BAB III AR-RIQAB SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT A. Pengertian Ar-Riqab Kata ar-riqab adalah bentuk jamak dari kata raqabah yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Kata fi yang mendahului kata ar-riqab mengesankan bahwa harta zakat yang merupakan bagian mereka itu diletakkan dalam wadah yang khusus untuk keperluan mereka. Atas dasar itu harta tersebut
tidak diserahkan kepada
mereka pribadi, tetapi disalurkan untuk melepas belenggu yang mengikat mereka itu. Sementara ulama terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya atau yang diistilahkan dengan mukatib.1 Secara harfiah, dan demikian pula kitab-kitab fiqh mengartikan riqab sebagai orang dengan status budak. Untuk masa sekarang, manusia dengan status budak belian seperti ini, sudah tidak banyak lagi diketemukan, atau bahkan sudah tidak ada. Akan tetapi, jika menengok pada maknanya yang lebih dalam, arti "riqab” secara jelas menunjuk pada gugusan manusia yang tertindas dan dieksploitasi oleh manusia lain, baik secara personal maupun struktural. Dengan kata lain, berbeda dengan istilah "fakir-miskin yang lebih merujuk pada manusia yang menderita secara sosial ekonomis maka 'riqab'
1
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 598.
46
47
merujuk pada orang atau masyarakat yang menderita secara budaya, dan terutama politis. Jika persoalan yang dihadapi fakir miskin ditujukan pada bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup, maka persoalan pokok yang dihadapi riqab, adalah bagaimana bisa hidup merdeka sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Dalam pengertian ini, dana zakat (pajak) untuk katagori riqab akan berarti dana untuk usaha pemerdekaan; orang atau kelompok orang yang sedang dalam keadaan tertindas dan kehilangan haknya untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Dalam konteks individual, dana itu ditasarufkan untuk, misalnya: i) mengentaskan buruh-buruh rendahan dan buruh-buruh kasar dari belenggu pihak majikan yang menjeratnya. ii) mengusahakan pembebasan orang-orang tertentu yang dihukum/dipenjara hanya lantaran menggunakan hak dasarnya untuk berpendapat atau memilih. Sementara dalam bentuknya yang struktural, dana riqab ini bisa berarti dana untuk proses penyadaran dan pembebasan masyarakat tertindas berkaitan dengan hak-hak dasar mereka sebagai manusia baik dalam dimensi individual maupun sosialnya B. Pendapat Ulama’ Salaf Tentang arti Ar-Riqab Kata salaf dalam kepustakaan Islam sering disebut as-salaf as-salih yang berarti orang yang saleh yang terdahulu atau yang sudah lewat. Para ahli menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan as-salaf as-salih ialah orang– orang muslim yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai abad
48
ke-3 H. Mereka terdiri dari para sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in, dan atba’ attabi’in.2 Madzhab Salaf berarti: yang difatwakan oleh orang yang terdahulu. Madzhab Khalaf berarti: yang difatwakan oleh orang yang terkemudian Baik kata Salaf dan maupun kata Khalaf yang tertulis dalam Quran hanyalah berarti "yang terdahulu" dan yang "terkemudian", bukan Madzhab Salaf atau Madzhab Khalaf. Al-Quran tidak pernah menerangkan persoalan Madzhab Salaf atau Madzhab Khalaf. Dalam hubungannya dengan ulama salaf, bahwa ulama salaf menaruh perhatian besar terhadap kedudukan mustahiq zakat. Salah satu yang mendapat perhatian besar adalah kata riqab. Dalam konteksnya dengan riqab, zakat harus diberikan kepada delapan golongan penerima, salah satu di antaranya kepada riqab. Menurut madzhab Hanafi, riqab ialah para budak yang diperintah mengangsur untuk merdeka.3 Sementara madzhab Maliki budak mukatab ialah budak muslim yang membeli kemerdekaannya dengan harta dari zakat. Waris wala’nya ialah untuk orang-orang Islam. Jadi apabila ia mati dan tidak ada ahli warisnya, sedangkan dia tidak mempunyai harta, maka harta itu menjadi milik baitulmal yang dimilki orang Islam. Sedangkan madzhab Hambali menerangkan, budak mukatab (riqab) ialah budak yang mengangsur kemerdekaannya walaupun masa pembayaran angsurannya itu belum tiba, ia diberi zakat sesuai dengan kadar untuk melunasi hutang
2
Tim Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm. 203. 3 Abdul al-Rahman Al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Maktabah alTijariyah, al-Qubra, tt, hlm.506.
