PENGEMBANGAN KEMASAN PRODUK PINDANG IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)
WIDYA PURWANINGRUM
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Widya Purwaningrum NIM F34090057
ABSTRAK WIDYA PURWANINGRUM. Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI dan INDAH YULIASIH. Pemindangan merupakan salah satu teknik pengawetan yang menggabungkan penggaraman dengan perebusan. Hingga saat ini, teknik pemindangan hanya dilakukan secara tradisional dengan mengesampingkan higienitas sehingga kualitas produk rendah. Beberapa perbaikan penanganan bahan baku telah dilakukan sehingga proses pengolahan pada penelitian ini menghasilkan produk yang sesuai dengan standar SNI 2717.1: 2009. Teknologi pengemasan menggunakan plastik dalam kondisi vakum mampu menurunkan tingkat kerusakan produk dibandingkan dengan pindang dalam wadah besek. Besek merupakan sebuah anyaman dari bambu yang digunakan sebagai wadah selama proses pengolahan pindang hingga penjualan. Besek menjadi salah satu penyebab kerusakan produk saat distribusi dan penyimpanan. Kondisi wadah yang terbuka membuat produk tidak terjaga dari pencemaran mikroba, sehingga daya awet produk rendah. Pengamatan penyimpanan menggunakan suhu rendah pun menunjukkan wadah besek tidak mampu menjaga proses penguapan produk. Penampakan ikan menjadi kering, pecah sehingga terjadi penyusutan bobot yang tinggi. Pada penyimpanan suhu 4 C kapang mulai muncul pada permukaan produk di hari ketujuh. Penyimpanan pindang dengan plastik dalam kondisi vakum mampu menghambat penguapan di permukaan pindang hingga penyimpanan 13 hari, dan tidak menyebabkan terjadinya penurunan bobot. Penerimaan panelis menunjukkan hasil yang lebih baik, karena penurunan mutu terjadi setelah minggu kelima penyimpanan pada suhu 4 C dan minggu keenam pada suhu -11 C. Perbaikan teknologi proses dan pengemasan menghasilkan produk yang lebih berkualitas, namun hal ini menyebabkan biaya produksi meningkat. Berdasarkan analisis biaya produksi, diperoleh biaya pokok produksi dengan nilai sebesar Rp 4 955 per kemasan. Nilai ini lebih tinggi dari biaya pokok produksi pemindangan tradisional yang sebesar Rp 3 812. Kata kunci: ikan tongkol, kemasan, pindang
ABSTRACT WIDYA PURWANINGRUM. Packaging Development of Salted Boiled Cob Fish (Euthynnus affinis) Product. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI and INDAH YULIASIH. Pemindangan is one of the preservation techniques that combines salting and boiling processes. Until recent days, these method has been applied traditionally without concerning of its hygiene, which causes low quality product. Some improvement was introduced starting from raw material handling,
processing and up to packaging, storage and distribution, and produced high quality product according to the SNI 2717.1: 2009 standard. Application of vacuum plastic in packaging technology indicated less damage level of products compared to besek (traditional basket) container. Besek is a bamboo woven that is used as a container for boiling process and as end consumer packaging. It was not able to protect the product then caused shorten it shelf life. Storage in low temperature also implied that besek container was unable to avoid the evaporation process or desiccation occured on the fish surface. Fish appeared to be dried, broken, and even high loss weight. On the storage temperature of 4 C the fungi began to grow after the seventh day. Boiled fish packaged with vacuum plastics was capable to inhibit the evaporation at the surface of the products until 13 days storage. Vacuum plastic packaging also improved the consumer preference since the product deterioration occurred after the fifth week in 4 C of storage temperature and sixth week in -11 C. Development on the processing and packaging technology improved the product quality but consequently also increased the production costs. Based on production cost analysis, traditional salted boiled fish had lower production cost (Rp 3 812 per package), while modern manufactured salted boiled fish increased the production cost to Rp 4 955 per package. Keywords: boiled fish, cob fish, packaging
PENGEMBANGAN KEMASAN PRODUK PINDANG IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)
WIDYA PURWANINGRUM
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Nama : Widya Purwaningrum NIM : F34090057
Disetujui oleh
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi Pembimbing I
Dr Indah Yuliasih, STP, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus afjinis) Nama : Widya Purwaningrum NIM : F34090057
Disetujui oleh
/
Dr Ir Tit" andra Sunarti MSi Pembimbing I
STP MSi Pembimbing II
·~I )
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah Pengemasan, dengan judul Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Karya ilmiah ini merupakan salah satu hasil dari program technopreneurship dengan tema Pengembangan Pasar Produk Pindang Modern. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi dan Dr Indah Yuliasih, STP, MSi selaku pembimbing serta Prof Dr Ing Ir Suprihatin selaku penguji. Penulis pun menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Aji Hermawan, MM dan RAMP IPB yang telah memberikan bantuan dana sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014 Widya Purwaningrum
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
3
Bahan
3
Alat
3
Tahapan Penelitian
3
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Identifikasi Masalah
6
Pengembangan Produk dan Kemasan
8
Analisis Biaya Produksi
17
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
RIWAYAT HIDUP
32
DAFTAR TABEL 1 Nilai kerusakan pindang (SNI 2717.1:2009 yang dimodifikasi) 2 Syarat mutu produk pindang berdasarkan Standar Nasional Indonesia 2717.1:2009 tentang pindang 3 Dimensi ikan yang digunakan 4 Dimensi desain kemasan yang digunakan 5 Nilai kesetaraan simulasi transportasi menggunakan meja getar selama 2 jam
5 8 9 10 11
DAFTAR GAMBAR 1 Skema tahapan penelitian 2 Kondisi penataan pindang dalam kardus dengan kemasan primer berupa (a) besek (b) vakum 3 Kondisi penataan pindang dalam kemasan sekunder pada meja getar 4 Kondisi pendistribusian pindang yang dilakukan oleh pengolah pindang tradisional 5 Kenampakan produk dalam kemasan plastik vakum saat diaplikasikan (a) ukuran 1 (b) ukuran 2 (c) ukuran 3 6 Persentase Tingkat Kerusakan produk pindang saat simulasi transportasi dengan menggunakan kemasan besek dan plastik vakum 7 Kerusakan setelah transportasi berupa (a) kulit mengelupas (b) ekor patah 8 Persentase penurunan berat pindang selama penyimpanan 9 Kondisi pindang setelah penyimpanan 13 hari (a) wadah besek suhu -11 C (b) wadah besek suhu 4 C (c) kemasan plastik vakum suhu -11 C (d) kemasan plastik vakum suhu 4 C 10 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu 4 C 11 Kondisi pindang saat disimpan menggunakan wadah besek pada suhu 4 C beberapa sampel tumbuh kapang saat penyimpanan 14 hari 12 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu 11 C 13 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu 4 C 14 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu -11 C
3 5 5 7 10 12 12 13
13
15 15
16
16
17
DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis bahan baku 2 Penilaian organoleptik pindang berdasarkan SNI 2717.1:2009
21 24
3
Analisis permasalahan pindang tradisional oleh 50 responden ibu rumah tangga 4 Perhitungan kesetaraan jarak tempuh simulasi transportasi kemasan hasil rancangan menggunakan truk pada jalan luar kota 5 Perhitungan finansial pengolahan pindang modern dan tradisional
25 26 28
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan tongkol atau Euthynnus affinis merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang biasa hidup di permukaan air laut dengan membentuk gerombolan. Secara morfologis ikan tongkol memiliki sirip dada melengkung, ujungnya lurus, dan pangkalnya sangat kecil (Djuhanda 1981). Ketersediaan ikan tongkol sangat melimpah yakni sebesar 154 487 ton (KKP 2010) dengan potensi produksi perikanan tangkap di perairan umum sebesar 0.9 juta ton per tahun (DKP 2005) sehingga harganya menjadi murah yakni berkisar Rp 7 000 per kg. Kondisi ini membuat ikan tongkol menjadi dikesampingkan oleh para pengusaha ikan. Tidak banyak pengusaha ikan olahan melirik ikan tongkol karena dianggap ikan murahan, padahal jika dilihat dari kandungan proteinnya tidak kalah jika dibandingkan dengan kakap dan mackerel. Menurut Ariyani (2010) kandungan protein ikan tongkol per 100 g sebesar 25 g. Tingginya kandungan protein pada ikan tongkol dengan kandungan air yang berkisar 80 % (DKP 2008) serta pH yang mendekati netral menjadikan mikroba pembusuk mudah tumbuh sehingga kebanyakan nelayan atau pengolah ikan pinggir pantai mengolahnya menjadi pindang. Pindang merupakan produk olahan ikan yang dihasilkan dari proses pemindangan yang merupakan salah satu cara pengawetan ikan yang menggabungkan proses penggaraman dengan perebusan. Garam digunakan untuk menarik air dari daging ikan sehingga kadar air berkurang. Kadar air yang semakin berkurang membuat proses pembusukan terhambat. Proses pembusukan secara enzimatis oleh enzim autolisis dan jasad renik yang terdapat pada ikan menguraikan senyawa kimia pada jaringan tubuh ikan (IPB 2008), sehingga ikan mudah rusak jika tidak cepat diolah. Pindang merupakan salah satu produk olahan tradisional dengan volume produksi yang tinggi. Data statistik menunjukkan bahwa 49.99 % pemanfaatan ikan laut adalah dalam bentuk produk tradisional (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2006), dengan 17.06 % dari total produksi olahan, berupa pindang yang menduduki tempat ke-2 setelah ikan asin (Ariyani et al. 2004). Tingginya produktivitas pindang ditunjang oleh banyaknya pengolah pindang yang sebagian besar merupakan usaha kecil menengah. Menurut sebagian pengolah pindang, permintaan pasar terhadap produk pindang dapat mencapai angka 7 ton per hari, dengan permintaan pada tahun 2012 sebesar 157 000 ton pindang per tahun (Khoer 2012). Prospek usaha pindang sangat baik jika dilihat dari tingginya permintaan pindang, walaupun produk pindang terutama pindang ikan tongkol belum dapat menembus pasar modern, sehingga permintaan pindang akan semakin meningkat jika produk ini mampu menembus pasar modern. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan analisis proses pemindangan modern, sehingga dihasilkan produk pindang dengan kualitas baik dan mampu menembus pasar modern.
