PENGARUH VARIABEL MAKRO EKONOMI TERHADAP PEMBIAYAAN BERMASALAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR PADA PERBANKAN SYARIAH PERIODE 2009-2013 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh: Annisa Kurniasih Fauziyah NIM: 1111046100073
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) JAKARTA 1436 H/2015 M
PENGARUH VARIABEL MAKRO EKONOMI TERHADAP PEMBIAYAAN BERMASALAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR PADA PERBANKAN SYARIAH PERIODE 2009-2013 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
Annisa Kurniasih Fauziyah NIM: 1111046100073 Pembimbing:
Supriyono, S.E., M.M.
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) JAKARTA 1436 H/2015 M i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Seluruh sumber yang saya gunakan selama penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universtias Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18
Juni
2015M
01 Ramadhan 1436H
Annisa Kurniasih Fauziyah
iii
ABSTRACT
The purpose of thisresearch is to analyze the influence of variable economic macro (Exchange Rate, Inflation, BI Rate and Growth of Export) toward the non performing finance on manufacture sector. The data for assessing this research are acquired from the monthly data from January 2009 to Desember 2013. Statistical test used ini this research is Multiple Regression Test. The result of the research shows that indipendent variables (Exchange Rate, Inflation, BI Rate and Growth of Export) simultaneously have significant impact to non performing finance on manufacture sector. The Inflation and BI Rate partially have an impact on NPF. While Exchange Rate and Growth of Export do not have impact to NPF on manufacture sector.
Keywords: NPF of Manufacture Sector, Exchange Rate, Inflation, BI Rate, Growth of Export.
iv
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel ekonomi makro (Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate dan Pertumbuhan Ekspor) terhadap pembiayaan bermasalah sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah di Indonesia. Data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data time series bulanan yaitu dari bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2013. Uji Statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Regresi Linear Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel ekonomi makro (Nilai Tukar, Inflasi, BI Ratedan Pertumbuhan Ekspor) berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor Industri Manufaktur. Secara parsial Inflasi dan BI Rate berpengaruh signifikan negatif dan positif terhadap pembiayaan bermasalah sektor Industri Manufaktur.
Kata Kunci: Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur, Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Ekspor dan Analisis Regresi Linier Berganda.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada pembimbing umat manusia baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik berkat dukungan berbagai pihak maka dari itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar selaku dekan FSH, Bapak Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. selaku ketua Prodi Muamalat dan Bapak Abdurrauf, M.A. selaku Sekretaris Prodi Mumalat yang telah memberikan saran dan bantuan dalam proses penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. H. Hasanuddin, M.Ag. selaku dosen Penasihat Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan kegiatan akademik dari awal perkuliahan hingga selesai. 3. Bapak Supriyono S.E., M.M., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, terimakasih atas curahan ilmu yang disampaikan dengan penuh cinta kepada kami. 5. Kedua orang tua tercinta Papa Sugiman dan Mama Nina Arlina, terima kasih atas doa berbalut kesabaran dan dukungan berbingkai kasih sayang yang selalu diberikan kepadaku untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai hal. 6. Seluruh keluarga besar tercinta, dari keluarga Abah Narta maupun keluarga Mbah Darmorejo. vi
7. Untuk seseorang yang setia menemani penulis, yang tak pernah henti memberi saran, semangat dan kasih sayang. 8. Teman-teman Perbankan Syariah angkatan 2011 khususnya kelas B yang tidak bisa disebutkan satu persatu semoga persahabatan kita tetap terjaga dengan baik sampai akhir menutup mata. 9. Teman-teman KKN Care 122, baik akhwat maupun ikhwan semoga ukhuwah kita tetap terjaga. 10. Dan berbagai pihak yang telah membantu penulis selama masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Semoga segala amalan yang baik tersebut akan memperoleh balasan rahmat dan karunia Allah SWR, Amin. Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang ada pada penulis, sehingga tidak menutup kemungkinan bila terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi amalan bagi ilmu pengetahuan dan membuka jalanku untuk meraih cita-cita, Amiin Yaa Rabbal‟alamiin. Jakarta, 18 Juni 2015
Annisa Kurniasih Fauziyah
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii ABSTRACT .................................................................................................................. iv ABSTRAK ................................................................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiii BAB I ........................................................................................................................... 1 A.
LATAR BELAKANG ..................................................................................... 1
B.
PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH .................................... 10
C.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ................................................. 12
D.
REVIEW STUDI TERDAHULU .................................................................. 13
E.
KERANGKA TEORI DAN KONSEP .......................................................... 16
BAB II ........................................................................................................................ 21 A.
KONSEP DAN RISIKO PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH ......... 21 1. Konsep Pembiayaan ....................................................................................... 21 2. Risiko Pembiayaan ......................................................................................... 24
B.
PEMBIAYAAN BERMASALAH ................................................................ 26 1. Pengertian Pembiayaan Bermasalah .............................................................. 26 2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah ................................................................ 27 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah .................................................................. 29
C.
INDUSTRI MANUFAKTUR ........................................................................ 30 1. Pengertian dan Peranan Industri Manufaktur ................................................. 30
viii
2. Klasifikasi Industri Manufaktur ..................................................................... 31 D.
MAKRO EKONOMI ..................................................................................... 36 1. Pengertian dan Perkembangan Makro Ekonomi ............................................ 36 2. Makro Ekonomi dalam Perspektif Islam ........................................................ 38 3. Indikator Makro Ekonomi .............................................................................. 40
E.
3.1
Nilai Tukar ........................................................................................... 41
3.2
Inflasi.................................................................................................... 43
3.3
Suku Bunga (BI Rate) .......................................................................... 46
3.4
Pertumbuhan Ekspor ............................................................................ 49
HIPOTESIS PENELITIAN ........................................................................... 50
BAB III ...................................................................................................................... 52 A.
RUANG LINGKUP PENELITIAN ............................................................... 52
B.
JENIS DAN PENDEKATAN PENELITIAN ............................................... 52
C.
POPULAS DAN SAMPEL ........................................................................... 53
D.
JENIS DATA DAN SUMBER DATA .......................................................... 54
E.
METODE PENGUMPULAN DATA ............................................................ 54
F.
METODE ANALISIS .................................................................................... 55
G.
DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL ..................................................... 60
BAB IV ...................................................................................................................... 64 A.
GAMBARAN UMUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA .......... 64
B.
ANALISIS DATA ......................................................................................... 67 1. Analisis Deskriptif.......................................................................................... 67 2. Analisis Regresi Linear Berganda .................................................................. 75 2.1
Uji Asumsi Klasik ................................................................................ 75
2.1.1
Uji Normalitas............................................................................... 75
2.1.2
Uji Multikolinearitas ..................................................................... 76
2.1.3
Uji Autokorelasi ............................................................................ 77
2.1.4
Uji Heteroskedastisitas ................................................................. 78
ix
2.2
Goodness of Fit .................................................................................... 79
2.2.1
Uji F .............................................................................................. 79
2.2.2
Uji t ............................................................................................... 80
2.2.3
Uji R2 (Koefisien Determinasi) ..................................................... 82
2.3
Uji Regresi ........................................................................................... 83
BAB V........................................................................................................................ 89 A.
KESIMPULAN .............................................................................................. 89
B.
SARAN .......................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 92 LAMPIRAN .............................................................................................................. xiv
x
DAFTAR TABEL
No.
Keterangan
Halaman
1.1 Penyaluran Dana Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional Tahun 2009.................................................................................................... 1 1.2 Pembiayaan BUS, UUS, dan BPRS terhadap Sektor Industri Manufaktur di Indonesia Periode 2009-2013 (Dalam Milyar Rupiah).................................................................................. 2 1.3 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) Periode 2009-2013.................................. 4 1.4 Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) Periode 2009-2013 (Dalam Milyar Rupiah)...................................................6 1.5 Pergerakan Nilai Variabel Makro Ekonomi (Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate, dan Pertumbuhan Ekspor) Periode 2009-2013................................ 8 1.6 Penelitian Terdahulu...................................................................................... 13 2.1 Klasifikasi NPF berdasarkan Kemampuan Bayar Nasabah (debitur) dalam Bank Syariah....................................................................................... 28 3.1 Definisi Operasional Variabel........................................................................ 63 4.1 Perkembangan Nilai Tukar RupiahTerhadap Dollar Periode 2009-2013 (Dalam Rupiah).............................................................................................. 67 4.2 Tingkat Inflasi di IndoesiaPeriode 2009-2013 (Dalam Persentase)............... 69 4.3 Perkembangan BI Rate Periode 2009-2013 (Dalam Persentase)................... 70 4.4 Pertumbuhan Ekspor Periode 2009-2013 (Dalam Persentase)...................... 71 4.5 NPF Industri Manufaktur Periode 2009-2013 (Dalam Persentase)................73 4.6 Uji Multikolinearitas dengan Nilai Tolerance dan VIF(Variance Inflation Factor)........................................................................................................... 76 4.7 Uji Autokorelasi dengan Durbin-Watson (DW)............................................ 77 4.8 Uji F............................................................................................................... 79 4.9 Uji t................................................................................................................ 80 4.10 Uji Koefisien Determinasi............................................................................ 82 4.11 Uji Signifikansi Model................................................................................. 83 4.12 Laba Rugi Gabungan BUS, UUS (Dalam Milyar Rupiah) Dan Laba Rugi Gabungan BPRS (Dalam Juta Rupiah) Periode 2009-2013................................... 88
xi
DAFTAR GAMBAR
No. 1.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8
Keterangan
Halaman
Kerangka Konsep ......................................................................................... Grafik Variabel Nilai Tukar (X1) ................................................................. Grafik Variabel Inflasi (X2) ......................................................................... Grafik Variabel BI Rate (X3) ....................................................................... Grafik Variabel Pertumbuhan Ekspor (X4) .................................................. Grafik Variabel NPF Industri (Y) ................................................................ Grafik Variabel Penelitian (Y, X1, X2, X3,X4) ............................................... Grafik Uji Normalitas .................................................................................. Hasil Uji Heterokedastisitas .........................................................................
20 68 69 70 72 73 74 75 78
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Data-Data Variabel Penelitian Tahun 2009-2013 .......................... xiv Lampiran 2: Uji Normalitas ................................................................................ xvi Lampiran 3: Uji Multikolinearitas dan Autokorelasi .......................................... xvii
Lampiran 4: Uji Heterokedastisitas .....................................................................xviii
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pembiayaan merupakan salah satu fungsi dari kegiatan Bank khususnya Bank Syariah sebagai lembaga intermediasi dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Oleh karena itu amat penting bagi bank syariah dalam menganalisa pembiayaan yang diberikan sebagai bagian dari manajemen resiko. Berbeda halnya dengan perbankan konvensional yang banyak menyalurkan dana pada sektor keuangan melalui penempatan dana pada Bank Indonesia maupun bank lain disertai pembelian surat berharga, penyaluran Dana Pihak Ketiga (DPK) pada perbankan syariah seyogyanya ditunjukkan pada sektor ekonomi riil yaitu sektor yang mampu memberikan output hasil produksi sebagaimana terlihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Penyaluran Dana Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional Tahun 2009 Penyaluran Dana Bank Umum Syariah Bank Umum Konvensional Sektor Riil Pembiayaan / Kredit 83 % 63 % Sektor Keuangan Penempatan pada BI 6% 17,5 % Penempatan pada Bank 5% 11,5 % lain Surat Berharga 6% 6% Penyertaan 0% 0% Tagihan lainnya 0% 2% Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (Data diolah)
1
Berdasarkan tabel 1.1 dapat terlihat penyaluran dana pada bank umum syariah sebagian besar disalurkan melalui pembiayaan sebesar 83% jika dibandingkan bank umum konvensional yang hanya mengucurkan dana kredit sebesar 63%. Penyaluran dana pihak ketiga pada bank konvensional masih banyak yang tersalurkan pada sektor keuangan dengan transaksi yang penuh dengan ketidakpastian dan aksi spekulasi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan konvensional tidak memiliki dampak pada ekonomi riil, hal tersebut merupakan dampak dari penyaluran dana pada sektor bebas resiko seperti Sertifikat Bank Indonesia. Sebaliknya dana yang disalurkan perbankan syariah memiliki dampak cukup besar bagi perkembangan sektor riil sebab produk pembiayaan perbankan syariah dengan skim profit and lost sharing dan paradigma kemitraan dinilai sangat tepat bagi pengembangan usaha yang menghasilkan output produksi yakni salah satunya pada sektor industri manufaktur. Sebagaimana
terlihat
dari
peningkatan
Pembiayaan
Sektor
Industri
Manufaktur pada Data Statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada tabel 1.2. Tabel 1.2 Pembiayaan BUS, UUS, dan BPRS pada Sektor Industri Manufaktur di Indonesia Periode 2009-2013 (Dalam Milyar Rupiah) 2009
2010
2011
2012
2013
BUS & UUS
1.579
2.337
4.077
5.008
6.029
BPRS
20.420 24.635 33.781 31.314 39.681
Total
21.999 26.972 37.858 36.322 45.710
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia
2
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui pertumbuhan pembiayaan sektor peindustrian naik dari 21,9 triliun Rupiah pada tahun 2009 menjadi 50,5 triliun Rupiah di tahun 2014 dengan jumlah pembiayaan yang lebih besar pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah jika dibandingkan dengan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Lebih lanjut kenaikan pembiayaan sektor perindustrian menunjukan pertumbuhan industri manufaktur semakin meningkat di Indonesia. Hal ini dapat membawa dampak positif
karena Industri mempunyai peranan penting sebagai
sektor pemimpin (leading sector). Leading Sector maksudnya adalah dengan pembangunan industri maka akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor lainnya seperti pertanian dan jasa.1 Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku bagi industri. Sektor jasapun berkembang dengan adanya industrialisasi tersebut, misalnya
berdirinya
lembaga-lembaga
keuangan,
pemasaran/periklanan
dan
sebagainya. Hal ini menyebabkan munculnya peluang kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan permintaan masyarakat (daya belinya) dimana menunjukkan bahwa perekonomian tumbuh dan sehat.2 Diantara sembilan sektor produksi yakni pertanian dan peternakan, pertambangan dan penggalian, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan,
1
Basuki Pujoalwanto, Perekonomian Indonesia: Tinjauan Historis, Teoritis dan Empiris, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), hlm.221. 2 Ibid, hlm.221.