49
angsurannya. Demikian pula madzhab Syafi’i
menganggap riqab adalah
budak mukatab yaitu budak yang mengangsur kemerdekaannya. Ia diberi zakat sesuai dengan kadar yang bisa menolongnya untuk membayar angsuran kemerdekaannya supaya segera selamat dari sifat budak. Namun ia boleh diberi zakat itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Perjanjian
kitabahnya memang benar; b. si budak mukatab Islam; c. ia memang tidak mempunyai harta untuk membayar angsuran kitabahnya; dan ia bukan budak mukatab dari orang yang memberi zakat.4 Menurut Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibary,
ﻭﺍﻟﺮﻗﺎﺏ ﺍﳌﻜﺎ ﺗﺒﻮﻥ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﻓﻴﻌﻄﻰ ﺍﳌﻜﺎ ﺗﺐ ﺍﻭﺳﻴﺪﻩ ﺑﺎﺩﻧﻪ ﺩﻳﻨﻪ .ﺍﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﺴﻮﺑﺎﻻﻣﻦ ﺯﻛﺎﺓ ﺳﻴﺪﻩ ﻟﺒﻘﺎﺋﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻠﻜﻪ “Riqab ialah budak-budak mukattab yang perjanjian kitabahnya sah; mukattab diberi atau tuannya atas izin dari mukattab sejumlah tunggakan angsuran tebusan kemerdekaannya jika ia tidak mampu melunasi, sekalipun ia rajin bekerja; tidak boleh diberi dari zakat tuannya, karena dirinya masih tetap menjadi milik sang tuan”.5 Pengertian yang singkat dikemukakan oleh Syekh Muhammad ibn Kasim al-Gazzi bahwa:
ﻭﰱ ﺍﻟﺮﻗﺎﺏ ﻭﻫﻢ ﺍﳌﻜﺎ ﺗﺒﻮﻥ ﻛﺘﺎ ﺑﺔ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﺍﻣﺎ ﺍﳌﻜﺎ ﺗﺐ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﻓﺎ ﺳﺪﺓ ﻓﻼ ﻳﻌﻂ ﻣﻦ ﺳﻬﻢ ﺍﳌﻜﺎﺗﱯ 4
Ibid, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibariy, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, karya Toha Putera , tt, hlm. 37. 5
50
Riqab yaitu budak-budak mukattab yang sah; sedang budak mukattab yang tidak sah maka tidak boleh diberi zakat dari bagiannya budak mukattab (yang sah) 6 Sedangkan Imam Taqiyuddin menyatakan: “Riqab yaitu para budak yang telah berakad dengan pemiliknya hendak menebus dirinya dengan bayaran secara mengangsur sebab selain budak mukattab, mereka tidak dapat memiliki hasrat. Jadi budak mukattab boleh diberi zakat untuk membantu memerdekakan dirinya dengan syarat jika budak mukattab tersebut tidak mempunyai harta yang cukup untuk menebus dirinya. Budak mukattab yang boleh diberi zakat disyaratkan harus akad kitabahnya sah. Menurut qaul ashah boleh memberikan zakat kepada budak mukattab selama waktunya perjanjian membayar secara angsuran itu berlaku. 7 Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian riqab dari ulama salaf sangat terbatas yaitu budak yang dimerdekakan (dibebasakan dari status kebudakannya oleh pemiliknya (majikannya) dengan membayar uang dengan cara mengangsur. C. Pendapat Ulama’ Khalaf Tentang Arti Ar-Riqab Kata khalaf berarti yang terkemudian. Ibnu Taimiyah membatasi masa salaf ialah sejak masa Rasulullah sampai 300 tahun Hijriah. Sedang masa setelah 300 Hijriah sampai sekarang dinamakan masa khalaf. Namun batasan itu sebenarnya tidak dijelaskan oleh agama, tetapi hanya pendapat Ibnu Taimiyah saja.8
6
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-lhya atKutub al-Arabiah, tt, hlm. 176. 7 Taqi al-Din Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fii Halli Ghayat al-Ikhtisar, Semarang: Maktabah al-Alawiyah, tt, hlm 446. 8
hlm. 156.
