Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Yunasril Ali STAIN Kerinci, Kerinci
Abstract: The quality of education, undoubtedly, is on of determinant factors determining the quality of human resources. The quality of education is measured by one of reliable means; that is the question of how this education is managed. The management is used to process the inputs to be the outputs to satisfy the consumer’s need. In Islamic educational perspective, the quality of human resources is stressed on empowering the outputs with the intellectual, affective and motor skills in the shaping of perfect men as a representation or manifestation of Allah’s presence on earth. Keywords: Pendidikan Islam, inovasi, dan SDM
I. Pendahuluan Dalam membicarakan kualitas sumber daya manusia (SDM) kita akan menemukan serentetan permasalahan, yang kadang-kadang dapat menyesatkan. Tidak hanya menyangkut pemaknaan SDM, tetapi juga menyangkut upaya-upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan kualitas SDM tersebut. Permasalahan awal yang harus diselesaikan adalah menyangkut penggunaan istilah SDM itu sendiri, yang sering dilihat hanya dari satu aspek tertentu, sehingga menutupi aspek lain. Misalnya dalam memberikan makna SDM, sementara kalangan hanya menghubungkannya kepada keahlian dan keteramInnovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
123
Yunasril Ali
pilan tertentu, sehingga yang kelihatan hanyalah aspek tersebut. Akibatnya, kualitas SDM yang menonjol hanya sebatas yang disebutkan itu, sehingga yang lain terabaikan. Di samping itu, dalam melihat kualitas SDM, aspek etika dan moralitas sering tidak diperhatikan, sehingga meski SDM telah dipandang berkualitas dalam kinerjanya, tetapi masih kurang dalam misi pandangan dan tingkah laku etis dan moralnya. Akibatnya, ketahanan mental SDM tidak mampu menghadapi berbagai permasalahan dalam pekerjaannya atau tidak memperlihatkan tingkah laku etis dalam kehidupan kesehariannya. Apabila permasalahan di atas telah jelas, maka upaya untuk dapat menutupi kekurangan dan meningkatkan kualitas SDM yang dirasa paling efektif ialah melalui pendidikan. Karena memang secara umum manusia yang berpendidikan dianggap lebih unggul dan berkualitas daripada yang tidak berpendidikan. Anggapan demikian memang beralasan, karena bila dilihat secara riil dalam kehidupan sehari-hari, baik dari sudut cara berpikir maupun keterampilan kerja, orang berpendidikan lebih baik daripada yang tidak berpendidikan. Bahkan bila dilihat lebih jauh, kemajuan suatu masyarakat, bangsa dan negara tidak lepas dari kualitas SDM-Nya, yang secara ekplisit merupakan produk dari kegiatan pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat semakin tinggi pula kualitas masyarakat itu. Dari SDM demikian pula diharapkan muncul kemajuan dan terobosanterobosan konstruktif dalam pembangunan bangsa ini. Akan tetapi, di balik anggapan umum yang sederhana itu terdapat pula sederetan kasus yang menggambarkan sebaliknya. Sebab, dalam realitas sosial di Indonesia, tidak sedikit ditemukan kaum terdidik yang tidak mencerminkan anggapan di atas, bahkan justru merusak citra kaum terdidik di mata umum. Bangsa ini tidak dapat menutup mata akan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme, yang melibatkan beberapa kalangan orang berpendidikan. Mungkin tidak ada jeleknya jika disebut di sini bahwa yang paling banyak telibat dalam korupsi, kolusi dan nepotisme “tingkat tinggi” adalah 124
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
orang-orang yang terdidik yang memiliki pendidikan formal tinggi pula. Di sinilah problemnya, apakah tingkat pendidikan formal itu dapat dijadikan patokan kualitas SDM atau tidak. Atau, mungkin hal terakhir ini merupakan exception yang menyimpang dari anggapan umum yang disebutkan di atas. Jadi, dalam hal ini, dalam kaitannya dengan pengembanga SDM, apanya yang masih perlu dipertanyakan?
