Pengembangan Kurikulum Berdiversifikasi Oleh Bakar Dijbat Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UMMU
Abstrak Perubahan kurikulum melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) didasarkan pada konsep pengembangan efektivitas sekolah dengan berpedoman pada fungsi-fungsi sekolah yang ditetapkan oleh pengambil kebijakan di sekolah. Apabila perubahan kurikulum dibatasi pada tingkat sekolah, kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan dan konten pada level individu siswa, level program, atau level sekolah sebagai bahan panduan guru untuk melakukan tugas mengajar dan siswa untuk melakukan tugas belajar. Ada tiga pendekatan untuk melakukan perubahan kurikulum di sekolah, yaitu: (1) perubahan kurikulum simplistik, (2) pengembangan kompetensi guru, dan (3) perubahan kurikulum dinamis. Dalam melaksanakan setiap dari ketiga pendekatan tersebut beberapa faktor harus diperhatikan, diantaranya perubahan alamiah atau kondisi, faktor atau penyebab perubahan, cara memaksimumkan efektivitas, inisiatif perubahan, aturan guru, dan kerangka waktu pelaksanaan. Kata Kunci : Manajemen berbasis sekolah, perubahan kurikulum simplistik, pengembangan kompetensi guru, perubahan kurikulum dinamis Pendahuluan PENGEMBANGAN dan perubahan kurikulum adalah suatu kegiatan yang amat penting dalam memperbaiki proses pendidikan. Pengelola, praktisi, dan peneliti pendidikan diharuskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan dan perbaikan program-program efektivitas sekolah secara seksama. Yang dimaksud efektivitas sekolah di sini adalah pengembangan konsep fungsi-fungsi sekolah yang ditetapkan sebagai kapasitas sekolah untuk memaksimumkan pencapaian pelaksanaan fungsi-fungsi sekolah sehingga sekolah mampu menampilkan kinerjanya apabila diberikan sejumlah masukan. Dalam perspektif model masukan (input) dan keluaran (output) pendidikan, efektifitas sekolah sering diasumsikan sebagai suatu kombinasi atau perbandingan antara apa yang telah dihasilkan sekolah (school output) dan apa yang telah dimasukkan ke dalam sekolah (school input). Berdasarkan perspektif ini, Lockheed (1988) mengatakan jika masukan sekolah dan proses sekolah (jumlah buku teks, organisasi kelas, strategi mengajar, profesional pelatihan guru, dsb) ditetapkan sebagai non-monetary input, maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan non-monetary input sekolah dapat disebut sebagai efektivitas sekolah. Hal ini berbeda dengan efisiensi sekolah, yaitu jika masukan sekolah ditetapkan sebagai monetary input (biaya buku, gaji guru/pengelola, biaya per siswa, dsb.), maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan monetary input sekolah dapat disebut sebagai efisiensi sekolah. Memenuhi amanat Undang-undang No 20/2003, Pasal 36 (2), kurikulum dikembangkan secara berdiversifikasi dan amanat PP 19/2005 kurikulum dikembangkan oleh satuan pendidikan (sekolah) dengan mengacu Standar Isi, yang tertuang dalam Permendiknas No. 22/2006, dan Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan, yang tertuang dalam Permendiknas No 23/2006, dan
berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berdiversifikasi merupakan tantangan besar bagi sekolah. Itulah sebabnya dalam pedoman pengembangan kurikulum berdiversifikasi oleh Pusat Kurikulum (Puskur) Kementerian Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa diversifikasi adalah keberadaan, keberfariasian atau keberagaman. Artinya, jika selama ini kurikulum disusun secara lengkap oleh pemerintah dan sekolah tinggal menerapkan, maka di masa sekarang dan seterusnya sekolah dituntut mampu mengembangkan kurikulum sendiri. Kebijakan tersebut menuntut sekolah untuk mampu menjabarkan standar isi yang telah ditetapkan oleh pemerintah menjadi kurikulum yang diyakini cocok dengan situasi dan kondisi sekolah yang bersangkutan dan pelaksanaannya mampu mengantarkan peserta didik mencapai standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan. Selanjutnya jika ditelisik lebih jauh pemikiran dari para ahli semisal Prof. Soedijarto, Prof. Conny Semiawan dan Dr. Ella Yulaelawati, mereka mengatakan