Pedagogik Jurnal Pendidikan, Maret 2016, Volume 11 Nomor , ( 1 – 6 )
PENDIDIKAN INKLUSI UNTUK ANAK DENGAN KETIDAKMAMPUAN INTELEKTUAL DI SEKOLAH DASAR UMUM Oleh : Fazakkir Noor * Abstrak Ketidakmampuan intelektual merupakan bagian dari disablititas pada anak. Hak pendidikan anak dengan ketidakmampuan intelektual sudah dijamin oleh peraturan kementerian pendidikan nasional melalui sekolah inklusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan program inklusi di sekolah dasar umum. Penelitian ini menggunakan metode kualtitatif dengan menggunakan tiga orang subjek penelitian. Subjek peneltian tersebut memiliki ketidakmampuan intelektual berdasarkan tes intelegensi dan sedang bersekolah di sekolah dasar umum. Hasil penelitian, menunjukkan pelaksanaan program inklusi di sekolah dasar masih kurang optimal. Hal ini menyebabkan anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual tidak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya di sekolah dasar umum melalui program inklusi.
Kata Kunci: Pendidikan Inklusi, Ketidakmampuan Intelektual, Sekolah Dasar Umum Abstract Intellectually disability is one of the disabilies in children. Intellectually disability children education right is guaranteed by policy of national education ministry through inclusive program. The research aims to know how the application of inclusive program in public elementary school. The method employed in the research is qualitative method and using three research subjects. The research subjects have intellectually disability based on intelligency test and study in public elementary school. The research result shows the inclusive program in elementary school is less optimized. It causes intellectually disability children do not get the education they need in public elementary school through inclusive program.
Keyword : Inclusive education, intellectually disability, public elementary school PENDAHULUAN Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama seperti anak-anak pada umumnya untuk mendapatkan pendidikan. Sayangnya, ketersediaan pendidikan yang memadai untuk anak-anak berkebutuhan khusus belum memadai dan merata. Seperti penyediaan sekolah luar biasa hanya ada di kota besar, sementara untuk anak-anak berkebutuhan khusus di daerah akhirnya harus menelan kenyataan pahit untuk putus sekolah. Pada data yang didapatkan pada tahun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari 351.000 anak berkebutuhan khusus hanya sekitar
117.000 anak yang menempuh pendidikan sekolah (jppn, 2011). Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah ketidakmampuan intelektual/ tuna grahita (Permendiknas, 2009). Anak-anak berkebutuhan khusus selain jenis ketidakmampuan intelektual, cenderung mampu mengikuti pembelajaran selama metode yang diberikan sesuai. Misalnya saja anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran, maka pembelajaran diberikan dengan mengoptimalkan sarana visual dan praktek langsung. Selain itu, ciri fisik yang khas terlihat pada anak-anak disabilitas fisik lebih mudah membuat orang lain
*Drs.Fazakkir Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
1
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Maret 2016, Volume 11 Nomor , ( 1 – 6 )
menoleransi kondisi anak-anak tersebut. Sebaliknya anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual akan mengalami kesulitan dalam belajar dan menerima informasi baru. Target belajar yang diberikan pada anak-anak tersebut pun tidak bisa disamakan dengan anak-anak yang memiliki tingkat intelektual normal. Hal yang lebih mengkhawatirkan, kebanyakan anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual tidak terlihat secara fisik seperti anak-anak dengan disabilitas lain. Akibatnya penilaian negatif seperti pemalas, tidak mau memperhatikan dan lainnya kerap kali diberikan tanpa sadar pada anak-anak ini oleh lingkungannya. Ditambah lagi, secara sosial anak-anak berkebutuhan khusus ini mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dengan sebaya karena rendahnya keterampilan sosial yang mereka miliki(Gresham & MacMillan, 1997). Hal ini akhirnya berdampak pada seringnya anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual menjadi korban penindasan (bully). Penting sekali membahas pendidikan yang layak pada usia sekolah dasar. Hal ini karena pada sekolah dasar ini lah anak-anak mulai mendapatkan pendidikan formal dan berbagai aturan diterapkan kepadanya. Pemberian ilmu-ilmu mata pelajaran lebih terstruktur. Pada saat ini lah semakin terlihat anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual akan mengalami hambatan. Seperti yang diketahui untuk anak dengan ketidakmampuan intelektual ringan saja diperikarakan hanya mampu menguasai kemampuan logika dasar setara anak kelas enam sekolah dasar pada usianya di awal masa dewasa mereka sekitar usia 21 tahun (Wenar et al, 2000). Sehingga dapat dibayangkan betapa sulitnya mereka menguasai tahap demi tahap pendidikan di sekolah dasar.
