PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis. Sedangkan dalam pemahaman manusia sebagai makhluk sosial dapat diartikan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya, karena dalam diri manusia
terdapat
suatu
dorongan
dan
kebutuhan
untuk
berhubungan (interaksi) dengan sesama, baik itu dalam ruang lingkup keluarga, lingkungan pendidikan atau pekerjaan, maupun masyarakat luas. Ketika menyadari akan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, maka dapat dipahami bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk dapat memahami dirinya sebagai seorang pribadi yang utuh dan juga sebagai pribadi yang merupakan bagian atau kesatuan dengan lingkungannya. Untuk dapat
memenuhi
kebutuhan
tersebut,
dibutuhkan
suatu
keterampilan diri yang dapat menunjang manusia dalam setiap tahapan kehidupan, dan hal tersebut adalah penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan bagi terciptanya kesehatan jiwa atau mental individu (Mutadin, 2002). Menurut Haber dan Runyon (dalam Susanti, 2010), penyesuaian diri adalah suatu proses yang berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan karena keadaan hidup selalu berubah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penyesuaian diri adalah salah satu prasyarat yang penting bagi terciptanya kesehatan jiwa
1
2
dan mental individu yang dibutuhkan dalam setiap tahapan perkembangan, termasuk pada tahap masa remaja yang berada pada periode masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa. Keberhasilan penyesuaian diri atau penyesuaian diri yang efektif dapat ditinjau dari beberapa aspek, seperti yang diungkapkan oleh Schneiders (dalam Noviekayati, 2004), yaitu: (a) Pengetahuan akan diri dan kesadaran diri; pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri dan kemampuan untuk memotivasi diri dalam kondisi saat ini. (b) Objektivitas dan penerimaan diri; kemampuan untuk selalu berpikir objektif serta menerima diri apa adanya. (c) Pengendalian dan pengembangan diri; kemampuan untuk mengarahkan dorongan-dorongan dari dalam diri dan kemampuan untuk belajar. (d) Kemampuan untuk beradaptasi; mempunyai sifat dinamis dan terbuka terhadap rangsang dan respon sekitar. Sebaliknya,
kegagalan
individu
dalam
melakukan
penyesuaian diri akan menimbulkan bahaya seperti sikap tidak bertanggung jawab yang tampak dalam perilaku mengabaikan pelajaran, sikap sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman, merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang tidak dikenal, perasaan menyerah, terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasannya yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari, mundur ke tingkat perilaku yang sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan, serta
3
menggunakan
mekanisme
pertahanan
seperti
rasionalisasi,
proyeksi, berkhayal, dan pemindahan (Hurlock, 1980). Kegagalan dalam proses penyesuaian diri banyak dialami oleh remaja, termasuk mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi konsumen minuman yang memabukkan, pengedar dan penyalahguna obat terlarang dikarenakan ketidakmampuan mahasiswa dalam menyesuaikan diri (Djuwarijah, 2005). Untuk menghadapi kondisi tersebut, tidak jarang sebagian mahasiswa merasa membutuhkan suatu pedoman yang dapat menuntun mereka, salah satunya ialah nilai-nilai agama. Nilai-nilai keagamaan yang diberikan dalam keluarga dapat menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi proses penyesuaian diri individu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Schneiders (dalam Agustiani, 2009) mengenai faktor-faktor yang dapat memengaruhi penyesuaian diri, yaitu: faktor kondisi fisik, faktor perkembangan dan kematangan, faktor psikologis, faktor lingkungan, dan faktor budaya termasuk didalamnya adat istiadat dan agama. Pada prinsipnya, olah dasar penyesuaian diri dibentuk oleh lingkungan sosial pertama individu, yaitu keluarga (Schneiders, dalam Putri, Indrawati & Masykur, 2009). Sejalan dengan pandangan tersebut, Norrell (dalam Putri dkk., 2009) pun mengemukakan bahwa orang tua sebagai bagian dalam suatu keluarga merupakan agen sosialisasi yang pertama, di mana seseorang belajar menyesuaikan diri. Dalam keluarga inilah, anak
4