bahwa diversifikasi dapat dipandang dari keberagaman antar peserta didik, terutama kemampuan akademik (kognitif dan kecerdasan) dan antar daerah (budaya, sejarah,dan kesanggupan sumber daya setempat). Dalam kaitan ini, saya ingin menambahkan diversifikasi peserta didik pada dua ranah yang lain yaitu ranah afektif dan psikomotor. Pandangan saya ini didasarkan pada pengalaman selama kurang lebih 9 (sembilan) tahun mengajar di SMA, dan selama itu pula implementasi kurikulum muatan lokal dilaksanakan. Dengan penyediaan diversifikasi program ketrampilan yang semula hanya pada taraf dipetimbangkan sesuai dengan karakteristik daerah yaitu pertanian dan perikanan. Ternyata pemilihan anak terhadap jenis ketrampilan yang berujung pada tingkat keberhasilan, sangat dipengaruhi oleh minat dan ketekunan dalam bekerja, yang tidak lain adalah aspek afektif dan psikomotor, namun otomatis tidak terlepas dari perbedaan kemampuan intelektualnya. Memang harus diakui, pengalaman implementasi Kurikulum 1994 menunjukkan bahwa secara umum tidak mudah bagi sekolah untuk mengambil insiatif secara mandiri karena memang SDM yang ada kurang disiapkan untuk melaksanakan fungsi tersebut. Sehubungan dengan anamat untuk mengembangkan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang telah ditetapkan dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan No 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, kondisi lapangan menunjukkan adanya variasi kemampuan dalam mengembangkan kurikulum tersebut. Ada sekolah yang sudah mampu mengembangkan kurikulumnya sendiri dengan baik, tetapi kebanyakan sekolah yang belum mampu. Hal ini merupakan tantangan yang akan dijawab secara berkoordinasi bersama dengan Balitbang dan Ditjen PMPTK. Ditjen Mandikdasmen akan konsentrasi pada kebijakan untuk membangun pangkalan data komprehensif yang menggambarkan peta kapasitas sekolah secara menyeluruh. Peta kapasitas sekolah tersebut akan dikomunikasikan kepada Balitbang dan Ditjen PMPTK untuk ditindaklanjuti dalam bentuk rumusan berbagai alternatif pola pembinaan guru dan pola pengembangan kurikulum. Bagi saya, hal yang paling mendesak saat ini dalam pengembangan kurikulum adalah arah pendidikan yang menjadi sasaran tembak ketidakpuasan masyarakat, terutama dalam menghasilkan lulusan yang ternyata banyak menambah jumlah penganggur intelektual. Beberapa waktu lalu bahkan ada wacana yang berkembang di masyarakat tentang keinginan mendirikan ”sekolah alternatif” yang menurut sebagian kalangan akan menandingi sekolah-sekolah yang sudah ada. Sekolah ini akan menampung para lulusan Perguruan Tinggi yang begitu
lepas dari jabat tangan Rektor/Dekan ketika diwisuda, yang terpikir dalam benaknya hanyalah rasa bingung karena yang terbayang dibenaknya masing-masing akan menjadi penganggur. Meskipun pada dasarnya kurikulum dikembangkan di tingkat sekolah, bisa saja, misalnya, sekelompok sekolah bersama-sama mengembangkan kurikulum, bersama bahan ajarnya karena di antar mereka tidak terlalu banyak mengalami perbedaan kebutuhan belajar bagi peserta didiknya. Secara operasional, hal-hal yang akan dilakukan mencakup;(1) merencanakan program pembinaan sekolah dalam pengembangan kurikulum berdasarkan data tentang kemampuan masingmasing sekolah sehingga masing-masing kelompok sasaran memperoleh layanan yang tepat; (2) menghindari pola pembinaan yang seragam untuk semua sekolah; (3) berkolaborasi dengan perguruan tinggi untuk mendampingi sekolah atau sekelompok sekolah dalam mengembangkan kurikulum; (4) merumuskan prinsipprinsip pendampingan yang benar-benar memberdayakan sekolah; (5) menentukan kriteria bagi pemilihan pendamping; (6) membuka hotline services lewat telpon dan internet. Itulah sebabnya dalam tulisan ini saya ingin mengajak pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadakan refleksi terhadap upaya yang telah dilakukan melalui kurikulum 1994 sampai 2004 yang menekankan pada pencapaian kompetensi pada diri peserta didik dengan tolok ukur pada semangat Kurikulum Muatan Lokal (KML) yang saat itu hanya diperuntukkan pada siswa SD dan SMP. Dari sini masyarakat pun harus