II. Sumber Daya Manusia Berkualitas Terdapat banyak cara dalam melihat kualitas sumber daya manusia, sehingga memunculkan banyak pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain. Di sini, penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat, didasarkan atas sudut pandang yang berbeda. Pandangan pertama bertolak dari potensi yang dimiliki manusia, yang dapat dikembangkan sebagai sumber daya. Pandangan ini mungkin terlihat telah klise, tetapi para ilmuan dan failasuf kontemporer masih tetap pedulia untuk mendiskusikan dan menilai kualitas sumber daya manusia dari paradigma ini. Pandangan ini bertolak dari potensi jasmani (materi) dan rohani (spirit dan ide) yang dimiliki oleh manusia. Akan tetapi, kendati para ilmuan dan failasuf bertolak dari pijakan yang sama, mereka masih berbeda pendapat dalam melihat kualitas sumber daya manusia. Salah satu pandangan dalam hal ini dikemukakan oleh kaum materialis. Bagi mereka, alam (universe), yang di dalamnya termasuk gerak dan energi merupakan kesatuan material yang tak terbatas. Tak terkecuali manusia, dilihat dari sudut ontologis, adalah materi belaka.1 Sekalipun manusia memiliki potensi rohani (mind, soul, intellect, emotion), yang sesungguhnya perlu dinilai sebagai sesuatu yang bukan materi. Bagi paham materialisme potensi kerohanian itu tidak lebih hanya sebagai fungsi dan aktivitas materi badan. Manusia berpikir, berpikir itu tidak lebih dari aktivitas otak. Charles S Seely. Modern Materialism : A Philosophy of Action (New York: Philosophy Library. 1960. h. 7 1
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
125
Yunasril Ali
Berdasarkan pengalaman dan penelitian, kondisi jiwa terkait erat dengan kondisi jasad. Apabila jasad terganggu, maka jiwa pun akan kehilangan ketenangan, adanya rasa sakit pada jiwa adalah akibat dari rusak atau terganggunya salah satu organ jasad. Kerusakan pada organ-organ vital sering mengakibatkan habisnya aktivitas jiwa. Visum et reportum yang dilakukan oleh dokter senantiasa merujuk kepada sebab-sebab fisik. Hal demikian, menurut paham materialisme, merupakan bukti bahwa yang menjadi hakikat manusia ialah jasadnya. Sementara roh hanyalah sebahagian dari fungsi dan aktivitas jasad. Bertolak dari itu, bagi kaum materialis, kualitas sumber daya manusia bukan terletak pada rohaninya, tetapi pada kualitas fisiknya. Pandangan lain dikemukakan oleh kaum idealis (spritualis). Menurutnya, dunia yang dapat diindrai hanyalah bayangan yang tidak sempurna dari idea, yang merupakan realitas sejati.2 Dari itu, sosok manusia yang dapat diindrai tidak lebih hanya sebagai gambaran dari rohnya yang hakiki. Oleh sebab itu, kalau rohnya tidak ada lagi di dalam tubuhnya, maka habislah makna manusia itu, sehingga tidak ada lagi arti wajah yang jelita, tidak ada arti kulit yang halus, tidak ada arti otot yang kekar. Semuanya itu sudah kehilangan makna karena telah ditinggalkan oleh roh yang menjadi inti dan hakikat yang memberikan makna pada jasad. Jadi, kualitas sumber daya manusia ialah pada kualitas rohaniah, yang di dalamnya tersimpan berbagai potensi manusia berupa pikiran, perasaan, dan sebagainya. Di Indonesia, kedua pemikiran falsafi itu digabung dalam istilah “manusia seutuhnya” yakni manusia yang memiliki kualitas jasmani (fisik) dan rohani (non fisik). Emil Salim, pakar ekonomi yang cukup dikenal, menyebutkan bahwa kualitas SDM yang dimiliki oleh suatu bangsa merupakan sinergistik antara kualitas fisik (jasmani) dan non fisik (rohani) yang dimiliki oleh individu dari warga bangsa bersangkutan. 3 Pandangan yang sama dikemukakan pula oleh Samuel Enoch Stump. Philosophy: History and Problems (New York: McGraw- Hill. 1983). Buku I. h. 319-20 2
126
