PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA
FERDINAND SUSILO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK FERDINAND SUSILO, Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ARIO DAMAR. Kecamatan Percut Sei Tuan sebagai salah satu wilayah pesisir Sumatera Utara dengan sumberdaya mangrove yang mendukung kehidupan masyarakat sekitar, dewasa ini dihadapkan pada masalah tingkat eksploitasi berlebihan dan konversi lahan untuk berbagai kegiatan yang menyebabkan kerusakan sampai 79,8 %. Penelitian tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan bertujuan untuk mengetahui potensi dan kondisi ekosistem mangrove saat ini serta memberikan arahan strategi kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mengrove di wilayah ini. Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode panarikan contoh (sampling), observasi langsung kondisi lapangan, penyebaran kuisioner, wawancara terbuka/langsung (open-ended) dan wawancara mendalam (in-depth interview) di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan dengan penelusuran berbagai pustaka, dan instansi terkait. Dalam penentuan alternatif arahan kebijakan digunakan metode A’WOT yang merupakan gabungan AHP (analytical hierarchy process) dan SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threats). Hasil analisis A’WOT menunjukkan bahwa guna mencapai kelestarian ekosistem mangrove dan pemanfaatan berkelanjutan, arahan kebijakan yang pelu dilakukan antara lain (1) peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi; (2) peningkatan peran stakeholder; (3) penguatan hukum dan kelembagaan; (4) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove; (5) peningkatan ekowisata (wisata ilmiah); dan (6) peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar ekosistem mangrove. Kata Kunci: Percut Sei Tuan , ekosistem mangrove, A’WOT, strategi kebijakan.
ABSTRACT FERDINAND SUSILO, Mangrove Ecosystem Management on District of Percut Sei Tuan Deli Serdang Regency North Sumatera. Supervise by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and ARIO DAMAR. District of Percut Sei Tuan as one of coastal region in North Sumatera with mangrove resource which supporting the life of the society near the ecosystem, now faced to problems such as over exploitation and area conversion for various activity that causing damage until 79,8 %. Research about Mangrove Ecosystem Management on District of Percut Sei Tuan aim to know the potential and existing condition of mangrove ecosystem and also give directive policy strategic needed in managing mangrove ecosystem in this area. Primary data obtain by sampling, field observation, question, open-ended interview and in-depth interview in the research area. Secondary data obtain by unravel various literature, and related institution. In determination of alternative policy directive use an A’WOT method which constitute of AHP (Analytical Hierarchy Process) and SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Threats). A’WOT analyzed result shown that for achieving mangrove ecosystem preservation and sustainable use, policy directive require to be done among other like (1) increase of rehabilitation programs and ecological manipulation; (2) increase of stakeholders participation; (3) law and institution reinforcement; (4) increasing of society participation in management and preservation of mangrove ecosystem; (5) increase of ecotourism (scientific tourism); and (6) increase of human resources quality nears the mangrove ecosystem. Keywords: Percut Sei Tuan , Mangrove ecosystem, A’WOT, Policy strategic.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA
FERDINAND SUSILO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul
: Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.
Nama
: Ferdinand Susilo
NRP
: C251050031
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota
Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Ketua
Diketahui
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Tanggal Ujian : 22 November 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Desember 2007
Ferdinand Susilo NRP C251050031
PRAKATA Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanannya baik waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan dan dorongan semangat dari awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Desa Percut, Kepala Desa Tanjung Rejo, Kepala Desa Pematang Lalang, Ketua Koperasi Mina Bina Sejahtera Percut, Ketua Kelompok Masyarakat GP-4, Masyarakat Petambak, Kepala Laboratorium Tumbuhan Biologi USU, Analis Laboratorium PTKI Medan yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan informasi data serta analisis sampel selama penelitian. 3. Ayahanda H. Sirun Susilo dan Ibunda Hj. Amini serta abang dan kakak beserta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat maupun materi pada penulis selama studi. 4. Teman-temanku Hasri, Hanifah, Gigi, Aran, Leman, Hendrik, Mugi, Pipit, dan adik-adik BIOPALAS yang telah banyak membantu selama pengamatan dilapangan dan penelusuran data-data. Keluarga besar “BENZIN” yang menjadi teman setia dalam penulisan tesis ini, teman-teman SPL angkatan 12 atas dorongan dan bantuannya.
Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor,
Desember 2007
Ferdinand Susilo.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Helvetia, Medan Sumatera Utara, pada 07 Maret 1981 dari ayah bernama Sirun Susilo dan ibu Amini. Penulis merupakan putra ketujuh dari tujuh bersaudara. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada 1993 di SDN 106802 Medan, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN Labuhan Deli pada tahun 1996, dan menyelesaikan Sekolah Menengah Umum (SMU) SUTOMO 2 Medan pada tahun 1999. Tahun 2004, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Biologi Universitas Sumatera Utara. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xv
PENDAHULUAN .............................................................................. Latar Belakang ............................................................................. Perumusan Masalah ..................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................
1 1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... Pengertian Ekosistem Mangrove .................................................. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove .................................... Pengelolaan Ekosistem Mangrove ................................................ Karakteristik Masyarakat Pesisir .................................................. Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir ...................... Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Process/AHP) . Analisis SWOT ............................................................................
4 4 5 8 12 15 16 17 20
KERANGKA PEMIKIRAN ..............................................................
22
METODE PENELITIAN ................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh ....................... Analisis Data ................................................................................ Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ........................................................................................
24 24 26 30
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... Gambaran Umum Kabupaten Deli Serdang .................................. Gambaran Umum Kecamatan Percut Sei Tuan ............................. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Saat Ini di Kecamatan Percut Sei Tuan ........................................................................................ Ekologi Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ..... Luas Hutan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang .................................................... Struktur Vegetasi Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ................................................................................. Keanekaragaman Fauna .................................................... Kondisi Fisik Kimia Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ................................................................
40 40 44
x
31
50 51 51 53 59 63
Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sekitar Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ....... Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................... Sosial Budaya Masyarakat ................................................. Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ....................................................................... Arah Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove .......... Komponen dan Faktor-faktor SWOT ...................................... Analisis Prioritas A’WOT ...................................................... Analisis Faktor Komponen SWOT ......................................... Rencana Strategi dan Program Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ....................................
102
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... Kesimpulan ................................................................................ Saran ..........................................................................................
113 113 114
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
115
LAMPIRAN ......................................................................................
121
xi
70 70 73 77 82 82 89 99
DAFTAR TABEL Tabel
halaman
1
Titik koordinat masing-masing jalur di lokasi penelitian .....
24
2
Alat dan metode pengukuran parameter lingkungan ............
26
3
Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary) .............................................................
33
Analisis strategi faktor eksternal (External StrategicFactors Analysis Summary) .............................................................
34
5
Model matriks SWOT hasil analisis SWOT .........................
34
6
Skala perbandingan secara berpasangan (pairwise comparison) menurut say (1993) .............................................................. 37
7
Penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang ....................
43
8
Pola penggunaan lahan Kecamatan Percut Sei Tuan ...........
46
9
Komposisi penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan berdasarkan desa/kelurahan, luas wilayah, jenis kelamin, tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga ........................
47
10
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ................
48
11
Fungsi dan luas kawasan hutan di Kabupaten Deli Serdang .
51
12
Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang ..........
52
13
Jumlah individu pada masing-masing jenis vegetasi mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ............................
54
Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon ..................................................................
56
Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon ..................................................................
57
Dominansi dan dominansi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon ..................................................................
58
Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon ..................................................................
59
18
Jenis-jenis fauna di ekosistem mangrove Percut Sei Tuan ...
60
19
Kisaran suhu ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ....................................................................................
63
Kisaran pH ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ....................................................................................
65
Kisaran salinitas ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ..............................................................................
68
4
14 15 16 17
20 21
xii
22
Persentase fraksi substrat ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ..................................................................
70
23
Jenis mata pencaharian masyarakat di desa-desa penelitian ..
71
24
Jumlah dan jenis pasar yang terdapat di desa-desa studi .......
73
25
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di desa-desa penelitian .............................................................................
73
26
Fasilitas pendidikan yang terdapat di desa-desa penelitian ...
74
27
Tingkat pemahaman masyarakat mengenai eksositem mangrove ............................................................................
76
Komponen dan faktor-faktor SWOT pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ................................
83
Prioritas komponen SWOT dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ................................
91
Prioritas faktor komponen kekuatan (Strength) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ...................................................................................
92
Prioritas faktor komponen peluang (Opportunity) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ...................................................................................
93
Prioritas faktor komponen kelemahan (Weakness) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ...................................................................................
94
Prioritas faktor komponen ancaman (Threat) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ...................................................................................
95
Prioritas alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan..................................
95
Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary - IFAS) .....................................
99
Hasil analisis faktor-faktor eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary - EFAS) ....................................
100
Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT dalam pengelolaan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan .............
101
Prioritas strategi pengelolaan ekosistem mangrove Percut Sei Tuan .............................................................................
102
28 29 30
31
32
33
34 35 36 37 38
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar
halaman
1
Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem mangrove .......
23
2
Peta lokasi penelitian dan jalur pengambilan sampel ...........
25
3
Skema penempatan petak contoh .........................................
28
4
Diagram hierarki analisis arahan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.................................................................................
38
5
Peta Wilayah Administratif Kabupaten Deli Serdang ..........
41
6
Peta Administratif Kecamatan Percut Sei Tuan ...................
45
7
Peta Penutupan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ........
55
8
Daerah sebaran burung pantai, burung migran dan primata ..
62
9
Sebaran rata-rata suhu air pada setiap jalur pengamatan ......
64
10
Sebaran rata-rata suhu tanah pada setiap jalur pengamatan ..
64
11
Sebaran rata-rata pH air pada tiap jalur pengamatan ............
66
12
Sebaran rata-rata pH tanah pada tiap jalur pengamatan ........
66
11
Sebaran rata-rata salinitas pada tiap jalur pengamatan .........
68
12
Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian, Lpr = lumpur (φ = 0.0625-0.0039 mm), Phl = pasir halus (φ = 0.25-0.125 mm), Psd = pasir sedang (φ = 0.50-0.25 mm) dan Pks = pasir kasar (φ = 1-0.5 mm) .........................
69
Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan faktor eksternal ................................................
102
14
Konstruksi pembibitan dan penyemaian mangrove ...............
105
15
Tiga pola silvofisheries (wanamina) yang umum di Indonesia
108
13
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
halaman Jenis satwa di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan tahun 2003 – 2007 .......................................................
121
Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor lingkungannya .......................................................................
125
3
Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian .........
126
4
Penilaian Responden untuk Analisis Alternatif Kegiatan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Lestari dan Berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara ........................................................
128
Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara lestari dan berkelanjutan ........................................................
131
6
Pedoman Wawancara Penelitian ...........................................
132
7
Foto-foto penelitian ..............................................................
145
2
5
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Luas mangrove di pulau Sumatera ±657.000 Ha, dari total ini sekitar 30% (±200.000 Ha) dijumpai di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan penafsiran Citra Landscape, diketahui luasan mangrove di Propinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang sangat cepat dari waktu ke waktu. Dari luas ± 200.000 Ha pada tahun 1987, tinggal 15% atau ±31.885 Ha yang berfungsi baik pada tahun 2001. Hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi mangrove di Propinsi Sumatera Utara sedang mengalami tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga mengakibatkan hilangnya kawasan mangrove sekitar 85% (±168.145 Ha) dalam kurun waktu 14 tahun. Sebagian besar ekosistem mangrove di Sumatera Utara telah berubah statusnya menjadi lahan-lahan yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan aspek lingkungan sama sekali. Salah satu contoh yang paling ironis terjadi di Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat, dan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Proyek-proyek transmigrasi mengakibatkan banyaknya lahan mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan, lahan pertanian dan juga perkebunan. Hal ini menyebabkan perubahan yang mendasar dari fungsi ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil identifikasi isu pengelolaan wilayah pesisir tingkat Kabupaten/Kota maupun tingkat Propinsi Sumatera Utara, kerusakan ekosistem mangrove merupakan salah satu isu yang menjadi prioritas untuk kawasan pesisir Timur dan Barat Sumatera Utara, termasuk didalamnya Kabupaten Deli Serdang selain isu-isu penting lainnya seperti: (1) rendahnya kualitas sumberdaya manusia, (2) rendahnya penataan dan penegakan hukum, (3) belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, (4) pencemaran wilayah pesisir, (5) potensi dan objek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal, (6) belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya, (7) ancaman intrusi air laut, dan (8) rendahnya tingkat kehidupan masyarakat pesisir/ nelayan..
2
Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan akibat berbagai aktivitas pemanfaatan seperti konversi lahan untuk pemukiman, pertambakan, pertanian, perkebunan, dan pengambilan kayu/ penebangan liar, memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini tidak hanya terletak pada pemerintah saja, melainkan juga harus didukung peran serta (partisipasi) semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove yang secara aktif terlibat dalam pengelolaan dan pemanfataan mangrove, sehingga pada akhirnya kelestarian ekosistem mangrove dapat terjaga dan pemanfaatan dapat berkesinambungan. Terbatasnya informasi tentang potensi dan kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan merupakan salah satu faktor kelemahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah ini. Oleh karena itu dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan terpadu dari berbagai aspek pembangunan untuk mengetahui potensi dan kondisi saat ini ekosistem mangrove sebagai dasar merekomendasikan suatu arahan kebijakan dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, sehingga pada akhirnya pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan dan meminimalkan kerusakan ekosistem. Perumusan Masalah Kecamatan Percut Sei Tuan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara yang memiliki potensi hutan mangrove yang besar dengan luas sekitar 3.817 ha dengan peruntukan/status Hutan Suaka Alam (HSA) seluas 2580.60 ha dan Hutan Penggunaan Lain (HPL) seluas 1236.40 ha (BPS Kabupaten Deli Serdang, 2005). Namun sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang makin meningkat menyebabkan makin terbatasnya lahan. Perombakan hutan mangrove untuk tujuan lain seperti usaha perikanan (tambak), perkebunan, dan pemukiman serta penebangan liar untuk tujuan memperoleh kayu dan kayu bakar memungkinkan berubahnya fungsi ekosistem mangrove yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar pada umumnya dan biota khususnya. Masih terdapat anggapan (persepsi) masyarakat bahwa hutan
3
mangrove adalah milik bersama yang dapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove sangat penting mengingat masyarakat yang tinggal disekitar ekosistem mangrove secara langsung memanfaatkan hutan mangrove dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kurang jelasnya perwilayahan terhadap daerah lindung dan pemanfaatan ekosistem sehingga terjadi pemanfaatan yang tidak terbatas dan pemahaman yang kurang oleh masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui potensi, dan kondisi ekosistem mangrove saat ini di Kecamatan Percut Sei Tuan, serta memberikan rekomendasi arahan kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi, dan kondisi ekosistem mangrove saat ini serta memberikan rekomendasi arahan kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Sedangkan kegunaannya adalah sebagai sumber informasi dasar bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir khususnya di wilayah Sumatera Utara, bagi pemerintah daerah selaku pembuat kebijakan dalam perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan eksositem mangrove yang berkelanjutan (sustainable) di Kecamatan Percut Sei Tuan Propinsi Sumatera Utara.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting dan produktif serta ditemukan di sepanjang pesisir dan garis pantai (Hong & San, 1993). Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari deburan ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, pertumbuhan mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005). Hal ini terbukti dari daerah penyebaran mangrove di Indonesia, yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Papua. Penyebaran ekosistem mangrove juga dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin. Bengen (2004) menambahkan, hutan mangrove
merupakan komunitas
vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu berkembang pada daerah pasang surut terutama pantai berlumpur seperti jenis Rhizopora, Avicennia, Bruguiera dan Sonneratia dimana jenis-jenis ini berasosiasi dengan jenis lain seperti nipah, anggrek dan tumbuhan bukan mangrove lainnya. Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas tinggi (pasang surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968
dalam
Supriharyono,
2000).
Masyarakat
kita,
sering
menerjemahkan mangrove sebagai komunitas hutan bakau, sedangkan tumbuhan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut. Hutan mangrove atau hutan bakau adalah hutan yang terdapat di muara sungai atau pantai tropika. Mangrove adalah vegetasi yang terdiri atas pohon atau perdu yang tumbuh di daerah pantai di antara batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan di atas rata-rata permukaan air laut. Mangrove
5
dapat tumbuh di daerah tropis yang memiliki pantai terlindung, di muara sungai dan lingkungan dimana air laut dapat masuk, di sepanjang pantai berpasir atau berbatu maupun karang yang telah tertutup oleh lapisan pasir berlumpur. Selanjutnya Van Balen (1989) menambahkan bahwa hutan mangrove memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut, memiliki physiognomi yang sederhana dan tanpa stratifikasi yang jelas. Di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi: 89 jenis pohon, 5 jenis palmae, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku (Noor et al. 1999). Menurut Soemodihardjo & Soerianegara (1989), jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia sekitar 89 jenis, yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana dan, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit. Sementara itu Bengen (2001), mengatakan bahwa vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitas, Snaeda, dan Conocarpus, yang termasuk ke dalam 8 famili. Melana et al. (2000) menambahkan bahwa tumbuhan mangrove terdiri dari 47 jenis tumbuhan mangrove sejati dan jenis asosiasi yang termasuk ke dalam 26 famili. Mangrove sejati tumbuh di ekosistem mangrove, sedangkan mangrove asosiasi kemungkinan dapat tumbuh di habitat yang lain seperti di hutan pantai dan daerah dataran rendah. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang memiliki banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber
6
makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Hong & San (1993), menambahkan pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Melana et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu: (1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir. (2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir. (3) Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan. (4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan. (5) Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya. (6) Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan, udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan.
7
Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar US$500 sampai US$1.550 per hektar pertahun, nilai minimum terjadi ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi peruntukan yang lain. Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Chapman (1977) dalam Kusmana (1995) terdiri 5 (lima) habitat, yakni: (1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga. (2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk). (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang. (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak. (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang. Lebih lanjut Sugiarto & Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini (Abdullah, 1988). Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut. Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri et al. (2004) mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi
8
kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya. Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat
perkembangbiakan
dan
pegasuhan
berbagai
biota
laut,
tempat
bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali, 2001). Menurut Macnae (1968) dalam Kusmana (1995), secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna teresterial dan fauna laut. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang, biawak, berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove. Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 ton/ha/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme (terutama kepiting) dan organisme pengurai diubah sebagai detritus
atau
bahan
organik
mati
dan
memasuki
sistem
energi
(Chambers & Sobur, 1977). Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengelolaan
ekosistem
mangrove
merupakan
suatu
upaya
untuk
memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae (1993), pengelolaan mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini antara lain harus:
9
1. mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayukayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor. 2. mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti daerah pemijahan dan mencari makan beberapa organisme darat dan laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah. 3. mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi. Namun demikian, pada hakekatnya, dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari dan pemanfataannya dapat berkelanjutan. 1) Perlindungan Hutan Mangrove Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor: 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat, selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi terkait. Surat keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 507/IV-BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu sebesar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai.
10
Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993), zonasi mangrove merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu: a. Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah. b. Zona Perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal. c. Zona Pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain. 2) Pemanfaatan Hutan Mangrove Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. (1999), menyatakan mangrove sebagai suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung, antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip, tanin, nipah, obat-obatan, bahan makanan, perikanan (penangkapan ikan, tambak) pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Menurut Kusmana et al. (2005), secara garis besar ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh masyarakat:
11
(1) Tambak a. Tambak Tumpangsari Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang didalamnya mengkombinasikan
sebagian
lahan
untuk
pemeliharaan
kepiting/ikan dan sebagian lahan untuk penanaman mangrove. b. Model Tambak Terbuka Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai. (2) Hutan Rakyat Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips). (3) Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain. (4) Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang. 3) Rehabilitasi Hutan Mangrove Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis). Hal ini
12
menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al. 2002). Menurut Khazali (2002), pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Untuk mencapai kepada keinginan pemberian porsi yang besar kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, menurut Sembiring & Husbaini (1999) harus diringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan persepsi pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan masyarakat yang selama hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut ekonomi, secara berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bio-ekologis. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat mempertahankan produktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar kelestarian hasil dapat diperoleh. Menurut Watson dan Arief (1992), ada tiga alasan utama mengapa kegiatan konservasi (perlindungan) dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tersebut mendapat perhatian baru-baru ini. Pertama, manusia pada hakekatnya merupakan penyebab kerusakan-kerusakan yang terjadi di lingkungan laut. Kedua, belum membudayanya usaha melindungi wilayah perairan di lingkungan daratan. Ketiga, sebagian wilayah laut dan lautan terletak di luar batas yuridis negara, atau wilayah teritorial perairan mereka. Lautan sering dianggap sebagai sumberdaya umum yang berpotensi menimbulkan konflik eksploitasi. Karakteristik Masyarakat Pesisir Pemahaman karakteristik masyarakat pesisir khususnya di sekitar kawasan hutan mangrove mempunyai sasaran dalam penyusunan strategi perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Dengan memahami karakteristik tersebut segala
13
aspek yang berhubungan dengan kondisi sasaran, terutama yang berkaitan dengan kemampuan intelektual (pemahaman dan pengetahuan), kepribadian, sikap dan sebagainya dapat ketahui dengan baik. Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pesisir, terlebih dahulu harus diketahui konsep masyarakat baik secara umum maupun masyarakat pesisir secara khusus. Masyarakat umumnya merupakan sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu: Pertama, masyarakat perairan yaitu kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak hidup di lingkungan perairan daripada di darat, berpindah-pindah dari satu teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan mengelompok dalam kekerabatan setingkat dan kecil. Kedua, masyarakat nelayan, golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem ekonominya bukan lagi subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu hasil sudah tidak dikonsumsi sendiri namun sudah didistribusikan dengan imbalan ekonomis kepada pihak lain. Meski memanfaatkan sumberdaya perairan, namun kehidupan sosialnya lebih banyak dihabiskan di darat. Ketiga, masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam dekat perairan laut, tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut. Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai petani, pemburu atau peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih mendominasi daripada pengetahuan lautan. Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997), dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefeniskan
14
sebagai nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai. Masyarakat nelayan penangkap ikan sangat rawan karena bergantung sepenuhnya terhadap keberadaan sumberdaya alam yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh nelayan. Nelayan tidak pernah mempunyai gambaran pasti tentang berapa pendapatan yang akan diperolehnya, suatu saat pendapatannya cukup besar akan tetapi di saat lain sama sekali tidak memperoleh hasil tangkapan. Hal ini disebabkan sifat tangkapan nelayan senantiasa bergerak berpindah-pindah tempat menjadikan tingkat pendapatan mereka cenderung tidak teratur (Nadjib, 1998 dalam Khazali, 2001). Selain itu pendapatan nelayan juga sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground). Dalam menangkap ikan tidak jarang nelayan harus berpisah dari keluarga berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Hal ini menyebabkan pulangnya mereka ke rumah sering dipergunakan sebagai kesempatan untuk beristirahat daripada berproduksi. Masyarakat petambak memiliki kesejahteraan relatif lebih baik daripada kelompok masyarakat pesisir yang lain karena memiliki kesempatan memperoleh hasil dari budidaya perikanan yang bernilai ekonomis tinggi seperti udang, sehingga ketergantungan pada kegiatan yang berbasis pada laut relatif rendah. Keadaan tersebut memberikan alternatif yang lebih baik bagi pengembangan ekonomi mereka. Masyarakat petambak memiliki aksesibilitas terhadap sumberdaya alam relatif lebih baik dibandingkan nelayan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan. Keadaan tersebut memberikan alternatif yang lebih banyak bagi pengembangan ekonomi mereka. Petambak memiliki akses terhadap lahan yang dapat mereka manfaatkan untuk sumber penghasilan. Kondisi ini akan lebih diperkaya apabila daerah sepanjang pantai berupa kawasan hutan mangrove. Selain dapat menjadi habitat ikan, mangrove juga merupakan wilayah yang mengandung kekayaan yang bermanfaat bagi petambak. Petambak juga mempunyai peluang untuk meningkatkan perekonomian mereka secara lebih sistematis karena dapat mengembangkan basis produksi yang lebih relatif stabil, dimana masa panen dapat lebih diatur tergantung dari permintaan pasar.
15
Kusumastanto
(2002),
memberikan
gambaran
karakteristik
umum
masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak rusak. Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir adalah suatu kajian terhadap hubungan sosial antara manusia yang berdiam di wilayah pesisir dengan sumberdaya alam yang ada. Kawasan hutan mangrove adalah kawasan hutan yang khas dan unik yang hidup di daerah peralihan antara dua ekosistem yang berdampingan. Dalam kaitannya terhadap sosial ekonomi masyarakat pesisir, kawasan mangrove memegang peranan penting. Keterkaitan antara sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dengan manusia sebagai konsumen adalah sangat erat dengan sosial budayanya. Masyarakat pesisir memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan beberapa kelompok masyarakat lainnya. Menurut Fahrudin (1996), perbedaan ini dikarenakan eratnya keterkaitan terhadap karakteristik ekonomi pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi maupun latar belakang budaya. Masyarakat pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang kehidupan segenap anggota-anggotanya tergantung sebagian atau sepenuhnya pada kelimpahan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi hidup selaras dengan alam, sehingga teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya alam adalah adaptif dengan kondisi ekologi wilayah pesisir.
16
Kondisi sosial ekonomi secara umum dapat dikatakan memprihatinkan yang ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktifitas dan pendapatan. Sebagian penduduk bermata pencaharian di bidang perikanan, pertanian, jasa, dan perdagangan. Menurut Fahrudin (1996), ketertinggalan kelompok masyarakat pesisir dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain salah satunya adalah disebabkan oleh kurangnya proyek pembangunan yang menjangkau masyarakat pesisir, seperti terlihat terbatasnya prasarana maupun sarana pendidikan, kesehatan, jalan dan lain sebagainya. Pada
wilayah
pesisir
keadaan
tersebut
berakibat
pada
kurang
berkembangnya kegiatan perekonomian dan rendahnya tingkat kesejahteraan. Rumah tangga masyarakat pesisir pada umumnya memiliki prilaku ekonomi yang sama dengan masyarakat pedesaan lainnya, yaitu bertujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan anggotanya (subsisten), sehingga pengambilan keputusan dalam usaha atau produksi sangat dipengaruhi oleh tujuan tersebut. Adanya introduksi atau inovasi teknologi pada masyarakat pesisir dapat mempengaruhi persepsi terhadap perubahan, resiko, maupun investasi dalam berusaha, sehingga perlu dicapai alternatif teknologi yang sesuai. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Partisipasi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan dalam pembangunan
masyarakat.
Secara
umum,
partisipasi
diartikan
sebagai
keikutsertaan dalam suatu kegiatan. Patisipasi masyarakat (people participation) adalah suatu bentuk interaksi sosial yang menjadi perhatian dan bahan kajian ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai sebuah istilah, patisipasi mempunyai beberapa pengertian dan batasan. Dalam sudut terminologi, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok masyarakat yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Menurut Wardojo (1992), partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan.
