PENGENDALIAN GULMA TERPADU PADA KAPAS Mohammad Cholid Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang.
PENDAHULUAN Produksi kapas, baik yang diusahakan dalam bentuk pertanian rakyat ataupun perkebunan besar ditentukan oleh beberapa faktor antara lain hama, penyakit dan gulma. Kerugian akibat gulma terhadap tanaman budidaya bervariasi, tergantung dari jenis tanaman, iklim, jenis gulma, dan praktek pertanian.
Penurunan produksi kapas di
Indonesia diakibatkan gangguan gulma berkisar 55-90%. Keberadaan gulma dapat menurunkan produksi kapas hingga 74.9% di Filipina (Paller,1979), 60-90% di Amerika Serikat (Buchanan and Mc Whorter,1970), dan 60% di Sudan (Drennan D. S. H. and E. A. Jennings, 1977). Berkaitan dengan kompetisi,
dan usaha memperkecil kehilangan hasil, perlu
diketahui saat-saat pertumbuhan tanaman yang paling peka terhadap persaingan dengan gulma yang dinamakan periode kritis.
Secara umum periode kritis pada tanaman
semusim berlangsung seperempat sampai sepertiga pertama umurnya (Kuntohartono, 1992). Pengendalian Gulma Terpadu (PGT) adalah sistem pengendalian gulma yang mengintegrasikan pengendalian gulma sejak sebelum tanam, terus menerus sampai panen, bahkan sesudah itu dalam kerangka Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai komponen dari Pengeloaan Produksi Terintegrasi (PPT) agar sistem itu memberikan hasil yang optimum. Dalam sistem pengelolaan gulma terpadu ditekankan pengendalian gulma dengan berbagai cara sehingga lebih effektif dan efisien dalam menekan gulma serta aman terhadap lingkungan (Swanton dan Weise, 1991).
GULMA DI PERTANAMAN KAPAS Penurunan hasil akibat gulma berbeda dalam magnitudo. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor spesies dan populasi, saat perkecambahan gulma, kemampuan berkompetisi tanaman, kesuburan tanah, serta spesies tanaman budidaya (Paller, 1979). Jenis, populasi, dan bentuk kompetisi antara tanaman kapas dan gulma merupakan interaksi antara ekosistem dan teknik budidaya yang diterapkan. 1
Tanaman kapas
umumnya dikembangkan di lahan tadah hujan dan lahan sawah sesudah padi dalam bentuk tumpangsari dengan palawija (Hasnam dan Kartono, 1994). Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perbedaan species dan dominasi gulma pada ekosistem sawah dan tadah hujan. Di lahan sawah jenis gulma yang umumnya tumbuh pada pertanaman kapas antara lain : Echinochloa spp., Cyperus rotundus, Echinochloa collonum, Euphorbia hirta, Commelina benghalensis, dan Cleome viscosa; sedangkan pada lahan tadah hujan antara lain: Cynodon dactylon, Digitaria spp., Imperata cylindrica, Sorghum halepense, Amaranthus viridis, Portulaca oleraceae, dan Tridax procumbens (Gambar 1). Spesies gulma bervariasi dalam kemampuannya menurunkan hasil tanaman. Timbol and Guantes (1979) memperlihatkan pengaruh luas penguasan lahan oleh gulma dalam penurunan hasil kapas berbiji. Semakin luas area yang dikuasai gulma yang tumbuh diantara barisan kapas, penurunan hasil semakin tinggi. Selain itu, percobaan pot oleh Guantes and Mercado (1975) menunjukkan bahwa Echinochloa colona adalah lebih kompetitif terhadap kapas dibanding Cyperus rotundus and Trianthema portulacastrum, bagaimanapun, data dari spesies gulma yang lain dan kemampuannya berkompetisi dengan kapas masih sedikit. Dominansi gulma pada tiap tahapan pertumbuhan juga berbeda-beda, pada awal pertumbuhan dimana kanopi kapas masih kecil didominasi oleh jenis rerumputan (Graminae) dan teki (Cyperasceae), sedang pada saat kanopi kapas sudah besar umumnya didominasi oleh gulma berdaun lebar yang relatif tahan naungan.