Muhaimin, Ilmu kalam Sejarah dan Aliran-Aliran, Yorgyakarta: IAIN Walisongo, 1999,
51
Kalau dibalik lembaran sejarah Islam dari zaman Nabi sampai zaman Sahabat, sampai zaman Tabi'in dan Tabi' Tabi'in, tegasnya sampai tahun 300 hijriyah, tidak dijumpai adanya suatu madzhab yang bernama "Madzhab Salaf". Juga kalau dibalik Al-Quran yang 30 Juz dan Hadits-hadits Nabi yang tertulis dalam kitab-kitab Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nisai, Ibnu Majah, Muwatha', Musnad Ahmad bin Hanbal dll, tidak pernah dijumpai tentang adanya satu madzhab dalam Islam yang bernama Madzhab Salaf. Bahkan batas waktu yang tegas antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam Al Quran maupun dalam Hadits. Apakah yang dinamakan zaman salaf itu 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 400 tahun atau 500 tahun sesudah Nabi? Tidak ada keterangannya yang pasti. Yang ada terlukis dalam sejarah hanyalah Madzhab Hanafi yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah di Kufah (Lahir 90- wafat 150 H), Madzhab Maliki yang dibangun oleh Imam Malik bin Anas di Madinah (Lahir 93 H - wafat 179 H).9 Ada kemungkinan istilah-istilah ini muncul pada abad ke IV H. Imam Ghazali (Lahir 450 H. - wafat 505 H.) telah mempergunakan istilah-istilah ini dalam kitabnya "Iljamul Awam fi Umil Kalam", yaitu kitab yang paling akhir dikarangnya atau yang paling akhir kitab Tauhid yang dikarangnya. Sesudah zaman Imam Ghazali banyak sajalah ulama-ulama Ushuluddin dan ulamaulama Tafsir menyebut dalam kitab-kitabnya perkataan "Thariqatus Salaf (Aliran Orang Terdahulu), Thariqatul Khalaf" (Aliran Orang Terkemudian).
9
Ibid, hlm. 147.
52
Kami, pengarang buku ini, selanjutnya akan memakai juga isti- lah itu dalam buku ini, yaitu istilah Aliran Salaf dan Aliran Khalaf, dengan artinya sebagai berikut: a. Aliran Salaf ialah cara-cara sebagian orang salaf, yaitu Sahabat- sahabat Nabi, Tabi'in dan Tabi'i Tabi'in, dalam menafsirkan Ayat-ayat dan Haditshadits yang mutasyabih. b. Aliran-Khalaf ialah cara-cara sebagian orang khalaf, yaitu ulama- ulama yang hidup dibawah tahun 300 H., dalam menafsirkan Ayat-ayat dan Hadits-hadits yang mutasyabih. Imam Badamddin Zarkasyi (Lahir : 745 H. — Wafat: 794 H.) menerangkan dalam kitabnya "Al Burhan fi 'Ulumil Quran" begini artinya: "Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam meartikan Ayat-ayat mutasyabih atas 3 aliran : a. Golongan yang memperlakukan ayat-ayat itu menurut lafazhnya yang lahir saja, tidak boleh dita'wilkan sedikitpun. Cara yang begini dianut oleh Firqah Musyabbihah (Firqah yang beri'tiqad bahwa Tuhan itu dapat serupa dengan makhluq). b. Golongan yang kedua ialah golongan yang berpendapat bahwa ayatayat yang mutasyabih itu mesti dita'wilkan, yaitu dialihkan artinya kearti lain, tetapi apa "arti lain" itu kita tidak tahu, serahkan saja kepada
Tuhan
yang
paling
mengetahui,
tetapi
kita
tetap