3
pengangkutan, keuangan, jasa-jasa, industri manufaktur adalah penyumbang terbesar (25%) dalam produk domestik bruto (PDB) sebagaimana terlihat dari tabel 1.3.3 Tabel 1.3 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) Periode 2009-2013 Lapangan Usaha 2009 2010 857.196 985.470 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 592.060 719.710 2. Pertambangan dan Penggalian 1.477.541 1.599.073 3. Industri Manufaktur 49.119 4. Listrik, Gas dan 46.680 Air Bersih 555.192 660.890 5. Bangunan 744.513 882.487 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 353.739 423.172 7. Pengangkutan dan Komunikasi 405.162 466.563 8. Keuangan 574.116 660.365 9. Jasa-Jasa 5.606.203 6.446.851 Total PDB Sumber: Badan Pusat Statistik
2011 1.091.447
2012 1.193.452
2013 1.310.427
876.983
972.458
1.026.297
1.806.140
1.972.523
2.152.802
55.882
62.271
70.339
753.554 1.023.724
844.090 1.148.791
907.267 1.301.175
491.287
549.105
635.302
535.152 785.014 7.419.187
598.433 889.798 8.230.925
682.973 1.000.691 9.087.276
Tabel diatas menunjukkan peningkatan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan di Indonesia selama periode 2009-2013 setiap tahun dengan sektor Industri Manufaktur sebagai penyumbang terbesar bagi peningkatan PDB sebesar 1,4 Triliun Rupiah pada tahun 2009, tahun 2010 sebesar 1,6 Triliun Rupiah, 2011 sejumlah 1,8 Triliun Rupiah, 2012 sebesar 1,9 Triliun Rupiah dan 2013 sebesar 2,1 Triliun Rupiah. 3
Diakses pada 20 Oktober 2014 pada laman http://komunitas.yellowpages.co.id/kompetisidi-sektor-industri/
4
Sedangkan sektor penyumbang terbesar kedua bagi PDB Indonesia pada tahun 2013 secara berturut-turut adalah sektor pertanian sejumlah 1,31 Triliun Rupiah, perdagangan 1,30 Triliun Rupiah, pertambangan 1,02 Triliun Rupiah, jasa 1 Triliun Rupiah, bangunan 907 Milyar Rupiah, keuangan 682 Milyar Rupiah, pengangkutan dan komunikasi 635 Milyar Rupiah, dan listrik, gas dan air bersih sejumlah 70 Milyar Rupiah. Peningkatan produktivitas industri manufaktur akan berdampak besar pada perekonomian. Sebagai traded sector, sektor industri manufaktur akan meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia di pasar dunia. Hampir semua negara maju mencapai tingkat kematangan perekonomiannya karena pertumbuhan industri yang pesat. Seiring dengan meningkatnya pembiayaan industri manufaktur pihak Bank tidak boleh lengah dalam melakukan analisa kelayakan dan pengawasan terhadap pembiayaan pada sektor industri manufaktur sehingga dapat meminimalisir pembiayaan bermasalah yang dapat terjadi di kemudian hari. Pembiayaan bermasalah sendiri terjadi saat pihak nasabah sebagai penerima pembiayaan tidak dapak memenuhi kewajibannya kepada pihak Bank.
5
Tabel 1.4 Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah Periode 2009-2013 (Dalam Milyar Rupiah)
Januari 2009 Mei 2009 September 2009 Januari 2010 Mei 2010 September 2010 Januari 2011 Mei 2011
Industri Manufaktur BUS & UUS 296 294 183 190 186 190 102 140
September 2011 Januari 2012 Mei 2012 September 2012 Januari 2013 Mei 2013 September 2013
Industri Manufaktur BUS & UUS 160 131 176 140 125 78 208
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Tabel diatas memaparkan mengenai jumlah Pembiayaan Bermasalah Industri Manufaktur pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sepanjang periode 2009-2013
dimana
mengalami
fluktuasi.
Pembiayaan
Bermasalah
Industri
Manufaktur terlihat tinggi pada awal tahun 2009 sebesar 296 Milyar Rupiah hal ini seiring dengan terjadinya krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang diawali kredit macet perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat yang kemudian diikuti dengan kenaikan harga minyak dunia. Resesi karena kekacauan ini memiliki pengaruh besar dalam menjungkalkan perekonomian global, sebab aliran kredit dan pinjaman antar-bank tersendat, termasuk pinjaman untuk konsumsi, sedangkan transaksi perdagangan terganggu. Sedangkan dampak yang terjadi dari krisis global tersebut di Indonesia ditandai dengan nilai tukar Rupiah yang terkoreksi hingga Rp. 10.950/USD di awal tahun 2009. Selain itu krisis ekonomi tersebut mengakibatkan adanya defisit neraca
6
pembayaran disertai anjloknya kinerja ekspor, merosotnya harga berbagai komoditi ekspor hingga kesulitan likuidasi yang terjadi.4 Sehingga pada akhirnya krisis ekonomi turut berimbas pada sektor industri manufaktur yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor terutama bagi perusahaan industri manufaktur yang melakukan pembiayaan pada bank-bank syariah. Lebih lanjut keadaan ekonomi yang semakin membaik di tahun 2010 juga mempengaruhi menurunnya Pembiayaan Bermasalah Industri Manufaktur. Akan tetapi pada akhir tahun 2013 Pembiayaan Bermasalah Industri Manufaktur mengalami kenaikan dari Mei 2013 sebesar 78 Milyar Rupiah menjadi 208 Milyar Rupiah pada September 2013. Kenaikan tersebut seiring dengan kenaikan hargaharga pasca naiknya harga bahan bakar minyak yang diumumkan pemerintah pada Juni 2013. Pembiayaan bermasalah menurut Siswanto disebabkan oleh faktor internal seperti rendahnya kemampuan bank dalam melakukan analisis kelayakan pembiayaan, pengikatan jaminan pembiayaan yang kurang sempurna, serta kurangnya pengalaman nasabah penerima pembiayaan dalam bidang usaha yang dijalani. Akan tetapi faktor internal tersebut bukanlah satu-satunya penentu yang mempengaruhi pembiayaan bermasalah. Oleh karena itu ia menambahkan
4
Bank Indonesia. 2009-2014. Outlook Ekonomi Indonesia. Hlm.55
7
bahwasanya terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya pembiayaan bermasalah yakni faktor eksternal berupa kondisi ekonomi.5 Berdasarkan studi literatur tersebut memberikan penjelasan bahwasanya Pembiayaan Bermasalah yang terjadi pada Industri Manufaktur turut dipengaruhi faktor eksternal. Oleh karena itu pihak Bank Syariah dalam melakukan analisa kelayakan pembiayaan pada industri manufaktur didasarkan tidak hanya dari faktor internal akan tetapi faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pembiayaaan bermasalah sektor perindustrian. Faktor eksternal tersebut berupa kondisi perekonomian yang bersifat makro yang terjadi disuatu negara. Tabel 1.5. Pergerakan Variabel Makro Ekonomi (Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate, dan Pertumbuhan Ekspor) Periode 2009-2013 Nilai Inflasi BI Ekspor Tukar (%) Rate (Milyar (Rupiah) (%) USD) Jan 2009 11.355 9,17 8,75 7,3 Mei 2009 10.340 6,04 7,25 9,3 Sep 2009 9.681 2,83 6,50 9,8 Jan 2010 9.365 3,72 6,50 11,6 Mei 2010 9.180 4,16 6,50 12,6 Sep 2010 8.924 5,80 6,50 12,2 Jan 2011 9.057 7,02 6,50 14,6 Mei 2011 8.537 5,98 6,75 18,3 Sep 2011 8.823 4,61 6,75 17,5 Jan 2012 9.000 3,65 6,00 15,6 Mei 2012 9.565 4,45 5,75 16,8 Sep 2012 9.590 4,31 5,75 15,9 Jan 2013 9.698 4,57 5,75 15,4 Mei 2013 9.802 5,47 5,75 16,1 Sep 2013 11.613 8,40 7,25 14,7 Sumber: Data Olahan (Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia) 5
Sutojo Siswanto. Management Kredit Bermasalah Konsep dan Kasus, (Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka, 2008), hlm.18
8
Tabel 1.5 Pergerakan Variabel Makro Ekonomi diatas memaparkan fluktuasi dari beberapa variabel yang ada antara lain Nilai Tukar Rupiah yang pada awal tahun 2009 sebesar Rp 11.355 turun menjadi kisaran Rp.8500-Rp.9500 selama tahun 20102012, akan tetapi pada September 2013 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar mengalamikenaikan. Begitupun yang terjadi dengan tingkat Inflasi pada awal tahun 2009 sebesar 9,17% meski sempat mengalami penurunan akan tetapi pada September 2013 kembali mengalami kenaikan menjadi 8,40%. Sedangkan BI Rate sempat mengalami penurunan pada pertengahan tahun 2010-2012 dari tahun 2009 sebesar 8,75%. Namun suku bunga BI kembali naik pada triwulan akhir 2013 menjadi 7,25%. Lebih lanjut kinerja ekspor Indonesia mengalami kenaikan secara bertahap dibanding setahun setelah terjadi krisis ekonomi global dimana januari tahun 2009 ekspor Indonesia naik dari 7,3 Milyar hingga 18,3 Milyar US $ pada Mei 2011, meskipun ekspor kembali mengalami fluktuasi di tahun 2012 dan penurunan di akhir 2013 namun penurunan tidak begitu besar. Berdasarkan temuan dimana Pembiayaan Bermasalah Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah mengalami fluktuasi dengan pola yang sama seiring pergerakan nilai dari variabel-variabel makro ekonomi akibat kondisi ekonomi yang terjadi, selain itu variabel makro ekonomi sebagai faktor eksternal memiliki kekuatan dibanding faktor internal karena variabel makro ekonomi dapat mempengaruhi penentuan kebijakan internal yang diambil pihak manajemen Bank Syariah seperti
9
dalam penentuan tingkat marjin murabahah dan bagi hasi mudharabah.6 Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “PENGARUH VARIABEL
MAKRO
EKONOMI
TERHADAP
PEMBIAYAAN
BERMASALAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE 2009-2013”.
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya dimana perubahan nilai dari Variabel Makro Ekonomi ternyata memiliki pola yang sejalan dengan fluktuasi jumlah Pembiayaan Bermasalah Industri Manufaktur. Fenomena tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pembiayaan bermasalah terjadi diakibatkan tidak hanya faktor internal bank maupun perusahaan melainkan oleh faktor eksternal seperi kondisi ekonomi yang tercermin melalui indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang dihitung dengan Pendapatan Nasional (GDP), penggangguran, inflasi, kurs valuta asing, serta neraca pembayaran (Ekspor/Impor), harga minyak mentah dalam negeri, lifting minyak dan gas. Permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh variabel-variabel makro ekonomi dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara. Dengan demikian karena adanya keterbatasan data yang dimiliki maka penulis membatasi masalah dengan pengaruh variabel makro yakni Nilai Tukar,
6
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Keempat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.272.
10
Inflasi, BI Rate dan Ekspor terhadap Pembiayaan Bermasalah yakni diwakili rasio NPF (Non Performing Finance) Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah di Indonesia. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan dalam penelitian sebagai berikut: 1.
Apakah Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate danPertumbuhan Ekspor berpengaruh terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor IndustriManufaktur secara simultan?
2.
Apakah Nilai Tukar, Inflasi, BI Ratedan Pertumbuhan Ekspor berpengaruh terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor IndustriManufaktur secara parsial?
11
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian: Menganalisis ada tidaknya pengaruh secara parsial maupun simultan dari variabel-variabel bebas dalam penelitian ini yakni Nilai Tukar, BI Rate, Inflasi, dan Ekspor terhadap Pembiyaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian: a. Bagi Instansi Terkait (Pihak Perbankan), penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pembiayaan khususnya pada sektor industri. b. Bagi Akademisi, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan referensi bagi peneliti selanjutnya.
12
D. REVIEW STUDI TERDAHULU Berikut ini daftar penelitian berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan bermasalah pada bank umum konvensional dan bank umum syariah di Indonesia maupun luar negeri: Tabel 1.6. Penelitian Terdahulu No
Peneliti, Judul
Tahun, Variabel
Metode Analisis
Hasil Penelitian
1
Ahmad dan Bashir (2013) “Explanatory of Macroeconomics Variables as Determinant of Non-Performing Loans: Evidence from Pakistan”. (Jurnal Asing)
Variabel Independen: growth in GDP, tingkat pengangguran, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, effective exchange rate, consumer price index, ekspor. Dependen: NPL
Ordinary Least Square Regression
Terdapat pengaruh signifikan negatif GDP growth, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, ekspor dan produksi industry dengan NPL. Selain itu ditemukan pengaruh signifikan positif antara consumer price index dengan NPL. Real Exchange Rate (Nilai Tukar) berpengaruh positif terhadap NPL sedangkan Inflasi dan GDP berpengaruh negatif terhadap NPL.
2
Ali dan Iva Shingjergji (2013) “An Analysis of the Non Performing Loans in the Albanian Banking System”. (Jurnal Asing)
Variabel Regresi Independent: Linear Inflation Rate, Berganda Interest Rate, Total Loans, Real Exchange Rate, GDP Growth Rate, dll. Variabel Dependen: NPL
13
No
Peneliti, Tahun, Judul Vighneswara Swamy (2012) “Impact of macroeconomic and endogenous factors on non performing bank assets”. (Jurnal Asing)
Variabel
4
Irum Saba, Rehana Kouser, dan Muhammad Azeem (2012) “Determinants of Non Performing Loans: Case of US Banking Sector”. (Jurnal Asing)
Real GDP per Capita, Inflation, and Total Loans as Independent variables, and Non Performing Loan Ratio as dependent variable.
5
Etem Hakan, Ergec, dan Bengul Gulumser (2011) “Impact of Interest Rates on Islamic and Conventional Banks: The Case of Turkey” (Jurnal Asing)
3
Metode Analisis Variabel Regresi Independent: Linear Inflation Rate, Berganda GDP Growth Rate, Index of Industrial Production, dll. Variabel Dependen: NPL
Hasil Penelitian Inflasi dan GDP tidak berpengaruh terhadap NPL, sedangkan Index of Industrial Production berpengaruh signifikan negatif terhadap NPL Bank Umum di India .
Ordinary Least Square Regression
Terdapat pengaruh yang signifikan antara GDP, Total pinjaman, dan tingkat suku bunga sebagai variabel independen terhadap NPL. Variabel Vector Kinerja bank Independen: Error syariah di Turki Interest Rate Correction di sisi pendanaan Variabel (VEC) dan Dependen: methodology pembiayaan Deposits and Loan dipengaruhi oleh in Islamic Banking tingkat suku bunga.
14
No 6
7
Peneliti, Tahun, Judul Zaskia Dwi P. dan Yulizar (2011) “Pengaruh Variabel Makro dan Mikro Terhadap NPL dan NPF”. (Jurnal Indonesia)
Tarron Khemraj dan Sukrishnalall Pasha (2004) “The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana”. (Jurnal Asing)
Variabel
Metode Analisis Variabel Vector Independen: Error Industrial Correction Production Index, (VEC) atau Inflation, Exchange Vector Auto Rate, SBIS, SBI, Regression FDR dll. (VAR) Variabel Dependen: NPL dan NPF. Variabel Regresi Independen: Linear Inflasi, Bank size, Berganda dan pertumbuhan kredit Variabel Independen: NPL
Hasil Penelitian Variabel yang berpengaruh terhadap NPL adalah Inflasi dan SBI sedangkan variabel yang berpengaruh terhadap NPF adalah FDR. Inflasi tidak signifikan terhadap NPL, Pertumbuhan kredit berpengaruh signifikan negatif terhadap NPL, Bank Size tidak berpengaruh terhadap NPL.