PERIODE KRITIS KOMPETISI Kompetisi adalah salah satu bentuk hubungan antar dua tanaman atau lebih yang mempunyai pengaruh negatif bagi kedua pihak.
Kompetisi dalam suatu komunitas
tanaman terjadi karena terbatasnya ketersediaan sarana tumbuh (air, cahaya, hara, O2 dan CO2) yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh normal. Gulma dan pertanaman mengadakan persaingan memperebutkan sarana tumbuh.
Besar kecilnya persaingan
gulma terhadap tanaman pokok akan berpengaruh terhadap baik buruknya pertumbuhan tanaman pokok dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya hasil tanaman pokok. Tinggi rendahnya hasil tanaman pokok, jika dilihat dari segi gulmanya sangat ditentukan oleh kerapatan gulma, macam gulma, saat kemunculan gulma, 2
kecepatan tumbuh gulma, lama keberadaan gulma, habitus gulma, jalur fotosintesis gulma (C3 atau C4), dan ada tidaknya allelopati. Setiap tanaman memiliki periode kritis tertentu dalam hal penggunaan faktor tumbuh disekitarnya. Kehadiran gulma pada periode kritis akan menurunkan produksi, karena tanaman sangat peka terhadap lingkungan terutama air, unsur hara, cahaya, dan ruang tumbuh. Periode kritis kompetisi tanaman kapas terhadap gulma terjadi 6-9 minggu setelah tanam, apabila tidak dilakukan penyiangan pada periode tersebut kapas akan tereduksi hasilnya hingga 75% (Zimdahl, 1980). Hasil penelitian periode kritis kapas tumpangsari palawija menunjukkan bahwa periode kritis tumpangsari kapas + kedelai dan kapas + jagung yaitu 2-8 minggu setelah tanam (Gambar 2.). Periode kritis yang panjang menunjukkan bahwa tanaman kapas memiliki daya kompetisi yang rendah terhadap gulma. Keberadaan gulma diatas 8 minggu setelah tanam tidak menyebabkan penurunan hasil secara nyata sebab pada saat tersebut tanaman telah memproduksi cukup kanopi daun, dan telah berkembang sistem perakaran ektensif sehingga mampu berkompetisi dengan gulma.
Gambar 2. Periode kritis tumpangsari kapas + kedelai dan kapas + jagung
Dengan diketahuinya periode kritis suatu tanaman, maka saat penyiangan yang tepat menjadi tertentu. Penyiangan atau pengendalian yang dilakukan pada saat periode kritis mempunyai beberapa keuntungan. Misalnya frekuensi pengendalian menjadi berkurang karena terbatas di antara periode kritis tersebut, dan tidak harus dalam seluruh 3
siklus hidupnya. Dengan demikian biaya, tenaga dan waktu dapat ditekan sekecil mungkin dan efektifitas kerja menjadi meningkat.
Allelopati Beberapa species gulma menyaingi pertanaman dengan mengeluarkan senyawa beracun dari akarnya (root exudates atau lechates) atau dari pembusukan bagian vegetatifnya. Persaingan yang timbul akibat dikeluarkannya zat yang meracuni tumbuhan lain disebut alelopati, dan zat kimianya disebut alelopat. Tidak semua gulma mengeluarkan senyawa beracun. Beberapa jenis gulma yang berpotensi mengeluarkan senyawa alelopati ialah Abutilon theoprasti, Agropyron repens, Agrostemma githago, Allium vineale, Amaranthus spinosus, Ambrosia artemisifolia, A. trifidia, Artemisia vulgaris, Asclepias syriaca, Avena fatua, Celosia argentea, Chenopodium album, Cynodon dactylon, Cyperus esculentus, C. rotundus, Euphorbia esula, Holcus mollis, Imperata cylindrica, Poa spp. , Polygonum persicaria, Rumex crispus, Setaria faberii, Stellaria media. Kuantitas dan kualitas senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh gulma antara lain dipengaruhi kerapatan gulma, macam gulma, saat kemunculan gulma, lama keberadaan gulma, habitus gulma, kecepatan tumbuh gulma, dan jalur fotosintesis gulma (C3 atau C4).
