Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENGEMBANGAN ENZYME–LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY UNTUK DETEKSI ANTIGEN CAMPYLOBACTER JEJUNI PADA DAGING AYAM (Development of Enzyme Linked Immunosorbent Assay for Detecting The Antigen for Campylobacter Jejuni on Chicken Meat) ANDRIANI, SUSAN M. NOOR, MASNIARI POELOENGAN dan SUPAR Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT Campylobacter jejuni is a bacteria, the major cause of acute enteritis in human around the world. High contamination of this microorganism occurs mainly on chicken meat. Using conventional method to detect the contamination of C. jejuni is difficult, takes a long time and is expensive. Therefore, the aim of this experiment is to develop an ELISA technique to detect the antigen of C. jejuni flagellin was developed and used for to samples of chicken meat. The result shows that eleven samples, out of to samples (15.7%) were positively contaminated by C. jejuni. Key Words: ELISA, C. Jejuni, Flagellin, Chicken Meat ABSTRAK Campylobacter jejuni adalah bakteri penyebab utama enteritis akut pada manusia di seluruh dunia. Kontaminasi mikroorganisme ini terutama pada daging ayam sangat tinggi. Deteksi kontaminan C. jejuni secara konvensional sulit dilakukan serta memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal. Oleh karena itu pada penelitian ini dikembangkan teknik ELISA untuk mendeteksi antigen C. jejuni yang terdapat pada daging ayam. Teknik ELISA sandwich dikembangkan menggunakan serum hiperimun flagellin dari C. jejuni. Sebanyak 70 sampel daging ayam telah dianalisis dengan metode ELISA sandwich yang telah dikembangkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa 11 dari 70 sampel (15,7%) yang diperiksa positif terkontaminasi C. jejuni. Kata Kunci: ELISA, C. Jejuni, Flagellin, Daging Ayam
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara anggota WTO, sehingga persaingan untuk memasarkan berbagai produk dari dalam negeri maupun ke luar negeri akan semakin ketat. Oleh karena itu, bahan makanan asal hewan yang merupakan salah satu komoditas dagang juga dituntut untuk ditingkatkan kualitasnya supaya memiliki kemampuan daya saing yang tinggi. Bahan makanan asal hewan harus memenuhi kualitas dan aman dikonsumsi apabila terbebas dari cemaran fisik, kimia, dan biologi. Bahan makanan asal hewan merupakan perishable food yang sangat mudah dicemari oleh mikroorganisme.
774
Mikroorganisme patogen yang secara ekonomi berperan penting dalam foodborne disease zoonosis antara lain adalah Campylobacter jejuni, Salmonella sp., E. coli O 157 dan Shigella sp. (CDC, 2000). C. jejuni adalah mikroorganisme yang paling banyak ditemukan pada ayam yaitu pada saluran pencernaan serta pada karkasnya (SHANE, 1991; SMITH, 1996). Menurut ROSENTHAL (1999), ayam merupakan salah satu sumber infeksi C. jejuni pada manusia, karena ayam merupakan reservoir dari C. jejuni. Kejadian campylo-bacteriosis pada ayam broiler yang berhubungan dengan penularan atau penyebaran C. jejuni dalam karkas sebagai sumber infeksi pada manusia. Mikroorganisme C. jejuni yang terdapat pada
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
