Edu-Bio; Vol. 4, Tahun 2013
Alfian, Pendidikan …
PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA Alfian Abstrak Pemenuhan hak pendidikan masyarakat yang diatur dalam batang tubuh undang-undang dasar 1945 merupakan kewajiban pemerintah termasuk bagi masyarakat yang berkebutuhan khusus. Deklarasi Bandung tahun 2004 menjelaskan bahwasanya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, memperoleh pendidikan, kesejahteraan, keamanan, dan kesehatan sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Pendidikan inklusif atau terpadu merupakan solusi alternatif terhadap kendala sulitnya anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan pendidikan secara utuh di desa dan daerah terpencil.Pendidikan inklusif memandang realita kehidupan sehari-hari dan menerima bahwa tiap anak berbeda atau berlain-lainan. Pendidikan ini dilakukan dengan prinsip-prinsip bahwa seyogyanya pendidikan diberikan tanpa melihat perbedaan fisik yang dimiliki oleh individu.Di Indonesia pendidikan inklusif dipayungi oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 19/2007 tentang Standar Nasional Pendidikan.Pemenuhan sarana prasarana pembelajaran menjadi perhatian pemerintah demi tercapainya tujuan pendidikan nasional dalam pemenuhan hak pendidikan yang tertuang dalam undnag-undang sistem pendidikan nasional “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” . Kata Kunci : pendidikan inklusif, pendidikan terpadu A. Pendahuluan Pendidikan dapat berfungsi untuk mempersiapkan anak didik menjadi manusia yang memiliki perilaku, dan nilai yang berlaku. Selain itu pendidikan juga diperuntukkan dalam mempersiapkan mental peserta didik dalam menghadapi tantangan hidup yang berubah-ubah. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan dan mendorong peserta didik untuk mengurangi dan menghindari kemungkinan yang tidak baik. Untuk itu pembelajaran di dunia pendidikan umumnya mencerminkan kemampuan untuk mengadakan reorientasi dalam mentransfer ilmu pengetahuan yang tidak hanya “content oriented” melainkan “proses oriented “ Sejak tahun delapan puluhan bangsa Indonesia telah mencoba menyelenggarakan pendidikan integratif atau pendidikan terpadu 67
68
Edu-Bio; Vol. 4, Tahun 2013
Alfian, Pendidikan …
meskipun masih terbatas pada pengintegrasian antara siswa tunanetra dengan siswa normal di sekolah reguler. Hasilnya belum memuaskan karena sarana dan prasarana kurang dipersiapkan secara matang. Wacana pendidikan integratif semakin luas sejak diselenggarakannya Seminar Pengembangan Pendidikan Luar Biasa pada tahun 1992 di Bandung. Pada awal tahun 2000 wacana berkembang ke arah pendidikan inklusif dan bahkan pada tahun 2001 pendidikan inklusif telah menjadi program Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Kementerian Pendidikan Nasional di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidian Luar Biasa sebagai pengembangan lebih lanjut dari Subdit (Subdirektorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa) telah diberi perluasan mandat untuk mengatur penyelenggaraan PLB tidak hanya di SLB tetapi juga di sekolah reguler. Sesuai dengan tugas dan fungsi Direktorat PLB akan para guru di semua sekolah reguler perlu diberi pengetahuan dan keterampilan dasar dalam memberikan layanan PLB. Pendidikan inklusif atau terpadu merupakan solusi alternatif terhadap kendala sulitnya anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan pendidikan secara utuh di desa dan daerah terpencil.Pendidikan inklusif memandang realita kehidupan seharihari dan menerima bahwa tiap anak berbeda atau berlain-lainan dan pernyataan normal atau abnormal hanya mengacu pada salah satu atau beberapa aspek saja dari manusiasebagai satu keseluruhan. Dalam konsep pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif diartikan sebagi penggabungan pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler dalam suatu sistem pendidikan yang dipersatukan, dalam hal ini pengkategorian siswa ke dalam kelompok normal dan berkelainan ditiadakan.Strategi pembelajaran yang diterapkan adalah kontekstual,kooperatif,kompetitif, berbasis kecakapan hidup dan masalah. Melalui pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus dapat tersosialisasikan dan berintegrasi dengan anak sebayanya di sekolah reguler.