Gambar 3. Senyawa allelopati dilepaskan dari jaringan tumbuhan melalui penguapan, pencucian, eksudat akar, dan pembusukan organ tumbuhan.
4
PENGENDALIAN GULMA Pengendalian gulma adalah usaha untuk menekan populasi gulma sampai jumlah tertentu hingga tidak menimbulkan gangguan terhadap tanaman budidaya. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara kultur teknik, mekanik, hayati, kimiawi dan terpadu. Pengendalian gulma secara terpadu memberikan hasil terbaik, karena memadukan dua atau lebih cara pengendalian gulma sehingga dapat menekan gulma secara efektif dan efisien (Gambar 4.).
Source: NSW Department of Primery Industries. 2007
Gambar 4. Sistem pengendalian gulma terpadu di pertanaman kapas
Pengendalian gulma yang efektif dan efisien dapat ditempuh beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Melakukan identifikasi gulma secara akurat, sehingga dapat diketahui jenis-jenis gulma dominan yang perlu mendapat perhatian dalam pengendalian 2. Mempelajari masalah timbulnya gulma, dengan memprioritaskan pada cara yang paling sederhana, dan sumberdaya tersedia misalnya dengan pola tanam atau cara tanam.
5
3. Mengutamakan pengendalian gulma secara kombinasi dari dua atau lebih misalnya kombinasi pengendalian gulma secara kultur teknik dan mekanik atau kimiawi. 4. Membandingkan alternatif cara pengendalian gulma berdasarkan optimasi waktu, biaya, kemudahan pelaksanaan, kemanjuran dalam pengendalian, serta resiko terhadap kerusakan lingkungan. Beberapa alternatif cara pengendalian gulma yang dapat diterapkan di pertanaman kapas adalah:
Pengendalian Secara Kultur Teknik Pengendalian gulma secara kultur teknik dapat dilakukan melalui: 1. Penggunaan benih yang bebas dari biji gulma. 2. Pengaturan
kerapatan
tanaman/populasi
tanaman
serta
sistem
tanam
(tumpangsari) yang dapat memacu pertumbuhan kapas, sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma. 3. Penggunaan mulsa (jerami/seresah, plastik) atau tanaman penutup tanah (Crotalaria
juncea
L.) untuk mencegah perkecambahan dan menekan
pertumbuhan gulma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mulsa platik memberikan produksi kapas lebih tinggi dibanding dengan pemakaian herbisida yang berisiko terhadap pencemaran lingkungan. Penggunaan mulsa jerami dan tanaman penutup tanah selain dapat menekan perkecambahan dan pertumbuhan gulma, juga dapat menyuburkan tanah. Tabel 1. Pengaruh pengendalian gulma terhadap jumlah cabang generatif, berat 100 buah, dan produksi kapas berbiji. Perlakuan pengendalian gulma Mekanik
Jumlah cabang generatif 9,97 b
Berat 100 buah (g) 555,50 b
Produksi (kg/ha) 1.236,67 a
Herbisida
9,37 b
501,17 c
570,67 b
Mulsa plastik
12,73 a
596,25 a
1.336,00 a
Sumber: Rifai (1998)
6
Pengendalian Secara Mekanis Pengendalian gulma secara mekanik dilakukan dengan penggunaan alat sederhana seperti koret, garpu, dan cangkul. Penyiangan dengan menggunakan alat tradisional memerlukan waktu dan tenaga yang cukup besar. Hasil penelitian Hasnam dan Adisarwanto (1992) menunjukklan bahwa rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiang satu hektar pertanaman kapas + kedelai di lahan sawah sesudah padi sekitar 50-70 hari orang kerja (HOK). Besarnya tenaga kerja saat penyiangan menyebabkan penyiangan sulit dilakukan terutama pada daerah-daerah yang terbatas tenaga kerjanya. Bahkan di daerah yang padat penduduknya seperti di Pulau Jawa, tenaga kerja mulai sulit didapat karena sebagian besar tenaga kerja terserap di sektor industri dan non pertanian lainnya. Pada pertanaman kapas di daerah tadah hujan dengan tektur tanah ringan penggunaan alat siang tine cultivator dan ridger dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga penggerak sapi (Gambar 2). Tine cultivator dan ridger pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengolah tanah, sehingga dalam penggunaannya sebagai alat penyiang akan memotong, mencabut, dan mengubur gulma (Cholid et al., 2000).