ayam hidup dapat menyebabkan kontaminasi pada karkasnya serta produk bahan pangan ayam yang terjadi selama prosesing. Menurut BAILEY (1993) kontaminasi C. jejuni pada karkas biasanya ditemukan dalam jumlah besar (> 10.000 CFU) pada peternakan ayam yang terinfeksi. Keberadaan mikroorganisme C. jejuni pada karkas ayam yang sangat tinggi merupakan indikasi atau petunjuk tentang kondisi lingkungan di sekitar karkas. Pada peternakan ayam yang terinfeksi oleh C. jejuni, 50% dari ayam yang terinfeksi tersebut akan membawa mikroorganisme C. jejuni sampai ayam tersebut dipotong. ROSENTHAL (1999) melaporkan bahwa C. jejuni adalah penyebab gastroenteritis pada manusia. C. jejuni adalah penyebab utama enteritis akut pada manusia di negara yang sedang berkembang yang disebabkan oleh bakteri. Campylobacteriosis dapat menyebabkan kejadian penyakit bahkan kematian pada manusia dengan gejala kram perut, sakit perut, mual dan muntah, diare berdarah, demam dan kadang-kadang dapat menyebabkan arthritis dan komplikasi neurologik (ROSENTHAL, 1999). Menurut KRAMER et al. (2000) dan ALTEKRUSE (1998) kejadian campylo bacteriosis pada manusia terutama disebabkan oleh daging ayam, daging sapi, daging babi yang belum dimasak, dan susu mentah serta bahan pangan lainnya yang berasal dari hewan. Menurut LINDQVIST et al., (2000) dan KRAMER et al. (2000), kontaminasi C. jejuni yang paling banyak adalah pada daging ayam. Namun C. jejuni memiliki dosis infeksi yang rendah, sehingga manusia yang terinfeksi mikroorganisme sebanyak 500 sel C. jejuni hidup sudah dapat menimbulkan sakit (UPTON, 1995). Pada bahan pangan, mikroorganisme C. jejuni biasanya tidak dapat tumbuh dengan baik. Sehingga untuk mendeteksi adanya kontaminasi mikro- organisme ini diperlukan media cair yang telah diberi enrichment terlebih dahulu baru kemudian dilakukan subcultur pada media agar yang telah ditambah dengan 5% darah kuda. Inkubasi dapat dilakukan pada temperatur 37°C selama 4 sampai 6 jam kemudian diteruskan inkubasinya pada temperatur 42°C. Inkubasi dilakukan pada kondisi mikroaerophilik 5% oksigen, 10% carbondioksida dan 85% nitrogen. Menurut BLACKBURN dan CLURE (2003) Campylobacter
adalah mikroorganisme yang sulit dikultur. Sehingga perlu dikembangkan metode cepat untuk mendeteksi keberadaan mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan uji ELISA sebagai metode untuk mendeteksi C. jejuni yang terdapat dalam karkas ayam. MATERI DAN METODE Pertumbuhan C. jejuni C. jejuni diperbanyak dengan melakukan subcultur dalam media Nut Broth No.2 dan Campylobacter selective agar. Koloni bakteri yang sudah murni diambil menggunakan ose dan dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi larutan PBS steril sehingga dihasilkan suspensi. Pembuatan antigen flagellin C. jejuni C. jejuni dikultur dalam Campylobacter selective agar dengan penambahan 5% darah kuda. Kultur diinkubasi dalam lingkungan mikroaerofilik selama 24 – 48 jam pada suhu 42°C. Kemudian sel bakteri dipanen dengan dicuci terlebih dahulu menggunakan buffered saline dan dimatikan secara heat killed pada suhu 56°C selama 30 menit. Supernatan yang ada disaring menggunakan filter 45 µm kemudian disimpan pada suhu -20°C. Protein (yang mengandung flagellin C. jejuni) diukur. Banyaknya protein yang diharapkan 2 mg/ml. Pembuatan antiserum terhadap flagellin C. jejuni Antiserum dibuat dengan cara menyuntikkan 0,5 ml antigen flagellin C. jejuni yang telah diemulsifikasi menggunakan FCA (Freund’s Complete Adjuvant) pada kelinci dan mencit secara intramuskuler. Booster pada hari ke-14 hari menggunakan antigen flagellin yang diemulsifikasi menggunakan IFA (Incomplete Freund’s Adjuvant). Empat belas hari kemudian dilakukan injeksi intravena menggunakan antigen flagellin yang telah disuspensikan dengan larutan NaCl nonpyrogen.