17
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek. Partisipasi lebih dari sekedar ikut melaksanakan program yang telah direncanakan, tetapi juga dalam merencanakan program, dan memutuskan alokasi sumberdaya dan keuntungan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat secara pribadi maupun kelompok didorong oleh keinginan untuk menyumbangkan tenaga atau sarana lainnya kepada lembaga yang mengatur kehidupan mereka. Lebih lanjut Wang (1981), membedakan partisipasi menjadi 3 jenis, yaitu: (a) partisipasi sukarela (voluntary parcipation) yaitu partisipasi yang berasal dari inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri, (b) partisipasi dengan dorongan (induced participation), yaitu partisipasi masyarakat setelah mereka memperoleh arahan dari pihak lain, dan (c) partisipasi dengan tekanan (force participation), yaitu partisipasi masyarakat yang dilakukan karena ada paksaan pihak lain. Keseluruhan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal masyarakat. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu, meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha, dan kekosmopolitanan. Sedangkan faktor eksternal masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor diluar karakteristik individu, meliputi hubungan antara pengelola dengan petani penggarap, pelayanan pengelola dan penyuluhan (Pangesti, 1995). Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Process/AHP) Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analysis Hierarchy Process/AHP) merupakan salah satu metode MCDM (Multy Criteria Multy Decision) yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty (1993), dan sangat populer digunakan dalam perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah
18
kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana (Saaty, 1993). Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analysis Hierarchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah (Saaty, 1993): 1.
AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur.
2.
AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
3.
AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4.
AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
5.
AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.
6.
AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
7.
AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.
8.
AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
9.
AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
19
10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty, 1993). Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993). Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan
20
yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA. PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantitatif. Dalam PHA, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty, 1993). Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: (i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis. Tahapan analisis data dengan PHA menurut Saaty (1993) adalah: 1. identifikasi sistem 2. penyusunan struktur hierarki 3. membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison) 4. menghitung matriks pendapat individu 5. menghitung pendapat gabungan 6. pengolahan horisontal 7. pengolahan vertikal 8. revisi pendapat. Analisis SWOT Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat
21
memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats) (Salusu, 1996). Analisis SWOT merupakan suatu alat yang umum digunakan untuk menganalisis lingkungan internal dan eksternal dalam rangka mencapai suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah TOWS selesai dianalisis (Salusu, 1996). Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti, 2004), yaitu: (1) Strategi SO (Strategi kekuatan-peluang), menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. (2) Strategi WO (Strategi kelemahan-peluang), menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang yang ada. (3) Strategi ST (Strategi kekuatan-ancaman), menciptakan strategi dengan memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal. (4) Strategi WT (strategi kelemahan-ancaman), didasarkan pada kegiatan yang bersifat
defensif
dan
menghindari ancaman.
berusaha
meminimalkan
kelemahan,
serta
KERANGKA PEMIKIRAN Ekosistem mangrove merupakan salah satu wilayah pesisir yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan baik itu potensi fisik, sosial ekonomi maupun biologi.
Untuk
itu
perlu
dikelola
secara
berkelanjutan
dalam
rangka
mempertahankan fungsi ekologis dan ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan. Berbagai tekanan yang terjadi terhadap ekosistem hutan mangrove baik tekanan eksternal dan internal masyarakat menyebabkan degradasi kawasan sehingga diperlukan suatu usaha pengelolaan yang baik dan berkelanjutan. Salah satu unsur penting yang harus diperhatikan adalah penempatan komponen lingkungan sebagai faktor penyeimbang dari berbagai kegiatan pemanfaatan terhadap ekosistem mangrove yang telah dan akan dilakukan. Ekosistem mangrove di Percut Sei Tuan mengalami degradasi yang cukup tinggi akibat berbagai pemanfaatan seperti konversi lahan mangrove menjadi kawasan pemukiman, pertambakan, perkebunan, dan pertanian serta pengambilan kayu (penebangan liar), menyebabkan perlunya pengelolaan kawasan mangrove tersebut. Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan upaya pengelolaan hutan mangrove adalah mengetahui kondisi dan potensi ekosistem mangrove percut saat ini baik itu aspek ekologi, sosial ekonomi masyarakat maupun kelembagaan. Selain itu faktor keterlibatan/partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan juga sangat diperlukan demi keberhasilan pengelolaan, disamping perhatian pemerintah khususnya pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai faktor pelaksana pembangunan daerah dan pemegang kebijakan dalam mengakomodir kegiatan pengelolaan kawasan mangrove secara lestari dan partisipasi masyarakat sehingga mangrove tetap terjaga dan lestari. Selanjutnya setelah mengetahui kondisi dan potensi ekosistem mangrove, maka dilakukan analisis untuk memberikan suatu rekomendasi arahan kebijakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove percut dengan melakukan pendekatan terhadap faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap ekosistem ini. Dengan memperhatikan perumusan masalah diatas, secara sederhana dapat disusun diagram kerangka pemikiran sebagai berikut:
23
Ekosistem Mangrove
Fisik
Sosial Ekonomi
Biologi
Potensi Permasalahan Pemanfaatan
Pengelolaan
Analisis Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Arahan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Ekosistem Mangrove
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Pada umumnya pemilihan obyek penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) sesuai dengan pertimbangan tujuan penelitian yaitu lokasi yang terdapat hutan mangrove dan diperlukan pengelolaan dan pelestarian lebih dini karena penurunan kualitasnya. Lokasi pengamatan untuk data primer dilakukan di ekosistem mangrove dengan menggunakan transek kuadrat sebanyak 9 transek sepanjang garis pantai Kecamatan Percut Sei Tuan dengan jumlah plot disesuaikan
dengan kondisi
mangrove di masing-masing jalur ( Tabel 1). Penentuan transek secara sengaja pada tiga desa pantai dengan pertimbangan luasan, struktur, dan komposisi mangrove yang berbeda di tiap desa. Peletakan transek sebanyak 3 transek tiap desa dengan tujuan dapat mewakili tegakan mangrove. Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu: 1. Survey awal (penelitian pendahuluan), dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder pada lokasi penelitian dan mengetahui kondisi masyarakat sekitar lokasi penelitian. Kegiatan survey dilakukan pada bulan Juni s/d Juli 2006. 2. Pengumpulan data primer dan sekunder, berlangsung pada bulan Februari s/d Mei 2007 yang terdiri dari pengumpulan data ekosistem mangrove (biofisik) dan wawancara masyarakat (karakteristik masyarakat), dan data sekunder lainnya. 3. Pengolahan dan analisis data serta penulisan laporan akhir (tesis) yang dilakukan pada bulan Mei s/d Juni 2007. Tabel 1 Titik koordinat masing-masing jalur di lokasi penelitian Jalur I II III IV V VI VII VIII IX
Posisi Geografis N 3° 42’ 32.30”; E 98º 49’ 28.20” N 3° 42’ 48.50”; E 98º 49’ 0.15” N 3° 43’ 7.02”; E 98º 48’ 20.17” N 3° 43’ 28.20”; E 98º 47’ 26.53” N 3° 43’ 31.45”; E 98º 47’ 6.36” N 3° 43’ 41.51”; E 98º 46’ 40.41” N 3° 44’ 11.70”; E 98º 46’ 13.99” N 3° 44’ 58.20”; E 98º 45’ 50.70” N 3° 45’ 42.90”; E 98º 45’ 20.60”
Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan jalur pengambilan sampel
25
26
Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode observasi (pengamatan) langsung untuk mengumpulkan data potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan metode survey untuk sosial ekonomi masyarakat dimana informasi dikumpulkan dari responden dengan
menggunakan
kuisioner
sebagai
alat
pengumpul
data
pokok
(Singarimbun, 1995). Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui sampling, observasi, kuisioner dan wawancara terbuka/langsung (open-ended) secara mendalam di lokasi penelitian. Wawancara merupakan suatu alat pembantu utama dari metode observasi yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia
dalam
suatu
masyarakat
serta
pendirian-pendirian
mereka
(Koentjaraningrat, 1997). Data primer yang diperlukan meliputi: potensi biofisik ekosistem mangrove dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, yang berpedoman pada daftar pertanyaan (questioner) yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun data primer yang dibutuhkan adalah: -
Biofisik wilayah meliputi: luas lahan mangrove, struktur dan komposis mangrove, aspek fisik kimia mangrove meliputi suhu, salinitas, pH dan jenis substrat (Tabel 2).
-
Identitas reponden (umur, pendapatan, lama tinggal, tingkat pendidikan, pekerjaan), kelembagaan yang ada, manfaat kegiatan dan keberadaan mangrove bagi masyarakat serta aktivitas masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove.
Tabel 2 No 1 2 3 5
Alat dan Metode Pengukuran Parameter Lingkungan Parameter Lingkungan Unit Alat o Suhu C Thermometer Salinitas ‰ Refraktometer pH pH meter Substrat % Saringan bertingkat
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelusuran berbagai pustaka, dan dari instansi terkait seperti; Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, Kantor Bangdes, Kantor Statistik, Badan Pertanahan
27
Nasional, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Kantor Kecamatan, Kantor Desa dan Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara meliputi : -
Data fisik wilayah meliputi, iklim, geologi tanah, topografi, penggunaan lahan/ status lahan,.
-
Sosial dan ekonomi: tingkat pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan penduduk, tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat, sarana dan prasarana (perhubungan, listrik, telekomunikasi, pendidikan dan kesehatan).
-
Kebijakan dan program-program pemerintah daerah yang berhubungan dengan pengelolaan hutan mangrove wilayah tersebut.
Penarikan Contoh Pengumpulan sampel untuk data vegetasi terbagi atas jalur-jalur di sepanjang garis pantai dan sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian dan kondisi dilapangan (purposive sampling), dan dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Penentuan sampel untuk data biologi (vegetasi) digunakan metode transek kuadrat (garis berpetak), yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama (Ahmad, 1989). Adapun tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan tegakan mangrove, jenis dan kenakeragaman jenis mangrove yang terdapat di Kecamatan Percut Sei Tuan. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan tiga pola yaitu: pengambilan data untuk semai (pemudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1.5m), pancang/anakan (pemudaan dengan tinggi > 1.5m sampai pohon muda yang berdiameter kecil dari 10 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20cm). Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masingmasing spesies yang ada dalam setiap petak dan mengukur diameter pohon. Adapun arah pengamatan tegak lurus dari pinggir laut ke arah darat (Gambar 3). Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pacang dan semai serta jenis pohon, data diameter pohon dan tinggi pohon. Sepanjang jalur transek pada saat pengambilan data vegetasi, dilakukan pengukuran parameter-parameter lingkungan, yaitu suhu, salinitas, dan pH sebanyak 3 (tiga) ulangan setiap jalur
28
pengamatan. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe substrat (lumpur, lumpur bepasir, pasir berlumpur, lempung, dan pasir). Jenis-jenis fauna yang ditemukan di lokasi penelitian, baik terestial maupun akuatik dilakukan pencatatan. C B A
10 m Arah rintis
A B C Gambar 3 Skema Penempatan Petak Contoh A: Petak pengamatan semai (2 x 2 m) B: Petak pengamatan pacang (5 x 5 m) C: Petak pengamatan pohon (10 x 10 m)
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan maka penentuan responden untuk data sosial ekonomi menggunakan teknik Penarikan Contoh Sengaja (purpossive sampling method). Responden yang diwawancarai terdiri dari, Kepala Dinas Kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Deli Serdang, Kepala Bappeda, Camat Kecamatan Percut Sei Tuan, aparatur pemerintah desa (Kepala Desa Percut, Tanjung Rejo dan Pematang Lalang), Organisaisi Masyarakat (Koperasi Mitra Bina Sejahtera, Gerakan Pemuda Pencinta Pesisir Percut, Kelompok Masyarakat Petambak), Yayasan Akasia Indonesia, Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara, dan masyarakat sekitar lokasi penelitian sebanyak 60 orang. Adapun responden masyarakat yang diamati adalah penduduk dewasa yang berdomisili di sekitar lokasi penelitian yang terkait dengan hutan mangrove. Penduduk dewasa dalam hal ini dimaksudkan bahwa yang bersangkutan telah matang mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil tindakan, dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
29
Variabel Pengamatan Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: 1. Karakteristik individu yang disebut faktor internal meliputi: tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. 2. Faktor eksternal meliputi: pemahaman terhadap ekosistem mangrove, kelompok/lembaga
dalam
pemanfaatan
mangrove,
dan
keterlibatan
pemerintah dalam pelestarian mangrove. 3. Tingkat partisipasi masyarakat meliputi: keterlibatan dalam pengelolaan mangrove, mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan/pengawasan dan penanaman atas kehendak sendiri. Deskripsi dari masing-masing variabel yang diamati adalah sebagai berikut : 1. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden yang dinyatakan dengan tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. 2. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang diperoleh dari berbagai sumber dan dinyatakan dalam Rp/bulan. 3. Keterlibatan pemerintah adalah frekuensi dan aktivitas kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik penyuluhan, penanaman maupun pemeliharaan/pengawasan mangrove. 4. Kelompok adalah wadah yang ada yang berupaya untuk memberikan berbagai bentuk pelayanan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove. 5. Pemahaman adalah pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi hutan mangrove, undang-undang, fungsi dari hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan. 6. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, dalam bentuk keterlibatannya mengikuti kegiatan diskusi, usulan, penanaman, pemeliharaan dan penanaman atas kehendak sendiri.
30
Analisis Data Data Sosial Ekonomi Prosedur yang pertama dalam analisis data adalah pengolahan data yang diperoleh dari lapangan, dalam hal ini yang dilakukan antara lain memeriksa kelengkapan dalam pengisian kuisioner oleh responden, dilanjutkan memeriksa kesesuaian jawaban satu dengan jawaban lainnya, kemudian memeriksa relevansi jawaban dan terakhir menyeragamkan satuan data. Data sosial ekonomi yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi dan dimasukkan dalam tabel, kemudian dideskripsi. Data Fisik Wilayah Data sekunder hasil pengumpulan dari pustaka-pustaka dan instansi terkait akan dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi. Data Biologi Data hasil pengamatan dan pengukuran vegetasi yang diperoleh dilapangan, dianalisis untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan penjumlahan dari frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif. untuk ketiga komponen INP tersebut daat dihiitung dengan rumus sebagai berikut :
Frekuensi = Jumlah titik pengambilan contoh dimana spesies terdapat dibagi jumlah plot pada tiap transek.
FR
=
Nilai frekuensi tiap jenis x 100% Nilai frekuensi semua jenis
Kerapatan = Jumlah individu dari spesies yang terdapat dalam titik pengambilan
contoh dibagi dengan luas areal pengambilan contoh.
KR =
Kerapatan satu jenis x 100% Kerapatan semua jenis
Dominasi = Total basal areal suatu spesies yang dihitung dari diameter pohon.
31
DR =
Total basal area setiap jenis Total basal area seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP)
=
x 100%
KR + FR + DR
Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove (Kusmana, 1995). Sedangkan untuk data fauna yang didapat dari hasil pengamatan dan pancatatan yang kemudian dianalisis deskriptif dengan tabulasi.
Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam penentuan arahan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dilakukan dengan teknik gabungan AHP (analytical hierarchy process) dan SWOT, atau disebut A’WOT.
A’WOT merupakan suatu analisis yang mengintegrasikan strenght, weakness, opportunities dan threats (SWOT) ke dalam kerangka
analytical
hierarchy process (AHP). Analisis ini terbukti mampu dilakukan dalam
merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan di beberapa wilayah di Indonesia, antara lain di Papua (Soselisa, 2006), Sulawesi Selatan (Saru, 2007), Kepulauan Seribu (Priyono, 2004), dan Kutai Timur (Wijaya, 2007) Analisis dilakukan dengan dua tahapan.
Pertama, identifikasi faktor-faktor
komponen SWOT dan merumuskan alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Kedua, melakukan AHP terhadap faktorfaktor komponen SWOT dan alternatif kegiatan pengelolaan untuk menentukan prioritas kegiatan. Analisis SWOT Analisis strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Analisis ini dilakukan dengan menerapkan kriteria
32
kesesuaian dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan (faktor internal dan eksternal) yang diperoleh dengan wawancara secara terbuka/langsung (openended) dan wawancara mendalam (in-depth interview).
Pembobotan dan skoring dalam analisis SWOT ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara tersebut, yang kemudian dijustifikasi oleh peneliti dalam bentuk bobot dan skor. Berdasarkan Rangkuti (2004) langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah sebagai berikut: Tahap pengumpulan data Tahap pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan internal. Data eksternal berasal dari lingkungan luar (peluang dan ancaman), sedangkan data internal berasal dari dalam sistem pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, mencakup ketersediaan sumberdaya alam, kondisi sumberdaya manusia dan pengembangan kawasan yang sedang dijalankan (kekuatan dan kelemahan). Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: (i) matriks faktor strategi eksternal, dan (ii) matriks faktor strategi internal. Adapun matriks faktor strategi internal disusun dengan langkah-langkah: -
Pada kolom 1 disusun kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan.
-
Pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor kekuatan dan kelemahan sama dengan 1,0.
-
Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating untuk kekuatan bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar, 2 = sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk kelemahan bersifat negatif (nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan 1 = sangat besar).
33
-
Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor tersebut.
-
Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
-
Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4.
Tabel 3 Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary) Faktor-faktor Bobot Rating Skor Komentar Strategi Eksternal 1 2 3 4 5 Peluang: S1 4 S2 3 S3 2 .... 1
Ancaman: W1 W2 W3 .... TOTAL
1,00
1 2 3 4 -
Matriks faktor strategi eksternal disusun dengan langkah-langkah: -
Pada kolom 1 disusun peluang-peluang dan ancaman-ancaman.
-
Selanjutnya pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor peluang dan ancaman, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor peluang dan ancaman sama dengan 1,0.
-
Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating untuk peluang bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar, 2 = sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk ancaman bersifat negatif (nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan 1 = sangat besar).
34
-
Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor tersebut.
-
Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
-
Menjumlahkan
skor pembobotan
pada
kolom
4.
Nilai tersebut
menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis eksternalnya. Tabel 4 Analisis strategi faktor eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary) Faktor-faktor Bobot Rating Skor Komentar Strategi Eksternal 1 2 3 4 5 Peluang: O1 4 O2 3 O3 2 .... 1 Ancaman: T1 1 T2 2 T3 3 .... 4 TOTAL 1,00 Tahap Analisis Pada tahap analisis digunakan Model Matriks SWOT, dimana terdapat 4 strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT (Tabel 5). Setelah diperoleh matriks SWOT, selanjutnya disusun rangking semua strategi yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut. Tabel 5 Model Matriks SWOT Hasil Analisis SWOT IFAS STRENGTH (S) WEAKNESSES (W) EFAS
OPPORTUNITIES (O)
SO2 SO3 .. .. SOn
WO2 WO3 .. .. WOn
35
THREATS (T)
ST1 ST2 ST3 .. .. STn
WT1 WT2 WT3 .. .. WTn
Analytical Hierarchy Process (AHP) Pada prinsipnya, analisis PHA pada penelitian ini digunakan untuk menentukan prioritas alternatif kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan untuk kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya mangrove percut. Dalam hal ini, alternatif ditentukan secara sengaja yang merupakan justifikasi peneliti yang didasarkan pada hasil wawancara dan pengamatan serta pengukuran langsung terhadap kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat. Adapun alternatif kegiatan pengelolaan adalah rehabilitasi, konservasi dan wisata.
Tujuan dari prioritas pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan yang lestari dan berkelanjutan (sustainable development) dibangun oleh beberapa kriteria, yang merupakan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu pilar ekonomi, pilar sosial budaya, dan pilar kelestarian lingkungan (ekologi) yang tercermin dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap ekosistem mangrove yang akan dikembangkan. Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya,
36
dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty, 1993). Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993). Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA. Adapun proses/ prinsip kerja AHP adalah sebagai berikut: Penyusunan hierarki Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi suatu struktur hierarki. Dalam penelitian ini persoalan yang akan diselesaikan adalah pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara lestari dan berkelanjutan dengan kriteria adalah faktor internal dan eksternal ekosistem mangrove di daerah tersebut, dan alternatif kegiatan pengelolaan adalah rehabilitasi, konservasi dan wisata.
37
Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004), untuk berbagai
persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan defenisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Skala perbandingan secara berpasangan (Pairwise Comparison) menurut Saaty (1993). Nilai
Keterangan
1
Kedua faktor sama pentingnya.
3 5
Faktor yang satu sedikit lebih penting dari pada faktor yang lainnnya. Faktor satu esensial atau lebih penting dari faktor yang lainnya.
7
Faktor yang satu jelas lebih penting dari faktor yang lainnya.
9
Faktor yang satu mutlak lebih penting dari faktor yang lainnya.
2,4,6,8
Nilai-nilai antara, berdekatan.
diantara
dua
nilai
pertimbangan
yang
Menentukan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dikakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan prioritas (peringkat relatif) dari seluruh kriteria dan alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Konsistensi logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai A’WOT disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Diagram Hierarki Analisis Arahan Pengelolaan Ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
38
Keterangan : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat semakin baik. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik.. Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove. Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove.. Tingkat pendapatan yang relatif rendah. Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat. Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum. Sumberdaya manusia yang masih rendah. Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah, dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove. Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi mangrove. Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal. Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove. Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
39
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kabupaten Deli Serdang Letak dan Luas Wilayah Secara geografis Kabupaten Deli Serdang (setelah dimekarkan, tahun 2003) terletak pada posisi 2o 57’ - 3o 16’ Lintang Utara, dan 98o 33’ - 99o 27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,62 km2 dari luas Propinsi Sumatera Utara. Wilayah Kabupaten Deli Serdang terletak di wilayah Pantai Timur Propinsi Sumatera Utara dengan batas-batas sebagai berikut : Bagian Utara
: Kabupaten Langkat dan Selat Malaka
Bagian Selatan : Kabupaten Karo dan Simalungun Bagian Timur : Kabupaten Serdang Bedagai Bagian Barat
: Kabupaten Langkat dan Karo
Disamping batas-batas tersebut diatas, di wilayah ini terdapat 1 daerah kota yaitu Daerah Kota Medan. Peta orientasi Kabupaten Deli Serdang untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5. Topografi Melihat topografi wilayah, daerah ini secara geografis terletak pada wilayah pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara serta memiliki topografi, kontur dan iklim yang bervariasi. Kawasan hulu yang konturnya mulai bergelombang sampai terjal, berhawa tropis pegunungan, kawasan dataran rendah yang landai sementara kawasan pantai berhawa tropis pegunungan. Sementara itu, dilihat dari kemiringan lahan, Kabupaten Deli Serdang dapat dibedakan atas : 1. Dataran pantai dengan luas lahan ± 63.002 Ha (26,30 %) terdiri dari 4 kecamatan (Hamparan Perak, Labuhan Deli, Percut Sei Tuan, dan Pantai Labu). Jumlah desa sebanyak 64 desa/kelurahan dengan panjang pantai 65 km. Potensi Utama adalah pertanian pangan, perkebunan rakyat, perkebunan besar, perikanan laut, pertambakan, peternakan unggas, dan pariwisata.
O
O
SELAT MALAKA
O
O
O
O
O
O O
O
Gambar 5 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Deli Serdang
41
42
2. Dataran rendah memiliki luas lahan ± 68,965 Ha (28.80 %) terdiri dari 11 kecamatan (Sunggal, Pancur Batu, Namorambe, Deli Tua, Batang Kuis, Tanjung Morawa, Patumbak, Lubuk Pakam, Beringin, Pagar Merbau, dan Galang) dengan jumlah desa sebanyak 197 desa/kelurahan. Adapun potensi utama yang terdapat di dataran rendah Kabupaten Deli Serdang adalah pertanian pangan, perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan, industri, perdagangan, dan perikanan darat. 3. Dataran Pegunungan dengan luas lahan ± 111.970 Ha (44.90 %) terdiri dari 7 kecamatan (Kutalimbaru, Sibolangit, Biru-biru, STM Hilir, STM Hulu, Gunung Meriah, Bangun Purba) dengan jumlah desa sebanyak 133 desa. Potensi utama dari wilayah ini adalah pertanian rakyat, perkebunan, dan peternakan. Kabupaten Deli Serdang memiliki 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Belawan, DAS Deli, DAS Belumai, DAS Percut, dan DAS Ular, dengan luas areal 378.841 Ha, yang kesemuanya bermuara ke Selat Malaka dengan hulunya berada di Kabupaten Simalungun, dan Karo. Pada umumnya sub DAS ini dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan sebagai upaya peningkatan produksi pertanian. Kemiringan lahan Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat berdasarkan keadaan topografi atau kontur lahan. Kemiringan lahan di kabupaten ini bervariasi dari 0 – 40 % dimana kemiringan yang umum terdapat di Kabupaten Deli Serdang adalah 0 – 15 %. Untuk ketinggian, daerah Kabupaten Deli Serdang sebagian besar terletak di daerah Pantai Timur Sumatera Utara dengan ketinggian 0 – 1000 meter diatas permukaan laut (mdpl). Keadaan Iklim Sesuai dengan perbedaan geografis, topografis dan ketinggian dari permukaan laut maka iklim daerah ini juga bervariasi yaitu iklim sub tropis dan iklim peralihan antara sub tropis dan tropis. Ketinggian 0 – 500 meter dari permukaan laut, Kabupaten Deli Serdang beriklim peralihan antara sub tropis dan tropis, sedangkan ketinggian lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut beriklim sub tropis sehingga
memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim
43
penghuian. Suhu udara rata-rata perbulan minimum berkisar 23,9oC dan maksimum 32,4oC. Pada daerah sepanjang pantai timur umumnya memiliki udara yang agak panas yang dipengaruhi oleh angin laut, sedangkan pada daerah pengunungan (Kecamatan Sibolangit dan Gunung Meriah) beriklim tropis basah dengan udara sejuk yang dipengaruh oleh iklim pegunungan. Angin yang bertiup melalui daerah ini juga berbeda yakni angin laut dan angin pegunungan dengan kecepatan 0,68 meter/detik. Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan September sampai dengan bulan Oktober dengan curah hujan berkisar antara 200 sampai dengan 500 mm perbulan, sedangkan kelembaban menunjukkan rata-rata 83%. Keadaan Lahan dan Penggunaan Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang pada saat awal terbentuknya yaitu pada awal kernerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 adalah sekitar 6.589,65 km2. Tahun 2003 Kabupaten Deli Serdang mengalami pemekaran menjadi 2 (dua) wilayah Kabupaten sehingga luasnya saat ini tinggal 2.497,72 km2 atau 249.772 Ha yang terdiri dari 22 Kecamatan 14 Kelurahan dan 389 Desa. Penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang didominasi sebagai perkebunan besar dan tegalan (kebun campuran) dengan luas masing-masing secara berurutan adalah 54.286 Ha (22,67 %) dan 52.897 Ha (22,09 %). Secara rinci, penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Penggunaan Lahan di Kabupaten Deli Serdang No Penggunaan lahan 1 Perkampungan/Pemukiman 2 Persawahan 3 Tegalan/Kebun Campuran 4 Perkebunan Besar 5 Perkebunan Rakyat 6 Hutan 7 Semak/Alang-Alang 8 Kolam/Tambak 9 Rawa-rawa 10 Peternakan 11 Lain-lain Sumber: BPS Deli Serdang 2005
Luas (Ha) 12,907 44,444 52,897 54,286 29,908 40,157 670 1,317 792 49 2,035
Persentase (%) 5,39 18,56 22,09 22,67 12,49 16,77 3,28 0,55 0,33 0,02 0,85
Tingginya tingkat penggunaan lahan untuk perkebunan besar dan tegalan di sebabkan karena sebagian besar dari wilayah Kabupaten Deli Serdang termasuk
44
ke dalam daerah pegunungan yang sangat mendukung untuk pertanian, perkebunan, dan perternakan. Sedangkan untuk perikanan (tambak/kolam) memiliki luas lahan penggunaan yang tidak begitu luas hanya sekitar 1,317 Ha atau 0,55 % dari luas total wilayah kabupaten. Hal ini disebabkan karena tingkat pemanfaatan lahan yang belum maksimal untuk pengembangan sektor perikanan.