15
E. KERANGKA TEORI DAN KONSEP Pembiayaan bermasalah dapat terjadi karena ketidakmampuan debitur dalam mengembalikan pembiayaan yang diberikan oleh bank. Dalam bank syariah pembiayaan bermasalah dapat diukur dengan besarnya Non Performing Finance. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, NPF dapat dikategorikan menjadi pembiayaan kurang lancar (KL), diragukan (D) dan macet (M) 7. Sedangkan dua lainnya dalam kategori Performing Finance adalah golongan lancar (L), dan dalam perhatian khusus (DPK). Lebih lanjut berdasarkan penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah, faktor eksternal dapat mempengaruhi peningkatan pembiayaan bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Dimana dalam penelitian ini variabel makro ekonomi seperti Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate dan Ekspor digunakan sebagai faktor eksternal dari sisi kondisi ekonomi suatu negara. Nilai tukar atau kurs valuta asing didefinisikan sebagai jumlah
uang
domestik yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing (Sukirno, 2004). Para ekonom membedakan kurs menjadi 2, yaitu: kurs nominal dan kurs rill. Kurs nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs rill (real exchange rate) adalah harga relatif dari barangbarang kedua negara.
7
Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif.
16
Nilai tukar erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan luar negeri, karena dalam perdagangan luar negri, pembayarannya dilakukan dengan satu mata uang yang telah disepakati bersama. Salah satu pihak harus menukarkan mata uangnya menjadi mata uang yang telah disepakati. Sebagai mata uang lunak (soft currency), Rupiah Indonesia masih sangat terpengaruh oleh mata uang yang lebih kuat, terutama Dollar Amerika. Pergolakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mempunyai dampak yang cukup besar bagi kegiatan perekonomian Indonesia di pasar dunia. Seperti yang dinyatakan Kaminsky dan Reinhart bahwa depresiasi (penurunan) tak terduga nilai tukar mata uang domestik mengancam profitabilitas bank dan kinerja NPF.8 Lebih lanjut hal tsb dapat berdampak pada sektor perindustrian dalam hal mempengaruhi harga jual dari produk yang mereka hasilkan khususnya penjualan ke luar negeri (ekspor). Sedangkan Inflasi merupakan peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu. Ledakan inflasi telah membuat rumit perekonomian dan meningkatkan angka kemiskinan. Inflasi dua digit yang dipicu oleh melambungnya harga minyak dunia telah terbukti menjadi peristiwa yang banyak mengacaukan perekonomian dunia selama beberapa dekade terakhir sehingga banyak menimbulkan persoalan. Bahkan dampak inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar dibandingkan dengan angka inflasi itu sendiri. Inflasi telah mendepresiai nilai 8
Kaminsky, Graciela L. and Reinhart, Carmen M. „„The Twin Crises: The Causes of Banking and Balance-of-Payments Problems.‟‟ International Finance Discussion Paper No. 544, Board of Governors of the Federal Reserve System, March 1996.
17
kekayaan dan pendapatan riil masyarakat sehingga terjadi penurunan daya beli. Dalam kondisi demikian perusahaan dililit oleh biaya – biaya produksi dan pemasaran yang makin naik. Sehingga pendapatan perusahaan khususnya sektor industri makin
menurun. Hal ini berakibat pada terganggunya kelancaran
pengembalian pinjaman perusahaan ke bank dan berdampak terhadap risiko pembiayaan bermasalah. BI Rate merupakan suatu kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia mengenai suku bunga, yang diumumkan kepada publik dimana mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter. BI Rate diumumkan setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesiadan, nantinya kebijakan ini akan
diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia
melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Meskipun perbankan syariah tidak menggunakan tingkat suku bunga dalam kegiatan pengumpulan maupun penyaluran dana. Namun secara tidak langsung, para pelaku perbankan syariah menjadikan BI Rate sebagai benchmark dalam menentukan ekuivalen tingkat bagi hasil maupun margin pada akad jual beli. Sehingga perubahan dari tingkat suku bunga atau BI Rate turut mempengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah. 18
Ekspor merupakan pengiriman dan penjualan barang atau komoditas buatan dalam negari ke negara-negara lain. Proses ini seringkali digunakan oleh perusahaan dengan skala bisnis kecil sampai menengah sebagai strategi utama untuk bersaing di tingkat internasional. Ekspor merupakan salah satu bagian penting dari pendapatan nasional bagi negara dengan perekonomian terbuka. Pertumbuhan ekspor secara positif mempengaruhi sektor industri yang berorientasi pada perdagangan ekspor dan secara tidak langsung mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan. Kajian Stabilitas Keuangan Indonesia April 2013 menyatakan bahwa terdapat kekhawatiran atas pelemahan ekspor yang berkelanjutan, hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kinerja keuangan eksportir dan berdampak padapenurunan kemampuan dalam memenuhi kewajiban kepada perbankan. Apabila kemampuan eksportir memenuhi kewajiban mengalami penurunan, maka akan berdampak pada peningkatan Pembiayaan Bermasalah.
Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori dan hasil penelitian sebelumnya serta permasalahan yang telah dikemukakan, maka kerangka konsep dalam proses penelitian ini adalah sebagai berikut:
19
Gambar 1.1 Kerangka Konsep Perbankan Syariah Indonesia
Variabel Makro Ekonomi
Nilai Tukar (X1)
Inflasi (X2)
BI Rate (X3)
Pertumbuhan Ekspor (X4)
Pembiayaan Bermasalah (NPF) Sektor Industri Manufaktur (Y) Uji Asumsi Klasik: 1. Uji Normalitas 2. Uji Multikolinearitas 3. Uji Autokolinearitas 4. Uji Heterokedastisitas Uji Regresi Berganda
Uji Signifikansi Model: Y = α + β.X1 + β.X2 + β.X3 + β.X4
Uji F
Uji t
Uji Adjusted R2
Analisis
Kesimpulan 20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP DAN RISIKO PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH 1. Konsep Pembiayaan Pembiayaan merupakan salah satukegiatan pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut:9 a.
Pembiayaan Produktif Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi. - Pembiayaan Modal Kerja Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process) dan persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena itu pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory financing).
9
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 160-168
21
Dalam Bank Konvensional pemberian kredit modal kerja dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan berupa bunga. Sedangkan pada Bank Syariah bukan hanya dengan peminjaman uang melainkan pihak bank membantu memenuhi kebutuhan modal kerja dengan cara menjalin partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nasabah yang disepakati. - Pembiayaan Investasi Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah sebagai berikut: 1.
untuk pengadaan barang modal;
2.
mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3.
berjangka waktu menengah dan panjang. Pada umumnya pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar 22
dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu, barulah disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan. Penyusunan proyeksi arus kas ini harus disertai pula dengan perkiraan keadaan pada masa yang akan datang, mengingat pembiayaan investasi membutuhkan waktu yang panjang. Untuk memperkirakannya perlu diadakan perhitungan dan penyusunan proyeksi neraca dan laba rugi (projected balance sheet and projected income statement) selama jangka waktu pembiayaan. Dari perkiraan tersebut akan diketahui kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba (earning power) dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya (solvency). Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syariah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali. Skema lain yang dapat digunakan Bank Syariah adalah al-ijarah al muntahia bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan, surplus dan sumber23
sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.10 b. Pembiayaan Konsumtif Yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer meliputi kebutuhan pokok baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer baik berupa barang, seperti kendaraan dan perhiasaan maupun jasa seperti pariwisata, hiburan dan sebagainya.
2. Risiko Pembiayaan Sebagai suatu entitas bisnis, bank syariah akan selalu dihadapkan pada berbagai jenis risiko yang melekat pada kegiatan usahanya. Dimana risiko pembiayaan merupakan salah satu risiko yang harus diperhatikan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Perbankan bahwasanya kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat.
10
Muhyiddin Attiyah, al-Kasyasyaf al-Iqtisadi li Ayati Al-Qur’an al-Karim, dalam Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), h.168.
24
Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah ada dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Oleh karena itu diperlukan manajemen atas resiko pembiayaan yang ada sebagai bagian dari manajerial bank syariah. Manajemen resiko pembiayaan tersebut dapat dilakukan dengan cara:11 1. Melakukan analisis terhadap stakeholder (deposan, debitur, pemilik saham) untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan perilaku dari para stakeholder. 2. Memahami situasi atau peristiwa yang pernah diambil perusahaan yang dapat mendatangkan kerugian. 3. Melakukan penilaian atas risiko dan pengendalian yang ada. 4. Menyusun tanggapan atas risiko yang ada. 5. Menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko. 6. Mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko. 7. Melakukan pemantauan terhadap risiko dan pengelolaannya. Selain itu sebagai bentuk manajemen atas risiko pembiayaan dibentuk peraturan mengenai kualitas aktiva produktif. Berdasarkan pasal 1 butir b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/KEP/DIR tanggal 12 November
11
Robert Tampubolon, Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif untuk Bank Komersil, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hlm. 41.
25
1998, Kualitas Aktiva Produktif adalah penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, penyertaan komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. Dalam mengantisipasi terjadinya risiko kerugian atas berbagai investasi dalam aktiva produktif maka ditentukan Pembentukan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Cadangan umum yang sekurang-kurangnya sebesar 1% dari total aktiva produktif; b. Cadangan khusus untuk kredit atau pembiayaan yang diberikan sekurangkurangnya sebesar 5% dari pembiayaan Dalam Perhatian Khusus (DPK), 15% dari pembiayaan yang digolongkan Kurang Lancar (KL), 50% dari pembiayaan yang digolongkan Diragukan (D), 100% dari pembiayaan Macet (M). Masing-masing setelah dikurangi nilai agunan tunai berupa giro, deposito, atau tabungan yang diblokir bank.Apabila jumlah PPAP lebih kecil dari seharusnya dibentuk maka jumlah kekurangan tersebut diperhitungkan sebagai pengurang modal inti perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
B. PEMBIAYAAN BERMASALAH 1. Pengertian Pembiayaan Bermasalah Pembiayaan bermasalah adalah suatu keadaan dimana debitur mengingkari janji mereka membayar keuntungan dan atau kredit induk yang telah 26
jatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran.12 Sedangkan menurut Arifin pembiayaan dikatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu menghadapi risiko yang ditimbulkan oleh pembiayaan tersebut berupa pengembalian cicilan pokok dan keuntungan dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya.13 Dalam bank syariah alat ukur dari besaran tingkat pembiayaan bermasalah adalah melalui Non Performing Finance. Dimana NPF adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah.
NPF 2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah Pembiayaan bermasalah dapat terjadi karena ketidakmampuan debitur dalam mengembalikan pembiayaan yang diberikan oleh bank. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, NPF dapat dikategorikan menjadi pembiayaan kurang lancar (KL), diragukan (D) dan macet (M)14. Sedangkan dua lainnya dalam kategori Performing Finance adalah golongan lancar (L), dan dalam perhatian khusus (DPK).
12
Sutojo Siswanto. Management Kredit Bermasalah Konsep dan Kasus, (Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka, 2008), hlm.13 13 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Azkia Publisher, 2009), hlm.263. 14 Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Hlm.18
27
Sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: Table 2.1. Klasifikasi NPF berdasarkan Kemampuan Bayar Nasabah dalam Bank Syariah Jenis
Kategori yang diperhitungkan dalam NPF
Pembiayaan
Kurang Lancar
Murabaha,
Tunggakan
Tunggakan
Tunggakan lebih
Istishna’,
lebih dari 90
lebih dari 180
dari 270 hari
Ijarah, Qard
hari s.d 180
hari s.d 270
hari
hari
Telah jatuh
Telah jatuh
tempo s.d 60
tempo s.d 90
hari
hari
Salam
Diragukan
Macet
Lebih dari 90 hari
Mudharabah, Tunggakan s.d
Tunggakan
Musyarakah
lebih dari 90 s.d 180 hari; realisasi
90 hari realisasi
Tunggakan lebih
bagi hasil diatas 180 hari;
pendapatan kurang
30% s.d 90%
realisasi bagi
dari 30% dari
dari proyek
hasil kurang
proyeksi
pendapatan
dari 30%
pendapatan lebih dari 3 periode pembayaran
Lebih lanjut faktor penyebab pembiayaan bermasalah menurut Sutojo Siswanto terbagi menjadi:15 c. Faktor Internal Bank
15
Sutojo Siswanto. Management Kredit Bermasalah Konsep dan Kasus, (Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka, 2008), hlm.18
28
1. Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan permintaan pembiayaan yang diajukan oleh calon debitur. 2. Lemahnya sistem administrasi pembiayaan serta administrasi bank. 3. Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham. 4. Pengikatan jaminan pembiayaan yang kurang sempurna. d. Faktor Debitur (Perusahaan/Perorangan) 1. Salah urus (missmanagement) 2. Kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemilik dalam bidang usaha yang dijalani. 3. Penipuan e. Faktor Eksternal 1. Perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang merugikan 2. Bencana alam 3. Kebijakan Pemerintah 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah Meningkatnya jumlah kredit atau pembiayaan bermasalah dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat khususnya nasabah Bank Syariah. Selain itu dampak lainnya dari pembiayaan bermasalah menurut Ismail adalah sebagai berikut:16 a. Laba/Rugi Bank menurun 16
Ismail, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 125
29
Penurunan laba tersebut diakibatkan adanya penurunan pendapatan bagi hasil atau marjin keuntungan Bank Syariah a. Rasio Aktiva Produktif menjadi lebih besar b. Biaya Pencadangan Penghapusan Kredit meningkat c. ROA maupun ROE Bank menurun.
C. INDUSTRI MANUFAKTUR 1. Pengertian dan Peranan Industri Manufaktur Menurut Undang-Undang RI No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian mengemukakan bahwa industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan bahan jadi menjadi barang yang lebih tinggi untuk penggunaannya. Industri mempunyai peranan penting sebagai sektor pemimpin (leading sector). Leading Sector maksudnya adalah dengan pembangunan industri maka akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor lainnya seperti pertanian dan jasa.17 Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku
bagi
industri.
Sektor
jasapun
berkembang
dengan
adanya
industrialisasi tersebut, misalnya berdirinya lembaga-lembaga keuangan, pemasaran/periklanan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan munculnya
17
Basuki Pujoalwanto, Perekonomian Indonesia: Tinjauan Historis, Teoritis dan Empiris, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), hlm.221.