mengi'itikadkan bahwa Tuhan itu Maha Suci dari akan menyerupai makhluk dan Maha Suci dari akan tidak mempunyai sifat. Cara yang begini adalah aliran orang-orang salaf,
53
c. Golongan yang ketiga ialah golongan orang-orang Khalaf yang mentawilkan ayat-ayat mutasyabih, yaitu mengalihkan artinya kearti lain yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Aliran yang pertama adalah aliran batil, sedang aliran yang kedua dan ketiga bersumber dan diambil dari Sahabat-sabahat Nabi. Aliran yang kedua diambil dari Ummu Salamah Rda sedang aliran yang ketiga diambil dari Saidina 'Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas dll. Radhiyallahu 'anhum (Al Burhan fi Ulumil Quran, Juz II, halaman 78 dan 79). Demikian keterangan Imam Badaruddin Zarkasyi, seorang ulama terbesar pada akhir abad ke VIII H. Dapat diterangkan lebih lanjut, bahwa golongan yang pertama adalan Golongan "Musyabbihah", atau kadang-kadang disebut
Golongan
"Mujasimah",
yakni
golongan
orang-orang
yang
berpendapat, bahwa Tuhan itu bisa serupa dengan makhluq, dengan kita ini. Kata mereka: Tuhan Allah mempunyai tangan serupa dengan tangan kita, mempunyai muka serupa dengan muka kita, mempunyai mata serupa dengan mata kita, mempunyai kaki serupa dengan kaki kita dll Didalam Al Quran, kata mereka, ada dalil-dalil yang mengatakan, bahwa Tuhan mempunyai tangan, mempunyai muka, mempunyai mata, dan mempunyai rusuk, dan didalam Hadits-hadits ada dikatakan, bahwa Tuhan itu mempunyai kaki, mempunyai anak jari, mempunyai nyawa, dan lain-lain serupa manusia.
54
Mereka, Kaum Musabbihah, mengartikan Ayat-ayat dan Hadits-hadits yang bertalian dengan sifat Tuhan itu secara harfiyah, menurut lafazhnya yang tersurat saja. Menurut Yusuf Qardawi, Riqab adalah bentuk jamak dari Raqabah. Istilah ini dalam Quran artinya budak belian laki-laki (abid) dan bukan budak belian perempuan (amah). Istilah ini diterangkan dalam kaitannya dengan pembebasan atau pelepasan. Seolah-olah Qur’an memberikan isyarah dengan kata kiasan ini maksudnya, bahwa perbudakan bagi manusia tidak ada bedanya seperti belenggu yang mengikatnya. Membebaskan budak belian artinya sama dengan menghilangkan atau melepaskan belenggu yang mengikatnya. Pada ayat tentang sasaran zakat Allah berfirman: "Dan dalam memerdekakan budak belian." Artinya. bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk pcrbudakan. Cara membebaskan bisa dilakukan dengan dua hal: Pertama, menolong hamba mukatab. yaitu budak yang telah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tcrtentu. maka bebaslah ia. Allah telah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk memberikan kesempatan pada hamba-hambanya untuk memerdekakan dirinya bila ia rnenghendakinya
serta
berbuat
baik
kepadanya
sebagaimana
Allah
memerintahkan kaum Muslimin untuk memberikan pertolongan pada mereka dalam memenuhi segala tuntutan yang diperlukan. Majikan hendaknya
55
memudahkan mereka. Demikian pula masyarakat hendaknya mau menolong agar mcreka dapat melepaskan diri dari perbudakan. Terhadap hal ini Allah SWT; berfirman:
ﺖ ﹶﺃْﻳﻤَﺎُﻧ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﻓﻜﹶﺎِﺗﺒُﻮ ُﻫ ْﻢ ِﺇ ﹾﻥ َﻋِﻠ ْﻤُﺘ ْﻢ ْ ﺏ ِﻣﻤﱠﺎ َﻣﹶﻠ ﹶﻜ َ ﻭَﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ َﻳْﺒَﺘﻐُﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘَﺎ... (٣٣ : )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ... ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ َﺧْﻴﺮًﺍ ﻭَﺁﺗُﻮﻫُﻢ ﻣﱢﻦ ﻣﱠﺎ ِﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﺁﺗَﺎ ﹸﻛ ْﻢ Artinya: “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian. hendaklah kamu membuat perjanjian dengan mercka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian .dari harta yang dikaruniakanNya kepadamu."10 Kemudian Allah menetapkan bagian buat mereka dari harta zakat, untuk rnembantu mereka dalam membebaskan dirinya dan memenuhi segala apa yang ditentukan kepada mereka. Membebaskan budak belian dengan cara ini, diikuti oleh Imam AbuHanifah, Imam Syafi'i, golongan keduanya dan Laits bin Sa'ad. Mereka beralasan dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. la menyatakan maksud firman Allah: "Dan dalam memerdekakan budak belian." Maksudnya adalah budak mukatab. Ia memperkuat dengan firman: "Dan berikanlah kepada
mereka
sebagian
dari
harta
Allah
yang
dikaruniakan-Nya
kepadamu."11 Kedua, seseorang dengan harta zakatnya atau sescorang bcrsama-sama dengan temannya membeli seorang budak atau amah kemudian membebaskan.
10
Quran, 24:33. Tafsir al-K-abir, Imam Fakhrur-Razi, jilid 16, hal. 112: Hidayah dan Fath al- Kadir. jilid 2, hal. 17. 11
56
Atau penguasa membeli seorang budak atau amah dari harta zakat yang diambilnya, kemudian ia membebaskan. Cara ini termasuk pendapat yang masyhur yang diikuti oleh Imam Malik, Ahmad dan Ishak. Imam Ibnu Arabi berpendapat, bahwa cara ini adalah cara yang tepat. la memperkuat dengan menyatakan, bahwa hal itu berdasarkan zahir nash alQur’an, karena Allah SWT apabila dalam kitab-Nya menerangkan raqabah, maka maksud-Nya membebaskan. Dan kalau yang dimaksud hamba mukatab, pasti Allah menyebut dengan namanya yang tertentu itu, sedangkan dalam ayat
tersebut
la
menyebutkan
Raqabah.
Maka
pasti
maksud-Nya
membebaskan. Dan sebenarnya pula bahwa mukattab itu sudah-termasuk golongan orang yang berutang, karena ia harus membayar hutang kitabah (pembebasan dirinya), sehingga ia tidak termasuk kelompok fir-riqab (dalam membebaskan budak belian). Kadang-kadang mukatab termasuk pula pada asnaf fir-riqab dalam pengertian umum, akan tetapi baru pada angsuran terakhir dia harus membayar, boleh diambil dari zakat untuk memerdekakan dirinya.12 Yang jelas, bahwa ibarat dalam al-Qur'an mencakup dua hal secara keseluruhan. Yaitu, menolong mukatab dan membebaskan budak belian. Diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha'i dan Said bin Jabir, dari golongan tabi'in. bahwa mereka berdua membenci pembelian dan pembebasan budak dari harta zakat, oleh karena hal itu akan menarik kemanfaatan bagi orang 12
Ahkam al-Quran, jilid 2, hal. 955.