2
Perumusan Masalah Proses pemindangan hingga saat ini dilakukan melalui metode sederhana tanpa memperhatikan kualitas bahan baku dan produk yang dihasilkan, sehingga daya tahan produk sangat pendek. Kondisi inilah yang membuat jangkauan pemasaran pindang sangat terbatas. Menurut Djumarti (2004a) daya tahan pindang yang diolah secara tradisional hanya berkisar 1-2 hari dengan kualitas yang kurang memuaskan seperti penampilan kurang menarik, banyak luka, daging retak, bau tengik, dan warna agak kecoklatan. Hal ini disebabkan dalam proses pengolahannya kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higienitas. Wadah yang digunakan untuk perebusan dan pemasaran adalah besek yang merupakan suatu anyaman bambu dengan bentuk menyerupai keranjang. Menurut Yudoamijoyo et al. (1983), terdapat beberapa jenis bakteri yang dapat hidup pada bambu, kondisi ini membuat wadah yang digunakan mejadi salah satu media pencemar produk. Wadah besek yang terbuka juga dapat menyebabkan oksidasi yang menyebabkan bau tengik. Proses oksidasi dapat membuat kandungan nutrisional protein berkurang (Raghunath 1995). Oleh karena itu, perbaikan proses pengolahan dan kemasan perlu dilakukan. Sri (2002) menyatakan bahwa perbaikan proses akan memperbaiki kualitas dan konsistensi produk sehingga menghasilkan produk yang bermutu dan aman bagi konsumen. Penelitian yang telah dilakukan oleh Djumarti (2004b) menyatakan bahwa kemasan plastik vakum dengan penyimpanan suhu rendah mampu menahan laju pertumbuhan mikroba pindang hingga penyimpanan hari ke-15. Kualitas produk yang baik karena terjaga oleh kemasan, belum tentu diterima konsumen. Seperti yang dijelaskan oleh Ariyani et al. (2004), meskipun produk pindang memiliki kualitas yang baik dari nilai cemaran mikroba dan kadar histamin, konsumen menolaknya dari segi tekstur dan kenampakan. Tekstur pindang sangat dipengaruhi oleh jenis bahan baku ikan yang digunakan dan kadar air ikan tersebut. Semakin tinggi kadar airnya, tekstur pindang menjadi lembek. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan terhadap perubahan tekstur pindang yang dilakukan oleh konsumen. Pengamatan terhadap susut bobot juga dilakukan selama penyimpanan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk pindang melalui perbaikan teknologi dan pengemasan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran perbandingan pada pemindangan tradisional dan modern. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi : 1. Bahan baku pindang adalah ikan tongkol 2. Teknik pemindangan dengan air garam
3
3. Pengamatan dilakukan pada bahan baku, proses pemindangan serta pendistribusian pada pemindangan tradisional di Malang 4. Perbandingan produk yang dihasilkan pemindangan tradisional dan modern dilihat dari segi proses hingga kebutuhan biaya pokok produksi METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Laboratorium Teknik Pengolahan Hasil Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor, Darmaga-Bogor. Pemilihan lokasi didasarkan atas kebutuhan peralatan yang digunakan untuk analisis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret–September 2013. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pindang tongkol, besek, plastik vakum dengan bahan nilon 6, dan kardus corrugated paper. Alat Alat yang digunakan yaitu vacuum sealer, meja getar, timbangan, termometer, Thermo-Hygrometer dan lemari pendingin suhu -11 C dan suhu 4 C, serta peralatan untuk analisis. Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan. Skema tahapan penelitian tersebut secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 1. Mulai Identifikasi Masalah Pengembangan Produk dan Kemasan Analisis Biaya Selesai Gambar 1 Skema tahapan penelitian
4
Prosedur Penelitian Identifikasi Masalah Permasalahan pada proses pemindangan tradisional diidentifikasi pada Juni– Agustus 2012 di salah satu tempat pemindangan di daerah Malang yang telah dilakukan saat praktik lapang. Hasil tersebut dikaitkan dengan permasalahan konsumen yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan 50 orang ibu rumah tangga. Permasalahan proses pemindangan tradisional dianalisis cara perbaikannya sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih berkualitas sesuai dengan yang diharapkan konsumen. Pengembangan Produk dan Kemasan Produk kemudian diuji karakteristiknya berdasarkan, SNI 01-2332.3-2006 untuk Angka Lempeng Total, Salmonella dan E. coli, SNI-01-2354.2-2006 untuk kadar air dan SNI 01-2359-1991 untuk kadar garam yang tersaji pada Lampiran 1. Penilaian organoleptik berdasarkan pada SNI 2717.1:2009 dengan 5 parameter uji yakni kenampakan, bau, rasa, tekstur dan lendir. Masing-masing parameter dinilai oleh panelis dengan nilai 1-9. Kualitas terbaik memperoleh nilai 9 dengan penerimaan minimal adalah 7. Jika penilaian rata-rata dibawah 7 maka kualitas pindang tersebut dianggap telah ditolak konsumen. Kuisioner penilaian organoleptik ini tersaji pada Lampiran 2. Selanjutnya pindang dikemas dengan plastik vakum, masing-masing kemasan diisi dengan dua ekor pindang kemudian di-seal menggunakan automatic vacuum sealer model Lapack 550/S dengan tekanan 2.5 atm dan suhu yang digunakan berskala 4. Pengemasan ini dilakukan secara otomatis dengan lama proses pengemasan selama 30 detik. Penetapan besarnya tekanan dan panas seal dilihat dari ketebalan plastik yang digunakan dengan memperkirakan kemampuannya dalam menahan panas. Pindang yang telah dikemas diuji untuk mengetahui kegunaan kemasan dalam menjaga produk saat didistribusikan dengan simulasi pada meja getar yang dilakukan selama 2 jam. Lama waktu pengujian disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mendistribusikan produk dari Bogor ke Jakarta. Pada simulasi ini frekuensi dan amplitudo awal pada meja getar akan diatur sehingga menyerupai kondisi bak truk di jalan buruk beraspal. Amplitudo dan frekuensi ini dapat berubah sehingga perlu dilakukan pengamatan setiap 20 menit sekali. Produk yang sudah dikemas dengan kemasan primer dimasukkan dan ditumpuk hingga 4 lapis dalam kemasan sekunder courugated paper berukuran 49 cm 23 cm 14 cm. Kondisi penataan kemasan primer dan sekunder seperti pada Gambar 2. Masing-masing kardus kemudian ditumpuk hingga 2 tumpukan untuk mendekati kondisi pendistribusian pindang seperti pada Gambar 3. Kemasan yang tepat akan menjaga produk dari kerusakan saat distribusi, maka untuk mengetahuinya produk yang sudah ditransportasikan diamati tingkat kerusakannya yang kemudian diberikan skor sesuai Tabel 1. Pengaruh kemasan dan suhu penyimpanan dilihat dari pengujian penerimaan produk oleh 10 orang panelis terlatih, serta uji susut bobot. Suhu penyimpanan yang digunakan 4 C, RH 70 % dan -11 C, RH 30 %. Hal ini didasarkan atas konsep penjualan yang akan dilaksanakan dengan target pasar
5
adalah masyarakat menengah ke atas, sehingga tempat penjualan yang digunakan adalah supermarket yang memiliki lemari pendingin.