atau beberapa aspeksaja dari manusia secara keseluruhan. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mempersatukan layanan PLB dengan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan atau penempatan semua ALB di sekolah biasa. Dengan pendidikan inklusif semua anak luar biasa dapat bersekolah di sekolah terdekat dan sekolah yang menampung semua anak. Dalam konsep pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif diartikan sebagai penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan yang dipersatukan. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi siswa luar biasa atau berkelainan dalam makna dikaruniai keunggulan (gifted and talented) maupun berkelainan karena adanya hambatan fisik, sensorik, motorik, intelektual, emosi, dan/atau sosial. Dalam sistem pendidikan yang segregatif eksklusif, siswa dikelompokkan ke dalam dua kategori, normal dan berkelainan. Sebagai konsekuensi dari pandangan yang dikotomis semacam itu maka siswa yang normal dimasukkan ke sekolah reguler, sedangkan yang berkelainan dimasukkan ke sekolah khusus atau sekolah luar biasa. Siswaberkelainan dibagi ke dalam beberapa kategori, mencakup siswa yang tergolong tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berbakat, dan kalau diterusakan akan masih banyak lagi. Akbat dari pengkategorian tersebut maka muncullah berbagai jenis SLB, yaitu SLB A untuk siswa tunannetra, SLB B untk siswa tunarungu, SLB C untuk siswa tunagrahita, SLB D untuk siswa tunadaksa, SLB E untuk siswa tunalaras, sedangkan untuk jenis kelainan lain tidak ada sekolah luar biasanya. Penyelenggaraan sekolah segregratif pada mulanya untuk tujuan meningkatkan efektivitas pembelajaran tetapi dampaknya bagi pencapaian tujuan pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan perkembangan sosial, dipandang mengecewakan. Dalam sistem pendidikan inklusif pengkategorian siswa ke dalam kelompok normal dan berkelainan ditiadakan. Pengkaktegorian dipandang sebagai keladi penyebab pelabelan, dan pelabelan sebagi bidang keladi penyebab rasa malu dan rendah diri bagi siswa yang berkekurangan dan arogansi bagi yang memiliki keunggulan. Padahal dalam realita kehidupan orang yang berkekurangan dapat pula dikaruniai keunggulan dan sebaliknya, orang yang memperoleh predikat unggul tidak luput dari kekurangan. Pendidikan inklusif memandang kebhinnekaan sebagai anugerah, yang memungkinkan manusia dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan. Proses belajar tidak hanya terjadi antara guru dan siswa tetapi juga dengan sesama siswa dan sumber belajar lainnya. Oleh karena itu, kelompok belajar harus
B. Pengertian Pendidikan Inklusif Persepsi orang mengenai konsep pendidikan inklusif bermacam-macam. Konsep pendidikan inklusif merupakan antitesis dari penyelenggaran pendidikan luar biasa yang segregatif dan eksklusif, yang memisahkan antara anak luar biasa dengan anak lain pada umumnya yang biasa disebut anak normal. Padahal, konsep normal tersebut juga sama tidak jelasnya dengan konsep luar biasa atau berkelainan. Yang tampak pada realita kehidupan sehari-hari adalah bahwa tiap anak berbeda atau berlain-lainan dan pernyataan normal atau abnormal hanya mengacu pada salah satu 69
70
Edu-Bio; Vol. 4, Tahun 2013
Alfian, Pendidikan …
heterogen, agar siswa satu sama lain dapat saling bealajar. Dalam konteks bangsa Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan persatuan dan kesatuannya sebgai bangsa, pendidikan inklusif memiliki makna yang sangat penting. Pendidikan inklusif dapat diperluas maknanya bukan hanya dalam konteks anak yang membutuhkan layanan PLB tetapi juga dalam konteks mempersatukan kebhinnekaan bangsa Indonesia . Dalam konteks yang lebih luas, kebhinnekaan siswa tidak hanya dipandang dari sudut dikotomi berkelainan dan normal tetapi mencakup perspektif yang sangat luas. Kebhinnekaan dapat dalam arti vertikal dan dapat dalam arti horizontal. Kebhinnekaan vertikal mencakup kecerdasan,kekuatan fisik, ketajaman sensoris, kepekaan sosial, dan kematangan emosional. Kebhinnekaan horizontal mencakup perbedaan ras, suku, adat-istiadat, agama, dan berbagai variabel lain yang tidak dapat dibedakan secara kulalitatif karena memiliki kesetaraan. Adanya kebhinnekaan vertikal dan horizontal menuntut diselenggarakannya pendidikan inklusif.