Pemerintah sendiri sudah memberikan respon pada kondisi tersebut. Pada tahun 2009 pemerintah mengeluaran aturan sekolah inklusi (Permendiknas, 2009). Dimana dalam pelaksanaannya beberapa sekolah akan ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan kegiatan inklusi di daerahnya masing-masing. Walaupun pada pelaksanaannya hal ini tetap menyulitkan karena persebaran anak-anak berkebutuhan khusus tidak berada pada satu lokasi. Kemudian muncullah aturan bahwa sekolah dasar tidak diperkenankan menolak siswa yang masuk sekolah meski siswa tersebut memiliki disabilitas. Aturan ini dibuat tentu saja agar para penyandang disabilitas selain mendapatkan hak pendidikannya juga untuk mengurangi prasangka pada mereka. Dengan peleburan anak berkebutuhan khusus disekolah normal diharapkan akan mendorong toleransi antar perserta didik. Melalui interaksilah prasangka atau penilaian negatif dapat berkurangan (Unicef, 2013). Selain itu mengisolasi anak-anak berkebutuhan khusus dari dunia nyata hanya akan membuat mereka semakin dikucilkan. Langkah yang diambil pemerintah ini pada dasarnya memiliki tujuan yang baik. Dengan adanya aturan pemerintah tersebut, di satu sisi cukup melegakan karena anakanak tersebut dapat bersekolah dan mendapatkan haknya dalam pendidikan. Hanya saja, masalah kemudian bermunculan saat anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual ini tidak dievaluasi dan langsung masuk sekolah. Mereka kerap kali mengalami kegagalan demi kegagalan di dalam kelas. Anak-anak ini akhirnya tinggal kelas atau dinaikkan dengan paksa. Hal ini berlangsung terus hingga perjalanan pendidikan mereka selama enam tahun. Apalagi jika ditambah dengan ketidaksiapan tenaga pendidik dan
*Drs.Fazakkir Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
2
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Maret 2016, Volume 11 Nomor , ( 1 – 6 )
sekolah dalam memahami anak-anak tersebut. Oleh sebab itulah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan pendidikan inklusi untuk anak dengan ketidakmampuan intelektual di sekolah dasar negeri di Palangkaraya. Harapannya, penelitan ini menjadi evaluasi untuk pelaksanaan pendidikan inklusi yang lebih baik ke depannya. METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif. Subjek penelitian merupakan anak dengan ketidakmampuan intelektual yang menempuh pendidikan sekolah dasar. Pengetesan ketidakmampuan intelektual dilakukan oleh professional dengan alat ukur yang sudah terstandarisasi (WISC-R dan Stanford Binet). Subjek penelitian berjumlah tiga orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara pada orangtua dan guru, observasi kelas dan mengumpulkan data hasil belajar anak. Rata-rata pengumpulan data dilakukan dalam waktu dua minggu sehingga total pelaksanaan penelitian di lapangan adalah enam minggu. HASIL DAN PEMBAHASAN Subjek A A merupakan anak perempuan berusia 7 tahun 9 bulan dan sedang menempuh pendidikan kelas dua sekolah dasar umum. Secara umum, kemampuan akademis A sangat rendah. Ia kesulitan dalam memahami informasi baru dan instruksi yang diberikan. Ia juga lambat dalam mengerjakan tugas-tugasnya sehingga kerap kali pulang paling akhir karena belum menyelesaikan tugasnya. Di rumah A memiliki beberapa teman-teman di bawah usianya, sementara di sekolah A sangat