belajar dan berkembang untuk meningkatkan kualitas diri baik fisik, psikologi, sosial, maupun spiritual dan religius. Selain itu, berdasarkan pendekatan budaya dan sosiologis lebih rinci dijelaskan bahwa salah satu fungsi keluarga ialah fungsi agama. Fungsi agama berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidahkaidah agama dan perilaku keagamaan (Melly, dalam Lestari, 2008). Alma dan Heitink (dalam Idrus, 2006) mengungkapkan bahwa orang tua adalah model identifikasi yang sangat penting bagi perkembangan agama anak. Pandangan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hart (dalam Idrus, 2006) yang menyimpulkan bahwa peranan orang tua dan pola asuh yang dilaksanakan sangat penting dalam pembentukan komitmen keberagamaan remaja. Perkembangan spiritual anak akan berdampak bagi pembentukan sikap dan pola pikir anak saat berhubungan dengan orang lain ataupun perwujudan terhadap kepercayaannya. Pernyataan ini dapat didukung dengan pandangan yang dikemukakan oleh Daradjat (dalam Djuwarujah, 2005) bahwa agama merupakan sistem nilai yang akan memengaruhi cara berpikir, bersikap dan bereaksi serta berperilaku. Nilai-nilai agama yang dimiliki oleh seorang anak, yang dapat membantunya dalam menjalani proses penyesuaian diri sangat dipengaruhi oleh bagaimana peran dari figur orang tua
5
dalam membimbing dan membekali anak. DeVaus (dalam Waruwu, 2003) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kepercayaan religius remaja lebih dipengaruhi oleh orang tua daripada teman-teman sebayanya. Hal ini dapat berlaku, baik bagi orang tua yang beragama sama maupun orang tua beda agama. Misalnya pada pola asuh orang tua yang berbeda agama, fenomena yang seringkali terjadi adalah anak akan diperhadapkan pada dua pilihan cara beragama. Hal tersebut dapat menempatkan sang anak berada dalam suasana bimbang manakala melihat orang tua melakukan tata cara agama yang berbeda dan berperilaku sesuai dengan dasar hidup yang berbeda satu sama lain di mana hal ini akan berakibat terhadap proses penyesuaian dirinya, seperti dalam tahap memilih dan menentukan dasar keyakinan yang harus digenggam dan direalisasikan atau proses pembentukan komitmen beragama dalam diri anak. Pernyataan ini
sejalan
dengan
pandangan
yang
dikemukakan
oleh
Viemilawati (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007), yaitu bahwa ketika sang anak lahir, penentuan anak akan dibesarkan dalam agama mana dapat menjadi masalah. Keluarga besar dari masingmasing pasangan, umumnya akan terlibat dalam memperebutkan agama anak. Beranjak usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami kebingungan dalam menentukan agamanya. Namun,
Hikmatunnisa
dan
Takwin
(2007)
dalam
penelitiannya menemukan hasil yang bertentangan, diketahui bahwa komitmen beragama anak dari orang tua beda agama tidak
6
berbeda dengan anak dari orang tua seagama. Hal ini dikarenakan faktor pola pemilihan dan pendidikan agama yang tepat yang diberikan oleh orang tua dapat mendukung tercapainya komitmen beragama anak. Walaupun sesungguhnya di sisi lain tidak dapat disangkali bahwa pernikahan beda agama dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang dari sisi psikologis. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh keluarga yang didalamnya terdapat perbedaan agama antara pasangan. Mulai dari konflik diantara pasangan, konflik dengan orang-orang di luar pasangan, penentuan agama anak dan cara anak dibesarkan (Hikmatunnisa & Takwin, 2007). Misalnya dalam hal
cara anak dibesarkan. Proses
dibesarkan dalam pernikahan beda agama dapat menjadi pengalaman negatif bagi anak bila mereka mengalami perlakuan negatif dari orang tua dan keluarga besar. Sebagian anak tidak ingin menjadi bagian dari agama apapun ketika dewasa karena mengalami banyak konflik emosional semasa dibesarkan (Duvall & Millern; Blood, dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007). Jika berbagai konflik yang terjadi di lingkungan sekitar anak tersebut tidak dapat segera dikendalikan maka pada akhirnya hal itu akan dapat memengaruhi atau berakibat pada perkembangan diri anak, salah satunya ialah kesulitan anak dalam menyesuaikan diri dengan berbagai konflik yang terjadi. Pandangan tersebut dapat didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Thomas (dalam Hikmatunnisa & Takwin,
7
2007) yang mengatakan bahwa kebanyakan anak dari pernikahan beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orang tuanya. Hal inilah yang
merupakan
salah
satu
pemicu
terbentuknya
ketidakmatangan keberagamaan dalam diri anak yang akan berpengaruh terhadap perkembangan dirinya. Individu yang hidup dalam situasi keberagamaan yang kurang baik maka mereka tidak mampu menjadi manusia yang utuh. Demikian sebaliknya, individu yang perkembangan keberagamaannya baik akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat dan bahkan sempurna (Nashori, dalam Indirawati, 2006). Seperti yang dikemukakan oleh Waruwu (2003) dalam artikel penelitiannya bahwa kaum remaja yang hidup sesuai dengan etika moral religiusnya pada umumnya memiliki kejelasan tujuan hidup dan mampu mengambil keputusan serta melaksanakan
keputusan
tersebut.
