PENELANTARAN AYAH TERHADAP ANAK (DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA)
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SH)
Oleh : Muhammad Syaifullah 1111045100021
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
ABSTRAK Muhammad Syaifullah. NIM: 1111045100021. PENELANTARAN AYAH TERHADAP ANAK (dalam Perspektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/2016 M. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Hak dasar anak adalah hak untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat, memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan sebagian dari hak-hak anak. Namun, pada kenyataannya seringkali hak-hak terhadap anak diabaikan oleh orang tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau yang sering disebut dengan penelantaran. Metode yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan norma-nomra hukum sebagaimana dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam, serta dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literature-literature yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil dari analisis penelitian ini menerangkan pertanggungjawaban orang tua (ayah) dalam menelantarkan anaknya menurut hukum Islam sangat bervariatif, dari yang terberat hingga teringan, karena dalam hukum Islam sanksi bagi pelaku penelantaran anak masuk dalam kategori Jarimah Ta'zir, yag berat dan ringannya hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim setempat. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut bahwasannya “setiap orang yang menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Yaitu dipidana dengan penjara paling lama (3) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00.(lima belas juta rupiah). Dan terkait UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam menangani kasus penelantaran anak dilingkup rumah tangga, tidak berpengaruh mengingat belum memberikan efek jera bagi sebagian orang tua pelaku penelantaran dan hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penelantaran anak yang semakin meningkat setiap tahunnya. Kata Kunci
: Penelantaran, Ayah, Anak, Sanksi, Hukum Islam.
Daftar Pustaka : 1959 – 2015
v
بسم هللا الرحمن الرحيم KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang selalu menganugrahi nikmat dan karunia yang tiada terkira, sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan kebahagiaan dengan penuh rasa syukur dengan terlaksananya penyusunan skripsi sebagai tanda lulus dan selesainya masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak ditemui halangan dan hal-hal lain yang menggangu fokus penulis, namun dengan kesungguhan hati dan dorongan motivasi yang tak terbatas dalam diri dan dari lingkungan sekitar penulis, segala dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
4.
Bapak Nur Rohim, LLM. Selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Bapak H. Qosim Arsyadani, MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik atas nasihat dan arahanya.
6.
Bapak Amrizal Siagian S.Hum, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu , bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam penyusunan skripsi ini.
7.
Seluruh Dosen dan Staf Jinayah Siyasah, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan selalu bermanfaat bagi penulis dan menjadi keberkahan dimasa yang akan datang.
8.
Teristimewa untuk Bapak dan Ibu tercinta, Bapak H. Sadelih. E dan Ibu Hj. Sri Haryati yang selalu mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta dukungan moril dan materil serta doa kepada penulis.
9.
Teruntuk Fadhilatunnisa sebagai calon istri yang selalu mendoakan, memberi semangat dan menemani dalam mengerjakan skripsi ini di keadaan on fire maupun magerrr..
10.
Terkhusus Hadyan, Iqbal Gece, Iqbal Gimbal, Nopal, Izul Hasibuan selaku ce’es kentel, juga teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Pidana Islam Konsentrasi Kepidanaan Islam angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
11.
Kepada Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang selalu memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.
12.
Kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Labuhanbatu (HIMLAB RAYA JAKARTA) yang telah memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.
13.
Semua pihak yang telah membantu, mendukung, dan memberikan dorongan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menjalani kegiatan akademik dan organisasi selama ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya selalu
menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi adanya perbaikan dalam penulisan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 23 Oktober 2016
Penulis
Muhammad Syaifullah
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv ABSTRAK .............................................................................................................. v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1 B. Rumusan Masalah ....................................................................................5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................5 D. Kerangka Teori ........................................................................................6 E. Metode Penelitian ..................................................................................10 F. Studi Review Terdahulu ........................................................................13 G. Sistematika Penulisan ............................................................................14
ix
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK A. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Pengetahuan .....................................19 B. Pengertian Penelantaran Anak ...............................................................31 C. Kriteria Penelantaran Anak ....................................................................34 D. Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam ..................................................36 E. Hak Anak Menurut Islam .......................................................................40 F. Hak Anak Menurut Undang-Undang .....................................................52 G. Batasan Pengertian Kekerasan KDRT ...................................................56 H. Kategori Orang Tua dan Batasan Tanggungjawabnya ...........................63
BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP AYAH YANG MENELANTARKAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Pengertian dan Dasar Sanksi…...............................................................68 1. Pengertian dan Dasar Sanksi Menurut Hukum Islam......................68 2. Pengertian dan Dasar Sanksi Dalam Undang-Undang....................71 B. Tujuan dan Fungsi Sanksi…...................................................................72 1. Tujuan dan Fungsi Sanksi Dalam Hukum Islam.............................72 2. Tujuan dan Fungsi Sanksi Dalam Undang-Undang........................77
x
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI AYAH YANG MENELANTARKAN ANAKNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak Menurut Hukum Islam.........................................................................................89 B. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga...........................................................................92
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…........................................................................................98 B. Saran-Saran............................................................................................101 DAFTAR PUSTAKA…........................................................................................103
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam tatanan kemasyarakatan. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan.1 Dari keluarga itu juga akan melahirkan individu-individu baru yang akan meneruskan kehidupan selanjutnya. Dengan lahirnya individu tersebut maka akan menimbulkan tanggung jawab yang besar yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan oleh kedua orang tuanya.2 Struktur keluarga yang ideal adalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari suami sebagai kepala rumah tangga, istri sebagai ibu rumah tangga, dan anakanak sebagai anggota keluarga. Kehadiran seorang atau beberapa anak di tengahtengah keluarga merupakan bagian tak terpisahkan dalam tujuan suatu perkawinan yang ingin membentuk rumah tangga dalam keluarga bahagia, dengan hadirnya anak, maka suasana keluarga dalam rumah tangga terasa ceria penuh dengan canda yang dapat menambah semangat kerja dan semangat membangun keluarga. Untuk membentuk suatu keluarga tentunya ada tahapan-
1
William Goode J, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Hal. 107. Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004). Hal. 72. 2
1
2
tahapan yaitu perkawinan lalu kemudian memiliki anak dan terbentuklah suatu keluarga.3 Dalam berkeluarga memiliki anak merupakan kebahagiaan tersendiri bagi orang tua. Harapan keluarga dan tujuan akhir dari pernikahan telah terpenuhi. Berbagai harapan dan cita-cita telah dinantikan oleh orang tua dalam mendampingi, merawat, mendidik anak, agar kelak memiliki kepribadian yang baik pada waktu besar dan dewasa nanti. Anak dalam perkembangannya membutuhkan proses yang panjang, maka dalam membentuk prilaku anak yang berakhlak mulia peran orang tua sangat dibutuhkan. Karena dalam mengasuh anak tidak hanya sekedar mengasuh tetapi orang tua perlu bertanggung jawab dalam memberikan perhatian sempurna kepada anaknya semenjak dari masa mengandung, melahirkan hingga sampai masa dewasa, orang tua berkewajiban mempersiapkan pertumbuhan jiwa, raga dan sifat anak supaya nantinya sanggup menghadapi pergaulan masyarakat.4 Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.5 Sesuai dengan pasal 52 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang menyebutkan bahwa anak di akui dan dilindungi 3
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), Hal. 239. Djuju Sudjana, Peranan Orang Tua Dalam Lingkungan Masyarakat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996). Hal. 98. 5 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, UU No. 23, LN. No. 109 tahun 2002, TLN. No. 4235, penjelasan umum. 4
3
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Hak dasar anak adalah hak untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat, memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan sebagian dari hak-hak anak.6 Salah satu hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.7 Perlindungan yang dimaksud ialah hak yang melekat pada diri anak sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Konvensi hak anak menyebutkan, ada 4 (empat) pokok yang dimiliki seorang anak yang harus dilindungi yaitu hak untuk hidup (survival), hak berkembang (development), hak mendapat perlindungan (protection), dan hak berpartisipasi (participation).8 Namun, selain hak anak tadi ada hak anak yang seringkali diabaikan oleh orang tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau yang sering disebut dengan penelantaran. Selain terabaikan kasih sayang dan hak asuh terhadap anak, penelantaran yang dimaksud dalam pengertian ini ialah tidak terpenuhinya hak-hak utama terhadap anak, seperti hak nafkah (sandang, pangan dan papan) dan juga hak dalam pendidikan. Anak termasuk dalam kelompok rentan, jadi sudah sewajarnya memperoleh perlindungan khusus dari negara. Perlindungan khusus tersebut berupa pembaharuan 6
Levin Leah, Hak Asasi Anak-Anak dalam Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994). Hal. 89. 7 Bismar Siregar, Hukum dan Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986). Hal. 40. 8 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Jakarta: Citra Aditya, 2015). Hal. 176.
4
hukum dengan cara menetapkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud untuk melindungi anak dari tindak penelantaran, termasuk memberikan pelayanan terhadap anak yang menjadi korban penelantaran.9 Pembaharuan di bidang legislasi berupa pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan, mengingat selama ini peraturan yang ada belum memadai dan tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, serta belum memberikan efek jera kepada orang tua atau pelaku penelantaran karena sanksinya terlalu ringan. Mengingat terjadinya tindak penelantaran keluarga khususnya terhadap anak dalam masyarakat, maka fenomena tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan peningkatan dalam penegakkan hukum. Oleh karena perbuatan penelantaran tersebut diancam pidana dalam Pasal 49 huruf (a) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan diperintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa sebelum lewat masa percobaan telah melakukan perbuatan yang dapat dipidana.10 Maka dari itu penyusun ingin mengulas dan membahas lebih mendalam tentang penelantaran anak dan berusaha membahasnya dalam judul “Penelantaran Ayah Terhadap Anak (dalam Perspektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.
9
Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
Hal. 92. 10
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana, (lengkap dengan uraian unsur-unsur tindak pidananya), (Yogyakarta: Merkid Press, 2015). Hal. 101.
5
B. Rumusan Masalah Masalah penelantaran anak yang terjadi menimbulkan beberapa pertanyaan yang menyangkut tentang pertanggungjawaban hukum orang tua khususnya seorang
ayah
yang
melakukan
penelantaran
terhadap
anaknya.
Untuk
mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penyusun membatasi pada pokok permasalahan dan di rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tanggung jawab ayah terhadap anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang PKDRT ? 2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap ayah yang menelantarkan anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang PKDRT? 3. Bagaimanakah Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran anak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian ini adalah:11 a. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab ayah menurut hukum Islam dan hukum positif. b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban hukum penelantaran ayah terhadap anak menurut undang-undang PKDRT.
11
S. Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992). Hal. 79.
6
c. Untuk
mengetahui
apakah
implementasi
Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran anak. 2. Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi insan akademik dapat mengetahui dan lebih memahami problematika atau sebagai salah satu upaya pemberian informasi tentang penelantaran anak yang terdapat dalam Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga. 2. Penelitian ini diharapkan dijadikan landasan untuk penelitian lanjutan dan semakin membangkitkan atau menjadi
motivasi peneliti
selanjutnya dalam pengembangan kajian yang berkaitan dengan anak. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memperkarya wancana intelektual bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas untuk memahami secara benar mengenai perihal penelantaran anak.12 D. Kerangka Teori Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa dan tidak bisa di anggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dituliskan bahwa anak adalah keturunan, yang menurut pengertian lain anak adalah manusia yang paling kecil namun dalam arti luas anak adalah manusia yang pada suatu masa perkembangan tertentu mempunyai potensi menjadi 12
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004). Hal. 37.
7
dewasa.13 Dan anak senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi.14 Anak dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam agama Islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberikan keperluan untuk kebutuhan baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia dan dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak merupakan titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan Negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris ajaran Islam.15 Pengertian anak dalam Undang-Undang yang terdapat pada UndangUndang 1945 di dalam Pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut 13
Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988). Hal.
30. 14
Kedaulatan Rakyat, Jurnal Rubrik Keluarga: Pahami Dunia Anak, 17 Desember 2006, tahun LXI No. 112. Hal. 9. 15 Ahmad Rofiq, Anak Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke-6. Hal 37.
8
merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak harus memperoleh hakhak kesejahteraan hidupnya dan dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar dan baik secara jasmani, rohani maupun sosial.16 Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Perlindungan anak tersebut berupa jaminan dan perlindungan hak-haknya sehingga anak dapat hidup tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Serta dapat perlindungan dari setiap tindakan kekerasan, penelantaran, dan tindak diskriminasi.17 Tanggung jawab orang tua (ayah) terhadap anak adalah merupakan kewajiban yang tidak dapat diabaikan begitu saja demi terwujudnya kesejahteraan anak secara rohani, jasmani maupun sosial, orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, maka orang tua dikategorikan telah menelantarkan anaknya dan dapat di jerat dalam hukuman pidana.18
16
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000). Hal. 63. 17 Giwo Rubianto Wiyogo, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007). Hal. I. 18 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 20080. Hal. 78.
9
Hukum pidana bertujuan untuk menegakkan keadilan dan berdasarkan prinsip bahwa tidak ada penghukuman tanpa adanya kesalahan (Geen straf zonder schuld). Dasar hukum perlindungan terhadap korban penelantaran dalam rumah tangga adalah Pasal 9, pasal 49, pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal-hal apa saja yang dapat dikatakan sebagai tindakan penelantaran dalam rumah tangga, serta pertanggungjawaban hukum tindak pidana lainnya dalam pelanggaran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.19 Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban serta tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan daerah.20 Dan bagi kehidupan berumah tangga setiap orang dilarang menelantarkan siapa saja dalam lingkup rumah tangganya. Terutama menelantarkan anak. Sama halnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwasannya setiap orang dilarang menelantarkan orang yang berada dalam lingkup keluarganya dan berlaku baginya karena persetujuan dan perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan. Konkretnya, penelantaran rumah tangga dimaksud disini setiap bentuk kelalaian dan kewajiban tanggung jawab orang tua kepada anaknya.
19 20
Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1983). Hal.34-35,40. Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009). Hal. 18.