a
b
Gambar 2 Kondisi penataan pindang dalam kardus dengan berupa (a) besek (b) vakum
kemasan primer
Gambar 3 Kondisi penataan pindang dalam kemasan sekunder pada meja getar Tabel 1 Nilai kerusakan pindang (SNI 2717.1:2009 yang dimodifikasi) Kenampakan Utuh, kulit sangat rapi Utuh,kulit rapi Utuh, kulit kurang rapi Patah ekor, kulit rapi Perut pecah,kulit rapi Kepala pecah,kulit rapi Patah ekor, perut pecah, kulit rapi Patah ekor, perut pecah, kepala pecah kulit rapi Patah ekor, perut pecah, kepala pecah,kulit tidak rapi
Skor 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Analisis Biaya Produksi Analisis biaya produksi erat kaitannya dengan harga jual produk. Kualitas produk biasanya berbanding lurus dengan harga jualnya. Harga jual produk pindang yang dihasilkan dari teknologi proses yang lebih higienis tentunya
6
berbeda dengan yang tradisional. Oleh karena itu dilakukan perbandingan pada biaya pokok produksi, selisih biaya pokok produksi, serta harga jualnya. Perhitungan meliputi biaya peralatan, pekerja, bahan baku penolong, bahan baku utama dan biaya pemasaran dengan metode full costing. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Masalah Berdasarkan pengamatan selama kegiatan praktik lapang, proses pemindangan yang dilakukan pengolah pindang ternyata kurang memperhatikan aspek kebersihan dan cara pengolahan yang baik. Ikan yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ditempatkan dalam keranjang besar yang terbuat dari anyaman bambu. Keranjang ini kemudian diberi es dan dipikul menggunakan bambu oleh dua orang menuju ke mobil bak terbuka. Ikan kemudian dibawa ke tempat pengolahan yang biasanya tidak jauh dari tempat pelelangan ikan. Ikan yang sudah berada di tempat pengolahan pindang diletakkan di lantai kemudian ditata dalam wadah besek. Masing-masing wadah besek terdiri dari 2 ekor pindang. Setiap 10 wadah besek diikat menggunakan tali rafia. Biasanya setiap dua ikatan tali rafia akan diikat kembali dengan tali rafia, sehingga terdapat 20 wadah besek. Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan mencelupkan wadah besek yang telah diikat ke dalam bak yang berisi air. Kondisi air yang digunakan untuk pencucian tidak selalu bersih. Ikan dalam wadah besek yang sudah diikat tali rafia (20 wadah besek) dimasukkan selama ± 30 menit ke dalam panci perebusan berukuran 1 m2. Ikan tersebut dimasukkan ketika air garam telah mendidih (suhu ± 80 C). Menurut Eko dan Indriyono (2007) pemindangan dengan metode air garam ini memiliki waktu yang relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan pemindangan dengan metode garam. Lama waktu perebusan bergantung pada ukuran ikan yang digunakan. Semakin besar ukuran ikan semakin lama waktu perebusannya. Setelah itu, pindang diangkat dan diletakkan di lantai, kemudian disiram menggunakan air dingin agar proses pemasakan berhenti dan ikan cepat dingin. Ikan yang telah dingin didistribusikan menggunakan mobil bak terbuka. Penataan pindang dalam mobil bak terbuka ini dengan cara menumpuk pindang hingga seluruh pindang terangkut. Pindang yang telah ditumpuk ditutup kemudian menggunakan plastik lebar dan tebal yang kemudian diikat menggunakan tali. Kondisi pendistribusian ini membuat ikan tertumpuk dan rusak. Permasalah yang dirasakan oleh konsumen, hasil wawancara langsung dengan 50 panelis ibu rumah tangga diperoleh 3 masalah utama yang menjadi kekurangan pindang tradisional. Permasalahan ini tersaji pada Lampiran 3. Permasalahan pertama yaitu pindang dianggap kurang higienis dan tidak memiliki kemasan. Kemasan yang digunakan saat ini adalah wadah besek atau kertas bekas. Kedua, pindang tidak tahan lama dan yang ketiga pindang menyebabkan rasa gatal. Permasalahan kedua dan ketiga dapat disebabkan kualitas bahan baku yang kurang segar dan proses pemindangan yang kurang baik seperti pada penjelasan sebelumnya.
7
Beberapa cara perbaikan permasalahan pemindangan yaitu pada proses penanganan bahan baku di tempat pelelangan ikan, perlu digunakan wadah tertutup yang terbuat dari bahan seperti stainless steel atau menggunakan cooler box dengan menambahkan es, sehingga dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Kow et al. (1998) menyatakan bahwa setelah ikan didaratkan potensi pertumbuhan mikroba menjadi tinggi oleh karena itu perlakuan yang baik dengan tetap mempertahankan suhu ikan di bawah 5 C sangat diperlukan. Selanjutnya pada proses penurunan ikan di tempat produksi sebaiknya tidak diletakkan di lantai. Lantai juga dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba seperti E. coli. Penurunan ikan seharusnya diletakkan pada meja bersih. Pindang tradisional biasanya tidak membuang isi perut ikan, padahal isi perut juga menjadi salah satu faktor pertumbuhan mikroba. Menurut Ilyas (1983) ikan pada saat ditangkap dalam kondisi steril, namun ketika ikan sudah mati beberapa mikroba yang terpusat pada lendir kulit, insang dan isi perut akan menyebar ke seluruh tubuh ikan sehingga terjadi pembusukan. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pembersihan insang dan isi perut sehingga kondisi ikan menjadi bersih dan terjaga dari adanya kemungkinan proses pembusukan secara internal. Wadah besek yang biasa digunakan sebagai wadah perebusan sangat berguna dalam menjaga kerusakan pindang saat direbus, namun seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa wadah ini dapat menjadi salah satu penyebab kontaminasi. Terdapat kemungkinan adanya bakteri psikrofilik pada wadah bambu tersebut dan tidak mati pada saaat perebusan. Bakteri psikrofilik biasanya dapat hidup hingga suhu 75 C (Tampubolon 2008), sehingga pada saat perebusan kemungkinan bakteri ini hanya ternonaktifkan saja dan dapat aktif kembali saat suhu pindang mencapai kondisi maksimum pertumbuhan. Proses pengolahan pindang secara tradisional biasanya menggunakan wadah ini sebagai kemasan distribusi. Kondisi ini membuat kerusakan fisik pindang saat distribusi menjadi tinggi dilihat dari cara pendistribusian pindang seperti pada Gambar 4 dengan kemungkinan adanya kontaminasi mikroba (Ariyani et al. 2010).