Gambaran Umum Kecamatan Percut Sei Tuan Letak dan Luas Secara geografis wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan terletak pada 03°29’ - 03o41’ LU dan 98o40’ - 98o47’ BT dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Batang Kuis dan Pantai Labu. Sebelah Selatan berbatas dengan Kota Medan Sebelah Barat Berbatas dengan Kecamatan Labuhan Deli Kecamatan Percut Sei Tuan secara administrasi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara yang memiliki luas wilayah 190,79 km2 yang terdiri dari 18 Desa dan 2 Kelurahan, 3 desa dari wilayah kecamatan merupakan desa pantai (Desa Pematang Lalang, Desa Percut, dan Desa Tanjung Rejo) dengan ketinggian 0 - 20 meter diatas permukaan laut dan curah hujan rata-rata 243 persen. Di Kecamatan Percut Sei Tuan terdapat 9 desa yang dilintasi sungai yaitu: Desa Tembung, Desa Bandar Khalipah, Desa Bandar Setia, Desa Laut Dendang, Desa Sampali, Desa Cinta Rakyat, Desa Cinta Damai, Desa Saentis, dan Desa Percut. Untuk lebih jelasnya dapat lilihat pada Gambar 6 di bawah ini. Aksesibilitas Pusat pemerintahan kecamatan terletak di Tembung dengan jarak tempuh dari desa terjauh ± 22 km atau waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan. Untuk jarak tempuh ke ibu kota kabupaten yang terletak di Lubuk Pakam ± 40 km memiliki waktu tempuh 1,5 jam perjalanan, sedangkan jarak tempuh ke ibukota propinsi berjarak 22 km atau 0,5 jam perjalanan.
Gambar 6 Peta Administratif Kecamatan Percut Sei Tuan
45
46
Keadaan Lahan dan Penggunaan Wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki luas 190,79 km2 dengan persentase penggunaan lahan terbesar adalah untuk persawahan, perkebunan, irigasi, pemukiman dan sebagian lahan basah. Penggunaan lahan untuk kegiatan persawahan seluas 9.761 Ha atau 32,0 %, perkebunan seluas 6.074 Ha (19,92 %), irigasi 2.582 Ha (8,47 %), pemukiman seluas 4.785 Ha (15,69 %), dan lahan basah seluas 2.709 Ha (8,8 %). Pola penggunaan lahan Kecamatan Percut Sei Tuan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Pola Penggunaan Lahan Kecamatan Percut Sei Tuan No Penggunaan Lahan Luas (Ha) 1 Irigasi Setengah Teknis 2.442 2 Irigasi Sederhana 140 3 Sawah Tadah Hujan 2.401 4 Sawah Kering 7.360 5 Pemukiman 4.785 6 Tegal/Kebun 880 7 Ladang 190 8 Lahan Basah 2.709 9 Tambak 358 10 Rawa-rawa 988 11 Empang/Kolam 482 12 Daerah Gambut 881 13 Hutan 12 14 Hutan Belukar 0,5 15 Perkebunan 6.074 16 Fasilitas umum 788
Persentase (%) 8,01 0,46 7,87 24,14 15,69 2,89 0,62 8,88 1,17 3,24 1,58 2,89 0,04 0,002 19,92 2,58
Sumber: Monografi Kecamatan Percut Sei Tuan (2005)
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Dari segi sosial budaya, Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki tingkat heterogenitas etnis yang sangat tinggi. Suku bangsa yang cukup mendominasi di kecamatan ini antara lain Jawa, Batak, Melayu Deli, Melayu Pesisir dan sebagian etnis Tionghoa. Jumlah penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan mencapai 270.125 jiwa dan jumlah Rumah Tangga sebanyak 62.591 dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 136.202 jiwa dan perempuan 133.923 jiwa. Tingkat kepadatan
47
penduduk di kecamatan ini sebesar 1415,75 jiwa/Ha yang berarti tiap hektar lahan di Kecamatan Percut Sei Tuan didiami oleh sekitar 1415,75 jiwa. Sebaran komposisi penduduk berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk (jenis kelamin), tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Komposisi penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan berdasarkan desa/kelurahan, luas wilayah, jenis kelamin, tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga Penduduk
No.
Desa/Kelurahan
Luas (Ha)
Laki-laki
Perempuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Amplas Kenangan Tembung Sambirejo Timur Sei Rotan Bandar Klippa Bandar Khalipah Medan Estate Laut Dendang Sampali Bandar Setia Kolam Saentis Cinta Rakyat Cinta Damai Pematang Lalang Percut Tanjung Rejo Tanjung Selamat Kenangan Baru Jumlah
3,10 1,27 5,35 4,16 5,16 18,48 7,25 6,90 1,70 23,93 3,50 5,98 24,00 1,48 11,76 20,10 10,63 19,00 16,33 0,72 190,79
1.707 12.789 18.004 7.577 7.630 10.075 12.775 4.704 5.586 8.598 5.264 4.684 4.735 4.114 2.605 2.275 5.372 3.695 2.507 11.506 13.6202
1538 13155 18809 7297 6366 10167 12211 3542 5626 8792 4967 4734 4608 4035 2226 1019 5463 3546 2470 13352 133.923
Jumlah
Tingkat Kepadatan
3245 25944 36813 14874 13996 20242 24986 8246 11212 17390 10231 9418 9343 8149 4831 3294 10835 7241 4977 24858 270.125
1046,77 20428,35 6880,93 3575,48 2712,40 1095,35 3446,34 1195,07 6595,29 726,70 2923,14 1574,92 389,29 5506,08 410,80 163,88 1019,29 381,11 304,78 34525,00 1415,75
Jumlah Rumah Tangga 1.051 4.548 7.661 3.935 3.239 5.018 5.237 2.376 2.273 4.125 2.883 2..526 3.365 2.232 1.021 494 2.4.41 1.991 1.115 5.060 62.591
Sumber: BPS Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka (2005)
Kondisi Ekonomi Masyarakat Mata pencaharian merupakan kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya. Adapun seseorang yang bekerja sudah harus memenuhi standar usia angkatan kerja seperti yang di terapkan UNICEF, yaitu minimal berusia 15 tahun. Dari Tabel 10 mengenai jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian, dapat dilihat bahwa mata pencaharian penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan pada umumnya bermata pencaharian sebagai karyawan berjumlah sebesar 19.140 jiwa dengan persentase 22,10 % dari total jumlah penduduk. Selain itu profesi tukang
48
dan dagang menepati jumlah terbanyak setelah karyawan yang secara berurutan yaitu 16.089 jiwa (18,58 %) dan 15.485 jiwa (17,88 %). Profesi sebagai ABRI dan nelayan menepati posisi minoritas, karena hanya 0,48 % dan 1,00 % yang bekerja di sektor tersebut. Hal ini mengingat luasan wilayah pesisir yang terbatas dan singkatnya jarak dan waktu tempuh ke ibukota kecamatan dan ibukota propinsi sehingga masyarakat lebih memilih untuk bekerja di kota sebagai karyawan dan berdagang. Selain itu, tingkat pembangunan infrastruktur penunjang yang tinggi di Kota Medan merupakan faktor penyebab tingginya jumlah penduduk untuk profesi tukang karena menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka. Tabel 10 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian Jenis Pekerjaan Jumlah PNS 6.569 ABRI 417 Karyawan 19.140 Dagang 15.485 Tani 13.048 Pensiunan 11.393 Tukang 16.089 Buruh Tani 1.579 Nelayan 862 Jasa 2.025 Total 86.607
Persentase (%) 7,58 0,48 22,10 17,88 15,07 13,15 18,58 1,82 1,00 2,34 100,00
Sumber: Pusat Statistik Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka (2005)
Fasilitas dan Infrastruktur Transportasi Transportasi secara umum dapat diperlancar dengan menggunakan jalan yang sudah ada sepanjang 2.825 km yang terdiri dari 2.172 km jalan aspal, 582 km jalan diperkeras dan 71 km jalan tanah. Kesemua fasilitas jalan dalam kondisi baik dengan persentase 69 % jalan aspal, 20 % jalan diperkeras, dan 2 % jalan tanah dari panjang total jalan di kecamatan percut Sei Tuan. Selain itu, untuk penduduk yang tinggal di sepanjang pesisir pantai, menggunakan transportasi sungai sebagai alternatif bepergian dari satu desa ke desa lain.
49
Sarana Pendidikan Kelengkapan sarana pendidikan di Kecamatan Percut Sei Tuan sudah sangat baik dengan jumlah sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 29 buah, Sekolah Dasar (SD) sebanyak 116 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 41 buah, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) sebanyak 16 buah. Di kecamatan Percut Sei Tuan terdapat 3 perguruan tinggi/akademi yaitu perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta dan akademi negeri. Sarana Kesehatan Sarana kesehatan sangat penting dalam mendukung kehidupan masyarakat kecamatan Percut Sei Tuan untuk meningkatkan kualitas masyarakat. Sampai akhir tahun 2006, sarana kesehatan yang tercatat di kecamatan ini yaitu Rumah Sakit Umum (RSU) sebanyak 2 buah, rumah bersalin 8 buah, puskesmas 2 buah, puskesmas pembantu (PUSTU) 8 buah, praktek dokter 7 buah, dan apotik sebanyak 8 buah.
Potensi Daerah Pertanian Potensi pertanian di Kecamatan Percut Sei Tuan 5.203 Ha yang merupakan persawahan dan terbagi atas 2.442 Ha irigasi ½ teknis, 140 Ha irigasi sederhana, 2.401 Ha tadah hujan dan 220 Ha irigasi desa. Dari luasan lahan pertanian ini, produksi yang dihasilkan ±53.740 ton pertahunnya. Selain hasil pertanian berupa beras, kecamatan percut sei tuan juga menghasilkan beberapa komoditas lainnya seperti sayur-sayuran dan palawija. Perkebunan Terdapat beberapa komoditas perkebunan di Kecamatan Percut Sei Tuan antara lain kelapa dan kelapa sawit dengan total produksi 483,00 ton untuk komoditas kelapa, dan komoditas kelapa sawit sebesar 768 ton.
50
Perikanan Produksi perikanan Kecamatan Percut Sei Tuan sangat potensial dengan jumlah total produksi 6.082,8 ton yang tebagi atas produksi perikanan laut sebesar 4.685,5 ton, perikanan tambak 1.366,5 ton, perikanan kolam 23,7 ton, dan perikanan perairan umum 7,1 ton. Dari hasil perikanan tersebut, diperkirakan dapat memperoleh total produksi sebesar Rp 83,729 milyar. Kehutanan Kawasan hutan di Kecamatan Percut Sei Tuan meliputi area seluas
3.187
Ha dan menurut peruntuknnya/ status terbagi atas Hutan Suaka Alam (HSA) 2.580,60 Ha (67,61 %), dan Hutan Penggunaan Lain (HPL) 1.236,40 Ha (32,39 %). Industri Terdapat 834 perusahaan industri di Percut Sei Tuan yang terbagi atas 19 industri berskala besar, 24 industri skala sedang, 78 industri skala kecil, dan 713 industri skala rumah tangga. Pengelolaan Ekosistem Mangrove saat ini di Kecamatan Percut Sei Tuan Pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan berkelanjutan merupakan suatu strategi pengelolaan yang memberikan batasan terhadap laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya dengan tujuan terwujudnya keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya yang ada. Namun demikian, batasan ini tidaklah bersifat mutlak tetapi dinamis bergantung pada kondisi ekologi dan sosial masyarakat yang hidup di sekitar sumberdaya yang dimanfaatkan. Dengan demikian, pengelolaan lestari dan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah dan sumberdayanya sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsional ekosistem ini untuk memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat tidak rusak (lestari). Untuk itu secara garis besar konsep pengelolaan berkelanjutan dan lestari memiliki 4 (empat) dimensi yaitu: (1) ekologi, (2) sosial ekonomi, (3) sosial budaya, dan (4) kelembagaan. Dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan, keempat dimensi pengeloaan diatas
51
mutlak diperlukan dan diperhatikan. Hal ini bertujuan agar kelestarian ekosistem mangrove percut dapat terjaga dan pemanfaatan sumberdaya ekosistem ini dapat berlangsung secara berkelanjutan. Selain itu, kerusakan dan degradasi ekosistem akibat pemanfaatan yang berlebihan dan tidak lestari dapat diminimalkan. Pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan saat ini menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang yang sebelumnya merupakan tanggung jawab Dinas Perikanan dan Kelautan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedalda) Kabupaten Deli Serdang. Pengelolaan ekosistem magrove saat ini meliputi rehabilitasi di beberapa lokasi seperti Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut dengan melibatkan kelompok masyarakat binaan Dinas Kehutanan yaitu Kelompok Bakau Tambak Mandiri, Kelompok Tani Empang Parit Nila Jaya dan Paluh Kuba dengan menerapkan sistem silvofisheries dalam budidaya tambak. Selain program rehabilitasi, dinas melakukan pelatihan dan pendidikan tentang pengetahuan mengelola mangrove secara lestari bekerjasama dengan kelompok swadaya masyarakat Yayasan Akasia Indonesia dengan melibatkan elemen masyarakat. Ekologi Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Luas Hutan mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Kabupaten Deli Serdang dari 439.794 Ha luas wilayahnya yang merupakan hutan adalah 76.401 Ha, dan seluas 14.389 Ha merupakan kawasan hutan mangrove/bakau (Deli Serdang Dalam Angka, 2005). Adapun kawasan hutan yang telah dikukuhkan (register) seluas 35.848 Ha dan seluas 40.553 Ha merupakan kawasan hutan yang belum dikukuhkan (non register), rincian fungsi hutan sebagaimana pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Fungsi dan luas kawasan hutan di Kabupaten Deli Serdang Luas Kawasan Hutan (Ha) No Fungsi Hutan Register Non Register Total 1 Hutan Lindung 19.808 11.600 30.408 2 Hutan Suaka Alam 6.365 6.365 3 Hutan Produksi Terbatas 9.175 28.953 38.128 4 Hutan Produksi 500 500 Jumlah 35.848 40.553 76.401
52
Kawasan hutan mangrove Kabupaten Deli Serdang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu, kawasan hutan Karang Gading dengan luas 6.245 Ha, Belawan 1.955 Ha, dan Percut 3.600 Ha, yang merupakan kawasan register dengan luas total 11.800 Ha. Sedangkan seluas 2.589 Ha adalah kawasan hutan non register yang merupakan perluasan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), sehingga hutan mangrove keseluruhan seluas 14.389 Ha. Dari luasan hutan mangrove tersebut, terjadi perambahan seluas 8.552 ha atau 59,4 % sehingga yang tersisa seluas 5.835 Ha atau 40,6 %. Kawasan hutan mangrove Percut yang merupakan kawasan hutan register mengalami kerusakan cukup parah dibandingkan dengan kawasan hutan mangrove register lainnya (Karang Gading dan Belawan) yaitu seluas 2.872 Ha dari total luas 3.600 Ha atau 79,8 %, sehingga kondisi hutan mangrove yang tersisa dengan kondisi yang cukup baik hanya 728 Ha atau 20,2 %. Kawasan hutan non register mengalami kerusakan hingga 88,3 % atau seluas 2.287 Ha dari total luas hutan mangrove 2.589 Ha. Tabel 12 Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang
1
Kawasan Hutan Mangrove Karang Gading*
Luas (ha) 6.245
2
Belawan*
1.955
843
1.112
43,1
56,9
3
Percut*
3.600
2.872
728
79,8
20,2
4
Perluasan TGHK**
2.589
2.287
300
88,3
11,6
14.389
8.552
5.835
-
-
59,4
40,6
-
-
No
Jumlah
Persentase Keterangan: * Kawasan hutan register ** Kawasan hutan non register
Dirambah/ Rusak (ha) 2.550
Utuh/Baik (ha) 3.695
Persentase Persentase Rusak Baik 40,8 59,2
Kecamatan Percut Sei Tuan yang merupakan salah satu kecamatan pesisir di Kabupaten Deli Serdang memiliki ekosistem mangrove yang cukup luas yaitu 3600 Ha setelah Kecamatan Hamparan Perak dengan luas 6245 Ha. Desa Percut, Tanjung Rejo dan Desa Pematang Lalang memiliki berbagai macam ekosistem yang saling berhubungan secara timbal balik. Masing-masing ekosistem yang ada memiliki peran dan fungsi saling mendukung. Kerusakan
53
salah satu ekosistem yang ada baik di daratan maupun di lautan secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan informasi responden di lokasi penelitian, pada prinsipnya jenis-jenis vegetasi mangrove yang ada di ketiga desa ini adalah sama yaitu jenis bakau (Rhizophora spp., Soneratia spp., dan Bruguiera spp.), api-api (Avicennia spp.), dan buta-buta (Exoecaria spp). Jenis-jenis vegetasi ini tidak merata penyebarannya dan di ketiga desa ini di dominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp.) Seiring dengan perkembangan/pertumbuhan dalam bidang ekonomi dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup serta pertambahan jumlah penduduk menyebabkan tingginya tingkat pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove. Hal ini disebabkan karena mangrove yang merupakan eksosistem pantai dan hidup di air payau merupakan salah satu jenis kayu yang baik, di sisi lain kehidupan masyarakat yang dekat dan berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove, mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai pemenuhan berbagai kebutuhan didalam hidupnya. Struktur Vegetasi Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan Formasi jenis mangrove umumnya di dominasi oleh jenis-jenis dari famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae, dan Sonneratiaceae. Menurut Kusmana (1995),
jenis-jenis mangrove yang terdapat di Sumatera antara lain adalah Avicennia marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, R. Mucronata, dan Sonneratia alba.
Berdasarkan hasil pengamatan vegetasi mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan, terdapat 7 (tujuh) jenis mangrove yang termasuk dalam 4 (empat) famili dengan jumlah individu sebanyak 163 untuk tingkat pohon, 291 untuk pacang dan semai sebanyak 549 individu dengan total individu keseluruhan sebanyak 1003 individu. Penyebaran jenis-jenis mangrove dan jumlah individu dapat dilihat pada Tabel 13.
54
Tabel 13
Jumlah individu pada masing-masing jenis vegetasi mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan
No
Jenis
Famili
1 2 3 4 5 6 7
Avicennia marina Avicenniaceae Avicennia officinalis Avicenniaceae Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Soneratia alba Soneratiaceae Excoecacria agallocha Euphorbiaceae Jumlah Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Hasil
pengukuran
dan
pengamatan
Jumlah Individu Pohon Pacang Semai 135 204 509 19 47 34 1 7 2 1 1 19 5 1 6 12 163 291 549
terhadap
tutupan
mangrove
menunjukkan bahwa tingkat pacang dan semai mendominasi tutupan mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Sedangkan tingkat pohon memiliki tutupan yang relatif kecil (Gambar 7). Jenis Avicennia marina merupakan jenis yang memiliki jumlah individu terbanyak untuk semua tingkatan baik itu pohon, pacang dan semai dengan jumlah individu untuk masing-masing tingkatan secara berurutan adalah 135, 204 dan 509 individu. Sedangkan jenis Soneratia alba merupakan jenis yang memiliki jumlah individu terendah yaitu 1 individu untuk tingkat pohon dan tidak memiliki jumlah individu untuk tingkat pacang dan semai. Masing-masing jenis mangrove pada setiap tingkatan memiliki nilai kerapatan, frekuensi, dominasi, dan indeks nilai penting yang berbeda-beda. Nilai kerapatan suatu jenis menunjukkan kelimpahan jenis di suatu ekosistem sedangkan nilai frekuensi menunjukkan penyebaran suatu jenis. Untuk nilai dominansi dan indeks nilai penting menunjukkan kepentingan suatu jenis terhadap jenis lainnya di suatu ekosistem. Sedangkan nilai keanekaragaman menunjukkan banyaknya jenis dan keanekaragaman jenis di suatu wilayah. Indeks keanekaragaman jenis juga berfungsi untuk menandai jumlah jenis dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies di antara jumlah total individu seluruh spesies yang ada.
Gambar 7 Peta Penutupan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan
55
56
Dari pengamatan dan analisis yang telah dilakukan didapatkan kerapatan relatif vegetasi mangrove untuk tingkat pohon berkisar antara 0,61-82,2 %, tingkat pacang 0,69- 70,10 % dan tingkat semai 0,18-92,71 % (Tabel 14). Nilai kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia marina dan Avicennia officinalis untuk semua tingkatan baik pohon, pacang maupun semai.
Nilai kerapatan relatif untuk kedua jenis ini secara berurutan 82,82 %, 70,10 %, 92,71 % dan 11,66 %, 16,15 % dan 6,19 %. Sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Soneratia alba untuk tingkat pohon dan Rhizophora apiculata untuk tingkat pacang dan semai. Nilai kerapatan relatif jenis Soneratia alba sebesar 0,61 %, sedangkan jenis Rhizophora apiculata tingkat pacang 0,69 % dan tingkat semai 0,18 %. Nilai kerapatan relatif yang tinggi pada jenis Avicennia marina dan Avicennia officinalis menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup
melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Soneratia alba dan Rhizophora apiculata merupakan jenis yang jarang ditemukan. Dari data tersebut
dapat diketahui bahwa saat ini ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan tergolong rusak jarang dengan nilai kerapatan <1000. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup kondisi ekosistem mangrove dapat digolongkan kedalam 3 kriteria yaitu sangat padat dengan nilai kerapatan >1500 (baik), kepadatan sedang >1000 - <1500 (rusak) dan kepadatan jarang dengan nilai <1000 (rusak). Tabel 14 Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon No
Jenis
Kerapatan (K) Pohon Pacang Semai
Kerapatan Relatif (KR) Pohon Pacang Semai
1
Avicennia marina
300,00
453,33
1131,11
82,82
70,10
92,71
2
Avicennia officinalis
42,22
104,44
75,56
11,66
16,15
6,19
3
Bruguiera gymnorrhiza
2,22
15,56
-
0,61
2,41
-
4
Rhizophora apiculata
-
4,44
2,22
-
0,69
0,18
5
Rhizophora mucronata
2,22
42,22
11,11
0,61
6,53
0,91
6
Soneratia alba
2,22
-
-
0,61
-
-
7
Excoecaria agallocha
13,33
26,67
-
3,68
4,12
-
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Frekuensi relatif jenis dapat menggambarkan sebaran jenis pohon dalam suatu areal. Dari 7 jenis vegetasi mangrove, didapatkan nilai frekuensi relatif (FR)
57
vegetasi berkisar antara 1,89-71,70 % untuk tingkat pohon, 3,17-49,21 % untuk tingkat pacang dan untuk tingkat semai 3,23-64,52 % (Tabel 15). Tabel 15 Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon No
Jenis
1 2 3 4 5 6 7
Avicennia marina Avicennia officinalis Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Soneratia alba Excoecaria agallocha
Pohon 0,84 0,20 0,02 0,02 0,02 0,07
Frekuensi (F) Pacang Semai 0,69 0,44 0,31 0,13 0,09 0,04 0,02 0,18 0,09 0,09 -
Frekuensi Relatif (FR) Pohon Pacang Semai 71,70 49,21 64,52 16,98 22,22 19,35 1,89 6,35 3,17 3,23 1,89 12,70 12,90 1,89 5,66 6,35 -
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Nilai frekuensi relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia marina dan Avicennia officinalis untuk semua tingkatan baik pohon, pacang maupun semai.
Nilai frekuensi relatif untuk kedua jenis ini secara berurutan 71,70 %, 49,21 %, 64,52 % dan 16,98 %, 22,22 % dan 19,35 %. Sedangkan frekuensi relatif terendah terdapat pada jenis Soneratia alba untuk tingkat pohon dan Rhizophora apiculata untuk tingkat pacang dan semai. Nilai frekuensi relatif jenis Soneratia alba sebesar 1,89 %, sedangkan jenis Rhizophora apiculata tingkat pacang 3,17 % dan tingkat semai 3,23 %. Nilai frekuensi relatif yang tinggi pada jenis Avicennia marina dan Avicennia officinalis menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup
melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Soneratia alba dan Rhizophora apiculata merupakan jenis yang jarang ditemukan.
Dominansi yang didapatkan untuk seluruh jenis vegetasi mangrove berkisar antara 0,02-7,99 untuk tingkat pohon dan 0,01–0,65 untuk tingkat pacang. Sedangkan dominansi relatif berkisar antara 0,22-87,18 % untuk tingkat pohon dan 0,28-73,24 % untuk pacang (Tabel 16). Nilai dominansi dan dominansi relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia marina untuk semua tingkatan (pohon dan pacang) dengan nilai
dominansi secara berurutan yaitu 7,99 dan 0,65 dan dominansi relatif dengan nilai 87,18 % untuk pohon dan 73,24 % untuk pacang. Untuk nilai dominansi dan dominansi relatif terendah terdapat pada jenis Rhizophora apiculata untuk tingkat
58
pacang dengan nilai dominansi dan dominansi relatif secara berurutan yaitu 0,002 dan 0,28 %. Tabel 16
Dominansi dan dominansi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon
Dominansi (D) Pohon Pacang 1 Avicennia marina 7,99 0,65 2 Avicennia officinalis 0,90 0,14 3 Bruguiera gymnorrhiza 0,03 0,01 4 Rhizophora apiculata 0,002 5 Rhizophora mucronata 0,02 0,06 6 Soneratia alba 0,03 7 Excoecaria agallocha 0,19 0,02 Sumber: Hasil olahan data primer 2007 No
Jenis
Dominansi Relatif (DR) Pohon Pacang 87,18 73,24 9,86 16,17 0,34 0,83 0,28 0,22 7,23 0,34 2,06 2,26
Nilai dominansi dan dominansi relatif yang besar dari jenis Avicennia marina menunjukan bahwa jenis ini memiliki diameter batang yang besar dan
produktivitas yang besar pula. Menurut Odum (1971), jenis yang dominan memiliki produktivitas yang besar dimana dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang. Hortshon (1976) dalam Yefri (1987) menambahkan bahwa yang paling berpengaruh dalam menentukan besarnya diameter batang adalah jenis dan umur pohon. Dengan lamanya pertumbuhan (umur) suatu pohon, maka pohon tersebut akan bertambah besar. Indeks Nilai Penting (INP) Nilai INP menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan dan juga menggambarkan tingkat penguasaan jenis dalam suatu komunitas. Selain itu, INP juga memberikan suatu gambaran besarnya pengaruh dan peranan suatu jenis dalam suatu komunitas mangrove. Dari analisis data didapatkan bahwa indeks nilai penting vegetasi berkisar antara 2,72-241,70 % untuk tingkat pohon, 9,58192,55 % untuk pacang dan 3,41-157,23 % tingkat semai. Indeks nilai penting masing-masing jenis untuk semua tingkatan pohon disajikan pada Tabel 17. Indeks nilai penting tertinggi didapatkan pada jenis Avicennia marina untuk semua tingkatan pohon (pohon, pacang dan semai) dengan nilai masing-masing secara berurutan yaitu 241,70 %, 192,55 % dan 157,23 %. Kemudian diikuti oleh jenis Avicennia officinalis dan Rhizophora mucronata. Hal ini menggambarkan
59
bahwa jenis-jenis ini mampu bersaing dengan lingkungannya dan disebut jenis dominan. Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon No
Jenis
1 Avicennia marina 2 Avicennia officinalis 3 Bruguiera gymnorrhiza 4 Rhizophora apiculata 5 Rhizophora mucronata 6 Soneratia alba 7 Excoecaria agallocha Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Pohon 241,70 38,50 2,84 2,72 2,84 11,40
Nilai INP (%) Pacang 192,55 54,54 9,58 4,14 26,46 12,73
Semai 157,23 25,55 3,41 13,81 -
Indeks nilai penting terendah terdapat pada jenis Rhizophora apiculata untuk tingkat pacang dan semai dengan nilai 4,14 % dan 3,41 %. Jenis Soneratia alba pada tingkat pohon dengan nilai 2,84 %, yang menggambarkan bahwa jenis-
jenis ini kurang mampu bersaing dengan lingkungan dan jenis-jenis lainnya. Keanekaragaman Fauna Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna akuatik (laut) dan teresterial. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung dan lain-lain. Sedangkan fauna laut umumnya didominasi oleh Molusca, Crustaceae, dan ikan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di lokasi penelitian, fauna yang umum dijumpai di ekosistem mangrove Percut Sei Tuan dari kelompok fauna akuatik adalah Mugil sp., Uca spp., Scylla serrata, Palaemonetes spp., Corbiculata sp., dan Anadara sp. Sedangkan dari kelompok fauna teresterial
antara lain jenis Macaca fascicularis, Presbytis cristata, Naja sputatrix, Varanus salvator, Bufo sp., Limnocetes spp., Mycterea cinerea, Leptoptilos javanicus, Ardea purpurea, Bubulcus ibis (Tabel 18).