Gambar 2. Alat siang tine cultivator dan ridger
Pengendalian Secara Hayati Pengendalian gulma secara hayati adalah suatu cara pengendalian dengan menggunakan musuh alami, baik berupa hama, penyakit, atau jamur guna menekan atau mematikan gulma. Penelitian agensia hayati yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma lamban sekali kemajuannya di Indonesia karena masih banyak kesulitan yang dihadapi, antara lain disebabkan terbatasnya musuh alami yang mudah dan aman digunakan. Meskipun demikian beberapa agensia hayati seperti Orseoliella javanica (untuk mengendalikan alang-alang), Bactra truculenta, B. graminivora, dan B. minima 7
(untuk teki) mempunyai potensi yang cukup penting. Rendahnya kemajuan teknologi pengendalian gulma secara hayati ini memerlukan kajian dan identifikasi guna menemukan organisme-organisme yang berguna untuk pengendalian gulma dan tidak mengganggu tanaman budidaya.
Pengendalian Secara Kimiawi Herbisida adalah senyawa kimia yang dapat merusak atau membunuh gulma. Pengendalian gulma dengan herbisida tidak hanya menghemat tenaga kerja penyiangan, tetapi juga menguntungkan dalam hal-hal lain seperti: 1. Herbisida dapat mengendalikan gulma yang tumbuh bersama-sama tanaman budidaya yang sulit disiang secara mekanis. 2. Herbisida pra-tumbuh (pre-emergence) mampu mengendalikan gulma sejak awal, dimana kompetisi sejak awal inilah yang banyak menurunkan hasil. 3. Pemakaian herbisida juga dapat mengurangi kerusakan akar akibat penyiangan secara mekanis. 4. Pada sistem TOT (tanpa olah tanah) pemakaian herbisida dapat menghemat waktu dan biaya persiapan lahan, dan pada lahan yang miring dapat memperkecil erosi. Pemilihan herbisida untuk mengendalikan gulma pada tanaman budidaya disesuaikan dengan jenis tanaman yang diusahakan, dan keberadaan gulma dominan yang ada di pertanaman. Beberapa herbisida yang telah terbukti efektif dalam pengendalian gulma di pertanaman kapas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa herbisida untuk pengendalian gulma pada tanaman kapas No
Nama dagang/ Bahan aktif
Klasifikasi Pemakaian
Gulma yang dikendalikan
Dosis
Cara kerja
D.lebar
Teki
Rumput
(l/ha)
1.
Goal 2E (Oksifluorfen)
Pratumbuh
Sistemik
V
V
V
1,75
2.
Lasso (Alachlor)
Pratumbuh
Sistemik
V
V
V
2,00
3.
Round up (glifosat)
Purnatumbuh
Sistemik
V
V
V
1,50
4.
Gallant (metil halozifop)
Purnatumbuh
Sistemik
V
V
V
0,50
Sumber: Cholid (1998)
8
Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pemakaian herbisida adalah efektivitasnya terhadap sasaran dan selektifitasnya terhadap tanaman budidaya. Efektivitas herbisida dipengaruhi oleh ketepatan dalam pemakaian jenis, waktu, dosis, volume aplikasi dan kondisi lingkungan. Herbisida yang selektif adalah yang tidak meracuni tanaman budidaya.