kesulitan menjalin relasi dengan kawankawannya. Hasil tes IQ menunjukkan A memiliki kecerdasan pada taraf ketidakmampuan intelektual (IQ=54 Skala Wechsler). Saat observasi kelas, A sempat menangis karena diganggu teman sekolahnya. Teman-temannya pun mengejek bahwa A cengeng. Pada saat itu guru menengahi dan meminta A tetap melanjutkan pelajarannya. A juga lambat dalam menyalin soal yang diberikan guru di papan tulis. Guru baru menyadari hal ini saat anak-anak lain mengumpulkan dan A belum selesai juga. A salah dalam mengerjakan dan hasilnya salah semua. Anak-anak yang lain akhirnya mengejek A karena lambat sambil menertawakannya. Guru menegur anak tersebut, Ibu guru mendatangi meja A dan menjelaskan kembali sambil meminta A ikut menjawab. A sering kali diam saat ditanya sehingga ibu guru lah yang menjawab soal tersebut dan A menuliskan seperti yang diperintahkan guru. Beberapa anak lain sudah mulai berisik dan ingin pulang, ada seorang anak yang meminta agar A ditinggal saja dan yang lain pulang lebih dahulu. Beberapa anak mengucapkan dengan nyaring bahwa A lambat dan kemudian menertawakannya. Ibu guru memarahi anak tersebut dan meminta yang lain menunggu A selesai mengerjakan. Berdasarkan wawancara ditemukan bahwa guru sendiri kewalahan jika harus memperhatikan A secara khusus. Guru juga lebih banyak menyalahkan orangtua yang dianggap terlalu memanjakan A dan tidak melatih disiplin dalam belajar. Ia sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan pendidikan yang sesuai karena guru sendiri tidak memahaminya bagaimana pendekatan yang tepat. Selain itu hal yang
*Drs.Fazakkir Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
3
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Maret 2016, Volume 11 Nomor , ( 1 – 6 )
selama ini guru lakukan adalah dengan mendongkrak nilai A. Akan tetapi, jika A masih tidak dapat menguasai pelajaran pada semester ini maka ada kemungkinan A akan tidak naik kelas. Subjek B B merupakan anak perempuan berusia 11 tahun 4 bulan dan saat ini sedang menempuh pendidikan kelas 4 sekolah dasar. B kesulitan dalam mengikuti kegiatan akademis di sekolah umum. Di kelas B lebih banyak bermain dan mengobrol serta tidak dapat memahami pelajaran akademis yang diberikan di sekolah. Saat menjelaskan pelajaran pada B dilakukan berulang-ulang karena B yang tidak dapat memahami penjelasan yang diberikan padanya. B kerap kali juga melupakan pelajaran yang sebelumnya dia sudah kuasai. Nilai akademis B di sekolah pun berada jauh di bawah teman-temannya dan B bisa naik kelas karena bantuan nilai dari guru. Hasil tes IQ menunjukkan B berada pada taraf ketidakmampuan secara intelektual dan setara dengan anak usia 6 tahun 8 bulan (IQ=61, skala Binet). B kerap kali mengalai penindasan seperti diejek karena kemampuan B memahami pelajaran yang lemah. Dalam bergaul, B termasuk anak yang mudah dimanfaatkan temantemannya. B juga tidak pernah mengadu atau mengeluh pada orang tua saat dirinya diperlakukan tidak baik oleh orang lain. B merupakan anak yang memiliki postur tubuh paling besar di kelasnya dan usia yang paling tua. B biasanya tidak dapat mengikuti pelajaran dan selalu gagal dalam pelajaran akademis. Satu-satunya penguasaan B yang cukup baik adalah dalam bidang olahraga, seperti berlari atau bermain bulu tangkis. B juga sangat lambat saat menulis sehingga tidak jarang, B masih harus di kelas untuk menyelesaikan tulisan sementara teman-temannya pulang.