10
Sudah saatnya orang tua (ayah) menyadari tanggung jawab terhadap anak-anaknya, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa lainnya yang harus dilindungi dan dihargai. Maka hak-hak anak perlu ditegaskan dan ditegakkan, antara lain untuk hidup yang layak, tumbuh dan berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.21 A. Metode Penelitian Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai atau tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi:22 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a.) Pendekatan Pendekatan yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan norma-norma hukum sebagaimana yang ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam
21 22
14.
Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, 1983. Hal. 48. Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: UI-Press, 19860. Hal.
11
b.) Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah penelitian pustaka (library research) yang menggunakan literature-literature berupa; buku, jurnal, kamus dan karya pustaka lainnya yang berhubungan dengan tema pembahasan dalam penelitian ini sebagai sumbernya. Karena dalam penyelesaian ini (menjawab rumusan masalah) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Hukum Islam merupakan acuan bagi penyusun sebagai data-data primer yang menjadi pegangan penyusun. 1. Sumber Data a.) Data Sekunder Melalui data sekunder penyusun dapat melakukan studi kepustakaan, dilakukan penelusuran bahan-bahan penelitian berupa buku, jurnal dan makalah yang berkenaan dengan masalah yang ada dalam penelitian ini. b.) Sifat Penelitian Sifat dari penelitian yang digunakan adalah deskriptip-analitik, yaitu suatu penelitian yang bertolak belakang dari pemaparan kondisis obyektif masalah, secara komprehensif. Sebagaimana aturan yang ada dalam Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta menjelaskan data-data tersebut yang sesuai dengan pokok masalah. Yang sebagaimana penyusun lebih
12
cenderung meneliti tentang pertanggung jawaban hukuman bagi orang tua yang menelantarkan anaknya di dalam rumah tangga. 2. Metode Analisis Data Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), maka dalam metode analisis data yang dilakukan yaitu dengan cara merujuk pada buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Sebagai buku primer (utama) di antaranya: UU Nomoe 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, datadata sekunder lainnya berupa buku-buku, jurnal, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan judul penelitian ini.23 3. Analisis Data Analisis Data merupakan yang dipakai untuk menelaah keseluruhan data yang tersedia dari berbagai sumber.24 Dalam hal ini penyusun menggunakan metode analisis perbandingan yang mana membandingkan data-data yang ada, serta mentitik beratkan pada studi pertanggung jawaban hukuman bagi orang tua yang menelantakan anaknya dalam rumah tangga.
23
Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988). Hal. 112. Lexi. J. moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002). Hal. 190. 24
13
B. Studi Review Terdahulu Dalam penelitian ini yang menjadi pokok bahasan tindakan penyimpangan terhadap anak yaitu berupa penelantaran anak oleh orang tua. Sejauh pengamatan penyusun, belum banyak ditemukan akan hal tersebut. Meskipun demikian, banyak karya tulis yang telah membahas tentang anak, akan tetapi tidak dalam lingkup penelantaran anak. Sehingga guna mendukung penelitian ini penyusun berusaha melakukan penelusuran karya-karya, penelitian, makalah, UU serta pustaka-pustaka yang berkaitan dengan judul penulisan ini, diantaranya adalah: Penelitian yang dilakukan oleh Astrid Fransisca Natalia R., yang berjudul “Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindakan Pidana Penelantaran Orang Tua”. Penelitian tersebut di teliti oleh Astrid pada tahun 2008. Hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian yang diderita oleh anak adalah berupa kerugian fisik dan kerugian psikologis. Kerugian fisik yaitu kekurangan gizi. Kerugian psikologis yaitu berupa kepribadian tapal batas, fobia sosial dan gangguan prilaku lainnya.25 Berbeda dengan hasil penelitian Astrid, penyusun cenderung meneliti tentang pertanggungjawaban hukuman orang tua terhadap anak yang di telantarkan dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
25
Astrid Fransisca Natalia R., “Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindak Pidana Penelantaran Oleh Orang Tua”. (Makalah FH. UAJY, 2008).
14
Buku dengan judul Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) karya DR. Arif Gosita yang merupakan sebuah kumpulan makalah-makalah yang dibukukan, yang mana dalam makalah ini banyak sekali permasalahan anak yang di paparkan tentang tindak kekerasan terhadap anak.26 Sedangkan dari penelusuran karya-karya lainnya yang bersangkutan dengan penulisan ini, diantaranya: Skripsi karya Sana Ulaili dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga”27 ruang lingkup pembahasan skripsi ini masih bersifat fisik serta hanya ditinjau dari Hukum Islam. C. Sistematika Penulisan Guna mempermudah dalam pembahasan, penyusun membagi susunan pembahasan dalam lima bab, yaitu: Bab Pertama, Pendahuluan, pada bab ini terdiri dari: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Kerangka teori, Metode penelitian, Studi review terdahulu dan Sistematika penulisan. Bab Kedua, Gambaran umum tentang penelantaran anak, yang meliputi: Pengertian pertumbuhan anak menurut ilmu pengetahuan, Pengertian penelantaran anak, Kriteria penelantaran anak, Hak anak menurut Islam, Hak
26
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. Ke-3 (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, tt). 27 Sana Ulaili, „Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga’, skripsi tidak diterbitkan, skripsi Strata Satu Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (2002).
15
anak menurut undang-undang, Batasan pengertian kekerasan KDRT, Kategori orang tua dan batasan tanggung jawabnya. Bab Ketiga, Sanksi pidana terhadap ayah yang menelantarkan anak menurut Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang meliputi: A. Pengertian dan dasar hukum sanksi - (1) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut Hukum Islam. - (2) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut undang-undang, B. Tujuan sanksi - (1) Tujuan/Fungsi sanksi menurut Hukum Islam. - (2) Tujuan/Fungsi sanksi dalam undang-undang. Bab Keempat, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya menurut Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga,
yang
meliputi:
Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya dalam Hukum Islam, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya dalam UU nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bab kelima, Merupakan terakhir dalam penulisan yang meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta saran-saran berdasarkan analisis dari penelitian ini yang diharapkan dapat dijadikan bahan masukkan dan sumbangan penulis pada pihak terkait.
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK
A. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Pengetahuan 1. Pertumbuhan Anak Menurut Islam Pertumbuhan anak menurut Islam berlangsung fase demi fase, pertumbuhan itu digambarkan oleh Allah SWT dalam al-Qur‟an sesuai firmannya pada surat Ghafir ayat 67 sebagai berikut:
ََط ۡف اٗل َصُ َّم ِ ٌَُُۡ َٱنَّ ِزْ َخهق ُكمَ ِّمهَرُشاةَصُ َّم َ ِمهَوُّ ۡطفخَصُ َّم َ ِم ۡه َػهقخَصُ َّم َٔ ُۡخ ِش ُج ُكم ْ ُنِز ۡجهُ ُغ ُٓ ْا َأ ُش َّذ ُكمۡ َصُ َّم َنِز ُكُو ُا َ ُشٕ ا َُُخ ۚب ََ ِمى ُكمَ َّمهَُٔزُفَّ ّٰ َ ِمهَق ۡج ُم ََنِز ۡجهُ ُغ ُٓ ْا َأج اٗل َُّمس ا ّمََّنؼهَّ ُكمۡ َر ۡؼقِهُُن Artinya: “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).28 Dari penjelasan ayat diatas bahwa proses individu mengalami tahapan dan dinamika sejak dalam kandungan hingga melahirkan.29 Seorang individu tumbuh
28 29
Lihat, QS. Ghafir [67]. Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009). Hal. 38.
16
17
menjadi anak, remaja atau dewasa yang mengarah pada proses pertumbuhan anak.30 Dalam fase pertumbuhan anak menurut konsep Islam, adalah sebagai berikut: 1. Masa Bayi (0 hingga 2 tahun) Pada fase ini orang tua anak perlu untuk mengembangkan kasih sayang secara dua arah dimana ibu memberikan kasih sayangnya dan dalam waktu bersamaan juga mengembangkan kemampuan anak memberikan respon. Ini seperti yang sering diperhatikan dalam fase pertumbuhan anak secara
umum
dimana
memang
diharapkan
mengajarkan
dan
memperhatikan anak untuk dapat memberikan respon. Disini yang dimaksud dengan “mengembangkan kemampuan anak memberikan respon”. 2. Masa anak-anak (2-7 tahun atau disebut dengan fase thufullah) Pada fase inilah merupakan fase penting memberikan pondasi dasar tauhid pada anak melalui cara aktif agar anak terdorong dan memiliki tauhid aktif dimana anak mau melakukan sesuatu yang baik semata menurut Allah. Fase ini fase penting penanaman pondasi bagi anak. 3. Masa Tanyiz (7-10 tahun) Di fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah mulai mempertegas pendidikan pokok syariat.
30
Aliah B Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2006), Hal. 97.
18
4. Masa Amrud (10-15 tahun) Fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan potensi dirinya guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan bertanggungjawab secara penuh. 5. Masa Taklif (15-18 tahun) Pada masa ini anak seharusnya sudah sampai pada titik bernama taklif atau bertanggung jawab. Bagi lelaki setidaknya fase ini paling lambat dicapai di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling lambat dicapai usia 17 tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada dirinya sendiri juga tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan secara keseluruhan.31 Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini adalah agama Islam. Anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan
31
Popi Sopiatin dan Sohari Sahrani, Psikologi Belajar dalam Pespektif Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011). Hal. 99-102.
19
negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lill a‟lamin dan sebagai pewaris ajaran Islam.32 2. Pertumbuhan Anak Menurut Hukum Selama hayatnya, manusia sebagai individu mengalami pertumbuhan yang berlangsung secara berangsur-angsur, perlahan tapi pasti, menjalani berbagai fase. Proses pertumbuhan yang berkesinambungan, beraturan, bergelombang naik dan turun, yang berjalan dengan kelajuan cepat maupun lambat.33 Semuanya itu menunjukkan betapa pertumbuhan mengikuti patokan-patokan atau tunduk pada hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan “hukum perkembangan”.34 Dalam segi aspek hukum dan undang-undang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakkan anak dalam pengertian aspek tersebut maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a. Pengertian anak dari aspek hukum. Dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak. Hal ini adalah sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan
32
Ahmad Rofiq, Anak Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 63. Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 141-142. 34 R. Akbar dan Hawadi, Perkembangan anak menurut Hukum, (Jakarta: PT. Grasindo, 2002). 33
Hal. 79.
20
sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum. b. Pengertian anak berdasarkan UU 1945. Pengertian anak dalam UU 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kaata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.35 Terhadap pengertian anak menurut UU 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri menjabarkan sebagai berikut. “Ketentuan UU 1945, ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar dan baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial. Anak jugta berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.36
35
Darwan Praist, HukumAnak Indoesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 20030. Hal 107. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum dan Asas-Asas Hukum di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hal. 78. 36
21
c. Pengertian anak berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No. 3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai ussia 8 (delapan) tahun, belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah”. Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan usia antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua, si anak belum pernak menikah, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah menikah dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam pernikahan dan putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudag dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.37 d. Pengertian anak menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan mendapati izi kedua orang tua. Pada pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum
37
M. Musa, Sistem Peradilan Sebagai Alternatif Peradilan Anak Indonesia, Bandung: CV. Rajawali, 2009). Hal. 49.
22
usia untuk dapat menikah, batasan bagi laki-laki adalah saat mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun.38 Menurut Hilman Hadikusuma, menarik batas antara belum dewasa dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Hal ini dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia telah melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum menikah.39 Dalam pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernak melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tua nya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tua nya. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, tidak berada dibawah kekuasaan wali . dari pasal-pasal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa anak dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan dan 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki.
38
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 20030. Hal. 53. 39 Prof. H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan, (Bandung: Alumni, 1984). Xii, 198. Hal. 20.
23
e. Pengertian anak menurut hukum adat / kebiasaan. Hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang dikatakan dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata. Soepomo berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata Jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:40 1. Dapat bekerja sendiri. 2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab. 3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri f. Pengertian anak menurut hukum perdata. Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: - status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum. – Hak-hak anak di dalam hukum perdata.41 Pasal 30 KUHPerdata memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas
40
Prof. Dr. R. Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Jakarta: Gita Karya, 1982). Hal. 43. 41 HFA. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS. Adiwinarta, jil, cet ke-II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982). Hal. 60.
24
legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan
perdata. Dalam
ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan perlindungan tergadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki
sebagaimana
yang
yang
dimaksud
oleh
pasal
2
KUHperdata.42 g. Pengertin anak menurut hukum pidana. Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang normal. Perngertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.43
42 43
R Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995). Hal. 177. Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), Hal. 12..
25
Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana
meliputi
ketidakmampuan
dimensi-dimensi untuk
pengertian
pertanggung
jawaban
sebagai
berikut;
-
tindak
pidana.
–
pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tatnegara dengan maksud untuk mensejahterakan anak. – rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. – hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan . – hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. 44
Jika ditilik pada pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak
yang belum dewasa apabila belum berusia 16 (enam belas) tahun. Oleh sebab itu jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si anak di kembalikan kepada orang tua nya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak diikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.45 Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan
perlindungan
terhadap
anak-anak
yang
kehilangan
kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada 44
usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala
Jeffry S, Nevied, Spencer, Beyerly. Hukum Pengertian Anak : Jilid II. (Jakarta : Erlangga . 2006). Hal. 32. 45 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, 2006. Hal. 88.
26
kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan kepada negara atau pemerintah. jadi dari berbagai definisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang di maksud dengan anak dan berbagai konsekuensi yang diperolehnya sebagai penyandang gelar anak tersebut. 3. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Kesehatan Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Menurut medis, masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler, (1-2,5 tahun) pra sekolah, (2,5-5 tahun) usia sekolah, (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat.46 Aspek tumbuh kembang pada anak adalah salah satu aspek yang diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut merupakan aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum memahami hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan
46
D. A. Feiby, Tahap Perkembangan Anak Bayi Hingga Pra Sekolah, (Jakarta: Dian Rakyat, 2001). Hal. 71.
27
dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah kesehatan termasuk pertumbuhan dan perkembangannya.47 Perkembangan psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan emosi dan identitas pribadi individu, yaitu bagaimana anak berhubungan dengan
keluarga,
teman-teman
dan
gurunya.