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah jenis yang terbanyak adalah dari kelompok burung, baik itu burung teresterial maupun burung air. Berdasarkan data pengamatan burung yang dilakukan oleh Yayasan Akasia Indonesia dari Januari 2003 sampai dengan Mei 2007, terdapat 33 jenis burung teresterial dan
60
37 jenis burung air (Lampiran 1). Dari keseluruhan jenis burung air tersebut, terdapat 21 jenis burung migran. Tabel 18 Jenis-jenis fauna di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Fauna Akuatik
Teresterial
Nama Ilmiah Mugil sp. Palaemonetes spp. Uca spp. Scylla serrata Corbiculata sp. Anadara sp. Macaca fascicularis Presbytis cristata Homalopsis bucatta Varanus salvator Mabouya spp Bufo spp Limnonectes spp Ardea purpurea Bubulcus ibis Mycterea cinerea Vu UU Leptoptilos javanicus Vu UU Numenius arquata* UU Numenius phaeopus*UU Numenius madagariensis*Nt UU Limnodromus semipalmatus*Nt UU Elanus caeruleus Heliastur indus Centropus sinensis Phalacrocorax sppNt
Nama Indonesia Belanak Udang Putih Kepiting Kepiting Bakau Lokan Kerang Darah Kera Ekor Panjang Lutung Kelabu Ular Air Biawak Kadal Kodok Katak Cangak Merah Kuntul Kerbau Bagau Bluwok Bangau Tongtong Gajahan Besar Gajahan Pengala Gajahan Timur Trinil Lumpur Asia Elang Tikus Elang Bondol Bubut Besar Pecuk
Keterangan : * Burung Air Migran UU : Undang-undang perlindungan yang berlaku di Indonesia Vu : Vulnerable (rentan) Nt : Near Threatened (mendekati terancam)
Burung air dalam hal ini disebut burung pantai (shore bird). Burung pantai adalah kelompok burung air yang memanfaatkan bagian tepi berlumpur dari wilayah pasang surut dan lahan basah. Mereka pada umumnya memiliki kaki yang panjang, paruh membulat di bagian ujung serta sayap yang membulat panjang. Burung pantai umumnya terdiri dari Cerek, Trinil, Kedidi, Gajahan, Berkik, Birulaut, Gagang-bayam, Kedidir, Terik dan beberapa jenis lainnya. Meskipun burung pantai hidup dari laut, namun tidak semuanya bisa berenang. Burung pantai yang tidak bisa berenang biasanya mempunyai kaki dan paruh yang panjang. Bila mencari makan di perairan dangkal, kakinya yang panjang dicelupkan dan paruhnya dimanfaatkan untuk menangkap mangsanya di dalam air. Kelompok burung seperti ini biasa disebut dengan ”wader” sebagai contoh hasil penelitian
61
adalah jenis bangau bluwok (Mycterea cinerea), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), cangak merah (Ardea purpurea) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis).
Jenis-jenis burung ini merupakan jenis endemik yang umum terdapat di Indonesia. Selain jenis burung endemik ini, pada lokasi penelitian terdapat jenis-jenis burung pantai migran (migratory wader) seperti jenis gajahan besar (Numenius arquata), gajahan pengala (Numeris phaeopus), gajahan timur (Numenius madageriensis), dan trinil lumpur asia (Limnodromus semipalmatus). Kebanyakan
jenis burung migran ini berasal dari daerah yang amat jauh dan melakukan migrasi untuk menghindari musim dingin di utara ataupun selatan dalam suatu perjalanan dengan jalur migrasi tertentu (flyways). Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk kedalam jalur terbang burung migran tersebut, dan termasuk negara yang memiliki habitat pantai potensial bagi burung-burung pantai baik penetap maupun migran. Sebagian dari burung migran menjadikan Indonesia sebagai salah satu tempat persinggahan sementara saja untuk kemudian melanjutkan lagi perjalanannya, dan ada pula menjadikannya sebagai tempat tujuan akhir. Mereka akan kembali ke tempat asalnya untuk kawin dan bertelur apabila disana telah memasuki musim panas. Sejauh ini berdasarkan data SBI (2007), telah banyak lokasi-lokasi yang teridentifikasi sebagai tempat singgah burung-burung pantai saat melakukan migrasi ke selatan maupun ke utara, seperti Wonorejo, Surabaya; Pantai Trisik, Yogyakarta; Muara Gembong, Bekasi; Muara Angke, Jakarta; Sayung, Semarang; Demak; Bagan Percut, Medan; Pantai Cemara, Jambi; Tulang Bawang, Lampung; Serangan, Bali, dan lain lain. Bagan Percut (Paluh 80) sebagai salah satu daerah di Kecamatan Percut Sei Tuan dan merupakan daerah kajian penelitian memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dalam hal ini adalah pengembangan daerah wisata (wisata ilmiah) untuk pengamat burung sebagai alternatif peningkatan pendapatan masyarakat sekitar kawasan. Selain Bagan Percut terdapat beberapa daerah yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain Tanjung Rejo (Paluh Getah) dan Pematang Lalang (Gambar 8).
62
Sumber: Citra Satelit Landsat 7ET M+ Juni 2005
Gambar 8 Daerah sebaran burung pantai, burung migran dan primata. Tingginya kelompok burung yang terdapat di ekosistem mangrove Percut Sei Tuan menunjukkan bahwa daerah ini sangat cocok sebagai habitat burung. Daerah ini juga merupakan salah satu daerah persinggahan beberapa jenis burung migran seperti Numenius arquata, Numenius phaeopus, Numenius madagariensi, Limnodromus semipalmatus dan lain-lain. Selain itu, yang menarik untuk
diperhatikan, beberapa jenis burung yang ditemukan tersebut memiliki status dilindungi (UU Perlindungan Indonesia), rentan (vurneralibilty), dan mendekati terancam (near threatened) antara lain jenis Numenius madagariensis (gajahan timur) dengan status mendekati terancam dan dilindungi, Leptoptilos javanicus (bangau tongtong) dengan status rentan dan dilindungi, Mycterea cinerea (bangau bluwok) status rentan dan dilindungi, dan Limnodromus semipalmatus (trinil lumpur asia) dengan status mendekati terancam dan dilindungi, dan lain-lain (Tabel 18). Selain terdapatnya jenis burung-burung teresterial dan migran yang menjadi isu dan potensi dalam perlindungan dan pelestarian mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan, terdapat jenis-jenis primata yaitu kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung kelabu (Presbytis cristata) yang dapat dijadikan
63
isu dan potensi dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian mangrove di daerah ini. Walaupun status kedua fauna ini tidak terancam, rentan ataupun dilindungi, tetapi sudah masuk dalam status mendekati terancam (IUCN Red List, 2007). Hal ini disebabkan karena adanya pemanfaatan dan perdagangan terhadap satwa ini. Untuk itu pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 26/KptsII/94 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan beberapa satwa lainnya untuk keperluan eksport, memberikan batasan terhadap pemanfaatan satwa ini yaitu melalukan penangkaran sendiri terhadap satwa ini untuk keperluan ekspor, dan jumlah satwa yang dapat dieksport oleh para eksportir yang telah mendapatkan izin, berdasarkan quota eksport yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan setelah diperiksa/dinilai oleh Tim Akreditasi berdasarkan hasil penangkaran. Keanekaragaman jenis fauna, baik fauna akuatik dan teresterial menunjukkan bahwa ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki potensi yang sangat besar untuk dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan berkelanjutan demi menjaga kelestarian habitat satwa tersebut di atas selain sebagai potensi dalam pengembangan wisata dalam peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan mangrove.
Kondisi Fisik Kimia Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Suhu Suhu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan mangrove (Supriharyono, 2000). Hasil pengukuran suhu air dan suhu tanah pada saat pengambilan data vegetasi mangrove dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini. Tabel 19 Kisaran suhu ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Suhu (oC)
Hasil Pengukuran ( X ± SD ) tiap Jalur I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Air
28±0.5
32±1.3
30±0.6
28±0.9
28±0.8
32±0.7
31±0.9
31±1.2
32±0.9
Tanah
29±1.3
29±1.4
30±0.8
30±0.2
31±1.2
30±0.3
30±1.4
29±0.8
31±0.9
64
Hasil pengukuran suhu air dan tanah pada tiap jalur pengamatan menunjukkan bahwa suhu air di ekosistem mangrove kecamatan Percut Sei Tuan berkisar antara 28±0.5 - 32±1.3
o
C dan suhu tanah 29±0.8 - 31±1.2
o
C
(Gambar 9 dan 10). Suhu air tertinggi yang tercatat yaitu pada jalur II, VI dan IX sebesar 32±1.3, 32±0.7 dan 32±0.9 oC dan suhu terendah pada jalur I, IV, dan V sebesar 28±0.5, 28±0.9 dan 28±0.8 oC. 40.00 1.25
35.00
Rata-rata Suhu Air
0.55
30.00
0.51
0.87
0.66
0.87
1.15
0.86
6
7
8
9
0.76
25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1
2
3
4
5
Jalur Pengamatan
Gambar 9 Sebaran rata-rata suhu air pada setiap jalur pengamatan Suhu tanah tertinggi tercatat pada jalur V dan IX sebesar 31±1.2 dan 31±0.9 oC dan terendah pada jalur I, II, dan VIII sebesar 29±1.3, 29±1.4 dan 29±0.8 oC.
35.00
Rata-rata Suhu Tanah
30.00
1.37
0.76
2
3
0.20
1.18
0.25
1.36
0.76
5
6
7
8
0.86
1.35
25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1
4
9
Jalur Pengamatan
Gambar 10 Sebaran rata-rata suhu tanah pada setiap jalur pengamatan
65
Tingginya suhu air dan tanah di ekosistem mangrove disebabkan karena tutupan mangrove yang sangat rendah sehingga tingkat penyinaran (intensitas sinar matahari) yang masuk sangat tinggi. Selain itu letak geografis Kecamatan Percut Sei Tuan (Propinsi Sumatera Utara) yang terletak pada daerah khatulistiwa menjadi salah satu faktor penyebab tingginya suhu. Namun demikian, kondisi kisaran suhu ekosistem ini masih dalam batas nilai toleransi bagi kehidupan organisme dan tumbuhan mangrove pada umumnya. Menurut Aksornkoae (1993), kisaran suhu lingkungan untuk hutan (ekosistem) mangrove yang alami berkisar antara 21-31 oC, suhu air berada pada kisaran suhu 28oC. Suhu pembatas kehidupan mangrove adalah suhu yang rendah dan kisaran suhu musiman. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20oC, sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5oC. Suhu yang tinggi (>40oC) cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan/atau kehidupan tumbuhan mangrove. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhluk-makhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan biota. Hasil pengukuran pH pada tiap jalur pengamatan di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20 Kisaran pH ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Hasil Pengukuran ( X ± SD ) tiap jalur
pH I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Air
6.8±0.4
7.5±0.3
7.0±0.1
7.1±0.2
6.9±0.3
7.0±0.2
6.9±0.4
6.8±0.3
6.9±0.2
Tanah
5.8±0.3
5.2±0.1
6.0±0.1
6.2±0.2
6.0±0.2
6.1±0.2
5.8±0.1
5.8±0.1
5.8±0.2
Nilai pH hasil pengukuran di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan menunjukkan kisaran 6.8±0.3 – 7.5±0.3 untuk air, sedangkan untuk tanah memiliki kisaran 5.2±0.1 – 6.2±0.2 (kondisi pH basa).
66
Nilai pH air tertinggi terdapat pada jalur II dengan nilai 7.5±0.3, jalur IV dengan nilai 7.1±0.2 dan jalur VI sebesar 7.0±0.2. Sedangkan pH terendah terdapat pada jalur VIII sebesar 6.8±0.3 dan jalur I sebesar 6.8±0.4. Penyebaran rata-rata pH air pada setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.
9.0 8.0
0.30 0.40
Rata-rata pH air
0.21
0.15
0.25
0.06
7.0
0.35
0.20
0.29
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jalur Pengamatan
Gambar 11 Sebaran rata-rata pH air pada tiap jalur pengamatan Nilai pH tanah tertinggi dijumpai pada jalur IV sebesar 6.2±0.2 dan terendah terdapat pada jalur II sebesar 5.2±0.1 (Gambar 12). Hasil ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki pH yang mendukung kehidupan organisme mangrove atau masih pada batas nilai toleransi bagi kehidupan organisme dan tumbuhan mangrove pada umumnya.
8.0 7.0 0.12
Rata-rata pH tanah
0.25
0.15
0.10
0.21
0.17
0.10
0.06
0.15
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jalur Pengamatan
Gambar 12 Sebaran rata-rata pH tanah pada tiap jalur pengamatan
67
Ada 2 fungsi dari pH yaitu sebagai faktor pembatas, setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Nilai pH air yang normal sekitar netral yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar berbeda tergantung dari jenis buangannya. Batas organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, adanya berbagi anion dan kation serta jenis organisme. Salinitas Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri, et al. 2004). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulai air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2005). Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi jenis-jenis mangrove. Vegetasi mangrove umumnya dapat bertahan dan mampu hidup dengan subur pada lingkungan estuari pada kisaran salinitas antara 10-30 ‰. Namun demikian beberapa jenis mangrove mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi. Sebagai contoh jenis Avicennia marina dan Excoecaria agallocha di Australia dapat tumbuh di daerah dengan salinitas lebih kurang 85 ‰, Avicennia officinalis dapat bertahan hidup pada kisaran salintas maksimum 63 ‰, begitu
juga dengan jenis Ceriops spp. Dapat mentolerir sampai batas maksimum 72 ‰, Soneratia spp. 44 ‰, Rhizophora apiculata 65 ‰, dan Rhizophora stylosa 74 ‰.
dan Bruguiera spp. pada daerah dengan salinitas tidak lebih dari 37 ‰. Tidak ada ketetapan baku yang mengindikasikan salinitas maksimum air di daerah intertidal (interstitial water salinity) dimana mangrove dapat bertahan hidup. Tetapi salinitas optimal untuk daerah ini berkisar antara 28-34 ‰. Jika salinitas kurang dari 28 ‰, pertumbuhan mangrove akan mengalami penurunan. Hasil pengukuran salinitas pada tiap jalur pengamatan di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Tabel 21.
68
Tabel 21 Kisaran Salinitas ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Hasil Pengukuran ( X ± SD ) tiap jalur Parameter Salinitas (‰)
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
28±0.8
35±0.5
30±1.3
15±0.7
29±0.6
30±0.6
29±1.1
28±1.0
28±0.8
Dari data yang di peroleh hasil pengamatan, didapatkan bahwa kisaran salinitas untuk semua jalur pengamatan sebesar 15-35 ‰. Salinitas terendah terdapat pada jalur IV sebesar 15±0.7 ‰ dan tertinggi pada jalur II sebesar 35±0.2 ‰,
jalur III, dan VI
sebesar 30±1.3 dan 30±0.6 ‰. Untuk jalur-
pengamatan yang lain cenderung sama yaitu berkisar antara 28-29 ‰. Sebaran salinitas untuk setiap jalur dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.
40 0.5
35
Rata-rata Salinitas
1.3
30
0.8
0.6
0.6
5
6
1.1
1.0
0.8
7
8
9
25 20 0.7
15 10 5 0 1
2
3
4
Jalur Pengamatan
Gambar 13 Sebaran rata-rata salinitas pada tiap jalur pengamatan Substrat Tanah mangrove dibentuk dari akumulasi derivat sedimen yang berasal dari pantai atau erosi sungai, ataupun erosi dari lahan atas yang terangkut di sepanjang sungai dan kanal. Beberapa kemungkinan berasal dari sedimentasi materialmaterial partikel dan koloid. Sedimen yang telah terakumulasi di sepanjang pantai dan mangrove memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan sumber sedimen tersebut. Sedimen yang berasal dari sungai dan kanal didominasi oleh jenis tanah berlumpur dan sedimen pantai didominasi oleh pasir. Degradasi dari bahan-bahan
69
yang terdekomposisi dalam waktu yang cukup lama juga memberikan kontribusi bagi pembentukan tanah (substrat) di mangrove. Berbagai penelitian mengenai komposisi tanah (substrat) di mangrove telah banyak dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karakteristik tanah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan, distribusi dari jenis-jenis mangrove dan juga ketahanan organisme mangrove. Dari pengamatan yang dilakukan, didapatkan bahwa jenis substrat di ekosistem mangrove kecamatan Percut Sei Tuan pada keseluruhan jalur pengamatan adalah pasir berlumpur dengan komponen fraksi substrat terdiri dari lumpur, pasir halus, pasir sedang, dan pasir kasar. Secara garis besar, fraksi penyusun substrat dapat di lihat pada Gambar 12. IX
Jalur Pengamatan
VIII VII VI V IV III II I 0%
20%
40%
60%
80%
100%
Persentase Fraksi Substrat Lumpur
Pasir Halus
Pasir Sedang
Pasir Kasar
Gambar 12 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian, Lpr = lumpur (φ = 0.0625-0.0039 mm), Phl = pasir halus (φ = 0.25-0.125 mm), Psd = pasir sedang (φ = 0.50-0.25 mm) dan Pks = pasir kasar (φ = 1-0.5 mm) Hasil analisis terhadap substrat menunjukkan bahwa fraksi pasir kasar memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan fraksi lainnya untuk semua jalur pengamatan. Sedangkan persentase terendah umumnya terdapat pada fraksi lumpur. Persentase lumpur berkisar antara 5,21-13,87 % dengan persentase tertinggi terdapat di jalur IX. Untuk pasir halus, persentase berkisar antara 19,6642,18 % dan fraksi pasir
sedang memiliki persentase berkisar antara 9,69-
18,90 %. Persentase pasir kasar berkisar antara 33,84-58,54 % dimana persentase tertinggi didapat pada stasiun VI (Tabel 22).
70
Aksornkoae et. al (1978) menemukan bahwa karakteristik fisika dan kimia tanah berbeda pada setiap zonasi mangrove. Karakteristik tanah mangrove berbeda dari jenis tanah di luar ekosistem mangrove. Komposisi jenis, keanekaragaman (richness) dan distribusi organisme mangrove juga tergantung dari karakteristik tanahnya. Tabel 22 Persentase Fraksi Substrat Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Jalur I II III IV V VI VII VIII IX
Lumpur 5,21 4,53 13,4 13,5 5,47 6,85 5,77 10,30 13,87
Pasir Halus 29,40 42,18 30,36 30,37 31,33 33,52 32,23 20,21 19,66
Pasir Sedang 18,08 15,02 10,16 10,53 12,36 18,80 18,90 9,69 17,72
Pasir Kasar 54,98 40,29 43,77 33,84 41,95 58,54 41,75 47,46 48,35
Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sekitar Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Secara
sosial
ekonomi
budaya,
konsep
pengelolaan
berkelanjutan
mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu ekosistem dan sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan pengelolaan, terutama masyarakat
yang
perekonomiannya
termasuk
rendah,
guna
menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Pengelolaan juga harus didasarkan pada karakteristik sosial budaya masyarakat yang bertujuan agar kegiatan pengelolaan yang dilaksanakan dapat diterima oleh keseluruhan masyakarat bukan salah satu golongan atau pihak-pihak tertentu. Sosial Ekonomi Masyarakat Secara administratif ekosistem mangrove percut termasuk dalam 3 (tiga) Desa, yaitu Desa Pematang Lalang, Desa Percut, dan Desa Tanjung Rejo. Tiga desa ini merupakan desa yang menjadi obyek penelitian dimana masyarakat di desa-desa ini mempunyai akses langsung terhadap ekosistem mangrove percut.
71
Sebagian besar masyarakat yang berdiam di desa-desa tersebut adalah suku jawa, batak dan melayu. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem mangrove adalah sebagai nelayan, petani, pedagang, pensiunan, dan buruh, baik itu buruh tani maupun buruh bangunan (Tabel 23). Secara umum kesempatan kerja di wilayah ini sangat minim namun peluang untuk berusaha cukup tinggi mengingat potensi sumberdaya alam khususnya hasil laut yang sangat berlimpah, namun demikian peluang berusaha yang ada kurang bisa dimanfaatkan karena membutuhkan modal yang relatif tinggi. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai modal, sebagian besar masyarakat memanfaatkan waktu luang mereka untuk memasang tangkul (alat tradisional menangkap kepiting) di hutan mangrove selain itu juga menangkap udang dan ikan. Namun karena tingkat degradasi ekosistem yang tinggi, hasil tangkapan perikanan di sekitar mangrove menjadi sangat kecil dan hampir tidak mencukupi untuk menunjang perekonomian keluarga sebagian besar masyarakat di sekitar wilayah sehingga memaksa masyarakat mencari alternatif usaha yang dapat menghasilkan pendapatan seperti menjadi buruh tani, buruh bangunan dan lain-lain. Tabel 23 Jenis mata pencaharian masyarakat di desa-desa penelitian. Desa Pematang Lalang Percut Tanjung Rejo
Nelayan 42 658 85
Petani 545 598 2360
Pedagang 13 1170 90
Pensiunan 4 29 32
Buruh 52 54 67
Sumber: Percut Dalam Angnka 2005
Jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan banyak terdapat di Desa Percut begitu juga dengan profesi sebagai pedagang. Hal ini disebabkan
karena
sebagian
besar
masyarakat
hidup
di
pesisir
dan
menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Selain itu perekonomian dan infrastruktur di Desa Percut sudah sedikit maju dibandingkan kedua desa lainnya, yang menyebabkan tingginya jumlah pedagang di desa ini. Tingginya jumlah pengunjung ke Desa Percut untuk rekreasi dan berdarmawisata merupakan salah satu faktor penyebab tingginya pedagang di desa ini. Dari tabel dapat dilihat juga jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani banyak terdapat di Desa Tanjung Rejo. Hal ini disebabkan karena
72
sebagian besar wilayah di desa ini dimanfaatkan sebagai sawah tadah hujan. Usaha tani yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah usaha tani tanaman tahunan dan tanaman semusim. Produksi padi tadah hujan sebagian besar terdapat di Desa Pematang Lalang dan Tanjung Rejo. Masyarakat juga banyak memanfaatkan lahan sebagai tambak. Namun demikian, tambak-tambak yang ada di Desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang umumnya bukan milik masyarakat lokal tetapi pemilik modal. Masyarakat hanya sebagai penjaga tambak. Dari keseluruhan jenis pekerjaan masyarakat, pada umumnya masyarakat yang hidup di sekitar mangrove memiliki tingkat pendapatan yang relatif rendah. Berdasarkan hasil wawancara kepada masyarakat, pendapatan masyarakat pada umumnya berkisar Rp 15.000,- sampai dengan Rp 20.000,- perhari-nya. Jika kita telaah dengan kebutuhan hidup sehari-hari, pendapatan ini sangat jauh dari cukup untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat yang memiliki jumlah anggota keluarga rata-rata 2 - 5 orang. Untuk itu masyarakat sangat berharap dan membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah untuk dapat meningkatkan perekonomian mereka. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tingkat mobilitas ekonomi masyarakat tergolong kategori sedang, dimana anggota masyarakat rata-rata mempunyai 2 (dua) jenis pekerjaan sebagai sumber pedapatan. Tingkat mobilitas ekonomi diukur dari jumlah jenis mata pencaharian sebagai sumber alternatif pendapatan keluarga. Makin banyak sumber mata pencaharian maka semakin tinggi tingkat mobilitas ekonomi masyarakat dan sebaliknya. Klasifikasi mobilitas ekonomi ini adalah nilai 1 tergolong rendah, nilai 2 tergolong sedang dan nilai 3-4 tergolong tinggi, serta >4 tergolong sangat tinggi. Fasilitas perekonomian yang ada di lokasi studi adalah pasar yang terdapat di Desa Percut dan Tanjung Rejo. Namun demikian pasar yang terdapat di kedua desa ini termasuk dalam pasar mingguan dan belum ada pasar tetap. Sedangkan di Desa Pematang Lalang tidak memiliki pasar sama sekali (Tabel 24). Hal ini juga menjadi faktor rendahnya tingkat perekonomian (kegiatan ekonomi) yang terdapat di desa-desa studi. Umumnya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari berasal dari warung-warung yang menyediakan kebutuhan pokok dan
73
kebutuhan lainnya, hal ini disebabkan sulitnya trasnportasi ke pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar yang terdapat di kota dan kecamatan. Tabel 24 Jumlah dan jenis pasar yang terdapat di desa-desa studi Desa Pematang Lalang Percut Tanjung Rejo
Pasar Tetap -
Pasar Mingguan 1 1
Sumber: Percut Dalam Angka 2005
Sosial Budaya Masyarakat Penduduk yang berdiam di desa-desa sekitar ekosistem mangrove percut sebagian besar adalah bersuku Jawa, Melayu dan Batak. Berdasarkan Kecamatan Percut dalam angka 2005, data mengenai penduduk di masing-masing desa studi secara rinci disajikan pada Tabel 25. Sumber data mengenai kependudukan ini adalah merupakan data terakhir dan terbaru pada saat penelitian dilaksanakan. Tabel 25 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di desa-desa penelitian Desa Laki-laki Pematang Lalang 2275 Percut 5372 Tanjung Rejo 3695 Sumber: Percut Dalam Angka 2005
Perempuan 1019 5463 3546
Total 3294 10835 7241
Hasil ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya manusia cukup tersedia dalam mendukung kegiatan pembangunan khususnya program pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Dengan jumlah penduduk dan dalam usia yang relatif muda serta didukung dengan produktivitas yang tinggi biasanya lebih mudah menerima masukan akan hal-hal baru yang bersifat kemajuan dan lebih mudah untuk diajak berpartisipasi karena keinginan untuk memperbaiki masa depan dan meningkatkan perekonomian. Tingkat pendidikan seseorang merupakan karakteristik individu yang menjadi bagian terpenting dalam pembangunan. Hal ini dikarenakan, dengan pendidikan seseorang dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk partisipasi dalam pembangunan. Secara sosiologi, tingkat pendidikan yang rendah serta keterbatasan akses untuk mendapatkan informasi akan mempengaruhi tingkat partisipasi. Akibatnya akan mempersulit masyarakat untuk membayangkan tujuan pembangunan.
