 Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung : PT. Al Ma‟arif, cet.7, 1984, hal. 186 3 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.563 4 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1996, hal. 12
1
2
Zakat merupakan ibadah dan kewajiban sosial bagi para aghniya‟ (hartawan) setelah kekayaannya memenuhi batas minimal (nishab) dan rentang waktu setahun (haul). Tujuannya adalah untuk mewujudkan pemerataan keadilan dalam ekonomi. Sebagai salah satu aset – lembaga – ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial strategis bagi upaya membangun kesejahteraan ummat. Karena itu al-Qur‟an memberi rambu agar zakat yang dihimpun disalurkan kepada mustahiq (orang-orang yang benar-benar berhak menerima zakat).5 Dengan zakat, seseorang mampu berada
di
tengah-tengah
masyarakat
muslim
dan
menciptakan
persaudaraan.6 Allah SWT adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya pada hakikatnya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dijalankan sesuai dengan kehendak Allah SWT.7 Manusia sebagai pengemban amanat berkewajiban memenuhi ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya. Dan zakat merupakan salah satu ketetapan Allah yang berhubungan dengan harta, harta benda dijadikan Tuhan sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka zakat harus diarahkan guna kepentingan bersama.8
5
Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 259 Yusuf Qardawi, loc.cit, hal. 7 7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 2000, hal. 323 8 ibid 6
3
Menurut syariat Islam, golongan-golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) berjumlah delapan atau yang biasa dikenal dengan istilah delapan asnaf, salah satunya adalah kelompok muallaf. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat at-Taubah ayat 60 :
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana 9 Pada masa kenabian, zakat difungsikan sebagai media dakwah untuk menarik simpati orang-orang kafir terhadap Islam, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika memberikan zakat seratus unta kepada Safwan bin Umayyah sebelum ia masuk Islam. Imam Muslim telah meriwayatkan :
“Ibnu Syihab berkata, diriwayatkan Said bin Musayyib, bahwa Safwan bin Umayyah berkata : Demi Allah, Rasulullah telah memberiku (bagian zakat) padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Dan beliau terus 9
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia Arkanleema, 2009, hal. 196
4
memberiku (bagian zakat) sehingga beliau termasuk orang yang paling aku cintai”.10 Pemberian itu diberikan sebagai pelunak hati mereka, agar tidak terfikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang telah mengalahkan mereka dan untuk menarik simpati mereka untuk mau mengikuti dakwah baru ini (Islam). Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang.11 Pada waktu setelah kemenangan pasukan Islam di Hawazin, pada tahun 8 Hijriyah, Nabi memberikan kepada pemimpin-pemimpin kabilah sejumlah harta yang sangat banyak. Beliau memberikan 100 ekor unta masing-masing kepada Abu Sufyan bin Harb, putranya Muawiyah, Hakim bin Hizam, Al-Harits bin Kildah, Al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, Huwaithab bin Abdul Uzza, Al-Ala‟ bin Jariyah Ats-Tsaqafi, Uyainah bin Hisn, Al-Aqra‟ bin Habis At-Tamimi, Malik bin Auf An-Nashri dan Shafwan bin Umayyah. Rasulullah juga memberikan 90-an ekor unta kepada masing-masing pemuka Quraisy, yang diantaranya adalah; Makhramah bin Naufal Az-Zuhri, Umair bin Wahb Al-Jamhi, Hisyam bin Amr, Sa‟id bin Yarbu‟, Addi bin Qais12 dan yang lainnya. Rasulullah memberikan zakat kepada mereka itu dan juga yang lainnya, dan tidak memberikan bagian ini kepada banyak kaum muslimin yang benar-benar kuat dan tulus keimanannya. Meskipun jerih payah dan
10
Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-Arabi, hal. 1806 11 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005, hal. 178. 12 Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid III, Dar al-Fikr, hal. 331
5
kesibukan mereka berjihad dan berdakwah tentunya sangat layak untuk menerima bagian tersebut.13 Di dalam hukum Islam, para ulama‟ memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang muallaf. Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah dan Hanafiyah, muallaf adalah mereka yang baru masuk Islam, sehingga orangorang musyrik atau non-muslim tidak berhak mendapatkan bagian zakat dari golongan muallaf meskipun keislaman mereka dikehendaki.14 Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah memasukkan orang-orang yang baru masuk Islam dan orang-orang kafir ke dalam kategori muallaf.15 Imam Malik dan sebagian pengikutnya serta mayoritas ulama Hanafiyah menetapkan bahwa bagian muallaf secara mutlak sudah gugur karena Islam setelah wafatnya Nabi sudah menemukan momentum kejayaannya dan banyaknya jumlah kaum muslim, sehingga jumlah mustahiq zakat tidak lagi delapan golongan tetapi hanya tujuh golongan. Dalil yang dijadikan argumen oleh kelompok ini adalah bahwa pada masa Khulafaurrasyidin, keempat khalifah tidak lagi memberikan bagian muallaf kepada yang berhak, berpijak pada perkataan Umar bin Khattab : 16
13
Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 180. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hal. 1954. Meskipun Imam Syafi‟i mengklasifikasikan golongan muallaf kepada empat macam, namun keempat macam tersebut seluruhnya adalah mereka yang sudah masuk Islam. Lihat Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, vol. 1, cet. III, Beirut : Dar Ihya alTurats al-„Arabi, hal. 625. 15 Wahbah al-Zuhayli, Op.Cit., hal. 1954. 16 Ibid, hal. 1955. 14
6
“Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk) Islam, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, dari Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah ia berkata : bahwa suatu saat, „Uyainah bin Hishn dan al-Aqra‟ bin Habis datang kepada Khalifah Abu Bakar untuk meminta bagian zakat mereka dari golongan muallaf berupa tanah sebagaiman yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau masih hidup. Keduanya berkata, “sesungguhnya ditempat kami ada tanah-tanah kosong, yang yang tidak berumput dan tidak berfungsi, bagaimana jika tanah itu anda berikan kepada kami?” Maka Abu Bakar membuat surat (catatan) untuk mereka untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab, ketika itu Umar tidak ada disitu, namun ketika mereka menyerahkan surat tersebut kepada Umar, ia menolak memberikan zakat kepada mereka dan langsung menyobek surat itu kemudian berkata, “dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai muallaf, ketika Islam saat itu masih kecil dan pemeluknya masih sedikit. Sedangkan sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan jaya, maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja.”17 Selanjutnya Umar bin Khattab mengutip al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat : 29 yang berbunyi :18
17
Ibnu Katsir, Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin, Juz I, Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238. 18 Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab adalah : Lihat Wahbah al-Zuhayli,
Op.Cit.,hal. 1954.
7
“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Mendengar kata-kata Umar bin Khattab seperti ini, mereka langsung datang kepada Abu Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya menjadi khalifah, kamu atau Umar? Kami menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh Umar”. Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.19 Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ketika Umar bin Khattab mengatakan demikian, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya. Bahkan Abu Bakar as-Siddiq sendiri sepakat dengan pendapatnya. Sehingga maqalah Umar bin Khattab menjadi ketetapan (ijma‟) para sahabat dan dianggap menasakh bagian muallaf.20 Di sini Umar bin Khattab mengeluarkan satu statemen hukum, bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan bagian zakat, yang tidak ada satu pun dari sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui pendapat dan apa yang dilakukan oleh Umar. Adakah dalam hal ini Umar bin Khattab menyalahi hukum yang telah ditetapkan al-Qur‟an? Apakah pemikiran Umar tersebut bisa dijadikan dasar hukum untuk tidak memberikan hak muallaf sebagai mustahiq zakat?
19
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1992, hal. 330. lihat juga Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda. 20 Sayyid Sabiq, Ibid,. Bandingkan dengan Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.563.
8
Keunikan pendapat Umar bin Khattab inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk meneliti lebih dalam pada sebuah penelitian dengan judul; Pengguguran Hak Muallaf Sebagai Mustahiq Zakat (Analisis Pemikiran Umar bin Khattab Tentang Pengguguran Hak Muallaf Sebagai Mustahiq Zakat).
B.
Perumusan Masalah Berpijak pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang menurut penulis menarik untuk diangkat dalam skripsi ini adalah : 1. Apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq zakat? 2. Bagaimana ulama khalaf (kontemporer) mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh?
C.
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, adapun tujuannya antara lain :
1. Untuk mengetahui apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq zakat. 2. Untuk
mengetahui
bagaimana
ulama
khalaf
(kontemporer)
mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh.
9
D.
Telaah Pustaka Telaah Pustaka memuat uraian sistematis tentang penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (previous finding) yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Fungsi
dari
adanya
telaah
pustaka
adalah
sebagai
bahan
perbandingan, apakah masalah yang akan kita bahas sudah ada yang membahas atau belum, dan sebagai bahan masukan untuk permasalahan yang akan kita kaji. Oleh karena itu, penulis dalam menulis skripsi ini tidak lepas dari pada penelaahan terhadap buku-buku maupun karya yang lain yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan penulis kaji. Oleh karena itu, penulis akan menelaah beberapa karya ilmiah. Diantaranya : 1. Skripsi tentang Penundaan Penarikan Zakat Binatang Ternak (Analisis Pendapat Khalifah Umar Bin Khattab Tentang Penundaan Penarikan Zakat Binatang Ternak Kambing Yang Telah Mencapai Nishab) Oleh Ahmad Munif, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Tahun 2010. Hasil penelitian ini adalah, Penundaan penarikan zakat binatang ternak yang telah mencapai nishab hanya diberlakukan kepada binatang ternak yang terkena imbas dari tahun ramadah (musim paceklik). Kebijakan Umar memberikan zakat kepada orang yang memiliki kambing sejumlah nishab dilandasi oleh kondisi orang tersebut juga mengalami kesukaran. Umar akan menangguhkan penarikan zakat kepada pembayar meski hartanya telah mencapai nishab bila ia mengalami kesulitan dan kesusahan.
10
2. Skripsi tentang Analisis pemikiran M. Rasyid Rida tentang ibnu sabil oleh Endang Fitriah Ludfi, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun 2006. Menjelaskan bahwa Rasyid Rida berpendapat anak terlantar atau buangan termasuk dalam golongan ibnu sabil, karena dia melihat bahwa setiap orang yang diketahui terlantar di jalanan merupakan orang yang berhak menerima zakat, sehingga meluaslah penafsirannya, terutama mengenai ibnu sabil, karena selama ini perhatian masyarakat terhadap mustahiq zakat lebih tersita pada fakir dan miskin saja sedangkan asnafasnaf yang lain kurang mendapat perhatian. Sedangkan untuk saat ini banyak sekali anak-anak terlantar di jalanan. 3. Pemikiran Yusuf Al Qardawi terhadap Gharim sebagai mustahiq zakat oleh Ismawati, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun 2006. Hipotesis penelitian menunjukkan bahwa: dalam permasalahan gharim sebagai mustahiq zakat Yusuf Al Qardawi sepakat dengan imam lainnya yang membagi gharim dalam dua bagian yaitu : Pertama orang yang berutang untuk diri sendiri dan Kedua, orang yang berutang untuk kemaslahatan orang lain. Dalam hal ini Qardawi lebih memprioritaskan terhadap gharim yang hutangnya digunakan untuk kepentingan orang lain karena mereka memiliki sifat kepedulian tinggi terhadap sesama unat Islam. 4. Pendapat Ibnu Hazm tentang ibnu sabil sebagai mustahiq zakat oleh Ridloumami,
Fakultas
Syariah
IAIN
Walisongo
tahun
2006.
Menjelaskan bahwa penafsiran Ibnu Hazm tentang ibnu sabil yaitu orang yang keluar tidak dalam kemaksiatan, yang dimaksud adalah
11
orang yang keluar (bepergian) untuk kebaikan atau kemaslahatan dalam rangka untuk menyebarkan agama islam dapat dikategorikan sebagai ibnu sabil. 5. Redefinisi terhadap ar-riqab sebagai mustahiq zakat relevansinya dengan masa sekarang oleh Siti Hariya, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun 2005. Kata ar-riqab adalah bentuk jamak dari kata raqabah yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Sementara ulama terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya. Karena itu riqab untuk masa sekarang diperluas artinya yaitu manusia yang tertindas secara politik, ekonomi maupun budaya. Dari penelusuran di atas, penelitian tentang mustahiq zakat lebih fokus membahas tentang ibnu sabil, riqab dan gharim. Penulis belum menemukan penelitian yang secara spesifik mengulas tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Adapun penelitian tentang Umar Ibn Khattab yang ada membahas tentang Analisis Pendapat Khalifah Umar Bin Khattab Tentang Penundaan Penarikan Zakat Binatang Ternak Kambing Yang Telah Mencapai Nishab. Sehingga menurut penulis, penelitian ini akan menambah khazanah baru tentang pemikiran Umar bin Khattab khususnya tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Dan
12
bagaimana ulama khalaf (kontemporer) memposisikan pemikiran Umar tersebut dalam khazanah ilmu fiqih. Sedangkan literatur yang membahas tentang Umar bin Khattab pada umumnya cukup banyak antara lain; Buku tentang Ijtihad „Umar ibn AlKhattab Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, karya Dr. Amiur Nuruddin dan Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, karya Dr. Muhammad Baltaji. Keduanya secara umum membahas tentang ijtihad dan metodologi ijtihad Umar bin Khattab.
E.
Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research). Sehingga penelitian ini berupaya melakukan penelaahan terhadap literatur yang tekait dengan tema yang penulis angkat, yakni pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat menurut Khalifah Umar bin Khattab. 2. Sumber data Dalam penelitian secara umum, sumber data dibedakan atas sumber data primer dan sumber data skunder. a. Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber data yang ditulis oleh orang pertama/pelaku sejarah itu sendiri.21 Sepengetahuan penulis, dalam penelitian pendahuluan, Khalifah Umar bin Khattab tidak 21
Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : PustakaPelajar, 1998, hal.91
13
meninggalkan karya yang bisa dikategorikan sebagai sumber primer. Namun demikian penulis dapat memperoleh data primer dari Ibnu Katsir, dalam kitab Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data penunjang dalam penelitian ini, yaitu sumber yang dapat memberikan informasi atau data tambahan yang dapat memperkuat data pokok baik yang berupa manusia atau benda (majalah, buku, koran, internet, dll).22 Sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini di antaranya, Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ath-Thabari, kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid, Tarikh Khulafa‟ karya As-Suyuthi, Methodologi Ijtihad Umar bin Khattab karya DR. Muhammad Baltaji, Hukum Zakat (terjemahan), al-Fiqh Ala Madhahib alArba‟ah, Fiqih Sunnah dan dalam penelitian ini penulis juga mengumpulkan data dari berbagai sumber yang memberikan informasi tentang pemikiran Umar bin Khattab mengenai pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. 3. Teknik pengumpulan data Karena
penelitian
ini
tergolong
dalam
jenis
penelitian
kepustakaan, maka untuk mendapatkan data peneliti melakukan pencarian
dan
pengumpulan
melalui
studi
kepustakaan
untuk
mendapatkan buku maupun literatur yang relevan dengan pokok bahasan. 22
hal. 85
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
14
4. Analisis data a. Metode analisis Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu dengan memaparkan kembali data yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya menganalisa data tersebut secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada.23 Penulis juga akan menggunakan metode Usuliyah.24 Metode ini digunakan untuk memahami hakikat pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Karena pendapat Umar dalam persoalan ini berbeda dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Umar menyimpang dari makna. b. Pendekatan Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sejarah (history). Metode ini digunakan agar sebisa mungkin penulis memasuki keadaan sebenarnya berkenaan dengan pemaparan suatu peristiwa, yaitu kondisi dimana Umar mengeluarkan statemen hukum tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. F.
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam memahami tulisan ini, maka penulis akan membagi ke dalam lima bab yaitu:
23 24
Saifudin Azwar, Op.Cit., hal. 7 Metode usuliyah yang dimaksudkan di sini adalah metode ushul fiqh.
15
Bab Pertama Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sisitematika penulisan. Bab Kedua, Biografi Umar bin Khattab. Meliputi: Umar bin Khattab sebelum dan ketika masuk Islam, Keutamaan Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi dan Khalifah, dan Metode Ijtihad Umar bin Khattab dan Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihadnya Bab Ketiga, membahas tentang pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat Meliputi: Pengertian dan Klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum, pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab menggugurkan hak muallaf sebagai mustahiq zakat Bab Keempat, membahas tentang analisis pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat Meliputi: Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, dan Posisi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat dalam Pandangan Ulama‟ Bab Kelima, penutup merupakan bab terakhir yang meliputi, kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
BAB II BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB
A.
Umar bin Khattab sebelum dan ketika masuk islam 1.