yang wajar. Sehingga sistem pendidikan harus mampu mengakomodasi kebutuhan anak secara individual. Lahirnya pendidikan inklusif sejalan dengan deklarasi PBB mengenai Hak Azasi Manusia (HAM), yaitu hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang dalam pendidikan. Keberadaan pendidikan inklusif juga didukung oleh deklarasi yang disepakati oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, antara lain adalah pernyataan Salamanca tahun 1994 mengenai hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan dan pengakuan terhadap perbedaan minat, kemampuan, dan kebutuhan dalam belajar. Deklarasi Pendidikan Untuk Semua (PUS) di Thailand yang menyatakan bahwa setiap anak wajib diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya; dan Deklarasi Bandung yang menyatakan kesiapan Indonesia menuju inklusi. Pada Deklarasi Bandung tahun 2004 dijelaskan bahwasanya Anak Berkebutuhan Khusus(ABK) di Indonesia mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, memperoleh pendidikan, kesejahteraan, keamanan, dan kesehatan sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Di Indonesia pendidikan inklusif dipayungi oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 19/2007 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Warga negara yang dimaksud adalah mereka yang memiliki bakat dan kecerdasan istimewa, mereka yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental, intelektual dan sosial. Selanjutnya secara operasional di lapangan didukung oleh Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Berdasarkan ketiga sistem pendidikan di atas terjadi pergeseran paradigma berkaitan dengan kedudukan anak dalam konteks pendidikan. Pada sistem pendidikan sebelumnya anak dibagi berdasarkan ciri-ciri fisik atau kecacatan yang melekat pada individu anak. Sedangkan dalam paradigma pendidikan inklusif setiap anak dipandang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda tanpa menitikberatkan pada karakteristik fisik atau kecacatan yang melekat pada individu anak. Sehingga sistem pendidikan yangharus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak dan bukan anak yang menyesuaikan sistem. Bagaikan orang memakai baju, lalu baju tersebut terlalu kecil sehingga sempit dan tidak cukup di badan. Maka bukan badannya yang dipangkas agar sesuai dengan ukuran baju, tetapi bajunya yang harus dirombak sehingga cukup di badan.
C. Sejarah Pendidikan Inklusif di Indonesia Pendidikan sebagai hak untuk semua anak telah tercantum dalam berbagai instrumen internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumen-instrumen selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat, sangat rentan untuk dikepinggirkan. Hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian. Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersamasama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.” Pendidikan inklusif lahir dari perubahan trend dalam kebijakan sosial dan perubahan paradigma sistem pendidikan di beberapa negara di dunia. Anak pada awalnya dibedakan antara yang “normal” dan “tidak normal” dalam layanan pendidikan. Dalam paradigma pendidikan inklusif, perbedaan tersebut merupakan hal 71
72
Edu-Bio; Vol. 4, Tahun 2013
Alfian, Pendidikan …
D. Landasan Pendidikan Inklusif Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat. 1. Landasan filosofis Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulankeunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Landasan yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai 73
tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas. Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional. 3. Landasan pedagogis Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya. 4. Landasan empiris Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negaranegara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. 74
Edu-Bio; Vol. 4, Tahun 2013
E. Pendidikan Inklusif di Indonesia 1. Tujuan Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan: a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. b. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar. c. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. e. Memenuhi amanat konstitusi/peraturan perundangundangan: 1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”; 2) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”; 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”; 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 51 yang menegaskan “anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesbilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa”. 5) Peraturan menteri pendidikan nasional republik Indonesia (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Alfian, Pendidikan … pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian. Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersamasama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.” Sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan oneschool for all. F. Media Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusif Media pendidikan dan pembelajaran memilki banyak jenis dan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, oleh karena itu guru perlu memahami karakteristik media itu agar dapat memilih media sesuai dengan tujuan pembelajaran. Model-media pendidikan berdasarkan karakteristiknya digolongkan menjadi dua bagian yaitu : Media dua dimensi dan media tiga dimensi. Media dua dimensi meliputi media grafis, media bentuk papan, dan media cetak.Sedangkan media tiga dimensi dapat berwujud sebagai benda asli baik hidup atau matidan dapat pula berujud sebagian tiruan yang mewakili aslinya. Media pembelajaran secara khusus berdasarkan karakteristik siswa antara lain: No 1
2. Sasaran Pendidikan Inklusif Pendidikan sebagai hak untuk semua anak telah tercantum dalam berbagai instrument internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumen-instrumen selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat, sangat rentan untuk dikepinggirkan. Hak untuk memperoleh 75
76
Jenis ABK dengan gangguan penglihatan
Model Buta Total : Peta timbul, radio, audio, penggaris braille, blokies, papan baca, model anatomi mata, meteran braille, puzzel buah-buahan, talking watch, kompas braille, botol aroma, bentukbentuk geometri, tape recorder, komputer dengan sistem jaws, media tiga dimensi, media dua dimensi, lingkungan sekitar anak, Braille kit, mesin tik braille, kamus bicara, kompas bicara, komputer dan printer braille, collor sorting box.