Pertumbuhan
dan
perkembangan walaupun hampir sama tetapi ada perbedaannya yaitu perkembangan akan berlanjut terus hingga akhir hayatnya, sedangkan pertumbuhan hanya terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik yang artinya bahwa seorang anak tidak akan bertambah tinggi atau besar jika batas pertumbuhannya telah mencapai kematangan.48 4.
Pertumbuhan Anak Menurut Psikologi
Pertumbuhan dan perkembangan anak secara psikologi merupakan sebuah konsep yang cukup rumit dan komplek. Namun dapat diartikan bawasannya pertumbuhan dan perkembangan anak menurut psikologi adalah merupakan perubahan-perubahan yang dialami anak atau organism menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis dan progresif, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Yang dimaksud dengan sistematis dan progresif adalah: 47
E. B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2000). Hal. 87. Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002). Hal. 86. 48
28
a.
Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat
saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian organism (fisik dan psikis) dan merupakan suatu kesatuan yang harmonis. b.
Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju,
meningkat dan mendalam (meluas) baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis). Beberapa definisi psikologi perkembangan menurut beberapa ahli, adalah sebagai berikut:49 a.
Menurut Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditoro dalam
psikologi pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang lebih mempersoalkan
faktor-faktor
umum
yang
mempengaruhi
proses
perkembangan (perubahan) yang terjadi dalam diri pribadi seseorang, dengan
menitikberatkan
pada
relasi
antara
kepribadian
dengan
perkembangan. b.
Menurut Kartini Kartono dalam psikologi anak: psikologi
pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang dimulai dengan masa bayi, anak bermain, anak sekolah, anak remaja, sampai masa dewasa. Maka, jika dipahami secara cermat dari penjelasan tentang pengertian pertumbuhan dan perkembangan psikologi di atas, maka dapatlah
49
E. B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 2002). Hal. 71.
29
dimengerti tentang ruang lingkup pertumbuhan dan perkembangan psikologi
yang merupakan; cabang dari psikologi, objek pembahasan
prilaku atau gejala jiwa seseorang, dan tahapan yang dimulai dari masa konsepsi hingga masa dewasa.50 5.
Pertumbuhan Anak Menurut Sosiologi
Pertumbuhan dan perkembangan anak menurut sosiologi adalah berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status sosial yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.51 Makna anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasanketerbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspesi sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya kemajuan anak karena anak tersebut berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa. Sosiologi menjelaskan tugas atau peran yang oleh anak pada masa pertumbuhan dan berkembangannya, yaitu: a.
Pada usia 5-7 Tahun, anak mulai mencari teman untuk
bermain.
50 51
M. Dalyono, Pendidikan Psikologi Anak, (Bandung: PT. Rineka Cipta, 2004). Hal. 128. J. William Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bina Aksara, 1983). Hal. 67.
30
b.
Pada usia 8-10 Tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan
temannya lebih akrab lagi. c.
Pada usia 11-15 Tahun, anak menjadikan teman menjadi
sahabatnya.52 6.
Pertumbuhan Anak Menurut Antropologi.
Anak menurut perspektif antropologi sebagai individu yang merupakan bagian suatu kebudayaan, yang dibentuk melalui pola pengasuhan, dan melakukan sosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Dari perspektif tersebut dapat diambil tiga garis besar yakni: a.
Bagian dari kebudayaan, anak berhadapan langsung dengan
budaya yang diwariskan oleh nenek moyang melalui orang tua atau yang mengasuhnya. Anak yang diasuh oleh dua subyek (ayah-ibu) yang berlatar belakang budaya yang berbeda akan mempengaruhi budaya anak tersebut. Inilah yang disebut dengan istilah asimilasi, dimana budaya anak merupakan hasil bertemunya dua budaya yang berbeda. b.
Pola pengasuhan yang dilakukan oleh kedua orang tua, bukan
salah satu. c.
Anak dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan sosial
tempat ia bersosialisasi.53
52
Hartini, G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hal. 58. 53 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Dian Pustaka, 1972). Hal. 203.
31
7.
Pertumbuhan Anak Menurut Budaya Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak menurut budaya david
matsumoto mengatakan bahwa, “budaya merupakan suatu konstruk individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-mikro”. Artinya, sampai batas tertentu budaya ada di dalam setiap masing-masing diri anak secara individual, sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global. Perbedaan individual dalam budaya bisa diamati pada orang-orang dari satu budaya sampai batas dimana mereka mengadopsi dan terlibat dalam sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku-perilaku yang berdasarkan kesepakatan yang membentuk budaya mereka. Bila anak bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan perilaku-perilaku tertentu, maka budaya tersebut akan hadir dalam diri si anak, sedangkan bila anak tidak memiliki nilai atau perilaku-perilaku tersebut, maka si anak tidak termasuk dalam budaya itu.54 B. Pengertian Penelantaran Anak Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus. Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan dengan cara membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau
54
David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hal. 73.
32
pengamen, anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, dan jenis pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.55 Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.56 Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Penelantaran anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis ( kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).57 Macam-macam dalam penelantaran anak, yaitu sebagai berikut: a. Penelantaran fisik, merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
55
Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementrian, Melindungi Anak Korban Penelantaran,
56
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadapa Anak, (Bandung: PT. Nuansa, 2006). Hal. 38. Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak, 2006. Hal. 55.
2010. 57
33
b. Penelantaran emosional, penelantaran secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ribut dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-anaknya. c.
Penelantaran pendidikan, terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
d. Penelantaran fasilitas medis, hal ini terjadi karena ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua, orang tua memberikan pengobatan tradisional terlebi dahulu, jika tidak ada perubahan pada anak barulah orang tua beranjak dan pergi untuk memberikan pelayanan pihak dokter.58 Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia sudah tidak memiliki orang tua. Anak terlantar adalah anak-anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya secara wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Terlantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan
58
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Penelantaran Anak, cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1990). Hal. 174.
34
hak memperoleh kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, karena ketidakmampuan, atau karena kesengajaan. Dibandingkan anak yang dijadikan korban tindak kekerasan, anak korban penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena penderitaan yang dialami korban tidak sedramatis sebagaimana layaknya anakanak yang teraniaya secara fisik, sebagaimana para ahli menyatakan, anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak yang dianiaya oleh orang tuanya hingga tewas, atau anak yang dipaksa bekerja sektor prostitusi, masalah anak terlantar acap kali hanya dilihat sebagai masalah intern keluarga per keluarga, hanya bersifat kasuistis dan terjadi pada keluarga-keluarga tertentu saja yang secara psikologis bermasalah, tindak penelantaran anak baru memperoleh perhatian publik secara lebih serius tatkala korban-korban tindak penelantaran ini jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak, dan menimbulkan dampak yang tak kalah mencemaskan bagi masa depan anak.59 C. Kriteria Penelantaran Anak Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
59
Modul Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Kementria Sosial RI. Milik Dinas Sosial Yogyakarta. 2004.
35
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.60 Fenomena kekerasan keluarga (family volence) sering menggelayuti kehidupan kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada era indrusialisasi, akan banyak orang mengalami stress dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak. Aapabila perlakuan kasar orang tua menyebabkan sakit, luka atau kematian anak, hal itu sudah merupakan tindak kriminal dengan konsekuensi dapat dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak mati di tangan orang tua. Namun, kekerasan terhadap anak bukan hanya dengan kekerasan fisik, dengan penelantaran anak yang di lakukan orang tua terhadap anak nya juga dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan.61 Berikut adalah beberapa upaya perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan, adalah:62 a. Harus ada perhatian penuh dari orng terdekat lainnya terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perilaku yang tidak menyenangkan dari orang tuanya, dan kekuasaan orang tua atas anaknya dicabut.
60
Psychology Today, Journal Child Abuse, 2002. A. H. Buss, M. Perry, The Aggresion, Journal of Personality and Social. 1992. 62 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: PT. Bhuana Populer, 2004). Hal. 48. 61
36
b. Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Di samping itu, perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Kasus seperti penelantaran anak memang sulit dideteksi karena pada masa lalu, di negara kita hal ini tidak menjadi perhatian dan belum ada dasae hukumnya. Sejauh ini, kasus penganiayaan dan penelantaran anak di Indonesia belum banyak dilaporkan dan dicatat secara resmi, karena sulitnya memperoleh data dan deteksi kasus-kasus seperti ini. Kesulitan disebabkan karena pelaku penelantaran anak adalah mereka yang berototitas lebih tinggi dari pada korban (anak). Sehingga untuk menutupi kasus seperti ini mereka membiarkan para korban tanpa mendapatkan bantuan. Oleh karena itu, sangat perlu bantuan dan kerjasama dari semua pihak, terlebih petugas kesehatan untuk mampu melakukan deteksi penganiayaan atau penelantaran anak, sehingga anak memperoleh pertolongan perlindungan yang semestinya. D. Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam Anak merupakan anugerah sekaligus ujian bagi pasangan suami istri, dan tugas seorang suami ketika dikaruniai seorang anak akan bertambah tanggung jawab
serta kewajibannya sebagai seorang ayah. Kedudukan seorang ayah
sebagai pemimpin keluarga tidak hanya terpusat pada perannya dalam hal
37
menafkahi keluarga saja, tetapi lebih dari itu, seorang pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT atas segala tindak tanduk juga hasil dari kepemimpinannya, yang dalam hal ini adalah kepemimpinan keluarga yakni memimpin istri juga anak-anaknya. Tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya, tidak hanya turut mendampingi perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, namun ada beberapa hal seperti berikut ini: 1. Memberi nama yang baik bagi anak-anaknya Pemberian nama pada seorang anak merupakan salah satu hak dan kewajiban pertama bagi seorang ayah. Sedangkan dalam Islam, pemberian nama haruslah mengandung arti yang baik dan agung, karena menurut salah satu sabda Rasulallah SAW, “Pada hari kiamat setoap manusia akan dipanggil menggunakan namanya masing-masing, juga nama orangtuanya”. Oleh karena itu pemberian sebuah nama pada seorang anak haruslah mengandung makna yang baik, indah dan tidak ada makna merendah atau menghinakan sang anak.63 2. Menanamkan keimanan (tauhid) dan akhlak Awal pendidikan seorang anak adalah dilingkungan keluarga atau dirumah, dan yang berperan sebagai guru pertama bagi mereka adalah ayah dan ibunya. Kedua orang tua memiliki porsi yang sama dalam perannya mendidik anakanaknya
63
60.
agar
tumbuh
menjadi
pribadi
yang sesuai
dengan
yang
Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Kalam Mulia, 2001). Hal.
38
diharapkannya. Dalam Islam, seorang anak selain sebagai penerus keturunan dari suatu kaum muslim juga untuk menjadi penerus mereka dalam hal keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT. Sedangkan keimanan dan ketakwaan tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya pola asuh dan didikan pada seorang anak. Ayah dalam hal ini menjadi kunci utama dalam hal penanaman keimanan dan ketakwaan bagi mereka. Seorang ayah bertanggung jawab mengajarkan anak-anak mereka tentang pada siapa mereka harus menyembah, mengabdi dan beriman. 3.
Menyekolahkan dan membentuk cara berfikir anak Ada sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan pertimbangan sekolah favorit, karena alasan ekonomis, mudah dijangkau dan lain sebagainya. Dimanapun orang tua menyekolahkan anaknya, yang terpenting adalah sekolah termasuk lingkungannya (teman-temannya, guru-gurunya, dsb). Bukan hanya mampu membuat anak kita menjadi pribadi yang berkembang dalam cara berfikirnya secara intelektual saja tapi juga tetap terjaga akhlak dan kepribadiannya. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban bagi orang tua untuk menentukan sekolah yang baik bagi anak-anaknya.
4. Menjadi teladan bagi anak-anaknya Mendidik anak bukan sekedar memberi perintah dan aturan. Anak tidak akan mengikuti dan memaknai apa yang dikatakan orang tuanya, jika mereka sendiri tak pernah mengamalkan suatu amalan. Sebagai contoh, tidak mungkin kita menyuruh anak kita rajin dan tidak pernah meninggalkan ibadah shalat wajib, jika sebagai orang tua pun kita tidak pernah atau tidak rajin
39
melaksanakan shalat wajib. Akan lebih bermakna ketika orang tua mendidik anak dengan memberinya teladan atau contoh yang baik. Anak akan belajar dari meniru apa yang dilakukan orang tuanya, dan begitupun mereka akan menerapkan hal yang serupa pada keturunannya. 5. Menjaganya dari lingkungan yang tidak baik Menjaga anak kita dari lingkungan yang tidak baik, salah satunya seperti yang diungkapkan di atas, memilih sekolah yang tepat. Selain itu, lingkungan disekitar rumah pun turut berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Ketika orang tua dirumah membiasakan anak untuk bertutur kata dengan bahasa yang baik dan santun, sedangkan diluar rumah dan lingkungan pertemanannya terbiasa berbahasa dengan bahasa yang kasar dan tidak sopan, tentunya akan mempengaruhi keberhasilan didikan dirumah. Oleh karena itu, memilih rumah sebagai tempat tinggal dilingkungan yang baik, tetap mengawasi pertemanan anak-anak, tentunya akan menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan dari pola didik kita pada anak-anak. Namun perlu diingat, menjaga bukan berarti bersikap berlebihan yang malah menjadikan penghambat bagi perkembangan mereka. Ketika seorang ayah mampu menyadari peranannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga, melaksanakan semua tugas dan fungsinya secara baik, rumah tangga yang dibangun akan menjadi rumah tangga yang bahagia dengan dipenuhi keturunan-keturunan yang akan mejadi penyejuk juga penyelamat bagi orang tuanya kelak.64
64
Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga. 2001. Hal. 63-64.