74
Pendidikan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pendidikan formal karena pendidikan formal merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia. Pendidikan menciptakan manusia yang dapat berpikir secara logis, rasional, sistematis dan bijaksana. Pendidikan yang tinggi diharapkan akan lebih mampu menganalisis manfaat yang akan di peroleh dari suatu kegiatan yang dilakukan. Pada umumnya tingkat pendidikan masyarakat di desa-desa studi tergolong masih rendah. Sebagian masyarakat hanya lulusan SD dan Madrasah serta Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Rendahnya tingkat pendidikan ini diakibatkan oleh minimnya jumlah sekolah yang ada dan sulit serta mahalnya transportasi. Kondisi ini juga didukung oleh rendahnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya serta tingkat perekonomian yang relatif rendah sebagian besar masyarakat. Fasilitas pendidikan yang ada di desa-desa studi pada tingkat SD terdapat di setiap desa, namun demikian jumlah tenaga pengajarnya sangat minim hanya dan tidak didukung oleh fasilitas yang memadai kecuali desa Percut yang aksesibilitas ke kecamatan dan kota sangat mudah. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Atas hanya terdapat di Desa Percut, namun demikian jumlah dan fasilitasnya sangat minim. Kondisi fasilitas pendidikan dan transportasi yang relatif sulit ini mengakibatkan sebagian besar anak usia sekolah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membantu orang tua baik bersawah, berkebun, melaut maupun menjadi buruh. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut akan mengakibatkan makin bertambahnya pengangguran non keterampilan di wilayah ini. Dengan adanya peningkatan jumlah pengangguran non keterampilan dikhawatirkan semakin meningkatkan permasalahan-permasalahan sosial dan tindak kejahatan di wilayah ini. Jumlah dan jenis fasilitas pendidikan yang ada di desa-desa studi secara rinci disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Fasilitas pendidikan yang terdapat di desa-desa penelitian Desa SD Pematang Lalang 2 Percut 9 Tanjung Rejo 2 Sumber: BPS Percut Dalam Angka 2005
SLTP 1 -
SLTA 2 -
Madrasah 3 -
75
Kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove akan efektif bila didukung oleh sumberdaya manusia yang baik. Hal ini berarti seseorang memiliki kemampuan berpikir dan keterampilan untuk berbuat sesuatu karena memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Dengan tingginya tingkat pengetahuan diharapkan masyarakat dapat lebih memahami manfaat pengelolaan ekosistem mangrove untuk kehidupan mereka dan juga dapat berperan aktif dalam setiap kegiatan pengelolaan mangrove. Data tingkat pendidikan
masyarakat yang relatif rendah
dengan
ketersediaan fasilitas pendidikan yang minim seperti terlihat pada Tabel 26 menunjukkan bahwa, wajar apabila pola berpikir dan bertindak masyarakat dalam mempertimbangkan suatu keputusan terbatas, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam mangrove di sekitar mereka. Tingkat pendidikan yang rendah ini juga dapat menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan kaitannya dengan upaya partisipasi dalam pengelolaan. Selain itu dapat menimbulkan prilaku yang tidak berwawasan lingkungan dalam hal interaksi dengan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan sekitar. Pemahaman merupakan salah satu variabel karakteristik masyakarat yang memegang peranan penting terwujudnya suatu pembangunan atau pengelolaan kawasan. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap arti penting kawasan
dan
sumberdaya,
maka
semakin
tinggi
tingkat
keberhasilan
pembangunan dan pengelolaan nantinya. Dalam
penelitian
ini,
pemahaman
masyarakat
diartikan
sebagai
pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi ekosistem mangrove, peraturan, fungsi dari hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Perrcut Sei Tuan khususnya terhadap fungsi, rehabilitasi dan konservasi mangrove secara umum cukup baik. Namun tingkat pemahaman terhadap kondisi dan peraturan yang terkait dengan ekosistem ini relatif rendah. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang paham terhadap fungsi mangrove sebanyak 31 orang (52 %) dan terhadap rehabilitasi dan konservasi sebanyak 39 orang (65,45 %). Untuk tingkat pemahaman terhadap kondisi mangrove sebesar 20 % (12 orang), dan peraturan sebanyak 24 orang (40 %) (Tabel 27).
76
Tabel 27 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai ekosistem mangrove No
Tingkat Pemahaman Masyarakat
1 Kondisi mangrove 2 Fungsi mangrove 3 Peraturan 4 Rehabilitasi dan konservasi Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Jumlah Reponden 12 31 24 39
Persentase (%) 20 52 40 65,45
Adapun tingkat pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dalam hal ini adalah sebagai pencegah abrasi dan erosi, tempat hidup, bertelur dan berkembang biak beberapa jenis ikan, udang, kepiting dan kerang. Pemahaman terhadap rehabiltiasi dan konservasi adalah tingkat kepentingan kedua kegiatan ini dilakukan. Masyarakat sangat mendukung diadakannya program-program rehabilitasi dan mengetahui fungsi dan kegunaan dari suatu kawasan yang dikonservasi dengan syarat tidak membatasi mereka dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Tingkat pemahaman yang rendah terhadap peraturan yang berkaitan dengan mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan umumnya disebabkan kurangnya sosialisasi
dan
informasi
terhadap
peraturan-peraturan
yang
ada
yang
menyebabkan masyarakat memanfaatkan mangrove secara tidak terkendali dan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan degradasi mangrove. Untuk itu diperlukan upaya yang lebih intensif dalam sosialisasi peraturanperaturan tentang perlindungan mangrove dan sanksi-sanksi terhadap peraturan yang ada. Selain itu diperlukan juga informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumberdaya mangrove. Tingkat persepsi yang berkembang dalam masyarakat dibangun oleh beberapa faktor internal yang terdapat dalam masyarakat, faktor-faktor internal tersebut merupakan kekuatan yang mendukung terhadap segala bentuk kegiatan masyarakat khususnya yang menyangkut prilakunya dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Namun demikian persepsi masyarkaat ini tidak dapat dijadikan ukuran mutlak untuk melihat suatu gejala, karena persepsi tersebut dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan maupun pengetahuan seseorang.
77
Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kelembagaan merupakan salah satu komponen penting dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan. Kelembagaan yang dikaji adalah meliputi kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove percut baik pusat maupun daerah, kelembagaan masyarakat dan lembaga sosial lain yang menaruh perhatian terhadap kelestarian ekosistem mangrove di Percut Sei Tuan. Institusi/lembaga adalah lembaga-lembaga baik lembaga formal maupun non formal, baik di pusat maupun di daerah yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumberdaya ekosistem mangrove. Keterpaduan dalam hal ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batasbatas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan-peraturan dari lembaga terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini akan memudahkan masingmasing lembaga melihat hal-hal apa saja yang dapat dan tidak dapat dipadukan. Dengan demikian benturan kepentingan antar lembaga dapat dihindarkan, diperkecil, diselesaikan, bahkan dihilangkan. Adapun
instansi/lembaga
yang
memegang
peranan
penting
guna
menggerakkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove percut, antara lain yaitu: 1. Lembaga Pemerintahan Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Percut Sei Tuan mutlak diperlukan. Pemerintah sebagai pihak (stakeholder) pengambil kebijakan memiliki peranan penting untuk menentukan arahan kebijakan dalam pengelolaan suatu kawasan. Keterlibatan pemerintah dalam hal ini berarti frekuensi dan aktivitas kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik penyuluhan, penanaman maupun pemeliharaan/pengawasan mangrove. Namun demikian, tugas pemerintah sebaiknya hanya memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Tetapi dalam hal pelaksanaan dan penyusunan kegiatan program harus diserahkan ke masyarakat sehingga muncul
persepsi
masyarakat
bahwa
mereka
bukan
pembangunan tetapi sebagai subjek (pelaku) pembangunan.
sebagai
objek
78
Lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan
ekosistem mangrove percut adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dalam hal ini Dinas Kehutanan sangat rendah. Belum optimalnya penyelengaraan pengelolaan kehutanan khususnya mangrove berdasarkan Rencana Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2007 – 2010, disebabkan oleh beberapa hal antara lain: -
luasnya kerusakan hutan
-
kurangnya dana
-
sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lemah
-
kurangnya sarana dan prasarana
Adapun belum optimalnya penyelenggaraan pengelolaan ekosistem mangrove Percut Sei Tuan ditunjukkan dengan persentase kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove oleh pemerintah yang masih rendah. Penyuluhan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan masih kurang dirasakan oleh masyarakat. Begitu juga dengan kegiatan rehabilitasi (penanaman pohon) mangrove yang sangat jarang dilakukan oleh pemerintah. Namun walaupun ada, kegiatan hanya disentralkan pada satu daerah dan tidak merata seperti rehabilitasi hutan mangrove percut dengan luas wilayah penanaman 100 ha bertempat dan program tambak berbasis ekologi mangrove (silvofisheries) dengan pola empang parit di Desa Tanjung Rejo, sehingga
banyak
masyarakat yang tidak mengetahui adanya kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini, informasi, sosialiasi, pendidikan dan pelatihan serta kemerataan program-program pengelolaan mangrove mutlak
diperlukan
untuk
meningkatkan
kepedulian
masyarakat
dan
pemahaman terhadap arti penting mangrove bagi hidup dan kehidupan mereka. 2. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah merupakan lembaga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1980 Jo Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 1984. Tugas
79
LKMD berdasarkan Keputusan Menteri tersebut adalah membantu Kepala Desa/Kelurahan di bidang perencanaan pembangunan, menggerakkan partisipasi masyarakat secara aktif dan positif untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, LKMD mempunyai fungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, baik pada perencanaan maupun pelaksanaan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di desa-desa studi telah terbentuk LKMD beserta organisasinya. Namun demikian, keberadaan LKMD ini belum berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga kebijaksanaan pembangunan di desa-desa studi masih didominasi oleh kalangan elite desa. Belum atau tidak berfungsinya LKMD sebagai wadah partisipasi masyarakat dikarenakan oleh faktor rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya respon masyarakat terhadap informasi yang berkembang. 3. Lembaga (Kelompok) Sosial Kemasyarakatan Pengelolaan wilayah pesisir khususnya ekosistem mangrove tidak dapat dilakukan secara individual, tetapi dilakukan secara bersama-sama oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap ekosistem ini. Keberhasilan akan dirasakan bila perencanaan dan pelaksanaan melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan suatu wadah/kelompok masyarakat atau diluar masyarakat (LSM) yang berfungsi sebagai penampung aspirasi masyarakat. Lembaga/kelompok sosial kemasyarakatan adalah lembaga informal yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Lembaga ini biasanya terdiri dari tokoh atau pemuka masyarakat dan generasi muda. Lembaga kemasyarakatan yang berkembang di wilayah studi berupa Kelompok Nelayan, Kelompok Tani, Kelompok Pengajian, Organisasi Kepemudaan dalam pelestarian ekosistem mangrove yaitu Gerakan Pemudapemudi Peduli Pantai Percut (GP4) dan Kelompok Swadaya Remaja Mesjid Paluh (KSRMP) yang merupakan kelompok binaan Yayasan AKASIA Indonesia. Selain itu terdapat Koperasi Mitra Mina Sejahtera dengan kelompok Bakau Tambak Mandiri, Kelompok Tani Empang Parit Nila Jaya dan Paluh Kuba yang merupakan kelompok binaan Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang.
80
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa peran lembaga masyarakat untuk saat ini sangat baik dan efektif dalam mengembangkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove percut. Sasaran utama dari lembaga-lembaga ini adalah menyadarkan sekelompok masyarakat yang menjadi anggota kelompok akan arti penting keberadaan ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat sekitar mangrove. Adapun kegiatan yang telah dilakukan antara lain yaitu pembibitan, penanaman mangrove, pelatihan dan pendidikan tentang mangrove yang difasilitasi oleh LSM lokal. 4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga lain yang cukup potensial dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove percut dan turut mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan adalah lembaga swadaya masyarakat baik yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat (community development) maupun yang perhatian di bidang keanekaragaman hayati dan lingkungan. Keberadaan LSM-LSM ini merupakan lembaga non pemerintah yang mampu memerankan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah dan mampu berperan sebagai katalisator tumbuhnya potensi yang ada dalam masyarakat serta mampu berkarya sampai tingkat lapisan bawah masyarakat. Dalam bidang penelitian dan pengembangan, keberadaan LSM ini juga merupakan faktor yang penting mengingat beberapa LSM di Indonesia mampu memperoleh dana yang cukup besar untuk kegiatan tersebut. Pengamatan di wilayah studi menunjukkan bahwa LSM yang saat ini sedang melaksanakan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove adalah Yayasan AKASIA Indonesia yang merupakan LSM lokal yang bergerak di bidang lingkungan hidup dengan tipe kegiatan penelitian, advokasi, pendidikan dan pelatihan, serta kemanusiaan. Sampai saat ini beberapa program telah dilaksanakan antara lain pendidikan dan pelatihan serta rehabilitasi ekosistem mangrove percut dalam program ”migratory shorebird” bekerjasama dengan kelompok masyarakat GP4 dan KSRM Paluh. Secara umum dasar hukum bagi pembangunan dan pelaksanaan dari kebijaksanaan mengenai pantai, termasuk kebijaksanaan mengenai pengelolaan
81
mangrove di Indonesia masih terbatas. Hukum yang saat ini relevan membentuk kebijakan antara lain yaitu yurisdiksi maritim, perlindungan lingkungan secara umum, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan utama sebagai dasar pengelolaan hutan secara umum dan ekosistem magrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara khusus oleh pemerintah daerah kabupaten adalah Undang-undang N0. 44 Tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, PP. No. 45 tentang Perlindungan Hutan dan PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Selain itu dalam rangka penyelenggaraan program dan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove, pemerintah daerah kabupaten mengacu pada Surat Seketaris Jenderal Departemen Kehutanan No. 277.1/II-KUM/2002/Tanggal 15 Februari 2002 tentang kewenangan kabupaten di bidang kehutanan yang berisi antara lain: - Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan. - Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan pada hutan produksi dan hutan lindung. - Rehabilitasi hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan pada hutan produksi dan hutan lindung. - Pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan. - Penyelenggaraan perlindungan hutan dan hasil hutan. - Penyebarluasan informasi kehutanan. Berkaitan dengan peraturan dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan, desa-desa yang terletak di dekat ekosistem mangrove belum memiliki peraturan-peraturan tersebut. Baik itu peraturan pada tingkat kecamatan, desa, maupun aturan-aturan lokal masyarakat. Hal ini merupakan salah satu faktor pemanfaatan sumberdaya mangrove yang dilakukan masyarakat terjadi secara besar-besaran dan tidak terkendali. Selain itu informasi, sosialisasi dan penyuluhan pemerintah berkaitan dengan peraturan dan perundang-undangan tentang perlindungan hutan masih sangat minim dan kurang dirasakan masyarakat. Jikapun ada sosialisasi hanya terbatas pada sebagian masyarakat, tidak secara keseluruhan.
82
Berdasarkan wawancara dan hasil workshop multi stakeholders tentang pelestarian hutan mangrove oleh Yayasan AKASIA Indonesia tanggal 2-4 April 2007, ada beberapa faktor penyebab tidak berjalannya hukum dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan yaitu: 1) Kurangnya informasi, sosialisasi dan penyuluhan dari pemerintah maupun pihak-pihak terkait untuk pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove. 2) Tidak dilaksanakannya prosedur pengawasan lingkungan hidup yang konsisten oleh oknum pemerintah terkait. 3) Ketiadaan sanksi hukum yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran. Untuk itu diperlukan perhatian khusus oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam peningkatan kualitas peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove percut baik itu kejelasan peraturan, hukum, dan sanksi. Sejauh ini pemerintah desa sudah mencoba untuk membuat peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove percut, antara lain tentang pelarangan penebangan kayu mangrove, perlindungan terhadap habitat satwa yang dilindungi (burung migran), melakukan rehabilitasi (penanaman mangrove),
membuat tempat-tempat pembibitan, melakukan
pertemuan dan sosialisasi bersama masyarakat.
Arah Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Komponen dan Faktor-Faktor SWOT Dalam pengelolaan ke depan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Percut Sei Tuan, diperlukan suatu arahan pengelolaan kawasan yang dijabarkan dalam bentuk strategi dan program pengelolaan. Formulasi strategi pengelolaan ekosistem mangrove memerlukan suatu proses analisis secara multidimensi dengan mengakomodir semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem secara strategis. Arahan pengelolaan ekosistem mangrove disusun didasarkan atau mempertimbangkan dimensi pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi sosial budaya dan kelembagaan). Input data mengenai aspek ekologi merupakan hasil pengukuran dan analisis yang dilakukan langsung pada
83
ekosistem mangrove selama penelitian, input data sosial dan ekonomi merupakan hasil wawancara dengan para responden yang telah ditentukan sebelumnya dan input data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait. Untuk mengarahkan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan tersebut berdasarkan input data ekologi, sosial budaya, ekonomi dan kelembagaan, maka dilakukan analisis dengan menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat), yaitu suatu analisis alternatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam merumuskan strategi pengelolaan. Analisis SWOT merupakan pemilihan hubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal yaitu kekuatan dan kelemahan terhadap unsur-unsur eksternal, yaitu peluang dan ancaman. Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal didapatkan unsur-unsur SWOT seperti pada Tabel 28. Tabel 28 Komponen dan faktor-faktor SWOT pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kekuatan (Strengths) 1. Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. 2. Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat semakin baik. 3. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik. 4. Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove. 5. Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove.
Peluang (Opportunities) 1. Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. 2. Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. 3. Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove. 4. Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi mangrove. Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Kelemahan (Weaknesses) 1. Tingkat pendapatan yang relatif rendah. 2. Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat. 3. Sumberdaya manusia yang masih rendah. 4. Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum.
Ancaman (Threats) 1. Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. 2. Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal. 3. Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove. 4. Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
84
1) Kekuatan (Strength) S1 : Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan.
Potensi ekologi menjadi faktor kekuatan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Dari aspek fisik, topografi yang relatif datar di seluruh wilayah ekosistem mangrove merupakan potensi yang baik bagi pengelolaan dan pelestarian mangrove di wilayah ini. Begitu pula dengan lingkungan fisik-kimia ekosistem yang mendukung pertumbuhan vegetasi mangrove dalam proses rehabilitasi mangrove. Selain itu aspek biologi yang menjadi salah satu kekuatan berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran beberapa literatur adalah adanya primata (kera ekor panjang) dengan status mendekati terancam, adanya beberapa jenis burung, terutama burung migran, yang memiliki status dilindungi, mendekati terancam dan rentan sehingga hal ini dapat dijadikan isu dalam perlindungan kawasan sebagai habitat satwa-satwa tersebut, dan pada akhirnya ekosistem mangrove di daerah ini akan terjaga kelestariannya. Kawasan ini juga dapat menjadi alternatif bagi pengembangan ekowisata yang cukup menarik, seperti wisata pengamatan burung bagi pengamat dan pecinta burung. S2 : Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat semakin baik.
Tingkat pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dan pentingnya pelestarian mangrove yang semakin baik merupakan unsur kekuatan yang diperlukan dalam menentukan arah kebijakan pelestarian mangrove. Dengan semakin baiknya tingkat pemahaman, maka semakin mudah bagi masyarakat untuk menerima dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di daerah ini. S3 : Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik.
Keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam pelestarian ekosistem mangrove, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, LSM ataupun atas kesadaran sendiri merupakan modal awal yang baik dalam pengelolaan dan pemanfataan berkelanjutan nantinya. Diharapkan dengan partisipasi yang aktif ini akan
85
meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan ekosistem mangrove bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka khususnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem ini. S4 : Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove.
Wadah (kelompok) sebagai penampung aspirasi masyarakat untuk melindungi dan melestarikan ekosistem mangrove menjadi kekuatan dalam penentuan arah kebijakan pengelolaan. Dengan adanya wadah ini, segala aspirasi dan keinginan masyarakat dapat diketahui sehingga mempermudah bagi pihak-pihak terkait yang ingin mengelola kawasan dengan berbasis masyarakat. Hal ini disebabkan karena segala permasalahan dan keinginan masyarakat telah tertampung di wadah tersebut. S5 : Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove sebagai sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang hidup disekitarnya, menjadi tumpuan mencari nafkah bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keinginan dan harapan yang tinggi dari masyarakat untuk melestarikan mangrove menjadi modal dasar dalam pengelolaan ekosistem ini dengan tujuan akhir meningkatnya taraf perekonomian masyarakat dan terjaganya kelestarian ekosistem mangrove. 2) Kelemahan (Weakness) W1 : Tingkat pendapatan yang relatif rendah.
Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah yaitu Rp 15.000 – Rp 20.000 per hari menjadi alasan bagi masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya ekosistem mangrove secara berlebihan atau bahkan tidak perduli dengan segala bentuk program dan usaha-usaha pengelolaan dan pelestarian mangrove karena terlalu sibuk untuk dapat mencari tambahan pendapatan demi pemenuhan kebutuhan keluarga. Untuk itu diperlukan suatu alternatif solusi untuk peningkatan pendapatan seperti alternatif usaha perikanan dan sebagainya.
86
W2 : Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat.
Pembinaan, pendidikan dan pelatihan tentang pengelolaan dan pelestarian yang dilakukan pemerintah dan LSM tentang mangrove yang hanya melibatkan sebagian
masyarakat
dan
tidak
merata
untuk
keseluruhan
masyarakat
menyebabkan tidak meratanya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya mengelola dan melestarikan mangrove secara berkelanjutan sehingga banyak terjadi kegiatan-kegiatan yang dapat merusak ekosistem dan habitat mangrove yang pada akhirnya memberikan dampak sangat merugikan masyarakat disekitarnya. Untuk itu diperlukan suatu pembinaan, pendidikan dan pelatihan secara merata yang melibatkan masyarakat di sekitar ekosistem mangrove untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat secara keseluruhan. W3 : Sumberdaya manusia yang masih rendah.
Sumberdaya manusia yang masih rendah terutama penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian mangrove, seperti teknik rehabilitasi mangrove, menyebabkan pelaksanaan program-program pelestarian mangrove tidak maksimal sehingga hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sumberdaya manusia yang rendah ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat umumnya relatif rendah. Masyarakat yang berdomisili di sekitar Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan umumnya memiliki pendidikan yang relatif rendah yaitu SLTP, SD bahkan ada yang tidak tamat SD. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan masyarakat kurang memahami pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, terutama ekosistem mangrove yang ada di sekitar daerah mereka, untuk mendukung keberlanjutan perekonomian mereka. W4 : Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum.
Informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum yang lemah menyebabkan masyarakat kurang paham terhadap peraturan dan sanksi hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan pemanfaatan ekosistem mangrove, baik itu penebangan mangrove secara sembarangan maupun juga perusakan lingkungan. Sebagai contoh perusakan terhadap jalur hijau (green belt).
87
3) Peluang (Opportunity) O1 : Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove mendukung terlaksanakan program-program pengelolaan. Peraturan dalam membatasi jumlah mangrove yang boleh ditebang dan sanksi yang diberikan bagi penebang liar dapat menjaga kelestarian mangrove. Begitu juga peraturan dalam membatasi jumlah lahan mangrove yang boleh di buka (dimanfaatkan) untuk pemanfaatan lainnya seperti tambak, bangunan, pertanian dan perkebunan. O2 : Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.
Salah satu peluang dalam pengelolaan dan pelestarian mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan adalah adanya dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM. Kesiapan pemerintah perintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program sangatlah tidak mungkin dapat terlaksana jika tidak adanya dukungan dari masyarakat setempat terhadap program yang akan dijalankan. Secara umum, pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan mendapat perhatian dan dukungan yang cukup baik dari masyarakat, pemerintah dan juga LSM. Hal ini dapat dilihat program-program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun LSM dengan mengikutsertakan masyarakat berjalan cukup baik meskipun sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. O3 : Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove.
Perekonomian masyarakat yang relatif rendah mendorong masyarakat untuk berupaya
meningkatkannya.
Keinginan
masyarakat
yang
besar
untuk
meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove merupakan peluang yang baik dalam pengelolaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan nantinya. Diharapkan dengan keinginan masyarakat yang besar ini pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove dapat dilakukan secara bijak dan berkesinambungan tanpa merusak ekosistem mangrove secara permanen.
88
O4 : Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi mangrove.
Kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam melaksanakan program pelestarian dan pengelolaan mangrove sangat diperlukan mengingat pemerintah sebagai pengambil kebijakan serta pelaksanaan program, dan LSM sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat lokal dalam program-program pengelolaan dan pelestarian mangrove. 4) Ancaman (Threat) T1 : Belum adanya peraturan daerah dan peraturan desa (kearifan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Peraturan daerah dan peraturan desa serta kearifan lokal mutlak diperlukan dalam rangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Peraturan-peraturan ini diperlukan untuk mengatur tingkat pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove baik ekosistem maupun mangrove itu sendiri. Belum adanya kebijakan dan peraturan di tengkat pemerintah dan desa menyebabkan masyarakat secara tidak terkendali memanfaatkan sumberdaya ini. Untuk itu diperlukan suatu bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan dan pelestarian mangrove sehingga eksistensi mangrove bisa terjaga dan pemanfaatan dapat berkelanjutan. T2 : Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal.
Peningkatan jumlah tambah dengan mengkonversi hutan mangrove oleh pemilik modal jika tidak diawasi dan dibatasi akan menyebabkan penurunan kualitas ekosistem secara terus-menerus yang pada akhirnya dapat merusak kelestarian dan potensi mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Pemerintah sebaiknya tanggap dan bijak dalam pemberian izin pembukaan lahan untuk usaha perikanan berupa tambak untuk menurunkan tingkat kerusakan magrove dan meningkatkan kualitas ekosistem mangrove untuk kelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan.
89
T3 : Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove.
Pemanfaatan sumberdaya mangrove berupa kayu (penebangan) berdasarkan hasil wawancara umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar ekosistem untuk kayu bakar, pacang rumah, bahkan untuk dijual. Hal ini merupakan ancaman serius terhadap kelestarian mangrove dan juga penurunan ekonomi masyarakat yang sebenarnya bukan dilakukan oleh masyarakat sekitar mangrove. Untuk itu diperlukan pengawasan terhadap pengambilan kayu oleh masyarakat luar sehingga sumberdaya mangrove dapat dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat sekitar mangrove. T4 : Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Anggaran yang rendah untuk program-program pengelolaan dan pelestarian wilayah pesisir terutama ekosistem mangrove menyebabkan pelaksanaan program tidak berjalan dengan maksimal. Pada akhirnya program-program yang telah ada hanya digunakan sebagai syarat dalam menyusun anggaran belanja daerah, namun tidak ada aplikasinya. Hal ini pada akhirnya berimbas pada ekosistem mangrove yang dibiarkan terbengkalai dalam kondisi yang memprihatinkan (rusak).