Pengendalian Gulma Secara Terpadu Pengendalian Gulma Terpadu (PGT) adalah sistem pengendalian gulma yang mengintegrasikan pengendalian gulma sejak sebelum tanam, terus menerus sampai panen, bahkan sesudah itu dalam kerangka Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai komponen dari Pengeloaan Produksi Terintegrasi (PPT) agar sistem itu memberikan hasil (output) yang optimum. Sistem pengelolaan gulma terpadu bermuara pada penerapan sistem budidaya tanaman yang menjamin peningkatan produksi, serta melestarikan dan meningkatkan daya dukung lingkungan secara berkelanjutan. Dalam pengendalian gulma secara terpadu digunakan beberapa cara secara bersamaan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Kombinasi berbagai cara pengendalian gulma pada tumpangsari kapas + kedelai dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh pengendalian gulma terhadap jumlah cabang generatif kapas, produksi kapas, dan kedelai Cara pengendalian gulma
Jumlah cabang
Produksi kapas
Produksi kedelai
generatif kapas
(kg/ha)
(kg/ha)
A. Alakhlor, mulsa + mekanis 1x
12,6 bc
464 ab
1.581 cd
B. Alakhlor + mekanis 1x
11,5 b
509 bc
1.647 cd
C. Oksyflourfen, mulsa + mekanis 1x
13,4 b
691 cd
1.711 d
D. Oksyflourfen + mekanis 1x
12,1 bc
735 d
1.428 bc
E. Mulsa + mekanis 1x + metyl halozyfop
11,9 bc
596 b-d
1.606 cd
F.
12,6 bc
745 d
1.705 d
11,8 bc
596 b-d
1.350 b
8,9 a
311 a
880 a
Mulsa + mekanis 2x
G. Oksyflourfen + metyl halozyfop H. Tanpa Penyiangan Sumber: Cholid et al. (1995)
Pengendalian gulma pada tumpangsari kapas + kedelai yang terbaik adalah pemberian mulsa pada saat tanam diikuti dengan penyiangan 2 kali (3 minggu dan 6 minggu setelah tanam); setara dengan penyemprotan Oksyflourfen dan pemberian mulsa jerami/seresah, 9
diikuti penyiangan sekali pada 6 minggu setelah tanam, sehingga kedua cara dapat diterapkan tergantung dari ketersediaan tenaga kerja, waktu dan biaya. Walaupun telah dikenal beberapa cara pengendalian gulma antara lain secara budidaya, fisik, biologis dan kimiawi serta preventif, tetapi tidak satupun cara-cara tersebut dapat mengendalikan gulma secara tuntas. Untuk dapat mengendalikan suatu species gulma yang menimbulkan masalah ternyata dibutuhkan lebih dari satu cara pengendalian. Cara-cara yang dikombinasikan dalam cara pengendalian secara terpadu ini tergantung pada situasi, kondisi dan tujuan masing-masing, tetapi umumnya diarahkan agar mendapatkan interaksi yang positif, misalnya paduan antara pengolahan tanah dengan pemakaian herbisida, jarak tanam dengan penyiangan, pemupukan dengan herbisida dan sebagainya, di samping cara-cara pengelolaan pertanaman yang lain. Dalam usaha pengendalian gulma terpadu tahap-tahap yang perlu diperhatikan adalah: a) perpaduan semua faktor penting sehingga dapat dilakukan pencirian (identifikasi) masalah gulma yang dihadapi secara tepat dan menyeluruh; b) pemilihan cara pengendalian yang tepat; c) pengawasan pelaksanaan, pemilihan bahan dan peralatan yang tepat; d) pengelolaan gulma dalam jangka panjang yang memerlukan berbagai cara pengendalian yang memberikan hasil lebih baik secara ekonomi maupun ekologi dapat dipertanggungjawabkan.