775
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Pengambilan serum Pengambilan serum dilakukan untuk mengetahui respon antibodi terhadap anti flagellin. Sebelum kelinci dan mencit diimunisasi dilakukan pengambilan darah terlebih dahulu. Sepuluh hari setelah booster terakhir dilakukan pengambilan darah. Darah yang telah diambil diukur titer antibodinya. Pemisahan Ig G Serum kelinci dan mencit dipurifikasi menurut metode HARLOW dan LANE (1988) dengan menambahkan amonium sulfat jenuh ke dalam serum dengan perbandingan 1 : 1. Dicampur dengan perlahan-lahan sampai tercampur rata dan biarkan selama 10 menit. Presipitat disentrifuse 3000 – 5000 rpm selama 15 menit dan supernatan dibuang. Presipitat dilarutkan kembali dengan aquadest yang volumenya sama dengan volume serum awal. Serum didialisis menggunakan 0,01 M PBS dalam semipermeabel membran beberapa kali pada suhu 4ºC selama 24 jam. Setelah didialisis suspensi IgG antiflagellin disimpan pada suhu -20ºC sampai uji ELISA. Suspensi sampel uji Karkas ayam yang akan digunakan untuk uji ELISA terlebih dahulu dihancurkan menggunakan stomacher, kemudian dimasukkan ke dalam media Nut Broth No. 2 dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 2 – 3 jam. Untuk kontrol sampel uji, digunakan daging ayam yang diperoleh dari ayam (10 ekor) yang telah dicekoki menggunakan suspensi yang mengandung C. jejuni 106. Menyiapkan reagen ELISA Coating Buffer: Na2CO3 , NaHCO3, dan NaN3 dilarutkan dalam aquadest (pH 9,6). Washing Buffer: 500 µlg Tween-20 (Sigma) dicampur dalam 1 Liter PBS, pH 7,4 (PBST). Disimpan pada suhu 4°C.
776
Blocking Buffer: 50 mg BSA dicampur dalam 1 Liter PBSTween 20. Disimpan pada suhu 4oC. Prosedur ELISA Coating dilakukan dengan cara memasukkan 100 µl larutan IgG antiflagellin yang diperoleh dari kelinci ke dalam setiap sumuran mikroplate. Plate ditutup menggunakan plastik wrap dan diinkubasikan pada suhu 4°C selama 24 jam. Setelah itu dicuci menggunakan PBST sebanyak 3 – 4 kali, masing-masing pencucian dilakukan selama 4 menit. Masukkan 100 µl suspensi sample uji ke dalam masing-masing sumuran mikroplate. Kontrol positif (ATCC 33291) dan kontrol negatif disertakan pada setiap mikroplate. Kemudian diinkubasikan dalam suhu 37°C selama 1 jam. Setelah itu dicuci menggunakan PBST sebanyak 3 – 4 kali, masing-masing pencucian dilakukan selama 4 menit. Larutan IgG antiflagellin yang diperoleh dari mencit sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam setiap sumuran mikroplate. Kemudian diinkubasikan dalam suhu 37°C selama 1 jam. Setelah itu dicuci menggunakan PBST sebanyak 3 – 4 kali, masing-masing pencucian dilakukan selama 4 menit. Tambahkan blocking buffer 100 µl pada setiap sumuran mikroplate. Kemudian diinkubasikan dalam suhu 37°C selama 1 jam. Setelah itu dicuci menggunakan washing buffer sebanyak 3 – 4 kali, masing-masing pencucian dilakukan selama 4 menit. Setelah itu tambahkan konjugat anti mencit IgG HRPO (horseradish peroxide-conjugated) pada semua sumuran mikroplate. Kemudian