PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH DAN KECEMASAN PADA PASIEN STROKE DI RUANG NEUROLOGI RSCM JAKARTA Amila* Abstrak Ansietas dan depresi merupakan gangguan psikologis yang sering dialami pasien stroke fase akut yang disebabkan oleh gangguan serebral atau merupakan reaksi psikologis. Pasien yang mengalami stress dan ansietas juga mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Salah satu pendekatan non farmakologis adalah progressive muscle relaxation. Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus dan saraf parasimpatis untuk menurunkan tekanan darah, metabolisme dan respirasi mengurangi pemakaian oksigen dan ketegangan otot. Tujuan penulisan adalah untuk mengevaluasi pengaruh pemberian PMR terhadap penurunan tekanan darah dan kecemasan pada pasien stroke. Penelitian ini menggunakan quasi experimental design dengan pendekatan pre-post test design pada 10 responden (n kontrol = n intervensi = 5). Kelompok intervensi diberikan progressive muscle relaxation setiap hari 30 menit selama 7 hari. Data yang didapatkan dari studi dokumentasi pada catatan rekam medis, tekanan darah menggunakan tensimeter digital dan kuesioner kecemasan (STAI). Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Neurologi RSCM Jakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling jenis consecutive sampling. pada 5 responden kelompok kontrol dan 5 kelompok intervensi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian PMR terhadap tekanan darah sistolik dengan p value 0.138 (p<0.05) dan tekanan darah diastolik dengan dengan p value 0.893 (p<0.05) Tidak ada pengaruh pemberian PMR dengan kecemasan dengan p value 0.176 (p<0.005) Disarankan kepada peneliti untuk menambah jumlah sampel, waktu pemberian PMR lebih lama.
Kata kunci : Kecemasan, progressive muscle relaxation, stroke, tekanan darah
Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker (Pinzon, 2009). Selain menyebabkan kematian, pasien stroke yang masih bertahan dapat mengalami berbagai masalah kesehatan, seperti kehilangan motorik, gangguan komunikasi, persepsi, gangguan hubungan visual – spasial, kehilangan sensori, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik dan disfungsi kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2002). Kondisi ini dapat menimbulkan terjadi stres bahkan depresi setelah terjadinya stroke, sehingga membutuhkan perawatan yang lama. Berbagai faktor risiko terjadinya stroke seperti hipertensi, diabetes mellitus, kenaikan kadar kolesterol, merokok, pemakaian alcohol, penyakit jantung, diet dan nutrisi, aktivitas fisik, kegemukan dan drug abuse, usia, jenis kelamin, ras dan faktor keturunan (Mackay & Mansyah 2004 dalam Lawrence, 2009; Iskandar, 2003; Black & Hawks, 2009). Meskipun stroke sering disebabkan oleh faktor lain, hipertensi yang ekstrem, dapat menjadi penyebab terjadinya stroke tanpa dipengaruhi faktor lain (Kowalski, 2010). Hal ini juga didukung oleh Lewis, Bucher, Dirksen & Cameron (2011) yang menyatakan bahwa hipertensi adalah sebagai faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristiyawati (2008), yang menganalisa faktor - faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kejadian stroke dengan hipertensi (p = 0.007) dan hipertensi merupakan factor risiko
dominan yang berhubungan dengan kejadian stroke. Begitu juga dengan hasil penelitian Siregar (2005) yang menemukan 90.9% dari 110 pasien stroke rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan, mempunyai riwayat hipertensi. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan faktor terpenting untuk terjadinya stroke. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas nilai normal. Klasifikasi tekanan darah yang dikemukakan oleh JNC VII (The seventh report of Joint National Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure) 2003 adalah normal jika memiliki tekanan darah sistolik < 120 mmHg. Dikatakan prehipertensi adalah yang memiliki tekanan darah sistolik 120-139 mmHg. Hipertensi derajat I memiliki tekanan darah sistolik 140 – 159 mmHg atau diastolic 90 – 99 mmHg, stadium 2 memiliki tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 100 mmHg ( Ignativicius & Workman, 2010; Burke & Laramie, 2000; Lumbantobing, 2011, Riskesdas, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 atau tekanan darah diastolic ≥ 90 mmHg sudah dikatakan mengalami hipertensi. Hipertensi menyebabkan stroke, baik iskemik atau perdarahan sekitar 80% (Iskandar, 2003). Seseorang yang mengalami tekanan darah tinggi yang terus menerus dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara tepat, menyebabkan jantung seseorang bekerja ekstra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal,
otak dan mata. Tekanan darah yang selalu tinggi adalah salah satu faktor risiko untuk terjadinya stroke, serangan jantung, gagal jantung dan aneurisma arterial (Misbach, 2011). Selain itu, hipertensi yang sebagian besar dialami pasien stroke berhubungan dengan peningkatan ansietas, stress dan depresi. Pasien yang mengalami stress dan ansietas juga mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Mengurangi stress merupakan salah satu pendekatan non farmakologis sebagai salah satu menajemen terapeutik hipertensi. Kondisi ini membutuhkan terapi psikologis dari tim yang memberikan perawatan pada pasien stroke. Bukan hanya psikolog yang memberikan terapi psikologis pada pasien, tetapi seluruh profesi yang terlibat dalam perawatan pasien stroke. Terapi psikologis dapat berupa edukasi, informasi, dukungan dan advokasi (Gurr, 2009). Hal ini penting karena pasien yang tidak mendapatkan perawatan psikologis membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Dalam ilmu psikologi, stres diartikan sebagai suatu kondisi dimana kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. (Gunawan, B, 2007). Pasien yang membutuhkan perawatan lama dapat mengalami berbagai respon psikologis. Pasien stroke dapat memiliki perasaan negatif
tentang diri mereka, aktivitas sosial yang mengalami penurunan serta gangguan psikologis (Ellis & Horn, 2000). Selama dirawat di rumah sakit, pasien stroke mengalami stress atau gangguan psikologis dengan berbagai tingkatan. Stress psikologis merupakan pengalaman yang sangat individual yang berkontribusi terhadap penyakit (Welch, 2008). Insiden gangguan psikologis pada pasien stroke belum banyak dilaporkan. Ansietas dan depresi merupakan gangguan psikologis yang sering dialami pasien stroke fase akut yang disebabkan oleh gangguan serebral atau merupakan reaksi psikologis. Setelah mendapatkan perawatan selama 3-7 hari, 26.4% dari 169 pasien stroke iskemik mengalami ansietas, 14.0% mengalami depresi dan 7.9% mengalami ansietas dan depresi (Fure, Wyller, Engedal, & Thommessen, 2006). Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medulla adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks
adrenal. Dimana ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol yang meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight (Nasution, 2007). Relaksasi otot progresif merupakan jenis terapi komplementer yang digunakan sejak diperkenalkan pada tahun 1938 oleh Edmond Jacobson (Conrad & Roth, 2006 dalam Ghafari, et al, 2009). Teknik ini merupakan salah satu teknik relaksasi yang mudah dipelajari, sederhana dan memberikan efek positif pada keseimbangan otomatis (Nichel et al, 2005 dalam Ghafari, et al, 2009). PMR adalah gerakan mengencangkan dan melemaskan otot – otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan dan melemaskan otot secara progressif ini dilakukan secara berturut – turut (Snyder & Lindquist, 2002). Pada relaksasi ini perhatian pasien diarahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat sekelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot – otot dalam keadaan tegang. Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatetis dan parasimpatetis. Teknik relaksasi ini sederhana serta sudah digunakan secara luas Teknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan (Jacobson & Wolpe dalam Utami, 2002).
Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus dan saraf parasimpatis untuk menurunkan tekanan darah, metabolisme dan respirasi mengurangi pemakaian oksigen dan ketegangan otot. Hal ini untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental. Menurut Jacob (dalam Sheu, Irvin, Lin & Mar, 2003), bahwa relaksasi dapat menurunkan reflek neural yang dapat mengurangi input neural skeletomuskular dan output aktivitas. Lebih lanjut menurut Jacob, aktivitas neuroanatomik akan diturunkan, sehingga relaksasi dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan kardiovaskular (Sheu, Irvin, Lin & Mar 2003). Relaksasi otot ini akan menginhibisi hipotalamus untuk menghentikan sekresi CRH, sehingga sekresi ACTH dan kortisol juga berhenti. Hal ini akan berdampak pada penurunan tekanan darah pasien. PMR merupakan gerakan relaksasi otot dapat menurunkan ketegangan otot dan persarafan. Kecemasan mengakibatkan ketegangan otot yang mengirimkan stimulus ke otak dan membuat jalur umpan balik. Pada saat timbul kecemasan bagian dari jalur umpan balik tubuh tertutup antara otot-otot dan pikiran. Relaksasi PMR akan menghambat jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatis dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat sikap positif sehingga rangsangan stres terhadap hipotalamus berkurang (Reiss & Dombeck, 2008). Menurut Dochtermen & Bulechek (2004), PMR merupakan salah satu intervensi keperawatan untuk meningkatkan kenyamanan fisik. Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind-body therapy dalam terapi alternatif dan komplementer
(Complementary and Alternative Therapy) (CAM) (Moyad & Hawks, 2009). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional/medis. Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad & Hawks, 2009). Menurut Sheu, Irvin, Lin & Mar (2003), beberapa penelitian telah menggunakan PMR pada beberapa populasi dengan pengaruh fisiologis yang menguntungkan, seperti menurunkan denyut nadi, tekanan darah sistolik, tekanan diastolik, frekuensi pernafasan, sakit kepala, nyeri, frekuensi serangan kejang (pada pasien epilepsi), menurunkan efek samping kemoterapi, meningkatkan sekresi saliva immunoglobulin A pada pasien dengan nyeri orofacial, mengurangi stres pada lansia, menurunkan kecemasan dan depresi dengan meningkatkan kontrol diri. PMR juga bekerja dengan memperbaiki feelings of control pada asma dan membantu mengatasi masalah psikiatrik dan gangguan perilaku yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer. PMR dapat memperbaiki masalah penampilan bagi remaja dengan gangguan emosional, menurunkan kecemasan dan meningkatkan relaksasi bagi mahasiswa dan mengurangi perilaku agresif pada pasien dengan gangguan mental. Lebih lanjut disampaikan, bahwa PMR memiliki efek yang menguntungkan pada hipertensi primer dengan menurunkan tekanan darah sistolik, mengurangi sekresi adrenalin dan konsumsi oksigen, mengurangi kecemasan pada pasien hipertensi primer. Latihan PMR selama 30 menit dapat segera menurunkan rerata nadi sebesar 2.35
x/menit, tekanan darah sistolik 5.44 mmHg dan tekanan darah diastolic sebesar 3.48 mmHg. Setelah 4 minggu latihan, PMR lebih lanjut dapat menurunkan rerata nadi sebesar 2.9x/menit, tekanan darah sistolik sebesar 5.1 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 3.1 mmHg. Persepsi pasien dan kesehatan dapat ditingkatkan setelah latihan. Latihan PMR juga dapat memberikan stimulasi dini pada pasien stroke dengan gangguan motorik. Gangguan fungsi motorik yang paling sering pada pasien stroke yaitu hemiparesis dan hemiplegia akibat stroke di arteri serebri anterior atau arteri serebri media yang menyebabkan infark pada korteks motorik bagian frontal (Black & Hawks, 2009; Lewis, Heitkemper, Dirkssen, O’Brien & Bucher, 2007). Stimulasi dini terhadap pasien stroke dapat dilakukan baik melalui visual, audio maupun melalui sentuhan. Melakukan latihan gerak sendi sambil menyentuh bagian lengan pasien yang lemah adalah salah satu contoh memberikan stimulasi melalui sentuhan (Mulyatsih, 2008). Latihan secara intensif juga dapat meningkatkan neural plasticity, reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi motorik (Bakheit et al (2007). Neuroplastisitas otak merupakan perubahan dalam aktivasi jaringan otak yang merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan adanya kemampuan ini kemampuankemampuan motorik klien yang mengalami kemunduran karena stroke dapat dipelajari kembali. Proses neuroplastisitas otak terjadi melalui proses substitusi yang tergantung pada stimulus eksternal melalui terapi latihan dan proses kompensasi yang dapat tercapai melalui latihan berulang