40
E. Hak Anak menurut Islam Hak anak dalam Islam memiliki aspek universal terhadap kepentingan anak. Meletakkan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa dasar tujuan kehidupan umat Islam adalah membangun umat manusia yang memegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan Islam ini meliputi aspek hukum dalam lingkungan seseorang. Cara pandang yang dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum Islam sebafai formalitasformalitas wajib yang harus ditaati dan apabila dilanggar maka perbuatan tersebut akan mendapatkan laknat baik di dunia maupun di akhirat.65 Dimensi Islam dalam meletakkan hak asasi manusia sangatlah luas dan mulia. Dari ajaran kehidupan moral, hal asasi anak juga dipandang sebagai benih dalam sebuah masyarakat.66 Dalam pandangan ini Abdur Razak Husein menyatakan “jika benih anak dalam masyarakat itu baik, maka sudah pasti masyarakat akan terbentuk menjadi masyarakat yang baik pula”, lebig kanjut dikatakan, Islam menyatakan bahwa anak-anak merupakan benih yang akan tumbuh untuk membentuk masyarakat di masa yang akan datang.67 Dalam dasar kehidupan, manusia mengalami 4 (empat) fase yang pasti dilalui yaitu: pertama, dari awal kelahirannya, kedua, dari awal kelahiran sampai 65
Abdul Ghani Abdullah, Pengantara Komplikasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). Hal. 71. 66 Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003). Hal. 39. 67 Abdur Razak Husein. Hak dan Pendidikan dalam Islam. Alih bahsa H. Azwir Butun, (Bandung : Fikahati Aneka, 1992). II. Hal. 19.
41
anak menjelang dewasa (mumayyiz), ketiga, dari awal mumayyiz sampai dewasa (baligh), dan keempat, dari awal baligh sampai menjelang meninggal dunia.68 Selama daur yang dilalui manusia itu dibarengi dengan hak dan kewajiban, baik dalam garis vertikal maupun horizontal. Hak dan kewajiban vertikal adalah hubungan manusia dengan tuhannya sebagai sang Khaliq (penciptanya). Sedangkan hubungan horizontal adalah kewajiban memperhatikan hak keluarganya, hak suami istri, dan hak anakanaknya. Subhi Mamasani berpendapat bahwa orang tua memperhatikan hak anak untuk masa depan mereka yaitu baik hak menyusui, hak untuk mendapat asuhan, hak untuk mendapatkan nama baik dan kewarganegaraan, hak nafkah atau harta, hak pengajaran, serta hak pendidikan, akhlak dan agama.69 Secara garis besar, hak anak menurut Islam dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) macam, yaitu:70 a. Hak anak sebelum dan sesudah lahir.
َ َق َۡذ َخ ِسش َٱنَّ ِزٔهَ َقزهُ ُٓ ْا َأ َۡ ٰنذٌُمۡ َسف ٍَۢب َثِغ ٕۡ ِشAllah SWT berfirman: ْ ُُا ََمب َكبو ْ ُّٱّللِ َق ۡذ َضه ْ ِػ ۡه ٖم ََح َّش ُم َُا ََّۚ َ ّٱّللُ َ ۡٱفزِش ٓاءَ َػه ََّ َ ُا َمب َسصقٍُ ُم َ 71َُم ٍۡز ِذٔه 68
Ali Hasaballah. Ushul at -Tasyri’ al-Islami. (Mesir : Dae al- Ma‟arif, 1959). Hal. 258. Subhi Mamasani. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia. (Jakarta : Tintamas Indonesia, 1987). Hal. 204. 70 Abdur Razak Husein. Hak dan Pendidikan….,Hal. 11-34. Hak anak dalam fiqh sering dirinci menjadi hak nasab, hak rada’ah, hak hadanah, dan hak nafkah. Lihat Abu Zahrah, Ahwal AsySyakhsiyyah. (Kairo : Dar al-Fikr, 1957). Hal. 451-471. 71 Lihat, QS. Al-An‟am [6:140] 69
42
Maksud ayat
ini, upaya
anak memperoleh penjagaan dan
pemeliharaan akan keselamatan dan kesehatannya. Ditegaskan pula dalam surat at-Talaq (65): 6 tentang kewajiban seorang suami untuk menjaga istrinya yang sedang hamil. Islam mengajarkan agar selalu menjaga kehidupan keluarga dari api neraka (jalan kesesatan) bahkan demi hak asasi manusia diperintahkan saling menjaga antar sesama manusia. Islam juga melarang membunuh perempuan dan anak-anak dalam keadaan perang. Dalam Islam ada beberapa hal yang dianjurkan untuk dilakukan pada saat kelahiran anak, yaitu: 1). Disunnahkan menggembirakan bagi yang melahirkan. 2). Disunnahkan mengiqamati anak yang baru lahir. 3). Disunnahkan mentahnik anak yang baru lahir, dan 4). Disunnahkan mencukur rambut anak yang lahir. b. Hak anak dalam kesucian keturunan (nasab). Hak nasab (hak atas hubungan kekerabatan atau keturunan) merupakan sesuatu yang penting bagi anak. Kejelasan nasab akan sangat penting mempengaruhi perkembangan anak pada masa berikutnya. Allah
ٓ ِ َ َۡ َ ۡٱد ُػٌُُمSWT ۚ َّ َ ِلثبٓئِ ٍِمۡ ٌَُُ َأ ۡقسظُ َ ِػىذ َٱّللَِ َفئِن َنَّمۡ َر ۡؼه ُم ُٓ ْا
berfirman:
43
ٞ ِّٔهََم ُٰنِٕ ُكمۡۚ ََن ٕۡسَػه ٕۡ ُكمۡ َجُى َبحَفِٕمبَٓأ ۡخط ۡأرُم َِ ءاثبٓءٌُمۡ َفئ ِ ۡخ ُٰوُ ُكمۡ َفَِٓٱنذ ََّ َثِ ِۦًَََ ٰن ِكهَ َّمبَرؼ َّمذ ۡدَقُهُُثُ ُكمۡۚ ََكبن َ 72ََّحٕمب ِ ٱّللَُغفُُساَاَس Hal ini dimaksudkan demi ketenangan jiwa sang anak. Adanya kejelasan nasab bagi anak merupakan kebanggaan batin dan agar tidak terjadi kerancuan dan kebimbangan dalam masyarakat.73 c. Hak anak untuk menerima pemberian nama yang baik. Diantara tradisi masyarakat yang berlaku ialah ketika seorang anak menjadi bahan ejekan serta cemooh hendaknya dihindari. Nama-nama yang paling utama adalah nama0nama para nabi atau nama Abd yang dirangkai dengan nama-nama Allah SWT, seperti Abd Al-Rahman, Abd Al-Rahim. d. Hak anak untuk menerima susuan (rada’ah). Hak ini ini berdasarkan fiman Allah SWT:
ُ ََ ۡٱن ُٰنِ ٰذ َض ۡؼه َأ َۡ ٰنذٌُ َّه َح ُۡن ٕۡ ِه َكب ِمه ٕۡ ِۖ ِه َنِم ۡه َأساد َأن َُٔزِ َّم ِ دَ َٔ ُۡش ََُف ََل َِ ۚ ٱنشَّضبػ َۚخ ََػهَّ ۡٱنم ُۡنُُ ِدَ َن َۥًُ َ ِس ۡصقٍُ َُّه ََ ِك ۡسُرٍُ َُّه ََثِ ۡٲنم ۡؼش ٞ ُف َو ۡفسٌ َإِ ََّل َ َُ ۡسؼٍ ۚب ََل َرُضبٓ َّس ََٰنِذ َۢحُ َثُِن ِذٌب َََلَ َم ُۡن ُ َّرُكه َُُد َنَّ ًَۥ ۡ َۗ ٰ ۡ َِ اس َاض ِ ُثُِن ِذ ِۦََۚي ََػهّ َٱن ٖ س َ ِمض ُم َرنِك َفئ ِ ۡن َأسادا َفِصبَلَ َػه َرش َضؼ ُُٓ ْا ِ ِّم ۡىٍُمب ََرشب َُ ٖس َفٗل َجُىبح َػه ٕۡ ٍِم َۗب ََإِ ۡن َأسدرُّمۡ َأن َر ۡسز ۡش َُا َْ َُُف َ ََٱرَّق َِ َۗ أ َۡ ٰنذ ُكمۡ َفٗل َجُىبح َػه ٕۡ ُكمۡ َإِراَسهَّمۡ زُمَ ََّمَبٓ َءار ٕۡزُمَثَِ ۡٲنم ۡؼش ۡ َََٱّلل َ 74ََٞصٕش ََّ َٱػه ُم َُْٓاَأ َّن ََّ ِ ٱّللَثِمبَر ۡؼمهُُنََث 72
Lihat, QS. Al-Ahzab [33:5] Untuk memperjelas tentang keturunan, dalam fiqh diterangkan bagaimana cara menentukian nasab, yaitu dengan pengakuan, penetapan hakim, dan persaksian. Lihat, Mustafa asSiba‟I, Ahwal asy-Syakhsiyyah. (Damaskus : tnp.., tt..). Hal. 291-294. 74 Lihat, QS. Al-Baqarah [2:233] 73
44
Sebagaimana ayat diatas, adapula ayat lain yang menerangkan bahwa ada keringanan dalam segi beribadah kepada Allah SWT bagi para ibu yang sedang menyusui, seperti dalam ibadah puasa.75 Dalam kondisi tertentu, apabila seorang tidak memungkinkan untuk memberikan ASInya kepada anaknya, karena kemaslahatannya, maka wajib orang tua untuk mencari orang lain untuk menyusui anaknya.76 Sebagai pemenuhan hakhaknya untuk mendapatkan ASI.
e. Hak anak untuk mendapatkan asuhan, perlindungan dan pemeliharaan. Diantara berbagi tanggung jawab yang paling menonjol yang diperhatikan Islam adalah mengajar, membimbing, dan mendidik anak yang berada dibawah tanggung jawabnya. Semua ini merupakan tanggung jawab yang besar, berat dan penting karena hal ini dimulai sejak anak dilahirkan sampai pada masa aktif (dewasa).] Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan diantara fitrah manusia adalah ia dianugerahi akal dan kemampuan untuk berpikir. Sehingga selalu memiliki rasa ingin tahu (curiously). Oleh karena itu dalam Islam, orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan, bahkan mencari pengetahuan adalah suatu kewajiban. Begitu pula dengan
75 76
As-Sayyid Sabiq. Fiqh As-Sunnah. (Beirut : Dae al-Fikr, 1403H/1983 M). VII. Hal : 143. As-Sayyid Sabiq. Fiqh As-Sunnah. Hal. 145.
45
anak-anak, dalam Islam, orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Pendidikan anak ini dilaksanakan sebagai upaya mempersiapkan diri anak untuk menjalani kehidupannya, karena setiap anak yang dilahirkan itu tidak mengetahui apa-apa, sebagaimana firman Allah SWT:
َُن َأُ َّم ٍٰزِ ُكمۡ ََل َر ۡؼه ُمُن َش إَۡب ََجؼم َن ُك ُم ََّ َ ِ ُٱّللُ َأ ۡخشج ُكم َ ِّم َۢه َثُط ٰ ٱنسَّمۡ غََ ََ ۡٱِل ۡث َ ص َشَ ََ ۡٱِل ۡفَِذحََنؼهَّ ُكمۡ َر ۡش ُكش َ 77َُن Dalam hal ini dimaksudkan orang tua bertanggung jawab penuh untuk memberikan tanggung jawab pendidikan kepada anak-anaknya. Pendidikan tanggung jawab ini meliputi: pertama, pendidikan iman, kedua, pendidikan
moral,
ketiga,
pendidikan
fisik,
keempat,
pendidikan
intelektual, kelima, pendidikan psikologis, keenam, pendidikan sosial dan ketujuh, pendidikan seks. Oleh karena itu, diperlukan adanya bimbingan, pengarahan dan pengawasan
agar
anak
dapat
berkembang
menuju
kedewasaan
sebagaimana mestinya. Selain itu, pendidikan dalam Islam juga bertujuan untuk memelihara dan menjaga fitrah yang dimiliki anak itu sendiri, yaitu bersih dan suci, terutama fitrah manusia atas agama.78 Rincian hak anak diatas adalah kebutuhan anak yang harus diperhatikan. Kesemuanya itu merupakan pemenuhan kebutuhan anak 77
Lihat, QS. An-Nahl [16]:78 Nurcholis Madjid. Anak dan Orang Tua , Dalam Masyarakat Religius. (Jakarta : Paramadina, 2000). Hal. 81-82. 78
46
sejak ia di dalam kandungan sampai ia akan menginjak dewasa, baik dari pemenuhan kebutuhan fisik maupun nilai-nilai kerohanian (jiwa anak). Karena bagaimanapun, mempersiapkan anak agar menjadi generasi yang berkualitas sudah diamankan dalam al-Qur‟an maupun al-Hadist. f. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Menurut Hukum Islam. Kepribadian yang seimbang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individu dan kelompok, kepribadian ini tidak bisa sempurna kecuali bila diarahkan, dibina dan dibimbing dari segala aspeknya, tempat yang paling subur bagi pembinaan pendidikan adalah fase anaak-anak yang merupakan fase teristimewa, keistimewaan berupa kelenturan, kesucian dan fitrah. Jika pada fase tersebut dibangun dengan penjagaan, pembimbingan, dan arahan yang baik, maka kelak ia akan menjadi kokoh dihadapan goncangan hari depannya yang tentu akan ia hadapi ketika mulai menginjak dewasa.79 Pemeliharaan (perlindungan) anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak, oleh karenanya kerjasama dan tolong-menolong antara suami dan istri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa sangat dibutuhkan.80
79
Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Cara Nabi Mendidik Anak, )Solo : Pustaka Arafah. 2006). Hal. 108. 80 Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-6, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 235.
47
Diminta atau tidak diminta, pemeliharaan (perlindungan) terhadap anak adalah hak anak. Maulana Hasan Wadong menerangkan bahwa hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokkan secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang meliputi sebagai berikut.81 a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.
ْ ُذَحمۡ ٖمَفأوفِق َُاَػه ٕۡ ٍِ َّهَحَزَّ َّٰٔض ۡؼهَحمۡ هٍ َُّه ِ َإِنَ ُك َّهَأُ َْ ٰن Artinya: “… dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hinggga mereka bersalin …” (Ath-Thalaq [65]: 6).
b. Hak anak dalam kesucian dan keturunannya.