diinkubasikan dalam suhu 37°C selama 1 jam. Setelah itu dicuci menggunakan washing buffer sebanyak 3 – 4 kali, masing-masing pencucian dilakukan selama 4 menit. Setelah itu dicuci tambahkan 100 µl ABTS (2,2’-azino-di-[3-ethyl-benzthiazoline sulfonate]) (Bacto) pada semua sumuran mikroplate dan diinkubasikan selama 40 – 60 menit. Reaksi dibaca menggunakan ELISA reader (λ 414 nm). Antigen whole cell dan flagellin digunakan untuk memperoleh serum hiperimun mencit dan kelinci. Imunisasi antigen flagellin dilakukan dengan mencampur antigen dengan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
antigen whole sel dan flagellin untuk mengetahui spesifitas dari serum tersebut. Terlihat bahwa serum tersebut ternyata tidak monospesifik, karena reaksi serum terhadap antigen whole cell menunjukkan grafik OD yang lebih tinggi dari pada flagellin. Hal ini disebabkan karena sisa yang digunakan untuk mengabsorb serum yaitu sel yang telah dihilangkan flagella jumlahnya kurang banyak sehingga absorbsi yang terjadi tidak sempurna. Pada Gambar 2 dapat dilihat uji ELISA sandwich untuk melihat antibodi hasil serum hiperimun yang di imunisasi menggunakan antigen flagellin dapat digunakan untuk membedakan deteksi antigen flagella dan whole cell. Antibodi primer yang digunakan adalah IgG mencit sedangkan antibodi sekunder yang digunakan adalah IgG kelinci (1/400). Terlihat pada grafik bahwa antibodi yang dihasilkan menggunakan imunisasi antigen flagellin memberikan nilai OD terhadap uji antigen flagellin lebih tinggi jika dibandingkan dengan antigen whole cell sampai enceran antibodi primer 1/320. Pengenceran antibodi primer yang lebih tinggi dari 1/320 tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai OD antara antigen whole cell dan antigen flagellin. Hal ini menunjukkan bahwa antigen flagella yang digunakan untuk imunisasi dapat memberikan respon antibodi yang lebih spesifik untuk mendeteksi antigen flagellin jika dibandingkan untuk mendeteksi antigen whole cell.
Freund’s Adjuvant Complete (FAC). Setelah 2 minggu imunisasi FAC kemudian dilakukan booster menggunakan antigen yang telah di campur dengan Freund’s Adjuvant Incomplete (FAI). Selanjutnya setelah hari ketujuh dari booster dilakukan injeksi antigen secara intravena. Setelah 7 sampai 10 hari imunisasi terakhir, dilakukan pengambilan darah. Imunisasi antigen whole cell dilakukan secara subcutan dan intravena. Injeksi subcutan dilakukan pada hari ke-1. Selanjutnya setiap empat hari kemudian dilakukan injeksi secara intravena. Injeksi terakhir dilakukan pada hari ke-21. Pada hari ke-10 sampai hari ke-14 dilakukan pengambilan darah. Darah yang telah dikoleksi kemudian diambil serumnya. Serum yang telah dipisahkan kemudian dilakukan uji aglutinasi untuk mengetahui respon antibody yang terbentuk. Serum hiperimun kelinci yang diinjeksi menggunakan antigen whole cell selanjutnya dilakukan absorb untuk memperoleh serum yang monospesifik. Sedangkan serum hiperimun kelinci yang diinjeksi menggunakan antigen fagellin selanjutnya dilakukan purifikasi antibody menggunakan amonium sulfat menurut metode HARLOW dan LANE (1988) sehingga diperoleh Ig G. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Gambar 1 dapat dilihat uji ELISA serum monospesifik yang diperoleh terhadap
