PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN DALAM PEMBELAJARAN SENI TARI DI SEKOLAH*)
Abstrak Pendidikan seni tari memiliki beberapa fungsi antara lain fungsi multidimensional, multilingual, dan multikultural. Beberapa fungsi tersebut di atas akan terlaksana apabila didukung oleh pembelajaran yang sesuai, yaitu pembelajaran yang tidak hanya bertujuan untuk upaya konservasi dan regenerasi budaya, tetapi juga untuk mengembangkan kreativitas anak serta memberikan pengalaman estetis kepada anak. Kenyataan yang terjadi di lapangan pada saat ini, walaupun pembelajaran seni tari diberikan sejak Taman Kanak-Kanak sampai SMA, para siswa masih dapat dikatakan belum menerapkan nilai-nilai sosial dan kepribadian yang sesuai dengan tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat. Persoalan tersebut dimungkinkan karena pembelajaran seni tari selama ini lebih diarahkan untuk upaya konservasi. Pembelajaran yang hanya untuk upaya konservasi mempunyai arti bahwa pembelajaran seni tari diadakan hanya untuk upaya regenerasi, yaitu memberikan bentuk dan teknik tari-tari tradisi agar anak mampu mewarisi tari tradisi. Upaya pembelajaran semacam ini akan menimbulkan beberapa kesenjangan, antara lain bagi anak yang merasa tidak memiliki “bakat” di bidang seni tari akan merasa kesulitan untuk mengikuti pembelajaran. Selain itu, pada proses pembelajaran semacam ini, akan ada kesulitan apabila ada lintas etnis, yaitu jika tari Jawa diajarkan pada anak dari luar Jawa, serta akan ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Hal yang terpenting dari proses pembelajaran semacam ini, anak tidak bisa mendapatkan pengalaman kreativitas. Padahal telah diketahui hal yang terpenting dalam pembelajaran seni tari bukan hanya pada hasil atau bentuk tari yang didapatkan, tetapi juga pada proses pembelajaran seni tari yang mampu mengembangkan kepribadian anak. Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai perkembangan kepribadian anak dalam pembelajaran seni tari. Hal tersebut berdasarkan asumsi penulis bahwa pembelajaran seni tari dapat menjadi media untuk mengembangkan kepribadian anak. Hal itu dapat terjadi pada saat proses pembelajaran, para siswa akan mendapat nilai-nilai sosial dan budaya untuk meningkatkan kepribadian mereka. Lokasi penelitian berada di KB-TK Hj. Baiturrahman 2 Semarang.
Art education has multifunctions, such as multidimentional, multilingual, and multicultural. Most of those function will be carried out if it supported by appropriate instructional practice, which is lead to develop child creativity and their esthetic experiences. In the fact, however art education is given to the early childhood education or kindergarten to the senior high school level, but they couldn’t absorb society value and their personality hasn’t equal to society value.