30
peluang kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan permintaan masyarakat (daya belinya) dimana menunjukkan bahwa perekonomian tumbuh dan sehat. 2. Klasifikasi Industri Manufaktur Industri dikelompokkan berdasarkan beberapa sudut tinjauan atau pendekatan, antara lain sebagai berikut:18 1.
Industri Berdasarkan Bahan Baku a. Industri ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam. b. Industri non ekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih lanjut hasil-hasil industri lain. c. Industri fasilitatif atau disebut juga industri tertier. Kegiatan industrinya adalah dengan menjual jasa layanan untuk keperluan orang lain.
2.
Industri Berdasarkan Tenaga Kerja a. Industri rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. b. Industri kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang. c. Industri sedang, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang..
18
Ibid hlm. 215-220.
31
d. Industri besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. 3.
Industri Berdasarkan Produksi yang Dihasilkan a. Industri primer, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda yang tidak perlu pengolahan lebih lanjut.. b. Industri sekunder, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda yang membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum dinikmati atau digunakan.
4.
Industri tertier, yaitu industri yang hasilnya tidak berupa barang atau benda yang dapat dinikmati atau digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung, melainkan berupa jasa layanan yang dapat mempermudah atau membantu kebutuhan masyarakat.
5.
Industri Berdasarkan Bahan Mentah a. Industri pertanian, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang diperoleh dari hasil kegiatan pertanian. b. Industri pertambangan, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang berasal dari hasil pertambangan.
6.
Industri jasa, yaitu industri yang mengolah jasa layanan yang dapat mempermudah
dan
meringankan
beban
masyarakat
tetapi
menguntungkan. 7.
Industri Berdasarkan Lokasi Unit Usaha
32
Keberadaan suatu industri sangat menentukan sasaran atau tujuan kegiatan industri. Berdasarkan pada lokasi unit usahanya, industri dapat dibedakan menjadi: a. Industri berorientasi pada pasar (market oriented industri) b. Industri berorientasi pada tenaga kerja (employment oriented industri) c. Industri berorientasi pada pengolahan (supply oriented industri) d. 8.
Industri berorientasi pada bahan baku
Industri yang tidak terikat oleh persyaratan yang lain (footloose industri), yaitu Industri ini dapat didirikan di mana saja, karena bahan baku, tenaga kerja, dan pasarnya sangat luas serta dapat ditemukan di mana saja.
9.
Industri Berdasarkan Proses Produksi a. Industri hulu, yaitu industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. b. Industri hilir, yaitu industri yang mengolah barang setengah jadi menjadi barang jadi sehingga barang yang dihasilkan dapat langsung dipakai atau dinikmati oleh konsumen
10. Industri Berdasarkan Barang yang Dihasilkan a. Industri berat, yaitu industri yang menghasilkan mesin-mesin atau alat produksi lainnya.
33
b. Industri ringan, yaitu industri yang menghasilkan barang siap pakai untuk dikonsumsi. 11. Industri Berdasarkan Modal yang Digunakan a. Industri dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yaitu industri yang memperoleh dukungan modal dari pemerintah atau pengusaha nasional (dalam negeri). b. Industri dengan Penanaman Modal Asing (PMA), yaitu industri yang modalnya berasal dari penanaman modal asing. c. Industri dengan modal patungan (join venture), yaitu industri yang modalnya berasal dari hasil kerja sama antara PMDN dan PMA. 12. Industri Berdasarkan Subyek Pengelola a. Industri rakyat, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik rakyat. b. Industri negara, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik Negara yang dikenal dengan istilah BUMN, 13. Industri Berdasarkan Cara Pengorganisasian Cara pengorganisasian suatu industri dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti:
modal,
tenaga
kerja,
produk
yang
dihasilkan,
dan
pemasarannya. a. Industri kecil, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif kecil, teknologi sederhana, pekerjanya kurang dari 10 orang biasanya dari kalangan keluarga, produknya masih sederhana, dan 34
lokasi pemasarannya masih terbatas (berskala lokal). Misalnya: industri kerajinan dan industri makanan ringan. b. Industri menengah, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relative besar, teknologi cukup maju tetapi masih terbatas, pekerja antara 10-200 orang, tenaga kerja tidak tetap, dan lokasi pemasarannya relative lebih luas (berskala regional). Misalnya: industri bordir, industri sepatu dan industri mainan anak-anak. c. Industri besar, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal sangat besar, teknologi canggih dan modern, organisasi teratur, tenaga kerja dalam jumlah banyak dan terampil, pemasarannya berskala nasional atau internasional. Misalnya: industri barang-barang elektronik, industri otomotif, industri transportasi. Sedangkan industri yang tergabung kedalam industri manufaktur berdasarkan pengelompokkan pembiayaan yang dilakukan pada Bank Syariah di Indonesia antara lain:19 Industri Makanan dan Minuman; Industri Pengolahan Tembakau; Industri Tekstil; Industri Pakaian Jadi; Industri Kulit dan Alas Kaki; Industri Kayu, Barang dari Kayu, Anyaman; Industri Kertas; Industri Penerbitan, Percetakan; Industri Pengilangan Minyak; Industri Kimia; Industri Karet; Industri Barang Galian Bukan Logam (Gelas, Proselin);
Industri Logam Dasar; Industri Barang dari Logam; Industri
19
Pedoman Penyusunan Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan BUS dan UUS hlm. 1805-1824
35
Mesin; Industri Peralatan Kantor; Industri Mesin Listrik; Industri Radio, TV, dan Peralatan Komunikasi; Industri Peralatan Kedokteran; Industri Kendaraan Bermotor.
D. MAKRO EKONOMI 1. Pengertian dan Perkembangan Makro Ekonomi 1.1 Pengertian Makro Ekonomi Makro ekonomi adalah ilmu ekonomi yang mempelajari aspek menyeluruh dari kegiatan ekonomi. Ilmu ekonomi pada dasarnya merupakan studi yang mempelajari tentang pemenuhan kebutuhan manusia. Selain makro ekonomi dalam ilmu ekonomi terdapat pula pembahasan mengenai mikro ekonomi. Jika mikro ekonomi adalah studi yang mempelajari bagaimana setiap rumah tangga dan perusahaan mengambil keputusan terkait pemenuhan kebutuhan dan berinteraksi dipasar, maka makro ekonomi menangani kepada isu-isu yang bersifat makro atau lebih luas lagi.20 Dalam ekonomi makro apabila yang dibicarakan adalah mengenai produsen, maka yang diperhatikan adalah kegiatan produsen-produsen dalam keseluruhan ekonomi. Begitu pula, apabila yang diperhatikan ialah mengenai tingkah laku konsumen, yang dianalisis adalah tingkah laku keseluruhan
20
Karl E Case dan Ray C Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro.(Jakarta: Pearson Education Asia, 2002), hlm.8.
36
konsumen dalam menggunakan pendapatannya untuk membeli barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian. 1.2 Perkembangan Makro Ekonomi Sejak berabad-abad yang lalu ahli-ahli ekonomi seperti Adam Smith (1723-1790), Jean Baptis Say (1767-1832), John Maynard Keynes (1883-1946), telah menyadari tentang wujudnya masalah-masalah ekonomi utama yang dihadapi setiapperekonomian, yaitu masalah pengangguran dan inflasi. Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang kemudian dikenal sebagai Wealth of Nations tahun 1776 mengemukakan analisis ilmu ekonomi dengan melepaskan teori moral atau teologis. Dalam arti, untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi diperlukan dasar-dasar ilmiah sebagaimana halnya para ahli ilmu pengetahuan alam dalam memahami berbagai gejala alam. Gejala ekonomi seperti kenaikan harga barang dan pengangguran menunjukkan adanya gangguan keseimbangan sistem ekonomi.
Karenanya
masalah
ekonomi
akan
teratasi
jika
ekonomi
dikembalikkan pada kondisi keseimbangan. Lebih lanjut ia percaya sistem ekonomi akan mampu menyeimbangkan dirinya sendiri (self adjustment).21 Sebelum terjadinya kelesuan perekonomian dunia tahun 1929-1932 yang dikenal Great Depression, ilmu ekonomi tidak mengenal dikotomi mikro-makro. Fokus pembahasan ilmu ekonomi pada masa sebelum krisis tsb adalah perilaku individu dalam mencapai keseimbangan. Kemunduran ekonomi tersebut 21
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Jakarta: Alfabeta, 2010), hlm. 30.
37
menimbulkan kesadaran kepada ahli-ahli ekonomi bahwa mekanisme pasar tidak dapat secara otomatis menimbulkan pertumbuhan ekonomi teguh (full employment). Sehingga ketimampuan mengapa peristiwa kemunduran ekonomi dapat terjadi membawa ahli ekonomi Inggris, John Maynard Keynes mengemukakan pandangan dan menulis buku The General Theory of Employment, Interset and Money yang menjadi landasan teori makro ekonomi modern. Dimana ia berpendapat lemahnya teori klasik tentang asumsi pasar yang dianggap terlalu idealis dan lebih menekankan pada penawaran. Selain itu ia mengemukakan bahwa dalam sistem pasar bebas full employment tidak selalu tercipta. Karena pokok pemikiran Keynes yang mulai memperhatikan dimensi global atau agregat (makro) dalam analisisnya juga memasukkan unsur pemerintah sebagai pemangku kebijakan membuat Keynes dijuluki sebagai bapak ilmu ekonomi makro. Oleh sebab itu semenjak lama mereka telah mencoba memahami dan menerangkan
sebab-sebab
timbulnya
masalah
tersebut
dan
seterusnya
menganalisis peranan pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut. Analisisanalisis tersebut yang sekarang membentuk teori makroekonomi.
2.
Makro Ekonomi dalam Perspektif Islam Perbedaan esensial antara ilmu makro ekonomi konvensional dan ilmu
38
makro ekonomi Islam, yaitu sebagai berikut:22 a. Perbedaan utama terkait dengan uang Dalam ekonomi konvensional, pandangan mengenai uang dimana terdiri dari dua mazhab: - Uang adalah flow concept (teori Irving Fisher). Menurut Irving Fisher uang harus selalu diputar dalam perekonomian, agar dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ia mengemukakan bahwa semakin cepat perputaran uang maka semakin tinggi pula pendapatan nasional yang dihasilkan suatu negara. - Pandangan konvensional berikutnya tentang uang adalah uang sebagai stock
concept
yang
dikembangkan
oleh
Alfred
Marshall.
Ia
mengungkapkan uang sebagai barang modal, karena uang diasumsikan sebagai barang modal maka uang boleh ditumpuk untuk menjadi kekayaan. Jumlah uang beredar adalah jumlah proposi tertentu uang yang ingin dipegang. Sedangkan konsep uang dalam ekonomi Islam adalah flow concept, dimana harta tidak boleh ditumpuk melainkan harta yang dimiliki harus disirkulasikan. Pendapat ekonom Islam tentang uang sebagai flow concept telah dikemukakan oleh Imam Ghazali jauh sebelum dikemukakan oleh Irving Fisher. Dimana ia mengemukakan bahwa uang ibarat cermin: uang tidak punya harga tetapi uang bisa merefleksikan semua harga. Imam Ghazali 22
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Jakarta: Alfabeta, 2010), hlm. 27
39
mengatakan uang ibarat air (flow concept). Lebih lanjut perbedaan berikutnya tentang uang adalah dalam ekonomi konvensional tidak dibedakan antara uang dan modal (capital). Dalam Islam uang adalah public goods, sementara capital adalah private goods. Karena sebagai public goods maka uang tidak boleh diperdagangkan. b. Perbedaan utama terkait posisi peranan pemerintah Dalam pemerintahan Islam sangat dihindari terjadinya defisit anggaran (budget deficit). Dalam pemerintahan Islam hanya satu kali ditemui defisit anggaran, yaitu pada saat persiapan penaklukan Mekah dimana tidak cukup modal untuk penaklukan, sehingga pemerintah melakukan pinjaman kepada para sahabat dan langsung dibayarkan setelah masuknya penerimaan negara.
3.
Indikator Makro Ekonomi Berbagai literatur mengemukakan indikator dari makro ekonomi seperti diungkap Sadono Sukirno dimana ia membagi persoalan makro ekonomi pokok menjadi antara lain: pendapatan nasional, pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta neraca pembayaran, kurs valuta asing, dan kestabilan ekonomi.23 Sedangkan Lembaga Penelitian Ekonomi IBII menetapkan model makro dengan menggunakan variabel-variabel seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat
23
Sadono Sukirno, Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.4-16
40
inflasi, suku bunga, anggaran pemerintah, dan neraca berjalan.24 Lebih lanjut Pracoyo Tri dan Antyo menerangkan bahwa yang menjadi kajian perhatian ekonomi makro adalah variabel total seperti, pendapatan total, produksi total, konsumsi, tabungan dan investasi serta ekspor-impor total suatu negara. Materimateri tentang ekonomi moneter, perdagangan internasional, ekonomi pembangungan masuk kedalam kelompok ekonomi makro.25 3.1
Nilai Tukar
a. Teori Nilai Tukar Uang Konvensional Nilai tukar uang atau kurs valuta asing didefinisikan sebagai nilai seunit valuta (mata uang) asing apabila ditukarkan dengan mata uang domestik (dalam negeri).26 Sistem nilai tukar biasa dipakai dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu pergerakan dari nilai tukar akan mempengaruhi transaksi yang menggunakan mata uang asing.27 Lebih lanjut fluktuasi nilai tukar juga berpengaruh terhadap laba rugi bank sebab adanya resiko pertukaran mata uang (foreign exchange risk).28 Meskipun aktivitas tresuri syariah tidak terpengaruh resiko kurs secara langsung karena adanya syarat tidak boleh melakukan transaksi yang bersifat spekulasi tetapi bank syariah tidak akan dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing.29 Risiko kurs ini akan
24
LPE IBII, Makro Ekonomi Indonesia, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 85. Tri K Pracoyo dan Antyo, Aspek Dasar Ekonomi Makro di Indonesia Seri Pertama, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 3. 26 Sadono Sukirno, Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.197. 27 Ibid, hlm. 196 28 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Keempat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.274. 29 Ibid, hlm. 274. 25
41
meningkat bila jumlah posisi yang diambil besar, baik posisi long maupun short, dan fluktuasi pasar tinggi. Oleh karena itu bank syariah perlu menetapkan exposure limit, transaction limit, currency limit, turnover limit, cut loss limit, intraday limit, dan counterparty limit.30 Sedangkan kurs valuta asing dapat dibedakan menjadi dua sistem yakni, kurs tetap dan kurs fleksibel. Adapaun yang dimaksud dengan kurs tetap adalah sistem penentuan nilai mata uang asing dimana bank sentral menetapkan harga berbagai mata uang asing tersebut dan harga tersebut tidak diubah dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan sistem kurs fleksibel adalah nilai mata uang asing yang ditetapkan berdasarkan perubahan permintaan dan penawaran di pasaran valuta asing dari hari ke hari. 31 b. Teori Nilai Tukar dalam Perspektif Islam Kebijakan nilai tukar uang dalam Islam menganut sistem “Managed Floating”, dimana nilai tukar adalah hasil dari kebijakan-kebijakan pemerintah (bukan merupakan cara atau kebijakan itu sendiri) karena pemerintah tidak mencampuri keseimbangan yang terjadi di pasar kecuali jika terjadi hal-hal yang mengganggu keseimbangan itu sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa suatu nilai tukar yang stabil adalah merupakan hasil dari kebijakan pemerintah yang tepat.32
30
Ibid, hlm. 274. 31 Sadono Sukirno, Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.197 32 M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Jakarta: Alfabeta, 2010), hlm. 116.