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Anggan Suhandana, pakar pendidikan. Bahkan Suhandana merinci lebih jauh, bahwa wujud kualitas fisik ditampakkan oleh postur tubuh, kekuatan, daya tahan, kesehatan dan kesegaran jasmani. Sementara kualitas nonfisik mencakup domain (wilayah) kognitif, efektif, dan psikomotorik. Kualitas kognitif tercermin pada tingkat kecerdasan individu, kualitas wilayah efektif tercermin pada kadar keimanan, budi pekerti, integritas kepribadian, serta cirri-ciri kemandirian lainnya, lalu kualitas psikomotorik dicerminkan oleh tingkat keterampilan, produktivitas dan kecakapan mendayagunakan peluang berinovasi.4 Kendati gambaran SDM yang memiliki kualitas jasmani dan rohani secara lengkap seperti digambarkan di atas telah dapat dipandang sebagai manusia utuh, tetapi sebenarnya belum lengkap. Untuk kelengkapannya diperlukan pula kualitas sosial. Sebab, tidak semua orang yang memiliki kualitas fisik dan nonfisik seperti digambarkan tadi, memiliki hubungan kemasyarakatan yang harmonis. Sebagai makhluk sosial, manusia saling memiliki ketergantungan dengan sesamanya. Oleh sebab itu, menjalin hubungan sosial yang berkualitas terletak pada sikap saling menghormati, saling pengertian, saling membantu, dan sebagainya. Atau dalam pengertian bahwa “aku” saling terkait dengan “dia” dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kalau hubungan antara “aku” dan “dia” dilebur menjadi “kita”, muncullah apa yang disebut sosialisme, individu-individu melebur menjadi satu, sehingga segala sesuatu dihubungkan dengan “kita” atau kebersamaan mutlak, seperti yang diangan- angankan oleh Pandangan Emil salim ini secara umum merupakan pandangan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, tidak heran kalau pandangan demikian dijadikan salah satu asas GBHN dalam beberapa pelita. Lihat Emil Salim. Perspektif Pembangunan: Harapan dan Kendala. Makalah disampaikan dalam seminar Nasional Ilmu-ilmu Sosial dan Kongres HIPIIIS VI. Yogyakarta. 16-21 Juni. 1990. h. 6 4 Anggan Suhandana. “Pendidikan Nasional sebagai Instrumen Pengembangan Sumber Daya Manusia.” Sumber daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan. Ed. Jimly Asshidiqqhi. Et. Al. (Jakarta/Bandung: PT. Citra Bangsa dan Mizan. 1997). h. 151 3
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
127
Yunasril Ali
paham komunisme.5 Paham demikian ditentang oleh para failsuf eksistensialisme, yang menempatkan pengalaman individu sebagai dasar eksistensi manusia. Bagi paham ini kualitas manusia terletak pada kesadaran individu manusia akan eksistensi dirinya, sehingga dengan kesadaran itu ia merasa dirinya berbeda dari makhluk lain. Makhluk lain, tidak ada memiliki kesadaran demikian. Oleh sebab itu, yang benarbenar memiliki eksistensi hanyalah manusia. Makhluk lain tidak memiliki eksistensi, karena tidak memiliki kesadaran diri. Makhluk lain hanya bernilai apabila dihubungkan dengan manusia. Kesadaran demikian senantiasa bersifat personal dan subyektif.6 Menurut paham ini, kualitas manusia ialah pada kesadaran seseorang akan eksistensinya. Pada titik kulminasi ekstrim, eksistensialisme akan sampai pada paham bahwa puncak manusia ialah pada kekuatan dan kebebasan yang dimilikinya. Manusia yang paling berkualitas menurut paham yang dibawa oleh Frederich Nietzsche (1844-1900), failasuf Jerman, ini ialah yang memiliki kekuatan dan kebebasan yang lebih dari manusia lain, dan bahkan lebih dari segalanya. Manusia yang demikian adalah manusia yang paling unggul, yang keunggulannya melebihi Tuhan, sehingga ia tidak memiliki Tuhan, karena menurutnya memang Tuhan itu tak ada gunanya, “Tuhan telah mati”. Manusia yang demikian disebut oleh Nietzsche sebagai overman atau superman.7 Pada posisi lain, terdapat pula pandangan yang melihat kualitas SDM dari sisi eksternal manusia, terutama menyangkut obyek yang Paham Sosialisme ekstrem mengarah kepada kehidupan manusia secara kolektif, masyarakat tanpa kelas atau komunisme. Kehidupan demikian mengabaikan makna harkat kemanusiaan secara individual. Oleh sebab itu, ditolak oleh agama–agama samawi. Kajian tentang ajaran komunisme ini, lebih jauh, antara lain dapat dilihat pada karya Harold H. et,al. Terjemahan Persoalan–persoalan Filsafat. Terjemahan Indonesia oleh H.M. Rasjidi (Jakarta : Bulan Bintang. 1984 ), h. 3040-7 6 Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta: Kanisius. 1993), j. II, h. 184 7 Lihat Stump, op. cit., h. 364-5 5
128
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
secara langsung terkait dengan aktivitas manusia. Bertolak dari paradigma ini, para ekonom melihat bahwa yang dikatakan SDM yang berkualitas ialah manusia yang memiliki akumulasi modal yang dapat berproduksi secara berlipat-ganda. Sementara para ahli politik melihat bahwa yang dikatakan SDM berkualitas ialah manusia yang berpartisipasi dalam proses politik dan merasa memiliki tanggung jawab dalam pengembangan proses tersebut. Lain lagi dengan pandangan para sosiolog dan budayawan, yang melihat kualitas SDM dari sisi aktivitas sosial-budaya, yang dapat mengantarkan menusia kepada kesejahteraan.8