untuk suatu fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku atau perubahan lingkungan (Wirawan, 2009). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Karyono dkk (1994) yang melaporkan bahwa relaksasi dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi. Selanjutnya relaksasi otot progresif efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Kota Malang (Hamarno, 2010). Selanjutnya hasil penelitian Zuriati (2010), teknik relaksasi otot progresif terhadap penurunan tekanan darah sistolik pada lansia dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Air Tawar Barat Padang menunjukan penurunan yang bermakna pada tekanan darah sistolik pada lansia dengan hipertensi (p : 0,000). Lebih lanjut Maryani (2008), menyebutkan bahwa PMR mengurangi kecemasan yang berimplikasi pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi. Selanjutnya Yildrim dan Fadiloglu (2006) dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa PMR menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis. Hal yang sama dilakukan oleh peneliti Sigh (2009) terhadap perbandingan efektifitas musik dan PMR terhadap penurunan kecemasan pada 82 pasien obstruksi paru menahun didapatkan hasil PMR cukup signifikan untuk menurunkan kecemasan (p<0.000). Lebih lanjut disampaikan, latihan relaksasi otot progresif merupakan latihan yang cukup mudah untuk diterapkan, murah, waktunya singkat. Latihan ini diyakini bisa memberikan rasa nyaman pada pasien serta tidak memberikan efek samping. Latihan ini dapat diterapkan pada saat
pasien kunjungan rawat jalan, dirumah atau rawat inap sekalipun, asalkan memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Fenomena yang ditemukan dilapangan bahwa pada umumnya pasien stroke yang dirawat jarang melakukan latihan relaksasi. Perawat lebih berfokus kepada terapi farmakologi serta nonfarmakologi lainnya. Padahal dengan latihan relaksasi otot progresif merupakan manajemen terapeutik yang efektif untuk mengendalikan tekanan darah. Khususnya latihan relaksasi otot progresif adalah suatu ativitas fisik yang cukup mudah dilakukan oleh pasien serta bisa memberikan kenyamanan bagi pasien. Hasil Journal Reading Penelusuran literatur dilakukan melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu: progressive muscle relaxation. Setelah dilakukan analisis literatur maka akan diterapkan relaksasi otot progresif pada pasien hipertensi berdasarkan rekomendasi dari Sheu; Irvin, Lin & Mar (2003) mengenai “Effect of Progressive Muscle Relaxation on Blood Pressure and Psychosocial Status for Clients with Essential Hypertension in Taiwan”. Penerapan PMR ini pada pasien stroke berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Sheu, Irvin, Lin & Mar (2003) dengan judul “Effects of progressive Muscle Relaxation on Blood Pressure and Psychososial Status for Clients with Essential Hypertension in Taiwan”. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh PMR terhadap tekanan darah dan status psikososial pada pasien dengan hipertensi essensial. Penelitian menggunakan
design quasi eksperimen, convenience sample pada 40 orang subjek dari klinik rawat jalan hipertensi. Sebanyak 20 orang subjek penelitian menerima latihan PMR selama 1 minggu sekali dan latihan dirumah setiap hari selama 4 minggu. Latihan PMR dapat segera menurunkan rerata nadi sebesar 2.35 x/menit, tekanan darah sistolik 5.44 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 3.48 mmHg. Setelah 4 minggu latihan, PMR lebih lanjut dapat menurunkan rerata nadi sebesar (2.9x/menit), tekanan darah sistolik sebesar (5.1 mmHg) dan tekanan darah diastolik sebesar (3.1 mmHg). PMR secara signifikan menurunkan persepsi stress pasien dan meningkatkan persepsi kesehatan. PMR bermanfaat untuk pasien dengan hipertensi esensial dan perawat dapat menggunakan fungsi mandiri ini untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Sedangkan jurnal lainnya adalah the effect of thermal biofeedback and progressive muscle relaxation training in reducing blood pressure of patients with essential hypertension yang dilakukan oleh Hahn, Ro, Song, Kim, King & Yoo tahun 1993. Tujuan penelitian adalah untuk menilai dampak dari perbedaan latihan thermal biofeedback dan latihan otot progresif terhadap penurunan tekanan darah selama 4 minggu pada pasien hipertensi primer. Responden dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang mendapat latihan relaksasi otot progresif (N = 8) dan kelompok intervensi yang mendapat latihan thermal biofeedback dan latihan otot progresif (N = 11). Hasil penelitian menunjukkan penurunan tekanan darah Sedangkan jurnal efiicacy of progressive muscle relaxation training in reducing anxiety in patients with
acute schizofrenia oleh Chen, W.C et al tahun 2009. Tujuan penelitian adalah mengetahui efektifitas PMR terhadap kecemasan pada pasien skizophrenia akut. Penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok kontrol (N = 9) yang tidak mendapat PMR hanya mendapat terapi placebo, seperti mendapat ruangan yang tenang, kursi, waktu yang sama dan PMR diberikan pada akhir penelitian, kelompok intervensi (N = 9) yang mendapat PMR. Subjek penelitian ditempatkan pada ruangan kedap suara, tanpa distraksi dan duduk dalam posisi setengah duduk pada kursi, lampu dikecilkan, kondisi suhu ruangan diatur 23°C, volume suara untuk instruksi diatur 40 – 50 desibel. Suhu jari diukur pada 2 kelompok dan dicatat perubahannya selama dan setelah prosedur PMR selama 40 menit. Kelompok kontrol (N = 9) yang tidak mendapat PMR, mendapat terapi placebo, seperti mendapat ruangan yang