Gambar 4 Kondisi pendistribusian pindang yang dilakukan oleh pengolah pindang tradisional Kemungkinan terjadinya kerusakan dan kontaminasi pertumbuhan mikroba ini dapat diatasi dengan pengemasan plastik vakum. Plastik vakum yang digunakan berwarna bening dan transparan dengan komponen pembentuk nilon 6 dan PET. Kelebihan plastik vakum ini antara lain, inert, tidak berbau dan berasa
8 sehingga aman. Plastik vakum ini juga tahan terhadap suhu ekstrim (-70-100 C), tidak terjadi kontak antara produk dengan udara sehingga membuat produk yang dikemas tahan lama. Kekuatan elongisitas plastik vakum juga baik sehingga tidak mudah rusak saat penyimpanan. Kekuatan tarik sebesar 5 800 psi dengan nilai melting poit 216 C. Titik leleh ini erat kaitannya dengan nilai karbon pada nilon. Semakin besar atom karbon, semakin kecil amida, titik lelehnya pun semakin rendah (Mujiarto 2005). Kelebihan tersebut membuat kemasan ini aman karena tidak menyebabkan migrasi plastik ke produk. Selain kemasan primer, kemasan sekunder juga dibutuhkan untuk mempermudah handling saat pendistribusian produk. Kemasan sekunder yang sesuai yaitu corrugated paper dengan tipe RSC (regular slotted container) no 0201. Kemasan sekunder ini memiliki kekuatan dan ukuran yang sesuai untuk pendistribusian produk berbahan ikan dengan harga yang relatif terjangkau. Pengembangan Produk dan Kemasan Berdasarkan hasil pemindangan yang telah dilakukan menggunakan cara perbaikan tersebut diperoleh hasil karakteristik pindang seperti pada Tabel 2. Kualitas pindang diuji cemaran mikroba berupa angka lempeng total (ALT), E. coli dan Salmonella. Pengujian angka lempeng total diperoleh 92 x 103 koloni/g dimana jumlah ini berada dibawah standar yang ditetapkan oleh SNI 2717.1:2009 yakni sebesar 5 105 koloni/g. Bahan baku yang digunakan tidak mengandung E. coli maupun Salmonella yang merupakan bakteri penyebab penyakit dan mengindikasikan penanganan dan pengolahan yang buruk. Nilai kadar garam pindang sebesar 0.58 % fraksi massa (basis basah) dan kadar air sebesar 66 % fraksi massa yang melebihi standar SNI 2717.1:2009 yakni dibawah 60 %. Tabel 2 Syarat mutu produk pindang berdasarkan Standar Nasional Indonesia 2717.1:2009 tentang pindang Jenis Uji a. Organoleptik Nilai minimum b. Cemaran mikroba Angka Lempeng Total E. coli Salmonella c. Kimia Kadar air Garam
Satuan
Persyaratan Mutu
Hasil Pengujian
Angka (1-9)
7
7.6
Koloni/g APM/g APM/25g
5 105 <3 Negatif
92 103 0 Negatif
% fraksi massa % fraksi massa
Maks 60 Maks 10
66 0.58
Nasran et al. (1984) menyatakan bahwa kadar air pindang yang diolah dengan metode air garam memiliki kadar air berkisar 65-66 % yang terbilang tinggi jika dibandingkan dengan pindang garam, namun pindang air garam dapat menghasilkan produk yang lebih menarik. Pindang yang diolah dengan cara pindang garam menghasilkan warna yang lebih kusam dengan rasa yang terlalu
9
asin. Oleh karena itu, metode pemindangan air garam akan tetap dipakai karena produk yang dihasilkan memiliki kenampakan lebih baik. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini seperti penggunaan blower. Penggunaan blower dapat mempercepat proses penirisan, namun biaya yang digunakan tidak sedikit. Proses ini juga dapat membuat pencemaran mikroba dari udara jika ruang pengeringan tidak bersih. Cara yang kedua yaitu merubah sedikit proses perebusan. Jika pada pindang garam diperoleh hasil kadar air yang rendah namun warna kusam akibat terjadinya proses pencoklatan kristal garam, maka teknik lain yang dapat diterapkan yaitu perebusan dengan teknik pindang garam namun penggunaan garam dilakukan sebelum perebusan. Langkah yang dilakukan yaitu pindang direndam dalam bak berisi air garam dengan konsentrasi 30 % (b/b) kemudian didiamkan selama 2 jam. Setelah itu ikan ditata pada panci pengukusan dan dimasak selama ± 2 jam. Perlakuan ini menghasilkan pindang dengan tekstur lebih kering dengan rasa yang tidak terlalu asin. Cara inilah yang sebaiknya diterapkan karena selain biaya yang dibutuhkan lebih rendah, kualitas pindang yang dihasilkan juga sesuai. Produk kemudian dikemas dengan beberapa ukuran kemasan plastik vakum yang memungkinkan untuk digunakan, namun dalam menentukan ukuran kemasan yang akan digunakan perlu diketahui dimensi rata-rata pindang. Hasil pengukuran dimensi ikan pindang tersaji pada Tabel 3. Berdasarkan hasil tersebut, maka terdapat 3 ukuran kemasan yang memungkinkan untuk digunakan. Penentuan ukuran dilihat dari panjang plastik yang harus lebih panjang dari pindang, serta lebar plastik yang dilihat dari tinggi serta lebar pindang. Perbedaan ketiga plastik vakum ini hanya pada dimensi panjang dan lebarnya saja, sedangkan jenis plastiknya sama. Ukuran ketiga plastik vakum tersebut tersaji pada Tabel 4. Tabel 3 Dimensi ikan yang digunakan Dimensi
Satuan
Nilai*
Panjang
cm
22.08 ± 0.10
Lebar
cm
4.11 ± 0.35
Tinggi
cm
2.70 ± 0.23
Berat
g
106 ± 18
*Berdasarkan 100 ekor ikan
Kemasan plastik vakum ukuran 1 yang terlihat pada Gambar 5a pada ukuran panjang tidak terjadi kekurangan atau kelebihan ruang, namun pada ukuran lebar terdapat ruang kosong pada sisi kanan 5 cm dan kiri 5 cm. Ruang kosong pada kemasan ini dapat menyebabkan produk menjadi kurang menarik, dan kurang ergonomis karena dapat memungkinkan kemasan bocor. Hal ini juga dapat membuat produk terlalu kamba saat penyusunan dalam kardus. Jika terjadi kebocoran dalam kemasan, udara dari luar akan masuk ke dalam kemasan. Udara ini dapat mempercepat proses oksidasi ikan dan membuat mikroorganisme pembusuk menjadi lebih aktif sehingga daya tahan ikan tidak dapat dijaga (Yenny
10
2013). Jika diamati, kemasan ini cocok diaplikasikan untuk isi tiga ekor pindang dan tidak cocok untuk isi dua ekor pindang. Tabel 4 Dimensi desain kemasan yang digunakan Kemasan plastik vakum
Lebar (cm)
Panjang (m)
Ukuran 1
20.0
26.0
Ukuran 2
16.6
23.0
Ukuran 3
13.0
26.0
a
b
c
Gambar 5 Kenampakan produk dalam kemasan plastik vakum saat diaplikasikan (a) ukuran 1 (b) ukuran 2 (c) ukuran 3 Kemasan ukuran 2 (Gambar 5b) masih terdapat ruang kosong di sisi kanan dan kiri produk sebesar 3 cm. Dimensi panjang kemasan ini kurang karena jarak antara seal dengan ekor hampir tidak ada. Kemungkinan besar ekor ikan terkena seal, sehingga kemasan ini tidak dapat diaplikasikan. Ruang kosong pada kemasan pertama dan kedua membuat penataan dalam kardus tidak teratur. Kondisi ini dapat menyebabkan produk mudah berpindah
11
ketika mendapat guncangan pada saat ditransportasikan sehingga kemungkinan terjadi kerusakan lebih besar. Kedua kemasan tersebut kurang efisien dalam pengepakan, sedangkan menurut Buckle (1987) dalam Chayati (2010) salah satu syarat sebuah kemasan adalah harus berfungsi secara benar, efisien dan ergonomis dalam pengepakan. Oleh karena itu, kedua kemasan ini tidak sesuai untuk diaplikasikan pada produk. Kemasan ukuran 3 (Gambar 5c) diperoleh hasil yang sesuai. Panjang ikan dengan seal tidak dekat, lebar kemasan tidak berlebih dan tidak ada ruang kosong. Tidak adanya ruang kosong antara ikan dengan kemasan membuat kemasan ukuran 3 ini lebih enak dilihat, penataan dalam kemasan sekunder lebih mudah dan tidak terjadi penumpukan, sehingga kemasan ketiga ini menjadi yang paling tepat dari kedua kemasan lainnya. Simulasi distribusi yang dilakukan pada meja getar menghasilkan nilai rataan amplitudo 4.64, frekuensi 3.87, dan kondisi lain tersaji pada Tabel 5. Perhitungan kesetaraan simulasi transportasi tersaji pada Lampiran 4. Hasil perhitungan menunjukkan kesetaraan jarak tempuh sebesar 160.96 km. Tingkat kerusakan produk pindang yang dikemas dalam wadah besek sebesar 38 % (memiliki nilai di bawah 7 (Gambar 6)). Kerusakan terjadi berupa ekor patah sebesar 25 % dan perut pecah akibat benturan antar besek sebesar 13 %. Kondisi kerusakan terlihat pada Gambar 7. Kondisi pindang yang dikemas secara vakum memiliki nilai kerusakan 0 %, yang artinya 100 % pindang memperoleh nilai di atas 7. Kondisi pindang utuh kulit sangat rapi (nilai 9) adalah sebesar 80 % dan utuh kulit rapi (nilai 8) sebesar 20 %. Berdasarkan hasil penilaian tersebut menggambarkan bahwa kemasan plastik vakum dapat menjaga pindang selama proses distribusi. Tabel 5 Nilai kesetaraan simulasi transportasi menggunakan meja getar selama 2 jam Nilai Kesetaraan Simulasi Transportasi Satuan Nilai Frekuensi Hz 3.87 Amplitudo cm 4.64 Periode (T) detik/getaran 0.26 Kecepatan sudut (ω) getaran/detik 24.2 Luas satu siklus getaran vibrator cm2/jam 1.155 x 10-3 Lama getaran Jam 2 Jumlah luas seluruh getaran vibrator cm2/jam 16.091 selama 1 jam Jumlah luas seluruh getaran truk luar kota cm2/jam 2.99 selama 0.5 jam Jumlah jarak yang ditempuh km 160.96