III. Manusia Paripurna: Keseimbangan Nilai-nilai Kemanusiaan Manusia bukan semata-mata fisik. Banyak orang yang memiliki aib fisik, tetapi memegang peranan besar dalam sejarah peradaban manusia. Socrates (469-399), failasuf Yunani klasik, Immanuel Kant (1724-1804), failasuf Jerman, Thaha Husain, sarjana Mesir, dan banyak lagi yang lain adalah manusia–manusia yang berkualitas yang tidak memiliki kesempurnaan fisik. Melihat manusia atas dasar paradigma empiris-materialistis berarti mereduksi keagungan manusia dan sekaligus pendangkalan makna hidup. Pandangan demikian secara tegas ditolak oleh Al-Qur’an. Menurut ajaran AlQur’an, manusia adalah “wakil” (khalifah) Allah di muka bumi untuk melakukan blue–print-Nya dalam membangun surga di bumi ini (Q.S., 2:30). Lebih dari itu, dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengannya, Tuhan akan melihat dan menampakkan citra diri-Nya: Aku adalah harta terpendam, Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk, lalu melalui-Ku mereka mengenal-Ku.”9 Lihat M.M. Papayungan. “Pengembangan dan Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Industrial Pancasila.” dalam Asshidiqqie (ed.), op. cit., h. 109 9 Hadits ini populer di kalangan sufi. Sanad hadits ini tidak dikenal di kalangan ahli hadits. Oleh sebab itu, Ibn Taimiyah memandangnya 8
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
129
Yunasril Ali
Akan tetapi, sebaliknnya, manusia bukan pula semata-mata rohani, kendati rohani lebih dominan menentukan nilai kemanusiaan, karena rohani itulah yang membedakan manusia dari makhlukmakhluk lain. Rohani harus dilengkapi dengan jasmani sebagai alat menjalani kehidupan material di alam dunia material ini. Tanpa jasmani, seseorang tidak disebut sebagai manusia, tetapi hanya sebagai makhluk rohani, seperti jin, syetan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan keseimbangan antara fisik dan spiritual. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa telah datang berita kepada Nabi SAW, tentang tindakan segolongan sahabatnya yang menjauhi wanita dan menghindari makan daging. Maka Nabi SAW, memberikan peringatan keras: “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan mambawa ajaran kerahiban. Sesungguhnya sebaik- baik agama ialah alHanifiyya al-Sambah.”10 Atas potensi jasmani dan rohani itulah manusia dapat mengembangkan dirinya, sehingga dapat mencapai suatu taraf perkembangan yang sempurna. Taraf perkembangan jasmani mungkin sangat terbatas, baik dibatasi oleh ruang maupun waktu. Kendati demikian, jasmani manusia memiliki kelebihan dari makhlukmakhluk lain. Manusia dapat menggunakan anggota tubuhnya secara lebih bebas dari makhluk- makhluk lain. Dengan demikian, ia dapat beraktivitas dalam pengembangan keterampilan kerja, yang dijadikannya modal bagi pengembangan teknologi. Berbeda dengan jasmani, rohani memiliki ruang lingkup perkembangan yang tidak diketahui batasnya. Oleh sebab itu, tak heran kalau Allah mengisyaratkan dalam hadits qudsi: “MakhlukKu tidak dapat menampung-Ku, hanya kalbu hamba-Ku yang beriman yang dapat menampung-Ku.”11 Ini mengandung makna bukan hadits. Lihat Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa (Beirut: Dar alArabiyyah. 1398 H), j. XVIII, h. 132. Akan tetapi, Ibn Arabi memandangnya sahih atas dasar kasyif. Lihat Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah (Beirut: Dar al-Fikr. tth), j, II, h. 399 10 Hadits ini dikutip dari beberapa hadits lain yang semakna. Dijelaskan oleh Ibn al-Jauzi (w. 597) dalam karyanya Talbis Iblis (Kairo: Idarah al-Thiba‘ah al- Muniriyyah, 168 H), h. 219-20 130
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