Umar bin Khattab sebelum masuk Islam Beliau adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka'ab bin Lu'ai, Abu Hafs al-'Adawi. Julukan beliau adalah al-Faruq. Ada yang menyebutkan bahwa gelar itu berasal dari Ahli Kitab.1 Sebelum Islam suku Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi.2 Adi ini adalah saudara Murrah, kakek Nabi yang kedelapan. Ibunya Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum.3 Umar lahir pada tahun ketiga belas setelah peristiwa Tahun Gajah. Dia termasuk orang yang paling mulia dikalangan suku Quraisy. Masalah-masalah yang menyangkut diplomasi pada zaman jahiliyah diserahkan kepada Umar. Jika diantara kabilah terjadi peperangan, maka Umar akan diutus sebagai penengah.4 Pada masa kanak-kanak ia menggembalakan gembala bapaknya di padang rumput sekitar Makkah. Sejak kecil ia belajar membaca dan menulis, pada saat itu orang yang telah bisa membaca dan menulis tidak
1
Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, (terj. Al Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa‟ur Rasyidin), Jakarta: Dar al-Haq, hal. 168 2 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna, 1998, hal. 236. 3 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab. Bogor : Litera AntarNusa. 2011. hal. 7 4 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 121
16
17
lebih dari 17 orang di kalangan orang Quraisy. Setelah menginjak dewasa, Umar mulai senang membahas suatu masalah, pada awal masa mudanya ia berdagang menjelajahi penjuru jazirah Arab. Umar pandai memanfaatkan kesempatan. Ia pergi ke Irak dan Syam bukan sematamata untuk berdagang, akan tetapi juga untuk berkenalan dengan tokohtokoh kabilah negeri-negeri itu. Bagi kabilahnya Umar adalah seorang kurir yang istimewa dalam menghubungkan Quraisy dengan kabilahkabilah lain. Ia seorang yang vokal berbicara, fasih lidahnya dan pandai menjelaskan sesuatu. Ia juga menghayati syair, menghafalnya bahkan juga membacakannya kepada orang lain.5 Tentang wataknya yang kasar dan selalu bermuka masam serta hidupnya yang serba keras, merupakan sebagian dari wataknya yang sejak masa mudanya, dan kemudian tetap begitu dalam perjalanan hidup selanjutnya. Sesudah menjadi khalifah, maka dalam do’a pertamanya ia berkata: "Allahumma ya Allah, aku sungguh tegar, maka lunakkanlah hatiku. Ya Allah, aku ini lemah, berilah aku kekuatan. Ya Allah aku sungguh kikir jadikanlah aku orang pemurah.” Sejak mudanya ia sudah mewarisi sikap keras dan kasar itu dari ayahnya, kemudian didukung pula oleh tubuhnya yang tetap kekar dan kuat. 6 Umar bin Khattab walaupun mempunyai watak yang keras, namun dengan kekerasannya itu tidaklah berarti ia seorang yang tamak dan rakus. Ia juga orang yang tak mau sewenang-wenang dengan 5 6
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hal. 10-12 Ibid., hal.13
18
kekuasaan yang dimilikinya. Ia adalah seorang yang kuat jiwanya. 7 Ia adalah seorang yang adil, pandai dan penyayang terhadap sesama. Sifatsifat ini merupakan satu kesatuan dalam dirinya. Ia adalah seorang pribadi yang besar.8 Umar memiliki watak keprajuritan, ia seorang pemberani, tangkas, patuh kepada peraturan dan tekun dalam tanggung jawab.9 Sifat keras10 ini menjadi ciri khas Umar pada masa jahiliyah dan juga menjadi bagian kisah indahnya dalam Islam. Sebab beliau menggunakan sifat ini dalam melayani agama dan menegakkan perintah Allah SWT.11 Nabi Muhammad saw. pernah bersabda;
7
Abbas Mahmud al-Aqqad, Abqari‟ah Umar. Dar al-Hilal. hal. 10. Ibid., hal. 53-54 9 Ibid., hal. 60 10 Yaitu lawan dari lemah lembut. Maksudnya, keras dalam menyelesaikan berbagai masalah dan menghadapinya dengan tegar dan penuh keteguhan. 11 Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2006. hal.19 8
19
Muhammad bin Basysyar, Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Tsaqafi, Kholid al-Hadzdza‟ dari Abi Qilabah dari Anas bin Malik berkata: Rasulullaah saw. Bersabda: Umatku yang paling sayang kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam perkara (agama) Allah adalah Umar, yang paling benar dalam malu adalah Utsman,yang paling bagus bacaan al-Qur‟an adalah Ubay bin Ka‟ab, yang paling menguasai faraid adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling mengetahui halal dan haram adalah Muadz bin Jabal. Dan ketahuilah, bahwa dalam setiap umat terdapat orang yang amanat, dan orang amanat dalam umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”12 Dalam hubungannya dengan Nabi Muhammad, sebelum masuk Islam Umar adalah seorang pemuda dan pemuka yang sangat membenci Nabi Muhammad dan orang-orang yang menjadi pengikutnya. Kembali dengan terus terang di hadapan sahabat-sahabatnya. Katanya: “Apakah anda ingin mengetahui tentang awal keislamanku? sangat keras. Aku dulunya adalah salah seorang yang memusuhi Rasulullah SAW. Dengan mengutip riwayat dari Ibn Hisyam, Husain Haekal menulis, bahwa pada sutu hari Abu Bakar melihat Umar menyiksa dan memukul seorang budak perempuan supaya meninggalkan Islam. Demikian rupa ia menghajar hingga ia merasa bosan sendiri karena sudah terlalu banyak ia memukul. Saat itulah kemudian budak itu ditinggalkan oleh Umar sambil berkata: Aku memaafkan kau! Kutinggalkan kau hanya karena sudah bosan. Hamba sahaya itu menjawab: Itulah yang
12
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz V, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, hlm 623
20
dilakukan Allah kepadamu. Kemudian hamba sahaya itu dibeli oleh Abu Bakar lalu dibebaskan.13 2.
Umar bin Khattab Masuk Islam Umar masuk Islam pada tahun keenam kenabian. Saat itu ia berusia 27 tahun, tatkala itu jumlah sahabat yang memeluk Islam berjumlah sekitar empat puluh orang laki-laki dan sebelas wanita. Atau, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, yaitu tiga puluh orang lakilaki dan dua puluh tiga wanita. Sebagaimana juga disebutkan dalam sebuah riwayat jumlahnya adalah empat puluh lima orang laki-laki dan sebelas perempuan. Tatkala dia menyatakan keislamannya, Islam semakin kokoh di kota Makkah dan kaum muslimin bersuka cita dengan keislamannya.14 Riwayat tentang Islamnya Umar bin Khattab mempunyai beberapa versi, ada yang sifatnya diceritakan oleh Umar sendiri dan ada pula yang diceritakan oleh orang lain. Diantaranya riwayat tentang Islamnya Umar yang diceritakan oleh orang lain adalah riwayat Ibnu Ishak, riwayat ini dapat dilihat di dalam kitab “Abqariah Umar” karangan Abbas Mahmud Al-Aqqad. Di sana diceritakan dimana pada suatu hari, Umar keluar dari rumahnya dengan pedang terhunus, hendak membunuh Rasulullah dan pengikutpengikutnya, pada waktu itu Nabi sedang berkumpul di sebuah rumah di dekat bukit Shafa beserta kurang lebih 40 orang sahabat pria dan
13 14
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit, Hal. 17 Imam As-Suyuthi, Op.Cit., hal. 121
21
wanita, diantaranya paman Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu Bakar bin Abi Kuhafah ash-Shidiq dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian Umar bertemu dengan Mu’ain bin Abdullah. Mu’ain menegur, “hendak kemana Umar?” Umar menjawab, “saya mau menemui Muhammad yang telah memecah belah kaum Quraisy, membodohkan pemimpinpemimpinnya, menodai agamanya dan menghina Tuhan-Tuhannya, saya akan membunuhnya”. Mu’ain menyahut, “Sungguh engkau menjerumuskan dirimu sendiri jika engkau berbuat demikian. Apakah Bani Manaf itu akan membiarkan engkau berjalan di atas bumi setelah engkau membunuh Muhammad? Tidakkah engkau lebih baik kembali dan mengurusi keluargamu sendiri?” lalu Umar bertanya, “keluarga mana maksudmu?” jawab Mu’ain, “iparmu dan sepupumu Zaid bin Amru dan saudara perempuanmu sendiri Fatimah binti Khattab, sungguh mereka telah menjadi pengikut Muhammad dan agamanya. Engkau bertanggung jawab atas mereka itu”. Umarpun kembali menuju saudara dan iparnya. Hubbab juga kebetulan sedang berada bersama mereka berdua, ketika terdengar Umar datang Fatimah binti Khattab mengambil lembaran ayat al-Qur’an dan meletakkannya di bawah pipinya, ketika mengetuk pintu Umar telah mendengar bacaan Hubbab di depan kedua saudaranya. Setelah Umar masuk, ia pun segera berkata, “Bunyi apa yang aku dengar tadi?” kedua saudaranya menjawab, “Engkau tidak mendengar sesuatupun.” Umar berkata, “Sungguh aku mendengar sesuatu, aku diberi kabar bahwa kalian berdua telah menjadi
22
pengikut Muhammad dan agamanya. “Lalu Umar menampar iparnya, Ibnu Zaid bin Maru. Fatimah seketika berdiri menahan Umar, tetapi bahkan Umar memukulnya sekali, ketika itulah Fatimah berkata, “Ya, benar kami telah masuk Islam, kami telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka berbuatlah sekehendakmu, “Ketika Umar melihat saudara perempuannya itu berdarah, ia pun menyesal atas perbuatannya itu, lalu berkata “Berikanlah kepadaku lembaran-lembaran yang aku dengar dan engkau baca tadi. Aku mau melihat apa yang dibawa Muhammad,” kemudian Umar membaca surat Toha dalam lembaranlembaran itu dan segera berkata, “Alangkah bagus dan mulianya kalimat-kalimat ini”. Mendengar ucapan Umar itu Hubbab lalu keluar dan berkata, “wahai Umar, sungguh aku mengharap bahwa Tuhan telah mengkhususkan engkau dengan dakwah Nabinya. Aku mendengar Nabi kemarin berdo’a, “Ya Allah, kuatkanlah Islam ini dengan Abal Hakam bin Hisyam atau Umar.” Dan Allah memilihmu wahai Umar,” Umar lalu berkata “wahai Hubbab, tunjukkanlah dimana Muhammad berada, aku akan mendatanginya dan aku akan masuk Islam.” Hubbab memberitahukannya bahwa Nabi Muhammad berada di sebuah rumah dekat bukit Shafa beserta beberapa sahabatnya, kemudian Umar menuju ke tempat Rasul, lalu mengetuk pintu. Seorang laki-laki berdiri dan mengintai dari lubang pintu dan dilihatnya Umar dengan pedang terhunus. Laki-laki itu kembali dan memberitahukan kepada Rasul. “Ia adalah Umar bin Khattab dengan pedang terhunus”. Hamzah bin Abdul
23
Muthallib menyahut, “biarkan dia masuk, jika ia berniat baik kita sambut, jika ia berniat jahat kita bunuh ia dengan pedangnya sendiri,” Rasulpun bersabda, “biarkan dia masuk”. Rasul bangkit dan berjalan sampai bertemu dengan Umar di ruang depan. Rasul berkata “ada apa denganmu wahai anak Khattab?” Ketika itu Umar tidak henti-hentinya gemetar, lalu ia berkata “Ya Rasulallah, saya datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Rasulnya serta apa-apa yang datang dari Allah.15 Adapun
riwayat
tentang
masuk
Islamnya
Umar
yang
diceritakannya sendiri adalah seperti yang ditulis oleh Abbas Mahmud al-Aqqad, dimana di dalam riwayatnya tersebut, Umar bercerita bahwa dia dulu sangat jauh dari Islam. Di masa jahiliyah dia adalah pemabuk, menyukai minuman keras dan meminumnya. Kini mempunyai majelis tempat berkumpul orang-orang Quraisy. Pada suatu hari Umar datang kesana hendak berjumpa dengan teman-teman, tetapi Umar tidak mendapati seorangpun. Lalu Umar berkata dalam hati “Saya akan pergi ke tempat si Fulan saja, Pemilik tuak itu. “Umar pun berkata lagi dalam hati “Kalau begitu saya akan pergi ke Ka’bah untuk melakukan tawaf tujuh atau tujuh puluh kali”. Umar melihat Rasulullah sedang berdiri bersembahyang dan beliau kalau bersembahyang menghadap ke arah Syam yang menjadikan ka’bah diantara beliau dan Syam, dan tempatnya adalah diantara rukun Aswad dan rukun Yamani. Umar lalu
15
Abbas Mahmud al-Aqqad, Op.cit., hal. 75-76
24
berkata lagi dalam hati “Sungguh malam ini saya ingin mengintip Muhammad agar saya mengetahui apa yang dilakukannya”, lalu Umar menuruti kata hatinya. Tanpa sepengetahuan Nabi, Umar datang mendekatinya dari arah Hajar Aswad dan bersembunyi di balik kelambu Ka’bah. Ketika dia mendengar ayat-ayat al-Qur’an, hati Umar menjadi gemetar, lalu menangis dan kemudian Umar masuk Islam”.16 Ahmad meriwayatkan dari Umar dia berkata, “saya keluar untuk mencari dimana Rasulullah. Saya dapatkan dia telah mendahuluiku datang ke masjid (Haram). Saya berdiri di belakangnya. Kemudian dia membaca awal permulaan surat Al-Haaqah. Saya merasa sangat kagum dengan ungkapan bahasa yang indah dari Al-Qur’an. Lalu saya katakan, demi Allah pastilah bukan syair sebagaimana dikatakan oleh orangorang Quraisy. Lalu Rasulullah membaca firman Allah, surat AlHaaqqah ayat 40-41 :
“Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al Quran itu bukanlah Perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”17 Saat itulah Islam merasuk ke dalam kalbuku dengan kesan yang sedemikian dalam.18
16
Ibid, hal. 76. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia Arkanleema, 2009, hal. 568 18 Imam As-Suyuthi, Op.Cit., hal. 122 17
25
Melihat dua kisah di atas, merupakan contoh tentang berbedabedanya versi riwayat tentang masuk Islamnya Umar bin Khattab. Untuk mengkompromikan riwayat yang berbeda-beda itu Zainal Arifin Abbas mengatakan, bahwa penyebab dan penggugah hati Umar untuk memeluk Islam sebenarnya telah lama, termasuk ketika Umar berusaha mendengarkan Rasul (di dekat Ka’bah), bahkan sebenarnya dalam darah Umar itu memang telah ada jiwa agama, tetapi belum tumbuh dengan baik karena masih terus diselimuti oleh unsur-unsur lain, pemabuk, peminum, pemarah dan sebagainya. Baru setelah ia terlibat langsung dengan peristiwa saudaranya sendiri, Fathimah binti Khattab yang sedang memegang dan membaca lembaran-lembaran surat Toha, stimulan untuk masuk Islam itu mencapai klimaksnya.19 Umar masuk ke dalam agama Allah ini dengan semangat yang sama dengan seperti ketika dulu memusuhi Islam. Begitu ia berada dalam keluarga Islam, ia lebih cenderung mengumumkan keislamannya itu terang-terangan kepada semua orang Quraisy. Sebelum itu kaum muslimin tak dapat melaksanakan salat di Ka’bah, tetapi dengan kegigihan Umar melawan kaum Quraisy merekapun dibiarkan shalat di sana. Dakwah Islam yang mulanya dilakukan dengan sembunyisembunyi, setelah Umar masuk Islam dakwah dilakukan secara terangterangan. Kaum Muslimin kini sudah dapat duduk di sekitar ka’bah dan
19
Zainal Arifin Abbas, Peri Hidup Muhammad Rasulullah SAW, Medan : Pustaka Indonesia. 1964, hal. 974-975.
26
melakukan tawaf serta berlaku adil terhadap orang yang dulu memperlakukan mereka dengan kasar.20 Ketika itu ia termasuk Muslim yang paling tabah dan sabar dalam menanggung penderitaan, dan yang paling keras memberikan pembelaan sedapat yang dapat dilakukannya dalam menghadapi gangguan kepada Rasulullah dan saudara-saudaranya kaum muslimin. Dia juga orang yang sangat meyakini ketertiban dan berusaha sedapat mungkin menaati dan menjaganya. Yang demikian ini sudah menjadi bawaannya sejak masa jahiliah, dan lebih-lebih lagi sesudah dalam Islam.21
B.
Keutamaan Umar bin Khattab sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah 1.
Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi yang dibuat berbeda oleh Islam dengan segala apa yang diberikan kepadanya. Sosok yang satu ini seperti tak pernah kering sebagai sumber inspirasi dan ilmu bagi banyak orang. Khalifah kedua dalam urutan Khulafa’ Arrasyidin ini selalu saja menjadi objek kajian dan penelitian yang menarik minat para ulama, cendekiawan dan ilmuwan.22 Banyak kisah yang menunjukkan keistimewaan dan sifat-sifat Umar bin Khattab dalam kedudukannya sebagai sahabat Nabi, diantaranya sifat Umar yang fundamental dan mendorong sifat-sifatnya yang lain adalah :
20
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hal. 35 Ibid., hal. 37 22 Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit., hal. VII 21
27
a.
Umar adalah sahabat Nabi yang setia, patuh dan berani Watak keprajuritan yang dimiliki Umar telah mendorong dirinya untuk memiliki sifat suka patuh, karena kepatuhannya inilah Umar mau mengerjakan apa saja diperbuat Nabi, walaupun belum tentu sesuai dengan sikap kritisnya, seperti riwayat Imam Muslim yang menceritakan tentang Umar ketika ia mencium hajar aswad selesai tawaf :
Dari Umar Radhiyallahu‟anhu, bahwa dia mendatangi hajar aswad kemudian menciumnya dan berkata “aku mengetahui sesungguhnya kamu hanyalah sebuah batu, yang tidak memberikan bahaya dan tidak memberi manfaat, seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah menciummu, aku tidak akan menciummu.” Dengan kata-kata itu Umar bermaksud menghimbau untuk mengikuti Rasulullah SAW dalam mencium hajar aswad. Ia menegaskan apabila bukan karena mengikuti contoh Rasulullah SAW niscaya ia tidak akan menciumnya. Kesetiaannya kepada Rasul ini selanjutnya melahirkan sikap selalu bersedia dan berani membela dan menyelamatkan Rasulnya 23
dari
segala
marabahaya
yang
akan
menimpa.
Hadits no. 1520 dalam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih alBukhori, Juz II, Dar ibnu Katsir, hlm. 579
28
Keberaniannya yang disegani orang, yang telah dimilikinya dan telah dikenal orang sejak sebelum ia masuk Islam, bukan saja telah secara langsung memperkuat Islam tetapi juga telah menyebabkan orang mulai segan dengan Islam itu sendiri. Masuknya Umar kedalam Islam adalah faktor utama yang telah memperkuat posisi Nabi untuk melangkah dari fase berdakwah secara sembunyisembunyi dan terbatas terhadap kaum kerabat kepada fase terangterangan yang terbuka terhadap segala orang dari segala penjuru dan lapisan masyarakat. Sebelum Umar masuk Islam, kaum muslimin melakukan ibadah secara sembunyi-sembunyi, kadang-kadang sampai dibalik bukit-bukit, setelah Umar masuk Islam, dengan dikawal oleh Umar sendiri dan paman Nabi Hamzah pada suatu hari kaum muslimin berbaris melakukan ibadah dan tawaf secara terang-terangan disisi ka’bah, sementara di sekitar mereka adalah kaum musrik Quraisy yang sedang menyembah berhala yang juga terletak berjejer di sekelilingku Ka’bah. Pada waktu itulah Nabi memberi gelar “alFaruq” kepada Umar bin Khattab karena keberaniannya”.24 Demikian pula ketika perintah berhijrah datang, kaum muslimin yang lain berangkat dengan sembunyi-sembunyi, tetapi Umar sebaliknya. Disiapkannya busur panah di tangannya, dinaikinya kuda, kemudian berangkat dengan melewati Ka’bah dan
24
Abbas mahmud al-aqqad, Op.Cit. hal. 48
29
singgah pula di situ. Orang-orang kafir Quraisy sedang banyak berkerumun di tempat itu. Umar melakukan tawaf tujuh kali, shalat sunnat tujuh kali, shalat sunnat di maqam Ibrahim, setelah itu ia berseru kepada kaum Quraisy yang hadir, katanya dengan suara lantang dan keras, “Siapa yang ingin ibunya menangis atau anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, majulah berhadapan denganku di balik lembah ini.25 b.
Umar adalah seorang sahabat Nabi yang kuat ilmu dan agamanya Kepandaian Umar telah dirintisnya sejak ia masih kanakkanak ketika belajar mambaca dan menulis, yang kemudian ditopang dengan kegemarannya untuk membahas beragam masalah ketika ia beranjak dewasa. Berbagai masalah yang ditugaskan kepadanya diselesaikannya dengan gemilang. Ketika Nabi wafat, karena kejauhan pandangannya mengatakan bahwa hal itu akan menggoncangkan keadaan kaum muslimin. Mengenai tawanan perang Badar, ketinggian daya analisanya mengatakan bahwa semangat perlawanan dalam hati para tawanan itu tetap berkobar, karenanya, sebaiknya mereka dibunuh saja. Bahkan pikiranpikirannya itu sering mendapat persetujuan dari wahyu seperti pendapatnya tentang masalah memerangi orang-orang munafik,
25
Ibid., hal. 84-85
30
pengharaman khamar, masalah hijab bagi isteri-isteri Nabi, dan lain-lain.26 Demikian tinggi kecerdasan Umar sampai Nabi pernah bersabda bahwa Allah meletakkan kebenaran di lidah dan hati Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi :
“Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, diriwayatkan oleh Abu „Amir Al-„Aqadi, diriwayatkan oleh Kharijah bin Abdullah dari Nafi‟ dari Ibnu Umar: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya „Allah meletakkan kebenaran pada lidah dan hati Umar‟.”27 Imam Bukhari juga meriwayatkan tentang keilmuan Umar bin Khattab, diriwayatkan dari Umar bahwa Rasulullah bersabda :
“Tatkala saya tidur, saya bermimpi minum susu hingga saya melihat dalam mimpiku air mengalir di kuku-kukuku, lalu saya
26
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1971. Hal. 73 27 At-Tirmidzi, Op.Cit., hal. 617
31
minumkan air itu kepada Umar. Para sahabat bertanya, „apa takwilnya wahai Rasulullah?‟ Rasulullah menjawab : „ilmu‟.”28 Diriwayatkan dari Imam Muslim bahwasanya :
“Abu Amamah bin Sahal meriwayatkan, bahwasanya dia mendengar Abu Said Al-Khudri berkara, Rasulullah SAW bersabda: „saat saya tidur, diperlihatkan kepadaku orang banyak dan mereka semua memakai baju, dan diantara mereka ada yang memakai hingga dadanya, dan ada pula yang tidak sampai dada dan berjalanlah Umar bin Khattab, dan dia memakai baju yang panjang dan menyeretnya‟. Para sahabat bertanya,‟apa ta‟wilnya ya Rasulullah?‟ Rasulullah menjawab : „Agama‟.”29
c.
Umar adalah sahabat Nabi yang Ikhlas dan Zuhud Dalam hal ini Umar merupakan teladan yang baik, yang pantas kita hormati dan kita hargai, Umar adalah orang yang tidak begitu mengutamakan kepentingannya sendiri, dan dengan ikhlas memberikan pendapatnya demi kepentingan umum. Pendapatpendapatnya bersih dari segala yang mencurigakan. Bahkan jika
28
Hadits no. 3478 dalam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Op.Cit., Juz III, hlm. 1346 29 Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz IV, Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, hal. 1859
32
dilihat bagaimana cita-citanya sekiranya Allah mengharamkan khamar yang ketika itu belum diharamkan, padahal di zaman jahiliyah dia sendiri seorang peminum minuman keras yang sudah melebihi semestinya. Harapannya agar minuman itu diharamkan hanya karena cintanya demi segala kebaikan masyarakat disertai disiplinnya yang begitu kuat.30 Walaupun sebelum masuk Islam Umar adalah seorang peminum minuman keras, namun setelah memeluk Islam ia adalah seorang yang ta’at menjalankan ibadah, disamping itu ia termasuk seorang zahid yang paling keras menjauhi harta. Ketika Rasulullah memberikan kepadanya harta hasil rampasan perang yang diperoleh Muslimin, ia mengatakan agar harta itu diberikan saja kepada yang lebih miskin darinya.31 Bergandengan dengan kezuhudannya itu ia juga seorang yang ikhlas dalam bertindak. Kesetiaan dan pembelaannya kepada Rasul, kelebihan daya pikirnya, semua ia persembahkan karena keikhlasannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, bukan karena sesuatu pamrih yang bersifat kedudukan atau pengaruh. Tidak heran jika orang yang sudah demikian rupa keadaannya dan zuhudnya akan sangat dihargai dan dihormati oleh
30 31
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit, hal. 58 Ibid.
33
semua umat Islam terlepas dari wataknya yang begitu keras dan tegar.32 2.
Umar bin Khattab sebagai Khalifah Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menderita sakit, Umarlah yang menggatikan posisinya sebagai imam shalat bagi kaum muslimin. Sewaktu sakit Abu Bakar ra. sempat mewasiatkan jabatan kekhalifahan kepada Umar bin al-Khaththab ra.dan yang menuliskan wasiat ini adalah Utsman bin Affan. Setelah itu wasiat tersebut dibacakan di hadapan seluruh kaum muslimin dan mereka mengakuinya serta tunduk dan mematuhi wasiat tersebut. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada hari Senin, setelah Maghrib dan dikuburkan pada malam itu juga, bertepatan pada tanggal 21 Jumadil Akhir tahun 13 H, Umar bin al-Khaththab al-Faruq menggantikan seluruh tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya sebagai Amirul Mukminin. Beliaulah yang pertama kali menyebut dirinya dengan
gelar
Amirul
Mukminin
-orang
yang
pertama
kali
memanggilnya dengan gelar tersebut adalah al-Mughirah bin Syu'bahdan ada yang berpendapat bukan al-Mughirah tetapi orang lain.33 Adapun alasan Abu Bakar menetapkan penggantinya sebelum ia wafat karena : pertama, bila tidak ditetapkan sekarang nanti akan banyak orang yang merasa bahwa dirinyalah yang berhak untuk menduduki jabatan khalifah itu. Kedua, karena pengalaman pada waktu 32 33
Ibid. Ibnu Katsir, Op.Cit, hal. 191
34
Nabi wafat dulu, umat Islam menjadi goncang terutama kaum Muhajirin dan Anshar disebabkan belum ada kepastian penggantinya.34 Maka ketika Abu Bakar wafat, kaum muslimin terhindar dari krisis kepemimpinan umat. Umar bin Khattab melaksanakan tugas dalam kekhalifahan selama 10 tahun dan 6 bulan, kurang lebih, dan mampu merealisasikan hal-hal yang besar dalam tersebut, yang tidak mungkin disebutkan seluruhnya dalam ruang yang singkat ini membicarakan seluruh keberhasilan Umar selama masa kepemimimpinannya membutuhkan kajian tersendiri.35 Kepemimpinan Umar selama menjabat sebagai Khalifah telah dicatat dalam sejarah sebagai kepemimpinan yang sangat dibanggakan, baik di bidang politik teritorial, sosio-ekonomi maupun sosio-kultural. Menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Atsir bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: “Islamnya Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan dan kekhalifahan serta pemerintahannya adalah rahmat.36
C.
Metode Ijtihad Umar bin Khattab dan Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihadnya 1. Metode Ijtihad Umar bin Khattab Untuk
mengetahui
Konsep
Umar
bin
Khattab
dalam
menetapkan suatu hukum terhadap suatu masalah dapat kita amati dari 34
A. Syalabi, Op.Cit., hal. 237 Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit., hal. 25. 36 A. Syalabi, Loc.Cit., hal 236 35
35
pesan-pesan Umar bin Khattab kepada para Hakim yang diangkat dan ditugaskannya di berbagai daerah. Ada dua surat penting yang secara historis dinisbatkan kepada Umar bin Khattab dan berisi tentang mekanisme penetapan hukum. Yang pertama pendek dan hanya memuat sedikit masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum. Surat ini dikirim oleh Umar kepada Syuraih yang menjabat sebagai Qadhi (hakim) di Kufah. Surat kedua cukup panjang dan sangat detil. Menurut sebuah sumber, surat kedua ini dikirim Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjabat sebagai Qadhi di Bashrah.37 Jika kita menerima validitas penisbatan kedua surat ini kepada Umar, maka kita bisa menganggap keduanya sebagai media awal untuk mengenal lebih jauh manhaj Umar dalam masalah penetapan hukum, utamanya surat Umar yang panjang yang dikirim kepada Abu Musa AlAsy’ari. Hal ini dikarenakan kedua surat tersebut memuat beberapa dasar (kaidah) penting dalam masalah penetapan hukum yang dianut oleh Umar dan direkomendasikan untuk dilaksanakan oleh para Qadhi yang diangkatnya. Ibnul Qayyim meriwayatkan, bahwa Umar bin Khattab menulis surat kepada Qadhi Syuraih yang isinya; “Jika kamu menghadapi suatu masalah penting, maka lihatlah dulu Kitabullah, kemudian putuskanlah hukum itu dengan (berpedoman kepada isi) nya. Jika kamu tidak menemukan dalam Kitabullah, maka 37
hal. 37
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2005,
36
lihatlah dalam kasus-kasus yang pernah diputuskan oleh Rasulullah. Jika kamu juga tidak menemukannya, maka lihatlah dalam kasus-kasus yang pernah diputuskan oleh para orang saleh dan juga para pemimpin yang adil. Dan jika kamu tidak mendapatkannya juga, maka kamu boleh memilih; jika kamu ingin melakukan ijtihad dengan nalarmu maka lakukanlah, dan jika kamu ingin mengkonsultasikannya denganku (maka lakukanlah) dan saya menilai bahwa pilihanmu untuk berkonsultasi denganku itu adalah langkah yang akan memberikanmu kebaikan.38 Ibnul Qayyim juga meriwayatkan, bahwa Umar menulis Surat untuk Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya; “Amma ba‟du. Sesungguhnya menetapkan hukuman (al-qadha) adalah satu kewajiban yang pasti dan termasuk tradisi yang otentik. Jika ada satu permasalahan datang kepadamu, maka ketahuilah bahwa ucapan yang benar tidak akan ada manfaatnya bila tidak diikuti dengan implementasi riil. Ketika ada orang (dengan berbagai latar belakang strata sosial) berada di majelis pengadilan, perlakukanlah mereka dengan sama, pandanglah mereka dengan pandangan yang sama hendaknya hukuman yang kamu putuskan juga sama (tidak ada diskriminasi), sehingga orang yang mulia (yang mempunyai status sosial yang tinggi) tidak akan mengharap kamu melakukan kezhaliman dan supaya orangorang yang lemah tidak kehilangan harapan untuk mendapatkan keadilan kamu. Barang bukti adalah kewajiban yang harus diberikan oleh orang yang menuduh, dan sumpah adalah penguat bagi pihak yang menolak tuduhan tersebut. Kesepakatan untuk berdamai yang dilakukan oleh sesama umat Islam dibolehkan, kecuali jika kesepakatan damai tersebut menyebabkan hal-hal yang diharamkan menjadi halal atau hal-hal yang halal menjadi haram. Barangsiapa mengklaim ada hak yang terabaikan, maka berilah dia tenggang waktu, jika dia sanggup menerangkan duduk perkara tersebut (denganbukti-bukti kuat), maka berikanlah hak tersebut kepadanya, namun jika dia gagal meyakinkanmu, maka masalahnya terpecahkan dengan sendirinya. Ini adalah cara yang tepat (untuk menyelesaikan sengketa). Jika kamu mendapatkan petunjuk (keyakinan) baru yang bisa mengubah keputusan yang telah kamu tetapkan hari ini, maka jangan takut (malu) untuk mengubah keputusan baru yang benar, karena sesungguhnya kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Dan
38
Ibnul Qayyim, A‟lam Al-Muwaqqi‟in, juz. I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 49
37
mengoreksi diri untuk mendapatkan kebenaran, lebih baik daripada terus-terusan berada dalam kebatilan. Semua orang muslim adalah adil(terpercaaya), kecuali orang yang sudah pernah melakukan sumpah palsu atau dicambuk karena putusan hukum (hudud) atau diragukan loyalitas dan kedekatannya (dengan Islam). Yang mengetahui rahasia-rahasia manusia hanyalah Allah. Allah akan tetap menutupi putusan-putusan hukum hingga ada bukti-bukti atau sumpah (yang akan memperjelas duduk perkara yang terjadi). Jika kamu menghadapi masalah yang hukumnya tidak disinggung secara eksplisit dalam Al-Qur‟an atau sunnah, maka gunakanlah akal yang dianugerahkan kepadamu dengan cara mengqiyaskan masalah-masalah tersebut. Ketahuilah dengan baik contoh-contoh kasus (yang hukumnya disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur‟an) kemudian ambillah keputusan yang sekiranya kamu yakin bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang lebih dicintai Allah dan lebih dekat dengan kebenaran. Jauhilah sikap marah, bingung, menyakiti orang lain, dan mempersulit permasalahan ketika terjadi sengketa. Putusan hukum yang tepat, mengenai sasaran kebenaran, akan mendapatkan pahala dari Allah, dan akan selalu dikenang. Barangsiapa dalam melakukan kebenaran didasari dengan niat yang ikhlas, maka dia akan merasa cukup hanya Allah-lah (yang akan melindungi dan menolongnya dalam masalah-masalah) yang menyangkut dirinya dan orang lain. Barangsiapa mangada-ada maka Allah akan mencelanya. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seorang hamba kecuali amal yang didasari dengan keikhlasan. Bagaimanakah pendapatmu mengnai pahala-pahala Allah baik berupa rezeki yang kamu dapat di dunia dan rahmat-rahmat-Nya yang masih tersembunyi. Wassalam”.39 Dalam menerapkan hukum Islam, Umar sangat mempedulikan nash-nash keagamaan dan bahkan tidak mungkin melanggarnya. Bahkan dia berusaha untuk memakainya dan Umar sangat disiplin dalam mengimplementasikan teks-teks keagamaan. Disamping itu ia juga disiplin dalam merealisasikan kemaslahatan umum dalam posisinya sebagai khalifah yang dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain,
39
Ibid., hal.67.