42
3.2 Inflasi a. Inflasi dalam Ekonomi Konvensional Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga secara umum secara terus menerus dari suatu perekonomian. Inflasi menurut Rahardja dan Manurung adalah gejala kenaikan harga barangbarang yang bersifat umum dan berlangsung secara terus menerus.33 Sedangkan menurut Sadono Sukirno inflasi yang berarti kenaikan harga barang dan jasa terjadi karena permintaan pasar bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang di pasar. Dengan kata lain terlalu banyak uang yang memburu barang terlalu sedikit.34 Inflasi merupakan salah satu masalah dalam perekonomian yangselalu dihadapi setiap negara dengan tingkat inflasi yang berbeda setiap waktu. Oleh karena inflasi tidak dapat dihindari, maka dibutuhkan kebijakan makro ekonomi dalam mengatasi inflasi yakni menstabilkan harga dan memprediksikan terjadinya inflasi. Sehingga masyarakat mampu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan kepada sumber penyebabnya inflasi dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu:35 1.
Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation)
33
Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Makroekonomi ( Jakarta: LPFE-UI, 2004), hlm. 155. 34 Sadono Sukirno, Makroekonomi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 333. 35 Sadono Sukirno, Makroekonomi Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 13.
43
Yaitu inflasi yang terjadi karena kenaikan permintaan atas suatu komoditas. Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian yang berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi
dan
selanjutnya
menimbulkan
pengeluaran
yang
melebihi
kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Pengeluaran yang berlebihan ini yang akan menimbulkan inflasi, karena terlalu banyak uang yang beredar. 2.
Inflasi desakan biaya (cost push inflation) Inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi. Hal itu dapat dikarenakan kenaikan harga input seperti biaya upah dan gaji tenaga kerja yang meningkat, kenaikan sewa bangunan dan harga bahan mentah.
3.
Inflasi diimpor (imported inflation) Inflasi jenis ini terjadi saat terjadinya inflasi di luar negeri salah satunya diakibatkan kenaikan harga minyak dunia. Ketika itu harga minyak naik sebanyak tiga kali lipat tahun 1973-1974 yang dilakukan oleh negara-negara produsen minyak di Timur Tengah. Hal tersebut menyebabkan biaya produksi industri di berbagai negara ikut mengalami kenaikan karena minyak petroleum merupakan sumber energi yang penting bagi industri. Pada periode berikutnya para pekerja menuntut upah dan gaji dan tuntutan ini memperburuk masalah inflasi yang berlaku.
44
b. Inflasi dalam Ekonomi Islam Dalam ekonomi Islam tidak dikenal dengan inflasi, karena mata uang yang dipakai adalah dinar dan dirham yang mana mempunyai nilai yang stabil dan dibenarkan oleh Islam – namun dinar dan dirham disini adalah dalam artian yang sebenarnya yaitu yang dalam bentuk emas maupun perak bukan dinardirham yang sekedar nama. Adiwarman Karim mengatakan bahwa Syekh AnNabhani memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang sesuai itu adalah dengan menggunakan emas, antara lain:36 - Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum yang baku dan tidak berubah-ubah, ketika Islam mewajibkan diyat, maka yang dijadikannya sebagai ukurannya adalah dalam bentuk emas, - Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang dan beliau menjadikan hanya emas dan perak sebagai standar uang, - ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, Allah telah mewajibkan zakat tersebut dengan nisab emas dan perak, - hukum hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas dan perak, begitu pun dengan transaksi lain yang dinyatakan dalam emas dan perak. Lebih lanjut dalam perekonomian Islam untuk menjaga stabilitas tingkat harga ada beberapa hal yang dilarang yaitu:
36
Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, (Jakarta: Kencana, 2008),
hlm.189
45
- permintaan yang tidak riil. Permintaan uang hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga, - penimbunan mata uang, - transaksi tallaqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung atau daerah pinggiran diluar kota untuk dijual kembali di pusat kota demi mendapatkan keuntungan dari ketidakpastian harga. - segala bentuk riba.
3.3 Suku Bunga (BI Rate) a. Suku Bunga dalam Ekonomi Konvensional Suku Bunga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar oleh bank dan/atau nasabah sebagai balas jasa atas transaksi antara bank dan nasabah.37 Perbedaan harga yang diaplikasikan dengan adanya perbedaan bunga kredit dalam perbankan konvensional dan simpanan yang disebut spread. Sedangkan Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur bulanan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia menetapkan kebijakan terkait suku bunga yang disebut BI Rate. Nantinya kebijakan ini akan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Konsep dari suku bunga BI Rate ini memang ditujukan pada kegiatan 37
Ismail, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 131.
46
operasi perbankan khususnya konvensional. Akan tetapi perbankan syariah tidak bisa lepas dari pengaruh penetapan BI Rate meski perbankan syariah tidak menggunakan instrumen suku bunga. Sesuai dengan teori penetapan marjin keuntungan dan nisbah bagi hasil pembiayaan bank syariah dimana dalam penetapan marjin dan nisbah,suku bunga perbankan konvensional dalam hal ini (BI Rate) digunakan sebagai salah satu rujukan oleh ALCO (Asset Liabilities Commitee) Bank Syariah. Teori Penetapan Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan Bank Syariah: 1.
Referensi Tingkat (Marjin) Keuntungan a.
Direct Competitor’s Market Rate (DCMR): DCMR merupakan tingkat marjin keuntungan rata-rata perbankan syariah yang ditetapkan dalam rapat ALCO Bank Syariah.
b.
Indirect Competitor’s Market Rate (ICMR): ICMR merupakan tingkat suku bunga perbankan konvensional.
c.
Expected Competitive Return for Investors (ECRI): ECRI adalah target bagi hasil kompetitif yang diharapkan dapat diberikan kepada dana pihak ketiga.
d.
Acquiring Cost: Biaya yang dikeluarkan oleh bank yang langsung terkait dengan upaya memperoleh dana pihak ketiga.
e.
Overhead Cost: Biaya yang dikeluarkan oleh bank yang tidak langsung terkait dengan upaya memperoleh dana pihak ketiga.
2.
Perkiraan Tingkat Keuntungan Bisnis yang Dibiayai 47
Perkiraan ini dihitung berdasarkan pertimbangan perkiraan penjualan, lama cash to cash cycle, perkiraan biaya-biaya langsun maupun tidak langsung, delayed factor.38 Seperti yang dijelaskan oleh Karim bahwa apabila bagi hasil pendanaan syariah lebih kecil dari tingkat bunga, maka nasabah akan beralih menggunakan bank konvensional, sebaliknya pada sisi pembiayaan apabila margin yang dikenakan lebih besar dari tingkat suku bunga, maka nasabah akan berpaling pada bank konvensional. Oleh karena itu BI Rate digunakan sebagai acuan atau benchmark penentuan margin keuntungan dan nisbah bagi hasil pembiayaan sehingga bank syariah mampu bersaing dengan bank konvensional.39 b. Suku bunga dalam perspektif Islam Pada zaman Rasulullah dan khulafaur rasyidin kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen bunga. Dalam perkonomian kapitalis tingkat bunga seringkali berfluktuasi, yang sengaja hanya disimpan pun akan terus menerus beruabah. Penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat sebesar 2,5% per tahun tidak hanya dapat meminimalisasi permintaan spekulatif akan uang maupun penyimpanan uang yang diakibatkan oleh tingkat bunga, melainkan juga memberikan stabilitas yang lebih tinggi terhadap permintaan uang. Dalam sistem ekonomi Islam, bank sentral harus mengarahkan kebijakan moneternya untuk membiayai 38
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Keempat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.286. 39 Ibid, hlm.272-273.
48
pertumbuhan potensial dalam output jangka menengah dan panjang demi mencapai harga yang stabil dan tujuan-tujuan sosio-ekonomi Islam.40
3.4 Pertumbuhan Ekspor Secara fisik, ekspor diartikan sebagai pengiriman dan penjualan barangbarang buatan dalam negri ke negara-negara lain. Ekspor merupakan bagian dalam perekonomian suatu negara dengan sistem perekonomian terbuka, karena dalam sistem perekonomian terbuka sebagian output yang dihasilkan dijual secara domestik dan sebagian lagi diekspor ke luar negri. Ekspor menimbulkan aliran pengeluaran yang masuk ke sektor perusahaan. Dengan demikian pengeluaran agregat akan meningkat sebagai akibat dari kegiatan mengekspor barang dan jasa dan pada akhirnya keadaan ini akan menyebabkan peningkatan dalam pendapatan nasional.41 Peningkatan pendapatan inilah yang mampu mendorong debitur untuk melunasi pembayaran pembiayaannya.
40 41
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Jakarta: Alfabeta, 2010), hlm. 105 Sadono Sukirno, Makroekonomi Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 32.
49
E. HIPOTESIS PENELITIAN Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu ingin membuktikan pengaruh variabel indpenden terhadap variabel dependen, maka hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1.
Hipotesis pertama: H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Nilai Tukar, BI Rate, Inflasi, Ekspor, secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah. H1 :Terdapat pengaruh antara Nilai Tukar, BI Rate, Inflasi, Ekspor, secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah.
2.
Hipotesis kedua: H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Nilai Tukar terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial. H1 : Terdapat pengaruh antara Nilai Tukar terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial.
3.
Hipotesis ketiga: H0 : Tidak
terdapat
pengaruh
antara
Inflasi
terhadap
Pembiayaan
Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial. H1 : Terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial. 4.
Hipotesis keempat: 50
H0 :Tidak terdapat pengaruh antara BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial. H1 :Terdapat pengaruh antara BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial. 5.
Hipotesis kelima: H0 : Tidak
terdapat
pengaruh
antara
Ekspor
terhadap
Pembiayaan
Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial. H1 : Terdapat pengaruh antara Ekspor terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur secara parsial.
51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini akan menganilisis bagaimana pengaruh variabel ekonomi makro (Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate dan Ekspor) terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah. Oleh karena itu obyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Perbankan Syariah (Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah) di Indonesia selama 60 bulan periode 2009-2013.
B. JENIS DAN PENDEKATAN PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif hal itu dikarenakan objek penelitian berupa data statistik yang diperlukan pengujian hipotesis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiyono mengenai penelitian kuantitatif dimana metode penelitian berlandaskan pada filsafat positif yang digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan.42 Sedangkan pendekatan penelitian memakai pendekatan statistika parametrik, maksudnya adalah bagian statistika yang parameter populasinya harus memenuhi syarat- syarat tertentu seperti syarat data berskala interval/ rasio, syarat pengambilan 42
Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, ( Bandung: Pusat Bahasa Depdiknas, 2009 ), h.14.
52
sampel harus random, berdistribusi normal atau normalitas, model regresi linear, dan lain- lain. Dalam statistika parametrik, indikator- indikator yang dianalisis adalah parameter- parameter dari ukuran objek yang bersangkutan.
C. POPULAS DAN SAMPEL Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.43 Dalam penelitian ini populasi yang ada adalah perbankan syariah di Indonesia. Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Metode purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan subjektif peneliti dimana syarat yang dibuat sebagai kriteria harus dipenuhi oleh sampel. Kriteria bank syariah yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah memperoleh izin resmi dari Bank Indonesia dengan jumlah BUS sebanyak 11 unit, 23 UUS dan 163 unit BPRS.
2.
Bank-bank syariah yang memiliki data pembiayaan bermasalah sektor industri manufaktur selama periode pengamatan (2009-2013) dimana telah dilaporkan kepada Bank Indonesia.
43
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian (Bandung: CV Alfabeta, 2008), hlm. 61.
53
D. JENIS DATA DAN SUMBER DATA Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat time series. Data sekunder merupakan data atau informasi yang diperoleh dari pihak kedua atau data yang dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Data yang digunakan berupa Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah, Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate yang diambil dari Laporan Statistik Perbankan Syariah tahunan Bank Indonesia dan data Pertumbuhan Ekspor yang diambil dari Badan Pusat Statistik serta data lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini dari tahun 2009 hingga 2013 dengan data bulanan sebanyak 60 data tiap variabel.
E. METODE PENGUMPULAN DATA Metode pengumpulan data dalam penlitian ini melalui dua cara, yaitu studi pustaka dan publikasi online. Metode studi pustaka yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi, dan mengkaji berbagai literatur pustaka seperti berbagai majalah, jurnal, dan sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian. Publikasi online yaitu mengumpulkan data dengan cara mengakes laman atau situs-situs dari lembaga resmi pemerintahan yang berhubungan dengan penelitian ini.
54
F. METODE ANALISIS Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear berganda digunakan untuk menelaah bentuk hubungan antara dua variable atau lebih terutama untuk menelusuri pola hubungan yang modelnya belum diketahui atau untuk
mengetahui
bagaimana
variasi
dari
beberapa
variable
independen
mempengaruhi variable dependen dalam suatu fenomena yang kompleks.44 Proses dalam metode analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap yakni uji asumsi klasik yaitu uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan ujiheteroskedastisitas. Selanjutnya pelaksanaan uji t yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial, uji F digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh antara variabel independen terhadap dependen secara simultan, dan determinasi ( adjusted R2) untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya. 1.
Uji Asumsi Klasik 1.1. Uji Normalitas Data Uji Normalitas yang lebih kompleks dan lengkap juga disebut dengan uji kesesuaian model ( Goodness of Fit ( GOF ))dimaksudkan untuk menguji apakah model yang diusulkan memiliki kesesuaian ( fit ) dengan data atau tidak. Suatu model dikatakan fit apabila matrik korelasi sampel
44
Ibid, hlm. 187.
55
tidak jauh beda dengan matrik korelasi estimasi.45 Salah satu cara untuk melihat data yang telah memenuhi uji normalitas adalah dengan menggunakan normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. 1.2. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi diantara variabel
independen. Uji Multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation factor (VIF) dari hasil analisis dengan menggunakan SPSS. Apabila nilai tolerance value lebih tinggi dari 0, 10 atau VIF lebih kecil dari 10 maka dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas.46 1.3. Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakan dalam sebuah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t- 1 sebelumnya. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu satu sama lainnya. Salah satu asumsi model regresi linier adalah tidak terdapatnya autokorelasi. Autokorelasi adalah korelasi antara sesama urutan pengamatan dari waktu
45
Edi Riadi, Metode Statistika Parametrik & Non Parametrik, ( Tangerang: PT. Pustaka Mandiri, 2014) cet- 2, hlm.93. 46 Imam Ghozali, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, ( Semarang:Badan Penerbit UNDIP, 2009), hlm. 95.