*
) Riris Setyo Sundari. Dosen Jurusan PGSD IKIP PGRI Semarang
Those problem caused by art instructional is lead to conservation only, not more. Conservation instructional means that art instruction is given to regeneration, which is given shape and traditional dance technical due to the child can adapt traditional dance. That instruction will lead to the problem, such as ordinary student will find difficulties to join the instruction. Beside that, in this instruction process, there will be difficulties if there were different ethnic, such as if Javanese dance given to other Javanese, and it brings discrimination between male and female. The most important thing from the instructional process is the children will not get creativity experience. It has known that the most important thing from dance instructional not only the result, but also the process that can develop chid personality. Based on phenomenon above, writer interested to study about child development personality especially in the dance instructional. It caused by writer assumption that dance instructional can be media to develop the child personality. It occur while teaching process, the student will get social and culture value for improve their personality. This research was in KB-TK Baiturrahman 2 Semarang. Key words: instructional, dance, personality. Pendidikan seni mempunyai beberapa fungsi yaitu mulitidimensional, multilingual, dan multikultural (Lowenfeldt dalam Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2006: 4). Pendidikan seni berfungsi secara multidimensional, bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi pengetahuan, pemahaman, analisis, apresiasi, kreasi, dengan memadukan secara harmonis unsur-unsur estetika. Berdasarkan hal tersebut berbagai macam kemampuan awal siswa dapat dioptimalkan melalui pendidikan seni. Mengingat bahwa sejak lahir manusia telah mempunyai berbagai potensi yang siap untuk dikembangkan. Pendidikan seni berfungsi secara multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa, rupa, gerak, peran. Melalui fungsi multilingual, siswa diharapkan dapat berekspresi melalui bahasa selain bahasa verbal. Dalam prakteknya, melalui pendidikan seni tari selain anak diberikan kesempatan untuk menterjemahkan maksud dari gerak-gerak tari, tetapi juga diberi pengetahuan secara sederhana dan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak mengenai isi dan maksud dari tari yang diajarkan (Ratih, 2002: 87). Pendidikan seni juga berfungsi secara multikultural, yang mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara. Melalui pendidikan seni tari, siswa diberikan berbagai macam tarian daerah nusantara juga mancanegara. Dengan materi yang diberikan tersebut siswa diberikan pengenalan mengenai berbagai macam kesenian daerah nusantara dan juga mancanegara. Pembelajaran seni tari diberikan pada anak usia dini dimaksudkan untuk mengembangkan kreativitas dan memberikan pengalaman estetis kepada anak. Berbagai macam fungsi dan tujuan pendidikan seni khususnya tari di atas akan berhasil dicapai apabila dilaksanakan dengan pembelajaran yang sesuai.
Pembelajaran yang sesuai adalah pembelajaran seni tari yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas siswa, memberikan pengalaman estetis kepada siswa, juga memberikan penanaman nilai moral dan sosial melalui seni tari. Jadi bukan pembelajaran yang hanya mementingkan hasil akhir atau bentuk tari yang didapatkan, tetapi juga proses dan pengalaman kreatif yang diperoleh siswa. Proses pembelajaran semacam ini diarahkan agar anak mampu menggali pikiran dan perasaannya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Jazuli (2002: 36) bahwa tujuan pengajaran tari di sekolah bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai penari atau seniman tari, melainkan untuk diarahkan kepada pengambangan kreativitas, ekspresi, ketrampilan, dan apresiasi seni. Kenyataan terjadi di lapangan pada saat ini, walaupun pembelajaran seni tari diberikan sejak Taman Kanak-Kanak sampai SMA, para siswa masih dapat dikatakan kurang mengerti nilai-nilai sosial dan kepribadian mereka belum sesuai dengan tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan karena pembelajaran seni tari selama ini lebih diarahkan untuk upaya konservasi. Dalam arti bahwa pembelajaran seni tari diadakan hanya untuk upaya regenerasi, yaitu memberikan bentuk dan