38
umar selalu disiplin dalam mengaplikasikan syariat dan dalam waktu yang bersamaan menjamin terealisasinya kemaslahatan umum. Pendekatan Umar yang sejak dari awal terlihat lebih banyak bersifat rasional dan intelektual, telah membawanya untuk melahirkan perubahan-perubahan hukum secara formal terutama dalam menghadapi wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Perubahan-perubahan hukum itu untuk sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi dan situasi, dimana tuntunan kemaslahatan dan kepentingan umum yang merupakan tujuan akhir dari syar’iah menghendaki yang demikian.40 Perubahan hukum secara formal, nampaknya dilakukan oleh Umar karena adanya pemahaman yang total terhadap pesan-pesan alQur’an dan Sunnah Rasul. Dan betapapun perubahan itu telah terjadi, bukanlah berarti ia meninggalkan, apalagi membatalkan nash-nash alQur’an. Adalah merupakan suatu kekeliruan, bagi orang yang memahami kebijakan Umar sebagai tindakan yang meninggalkan sebagian nash-nash al-Qur’an, demi kemaslahatan dan pertimbangan pribadi. Akan tetapi yang sebenarnya Umar telah menerapkannya dengan baik dan memahami secara kreatif dan sehat, tanpa ragu-ragu terhadap tujuan-tujuan Syari’at.41 2. Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihad Umar bin Khattab Secara global, rentang waktu aplikasi ijtihad Umar adalah paska wafatnya Rasulullah hingga meninggalnya Umar. Pada masa Rasulullah 40
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Mesir : Dar al-fikr alArabi, hal. 20 41 Ibid.
39
masih hidup, Umar banyak melakukan ijtihad-ijtihad, namun ijtihad yang dilakukan oleh Umar pada waktu itu hanya sebatas pada kontribusi ide kepada Rasulullah dalam masalah-masalah yang pemecahannya memang melalui mekanisme syura. Atau dalam masalah-masalah yang Umar mempunyai
ide tersendiri,
yang
menurutnya ada kemaslahatan bagi masyarakat muslim pada masa kerasulan.42 Pendapat-pendapat Umar ini seringkali sesuai dengan wahyu, yang nantinya turun kepada Nabi Muhammad, seperti yang terjadi pada waktu penentuan nasib tawanan perang badar, penetapan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, masalah hijab, keputusan untuk tidak menyalati Abdullah bin Ubai ketika mati dan lain-lain.43 Dalam hal ini, ijtihad atau pendapat Umar bukanlah yang menetukan suatu ketetapan, mempunyai legitimasi tasyri’, melainkan turunnya wahyulah yang menyebabkan suatu pendapat mempunyai otoritas dalam penetapan hukum. Kalau seandainya wahyu yang turun menolak pendapat-pendapat Umar, maka pendapat Umar tersebut tidak mempunyai otoritas dalam menetapkan suatu hukum, dalam keadaan seperti ini, pendapat-pendapat Umar hanya menjadi sekadar usulan yang ditolak oleh pihak yang mempunyai hak otoritatif dalam menetapkan atau menolak suatu pendapat yang diusulkan.44
42
Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 32 Ibid. 44 Ibid., hal. 33 43
40
Kemungkinan ditolaknya ijtihad-ijtihad sahabat oleh wahyu mengindikasikan bahwa usulan-usulan sahabat pada masa kerasulan tersebut tidak mempunyai sifat tasyri’ yang mengikat. Oleh karenanya, pendapat-pendapat Umar yang dilontarkan pada masa Rasulullah hanyalah sekedar usulan semata yang mempunyai potensi untuk diterima atau ditolak. Pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak mempunyai hak dalam menetapkan hukum, kecuali setelah mendapat persetujuan dari wahyu yang mempunyai hak otoritatif dalam penetapan hukum.45 Adapun alasan mengapa pada masa kerasulan hak otoritatif penetapan hukum hanya berada pada wahyu dan praktik-praktik sunnah yang direstui oleh wahyu, adalah karena penetapan-penetapan hukum pada masa Rasulullah pada dasarnya dimaksudkan untuk menetapkan kaidah-kaidah umum yang akan menjadi unsur-unsur utama dalam kontruksi sistem hukum Islam yang diharapkan bisa menjadi undangundang dasar dalam bidang hukum untuk kehidupan manusia, disamping aturan-aturan akidah yang ditetapkan.46 Pada masa kehidupan Rasul, Islam mempunyai satu agenda untuk mengajari umat Islam tentang logika berpikir yang benar dengan cara mencari alasan mengapa suatu hukum ditetapkan dengan menetapkan sebagian ijtihad yang lain.
45 46
Ibid. Ibid.
41
Yang perlu diperhatikan disini adalah karakter penetapan hukum dalam Islam pada waktu itu adalah dilakukan secara gradual sesuai dengan perkembangan kondisi yang ada dan tidak memberi hak menetapkan hukum kepada salah seorang sahabat pun sampai dasardasar sistem Islam yang dikehendaki oleh Allah terkonfigurasi dengan sempurna.47 Sebelum Rasulullah wafat, wahyu telah menyelesaikan tugasnya yaitu meletakkan dasar-dasar hukum Islam dan juga kaidah-kaidah umum keberagamaan. Perbedaan krusial antara ijtihad yang dilakukan oleh kaum muslimin pada masa kerasulan dengan ijtihad yang mereka lakukan setelah Rasulullah meninggal, adalah bahwa hak otoritatif dalam menetapkan hukum pada masa kerasulan hanya diwakili oleh wahyu, pada masa itu Rasulullah adalah satu-satunya interpretator dan legistator ketetapan-ketetapan hukum Al-Qur’an. Dan wahyu selalu mengawasi
dan
mengoreksi
pelaksanaan
aturan-aturan
hukum
tersebut.48 Adapun setelah syariat sempurna dengan ditandai sempurnanya peletakan nilai-nilai dasar universal dan juga meninggalnya Rasul, maka
47 48
pengimplementasian
Ibid., hal. 34 Ibid., hal. 35
nilai-nilai
universal
ini
dipasrahkan
42
sepenuhnya kepada ijtihad para cendekiawan dari setiap generasi yang berada pada lingkungan-lingkungan yang beragam.49 Atas pertimbangan ini, maka ijtihad yang dilakukan oleh pihakpihak yang kompeten bisa dimasukkan ke dalam sistem penetapan hukum Islam, dan sekaligus sebagai salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan sunnah. Jika kita perhatika pola ijtihad yang dilakukan oleh Umar atau yang lainnya setelah wafatnya Rasulullah, maka kita akan menemukan perbedaan signifikan dengan pola ijtihad mereka semasa Rasulullah masih hidup.50 Sejatinya ijtihad Umar dalam mengaplikasikan syariat islam baru dimulai setelah Rasulullah meninggal dunia. Meskipun Rasulullah meninggal, Umar tidak langsung menjabat sebagai khalifah, namun pada rentang waktu dua tahun lebih, disaat kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar, Umar mempunyai peran penting dan banyak mengeluarkan ide-ide brilian.51 Peran Umar pada masa itu sebanding dengan peran Abu Bakar sendiri sebagai khalifah. Banyak keputusan-keputusan hukum pada masa khalifah Abu Bakar yang ditetapkan berdasarkan pendapat dan ijtihad Umar, seperti pada masalah kodifikasi Al-Qur’an dan penghapusan bagian zakat pada muallafah qulubuhum (orang yang baru masuk Islam).52
49
Ibid. Ibid. 51 Ibid. 52 Ibid. hal. 36 50
43
Posisi Umar sungguh sangat menentukan, sehingga tidak mengherankan jika Abu Bakar dalam beberapa kesempatan mengambil sikap yang mengindikasikan penghormatan yang tinggi kepada Umar. Pada
masa
pemerintahan
Abu
Bakar,
pendapat
Umar
mempunyai bobot tersendiri dalam majlis syura dan juga dalam penerapan nilai-nilai universal syariat pada realitas-realitas baru dalam kehidupan. Jika memang Umar mempunyai manhaj atau metode (pola berfikir), maka tidak diragukan lagi bahwa metode tersebut pada masa pemerintahan Abu Bakar sudah sampai pada taraf yang matang, apalagi didukung dengan fakta banyaknya ketetapan wahyu yang sesuai dengan ijtihad Umar pada masa kerasulan.53 Renatang waktu yang melingkupi manhaj Umar bin Khattab dalam masalah ijtihad dan penerapan hukum dimulai sejak wafatnya Rasulullah pada bulan Rabiul Awwal 11 H dan selesai hingga Umar mrninggal dunia pada bulan Dzulhijjah 23 H54 (632-643 M). Dengan kata lain, selama dua belas tahun, sembilan bulan dan beberapa hari, sesuai dengan hitungan tahun hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab.55 Meskipun rantang waktu ini kelihatannya pendek, namun pada masa tersebut banyak kesuksesan yang terjadi. Pada masa itu ketegangan antara kekuatan islam yang sedang berkembang –dan hanya
53
Ibid. hal. 37 Umar bin Khattab meninggal pada malam rabu 27 Dzulhijjah 23 H, lihat Ath-Thabari jil. IV, hal. 193. 55 Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 37 54
44
mempunyai modal kekuatan yang tidak seberapa- dengan kekuatan imperium Romawi dan Persi mencapai puncaknya. Kekuatan Islam berhasil mendapatkan kemenangan-kemenangan yang menakjubkan di daratan Syam, Palestina, Irak, Persi dan Mesir. Pada masa itu juga sistem-sistem Islam bisa diterapkan dengan optimal pada berbagai bidang yang sebelumnya sama sekali belum pernah dilakukan oleh bangsa Arab atau bangsa dan peradaban mana pun. Pada masa itu sistem penetapan hukum Islam mengalami kejayaan dalam menghadapi tantangan-tantangan realita baru yang menghadang dengan menerapkan teori-teori pada tatanan praktis. Dan tokoh di belakang keberhasilan dan kesuksesan itu semua adalah Umar bin Khattab.56
56
Ibid.
BAB III PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT
A. Pengertian dan klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum 1. Pengertian Muallaf Ditinjau dari bahasa, muallaf berasal dari kata allafa (َ )َاَّلفyang bermakna shayyararahu alifan ( )صيره اّليفاyang berarti menjinakkan, menjadikannya atau membuatnya jinak.1 Allafa bainal qulub ()أّلف بين اّلقلوب bermakna menyatukan atau menundukkan hati manusia yang berbedabeda, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 103 :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.2 Jadi secara bahasa, al-muallafah qulubuhum berarti orang-orang yang hatinya dijinakkan, ditaklukkan dan diluluhkan. Karena yang ditaklukkan adalah hatinya, maka cara yang dilakukan adalah mengambil
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997,
hal. 34 2
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia Arkanleema, 2009, hal. 63
45
46
simpati secara halus seperti memberikan sesuatu atau berbuat baik, bukan dengan kekerasan seperti perang, maupun dengan paksaan. Sayyid Sabiq mendefinisikan muallaf sebagai orang yang hatinya perlu dilunakkan (dalam arti yang positif) untuk memeluk Islam, atau untuk dikukuhkan karena keislamannya yang lemah atau untuk mencegah tindakan buruknya terhadap kaum muslimin atau karena ia membentengi kaum muslimin.3 Senada dengan definisi di atas, pengertian muallaf menurut Yusuf Qardawi yaitu mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.4 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy muallaf yaitu mereka yang perlu dilunakkan hatinya, ditarik simpatinya kepada Islam, atau mereka yang ditetapkan hatinya di dalam Islam. Juga mereka yang perlu ditolak kejahatannya terhadap orang Islam dan mereka yang diharap akan membela orang Islam.5
2. Klasifikasi Golongan Muallaf Syafi‟iyah dan Hanafiyah menetapkan bahwa zakat bagian muallaf hanya diperuntukkan bagi orang Islam saja, sedangkan orang kafir tidak 3
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Terj. Fiqih Sunnah, jakarta : PT. Pena Pundi Aksara, 2009, hal. 677 4 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Terj. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal. 563 5 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1996, hlm. 188.
47
berhak menerima zakat dari bagian muallaf. Menurut pendapat ini, ada empat kelompok orang Islam yang masuk dalam kategori muallaf,6 yaitu pertama, orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah. Mereka diberi zakat supaya kuat imannya. Kedua, seorang pemimpin yang masuk Islam yang memiliki pengikut. Mereka diberi zakat agar pengikutnya yang masih kafir mau masuk Islam. Ketiga, orang Islam yang kuat imannya. Kelompok ini diberi zakat agar mereka mampu mencegah keburukan orang-orang kafir. Dengan kata lain, mereka menjadi tameng pertama dari keburukan yang ditimbulkan oleh orang kafir terhadap orang Islam. Keempat, orang-orang yang mencegah keburukan dari mereka yang menolak zakat. Malikiyah membagi muallaf pada dua kelompok, yaitu pertama, orang-orang kafir; mereka diberi zakat untuk membuat mereka cinta terhadap Islam. Kedua, orang-orang yang baru masuk Islam; mereka diberi supaya iman mereka menjadi lebih kuat.7 Sedangkan menurut Hanabilah, orang-orang yang termasuk muallaf adalah para pemimpin yang diharapkan keislamannya atau yang dikhawatirkan keburukannya terhadap orang Islam atau yang diharapkan kuat imannya atau keislaman para sekutu atau sahabatnya yang kafir atau pemimpin yang dibutuhkan untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang Islam yang enggan mengeluarkan zakat.8
6
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madhahib al-Arba‟ah, vol 1, hal. 625 ibid hal. 623 8 Ibid, hal. 624 7
48
Sayyid Sabiq membagi muallaf pada dua kategori, yaitu orang Islam dan orang kafir. Menurutnya muallaf muslim ada empat kelompok, antara lain sebagai berikut :9 1. Para orang terhormat kaum muslimin yang memiliki para pengikut atau teman dari orang-orang kafir. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, orang-orang kafir itu dapat diharapkan masuk Islam. Hal ini seperti Abu Bakar memberikan zakat kepada Adi bin Hatim Zabraqan bin Badr walaupun keislaman dua muslim ini baik, keduanya adalah orang yang dihormati kaumnya. 2. Orang-orang muslim yang imannya lemah, tapi dihormati dan ditaati oleh kaumnya. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, keimanan mereka diharapkan dapat menjadi kuat dan kukuh serta mau saling menasehati untuk ikut jihad di jalan Allah dan lain sebagainya. Mereka adalah seperti orang yang diberi hadiah yang banyak oleh Rasulullah dari harta rampasan perang Hawazan. Mereka adalah sebagian penduduk Makkah yang dibebaskan oleh Nabi SAW. pada penaklukan kota Makkah. Diantara mereka ada yang munafik dan ada yang lemah lemah imannya. Setelah Rasulullah memberi hadiah yang banyak kepada mereka, mereka menjadi kukuh imannya dan melaksanakan ajaran Islam dengan baik.
