PENGARUH LENGAS TANAH PADA STADIA GENERATIF TERHADAP HASIL DAN KUALITAS HASIL BEBERAPA GENOTIPE KACANG TANAH Herdina Pratiwi dan A.A. Rahmianna Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umb Jalan Raya Kendalpayak KM 8 KP 66 Malang 65101 Telp. 0341-801468; e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Pada akhir musim hujan di lahan kering, tanaman kacang tanah berpeluang mengalami kekeringan pada fase reproduktif. Kehilangan hasil karena cekaman kekeringan pada fase generatif dapat menurunkan hasil hingga 75%. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kekeringan pada stadia generatif terhadap hasil dan kualitas biji beberapa genotipe kacang tanah. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Muneng, Probolinggo, pada musim kemarau Juli−Oktober 2007. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor, tiga ulangan, pada empat lingkungan lengas tanah. Faktor tersebut adalah lima genotipe kacang tanah yang terdiri dari tiga galur dan dua varietas kacang tanah (galur J-11, galur GH 51, varietas Kancil, varietas Turangga, dan galur ICGV 86590). Empat lingkungan lengas tanah yang berbeda (1) air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman (L1), (2) air tidak tersedia selama stadia R7−R8 (15 hari menjelang panen ), (3) air tidak tersedia selama stadia R5−R8 (30 hari menjelang panen), dan (4) air tidak tersedia selama stadia R3 –R8 (45 hari menjelang panen). Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan generatif, hasil dan kualitas biji kacang tanah. Lingkungan lengas tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, bobot brangkasan segar, umur berbunga, hasil polong dan kualitas biji kacang tanah. Kacang tanah yang terdera kekeringan selama 45 hari menjelang panen (stadia R3−R8) menghasilkan polong yang tidak berbeda nyata dengan lingkungan pada kondisi lengas tanah optimal namun memiliki polong dan biji dengan kualitas rendah yaitu jumlah polong dan persentase biji keriput lebih banyak. Kata kunci: kacang tanah, kekeringan, fase generatif, hasil, kualitas hasil
ABSTRACT The effect of drought stress during the reproductive stage on yield and yield quality of some peanut genotypes. Planting peanut at the end of rainy season in the dryland makes the plants suffer to drought during the reproductive stage. Yield loss due to drought stress in the reproductive stage can reduce yield by 75%. This study aimed to study the effect of drought during the reproductive stages on yield and yield quality of some peanut genotypes. The experiment was conducted in the Muneng experimental station, Probolinggo, in the dry season from July to October 2007. The study used a randomized block design with one factor and three replications nested in four soil moisture environments. The factor were five peanut genotypes consisted of three strains and two varieties (strain J-11, strain GH 51, variety Kancil, variety Turangga, and strain ICGV 86 590). Four different soil moisture environments, namely (1) water was available throughout the plants growth (L1), (2) water was not available on R7–R8 stages (15 days before harvest), (3) water was not available on R5–R8 stages (30 days before harvest), and (4) water was not available on R3–R8 stages (45 days before harvest). Data were collected for vegetative growth, generative growth, yield and yield quality of peanuts. Environmental soil moisture significantly affected plant height, biomass fresh weight, flowering dates, pod yield and yield quality of peanuts. Peanut plants that was suffer to drought for 45 days before harvest (R3–R8 stages) produced pods that was not significantly different with optimal soil moisture conditions, however had more shriveled and damaged pods and kernels. Key words: peanut, drought stress, reproductive stage, yield, yield quality
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
353
PENDAHULUAN Kacang tanah umumnya ditanam di lahan kering pada musim hujan dan lahan sawah pada musim kemarau panen tanaman padi atau jagung. Pada akhir musim hujan, tanaman kacang tanah berpeluang mengalami kekeringan pada fase reproduktif. Di lahan
kering/tegalan atau lahan sawah, kekeringan umumnya terjadi pada saat curah hujan sudah terbatas dan kacang tanah umumnya ditanam pada kondisi tadah hujan atau fasilitas pengairan terbatas. Di sisi lain, air sangat dibutuhkan oleh tanaman kacang tanah untuk pertumbuhan dan perkembangan polong (Sumarno dan Slamet 1993). Cekaman kekeringan yang terjadi pada stadia generatif akan menurunkan hasil yang lebih besar dibandingkan stadia vegetatif (Pratiwi 2011). Cekaman kekeringan yang terjadi pada stadia generatif menyebabkan gugurnya bunga sehingga menghasilkan sedikit polong isi dengan biji keriput (Kasno 2004). Sarma dan Sivakumar (1989) menyatakan bahwa cekaman kekeringan yang terjadi sejak awal pembungaan sampai perkembangan biji mempengaruhi hasil dan kualitas biji kacang tanah. Menurut Rahmianna dan Taufiq (2008), kekeringan yang terjadi setelah fase pertumbuhan R5 (pengisian biji) sampai dengan panen mengurangi bobot polong kering 77,5%, bobot biji 88,6%, nisbah bobot biji/polong 50,7%, dan jumlah polong isi 89,6% dibanding tanaman pada kondisi kapasitas. Kurang tersedianya air, terutama pada lahan kering, dapat menjadi pembatas bagi pertumbuhan kacang tanah. Dengan mengetahui stadia yang paling rentan terhadap kekeringan dapat diketahui penggunaan air bagi kacang tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kekeringan pada stadia generatif terhadap hasil dan kualitas biji beberapa genotipe kacang tanah.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Muneng, Probolinggo, pada MK 2007 (Juli−Oktober). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor tiga ulangan pada empat lengas tanah. Faktor tersebut adalah lima genotipe kacang tanah yang terdiri dari tiga galur dan dua varietas kacang tanah (galur J-11, galur GH 51, varietas Kancil, varietas Turangga,dan galur ICGV 86590). Empat lengas tanah adalah (1) air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman (L1), (2) air tidak tersedia selama stadia R7−R8 (15 hari menjelang panen), (3) air tidak tersedia selama stadia R5−R8 (30 hari menjelang panen), dan (4) air tidak tersedia selama stadia R3 –R8 (45 hari menjelang panen). Pada masing-masing lingkungan,kacang tanah ditanam dalam satu petak berukuran 25 x 25 m, sehingga terdapat empat petak. Benih ditanam dengan jarak 40 x 10 cm. Pupuk dasar 50 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha diberikan pada saat tanam dengan cara ditaburkan dalam alur di sepanjang barisan tanaman. Pengendalian organisme pengganggu (gulma, hama dan penyakit) dilakukan secara intensif. Panen dilakukan setelah 75% dari jumlah polong isi sudah masak. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan generatif, hasil dan kualitas biji kacang tanah. Pengamatan pertumbuhan vegetatif meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang dan bobot brangkasan segar dan kering. Pengamatan pertumbuhan generatif meliputi umur berbunga, jumlah polong isi, jumlah polong muda, bobot polong segar, bobot polong kering per tanaman, dan bobot 100 biji. Pengamatan kualitas biji
354
Pratiwi dan Rahmianna: Lengas tanah, stadia generatif, hasil, dan kualitas hasil kacang tanah
kacang tanah meliputi polong berisi biji bernas, utuh, polong berisi biji keriput, polong berisi biji rusak, biji SMK (bernas, utuh, kulit ari cerah), biji SHV (keriput, >50% utuh kulit ari biji cerah), dan biji DMG (rusak, berlubang, terinfeksi jamur, kulit polong dan kulit ari berubah warna), diamati dari 250 g polong kering jemur. Selama masa pertumbuhan tanaman tidak terjadi hujan sehingga kebutuhan air diberikan dengan cara pengairan/irigasi. Pengairan dilakukan bersamaan pada saat tanam kemudian setiap 15 hari sekali dan dihentikan pada saat perlakuan kekeringan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Vegetatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa lengas tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, bobot brangkasan segar per tanaman dan kadar air brangkasan. Genotipe kacang tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, bobot brangkasan segar dan bobot brangkasan kering per tanaman (Tabel 1). Semakin optimal kelengasan tanah (semakin lama tersedia air bagi tanaman), semakin banyak air yang dapat terserap oleh tanaman sehingga pertumbuhan lebih baik dan bobot brangkasan segar juga lebih tinggi. Pimratch et al. (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kekeringan tanah, semakin rendah produksi biomas kacang tanah. Penurunan tinggi tanaman biasanya disebabkan oleh pengaruh kekeringan pada fase vegetatif (Riduan dkk. 2005; Pratiwi 2011), namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekeringan pada fase generatif masih dapat menyebabkan penurunan tinggi tanaman. Tanaman kacang tanah bersifat indeterminit sehingga meskipun sudah memasuki fase generatif, pertumbuhan vegetatif tetap berlangsung sehingga kekeringan yang terjadi pada fase generatif juga menghambat pertumbuhan vegetatifnya. Tabel 1. Perlakuan
Komponen vegetatif lima genotipe kacang tanah pada empat lengas tanah. KP Muneng, MK Juli−Oktober 2007. Tinggi tanaman (cm)
Lingkungan lengas tanah (L) L1 45,96 a 42,13 b L2 38,65 b L3 39,12 b L4 BNT 3,54 *** Genotipe kacang tanah (G) Galur J-11 42,60 b Galur GH 51 40,52 b Varietas Kancil 40,30 b Varietas Turangga 47,68 a Galur ICGV 86590 36,23 c BNT 3,68 *** L >< G ns
Jumlah cabang
Brangkasan segar/tan (g)
Brangkasan kering/tan (g)
Kadar air brangkasan (%)
4,4 a 4,3 a 4,1 a 4,2 a ns
46,0 a 45,2 a 42,1 a 34,1 b 6,88 **
23,3 a 23,7 a 24,8 a 23,5 a ns
49,2 a 47,4 a 39,8 ab 30,2 b 10,50 ***
4,3 a 4,4 a 4,5 a 4,0 a 4,2 a ns S*
43,3 ab 43,3 ab 36,8 b 47,7 a 38,2 b 6,63 ** ns
24,7 ab 23,2 b 21,7 b 28,5 a 20,9 b 4,29 *** ns
41,6 a 44,2 a 39,5 a 38,9 a 44,3 a ns ns
Ket: L1: air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman, L2: air tidak tersedia selama stadia R7 –R8, L3: air tidak tersedia selama stadia R5 –R8 dan L4: air tidak tersedia selama stadia R3 –R8. s dan ns: berbeda nyata dan tidak berbeda nyata. ***, **, *,: signifikan pada batas peluang 0,01; 0,05; 0,1.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
355
Di antara lima genotipe yang diuji, varietas Turangga yang mempunyai tipe tumbuh Valencia memiliki keragaan tanaman paling tinggi. Sebaliknya, galur ICGV 86590 dengan tipe yang juga Valencia memiliki tanaman paling rendah. Keragaan tanaman varietas Turangga yang tinggi menyebabkan produksi brangkasan segar dan kering lebih tinggi dibanding empat genotipe lainnya. Varietas Turangga memiliki kemampuan memproduksi lebih banyak bahan kering. Ini terlihat dari tingginya bahan kering dibandingkan dengan bahan segarnya.
Pertumbuhan Generatif Lengas tanah berpengaruh nyata terhadap umur 75% tanaman berbunga, jumlah polong muda, dan bobot 100 biji (Tabel 2). Lengas tanah yang tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman (L1) menyebabkan inisiasi bunga menjadi lebih cepat sehingga umur berbunga dua hari lebih awal dari perlakuan lengas tanah yang lain. Sebaliknya, pada lingkungan tersebut, tanaman mempunyai jumlah polong muda/tanaman paling banyak dibanding perlakuan yang lain. Hal ini berhubungan dengan kemampuan berbunga tanaman kacang tanah, bahwa pada lingkungan dengan lengas tanah yang optimal, tanaman berbunga dalam periode yang lebih lama dibandingkan apabila tanaman tumbuh pada kondisi lengas tanah yang rendah. Bunga yang terbentuk pada fase-fase akhir akan menjadi bakal polong atau polong muda dan hal tersebut tidak mempengaruhi hasil akhir kacang tanah (Songsri et al. 2008). Hal ini terlihat dari jumlah polong isi per tanaman yang sama pada semua lingkungan. Tabel 2. Perlakuan
Komponen generatif lima genotipe kacang tanah pada empat lingkungan lengas tanah. KP Muneng, MK Juli−Oktober 2007. Umur 75% berbunga
Lingkungan lengas tanah (L) L1 28,8 b L2 29,6 a L3 29,7 a L4 29,9 a BNT 0,59 ** Genotipe kacang tanah (G) Galur J-11 28,8 cd Galur GH 51 28,3 d Varietas Kancil 29,5 bc Varietas Turangga 30,2 ab Galur ICGV 86590 30,8 a BNT 1,02 *** L >< G S ***
Jumlah polong isi/tan
Jumlah polong muda/tan
Bobot polong segar/tan
Berat polong kering/tan
Bobot 100 biji
11,8 a 13,3 a 11,1 a 11,1 a ns
4,1 a 3,9 ab 3,2 bc 3,0 c 0,71 *
18,1 a 16,0 a 15,1 a 21,6 a ns
12,1 a 12,1 a 11,0 a 10,8 a ns
34,54 b 37,90 a 33,74 b 31,96 b 3,24 **
14,0 a 12,8 ab 10,7 b 11,0 b 10,7 b 2,21 ** ns
3,2 bc 3,5 abc 3,8 ab 2,8 c 4,5 a 0,99 *** ns
14,0 b 17,0 b 15,7 b 24,2 a 17,7 b 4,89 ** ns
9,9 b 11,8 ab 9,8 b 13,9 a 12,1 ab 2,53 ** ns
30,09 b 37,33 a 35,63 a 35,16 a 34,45 a 2,89 *** *
Ket: L1: air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman, L2: air tidak tersedia selama stadia R7 –R8, L3: air tidak tersedia selama stadia R5 –R8 dan L4: air tidak tersedia selama stadia R3 –R8. s dan ns: berbeda nyata dan tidak berbeda nyata. ***, **, *,: signifikan pada batas peluang 0,01; 0,05; 0,1.
Genotipe kacang tanah berpengaruh nyata terhadap umur 75% berbunga, jumlah polong isi, jumlah polong muda, bobot polong segar, bobot polong kering, dan bobot 100 biji (Tabel 2). Galur J-11 dan GH 51 berbunga lebih cepat dari tiga genotipe yang lain, sedangkan varietas Turangga dan galur ICGV 86590 yang merupakan tipe Valencia me-
356
Pratiwi dan Rahmianna: Lengas tanah, stadia generatif, hasil, dan kualitas hasil kacang tanah
miliki umur berbunga lebih dalam. Genotipe dengan umur berbunga cepat memiliki jumlah polong isi yang lebih banyak. Hal ini dikaitkan dengan kecepatan pertumbuhan generatif yang juga berarti semakin cepatnya pengisian polong, sehingga pembentukan biji juga menjadi lebih cepat. Jumlah polong isi tampaknya tidak berkorelasi positif dengan bobot polong kering per tanaman. Hal ini dapat dilihat pada varietas Turangga, galur ICGV 86590 dan galur J-11. Bobot polong berkaitan pula dengan ukuran polong dan tebal tipisnya kulit. Selain itu genotipe dengan tipe Valencia memiliki jumlah biji lebih dari dua sehingga ukuran polong lebih besar. Dari pengamatan fisik diketahui bahwa kulit polong varietas Turangga lebih tebal dibandingkan dengan genotipe lainnya, sedangkan galur J-11 memiliki kulit yang paling tipis sehingga bobot polongnya juga lebih rendah.
Hasil dan Kualitas Hasil Hasil Lengas tanah dan genotipe berpengaruh nyata terhadap hasil polong kering, kadar air polong saat panen dan kadar air polong kering jemur (Tabel 3). Ketersediaan lengas tanah sepanjang pertumbuhan tanaman memberikan hasil polong yang sama dengan apabila air tersedia hanya hingga stadia R2 (pembentukan ginofor) dan hasil polong tinggi apabila ketersediaan air hanya sampai R4 (polong penuh) atau R6 (biji penuh). Rendahnya hasil pada lingkungan L1 disebabkan oleh kandungan air yang tinggi pada polong. Kadar air polong saat panen semakin rendah dengan semakin singkatnya periode ketersediaan lengas tanah pada fase generatif tanaman. Hasil tertinggi adalah pada lingkungan di mana air tersedia hingga fase R6. Setelah fase tersebut tanaman memasuki fase pemasakan polong yang tidak terlalu sensitif terhadap kekurangan air. Hasil penelitian Stansell dan Pallas (1985) dan Rahmianna dkk. (2007) menunjukkan bahwa kekeringan pada fase pemasakan polong memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kondisi air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman. Tabel 3. Perlakuan
Hasil dan sifat fisik polong lima genotipe kacang tanah pada empat lingkungan lengas tanah. KP Muneng, MK Juli−Oktober 2007. Jumlah tanaman dipanen/ 10m2
Lingkungan lengas tanah (L) L1 133,1 a L2 132,3 a L3 132,5 a L4 125,6 a BNT ns Genotipe kacang tanah (G) Galur J-11 133,3 a Galur GH 51 125,7 a Varietas Kancil 135,9 a Varietas Turangga 131,0 a Galur ICGV 86590 128,4 a BNT ns L >< G ns
Hasil polong/ha (ka 12%)
Kadar air polong saat panen (% bb)
Kadar air polong kering jemur (%bb)
0,997 b 1,400 a 1,396 a 1,071 b 0,254 ***
39,67 a 36,12 a 30,86 b 26,71 b 4,4 ***
9,74 b 10,06 ab 10,52 ab 11,33 a 1,50 ***
0,964 c 1,076 c 1,076 c 1,626 a 1,338 b 0,234 *** S*
29,31 b 32,20 ab 33,61 ab 35,71 a 35,75 a 5,77 *** S ***
10,19 b 10,19 b 10,10 b 11,26 a 10,31 b 1,54 *** S **
Ket: L1: air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman, L2: air tidak tersedia selama stadia R7 –R8, L3: air tidak tersedia selama stadia R5 –R8 dan L4: air tidak tersedia selama stadia R3 –R8. s dan ns: berbeda nyata dan tidak berbeda nyata. ***, **, *,: signifikan pada batas peluang 0,01; 0,05; 0,1.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
357
Varietas Turangga memiliki hasil polong kering tertinggi di antara kelima genotipe kacang tanah, meskipun kadar airnya tinggi (Tabel 3). Sebaliknya, tiga genotipe yang bertipe Spanish (galur J-11, galur GH 51 dan varietas Kancil) memiliki hasil polong yang sama rendah. Galur ICGV 86590 yang merupakan tipe Valencia memiliki hasil 18% lebih rendah dibanding varietas Turangga namun masih lebih tinggi dibanding genotipe dengan tipe Spanish.
Kualitas Hasil Lengas tanah dan genotipe berpengaruh nyata terhadap hampir semua parameter kualitas polong dan biji kacang tanah (Tabel 4). Tanaman yang kekurangan air pada sebagian besar masa reproduktifnya (L3 dan L4) menghasilkan polong dan biji dengan kualitas fisik yang lebih rendah dibanding apabila lengas tanah tersedia pada periode generatifnya. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya polong berisi biji bernas dan biji bernas (SMK) dan besarnya polong berisi biji keriput dan biji keriput (SHV). Pengamatan menunjukkan lebih banyak jumlah polong yang berisi biji keriput atau lebih sedikitnya jumlah polong yang berisi biji bernas. Ketidaktersediaan lengas tanah pada sebagian besar periode generatif menyebabkan sebagian besar jumlah polong berisi biji keriput dan hanya sedikit yang berisi biji bernas. Hal yang sama terjadi pada penelitian Stansell dan Plas (1985) dimana kekeringan pada fase generatif menyebabkan jumlah polong keriput dan rusak lebih banyak. Hasil polong yang rendah pada lingkungan L1 dan L4 (Tabel 3) bisa dijelaskan dari tingginya persentase polong yang berisi biji keriput dan rusak serta biji yang rusak sehingga mempengaruhi bobot hasil. Menurut Rahmianna dan Yusnawan (2005), jamur terutama Aspergillus flavus akan lebih berkembang pada lingkungan dengan ketersediaan air yang lebih rendah. Tabel 4. Perlakuan
Kualitas fisik polong dan biji lima genotipe kacang tanah pada empat lingkungan lengas tanah. KP Muneng, MK Juli−Oktober, 2007. % polong dengan biji SMK
Lingkungan lengas tanah (L) L1 58,73 ab L2 68,28 a L3 51,18 b L4 32,42 c BNT 12,86 *** Genotipe kacang tanah (G) Galur J-11 62,95 a Galur GH 51 64,97 a Varietas Kancil 52,09 b Varietas Turangga 40,61 c Galur ICGV 86590 42,64 bc Galur J-11 9,65 *** L >< G ns
% polong dengan biji SHV
% polong dengan biji DMG
% bobot biji SMK
% bobot biji SHV
% bobot biji DMG
27,42 c 20,83 c 39,77 b 53,64 a 11,21 ***
13,85 a 10,89 a 9,05 a 13,94 a ns
57,21 a 65,67 a 59,41 a 41,30 b 8,55 ***
23,73 ab 15,41 b 26,22 a 27,66 a 8,68 ***
19,06 b 18,92 b 14,38 b 31,04 a 10,35 ***
29,36 bc 25,04 c 36,38 b 51,01 a 35,28 b 9,60 *** *
7,69 b 9,98 b 11,53 b 8,39 b 22,08 a 5,41 *** ***
62,11 ab 67,08 a 55,50 bc 48,21 c 46,59 c 9,70 *** ***
21,03 b 14,65 b 23,58 ab 33,34 a 23,66 ab 10,04 *** ns
16,85 b 18,27 b 20,92 b 18,45 b 29,75 a 8,47 *** ***
Ket: L1: air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman, L2: air tidak tersedia selama 0,5 bulan menjelang panen, L3: air tidak tersedia selama 1 bulan menjelang panen dan L4:. air tidak tersedia selama 1,5 bulan menjelang panen. SMK=bernas, SHV=keriput, DMG=rusak. s dan ns: berbeda nyata dan tidak berbeda nyata. ***, **, *,: signifikan pada batas peluang 0,01; 0,05; 0,1.
358
Pratiwi dan Rahmianna: Lengas tanah, stadia generatif, hasil, dan kualitas hasil kacang tanah
Kadar Lengas Tanah dan Kandungan Relatif Air pada Daun Kadar Lengas Tanah Kandungan lengas tanah sesaat sebelum dan sesudah pengairan menunjukkan bahwa pengairan 15 hari sekali pada lingkungan dengan tipe iklim D yang kering dan tanpa adanya hujan menunjukkan bahwa dalam periode pengairan pada L1 dan L2, tanah belum berada pada kondisi titk layu permanen, bahkan masih dalam kisaran di antara titik layu permanen dan kapasitas lapang (Tabel 5). Pengairan dengan penggenangan ternyata meningkatkan kandungan lengas tanah hingga kondisi jenuh pada saat pengairan dihentikan. Pemberian air dengan interval 15 hari dapat ditunda lebih lama lagi karena selama rentang hari tersebut, tanah belum mencapai titik layu permanen sehingga masih tersedia lengas bagi tanaman. Namun pada lingkungan L2 dan L3, kadar air semakin menurun setelah pengairan terakhir dan pada saat panen lingkungan L2, L3 dan L4 memiliki kadar air di bawah titik layu permanen. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan L2, L3 dan L4 memberikan kondisi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan tanaman karena air tidak tersedia. Tabel 5.
Kandungan lengas tanah sebelum dan sesudah pengairan. KP Muneng, MK Juli−Oktober 2007. Kadar air tanah (% bk) 55 HST
70 HST
Lingk
Seb pengairan
Set pengairan
Seb pengairan
L1
26.34
45.51
27.20
L2
27.53
51.12
19.18
L3
28.34
46.75
L4
25.68
42.26
85 HST
100 HST
Seb pengairan
Set pengairan
Seb pengairan
Set pengairan
Saat panen
45.51
29.49
45.26
23.50
37.85
28.40
51.12
24.97
38.98
18.32
32.38
7.82
22.49
46.75
6.82
6.27
11.64
6.82
7.11
23.28
12.10
6.39
7.03
8.97
6.55
7.22
Set pengairan
Keterangan : L1: air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman, L2: air tidak tersedia selama stadia R7 –R8 (pengairan hanya sampai umur 85 HST), L3: air tidak tersedia selama stadia R5 –R8 (pengairan hanya sampai umur 70 HST) dan L4: air tidak tersedia selama stadia R3 –R8 (pengairan hanya sampai umur 55 HST). Kapasitas lapang di Muneng = 43%, Titik layu permanen di Muneng : 21%
Kandungan Relatif Air Pada Daun Kandungan air relatif pada daun mengekspresikan kandungan air daun pada kondisi segar dibandingkan dengan kemampuan maksimal daun menyimpan air (yang dicapai dengan penjenuhan daun). Secara umum dapat dikemukakan bahwa semakin lama tanaman dalam kondisi kering, semakin rendah kandungan air pada daun dua hari menjelang panen. Kandungan relatif air pada daun yang tertinggi dicapai oleh tanaman yang tumbuh pada lingkungan dengan ketersediaan air yang melimpah (L1), yaitu sepanjang masa pertumbuhan tanaman hampir selalu pada kondisi kapasitas lapang atau bahkan lebih tinggi (Tabel 6). Sebaliknya, semakin singkat kondisi kapasitas lapang atau jenuh, semakin rendah kandungan relatif air pada daun. Varietas Turangga dan galur ICGV 86590 yang bertipe Valencia mempunyai kandungan air relatif pada daun lebih tinggi dari tiga genotipe kacang tanah Spanish (J11, GH 51 dan varietas Kancil), terutama pada lingkungan dengan kandungan lengas tanah rendah (perlakuan L3 dan L4) (Tabel 6), namun nilai kandungan air relatif daun pada cekaman kekeringan masih berada pada kisaran di bawah 70%. Menurut Nautiyal et
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
359
al. (1995), genotipe kacang tanah tergolong tahan terhadap cekaman kekeringan apabila dapat mempertahankan kandungan relatif air pada daun hingga >80%. Tabel 6.
Kandungan relatif air pada daun genotipe kacang tanah pada empat lingkungan lengas tanah. KP Muneng, MK Juli−Oktober, 2007.
Varietas J-11 GH 51 Kancil Turangga ICGV 86590
Kandungan air relatif daun pada lingkungan pengairan (%) L1
L2
L3
L4
92,7 84,1 83,9 86,9 94,8
64,8 68,1 67,4 69,1 67,8
48,7 49,8 50,8 61,2 64,0
49,5 46,8 46,2 61,9 53,8
Ket: L1: air tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman, L2: air tidak tersedia selama stadia R7 –R8, L3: air tidak tersedia selama stadia R5 –R8 dan L4: air tidak tersedia selama stadia R3 –R8.
KESIMPULAN Lingkungan lengas tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, brangkasan segar, umur berbunga, hasil polong dan kualitas hasil kacang tanah. Kacang tanah yang terdera kekeringan selama 45 hari menjelang panen (stadia R3−R8) menghasilkan polong yang tidak berbeda nyata dengan lingkungan pada kondisi lengas tanah optimal namun memiliki polong dan biji dengan kualitas rendah, yaitu jumlah polong dan persentase biji keriput lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA Kasno, A. 2004. Pencegahan infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah. Jurnal Litbang Pertanian 23(3):75−81. Nautiyal, P. C., V. Ravindra, dan Y. C. Joshi. 1995. Gas exchange and leaf water relations in two peanut cultivars of different drought tolerance. Biologia Plantarum 37 (3): 371 –374. Pimratch, S., S. Jogloy, N. Vorasoot, B. Toomsan, A. Patanothai, and C.C. Holbrook. 2008. Relationship between biomass production and nitrogen fixation under drought-stress conditions in peanut genotypes with different levels of drought resistance. Journal of Agronomy and Crop Science 194:15 –25. Pratiwi, H. 2011. Pengaruh kekeringan pada berbagai fase tumbuh kacang tanah. Buletin Palawija No.22 : 71−78. Pratiwi, H. 2011. Pengaruh kekeringan pada berbagai fase tumbuh kacang tanah. Buletin Palawija No.22 : 71−78. Rahmianna, A.A. dan E. Yusnawan. 2005. Pencegahan kontaminasi Aflatoxin melalui penenganan pra-panen. Laporan Akhir Tahun 2004. Balitkabi, malang (unpublished). Rahmianna, A.A., A. Taufiq dan E. Yusnawan. 2007. Hasil polong dan kualitas biji kacang tanah pada tanah dengan kadar air dan umur panen berbeda. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(3):206−211. Rahmianna AA dan Taufiq A. 2008. Pengaruh tekstur tanah dan saat dan lama kondisi kapasitas lapang terhadap hasil polong dan cemaran aflatoksin pada kacang tanah. Agritek 16 (3). hlm. 333−500. Riduan A, H. Aswidinnor, J. Koswara, dan Sudarsono. Toleransi sejumlah kultivar kacang tanah terhadap cekaman kekeringan. Hayati Vol.12:28 –34. Sarma, P.S. dan Sivakumar, M. V. K. 1989. Response of groundnut to drought stress in different growth phases. Agricultural Water Management (15): 301−310. Songsri, P., S. Jogloy, T.Kesmala, N. Vorasoot, C. Akkasaeng, A. Patanothai, dan C.C. Holbrook. 2008. Response of reproductive characters of drought resistant peanut
360
Pratiwi dan Rahmianna: Lengas tanah, stadia generatif, hasil, dan kualitas hasil kacang tanah
genotypes to drought. Asian J. Plant. Sci. 7(5):427 –439. Stansell, J.R. and J.E. Pallas Jr. 1985. Yield and quality response of florunner peanut to applied drought at several growth stages. Peanut Science (12):64−70. Sumarno dan P. Slamet. 1993. Fisiologi dan pertumbuhan kacang tanah. Hlm. 24 –30. Dalam A. Kasno, A. Winarto, Sunardi (penyunting). Kacang Tanah. Monograf Balittan Malang No. 12. Balittan, Malang. 92 hlm.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
361