Saat kerja kelompok, B biasanya kesulitan mencari teman kelompok. Bahkan teman dekat B di kelas biasanya tidak mau berkelompok dengan B. Biasanya ibunyalah yang ikut terlibat mencarikan teman kelompok B, atau biasanya B justru tidak dapat kelompok dan mengerjakan sendirian dibantu ibunya.Seluruh PR B biasanya dikerjakan oleh ibunya. B biasanya hanya menyalin saja pekerjaan rumah yang sudah ibunya kerjakan. B juga diikutkan les dengan guru di kelas untuk pelajaran matematika pada hari kamis. Akan tetapi, menurut guru, B sangat sulit menguasai pelajaran yang diberikan padanya karena penguasaan konsep berhitung B pun masih sangat rendah. Subjek C C merupakan anak laki-laki berusia 10 tahun 6 bulan yang saat pelaksanaan penelitian sedang menempuh pendidikan kelas 5 sekolah dasar negeri. C lambat dalam memahami pelajaran, terutama dalam pelajaran matematika. C sangat sulit memahami konsep-konsep berhitung. Setiap diberikan tugas C tidak dapat menyelesaikan dengan baik. C yang sering kali terlihat bengong. Hasil tes intelegensi menunjukkan C memiliki ketidakmampuan intelektual dengan hasil IQ=48 (Skala Wechsler). Saat mendapatkan instruksi, C mendengarkan dan melakukan apa yang diminta namun hasil yang dikerjakan C selalu tidak memuaskan. C juga lebih banyak diam saat teman-temannya mengejeknya. C sendiri memang termasuk anak yang pasif dan banyak menarik diri dari lingkungannya. Ia lebih banyak menyendiri dan nampak pemalu saat berhadapan dengan orang lain. Sejauh ini ia hanya mampu menjalin pertemanan dengan anak yang usianya lebih muda dari dirinya.
*Drs.Fazakkir Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
4
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Maret 2016, Volume 11 Nomor , ( 1 – 6 )
Guru kelas C termasuk guru yang memiliki kepedulian yang baik. Guru C yang menyadari bahwa C berbeda dari kebanyakan siswanya, sehingga meminta ibu C memeriksakannya. Di kelas sendiri guru banyak membantu C dengan sabar. Guru juga mendatangi bangku C untuk memastikan apakah jawabannya sudah tepat. Kerap kali guru juga memberikan petunjuk untuk membantu C menjawab pertanyaan tersebut. Sejauh ini guru di sekolah membantu dalam mendongkrak nilai C, sehingga C selalu naik kelas. Akan tetapi para guru menyadari kemampuan C masih di bawah anak-anak usianya. Sayangnya, guru sendiri tidak mengetahui tindakan apa yang lebih baik selain menaikkan nilai C agar C tetap bertahan di sekolah. Guru juga turut mengawasi C, ketika ia diganggu temantemannya saat di kelas. HASIL ANALISA DATA Berdasarkan hasil tersebut terlihat banyak hambatan dalam proses pelaksanaan pendidikan inklusi di SD di kota Palangkaraya khususnya belum optimal. Tidak adanya deteksi dini pada anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual ditambah kurangnya pemahaman guru mengenai disabilitas ini menyebabkan para guru mudah berasumsi negatif mengenai kondisi ini. Akibatnya anak-anak tersebut pun tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya. Deteksi dini perlu dilakukan sejak awal anak sekolah agar anak-anak berkebutuhan khusus dapat mendapatkan pendidikan yang sesuai sejak awal. Kurangnya sosialisasi mengenai bagaimana menghadapi anak berkebutuhan khusus, terutama ketidakmampuan intelektual rendah menjadikan kebutuhan anak-anak ini tidak dapat terfasilitasi dnegan baik. Para guru tidak mengetahui