9
Sayyid Sabiq, op.cit, hal. 677-678
49
3. Kelompok muslim yang berada di perbatasan negeri musuh. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan mereka gigih dalam membentengi kaum muslimin ketika musuh menyerang negeri Islam. Pada zaman sekarang yang lebih berhak mendapat santunan lagi adalah kaum muslimin yang diincar oleh kaum kafir dengan tujuan memasukkan mereka ke dalam wilayah negeri kafir atau membuat mereka murtad dari agama Islam. 4. Kaum muslimin yang dibutuhkan bantuannya untuk mengambil zakat dari orang-orang yang tidak mau membayarnya, kecuali melalui kekuatan dan pengaruh kaum muslimin tersebut. Sebetulnya ketika mereka tidak mau membayar zakat, pemerintah Islam berhak memerangi mereka, akan tetapi dengan cara tersebut kerugiannya lebih kecil dan kemaslahatannya lebih besar. Adapun muallaf kafir ada dua kelompok, antara lain sebagai berikut:10 1. Orang yang diharap keimanannya dengan pemberian zakat kepadanya. Seperti Shafwan bin Umayyah yang telah diberi jaminan keamanan oleh Nabi Muhammad saw. Pada penaklukan Mekah, beliau memberikan kesempatan kepadanya selama empat bulan agar mengamati aktifitas umat Islam secara langsung dan menentukan pilihan sendiri berdasarkan pengamatannya tersebut.
10
Ibid, hal. 678-679
50
Ia sempat menghilang, kemudian datang lagi dan ikut perang bersama kaum muslimin dalam peperangan Hunain. Waktu itu, ia belum masuk Islam. Nabi saw sempat meminjam senjatanya dalam peperangan itu. Beliau memberi banyak unta yang ada di sebuah lembah kepadanya. Ia berkata “Ini adalah pemberian orang yang tidak takut fakir”. Ia juga berkata “sungguh, Nabi saw telah memberi hadiah kepadaku. Pada awalnya, beliau adalah manusia yang paling aku benci. Namun, beliau selalu memberi hadiah kepadaku hingga beliau bisa menjadi manusia yang paling aku cintai”. 2. Orang kafir yang dikhawatirkan melakukan tindakan buruk terhadap Islam. Namun, ketika mereka diberi hadiah, dapat diharapkan mereka menahan tindakan buruknya tersebut. Ibnu Abbas ra. berkata, “sesungguhnya ada kaum yang datang kepada Nabi. Jika beliau memberi hadiah kepada mereka, mereka memuji Islam. Mereka akan berkata „ini adalah agama yang baik‟. Jika beliau tidak memberi hadiah kepada mereka, mereka mencela Islam dan mencemoohnya. Diantara mereka adalah Sufyan bin Harb, Aqra‟ bin Habis, dan Uyainah bin Hishn. Nabi saw, telah memberi seratus unta kepada mereka masing-masing”. Menurut Yusuf Qardawi kelompok muallaf terbagi kedalam beberapa golongan, yang muslim maupun yang bukan muslim. 11
11
Yusuf Qardawi, loc.cit, hal. 562-566
51
Pertama, golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok serta keluarganya. Kedua, golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya. Mereka ini dimasukkan kedalam kelompok mustahiq zakat, dengan harapan dapat mencegah kejahatannya. Ketiga, golongan orang yang baru masuk Islam. Mereka perlu diberi santunan agar bertambah mantap keyakinannya terhadap Islam. Keempat, pemimpin dan tokoh masyarakat yang memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan memberi mereka bagian zakat, diharapkan dapat menarik simpati mereka untuk memeluk Islam. Kelima, pemimpin dan tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya, akan tetapi imannya masih lemah. Mereka diberi bagian dari zakat dengan harapan imannya menjadi tetap dan kuat. Keenam, kaum muslimin yang bertempat tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan dengan musuh. Mereka diberi dengan harapan dapat mempertahankan diri dan membela kaum Muslimin lainnya yang tinggal jauh dari benteng itu dari sebuah musuh. Ketujuh, kaum muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan, kecuali dengan paksaan seperti dengan diperangi. Dalam hal ini mereka diberi zakat untuk memperlunak hati mereka. Semua kelompok tersebut di atas termasuk dalam pengertian “golongan muallaf” baik mereka yang muslim maupun yang kafir. Dan perlu untuk diketahui, bahwa perkataan “muallaf” di masa dahulu, tidak diberikan untuk tiap mereka yang baru masuk islam, tapi
52
hanya diberikan kepada mereka yang dirasa lemah imannya dan perlu disokong iman yang lemah itu dengan pemberian. Sudah umum diketahui bahwa pada masa Nabi yang dinamai muallaf, hanyalah orang yang diketahui ada menerima bagian ini saja. Kebanyakan dari kita sekarang menamakan muallaf pada semua yang baru masuk Islam saja tanpa melihat kepada lemah atau kuatnya iman mereka.12 Di antara hikmah dari ditetapkannya bagian khusus untuk mereka yang dijinakkan hatinya adalah pembuktian bahwa pada hakikatnya Islam adalah agama yang lebih cenderung kepada kebaikan, kelembutan dan juga kesejahteraan. Dan seringkali terjadi kekufuran atau keingkaran seseorang dari memeluk agama Islam karena faktor ekonomi atau kesejahteraan, meski masih berupa kekhawatiran.13
B. Pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat Sebelum menguraikan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, ada baiknya juga kita sebutkan bahwa al-Faruq Umar yakin sekali bahwa Islam adalah jiwa dan akidah. Orang tidak akan sempurna imannya sebelum ia memahami jiwa agama yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukum Qur‟an yang diturunkan disesuaiakan dengan jiwa yang menyertainya. Jika di dalamnya terdapat sunnah yang berasal dari 12
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1996, hal. 189 13 Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan 4 : Zakat, Jakarta : DU Publishing, 2011, hal.294
53
Rasulullah dalam kata atau perbuatan, pertalian sunnah itu perlu diketahui untuk kemudian diterapkan dengan sangat hati-hati. 14 Di dalam al-Quran, Allah telah menjelaskan bahwa kelompokkelompok atau golongan-golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) adalah berjumlah delapan atau yang biasa dikenal dengan istilah delapan asnaf, Allah berfirman dalam Al Qur‟an surat at-Taubah ayat 60:
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.15 Bahkan dalam suatu hadits, Nabi memperjelas bahwa ketentuan delapan golongan penerima zakat di atas ditetapkan sendiri secara langsung oleh Allah : 16
14
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Bogor : Litera Antar Nusa, 2011,
15
Departemen Agama RI, Op.Cit., hal. 196 Abu Dawud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, vol. 1 Beirut: Dar al-Fikr, 1994,
hal.690 16
hal. 381.
54
“Aku datang kepada Nabi dan berbai‟ah kepadanya. Kemudian datang seorang laki-laki dan berkata berikanlah aku bagian zakat. Maka Nabi berkata kepadanya bahwa sesungguhnya Allah tidak senang dengan jika ketetapan hukum tentang zakat ditetapkan oleh para nabi-Nya dan orang lain sehingga Ia sendiri yang menetapkan hukum zakat tersebut. Maka Ia membagi zakat itu kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk golongan-golongan tersebut maka aku akan memberikan hakmu”. Secara umum ayat tersebut tidak mengatur bagaimana seharusnya dan sebaiknya membagikan harta zakat kepada mustahiqnya yang delapan macam itu. Oleh karena itulah, ulama dengan mempergunakan argumentasi mereka masing-masing, berbeda pendapat di samping ada yang mengharuskan pembagian secara merata kepada semua kelompok (ashnaf yang delapan), ada pula yang tidak mengharuskannya. Penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu, menurut Ibnu Rusyd, ialah adanya sementara ulama yang terikat oleh tekstual ayat, yang menghendaki pembagian kepada semua kelompok, sedangkan yang lain berpegang kepada makna esensial dari ayat yang tujuannya untuk menyelesaikan suatu problem sosial dalam masyarakat Islam.17 Salah satu dari delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai penerima zakat adalah kelompok muallaf. Rasulullah saw semasa 17
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta : Pustaka Amani hal. 612.
55
hidupnya selalu memberikan zakat kepada delapan ashnaf tersebut secara lengkap, termasuk memberikan zakat kepada ashnaf “al-Muallafah Qulubuhum”. Beberapa orang yang oleh Nabi diberi zakat atas kriteria tersebut diantaranya adalah Abu Sufyan dan Uyainah bin Hasan. Safwan bin Umayyah berkata : Demi Allah, Rasulullah telah memberiku (bagian zakat) padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Dan beliau terus memberiku (bagian zakat) sehingga beliau termasuk orang yang paling aku cintai”.18 Pemberian itu diberikan sebagai pelunak hati mereka, agar tidak terpikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang telah mengalahkan mereka, dan untuk menarik simpati mereka untuk mau mengikuti dakwah baru ini (islam). Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang. Adanya pembagian jatah atau pemberian harta seperti itu, disamping menguntungkan mereka (orang-orang non muslim), juga bermanfaat bagi Islam. Karena kebanyakan mereka adalah para pembesar dan pemimpin kaum, sedangkan kebanyakan pengikut agama baru ini adalah rakyat jelata dan hamba sahaya yang merindukan kebebasan, kemerdekaan dan persamaan di bawah lindungan agama yang menyuarakan hal tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan lagi jika kebanyakan orang-orang yang mau ditundukkan hatinya (al-Muallafah Qulubuhum) adalah para
18
Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-Arabi, hal. 1806
56
pembesar dan orang-orang yang terhormatkaum.yang mereka itu terdiri dari tiga macam kelompok :19 1. Orang-orang musyrikin yang hatinya masih jauh dan asing dari keislaman. Mereka diberi bagian dari harta Islam dengan maksud agar mereka tidak menyakiti dan mengganggu orang muslim, dan juga agar bisa dimintai tolong bila ada kelompok-kelompok lain dari golongan mereka orang kafir, jika pertolongan itu memang dibutuhkan. Hal ini juga dimaksudkan agar mereka tidak bersama-samadan bersatu padu menyerang Islam yang baru tumbuh itu. 2. Orang-orang musyrikin dari kalangan para pembesar dan orang-orang terhormat. Mereka ini orang-orang yang bisa menimbulkan kembali permusuhan kepada Islam. Oleh karena itu Rasulullah memberikan mereka bagian zakat dan berusaha mendekati mereka agar mereka mau bergumul dengan dakwah Islamiyah. Jika demikian, maka bisa saja mereka itu akan beriman atau minimal frekuensi mereka dalam memusuhi Islam akan berkurang. Dan mereka pun tidak akan mengintimidasi atau menghalanghalangi kaumnya yang hendak memeluk Islam. 3. Orang-orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah yang mudah goyah, yang dibenaknya masih tersimpan sisa-sisa materialisme yang dulu menjadi pujaan dalam hidupnya. Maka mereka diberi bagian zakat agar mereka tidak kembali kepada kekafiran mereka jika terdesak
19
hal.179
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2005,
57
kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan karena Rasul tahu bahwa orang lapar yang lemah akidahnya, tentu akan sulit baginya mengimani apa saja. Rasulullah tidak pernah menahan atau menyisakan harta maupun tenaganya jika untuk kepentingan kebaikan di jalan Allah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu apapun, kecuali beliau memberikannya.
Dari Anas bahwasanya Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu apapun kepadanya atas nama Islam, melainkan beliau memberikannya. Pernah datang Seorang laki-laki kepadanya, dan serta merta meminta harta kepada beliau, maka Nabipun menyuruh memberikan kepadanya sekumpulan kambing hasil zakat yang memenuhi lembah antara dua bukit. Kemudian orang itu kembali kepada kaumnya lalu berkata: wahai kaumku, masuk Islamlah kalian semua, Karena sesungguhnya Muhammad memberikan sesuatu pemberian yang sangat banyak, tanpa sedikit pun kuatir jatuh melarat.”20 Rasulullah memberikan bagian zakat kepada mereka itu dan juga yang lainnya, dan tidak memberikan bagian ini kepada banyak kaum muslimin yang benar-benar kuat dan tulus keislamannya. Meskipun jerih payah dan kesibukan mereka berjihad dan berdakwah tentunya sangat layak untuk 20
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, jil. III, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 178
58
menerima bagian tersebut. Hal ini menyebabkan salah seorang sahabat pernah bertanya kepada beliau “wahai Rasulullah, engkau memberikan bagian kepada Uyainah bin Hisam dan Aqra‟ bin Habis, tapi mengapa Juail bin Suraqah Ad-Dhamari tidak engkau berikan? Rasulpun menjawab, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggamanNya, Juail bin Suraqah adalah lebih baik dan lebih utama daripada seluruh apa yang ada di muka bumi ini, sebagaimana Uyainah bin Hishn dan juga Aqra‟ bin Habis. Namun hal itu (aku lakukan) untuk menarik hati keduanya untuk masuk Islam. Dan aku yakin bahwa Juail bin Suraqah akan masuk Islam.21. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil Uyainah bin Hisn dengan “al-Ahmaq al-Mutha‟ fi Qaumihi (orang bodoh yang ditaati kaumnya)”, karena demikian itulah ia perlu dibujuk rayu hatinya. Sedangkan Ju‟ail adalah orang yang sangat fakir dari golongan ahli Shuffah.22 Dan jika kita mengikuti perjalanan hidup orang-orang yang telah diberikan sesuatu oleh Nabi tersebut, kita akan menemui banyak dari mereka yang akhirnya masuk Islam. Bahkan sebagian dari mereka, menduduki tempat dan posisi penting di kalangan kaum muslimin, seperti Muawiyah, khalifah pertama Bani Umayyah. Namun ada pula sebagian dari mereka yang tetap tidak tulus dan tidak mau memeluk Islam, meski kereka sudah tidak pernah lagi berbuat jahat kepada orang-orang Islam. Demikianlah, pemberian bagian zakat kepada orang-orang Muallaf tetap berlanjut hingga Rasulullah meninggal. Pada masa kekhalifahan Abu 21 22
Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jil. III, Dar al-Fikr, hal. 332 Muhammad Baltaji, Op. Cit., hal. 198
59
Bakar, ketika kaum muslimin berhasil menumpas orang-orang murtad dan para pembangkang yang tidak mau membayar zakat, maka murnilah ajaran Islam di jazirah Arab, sehingga kekuatan Islam semakin kuat, tidak hanya di jazirah Arab saja akan tetapi juga di luar Arab, sehingga kekuatan ini bisa mengimbangi dua super power saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Kekuatan kedua imperium ini semakin menyusut dan lumpuh ketika mereka membiarkan kekuatan Islam ini menghancurkan dan mengikis kekuatan mereka, sebagaimana yang terjadi pada kekhalifahan Umar bin Khattab. Di akhir masa kekhalifahan Abu Bakar, setelah ia berhasil menaklukkan kota Hauzan, datanglah dua orang muallaf menemui sang khalifah. Mereka berdua ini ingin meminta bagian zakat dari khalifah berupa tanah sebagaimana Nabi memberikan bagian kepada mereka.23 Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, dari Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah ia berkata : bahwa suatu saat, „Uyainah bin Hishn dan al-Aqra‟ bin Habis datang kepada Khalifah Abu Bakar untuk meminta bagian zakat mereka dari golongan muallaf berupa tanah sebagaiman yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau masih hidup. Keduanya berkata, “sesungguhnya di tempat kami ada tanah-tanah kosong, yang yang tidak berumput dan tidak berfungsi, bagaimana jika tanah itu anda berikan kepada kami?” Maka Abu Bakar membuat surat (catatan) untuk mereka untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab, ketika itu Umar tidak ada di situ, namun ketika mereka menyerahkan surat tersebut kepada Umar, ia
23
ibid, hal. 181
60
menolak memberikan zakat kepada mereka dan langsung menyobek surat itu kemudian berkata, “dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai muallaf, ketika Islam saat itu masih kecil dan pemeluknya masih sedikit. Sedangkan sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan jaya, maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja.”24 Selanjutnya Umar bin Khattab mengutip al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat : 29 yang berbunyi :25
“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Mendengar kata-kata Umar bin Khattab seperti ini, mereka langsung datang kepada Abu Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya menjadi khalifah, kamu atau Umar? Kami menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh Umar”. Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.26 Umar kemudian mengeluarkan satu statemen hukum, bahwa almuallafah qulubuhum tidak mendapat bagian zakat, yang tidak ada satupun dari sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui pendapat dan apa yang dilakukan Umar tersebut.
24
Ibnu Katsir, Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin, Juz I, Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238. 25 Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab adalah : Lihat Wahbah al-Zuhayli, al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hal. 1954. 26 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1992, hal. 330. lihat juga Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda.