bahwa rohani manusia ialah transenden, kendati jasmaninya imanen dalam semesta. Dari itu, kaum sufi menyebutkan manusia sebagai alam kabir (makrokosmos), sementara jagat raya dipandang sebagai alam shagir (mikrokosmos). Transendensi rohani manusia memang memungkinkan, karena rohani itu secara langsung bersumber dari yang transenden. Ia merupakan “unsur Ilahi” dalam diri manusia. Al-Qur’an mengisyaratkan: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q. S. al- Hijir, 15:29). Allah secara tegas menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya, dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan yang prima dibandingkan dengan makhluk lain (Q.S. al-Thin, 95:4). Kendati demikian, Allah pun memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya belum selesai atau setengah jadi, sehingga dengan demikian, manusia masih harus berjuang untuk menyempurnakan kualitas dirinya (Q.S. al-Syam, 91:7-10). Proses penyempurnaan pada diri ini sungguh memungkinkan bagi manusia karena pada dirinya terdapat potensi-potensi kejiwaan (psikis) dan kerohaniann (spiritual) yang senantiasa cenderung untuk berkembang. Potensi-potensi kejiwaan dan kerohanian ini diisyaratkan oleh Al-Qur’an dalam sejumlah ayat, seperti antara lain: ”Dan dia menjadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan, dan af’idah (daya–daya kejiwaan dan keruhanian)” (Q.S. al- Sajdah, 32:9). Wacana af’idah (bentuk jamak dari fu’ad) berakar dari kata fa’d dengan kata kerja: fa’ada, yang bermakna waqada (menyala).12 Dengan demikian, fu’ad adalah potensi kejiwaan dan kerohanian manusia yang menyimpan daya untuk menyala, laksana nyala api yang dapat membakar sesuatu yang ada di sekitarnya. Penggunaan kata af’idah (bentuk jamak) Hadits ini menurut al-‘Iraqi (w. 806 H), tidak diketahui asalnya, tetapi terdapat hadits lain yang semakna dengannya, yang dapat memperkuat maknannya. Lihat al-Iraqi, al-Muqhni’an Haml al-Asfar fi Takhrij, Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar, pada margin al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1939), j. III, h. 15 12 Al-Raghib al-Ishfahani, Mu’ jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an (Beirut: Dar al- Fikr, 1972), h. 383 11
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
131
Yunasril Ali
mengisyaratkan bahwa jiwa dan rohani manusia memiliki sejumlah daya yang dapat dimanfaatkan dalam meraih kehidupan yang bermakna dan berkualitas. Salah satu daya rohani ialah akal (intellect) atau daya pikir, yakni daya untuk berpikir. Dengan daya akal manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, suatu daya yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Al-Qur’an menegaskan bahwa kemampuan manusia mengembangkan daya nalarnya telah menyebabkan malaikat tunduk kepadanya Q.S. al-Baqarah, 2: 31-4). Kita juga menemukan dalil-dalil dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits, yang secara tegas mendorong dan memotivasi penggunaan akal lebih dari dorongan yang ada dalam agama-agama lain. Kalau di dalam agama Nasrani akal dinafikan untuk berfungsi dalam masalah aqidah, maka bagi Islam, penggunaan akal justru dipandang sebagai memperkuat akidah (Q.S. Ali Imran, 3:190-1). Di dalam Al-Qur’an sendiri sebagai mana dikatakan Omar Mohammad al-Toumi al-Syaibani, pakar pendidikan asal Libya, terdapat sembilan ratus kali kata ‘ilm dan ‘ ahl’ dengan berbagai bentuk derivasinya.13 Wahyu yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW, adalah berupa perintah untuk membaca (Q.S. al-‘Alaq, 96:1-5). Perintah untuk membaca menyiratkan ajakan untuk menggunakan daya nalar, karena segala yang dibaca tidak akan bermakna kalau tidak dicerna oleh akal pikiran. Dengan demikian, membaca merupakan simbol orang terpelajar dan terdidik, karena membaca hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah mengerti aksara dan angka. Jadi, telah sejak dini Islam mengajak umat untuk menggunakan akalnya, dan ini diulang-ulang oleh Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya dalam jumlah yang sedemikian banyak. Bertumpu pada daya akal inilah manusia dapat mengembangkan keahliannya. Dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dapat menghasilkan berbagai produk yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemah Indonesia oleh Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 262 13
132