56
ke waktu. Untuk memeriksa adanya autokorelasi, biasanya dilakukan uji statistik Durbin- Watson. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Uji Autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin- Watson (D-W), dengan tingkat kepercayaan α = 5%. Apabila D-W terletak antara - 2 sampai + 2 maka tidak ada autokorelasi.47 1.4. Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas yaitu melihat hasil output SPSS melalui grafik scatterplot antara nilai prediksi variabel terikat ( dependen ) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID.48 Dasar analisis dari uji heteroskedastisitas adalah sebagai berikut: a.
Jika ada pola tertentu, seperti titik- titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.
b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik- titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. 47
Ibid, hlm. 95. Imam Ghozali, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, ( Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2009), h. 125- 126. 48
57
Setelah melakukan serangkaian uji asumsik klasik diatas, maka data yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan Persamaan Regresi Linier Berganda sebagai berikut berikut: NPF_Ind = α + β1NT + β2Inf + β3BI_R + β4Eks + ε Keterangan: NPF_Ind = Non Performing Finance Sektor Industri Manufaktur; NT = Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar; Inf = Inflasi; BI_R = Suku Bunga BI; Eks = Ekspor; α = Konstanta Regresi; β1, β2, β3, β4= Koefisien Regresi; ε = Variabel penggangu diluar variabel yang tidak dimasukkan sebagaivariabel dalam penelitian.
2. Uji Goodness of Fit Untuk memperoleh regresi yang baik, dalam arti secara statistic adalah BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), maka model regresi yang diajukan harus memenuhi kriteria berikut: 2.1. Uji Signifikan Simultan (Uji F) Pengujian ini bertujuan untuk membuktikan apakah variabel - variabel independen (X) secara simultan (bersama - sama) mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (Y).Uji simultan dengan uji F ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen. Apabila Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen 58
dengan menggunakan tingkat signifikan sebesar 5%, jika nilai Fhitung> Ftabel maka secara bersama - sama seluruh variabel independen mempengaruhi variabel dependen. Selain itu, dapat juga dengan melihat nilai probabilitas. Jika nilai probabilitas lebih kecil daripada 0,05 (untuk tingkat signifikansi= 5%), maka variabel independen secara bersama - sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar daripada 0,05 maka variabel independen secara serentak tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.49 2.2. Uji Signifikan Parsial (Uji t) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel individu independen secara individu dalam menerangkan variabel dependen. Apabaila thitung> ttabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima,yang berarti variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen dengan menggunakan tingkat signifikan sebesar 5%. Jika nilai probabilitas lebih kecil daripada 0,05 (untuk tingkat signifikansi = 5% ), maka variabel independen secara satu persatu berpengaruh terhadap variabel dependen. Sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar daripada 0,05 maka variabel independen secara satu persatu tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.
49
Imam Ghozali, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, ( Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2009), h. 88.
59
2.3. Koefisin Determinasi (R2) Uji Koefisien determinasi bertujuan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel bebas menjelaskan variabel terikat yang dilihat melalui adjusted R2. Adjusted R2 ini digunakan karena variabel bebas dalam penelitian ini lebih dari dua. Nilainya terletak antara 0 dan 1. Jika hasil yang diperoleh > 0, 5, maka model yang digunakan dianggap cukup handal dalam membuat estimasi.
G. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL Pada bagian ini akan diuraikan definisi dari masing – masing variabel yang digunakan berikut dengan operasional dan cara pengukurannya. 1.
Dependent Variable (Y) Adalah variabel yang perilakunya dipengaruhi variabel lainnya atau variabel independen. Dalam penelitian ini yang merupakan variabel dependen adalah Pembiaayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Bank Syariah yang diukur dengan rasio NPF (Non Performing Finance). Data NPF diambil dari Statistik Perbankan Syariah Indonesia berupa data bulanan mulai Januari 2009 sampai dengan Desember 2013.NPFsendiri dapat dihitung rumussebagai berikut: NPFInd. Manufaktur =
x100%
60
2.
Independent Variable (X) Adalah variabel yang nilainya mempengaruhi perilaku dari variabel terikat atau variabel dependen. Dalam penelitian ini, yang merupakan variabel independen adalah: a.
Nilai Tukar (X1) Nilai tukar adalah seunit valuta (mata uang) asing apabila ditukarkan dengan mata uang domestik (dalam negeri).50.Dalam penelitian ini menggunakan mata uang IDR (Indonesian Rupiah) sebagai mata uang domestic dengan USD (United State Dollar) sebagai mata uang asing.Selanjutnya data yang digunakan adalah harga tengah dari nilai tukar 1 Rupiah terhadap 1 Dollar AS.Data diambil dari website Bank Indonesia berupa data bulanan mulai dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2013.
b.
Inflasi (X2) Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Dalam penelitian ini data inflasi yang digunakan berasal dari Bank Indonesia dengan data bulanan dari bulan Januari 2009 hingga Desember 2013.
50
Sadono Sukirno, Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.197.
61
c.
BI Rate (X3) Suku Bunga dapat diartikan sebagai biaya atas pinjaman sejumlah uang. Tingkat suku bunga diproksikan dalam BI Rate. BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stancekebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.Data yang digunakan diambil dari website Bank Indonesia berupa data bulanan dari bulan Januari 2009 hingga Desember 2013.
d.
Pertumbuhan Ekspor (X4) Secara fisik ekspor adalah pengiriman dan penjualan barang-barang buatan dalam negeri ke Negara-negara lain. Pertumbuhan ekspor merupakan persentase kenaikan total ekspor pada periode tertentu terhadap periode sebelumnya. Data yang digunakan berasal dari website Badan Pusat Statistik berupa data bulanan dari bulan Januari 2009 hingga Desember 2013.
62
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Variabel Pembiayaan Bermasalah Industri Manufaktur (NPF Ind. ) Nilai Tukar (IDR/USD)
Definisi Operasional Rasio perbandingan pembiayaan bermasalah industri manufaktur terhadap total pembiayaan Harga mata uang IDR (Rupiah) yang dinyatakan dalam USD (Dollar)
Pengukuran
Skala
NPF Ind.
Rasio
=
Kurs Tengah=
Rasio
Inflasi
Kenaikan hargaharga barang bersifat umum secara terus menerus
Pengukuran tingkat Inflasi oleh Bank Indonesia dimana menggunakan Indeks Harga Perdagangan Besar yakni
Rasio
Suku Bunga (BI Rate)
Harga dari komoditi (uang/dana) yang diperjualbelikan oleh bank
Kebijakan BI Rate ditetapkan Dewan Gubernur BI setiap rapat Dewan Gubernur bulanan, dinyatakan dalam persentase (%)
Rasio
Pertumbuhan Ekspor
Persentase kenaikan total ekspor pada periode tertentu terhadap periode sebelumnya
Rasio
63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. GAMBARAN UMUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Sistem perbankan syariah mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1992 dengan momen dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang memungkinkan bank-bank di Indonesia menjalankan kegiatan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Momen perkembangan terus berlanjut pada saat era reformasi dengan disetujuinya UU No 10 Tahun 1998 yang mengatur landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dioperasikan oleh bank syariah. Di samping itu, kehadiran undang-undang ini juga memberikan arahan bagi bankbank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri menjadi bank syariah. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarangbunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor riil.
64
Dalam sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk (BMI) pada tanggal 1 November 1991 dan resmi beroperasi pada bulan Mei 1992 dengan modal awal Rp. 106.126.382.000,- dan dalam perkembangannya mulai awal beroperasi hingga bulan September 1999 BMI memiliki 45 outlet di seluruh wilayah Indonesia. Namun, menurut Siregar dalam periode 1992-1998 tidak terdapat hal berarti dalam perkembangan bank syariah yang disebabkan oleh beberapa hal: a. rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai bank syariah; b. belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank syariah; c. terbatasnya jaringan kantor perbankan syariah; dan d. kurangnya sumber daya insani (SDI) yang memiliki keahlian perbankan syariah. Oleh karena itu dengan dikeluarkannya UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 membuat keberadaan Bank Syariah diakui secara eksplisit. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu pada bulan April 1999 membentuk satuan kerja khusus yang menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001. Sebagai hasil dari upaya pengembangan perbankan syariah yang dilaksanakan secara intensif sejak dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 maka pertumbuhan perbankan syariah relatif pesat sejak tahun 1999. Pada awal tahun 1999 jumlah bank syariah baru terdapat 1 unit BUS dan 76 BPRS. 65
Sementara itu pada tahun 2009 yang merupakan periode awal penelitian ini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sepuluh tahun sejak amandemen UU No. 10/1998, jumlah BUS di Indonesia meningkat menjadi 6 bank sedangkan jumlah UUS sebanyak 25 unit. Membaiknya perekonomian dunia pasca krisis di tahun 2008 membuat optimisme menghampiri perkembangan perbankan syariah di tanah air. Pada kuartal ke-II tahun 2010 perkembangan perbankan syariah sempat diwarnai dengan goncangan krisis Yunani, namun tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pertumbuhan bank syariah di Indonesia. Tahun 2010 jumlah bank syariah kembali mengalami perkembangan yang signifikan dengan jumlah bank umum syariah sebanyak 11 bank. Meskipun jumlah unit usaha syariah mengalami penunrunan namun hal tersebut tidak mempengaruhi total aset perbankan syariah di Indonesia. Hingga tahun 2010 total aset perbankan syariah di Indonesia adalah sebesar Rp 97.519.000.000.000 meningkat sebesar 47%. Pada akhir periode pengamatan yakni tahun 2013 jumlah Bank Umum Syariah adalah sebanyak 11 BUS, 23 UUS dan 163 BPRS. Meskipun dalam perkembangannya perbankan syariah selalu “diintai” oleh siklus krisis ekonomi baik di dalam maupun luar negeri namun perbankan syariah justru mengalami perkembangan yang baik dengan angka pertumbuhan aset di atas 40% selama lima tahun berturut-turut.
66
B. ANALISIS DATA 1.
Analisis Deskriptif Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan pengolahan data SPSS 16 dan Microsoft Excel 2010. Variabel-variabel yang diteliti yaitu terdiri dari variabel independent; Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate dan Pertumbuhan Ekspor. Sedangkan variable dependennya adalah tingkat Non Performing Finance Sektor Industri Manufaktur. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut: 1.1 Nilai Tukar Data nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini adalah data perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2013. Data tersebut diperoleh dari situs www.bi.go.id Tabel 4.1. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Periode 2009-2013 (Dalam Rupiah) 2009 11355 Januari 11980 Februari 11575 Maret 10713 April 10340 Mei 10225 Juni 9920 Juli 10060 Agustus 9681 September 9545 Oktober 9480 November 9400 Desember Sumber: Bank Indonesia
2010 9365 9335 9115 9012 9180 9083 8952 9041 8924 8928 9013 8991
2011 9057 8823 8709 8574 8537 8597 8508 8578 8823 8835 9170 9068
2012 9000 9085 9180 9190 9565 9480 9485 9573 9590 9615 9605 9670
2013 9698 9667 9719 9722 9802 9929 10278 10924 11613 11234 11977 12189
67
Gambar 4.1 Grafik Variabel Nilai Tukar (X1)
Nilai Tukar 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Nilai Tukar
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Data Olahan Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar pada tahun 2009 hingga tahun 2013 mengalami fluktuatif. Nilai tukar dikatakan menguat atau tinggi jika besarnya nilai tukar rupiah semakin kecil terhadap dollar begitupula sebaliknya.Sepanjang tahun pengamatan nilai tukar rupiah tertinggi terhadap dollar terjadi pada bulan Juli tahun 2011 yakni sebesar Rp. 8.508,- per 1 USD , sedangkan nilai tukar rupiah terendah terhadap dollar terjadi pada bulan Desember 2013 sebesar Rp. 12.189,- per 1 USD.
1.2 Inflasi Data Inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data perkembangan tingkat inflasi per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2013.Data tersebut diperoleh dari situs www.bi.go.id.
68
Tabel 4.2. Tingkat Inflasi di Indoesia Periode 2009-2013 (Dalam Persentase) 2009 9.17 Januari 8.60 Februari 7.92 Maret 7.31 April 6.04 Mei 3.65 Juni 2.71 Juli 2.75 Agustus September 2.83 2.57 Oktober November 2.41 Desember 2.78
2010 3.72 3.81 3.43 3.91 4.16 5.05 6.22 6.44 5.80 5.67 6.33 6.96
2011 7.02 6.84 6.65 6.16 5.98 5.54 4.61 4.79 4.61 4.42 4.15 3.79
2012 3.65 3.56 3.96 4.50 4.45 4.53 4.56 4.58 4.31 4.61 4.32 4.30
2013 4.57 5.31 5.90 5.57 5.47 5.90 8.61 8.79 8.40 8.32 8.37 8.38
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 4.2 Grafik variabel Inflasi (X2)
Tingkat Inflasi 10 5
Tingkat Inflasi
0 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Data Olahan Berdasarkan data yang diperoleh tingkat inflasi cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun pengamatan tingkat inflasi tertinggi terjadi pada bulan Januari tahun 2009 sebesar 9,17% sedangkan inflasi terendah terjadi pada November 2009 sebesar 2,41%.
69
1.3 BI Rate Data BI Rate yang digunakan dalam penelitian ini adalah data perkembangan BI Rate per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2013. Data tersebut diperoleh dari situs www.bi.go.id. Tabel 4.3. Perkembangan BI Rate Periode 2009-2013 (Dalam Persentase) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2009 8.75 8.25 7.75 7.50 7.25 7.00 6.75 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50
2010 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50 6.50
2011 6.50 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.50 6.00 6.00
2012 6.00 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75
2013 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 6.00 6.50 7.00 7.25 7.25 7.50 7.50
Sumber: Bank Indonesia Gambar 4.3 Grafik variabel BI Rate (X3)
BI Rate 10 8 6 BI Rate
4 2 0 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Data Olahan
70
Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat perkembangan BI Rate di Indonesia pada tahun 2009 hingga tahun 2013 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun pengamatan tingkat suku bunga tertinggi terdapat pada bulan Januari 2009 yakni sebesar 8,75%, sedangkan yang terendah adalah terjadi sepanjang 2012 sebesar 5,75% hingga awal tahun 2013
1.4 Pertumbuhan Ekspor Data Pertumbuhan Ekspor yang digunakan dalam penelitian ini adalah data perkembangan Pertumbuhan Ekspor per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2013.Data tersebut diperoleh dari situs www.bps.go.id. Tabel 4.4. Pertumbuhan Ekspor Periode 2009-2013 (Dalam Persentase) 2009 -13,79 Januari 0,90 Februari 6,99 Maret 4,49 April 10,80 Mei -2,23 Juni -5,94 Juli 14,61 Agustus -11,95 September 31,51 Oktober Nopember -16,48 28,77 Desember
2010 -17,79 -0,32 15,12 -1,85 1,95 4,41 -1,96 14,30 -16,35 24,92 1,49 6,50
2011 -8,77 -4,06 13,77 1,90 5,27 2,52 -11,72 14,27 -11,07 1,62 1,21 -3,53
2012 -5,41 0,36 9,39 -10,09 4,02 0,62 6,29 -15,66 17,89 -6,49 8,02 -11,05
2013 5,86 -2,21 -5,72 1,76 8,00 -6,22 4,91 -21,36 22,93 5,41 -0,92 1,96
Sumber: Badan Pusat Statistik (Data Diolah)
71
Gambar 4.4 Grafik variabel Pertumbuhan Ekspor (X4)
Ekspor 14 12 10 8 6 4 2 0
Ekspor
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Data Olahan
Berdasarkan data yang diperoleh tingkat pertumbuhan ekspor cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun pengamatan tingkat pertumbuhan ekspor tertinggi terjadi pada bulan Oktober tahun 2009 sebesar 31,51% sedangkan pertumbuhan ekspor terendah terjadi pada Agustus 2013 sebesar -21,36%.