4 3
OD 2 1
1/ 8 1/ 16 1/ 32 1/ 64 1/ 12 8 1/ 25 6 1/ 51 2 1/ 10 24 1/ 20 48 ne ga tif
1/ 4
1/ 2
0
antigen
wholle cell
flagella
Gambar 1. Uji ELISA serum hiperimun yang telah diabsorbsi
777
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
1.2 1 OD
0,8 0,6 0,4 0,2 0 1/20
1/40
1/80
1/160
1/320
1/640 1/1280 1/2560
antibodi primer whole cell
flagellin
Negative
Gambar 2. Uji ELISA coating menggunakan serum hiperimun yang diimunisasi antigen flagellin untuk mendeteksi adanya antigen whole cell dan antigen flagellin
Serum hiperimun yang diperoleh dari mencit dan kelinci digunakan untuk coating pada uji ELISA untuk mendeteksi adanya mikroorganisme Campylobacter sp. Pada gambar 3, 4 dan 5 dapat dilihat bahwa serum hiperimun yang diperoleh dapat digunakan untuk membedakan adanya Campylobacter sp. yang telah dikultur dalam media broth selama 48 jam, adanya antigen whole cell Campylobacter sp. dan kultur E. coli. Gambar 3 adalah hasil uji ELISA menggunakan antibodi primer α mouse pengenceran 1/40. Antibody sekunder yang digunakan adalah α rabbit pengenceran 1/400. Konjugat yang digunakan adalah HRPO anti rabbit 1/2000. Gambar 4 merupakan hasil uji ELISA menggunakan antibody primer α mouse pengenceran 1/20. Antibodi sekunder yang digunakan adalah α rabbit pengenceran 1/400. Konjugate yang digunakan adalah HRPO anti rabbit 1/2000. Sedangkan gambar 5 adalah hasil uji ELISA menggunakan antibodi primer α mouse pengenceran 1/40. Antibodi sekunder yang digunakan adalah α rabbit pengenceran 1/40. Konjugate yang digunakan adalah HRPO anti rabbit 1/1000. Gambar 4, 5, dan 6 memperlihatkan bahwa nilai OD pada hasil uji antigen whole cell lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai OD yang dihasilkan pada uji suspensi kultur Campylobacter. Sedangkan hasil uji antigen suspensi kultur E. coli memperlihatkan nilai
778
OD yang terkecil. Untuk uji ELISA selanjutnya maka digunakan control positif antigen whole cell dan kontrol negatif suspensi E. coli. Antibodi primer yang digunakan untuk coating adalah IgG mouse 1:40. Antibodi sekunder yang digunakan pada uji selanjutnya adalah IgG rabbit 1:40, dengan enceran konjugat HRPO anti rabbit 1:1000. Sampel yang akan diuji adalah karkas ayam dalam media cair yang telah diinkubasikan selama 24 – 48 jam. Sampel karkas ayam diambil dari pasar tradisional dan swalayan di daerah Bandung. Pada tabel 1. dapat dilihat sample dalam plate yang akan diuji (1-32). Pada table 2 dapat dilihat nilai OD yang dibaca pada ELISA reader dengan filter 414 nm. Nilai OD yang terbaca kemudian dikonversikan pada kurva baku. Kurva baku pada gambar 6 dibuat berdasar nilai OD kontrol positif dan nilai Elisa Unit/ EU (1024, 512, 256, 128, 64, 32, 16, dan 0). Rataan OD negatif adalah 0,3, sehingga cut of value yang digunakan adalah OD pada kontrol positif konsentrasi terendah yang masih memberikan nilai OD di atas rataan OD negatif, yaitu 0,5. Sehingga EU cut of value yang digunakan adalah – 76,5. Pada Tabel 4 dapat dilihat sampel karkas ayam yang menunjukkan reaksi postif terkontaminasi C. jejuni. Dari 70 sample yang diuji terdapat 11 sampel yang dinyatakan positif mengandung C. jejuni.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