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Di samping daya akal, manusia juga memiliki daya hati atau emosi yang berfungsi untuk merasa. Semata-mata akal tidak akan dapat mengantarkan manusia kepada kebahagiaan yang sebenarnya, karena tidak semua pertimbangan akal benar dan dapat menenteramkan kehidupan. Akal tidak dapat merasakan kegembiraan dan kesedihan, kebanggaan dan kehinaan, kelezatan dan kepahitan. Oleh karena itu, orang yang hanya semata-mata menggunakan akal– pikirannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan tidak akan pernah dekat dengan Tuhan. Kelembutan rahman-rahim Ilahi dan kehangatan kasih-Nya, tidak dapat dirasakan, tanpa pemberdayaan hati. Oleh sebab itu, Allah mengecam orang-orang kafir yang kalbunya telah tertutup oleh noktah-noktah kekufuran (Q.S. al–Baqarah, 2: 6-7). Bertumpu pada daya emosi manusia akan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh sesamanya. Atas dasar demikian, etika dan moral dapat diterapkan dalam kehidupan. Etika dan moral akan menjadi landasan hidup bermasyarakat. Pemberdayaan daya nalar dan daya hati secara optimal dan seimbang disertai aktivitas-aktivitas yang baik (a’mal shalihat), yang didasarkan atas petunjuk-petunjuk Ilahi, akan menempatkan manusia pada puncak kesempurnaannya. Memfungsikan daya nalar secara optimal akan menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang tinggi, yang dapat mengantarkan manusia menguasai alam semesta. Sementara penggunaan daya hati secara optimal akan dapat mengantarkan manusia untuk menguasai dirinya sendiri dan segala produk yang dihasilkannya. Manusia yang menggunakan kemampuan daya nalar dan hatinya secara optimal dan berimbang, tanpa melanggar ketentuan-ketentuan Ilahi itulah, agaknya, yang disebut sebagai manusia paripurna (insan kamil) atau khalifah Allah fil-ardh. Itulah manusia berkualitas yang dicita-citakan Islam. Tegasnya, Islam menghendaki agar manusia memiliki ilmu dan moral yang dilandasi oleh iman dan ketakwaan serta mampu berbuat baik dalam hidupnya.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
133
Yunasril Ali
IV. Peranan Pendidikan Daya-daya yang dimiliki oleh manusia, baik jasmani maupun rohani, sebagaimana disebutkan di atas, memiliki potensi untuk dapat ditumbuhkembangkan. Upaya menumbuhkembangkan daya-daya itu tidak lain adalah melalui pendidikan dan pelatihan, sehingga masing-masing daya itu dapat berfungsi secara optimal. Daya fisik akan tumbuh dengan baik melalui olah raga dan penjagaan kesehatan. Allah dan rasul-Nya melarang penyiksaan fisik dengan hidup kerahiban dan melarang memakan sesuatu yang membahayakan, karena akan dapat merusak jasmani. Di dalam hadits disebutkan bahwa “Utsma Ibn Ma’zhon pernah akan mempraktekkan kehidupan kerahiban, maka Nabi SAW, bersabda kepadanya, “Sesugguhnya matamu punya hak atas engkau dan keluargamu punya hak atas engkau. Maka salatlah dan tidurlah, puasalah dan makanlah.14 Nabi SAW, malahan menganjurkan para sahabat untuk belajar berenang, menunggang kuda, dan memanah, karena di samping memperkuat dan menyehatkan tubuh juga berguna dalam mempertahankan Islam dari serangan musuh. Islam memerintahkan mengembangkan akal-pikiran dengan belajar. Pengajaran yang dilakukan secara sistematis akan dapat mengantarkan akal pikiran secara logis, kritis, kreatif dan dinamis, yang akhirnya akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Banyak ayatayat kitab suci yang memuji orang-orang yang berilmu dan berpikir, seperti, antara lain: “Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang memiliki ilmu.” (Q.S. alMujadalah, 58:11). Nabi Muhammad SAW, malahan mewajibkan menuntut ilmu “Menuntut ilmu itu fardu atas setiap muslim dan muslimah “(H.R. al-Thabrani, al-Baihaqi, dan al-Khathib). Upaya berpikir dan bergelimang dengan ilmu menurut beberapa hadits adalah upaya tak kenal batas, tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan usia. Di mana pun mukmin berada, ia dituntut untuk senantiasa berkiprah dalam mengajar, atau mendengar pelajaran. Hal ini mengandung makna bahwa hidup manusia tak terlepas dari upaya 14
134
Lihat Ibn al- Jauzi, loc. cit. Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