1.5 Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur Data Pembiayaan Bermasalah Industri Manufaktur yang diwakili rasio NPF dalam penelitian ini adalah berasal dari data perkembangan Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur dan data Jumlah Pembiayaan Sektor Industri Manufaktur per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2013. Data tersebut diperoleh dari situs www.bi.go.id.
72
Tabel 4.5. NPF Industri Manufaktur Periode 2009-2013 (Dalam Persentase) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
2009 21,78 22,16 21,82 20,70 21,93 15,62 13,89 12,50 12,42 14,21 12,07 11,70
2010 11,83 11,55 10,32 9,31 9,05 8,86 8,67 8,73 9,01 8,47 8,11 4,28
2011 4,46 4,23 4,13 5,62 5,48 4,75 5,48 5,19 5,59 4,14 3,71 3,18
2012 3,53 4,96 4,48 4,54 4,59 5,36 3,72 3,51 3,55 3,24 2,95 2,49
2013 2,45 2,60 2,34 2,43 1,42 1,41 1,56 1,68 3,63 3,62 3,98 4,27
Sumber: Bank Indonesia (Data Diolah)
Gambar 4.5 Grafik variabel NPF Industri (Y)
NPF Industri 30 20 NPF Industri
10 0 2009
2010
2011
2012
2013
Berdasarkan data yang diperoleh sepanjang tahun pengamatan NPF Industri Manufaktur tertinggi terjadi pada bulan Februari tahun 2009 sebesar 22,16% sedangkan NPF Industri Manufaktur terendah terjadi pada bulan Juni 2013 sebesar 1,41%.
73
Gambar 4.6 Grafik Variabel Penelitian (Y, X1, X2, X3,X4) 25 20
NPF Industri
15
Nilai Tukar
10
Inflasi
5
BI Rate
0
Ekspor 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Data Olahan Berdasarkan grafik diatas pergerakan variabel dependen yakni NPF Industri (Y) cenderung memiliki pola yang searah dengan beberapa variabel independen (X) seperti Nilai Tukar, Inflasi, dan BI Rate pada tahun pertama dalam penelitian ini. Hal ini terlihat pada kuartal kedua tahun 2009 variabel NPF Industri (Y) mengalami penurunan dari 21,78% pada bulan Januari menjadi 15,62% pada bulan Juni sedangkan variabel makro lain seperti Nilai Tukar (X1), Inflasi (X2), dan BI Rate (X3) sama-sama mengalami penurunan pada bulan Juni jika dibanding awal tahun dengan penurunan masing-masing sebesar 0,78%, 5,52%, 1,75%. Berbeda halnya dengan variabel makro lainnya, variabel Ekspor (X4) justru mengalami peningkatan selama tahun 2009 dari 4,9% pada bulan Januari menjadi 6,1% pada bulan Juni dan pada akhir tahun menjadi 8,2%. Hal ini menunjukkan kinerja ekspor yang meningkat kemungkinan berpengaruh dalam menurunkan nilai dari NPF Industri Manufaktur. Lebih lanjut variabel Inflasi (X2) dimana pada tahun sebelumnya sempat mengalami penurunan, selama tahun 2010 justru variabel ini mengalami peningkatan dari 3,72% dari bulan Januari menjadi 6,96% pada bulan Desember. Begitu pula yang terjadi pada variabel
74
Pertumbuhan Ekspor (X4) dimana Ekspor Indonesia mengalami peningkatan dari 6,7% pada bulan Januari menjadi 10,2% pada bulan Desember. Sedangkan dua variabel makro lain seperti Nilai Tukar (X1) dan BI Rate (X3) mengalami pergerakan yang cukup stabil di tahun 2010. Kenaikan tingkat Inflasi selama tahun 2010 ini berbanding terbalik dengan NPF Industri yang menurun pada kuartal pertama (Januari 2010 - Maret 2010) sebesar 1,51% dan stabil pada kuartal kedua dan ketiga pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan kenaikan tingkat Inflasi pada tahun ini memiliki pengaruh positif pada sektor Industri Manufaktur. Sedangkan selama tahun 2011-2012 baik variabel dependen (Y) maupun variabel independen (X) dalam penelitian ini cenderung mengalami pergerakan yang cukup stabil. Sementara pada kuartal ketiga tahun 2013 baik variabel dependen maupun independen cenderung mengalami kenaikan pada bulan Desember dibandingkan dengan bulan Januari dengan kenaikan masing-masing sebesar 1,82% (Y), 2,491% (X1), 3,81% (X2), 1,75 (X3), 0,3% (X4). 2.
Analisis Regresi Linear Berganda 2.1 Uji Asumsi Klasik 2.1.1 Uji Normalitas Gambar 4.7. Grafik P-Plot
Sumber: Output SPSS
75
Hasil uji normalitas data di atas, menunjukan bahwa data menyebar dan mengikuti arah garis diagonal. Maka, dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam analisis ini telah memenuhi asumsi normalitas data.
2.1.2 Uji Multikolinearitas Mengukur multikolinieritas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan Variance InflationFactor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi karena VIF=1/tolerance. Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukan adanya multikolinieritas adalah nilai tolerance<0,010 atau sama dengan VIF< 10. Berikut ini adalah hasidari uji Multikolinieritas: Tabel 4.6. Uji Multikolineritas dengan Nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor) Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
(Constant) LnNT
.593
1.686
Inf
.564
1.773
BI_R
.559
1.788
Eks
.995
1.005
a. Dependent Variable: NPF_Ind Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel 4.6 nilai Tolerance variabel bebas Nilai Tukar =
76
0,593, Inflasi = 0,564, BI Rate = 0,559, dan Pertumbuhan Ekspor = 0,995. Sedangkan nilai VIF variabel bebas Nilai Tukar= 1,686, Inflasi=1,773, BI rate= 1,788, dan Pertumbuhan Ekspor = 1,005. Dapat disimpulkan bahwa model
regresi dinyatakan bebas dari multikolineritas karena nilai
tolerance>0,01 dan nilai VIF < 10. 2.1.3 Uji Autokorelasi Salah satu ukuran dalam menentukan ada tidaknya masalah otokorelasi adalah dengan menguji Durbin-Watson (DW). Berikut ini adalah hasil uji autokorelasi dengan metode Durbin-Watson (DW) pada tabel di bawah ini: Tabel. 4.7. Uji Autokorelasi dengan Durbin –Watson (DW) Model Summaryb
Model 1
Durbin – Watson .377
Predictors: (Constant), LnNT, Eks, Inf, BI_R Dependent Variable: NPF_Ind
Sumber: Output SPSS Dari data diatas dapat kita lihat bahwa nilai Durbin-Watson (DW) sebesar d=0,377. Hal ini dapat menunjukkan bahwa angka D-W diantara 2
77
2.1.4 Uji Heteroskedastisitas Gambar 4.8. Hasil Uji Heterokedastisitas
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak, serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu
y,
hal
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
tidak
terjadi
heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak untuk digunakan dalam penelitian.
78
2.2 Goodness of Fit 2.2.1 Uji F Tabel. 4.8. Uji F ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares
Df
Mean Square
1241.780
4
310.445
635.483
55
11.554
1877.262
59
F 26.869
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), LnNT, Eks, Inf, BI_R b. Dependent Variable: NPF_Ind Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel 4.8 di atas nilai Fhitung diperoleh 26,869 α5%. Numerator adalah (jumlah variabel bebas – 1) atau 4-1 = 3 dan Denumerator adalah (jumlah kasus – jumlah variabel bebas) atau 60-4 = 56 maka Ftabel adalah 2,77. Sementara nilai sig sebesar 0,000 lebih kecil dari alpha (0,000 < 0,05). Hal ini berarti bahwa secara simultan (bersama-sama) terdapat pengaruh variabel Makro Ekonomi (Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate, dan Pertumbuhan Ekspor) terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah di Indonesia. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis H1 pada hipotesis pertama yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara Nilai Tukar, BI Rate, Inflasi, Ekspor, secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah.
79
2.2.2 Uji t Tabel. 4.9. Hasil Uji t Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
T
Sig.
-43.332
5.770
-7.510
.000
.001
.001
1.328
.190
-1.979
.329
-6.019
.000
8.195
.901
9.094
.000
.023
.039
.581
.564
LnNT Inf BI_R Eks
a. Dependent Variable: NPF_Ind Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel di atas, besarnya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Nilai t hitung variabel Nilai Tukar < t tabel (1,328 < 2,004) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,190 lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig < α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, Nilai Tukar tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,001 menunjukan hubungan yang positif.
b. Nilai t hitung Inflasi > t tabel (-6,019 > 2,004) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf α 5% (0,05) (sig < α).
80
Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Sedangkan koefisien regresi sebesar -1,979 menunjukan hubungan yang negatif. Artinya jika terjadi kenaikan Inflasi sebesar 1% maka rasio Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur akan mengalami penurunan sebesar 1,979%. c. Nilai t hitung BI Rate> t tabel (9,094 > 2,004) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf α 5% (0,05) (sig < α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, BI Rate mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Sedangkan koefisien regresi sebesar 8,195
menunjukan hubungan yang positif.
Artinya jika terjadi kenaikan BI Rate sebesar 1% maka rasio Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur akan mengalami peningkatan sebesar 8,195%. d.
Nilai t hitung variabel Pertumbuhan Ekspor < t tabel (0,581< 2,004) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,564 lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, Pertumbuhan Ekspor tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio Pembiayaan
81
Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,023 menunjukan hubungan yang positif. e.
Hasil uji t menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur adalah BI Rate dengan nilai koefisien sebesar 8,195 sedangkan variabel yang berpengaruh terbesar kedua adalah variabel Inflasi dengan nilai koefisien sebesar -1,979. 2.2.3 Uji R2 (Koefisien Determinasi) Tabel 4.10 Uji Koefisien Determinasi Model Summaryb
Model 1
R
R Square
.813a
Adjusted R Square
.661
.637
a. Predictors: (Constant), LnNT, Eks, Inf, BI_R b. Dependent Variable: NPF_Ind
Sumber: Output SPSS
Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai Adjusted R Square sebesar 0,637 yang berarti bahwa pengaruh variabel Makro Ekonomi (Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate, dan Pertumbuhan Ekspor) terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah di Indonesia adalah 63,7%, sedangkan sisanya sebesar 36,3% dipengaruhi oleh variable-variabel lain diluar penelitian ini. Adapun angka koefisien korelasi (R) menunjukkan nilai sebesar 0,813 yang
82
menandakan hubungan antara variable bebas dan variable terikat adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari 0,5 (R>0,5) atau 0,863 > 0,5.
2.3 Uji Regresi Tabel 4.11 Uji Signifikansi Model Unstandardized Coefficients Model
1
B
(Constant) LnNT Inf BI_R Eks
Std. Error
T
Sig.
-43.332
5.770
-7.510
.000
.001
.001
1.328
.190
-1.979
.329
-6.019
.000
8.195
.901
9.094
.000
.023
.039
.581
.564
Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel 4.11 diatas, maka dapat disusun persamaan regresi untuk penelitian ini sebagai berikut: Y a.
-43,332 + 0,001 X1 – 1,979 X2 + 8,195 X3 +0,023 X4
Nilai konstanta sebesar -43,332 menyatakan bahwa variable-variabel lain dianggap nol, maka rata-rata Permbiayaan Bermasalah Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah sebesar -43,332
b.
Koefisien Regresi X1 (Nilai Tukar) bertanda positif sebesar 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan mata uang Rupiah terhadap Dollar atau Penurunan Nilai Tukar sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan kenaikan Pembiayaan Bermasalah sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah
83
sebesar 0,001. c.
Koefisin Regresi X2 (Inflasi) bertanda negative sebesar -1,979. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan inflasi sebesar 1 satuan makan menyebabkan penurunan Pembiayaan Bermasalah sektor Industri Manufaktur sebesar 1,979.
d.
Koefisien Regresi X3 (BI Rate) bertanda positif sebesar 8,195. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan BI Rate sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan kenaikan Pembiayaan Bermasalah sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah sebesar 8,195.
e.
Koefisien Regresi X4 (Pertumbuhan Ekspor) bertanda positif sebesar 0,023. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan Pertumbuhan Ekspor sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan kenaikan Pembiayaan Bermasalah sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah sebesar 0,023.
Adapun interpretasi penulis tehadap hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Pengaruh Nilai Tukar terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan tabel 4.11 diatas, variabel Nilai Tukar mempunyai nilai signifikansi 0,190 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa Nilai Tukar tidak berpengaruh terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Penulis mengambil kesimpulan faktor yang menyebabkan Nilai Tukar tidak 84
berpengaruh signifikan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur dikarenakan pengelolaan dana Bank Syariah dalam bentuk penyaluran dana melalui pembiayaan (financing) cenderung menghindari resiko yang berhubungan dengan nilai valuta asing. Sehingga dalam kegiatan operasional Bank Syariah yang berhubungan langsung dengan resiko dari fluktuasi Nilai Tukar adalah pada aktivitas treasury yakni pemenuhan kebutuhan likuiditas Bank. Seperti yang dikemukakan Karim bahwa bank syariah tidak akan dapat terlepas dari adanya resiko posisi dalam valuta asing.51 Risiko kurs ini akan meningkat bila jumlah posisi yang diambil besar, baik posisi long maupun short, dan fluktuasi pasar tinggi.
2.
Pengaruh Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan tabel 4.11 diatas, variabel Inflasi mempunyai nilai signifikansi 0,000 > 0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa Inflasi berpengaruh signifikan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Hubungan antara Inflasi dan Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur bersifat negatif yakni jika terjadi kenaikan Inflasi maka Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri mengalami penurunan. Penulis mengambil kesimpulan
51
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Keempat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 274.