bagaimana menangani anak dengan ketidakmampuan intelektual seperti membuat Rencana Pelaksanaan Penggajaran/RPP khusus dengan target yang masuk akal pada anak-anak tersebut dan pendekatan pengajaran yang membutuhkan contoh, intruksi ringkas dan berulang. Membuat standar pendidikan yang tidak mampu mereka capai dan kemudian menambahkan nilai agar mereka naik kelas, tidak membantu mereka belajar lebih banyak. Hal teknis di lapangan juga memberikan kontribusi dalam kurang optimalnya penyelenggaraan sekolah inklusi. Jumlah murid yang terlalu banyak, membuat guru kesulitan memberikan perhatian pada satu atau dua siswa yang membutuhkan pengulangan instruksi. Semakin besar dan banyak jumlah murid semakin sulit anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual mendapat perhatian. Pelibatan orangtua memang sangat dibutuhkan di dalam pendidikan inklusi (Saponshevin dalam Sunardi, 2002). Pada nyatanya, banyak ada orangtua dan guru yang saling melempar kesalahan akibat kesulitan anak mereka dalam memahami pelajaran. Kondisi ini terjadi karena orang tua dan guru tidak benar-benar memahami apa yang dialami siswa tersebut. Seperti yang disampaikan sebelumnya, anak dengan ketidakmampuan intelektual tidak memiliki ciri-ciri fisik yang bisa dikenali. Selain itu, kepribadian guru juga berperan penting dalam membantu proses pendidikan anak dengan ketidakmampuan intelektual. Hal ini karena guru mempunyai tanggungjawab untuk menciptakan suasana yang hangat di tengah keberagaman siswa (Budianto, 2009). Guru yang sabar, realistis, fokus pada solusi, tekun dan peduli akan
*Drs.Fazakkir Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
5
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Maret 2016, Volume 11 Nomor , ( 1 – 6 )
lebih mudah menerima anak-anak berkebutuhan khusus seperti ini. Sekolah inklusi yang pada dasarnya ditujukan agar prasangka dan stereotip pada siswa dapat berkurang melalui interaksi (unicef, 2013). Sayangnya karena ketidaktahuan mengenai kondisi anak, justru guru tidak mampu memberikan pengertian kepada siswa lainnya. Akibatnya anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual ini mengalami penindasan. Hal semakin menyulitkan mereka dalam menyelesaikan masalah di kelas karena mereka dikucilkan dan tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan dari sekitarnya. SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan kurang optimalnya pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia. Hal ini dikarenakan konsep yang baik dari pemerintah tidak diikuti persiapan yang matang untuk sekolahsekolah. Oleh sebab itu untuk perbaikan di
masa depannya maka ada beberapa saran yang bisa diberikan: 1. Lakukan evaluasi kemampuan anak pada awal masuk sekolah dasar dengan menggunakan jasa professional untuk mendeteksi anak berkebutuhan khusus. 2. Lakukan pelatihan secara berkala pada guru untuk merancang RPP khusus dan bagaimana melakukan pengajaran di kelas untuk anak dengan ketidakmampuan intelektual. 3. Berikan kredit dan penghargaan pada guru yang mendapatkan anak berkebutuhan khusus di kelasnya. Hal ini karena usaha yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan guru yang mengajar di kelas tanpa anak berkebutuhan khusus. 4. Perlu adanya kontrol dan evaluasi yang lebih baik dari dinas pendidikan terkait untuk melihat bagaimana proses pendidikan inklusi di sekolah-sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Gresham, F.M. & MacMillan, D.L. (1997).Social competence and affective characteristics of students with mild disabilities [Abstract]. Review Of Educational Research, 67, 4. Wenar, C & Kerig, P. (2000).Developmental Psychopathology from infancy through adolescene, fifth edition. New York : McGraw-Hill. Sunardi. (2003). Pendidikan Progresif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Budianto. (2009). Pendekatan dan Model Pembelajaran Kelas Inklusif. Makalah seminar: Malang. Unicef. (2013). Anak Penyandang Disabilitas. New York: United Nations Children’s Fund. Jppn. Kemendiknas Cegah Siswa Putus Sekolah. Diambil dari http://www.jpnn.com/read/2011/ 01/03/80984/ Kemendiknas-Cegah-Siswa-PutusSekolahPermendiknas. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009. Diambil dari http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/ file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf
*Drs.Fazakkir Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
6