ٓ ِ َ َۡۡٱد ُػٌُُم ََّۚ َ ِلثبٓئِ ٍِمۡ ٌَُُ َأ ۡقسظُ َ ِػىذ َ ۡٱّللِ َفئِن َنَّمۡ َر ۡؼه ُم ُٓ ْا َءاثبٓءٌُم ٞ ه ََم ُٰنِٕ ُكمۡۚ ََن ٕۡس َػه ٕۡ ُكمۡ َجُى َِ ِّٔفئ ِ ۡخ ُٰوُ ُكمۡ َفَِٓٱنذ َبح َفِٕمبَٓأ ۡخط ۡأرُم َثِ ًَِۦ َ َّحٕمب ََّ ََ ٰن ِكهَ َّمبَرؼ َّمذ ۡدَقُهُُثُ ُكمۡۚ ََكبن ِ ٱّللَُغفُُساَاَس Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah SWT, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu, dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab [33] : 5). 81
Maulana Hasan Wadong. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Grassindo, 2000). Hal. 33.
48
c. Hak anak dalam penerimaan nama baik.
ْ ََل َرىبث ُض َِ ۚ ٱۡل ٰٔم َُ ُُِس ُم َ ۡٱنفُس َۡ ت َثِ ۡئس َٱِل َِ ِۖ َا ََثِ ۡٲِل ۡن ٰق َه ََمهَنَّمۡ َٔزُ ۡت ِ ۡ َ ق َث ۡؼذ ٓ ٰ َفأ ُ َْ ٰنئِكٌَُ ُمَٱنظَّهِ ُمُن Artinya: “dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan, seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang0orang yang zalim”. (Al- Hujurat/49 : 11).
d. Hak anak dalam menerima susuan.
ُ ََ ۡٱن ُٰنِ ٰذ َض ۡؼه َأ َۡ ٰنذٌُ َّه َح ُۡن ٕۡ ِه َكب ِمه ٕۡ ِۖ ِه َنِم ۡه َأساد َأن َُٔزِ َّم ِ دَ َٔ ُۡش َٱنشَّضبػخ Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (Al- Baqarah/2 : 233).
e. Hak anak dalam menerima asuhan, perawatan dan pemeliharaan. ُ ََُّف ََل َرُكه َ ٌف َو ۡفس َِ ۚ َػهَّ ۡٱنم ُۡنُُ ِدَ َن َۥًَُ ِس ۡصقٍُ َُّه ََ ِك ۡسُرٍُ َُّهََثِ ۡٲنم ۡؼش إِ ََّلَ َُ ۡسؼٍب
49
Artinya: “…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…”. (Al- Baqarah/2 : 233).
f. Hak anak dalam memiliki harta benda (hak waris), demi kelangsungan hidup yang bersangkutan.
ْ ُّ َأمۡ ُٰنٍُمِۡۖ َََل َرزج َّذن َٰٓ ُا َ ۡٱنٕ ٰزم َْ َُءار َت َََل َر ۡأ ُكهُ ُٓ ْا َِ ِۖ َُِّّٕا َ ۡٱنخجِٕشَ ََثِٲنط أمۡ ُٰنٍُمۡ َإِن ٰ َّٓأمۡ ُٰنِ ُكمۡۚ َإِوَّ ًَۥَُكبنَحُُثا بَكجِ ا ٕشا Artinya: “Dan berilah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan0tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”. (An-Nisa [4] : 2).
g. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
ُ ََلَ َر ۡق َُّف َمب َن ٕۡس َنكَ َثِ ِۦًَ َ ِػ ۡه ۚ ٌم َإِ َّن َٱنسَّمۡ َغ َ ََ ۡٱنجص َش َ ََ ۡٱنفُؤادَ َ ُكم ٓ سُ ا َ٦٣ََُل َۡ أُ َْ ٰنئِكَكبنَػ ۡىًَُم Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
50
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (Al- Isra [17]: 36).
Larangan penelantaran anak sangatlah relevan, karena istri dan anak merupakan tanggung jawab dari seorang suami yang sekaligus seorang ayah dari seorang anak. Hal ini dikuatkan oleh firman Rasulallah SAW, ketika beliau menerima aduan Hindun binti „Utbah:82
Artinya: “Dari Aisyah, bahwa Hindun bin “Utbah berkata: “Wahai Rasulallah SAW. sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) adalah seorang laki-laki yang sangat kikir, ia tidak memberiikan (nafkah) sesuatu yang mencukupiku dan mencukupi anakku, kecuali aku mengambilnya (sendiri) sementara dia tidak mengetahui. Maka beliau berkata: “Ambillah apa yang dapat mencukupi kebutuhanmudan anakmu secara makruf”. (Riwayat al-Bukhari). Berdasarkan penjelasan di atas, walaupun secara eksplisit jelaslah bahwa pemeliharaan (perlindungan) anak merupakan tanggung jawab orang tua yang harus terpenuhi sesuai dengan kemampuannya. Sebab kegagalan pemeliharaan atau penelantaran anak dalam membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merupakan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tua pun akan menderita kerugian yang tidak suci, karena kelak di akhirat mereka (orang tua) dituntut untuk 82
Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, (Beirut : Dar al-Fikr, 1401H/1981M). VI: 193.
51
mempertanggungjawabkannya. Karena dalam hukum Islam memiliki dua dimensi hukuman bagi pelaku tindak kejahatan, yaitu sanksi dunia dan akhirat.
F. Hak Anak Menurut Undang-Undang masalah seputar kehidupan anak merupakan persoalan yang harus mendapatkan perhatian secara khusus. Akibat kegagalan pranata sosial disinyalir sebagai penyebab ketidakmampuan pemerintah untuk mewujudkan kondisi ideal dalam melindungi hak-hak anak khususnya di Indonesia. Walaupun banyak naskah akademik, seminar-seminar, lokakarya yang mengusung tentang tema perlindungan anak namun belum dapat memberikan konstribusi yang besar terhadap perlindungan anak dalam arti menyeluruh (kompheresif).83 Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan
anak
yang
dapat
menjamin
pertumbuhan
dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Berdasarkan prinsip non-diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu
83
Hal 46.
Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).
52
anak dalam keadaan normal maupun anak yang sedang bemasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan tersebut.84 Dalam penetapan perlindungan terhadap anak, terdapat hak-hak anak berdasarkan Undang-Undang yaitu, sebagai berikut: 1. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 -Pasal 28B ayat (2). “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. (Bahwasannya setiap anak itu berhak mendapatkan perlindungan dalam kelangsungan hidupnya, layak untuk tumbuh dan kembang secara sempurna, mulai dari dalam kandungan hingga dilahirkan ke dunia. Dan berhak mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan). -Pasal 34 ayat (2) “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. (Seorang anak yang terlahir dari kalangan fakir miskin atau anak yang sengaja atau tidak sengaja di telantarkan oleh orang tua nya menjadi tugas negara untuk dipelihara dan dijamin kelangsungan hidupnya). 2. Menurut Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. -Pasal 4 84
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (2010). Hal. 96.
53
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, kembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi”. (Bahwasannya orang tua yang diberkahi seorang anak berhak melindungi, mengasihi dan membiayai semua segala kebutuhan-kebutuhan untuk tumbuh kembang si anak, dan menjaga anak dari segala tindakan kekerasan diskriminasi). -Pasal 5 “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan”. (Orang tua berhak memberikan nama kepada anak-anak nya sebagai identitas
diri
dan
orang
tua
juga
berhak
memberikan
status
kewarganegaraan bagi si anak). 3. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. -Pasal 2 “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan kembang dengan wajar”. (Setiap anak berhak mendapatkan kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan yang baik dari keluarganya serta kasih sayang yang terpenuhi sehingga si anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sempurna).
54
-Pasal 3 “Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapatkan pertolongan, bantuan dan perlindungan”. (Dalam keadaan apapun dan yang membahayakan sekalipun, anaklah yang pertama-tama harus diperhatikan dan mendapatkan pertolongan, bantuan, serta perlindungan). 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 9 ayat (1) “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Pasal 9 ayat (2) “Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut”. (Dalam undang-undang PDKRT ini menyangkut hak-hak dalam lingkup rumah tangga dan perlindungan dari tindakan kekerasan dan tindak penelantaran , yang di dalamnya terdapat; suami, istri, anak, dan orang lain dalam lingkup rumah tangganya. Bahwasannya siapapun dilarang
55
untuk menelantarakan seseorang yang ada di dalam lingkup rumah tangga dan dilarang membatasi yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi seseorang dengan cara melarang bekerja dengan layak di dalam maupun di luar rumah sehingga menjadi tekanan baginya).85 G. Batasan Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). a. Pengertian Kekerasan kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.86 Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1964, caffey- seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized
85
Undang-Undang Republik Indonesia, UUD 1945, UU RI No. 35 Th. 2014, UU RI No. 4 Th. 1979, UU No. 23 Th. 2004. (Disertai dengan pembahasan dan analisis penulis). Jakarta 20 April 2016. Jam 08.37 WIB. 86 Bagong suyanto. dkk, Tindak Kekerasan Mengintai Anak-Anak Jatim, (Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000). Hal. 73.
56
trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome.87 Barker mendefinisikan, child abuse merupakan tindakan melukai berulang-ulang secara fisik dan psikis terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik. Pemerkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Pemerkosaan dapat didefinisikan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik.88 Beberapa bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak, antara lain sebagai berikut: Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada 4 (empat) macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse dan sexual abuse.89 a. Kekerasan secara fisik (physical abuse) Physical abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya membutuhkan perhatian). Pukulan 87
Ranuh, I.G.N., ed. Buku Imunisasi di Indonesia, (Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2001). Hal. 93. 88 Tobach, dkk., Kekerasan Seksual Atas Hak Asasi Perempuan Terhadap KDRT, (Bandung, PT. Rafika, 2008). Hal. 86. 89 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, ceet. Ke-1, (Bandung: PT. Nuansa, 2006). Hal. 59.
57
akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. b. Kekerasan emosional (emotional abuse) Emotional abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak setelah mengetaui anaknya meminta perhatian, tetapi mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak dalam keadaan basah atau kelaparan karena orang tua atau pengasuh dan pelindung dalam keadaan sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu. c. Kekerasan secara verbal (verbal abuse) Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental, menyalahkan, atau juga mengkambinghitamkan. d. Kekerasan seksual (sexual abuse) Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan
58
bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.90 Menurut Thomas Santoso, mengelompokkan kekerasan pada anak, yang meliputi: a. Kekerasan anak secara fisik Kekerasan
secara
fisik
adalah
penyiksaan,
pemukulan,
dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan bendabenda tertentu, yang meenimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat bersentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sudutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut atau punggung. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus-menerus, meminta belikan jajanan, buang air atau muntah disembarang tempat dan memecahkan barang berharga. 90
Y. Affandi, Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual (Adzokasi) Atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT. Rafika, 2010). Hal. 82.
59
b. Kekerasan anak secara psikis Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian, katakata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri dari lingkungan sosial, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. c. Kekerasan anak secara seksual Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). d. Kekerasan anak secara sosial Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan oerawatan kesehatan yang layak. Ekspliotasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan
60
sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, atau anak dipaksa melakukan pekerjaanpekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.91 b. Batasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga,
negara
dan
masyarakat
wajib
melaksanakan
pencegahan,
perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai denga falsafah Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara RI tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk 91
Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2002). Hal. 39-40.
61
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.92 Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 menetukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.93 Perkembangan ini menunjukan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan dan anak-anak, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.94 Undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga ini terkait dengan dilahirkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan batasan pengertian dalam penghapusan
92
N. Elli Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Bandung: Potret Muram Kehidupan, 1996). Hal. 41. 93 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia HAM pasal 28G. 94 S. Meiyanti, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM dan Foundation, 1999). Hal. 28.
62
kekerasan dalam rumah tangga (PDKRT) yang terdapat dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004, adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual psikologi dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu batasan yang mengacu kepada keluarga, baik itu keluarga inti, maupun keluarga besar. Secara teoritis, kekerasan domestik dalam keluarga paling tidak bisa diamati pada tiga arah hubungan, yaitu pasangan suami istri (marital relation), orrang tua kepada anak atau anak kepada orang tua (parental relation), dan antar saudara, sepupu, keponakan, dan lain sebagainya (sibling relation). H. Kategori Orang Tua dan Batasan Tanggungjawabnya dalam kategori orang tua, baik melalui hubungan biologis maupun sosial umumnya orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan dan merawat tumbuh-kembang anak. Sebutan ayah atau ibu dapat diberikan untuk lakilaki atau pun perempuan walapun tidak memiliki hubungan biologis dengan sang anak, contohnya adalah pada orang tua angkat (karena adopsi), atau ibu tiri (istri ayah biologis anak), dan ayah tiri (suami ibu biologis anak).95
95
Spock Benjamin, Orang Tua Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, (Semarang: Dahara Prize, 1991). Hal 112.
63
Menurut Elizabet Hurlock, setiap orang tua merupakan seseorang yang bertanggungjawab dalam suatu keluarga atau orang tua merupakan seseorang yang membawa anak tumbuh menjadi dewasa, terutama dalam masa perkembangannya. Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke tahap pendewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan.96 Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak akan beda pada masing-masing orang tua, karena setiap keluarga memiliki kondisikondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang satu dengan keluarga lainya. Seperti yang dikemukakan oleh Zaldy Munir, bahwasannya “orang tua adalah laki-laki dan perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggungjawab sebagai orang tua bagi anak-anak yang dilahirkannya”.97 Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpukan bahwa orang tua mempunyai tanggungjawab yang berat dalam memberikan bimbingan kepada anakanaknya, tokoh ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani yang harus dilakukan pertama adalah membentuk kepribadian anak dengan penuh tanggungjawab dalam kasih sayang antara orang tua dengan anak. Di dalam Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dijelaskan bahwa kategori orang tua terdiri dari:98
96
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, cet. Ke-5, (Jakarta: Erlangga, 1989). Hal.