61
C. Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab menggugurkan hak muallaf sebagai mustahiq zakat Dilihat dari klasifikasi golongan muallaf, sebagaimana diperinci oleh fuqaha, maka diberikannya bagian zakat untuk ashnaf al-muallafah qulubuhum karena ada tujuan-tujuan dan maksud-maksud tertentu yang sifatnya sangat kondisional. Oleh sebab itulah, di waktu kondisi umat Islam telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah semakin mantap, Umar menghentikan pemberian bagian muallaf, bukan saja kepada orang-orang yang sebelumnya pernah menerima bagian muallaf, tetapi juga kepada orangorang lain yang semacamnya. Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar di kala ia masih menjadi khalifah untuk memberikan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang atas dasar ini, Umar berpendapat bahwa Rasulullah telah memberikan bagian itu untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidak berlaku lagi.27 Umar mencegah pemberian bagian zakat kepada para muallaf di masa pemerintahan Abu Bakar, dan di masa pemerintahannya, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar dan masa kekhalifahan sang khalifah kedua ini sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang layak disebut al-muallafatu qulubuhum (orang-orang yang ditaklukan hatinya). Ini persis seperti manakala pada suatu masa, di suatu tempat tertentu tidak ditemukan adanya orang fakir dan miskin. Tentu kita tidak mengamalkan apa yang tersurat
27
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of Islamic Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970, hal. 107
62
dalam Al-Qur‟an tentang bagian mereka, sampai ditemukan kembali orangorang fakir dan miskin di tempat tersebut.28 Setelah Rasulullah wafat, dan Islam telah tersebar di seluruh semenanjung Arab, juga setelah orang-orang Islam melewati ujian berat bertempur melawan kawan sendiri yang murtad, yang akhirnya dalam sekejap saja berakhir dengan tunggang langgangnya orang-orang murtad tersebut dan menyerah tanpa syarat kepada pasukan Islam, semakin jelaslah dan terbukti bahwa kekuatan Islam adalah sangat luar biasa, suaranya membahana di seantero Arab, dan gaungnya menggema kemana-mana sampai jauh keluar jazirah Arab, memenuhi ufuq dan menembus cakrawala. Jadi tidak diperlukan lagi penghambur-hamburan kas negara untuk menarik simpati dan membujuk orang untuk masuk islam. Inilah yang menjadi alsan mengapa Abu Bakar dan seluruh sahabat yang lain dengan secara spontan sepakat menerima pendapat Umar, tanpa harus didahului adu argumen terlebih dahulu. Karena mereka merasa diingatkan oleh Umar tentang hakikat Islam yang sekarang, yang sudah sangat kuat, tidak perlu lagi menghamburkan uang untuk menarik simpati orang
lain
non
muslim.
Sebagaimana
yang
dikatakannya
dahulu
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan Islam ini besar dan jaya. Kebenaran adalah dari Tuhan kalian. Maka barangsiapa yang mau beriman, maka berimanlah, dan barangsiapa yang tidak mau beriman, maka kafirlah”. Dan bagaimana mungkin, Islam masih harus membujuk-bujuk hati orang agar
28
Muhammad Baltaji, Op. Cit., hal. 182
63
mau memeluknya, sedangkan pasukannya saja mampu menggetarkan dan meporak-porandakan kekuatan super power kala itu, yaitu imperium persi dan romawi. Dari hal itu, tidak diragukan lagi bahwa hukum tentang ada dan tidaknya orang-orang muallaf, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Kalau memang dibutuhkan atau ada, maka ketika itulah hak-hak mereka diberikan, sebagaimana ketentuan dalam Al-Qur‟an, tapi kalau tidak ada atau sudah tidak diperlukan, bagaimana mungkin harus dipaksakan? Dengan ini jelaslah, bahwa Umar, Abu Bakar dan juga para sahabat yang lain tidak menyalahi teks-teks Al-Qur‟an ataupun melanggar apa yang telah dilakukan Nabi. Karena apa yang mereka lakukan, tidak ada niatan sedikitpun untuk mengesampingkan ayat Al-Qur‟an atau bahkan menghapusnya. Mereka hanya menahan bagian yang sudah tidak ada pemiliknya, yang hal itu tidak ada yang berhak menerimanya. Sehingga kalau seandainya pada masa Umar ataupun setelahnya ada kondisi-kondisi dan alasan yang memungkinkan dibagikannya bagian-bagian tersebut kepada yang berhak, tentu mereka akan mengeluarkannya dan memberikan kepada pemilik-pemiliknya yang berhak.29 Menurut Ahmad Azhar Basyir, sesungguhnya Umar telah melakukan istinbat dengan menentukan „illat hukum yang tidak disebutkan di dalam nash, sehubungan dengan tidak lagi perlunya pemberian zakat kepada muallaf. Muallaf dapat merupakan (1) orang yang baru masuk Islam, yang
29
Ibid, hal. 183-184
64
dilunakkan hatinya untuk betah beragama Islam, disamping pertimbangan keadaan ekonominya, dengan penerimaan zakat kepadanya. Dapat pula merupakan (2) orang bukan Islam yang hatinya telah dekat kepada Islam, dapat pula merupakan (3) orang bukan Islam yang bersikap memusuhi Islam. Muallaf yang ketiga ini, pada masa Nabi saw, diberi zakat untuk mengurangi sikap permusuhan terhadap Islam. Muallaf kedua diberi zakat agar cepat masuk Islam. Sedang muallaf pertama diberi zakat agar makin mantap dalam beragama Islam. Pemberian zakat kepada muallaf ketiga itu dicari illat hukumnya oleh khalifah Umar bin Khattab, dan ia mengambil ketetapan bahwa illat hukum memberikan zakat kepada muallaf ialah keadaan ia lemah agama dan keadaan umat Islam pada permulaan sejarahnya. Setelah pada masa khalifah Umar keadaan Islam dan umatnya telah cukup kuat, dan tidak diperlukan lagi melunakkan musuh-musuh Islam, maka pemberian zakat kepada muallaf ketiga (yang memusuhi Islam) dihentikan, karena illat hukumnya telah tidak ada lagi. Tentu saja, pemberian zakat kepada muallaf yang baru saja masuk Islam, dan yang telah sangat dekat kepada Islam, tidak dihentikan.30
30
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Ijtihad dalam Hukum Islam, dalam Jalaludin Rohmad, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung : Mizan, 1988, hal. 58
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT
A.
Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat Terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang kedudukan “almuallafah qulubuhum” sebagai mustahiq zakat ini, tidak seorangpun dari para sahabat menentangnya pada saat itu. Lain halnya dengan para ulama yang datang kemudian, mereka berbeda pendapat tentang hal itu. Terutama sekali dalam hubungannya dengan kedudukan ayat 60 surat at-Taubah tersebut. Apakah berarti ayat itu ter-mansukh atau tidak? Dan apakah pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat dapat dijadikan dasar ijtihad dalam khazanah ilmu fiqih? Masalah utama yang menjadi persoalan di atas adalah apakah ijma‟ sahabat yang disimpulkan sebagai kesepakatan atas pemikiran Umar bin Khattab dapat menasakh ketentuan Allah mengenai bagian zakat untuk golongan muallaf? Di dalam teori nasakh dijelaskan bahwa tidak semua teks atau nash dapat menerima adanya nasakh. Teks atau nash bisa dinasakh manakala ketentuan baik dan buruk yang terkandung di dalamnya itu bisa berubah menurut kondisi manusia. Oleh karena itu, hukum-hukum dasar (al-ahkam al-asasiyah) yang mencakup ushuluddin, akidah, ibadah, dan nash yang
65
66
mencakup fadhilah tidak bisa dinasakh karena hukum-hukum tersebut bersifat konstan atau tidak mengikuti perubahan kondisi manusia.1 Di samping itu, teks atau nash hanya bisa dinasakh dengan nash lain jika sejajar kekuatannya atau lebih kuat daripadanya. Hal ini sesuai dengan kaidah :
“Bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash sejajar kekuatannya atau lebih kuat daripadanya”.2
Pada dasarnya, nasakh merupakan pembatalan atas suatu hukum yang disyari‟atkan oleh Allah, baik itu dengan pengganti hukum lain atau tanpa pengganti sama sekali. Adapun yang berhak membatalkan hukum adalah Dia yang memiliki syari‟ah, yaitu Allah melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi-Nya. Karena itu, nasakh hanya dapat terjadi pada masa hidup Rasulullah SAW., bukan sesudahnya. Ada atau tidaknya nasakh dalam suatu hukum hanya dapat diketahui melalui dalil nash yang disampaikan oleh Syari‟ kepada Nabi; bahwa suatu hukum dinasakh dengan hukum lain atau suatu nash dinasakh dengan nash lain. Cara lain untuk mengetahui adanya nasakh adalah adanya dua dalil (nash) yang saling bertentangan dan tidak mungkin untuk dilakukan metode al-jam‟u wa at-taufiq. Di samping itu, masa turun dari kedua nash tersebut
1
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, penerj. Moh.Zuhri, Semarang : Dina Utama, 1994, hal. 355 2 Ibid, hal. 356
67
dapat diketahui mana nash yang lebih dulu turun dan mana nash yang datang lebih akhir. Hukum muallaf sebagai golongan yang berhak menerima zakat telah dipraktekkan (ma‟mul bih) pada masa Nabi masih hidup. Bahkan ketika masa risalah itu sudah selesai dengan wafatnya Nabi, hukum muallaf masih dipraktekkan oleh Abu Bakar pada awal masa kekhalifahannya sebelum Umar bin Khattab menghentikan pembagian zakat kepada golongan muallaf. Jika setelah masa risalah ketetapan hukum muallaf masih dipraktekkan, maka tidaklah tepat hukum muallaf yang secara jelas (sarih) dinashkan oleh Allah dalam Q.S. at-Taubah ayat 60 dinasakh oleh pendapatnya Umar bin Khattab. Di dalam pendapatnya tersebut, Umar bin Khattab secara jelas tidak mengatakan bahwa ia dengan pendapatnya hendak menasakh hukum distribusi zakat kepada golongan muallaf. Keengganan Umar memberikan zakat kepada golongan muallaf didasarkan pada alasan bahwa Islam pada saat itu sudah diberikan kemuliaan oleh Allah, yaitu kemuliaan yang belum diberikan secara sempurna ketika Nabi masih hidup. Hal ini didasarkan pada perkataan Umar bahwa pada masa Nabi, golongan muallaf diberikan harta zakat untuk membuat hati mereka luluh terhadap Islam. Seolah-olah menurut Umar, Islam pada saat itu masih dalam kondisi yang lemah karena sedikitnya pemeluk Islam. Namun ketika Islam sudah mendapatkan kemuliaan dan kejayaan dengan banyaknya pemeluk Islam, maka ia merasa sudah tidak perlu lagi untuk menta‟lif mereka yang masuk dalam golongan
68
muallaf. Jadi alasan („illat) yang disampaikan oleh Umar adalah bersifat kondisional. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyyah :
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”3 Dengan kata lain, jika pada suatu masa ada satu atau beberapa kondisi yang menuntut untuk melakukan ta‟lif maka hukum tentang distribusi zakat kepada golongan muallaf diberlakukan kembali. Sebaliknya, jika satu atau beberapa kondisi dalam suatu masa tidak menuntut untuk melakukan ta‟lif maka hukum tentang distribusi zakat kepada golongan muallaf ditunda pemberlakuannya. Kemudian dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaidah hukum yang cukup populer, yaitu :
“Hukum berlaku dengan ada dan tidaknya „illat hukumnya.”4 Kaidah ini menegaskan bahwa hukum itu berputar bersama dengan „illatnya, jika ada „illat maka ada hukum dan jika „illat itu tiada maka hukum pun menjadi tiada. Dengan demikian, „illat hukum adalah hal yang sangat berperan dan berpengaruh besar terhadap ada ataupun tiadanya sesuatu hukum. Suatu hukum yang bersendikan pada „illat dapat berubah apabila „illat itu berubah atau telah hilang. Contoh yang sangat populer yang biasa dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini ialah mengenai hukum
3
Ahmad bin Muhammad az-Zarqa, Syarh al-qawaid al-Fiqhiyyah, Dar al-Qalam, hal. 129 Ibid, hal. 300
4
69
haramnya khamr (minuman keras yang terbuat dari perasan anggur). Keharaman khamar ini dikarenakan adanya „illat, yaitu iskar yakni unsur memabukkan yang terdapat dalam minuman tersebut. Apabila unsur itu hilang, khamar yang semula haram itu kemudian telah menjadi cuka hukumnya menjadi halal. Jelas di sini terdapat perubahan hukum yang disebabkan perubahan „illat hukum. Keterangan di atas, senada dengan pemahaman mayoritas fuqaha atas pemikiran Umar bin Khattab bahwa Umar dengan pendapatnya tersebut tidak hendak menasakh ketentuan zakat bagi golongan muallaf, melainkan menunda sementara ketentuan tersebut karena absennya sejumlah syarat yang seharusnya terpenuhi. Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan golongan muallafah qulubuhum, menunjukkan bahwa ta‟lif al-qulub (membujuk hati) merupakan „illat menyerahkan zakat kepada mereka. Maka apabila „illat itu ada - yakni pembujukan – mereka harus diberi, akan tetapi bila „illat itu tidak ada maka mereka tidak perlu diberi. Umar merasa tidak ada kebutuhan (hajah) untuk menta‟lif golongan muallaf pada saat itu karena Islam sudah jaya. Umar tetap memandang zakat sebagai fardhu yang telah difardhukan (diwajibkan) Allah kepada muslimin, orang yang menunaikan zakat akan mendapat ajr (pahala) dari Allah. Oleh karena itu Umar sangat tegas ketika menghadapi persoalan zakat. Sebagai salah seorang sahabat yang terkenal wara‟, zuhud, dan senantiasa berupaya mendekatkan diri kepada Allah, Umar melaksanakan berbagai kewajiban yang telah difardhukan atau
70
diwajibkan kepada hamba-Nya. Di antara kewajiban tersebut adalah persoalan penanganan pembagian zakat. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan tentang “metode ijtihad Umar bin Khattab”,5 Umar dalam mengeluarkan pendapat hukum selalu menggunakan al-Qur‟an sebagai landasan utamanya. Jika suatu permasalahan
ia
temukan
hukumnya
dalam
al-Qur‟an,
maka
ia
memutuskannya sesuai dengan apa yang ada di al-Qur‟an tersebut. Jika ia tidak menemukan dalam al-Qur‟an, ia lalu mencarinya dalam sunnah. Dan jika hukumnya tidak ia temukan juga di sunnah, maka ia beranjak untuk bermusyawarah dengan ahli ijtihad dan kemudian berijtihad.6 Umar sangat berhati-hati ketika ada suatu perkara yang berhubungan –baik hubungan dekat atau jauh- dengan agama. Apalagi masalah tasyri‟ yang berhubungan dengan kehormatan, jiwa dan harta. Seperti ketika Umar mencurahkan ijtihadnya dalam menangani kasus tanah rampasan perang, dikisahkan dalam sejarah, bahwa setelah daerah Irak, Syam dan juga Mesir berhasil diduduki pasukan muslimin, para bala tentara muslim meminta kepada para komandan perang untuk membagi tanah yang berhasil dikuasai kepada masing-masing pasukan yang ikut serta dalam perang. Para komandan tersebut tidak mau mengambil keputusan dan menyerahkan masalah ini kepada Khalifah Umar bin Khattab. Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, dan mengajak
5
Pembahasan tentang “Metode Ijtihad Umar bin Khattab” sudah dijelaskan pada bab II. Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, (penerj. Masturi Irham), Jakarta : Khalifa, 2005, hal. 453 6
71
mereka bermusyawarah membahas masalah pembagian tanah yang telah dianugerahkan Allah kepada kaum muslimin tersebut. Salah satu nash yang menjadi objek tentang masalah pembagian tanah hasil rampasan perang adalah surat al-Anfal ayat : 41,
Artinya : “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil.”7 Ayat tersebut secara tegas menyebutkan bahwa 1/5 (seperlima) dari harta rampasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Adapun 4/5 (empat perlimanya) Rasulullah membagikannya kepada tentara yang ikut dalam peperangan, yang besar kecil jumlahnya disesuaikan dengan peranan dan peralatan yang dipergunakan.8 Yang sering dipraktekkan Rasulullah kata Fazlur Rahman, ”Jika suatu suku tertentu tidak menyerah secara damai, tetapi melalui pertempuran, maka tanah mereka disita sebagai harta rampasan perang dan dibagi-bagikan kepada pasukan kaum muslimin.9 Atas dasar ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi tersebut maka para tentara yang ikut berperang datang kepada Umar dan meminta agar harta
7
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia Arkanleema, 2009, hal. 8 Amiur Nuruddin, Ijtihad „Umar ibn al-Khaththab : Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1987, hal. 155 9 Fazhur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung : Pustaka, 1983, Hal. 271-272
72
rampasan perang di Irak dan Syam 1/5 (seperlima) dari padanya segera dikeluarkan untuk enam komponen yang tersebut dalam ayat dan selebihnya dibagikan kepada tentara yang ikut berperang. Desakan oleh sementara orang yang tidak sependapat itu digambarkan oleh Fazhur Rahman, sebagai tantangan yang berkembang menjadi sebuah krisis.10 Oleh sebab itu, bagaimanapun kerasnya sikap Umar, yang oleh sementara kalangan sering dijadikan alasan sebagai salah satu faktor penyebab kesuksesan Umar, namun berdasarkan kasus harta rampasan ini tidaklah bisa dianggap bahwa ia bersikap otoriter, karena dalam kekerasannya, bermusyawarah tidak pernah ditinggalkannya. Dari berbagai sumber kutipan-kutipan dialog Umar dengan para sahabat dapat disimpulkan bahwa pertimbangan yang melatar belakangi Umar untuk mengambil sikap tersebut adalah: 1. Bahwa setelah tanah-tanah itu berada di tangan dan kekuasaan kaum muslimin, selanjutnya perlu pemeliharaan. Untuk itu perlu ditempatkan tentara guna pengamanannya yang tentunya juga perlu diberi tanah untuk tempat tinggal mereka juga penghidupan mereka. Seandainya tanah itu telah dibagi maka tujuan pemeliharaan tersebut tidak tercapai. 2. Apabila tanah-tanah itu dibagikan kepada para tentara yang ikut berperang, maka dikhawatirkan akan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin karena dengan pembagian itu berarti pemilik tanah-tanah tersebut akan mengelompok kepada kalangan tertentu
10
Ibid, hal. 272
73
yakni tentara-tentara yang ikut berperang saja. Bagaimana dengan kaum muslimin yang kebetulan tidak ikut berperang atau yang datang kemudian. 3. Apabila tanah-tanah itu dibagi-bagikan kepada para tentara yang ikut berperang maka dikhawatirkan akan dapat melemahkan kekuatan tentara Islam sendiri karena hal itu dapat menstimulir untuk berperang dengan motivasi bukan karena Allah melainkan karena untuk mendapatkan harta rampasan. Terhadap sikap Umar yang menolak untuk membagikan tanah rampasan tersebut, sebaliknya Umar menetapkan agar tanah tersebut tetap berada pada tangan pemilik dan penggarapannya, hanya saja kepada mereka diwajibkan membayar pajak dan pajak itulah yang kemudian untuk Baitul Mal, yang selanjutnya dipakai untuk kepentingan dan kemaslahatan kaum muslimin, termasuk kepentingan para tentara tersebut. Dari contoh kasus tersebut kita dapat menilai tentang latar belakang ijtihad yang dilakukan Umar, bahwasannya Umar sangat disiplin dalam mengaplikasikan
teks-teks
syara‟,
disamping
juga
disiplin
dalam
merealisasikan kemaslahatan umum dalam posisinya sebagai khalifah yang dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain, Umar selalu disiplin dalam mengaplikasikan syariat dan dalam waktu yang bersamaan menjamin terealisasinya kemaslahatan umum. Demikian juga ketika Umar dengan tegas menolak memberikan bagian zakat kepada para muallaf di masa pemerintahan Abu Bakar dan di
74
masa pemerintahannya, karena sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang layak disebut al-muallafah qulubuhum (orang-orang yang ditaklukkan hatinya) disebabkan situasi dan kondisi umat Islam pada saat itu sudah sangat kuat dan tidak perlu lagi untuk menarik simpati orang non muslim. Inilah yang menjadi alasan mengapa Abu Bakar dan seluruh sahabat yang lain secara spontan sepakat menerima pendapat Umar. Tidak diragukan lagi bahwa hukum tentang ada dan tidaknya orangorang muallaf, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di tengahtengah masyarakat muslim. Umar, Abu Bakar dan juga para sahabat yang lain tidaklah menyalahi teks-teks al-Qur‟an ataupun melanggar apa yang telah dilakukan Nabi. Karena apa yang mereka lakukan, tidak ada niatan sedikit pun untuk mengesampingkan ayat al-Qur‟an atau bahkan menghapusnya. Mereka hanya menahan bagian yang sudah tidak ada pemiliknya, yang hal itu tidak ada yang berhak menerimanya. Sehingga kalau seandainya pada masa Umar ataupun setelahnya ada kondisi-kondisi dan alasan yang memungkinkan dibagikan bagian-bagian tersebut kepada yang berhak, tentu mereka akan mengeluarkannya dan memberikan kepada pemilik-pemiliknya yang berhak.11 Dalam menanggapi hal tersebut, al-Jasshash berkata, “Abu Bakar tidak mengingkari apa yang dilakukan Umar, meski setelah ia menetapkan satu keputusan yang berseberangan dengan pendapat Umar itu. Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar mengerti alasan yang menjadi acuan
11
Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 183-184
75
pendapat Umar. Dan Abu Bakar merasa diingatkan, bahwa bagian para muallaf adalah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Islam itu sendiri. Yaitu bagian mereka diberikan di saat jumlah pemeluk Islam sedikit dan mayoritas
penduduk
adalah
orang-orang
kafir.”