85
bahwasanya kenaikan tingkat Inflasi membawa dampak positif bagi Perusahaan Industri sebagai penerima pembiayaan dalam Bank Syariah. Hal ini disebabkan Inflasi tidak mengganggu proses produksi dari usaha yang dijalankan nasabah. Biaya-biaya faktor produksi yang harus dikeluarkan nasabah seperti biaya bahan baku produksi, hingga upah atau gaji pekerja tidak mengalami kenaikan. Seperti yang diungkapkan Arif bahwa Inflasi bisa menguntungkan bagi produsen bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong melipatgandakan produksinya. Namun bila Inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi maka akan merugikan produsen.52
3.
Pengaruh BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan tabel 4.11 diatas, variabel BI Rate mempunyai nilai signifikansi 0,000 > 0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa BI Rate berpengaruh signifikan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Hubungan antara BI Rate dan Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur bersifat positif yakni jika terjadi kenaikan BI Rate maka Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri turut mengalami kenaikan. Hal ini sesuai dengan teori marjin keuntungan dan nisbah bagi hasil pembiayaan bank syariah dimana
52
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Jakarta: Alfabeta, 2010), hlm. 93.
86
dalam penetapan marjin dan nisbah, suku bunga perbankan konvensional dalam hal ini (BI Rate) digunakan sebagai salah satu rujukan oleh ALCO (Asset Liabilities Commitee) Bank Syariah.53 Penulis mengambil kesimpulan penggunaan BI Rate sebagai acuan dalam penetapan marjin dan nisbah bagi hasil tersebut tidak terlepas dari adanya dual-banking system yang hadir di negeri ini. Sehingga Perbankan Syariah dapat bersaing secara kompetitif dengan Perbankan Konvensional.
4.
Pengaruh Pertumbuhan Ekspor terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan tabel 4.11 diatas, variabel Pertumbuhan Ekspor mempunyai nilai signifikansi 0,564 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa Pertumbuhan Ekspor tidak berpengaruh terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa pengelolaan dana Bank Syariah dalam bentuk penyaluran dana melalui pembiayaan (financing) cenderung menghindari resiko yang berhubungan dengan nilai valuta asing. Oleh karena itu Bank Syariah memberikan pembiayaan pada nasabah yang melakukan kegiatan usaha industri yang segmentasi pasarnya tidak berorintesi ekspor. Sehingga hal ini pula yang menyebabkan Pertumbuhan Ekspor tidak berpengaruh
53
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Keempat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.272-273.
87
terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur. 5. Pengaruh Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur terhadap Perkembangan BUS, UUS dan BPRS Meningkatnya jumlah pembiayaan bermasalah dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat khususnya nasabah bank. Selain itu juga dapat menurunkan laba Bank Syariah. Oleh karena itu penulis mencoba melihat bagaiamana dampak pembiayaan bermasalah sektor industri manufaktur yang terjadi selama periode pengamatan terhadap laba rugi perbankan syariah nasional. Tabel 4.12 Laba Rugi Gabungan BUS, UUS (Dalam Milyar Rupiah) Dan Laba Rugi Gabungan BPRS (Dalam Juta Rupiah) Periode 2009-2013 2009 832
2010 1301
BUS, UUS BPRS 67,19 83,90 Sumber: Statistik Perbankan Syariah
2011 2037
2012 3423
2013 4364
101,66
126,78
156,18
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kenaikan laba bank syariah setiap tahun baik itu Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan Laba BUS, UUS dan BPRS sebesar 832 Milyar Rupiah dan 67,19 Juta Rupiah naik menjadi 4364 Milyar Rupiah dan 156,18 Juta Rupiah di tahun terakhir periode pengamatan. Oleh karena penulis mengambil kesimpulan bahwasanya
pembiayaan bermasalah sektor industri
manufaktur yang terjadi pada perbankan syariah tidak mempengaruhi kinerja perbankan syariah nasional dalam menghasilkan laba.
88
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil Uji F menunjukkan variable Nilai Tukar, BI Rate, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekspor secara simultan berpengaruh terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah periode 2009-2013. Sedangkan nilai Adjusted R Square dalam penelitian ini adalah sebesar 0,637 yang berarti bahwa pengaruh variabel Makro Ekonomi (Nilai Tukar, Inflasi, BI Rate, dan Pertumbuhan Ekspor) terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah di Indonesia adalah 63,7%, sedangkan sisanya sebesar 36,3% dipengaruhi oleh variable-variabel lain diluar model penelitian ini. 2. Hasil Uji t menunjukkan variable Inflasi dan BI Rate secara parsial berpengaruh signifikan negatif dan positif terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur pada Perbankan Syariah periode 2009-2013 dengan pengaruh paling besar terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor Industri Manufaktur adalah BI Rate sebesar 8,195 sedangkan variabel yang berpengaruh terbesar kedua adalah variabel Inflasi dengan nilai koefisien sebesar -1,979. 89
B. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan maka penulis mencoba mengemukakan saran yang mungkin bermanfaat diantaranya: 1. Bagi Perbankan Syariah sebelum memberikan pembiayaan kepada calon nasabah senantiasa memperhatikan kondisi keseluruhan yang berkaitan dengan calon nasabah seperti penerapan prinsip penilaian 5C (Character atau kepribadian yang dimiliki calon nasabah, Capacity atau kemampuan calon nasabah dalam membayar, Capital atau modal yang dimiliki calon penerima pembiayaan, Collateral atau jaminan, Condition atau kondisi ekonomi). Selain itu pemantauan yang berkesinambungan harus terus dilakukan oleh pihak bank terhadap nasabah yang menerima pembiayaan. Lebih lanjut pelatihan bagi petugas analis pembiayaan juga diperlukan setidaknya sekali dalam setahun. Hal ini berguna untuk meminimalisir pembiayaan bermasalah yang dapat terjadi pada Perbankan Syariah. 2. Bagi Akademisi dalam penelitian selanjutnya sebaiknya memperbanyak jumlah variabel makro, misalnya: harga minyak dunia, pertumbuhan Product Domestic Bruto, pengangguran dan variabel lainnya dimana fluktuasi dari variabel tersebut dapat berpengaruh pada pembiayaan bermasalah sektor industri. Dalam hal terjadinya penurunan angka pengangguran maka tingkat upah pun cenderung naik dan hal ini berpengaruh pada kenaikan biaya faktor produksi yang harus dikeluarkan usaha industri. Apabila kenaikan biaya faktor produksi tersebut tidak diimbangi dengan naiknya kualitas 90
produktivitas pekerja sehingga berakibat meruginya usaha industri maka kemungkinan munculnya kredit macet atau pembiayaan bermasalah semakin tinggi. 3. Bagi Nasabah Debitur yang memerlukan tambahan modal usaha khususnya yang bergerak dalam Sektor Industri Manufaktur melalui Perbankan Syariah harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran bisnis dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk membayarkan angsuran dari pembiayaan yang telah disalurkan. Selain itu dianjurkan untuk memilih skim pembiayaan yang tepat sesuai karakteristik bisnis agar tidak terjadi pembiayaan bermasalah.
91
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Ahmad, Fawad dan Bashir, Taqadus. 2013. Explanatory of Macroeconomics Variables as Determinant of Non-Performing Loans: Evidence from Pakistan. Jurnal WAS. Al Arif, Muhammad N. R. 2010. Teori Makroekonomi Islam. Jakarta: Alfabeta Antonio, Muhammad S. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.Jakarta: Gema Insani. Arifin, Zainul. 2009. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Azkia Publisher. Bank Indonesia. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Case, Karl E. dan Fair, Ray C. 2002. Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro.Jakarta: Pearson Education Asia Deliarnov. 2010. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
92
Hakan, Etem, Ergec, dan Bangil Gulumser. 2012. Impact of Interest Rate on Islamic and Conventional Banks: The Case of Turkey. MPRA Paper No. 29848, Turkey. Hogart, G., Sorensen, S., dan Zicchino, L. 2005. Stress Tests of UK Banks using a VAR approach. Working Paper no. 282, ISSN 1368-5562, England. Ismail. 2011. Manajemen Perbankan. Jakarta: Kencana. Jakubik, Petr. 2007. Macroeconomic Environment and Credit Risk. Czech National Bank and the Institute of Economic Studies of Charles University, Prague. Karim, Adiwarman. 2011. Analisis Fiqh dan Keuangan ed.keempat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Khemraj, Tarron dan Pasha, Sukrishnalall. 2006. The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana. Guyana. Kuncoro,
Mudrajat.
2003.Metode
Riset
Untuk
Bisnis
dan
Ekonomi.
Jakarta:Erlangga. LPE IBII. 2004. Makro Ekonomi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Otoritas Jasa Keuangan. Statistik Perbankan Syariah. Diakses pada laman http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Default.aspx
93
Poetry, Zakiyah D., dan Sanrego, Yulizar D. 2011. Pengaruh Variabel Makro dan Mikro terhadap NPL Perbankan Konvensional dan NPF Perbankan Syariah. Islamic Finance & Business Review TAZKIA. Pracoyo, Tri K dan Antyo. 2007. Aspek Dasar Ekonomi Makro di Indonesia Seri Pertama. Jakarta: Grasindo. Pujoalwanto, Basuki. 2014. Perekonomian Indonesia: Tinjauan Historis, Teoritis dan Empiris. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahardja, Pratama dan Manurung, Mandala. 2004. Pengantar Makroekonomi. Jakarta: LPFE-UI. Riadi, Edi. 2014. Metode Statistika Parametrik & Non Parametrik. Tangerang: PT. Pustaka Mandiri. Saba, Irum, Kouser, R. dan Azeem, M. 2012. Determinants of Non Performing Loans: Case of US Banking Sector. The Romanian Economic Journal. Year XV no. 44. Rumania. Shingjergji, Ali dan Iva. 2013. An Analysis of the Nonperforming Loans in the Albanian Banking System. International Journal of Business and Commerce Vol.2, No.6, Albania. Siswanto, Sutojo. 2008.
Management Kredit Bermasalah Konsep dan Kasus.
Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka.
94
Sukirno, Sadono. 2000. Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sukirno, Sadono. 2007. Makro Ekonomi Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Pusat Bahasa Depdiknas. Sugiyono. 2008. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Swamy, Vighneswara. 2012. Impact of macroeconomic and endogenous factors on non performing bank assets. International Journal of Banking and Finance Volume 9 Issue 1, India. Tampubolon, Robert. 2004. Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif untuk Bank Komersil. Jakarta: Elex Media Komputindo.
95
LAMPIRAN Lampiran 1: Data-Data Variabel Penelitian Tahun 2009-2013 Tahun
Bulan
2009
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
2010
2011
NPF Industri Y (%) 21,78 22,16 21,82 20,70 21,93 15,62 13,89 12,50 12,42 14,21 12,07 11,70 11,83 11,55 10,32 9,31 9,05 8,86 8,67 8,73 9,01 8,47 8,11 4,28 4,46 4,23 4,13 5,62 5,48 4,75 5,48
Nilai Tukar X1 (Rp) 11355 11980 11575 10713 10340 10225 9920 10060 9681 9545 9480 9400 9365 9335 9115 9012 9180 9083 8952 9041 8924 8928 9013 8991 9057 8823 8709 8574 8537 8597 8508
Inflasi X2(%) 9.17 8.60 7.92 7.31 6.04 3.65 2.71 2.75 2.83 2.57 2.41 2.78 3.72 3.81 3.43 3.91 4.16 5.05 6.22 6.44 5.80 5.67 6.33 6.96 7.02 6.84 6.65 6.16 5.98 5.54 4.61
BI Rate Pertumbuhan X3 (%) Ekspor X4 (%) -13,79 8.75 0,90 8.25 6,99 7.75 4,49 7.50 10,80 7.25 -2,23 7.00 -5,94 6.75 14,61 6.50 -11,95 6.50 31,51 6.50 -16,48 6.50 28,77 6.50 -17,79 6.50 -0,32 6.50 15,12 6.50 -1,85 6.50 1,95 6.50 4,41 6.50 -1,96 6.50 14,30 6.50 -16,35 6.50 24,92 6.50 1,49 6.50 6,50 6.50 -8,77 6.50 -4,06 6.75 13,77 6.75 1,90 6.75 5,27 6.75 2,52 6.75 -11,72 6.75
xiv
Lanjutan Data-Data Variabel Penelitian Tahun 2009-2013 Tahun
Bulan
Agustus September Oktober November Desember 2012 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 2013 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber: Data Diolah
NPF Industri Y (%) 5,19 5,59 4,14 3,71 3,18 3,53 4,96 4,48 4,54 4,59 5,36 3,72 3,51 3,55 3,24 2,95 2,49 2,45 2,60 2,34 2,43 1,42 1,41 1,56 1,68 3,63 3,62 3,98 4,27
Nilai Tukar X1 (Rp) 8578 8823 8835 9170 9068 9000 9085 9180 9190 9565 9480 9485 9573 9590 9615 9605 9670 9698 9667 9719 9722 9802 9929 10278 10924 11613 11234 11977 12189
Inflasi
BI Rate Pertumbuhan Ekspor X2 (%) X3 (%) X4 (%) 14,27 4.79 6.75 -11,07 4.61 6.75 1,62 4.42 6.50 1,21 4.15 6.00 -3,53 3.79 6.00 -5,41 3.65 6.00 0,36 3.56 5.75 9,39 3.96 5.75 -10,09 4.50 5.75 4,02 4.45 5.75 0,62 4.53 5.75 6,29 4.56 5.75 -15,66 4.58 5.75 17,89 4.31 5.75 -6,49 4.61 5.75 8,02 4.32 5.75 -11,05 4.30 5.75 5,86 4.57 5.75 -2,21 5.31 5.75 -5,72 5.90 5.75 1,76 5.57 5.75 8,00 5.47 5.75 -6,22 5.90 6.00 4,91 8.61 6.50 -21,36 8.79 7.00 22,93 8.40 7.25 5,41 8.32 7.25 -0,92 8.37 7.50 1,96 8.38 7.50
xv
Lampiran 2: Uji Normalitas
Sumber: Output SPSS
xvi
Lampiran 3: Uji Multikolinearitas dan Autokorelasi Uji Tolerance dan VIF
Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
(Constant) LnNT
.593
1.686
Inf
.564
1.773
BI_R
.559
1.788
Eks
.995
1.005
a. Dependent Variable: NPF_Ind Sumber: Output SPSS Uji DW Model Summary
Model
R
R Square
Adjusted R Square
1
.813a
.661
.637
DurbinWatson .317
a. Predictors: (Constant), LnNT, Eks, Inf, BI_R b. Dependent Variable: NPF_Ind Sumber: Output SPSS
xvii
Lampiran 4: Uji Heterokedastisitas
Sumber: Output SPSS
xviii