tenang, kursi, waktu yang sama dan PMR diberikan pada akhir penelitian. Evaluasi dilakukan pada hari pertama (pretest), 11 hari setelah intervensi (post test) dan satu minggu setelah selesai intervensi (follow up). Hasil penelitian menunjukkan perubahan tingkat kecemasan pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol setelah melakukan PMR (p < 0.0001) dan follow up (p = 0.0446), mean skor BAI (Beck Anxiety Inventory) pada pre test : 16.4 dan post test : -5.8. Terjadi perubahan pada suhu tangan pasien (finger temperature), terdapat perubahan mean temperature secara signifikan diantara 2 kelompok. Rata – rata suhu tubuh meningkat secara signifikan setelah melakukan PMR pada pasien dengan skizofrenia. Massage terapi sama efektif dengan progressive muscle relaxation (PMR)
dalam menurunkan ansietas pada hipertensi. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 responden dengan rerata usia 51.6 tahun dan mendapatkan pengobatan yang bermacam-macam berupa beta blocker, calcium channel blocker, antikoagulan dan ACE inhibitor. Kedua kelompok melaporkan adanya penurunan ansietas, namun penurunan tingkat depresi hanya dilaporkan pada pasien yang mendapatkan terapi massage. (Reif, Field, Krasnegor, Theakston, Hossain, & Burman, 2000). Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Penerapan EBN pada pasien stroke diruang rawat Lantai VA RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada tanggal 01 November 2012 s.d 30 November 2012. Jumlah pasien stroke yang berpartisipasi sebanyak 5 orang dan tidak ada pasien yang drop out. Pelaksanaan EBN ini dilakukan selama 6 hari. Pengumpulan data dan pelaksanaan EBN melibatkan keluarga. Sebelum pelaksanaan EBN, penulis melakukan sosialisasi kepada kepala ruangan dan perawat pelaksana di lantai VA dilanjutkan dengan demonstrasi cara melakukan PMR. Cara melakukan PMR yaitu memberitahukan pasien dan keluarga tentang prosedur yang akan dilakukan, komunikasikan tujuan tindakan, kemudian atur posisi sesuai gerakan (duduk atau berbaring). Menggunakan tensimeter digital untuk mengukur tekanan darah, nadi yang dilakukan pada nadi brakhial yang sama. Pasien ditempatkan diruangan khusus (tenang tanpa ada distraksi) di ruang restorasi lantai VA. Latihan relaksasi otot progresif dengan menggunakan protokol latihan. Sebelum dan setelah
melakukan latihan pasien dianjurkan untuk latihan nafas dalam. Latihan relaksasi dilakukan mulai gerakan pertama sampai dengan gerakan kelima belas. PMR dalam penelitian ini melibatkan 10 macam otot, seperti otot pergelangan tangan otot lengan bawah, otot siku dan lengan atas, kelompok otot bahu, otot kepala dan leher, otot wajah, punggung, dada,otot perut, otot kaki dan paha. Pelaksanaan PMR dilakukan selama 6 hari berturut – turut dalam waktu 30 menit pada jam 11.00 Wib12.00 Wib untuk mengurangi pengaruh penggunaan obat antihipertensi yaitu captopril dan amlodipin. Pelaksanaan PMR pada hari pertama, diawali dengan membacakan 20 pernyataan kuesioner STAI dilanjutkan dengan mengukur tekanan darah dan denyut nadi kemudian melakukan PMR. Setelah 10 menit melakukan PMR kembali mengukur tekanan darah dan denyut nadi pasien. PMR hari kedua sampai kelima dengan mengukur tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan setelah 10 menit melakukan PMR, sedangkan pada hari keenam mengukur tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan setelah 10 menit melakukan PMR dan terakhir membacakan 20 pernyataan kuesioner STAI. Selama pelaksanaan PMR, 4 orang responden dilakukan PMR dalam posisi duduk dan 1 orang melakukan dalam posisi tidur. Lima orang responden dibantu saat pengisian format STAI. Hasil penerapan PMR menunjukkan bahwa pasien stroke yang berpartisipasi dalam penerapan PMR berusia 44 – 65 tahun, proporsi terbanyak adalah laki – laki sebesar 80%, sebagian besar berpendidikan SMA sebesar 60%, 100% telah menikah dan sebagian
besar mengalami serangan stroke pertama kali sebesar 80%. Sebagian besar menggunakan captopril sebesar
80% dan 20% menggunakan captopril dan amlodipin. Hasil penelitian PMR dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1 Hasil Penelitian PMR Hari
µ TD sistolik
µ TD diastolik
µ Nadi
Kecemasan
Pre
Post
Pre
Post
Pre
Post
Pre
Post
1
169.3
172.60
99.40
98
85.40
83.40
51.60
48
2
165.40
169.20
102.80
103.80
86.40
84
3
167.40
167.20
97
98.60
83.40
79.60
4
162.80
164.40
96.20
93.20
80
80.80
5
166
166.40
96.80
95.60
84
81.80
6
168
163.60
96.20
93.40
81.80
79.80
P value
0.138
0.893
Rerata tekanan darah sistolik pasien pada hari pertama sebelum PMR adalah 169.3 mmHg dan mengalami penurunan pada hari kedua yaitu 165.40 mmHg, mengalami peningkatan pada hari ketiga sebesar 167.40 dan mengalami penurunan pada hari keempat sebesar 162.80 mmHg, mengalami peningkatan pada hari kelima sebesar 166 mmHg dan pada hari keenam mengalami peningkatan sebesar 168 mmHg. Sedangkan rerata tekanan darah sistol pada hari pertama setelah PMR adalah 172.60 mmHg, mengalami penurunan pada hari kedua sebesar 169.20 mmHg dan mengalami penurunan sebesar 167.20 mmHg pada hari ketiga, pada hari keempat mengalami penurunan sebesar 164.40 mmHg, pada hari kelima mengalami peningkatan sebesar 166.40 dan pada hari keenam mengalami penurunan sebesar 163.60. Rerata tekanan darah sistolik sebelum PMR adalah 166.48 mmHg, sedangkan rerata tekanan darah sistolik setelah PMR adalah 167.23