Tingkat Kerusakan (%)
12
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
17% nilai 9
46%
80%
nilai 8 nilai 7 nilai 6
25%
nilai 5 20%
13% kemasan besek
kemasan plastik vakum Jenis Kemasan
Gambar 6 Persentase Tingkat Kerusakan produk pindang saat simulasi transportasi dengan menggunakan kemasan besek dan plastik vakum
a
b
Gambar 7 Kerusakan setelah transportasi berupa (a) kulit mengelupas (b) ekor patah Penyimpanan pindang dengan wadah besek mengalami penurunan bobot (Gambar 8) dengan laju penurunan yang berbeda pada setiap suhu penyimpanan. Penyimpanan dengan wadah besek suhu 4 C mengalami penyusutan bobot lebih besar pada setiap harinya dibandingkan dengan pindang yang disimpan pada suhu -11 C. Perbedaan kecepatan penyusutan bobot ini dapat disebabkan perbedaan Relative Humidity (RH) ruang penyimpanan. RH pada kondisi penyimpanan suhu 4 C sebesar 75 % dan suhu -11 C sebesar 30 %. RH yang tinggi pada penyimpanan suhu 4 C membuat ruang penyimpanan lebih kering sehingga
13
Penurunan berat (%)
terjadi penguapan air di permukaan pindang yang lebih cepat dibandingkan dengan RH 30 %. Kenampakan susut bobot pindang tersebut tersaji pada Gambar 9. Kulit pindang mengalami perubahan dan menjadi retak yang ditunjukkan pada Gambar 9a, sedangkan Gambar 9b memperlihatkan penyusutan yang drastis hingga ukuran pindang menjadi kecil. Kenampakan pindang dari hari ke hari menjadi kurang menarik. Dampak yang terjadi akibat penurunan susut bobot ini adalah sistem penjualan harus dalam jangka waktu cepat. Sistem penjualan cepat membuat jangkauan pemasaran menjadi sempit. 100
80 60
K2T2
40
K1T1
20
K2T1 K1T2
0 0
1
2
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Lama penyimpanan (Hari)
Gambar 8 Persentase penurunan berat pindang selama penyimpanan * K2T2 : Kemasan plastik vakum penyimpanan suhu -11 C K1T1 : Wadah besek penyimpanan suhu 4 C K2T1 : Kemasan plastik vakum penyimpanan suhu 4 C K1T2 : Wadah besek penyimpanan suhu -11 C
a
b
c
d
Gambar 9 Kondisi pindang setelah penyimpanan 13 hari (a) wadah besek suhu -11 C (b) wadah besek suhu 4 C (c) kemasan plastik vakum suhu -11 C (d) kemasan plastik vakum suhu 4 C
14
Berbeda halnya dengan penyimpanan pindang dalam wadah besek, penyimpanan menggunakan kemasan plastik vakum menunjukkan bobot yang tetap hingga pengamatan hari ke-13. Kemasan plastik vakum yang menutup seluruh bagian pindang menjaganya dari penguapan sehingga bobot pindang tidak menurun. Bobot pindang yang tidak menurun membuat sistem penjualan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Sistem distribusi produk pun dapat dilakukan dengan jangkauan pasar yang lebih luas. Hasil pengujian organoleptik pindang yang disimpan dengan wadah besek pada suhu 4 C tersaji pada Gambar 10. Parameter kenampakan, bau, rasa dan tekstur mengalami penurunan persentase panelis yang menilai kualitas pindang di atas 7, sedangkan pada parameter lendir hingga hari keenam tidak mengalami penurunan. Hari pertama pengamatan, sebesar 90 % panelis menyatakan pindang memiliki kenampakan utuh, rapi, bersih dan warna kurang cemerlang. Hari kedua dan ketiga jumlah tersebut menurun menjadi 70 % dan pada hari keenam hanya 50 % panelis yang menyatakan hal tersebut. Kenampakan pindang ditolak oleh 50 % panelis pada hari keenam. Penolakan ini erat kaitannya karena proses penyusutan bobot ikan yang membuat kenampakan menjadi kering dan kusam. Sebesar 100 % panelis menyatakan pindang memiliki bau segar dan kurang harum pada pengamatan hari pertama dan kedua. Kemudian jumlah tersebut menurun 20 % pada hari ketiga hingga kelima. Pengamatan hari keenam, sebesar 70 % panelis yang masih menerima pindang dari parameter bau. Pengamatan hari pertama dan kedua untuk parameter rasa menunjukkan 100 % panelis yang menyatakan rasa pindang enak dan kurang gurih. Persentase tersebut menurun 10 % pada pengamatan hari ketiga hingga kelima. Pengamatan hari keenam menunjukkan 50 % panelis telah menolak karena rasa pindang menjadi hambar dan mendekati netral. Tekstur pindang pada hari pertama hingga keempat menurut 100 % panelis masih padat dan kurang kompak. Tekstur menjadi agak lembek dinyatakan oleh 20 % panelis pada hari kelima dan keenam. Parameter lendir, 100 % panelis menyatakan pindang tidak berlendir hingga hari keenam. Meskipun hanya pada parameter kenampakan dan rasa yang mengalami penolakan oleh 50 % panelis pada hari keenam, pengamatan tidak dapat dilanjutkan pada hari selanjutnya. Hal ini disebabkan karena terdapat 6 sampel yang tumbuh kapang seperti pada Gambar 11. Tumbuhnya kapang menunjukkan bahwa wadah besek tidak mampu menjaga produk saat penyimpanan dari pertumbuhan mikroba. Kemunduran kualitas terjadi pada parameter kenampakan, bau, rasa dan tekstur. Kemunduran dari parameter kenampakan dapat disebabkan proses penguapan yang menyebabkan dehidrasi pindang. Penurunan kualitas dari parameter bau, rasa dan tekstur dapat disebabkan terjadinya degradasi protein dan lemak oleh mikroba penghasil enzim protease. Penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino, nitrogen dan sebagainya dapat membuat bau dan rasa menjadi asam serta tekstur menjadi kurang kompak dan mampu memacu terbentuknya histamin. Menurut Fuji (1994), terdapat beberapa mikroba pembentuk histamin yang mampu tumbuh pada suhu rendah yaitu Photobacterium phosphoreum dan Photobacterium histaminum, namun demikian
15
Penerimaan Panelis (%)
kondisi maksimum pembentukan histamin pada suhu 28-32 C (Fletcher et al. 1996). Maka dari itu, kemunduran produk akan tetap terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan penyimpanan suhu ruang. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 kenampakan
bau
rasa Parameter
tekstur
lendir
Gambar 10 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu 4 C
Gambar 11 Kondisi pindang saat disimpan menggunakan wadah besek pada suhu 4 C beberapa sampel tumbuh kapang saat penyimpanan 14 hari Penyimpanan pindang pada suhu -11 C dengan wadah besek (Gambar 12) mengalami penurunan penerimaan pada semua parameter kecuali parameter lendir yang masih diterima oleh 100 % panelis hingga minggu keenam. Penurunan paling tajam terjadi pada parameter kenampakan, sebesar 50 % panelis menolak pada minggu keenam. Penolakan ini menunjukkan kenampakan pindang sudah mulai kusam. Parameter bau mulai ditolak oleh 20 % panelis pada minggu ketiga dan 30 % panelis menolak pada minggu keenam. Rasa pindang mulai agak hambar pada minggu keempat dinyatakan oleh 10 % panelis. Tekstur pindang menjadi lembek pada minggu kelima dan keenam menurut 20 % panelis.