76. 97
Zaldy Munir, Peran dan Fungsi Orang Tua dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak, (Bandung: Tarsito, 2010). Hal. 114.
64
a. Kategori sebagai pendidik Orang tua perlu menanamkan kepada anak-anak arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dari sekolah, selain itu nilai-nilai agama dan moral, terutama nilai kejujuran perlu ditanamkan kepada anak sejak dini sebagai bekal dan benteng untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. b. Kategori sebagai pendorong Sebagai
anak
yang
sedang
menghadapi
masa
peralihan,
anak
membutuhkan dorongan orang tua untuk menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri dalam menghadapi masalah. c. Kategori sebagai panutan Orang tua perlu memberikan contoh dan teladan bagi anak, baik dalam berkata jujur maupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari daln bermasyarakat. Mengenai batasan tanggungjawab orang tua terhadap anak, islam memberi batas sejauhmana tanggungjawab orang tua terhadap anaknya. Islam menyebut dengan usia aqil baligh yaitu batasan usia 15 (lima belas) tahun lebih kurang. Tidak cukup dengan itu, lepasnya tanggungjawab orang tua terhadap anak adalah sampai anak itu mampu mengurus diri dan harta yang dimiliki, atau bisa mencari nafkah sendiri, itulah batasan yang buat oleh agama. Lalu apakah anak yang sudah sarjana yang
98
BKKBN, Patisipas Kategori Orang Tua, 2010). Diakses tanggal 21 Maret 2016 pada www.Bkkbn.co.id.
65
notabene sudah berusia 25 (dua puluh lima) tahun dan telah memiliki ijazah dalam pendidikannya masih menjadi beban orang tua, tentu saja tidak. Namun kemandirian anak yang seharusnya bukan lagi menjadi tanggungjawab orang tua ini harus didiskusikan.99 Disisi lain kebanyakan orang tua menganggap bahwa tanggungjawab terhadap anak telah selesai walaupun belum aqil baligh ataupun sudah aqil baligh, hal ini bisa terjadi kepada anak yang sudah menikah, apalagi anak yang menikah tersebut belum sampai masa yang dikehendaki oleh orang tua mereka. Mungkinlah ini yang bisa dikatakan penghargaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, dimana ketika anak mereka telah tamat pendidikan kuliah dan sarjana tetapi belum mendapatkan pekerjaan, orang tua mereka masih terlibat dalam pencarian pekerjaan untuk anaknya tersebut, sedangkan apabila anak mereka ingin menikah dan memiliki keluarga, maka orang tua harus membiarkannya walaupun sang anak belum mempunyai kehidupan yang layak. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya kemandirian anak dalam pemahaman batasan tanggungjawab orang tua ditujukan bukan hanya oleh usia, melainkan dengan keputusan anak untuk melanjutkan kehidupan dalam pernikahan, artinya anak yang sudah memutuskan untuk menikah dan memiliki
99
M Thalib, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung: Irsyat Baitussalam, 1995). Hal. 36.
66
keluarga sendiri dianggap sudah lepas dari tanggungjawab orang tua nya, meskipun anak tersebut belum mencapai usia dewasa.100
100
M Thalib, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak. 1995. Hal. 40.
BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP AYAH YANG MENELANTARKAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Pengertian dan Dasar Sanksi 1. Pengertian dan Dasar Sanksi Menurut Hukum Islam Dalam sanksi pidana pelaku penelantaran anak yang dipakai rujukan guna penentuan hukumannya adalah Jarimah Ta’zir, karena dalam Hukum Islam, sanksi pidana pelaku penelantaran tidak ditemukan atau ditetapkan oleh syara’. Hal ini sesuai dengan pengertian Jarimah Ta’zir. Pengertian Ta’zir menurut arti bahasa berasal dari kata ػضسyang memiliki arti penguatan.101 Kata ػضسjuga memiliki sinonim kata, yakni: a. سدََ مىغyang artinya mencegah dan menolak b. أدة- انزأدٔتyang artinya mendidik c. َقش َ ػظمyang artinya mengagungkan dan menghormati d. وصش َ َقُْ َ َأػبنyang artinya membantu, menguatkan dan menolong.102 Kata ta’zir diartikan سد ََ مىغyang artinya mencegah dan menolak, karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.
101
Ali Mutahar, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005). Hal.
102
Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasit, (Dar at Turas al-„Arabi, t.t), II: 598.
316.
67
68
Sedangkan Ta’zir diartikan ادة- انزأدٔتyang artinya mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Menurut istilah ta’zir didefinisikan bermacam-macam, menurut alMawardi definisi ta’zir sebagai berikut: 103
َانزؼضٔش ربدٔت ػهّ روُة نم رششع فٍٕب انحذَد
Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili definisi ta’zir adalah: 104
انؼقُثخ انمششَػخ ػهّ مؼصٕخ اَ جىبٔخ َلحذ فٍٕب ََل كفهشح
Ibrahim Unais memberikan definisi ta’zir sebagai berikut: 105
ٓانحذ َلٔجهغ ربدٔت انششػ
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’. Di kalangan fuqaha jarimah-jarimah yang hukumannya belum di tetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga digunakan untuk jarimah (tindak pidana).106
103
Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, Kitab al-Ahkam as-Shulthaniyyah, cet. ke-3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 236. 104 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VI: 197. 105 Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasit, II: 598 106 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2005). Hal. 294.
69
Dasar hukum ta’zir adalah beberapa hadits Nabi SAW. sebagai berikut: 107
ّ .ػهَثٍضَاثهَحكٕمَػهَأثًَٕػهَجذيَأنَانىّج َّٓصهَّّهللاَػهًََٕسهّمَحجسَفَّانزٍمخ
Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Dalam Hadits lain Nabi bersabda tentang batasan hukuman yang boleh dilakukan dalam hukuman ta’zir. َػهَأثَّثشدحَاِلوصبسَِسضَٓهللاَػىًَأوًَّسمغَسسُلَهللاَصهَّّهللاَػهًََٕسهّمََلٔجهذَفُق 108
.ّػششحَأسُاطَاَلَّفَّح ّذَمهَحذَدَهللاَرؼبن Hadits ini menjelaskan tentang batasan hukuman ta’zir yang tidak
boleh lebih dari sepuluh cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan adanya batasan ini maka dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah ta’zir dan mana yang termasuk jarimah hudud. ّ َّػهَػبئشخَسضَٓهللاَػىٍبَأن َانىج ّٓ َصهَّهللاَػهًََٕسهّمَأقٕهُاَرََِانٍٕئبدَػضشَارٍمَاَل 109
107
.انحذَد
As-Sayid Sabiq. Fiqih as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), II: 497. Hadits diriwaytkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‟i dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim. 108 Muhammad Ibn Isma‟il al-Kahlani, Subul as-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-Halaby, 1960), IV: 37. Muttafaq „alaih. 109 Muhammad Ibn Isma‟il al-Kahlani, Subul as-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-Halaby, 1960), IV: 38. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa‟i dan Baihaqi.
70
Sedangkan Hadist ini menjelaskan tentang teknis pelaksanaan hukuman ta‟zir yang bisa saja putusan hukumannya berbeda, antara satu pelaku dengan pelaku lainnya. 2. Pengertian dan Dasar Sanksi dalam Undang-Undang Sanksi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah tanggungan (hukuman, tindakan dsb) agar orang menaati peraturan atau perjanjian.110 Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiaptiap anggota masyarakat menaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu namun walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja orang yang akan melanggar peraturan-peraturan tersebut. Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu peninjauan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggungjawaban manusia tentang “perbuatan yang dapat dihukum”. Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.111 Hukum pidana juga bisa disebut pengatur hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat. 110
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Hal. 870. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1989). Hal. 257. 111
71
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung peraturan-peraturan (norma-norma) hukum yang mengenai kepentingan umum. Dasar hukum pidana adalah bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan, hal ini sebagaimana bunyi UndangUndang Dasar 1945 BAB I pasal (1) ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.112 Serta BAB XA tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 28D ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.113 Atas dasar inilah yang merupakan organisasi masyarakat yang berkekuasaan mempunyai kewajiban untuk mengatur agar keamanan terjamin dan perlindungan atas kepentingan tiap orang dan agar tercapai kebahagiaan yang merata dalam masyarakat. Tidak hanya satu golongan saja yang dapat merasakan kebahagiaan, tetapi seluruh penduduk negara. B. Tujuan dan Fungsi Sanksi 1. Tujuan dan Fungsi Sanksi dalam Hukum Islam Hukum Islam mempunyai tujuan untuk melaksanakan perintah dan kehendak Allah SWT serta menjauhi larangannya, secara umum dirumuskan bahwa tujuan Hukum Islam dalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat 112 113
Indonesia, UUD 1945 dan Amandemennya, (Surakarta: al-Hikmah, 1978). Hal. 52. Indonesia, UUD 1945 dan Amandemennya. Hal. 85.
72
kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain tujuan Hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial.114 Hidup adalah ciptaan Allah SWT, tidak boleh dirusak tanpa alasan yang benar. Islam sangat menekankan cara-cara yang bermoral dalam segala garis kehidupan karena Islam adalah kedamaian, keselamatan, keamanan dan penyelamat yang berarti berusaha sekuat tenaga untuk melakukan kebajikan, hal ini sejalan dengan Hukum Islam. Tujuan Hukum Islam adalah mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka. Mengarahkan mereka pada kebenaran, keadilan dan kebajikan, serta menerangkan jalan yang harus dilalui oleh manusia.115 Barang siapa membaca dan mengamati hukum-hukum yang tertuang dalam Syari‟at Islam dam memikirkan sesuatu yang dicari alasannya, dalam al-Qur‟an dan Hadits, maka ia akan menemukan penjelasan bahwa syari‟at Islam bertujuan untuk mengegakkan kemaslahatan manusia yang ditaklifi. Syari‟at Islam juga bertujuan untuk menegakkan dan memberikan kemaslahatan bagi hamba-Nya baik di dunia maupun di akhirat. Dan fungsinya sudah sangat jelas sebagai pelindung dan memberikan rasa aman 114
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), cet. Ke-3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993). Hal. 53. 115 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Butshanul Arifin,. S.H. (Jakarta: Gema Insan Press, 1996). Hal. 104.
73
kepada seluruh masyarakat terutama anak yang berada dalam suatu keluarga yang cenderung menjadi korban penelantaran. Selain memberi rasa aman juga memberikan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi dan melindungi hak-hak anak. Sedangkan kemaslahatan itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: kemaslahatan yang bersifat primer, sekunder dan pelengkap.116 a. Kemaslahatan yang bersifat primer Kemaslahatan yang bersifat primer adalah syari‟at yang menjadi tiang untuk menegakkan berbagai kemaslahatan di dunia atau akhirat, jika tiang-tiang syari‟at ini tidak ditegakkan maka kemaslahatan dunia dan akhirat itu akan hilang, dan tak terwujud, bahkan kerugian dan kerusakanlah yang akan terjadi. Kelima hal yang primer itu ialah: memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau harga diri. b. Kemaslahatan yang bersifat sekunder Kemaslahatan yang bersifat sekunder adalah sesuatu yang dibutuhkan guna menghilangkan kesempitan yang secara lahiriyah kesempitan tersebut mendatangkan kepayahan dan menimbulkan kesulitan karena tidak didapatnya apa yang dituntut. Akan tetapi tidak sampai mendatangkan kerusakan dan kebinasaan.
116
Yusuf al-Qurdhawi, Membumikan Syariat Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu,t.t). Hal. 58-59.
74
c. Kemaslahatan yang bersifat pelengkap Kemaslahata yang bersifat pelengkap adalah mengambil sesuatu yang baik dalam adat kebiasaan dan meninggalkan hal-hal yang buruk yang mengotori akalnya, mengenai sesuatu yang baik dan buruk itu terakomodasi dalam perbincangan akhlak. Dalam Hukum Islam, tujuan pemidanaan terbagi menjadi dua tujuan, yaitu:117 a. Tujuan Preventif (pencegahan) dalam istilah fiqihnya ar-Rad’u wa az-Zajru. Tujuan Preventif (pencegahan) artinya menahan pelaku jarimah supaya tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana. b. Tujuan Edukatif (pengajaran) dalam istilah fiqihnya al-Islah wa atTa-dib. Tujuan Edukatif (pengajaran) artinya untuk memberikan pelajaran bagi pelaku jarimah agar si pelaku tersebut dapat mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi perbuatannya. Makhrus Munajat, Dalam bukunya Dekonstruksi Hukum Pidana Islam menuliskan bahwa tujuan pemidanaan adalah: 117
Hal. 279.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet, ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967).
75
a. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas, jangka panjang dari aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas (social delence). Contohnya dalam hukum qishash yang merupakan bentuk keaadilan tertinggi, di dalamnya termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman. b. Pemidanaan
dimaksudkan
sebagai
pencegahan
kolektif
(general
prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh orang berzina harus didera di muka umum sehingga orang yang melihat diharapkan tidak melakukan perzinahan. c. Pemidanaan dimaksudkan sebagai tindak pencegahan khusus (special prevention), artinya setiap orang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, dalam aspek ini secara eksplisit terkandung nilai treatmen. Sebab tercegahnya seseorang dari berbuat jahat bisa melalui penderitaan akibat dipidana atau timbul dari kesadaran pribadi selama menjalani pidana.118 Tujuan utama yang ingin dicapai oleh Hukum Pidana Islam adalah untuk mengurang angka kriminalitas dan menjaga ketertiban yang ada di dalam masyarakat.
118
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004). Hal. 55-56.
76
2. Tujuan dan Fungsi Sanksi dalam Undang-Undang C.S.T. Kansil, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia menulis, hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum tersebut harus pula bersendikan pada keadilan yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan. Berikut adalah beberapa teori tentang tujuan dari sanksi hukum.119 a. Teori Absolut atau teori Pembalasan (Absolute Strafrecht Theorien). Teori absolute atau teori pembalasan adalah suatu teori yang mana suatu kejahatanharus diikuti dengan pemidanaan (hukuman) tidaak boleh tidak, tanpa tawar-menawar seseorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan, tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari jatuhnya pidana.120 Maksudnya adalah bahwa putusan pidana yang dijatuhkan sebagai sarana untuk balas dendam atas perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Unsur pembalasan ini meskipun dapat dimengerti tidak selalu tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana. 119 120
Hal. 21-24.