0.080
0.176
mmHg. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rerata tekanan darah sistolik setelah dilakukan PMR selama 6 hari pada pasien stroke. Hasil ini didukung oleh uji statistik Wilcoxon dengan p value 0.138 yang menunjukkan secara statistik tidak ada pengaruh pemberian PMR terhadap tekanan darah sistolik . Rerata tekanan darah diastolik pasien stroke sebelum PMR pada hari pertama adalah 99.40 mmHg, pada hari kedua sebesar 102.80 mmHg dan mengalami penurunan sebesar 97 mmHg pada hari ketiga, pada hari keempat sebesar 96.20 mmHg, pada hari kelima mengalami penurunan sebesar 96.80 mmHg dan mengalami penurunan sebesar 96.20 mmHg pada hari keenam. Sedangkan rerata tekanan darah diastolik setelah PMR pada hari pertama 98.00 mmHg, mengalami peningkatan sebesar 103.80 mmHg pada hari kedua, mengalami penurunan sebesar 98.60 mmHg pada hari ketiga, pada hari keempat mengalami penurunan
sebesar 93.20 mmHg, pada hari kelima mengalami penurunan 95.60 mmHg dan mengalami penurunan sebesar 93.40 mmHg pada hari keenam. Rerata tekanan darah diastolik sebelum PMR adalah 98.06 mmHg dan mengalami penurunan menjadi 96.80 mmHg setelah PMR. Namun penurunan ini ini tidak didukung oleh hasil uji statistik paired t test dengan p value 0.893 yang menunjukkan secara statistik tidak ada pengaruh pemberian PMR terhadap tekanan darah diastolik. Rerata denyut nadi pasien stroke sebelum PMR pada hari pertama yaitu 85.40 x/menit, mengalami peningkatan pada hari kedua sebesar 86.40 x/menit, pada hari ketiga sebesar 83.40x/menit, hari keempat sebesar 80 x/menit, pada hari kelima sebesar 84x/menit dan pada hari keenam mengalami penurunan sebesar 81.80x/menit. Sedangkan rerata nadi setelah PMR pada hari pertama yaitu 83.40 x/menit, pada hari kedua mengalami peningkatan sebesar 84x/menit, pada hari ketiga mengalami penurunan sebesar 79.60 x/menit, pada hari keempat mengalami peningkatan sebesar 80.80x/menit, hari kelima sebesar 81.80x/menit dan pada hari keenam mengalami penurunan sebesar 79.80x/menit. Rerata nadi sebelum PMR adalah 83.5 x/menit dan setelah PMR mengalami penurunan sebesar 81.56x/menit. Namun penurunan ini ini tidak didukung oleh hasil uji statistik paired t test dengan p value 0.080 yang menunjukkan secara statistik tidak ada pengaruh pemberian PMR terhadap nadi. Skor ansietas pada hari pertama sebelum PMR adalah 51.60 turun menjadi 48 setelah PMR hari
keenam. Jika dilihat masing masing responden 4 orang mengalami penurunan skor ansietas dan 1 orang mengalami peningkatan skor ansietas. Rerata skor ansietas mengalami penurunan setelah PMR selama 6 hari. Namun hasil ini tidak didukung oleh hasil uji statistik paired t test dengan p value 0.176 yang menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian PMR terhadap kecemasan. Secara subyektif, 5 orang (100%) pasien mengungkapkan bahwa mereka merasa nyaman dan rileks setelah dilakukan PMR. Hambatan dan Pemecahan Seluruh responden (100%) mengalami kelemahan/ parese motorik, parese nervus VII sehingga menghambat pelaksanaan dalam melakukan latihan ketegangan otot dan keadaan rileks. PMR dalam penelitian ini melibatkan 10 macam otot, seperti otot pergelangan tangan otot lengan bawah, otot siku dan lengan atas, kelompok otot bahu, otot kepala dan leher, otot wajah, punggung, dada,otot perut, otot kaki dan paha. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan ini adalah dengan membantu menegangkan otot – otot yang mengalami kelemahan motorik, seperti membantu mengepalkan tangan dengan kuat dan kemudian membantu melepaskan kepala perlahan – lahan baik oleh perawat maupun responden sendiri. Begitu juga pada bagian kaki yang lemah membantu untuk menegangkan kaki dengan tangan peneliti dan kemudian membantu melepaskannya perlahan – lahan. Kesulitan untuk rileks secara mendalam dapat dicapai dengan beberapa kali latihan atau melakukan modifikasi dengan musik. Musik
dapat membantu meningkatkan relaksasi dan kenyamanan dan mengurangi nyeri. Penggunaan kuesioner untuk menilai ansietas menyebabkan pemilihan sampel yang terbatas. Rekomendasi Progressive Muscle Relaxation merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat digunakan sebagai tindakan untuk meningkatkan kenyamananan, relaksasi yang dapat berpengaruh terhadap respon fisiologis dan psikologis pasien stroke. Tindakan ini mudah dilakukan, dapat digunakan pada berbagai setting, mudah dipelajari, murah dan aman. Relaksasi merupakan salah satu bentuk mindbody therapy dalam terapi komplementer (Complementary and Alternative Therapy). Latihan ini juga dapat sebagai stimulasi dini pasien stroke dengan kelemahan motorik untuk meningkatkan kemampuan motoriknya.. Prosedur PMR ini dapat dimodifikasi dengan musik, meditasi untuk mendapatkan efek relaksasi lebih mendalam. Penggunaan kuesioner STAI untuk menilai pasien ansietas pada pasien dapat diganti dengan visual analog scale (VAS) untuk menilai ansietas, sehingga pelaksanaannya lebih mudah. Pembahasan Berdasarkan karakteristik responden, usia pasien stroke yang berpartisipasi dalam penerapan EBN rerata usia 51 tahun. Secara konsep, faktor umur merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat diubah. Menurut Feigin (2004) bahwa risiko terkena stroke meningkat sejak umur 45 tahun, setelah mencapai umur 50 tahun dan setiap penambahan umur
tiga tahun meningkatkan risiko stroke sebesar 11 – 20%. Usia paling muda pasien stroke yang berpartisipasi dalam kegiatan EBN ini adalah usia 44 tahun dan usia paling tua 65 tahun. Data ini menunjukkan bahwa usia hanya merupakan salah satu faktor risiko stroke. Penurunan fungsi sistem pembuluh darah akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, sehingga makin bertambah usia makin tinggi kemungkinan mendapat stroke (ASA, 2006). Selain usia, faktor risiko stroke adalah hipertensi, atrial fibrilasi dan penyakit katup jantung, hematokrit, fibrinogen dan polisitemia, hiperkolesterolemia, pil kontrasepsi, merokok, alkohol dan riwayat stroke, diabetes melitus (Misbach, 2011). Hipertensi primer muncul antara usia 30 – 50 tahun (Black & Hawks (2009). Hal ini sesuai dengan hasil anamnesa yang dijumpai pada responden pada saat penerapan EBN, yaitu kegemukan, senang makan yang berlemak, merokok, jarang olahraga, tidak patuh minum obat hipertensi dan jarang kontrol yang merupakan faktor risiko stroke. Hipertensi dapat terjadi sekitar 60 – 70% pada populasi yang berusia > 60 tahun. Hipertensi dapat terjadi akibat kekakuan pembuluh darah, ateroskelerosis, disfungsi endothelial, stress oksidatif dan gangguan metabolik (Nilsson, 2005). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Zang et al (2009) yang menemukan pengaruh antara usia dengan kejadian stroke. Ini berarti bahwa semakin tua usia, semakin tinggi pula risiko untuk terjadinya stroke. Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar responden berjenis kelamin laki – laki. Risiko stroke
pada laki-laki hipertensi yang berusia 45-54 tahun sebanyak 36.2% sedangkan perempuan 35.9%. Sedangkan pada usia 55-64 tahun, risiko lebih tinggi pada perempuan yaitu 55.8% sedangkan laki-laki 53.7% (Roger et al., 2012). Pernyataan ini didukung oleh Iskandar (2003), bahwa laki-laki lebih cenderung lebih berisiko dibandingkan wanita dengan perbandingan 1.3 : 1, kecuali pada umur lanjut risiko stroke pada lakilaki dan wanita hampir sama. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh faktor gaya hidup laki-laki antara lain seperti : merokok, minum minuman beralkohol dan stress (baik dalam pekerjaan, keuangan, sosial). Menurut Feigin (2004) stres dalam jangka panjang dapat memicu faktorfaktor yang berhubungan dengan penyebab stroke. Tingkat pendidikan pasien stroke yang terbanyak adalah SMA. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap stroke, namun semakin tinggi pendidikan akan mempengaruhi perilaku hidup sehat. Gaya hidup sehat yang dapat dilakukan untuk mencegah stroke adalah mengurangi rokok, melakukan exercise, mengontrol berat badan dan modifikasi diet (Brassard, 2009). Karakteristik pasien yang lain adalah status perkawinan. Pasien stroke yang berpartisipasi dalam penerapan EBN ini semuanya telah menikah. Status perkawinan dilihat dari segi pemberi dukungan (support system) dalam memberikan dukungan pada pasien stroke. Gangguan pada pasien stroke memberikan efek sosial pada pasien dan keluarganya. Aktivitas sehari – hari dan kontak sosial dengan lingkungan sekitarnya menurun drastis, sehingga akan
mengganggu keharmonisan keluarga (Sarafino, 2006). Berdasarkan jenis serangan stroke, yang terbanyak dalam penerapan EBN ini adalah yang memiliki serangan stroke 1 kali sebesar 80% dan > 1 kali sekitar 20%. Secara konsep sekitar sepertiga dari semua pasien stroke yang sembuh dari stroke akan mengalami serangan ulang dalam 5 tahun, 5-14% dari mereka akan mengalami stroke ulang pada tahun pertama (Iskandar, 2003). Menurut National Stroke Association (2010), 3- 10% stroke ulang terjadi dalam 30 hari, 5-14% pasien stroke akan mengalami stroke ulang dalam 1 tahun, dan 25-40% dalam waktu 5 tahun. Faktor risiko stroke berulang sama dengan faktor risiko stroke yang pertama. Serangan stroke ulang pada umumnya dijumpai pada individu dengan hipertensi yang tidak terkendali dan merokok. Black & Hawks (2009) menyatakan bahwa pengurangan berbagai faktor risiko, seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, dan obesitas saat serangan stroke pertama dapat mencegah serangan stroke berulang Berdasarkan jenis stroke, responden yang mengalami stroke iskemik lebih banyak dibandingkan dengan stroke hemoragik. Hal ini disebabkan jumlah pasien stroke iskemik lebih tinggi sekitar 87%, dibandingkan stroke hemoragik yang berjumlah 13% (AHA, 2006; Black & Hawks, 2009). Selain karena insiden stroke iskemik lebih tinggi, secara klinis pasien yang mengalami stroke hemoragik mengalami penurunan kesadaran, gangguan kognitif dan gangguan proses pikir sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam penerapan EBN.
Rerata tekanan darah sistolik pada pasien stroke mengalami peningkatan sebelum dilakukan PMR, mengalami penurunan pada hari kedua, mengalami peningkatan hari ketiga, selanjutnya mengalami penurunan hari keempat, mengalami peningkatan pada hari kelima dan mengalami peningkatan pada hari keenam. Perubahan tekanan darah dapat dipengaruhi oleh faktor kompleks hormonal, neurotransmitter, denyut nadi, ukuran pembuluh darah, aktivitas dan pengobatan (Davis, 2006). Tekanan darah bergantung kepada curah jantung, tahanan perifer pada pembuluh darah dan volume atau isi darah yang bersirkulasi. Tekanan darah berubah – ubah dari waktu ke waktu, berubah pada waktu respirasi, emosi, gerak badan, makan, suhu, kandung kencing penuh, keadaan nyeri dan variasi sirkadian (Lumbantobing, 2008). Tekanan darah yang meningkat pada pasien yang berpartisipasi dalam penerapan EBN terjadi karena pasien memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi merupakan faktor utama stroke (Misbach, 2011, Black & Hawks, 2009). Selain itu sekitar 70% pasien stroke mengalami peningkatan tekanan darah (Pinto & Caple, 2010). Peningkatan tekanan darah pada pasien stroke merupakan autoregulasi untuk meningkatkan perfusi serebral pada area penumbra. Tekanan darah dipertahankan 160 mmHg dengan glukosa darah tidak melebihi 200 mg/100 ml. Reperfusi yang cepat dapat menormalkan suplai darah dan gangguan fungsi dapat reversibel. (Bornstein & Auriel, 2010; Rohkamm, 2004). Sebagian besar ahli tidak merekomendasikan terapi
hipertensi pada stroke iskemik akut, kecuali terdapat hipertensi berat yang menetap yaitu tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau diastolik >110 mmHg. Hal ini dilakukan untuk mencegah risiko perdarahan dan mengurangi edema (Misbach, 2011). Tekanan darah dapat turun pada hari ke – 7 sampai 10 hari dan lebih sering 1 – 2 hari pertama (Wong & Read, 2008). Rerata tekanan darah sistolik setelah PMR mengalami peningkatan dibandingkan sebelum latihan PMR sebesar 0.75 mmHg. Peningkatan tekanan darah pada pasien stroke fase akut terjadi pada 75% kasus, setelah itu akan menurun pada minggu pertama dan sekitar 40% mengalami hipertensi yang menetap (Willmot, Bee, & Bath, 2004). Selain itu adanya kelemahan motorik yang dialami oleh responden sehingga membuat kesulitan pasien untuk menegangkan dan merelaksasikan ototnya. Kondisi ini kemungkinan dapat mengurangi efek maksimal PMR, seperti penurunan tekanan darah. Sekitar 90% pasien stroke mengalami kelemahan atau kelumpuhan separo badan (Mulyatsih & Ahmad 2010). Walaupun demikian, terlihat motivasi yang tinggi pada pasien melakukan PMR untuk menstimulasi ekstremitasnya yang mengalami kelemahan. Mengaktifkan ekstremitas yang lemah juga akan memberikan stimulasi kepada sel – sel otak untuk berlatih kembali aktifitas yang dipelajari sebelumnya (Mulyatsih, & Ahmad, 2010). Rerata tekanan darah diastolik sebelum PMR dan setelah PMR adalah mengalami penurunan sebesar 1.26 mmHg. Tekanan darah diastolik adalah tekanan ketika ventrikel istirahat. Faktor yang mempengaruhi
tekanan darah adalah usia, aktifitas, ras, stress, jenis kelamin, obat – obatan, obesitas, diurnal variations, kondisi patologis (Berman & Snyder, 2012). Rerata denyut nadi masingmasing responden mengalami penurunan. Rerata denyut nadi sebelum PMR adalah 83.5 x/menit dan setelah PMR adalah 81.56 x/menit. Data ini menunjukkan bahwa denyut nadi responden masih dalam rentang normal. Denyut nadi normal saat istirahat pada orang dewasa adalah 60-100x/menit. Denyut nadi dikontrol oleh sistem saraf otonom, saraf parasimpatis (nervus vagus) akan memperlambat denyut nadi (Ignatavicius & Workman, 2010). Faktor yang mempengaruhi denyut nadi adalah usia, jenis kelamin, aktifitas, demam, obat, hipovolemia/dehidrasi, stress, posisi dan patologi (Berman & Snyder, 2012). Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus dan saraf parasimpatis untuk menurunkan tekanan darah, metabolisme dan respirasi mengurangi pemakaian oksigen dan ketegangan otot. Hal ini untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental (Sheu, Irvin, Lin & Mar 2003). Denyut nadi juga merupakan indikator fisiologis yang kuat terhadap relaksasi (Harris, 2009). Respon psikologis pada pasien stroke berupa ansietas dengan menggunakan kuesioner State Trait Anxiety Inventory (STAI) yang diukur sebelum PMR dan sesudah PMR pada hari keenam menunjukkan terdapat penurunan rerata skor ansietas pada pasien stroke. Stres fisik maupun emosional mengaktifkan system neuroendokrin dan system saraf simpatis melalui
hipotalamus-pituitari – adrenal (Price & Wilson, 2006, Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Brown (1997) dalam Snyder & Lindquist (2002) menyebutkan bahwa respon stress adalah bagian dari jalur umpan balik yang tertutup antara otot - otot dan pikiran. Relaksasi PMR merupakan salah satu mind-body therapy (terapi pikiran dan otot – otot tubuh) dalam terapi komplementer (Moyad & Hawks, 2009). Penilaian terhadap stressor mengakibatkan ketegangan otot yang mengirimkan stimulus otak dan membuat jalur umpan balik. Relaksasi PMR akan menghambat jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatis dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat sikap positif sehingga rangsangan stress terhadap hipotalamus berkurang (Copstead & Banasik, 2000). Meskipun terdapat penurunan rerata skor ansietas, 1 orang responden mengalami peningkatan skor ansietas. Pasien mengatakan kurang bisa merasakan sensasi dari latihan PMR yang dilakukan karena kurang bisa merasakan konsentrasi dalam melakukan PMR tersebut, meskipun pasien bisa melakukan semua langkah atau prosedur PMR. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan kondisi kesehatan yang dialami. Tetapi responden yang lain melaporkan bahwa pada saat melakukan PMR ada dua sensasi berbeda yaitu merasakan ketegangan otot ketika bagian otot – otot tubuhnya diregangkan dan merasakan sesuatu yang rileks, nyaman, enak dan santai ketika otot – otot tubuh yang sebelumnya ditegangkan tersebut direlaksasikan. Meskipun mengalami peningkatan namun skor ansietas
tidak ada yang melebihi 80. Skor STAI berada pada rentang 20 – 80, bila lebih tinggi menunjukkan kecemasan yang lebih tinggi (Tilton, 2008). Kondisi kehidupan, fungsi kognitif dan ketidakmampuan fungsional mempunyai hubungan yang signifikan dengan ansietas (Fure, Wyller, Engedal & Thommessen, 2006). Walaupun secara statistik tidak ada hubungan signifikan antara latihan PMR dengan perubahan fisiologis dan psikososial, namun secara klinis ditemukan perkembangan terhadap penurunan terhadap tekanan darah, nadi, dan kecemasan. Relaksasi progresif adalah suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan dan mengalami rasa nyaman tanpa tergantung pada hal/subjek di luar dirinya. Pelatihan relaksasi dapat mengurangi ketegangan subjektif dan berpengaruh terhadap proses fisiologis lainnya. Relaksasi otot berjalan bersama dengan respon otonom dari saraf parasimpatis. (Soewondo, 2011). Melalui Progressive muscle relaxation (PMR) seseorang akan mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan tegangan pada kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang (Richmond, 2007). Relaksasi otot ini akan menginhibisi hipotalamus untuk menghentikan sekresi CRH, sehingga sekresi ACTH dan kortisol juga berhenti. Relaksasi akan
mempengaruhi hipotalamus terhadap rangsangan parasimpatis sehingga menurunkan nadi, tekanan darah, metabolisme dan kecepatan repirasi, sehingga dapat menggurangi konsumsi oksigen dan ketegangan otot (Sheu, Irvin, Lin & Mar, 2003). Kesimpulan 1.
2.
Tidak ada pengaruh pemberian PMR terhadap tekanan darah sistolik dengan p value 0.138 (p<0.05) dan tekanan darah diastolik dengan dengan p value 0.893 (p<0.05) Tidak ada pengaruh pemberian PMR dengan kecemasan dengan p value 0.176 (p<0.005)
Saran Progressive Muscle Relaxation merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat digunakan sebagai tindakan untuk meningkatkan kenyamananan, relaksasi yang dapat berpengaruh terhadap respon fisiologis dan psikologis pasien stroke. Tindakan ini mudah dilakukan, dapat digunakan pada berbagai setting, mudah dipelajari, murah dan aman. Latihan ini juga dapat sebagai stimulasi dini pasien stroke dengan kelemahan motorik untuk meningkatkan kemampuan motoriknya. Prosedur PMR ini dapat dimodifikasi dengan musik, meditasi untuk mendapatkan efek relaksasi lebih mendalam
DAFTAR PUSTAKA
ischemic strokecurrent status. J.Cell. Mol. Med., 14 (9), 22002202.
Asanti, L. (2012). Penanganan Hipertensi pada Stroke. Makalah seminar. http://www.strokebethesda.com. Diakses pada tanggal 13 Juni 2012.
Bulecheck, G.M., & McCloskey, J.C. (2004). Nursing interventions : Effective nursing treatment (4rd ed.). Philadelphia : W.B. Saunders Company.
Ackley, B. J., & Ladwig, G. B. (2011). Nursing diagnosis handbook. 9th edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Burke, M.M & Laramie, J.A. (2002). Primary care of the older adult : a multidisciplinary approach. First edition. Philadelphia : Mosby.
AHA/ASA. (2006). Primary prevention of ischemic stroke. http://stroke.ahajournals.org/cgi/ content/full/37/6/1583#FIG 1173987 diperoleh tanggal 14 Juni 2012.
Cameron, C. G., DeMille, D., Lynch, M. P., Huntzinger, C., Alcorn, T., Levicoff, J., et al. (2010). An interdisciplinary approach to manage cancer cachexia. Clinical Journal of Oncology Nursing, 14 (1), 72-80.
Basuki, M. (2011). Neurologi pada Anak. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Cetakan 1. Departemen Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. Berman., Snyder., Kozier., & Erb. (2012). Fundamentals of Nursing : Concepts, Process and Practice (9 th ed.). Volume 2. New Jersey : Pearson International Edition.
Caple, C. & Schub, T. (2010). Stroke: Cardiovascular causes and effects.Glendale, California: Cinahl Information Systems. Chen, C.C, et al (2009). Efficacy of Progressive Muscle Relaxation Training in Reducing Anxiety in Patient with Acute Schizophrenia. Journal of Clinical Nursing, 18 : 2187 – 2196. Blackwell Publishing Ltd.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes. 8 th edition. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier.
Davis, G. (2006). Blood pressure: anatomy and physiology in relation to drug therapies. Nurse Prescribing, 4 (9), 358364.
Bornstein, N. M., & Auriel, E. (2010). Neuroprotection in acute
Demiralp, M, Oflaz F, Komurcu. (2010). Effect of Progressive Muscle Relaxation Training on
Sleep Quality and Fatigue in Turkish Women with Breast Cancer Undergoing Adjuvant Chemotherapy. Journal of Clinical Nursing, 19 (7-8). Deglin & Vallerand. (2005). Pedoman Obat Untuk Perawat. Alih Bahasa: Kuncara, Y & Widyastuti, P. Jakarta : EGC. Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2004). Nursing Interventions Classification (NIC). 4 th edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier. Feigin, V. (2004). Stroke : Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke. Jakarta ; PT. Bhuana Ilmu Populer Ginsberg, L. (2005). Lecture notes: Neurologi. Edisi 6 (Wardhani, I. R., Penerjemah). Jakarta: Penerbit Erlangga. Hahn YB; Ro YJ; Song HH, Kim NC; King HS; Yoo YS. (1993). The Effect of Thermal Biofeedback and Progressive Muscle Relaxation Training in Reducing Blood Pressure of
Patients with Essential Hypertension.Image Journal Nursing , 25 (3) : 7 – 204. Herdman, T. H. (2012). NANDA international nursing diagnoses: definitions & classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell. Hickey, J.V. (2003). The clinical practice of neurological and neurosurgical nursing. (5th ed.). Philadelphia : J.B. Lippincott Company. Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2010). Medical surgical nursing patient – centered collaborative care. (6th ed.). Volume 2 . St. Louis : Elsevier Inc. Kee,
J.L. (1997). Buku saku pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Alih bahasa : Easter Nurses. Edisi 2. Jakarta : EGC