teknik tari-tari tradisi agar anak mampu mewarisi tari tradisi. Upaya pembelajaran semacam ini akan menimbulkan beberapa kesenjangan, antara lain bagi anak yang merasa tidak memiliki “bakat” di bidang seni tari akan merasa kesulitan untuk mengikuti pembelajaran. Alasan “bakat” ini seringkali menjadi penghambat dalam pembelajaran seni tari, walaupun alasan itu tidak dapat dipungkiri begitu saja. Sebagian besar orang beranggapan bahwa pembelajaran seni tari sangat dipengaruhi oleh bakat siswa. Pendapat tersebut tidak terlalu salah, namun seperti yang diungkapkan Jazuli (www.j-harmonia. tari-sebagai-terapi-bimbin6an-bagianak.html) bahwa sampai kini eksistensi bakat masih sulit diukur terutama bagi anak-anak, bahkan menjadi isu yang subjektif. Hal itu antara lain disebabkan oleh tiadanya informasi yang spesifik tentang bakat artistik, kemampuan inheren sebagian besar anak terhadap prinsip dasar kritik seni, kurang andalnya tes-tes untuk mengukur ekspresi seni dan evaluasi seni, serta sifat seni sangat variatif. Selain itu, pada proses pembelajaran semacam ini, akan ada kesulitan apabila ada lintas etnis, yaitu jika tari Jawa diajarkan pada anak dari luar Jawa, serta akan ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Hal yang terpenting dari proses pembelajaran semacam ini, anak tidak bisa mendapatkan pengalaman kreativitas. Padahal telah diketahui hal yang terpenting dalam pembelajaran seni tari bukan hanya pada hasil atau bentuk tari yang didapatkan, tetapi juga pada proses pembelajaran seni tari yang mampu mengembangkan kepribadian anak. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengembangan kepribadian dalam pembelajaran seni tari di sekolah. Lokasi penelitian berada di KB-TK Hj. Isriati Baiturrahman 2 Semarang. Ruang Lingkup Seni Tari dan Unsur-Unsurnya Tari mempunyai bermacam-macam pengertian dari berbagai ahli. Pangeran Suryodiningrat dalam Soedarsono (1978 : 2) mengemukakan bahwa tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Soedarsono (1978 : 3)
mengutarakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah. Selanjutnya Cahyono (2006 : 242) mengungkapkan bahwa tari adalah paduan gerak-gerak ritmis dan indah dari seluruh atau sebagian badan baik spontan maupun gerakan terlatih yang telah disusun dengan seksama disertai ekspresi atau ide tertentu yang selaras dengan musik, sehingga memberi kesenangan kepada pelaku atau penghayatnya. Sedangkan definisi secara singkat dikemukakan oleh La Meri (1975: 65) yang berpendapat bahwa tari adalah bergerak. Elemen dasar dari tari adalah gerak, ruang, dan waktu (Murgiyanto, 1986: 22-29). Wardhana (dalam Sedyawati, 1984 : 32) mengemukakan bahwa hakekat tari adalah gerak. Sebagai salah satu bentuk seni, tentu saja gerak yang ada dalam tari bukan semua jenis gerak melainkan gerak yang mengandung keindahan. Dengan kata lain, gerak yang ada dalam tari bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif. Gerak ekspresif adalah gerak yang telah mengalami proses distorsi dan stylisasi sehingga gerak-gerak tersebut mengandung keindahan. Elemen selanjutnya adalah ruang. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa bahan baku tari adalah gerak. Pola gerakan yang terjadi dalam tari tersebut akan membentuk aspek-aspek ruang. Hubungan antara ruang-waktu dan kekuatan gerak itu merupakan hal yang pokok dari sifat tari (Hadi, 1996: 13). Hadi juga berpendapat bahwa ruang adalah sesuatu yang tidak bergerak dan diam sampai gerakan yang terjadi di dalamnhya mengintrodusir waktu, dan dengan cara demikian mewujudkan ruang sebagai suatu bentuk, suatu ekspresi khusus yang berhubungan dengan waktu yang dinamis dari gerakan. Hadi (1996: 13) juga membagi aspek-aspek ruang menjadi tiga bagian, yaitu bentuk, arah, dan dimensi. Waktu adalah elemen tari selanjutnya setelah gerak dan ruang. Waktu dipahami sebagai pengorganisir dalam setiap kegiatan (Hadi, 1996: 30). Tari, dan juga aktivitas lainnya terjadi dalam waktu. Desain ruang mewujud sambungmenyambung membentuk sebuah “wujud waktu” atau rangkaian gerak (Murgiyanto, 1986: 30). Dalam gerakan tari, waktu selain sebagai suatu alat untuk memperkuat hubungan-hubungan kekuatan dari rangkaian gerak juga sebagai alat untuk mengembangkan secara kontinyu serta mengalirkan secara dinamis sehingga menambah keteraturan tari. Hadi membagi waktu menjadi tiga aspek, yaitu tempo, ritme, dan durasi.