Sofyan Sastra Wijaya, Hukum Pidana, (Bandung: C.V. Amirco, 1990). I: 24. Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Erisco, 1989).
77
Menurut teori ini setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang timbul dari jatuhnya hukuman. Teori ini hanya melihat pada masa lampau tanpa melihat masa yang akan datang. Menurut teori ini tujuan hukum adalah penghukuman itu sendiri.121 b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien) Teori relative atau teori tujuan adalah teori yang mengatakan suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Oleh karena itu, tidak cukup adanya suatu kejahatan, melaikan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau penjahat itu sendiri, maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanyaa menjatuhkan pidana. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari kejahatan tidak dilakukan kembali oleh si pelaku. Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Pencegahan ditujukan pada.122 1. Masyarakat, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran (sebagaimana dilakukan oleh si terhukum), disebut juga pencegahan umum. Teori ini pada intinya sebagai anasir
121 122
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta: Aksara Persada, 1983). Hal. 85. Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati. Hal. 91.
78
utama yang dapat menahan niat jahat seseorang untuk melakukan kejahatan. 2. Pembahasan dari segi terhukum, hukuman itu dijatuhkan dengan tujuan agar terhukum tidak mengulangi kembali perbuatan yang telah dilakukannya. Hukuman tersebut dijatuhkan untuk memperbaiki si pelaku agar tidak berbuat jahat kembali, disebut pencegahan khusus. c. Teori Gabungan Teori gabungan adalah teori yang satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur pencegahan atau memperbaiki kejahatan atau pelaku. Teori ini mengambil jalan tengah atau penggabungan antara teori absolut dan teori relative. Sehingga disamping pembalasan juga bertujuan mempertahankan ketertiban masyarakat. Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam 4 (empat) bagian, yaitu: a. Pembalasan (Revenge). b. Penghapusan data (Ekspiation). c. Menjerakan (Datern).
79
d. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (Rehabilitation of the criminal).123 Sedangkan menurut Rencana Kitab UU Hukum Pidana, tujuan dari pemidanaan adalah: a. Mencegah menegakkan
dilakukannya nama
tindak
hukum
pidana
dengan
demi
pengayoman
dengan
mengadakan
masyarakat. b. Memasyarakatkan
terpidana
pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. c. Menjelaskan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.124 Dalam asas legalitas hukum pidana positif, yang berbunyi “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-UndangUndangan”. Oleh sebab itu penetapan sanksi dalam peradilan haruslah sesuai dengan aturan hukum dan tidak menafikkan hak dari si pelaku.
123
Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Akan Datang, Cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1985). Hal. 15. 124 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1996). Hal. 2.
80
Dalam struktur pengadilan, suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Adapun unsur-unsur pidana dapat dikategorikan menjadi 2 (dua): Pertama, unsur formil yaitu perbuatan manusia yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai sanksi tertentu. Kedua, unsur materill yaitu perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang patut dilakukan.125 Suatu perbuatan tindak pidana yang melawan hukum khususnya dalam penelantaran anak, hakim memberikan sanksi pidana kepada pelaku atau orang tua dengan hukuman percobaan (bersyarat). Dalam hukuman pidana percobaan (bersyarat) ini, maka dapat dijelaskan: Pidana bersyarat yang bisa disebut peraturan tentang “hukuman dengan perjanjian atau hukuman dengan bersyarat atau hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak perlu dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa pelaku atau orang tua sebelum habis tempo percobaan itu berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi penjatuhan hukuman tetap ada. Hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana percobaan (bersyarat) dilihat dari keberadaan pelaku secara umum, dikaitkan dengan bentuk-bentuk tindak pidana
125
Hal. 28.
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfaberta, 2010).
81
tertentu atau kejahatan seseorang pelaku tindak pidana melainkan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan setiap kasus.126 Sarana yuridis berupa perlindungan sementara dan perintah perlindungan belum bisa dicermati apakah sarana tersebut telah berjalan dengan semestinya atau tidak. Kecenderungan penyidik untuk melakukan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana kekerasan dan penelantaran oleh karena hal tersebut telah diberikan sarana oleh KUHAP yakni: -Pasal 20 ayat (1) KUHAP menyatakan “untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan”. -Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan “perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. -Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyatakan “penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
126
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor: Politea, 1991). Hal. 53.
82
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat 91), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 (a), pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 KUHP, dan pasal 25. Yang menjadi pertanyaan apakah semua tidank pidana kekerasan dan penelantaran merupakan jenis tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahan, sehingga secara otomatis tidak diperlukan adanya perlindungan sementara apalagi perintah perlindungan?. Dengan berdasarkan pada syarat dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP, maka tindak kekerasan dan penelantaran yang terkualifikasi sebagai perkara yang pelakunya dapat dilakukan penahanan karena tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih adalah dalam bentuk: a. Kekerasan fisik dalam bentuk kekerasan fisik biasa (pasal 44 ayat (1) UU PDKRT), kekerasan fisik yang menyebabkan jatuh sakit atau luka berat (pasal 44 ayat (2) UU PDKRT), dan kekerasan fisik yang menyebabkan matinya korban (pasal 44 ayat (3) UU PDKRT). b. Kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual (pasal 46 UU PDKRT), pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu (pasal 47 UU PDKRT) dan
83
pemaksaan hubungan seksual dengan pemberatan (pasal 48 UU PDKRT).127 Sedangkan jenis dan bentuk tindak pidana kekerasan dan penelantaran yang pelakunya tidak dapat dikenakan penahanan karena tindak pidananya tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari lima tahun adalah dalam bentuk: a. Kekerasan fisik ringan (pasal 44 ayat (4) UU PDKRT) b. Kekerasan psikis dalam bentuk kekerasan psikis biasa (pasal 45 ayat (1) UU PDKRT) dan kekerasan psikis ringan (pasal 45 (2) UU PDKRT). c. Penelantaran rumah tangga dalam bentuk menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya (pasal 49 huruf (a) UU PDKRT) dan menelantarkan orang yang tergantung secara ekonomi (pasal 49 huruf (b) UU PDKRT). Dalam tataran perlindungan sementara dan perintah perlindungan akan efektif dilakukan dalam hal tindak pidana kekerasan dan penelantaran dalam bentuk kekeraasan fisik ringan, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga. Dalam tindak pidana dengan bentuk kekerasan fisik biasa, kekerasan fisik yang menyebabkan jatuh sakit dan luka berat, dan kekerasan seksual yang lebih berperan adalah penahanan terdakwa, karena dengan ditahannya tersangka atau terdakwa selain korban akan otomatis terlindungi, juga akan membawa keuntungan lainnya
127
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. Ke1, (Yogyakarta: Merkid Press, 2015). Hal. 126-127.
84
yaitu memudahkan proses penyidikan, penuntutan dan persidangan. Sehingga ketika penyidik menemukan perkara yang diduga sebagai tindak pidana kekerasan fisik ringan, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga menggunakan sarana “Perintah perlindungan” maka sesuai dengan pasal 35 UU PDKRT dapat menangkap selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan meskipun tindak pidana KDRT jenis tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk penahanan pelaku menurut KUHAP. Dengan demikian, aturan khusus dalam UU PDKRT adalah dimungkinkan penahanan terhadap tindak pidana yang ancamannya kurang dari lima tahun, dan hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP. Dibentuknya sarana yuridis berupa perlindungan dengan bentuk perintah perlindungan, memberikan konsekuensi yuridis yang bisa diterapkan kepada pelaku kekerasan dan penelantaran dalam rumah tangga oleh pihak Kepolisian dan pihak Pengadilan. 1. Pihak Kepolisian -
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
85
-
Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
-
Penangguhan
penahanan
tidak
berlaku
terhadap
penahanan
sebagaimana dimaksud. (Pasal 35 UU PDKRT). -
Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.
-
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
(Pasal 36 UU PDKRT) Dengan demikian adanya perintah perlindungan pihak Kepolisian diberikan sarana: -
Untuk menangkap dan menahan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan.
-
Untuk menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.
86
2. Pihak Pengadilan. -
Korban, kepolisian dan relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
-
Dalam hal Pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 23 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(Pasal 37 UU PDKRT) -
Apabila Pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan di duga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
-
Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut Pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 (tiga puluh) hari.
-
Penahanan tersebut disertai dengan surat perintah penahanan.
(Pasal 38 UU PDKRT) Dengan demikian dengan adanya perintah perlindungan pihak Pengadilan diberikan sarana: -
Untuk mewajibkan pelaku membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
87
-
Untuk menahan pelaku paling lama 30 (tiga puluh) hari, apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut.
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI AYAH YANG MENELANTARKAN ANAKNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGAHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Menurut Hukum Islam Islam tidak menentukan secara rinci dan tegas hukuman yang akan dikenakan
terhadap
setiap
pelanggar
jarimah
ta’zir.
Islam
hanya
mengemukakan sejumlah hukuman yang dapat diterapkan sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki. Oleh sebab itu, penetapan hukuman yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan, diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan penguasa atau hakim. Akan tatapi, pihak penguasa atau hakim tidak
dibenarkan
menyalahgunakan
pendelegasian
wewenang
dalam
menetapkan suatu hukuman terhadapa jarimah ta’zir. Dalam menetapkan suatu hukuman terhadapa jarimah ta’zir, pihak penguasa atau hakim harus senantiasa berpatokan pada keadaan terpidana, lingkungan yang mengitari terpidana, kemaslahatan masyarakat yang menghendaki dan berorientasi pada tujuan hukuman yang dikehendaki Islam,
88
89
yaitu pencegahan seseorang dan berhentinya seseorang melakukan tindak pidana.128 Jenis-jenis hukuman dalam jarimah ta’zir menurut ulama fiqih, bisa berbentuk hukuman yang paling ringan, seperti menegur terpidana, mencela atau mempermalukan terpidana dan bisa juga hukuman yang terberat seperti hukuman mati.129 Hukuman tersebut ada yang bersifat jasmani seperti pemukulan atau dera. Ada yang bersifat rohani seperti peringatan atau ancaman, serta ada yang bersifat jasmani sekaligus rohani seperti hukuman penahanan atau hukuman penjara. Ada pula hukuman yang bersifat materi seperti hukuman denda.130 Menurut Ahmad Wardi Muslich hukuman ta’zir jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada 4 (empat) kelompok yaitu sebagai berikut:131 a. Hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera). b. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan. c. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/ perampasan harta dan penghancuran barang. 128
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-5, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 2001). V: 1774. 129 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, V: 1774. 130 Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, V: 1774 131 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Hal. 258.
90
d. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri (hakim)/ pemerintah demi kemaslahatan umum. Sehingga dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, walaupun ta’zir sifatnya diserahkan kepada kebijakan hakim, tidak didefinisikan secara pasti, dan tidak pula dibahas secara terperinci, namun dapat dikatakan bahwa sertiap tindakan yang melanggar kepentingan pribadi atau masyarakat yang bersifat publik, terkena ta’zir. Otoritas publiknya yang menentukan aturan hukumnya dengan semangat syariah. Dalam hukum Islam, dasar hukum yang mengatur tentang hukuman bagi orang tua yang menelantarkan anaknya tidak dapat ditemukan secara jelas oleh syara’. Walaupun demikian, bukan berarti orang tua pelaku penelantaran anak dapat bebas dari pertanggungjawaban hukum atas berbuatannya. Para orang tua pelaku penelantaran anak dapat dikenakan hukuman ta’zir, karena ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Adapun pelaksanaan hukuman ta’zir ini adalah mutlak menjadi hak dan wewenang kepala Negara (imam), seperti hakim dan petugas hukum lainnya. Bila dilaksanakan orang lain yang tidak mempunyai wewenang melaksanakannya, maka ia dapat dikenakan sanksi. Alasannya setiap sanksi dan hukuman ittu diadakan bertujuan untuk melindungi masyarakat atau
91
rakyat, oleh karena kepala Negara itu wakil rakyat maka hanya dia yang berwenang melaksanakan hukuman ta’zir ini.132 Dalam Hukum Islam Tanggung Jawab orang tua terhadap anak adalah dengan pendidikan anak, yaitu proses mendidik, mengasuh, dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan oleh orang tua sebagai tanggung jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai baik dan terpuji bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah. Bahkan dalam Islam sistem pendidikan keluarga di pandang sebagai penentu masa depan anak. Sampai- sampai diibaratkan bahwa surga dan neraka anak tergantung terhadap orang tuanya.133 Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang menjadi generasi insan yang rabbani yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh adalah tanggung jawab orang tuanya. 2. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak dalam Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2004
Tentang
Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga Untuk mencegah, melindungi dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungaan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
132 133
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Hal. 51-52. Ahmad Tafsir, Pendidikan dalam Hukum Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2001). Hal. 70.
92
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta perubahannya Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dilahirkan sebagai bentuk pembaharuan hukum yang melindungi kelompok rentan atau tersubordinasi di wilayah domestik. Filosofi Undang-Undang ini semestinya menjadi pegangan dalam
menggunakan
dan
mengimplementasikan
Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pemberlakuan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 memang mencakup suami, istri, anak, dan setiap orang yang ada dalam lingkup rumah tangga, namun ruh implementasinya mengacu pada ketimpangan relasi antara pelaku dengan korban. Penelantaran rumah tangga menjadi potensi tinggi kriminalisasi,
93
penting untuk memahami cara membaca dan mengimplementasikan undangundang ini untuk menciptakan keadilan. Pengaturan di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.” Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.134 Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.135 Kekerasan seksual meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; 134
Indonesia, Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 135 Indonesia, Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
94
b.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk komersial dan/atau tujuan tertentu.136 b) Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/aatau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Frasa penelantaran bermakna melalaikan kewajiban dalam lingkup
rumah tangga, artinya melalaikan kewajiban suami, istri, anak dan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga. Menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan, maka kewajiban tersebut harus melihat pada hak dan kewajiban suami, istri, anak dan orang yang ada di dalamnya. 136
Indonesia, Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
95
Selanjutnya, larangan melakukan penelantaran dalam rumah tangga dalam Pasal 5 huruf (d) diancam dengan pidana dalam Pasal 49 UndangUndang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:137 Di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga antara lain suami, istri, anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal (9) ayat (1) b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal (9) ayat (2). Namun, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak begitu berpengaruh pada masyarakat dalam menangani kasus penelantaran anak di dalam rumah tangga, karena mengingat belum memberikan efek jera bagi pelaku penelantaran anak. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penelantaran anak yang semakin meningkat setiap tahunnya. Upaya implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya dalam penelantaran anak adalah subtansi Undangundang yang dapat dilakukan dengan melakukan penyempurnaan terhadap substansi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, komitmen penegak aparat
137
Guse Prayudi, Edisi revisi: Berbagai Aspaek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Merkid Press, 2015). Hal. 93.