Penerimaan Panelis (%)
16
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 minggu 6 kenampakan
bau
rasa
tekstur
lendir
Parameter
Gambar 12 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu -11 C Penyimpanan dengan kemasan plastik vakum pada suhu 4 C (Gambar 13) menunjukkan penurunan yang lebih lama pada parameter kenampakan. Sebanyak 10 % panelis menolak pada minggu kelima dan keenam pada parameter ini. Penolakan panelis juga terjadi di minggu keempat dan kelima pada parameter bau sebesar 10 %. Sebesar 50 % panelis menolak di minggu keenam. Penolakan ini menunjukkan bau ikan tidak harum atau mendekati netral. Parameter tekstur mengalami penolakan sebesar 10 % pada minggu keenam. Penolakan tidak terjadi pada parameter rasa dan lendir hingga pengamatan minggu keenam. 100
Penerimaan Panelis (%)
90 80
minggu 1
70 60
minggu 2
50
minggu 3
40
minggu 4
30
minggu 5
20
minggu 6
10 0 kenampakan
bau
rasa
Parameter
tekstur
lendir
Gambar 13 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu 4 C Penyimpanan pindang dengan kemasan vakum pada suhu -11 C memperlihakan kondisi yang lebih baik daripada penyimpanan suhu 4 C (Gambar 14). Penurunan penerimaan hanya terjadi pada minggu keenam pada
17
Penerimaan Panelis (%)
parameter kenampakan, bau, rasa dan tekstur dengan persentase penerimaan masih diatas 70 %. Berdasarkan penilaian tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pindang memiliki kenampakan utuh, rapi, bersih warna kurang cemerlang, bau segar kurang harum, rasa enak kurang gurih dan tekstur padat kurang kompak hingga minggu kelima. Pindang juga tidak berlendir hingga minggu keenam. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 minggu 6 kenampakan
bau
rasa
tekstur
lendir
Parameter
Gambar 14 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu -11 C Kondisi pindang pada semua penyimpanan tidak terjadi pembentukan lendir seperti pada penyimpanan suhu ruang, dimana terbentuknya lendir mencerminkan penurunan kualitas akibat pembusukan. Kemungkinan besar lendir tidak terjadi karena kondisi pindang kering, tidak menghasilkan rasa asam, bau busuk dan tekstur lembek (Heruwati et al. 1985). Analisis Biaya Produksi Pengemasan dengan plastik vakum mampu menjaga produk dari kerusakan selama transportasi. Menjaga produk dari penguapan dan kontaminasi selama penyimpanan dengan persentase penerimaan yang tinggi. Perubahan teknologi proses dan pengemasan dapat menambah biaya produksi sehingga harga jual produk lebih tinggi. Berdasarkan perhitungan finansial pada Lampiran 5 diperoleh biaya pokok produksi per kemasan untuk produk yang dikemas plastik vakum dengan nilai sebesar Rp 4 955 dan wadah besek Rp 3 815. Perbedaan harga pokok produksi tidak terlalu tinggi. Apabila harga jual pindang yang dikemas dengan plastik vakum sebesar Rp 8 000, maka keuntungan yang akan diperoleh adalah Rp 3 045 per kemasan dengan total keuntungan untuk produksi 26 ton (104 000 kemasan) dalam jangka waktu 1 bulan adalah Rp 316 680 000. Sementara keuntungan yang akan diperoleh apabila menjual pindang dengan wadah besek adalah sebesar Rp 2 185, apabila harga jualnya sebesar Rp 6 000 (harga jual di pasar tradisional saat ini) dengan total keuntungan selama 1 bulan sebesar Rp 227 240 000 dengan jumlah produksi yang sama. Keuntungan ini lebih rendah, sehingga kondisi lapang membuat pengolah pindang tradisional mengatasinya dengan penggunaan
18
bahan baku berkualitas rendah (ikan sudah tidak segar) dan harga lebih murah. Kondisi garam maupun air perebusan yang digunakan tidak diganti secara rutin sehingga lebih memotong biaya produksi. Cara tersebut memang meningkatkan keuntungan, namun kualitas produk semakin rendah. Keuntungan yang diperoleh ketika menjual pindang dengan teknologi proses dan kemasan yang telah diperbaiki lebih besar dari segi biaya maupun kualitas produk yang dihasilkan. Walaupun demikian, biaya investasi awal yang dibutuhkan menjadi sangat tinggi yakni sebesar Rp 259 250 000, sehingga pengembalian modal jauh lebih lama daripada pengolahan pindang tradisional. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perbaikan teknologi proses saat pengolahan pindang menghasilkan pindang yang lebih berkualitas, yakni dapat memenuhi standar baku SNI 2717.1:2009. Perbaikan teknologi pengemasan dengan menggunakan kemasan plastik vakum mampu menurunkan tingkat kerusakan produk saat distribusi. Teknik pengemasan dengan plastik vakum dengan suhu penyimpanan 4 C dapat menjaga kualitas produk hingga penyimpanan minggu keempat, sedangkan penyimpanan suhu -11 C mampu menjaga kualitas produk hingga minggu kelima. Kemunduran kualitas produk yang menjadi lama membuat jangkuan pemasaran lebih luas. Peningkatan kualitas produk berbanding lurus dengan peningkatan biaya yang dibutuhkan. Biaya investasi menjadi lebih tinggi dengan jumlah biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 259 250 000 dengan harga pokok produksi Rp 4 955. Saran Pengujian umur simpan produk perlu dilakukan untuk melengkapi informasi produk. Pengujian ini tidak dilakukan karena titik kritis tidak diperoleh dari pengujian kadar air dan kadar garam. Pengujian tersebut menghasilkan nilai yang fluktuatif karena ikan yang digunakan setiap waktu pengamatan berbeda. Meskipun perlakuan yang diberikan sama, namun kandungan kadar air, kadar garam dan kandungan lain pindang dapat berbeda. Agar nilai yang diperoleh tidak fluktuatif, sebaiknya selama pengamatan digunakan satu ikan untuk satu uji. DAFTAR PUSTAKA [SNI] Standardisasi Nasional Indonesia. 2009. SNI 2717.1:2009 tentang pindang. Jakarta: BSN [SNI] Standardisasi Nasional Indonesia. 2006. SNI 01-2332.3-2006. tentang penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan. Jakarta: BSN [SNI] Standardisasi Nasional Indonesia. 2006. SNI-01-2354.2-2006 tentang penentuan kadar air pada produk perikanan. Jakarta:BSN [Ditjen PT] Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2006. Statistik perikanan tangkap Indonesia tahun 2007. Jakarta (ID): Ditjen PT
19
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi perikanan. Jakarta (ID): DKP [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Bantuan teknis untuk industri ikan dan udang skala kecil dan menengah di Indonesia. Jakarta (ID): DKP [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2008. Metode pengawetan ikan. J Tekno Pangan, 1(8) [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Statistik volume produksi perikanan tangkap di laut menurut jenis ikan dan daerah penangkapan. statistik [Internet]. [diunduh 2012 Agustus 01]. Tersedia pada: http://statistik.kkp.go.id Ariyani F, Yulianti dan Martati T. 2004. Studi perubahan kadar histamin pada pindang tongkol (euthynnus affinis) selama penyimpanan. J Penelitian Perikanan Indonesia, 10(3): 27-46 Ariyani F, Murtini JT dan Siregar TH. 2010. Penggunaan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava) sebagai pengawet pindang tongkol. J Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 5(1): 29-42 Chayati I, Ratnaningsih N, dan Hera WHT. 2010 Agustus. Teknologi pengolahan buah naga dan diversifikasi produk olahannya sebagai upaya peningkatan jiwa kewirausahaan di smk agriindustri. JIEB, siap terbit Djuhanda T. 1981. Dunia ikan. Jakarta (ID): Dinas Perikanan Pr Djumarti, Susijahadi, Witono Y. 2004. Studi pembuatan ikan pindang siap saji berdaya simpan tinggi. Peranan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Mewujudkan Kemandirian Pangan di Indonesia. Seminar Nasional dan Kongres Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI).; 2004 Desember 17-18; Jakarta, Indonesia (ID): ISBN. hlm 152-157 Eko H dan Indroyono S. 2007. Dukungan teknologi penyediaan produk perikanan. JIEB, siap terbit Fletcher GC, Summerr G, Winchester RV dan Wang RJ. 1996. Histamine and histidin in New Zealand marine fish and shelfish species, perticulary kahawai (Arripis trutta). J Aqua Food Prod Technol. 4(2): 53-74 Fuji T, Kurihara K dan Okuzumi M. 1994. Viability and histidine decarboxylase activity of halophilic histaminr-forming bacteria during frozen storage. J Food Prot. 57(7):611-613 Heruwati ES, Kamarijani dan Soedarsono J. 1985. Perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan.JIEB.4(1): 15-20 Ilyas S. 1983. Teknik pendinginan ikan 1. Jakarta (ID): Paripurna Pr Khoer M. 2012. Kebutuhan pindang tahun ini capai 15 7000 ton. bisnis-jabar [Internet]. [diunduh 2013 September 22]. Tersedia pada: www.bisnisjabar.com/index.php/kebutuhan-ikan-pindang-tahun-ini-capai-157-000-ton Kow FT, Motohiro PE, Doe, dan ES Heruwato. 1998. Quality assurance in fish drying and smoking. Amerika (USA): Technimics Publishing Pr Mujiarto Imam. 2005. Sifat dan karakteristik material plastik dan bahan additif. J Traksi.3(2):65 Nasran S, Setyaningsih, Anggawati AM and Putro S. 1984. Histamine formation in boiled salted “pindang” mackerel.[Bibliografi]. California (US): FAO of United Stated. 368