57
yang mengeluarkan zakat, yaitu Walaa ul-Mutiq (wali yang memerdekakan) dan ahli warisnya, apabila si budak tadi tidak mempunyai, ahli waris, sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum Islam. Atas dasar ini maka Imam Malik berpendapat, bahwa budak yang dimerdekakan dan dibebaskan dari perbudakannya dengan harta zakat, maka wali dan ahli warisnya adalah semua kaum Muslimin, yakni baitul malnya. Akan tetapi Abu Ubaid menerima riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ia tidak melihat halangan apa pun seorang Muslim membebaskan perbudakan dari zakat hartanya. la pun berkata setelah mengemukakan pendapat Imam an-Nakha'i, Ibnu Jubair dan Ibnu Abbas, bahwa ini pendapat yang paling baik dalam bab ini, ia lebih mengetahui takwil ayat, karenanya lebih utama untuk diikuti. Imam Hasan dan kebanyakan ahli ilmu sepakat dengan pendapat itu la berkata, yang memperkuat mazhab ini apabila orang yang membebaskan merasa kuatir menjadi ahli waris orang yang dibebaskannya dengan jalan wala, maka sesungguhnya ia pun dan kaumnya tidak akan terbebas dari membayar diat atau tindakan kejahatan yang dilakukan kepadanya, maka seimbanglah antara yang satu terhadap yang lainnya.13 Semua perbedaan pendapat tersebut di atas terjadi apabila seseorang atau wakilnya secara langsung membagikan sendiri zakatnya. Akan tetapi bila yang melakukannya itu hakim Muslim, sebagaimana seharusnya keadaan zakat dalam pandangan Islam, maka tidak ada perbedaan pendapat sama sekali.
13
Al-Anwal, hal. 608-609.
58
Seorang hakim dengan harta zakat boleh membeli seorang budak belian lain membebaskannya, dengan catatan tidak merugikan sasaran zakat lainnya. (Imam Syafi'i mewajibkan menyama-ratakan pembagian zakat di antara semua mustahik, bagian untuk membebaskan budak belian tidak boleh kurang dari seperdelapan). Yang lebih baik bagi penguasa adalah melakukan dua hal sekaligus yaitu menolong hamba mukattab dan membeli budak atau amah lain dibebaskan. Imam al-Zuhri menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz scbagai berikut: bagian membebaskan budak belian terbagi dua. Pertama, untuk hamba mukattab yang Muslim. Kedua. untuk membeli budak yang suka mengerjakan salat berpuasa dan telah lama Islamya kemudian dibebaskan dengan harta zakat tersebut.14 Akan tetapi kita tidak memikirkan syarat apapun pada hakim seperti dibagi menjadi dua bagian atau tidak. Tetapi semuanya berdasarkan kemaslahatan bersama serta berdasarkan petunjuk dari orang yang dianggap berwewenang. Apabila perbudakan yang bersifat pribadi secara umum telah hi!ang di alam ini, maka di sini kita merasa berkewajiban untuk mengemukakan, bahwa Islam adalah ajaran pertama di dunia yang berusaha dcngan segala caranya untuk membebaskan dan menghilangkan segala bentuk perbudakan di dunia dengan secara bertahap/berangsur-angsur.
14
Al-Amwal, hal. 608-9.
59
Islam telah menutup segala pintu yang memungkinkan adanya perbudakan di alam ini. Ia mengharamkan dengan sangat, memperbudak manusia dengan jalan melenyapkan kebebasan orang-orang yang merdeka, dewasa maupun kanak-kanak. Islam melarang secara mutlak seseorang menjual dirinya anaknya maupun istrinya. Islam tidak pernah mensyariatkan terhadap orang yang berutang memperbudak dirinva untuk membayar utangnya, apabila ia tidak sanggup membayar utangnya itu. Tidak pula orang yang melakukan jarimah, memperbudak dirinya, dengan sebab jarimahnya itu, sebagaimana hal itu terjadi pada syariat terdahulu. Tidak pula memperbudak lawanan dengan zalim karena perang yang berkecamuk di antara suku-suku tertentu, semata karena hasad dan permusuhan.15 Islam tidak mengecualikan sebab-sebab yang membolehkan adanya perbudakan di alam ini. kecuali satu sebab, itu pun dalam keadaan yang, sangat sempit sekali. Pengekalan sebab itu dengan jalan kebolehan dan kebebasan memilih, bukan dengan jalan wajib dan pasti. Sebab tersebut, adalah memperbudak tawanan dalam peperangan membela Islam, di mana peperangan tersebut bukan dimulai oleh Muslim atas jalan permusuhan. Hal itu pun apabila penguasa kaum Muslimin dan Lembaga Musyawarahnya melihat adanya kemaslahatan, baik bagi umat maupun bagi agama. Dan itu pun, apabila tawanan kaum Muslimin diperbudak oleh musuh, karena muamalah dengan cara yang sama, akan menimbulkan kemaslahatan. Dan bagi penguasa yang 15
Huququl Insan fi al-lslam. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, hal. 139-161, cet. Kementerian Wakaf, Kairo.