Pendidikan Tari dan Pembelajarannya Dalam perspektif pendidikan, seni (termasuk di dalamnya seni tari) dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas, rasionalitas dengan irrasionalitas, dan akal pikiran dengan kepekaan emosi, agar manusia “memanusia” (Rohidi, 2000: 55). Menanggapi hal tersebut, Hidajat (2005: 4) berpendapat bahwa setidaknya pendidikan seni (termasuk tari di dalamnya) memiliki tiga tujuan, yaitu: 1. Sebuah strategi atau cara memupuk, mengembangkan sensitivitas dan kreativitas 2. Memberi peluang seluas-luasnya pada siswa untuk berekspresi
3. Mengembangkan pribadi anak ke arah pembentukan pribadi yang utuh dan menyeluruh, baik secara individu, sosial, maupun budaya. Menurut Hidajat (2005: 6), di sekolah dasar (SD) maupun taman kanakkanak (TK) tari dibutuhkan karena berbagai pertimbangan, antara lain: 1.) tari diajarkan untuk memberikan pengalaman seseorang mampu mempresentasikan diri di hadapan orang lain (pengembangan kepribadian), 2) tari diajarkan untuk memberikan pengalaman seseorang mengungkapkan idea atau gagasannya (pengalaman berkarya). Selain itu Hidajat juga berpendapat bahwa tujuan seni tari yang mendasar adalah tidak untuk memutrikan laki-laki atau memutrakan wanita, akan tetapi sebagai media untuk memberikan keseimbangan emosional yang dimiliki oleh laki-laki atau wanita. Kerangka pendidikan seni di sekolah tidak hanya ditujukan untuk pengembangan dan pelestarian nilai budaya semata. Bahkan lebih daripada itu sekolah bukan satu-satunya tempat untuk melakukan konservasi budaya, atau melakukan upaya regenerasi seni, tetapi tujuan pendidikan seni di sekolah lebih mendasar yaitu dalam rangka pembentukan kepribadian. Menurut Hidajat (2005: 6), di sekolah dasar (SD) maupun taman kanak-kanak (TK) tari dibutuhkan karena berbagai pertimbangan, antara lain: 1) tari diajarkan untuk memberikan pengalaman seseorang agar mampu mempresentasikan diri di hadapan orang lain (pengembangan kepribadian), 2) tari diajarkan untuk memberikan pengalaman seseorang mengungkapkan idea atau gagasannya (pengalaman berkarya). Hidajat juga berpendapat bahwa tujuan seni tari yang mendasar adalah tidak untuk memutrikan laki-laki atau memutrakan wanita, akan tetapi sebagai media untuk memberikan keseimbangan emosional yang dimiliki oleh laki-laki atau wanita. Konsep Kepribadian Sjarkawi (2008: 11) berpendapat bahwa kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada waktu kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Di samping itu, Pasaribu dan Simandjuntak (1984: 95) mengatakan bahwa kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis dalam individu yang menentukan keunikan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Kepribadian sering dibicarakan dalam pengertian aspek-aspek unik atau khas dari tingkah laku, yang membuat seseorang berbeda dari orang lain (Hall&Lindzey, 1993: 27). Ilmu psikologi modern membagi apa yang disebut kepribadian dengan berbagai aspek atau unsur, yakni kemampuan mental, pola pikiran, emosi, perilaku yang berbeda, cara berinteraksi dengan lingkungan, kemampuan bergaul, kestabilan emosi, kepekaan, kehatihatian, dan banyak pula hal lainnya (Zaviera, 2008: 25). Berkaitan dengan ini, Freud dalam buku karangan Zaviera yang berjudul Teori Kepribadian Sigmun Freud (2008) mengatakan bahwa: 1) Perilaku manusia mendapat motivasi dan dorongan dari alam bawah sadar, namun kita sering terdorong untuk mengingkari seluruh bentuk motif ini naik ke alam sadar. Oleh karena itu motif-motif itu kita kenali dalam wujud samar-samar. 2) Freud membagi struktur kepribadian menjadi id, ego, dan superego.