20
Pratiwi GC. 2012. Kajian penggunaan kemasan karton dan peti kayu terhadap mutu buah tomat dalam transportasi darat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Raghunath MR, Sankar K Ammu dan K kevadasan. 1995. Buichemical and nutritional changes in fish during drying. J Sci Food Agic. 67:197-204 Sri EH. 2002. Pengolahan ikan segar tradisional prospek dan peluang pengembangan. J Litbang Pertanian. 21(3): 94 Tampubolon K. 2008. Penentuan mokroorganisme keamanan pangan laut. J Tek Hasil Kelautan.1(2): 6 Yenny Y. 2013. Examination of formalin and salt concentrations and total bacteria in the mackerel salted fish from sami district, Papua province. J DEPIK. 2(1): 10-15 Yudoamijoyo RM, T Zoelfikri, SR Herastuti, A Tomonatsu, A Matsuyama dan A Hosono. 1983. Chemical and microbiologi aspects of dadih in Indonesia. J Dairy Food Sci. 32(1): 1-10
21
Lampiran 1 Prosedur analisis bahan baku Penentuan kadar air pada produk perikanan (SNI-01-2354.2-2006) Oven dikondisikan pada suhu yang akan digunakan hingga mencapai kondisi stabil. Cawan kosong dimasukkan ke dalam oven minimal 2 jam. Kemudian dipindahkan ke dalam desikator sekitar 30 menit sampai mencapai suhu ruang dan ditimbang bobot kosong (Ag). Contoh yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak ± 2 g ke dalam cawan (Bg). Cawan yang telah diisi dengan contoh dimasukkan ke dalam oven vakum pada suhu 95 C-100 C, dengan tekanan udara tidak lebih dari 100 mmHg selama 5 jam atau dimasukkan ke dalam oven tidak vakum pada suhu 105 C selama 16 jam – 24 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dengan menggunkaan alat penjepit selama ± 30 menit kemudian ditimbang (Cg). Pengujian dilakukan minimal duplo (dua kali). Kadar air dapat dihitung dengan persamaan berikut: % Kadar air =
-
Penentuan kadar garam (SNI 01-2359-1991 yang dimodifikasi) Sampel ditimbang dengan akurat sebanyak 1-2 g contoh dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Sampel diambil 10 ml ke dalam erlenmeyer 100 ml lalu dititrasi dengan AgNO3 0.1 N sampai dicapai warna coklat muda pada titik akhir. Indikator yang digunakan dalam titrasi tersebut adalah indikator Kalium kromat. Perhitungan kadar garam sebagai berikut: % NaCl =
8
Penentuan E. coli pada produk perikanan (SNI 01-2332.3-2006 yang dimodifikasi) Sebanyak 25 g contoh ditimbang secara aseptis, kemudian dimasukkan ke dalam wadah atau plastik steril. Larutan butterfield’s phosphate buffer sebanyak 225 ml ditambahkan kemudian dihomogen selama 2 menit. Homogenan ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Menggunakan pipet steril, diambil 1 ml homogenan di atas dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan butterfield’s phosphate buffer untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Dilakukan hal yang sama untuk pengenceran berikutnya. Setiap pengenceran dilakukan pengocokan sebanyak 25 kali. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran 10-1, 10-2 dan 10-3 dipipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran. Ditambahkan eosin methylen blue (EMB) sebanyak 12–15 ml yang sudah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 45 C ± 1 C ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi contoh. Supaya contoh dan media EMB tercampur sempurna dilakukan pemutaran cawan ke depan ke belakang ke kiri dan ke kanan. Setelah agar menjadi padat, cawan-cawan tersebut diinkubasi dalam posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 22 C ± 1 C
22 (psikrofilik); 35 C (mesofilik); 45 C (termofilik). Perhitungan E. coli sebagai berikut:
[(
) (
)]
dengan: N adalah jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g; Σ j m p s m w ; n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung; n2 adalah jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung; d adalah pengenceran pertama yang dihitung; Penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan (SNI 012332.3-2006) Sebanyak 25 g contoh ditimbang secara aseptis, kemudian dimasukkan ke dalam wadah atau plastik steril. Larutan butterfield’s phospate buffered sebanyak 225 ml ditambahkan kemudian dihomogen selama 2 menit. Homogenan ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dengan menggunakan pipet steril, diambil 1 ml homogenan di atas dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan butterfield’s phospate buffered untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Dilakukan hal yang sama untuk pengenceran berikutnya. Setiap pengenceran dilakukan pengocokan sebanyak 25 kali. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 dipipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran. Ditambahkan plate count agar (PCA) sebanyak 12–15 ml yang sudah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 45 C ± 1 C ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi contoh. Supaya contoh dan media PCA tercampur sempurna dilakukan pemutaran cawan ke depan ke belekang ke kiri dan ke kanan. Setelah agar menjadi padat, cawan-cawan tersebut diinkubasi dalam posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 22 C ± 1 C (psikrofilik); 35 C (mesofilik); 45 C (termofilik). Perhitungan angka lempeng total sebagai berikut:
[(
)
(
)]
dengan: N adalah jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g; Σ j m p s m w ; n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung; n2 adalah jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung; d adalah pengenceran pertama yang dihitung; Penentuan Salmonella pada produk perikanan (SNI 01-2332.3-2006 yang dimodifikasi) Sebanyak 25 g contoh ditimbang secara aseptis, kemudian dimasukkan ke dalam wadah atau plastik steril. Larutan butterfield’s phospate buffered sebanyak 225 ml ditambahkan kemudian dihomogen selama 2 menit. Homogenan ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Menggunakan pipet steril, diambil 1 ml
23 homogenan di atas dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan butterfield’s phospate buffered untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Dilakukan hal yang sama untuk pengenceran berikutnya. Setiap pengenceran dilakukan pengocokan sebanyak 25 kali. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran 10-1, 10-2 dan 10-3 dipipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran. Ditambahkans salmonella shigella agar (SSA) sebanyak 12–15 ml yang sudah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 45 C ± 1 C ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi contoh. Supaya contoh dan media SSA tercampur sempurna dilakukan pemutaran cawan ke depan ke belakang ke kiri dan ke kanan. Setelah agar menjadi padat, cawan-cawan tersebut diinkubasi dalam posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 22 C ± 1 C (psikrofilik); 35 C (mesofilik); 45 C (termofilik). Perhitungan Salmonella sebagai berikut:
[(
)
(
)]
dengan: N adalah jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g; Σ j m p s m w ; n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung; n2 adalah jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung; d adalah pengenceran pertama yang dihitung;
24
Lampiran 2 Penilaian organoleptik pindang berdasarkan SNI 2717.1:2009 Tanggal:...................................... √p p
Panelis:............................................ s s