60
adil
hendaknya
mau
membebaskan
tawanan
secara
mutlak
tanpa
mengharapkan adanya imbalan, atau dengan imbalan yang bersifat material maupun spiritual, atau membebaskan tawanan Muslim sebagai pengganti membebaskan tawanan musyrik. Ini semua sesuai dengan nash al-Qur'an yang dalam menerangkan tawanan orang kafir yang memerangi: "Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka. maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti”.16 Bila terhadap perbudakan, Islam yang menetapkannya dengan jalan kebolehan tetapi sangat sempit sekali, maka sebaliknya, ia membukakan pintu seluas-luasnya untuk memerdekakan dan membebaskan. Di antara ciri keutamaan Islam, ialah dengan banyak menceritakan pembebasan budak dan tidak menceritakan perbudakan. Islam menyeru dan merangsang untuk mengadakan pembebasan, serta menjadikannya sebagai perbuatan takarrub yang paling dicintai Allah. Dan lebih dari itu ia menjadikannya sebagai kifarat bagi sebagian besar kesalahan yang dilakukan Muslim karena sifat kemanusiaannya, seperti melanggar sumpah, suami menzihar istrinya, bersetubuhnya orang yang berpuasa pada siang hari di bulan Ramadhan, membunuh karena kesalahan bahkan apabila si majikan memukul budaknya tanpa alasan yang benar, maka kifaratnya membebaskan budaknya itu.
16
Quran, 47:4.
61
Islam memerintahkan pula terhadap para majikan untuk memberi kesempatan pada budaknya untuk membebaskan dirinya, apabila mereka mengetahui kelakuan baik dari budak-budaknya itu, sehingga memungkinkan mereka bekerja sebagaimana lazimnya orang yang bebas, serta menolongnya untuk hidup bermasyarakat. Hal ini sebagaimana firmanNya dalam al-Qur'an : "Dan budak-budak yang kamu miliki, yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu membuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu”.17 Lebih dari itu, Islam telah memberikan sebagian dari zakat untuk keperluan pembebasan yaitu harta yang merupakan pajak yang dikeluarkan oleh sebagian besar kaum Muslimin, yang senantiasa berputar pada kas negara. Dan ini adalah bagian untuk membebaskan perbudakan.18 Janganlah dianggap sepele apabila Islam mengkhususkan diri dalam perputaran harta ini, bagian untuk memerdekakan budak, terkadang cukup dari kelebihan harta zakat, terkadang lebih hanyak dan terkadang dari semua harta zakat, apabila mustahik lain tidak memerlukannya seperti terjadi di zaman Umar bin Abdul Aziz. Yahya bin Said berkata: "Umar bin Abdul Aziz telah mengutus kepadaku
untuk
mengambil
zakat
penduduk
Afrika.