dan proses untuk merebut pengetahuan. Upaya demikian sejalan dengan watak manusia itu sendiri yang senantiasa ingin tahu. Bagi Islam, akal merupakan salah satu sarana untuk mendapat ilmu, dan ilmu yang diperoleh melalui penalaran akal disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Menurut Islam, ilmu merupakan pelayanan kebenaran. Jadi, tujuan mendapatkan ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Ilmu hanyalah perantara untuk sampai pada kebenaran. Oleh sebab itu, ilmu memiliki kesucian, karena digunakan untuk mendapatkan kebenaran dari Tuhan Yang Maha Besar. Ilmu memiliki elemen keilahian, karena ia sendiri adalah salah satu sifat ilahi. Betapa ketinggian ilmu tercermin pada kisah penciptaan Adam a.s. di mana para malaikat tunduk kepadanya, karena ilmu yang dimilikinya: “Hai para malaikat tunduklah kalian pada Adam, karena Adam mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui” (Q.S. al-Baqarah, 2: 31). Akan tetapi, empat abad yang lalu, Francis Bacon (1561–1626), failasuf Inggris, dan Descartes (1596-1650), failasuf Perancis, yang dipandang sebagai perintis ilmu modern, telah merelativisasi aksiologi ilmu dari sebagai pelayanan kebenaran menjadi palayanan kekuasaan. Menurut Bacon, kalau ilmu ditempatkan sebagai pelayanan kebenaran, maka ilmu hanyalah sebagai permainan pengisi waktu kosong yang tak mendatangkan manfaat. Agar ilmu itu bermanfaat, maka harus dijadikan sebagai alat kekuasaan. Dengan ilmu, orang dapat menguasai alam, sehingga alam dapat dimanfaatkan, dengan ilmu, orang mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Karena ilmu telah dijadikan hamba kekuasaan dan alat untuk menimbun kekayaan, maka orientasi proses belajar-mengajar berubah dari mencari kebenaran kepada tujuan ekonomi. Pandangan Bacon dan Descartes di atas pada mulanya belum menampakkan akses negatif. Akan tetapi, lama kelamaan akses negatif semakin terasa. Ilmu akhirnya menjadi tawanan kekuasaan. Dewasa ini, yang memegang kontrol dunia ialah kekuasaan. Dengan menggunakan ilmu sebagai alat maka pada sisi ini, ilmuan tidak lebih hanya sebagai alat penguasa. Oleh sebab itu, tak heran kalau Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
135
Yunasril Ali
ilmuan agung Albert Eistein menjadi hamba Roosevelt. Pemberdayaan akal-pikiran perlu diimbangi dengan pemberdayaan hati. Sebab, akal semata-mata tidak akan dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaannya. Pemberdayaan hati ialah melalui pendidikan akhlak, yang mengacu kepada peningkatan penghayatan hati agar lebih peka terhadap nilai-nilai moral keagamaan. Upaya peningkatan penghayatan hati, agaknya, harus dimulai dari pembiasaan akhlak praktis dan pengamalan ajaran agama secara kontinyu, kemudian ditingkatkan dengan penyucian hati (tazkiyah al-nafs) dan pengenalan diri (ma’rifah al-nafs), yang akhirnya akan mengantarkan manusia untuk sampai dapat merasakan kehadiran Tuhan di dalam hidupnya. Tegasnya, sejak dini setiap anak muslim harus sudah dididik dengan akhlak mulia melalui pembiasaan, sehingga akan memberi efek pada pembentukan kepribadiannya. Sebab, pembiasaan akan membentuk tabiat, tabiat akan melahirkan kepribadian. Orang yang sudah terbiasa melakukan yang baik, maka tabiatnya akan baik, dan tabiat yang baik akan mengantarkannya menjadi satu pribadi yang baik pula. Proses selanjutnya ialah penyadaran diri akan perilaku luhur, yang sejak sebelumnya telah terbiasakan itu. Untuk itu, ia harus senantiasa meningkatkan kesadaran hati dan pikiran kepada Allah (ta’alluq bidzikr Allah) sebagaimana diperintahkan AlQur’an (Q.S. Al-Imran, 3:191). Dari ta’alluq meningkat kepada maqam kedua, yakni takhalluq bi akhlaq Allah, yakni secara sadar menjalani proses internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri. Dan pada maqam terakhir ialah upaya aktualisasi sifat-sifat Ilahi (tahaqqu al-shifat alilahiyyah) itu dalam perilaku. Betapa penting pemberdayaan hati tercermin dalam hadits “Ketahuilah, di dalam tubuh terdapat sepotong daging. Apabila daging itu baik, maka akan baik segenap tubuh, apabila daging itu buruk, maka akan buruk pula segenap tubuh. Ketahuilah, dia ialah hati” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dari hadits ini kelihatan bahwa hatilah yang paling menentukan arah hidup manusia. Oleh sebab itu, kalau hati tidak terdidik dengan kebaikan dan kemuliaan, sudah 136
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
jelas berakibat fata, yakni kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan. Ini dapat pula dicermati dari ungkapan Al-Qur’an “dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka (gunakan untuk) memahani (ayat-ayat Allah…) “(Q.S. al-A’raf, 7: 179).