96
hukum untuk menegakkan aturan dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, peningkatan pemahaman masyarakat serta perubahan budaya-budaya yang memberikan kedudukan yang tidak seimbang antara pihak-pihak yang terkait dalam suatu kehidupan rumah tangga melalui sosialisasi dan komunikasi hukum.138
138
Baharruddin Hamza, Pemikiran Mengenai Hukum (sebuah refleksi kritis), (Jakarta: Nala Cipta Litera, 2001). Hal. 83.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelantaran anak merupakan bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak, karena ia termasuk dalam kekerasan anak secara (social abuse). Kekerasan anak secara sosial mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak bertanggung jawab dalam meberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Berdasarkan hal tersebut, dan dari pembahasan yang telah penyusun lakukan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tindakan penelantaran anak oleh orang tua (ayah) sebagaimana alasannya, baik hukum Islam maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, tidak dibenarkan karena orang tua (ayah) sebagai pelaku penelantaran anak baik yang disengaja atau tidak disengaja sama-sama telah menafikan hak-hak yang dimiliki oleh anak tersebut. 2. Sanksi Pidana dan Pertanggungjawaban Hukum bagi orang tua (ayah) sebagai pelaku penelantaran anak menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23
97
98
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah sebagai berikut: a. Sanksi Pidana dan Pertanggungjawaban Hukum orang tua (ayah) sebagai pelaku penelantaran dalam Hukum Islam bagi pelaku penelantaran anak sangat bervariatif, dari yang terberat hingga yang teringan. Karena dalam Hukum Islam sanksi bagi pelaku penelantaran anak masuk dalam kategori jarimah ta’zir, yang berat atau ringannya hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim setempat. b. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, sebagaimana yang di ataur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 pada Pasal (9) ayat (1) bahwasannya ”Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Dan dalam Pasal 5 huruf (d) diancam dengan pidana dalam Pasal 49 UndangUndang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00,- (lima belas juta rupiah). c. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga belum begitu berpengaruh bagi sebagian masyarakat dalam menangani kasus penelantaran anak di dalam lingkup rumah tangga, mengingat belum
99
memberikan efek jera bagi orang tua (ayah) sebagai pelaku penelantaran. Dan hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penelantaran anak yang semakin meningkat setiap tahunnya. d. Upaya implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya dalam penelantaran anak adalah subtansi Undang-undang yang dapat dilakukan dengan melakukan penyempurnaan terhadap substansi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, komitmen penegak aparat hukum untuk menegakkan aturan dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, peningkatan pemahaman masyarakat serta perubahan budaya-budaya yang memberikan kedudukan yang tidak seimbang antara pihak-pihak yang terkait dalam suatu kehidupan rumah tangga melalui sosialisasi dan komunikasi hukum. Demikianlah beberapa kesimpulan yang dapat penulis ungkapkan, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.
100
B. Saran-saran a. Aturan-aturan yang tersebut diatas belum memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana penelantaran anak oleh orang tuanya di dalam rumah tangga. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa data mengenai jumlah tindak pidana penelantaran anak, yang dari tahun ke tahunnya cenderung meningkat. Perlu adanya pembaharuan di bidang legislasi berupa pembentukan peraturan perundang-undangan baru, untuk menuntaskan masalah penelantaran anak. Selain itu, partisipasi masyarakat sebagai kontrol sosial dalam penuntasan masalah penelantaran anak juga diperlukan, apabila pembaharuan di bidang legislasi yaitu berupa pembentukan peraturan perundang-undangan baru belum dapat terealisasi. b. Bentuk perlindungan hukum mengenai penanganan anak korban penelantaran oleh orang tua perlu lebih dioptimalkan lagi dan ditangani dengan lebih cepat, agar penderitaan yang dialami oleh anak tersebut tidak berlarut-larut dan tidak menimbulkan efek yang lebih dalam lagi terhadap psikologis anak. Oleh sebab itu, diperlukan kerjasama yang baik antara sesama dalam mengupayakan perlindungan terhadap anak korban penelantaran anak oleh orang tua. c. Perlu dipahami dan disebarluaskan pengertian dan pemikiran mengenai keadilan, hak dan kewajiban, kepentingan pribadi, kepentingan umum dan pemikiran-pemikiran lain yang positif yang berhubungan dengan
101
penyelenggaraan
perlindungan
terhadap
anak
melalui
sosialisasi
kemasyarakatan. d. Kepada seluruh masyarakat khususnya orang tua (ayah-ibu) perlu adanya peningkatan pemahaman dan kesadaran akan hak-hak anak dan perlindungan anak. Serta pemahaman bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya berkisar pada anak yang teraniaya secara fisik, akan tetapi cakupan pengertian kekerasan terhadap anak sangat luas. e. Diharapkan pula kesejahteraan anak-anak di negara ini dapat lebih ditingkatkan lagi, sebab kesejahteraan anak akan membawa negara kita kepada pemerintahan yang baik dan kemakmuran bagi negara kita ini.
DAFTAR PUSTAKA Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, Beirut : Dar al-Fikr, 1401H/1981M. Al-Qurdhawi, Yusuf. Membumikan Syariat Islam. Surabaya: Dunia Ilmu,t.t. Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, Kitab al-Ahkam as-Shulthaniyyah, cet. ke-3. Beirut: Dar alFikr, 1996. Abdullah, Abdul Ghani. Pengantara Komplikasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Affandi, Y. Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual (Advokasi) Atas Hak Asasi Perempuan. Bandung: PT. Rafika, 2010 Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial, cet. Ke-2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009. Akbar R. dan Hawadi, Perkembangan anak menurut Hukum. Jakarta: PT. Grasindo, 2002. Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), cet. Ke-3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993. Amrullah, Ahmad. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Butshanul Arifin,. S.H. Jakarta: Gema Insan Press, 1996. Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004. Benjamin, Spock. Orang Tua Permasalahan dan Upaya Mengatasinya. Semarang: Dahara Prize, 1991. Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-5. Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 2001. Dalyono, M. Pendidikan Psikologi Anak. Bandung: PT. Rineka cipta, 2004.
103
104
Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 2003. Feiby, D. A. Tahap Perkembangan Anak Bayi Hingga Pra Sekolah. Jakarta: Dian Rakyat, 2001. Fransisca, Astrid Natalia R., “Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindak Pidana Penelantaran Oleh Orang Tua”. Makalah FH. UAJY, 2008. Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2008 Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademik Pressindo, 1985 Gosita, Arif. Perlindungan Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. Ke-3 Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan. Bandung: Alumni, 1984. Hamza, Baharuddin, Pemikiran Mengenai Hukum (sebuah refleksi kritis). Jakarta: Nala Cipta Litera, 2001. Hamzah, Andi. dan Simanglipu, A. Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Akan Datang, Cet. Ke-2. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1985. Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet, ke-1. Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Hasbianto, Elli N. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bandung: Potret Muram Kehidupan, 1996. Hasaballah, Ali. Ushul at -Tasyri’ al-Islami. Mesir : Dae al- Ma‟arif, 1959. Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, cet. Ke-1, Bandung: PT. Nuansa, 2006.
105
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan, cet. Ke-5. Jakarta: Erlangga, 1989. Hurlock, E. B. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2000. Hurlock, E. B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 2002. Husein, Abdur Razak. Hak dan Pendidikan dalam Islam. Alih bahsa H. Azwir Butun, Bandung: Fikahati Aneka, 1992. Jauhari, Imam. Hak-Hak Anak Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003. Jeffry, S. dkk. Hukum Pengertian Anak : Jilid II. Jakarta : Erlangga, 2006. Kartasapoetra, Hartini. G. Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, cet. Ke-2. Jakarta: PT. Dian Pustaka, 1972. Leah, Levin. Hak Asasi Anak-Anak dalam Hak-Hak Asasi Anak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Madjid, Nurcholis. Anak dan Orang Tua , Dalam Masyarakat Religius. Jakarta : Paramadina, 2000. Matsumoto, David. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Mamasani, Subhi. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta : Tintamas Indonesia, 1987. Meiyanti, S. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan 1997. Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Moleong, Lexi. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
106
Modul Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Kementria Sosial RI. Milik Dinas Sosial Yogyakarta. 2004. Muhammad Ibn Isma‟il al-Kahlani, Subul as-Salam. Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby alHalaby, 1960. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi. Munajat, Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004. Munir, Zaldy. Peran dan Fungsi Orang Tua dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak. Bandung: Tarsito, 2010. Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2005. Musa, M. Sistem Peradilan Sebagai Alternatif Peradilan Anak Indonesia. Bandung: CV. Rajawali, 2009. Mutahar, Ali. Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005. Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Poerwadaminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Prayudi, Guse. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. Ke-1. Yogyakarta: Merkid Press, 2015. Praist, Darwan. HukumAnak Indoesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2003. Projodikoro, Wiryono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Erisco, 1989. Purwakania Hasan, Aliah B. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2006. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum dan Asas-Asas Hukum di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Ranuh, I.G.N. Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2001.
107
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender. Rekonstruksi Teologis, Yuridis, dan Sosiologis. Purwokerto: Pusat Studi Gender (PSG), 2006. Rofiq, Ahmad. Anak Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-6, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Sabiq, As-Sayyid. Fiqh As-Sunnah. Beirut : Dae al-Fikr, 1403H/1983 M. Sabiq, As-Sayid. Fiqih as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1980. Hadits diriwaytkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim. Salmi, Akhiar. Eksistensi Hukuman Mati. Jakarta: Aksara Persada, 1983. Santoso, Thomas. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2002. Satrio, J. Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000. Setiady, Tolib. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfaberta, 2010. Siregar, Bismar. Hukum dan Hak-Hak Asasi Anak. Jakarta: Rajawali, 1986. Sobur, Alex. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Soeroso, Moerti Hadiarti. Kekerasan Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Soekanto, Soejono. Penegakkan Hukum. Bandung: PT. Bina Cipta, 1983. Soepomo, R. Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat. Jakarta: Gita Karya, 1982. Soeroso, R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
108
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Penelantaran Anak, cet. Ke-1. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1990. Soesilo, R. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politea, 1991. Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT. Refika Aditama, 2006. Sopiatin, Popi dan Sohari Sahrani, Psikologi Belajar dalam Pespektif Hukum Islam. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Sudjana, Djuju. Peranan Orang Tua Dalam Lingkungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1996. Suryabrata, S. Metodelogi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali, 1992. Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafizh. Cara Nabi Mendidik Anak. Solo : Pustaka Arafah. 2006. Suyanto, Bagong. dkk, Tindak Kekerasan Mengintai Anak-Anak Jatim. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000. Thalib, M. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak. Bandung: Irsyat Baitussalam, 1995. Tobach, dkk., Kekerasan Seksual Atas Hak Asasi Perempuan Terhadap KDRT. Bandung, PT. Rafika, 2008. Ulaili, Sana. „Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga‟, skripsi tidak diterbitkan, skripsi Strata Satu Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2002. Unais, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasit. Dar at Turas al-„Arabi, t.t.
109
Vollmar, HFA. Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS. Adiwinarta, jil, cet ke-II. Jakarta: Balai Pustaka, 1982. Wadong, Maulana Hasan. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : Grassindo, 2000. Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV. Mandar Maju, 2009. Wijaya, Sofyan Sastra. Hukum Pidana. Bandung: C.V. Amirco, 1990. Wiyogo, Giwo Rubianto. Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam. Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007. Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Al-Qur’an Lihat, QS. Al-An’am [6:140] Lihat, QS. Al-Ahzab [33:5] Lihat, QS. AL-Mu’Min [67]. Lihat, QS. Al-Baqarah [2:233] Lihat, QS. An-Nahl [16]:78 Undang-Undang Indonesia, KUHP. Undang-Undang yang melindungi anak sebagai korban tindak pidana.(pasal 45, pasal 47, pasal 287 ayat 91), pasal 288, pasal 290 (k 2 dan k 3), pasal 292, pasal 293 ayat (1), pasal 294 ayat (1), pasal 295, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 330, pasal 332, pasal 341, pasal 342, pasal 346, pasal 347, pasal 348). Undang-Undang Republik Indonesia, UUD 1945, UU RI No. 35 Th. 2014, UU RI No. 4 Th. 1979, UU No. 23 Th. 2004. (Disertai dengan pembahasan dan analisis penulis). 2016.
110
Internet BKKBN, Patisipas Kategori Orang Tua, (2010). Diakses tanggal 21 Maret 2016 pada www.Bkkbn.co.id. http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/download/96230dfl8edc146a06203542b616ffb , Putusan Pengadilan Negeri Medan, No.2829/Pid.B/2008/PN.Mdn, tanggal 27 Januari 2009;putusanPengadilan Tinggi Medan, No.220/PID/2009/PT.Mdn, tanggal 27 April 2009; Putusan Mahkamah Agung, No.1786K/Pid.Sus/2009, tanggal 28 Desember 2009. Jurnal Kedaulatan Rakyat, Jurnal Rubrik Keluarga: Pahami Dunia Anak, 17 Desember 2006, tahun LXI No. 112. Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementrian, Melindungi Anak Korban Penelantaran, 2010. Psychology Today, Journal Child Abuse, 2002. Buss, A. H, Perry M. The Aggresion, Journal of Personality and Social. 1992.