Setelah
aku
melakukannya, aku mencari orang-orang fakirnya untuk kuberi. Tapi ternyata aku tidak menemukan orang fakir dan tidak menemukan pula orang yang 17
Quran, 24:33. Perbudakan ini semua bukan dilakukan oleh Islam, di mana Islam mempersama- kan derajat dan kedudukan budak, dan menjadikannya insan yang dimuliakan bahkan saudara bagi orang yang memilikinya, makanan dan pak.n'annya sama dengan makanan dan pakaian ma;ikanny; ia tidak boleh dibebani perbualan yang tidak sanggup dilakukannya: jangan dipukul dan disakiti, bahkan jangan ' dilukai perasaannya dengan panggilan (hambaku atau amahku). 18
62
mengambil zakat dari aku. Umar bin Abdul Aziz telah memakmurkan rakyatnya. Kemudian dengan harta zakat itu aku membeli budak-budak untuk kemudian kubebaskan.19 Apabila kaum Muslimin benar-benar melaksanakan ajaran agama, kemudian diperintah oleh penguasa yang adil dan bijaksana, mudah-mudahan dalam waktu yang singkat, kita tidak akan melihat perbudakan lagi. Apabila asal kalimat (riqab) dipergunakan untuk budak, apakah tepat kalimat ini dengan keumumannya dipergunakan untuk membebaskan tawanan Muslim yang dikuasai oleh musuh-musuh yang kafir yang sama halnya dengan kekuasaan majikan pada budaknya, dan pula bukankah penawanan itu adalah perbudakan? Berdasarkan pada apa yang diriwayatkan dari mazhab Imam Ahmad, bahwa hal itu diperbolehkan sehingga dibenarkan apabila tawanan Muslim ditebus dari harta zakat. Sesungguhnya hal itu berarti membebaskan perbudakan dari tawanan.20 AI-Qadhi Ibnu Arabi al-Maliki berkata bahwa ulama telah berbeda pendapat dalam membebaskan tawanan dengan harta zakat. Imam Usbugh berpendapat pula bahwa hal itu tidak boleh. Selanjutnya Imam Ibnu Habib berpendapat, bahwa hal itu diperbolehkan, sebab apabila membebaskan budak Muslim dari tangan Muslim menjadi ibadah dan diperbolehkan dari zakat,
19 20
Sirah Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil-Hakam, hal. 59. Raudh cil-Muri', jilid 1, hal. 402.
63
maka tentu akan Iebih utama pula apabila membcbaskan budak Muslim dari tangan dan kekuasaan orang kafir.21 Apabila perbudakan sekarang sudah hilang tetapi peperangan itu tidak akan pernah berhenti pertentangan antara hak dan batil akan senantiasa berlangsung. Atas dasar itu maka bagian ini diperbolehkan dengan seluasluasnya untuk membebaskan tawanan Muslim. Sayyid Rasyid Ridha mengemukakan dalam Tafsir fi al-Manar, bahwa bagian "fir-riqab" boleh dipergunakan untuk membantu sesuatu bangsa yang ingin melepaskan dirinya dari penjajahan, apabila tidak ada sasaran membebaskan, perorangan.22 Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Syaikh Mahmud Syaltut yang menyatakan, bahwa apabila anda menyalakan telah habisnya perbudakan perorangan, akan tetapi sebagaimana aku lihat ada jenis perbudakan lain yang lebih berbahaya bagi kemanusiaan, yaitu perbudakan bangsa, baik dalam cara berpikir, ekonomi, kekuasaan maupun kedaulatannya. Perbudakan perorangan lenyap dengan sebab matinya orang itu, sedangkan negaranya tetap merdeka, bisa diurus oleh orang-orang pintar yang bebas merdeka. Akan tetapi perbudakan terhadap sesuatu bangsa, akan melahirkan generasi yang keadaannya seperti nenek moyangnya yaitu tetap berada dalam perbudakan yang umum dan kekal; merusak umat dengan kekuatan yang penuh kezaliman.
21 22
Ahkam ul-Quran, jilid 2, hal. 956. Tafsir^al-Manar, jilid 10, hal. 598, cet. kedua
64
Dengan demikian betapa pentingnya melakukan usaha dan kegiatan untuk menghilangkan perbudakan dan penghinaan bangsa. bukan hanya sekedar dengan harta zakat saja, akan tetapi dengan seluruh harta dan raga. Atas dasar itu kita mengetahui betapa besar tanggung jawab orang kaya Muslim untuk menolong suku bangsa lain yang Muslim.23 Apa yang dikemukakan Mahmud Syaltut menunjukkan betapa luasnya arti perbudakan itu, meliputi perbudakan perorangan dan perbudakan bangsa. Yusuf Qardhawi cenderung untuk menyatakan bahwa tidak perlu memperluas pengertian kalimat yang madlul aslinya tidak menunjukkan demikian,
sebab
menolong
bangsa
yang
sedang
memperjuangkan
kemerdekaannya, bila diambil dari zakat dengan melalui bagian sabilillah, apalagi dalam hubungan dengan negara lain, masalah ini merupakan tanggungjawab bersama.
23
Al-Islam Akidah wa Syariah, hal. 446, cet. Darul-Qalam.