Spesifikasi 1. Kenampakan Utuh, rapi, bersih, warna sangat cemerlang Utuh, rapi, bersih, warna cemerlang Utuh, rapi, bersih, warna kurang cemerlang Utuh, rapi, kurang bersih, agak kusam Utuh, tidak rapi, kurang bersih, agak kusam Utuh, tidak rapi, kusam Utuh, tidak rapi, sangat kusam 2. Bau Sangat segar,harum Segar, harum Segar, kurang harum Kurang segar mendekati netral Mulai timbul bau asam Asam agak basi Asam, busuk 3. Rasa Sangat enak, gurih Enak, gurih Enak, kurang gurih Kurang gurih agak hambar Netral Asam agak basi Asam busuk 4. Tekstur Sangat padat, kompak lentur Padat, kompak lentur Padat, kurang kompak Padat, kurang kompak agak lembek Kurang padat, kurang kompak lembek Lembek dan berair Lembek sekali 5. Lendir Tidak berlendir Lendir tipis tdak berbau Lendir tipis agak netral Lendir mulai mengering Lendir mengering Lendir kental dan asam Lendir kental dan busuk
Nilai 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 4 1 9 8 7 6 5 4 1
1
Kode Contoh 2 3
4
25
Lampiran 3 Analisis permasalahan pindang tradisional oleh 50 responden ibu rumah tangga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis Permasalahan Kotor Tidak higienis karena menggunakan besek bambu (kemasan terbuka) Tidak bergizi Menyebabkan gatal/alergi Pindang menjijikan karena selalu dikerumuni lalat di pasar Pindang ada yang mengandung formalin Penampakannya kurang bagus Rasa pindangnya tidak konsisten Kadang ada pindang yang berbau tidak enak Cepat berlendir saat disimpan lebih lama Pindang dibungkus dengan koran Tidak tahan lama saat disimpan Pindang belum mencapai SNI Proses pembuatan dan distribusinya tidak memperhatikan mutu pindang
Frekuensi dipilih responden 4 16 5 10 1 2 1 2 2 1 1 11 1 2
26
Lampiran 4 Perhitungan kesetaraan jarak tempuh simulasi transportasi kemasan hasil rancangan menggunakan truk pada jalan luar kota Diketahui : Hasil pengukuran gerakan dari bak truk angkutan setara 30 km jalan pada beberapa kondisi jalan (Lembaga Uji Konstruksi (1986) diacu dalam Pratiwi (2012) ): JLH Amplitudo gerakan vertikal (cm) Amplitudo Jalan dalam Jalan luar Jalan buruk Jalan buruk (kali) kota kota (aspal) (berbatu) 1 3.5 3.9 4.8 5.2 500 3.2 3.6 4.2 4.1 1 000 2.9 3.3 3.9 3.8 1 500 2.5 3.0 3.5 3.6 2 000 2.2 2.8 3.1 3.2 2 500 1.8 2.5 2.8 2.6 3 000 1.6 2.1 2.8 2.6 3 500 1.5 2.0 2.0 2.0 4 000 1.1 1.7 1.2 1.1 4 500 0.9 1.3 0.8 0.7 5 000 0.0 0.1 0.2 0.1 Kecepatan truk di jalan dalam kota dan luar kota 60 km/jam. sedang di jalan buruk (aspal) dan di jalan buruk (berbatu) 30 km/jam. Frekuensi getaran bak truk 1.4 Hz dan beban truk sebanyak 80 % beban nominal. Simulasi transportasi kemasan hasil rancangan dilakukan dengan meja getar selama 2 jam dengan amplitudo 4.64 cm dan frekuensi 3.87 Hz. Penghitungan : Luas satu siklus getaran meja getar (simulasi) = ∫ s ωT T A = 4.64 cm f = 3.87 Hz T = 0.26 s ω=2 2 = ∫ 6 s (24.2 T) dT = 4.64[- 1/24.2{cos (24.2) (0.26) – cos (24.2) (0)} = 1.155 x 10-3 Jumlah seluruh getaran meja getar selama simulasi 1 jam = 1 x 60 x 60 x 3.87 = 13 932 Jumlah luas seluruh getaran meja getar selama simulasi 1 jam = 13 932x 1.155 x 10-3 = 16.091
27
Luas satu siklus getaran truk di jalan luar kota = ∫ s ωT T A = 1.74 cm f = 1.4 Hz T = 0.714 s ω=88 rataan tinggi ampilutudo di jalan luar kota = ∫ 7 s (8 8 T) T = - 1.74/ 8.8 {cos (8.8) (0.714) – cos (8.8) (0)} = 1.187730227 x 10-3 Jumlah seluruh getaran bak truk di jalan luar kota selama 30 menit (setara 30 km) = 30 x 60 x 1.4 x 1.187730227 x 10-3 = 2.999 Simulasi dengan meja getar selama 2 jam setara dengan perjalanan di jalan luar kota =( 16.091/(2.999/0.5)) x 30 km = 80.48 x 2 =160.96 km
28
Lampiran 5 Perhitungan finansial pengolahan pindang modern dan tradisional Analisis biaya produksi pindang modern Basis waktu produksi selama 1 bulan : 26 hari/bulan hari kerja : 8 jam/hari jam kerja skala produksi : 1 ton/hari : 8 ekor/kg size ikan A. Biaya penyusutan peralatan No
1
2
3 4 5
Nama alat
jumlah
Automatic Vacuum Packager Freezer maksindo tipe AB506-T-X Mesin presto ikan Bak perendaman Kendaraan
Satuan
Harga satuan
Harga beli
Nilai Sisa
Umur Pakai
Penyusutan
2
unit
7 950 000
5 900 000
1 590 000
10
636 000
3
unit
6 000 000
18 000 000
1 800 000
10
420 000
3
unit
6 950 000
20 850 000
2 085 000
10
486 500
3
unit
1 500 000
4 500 000
450 000
10
105 000
1
Unit
200 000 000 200 000 000
160 000 000
10
4 000 000
Total Investasi Alat
259 250 000
Total penyusutan per tahun
5 647 500
Total penyusutan per bulan
470 625
B. Biaya Pokok Produksi Biaya bahan baku penolong No
Nama Kuantitas Kemasan 1 primer 104 000 Kemasan 2 4 160 sekunder Total biaya bahan baku penolong
satuan
Harga
Jumlah
buah
1 500
156 000 000
pcs dus
5 000
20 800 000 176 800 000
29
Komponen
Kuantitas
Satuan
Harga
Jumlah
Biaya bahan langsung Ikan segar Garam
26 000 2 600
Air
kg buah
12 000 1 000
312 000 000 2 600 000
30
m3
17 000
510 000
5
orang
2 400 000
12 000 000
Upah pegawai Buruh/pekerja Overhead Biaya bahan baku penolong
176 800 000 1 000 000
Biaya Listrik Biaya bahan bakar
5 000 000
Biaya pemeliharaan bangunan
100 000 200 000
Biaya pemeliharaan alat Biaya depresiasi alat
470 625 510 680 625
Biaya pokok produk (BP)
C. Biaya Nonproduksi Komponen Kuantitas Biaya penjualan distribusi 1 pemasaran 1 Biaya administrasi administrasi 1 umum Total biaya nonproduksi (BNP)
Satuan
Harga
Jumlah
kendaraan Paket
2 600 000 1 000 000
2 600 000 1 000 000
Paket
1 000 000
1 000 000 4 600 000
Harga pokok produksi (BP+BNP) Biaya pokok produksi (BP) Biaya nonproduksi (BNP) Harga pokok produksi Jumlah produk Harga pokok produksi per kemasan
Rp 510 680 625 Rp 4 600 000 Rp 415 280 625 104 000 kemasan Rp 4 955
30
Analisis biaya produksi pindang tradisional A. Biaya penyusutan peralatan No
Nama alat
jumlah
1
Alat perebusan
3
Harga satuan
Satuan unit
Nilai Sisa
Harga beli
1 500 000
Total Investasi Alat
4 500 000
450 000
Umur Pakai
Penyusutan
10
105 000
4 500 000
Total penyusutan per tahun
105 000
Total penyusutan per bulan
8 750
B. Biaya Pokok Produksi Biaya bahan baku penolong No
Nama
1
Kuantitas
wadah besek
Harga
Jumlah
104 000
buah
750
78 000 000
30
buah
10 000
300 000
2 tali rafia Total biaya bahan baku penolong
Komponen
Satuan
78 300 000
Kuantitas
Satuan
Harga
Jumlah
Biaya bahan langsung Ikan segar
26 000
Garam
kg
12 000
312 000 000
2600
kg
500
1 300 000
Air Upah pegawai
30
m3
17 000
510 000
Buruh/pekerja Overhead
2
orang
1 000 000
2 000 000
Biaya bahan baku penolong
78 300 000
Biaya Listrik
100 000
Biaya bahan bakar
2 000 000
Biaya pemeliharaan bangunan
100 000
Biaya pemeliharaan alat
50 000
Biaya depresiasi alat
8 750
Biaya pokok produk (BP)
396 368 750
C. Biaya Nonproduksi Komponen
Kuantitas
Satuan
Harga
Jumlah
Biaya penjualan Distribusi Total biaya nonproduksi (BNP)
1
kendaraan
400 000
400 000 400 000
31
Harga pokok produksi (BP+BNP) Biaya pokok produksi (BP) Biaya nonproduksi (BNP) Harga pokok produksi Jumlah produk Harga pokok produksi per kemasan
Rp 396 368 750 Rp 400 000 Rp 396 768 750 104.000 kemasan Rp 3 815
32
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Banyuwangi, 16 september 1990 yang merupakan putri dari Bapak Jaka Purwoko dan Ibu Julaehak. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Penulis merupakan alumni SD Negeri 03 Bangsalsari (1997-2003), SMP Negeri 1 Rambipuji (2003-2006) dan SMA Negeri 1 Jember (2006-2009). Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada tahun 2009 dan aktif dalam berbagai organisasi kampus diantaranya UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Gentra Kaheman sebagai sekretaris divisi fasilitas dan properti (2010-2011), Ketua divisi fasilitas dan properti klub tari FATETA (2010-2011), Bendahara departemen PSDMS (Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa dan Strategis) BEM FATETA (2010-2011), Bendahara umum 1 BEM FATETA (2011-2012). Selain aktif dalam beberapa organisasi kampus, penulis pun memiliki catatan prestasi diantaranya penerima beasiswa BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) pada tahun 2009-2013, pendanaan penelitian dan start-up bisnis oleh RAMP IPB, Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan didanai tahun 2012, Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Pengabdian Masyarakat didanai tahun 2012, Finalis 20 besar lomb b s s m “ESPRIEX 2 ” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas wj ,F s b s mb b s s m “I F 2 ” yang diselenggarakan oleh BEM KM IPB, serta juara 1 Anugerah Inovasi dan Technopreneurship yang diseleggarakan oleh RAMP IPB.