1 0.8 0.6
OD
0.4 0.2 0 1/1
1/2
1/4
1/8
1/16
1/32
1/64
1/128
konsentrasi antigen
suspensi E. coli
suspensi campylobacter
whole cell
Gambar 3. OD hasil uji ELISA menggunakan antibody primer α mouse 1/40, antibody sekunder α rabbit 1/400, dan conjugate 1/2000
0.6 0.5 0.4 OD 0.3 0.2
0.1 0 1/1
1/2
1/4
1/8
1/16
1/32
1/64
1/128
konsentrasi antigen suspensi E. coli
suspensi campylobacter
whole cell
Gambar 4. OD hasil uji ELISA menggunakan antibody primer α mouse 1/20, antibody sekunder α rabbit 1/400, dan conjugate 1/2000
3 2.5 2 OD 1.5 1 0.5 0 1/1
1/2
1/4
1/8
1/16
1/32
1/64
1/128
konsentrasi antigen E. coli
campylobacter
w hole cell
Gambar 5. OD hasil uji ELISA menggunakan antibody primer α mouse 1/40, antibody sekunder α rabbit 1/40, dan conjugate 1/1000
779
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 1. Keterangan sample yang diuji, control positif, dan control negative dalam plate 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
A
1
1
9
9
17
17
25
25
1/1
1/1
neg
blanko
B
2
2
10
10
18
18
26
26
1/2
1/2
neg
blanko
C
3
3
11
11
19
19
27
27
1/4
1/4
neg
blanko
D
4
4
12
12
20
20
28
28
1/8
1/8
neg
blanko
E
5
5
13
13
21
21
29
29
1/16
1/16
neg
blanko
F
6
6
14
14
22
22
30
30
1/32
1/32
neg
blanko
G
7
7
15
15
23
23
31
31
1/64
1/64
neg
blanko
H
8
8
16
16
24
24
32
32
1/128
1/128
neg
blanko
Tabel 2. Nilai OD yang dibaca pada filter 414 nm 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
A
1,9
2,6
0,182
0,2
0,31
0,3
0,1
0,1
2,7
2,9
0,4
0,4
B
1,6
1,6
0,45
0,43
0,4
0,4
0,13
0,15
2,3
2,7
0,5
0,1
C
2,3
2,2
0,24
0,25
0,5
0,5
0,12
0,13
1,9
2,1
0,5
0,4
D
1,2
0,9
0,34
0,34
0,1
0,1
0,1
0,1
1,7
1,9
0,4
0,3
E
0,75
0,77
0,4
0,37
0,1
0,1
0,9
0,9
1,3
1,2
0,4
0,3 0,4
F
0,32
0,3
0,84
0,8
0,1
0,1
0,9
0,8
1,1
0,65
0,1
G
0,175
0,188
0,46
0,5
0,1
0,1
0,95
1
0,6
0,4
0,1
0,2
H
0,2
0,18
0,87
0,93
0,1
0,1
1
1
0,4
0,2
0,1
0,3
1200 1000 y = 329.43x - 241.18 R2 = 0.7289
800 600
EU 400 200 0 -200 0
0.5
1
1.5
2
2.5
-400
OD Gambar 6. Kurva baku dari nilai OD kontrol positif (x) dan nilai Elisa unit (y)
780
3
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 3. Nilai EU pada plate 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
384,7
615,3
-181,2
-175
-139
-142
-208
-208
648
714,17
-109
-109
285,9
285,9
-92,94
-99,5
-109
-109
-198
-192
517
648,28
-76,5
-208
-76,5
76,5
-202
-198
385
450,62
-76,5
-109
516,5
483,6
-162,1
-159
154,1
55,31
-129,2
-129
-208
-208
-208
-208
319
384,74
-109
-142
-76,47
12,48
-109,4
-119
-208
-208
55,3
55,31
187
154,14
-109
-142
-135,8
-142,4
35,541
22,36
-208
-208
55,3
22,36
121
-27,05
-208
-109
-109,4
-208
-175
-175,3
-208
-142
-183,5