ditekankan bahwa pemberian ketrampilan di SMA tidak berarti membuat SMA menjadi sekolah kejuruan seperti yang mereka pikirkan selama ini, tetapi hanya memberikan alternatif bekal kemampuan kerja apabila terpaksa tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau memang ingin hidup mandiri. Dalam kaitan ini, kasus di Australia harus dijadikan contoh yang baik karena anakanak tingkat SMA akan merasa malu apabila masih tergantung pada orang tuanya, karena disorot oleh masyarakat sebagai anak yang memiliki kecacatan. Tahap Pengembangan Kurikulum Perkemendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mendeskripsikan bahwa kompetensi yang harus dimiliki saat anak didik lulus dari satuan pendidikan tertentu, di samping mengandung unsur kemampuan mengembangkan kemampuan intelektual, budaya, dan sosialnya, juga mengandung unsur ”kecakapan hidup dalam arti luas”, yang mencakup sikap dan kemampuan mengaplikasikan berbagai konsep/teori dari semua matapelajaran secara terintegrasi dalam menghadapi dan memecahkan problema kehidupan keseharian. SKL merupakan target yang harus dicapai sekolah dalam membina siswa, sekaligus merupakan indikator yang harus menjadi tolok ukur kelulusan. Menurut Evelina M. Vicencio (konsultan Local Content Curriculum tahun 1995-1996), bahwa ada empat tahap pengembangan kurikulum, yakni: a) Designing, b) Planning, c)Implementing,d) Evaluating. Ketika mendampingi Evelina sebagai konsultan, Suharsimi Arikunto pernah terlibat diskusi yang cukup alot dengan Evalina tentang pengembangan kurikulum tahun 1975. Pada tahun 1972, bertempat di Loka Wiratama Cisarua, Prof. Soedijarto yang saat itu menjabat sebagai kepala Puskur menyelenggarakan lokakarya pengembangn kurikulum dengan maksud untuk mengganti kurikulum tahun 1968 yang masih berorientasi pada materi.
Menurut Suharsimi, langkah pertama yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum adalah dengan merumuskan ”sosok atau profil lulusan” bagi berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Sehingga dari sosok lulusan yang diharapkan untuk masing-masing jenjang dan jenis pendidikan tersebut selalu berdimensi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Bagi Suharsimi, untuk mewujudkan sosok atau profil lulusan tersebut maka disusunlah materi kurikulum yang dijabarkan dalam bentuk struktur program yang terdiri dari tiga jenis program pendidikan. Program pendidikan umum/dasar mengarah pada pencapaian ranah afektif (Pendidikan Agama, Pancasilan dan Bahasa dan Sastra Indonesia). Program pendidikan akademik mengarah pada pencapaian ranah kognitif, sedangkan program Pendidikan Ketrampilan mengarah pada pencapaian ranah psikomotor. Dalam hubungan ini, Suharsismi sependapat dengan Evelina bahwa secara lengkap dan sistimatis, pengembangan kurikulum melalui empat tahap, yaitu; a. Tahap pertama Designing: yaitu tahap menyusun rancangan, yaitu penentuan sosok atau profil lulusan menurut jenjang dan jenis pendidikan. Artinya dengan berpijak pada gambaran tentang sosok itulah disusun materi kurikulum yang dapat menunjang perwujudan harapan. Target rancangan materi kurikulum berupa struktur program yang berlaku secara nasional. Selanjutnya daerah dapat menambah sendiri menurut kondisi dan kebutuhan daerahnya. Demikian juga sekolah dapat menambah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah, dengan syarat tidak mengabaikan hal-hal dan prinsip yang ditentukan oleh pusat dalam kepentingan negara kesatuan republik Indonesia. b. Tahap kedua Planning: yaitu mennyusun rencana untuk mendukung ketercapaian sosok atau figur yang sudah ditentukan itu. Tahap ini dilakukan mulai dari tingkat pusat sampai ke kancah dimana terjadi pertemuan dengan peserta didik. Mengenai planning ini, setidaknya dapat dilihat pada beberapa jenjang sebagai berikut; Planning di pusat berupa penyusunan berbagai pedoman dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, seperti kalender pendidikan, pedoman pembelajaran dan pedoman evaluasi. Planning di daerah berupa kalender pendidikan untuk satu wilayah dan jabaran pedoman yang lebih operasional. Planning di sekolah