Edu-Bio; Vol. 4, Tahun 2013
2
ABK dengan gangguan pendengaran
3.
Tunagrahita/ anak lamban belajar
4
ABK dengan gangguan motorik
5.
Tunalaras
6.
Anak berbakat
7
Kesulitan belajar
8.
Autis
9. 10.
Tunaganda HIV AIDS
11.
Korban Penyalahgunn Narkoba Indigo
13.
Low Vision : CCTV, Magnifier Lens Set, View Scan, Foto-foto, video, kartu huruf, kartu kalimat, anatomi telinga, miniatur benda, finger alphabet, model telinga, torso setengah badan, puzzle buah-buahan, puzzle binatang, puzzle konstruksi, silinder, model geometri, menara segi tiga, menara gelang, menara segi empat, atlas, globe, peta dinding, miniatur rumah adat. Gradasi kubus, gradasi balok, silinder, manara gelang, kotak silinder, multi indra, puzzle binatang, puzzle konstruksi, puzzle bola, boks sortor warna, geometri tiga dimensi, papan geometri, konsentrasi mekanik, puzzle set, abacus, papan bilangan, kotak bilangan, sikat gigi, dresing prame set, pias huruf, pias kalimat, alphabet fibre box, bak pasir, papan keseinbangan, power raider, Kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, torso seluruh badan, geometri sharpe, menara gelang, menara segi tiga, gelas rasa, botol aroma, abacus dan washer, papan pasak, kotak bilangan. Animal maching games, sand pits, konsentrasi mekanik, animal puzzle, fruits puzzle, rebana, flute, torso, constructive puzzle, organ Buku paket, buku referensi, buku pelengkap, buku bacaan, majalah, koran, internet, modul, lembar kerja, komputer, VCD, museum, perpustakaan, TV, OHP, chart, dsb Disleksia : kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat Disgrafia :kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, balokbilangan Diskalkulia: balok bilangan, pias angka, kotak bilangan,papan bilangan Kartu huruf, kartu kata, katu angka, kartu kalimat, konsentrasi mekanik, komputer, mnara segi tiga, menara gelang, fruit puzzel, construktiv puzzle Disesuaikan dengan karakteristik kelainannya Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting pelayanan pendidikan Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting pelayanan pendidikan
Alfian, Pendidikan … tinggalnya; semua anak bisa belajar dan menghadapi hambatan dalambelajar; semua anak membutuhkan dukungan dalam proses belajar; danpembelajaran memfokuskan pada kebutuhan setiap individu anak. 2. Peningkatan Kualitas Sekolah (School Improvement) Konsep sekolah dan pendidikan bukan hanya terfokus pada sekolah formal, namun institusi-institusi non formal lainnya; sebuah institusi pendidikan atau sekolah merupakan institusi yang ramah dan responsif terhadap perubahan; selalu berusaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah baik dalam penyediaan sarana dan prasarana, kemampuan guru dan yang paling mendasar adalah merubah pandangan sekolah tentang kebutuhan anak, melakukan kerjasama dengan institusi terkait sebagai rekan untuk meningkatkan kualitas sekolah, dan mewujudkan sebuah sekolah yang ramah terhadap anak sehingga anak merasa aman dan nyaman untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Sistem Sekolah Ramah Anak (SRA) menekankan pada pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan gaya belajar setiap anak; mengajar anak bagaimana belajar kooperatif, aktif, dan demokratis. Isi materi yang terstruktur dengan sumber daya yang berkualitas baik dan melindungi anak dari pelecehan dan bahaya kekerasan. Dengan demikian pendidikan inklusif dapat meningkatkan kualitas sekolah, baik dari segi layanan, materi, dan peserta didik, karena dapat mengakomodasi kepentingan setiap peserta didik sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Digunakan media seperti anak pada umumnya.