KESIMPULAN Penurunan produksi kapas yang diakibatkan gangguan gulma berkisar 35-89%. Hasil penelitian periode kritis kapas tumpangsari palawija menunjukkan bahwa periode kritis tumpangsari kapas + kedelai dan kapas + jagung yaitu 2-8 minggu setelah tanam. Dengan diketahuinya periode kritis suatu tanaman, maka saat penyiangan yang tepat menjadi tertentu. Dengan demikian biaya, tenaga dan waktu dapat ditekan sekecil mungkin dan efektifitas kerja menjadi meningkat. Pengendalian gulma pada pertanaman kapas di Indonesia umumnya belum dilakukan dengan baik sebagai akibat terbatasnya tenaga kerja, biaya dan waktu. Dalam sistem pengelolaan gulma terpadu ditekankan pengendalian gulma dengan berbagai cara sehingga lebih effektif dan efisien dalam menekan gulma serta aman terhadap lingkungan. Keberhasilan sistem pengelolaan gulma terpadu ditentukan oleh fleksibilitas 10
dan tanggap terhadap kebutuhan yang selalu berubah. Pengendalian gulma pada tumpangsari kapas + kedelai dilakukan dengan pemberian mulsa jerami/seresah pada saat tanam diikuti dengan penyiangan 2 kali (3 minggu dan 6 minggu setelah tanam); atau penyemprotan Oksyflourfen dan pemberian mulsa, diikuti penyiangan sekali pada 6 minggu setelah tanam. Pada lahan tadah hujan pengendalian gulma menggunakan alat siang mekanis cultivator dan ridger yang ditarik hewan ternak sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Buchanan, G.A. and C.G. Mc Whorter. 1970. Weed control in cotton. FAO International Conference on Weed Control. pp.163-183. Cholid M., S. Basuki, dan S. Mulyaningsih. 1995. Penelitian pengendalian gulma pada tumpangsari kapas + kedelai. Laporan Hasil Penelitian Balittas. Malang. Cholid M., 1998. Pengelolaan gulma di pertanaman kapas. Pelatihan Pengembangan Usaha Tani Program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR). BLPP Ketindan Lawang, 31 Agustus – 5 September 1998. Cholid M., S. Mulyaningsih, Endarwati, Darmono, dan Subandi. 2000. Gulma tanaman kapas dan pengendaliannya. dalam Organisme pengganggu tanaman kapas dan musuh alami serangga hama kapas (Eds. Subiyakto dan Nurindah). Balittas Malang. hal. 26-36. Drennan D. S. H. and E. A. Jennings. 1977. Weed competition in irrigated cotton (Gossypium barbadense L.) and groundnut (Arachis hypogaea L.) in the Sudan Gezira. Weed Research. 17: 3-9. Guantes, M.M. and B.L. Mercado. 1975. Competition of Cyperus rotundus L., Echinochloa colossum (L) Link and Trianthema portulacastrum L. with cotton. Phil. Agric. 59:167-171. Hasnam dan T. Adisarwanto. 1992. Budidaya Kapas dan kedelai di lahan sawah sesudah padi. Diskusi Panel Budidaya Kapas dan Kedelai. Balittas Malang. 14 hal. Hasnam dan G. Kartono. 1994. Hasil penelitian dan permasalahan tanaman kapas. Pertemuan Komisi Penelitian Bidang Perkebunan. Jakarta. 29-30 Maret.
11
Kuntohartono, T. 1992. Pengendalian gulma yang berwawasan lingkungan. Seminar Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia. NSW Department of Primery Industries. 2007. Weeds and Herbicides. Cotton Pest Management Guide.7: 7089. h t t p : / / w w w . a g r i c . n s w . g o v . a u / r e a d e r / c ott o n- pest-m a n a ge m e n t Paller, E.C. 1979. Research program on weed control in cotton. Paper presented during the First National Cotton Research and Development Symposium. MMSU, Batac, Ilocos Norte, March 21-23, 1979. Swanton, C.J. and S.F. Weise. 1991. Integrated weed management. The rationale and approach. Weed Technol. 5(3): 657-663. Timbol, M.B. and M.M. Guantes. 1979. Effects of the position of weeds on the growth and yield of cotto. Unpublished BS thesis, CLSU, Munoz, Nueva Ecija. Zimdahl, R.L. 1980. Weed crop competition, a review. Int. Plant Protection Centre. Oregon State Univ. Corvalis. USA. 195 hal.
12
Cynodon dactylon
Digitaria sanguinalis
Echinochloa crusgalli
Sorghum halepense
Euphorbia hirta
Echinochloa colonum
Cyperus rotundus
Amaranthus viridis
Portulaca oleraceae
Commelina sp.
Gambar 1. Gulma yang tumbuh pada pertanaman kapas
13