berupa pembagian tugas guru, penunjukan wali kelas, penyusunan jadwal pelajaran dan kalender sekolah. Planning oleh guru berupa program tahunan, program semesteran, dan rencana pembelajaran. c. Tahap ketiga Implementing: yaitu saat materi kurikulum disajikan kepada peserta didik. Betapapun bagusnya rancangan kurikulum yang digagas dalam tahap designing, keampuhannya hanya dapat dibuktikan ketika dilaksanakan di kelas, yaitu dihadapkan pada peserta didik. d. Tahap keempat Evaluating: yaitu ketika kurikulum dievaluasi, baik berupa evaluasi proses maupun evaluasi hasil, bahkan mengevaluasi tahapan-tahapan sebelumnya untuk menentukan letak dari kemungkinan ada dan tidaknya masalah dalam mncapai tujuan. Oleh karena itu secara sistimatis tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Designing
Planning
Implementing
Evaluating
Profil Lulusan Permasalahan krusial dalam pendidikan di Indonesia menurut saya adalah masalah yang menyangkut dengan kuantitas, kualitas, relevansi, serta masalah efisiensi dan efektifitas. Menurut hasil survey nasional yang dilaksanakan dipenghujung tahun empat puluhan, pendidikan di Indonesia juga mengalami nasib yang sama. Mulai saat itu telah diupayakan pemecahannya dengan berbagai cara. Kurikulum yang bermuatan life-skills yang dimaksudkan untuk mengarah pada relevansi hasil pendidikan sudah sejak lama didengungkan, namun yang menjadi masalah adalah realisasinya belum menunjukkan wujud yang nyata dalam sosok lulusan yang mandiri. Sementara itu tujuan Kurikulum Muatan Lokal (KML) dalam kurikulum 1994 adalah memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan, pembentukan sikap dan perilaku siswa, agar mereka memiliki wawasan yang luas dan mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Artinya dengan bekal tersebut diharapkan nantinya siswa mampu mengembangkan serta melestarikan sumberdaya alam dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional dan daerah sesuai dengan karakteristiknya. Disamping itu tujuan yang diharapkan dengan pemberian pelajaran muatan lokal adalah agar pengembangan sumberdaya manusia yang terdapat di daerah setempat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan sekaligus mencegah terjadinya depopulasi daerah dari tenaga produktif (Depdikbud:1987). Oleh karena itu untuk lebih memahami kepentingan diversifikasi kurikulum, maka perlu disajikan tujuan khusus pengajaran muatan lokal, dengan maksud agar peserta didik dapat: Lebih mengenal kondisi alam lingkungan social dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya Menerapkan kemampuan dan ketrampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan disekitarnya
Memiliki ketrampilan khusus sehingga dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dan dapat membantu kehidupan keluarganya (life skills). Untuk hal ini tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat usia anak. Bagi anak kecil misalnya, dapat ikut membersihkan alat-alat rumah tangga, juga termasuk kategori life skills. Memanfaatkan sumber belajar di daerah untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai serta aturan yang berlaku di daerahnya serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur adat dan budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Dapat dikatakan bahwa kurikulun tahun 1994 ini bagus, khususnya jika dikaitkan dengan muatan life skills-nya. Kurikulum ini dijadikan sebagai embrio yang dapat melahirkan kurikulum berbasis kompetensi, atau juga tepat bila disebut dengan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi, karena sangat mendukung terlaksannya muatan life skills tersebut apabila target arah pengembangannya memang kesana. Sangat disayangkan kadang yang terjadi dilapangan, seolah-olah tidak ada kesinambungan antara kurikulum 1994 dengan kurikulum 2004, padahal mestinya kurikulum yang baru merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Para pelaksannya di lapangan memandang kurikulum 2004 sebagai kurikulum yang baru sama sekali, tidak ada kesinambungan dengan yang lama. Untuk menyusun materi kurikulum yang bermuatan life-skills sesuai dengan tingkat usia