Analisis Prioritas A’WOT Proses penentuan alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dilakukan dengan menggunakan analisis terhadap komponen/faktor yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan, yang dalam hal ini diwakili oleh persepsi dari aktor/pengguna lahan (stakeholder) ayng dianggap memiliki keahlian atau yang memiliki kemampuan dan mengerti permasalahan terkait, serta yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses Hierarki Analitik (PHA) digunakan dalam menilai penentuan alternatif kegiatan pengelolaan
mangrove yang didasarkan pada tujuan dari
penelitian ini, yakni dapat memberikan pertimbangan dan arahan dalam pengembangan dan perencanaan serta pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
90
untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sistained development) di Kecamatan Percut Sei Tuan. Prinsip dalam penilaian PHA adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Struktur yang dibangun terdiri dari 3 tingkatan keputusan, yaitu: (i) tujuan, (ii) kriteria, dan (iii) alternatif. (i) Tujuan Merujuk pada pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Deli Serdang, pemerintah kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang telah menetapkan beberapa kebijakan strategis berkaitan dengan pengelolaan kehutanan yang tersurat dalam Rencana Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2007 – 2010 antara lain yaitu meningkatkan pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal sesuai fungsinya, memulihkan hutan dan lahan yang rusak sehingga dapat berfungsi optimal sesuai fungsinya, mewujudkan sumberdaya manusia bidang kehutanan yang berkualitas, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan. Khusus untuk masalah pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal sesuai fungsinya sebagai contoh hutan mangrove, hal ini dijabarkan lebih jauh dalam rencana pengelolaan oleh sub bina program dinas kehutanan dimana arahan yang diambil dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove secara optimal, terpadu dan berkelanjutan
demi
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
pengendalian
kerusakan lingkungan akibat berbagai pemanfaatan, penataan kawasan lingkungan menurut proporsinya dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Dalam pelaksanaan seluruh kebijakan sebagaimana dijabarkan di atas, dipastikan akan mucul berbagai permasalahan dan konflik dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove antar stakeholder tergantung oleh besarnya nilai manfaat yang diberikan oleh sumberdaya tersebut. Salah satu cara yang digunakan dalam menghindari konflik dan pemecahan masalah berdasarkan atas persepsi masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya adalah dengan menggunakan model Proses Hirarki Analitik (PHA). Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis PHA dalam penelitian ini adalah memberikan suatu rekomendasi arahan kebijakan
91
dalam "Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”, sehingga kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove di kecamatan ini dapat terlaksana secara terencana dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestariannya. (ii) Kriteria Untuk mencapai tujuan di atas, yakni pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan, maka terdapat 4 kriteria yang harus diperhatikan, yaitu (1) faktor kekuatan, (2) kelemahan, (3) peluang dan (4) faktor ancaman. Hasil analisis pendapat gabungan responden yang telah diolah dengan menggunakan program Expert Choice 2000 dan Microsoft Excel 2003, menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai, seperti terlihat pada Tabel 29. Tabel 29 Prioritas komponen SWOT dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Nilai Komponen SWOT Bobot Persentase Prioritas 101 51 87 51 290 Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (P) Ancaman (T)
0,602 0,068 0,234 0,095 1
60,2 % 6,8 % 23,4 % 9,5 % 100 %
P1 P4 P2 P3
Berdasarkan pada Tabel 28, terlihat bahwa secara hirarki, kriteria yang paling utama menurut para responden dalam mencapai tujuan dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan adalah kekuatan (strenght) dengan nilai 110 (60,2 %). Selanjutnya diikuti oleh peluang (opportunity) dengan nilai 87 (23,4%), ancaman (threat) dengan nilai 51 atau sebesar 9,5 %, dan kelemahan (weakness) dengan nilai 51 (6,8 %). Hasil ini menunjukkan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan bertumpu pada unsur kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman. Potensi sumberdaya alam mangrove dan sosial ekonomi masyarakat menjadi basis pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan.
92
Faktor kekuatan, peluang, kelemahan dan ancaman (SWOT) sebagai kriteria dalam pengelolaan mangrove Percut dibangun oleh beberapa sub kriteria yang didasarkan pada pengamatan, dan pengukuran langsung dilapangan serta hasil wawancara. Sub kriteria tersebut memegang peranan penting dalam penentuan faktor SWOT dalam pengelolaan mangrove dan memiliki prioritas dalam penentuan setiap faktor. Berdasarkan hasil penilaian dan analisis pendapat gabungan responden terhadap sub kriteria melalui PHA, didapatkan prioritas terhadap setiap sub kriteria seperti pada Tabel30, 31, 32 dan 33. Hasil analisis A’WOT untuk faktor komponen kekuatan merupakan hasil pendapat gabungan responden dan pengukuran menunjukkan bahwa, potensi ekologi ekosistem mangrove merupakan faktor komponen yang memiliki persentase yang tertinggi yaitu 60,9 %, diikuti dengan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian yang semakin baik menunjang program pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove sebesar 19,2 %, adanya wadah yang mendukung pelestarian mangrove sebesar 9,8 %. Sedangkan faktor yang terendah dari komponen kekuatan adalah tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove sebesar 5,9 %, dan partisipasi masyarakat sebesar 4,2 % (Tabel 30). Tabel 30 Prioritas faktor komponen kekuatan (Strength) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan No 1 2
Faktor Kekuatan (Strenght)
Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat semakin baik. 3 Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik. 4 Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove. 5 Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove. Sumber: Hasil olahan data primer 2007
60,9
Prioritas Relatif P1
19,2
P2
4,2
P5
9,8
P3
5,9
P4
Persentase
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan yang terdiri dari lingkungan fisik kimia dan biologi berupa adanya berbagai jenis burung yang dilindungi mejadi isu dalam rehabilitasi dan perlindungan mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan yang diharapkan dapat menjaga kelestarian dan eksistensi mangrove dalam pemanfaatannya. Begitu juga
93
dengan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian ekosistem mangrove menjadi faktor kekuatan yang sangat mendukung dalam programprogram pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Diharapkan dengan tingginya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian ekosistem mangrove akan mempermudah masyakarat untuk menerima dan menyerap segala bentuk kegiatan dan program pengelolaan dan pelestarian mangrove di wilayah mereka. Untuk faktor komponen peluang, faktor adanya kewenangan dalam membuat peraturan oleh pemerintah memiliki persentase sebesar 60,2 % dan merupakan prioritas utama untuk ditingkatkan dan diaplikasikan sehingga segala bentuk program-program pengelolaan dan pelestarian dapat berjalan dengan baik. Dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM terhadap program pengelolaan memiliki persentase sebesar 20,8 %. Segala bentuk program pengelolaan dan peraturan tidak akan berjalan jika tidak ada dukungan dari masyarakat sekitar, LSM maupun pemerintah sendiri. Untuk itu faktor dukungan ini sangatlah penting dibutuhkan dalam kesemua alternatif kegiatan pengeloaan ekosistem mangrove di Percut Sei Tuan. Faktor keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove memiliki persentase sebesar 12,0 %, dan kesiapan terhadap pelaksanaan program pelestarian dan rehabilitasi memiliki persentase sebesar 6,9 % (Tabel 31). Tabel 31 Prioritas faktor komponen peluang (Opportunity) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan No
Faktor Peluang (Opportunity)
Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. 2 Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. 3 Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove. 4 Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi mangrove. Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Persentase
Prioritas Relatif
60,2
P1
20,8
P2
12,0
P3
6,9
P4
1
Tingkat pendapatan yang relatif rendah pada faktor komponen kelemahan merupakan prioritas utama yang perlu diatasi dalam rangka pengelolaan ekosistem
94
mangrove Percut dengan persentase sebesar 62,7 %. Selain itu faktor sumberdaya manusia yang masih rendah (19,7 %) dan rendahnya pembinaan, pendidikan serta pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat memiliki persentase sebesar 10,8 % merupakan faktor kelemahan yang harus dipertimbangkan dan segera diatasi sehingga dapat mempermudah diterima dan masuknya informasi serta kegiatan pengelolaan mangrove oleh masyarakat. Untuk faktor lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan serta penegakkan hukum merupakan faktor terendah dengan persentase sebesar 6,8 % (Tabel 32). Tabel 32 Prioritas faktor komponen kelemahan (Weakness) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan No
Faktor Kelemahan (Weakness)
1 2
Tingkat pendapatan yang relatif rendah. Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat. 3 Sumberdaya manusia yang masih rendah. 4 Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum. Sumber: Hasil olahan data primer 2007
62,7
Prioritas Relatif P1
10,8
P3
19,7
P2
6,8
P4
Persentase
Faktor tingkat pendapatan masyarakat yang rendah perlu segera diatasi karena tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan masyarakat kurang berperan aktif dalam setiap kegiatan pengelolaan mangrove, baik yang dilakukan pemerintah maupun LSM. Sumberdaya manusia yang rendah dalam hal ini adalah tingkat penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat harus lebih ditingkatkan sehingga mempermudah masyarakat untuk menerima informasi dan segala bentuk program yang akan dilaksanakan pemerintah dan LSM nantinya. Begitu juga dengan sarana transportasi yang harus segera diperbaiki ataupun di tambah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah akses bagi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas kehidupan mereka dan juga mempermudah masuknya program-program pengelolaan mangrove yang akan dilaksanakan. Faktor komponen ancaman yang menjadi prioritas utama dan perlu diantisipasi adalah faktor belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove dengan
95
persentase sebesar 57,8 %. Faktor kerusakan ekosistem mangrove akibat degradasi lahan untuk tambak menjadi ancaman yang perlu diperhitungkan dengan nilai sebesar 13,0 %. Selain itu, tekanan masyarakat di luar kawasan dan rendahnya anggaran pemerintah untuk kegiatan pengelolaan mangrove Percut juga merupakan ancaman serius yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak menjadi penghambat dalam rencana dan program-program pengelolaan ekosistem mangrove di Percut nantinya. Adapun persentase untuk kedua ancaman tersebut adalah 8,1 % dan 21,2 % (Tabel 33). Tabel 33 Prioritas faktor komponen ancaman (Threat) dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan No
Faktor Ancaman (Threat)
1
Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal. Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove. Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. Sumber: Hasil olahan data primer 2007
2 3 4
Persentase
Prioritas Relatif
57,8
P1
13,0
P3
8,1
P4
21,2
P2
(iii) Alternatif
Dalam kaitannya dengan alternatif kegiatan yang dilakukan untuk pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan, hasil analisis A’WOT yang merupakan hasil analisis pendapat gabungan keseluruhan responden dan hasil pengukuran, menunjukkan bahwa prioritas alternatif kegiatan utama adalah rehabilitas, kemudian wisata ilmiah dan konservasi dengan nilai secara berurutan yaitu 65,8 %, 19,4 % dan 14,8 % (Tabel 34). Tabel 34 Prioritas alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Alternatif Kegiatan Nilai Persentase Prioritas relatif Rehabilitasi 0,658 65,8 P1 Konservasi 0,148 14,8 P3 Wisata 0,194 19,4 P2 Sumber: Hasil olahan data primer 2007
96
Prioritas Pertama: Rehabilitasi Kegiatan rehabilitasi sebagai alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dianggap penting mengingat kerusakan ekosistem di daerah ini sangat tinggi. Berkurangnnya luasan mangrove sebagai dampak pembangunan dan kegiatan ekonomi (konversi menjadi tambak, perkebunan, pertanian) membutuhkan penanganan yang serius. Rehabilitasi sebagai salah satu alternatif kegiatan pengelolaan mangrove Percut merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem. Rehabilitasi sebagai alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove didasarkan pada aspek ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Dari aspek ekologi, alternatif kegiatan rehabilitasi sebagai alternatif prioritas dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan didasarkan pada kondisi
mangrove
yang
rusak
jarang
dengan
nilai
kerapatan
pohon
362 individu/ha dan terdapatnya satwa yang dilindungi menjadi alasan mendasar untuk dilakukannya rehabilitasi terhadap ekosistem ini dengan tujuan untuk menanami lahan-lahan yang rusak dan melindungi habitat satwa yang dilindungi. Selain itu kondisi fisik kimia lingkungan sangat mendukung dilakukannya rehabilitasi yaitu salinitas yang berada pada kisaran 15–35 ‰, suhu air dan tanah dengan kisaran 28-32 oC dan 29-31 oC, derajat keasaman tanah (pH) dengan kisaran 6-8, dan jenis subrat yang umumnya pasir belumpur yang sangat cocok dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mangrove dalam proses rehabilitasi nantinya. Dari aspek sosial ekonomi yang mendasari prioritas rehabilitasi adalah semakin baiknya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian mangrove dengan rata-rata penilaian sebesar 52 % dan 65 % dari jumlah responden yang diwawancara. Tingkat partisipasi masyarakat yang semakin baik
97
terhadap pelestarian dan rehabilitasi lahan-lahan yang gundul dan rusak disamping keinginan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian keluarga melalui sumberdaya mangrove tersebut menjadi faktor penting terlaksananya program rehabilitasi. Terdapatnya wadah, dalam hal ini kelompok masyarakat dan LSM lokal, sebagai aspek kelembagaan memberikan peranan penting dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan rehabilitasi. Dengan adanya wadah tersebut memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan keinginan dan aspirasinya untuk melestarikan sumberdaya mangrove yang terdapat disekitarnya yang pada akhirnya dapat mempermudah pihak-pihak terkait yang ingin mengelola kawasan berbasis masyarakat. Prioritas Kedua: Wisata Ilmiah Wisata tidak semata-mata bertujuan agar wisatawan dapat menikmati keindahan alam atau keunikan flora dan fauna saja tetapi juga mencoba memahami dan menghayati proses-proses yang terdapat di alam yang mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dinamis. Kegiatan wisata memanfaatkan potensi alam apa adanya dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem yang ada. Kegiatan wisata yang memiliki peluang untuk dikembangkan di ekosistem mangrove percut adalah wisata ilmiah antara lain wisata pengamatan burung pantai dan burung migran yang dilindungi serta primata (aspek ekologi). Selain itu sebagai pertimbangan dari aspek sosial ekonomi adalah wisata ilmiah yang dikembangkan akan mempunyai implikasi ekonomi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Percut khususnya dan masyarakat umum lainnya mengingat keinginan masyarakat yang besar dalam meningkatkan perekonomian keluarga karena saat ini pendapatan masyarakat relatif masih rendah yaitu Rp 15.000 – Rp 20.000 perhari. Wisata ilmiah memberikan kesempatan insan akademik, para peneliti dan ahli satwa untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan, pendidikan dan penelitian tentang satwa-satwa yang terdapat di eksoistem mangrove Percut. Pada bagian lain, seluruh kegiatan sosial budaya dan sosial ekonomi pada kawasan pariwisata tersebut akan memberikan restribusi yang cukup memadai bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang melalui berbagai dinas/unit-unit teknis terkait,
98
sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakannya di kawasan pariwisata pantai yang dikembangkan. Prioritas Ketiga : Konservasi Konservasi adalah melakukan perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam menurut prinsip yang menjamin keuntungan ekonomi sosial masyarakat yang tinggi secara lestari. Konservasi ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan berarti pengelolaan mangrove yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana dengan tetap menjaga kelestariannya. Selain itu penetapan perlindungan terhadap ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan didasarkan pada potensi ekosistem ini (aspek ekologi) yaitu terdapatnya satwa-satwa yang dilindungi sehingga pada akhirnya konservasi dapat melindungi satwa beserta habitatnya. Selain itu pertimbangan ekologi sebagai dasar alternatif kegiatan konservasi adalah kerusakan akibat degradasi untuk pertambakan dan kegiatan pembangunan lainnya seperti pertanian dan perkebunan, serta tekanan masyarakat berupa penebangan liar yang umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar sistem. Saat ini persentase pembangunan pertambakan dan kegiatan pertanian dan perkebunan mencapai 66,66 % dari keseluruhan kegiatan pembangunan di Kecamatan Percut Sei Tuan. Aspek sosial budaya ekonomi masyarakat sebagai pertimbangan konservasi adalah pemahaman masyarakat yang baik terhadap fungsi dan peran mangrove bagi kehidupan mereka. Keinginan masyarakat untuk menjaga mangrove sebagai warisan nenek moyang dan sebagai warisan untuk anak cucu nantinya merupakan salah satu alasan masyarakat mendukung kegiatan konservasi. Sebagai pertimbangan aspek kelembagaan dan peraturan adalah belum adanya peraturan daerah dan peraturan lokal untuk melindungi ekosistem mangrove sehingga perlindungan terhadap ekosistem mangrove Percut dianggap perlu dilakukan. Hal ini didukung oleh adanya kewenangan dari pemerintah daerah dan kearifan lokal dalam menyusun suatu aturan untuk melindungi dan melestarikan mangrove Percut.
99
Analisis Faktor Komponen SWOT
Dari semua komponen faktor SWOT yang didapatkan, baik itu faktor internal maupun eksternal dilakukan pembobotan dan skoring untuk mengetahui tingkat kepentingan dari faktor-faktor tersebut dalam arahan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, baik itu kegiatan rehabilitasi, wisata dan konservasi dimana kegiatan rehabilitasi menjadi kegiatan prioritas tertinggi dari hasil analisis A’WOT yang dilakukan. Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap pengelolaan ekosistem mangrove untuk alternatif kegiatan rehabilitasi, wisata maupun konservasi dengan nilai +1,8. Sedangkan kelemahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove menunjukkan nilai –0,7, sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor-faktor internal adalah 1,05 (Tabel 35). Tabel 35 Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary - IFAS) Komponen Faktor Internal Kekuatan (Strength) S1 Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. S2 Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat semakin baik. S3 Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik. S4 Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove. S5 Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove. Kelemahan W1 Tingkat pendapatan yang relatif rendah. Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang W2 dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat. W3 Sumberdaya manusia yang masih rendah. Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan W4 penegakan hukum. TOTAL Sumber: Analisis Data Primer 2007 Kode
Bobot
Rating
Skor
0,15
+4
0,6
0,15
+4
0,6
0,1
+3
0,3
0,1
+2
0,2
0,05
+1
0,05
0,15
-1
-0,15
0,1
-1
-0,1
0,15
-2
-0,3
0,05
-3
-0,15
1
1,05
Selanjutnya hasil analisis komponen peluang untuk altenatif kegiatan yang sama yaitu rehabilitasi menunjukkan nilai yang signifikan terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dengan nilai + 1,6, sedangkan ancaman dalam pengelolaan ekosistem menunjukkan nilai -0,7, sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktorfaktor ekternal adalah +0,9 (Tabel 36).
100
Tabel 36 Hasil analisis faktor-faktor eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary - EFAS) Komponen Faktor Internal Peluang (Opportunity) O1 Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. O2 Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah, LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. O3 Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove. O4 Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi mangrove. Ancaman (Threat) T1 Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. T2 Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal. T3 Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove. T4 Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove. TOTAL Sumber: Hasil olahan data primer 2007 Kode
Bobot
Rating
Skor
0,15
+4
0,6
0,15
+4
0,6
0,1
+2
0,2
0,1
+2
0,2
Bobot
Rating
Skor
0,2
-1
-0,2
0,1
-1
-0,1
0,05
-2
-0,1
0,15
-2
-0,3
1
0,9
Berdasarkan hasil analisis SWOT, untuk semua faktor yaitu IFAS (internal strategic factors analysis summary) dan EFAS (external strategic factors analysis summary) pada Tabel 35 dan 36, menunjukkan bahwa kondisi mangrove berada
pada kuadran I dengan nilai 1,05 dan 0,9 yang artinya ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dikelola baik ditinjau dari faktor kekuatan dan potensi wilayah untuk memanfaatkan peluang yang ada. Hasil pembobotan matriks SWOT mengindikasikan bahwa dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan mengacu pada suatu strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada seoptimal mungkin, sehingga para stakeholders dapat mengelola dan memanfaatkan mangrove
sesuai dengan
peruntukan
secara lestari
dan
berkelanjutan. Kondisi pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan berada pada kuadran pertama (Gambar 13), yaitu posisi strategi pengelolaan ekosistem mangrove mendukung strategi agresif. Posisi tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan harus menghindari unsur-unsur ancaman. Peluang harus
101
segera dimanfaatkan karena ada kekurangan yang dapat menghambat usaha pengelolaan. Peluang I. Posisi strategi pengelolaan ekosistem mangrove 1,05 – 0,9 (mendukung strategi agresif)
Kelemahan
Kekuatan
Ancaman Gambar 13
Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan faktor eksternal
Strategi pengelolaan yang dihasilkan dari analisis keterkaitan Faktor internal (IFAS) dan faktor eksternal (EFAS) dikelompokkan menjadi 4 strategi, yaitu penggunaan seluruh unsur-unsur kekuatan dalam pelaksanaan strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada (SO), penggunaan unsur-unsur kekuatan yang ada untuk menghindari ancaman yang datang (ST), pengurangan kelemahan dari pelaksanaan pengelolaan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO), dan pengurangan kelemahan yang ada untuk meminimalkan ancaman yang akan datang (WT). Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT untuk strategi pengelolaan menunjukkan adanya 6 (enam) alternatif arahan kebijakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan yang didasarkan pada faktorfaktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (Tabel 37). Tabel 37 Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT untuk strategi pengelolaan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (O) 1) Peningkatan program rehabilitasi dan 1) Peningkatan kualitas SDM masyarakat rekayasa ekologi sekitar ekosistem mangrove 2) Peningkatan ekowisata (wisata ilmiah) 2) Penguatan hukum dan kelembagaan sebagai alternatif peningkatan perekonomian masyarakat Ancaman 1) Peningkatan partisipasi masyarakat 1) Peningkatan peran stakeholder (T) dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove Sumber: Hasil olahan data primer 2007
102
Arahan strategi kebijakan pengelolaan yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif kebijakan, dan untuk menentukan prioritas strategi yang harus digunakan, dilakukan penjumlahan skor dari keterkaitan unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternatif strategi. Jumlah skor akan menetukan rangking prioritas alternatif strategi pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan sebagaimana disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Prioritas strategi pengelolaan ekosistem mangrove Percut Sei Tuan No
Strategi
1
Peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi Peningkatan ekowisata (wisata ilmiah) Peningkatan kualitas SDM masyarakat sekitar ekosistem mangrove Penguatan hukum dan kelembagaan Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove Peningkatan peran stakeholder
2 3
4 5
6
Keterkaitan Faktor SWOT S1, S2, S3, S4, O2, O3 S1, S5, O2, O3, O4 W2, W4, O3, O4
Jumlah Skor 0,75
Rangking
Aspek
1
Ekologi
0,45
5
Ekologi
0,35
6
Sosial Ekonomi
W3, O1, O2
0,55
3
Kelembagaan
S2, S3, S4, T2, T3
0,5
4
Sosial
W1, W2, T1, T2, T3
0,6
2
Kelembagaan
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Rencana Strategi dan Rencana Program Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Setelah memperhatikan segala potensi sumber daya dan sosial ekonomi dan aktivitas masyarakat pesisir yang hidup di sekitar ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dan digabungkan dengan faktor dari analisis SWOT maka disusun rencana strategi dan rencana program (kegiatan) dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Selengkapnya rencana strategi yang kemudian diaplikasikan dalam rencana program adalah sebagai berikut : Strategi 1: Peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi. Rehabilitasi merupakan alternatif kegiatan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dalam peningkatan luasan mangrove dan peningkatan kualitas lahan yang gundul akibat penebangan dan pemanfaatan untuk kegiatan lainnya. Diharapkan dengan rehabilitasi, lahan-lahan yang telah rusak dapat hijau kembali. Dan dengan rekayasa ekologi dapat
103
menyatukan dua kegiatan yaitu pelestarian dan pemanfaatan tanpa harus merusak dan menurunkan kualitas lingkungan mangrove. Dalam rangka peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan, antara lain yaitu: 1. Penanaman kembali mangrove untuk jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera dan Sonneratia.
Reboisasi mangrove dilaksanakan pada daerah yang mengalami kerusakan (Desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang) sesuai dengan Rencana Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten. Reboisasi dilakukan dengan menanam jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera dan Sonneratia mengingat jumlah dari jenisjenis ini sangat rendah akibat pemanfaatan yang tinggi. Selain itu reboisasi juga dilakukan pada pinggir-pinggir sungai seperti Sungai Percut dan Sungai Sei Tuan. Tujuan penanaman mangrove diantaranya ialah rehabilitasi lahan untuk mengembalikan fungsi ekologi dari lahan yang telah rusak. Namun demikian, agar program penanaman ini berjalan dengan baik dan berhasil, maka masyarakat setempat haruslah terlibat secara penuh mulai dari perencanaan kegiatan sampai pemeliharaan tanaman. Keterlibatan ini sangatlah penting karena masyarakatlah yang sehari-hari berada dan berinterkasi dengan tanaman dan lokasi penanaman. Dalam upaya melakukan rehabilitasi sebaiknya dilakukan dengan mengandalkan bibit-bibit lokal dan penanaman yang baik (Kusmana et al. 2005). Bibit-bibit lokal dimaksudkan untuk memudahkan dalam kegiatan rehabilitasi dan sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Teknik penanaman yang baik tidak cukup hanya secara fisik saja dalam artian ketika bibit diperoleh dapat langsung dilakukan penanaman, karena akan berakibat pada kematian dan kegagalan dalam proses pertumbuhan mangrove yang ditanam. Kusmana et al. (2005) memberikan tahapan dalam melakukan penanaman yaitu jenis bahan tanaman, pemilihan jenis bahan tanaman, penentuan kematangan propagul, cara pengumpulan propagul, waktu penanaman, dan teknik penanaman. Untuk jenis bahan tanaman, secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman (bibit) di dalam kegiatan penanaman mangrove yaitu berupa propagul (buah) dan berupa anakan (bibit dalam pot) baik yang berasal dari penyemaian maupun yang
104
berasal dari alam. Dalam hal pemilihan jenis bahan tanaman, menurut Peraturan Menteri Kehutanan (2004), jenis tanaman dipilih yang cocok dan disesuaikan dengan kondisi fisik lapangan dan kesiapan masyarakat setempat. Sebagai rujukan dapat dipilih kesesuaian beberapa jenis
tanaman mangrove dengan faktor
lingkungannya seperti pada Lampiran 2. Meskipun penanaman langsung dengan propagul (buah) lebih murah, tapi metode ini kadangkala sulit dilakukan untuk penanaman dalam skala besar karena jadwal pelaksanaan hanya terbatas pada musim berbuah masak (propagul tidak dapat disimpan lama) dan perlu rekruitmen buruh dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (ketika musim berbuah masak), karena itu kegiatan penanaman skala besar lebih banyak mengkombinasikan penanaman langsung propagul dan bibit dalam pot untuk meratakan beban kerja sepanjang tahun. Waktu penanaman sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan jadual pasang surut di lokasi penanaman sehingga diusahakan paling sedikit seminggu setelah ditanam, tanaman tidak tergenang. Penanaman dengan menggunakan propagul masih memungkinkan dilakukan pada saat air pasang, namun penanaman dengan bibit dalam pot harus dilakukan pada saat air surut untuk menghindari kerusakan media dalam pot yang menyelimuti akar bibit. Untuk penanaman di pinggir laut, terutama di daerah pantai yang menghadap laut terbuka, musim ombak besar perlu diketahui agar setelah penanaman bibit/benih tidak hilang diterjang ombak. Pada daerah pantai, penanaman sebaiknya tidak dilakukan pada saat musim barat karena pada saat tersebut ombak sangat besar. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim timur untuk mengurangi resiko hilangnya bibit/benih akibat terjangan ombak. Penanaman pada tanah yang agak keras dibuat lubang dengan kedalaman yang cukup pada saat air surut. Kemudian di dekat lubang diberi ajir sebagai tempat mengikat propagul/anakan (bibit). Penanaman propagul dan anakan secara tegak lurus dengan bakal kecambah menghadap ke atas. Khusus untuk anakan yang berasal dari persemaian, sebelum ditanam kantong palstik (polybag) harus dilepaskan sehingga tidak menghalangi pertumbuhan akar setelah pananaman. Pemakaian ajir harus tepat yaitu ajir yang digunakan harus kokoh kedudukannya di substrat mangrove dan tidak mudah terbawa arus air.