3) Id merupakan system kepribadian yang asli, tempat ego dan superego berkembang. Id bekerja sejalan dengan prinsip kenikmatan, yaitu dorongan untuk memenuhi kebutuhan dengan serta merta, yang disebut proses primer. 4) Ego berfungsi berdasarkan prinsip relitas, yaitu memenuhi kebutuhan berdasarkan objek yang sesuai dan dapat ditemukan dalam kenyataan, yang disebut proses sekunder. 5) Superego adalah permujudan internal dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Superego memiliki dua sisi, yaitu nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari hukuman, dan ego ideal yang berasal dari pujian dan contoh yang baik. (Hall&Lindzey, 1993: 67) Pola perilaku dan kepribadian seseorang akan ditentukan oleh pengalaman waktu kecil.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Pendekatan fenomenologis merupakan penelitian yang berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi-situasi tertentu dengan etika dan moral dalam berteori (Muhadjir dalam Sumaryanto 2007: 79). 1. Objek dan Sasaran Penelitian Objek yang menjadi focus penelitian ini adalah pengembangaan kepribadian dalam pembelajaran seni tari di sekolah. Pemilihan lokasi penelitian di KB-TK Hj. Isriati 2 Semarang adalah karena sekolah tersebut sudah dilengkapi dengan fsilitas yang cukup lengkap untuk pembelajaran seni tari. Selain itu, pemilihan lokasi karena karakteristik siswa TK dan SD masih sangat mudah untuk dibentuk kepribadiannya, dan merupakan dasar pembentukan karakter. 2. Teknik Pengumpulan Data Langkah pertama yang dilakukan peneliti dalam rangka memperoleh data berkenaan dalam penelitan ini adalah melakukan observasi pada lokasi penelitian. Langkah kedua, peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa informan kunci, yaitu para narasumber atau orang-orang yang dipandang memiliki pengetahuan atau wawasan yang memeadai terhadap informasi yang diperlukan. Untuk menjamin validitas data, maka peneliti melakukan apa yang disebut triangulasi, yaitu pengumpulan data sejenis dengan berbagai sumber data yang berbeda. Dengan demikian, kelemahan data yang satu akan diuji oleh data yang diperoleh dari sumber data yang lain. 3. Teknik Analisis Data Langkah pertama proses analisis data dalam penelitian ini reduksi data. Data yang telah diperoleh selanjutnya dipilih, ditajamkan, digolongkan, diarahkan dan diorganisasikan sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Langkah selanjutnya adalah penyajian data. Data-data yang telah ditajamkan dan dikelompokkan oleh peneliti selanjutnya disajikan dalam bentuk teks naratif yang merupakan penyederhanaan dari informasi yang berjumlah
banyak, ke dalam kesatuan bentuk yang disederhanakan. Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan. Data yang telah dikumpulkan dan dianalisis oleh peneliti selanjutnya diolah untuk kemudian ditarik kesimpulan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pembelajaran seni tari merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Melalui pembelajaran seni tari, diharapkan siswa dapat mengekspresikan ide dan gagasan mereka melalui ruang gerak serta waktu yang terbentuk dalam seni tari, serta diharapkan dapat mengasah kepekaan serta pengalaman estetis mereka. Pembelajaran seni tari juga diharapkan mampu menjadi wadah serta media bagi pengembangan kepribadian siswa. Hal tersebut dikarenakan pembelajaran seni tari sangat sarat dengan nilai-nilai moral yang memungkinkan anak untuk mengembangkan kepribadian mereka sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan kepribadian tersebut terkandung dalam