Hadisuprapto
(dalam
Indirawati, 2006) pun mengemukakan bahwa peningkatan pemahaman keagamaan pada diri seseorang akan memengaruhi strategi seseorang dalam menghadapi masalahnya. Pandangan ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh McCrae (dalam Indirawati, 2006) tentang hubungan antara situasi dengan tingkah laku coping yang menemukan bahwa sembilan belas tingkah laku coping yang signifikan digunakan, salah satunya adalah iman atau kepercayaan.
8
Penelitian-penelitian di atas selaras dengan pandangan Daradjat (1982) yang mengemukakan bahwa agama dapat berfungsi untuk memberikan bimbingan dalam hidup, menolong dalam kesukaran, dan menentramkan batin. Adam dan Gullotta (dalam Sarwono, 2000) pun mengemukakan bahwa agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi remaja yang sedang mencari eksistensi dirinya. Agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak sehingga merupakan bagian dari unsur-unsur kepribadiannya, akan cepat bertindak menjadi pengendali dalam menghadapi segala keinginan dan dorongandorongan yang timbul. Dengan begitu maka dapat dikatakan bahwa keyakinan beragama dapat berperan sebagai fungsi kontrol dalam diri individu. Pandangan ini dapat diperkuat dengan penelitian yang menyangkut hubungan locus of control dengan religiusitas. Silvestri (dalam Waruwu, 2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa individu yang merasa hidupnya tergantung kepada Tuhan tidak peduli terhadap kekuatan eksternal, seperti keberuntungan atau kekuatan orang lain, karena mereka mampu berperilaku mandiri dalam menentukan perilaku mereka (kontrol internal). Namun disisi lain, Jackson dan Coursey (dalam Waruwu, 2003) mengemukakan
hasil
penelitiannya
bahwa
ketergantungan
kepada Tuhan tidak dengan sendirinya menghalangi individu untuk mengembangkan kontol internal dalam dirinya untuk
9
menentukan perilaku. Dengan kata lain, tidak adanya korelasi antara kontrol pribadi (diri) dengan iman religius. Serangkaian uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat pendapat yang berbeda mengenai penyesuaian diri dengan status agama orang tua, maka berdasarkan hal itu penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian lebih jauh mengenai “perbedaan penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua”. Status agama orang tua yang dimaksud ialah orang tua beragama sama dan orang tua beda agama. RUMUSAN MASALAH Apakah ada perbedaan penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua ? TINJAUAN PUSTAKA Penyesuaian Diri Penyesuaian didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang kontinyu dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunianya. Selanjutnya Schneiders (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan penyesuaian diri sebagai satu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami di dalam dirinya. Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi keseimbangan penyesuaian diri individu, baik itu berupa faktor
10
internal maupun faktor eksternal. Menurut Schneiders (dalam Agustiani, 2009) dan Daradjat (1985), faktor internal tersebut meliputi: kondisi fisik (keturunan, kesehatan, bentuk tubuh), kematangan taraf perkembangan (intelektual, sosial, moral, dan emosional), psikologis (pengalaman individu, frustrasi, konflik, dan kecemasan). Sedangkan faktor eksternal meliputi: lingkungan (kondisi keluarga, kondisi rumah), dan budaya (adat istiadat dan agama) Menurut teori behavioral, perilaku manusia merupakan hasil pembentukan oleh faktor eksternal, yaitu melalui proses pembelajaran dari pengalaman di masa lalu. Seseorang