G. Prinsip Pendidikan Inklusif Prinsip pendidikan inklusif yaitu: 1. Prinsip Persamaan Hak dalam Pendidikan (Equality in Education Pendidikan inklusif mengakomodasi semua anak mendapatkan pendidikan.Memperoleh pendidikan yang bermutu, menghargai keragaman, dan mengakuiperbedaan individual. Setiap anak berhak untuk memasuki sekolah yang terdekatdengan tempat 77
D. Penutup Setiap anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tanpa memandang kekurangan atau kelebihan mereka. Pada dasarnya setiap anak perlu bermain dengan teman sebayanya tanpa ada diskriminasi sosial. Oleh karena itu pendidikan inklusif perlu sekali untuk di terapkan di Indonesia agar anak-anak yg memiliki kekurangan tidak merasa diasingkan dan dapat belajar dengan semestinya. Dalam prakteknya, pendidikan inklusif tidak terlepas dari berbagai pihak terkait mulai dari Pemerintah, Institusi seperti sekolah, pendidik, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat hingga orang tua untuk menunjang tercapinya tujuan dari pendidikan inklusif itu sendiri. Sarana prasarana yang memadaipun perlu diberikan kepada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif demi terciptanya pembelajaran yang efisien serta efektif berorientasi pada pemahaman peserta didik dari pendidikan inklusif. 78
Edu-Bio; Vol. 4, Tahun 2013
Alfian, Pendidikan …
DAFTAR PUSTAKA
Surakarta, Tanggal 30 Nopember 2009
Bennett, D. (1999). “Low Vision Devices for Children and Young People with a Visual Impairment” dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999, pp.64-76). Visual Impairment: Access toEducation for Children and Young People. London: David Fulton Publishers. (diterjemahkanoleh: Didi Tarsidi) Depsos RI., (2003). Panduan Pelaksanaan Keterampilan Kehidupan Sehari-hari Penyandang Cacat Netra. Jakarta: Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Netra
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa Sri Anita. 2008. Media Pembelajaran. Surakarta: FKIP UNS Bintoro. 2004. Pendidikan Inklusi. Republika Online: http://www.republika.co.id UNESCO. (2002). Understanding and Responding to Children’s Need in Inclusive Classroom. UNESCO
Dijk, Karin van, dan Riyanto, Agus T. (2007). Layanan Kesehatan Mata sebagai Prasyarat untuk Keberhasilan Inklusi. EENET asia Newsletters: Edisi Keempat Juni 2007. Tersedia: http://www.idpeurope.org/eenet/newsletter4_indonesia/ page20.php Hosni, Irham, (2007). Layanan Terpadu Low Vision dalam Mendukung Inklusi. Model Pusat Layanan Terpadu low vision YPWG kerjasama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat dan RS Mata Cicendo. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Ditjen Menejemen Dikdasmen, Depdiknas Mason, H. (1999). “Common Eye Defects and their Educational Implications”. In: Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999, pp.38-51). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers. (diterjemahkan oleh: Didi Tarsidi). Tersedia: http://dtarsidi.blogspot.com/2008/06/kelainan-mata-yang-umum-dan.html Sugiarti, (2008). Vision 2020 The Right to Sight. Disampaikan dalam seminar sehari. Bandung: Syamsi Dhuha Abdul Salim. 2010. Identifikasi Dan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus. Makalah Disampaikan Pada Workshop Bagi Para Guru Di BP-Dikjur Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah Tanggal 10-13 Mei 2010 Abdul Salim. 2009. Implementasi Pendidikan Inklusif Pasca Permendiknas No. 70 Tahun 2009. Makalah Disampaikan Pada Kegiatan Sosialisasi Implementasi Pendidikan Inklusi Di SMKN IX 79
80