beberapa aspek pembelajaran seni tari meliputi materi, metode, serta pemberian bimbingan dari guru. 1. Materi Materi tari untuk pembelajaran seni tari di sekolah sebaiknya bukan berupa materi tari bentuk yang mengandung gerakan-gerakan yang rumit. Hal tersebut dikarenakan tujuan pembelajaran seni tari di sekolah bukan untuk “mencetak” siswa menjadi seniman, namun lebih kepada memberikan pengalaman estetis kepada siswa. Melalui materi yang diberikan diharapkan siswa dapat mengekspresikan diri mereka melalui gerak ruang serta waktu yang terkandung dalam seni tari. Materi untuk pembelajaran seni tari di sekolah sebaiknya materi-materi kreatif yang dapat merangsang siswa untuk berkreasi sesuai gagasan mereka masing-masing. Oleh karena itu, melalui materi pembelajaran seni tari diharapkan siswa dapat berkreasi mengekspresikan ide dan gagasan mereka. 2. Metode Metode yang digunakan dalam pembelajaran tari merupakan sesuatu yang tidak kalah penting untuk mendukung perkembangan kepribadian siswa. Metode yang sesuai diterapkan untuk pembelajaran seni tari di sekolah antara lain metode apersepsi, apresiasi, dan demonstrasi. Metode apersepsi digunakan untuk memberikan gambaran awal kepada anak tentang tari yang akan dibawakan. Dengan menggunakan metode apersepsi, anak akan mengembangkan imajinasi mereka mengenai tarian yang akan dibawakan. Setelah menggunakan metode apersepsi, selanjutnya adalah metode apresiasi. Pada metode apresiasi, anak akan diajak untuk menyaksikan video maupun pertunjukan tari ataupun sesuatu yang berhubungan dengan tarian yang akan diajarkan. Setelah melihat pertunjukan tersebut, diharapkan anak dapat mengekspresikan gerakan-gerakan yang akan dibawakan sesuai dengan tema yang telah ditentukan.
Metode selanjutnya adalah metode demonstrasi. Setelah anak melakukan apresiasi, diharapkan anak dapat mempunyai imajinasi dan gambaran tentang tarian yang akan dibawakan. Pada metode ini, anak diharapkan mempraktekkan imajinasi mereka. Setelah itu, gerakan-gerakan mereka diperindah oleh guru untuk selanjutnya menjadi sebuah tarian. Melalui penggunaan metode yang digunakan dalam pembelajaran seni tari diharapkan dapat merangsang imajinasi, daya kreasi serta rasa percaya diri siswa untuk mengekspresikan diri di hadapan orang lain. Hal tersebut merupakan beberapa indikator dari pengembangan kepribadian siswa yang terwujud dalam pembelajaran seni tari. 3. Bimbingan dari guru Peran bimbingan dari guru sangat penting dalam proses pengembangan kepribadian dalam pembelajaran seni tari. Melalui bimbingan dari guru, siswa diajarkan untuk bertoleransi dan bersosialisasi terhadap sesame teman maupun kepada guru. Bimbingan dari guru juga sangat penting untuk memupuk rasa percaya diri dan kreativitas anak. Bimbingan dari guru juga dapat berupa memberikan reward kepada anak yang telah mampu menunjukkan kemampuannya di hadapan teman-teman dan gurunya, ataupun mampu menjalankan perintah dari guru. Perkembangan siswa dalam pembelajaran seni tari juga terjadi dalam tiga ranah, yaitu perkembangan motorik, perkembangan kognitif, dan psikososial. 1. Perkembangan motorik Seni tari dapat mengembangkan kemampuan motorik siswa. Hal tersebut dapat diketahui karena undur dasar tari salah satunya adalah gerak. Gerak yang ada dalam seni tari dapat meningkatkan kemampuan motorik pada siswa. Perkembangan motorik siswa di sini bukanlah berbentuk teknik-teknik dasar gerak tari yang semppurna. Melainkan kemampuan untuk menggerakkan anggotaanggota badan sesuai dengan fungsi dan kemampuannya masing-masing. 