105
2. Membangun sarana budidaya mangrove (pembibitan dan penyemaian) di Desa Tanjung Rejo dan Percut yang dikelola langsung oleh masyarakat. Upaya dengan membuat tempat pembibitan dan penyemaian yang dikelola langsung oleh masyarakat bertujuan agar masyarakat belajar dengan alam bagaimana mendapatkan bibit yang baik serta masyarakat dapat memahami arti penting keberadaan ekosistem ini sehingga rasa memiliki dan menjaga kelestarian lingkungan mangrove dapat tumbuh dan terlaksana dengan baik. Selain itu dalam pembangunan tempat pembibitan dan penyemaian diupayakan meminimalkan setiap kebutuhan (biaya) dengan begitu masyarakat akan terbiasa dengan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat tanpa harus menunggu bantuan dari pemerintah dan pihak lain, dan secara tidak langsung dapat bekerja mandiri. Dalam membangun tempat pembibitan dan penyemaian, menurut Khazali (2005) dari luas areal yang ditentukan untuk tempat persemaian, sekitar 70 % dipergunakan untuk keperluan bedeng pembibitan, sisanya 30 % digunakan untuk jalan inspeksi, saluran air, gubuk kerja dan bangunan ringan lainnya. Ukuran tempat persemaian tergantung kepada kebutuhan jumlah buah yang akan dibibitkan. Bahan tempat persemaian dapat menggunakan bambu. Atap/naungan dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2 meter. Apabila disekitar lokasi persemaian terdapat banyak kambing atau hewan lainnya, maka bangunan persemaian harus dirancang agar hewan-hewan tersebut tidak mengganggu dan merusak. Gambaran konstruksi sarana pembibitan dan penyemaian dapat dilihat pada Gambar 14.
Tempat persemaian
(a)
(b)
Bedeng persemaian: (a) tanah yang didalami, (b) tanah yang diberi batas bambu
Gambar 14 Konstruksi pembibitan dan penyemaian mangrove (Khazali 2005)
106
3. Melakukan kajian dan merumuskan sistem tambak berbasis konservasi (silvofisheries) yang baik untuk diterapkan. Silvofisheri sebagai salah satu altenatif rekayasa ekologi memiliki peranan
penting dalam pelestarian ekosistem mangrove di samping nilai manfaat yang harapkan juga tinggi. Menurut Izzati (2004), rekayasa ekologi merupakan salah satu cara pengelolaan budidaya yang menguntungkan bagi manusia maupun lingkungan alam. Prinsip dasar dari rekayasa ekologi adalah memanfaatkan dan meningkatkan kemampuan organisasi mandiri (self organisation) suatu budidaya dengan jalan memberikan sebuah faktor pemicu (forcing function) yang akan mengarahkan proses ekofisiologis sehingga budidaya dapat berfungsi sesuai dengan yang dikehendaki. Adanya faktor pemicu menyebabkan budidaya mengubah atau membentuk struktur komunitas baru yang akan menentukan arah dan perubahan kondisi fisik, kimia dan biologis. Selanjutnya proses perubahan ini akan menentukan fungsi budidaya. Petambak-petambak tradisional pada umumnya membuat tambak di hutan mangrove dengan asumsi bahwa hutan mangrove merupakan tempat paling baik untuk bertambak dengan alasan lebih mudah mengatur sirkulasi air tambak karena adanya pengaruh dari air pasang. Begitu juga dengan petambak di Desa Tanjung Rejo dan Percut. Namun seiring waktu, pembukaan tambak secara besar-besaran di hutan mangrove mengakibatkan terjadinya degradasi terhadap ekosistem ini. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah melakukan suatu program penghutanan kembali sejak tahun 1980 melalui sistem silvofisheri (empang parit). Adapun tujuan utama dari program ini adalah untuk
meningkatkan kepedulian masyarakat sekitar mangrove dan menjaga kelestarian mangrove (Prasetyo & Handayani, 1999). Dirjen
kehutanan
dan
rehabilitasi
lahan
Departemen
Kehutanan
mendefensikan silvofisheri sebagai suatu pengelolaan perikanan alami di dalam ekosistem mangrove. Sistem ini didesain sebagai alternatif dalam pengelolaan hutan mangrove dengan tujuan mengelola dan memanfaatkan mangrove secara optimal tanpa merusak sumberdaya mangrove dan menurunkan fungsi hutan mangrove, dan pada waktu yang sama dapat meningkatkan kepedulian masyarakat sekitar mangrove. Sedangkan menurut Primavera (2000), penerapan silvofisheri di
107
Indonesia sebagai panduan dalam mengurangi konflik penggunaan lahan antara kehutanan dan perikanan. Selain itu silvofisheri dalam hal ini MFA (MangroveFriendly Aquaculture) dikembangkan dengan tujuan utama penyediaan pangan
dan peningkatan pendapatan (income) melalui produksi ikan, udang dan kepiting, dan juga untuk melindungi mangrove. Di Indonesia, penerapan silvofisheri melalui tiga pola yaitu pola komplangan, pola empang parit dan pola empang parit yang disempurnakan (Gambar 15). Ketiga pola ini diadopsi sebagai suatu model dalam peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar mangrove disamping pelestarian ekosistem mangrove. Setiap pola memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing serta diterapkan (dipilih) sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar mangrove. Pada umumnya dalam proses rehabilitasi mangrove, pola tambak yang digunakan adalah empang parit. Pada pola ini, mangrove ditanam di tengah tambak dan dikelilingi oleh saluran atau parit yang tertutup. Pada pola komplangan, empang dan tanaman mangrove terpisah atau berdekatan. Pola empang parit menurut Rahmawaty (2006) memiliki keuntungan yaitu cahaya matahari yang menyinari cukup baik, dan biaya penyempurnaan empang parit dapat dilaksanakan bertahap setiap pemeliharaan. Kelemahan pada pola ini yaitu pemeliharaan ikan kurang terintegrasi, dan lebar parit terbatas sehingga cahaya matahari yang menyinari tidak cukup banyak. Selain itu menurut Fitzgerald (1977) dalam Prasetyo & Handayani (1999), pola empang parit memiliki kelemahan antara lain: (1) sulit dalam manjemen tambak, (2) berpotensi tercemar oleh tanin yang berasal dari mangrove, (3) biaya kontruksi per unit tambak tinggi, dan (4) tutupan mangrove menghalangi intensitas cahaya yang masuk ke tambak. Pola komplangan memiliki keunggulan antara lain cahaya matahari yang menyinari cukup
baik,
dapat
diterapkan
budidaya
semi intensif,
dan
perkembangan hutan dan ikan tidak saling menghambat. Kelemahan pola ini adalah dibutuhkannya biaya investasi untuk pembuatan empang.
108
Mangrove Tanggul pemisah
Pintu air
Pintu air
Empang
Pelataran untuk mangrove Tanggul
Mangrove Pintu air
Empang
(A)
(B) Mangrove Empang
Pintu air
Tanggul pemisah
Keterangan: (A) Pola Empang parit (B) Pola Komplangan (C) Pola Empang parit disempurnakan
(C)
Gambar 15 Tiga pola silvofisheries (wanamina) yang umum di Indonesia (Kusmana et al., 2005) Dalam
rangka
menjaga
kelestarian
mangrove
dan
keberlanjutan
pemanfaatan fungsi mangrove, umumnya persentase yang digunakan untuk sistem wanamina ini adalah 20 % tambak dan 80 % mangrove. Ada pula yang menggunakan perbandingan tambak dengan mangrove 30: 70, 40:60, dan 50:50. Namun demikian, dibeberapa daerah perbandingan 10:90 antara tambak dengan mangrove memiliki efisiensi dan produksi yang tinggi dibandingkan dengan persentase perbandingan lainnya. Hasil penelitian Sutrisno et
al. (2005) di
Pulau Muaraulu-Delta Mahakam menunjukkan bahwa penataan lahan dengan menggunakan 10 % wilayahnya untuk budidaya tambak udang mempunyai keuntungan maksimal, ditandai dengan Net Present Value (NPV) yang terbesar pada 5 tahun pertama pasca rehabilitasi.
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian telah ada program pemerintah berkaitan dengan silvofisheri dengan pola empang parit. Namun program ini hanya terlaksana pada satu desa tidak secara keseluruhan desa pantai yang ada dilokasi penelitian. Tingkat efisiensi dan produksi dari sistem ini juga belum diketahui dengan jelas. Untuk itu diperlukan suatu kajian terhadap sistem silvofisheri yang cocok digunakan di Kecamatan Percut Sei Tuan sebagai
109
alternatif pelestarian mangrove dan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar sesuai dengan tujuan silvofisheri itu sendiri. Strategi 2 : Peningkatan peran stakeholder. Peran stakeholder sangatlah penting dalam upaya pengelolaan ekositem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan mengingat stakeholder sebagai pelaku pembangunan dan pengguna sumberdaya alam. Dalam rangka pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan, peran stakeholder haruslah ditingkatkan sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik. Stakeholder dalam hal ini dapat berupa pemerintah, swasta, LSM, dan juga masyarakat. Untuk lebih meningkatkan peran stakeholder dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dilakukan dengan cara: 1. Melibatkan seluruh stakeholder dalam penyusunan rencana, dan implementasi program-program pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove. 2. Memberikan peluang sebesar-besarnya kepada seluruh stakeholder dalam pemanfantaan sumberdaya mangrove secara lestari dan berkelanjutan. 3. Memaksimalkan kerja kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan mangrove
dengan
melakukan
rehabilitasi
atau
pembibitan
secara
berkelanjutan. 4. Melibatkan pengusaha tambak yang terdapat di sekitar ekosistem mangrove dalam menyusun program dan pelaksanaan pengelolaan ekosistem mangrove bersama dengan pemerintah dan masyarakat sekitar. Strategi 3 Penguatan hukum dan kelembagaan. Peranan hukum dan kelembagaan menjadi penting karena mempunyai kekuatan logika manajemen dan hubungan di dalam masyarakat menjadi tatanan sosial-institusional dari masyarakat menuju proses pendemokrasian. Hukum dan kelembagaan memberikan batasan dan aturan dalam pemanfaatan suatu sumberdaya untuk mejaga kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan terhadap sumberdaya tersebut selain memberikan sanksi terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya.
110
Dalam strategi penguatan hukum dan kelembagaan untuk upaya perlindungan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan direkomendasikan beberapa alternatif rencana program (kegiatan), yaitu: 1. Membuat peraturan baik perda maupun perdes tentang larangan melakukan penebangan mangrove terutama dalam skala besar. 2. Melakukan sosialisasi peraturan dan perundangan serta sanksi berkenaan dengan perlindungan ekosistem mangrove. 3. Memperketat izin dan pengawasan terhadap pembukaan tambak di ekosistem mangrove. 4. Membuat izin penebangan dan batas diameter tebang bagi stakeholders yang memanfaatkan kayu mangrove untuk industri. Strategi 4
Peningkatan partisipasi masyarakat pengelolaan ekosistem mangrove.
dalam
pelestarian dan
Pengelolaan mangrove berkelanjutan Kecamatan Percut Sei Tuan khususnya desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang haruslah dibangun dari kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara lingkungannya. Adapun hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk melaksanakan program-program pengelolaan dan pelestarian mangrove yang akan dilaksanakan di desa mereka. Menempatkan masyarakat pada posisi sebagai pelaku utama dalam proses pengelolaan kawasan mereka sendiri yang dimulai dari perencanaan, pengadaan bibit, penyemaian, penanaman, pemeliharaan, pengawasan, penataan sarana dan prasarana kebutuhan mereka sehingga dengan begitu diharapkan rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap lingkungan akan terus berkembang. Selain itu, dalam penyusunan, pelaksanaan dan monitoring program (rehabilitasi, pelestarian, ekowisata) haruslah melibatkan masyarakat secara langsung sehingga transparansi program dapat dirasakan oleh masyarakat yang pada akhirnya tumbuh arti penting masyarakat sebagai pelaku pembangunan dalam diri warga sekitar. Salah satu contoh kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan masyarakat sebagai tenaga keamanan dalam pengawasan dan perlindungan kawasan mangrove (daerah alami dan daerah yang direhabilitasi).
111
Strategi 5 Peningkatan ekowisata (wisata ilmiah) Peningkatan ekowisata dalam hal ini wisata ilmiah sebagai alternatif pengelolaan ekositem mangrove bertujuan untuk memanfaatkan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara lestari dalam upaya peningkatan perekonomian masyarakat sekitar mangrove. Selain itu dapat menjadi alternatif daerah studi dan penelitian dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan mengingat tingginya potensi ilmiah ekosistem mangrove di kecamatan ini (burung migran dan primata). Untuk itu direkomendaikan beberapa alternatif rencana program (kegiatan) dalam rangka peningkatan ekowisata di Kecamatan Percut Sei Tuan, antara lain yaitu: 1. Membangun stasiun pengamatan burung dan primata di Desa Percut dan Tanjung Rejo untuk mempermudah pengamat dan para ahli melakukan penelitian. 2. Membangun stasiun pengawas, pendidikan dan penelitian untuk medukung kegiatan pariwisata (wisata ilmiah). 3. Penyediaan pusat informasi dan pemandu untuk wisata pengamatan burung. 4. Pengadaan retribusi yang sesuai dengan tingkat ekonomi masyarakat sekitar. 5. Menjalin kerjasama dengan investor dan melakukan promosi pariwisata. Strategi 6 Peningkatan kapasitas SDM di sekitar ekosistem mangrove. Peningkatan kapasitas SDM masyarakat di sekitar mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan bertujuan agar semua kegiatan dan program pengelolaan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat sekitar. Selain itu dapat meningkatkan pemahaman terhadap arti penting ekosistem mangrove bagi hidup dan kehidupan masyarakat sekitar. Peningkatan kapasitas SDM dapat dilakukan dengan: 1. Mendirikan sekolah untuk tingkat SLTP dan SLTA di Desa Tanjung Rejo dan Pematang Lalang dan peningkatan jumlah Sekolah Dasar di kedua desa tersebut. 2. Memasukkan mata pelajaran yang terkait dengan kelestarian sumberdaya alam, terutama arti penting ekosistem mangrove dan sumberdaya mangrove, sebagai muatan lokal pada kurikulum di sekolah-sekolah tersebut.
112
3. Meningkatkan intensitas pelatihan, pendidikan dan penyuluhan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian mangrove kepada seluruh masyarakat seperti teknik rehabilitasi mangrove. 4. Meningkatkan intensitas pelatihan, pendidikan dan penyuluhan tentang teknologi budidaya dan teknologi hasil perikanan sebagai alternatif peningkatan perekonomian keluarga.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan mengalami kerusakan sebesar 79,8 % dengan potensi mangrove yang tersisa seluas 728 Ha. Kondisi fisik kimia yang mendukung pertumbuhan mangrove dan terdapatnya jenis satwa yang dilindungi menjadi isu diperlukannya suatu pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan. 2. Tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat yang relatif rendah merupakan salah satu faktor kelemahan dan dapat menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan. 3. Kelembagaan sebagai salah satu komponen pengelolaan ekosistem mangrove memegang peranan penting guna menggerakkan dan meningkatkan peran serta masyarakat. Adanya peraturan perundangan memberikan batasan dan arahan pengelolaan dan pemanfaatan bagi seluruh stakeholder serta dapat menghindari benturan kepentingan antar lembaga. 4. Urutan rencana strategi yang perlu dilakukan dalam pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan berdasarkan faktor internal dan eksternalnya yang dianalisis dengan SWOT adalah: (1) peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi; (2) peningkatan peran stekeholder; (3) penguatan hukum dan kelembagaan; (4) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove; (5) peningkatan ekowisata (wisata ilmiah); (6) peningkatan kualitas SDM masyarakat sekitar ekosistem mangrove.
114
Saran 1. Diperlukan kontinuitas dalam implementsi program-program pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove, serta pengembangannya di masa datang. 2. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk menentukan zonasi pengelolaan ekosistem dan sumberdaya mangrove di Percut Sei Tuan seperti zona pemanfaatan, zona perlindungan dan zona rehabilitasi (pelestarian). 3. Diharapkan adanya penelitian dan penyusunan dalam pemetaan habitat burung migran dan primata serta penetapan status sebagai kawasan pelestarian ekosistem habitat burung migran dan primata yang dikuatkan dengan SK Bupati atau Peraturan Daerah (Perda). 4. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dalam mengkaji keterlibatan dan keterkaitan antar lembaga dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. 1988. Conservation dan Management of Mangrove Ecosystem in Indonesia. Proceeding of Mab/Comar Mice IV Meeting: Asian and Facfic Regional Workshop and International Symposium on The Conservation and Management of Coral Reef and Mangrove Ecosystem. 25 September – 3 October 1987, Volume I. Okinawa. Japan. Ahmad, T. 1989. Potentialities of Mangrove Forest Related to Coastal Aquaculture: A Case Study in Bone-Bone Luwu, South Sulawesi. Research Institute of Coastal Aquaculture Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia. Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations. Bogor. Indonesia. August 9-11,1988. Biotrop Special Publication No.37. Published by SEAMEO-BIOTROP. [AKASIA Indonesia] Yayasan Amanah Konservasi Alam Indonesia. 2007. Fauna Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan 2003-2007. Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. The IUCN Wetlands Programme. Bangkok. Thailand Badan Pusat Statistik Kabupaen Deli Serdang. 2005. Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka 2004. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Bengen, D.G. 2004. Sinopsis: Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan. Institut Petanian Bogor (IPB). Bogor. Chambers, M.J.G., dan A.S, Sobur. 1977. Problem in Assessing The Rates and Processes of Coastal Change in the Province of South Sumatra. Center for Natural Resource Management and Environment Studies. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Cet. III. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang. 2007. Rencana Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang 2007-2010. Sumatera Utara. Medan. Fahrudin, A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor
116
Hong, P.N., and H.S. San. 1993. Mangrove of Vietnam. The IUCN Wetlands Programme. Bangkok. Thailand. Inoue, Y. Oki, H. Afwan, R.S. Ketut, dan I Nyoman B. 1999. Model Pengeloaan Hutan Mangrove Lestari, Hasil Studi Kelayakan di Republik Indonesia. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA (Jepang). IUCN Red List of Threatened Species. 2007. Categories and Criteria 1994 (version 2.3) http://www.iucnredlist.org/info/categories_criteria1994# categories [19 Sep 2007] Izzati, M. 2004. Peranan Rumput Laut Dalam Mengendalikan Kualitas Air Tambak pada Model Budidaya Ganda Udang Windu-Rumput Laut. http://digilib.bi.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbbi-gdl-s3-2004-munifatuli-1111 [19 Sep 2007] Khazali, M. 2001. Potensi, Peran dan Pengelolaan Mangrove. Seminar dan Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau Nusa kambangan Sebagai Sisa-sisa Hutan Hujan Dataran Rendah Berupa Ekosistem Kepulauan di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta. 28-29 Mei 2001. ________. 2002. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangson, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Jurnal PKSPL-IPB Vol.4 (3). ________. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International – Indonesia Programme. Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Wawancara. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Masyarakat:
Metode
Kusmana, C. 1995. Habitat Hutan Mangrove Dan Biota. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. _______. 1995. Metode Survey Vegetasi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kusmana, C., W. Sri, H. Iwan, P. Prijanto, W. Cahyo, T. Tatang, T. Adi, Yunasfi, dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusumastanto, T. 2002. Reposisi Ocean Policy Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Disampaikan Dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan FPIK IPB. Bogor.
117
Liyanage, S. 2004. Pilot Project: Participatory Management of Seguwanthive Mangrove Habitat in Puttlam District, Sri Lanka. Forest Departement Sampathpaya, Rajamalwatta Road Battaramulla, Sri Lanka. Wetlands International. Macintosh, D.J., E.C. Ashton, and S. Havanon. 2002. Mangrove Rehabilitation and Intertidal Biodiversity: a Study in Ranong mangrove Ecosystem, Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 55, 331-345. Published by Elsevier Science Ltd. Marimin. 2004. Teknik Dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Melana, D.M., J. Atchue III, C.E. Yao, R. Edwards, E.E. Melana, and H.I. Gonzales. 2000. Mangrove Management Handbook. Coastal Resource Management Project of the Departement of Environment and Natural Resources supported by the United States Agency for International Development. Manila. Philippines. Michael, P. 1984. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. K. UI Press. Jakarta. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Cet. IV. Djambatan. Jakarta. Noor, Y.S., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA dan Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor. Odum, P.E. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Ir. Tjahjono Samingan. Cet. 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Pangesti, M.H.T. 1995. Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Kegiatan Perhutanan Sosial (Studi Kasus di KPH Cianjur, Jawa Barat) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Permadi, B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengenai Teori dan Aplikasi Model The Analytical Hierarchy Process (AHP). Pusat Antar Universitas. Studi Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Poerwowidagdo, S.J. 2003. Prosedur Analisis Sistem. Himpunan Materi Kuliah Program Pascasarjana. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prakosa, M. 2004. Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove, Gerakan Rehabiltiasi Hutan dan Lahan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/MENHUT-V/2004. Tanggal 22 Juli 2004. Bagian Keempat. BAB III. Pelaksanaan: Persiapan Bibit.
118
Prasetyo, D., and T. Handayani. 1999. The Study of Silvofishery in The Bay of Jakarta and Seribu Island for Supporting Mariculture. Proceeding International Seminar on Application of Seawatch Indonesia Information System for Indonesian Marine Resources Development”, March 10-11, 1999, BPPT Jakarta. Primavera, J.H. 2000. Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia. Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries development Center Tigbauan, Iloilo 5021, Philippines. From: Integrated Coastal Zone Management. Autumn ed., pp.121-130. http://www.iucn.org/themes /ceesp /publications/SL/ AquacultureJPrimavera.pdf [19 Sep 2007] Priyono, A. 2004. Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purba, J. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik untuk Pengembilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri Manajemen No. 134 (Terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Salusu, J. 1996. Proses Pengambilan Keputusan Perencanaan. Modul Perencanaan Pembangunan. Pusat Studi Kebijaksanaan dan Manajemen Pembangunan – LPPM – Universitas Hasanuddin. Program Pendidikan dan Latihan Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat Dasar (TMPP-D), Kerjasama OTO – BAPPENAS – Departemen Dalam Negeri dengan Universitas Hasanuddin T.A. 1995/1996. Ujung Panjang. Saru, A. 2007. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di kabupaten Barru Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [SBI] Sahabat Burung Indonesia. 2007. Monitoring Burung Pantai Indonesia. http://www.sbi-info.org/2007/03/05/49/ [14 Sep 2007]
119
Sembiring, S.N., dan F. Husbaini. 1999. Kajian Hukum Dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Indonesia. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan (ICEL). NRMP. Jakarta. Singarimbun. 1995. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta. Soemodihardjo, S., dan I. Soerianegara. 1989. The Status of Mangrove Forest in Indonesia. Sub Committee on Mangrove Ecosystems MAB Program Indonesia – LIPI. Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations. Bogor. Indonesia. August 9-11,1988. Biotrop Special Publication No.37. Published by SEAMEO-BIOTROP. Soselisa, A. 2006. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sugiarto, W., dan Ekayanto. 1996. Penghijauan Pantai. Panebar Swadaya. Jakarta. Sunoto, N. 1997. Sistem Masyarakat Pesisir dan Strategi Pengembangannya. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Angkatan I. PKSPL-IPB & Ditjen Bangda Depdagri. Bogor. Supriharyono. 2000. Pelestarian Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sutrisno, D., J. Pariwono, J. Rais, dan T. Kusumastanto. 2005. The Impact Of Sea Level rise on Delta Management: A Case Study Of Shrimp Pond Management In Muaraulu Island - Mahakam Delta. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol.11 No.1, September 2005 Van Balen, S. 1989. The Terresterial Mangrove Birds of Java. Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations. Bogor. Indonesia. August 9-11,1988. Biotrop Special Publication No.37. Published by SEAMEO-BIOTROP. Wang, I.Y. 1981. Management of Rural Change in Korea. University Press. Seoul. Wardojo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat. Dalam: Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI, diedit oleh A.V.S. Hubeis, P. Tjitropranoto dan W. Ruwiyanto. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta. Watson, R., dan W. Arief. 1992. Draft Panduan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Laut Indonesia. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Indonesia.
120
Wijaya, N.I. 2007. Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yefri, N. 1987. Struktur Pohon Hutan Bekas Tebangan di Air Gadang Pasaman. [tesis]. Porgram Pascasarjana, Universitas Andalas Padang.
Lampiran 1a Daftar temuan jenis fauna (burung air) di Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut berdasarkan pengamatan pada Januari 2003 – Mei 2007 oleh Yayasan AKASIA Indonesia. A. Burung Air No
Nama Indonesia
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Pecuk? Cangak Abu Cangak Merah Kokokan Laut Kuntul Kerbau Kuntul Cina Kuntul Besar Kuntul Perak Kuntul Kecil Kowak-malam Abu Bambangan? Bambangan merah Bagau Bluwok Bangau Tongtong Mandar/Tikusan Koreo Padi Cerek Besar Cerek Kernyut Cerek Tilil Cerek-pasir Mongolia Cerek-cerekan Gajahan Besar Gajahan Pengala
Nama Latin Phalacrocorax spp Ardea cinerea Ardea purpurea Butorides striatus Bubulcus ibis Egretta eulophotes Egretta alba Egretta intermedia Egretta garzetta Nycticorax nycticorax Ixobrychus sp Ixobrychus cinnamomeus Mycterea cinerea Leptoptilos javanicus Porzana sp Amaurornis phoenicurus Pluvialis squatarola* Pluvialis fulva* Charadrius alexandrinus* Charadrius mongolous* Charadrius sp* Numenius arquata* Numenius phaeopus*
Nama Inggris Cormorant? Grey Heron Purple Heron Striated Heron Cattle Egret Chinese Egret Great Egret Intermediate Egret Little Egret Black-crowned Night-heron Bittern? Cinnamon Bittern Milky Stork Lesser Adjutant Rail/Crake? White-breasted Waterhen Grey plover Pacific Golden-plover Kentish Plover Mongolian Plover Plover? Eurasian Curlew Whimbrel
IUCN
Status RDB
UU
Vu
Vu Vu
Vu Vu
UU UU
UU UU
121
No
Nama Indonesia
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Gajahan Timur Biru Laut ekor-hitam Biru Laut ekor-blorok Trinil Kaki Merah Trinil Rawa Trinil kaki-hijau Trinil Pantai Trinil Lumpur Asia Kedidi Besar Kedidi Belang Kedidi Golgol Dara Laut Biasa Dara Laut Kecil Dara Laut?