V. Simpulan Kualitas SDM pada intinya terletak pada kualitas ilmu dan akhlak, yang ditopang dengan kualitas keterampilan yang memadai. Secara karikatural SDM yang handal itu digambarkan sebagai manusia yang berkepala botak, yang hidup di tengah-tengah hiruk–pikuk teknologi modern, tetapi tidak lupa memegang tasbih dan berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya. Untuk dapat mencapai kualitas SDM yang baik itu tidak ada jalan lain selain melalui pendidikan yang dilakukan secara kontinyu. Oleh sebab itu, semakin berkualitas suatu lembaga pendidikan akan semakin berkualitas pula SDM yang dihasilkannya. Agak lebih teknis dapat dikatakan, bahwa untuk dapat menghasilkan kualitas SDM yang andal diperlukan adanya keseimbangan materi pendidikan, yang mengacu kepada pemberdayaan intelek, hati, dan psikomotorik, atau pendidikan yang memberikan bekal ilmu, akhlak dan keterampilan secara memadai dan seimbang. Upaya demikian dapat dilakukan melalui jalinan pendidikan formal, pandidikan dalam Lingkungan keluarga, pelatihan-pelatihan yang sistematik dan terprogram, kursus-kursus, self study dan lain-lain. Dalam hal ini, suatu permasalahan yang sudah semakin klasik, tetapi masih belum ditemukan penyelesaiannya yang tuntas dan kongkrit ialah tentang penerapan pendidikan agama (Islam) yang dilandasi oleh paedagogik yang memadai. Apa yang selama ini diterapkan di sekolah-sekolah mungkin tidak lebih dari proses belajar mengajar agama. Upaya demikian mungkin lebih pantas disebut sebagai “transmisi pengetahuan agama” melalui didaktis metodis sebagaimana yang diterapkan pada pelajaran-pelajaran yang mengacu kepada pemberdayaan nalar. Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
137
Yunasril Ali
Diakui telah ada upaya-upaya melalui beberapa eksprimen, tetapi karena didasarkan atas basis paedagogis umum yang bersumber dari falsafah pendidikan model Barat, maka hasilnya masih belum memuaskan. Untuk itu, barangkali, yang harus dipikirkan ialah merumuskan lebih dahulu tentang falsafah pendidikan Islam yang bersumber dari ajaran Islam dan pengalaman para pakar pendidikan Islam sendiri. Atas dasar itulah pendidikan Islam dikembangkan, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
138
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pendidikan yang Inovatif bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
BIBLIOGRAFI al-Iraqi, al-Muqhni’an Haml al-Asfar fi Takhrij, Ma fi al-Ihya’ min alAkhbar, pada margin al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1939), j. III. al-Ishfahani, Al-Raghib, Mu’ jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an (Beirut: Dar al- Fikr, 1972) al-Jauzi, Ibn, Talbis Iblis (Kairo: Idarah al-Thiba‘ah al- Muniriyyah, 168 H). Arabi, Ibn, al-Futuhat al-Makkiyyah (Beirut: Dar al-Fikr. tth), j, II. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta: Kanisius. 1993), j. II. Muhammad, Omar, al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemah Indonesia oleh Langgulung, Hasan. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Papayungan, M.M.. “Pengembangan dan Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Industrial Pancasila.” Salim, Emil. Perspektif Pembangunan: Harapan dan Kendala. Makalah disampaikan dalam seminar Nasional Ilmu-ilmu Sosial dan Kongres HIPIIIS VI. Yogyakarta. 16-21 Juni. 1990. Seely, Charles S. Modern Materialism: A Philosophy of Action (New York: Philosophy Library. 1960. Stump, Samuel Enoch. Philosophy: History and Problems (New York: McGraw- Hill. 1983). Buku I. Suhandana, Anggan. “Pendidikan Nasional sebagai Instrumen Pengembangan Sumber Daya Manusia.” Sumber daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan. Ed. Jimly Asshidiqqhi. Et. Al. (Jakarta/Bandung: PT. Citra Bangsa dan Mizan. 1997). Taimiyah, Ibn, Majmu’ Fatawa (Beirut: Dar al-Arabiyyah. 1398 H), j. XVIII. Titus, Harold H. et,al. Terjemahan Persoalan–persoalan Filsafat. Terjemahan Indonesia oleh Rasjidi, H.M. (Jakarta: Bulan Bintang. 1984).
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
139