anak, akan tepat kiranya bila mengacu pada pendapat Wenrich (1974), yang mengatakan bahwa kemampuan yang terkait dengan ketrampilan untuk kepentingan kehidupan pada anak sejalan dengan kemampuan koordinasi antara gerak otot dengan mata, serta pada kekuatan otot untuk bergerak. Artinya dengan teori ini maka dapat dikatakan semakin tinggi jenjang pendidikan, kegiatan praktek akan semakin banyak. Itulah sebabnya pada jenjang sekolah dasar, ketrampilan yang diajarkan jelas belum terarah untuk menghasilkan barang yang bagus, apalagi untuk dapat dijual. Dalam kaitan ini kekeliruan yang banyak terjadi dalam pelajaran KTK di SD adalah menghasilkan benda, sehingga mendorong orang tua untuk membuatkan atau membeli benda yang diminta oleh guru tersebut di pasar. Ditegaskan dalam pedoman pembelajaran Kurikulum Muatan Lokal (KML) untuk SD sebenarnya tidak diminta untuk meghasilkan benda, tetapi melalui baru berlatih mengamati, dalam rangka internalisasi nilai barang, nilai kerajinan, dan mungkin juga nilai seni. Dalam hal ini untuk tingkat SMP, siswa sudah dapat dilatih untuk melakukan ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya karena gerak kinestetik mereka sudah lebih sempurna. Sedangkan untuk siswa SMA, pendidikan ketrampilan sudah dapat diarahkan sepenuhnya untuk memperoleh kemampuan utuh dalam rangka mencari nafkah. Pertanyaannya adalah mengapa remaja-remaja kita sekarang kurang menghargai kerja dan bahkan menganggap remeh SMK? Jawabannya adalah karena mereka tidak dilatih sejak dini. Akhirnya setelah besar yang muncul ketika diberi pelajaran ketrampilan adalah rasa malas dan malu. Oleh karena itu, dengan dihapuskannya sekolah kejuruan tingkat menengah pertama (ST, SKP, SMEP dahulu), menurut Suharsimi Arikunto, hal ini mempunyai dampak sangat negatif, bahkan menurutnya, dampaknya terasa hingga saat ini. Karena lulusan SMP otomatis lebih banyak ingin terus melanjutkan studi ke SMA ketimbang ke SMK, karena ada kesan yang berkembang masuk SMK berarti tidak mampu ke SMA, baik dari sisi akademik maupun dari sisi finansial. Itulah sebabnya,
Suharsimi menambahkan pandangan negatif seperti ini dapat dikikis melalui penerapan kurikulum berdiversifiksi dengan jenis-jenis ketrampilan yang menarik dan bermakna. Bagi saya apabila kebijakan ini berhasil, maka pandangan masyarakat terhadap hasil pendidikan akan berangsur positif setelah menyaksikan lulusan di setiap jenjang dan jenis sekolah relevan dengan kebutuhan dan tantangan hidup. Artinya dengan adanya tambahan pendidikan ketrampilan ini, diversifikasi kurikulum bukan hanya memperhatikan aspek akademis, keadaan peserta didik dan lingkungannya, tetapi juga keperluan untuk menghidupi diri dan kehidupan keluarga kelak. Menentukan Isi Kurikulum Penentuan materi kurikulum yang lazim dan dianggap sesuai dengan prosedur adalah dilakukan dengan diarahkan pada penguasaan materi akademik. Sekedar mengingatkan diri saya sendiri, bahwa untuk menyiapkan anak menguasai jenis ketrampilan tertentu. Terkait dengan hal ini kita dapat mengacu pada model pengembangan yang berorientasi pada pekerjaan (Job). Dengan kata lain, kita gunakan pendekatan job analysis sebagai berikut:
Job Title
Job Description
Job Specification (Job analysis)
Competency Analysis
Course Content Istilah job tittle tidak harus diartikan sebagai nama pekerjaan atau jabatan, tetapi dapat dalam bentuk pekerjaan yang dapat dilakukan. Job description adalah tugastugas yang harus dilakukan sehubungan dengan nama pekerjaan atau jabatan, dan selanjutnya job specification atau job analysis merupakan rincian dari deskripsi tugas. Itulah sebabnya agar pelaksanaan tugas dapat berlangsung baik, maka diperlukan kompetensi tertentu yang mendukung ketercapaian hasil yang baik. Prinsip seperti ini sudah sesuai dengan arah pemilikan kompetensi sebagaimana ditentukan dalam kurikulum 2004. langkah ini disampaikan dalam rangka menentukan materi kurikulum. Sedangkan terget lulusan untuk masing-masing
ketrampilan jelas berbeda., tetapi proses penentuannya mengikuti alur tersebut, sehingga kepemilikan kompetensi didukung oleh materi secara tepat.