Nama Latin Numenius madagariensis* Limosa limosa* Limosa lapponica* Tringa totanus* Tringa stagnatilis* Tringa nebularia* Tringa hypoleucos* Limnodromus semipalmatus* Calidris tenuirostris* Calidris Alpina* Calidris ferruginea* Sterna hirundo* Sterna albifrous* Sterna sp*
Nama Inggris Far Eastern Curlew Black-tailed Godwit Bar-tailed Godwit Common Redshank Marsh Sandpiper Common Greeshank Common Sandpiper Asian Dowitcher Great Knot Dunlin Curlew sandpiper Common Tern Little Tern Tern?
IUCN Nt
Status RDB Nt
UU UU
Nt
Nt
UU
122
Lampiran 1b Daftar temuan jenis fauna (burung teresterial) di Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut berdasarkan pengamatan pada Januari 2003 – Mei 2007 oleh Yayasan AKASIA Indonesia. B. Burung Teresterial No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Indonesia Elang Tikus Elang Bondol Punai gading Perkutut Jawa Wiwik lurik Bubut Besar Bubut alang-alang Serak Jawa Cabak Kota Walet Cekakak Cina Cekakak Sungai Pelatuk hijau Caladi tilik Layang-layang api Layang-layang Batu Kapasan kemiri Merbah Cerukcuk Gagak hutan Gelatik-batu Kelabu Kucica kampung Cinenen Kelabu Perenjak Jawa Cici Padi
Nama Latin Elanus caeruleus Heliastur indus Treron vernans Geopelia striata Cocomantis sonneratii Centropus sinensis Centropus bengalensis Tyto alba Caprimulgus affinis Collocalia maxima Helcyon pileata Todirhomphus chloris Picus vittatus Picoides moluccensis/Dendrocopos moluccensis Hirundo rustica* Hirundo tahitica Lalage nigra Pycnonotus goiavier Corvus enca Parus major Copsychus saularis Orthotomus ruficeps Prinia familiaris Cisticola juncidis
Nama Inggris Black-winged Kite Brahminy Kite Pink-necked Green-Pigeon Zebra-Dove Banded Bay Cuckoo Greater Caucal Lesser Coucal Barn Owl Savannah Nightjar Black-nest Swiftlet Black-capped Kingfisher Collared Kingfisher Laced Woodpecker Sunda Woodpecker Barn Swallow Pacific Swallow Pied Triller Yellow-vented Bulbul Slender-billed Crow Great Tit Magpie Robin Ashy Tailorbird Bar-winged Prinia Zitting Cisticola
123
No 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Indonesia Kipasan belang Kekep babi Burung Madu-bakau Burung Madu-sriganti Kacamata biasa Burung Gereja erasia Manyar tempua Bondol rawa Bondol haji
Nama Latin Rhipidura javanica Artamus leucorhynchus Nectarina calcoseta Nectarina jugularis Zoosterops pulpebrosus Passer montanus Ploceus philippinus Lonchura malacca Lonchura maja
Nama Inggris Pied Fantail White-breasted Wood-swallow Copper-throated Sunbird Olive-backed Sunbird Oriental White-eye Eurasian Tree Sparrow Baya Weaver Black-headed Munia White-headed Munia
124
125
Lampiran 2 Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor lingkungannya.
Jenis Rhizophora mucronata (bakau) R. stylosa (tongke besar) R. apiculata (tinjang) Bruguiera parviofa (bius) B. sexangula (tancang) B. gymnorhiza (tanjang merah) Sonneratia alba (pedada bogem) S. caseolaris (pedada) Xylocarpus granatum (nyirih) Heritiera littoralis (bayur laut) Lumnitreza racemora (taruntum) Cerbera manghas (bintaro) Nypa fruticans (nipah) Avicennia spp. (api-api)
Salinitas (‰)
Toleransi thd kekuatan ombak & angin
Toleransi thd kandungan pasir
Toleransi thd lumpur
Frekuensi penggenangan
10-30
S
MD
S
20 hr/bln
10-30
MD
S
S
20 hr/bln
10-30
MD
MD
S
20 hr/bln
10-30
TS
MD
S
10-19 hr/bln
10-30
TS
MD
S
10-19 hr/bln
10-30
TS
TS
MD
10-19 hr/bln
10-30
MD
S
S
20 har/bln
10-30
MD
MD
MD
20 hr/bln
10-30
TS
MD
MD
9 hr/bln
10-30
STS
S
MD
9 hr/bln
10-30
STS
S
MD
Bbrp kali/thn
0-10
STS
MD
MD
Tergenang musiman
0-10
STS
TS
S
20 hr/bln
10-30
MD
TS
S
Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan (2004)
Keterangan : S= sesuai; MD= moderat; TS= tidak sesuai; STS= sangat tidak sesuai
126
Lampiran 3 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian Jalur
I
II
III
IV
V
Ukuran Butir 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840
% Berat 5.21 8.92 20.48 5.60 12.48 11.86 14.55 28.57 4.53 13.20 28.98 4.08 10.94 11.10 14.19 15.00 13.40 13.66 16.70 3.40 6.75 6.78 10.13 26.86 13.50 13.59 16.78 3.62 6.91 6.95 10.09 16.79 5.47 14.44 16.89 4.48 7.88 7.70 10.60 23.65
% Berat Fraksi 5.21
Fraksi lumpur
29.40
pasir halus
18.08
pasir sedang
54.98
pasir kasar
4.53
lumpur
42.18
pasir halus
15.02
pasir sedang
40.29
pasir kasar
13.40
lumpur
30.36
pasir halus
10.16
pasir sedang
43.77
pasir kasar
13.50
lumpur
30.37
pasir halus
10.53
pasir sedang
33.84
pasir kasar
5.47
lumpur
31.33
pasir halus
12.36
pasir sedang
41.95
pasir kasar
Jenis Substrat
pasir berlumpur
pasir berlumpur
pasir berlumpur
pasir berlumpur
pasir berlumpur
127
Lampiran 3 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian (Lanjutan) Jalur
VI
VII
VIII
IX
Ukuran Butir 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840 0.074 0.105 0.149 0.250 0.350 0.500 0.840 >0.840
% Berat 6.85 12.71 20.81 5.02 13.78 18.93 22.74 16.87 5.77 12.05 20.18 4.77 14.13 18.12 23.63 0.00 10.30 6.70 13.51 2.77 6.93 6.91 10.26 30.29 13.87 5.77 13.89 7.14 10.57 11.73 16.34 20.27
% Berat Fraksi
Fraksi
6.85
lumpur
33.52
pasir halus
18.80
pasir sedang
58.54
pasir kasar
5.77
lumpur
32.23
pasir halus
18.90
pasir sedang
41.75
pasir kasar
10.30
lumpur
20.21
pasir halus
9.69
pasir sedang
47.46
pasir kasar
13.87
lumpur
19.66
pasir halus
17.72
pasir sedang
48.35
pasir kasar
Jenis Substrat
pasir berlumpur
pasir berlumpur
pasir berlumpur
pasir berlumpur
Lampiran 4 Penilaian Responden untuk Analisis Alternatif Kegiatan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Lestari dan Berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. TUJUAN
: MENENTUKAN SKALA PRIORITAS ALTERNATIF KEGIATAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SECARA LESTARI DAN BERKELANJUTAN DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA
KRITERIA
: A. Kekuatan (Strenght) B. Kelemahan (Weakness) C. Peluang (Opportunity) D. Ancaman (Threat)
ALTERNATIF : 1. Rehabilitasi 2. Konservasi 3. Wisata Ilmiah PENILAIAN RESPONDEN UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS KRITERIA DAN ALTERNATIF KEGIATAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN PERCUT SEI TUAN I. KRITERIA TERHADAP TUJUAN RESPONDEN KRITERIA KEKUATAN KELEMAHAN PELUANG ANCAMAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
JUMLAH
9 5 7 3 24
9 3 9 5 26
9 3 9 3 24
7 5 7 5 24
7 5 7 5 24
9 5 7 3 24
7 3 7 5 22
7 3 5 3 18
7 3 5 3 18
9 5 7 5 26
7 3 5 5 20
9 5 7 3 24
5 3 5 3 16
101 51 87 51 290
RATA RATA 7.8 3.9 6.7 3.9 22.3
BOBOT 0.602 0.068 0.234 0.095 1.000
SKALA PRIOR 1 4 2 3
128
Lampiran 4 (Lanjutan) II. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA KEKUATAN (STRENGHT) RESPONDEN ALTERNATIF REHABILITASI KONSERVASI WISATA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
JUMLAH
9 7 7 23
9 7 7 23
9 7 7 23
7 7 5 19
7 5 5 17
7 7 7 21
7 5 3 15
7 5 7 19
7 5 5 17
9 5 7 21
7 5 3 15
7 5 7 19
7 3 7 17
99 73 77 249
RATA RATA 7.6 5.6 5.9 5.9
BOBOT 0.689 0.106 0.204 1.000
III. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA KELEMAHAN (WEAKNESS) RESPONDEN ALTERNATIF REHABILITASI KONSERVASI WISATA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
JUMLAH
9 7 7 23
9 7 7 23
9 7 7 23
7 7 7 21
7 5 3 15
7 5 3 15
5 3 3 11
5 5 3 13
5 5 3 13
9 5 5 19
7 5 3 15
9 7 5 21
5 3 3 11
93 71 59 223
RATA RATA 7.2 5.5 4.5 17.2
BOBOT 0.646 0.107 0.247 1.000
IV. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA PELUANG (OPPORTUNITY) RESPONDEN ALTERNATIF REHABILITASI KONSERVASI WISATA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
JUMLAH
9 7 5 21
9 9 5 23
9 9 5 23
9 7 5 21
7 7 5 19
7 7 7 21
7 5 3 15
7 5 7 19
7 5 5 17
9 7 7 23
7 7 5 19
7 9 7 23
7 7 5 19
101 91 71 263
RATA RATA 7.8 7.0 5.5 20.23
BOBOT 0.694 0.124 0.182 1.000
129
Lampiran 4 (Lanjutan) V. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA ANCAMAN (THREAT) RESPONDEN ALTERNATIF REHABILITASI KONSERVASI WISATA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
JUMLAH
7 7 1 15
9 9 3 21
9 9 3 21
9 7 1 17
7 7 1 15
7 7 3 17
7 7 1 15
7 7 1 15
7 7 1 15
7 7 1 15
7 7 3 17
7 9 3 19
7 5 1 13
97 95 23 215
RATA RATA 7.5 7.3 1.8 16.54
BOBOT 0.394 0.487 0.119 1.000
BOBOT KOMPONEN LEVEL 2 RELATIF TERHADAP LEVEL 1 KRITERIA ALTERNATIF REHABILTIASI KONSERVASI WISATA
KEKUATAN
KELEMAHAN
PELUANG
ANCAMAN
JUMLAH
RATA-RATA
0.689 0.106 0.204 1
0.646 0.107 0.247 1
0.694 0.124 0.182 1
0.394 0.487 0.119 1
2.423 0.824 0.752 4
0.606 0.206 0.188 1
Keterangan: Jumlah Responden (Tokoh Kunci/Key Person) = 13 Orang, terdiri dari 1. Kepala Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang 2. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang 3. Kepala Bappeda Kabupaten Deli Serdang 4. Camat Percut Sei Tuan 5. Kepala Desa Tanjung Rejo 6. Kepala Desa Percut Sei Tuan 7. Kepala Desa Pematang Lalang
Skoring:
8. 9. 10. 11. 12. 13.
1 = Sama Penting 3 = Sedikit Lebih Penting 5 = Lebih Penting 7 = Jelas Lebih Penting 9 = Mutlak Lebih Penting
Kelompok Masyarakat GP4 Kelompok Masyarakat Petambak Kelompok Masyarakat Koperasi Mina Mitra Sejahtera Unsur Perguruan Tinggi (Universitas Sumatera Utara) Unsur LSM (Yayasan AKASIA Indonesia) Unsur Masyarakat Umum
130
131
Lampiran 5 Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara lestari dan berkelanjutan.
132
Lampiran 6 Pedoman Wawancara Penelitian KUISIONER DATA NON GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : ………………………………………….. Tanggal :………………… Profil lembaga Nama Lembaga :……………………………………………………………………………………. Nama Pimpinan : 1.………………………………………………………………………………… 2..…..…………………………………………………………………………… Alamat : …..…….……………………………………………………………………… ...............….…….……….……………………………………………………. Telephone : .…………………………….. Facsimile : ..........……………………… E-mail :.…………………………………………………………………………………… Tanggal berdiri :.....………………………………………………………………………………. No. Akta (bila ada): ……………………………..…………………………………………………. Struktur Organisasi: Ada (terlampir)
Tidak ada
Jenis organisasi : Yayasan Ormas Orpol Asosiasi CBO Koperasi ……………………………………………………………………………. Tipe kegiatan : Penelitian Advokasi Info-com Pendanaan Pendidikan & lat. B. Kemanusiaan …………………………………………………………………………... …………………………………………………………………………… Bidang kegiatan : Pertanian Sosial Kebudayaan Perburuhan Lingkungan hidup Ibu & anak Ek. Masyarakat Gizi & makanan Industri Tek. Tepat guna Masy. Adat Gender Industri kecil Hak asasi manusi Ketrampilan ……………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………… Wilayah Kegiatan: Desa/Kel. Nasional
Kab. Kota. Internasional
Propinsi
Sumber Dana: Modal sendiri Iuran anggota Pemerintah Donor Dlm. Neg. Donor LN Usaha sendiri ……………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………..
133
Mitra Kerja : Instansi Pemerintah No. Nama Instansi
Nama Program
Waktu
Keterangan
LSM/ORNOP No. Nama LSM/ORNOP
Nama Program
Waktu
Keterangan
Lembaga Internasional No. Nama Lembaga Int.
Nama Program
Waktu
Keterangan
Masyarakat No. Nama kelompok
Nama Program
Waktu
Keterangan
Peran Dalam Perencanaan Partisipatif 1. Apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan? …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama dalam masyarakat. sering pernah tidak pernah Penjelasan rinci: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 3. Jika Anda pernah terlibat. dimana tingkat keterlibatannya: Kelurahan Kab./kota Propinsi Nasional Penjelasan rinci: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 4. Bentuk keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan konsultasi persetujuan pelaksanaan …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
134
5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan lembaga Anda dalam pelaksanaan proyek/program? memfasilitasi melatih mendampingi mengawasi mengevaluasi ……………………… ………………………………………… …………………………………………… Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… Perencanaan Yang Partisipatif 1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini sudah baik cukup baik tidak baik Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 2. Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat? …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 3. Pendapat tentang peran pemerintah sebagai fasilitator pembangunan: sudah baik cukup baik tidak baik Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 4. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog pembangunan perlu tidak perlu tidak tahu mengapa: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 6. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah forum dialog NGS & GS forum NGS saja tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 7. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan pemda NGS . tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
135
Pengelolaan Sumberdaya Alam 1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan oleh stakeholders (pelaku pembangunan) dalam kehidupannya ekosistem mangrove ekosistem pantai ekosistem estuaria ekosistem terumbu karang ekosistem lamun …………….. Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini dalam mendukung kehidupan stakeholder atau masyarakat di sekitarnya baik kurang mendukung tidak mendukung Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut ………………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………. 4. Apakah konservasi sumberdaya pesisir pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan selama ini sering pernah tidak pernah Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan pembangunan pesisir perlu tidak perlu tidak tahu Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
Terima kasih
136
Lampiran 6 (Lanjutan). KUISIONER DATA GOVERMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : ………………………………………….. Tanggal : ………………………… Profil lembaga Nama Dinas/Inst.: ………………………………………………………………………………… Nama Pimpinan: 1. .……………………………………………………………………………… 2. .……………………………………………………………………………… Alamat : ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… Telephone : .…………………………….. Facsimile : ……………………………… E-mail : .……………………………………………………………………………… Struktur Organisasi : Ada (terlampir)
Tidak ada
Tipe kegiatan : .………………………………………………………………………………
Mitra Kerja : Instansi Pemerintah No. Nama Instansi
Nama Program
Waktu
Keterangan
LSM/ORNOP No. Nama LSM/ORNOP
Nama Program
Waktu
Keterangan
Lembaga Internasional No. Nama Lembaga Int.
Nama Program
Waktu
Keterangan
Masyarakat No. Nama kelompok
Nama Program
Waktu
Keterangan
137
Peran Dalam Perencanaan Partisipatif 1. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang benar menurut Anda apabila masyarakat mengetahui ikut dalam setiap proses ada sosialisasi ikut memilih dan menetapkan …………………………………… Penjelasan: ……………………................................................................................................. …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama masyarakat. sering pernah tidak pernah Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 3. Batas keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan konsultasi persetujuan pelaksanaan Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 4. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan dinas/instansi dalam pelaksanaan proyek/program? memfasilitasi melatih mendampingi memobilisasi mengawasi mengevaluasi ………………………………………… …………………………………………… Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
Perencanaan Yang Partisipatif 1. Pendapat mengenai mekanisme partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini sudah baik cukup baik tidak baik Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pembangunan bersama masyarakat? ada tidak ada Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat? …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
138
3 Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 4. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog pembangunan perlu tidak perlu tidak tahu mengapa: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 5. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah: forum dialog NGS & GS forum NGS saja tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 6. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan pemda NGS tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
Pengelolaan Sumberdaya Alam 1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang terkait pengelolaannya dengan stakeholders (pelaku pembangunan) ekosistem mangrove ekosistem pantai ekosistem estuaria ekosistem terumbu karang ekosistem lamun …………….. Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini mendukung masyarakat di sekitarnya baik kurang mendukung tidak mendukung Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut ………………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………….
139
4. Apakah konservasi sumberdaya pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan selama ini sering pernah tidak pernah Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… 5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan pembangunan pesisir perlu tidak perlu tidak tahu mengapa: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
Terima kasih
140
Lampiran 6 (Lanjutan) PEDOMAN WAWANCARA PENELITIAN P E N G E L O L A A N K A W A S A N M A N GR O V E DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA
A. Identitas Responden 1. Nama : ................................................................ 2. Umur : ................................................................ 3. Alamat : ................................................................ 4. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 5. Status Perkawinan : a. Kawin b. Belum Kawin c. Janda/Duda 6. Pendidikan : a. Tidak lulus SD b. Lulus SD c. Lulus SLTP/Sederajat d. Lulus SLTA/Sederajat e. Lulus D3/Sarjana 7. Pekerjaan : ...................................................... 8. Lama tinggal di daerah ini : ................ tahun 9. Dari kegiatan perikanan berapa pendapatan yang dihasilkan perbulan? ........................................................................................... 10. Disamping kegiatan perikanan apakah ada kegiatan lain yang dapat menghasilkan pendapatan : a. ........................................................................ b. ........................................................................ c. ....................................................................... 11. Berapa rata-raa pendapatan bersih perbulan dari pekerjaan sampingan tersebut? ................................................................ 12. Organisasi kemasyarakatan apa yang anda ikuti? .............................................. 13. Peran anda sebagai apa? ............................................ B. Pemahaman Tentang Hutan Mangrove 1. Apakah anda mengerti dengan istilah mangrove? (a) sangat mengerti (b) mengerti (c) kurang mengerti
(d) tidak mengerti
2. Menurut anda bagaimana keadaan hutan mangrove yang ada di wilayah ini? (a) sangat baik (b) baik (c) sedang (d) rusak 3. Menurut anda bagaimana bila diadakan rehabilitasi terhadap mangrove? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 4. Menurut anda bagimana bila penebangan kayu mangrove dibatasi? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 5. Bagaimana pandangan anda terhadap penebangan liar kayu mangrove? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 6. Setujukah anda bila ekosistem mangrove yang ada di kawasan ini dilestarikan? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
141
7. Apakah ada peraturan desa/adat yang mengatur tentang pemanfaatan hutan mangrove demi kelestariannya? (a) banyak (b) ada (c) tidak ada (d) tahu tahu 8. Jika ada, apa bentuk peraturan tersebut? ............................................................ ............................................................................................................................. 9. Apakah anda setuju dengan peraturan desa/adat tersebut? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju alasannya: ............................................................................................................ ............................................................................................................................. C. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pelestarian Hutan Mangrove 1. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove (perencanaan rehabilitasi) yang digerakan atau difasilitasi pemerintah atau LSM? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 2. Apakah anda pernah melakukan pemeliharaan/penanaman mangrove atas kehendak sendiri? (a) selalu (b) sering (c) tidak pernah (d) tidak tahu 3. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove(pelaksanaan rehabilitasi) yang digerakan atau difasilitasi pemerintah atau LSM? (a) sering sekali (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 4. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove dalam evaluasi pelaksanaan rehabilitasi yang digerakan atau difasilitasi pemerintah atau LSM? (a) sering sekali (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 5. Apakah di desa ini sering dilakukan kegiatan penanaman mangrove oleh pemerintah? (a) sering (b)kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 6. Apakah di desa ini sering dilakukan kegiatan penanaman mangrove oleh LSM? (a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 7. Bagaimana menurut anda bahwa dalam pelestarian hutan mangrove perlu dilakukan dengan pengawasan? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 8. Setujukah anda bila pemerintah melakukan program pembinaan kepada masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat dapat berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
142
D. Keterlibatan Pemerintah Dalam Pelestarian Hutan Mangrove 1. Menurut anda pernahkah pemerintah atau LSM memprogramkan/ melaksanakan pelestarian hutan mangrove? (a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 2. Menurut anda adakah peraturan pemerintah yang membatasi jumlah penebangan dan ukuran kayu mangrove yang boleh ditebang? (a) banyak (b) ada (c) tidak ada (d) tidak tahu 3. Menurut anda pernahkah pemerintah mengadakan penyuluhan/pelatihan/ pembinaan kepada masyarakat tentang lingkungan hidup? (a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 4. Menurut anda pernahkah LSM mengadakan penyuluhan/pelatihan/pembinaan kepada masyarakat tentang lingkungan hidup? (a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 5. Bagaimana menurut anda pembangunan sarana dan prasarana kesiapan infrastruktur di desa ini? (a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) buruk
6. Bagaimana menurut anda bila ada suatu ketetapan peraturan daerah yang mengatur tentang pelestarian hutan mangrove? (a) sangat baik (b) baik (c) tidak baik (d) buruk 7. Menurut anda bagaimana kebijakan serta koordinasi dengan instansi terkait dalam bidang pelestarian hutan mangrove? (a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) buruk 8. Menurut anda apakah telah ada bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah untuk pelestarian mangrove di desa ini? (a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) tidak tahu E. Kelompok Yang Berupaya Memberi Berbagai Bentuk Pelayanan 1. Adakah wadah atau organisasi yang memberikan pelayanan berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove? (a) banyak (b) ada (c) tidak ada (c) tidak tahu 2. Wadah atau organisasi apa saja yang di desa ini? (a) wadah nelayan (b) wadah petani (c) tidak ada sama sekali lainnya (sebutkan): .............................................................................................. 3. Apakah wadah/organisasi tersebut bermanfaat bagi anda? (a) sangat bermanfaat (b) bermanfaat (c) kurang bermanfaat (d) biasa saja 4. Menurut anda apakah keberadaan wadah/organisasi dapat membantu usaha/kehidupan ekonomi anda? (a) sangat membantu (b) membantu (c) tidak membantu (d) tidak tahu
143
5. Agar wadah/organisasi yang memberikan pelayanan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove dapat efektif dengan baik maka: (a) perlu keterlibatan semua pihak (b) cukup masyarakat saja (c) cukup pemerintah saja
(d) tidak tahu
F. Manfaat Ekosistem Mangrove Bagi Masyarakat 1. Apakah anda setuju bahwa dengan tetap lestarinya hutan mangrove di kawasan ini dapat membawa manfaat bagi masyarakat sekitarnya? (a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 2. Manfaat yang anda peroleh dari hutan mangrove diantaranya adalah menangkap udang, kepiting , ikan dengan mudah! (a) setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 3. Pernahkah anda memanfaatkan mangrove sebagai bahan kayu bakar, bangunan, arang? (a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 4. Pernahkah anda memanfaatkan mangrove sebagai bahan baku obat-obatan? (a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 5. Setujukah anda bahwa fungsi dari ekosistem mangrove diantaranya sebagai pelindung pantai dari abrasi, angin badai, penangkap sedimen, limpur, peredam gelombang? (a) setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 6. Setujukah anda bahwa fungsi dari ekosistem mangrove diantaranya juga sebagai tempat hidup ikan, tempat memijah dan tempat mencari makan? (a) setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju 7. Pernahkah anda mencari kepiting (kerang) di mangrove? (a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu 8. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan, kepiting, dan udang? (a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh (d) tidak tahu 9. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil budidaya tambak? (a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh (d) tidak tahu 10. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil budidaya kerang? (a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh (d) tidak tahu
144
Pertanyaan Tambahan 1. Apakah saat anda menanam/pemeliharaan mangrove, apakah bibit tanaman mudah diperoleh? a. Sangat sulit b. Cukup mudah c. Sangat mudah 2. Berapa kali dalam sebulan pertemuan dengan pemerintah/ LSM dilakukan? a. Tidak pernah b. 1-2 kali c. >2 kali 3. Apakah kelompok bermanfaat bagi anda (masuk atau tidak masuk anggota kelompok)? a. Kurang bermanfaat b. Biasa saja c. Sangat bermafaat 4. Menurut anda apakah keberadaan kelompok dapat membantu usaha/kehidupan ekonomi anda? a. Tidak membantu b. Membantu c. Sangat membantu 5. Menurut anda apakah keberadaan kelompok dapat membantu pengelolaan/ penanaman mangrove? a. Tidak membantu b. Membantu c. Sangat membentu 6. Menurut anda apakah keberadaan kelompok perlu dipertahankan? a. Tidak perlu b. Perlu c. Sangat Perlu 7. Apakah bapak/ibu merasakan perbedaan antara kondisi hutan mangrove 4 tahun terakhir dengan sekarang? a. Tidak b. Ya 8. Perbedaannya dimana? a. Jarak melaut semakin jauh/dekat b. Jumlah tangkapan berkurang/bertambah c. Jenis ikan berkurang/bertambah d. Sering terjadi gelombang besar/badai e. ................................................................... f. ................................................................... 9. Menurut bapak/ibu, apa yang menjadi kendala dalam pengembangan kawasan tersebut? ............................................................................................................ .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 10. Menurut bapak/ibu, permasalahan apa yang menjadi prioritas untuk diatas di desa ini? ............................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 11. Menurut bapak/ibu, solusi apa dan bagaimana yang bapak/ibu harapkan? ....... ..............................................................................................................................
145
Lampiran 7. Foto-foto Penelitian
Kondisi mangrove di Sei Tuan (Jalur I) Desa Pematang Lalang
Kondisi Mangrove di Desa Pematang Lalang (Jalur III)
Kondisi Mangrove di Desa Percut (Jalur V)
Kondisi Mangrove di Paluh Panglima (Jalur IX) Desa Tanjung Rejo
Pembuatan Jalur Transek
Pengukuran Diameter Pohon
146
Lampiran 7 (Lanjutan)
Excoecaria agallocha
Avicennia officinalis
Avicennia marina
Rhizophora sp
147
Lampiran 7 (Lanjutan)
Egretta sp
Mycterea cinerea
Phalacrocorax sp
Ardea purpurea
Limosa sp
Helcyon sp