-179,2
-89,64
1406
-208
-208
71,8
88,25
43,5
-175,3
-181,9
45,424
65,19
-208
-208
88,3
88,25
109
Tabel 4. Sampel karkas yang yang positif terkontaminasi C. jejuni 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
A
pos
pos
neg
neg
neg
neg
neg
neg
pos
pos
neg
neg
B
pos
pos
neg
neg
neg
neg
neg
neg
pos
pos
neg
neg
C
pos
pos
neg
neg
pos
pos
neg
neg
pos
pos
neg
neg
D
pos
pos
neg
neg
neg
neg
neg
neg
pos
pos
neg
neg
E
pos
pos
neg
neg
neg
neg
pos
pos
pos
pos
neg
neg
F
neg
neg
neg
neg
neg
neg
pos
pos
pos
pos
neg
neg
G
neg
neg
neg
neg
neg
neg
pos
pos
pos
pos
neg
neg
H
neg
neg
pos
pos
neg
neg
pos
pos
neg
neg
neg
neg
Tabel 5. Jumlah sample karkas ayam yang mengandung kontaminan C. jejuni Jumlah sampel karkas ayam
Jumlah sampel Positif
Persentase (%)
Pasar tradisional A
10
6
60
Pasar tradisional B
10
2
20
Pasar tradisional C
10
0
0
Swalayan D
10
1
10
Swalayan E
10
0
0
Swalayan F
10
1
10
Swalayan G
10
1
10
70
11
15,7
Lokasi pengambilan sampel
KESIMPULAN 1. Metode ELISA sandwich pada penelitian ini dapat mendeteksi adanya antigen whole cell, suspensi kultur C. jejuni,
serta dapat membedakan kultur non Campylobacter. 2. Antibodi primer IgG mouse 1:40, antibodi sekunder IgG rabbit 1 : 40 dan
781
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
konjugat HRPO goat anti rabbit 1:1000 memberikan respon nilai OD yang tertinggi. 3. Sebanyak 70 sample karkas ayam yang diambil dari pasar tradisonal maupun swalayan terkontaminasi C. jejuni 15,7%. DAFTAR PUSTAKA ALTEKRUSE, S.F. 1998. Campylobacter jejuni in Foods. JAVMA 213(12): 1774 – 1775. BAILEY, J.S. 1993. Control of Salmonella and Campylobacter in Poultry Production. A Summary of Work at Research Center. Poult. Sci. 72: 1169 – 1173. BLACKBURN, C.W. dan P.J. CLURE. 2003. Campylobacter dan Arcobacter. In: Foodborne pathogens. Hazards, risk analysis and control. CRC Press. New York. CDC
(Centers for Disease Control and Prevention). 2000. New Concerns About Bacterial Contamination of Poultry.
HARLOW, E. and D.P. LANE. 1988. Antibodies: A laboratory manual. Cold Spring Harbor Laboratory, Cold Spring Harbor, New York.
782
KRAMER, J.M., J.A. FROST, F.J. BOLTON and D.R.A. WAREING. 2000. Campylobacter Contamination of Raw Meat and Poultry at Retail Sale: Identification of Multiple Types and Comparison With Isolates From Human Infection. J. Food Prot. 63(12): 1654 – 1659. ROSENTHAL, T.M. 1999. Reducing Bacterial Contamination Through Vaccination on The Farm. In: Infectious Disease in Children. LINDQVIST, R., Y. ANDERSON, B. JONG and P. NORBERG. 2000. A. Summary of Reported Foodborne Disease Incidents in Sweden 1992 – 1997. J. Food Prot. 63(10): 1315 – 1320. SHANE, S.M. 1991. Campylobacterioses. In Disease of Poultry. 9th Ed. Iowa State University Press. Ames, Iowa pp. 236 – 246. SMITH, J.L. 1996. Determinants that may be involved in virulence and disease in Campylobacter jejuni. J. Food Safety 16: 105 – 139. UPTON, M. 1995. Relationship Between Pathogen Growth and The General Microbiota an Raw and Poultry. J. Food Safety 15: 133144.