2. Perkembangan kognitif Perkembangan kognitif ditandai dengan kemampuan anak untuk mempresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Kemampuan kognitif siswa dapat dikembangkan melalui materi yang diberikan yaitu siswa mampu memahami simbol-simbol yang digunakan dalam gerakan-gerakan pada materi yang diberikan. Pembelajaran seni tari membantuk siswa untuk mengaktifkan kepekaan terhadap symbol-simbol yang ada pada lingkungan sekitar. 3. Perkembangan psikososial Perkembangan psikososial ditandai dengan kemampuan siswa untuk bersosialisasi dan bertoleransi dengan sesama teman. Perkembangan psikososial sangan erat kaitannya pada hubungan dengan orang lain. Pembelajaran seni tari mengajarkan siswa untuk lebih mencintai lingkungan dan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Selain itu pembelajran seni tari juga memungkinkan anak untuk mengembangkan sikap toleransi dan tenggang rasa terhadap sesama teman.
Penutup Pembelajaran seni tari merupakan media yang dapat digunakan untuk mengembangkan kepribadian anak. Indikator kepribadian anak tersebut dapat terlihat dari proses sosialisasi anak, rasa percaya diri dan aktualisasi anak di hadapan orang lain, komunikasi anak baik verbal maupun non verbal, pemahaman nilai budaya setempat, serta sikap tubuh anak. Berbagai indikator tersebut dapat dicapai melalui pembelajaran seni tari yang memberikan pengalaman estetis serta kesempatan berkreativitas bagi anak. Oleh karena itu, para guru seni budaya khususnya seni tari dapat memberikan pembelajaran yang mampu membangkitkan kreativitas serta pengalaman estetis anak.
Daftar Pustaka Cahyono, Agus. Seni Pertunjukan Arak-arakan dalam Upacara Tradisional Dugdheran di Kota Semarang dalam Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. 08 No. 03/Sep-Des 2006. Semarang: Sendratasik FBS UNNES. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. 2006. KTSP dan Arah Pembelajaran Seni. Propinsi Jawa Tengah. Hadi, Y. Sumandiyo. 1996. Aspek-Aspek Dasar Koreografi Kelompok. Yogyakarta: Manthili. Hall, Calvin S. & Lindsey, Gardner. Edd. Supratiknya.Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius (Angota IKAPI). Hidajat, Robby. 2005. Menerobos Pembelajaran Tari Pendidikan. Malang: Banjar Seni Gantar Gumelar. Jazuli, M. Metode dan Teknik Pengajaran Tari dalam Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol. 3 No. 2/Mei-Agustuts 2002. Semarang: Sendratasik FBS UNNES. Meri, La, dan Soedarsono (penj). Komposisi Tari Elemen-Elemen Dasar. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia. Murgiyanto, Sal. 1986. “Komposisi Tari” dalam Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Pasaribu, I.L, dan Simandjuntak, B. 1984. Teori Kepribadian. Bandung: Tarsito. Ratih, E.W. Peranan Pembelajaran Seni Tari dalam Pembentukan Kreativitas Anak TK (Kajian Multidimensional) dalam Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol. 3 No.2/Mei-Agustus 2002. Semarang: Sendratasik FBS UNNES. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STISI Press. Sedyawati, Edi. 1984. Tari. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Sjarkawi. 2008. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: PT. Bumi aksara. Soedarsono. 1978. Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.
Sumaryanto, F. Totok. 2007. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Seni. Semarang: Jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. www.j-harmonia. tari-sebagai-terapi-bimbin6an-bagi-anak.html Zaviera, Ferdinand. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Yogyakarta: Prismasophie.