Penutup Dalam memberikan layanan yang tepat sesuai dengan perbedaan individu, Schubert menyarankan untuk memperhatikan kecenderungan atau bakat masingmasing anak. Dalam hubungan ini ada tiga jenis layanan kurikulum yang dapat disusun bagi kelompok anak, sebagai berikut: 1. Intellectual Traditionalist, yaitu kurikulum yang memberikan peluang bagi anak yang mempunyai minat intelektual yang tinggi, agar lebih menyadari kebenaran, keindahan dan kebagusan. Strategi pembelajarannya banyak menyadarkan akan kesamaan antar anak, meyadarkan pentingnya kerja dalam kehidupan yang dilandasi oleh teori dan pemikiran yang tepat agar dapat mendhasilkan produk yang lebih baik. 2. Experientalist, yaitu kurikulum yang banyak memberikan kepada anak pengalaman untuk melakukan berbagai cara untuk berfungsi dalam kehidupan nyata. Kurikulum seperti ini cocok untuk anak di Sekolah Dasar dan Menengah Pertama. Yang penting dalam pembelajaran adalah bahwa anak mampu menampilkan sesuatu yang dapat mereka kerjakan. Menurut Schubert, strategi yang tepat untuk implementasi kurikulum ini adalah mengunjungi berbagai tempat kerja, baik yang menghasilkan barang atau jasa. 3. Social Behaviorist, yaitu kurikulum yang banyak diarahkan untuk memberikan layanan kepada masyarakat, dan yang dimaksudkan disini adalah tenaga kerja. Dalam hal ini kurikulum lebih diarahkan pada jenisjenis kejuruan, agar siswa dapat disiapkan untuk dapat membantu dirinya sendiri dalam menyiapkan dan menjalani kehidupan. Kesimpulan Dengan mengikuti teori Wenrich and Wenrich bahwa kepemilikan jiwa dan semangat kerja dalam ketrampilan, perlu dilatihkan sejak anak masih dalam usia dini, melalui pembiasaan untuk internalisasi nilai kerja. Untuk masalah ini diperlukan metode yang tepat digunakan untuk mendeteksi minat dan potensi awal. Tentu saja sangat perlu adanya divesifikasi materi kurikulum yang relevan. Anggapan umum yang banyak beredar saat ini bahwa kurikulum hanyalah dokumen yang mendeskripsikan bahan ajar dalam bentuk standar kompetensi, kompetensi dasar, silabi, dan lain-lain, perlu dikikis dengan sosialisasi pengertian yang tepat. Selama ini apabila orang yang bertanya apa kurikulum sebuah lembaga pendidikan, maka yang ditunjukkan hanyalah buku kurikulum yang berisikan deskripsi tentang semua bahan ajar yang disediakan untuk dipelajari siswa selama mengikuti pendidikan di lembaga yang bersangkutan. Perlu sosialisasi bahwa yang dimaksud dengan bukan hanya dokumen, tetapi juga bagaimana implementasinya dalam bentuk pembelajaran dan strategi evaluasinya. Saran
Dalam pelaksanaan kurikulum berdiversifikasi, harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Important to Know, penting untuk tahu; artinya bahan ajar yang sifatnya sangat penting danharus dikuasai oleh anak. Bahan ini menjadi kajian wajib yang harus dipelajari oleh semua. Yang dimaksud dengan istilah ”penting” mungkin penting bagi mata pelajaran tertentu, misalnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. 2. Good to Know, baik jika tahu; bahan ajar yang sifatnya baik untuk anak tertentu. Bahan ajar ini dipandang kurang penting dibandingkan dengan mata pelajaran atau konsep yang disebut kelompok pertama. Konsep dalam kelompok ini menjadi mata pelajaran pilihan. 3. Nice to Know, ada manfaatnya jika tahu; bahan ajar ini sifatnya hanya tambahan, tidak diwajibkan dan bukan pilihan, tetapi dapat diberikan kepada anak apabila ada peluang dan daya dukungnya.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1987. Petunjuk Penerapan Muatan Lokal, Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta : Dikbud. ------------------------------. 1989. Petunjuk Penerapan Muatan Lokal, Sekolah Dasar, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Jakarta : Balitbang Dikbud. ------------------------------. 1996. Bekerjasama dengan UNDP 1996-1999, Proyek Pengelolaan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum Evelina M. Vicencio dan Suharsimi Arikunto.1996. Charting the Course of Local Content, A Travel Report, Madecor Career Systems, In Association with Pusat Pengembangan Agribisnis, Jakarta Indonesia. Lockheed, M.E. 1988. The mesurement of educational efficiency and effectiveness. Paper presented at the annual meeting of AERA, New Orleans. Schubert, William H.1986. Curriculum, Perspective, Paradign, and Possibility, New York: Mac Millan Publishing Company. Suharsimi Arikunto dan Asnah Said. 1998. Pengembangan Program Kurikulum Muatan Lokal (PPML), Buku Materi Pokok. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka.