Penerapan terapi social skill training dan family psychoeducation terhadap diagnosis isolasi sosial di Ruang Arimbi RSMM Bogor Tahun 2013.
Penerapan terapi social skill training dan family psychoeducation terhadap diagnosis isolasi sosial di Ruang Arimbi RSMM Bogor Tahun 2013 Arena lestari, Prof.Dr.Budi Anna Keliat,S.Kp.M.App.Sc, Yossie Susanti Eka Putri,SKp,MN. Abstrak Isolasi sosial merupakan masalah keperawatan di ruang Arimbi RS. Marzoeki Mahdi Bogor dengan jumlah kasus terbanyak (62,5 %) dari 48 klien yang dirawat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Renidayati, keliat dan Sabri (2008) ditemukan tentang keefektifan terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah isolasi sosial klien yaitu terapi Social Skill training untuk meningkatkan ketrampilan sosialisasi Klien. Penelitian yang dilakukan Wiyati, Hamid dan Gayatri (2009) tentang efektifitas terapi Family Psychoeducation didapatkan hasil pada keluarga ada peningkatan kemampuan afektif dan psikomotor sehingga meningkatkan dukungan keluarga. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran penerapan terapi Social Skill Training dan Family Psychoeducation pada klien isolasi sosial. Metode yang digunakan yaitu studi serial kasus. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Tindakan yang diberikan yaitu terapi Social skill training dan terapi Family Psychoeducation pada 30 pasien isolasi sosial. 16 pasien mendapatkan terapi Social Skill training saja, 14 klien yang lain mendapatkan terapi Social Skill training dan family psychoeducation. Hasil terapi menunjukan penurunan gejala isolasi sosial dan peningkatan kemampuan ketrampilan sosial lebih banyak pada pasien yang mendapatkan terapi social skill training dan terapi Family Psychoeducation dibandingkan dengan pasien isolasi sosial yang hanya mendapatkan terapi social Skill training. Rekomendasi dari karya ilmiah ini adalah terapi social skill training dan terapi Family Psychoeducation dapat menjadi standar terapi spesialis pada klien isolasi sosial. Kata kunci :Isolasi social, social skill training , Family Psychoeducation Application of Social Skill Training and Family Phsycoeducation therapy toward Social Isolation Diagnosis at Arimbi Room, RSMM, Bogor,2013. ABSTRACT Social isolation was a problem nursing in Arimbi room, Marzoeki Mahdi Hospital Bogor with the highest number of cases (62.5%) of the number were 48 client treated. Based on research conducted Renidayati, Keliat and Sabri (2008) found about the effectiveness of therapies that can be used to solve problems of social isolation that therapy clients Social Skill training to improve socialization skills Client. Research conducted Wiyati, Hamid and Gayatri (2009) Family Psychoeducation about the effectiveness of therapy in the family that showed no increase in affective and psychomotor skills that improve family support. Writing scientific papers were intended to provide an overview of the application of therapy Social Skill Training and Family Psychoeducation on the client used by the social isolation. The method used case series study. The sampling method used was purposive sampling. The Action given the therapy Social skills training and therapy were 30 patients Family Psychoeducation social isolation. 16 patients received therapy Social Skill training course, 14 other clients who get Social Skill training therapy and family Psychoeducation. Results of the therapy showed a reduction in symptoms of social isolation and increase social skills more ability in patients receiving therapy and social skills training Family Psychoeducation therapy compared with patients who only receive social isolation social therapy Skill training. Recommendation of this paper is therapeutic social skills training and therapy Family Psychoeducation may become standard therapy specialist in social isolation clients.
Keyword : social isolation, Social Skill Training, Family Phsycoeducation
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
1.
2
Pendahuluan
Masalah kejiwaan di Indonesia dialami oleh 19 juta penduduk dan satu juta diantaranya mengalami gangguan jiwa berat atau psikosis (Riskesdas, 2007). Berdasarkan data kementerian kesehatan jumlah gangguan jiwa berat di Indonesia sekitar 1 juta jiwa atau 0,46% yang mengalami gangguan jiwa berat, sedangkan 19 juta jiwa atau 11,6% mengalami gangguan jiwa mental emosional termasuk depresi (Depkes, 2009). Jumlah penderita skizofrenia di Indonesia adalah 1% diantara 200 juta penduduk ( Ibrahim, 2011). Skizofrenia memiliki gejala positif dan negatif. Gejala positif terdiri atas halusinasi, delusi, bicara yang tidak terorganisasi dan perilaku yang aneh. Gejala negatif terdiri atas afek tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir, kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan. Salah satu dari gejala afektif skizofrenia adalah ketidakmampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga menyebabkan klien kurang berinteraksi dengan orang lain atau dalam pengertian lain terhambat dalam sosial. Maramis (2006) menyebutkan 72% klien yang mengalami skizofrenia mengalami isolasi sosial. Isolasi sosial adalah kegagalan individu dalam melakukan interaksi dengan orang lain yang disebabkan oleh pikiran negatif atau mengancam (Varcarolis, 2000). Menurut Keliat (2006) isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain. Penelitian yang dilakukan Renidayati, keliat dan Sabri (2008) ditemukan tentang keefektifan terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah isolasi sosial klien yaitu terapi Social Skill training untuk meningkatkan ketrampilan sosialisasi Klien. Penerapan terhadap terapi social skill training dilakukakan oleh beberapa orang dengan hasil klien yang mengalami isolasi social yang dilakukan terapi menghasilkan kesimpulan klien mampu berinteraksi sosial dan membina hubungan interpersonal dengan orang lain, memiliki kemampuan yang optimal dalam berinteraksi dengan lingkungan (Putri, Hamid & Susanti, 2011; Damayanti, Keliat, & Wardani, 2011 ;
Walter, Hamid & Putri, 2011; Napolion & Keliat, 2012 ; Istiana & Hamid, 2012 ). Terapi yang diberikan pada klien selain berupa terapi individu berupa social skill training juga ada terapi yang ditujukan untuk keluarga berupa family psychoeducation (FPE), merupakan salah satu terapi yang diharapkan dapat membuat keluarga lebih siap menerima klien yang mengalami isolasi sosial. Family psychoeducation adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang teraupetik kerjasama dengan keluarga merupakan bagian penting dari proses perawatan klien gangguan jiwa. Seperti diungkapkan juga oleh Carson (2000) psikoedukasi merupakan alat terapi keluarga yang makin popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor - faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala gejala perilaku. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian Wiyati, Hamid dan Gayatri (2009) tentang pengaruh family psychoeducation terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial didapatkan hasil bahwa terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan afektif dan psikomotor pada kelompok yang dilakukan terapi family psychoeducation dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan terapi family psychoeducation. Tujuan karya ilmiah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan Isolasi social dengan penerapan terapi spesialis social skill training dan family psychoeducation melalui pendekatan teori stress dan adaptasi Stuart dan System Neuman di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. 2.
Metode
Metode yang digunakan adalah study serial kasus. Tehnik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Jumlah sampel sebanyak 30 klien dengan diagnosis isolasi sosial. Tindakan yang dilakukan yaitu tindakan spesialis social skill training dan family psychoeducation. Sebanyak 16 klien diberikan tindakan social skill training saja dan 14 klien
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
3
mendapatkan tindakan social skill training dan family psycoeducation. 3.
Hasil
Karakteristik klien isolasi sosial yang dirawat di Arimbi semua berada pada rentang usia dewasa (25 - 65 tahun) yaitu sejumlah 30 klien(100 %) . Jenis kelamin seluruh klien adalah wanita. Tingkat pendidikan pada klien isolasi sosial sebagian besar adalah SD 15 klien(50%), Sebagian besar klien mempunyai riwayat tidak bekerja atau pengangguran sebelum mengalami sakit (67%). Status perkawinan sebagian besar janda yaitu 17 klien(57%), Menikah 8 klien(27%), dan tidak menikah 5 klien (17%). Sebagian besar klien tidak bekerja yaitu 20 klien (67%), tidak bekerja 10 klien(33%). Semua klien memiliki latar belakang status ekonomi rendah. Hal ini tampak dari sebagian pasien menggunakan fasilitas asuransi kesehatan (Jamkesmas/Jamkesda) untuk biaya selama masa perawatan (95%). Hal ini menunjukkan bahwa status ekonomi klien rendah, dalam arti klien selama dirawat di rumah sakit klien hanya mengandalkan jaminan kesehatan yang dimiliki untuk mengatasi masalah biaya perawatannya. Klien sebagian besar sudah mengalami sakit selama lebih dari 5 tahun sebanyak 15 klien (50%), sakit antara 1- 5 tahun sebanyak 8 klien (27%) dan sakit kurang dari 1 tahun 7 klien (23%).Frekuensi klien dirawat, rata-rata lebih dari 5 kali masuk rumah sakit sebanyak 14 klien (47%), 2-5 kali 10 klien(33%), dan 1 kali sebanyak 6 klien(20%).Lama dirawat sebanyak 50% dirawat lebih dari 15 hari sdan 50 % dirawat kurang dari 15 hari. Faktor predisposisi biologis yang dialami klien adalah faktor herediter sebanyak 14 klien(47%). Trauma 5 klien (17%), gangguan jiwa sebelumnya 10 klien(33%) dan NAPZA 1 klien (3%). Faktor psikologis yaitu ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dengan baik 30 klien (100%), dan kepribadian tertutup 28 klien(93%), riwayat kehilangan/kegagalan 25 klien(83%). Faktor psikososial budaya adalah masalah ekonomi sebanyak 28 klien(93%), masalah pekerjaan 25 klien (83%), masalah pernikahan 20 klien (67%), dan pendidikan 5 klien(17%). Faktor presipitasi yang bersifat biologis berupa putus obat 20 (67%) yang sudah dialami 1 bulan sampai 6 bulan. Faktor presipitasi yang bersifat psikologis sebagian besar bersumber dari internal klien sebanyak 20 klien (67%). Presipitasi psikologis yang dialami klien adalah
perasaan sedih, kecewa dan malu akibat keinginan yang tidak terpenuhi 25 klien (83%), perasaan sedih akibat ditinggalkan orang yang berarti 10 (33%), dan perasaan kesal akibat kegagalan dalam pekerjaan 6 (20%) dan perkawinan 17 (57%). Faktor presipitasi yang berisifat sosiokultural dialami oleh seluruh klien. Masalah pekerjaan meliputi seperti tidak bekerja 25 klien (83%), masalah ekonomi dialami oleh klien (93%),tidak ada yang merawat (10%). Selain itu hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga juga merupakan stressor sosiokultural yang dialami klien. Hubungan yang tidak harmonis meliputi konflik dengan anggota keluarga (33%), masalah ekonomi 28 (93 %) dan masalah pekerjaan 25 (83 %). Jika stressor dijumlahkan, maka klien mengalami lebih dari 2 stressor. Klien yang mengalami stressor biologis, psikologis, dan sosiokultural sebanyak 2 klien (75%). Klien yang mengalami stressor psikologis dan sosiokultural sebanyak 28 orang (100%). Penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan klien isolasi sosial dengan pemberian tindakan keperawatan generalis + terapi social skill training + terapi family psychoeducation Berdasarkan penilaian klien terhadap stresor, secara umum klien mengalami peningkatan kemampuan sosial. Hal ini tampak dari adanya penurunan gejala/respon yang menunjukkan adanya isolasi sosial pada klien dengan membandingkan respon klien sebelum dengan sesudah terapi berikan. Penurunan tanda dan gejala pada respon kognitif maladaptif yang dialami oleh 28 klien (93%), setelah diberikan terapi social skill training saja 14 klien dari 16 klien yang merasa kesepian mengalami penurunan menjadi 5 klien (31%) , 14 klien yang dilakukan terapi Social skill training dan family pshycoeducation terjadi penurunan menjadi 1 klien (7%). Untuk perasaan merasa tidak berguna dari 20 klien (67%). 11 klien dari 16 klien yang mengalami perasaan tidak berguna terjadi penurunan menjadi 3 klien (18,8%) setelah di lakukan social skill training saja dan menurun 9 dari 14 klien yang mengalami perasaan tidak berguna terjadi penurunan 0 klien (0%) setelah diberi tindakan kombinasi social skill training dan family psychoeducation. Berarti masih ada 3 klien yang mengalami perasaan merasa tidak berguna. Hasil penerapan kedua terapi menunjukan terapi kombinasi lebih efektif menurunkan gejala.
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
4
Penurunan Respon kognitif berupa tidak mampu membuat keputusan dialami oleh 22 klien (73%) . Sebanyak 12 (75%) dari 16 pasien yang mengalami perasaan tidak mampu membuat keputusan, setelah dilakukan social Skill training terjadi penurunan menjadi 5 klien (31,3). Sebanyak 10 (71,4) dari 14 pasien yang mengalami perasaan tidak mampu membuat keputusan terjadi penurunan menjadi 1 klien (7%) setelah dilakukan tindakan social Skill training dan Family pshycoeducation. Hasil penerapan kedua terapi menunjukan 2 terapi kombinasi lebih efektif menurunkan gejala kognitif. Respon kognitif berupa merasa hubungan dengan orang lain tidak berarti ada 25 ( 83%) dari 30 klien. 12 klien dari 16 klien yang mengalami perasaan tersebut setelah dilakukan terapi social Skill training saja terjadi penurunan menjadi 3 klien (18,6%). 13( 92,3) klien dari 14 klien yang mengalami perasaan hubungan tidak berarti setelah dilakukan terapi social skill training dan family Psychoeducation terjadi penurunan menjadi 0 klien (0%). Hasil penerapan kedua terapi menunjukan 2 terapi kombinasi lebih efektif menurunkan gejala kognitif. Perubahan secara afektif respon klien yang terbesar afek tumpul dialami 30 klien (100%) . 16 klien yang mengalami afek tumpul setelah dilakukan social skill training menjadi 5 klien (16,7%). 14 klien yang dilakukan terapi social skill training dan family pshicoeducation mengalami penurunan yaitu 0 klien (0%). Perubahan afektif berupa perasaan kecewa 2 (12,5) dari 16 klien yang mengalami kecewa setelah dilakukan social skill training terjadi penurunan menjadi 1 klien ( 6,25%). 2 (14,3 %) dari 14 klien yang mengalami kecewa setelah dilakukan social skill training dan family Psychoeducation menurun menjadi o %. Untuk respon sedih dialami sebanyak 25 klien ( 83 % ) dari 30 klien. 14 dari 16 klien yang mengalami perasaan sedih setelah dilakukan social skill training terjadi penurunan menjadi 4 klien (25% ) dan 11 dari 14 klien yang dilakukan social skill training dan family pshicoeducation menjadi 3 klien (78,6%). Perubahan Respon fisiologis berupa kelemahan dialami 10 (33%) dari 30 klien. 6 dari 16 klien yang dilakukan social skill training menjadi 4 klien (25%) 4 dari 14 klien yang dilakukan social skill training dan family pshycoeducation menjadi 1 klien (7%). Respon tidak nafsu makan dialami oleh 10 (33%) dari 30 klien. 6 (37,5) dari 16 klien yang tidak nafsu makan setelah dilakukan social skill training menjadi
2 klien (12,5%) . 4 (28,6 % ) dari 14 klien yang mengalami tidak nafsu makan setelah dilakukan social skill training dan family pshicoeducation menjadi 1 klien (7%). Respon tidak bisa tidur dialami 11 (36,7 ) dari 30 klien. 6 ( 37,5 % ) dari 16 klien yang mengalami tidak bisa tidur setelah dilakukan social skill training menjadi 2 (12,5 %). 5 (35,7) dari 14 klien yang mengalami tidak bisa tidur setelah dilakukan social skill training dan family psychoeducation menjadi 1 klien (7 %). Penurunan respon perilaku pada klien berupa murung dialami 20 (67%) dari 30 klien. 11( 68,8) dari 16 klien yang mengalami respon murung setelah dilakukan social skill training menjadi 3 klien ( 18,8%). 9 (64,5%) dari 14 klien yang murung setelah dilakukan terapi social skill training dan family psyhicoeducation menurun menjadi 0 %. Respon kontak mata kurang dialami 25 (83%) dari 30 klien. 13( 81,25 % ) dari 16 klien yang dilakukan social skill training menjadi 3 klien. 12( 86 % ) dari 14 klien yang memiliki respon kontak mata kurang setelah setelah dilakukan social skill training dan family pshycoeducation menjadi 0%. Respon perilaku duduk menyendiri dialami 27(90%) dari 30 klien. 14 (16,9%) dari 16 klien setelah di terapi social skill training menjadi 3 klien (18,8%) , 13 ( 85 % ) dari 14 klien yang duduk menyendiri menjadi 0% setelah dilakukan terapi social skill training dan family psyeducation. Penurunan respon sosial berupa menarik diri dan menolak interaksi. Semua klien (100 % ) mengalami respon menarik diri. 16 ( 100%) dari 16 klien setelah dilakukan terapi social skill training menjadi 2 ( 12,5 % ) . 14 (100% )dari 14 klien yang dilakukan terapi social skill training dan family pshycoeducation menjadi 0 %. Respon menolak dilakukan interaksi sebesar 20 (67%) dari 30 klien. 10( 62,5%) dari 16 klien menolak interaksi setelah dilakukam social skill training menjadi 1klien. 10 (71% ) dari 14 klien yang dilakukan social skill training dan family psyhocoducation menjadi 0 %. Kemampuan klien sebelum dan sesudah terapi tergambar ada 3 dari 30 klien yang memiliki kemampuan mengidentifikasi kemampuan penyebab isolasi sosial, mampu menyebutkan keuntungan punya teman, mampu berkenalan dan berbicara sambil melakukan kegiatan. Sebanyak 3 klien (18,75%) dari 16 klien yang memiliki kemampuan diatas setelah diberikan social skill training meningkat menjadi 15 klien(93,75 %). Sebesar 0 % klien dari 14 yang memiliki kemampuan diatas setelah dilakukan social skill training dan family pshicoeducation
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
5
meningkat menjadi 14 klien (100 % ). Sebesar 2 (12,5%) dari 30 klien memiliki kemampuan mendiskusikan cara berkenalan dan berbicara dengan baik dan mampu menjalin persahabatan dengan orang lain. Sebesar 2 (2,5 %) dari 16 klien yang memiliki kemampuan tersebut setelah dilakukan social skill training meningkat menjadi 15 klien ( 93,75%) . Sebesar 0 (0%) klien dari 14 klien yang memiliki kemampuan tersebut setelah dilakukan social skill training dan family pshycoeducation meningkat menjadi 14 klien (100%). Sebesar (7%) dari 30 klien memilki kemampuan bekerjasama dalam kelompok. 1 dari 16 klien yang memiliki kemampuan meningkat menjadi 13 klien setelah dilakukan social skill training. Sebesar 0 dari 14 klien setelah dilakukan social skill training dan family psychoeducation meningkat menjadi 14 klien. belum ada keuntungan memiliki teman. 3 dari 16 klien yang dilakukan social skill training meningkat kemampuan sebanyak 15 klien. 0 dari 14 klien yang dilakukan social skill training dan family pshycoeducation meningkat 14 klien belum ada klien yang memiliki kemampuan menghadapi situasi sulit dari 30 klien. setelah h dilakukan terapi social skill training meningkat menjadi 13 klien. dari 14 klien yang dilakukan social skill training dan family psychoeducation meningkat menjadi 14 klien. Berdasarkan hasil penerapan terapi kombinasi antara social skill training dengan family psychoeducation terjadi peningkatan yang sangat signifikan terhadap kemampuan klien. Berdasarkan uraian hasil diatas dapat disimpulkan bahwa respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial mengalami penurunan atau berkurang tanda dan gejala isolasi sekaligus terjadi peningkatan kemampuan pada klien setelah diberikan tindakan keperawatan generalis (+) Social Skill Training (+) family pshycoeducation, penurunan tanda dan gejala dan peningkatan kemampuan lebih tinggi dibandingkan dengan dilakukan kombinasi terhadap terapi social sklill training dan family psychoedukasi bila dibandingkan dengan hasil bila dilakukan terapi social skilll training saja. Dengan kata lain pelaksanaan tindakan keperawatan generalis dan spesialis berdampak pada klien isolasi sosial yang berdampak pada penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan klien. Peningkatan Kemampuan Keluarga Klien isolasi Sosial Dengan Pemberian Tindakan Keperawatan generalis (+) Terapi family Psycoeducation
Hasil dari pemberian terapi spesialis berupa family psychoeducation didapatkan data bahwa hanya 3 keluarga klien (21,4%) dari 14 keluarga yang dilakukan family Pshycoeducation mengalami peningkatan dalam mengenal masalah isolasi sosial sebesar 100 %. Tiga keluarga (21,4 %) dari 14 keluarga mengalami peningkatan menjadi 14 keluarga (100%) yang memiliki kemampuan memberi pujian pada klien isolasi sosial. Tiga keluarga ( 21,4 %) dari 14 keluarga mengalami peningkatan menjadi 14 (100%) keluarga yang mampu melakukan perawatan klien isolasi sosial. 1(7%) dari 14 keluarga, peningkatan 13 (13 %) klien yang mampu melibatkan klien dalam kegiatan. Tiga ( 6,51%) dari 14 keluarga mengalami peningkatan 11 keluarga yang mampu memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan. Dari tidak ada keluarga yang memiliki kemampuan mengatasi stress akibat isolasi sosial. Dari tidak ada klien yang memiliki kemampuan mengatasi beban akibat klien isolasi sosial meningkat menjadi 14 keluarga (100%). Dari tidak ada kemampuan menggunakan pemberdayaan masyarakat sebanyak 14 keluarga akhirnya mampu menggunakan pemberdayaan masyarakat. Peningkatan kemampuan 14 keluarga klien yang mengalami isolasi sosial sebelum diberikan tindakan keperawatan menunjukkan bahwa kemampuan keluarga hanya 21,4% keluarga yang mampu mengenal masalah isolasi sosial, 21,4% yang mampu merawat klien isolasi sosial, 21,4 % keluarga yang memberi pujian pada klien, 7,1% keluarga mampu melibatkan Dalam kegiatan sehari hari 21,4% memanfaatkan pelayanan kesehatan mampu mengatasi beban dan stress akibat merawat. Kemampuan keluarga setelah diberikan tindakan keperawatan generalis family psychoeducation menunjukkan adanya peningkatan yaitu sebanyak 100% keluarga mampu mengenal masalah, isolasi sosial, 100% yang mampu merawat klien isolasi sosial, 100% keluarga yang memberi pujian pada klien, 100% keluarga mampu melibatkan dalam kegiatan sehari hari, 100% memanfaatkan pelayanan kesehatan, ) 100% mampu mengatasi beban dan stress akibat merawat. 4.
Diskusi
Klien isolasi sosial yang dirawat di Arimbi semua berada pada rentang usia dewasa (25 65 tahun) yaitu sejumlah 30 klien(100 %) . Menurut fase perkembangan Erik Erikson usia 25 – 40 , tugas perkembangan pada fase tersebut merupakan intimacy versus isolation, untuk usia 40-65 tugas perkembangan
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
6
generativity versus stagnation (Polombo, Bendicsen & Koch, 2009). Pada masa ini, menurut Erikson, dalam Varcarolis (2010) penentuan hubungan sangat menentukan. Kemampuan dalam hal membina hubungan yang erat dengan orang lain berbeda pada tahapan usia. Pada usia ini bila tidak tercapai keintiman maka dapat mnyebabkan individu menarik diri isolasi, bila tidak mampu memberikan sesuatu pada generasy selanjutnya akan terjadi stagnasi. Menurut Townsend (2009) keintiman adalah ketika seorang individu mampu mengembangkan kemampuan untuk saling memberi dan menerima dengan yang lain. Hal ini dipelajari pada saat individu menerima dari keluarganya. Bila pada tugas perkembangan ini tidak tercapai dapat mengakibatkan seseorang menarik diri dan isolasi sosial. Jenis kelamin seluruh klien adalah wanita. Joska dan Stein (2008, dalam Varcarolis & Hatler (2010) menyebutkan bahwa faktor resiko depresi adalah jenis kelamin wanita. Menurut Fortinesh ( 2007) gangguan jiwa pada wanita muncul pada usia 25 – 35 tahun, hal ini berbeda dengan pria yang muncul pada usia 18 – 25. Usia 25 tahun adalah awal wanita mengalami gangguan jiwa. Melihat kondisi usia klien saat ini rata rata berusia diatas 25 tahun berarti bahwa wanita yang mengalami gangguan jiwa sudah mengalami sejak beberapa tahun yang lalu. Tingkat pendidikan pada klien isolasi sosial di Ruang Arimbi adalah SD (50%). Hal ini menunjukkan bahwa klien mempunyai latar belakang pendidikan yang kurang memadai dalam jenjang pendidikan dan pengetahuan. Perlu penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti saat melakukan terapi. Faktor pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pendidikan memungkinkan seseorang memiliki penalaran yang rasional dan bersikap kritis terhadap masalah yang dihadapinya. Pandangan seseorang tentang belajar akan mempengaruhi tindakan tindakanya yang berhubungan dengan belajar. Slameto (2010) menyebutkan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkunganya. Dengan demikian tingkat pendidikan yang dimiliki oleh klien sangat mempengaruhi proses pemberian terapi sebagai proses belajar yang bertujuan terjadinya
perubahan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor kearah yang lebih adaptif. Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan masalah dan mengambil suatu keputusan terhadap kondisi kesehatan jiwa yang saat ini terganggu. Stuart dan Laraia (2005) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditemukan lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan jiwa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki klien akan mempengaruhi proses terapi yang diberikan pada klien sehingga klien dapat memahami tentang terapi yang ditujukan untuk klien, sehingga perlu pendekatan khusus menyesuaikan dengan latar belakang pendidikan klien. Sebagian besar klien mempunyai riwayat tidak bekerja atau pengangguran sebelum mengalami sakit (67%). Pekerjaan bagi seorang wanita menurut persepsi sebagian orang bukan hal yang menjadi kewajiban. Tetapi sebagian orang menganggap bahwa wanita yang tidak bekerja berarti tidak mau mengalami suka duka bersama pasangan hidupnya. Bahkan pekerjaan dianggap sangat menentukan status sosial. Gultom (2012) menyatakan bahwa masalah pengangguran serta minimnya lapangan pekerjaan menjadi pemicu meningkatnya penderita gangguan jiwa. Seorang wanita yang dituntut dapat membantu suami mencari nafkah akan merasa tertekan bila tidak mampu melaksanakanya. Semua klien yang di rawat di ruang Arimbi yang dirawat penulis dengan masalah Isolasi sosial memiliki latar belakang status ekonomi rendah. Hal ini tampak dari sebagian pasien menggunakan fasilitas asuransi kesehatan (Jamkesmas/Jamkesda) untuk biaya selama masa perawatan (95%). Hal ini menunjukkan bahwa status ekonomi klien rendah, dalam arti klien selama dirawat di rumah sakit klien hanya mengandalkan jaminan kesehatan yang dimiliki untuk mengatasi masalah biaya perawatannya. Sehingga jika tidak mendapatkan jaminan kesehatan tersebut, kemungkinan besar, klien tidak mendapatkan perawatan di rumah sakit. Menurut Townsend (2009 ) seseorang dengan ekonomi rendah sejak usia muda biasanya akan mengalami status ekonomi yang rendah pula seterusnya, sehingga kondisi ini dapat berpengaruh menjadi salah satu faktor yang menyebabkan seseorang gangguan jiwa, karena individu selalu merasakan ketidakpuasan dalm menjalani kehidupan. Akibat dari ketidakmampuan mempertahankan keseimbangan hidup dengan cara pemenuhan kebutuhan hidup.
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
7
Adanya ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan hidup dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan menyebabkan seseorang frustasi dan mudah putus asa. Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009), menyebutkan bahwa seseorang dengan status ekonomi tinggi atau rendah memiliki isolasi sosial lebih besar dibandingkan kelas ekonomi menengah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi sangat berdampak pada kondisi kejiwaan seseorang. Klien yang mengalami isolasi sosial di Ruang Arimbi sebagian besar adalah janda (56,7%). Rasa kecewa akibat kegagalan pernikahan yang bisa diakibatkan bercerai atau kehilangan akibat pasangan meninggal bisa menjadikan stressor tersendiri bagi seseorang. Sebagian besar klien skizofrenia secara subyektif menyatakan bahwa merasa kehilangan harapan, kesepian dan mempunyai hubungan sosial yang tidak menyenangkan (Cohen, dkk, 1990 dalam Fortinesh & Worret, 2004). Klien sebagian besar sudah mengalami sakit selama lebih dari 5 tahun (50%) dan hal ini erat kaitannya dengan frekuensi klien dirawat, ratarata lebih dari 5 kali masuk rumah sakit (47%). Kondisi kronis dan seringnya klien mengalami kekambuhan akan berdampak pada tingkat keparahan gangguan yang dialami oleh klien, setiap kali kambuh akan mengalami penurunan kemampuan. Sinaga (2007) menyatakan bahwa klien skizofrenia dengan prognosis buruk salah satu cirinya adalah selama 3 tahun pengobatan tidak ada perbaikan atau sering terjadi kekambuhan. Maguire (2002 dalam Fortinash & Worret, 2004) menyatakan bahwa kekambuhan adalah sesuatu yang sering terjadi pada klien skizofrenia, hal ini disebabkan oleh insight yang buruk terhadap sakitnya, tidak mengikuti pengobatan dengan baik, kurangnya dukungan keluarga, ketidakmampuan koping individu, dan putus obat karena pengobatan dalam jangka panjang. Berdasarkan penilaian klien terhadap stresor, secara umum klien mengalami peningkatan kemampuan sosial. Hal ini tampak dari adanya penurunan gejala/respon yang menunjukkan adanya isolasi sosial pada klien dengan membandingkan respon klien sebelum dengan sesudah terapi berikan. Berdasarkan hasil penerapan terapi kombinasi antara social skill training dengan family psychoeducation terjadi peningkatan yang sangat signifikan terhadap kemampuan klien.
Berdasarkan uraian hasil diatas dapat disimpulkan bahwa respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial mengalami penurunan atau berkurang tanda dan gejala isolasi sekaligus terjadi peningkatan kemampuan pada klien setelah diberikan tindakan keperawatan generalis (+) Social Skill Training (+) family pshycoeducation, penurunan tanda dan gejala dan peningkatan kemampuan lebih tinggi dibandingkan dengan dilakukan kombinasi terhadap terapi social sklill training dan family psychoedukasi bila dibandingkan dengan hasil bila dilakukan terapi social skilll training saja. Dengan kata lain pelaksanaan tindakan keperawatan generalis dan spesialis berdampak pada klien isolasi sosial yang berdampak pada penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan klien. Seseorang yang mengalami isolasi sosial membutuhkan bantuan dan perawatan yang intensif, karena Isolasi sosial merupakan salah satu masalah yang dialami orang yang mengalami gangguan jiwa. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri, sehingga membutuhkan orang lain,dengan mengisolasi dirinya maka individu tidak akan dapat menjalin interaksi dengan orang lain. Klien sebagai salah satu sistem dalam keluarga juga perlu mendapatkan support untuk menyelesaikan masalahnya. Inilah yang menjadi dasar perlunya pemberian Social skill training therapy dan Family psikoedukasi sebagai bagian dari upaya peningkatan kemampuan ketrampilan sosial dan preventif kambuhnya klien yang sudah dibawa pulang. Teori Stres Adaptasi Stuart dan teori Sistem Neuman memfasilitasi pelaksanaan tindakan keperawatan khususnya pemberian Social Skill Training pada klien isolasi Social untuk meningkatkan kemampuan klien. Neuman menekankan pada aspek dukungan sosial, bahwa dukungan sosial menjadi penting untuk klien yang mengalami isolasi sosial. Menurut Neuman adalah subjek yang langsung dipengaruhi oleh adanya proses interpersonal, dimana sistem yang berkembang merupakan karakteristik biokimia, fisiologis, dan kebutuhan sehingga selalu berupaya memenuhi kebutuhannya dan mengintegrasikan pengalaman yang didapatkan sebagai bagian dari proses belajar (Tomey & Alligood, 2010). Dengan terapi social Skill training maka individu akan belajar untuk mengenal lingkungan sosial dengan demikian diharapkan dukungan sosial dapat diperoleh. Selain terapi social skill training harus ada tindakan yang efektif yang bersumber pada dukungan sosial
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
8
untuk klien, family pshycoeducation merupakan terapi yang tepat untuk kondisi klien isolasi sosial, menurut Neuman tindakan ini merupakan salah satu preventif tersier untuk mencegah kekambuhan bila klien pulang ke rumah. Diharapkan pada saat klien kembali kerumah stabilitas dalam keluarga selalu tercapai sehimngga klien akan dapat bertahan dalam kondisi stabil, tidak mudah kambuh. Pelaksanaan Social Skill Training menggunakan pedoman yang telah teruji melalui beberapa riset yang menunjukkan hasil keefektifan Social Skill Training pada klien isolasi sosial ( Renidayanti, Keliat & Sabri, 2008). Hasil penerapan Social Skill Training ini juga menunjukkan hasil bahwa dengan penerapan Social Skill Training didapatkan kemampuan klien dalam ketrampilan sosialisai. Pemberian tindakan Social Skill Training bermanfaat untuk dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi secara bermakna. Pada klien isolasi sosial memiliki penilaian individu berupa adanya perasaan kesepian dan ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup sehingga klien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna (Townsend, 2009; NANDA, 2012). Pengalaman hidup yang tidak menyenangkan, kegagalan membina hubungan, riwayat penolakan, yang pada akhirnya seseorang merasa bodoh, tidak percaya diri atau merasa orang lain tidak mau mendengarkan, merupakan pengalaman yang dimiliki oleh klien isolasi sosial. Pelaksanaan terapi social skill training merujuk bebrapa penelitian yaitu antara lain oleh Khalil (2012) tentang Pengaruh Sosial skill training pada peningkatan ketrampilan sosial pada pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Jordan, menunjukan hasil pada kelompok yang dilakukan terapi menunjukan ada peningkatan ketarmpilan sosial. Penelitian yang juga dilakukan oleh Pinilih, Keliat, Nasution dan Wardhani (2010) tentang Pengaruh social Skill training terhadap ketrampilan social anxiety remaja tunarungu di SLB dengan menggunakan sampel 76 responden, menunjukan hasil bahwa ada peningkatan ketrampilan sosial sebesar 8,38 %. Pemberian terapi Social Skill Training menurut Renidayati, Keliat dan Sabri ( 2008 ) dalam
penelitianya menyimpulkan bahwa kemampuan kognitif dan kemampuan perilaku klien lebih tinggi pada kelompok yang mengikuti social skill training, sehingga social skill training direkomendasikan sebagai terapi keperawatan klien yang mengalami isolasi social. Ini sesuai dengan pendapat Stuart ( 2009 ) bahwa latihan ketrampilan social didasarkan pada keyakinan bahwa ketrampilan dapat dipelajari dan oleh karena itu dapat dipelajari bagi seseorang yang tidak memilikinya. sehingga memiliki suatu niat atau keinginan untuk melakukan suatu perilaku tertentu, dalam konteks ini dihubungkan dengan perilaku isolasi sosial. Dengan mendapatkan social skill training klien diharapkan mampu untuk berperilaku lebih baik dengan mempelajari perilaku baru seperti juga diungkapkan Fortinash (2004) bahwa latihan ketrampilan social yaitu imitasi dan proses belajar. Hasil terapi tersebut sesuai dengan tujuannya yaitu untuk meningkatkan ketrampilan sosial klien, yang berarti dapat mengurangi gejala gejala. Hasil penelitian yang menunjukan bahwa dengan terapi dengan kombinasi family pshychoeducation lebih tinggi keberhasilan dalam menurunkan gejala dan meningkatkan kemampuan klien. Seperti diungkapkan oleh Carson (2000) psikoedukasi merupakan alat terapi keluarga yang makin popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor - faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala gejala perilaku. Dengan peningkatan kemampuan keluarga diharapkan kemampuan klien meningkat. Menurut Neuman (2009) keluarga dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas subsistem keluarga dan focus dari teori Neuman adalah hubungan antara individu anggota keluarga demi menjaga stabilitas keluarga. Jadi psikoedukasi membantu keluarga meningkatkan pengetahuan tentang penyakit dan cara merawat melalui pemberian informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian Wiyati, Hamid dan Gayatri (2009) tentang pengaruh family psychoeducation terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial didapatkan hasil bahwa terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan afektif dan psikomotor pada kelompok yang dilakukan terapi family psychoeducation dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan terapi family
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
9
psychoeducation. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa family psychoeducation tepat dilakukan pada keluarga yang memiliki pasien dengan masalah isolasi sosial. Berdasarkan uraian pembahasan bahwa ada hasil yang lebih tinggi terhadap penurunan gejala klien isolasi sosial dan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial terhadap kemammpuan sosialisasi setelah diberikan terapi kombinasi social skill training dan family pshycoeducation bila dibandingkan dengan klien yang hanya mendapatkan satu terapi social skill training saja, oleh karena itu sebagai perawat spesialis agar kita lebih maksimal untuk mencoba mengkombinasikan terapi terapi spesialis yang mungkin untuk klien kita. Family Pshycoeducation sangat diperlukan dalam perawatan klien gangguan jiwa karena dapat mengurangi kekambuhan klien gangguan jiwa, meningkatkan fungsi klien dan keluarga sehingga mempermudah klien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien gangguan jiwa (Levine, 2002 dalam Stuart, 2009). Keterlibatan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan klien meningkatkan hasil dengan cara pendidikan dan dukungan keluarga untuk bekerjasama (Stuart & Laraia, 2005). Psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga dan orang lain Pelaksanaan tindakan keperawatan family pshychoeducation pada keluarga klien isolasi sosial terdiri dari pengkajian kemampuan keluarga, merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan, dan melakukan evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan. Terapi psikoedukasi keluarga diberikan kepada 14 keluarga dengan anggotanya yang mengalami isolasi sosial . Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga ini menggunakan pedoman yang telah teruji melalui beberapa penelitian, dimana menunjukkan hasil dapat menurunkan beban keluarga dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa (Wardhaningsih, 2007; Sari, 2009; Nurbani, 2009; Wiyati, 2009; Kustiawan, 2012). Pada pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga sesi
satu adalah identifikasi masalah keluarga dalam merawat klien dan masalah pribadi care giver. Pemberian terapi pada keluarga dianggap penting karena setelah pulang kerumah perlu ada tempat dimana klien dapat tinggal dengan dukungan maksimal. Agar klien tidak mudah kembali pada kondisi relaps. Namun demikian tidak sedikit kendala yang dihadapi saat klien ada di rumah. Banyak keluarga menganggap gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi keluarga. Dampak dari pengetahuan tersebut banyak keluarga yang membawa pengobatan ke dukun. Kondisi tersebut diperberat dengan sikap keluarga terhadap klien gangguan jiwa dengan cara disembunyikan, diisolasi dan dikucilkan dari masyarakat. Peningkatan pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa membuat keluarga mengerti tentang isolasi sosial dan bagaimana memperlakukan klien yang mengalami isolasi sosial. Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga sangat bervariasi dalam menentukan durasi dan lama waktu untuk setiap sesi dan bisa melibatkan klien atau tidak dalam tindakan yang dilakukan. Perubahannya yang terjadi pada kemampuan psikomotor tidak seperti pada kemampuan kognitif, karena untuk merubah perilaku atau kemampuan psikomotor memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perubahan pada kognitif. Ditambah dengan perawatan pada gangguan jiwa bersifat jangka panjang (Videbeck, 2008). Peran keluarga didalam perubahan perilaku ini sangat menentukan karena keluarga dapat memberikan perasaan mampu atau tidak mampu, diterima atau ditolak (Stuart & Laraia, 2005). Peningkatan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat anggotanya, dapat meningkatkan kemampuan klien isolasi sosial. Pemberian tindakan berupa family psychoeducation memberikan perubahan yang cukup efektif bagi perkembangan kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial. Dengan adanya peningkatan kemampuan keluarga diharapkan kestabilan dalam keluarga klien saat sudah dirumah dapat tercapai. Karena penanganan klien dengan gangguan jiwa secara komprehensif dan holistik tentunya tidak terlepas dari peran keluarga sebagai sistem pendukung bagi klien. Gladding (2002) menyatakan bahwa dalam sebuah keluarga akan selalu melakukan interaksi secara terus menerus dan membutuhkan satu dengan lainnya. Ketika terjadi perubahan akan mempengaruhi sistem keluarga yang berdampak lebih baik atau sebaliknya. Sementara itu Roy (dalam Tomey &
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
10
Alligood, 2006), juga mempunyai pendapat mengenai keluarga, keluarga juga merupakan salah satu support system klien. Sumber koping keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang memadai, ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan (Stuart & Laraia, 2005). Menurut Neuman manusia akan melakukan reaksi terhadap stressor, karenanya setiap intervensi keperawatan berdasarkan pada tingkatan reaksi, sumber stres, tujuan , dan hasil yang diharapkan. Intervensi yang dilakukan dalam bentuk pencegahan dengan tiga tingkatan, yaitu : Pencegahan primer, sekunder dan tersier.family psyhcoeducation bila dikaitkan dengan konsep sistem Neuman, merupakan salah satu intervensi tersier yang dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan dengan memaksimalkan garis pertahanan yang mungkin bisa mengganggu klien, yaitu keluarga sebagi sistem. Intervensi untuk membantu individu menstabilkan status kesehatan, menghindari kemungkinan kambuh kembali dengan mengurangi dampak residual stressor setelah penanganan atau pengobatan. Klien atau sistem dapat menangani stressor dengan baik, Neuman mengklasifikasi stressor sebagai berikut : Stressor Intrapersonal terjadi dalam diri individu dan berhubungan dengan lingkungan internal, stressor interpersonal : yang terjadi pada satu individu atau lebih yang memiliki pengaruh pada sistem dan stressor ekstrapersonal terjadi diluar lingkup sistem atau individu tetapi lebih jauh jaraknya dari sistem daripada stressor interpersonal. Pencegahan tersier dilakukan setelah sistem ditangani dengan strategi-strategi pencegahan sekunder. Pencegahan tersier difokuskan pada perbaikan kembali ke arah stabilitas sistem klien secara optimal. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat resistansi terhadap stressor untuk mencegah reaksi timbul kembali atau regresi, sehingga dapat mempertahankan energi. Pencegahan tersier cenderung untuk kembali pada pencegahan primer. Neuman (1995, dalam Tommey & Alligood, 2010) mendefinisikan rekonstitusi sebagai peningkatan energi yang terjadi berkaitan dengan tingkat reaksi terhadap stressor. Rekonstitusi bisa memperluas normal line defense ke tingkat sebelumnya, menstabilkan sistem pada tingkat yang lebih rendah, dan mengembalikannya pada tingkat semula sebelum sakit. Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas maka terapi family pshycoeducation penting untuk dilakukan pada semua anggota keluarga yang
memiliki keluarga gangguan jiwa, salah satunya pada klien isolasi sosial. 5.
Simpulan dan Saran
Karakteristik klien dengan isolasi sosial di Ruang Arimbi mayoritas berusia dewasa awal, jenis kelamin perempuan, pendidikan rata – rata rendah (SD), status perkawinan janda, sebagian besar tidak memiliki pekerjaan, lama sakit rata rata lebih dari lima tahun, frekwensi masuk rumah sakit lebih dari lima kali, lama hari rawat sebagian besar lebih dari lima belas hari. Faktor predisposisi isolasi sosial yang paling banyak ditemukan adalah pada aspek biologis yaitu genetik, pada aspek psikologis yaitu ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dan pada aspek sosial budaya yaitu masalah ekonomi. Faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien isolasi sosial yaitu pada aspek biologis karena putus obat, pada aspek psikologis karena keinginan yang tidak terpenuhi, pada aspek sosial budaya yaitu masalah ekonomi , sumber stressor berasal dari internal. Waktu stressor kurang dari enam bulan, jumlah stresor kurang dari tiga. Tanda dan gejala yang merupakan penilaian terhadap stressor sebelum dan sesudah dilakukan terapi social skill training. Pada aspek kognitif sebagain besar mengalami kesepian sebelum dilakukan terapi social skill training 87,5% sesudah dilakukan terapi berkurang menjadi 31,3%, respon afektif sebagain besar afek tumpul, sebelum dilakukan terapi social skill training 100%, sesudah terapi turun menjadi 31,3%, respon fisiologis sebagian besar tidak bisa tidur, sebelum terapi 37,5% sesudah terapi turun menjadi 12,5%, respon perilaku sebagian besar duduk menyendiri, sebelun terapi 87,5% sesudah terapi 18,8%, respon sosial sebagian besar menarik diri, sebelum terapi 100 % sesudah terapi 12,5 %. Tanda dan gejala yang merupakan penilaian terhadap stressor sebelum dan sesudah social skill training dan family pshycoeducation pada aspek kognitif sebagain besar mengalami kesepian, sebelum dilakukan terapi social skill training 100% sesudah dilakukan terapi menjadi 7%, respon afektif sebagain besar afek tumpul, sebelum dilakukan terapi social skill training 100%, sesudah terapi turun menjadi 0%, respon fisiologis sebagian besar tidak bisa tidur, sebelum terapi 35,7 % sesudah terapi 7%, respon perilaku sebagian besar duduk
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
11
menyendiri, sebelun terapi 85% sesudah terapi 0%, respon sosial sebagian besar menarik diri, sebelum terapi 100 % sesudah terapi 0 %. Sumber koping pada kemampuan klien yang paling meningkat adalah kemampuan berbicara dengan baik, sebelum terapi social skill training sebesar 12,5%, sesudah terapi meningkat 81,35%. Sumber koping klien yang paling meningkat sebelum terapi social skill trining dan family pshycoeducation yaitu semua dari semua kemampuan 0 % meningkat menjadi 100 %. Sumber koping pada kemampuan keluarga yang paling meningkat adalah mampu mengatasi stress akibat merawat klien isolasi sosial, sebelum terapi family pshycoeducation sebesar 0% klien, setelah terapi 100% klien. Evaluasi akhir pelaksanaan tindakan keperawatan generalis + social skill training + family pshycoeducation menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan tindakan keperawatan generalis + social skill training saja. Berdasarkan simpulan hasil karya ilmiah akhir, ada beberapa hal yang dapat disarankan kepada pihak – pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa khususnya di ruang Arimbi Perlunya penempatan Ners Spesialis Jiwa di ruang rawat psikiatri, untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan, perlunya menyediakan ruang khusus yang aman dan nyaman khususnya untuk klien dengan isolasi sosial yang memerlukan pengawasan khusus, serta melakukan pemantauan yang ketat di ruang rawat inap. Bagi Kepala Bidang Keperawatan diharapkan dapat memfasilitasi terlaksananya perawatan spesialis serta peranan perawat ruangan untuk manajemen kasus Isolasi sosial. Bagi Kepala Ruangan dan Perawat ruang Arimbi untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan peran sebagai role model dalam menjalankan kegiatan pelayanan MPKP dan asuhan keperawatan jiwa khususnya penerapan terapi generalis untuk masalah isolasi sosial. Bagi Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI tetap melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain untuk praktik mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai terapi keperawatan spesialis guna untuk menangani klien dengan masalah keperawatan isolasi sosial
Bagi riset keperawatan perlunya dikembangkan penelitian tentang efektifitas beberapa kombinasi terapi spesialis pada klien dengan isolasi sosial Daftar Referensi 1. Chien, W.T. & Wong, K.F. (2007). A Family psychoeducation group program for chinese people with schizophrenia in Hong Kong. Psychiatric Services. Arlington. www.proquest.com.pqdauto. diperoleh tanggal 12 Juni 2013 2. Damayanti,R, Keliat.B.A, Wardani,I.Y. ( 2011 ). Manajemen kasus klien isolasi sosial dengan pendekatan model adaptasi Roy dan Modeling Role Modeling di Ruang Gatot Kaca RS.Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir, tidak dipublikasikan. 3. Depkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. 4. Carson,V.B ( 2000). Mental Health Nursing.The Nurse patient Journey. Philadelphia W.B. Sandens Company. 5. Fontaine, K.L. (2003). Mental health nursing. New Jersey. Pearson Education. Inc 6. Fortinash, K.M & Worret, P.A.H (2007).Psyichiatric Nursing care Plan. St.Louis Mosby 7. Friedman, (2010). Keperawatan keluarga teori dan praktek. Edisi 5. EGC. Jakarta 8. Ibrahim S.A (2011) Skizofrenia Spliting personality, cetakan pertama. Tangerang. Jelajah Nusa 9. Maslim, R. (2001). Diagnosis Gangguan Jiwa, PPDGJ III, Jakarta: FK Unika Atmajaya. 10. McEwen,M, Wills,E.M (2011). Theorithical Basic for Nursing,ed 3, Philadelpia, Lippincott Williams & Wilkins. 11. NANDA. (2012). Nursing diagnoses: definitions & clacification 2012-2014; Philadelphia. USA: NANDA International 12. Napolion,K, Keliat,B.A ( 2012 ) Penerapan
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.
12 terapi spesialis keperawatan jiwa social Skill Training dan Cognitif Behavior terapi pada klien isolasi sosial dengan pendekatan model hubungan interpersonal Hidegard E. Pepalu di RSMM Bogor. Karya ilmiah akhir, tidak dipublikasikan.
13. Palombo, J, Bendicsen,H.K, Koch, B.J ( 2009 ). Guide to Psychoanalytic Developmental theories; USA. Springer . 14. Pinilih, S.S, Keliat,B.A, NasutionY, Wardhani I.Y. ( 2010 ) Pengaruh social skill training terhadap ketrampilan sosialisasi dan social anxiety remaja tunarungu di SLB kabupaten Wonosobo. Jurnal keperawatan jiwa PPNI Jawa Tengah. 15. Putri, D.E, Hamid,A.Y, Susanti,H ( 2011). Penerapan terapi Social Skill Traini, tidak dipublikasikan. 16. Renidayati, Keliat.B.A, Sabri .L, ( 2008 ) Pengaruh social Sklill training pada isolasi sosial di rumah sakit jiwa prof HB semen padang Sumatera Barat. Tesis, tidak dipublikasikan. 17. Saddock, B.J dan Saddock, V.A (2004). Kaplan and Saddock’s Buku Ajar Psikiatri Klinik.Edisi 2. Jakarta.EGC. 18. Saddock, B.J dan Saddock, V.A (2007). Kaplan and Saddock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Science/Clinical Psychiatry. 10th Ed. Lippincott William & Wilkins. 19. Sari,H, Keliat, B.A, Mustikasari ( 2009 ) Pengaruh family pshycoeducation terhadap bebab dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasug di Kabupaten Bireun Nangroe Aceh Darusalam. Tesis, tidak dipublikasikan. 20. Shives, L.B (2012) Basic concepsts of Psyichiatric mental Healt Nursing. ot William & Wilkiin. Cina
24. Stuart, G.W., , (2009). Principles and practice of psyhiatric nursing. (9th ed.). St. Louis : Mosby Year B. 25. Tomey.A.M & Alligood( 2010).Nursing Theorists and Their Work. St. Louis : Mosby Year B 26.Townsend, C.M. (2008). Essentials of psychiatric mental health nursing. (4th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company. 27. Townsend,C.M.(2009). Psychiatric Mental health Nursing. Concept of Care in Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company 28. Varcarolis, E.M. (2006), Psychiatric nursing clinical guide: assesment tools and diagnosis. Philadelphia. W.B Saunders Co 29. Varcarolis,E.M & Halter.J.M ( 2010). Psychiatric Mental health Nursing A Clinical Approach. Philadelphia. W.B Saunders Co 30. Videbeck, S.L. (2008). Psychiatric mental health nursing. (4rd Ed). Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins. 31. Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric mental health nursing. (4rd Ed). Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins. 32. Walter, Hamid,A.Y, Putri,Y.S.E ( 2011 ). Penerapan terapi social Sill training pada klien isolasi sosial dengan pendelatan teori hubungan interpersonal; pepau di RMMM Bogor. Karya Ilmiah Akhir., tidak dipublikasikan. 33. Wiyati,Ruti, Hamid,A.Y, gayatri,Dewi ( 2009 ) Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan keluatga dalam merawat klien isolasi sosial. Tesis, tidak dipublikasikan.
21. Sinaga, B.R.( 2007 ). Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Jakarta;Balai penerbit FK UI. 22. Slameto ( 2010) Belajar dan Faktor Faktor yang mempengaruhi. Jakarta.Rineka Cipta. 23. Stuart, G.W., and Laraia, M.T. (2007). Principles and practice of psyhiatric nursing. (8th ed.). St. Louis : Mosby Year B.
Penerapan terapi..., Arena Lestari, FIK UI, 2014.