Al-Jasshash
juga
meriwayatkan apa yang diriwayatkan apa yang diriwayatkan al-Hasan, “sesungguhnya keberadaan orang-orang muallaf adalah pada masa Nabi, adapun sekarang mereka sudah tidak ada lagi.”12 Jadi menghapus subsidi untuk mereka adalah sebagai upaya untuk memperhatikan apa yang telah dicapai Rasulullah, dan bukan berarti menasakhnya (menghapusnya). Karena yang menjadi kewajiban adalah mengagungkan agama Islam, yaitu dengan memberikan bagian mereka (saat Rasul), dan saat Abu Bakar dan Umar malah sebaliknya. Untuk mencapai keagungan itu, mereka harus tidak memberikan bagian zakat kepada mereka.13 Inilah pandangan jitu tentang tujuan tasyri‟ dan hikmahnya. Sekali lagi, Umar dan para sahabat tidak pernah menasakh al-Qur‟an atau membatalkan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Ada perbedaan mendasar antara membatalkan atau mengeliminasi nash dengan penangguhan nash sementara pengamalannya sampai ditemukan kembali segala perlengkapannya. Perbedaan ini akan semakin tampak jelas, mana kala pada kondisi-kondisi tertentu dimungkinkan munculnya kembali halhal tersebut. Sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Abdul Aziz 12 13
Al-Jasshas, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal. 183 Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 477
76
ketika memberikan kepada Al-Bithriq (komandan pasukan Romawi yang membawahi 10.000 pasukan) mata uang sebanyak seribu dinar, demi menjaga kepentingan dan kemaslahatan orang-orang Islam, dan sebagai pengamalan dari ayat-ayat al-Qur‟an dan sunnah Nabi.14 Merupakan dalil aksiomatis (yang sudah jelas kebenarannya), jika seandainya ayat ini telah dinasakh atau dibatalkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, tentu tidak boleh lagi digunakan setelahnya. Dan perlu juga ditegaskan bahwa setelah masa risalah berakhir, dan wahyu pun telah selesai turun, tidak ada seorang pun yang bisa coba-coba menasakh satu huruf pun dari teks-teks al-Qur‟an. Dan ini adalah realita tertinggi dalam hukum Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam berkata, “sesungguhnya ayat tentang orang-orang yang berhak menerima zakat di atas, adalah ayat-ayat muhkam yang tidak pernah aku ketahui penasakhannya, baik oleh ayat AlQur‟an yang lain maupun Sunnah. Jadi seandainya ada kelompok-kelompok yang tidak senang dengan Islam, kecuali ia mendapatkan bagian-bagian yang menguntungkannya (mendapatkan bagian zakat, misalnya) dan memerangi mereka justru akan menimbulkan bahaya yang lebih besar terhadap Islam, karena kekuatan dan besarnya jumlah mereka, maka seorang pemimpin boleh memberi mereka bagian harta zakat. Apa yang dilakukan imam atau pemimpin itu dengan memberikan bagian, berdasarkan tiga alasan mendasar, yaitu:
14
Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub, hal. 64
77
1. Mengamalkan Al-Aqur‟an dan sunnah 2. Menyelamatkan orang-orang Islam 3. Sesungguhnya seorang imam tidak dianggap putus asa atau pengecut, bila bersikap lunak kepada mereka, jika ada keyakinan bahwa mereka akan tahu hakikat islam, dan menjadikan mereka akan senang dengan Islam. Karena itulah, Abu Ubaid berpendapat, “Perintah memberikan bagian kepada muallaf adalah perintah abadi sepanjang masa.15 Adapun parameter ada dan tidaknya muallaf, berikut kadar yang harus diberikan kepada mereka, kesemuanya dikembalikan pada kebijakan imam atau penguasa setempat.” Menurut kesimpulan saya, bahwa kaum muslimin di masa Abu Bakar dan Umar memang benar-benar mengalami puncak kejayaannya, sehingga tidak butuh lagi untuk mencari dukungan atau merayu orang non muslim, yang hal ini berarti menafikan adanya muallaf. Jadi bukan menasakh ayat atau sunnah yang ada, karena hukum keduanya adalah abadi, sampai adanya kembali kebutuhan Islam akan para muallaf, sehingga ayat dan sunnah ini dapat kembali lagi dipraktikkan.
15
Abu Ubaid, Al-Amwal, Beirut : Dar al-Fikr al-Muashir, 1983, hal.607
78
B.
Posisi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat dalam Pandangan Ulama’ Telah diketahui dengan masyhur bahwa Umar menghapuskan bagian zakat yang diberikan kepada orang-orang muslim atau non muslim tertentu untuk mendekatkan atau melunakkan hati mereka sebagaimana diperintahkan al-Qur‟an. Rasulullah biasanya memberikan bagian ini pada kepala suku Arab tertentu dengan tujuan untuk menarik mereka agar memeluk Islam atau mencegah mereka agar tidak membahayakan kaum muslimin. Bagian ini diberikan pula pada orang-orang muslim yang baru sehingga mereka dapat tetap memeluk Islam dengan teguh. Tetapi Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar dikala ia masih menjadi khalifah untuk memberikan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang. Atas dasar ini, Umar berpendapat bahwa Rasulullah telah memberikan bagian itu untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidak berlaku lagi. Tindakan Umar ini tampaknya bertolak belakang dengan al-Qur‟an, tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada dan
mengikuti
ruh
perintah
al-Qur‟an.
Pertimbangan
pribadinya
membawanya pada keputusan bahwa seandainya Rasulullah hidup dalam kondisi yang sama, tentu beliau akan memutuskan hal yang serupa.16 Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa bagian muallaf pernah digugurkan terdapat pula dua tinjauan yang berbeda yang dampaknya ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran dewasa ini. Tinjauan pertama 16
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of Islamic Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970, hal. 107
79
mengatakan bahwa konsensus (persetujuan umum) sahabat yang terjadi pada masa Abu Bakar yang menggugurkan bagian muallaf tersebut telah menasakh bagian muallaf yang terdapat pada ayat 60 surat at-Taubah. Pemikiran semacam inilah barangkali yang membawa adanya teori lokal dan temporal pada ayat-ayat al-Qur‟an. Sementara itu tinjauan yang kedua berpendapat bahwa pengguguran bagian muallaf pada masa sahabat itu bukanlah berarti sama dengan pembatalan (nasakh), tetapi yang sebenarnya adalah „penghentian hukum disebabkan berhenti (tidak terpenuhi) „illatnya.‟ Pendekatan yang kedua ini nampaknya membuka pintu bagi teori adanya sifat-sifat situasional dan kondisional ayat-ayat al-Qur‟an.17 Sebelum mengulas lebih mendalam tentang pandangan ulama, khususnya bagaimana ulama khalaf memposisikan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, ada baiknya
penulis
sedikit
mengulas
tentang
definisi
ulama
khalaf
(kontemporer) disini dan siapa saja ulama-ulama kontemprer tersebut yang penulis kutip pendapatnya berhubungan dengan pemikiran Umar tersebut. Kata khalaf berarti yang terkemudian. Ulama khalaf (kontemporer) adalah ulama islam yang hidup dari awal 300 tahun sesudah hijriyah sampai sekarang.18 Ibnu Taimiyah membatasi masa salaf ialah sejak masa Rasulullah sampai 300 tahun Hijriah. Sedang masa setelah 300 Hijriah
17 18
hlm. 1449
Amiur Nuruddin, Op.Cit., hal. 143 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997,
80
sampai sekarang dinamakan masa khalaf. Namun batasan itu sebenarnya tidak dijelaskan oleh agama, tetapi hanya pendapat Ibnu Taimiyah saja.19 Kalau ditinjau ulang lembaran sejarah Islam dari zaman Nabi sampai zaman Sahabat, sampai zaman Tabi'in dan Tabi' Tabi'in, tegasnya sampai tahun 300 hijriyah, tidak dijumpai adanya suatu madzhab yang bernama "Madzhab Salaf". Bahkan batas waktu yang tegas antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam Al-Quran maupun dalam Hadits.20 Ada kemungkinan istilah-istilah ini muncul pada abad ke IV H. Imam Ghazali (Lahir 450 H. - wafat 505 H.) telah mempergunakan istilahistilah ini dalam kitabnya "Iljamul Awam fi Umil Kalam", yaitu kitab yang paling akhir dikarangnya atau yang paling akhir kitab Tauhid yang dikarangnya. Sesudah zaman Imam Ghazali banyak ulama-ulama Ushuluddin dan ulama-ulama Tafsir menyebut dalam kitab-kitabnya perkataan "Thariqatus Salaf (Aliran Orang Terdahulu), Thariqatul Khalaf" (Aliran Orang Terkemudian).21 Adapun alasan penulis mencantumkan pendapat atau pandangan ulama kontemporer disini adalah untuk dapat membaca dan menganalisa pemikiran umar bin khattab pada konteks masa kini. Dan diantara ulamaulama kontemporer yang penulis kutip pendapatnya antara lain ; Imam Asy-Syaukani (1173-1251 H), Ibnu Rusyd (526-595 H), Sayyid Quthb
19
Muhaimin, Ilmu kalam Sejarah dan Aliran-Aliran, Yogyakarta : IAIN Walisongo, 1999, hlm. 156. 20 Ibid, hlm. 147 21 Ibid.
81
(1906-1969 M), Sayyid Sabiq (1915-2000 M), Hasbi Ash-Shiddieqy (19041975 M), dan Yusuf Qardawi (1926-1961 M). Yang pertama, Imam Asy-Syaukani (1173-1251 H) dalam hubungannya dengan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, berkata; “Bahwasanya boleh memberi bagian kepada muallaf sewaktu-waktu diperlukan. Bila disuatu masa ada kelompok yang tidak bisa ditundukkan kecuali derngan harta, dan sudah tidak mungkin menundukkan mereka kecuali dengan jalan itu. Maka patutlah kiranya mereka dibujuk hatinya untuk menarik simpatinya, dan tidak berarti mengurangi arti penyebaran Islam, karena memang penyebaran Islam menjadi tidak representatif dalam kasus ini.”22 Jadi, ayat tentang al-muallafah qulubuhum adalah bersifat abadi sepanjang
masa,
yang
mana
orang-orang
muslimin
jika
sedang
membutuhkan orang-orang muallaf ini demi kemajuan dan gerak laju Islam, maka timbul kembali apa yang diakatakan al-muallafatu qulubuhum dan mereka ini berhak untuk mendapatkan bagian zakat. Sebenarnya, orang-orang yang mengatakan bahwa setelah masa Umar tidak ada lagi muallaf, itu tidak lebih dari sudut pandang mereka berdasar kenyataan kondisi masyarakat Islam ketika itu yang sudah kuat, sehingga saat itu tidak dibutuhkan lagi al-muallafah qulubuhum. Ibnu Rusyd (526-595 H) dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan, “masih adakah orang-orang muallaf paska periode awal Islam?”
22
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, jil. III, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 179
82
mengatakan, “Imam Malik berkata, sekarang sudah tidak ada lagi muallaf. Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah mengatakan, bahwa bagian atau hak muallaf untuk mendapatkan zakat adalah abadi sepanjang masa, jika memang imam berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang yang dibujuk hatinya olah imam (penguasa) demi kepentingan Islam. Adapun sebab perbedaan pendapat mereka dalam masalah ini adalah, apakah kekhususan ini hanya untuk Nabi ataukah juga untuk umatnya secara umum? Tentu, jawabannya adalah untuk umum. Apakah kebolehan bagi imam untuk memberikan bagian itu mutlak atau terbatas? Artinya, apakah hanya dalam kondisi-kondisi lemah saja, seorang imam boleh memberikan hak itu? Berdasar inilah, Imam Malik mengatakan, “Sekarang kita tidak butuh lagi muallaf. Karena Islam sudah sangat kuat. Inilah sebagaimana diketahui dari sudut pandang berdasar kemaslahatan.23 Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan antara ketiga Imam madzhab tersebut, Malik, Asy-Syafi‟i, dan Abu Hanifah. Karena pandangan Imam Malik berdasar pada kondisi umat Islam saat itu, yang memang dianggapnya benar-benar kuat, sehingga illat (alasan) untuk memberi mereka bagian zakat hilang. Adapun jika demi kemaslahatan muslimin adalah dengan memberi bagian kepada mereka. Maka illat itu muncul lagi, sehingga mereka kembali diberikan haknya. Dan
23
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta : Pustaka Amani, hal. 613
83
parameter maslahat ini dikembalikan sepenuhnya kepada imam, yang hal ini adalah sesuai dengan pendapat Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa Umar pernah menghentikan hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” adalah dengan alasan bahwa berawal ketika Umar merobek surat yang dibawa oleh Uyainah bin Hishn dan Aqra bin Habis pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan waktu itu Umar sebagai pemegang atau penjaga baitul mal, kemudian Umar berkata :
“Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk) Islam, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.24
Sayyid Quthb (1906-1969 M) berpendapat bahwa, terdapat perbeedaan pendapat dikalangan fuqaha mengenai siapa diantara muallaf ini yang tidak lagi berhak mendapatkan zakat setelah islam menjadi kuat. Akan tetapi, sistem gerakan agam Islam ini akan senantiasa menghadapi tahapan dan keadaan yang bermacam-macam. Sehingga, diperlukan memberi kelompok manusia semacam ini dengan cara ini. Mungkin untuk membantu meneguhkan hati mereka atas ke Islaman mereka, jika mereka mendapatkan problem ekonomi setelah masuk Islam. Atau boleh jadi untuk mendekatkan mereka kepada Islam seperti sebagian orang non muslim yang diharapkan akan bermanfaat bagi Islam dengan terus didakwahi untuk masuk Islam,
24
hal. 1954.
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997,
84
atau dia akan menghentikan gangguannya terhadap islam di sana-sini. Kita mengerti hakekat ini. Maka, kita lihat realitas kesempurnaan kebijaksanaan Allah dalam mengatur urusan kaum muslimin dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda.25 Sayyid Sabiq (1915-2000 M) berpendapat, bahwa apa yang dilakukan Umar merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Umar melihat bahwa memeberikan pemberian kepada mereka (muallaf) setelah Islam tumbuh dengan kokoh di dalam bangsa Arab tidak mengandung maslahat. Jika mereka keluar dari Islam, hal itu tidak menimbulkan dampak yang merugikan terhadap Islam. Adapun Utsman dan Ali yang tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf tidak dapat dijadikan alasan terhapusnya bagian muallaf karena bisa jadi keduanya pada saat itu memandang tidak perlu memberikan zakat kepada orang kafir. Hal ini tidak bertentangan dengan tetapnya bagian muallaf untuk orang yang membutuhkan. Terlepas dari itu semua landasan utama dalam istidlal adalah Al-Qur‟an dan asSunnah. Kedua sumber inilah yang harus dijadikan pegangan. Pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa memberikan bagian muallaf kepada orang kafir ketika dipandang perlu adalah boleh. Jika pada suatu saat ada kaum kafir yang tidak mau menaati pemerintah, kecuali karena dunia dan pemerintah tidak mempu membuat mereka masuk Islam kecuali dengan paksaan, maka pemerintah boleh memberikan zakat
25
hal. 370.
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur‟an, terj. Jil. V, Jakarta : Gema Insani Press, 2003
85
kepada mereka. Tersebarnya Islam dalam keadaan itu tidak dapat menjadi alasan untuk menggugurkan bagian muallaf.26 Senada dengan Sayyid Sabiq, Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975 M) berpendapat sesungguhnya apa yang dipahami Umar adalah suatu ijtihad dari padanya. Dia berpendapat tidak ada lagi maslahat memberikan kepada mereka bagian muallaf. Mengenai Utsman dan Ali tidak memberikan bagian ini tidak menjadi dalil bahwa bagian ini telah digugurkan, karena mungkin dirasa tidak perlu menjinakkan hati seseorang kafir dan hal ini tidak menggugurkan bagian tersebut. Pendapat kepala negara yang merasa perlu dapat mengadakannya.27 Dalam hal ini Hasbi Ash-Shiddieqy mengungkapkan, hendaklah kita berpegang kepada pendapat ahli syura dalam suatu masa, sebagaimana telah dilakukan oleh para khulafa dalam hal ijtihad, baik mengenai perlu tidaknya diadakan bagian muallaf itu menurut keadaan dan masa, maupun mengenai jumlah yang diberikan dari bagian rampasan dan lain-lain. Yusuf Qardawi (1926-1961 M) berpendapat bahwa pengakuan adanya nasakh dengan perbuatan Umar sama sekali tidak bisa dijadikan alasan. Umar hanya mengharamkan memberi zakat kepada sekelompok orang yang pernah mendapatkan bagian muallaf di zaman Rasulullah. Ia berpendapat, bahwa sekarang sudah tidak diperlukan lagi membujuk hati mereka, karena Allah telah memperkuat Islam. Umarlah yang benar dengan tidak berlebihan atas perbuatannya itu, karena muallaf itu bukan sesuatu 681.
26
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. jil.I, Jakarta : PT Pena Pundi Aksara, 2009, hal. 680-
27
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, hal. 191-192
86
yang bersifat tetap dan tidak pula seorang yang muallaf pada suatu masa, tetap muallaf pula pada masa yang lain. Dan penetapan ada tidaknya kebutuhan pada muallaf serta penentuan orang-orangnya, adalah masalah yang harus dikembalikan kepada penguasa. Merekalah yang menentukan apa yang lebih baik dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.28 Para ulama ushul fiqh telah menetapkan, bahwa pengaitan sesuatu hukum dengan sesuatu sifat yang musytak (ada asal katanya), menunjukkan adanya illat (sebab yang terdapat pada sifat tersebut). Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan golongan yang muallaf hatinya, manunjukkan bahwa ta‟lif al-qulub (membujuk hati) merupakan illat menyerahkan kepada mereka. Maka apabila illat itu ada – yakni pembujukan – mereka harus diberi, akan tetapi bila illat itu tidak ada, maka mereka tidak perlu diberi.29 Umar bin Khattab ketika menghilangkan golongan muallaf itu tidak berarti menentang nash atau menasakh syara‟. Karena zakat itu harus diberikan kepada kelompok asnaf yang delapan, yang telah dijadikan Allah sebagai orang yang berhak mendapatkan. Apabila salah satu asnaf tidak ada, maka hilanglah bagiannya. Bila terjadi demikian, jangan dikatakan bahwa hal itu bertentangan dengan kitab Allah atau merupakan nasakh padanya. Misalnya, apabila tidak ada bagian “riqab/ untuk memerdekakan budak belian”, seperti di zaman kita sekarang yang menghilangkan perbudakan perorangan, maka hilanglah bagian ini. 28 29
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal. 571 Ibid.
87
Tetapi jangan dinyatakan, bahwa dengan hilangnya bagian ini telah menasakh Al-Qur‟an atau bertentangan dengan nash.30 Dengan demikian apa yang diperbuat Umar dengan alasan apa pun juga bukan merupakan nasakh terhadap hukum memberi zakat pada golongan muallaf, apalagi bila hal itu dinyatakan sebagai ijma‟ sahabat. Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa sekarang tidak ada muallaf, sama sekali bukan nasakh, akan tetapi hal itu hanya pemberitahuan dari suatu keadaan di masanya. Imam Syatibi (720-790 H/1368-1388 M) telah mengemukakan pendapatnya dalam masalah yang sama seperti ini, bahwa hukum apabila telah tetap dan berlaku pada muallaf, maka pengakuan adanya nasakh terhadap hukum tersebut harus dengan perintah yang jelas pula. Oleh karena hukum zakat untuk golongan muallaf terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan perintah yang jelas, jadi menghilangkan setelah diketahui tetapnya nash, juga harus dengan perintah yang jelas.31 Dari uraian pendapat-pendapat ulama diatas, dapat diambil garis besar bahwa ulama-ulama khalaf disini sepakat bahwa bagian golongan muallaf ini tetap ada, tidak pernah dinasakh, telah ditetapkan dengan nash yang sudah pasti, yaitu ayat Al-Qur‟an yang terdapat dalam surat AtTaubah, yang termasuk kelompok terakhir ayat Al-Qur‟an yang diturunkan. Adapun bagaimana mereka mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab berkenaan tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq 30 31
Ibid. Ibid., hal. 572
88
zakat, sebagaimana Sayyid Sabiq, Hasbi ash-Shiddieqy, Yusuf Qardawi dan yang lainnya menyebutkan, bahwa Abu Bakar samasekali tidak menolak ucapan dan perbuatan Umar itu, demikian pula para sahabat, sehingga masalah tersebut merupakan kesepakatan (ijma‟) para sahabat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Alasan ijtihad Umar bin Khattab menggugurkan hak bagi asnaf “almuallafah qulubuhum” sebagai penerima zakat adalah karena adanya suatu „illat (alasan-alasan di balik solusi-solusi dan keputusan tersebut) yaitu keadaan “lemah agama” dan keadaan umat Islam pada permulaan sejarahnya yang masih minoritas sehingga diberikannya bagian harta zakat kepada kelompok “al-muallafah qulubuhum” adalah di samping mereka diharap berubah dan masuk Islam, juga untuk menolak kemungkinan datangnya kejahatan dari mereka. Namun pada masa khalifah Abu bakar, keadaan umat Islam telah cukup kuat dan tidak diperlukan lagi untuk melunakkan musuh-musuh Islam, maka pemberian zakat kepada golongan muallaf (dari golongan orang kafir) dihentikan Umar bin Khattab, karena „illat hukumnya sudah tidak ada lagi. 2. Pendapat para ulama terhadap hasil pemikiran Umar bin Khattab yang tidak memberikan hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” dari golongan orang kafir sebagai penerima zakat tidak seorang pun menentangnya pada saat itu (pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar bin Khattab itu sendiri), akan tetapi lain halnya dengan ulama yang datang kemudian, mereka berbeda pendapat mengenai status asnaf “al-muallafah qulubuhum”, akan tetapi pada umumnya
89
90
mereka tidak menyalahi apa yang telah dilakukan Umar pada saat itu, ulama-ulama khalaf (kontemporer) disini sepakat bahwa bagian golongan muallaf ini tetap ada, tidak pernah dinasakh, telah ditetapkan dengan nash yang sudah pasti, yaitu ayat Al-Qur‟an yang terdapat dalam surat AtTaubah, yang termasuk kelompok terakhir ayat Al-Qur‟an yang diturunkan. Adapun bagaimana mereka mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab berkenaan tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, sebagaimana Sayyid Sabiq, Hasbi ash-Shiddieqy, Yusuf Qardawi dan yang lainnya menyebutkan, bahwa Abu Bakar samasekali tidak menolak ucapan dan perbuatan Umar itu, demikian pula para sahabat, sehingga masalah tersebut merupakan kesepakatan (ijma‟) para sahabat.
B. Saran-saran 1. Dari pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, perlu dipahami bahwa ada perbedaan mendasar dan signifikan antara istilah “menghapus dan membatalkan” dengan kalimat “menggugurkan dan menghentikan untuk sementara” bagian mustahiq tertentu karena mereka tidak ditemukan lagi. Karena dengan istilah yang kedua ini, mereka akan tetap diberikan haknya jika mereka ternyata muncul dan ditemukan lagi. 2. Dan dengan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat ini jelas pula bagi kita salahnya pendapat sebagian orang di zaman sekarang yang menyatakan bolehnya tidak
91
mempergunakan nash atau bertentangan dengannya, jika kemaslahatan menghendakinya. Mereka beralasan dan memperkuat pendapatnya dengan telah menghilangkannya Umar akan golongan muallaf. 3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan kepada umat Islam, khususnya bagi badan distributor zakat, seperti BAZIS, LAZIS, BAZ, dan lainnya agar mengetahui konsep muallaf dan tasarruf al-zakah bagi golongan ini, sehingga mereka menyadari bahwa pemberian zakat kepada golongan muallaf tidak hanya kepada mereka yang baru masuk Islam, tetapi juga kepada non-muslim sebagai salah satu bentuk dakwah untuk mengajak mereka memeluk agama Islam.
C. Penutup Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada semua yang telah membantu dan memberi dukungan serta semangat untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi yang sederhana ini. Tentu saja penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dan sudah pasti disana-sini masih terdapat begitu banyak kekurangan. Semua itu harus diakui sebagai sebuah kekurangan dari penulis. Sambil berupaya terus untuk menyempurnakan penulisan, penulis ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kekurangan atau pun kekeliruan, baik dalam penulisan, ejaan atau pun peletakkan posisi kerangka penulisan.
92
Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan karya-karya ilmiah selanjutnya. Semoga dapat diambil manfaat dari penulisan skripsi ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, Zainal Arifin, Peri Hidup Muhammad Rasulullah SAW, Medan : Pustaka Indonesia, 1964 Al-Aqqad, Abbas Mahmud, Abqari’ah Umar. Dar al-Hilal Al-Asqalani, ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adilatil Ahkam, Dar al-Kutub alIlmiyah, 2002 Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shohih al-Bukhori, Juz II, Dar ibnu Katsir Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Fikih ekonomi Umar bin Al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2006. Al-Islami, Qatadah al-Fath, Umar bin Khattab al-Faruq al- Qaid, Beirut : Maktabah al Hayaah. Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, jil. III, Dar al-Fikr. Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, vol. 1, cet. III, Beirut : Dar Ihya al-Turats al-Arabi Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, vol. 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1994 Al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997 Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Beirut : Dar al-Kutub, 1975 An-Naisaburi, Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Juz IV, Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan tafsir ibnu Katsir, Jakarta : Gema Insani Press, 1999. Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1996 ___________, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1971 As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2010
Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ___________, Nail al-Authar, jil. III, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al- Kutub al-Ilmiyah ___________, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid III, Dar al-Fikr At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz V, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi Azwar, Saifudin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : PustakaPelajar, 1998 Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005 Basyir, Ahmad Azhar, pokok-pokok Ijtihad dalam hukum Islam, dalam jalaludin Rohmad 1988 Ijtihad dalam sorotan, Bandung : Mizan. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia Arkanleema, 2009 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jil. I, Yogyakarta : ANDI, 2000 Haekal, Muhammad Husain, Umar bin Khattab. Bogor : Litera AntarNusa. 2011 Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of Islamic Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970 Katsir, Ibnu, Musnad al-Faruq Amir al-Mu’minin, Juz I, Dar al-Wafa’ ___________, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, (terj. Al Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin), Jakarta: Dar al-Haq Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Semarang : Dina Utama, 1994. Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remadja Karya, 1989 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997 Musa, Muhammad Yusuf, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub Nuruddin, Amiur, Ijtihad ‘Umar ibn al-Khaththab : Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1987
Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002 Qayyim, Ibnul, A’lam Al-Muwaqqi’in, juz. I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, terj. Jil. V, Jakarta : Gema Insani Press, 2003 Ra’ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattab, terj. Economic System Under Umar The Greath, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992 Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung : PT. Al Ma’arif, cet.7, 1984 Ridho, Muhammad, Umar ibn al-Khattab al-Faruq, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta : Pustaka Amani Sa’ad, Ibnu, Ath-Thabaqat al-Kubro, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1983 Sarwat, Ahmad, Seri Fiqih Kehidupan 4 : Zakat, Jakarta : DU Publishing, 2011 Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1999 Sjadzali, Munawir, Ijtihad kemanusiaan, Jakarta : Paramadina, 1997. Sou’yb, Joesef, Sejarah daulat khulafaur Rasyidin, Jakarta : Bulan Bintang. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002 Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998 Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna, 1998 Ubaid, Abu, Al-Amwal, Beirut : Dar al-Fikr al-Muashir, 1983 Zahroh, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Mesir : Dar al-fikr al-Arabi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Muhammad Syaifudin
NIM
: 062311006
TTL
: Semarang, 2 Oktober 1984
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Krajan RT 04/I, Mangkang Wetan, Tugu, Semarang, 50156
No Telp/HP
: 085290760777
Pendidikan
: - MI Muhammadiyah Ngaliyan Semarang, lulus tahun 1997 - SLTP Muhammadiyah 9 Tugu Semarang, lulus tahun 2000 - KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, lulus tahun 2004 - Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 2006
Pengalaman Organisasi; 1. Pengurus HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) MU/EI Fakultas Syariah (2008) 2. Sekretaris ForSHEI (Forum Studi Hukum Ekonomi Islam) Fakultas Syariah (2009) Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Semarang, 12 Juni 2012 Hormat Saya,
Muhammad Syaifudin