dinilai mampu menyesuaikan diri dengan baik apabila dia berhasil menghadapi tuntutan hidup melalui perilaku yang telah dipelajari dan dia dinilai gagal menyesuaikan diri apabila perilaku yang dipelajari tersebut justru menghalangi dia dalam menghadapi tuntutan hidup. Namun, dengan mempertimbangkan aktivitas yang terjadi dalam diri individu seperti pikiran dan emosi, pandangan ini mengalami perkembangan. Cognitive behaviorism berpendapat bahwa perilaku merupakan suatu bentuk respon individu berdasarkan proses mental melalui cara dia mengartikan atau menafsirkan sesuatu. Individu akan dinyatakan mampu menyesuaikan diri dengan baik jika mampu menafsirkan peristiwa yang dialami dalam sikap yang realistik dan positif (sesuai nalar), sehingga perilaku yang dihasilkan akan lebih cenderung mengarah pada pemenuhan diri (self-fulfiling)
11
daripada mengalah atau menyerah (self-defeating) (Calhoun & Acocella, dalam Susanti, 2010). Disisi
lain,
aliran
humanistik
berpendapat
bahwa
penyesuaian diri tidak hanya berupa usaha untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan dengan cara yang sederhana (simply coping), tetapi juga untuk membangun seluruh potensi diri hingga utuh (Calhoun & Acocella, dalam Susanti, 2010). Bagi Rogers, prasyarat yang penting dalam pencapaian aktualisasi diri adalah adanya
konsep
memungkinkan
diri
yang
individu
luas
untuk
dan
fleksibel
menyerap
penuh
sehingga semua
pengalamannya dan mengekspresikan dirinya secara utuh (Calhoun & Acocella, dalam Susanti, 2010). Mahasiswa sebagai insan remaja Sebagai insan remaja yang berada pada rentang masa remaja akhir, mahasiswa mengalami hal serupa sebagaimana yang dialami setiap individu pada periode perkembangan tersebut. Batasan usia remaja pada penelitian ini difokuskan pada rentang usia 18-22 tahun (masa remaja akhir), yang didasarkan atas pandangan Konopka (dalam Agustiani, 2009). Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata adoloscere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1980). Piaget (dalam
Hurlock,
1980) mengartikan
istilah
remaja atau
adolescence dalam pengertiannya yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Karakteristik
12
remaja menurut Hurlock (1980) adalah sebagai periode yang penting, periode peralihan, periode perubahan, usia bermasalah, tahap pencarian identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, tahap yang tidak realistik, dan sebagai ambang masa dewasa. Selaku insan remaja, mahasiswa memiliki beberapa persoalan
yang sering
dihadapi
dalam
memenuhi
tugas
perkembangannya sebagai bagian dari civitas akademika, yaitu: (1) kesepian dalam menghadapi dunia dan masyarakat baru, yaitu dalam pemilihan jurusan, perguruan tinggi, daerah tempat belajar, penyesuaian dengan lingkungan baru, (2) kesiapan dalam mengatur diri sendiri yang meliputi pengaturan waktu belajar, menambah pengalaman, masalah disiplin diri, dan kebiasaankebiasaan yang baik, dan (3) kesiapan dalam menghadapi persaingan, baik dalam pergaulan, prestasi dan pengabdian di masyarakat (Meichati, dalam Djuwarijah, 2005). Penyesuaian diri yang baik dapat menjadi modal bagi mahasiswa untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapinya, khususnya dalam menggenapi tugas perkembangannya (Djuwarijah, 2005). Penyesuaian Diri Mahasiswa dengan Status Agama Orang Tua Sebagai insan remaja, mahasiswa seringkali mengalami hambatan
dalam
proses
penyesuaian
diri
dengan
tugas
perkembangan yang diembannya. Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi konsumen minuman yang memabukkan, pengedar dan
13
penyalahguna obat terlarang. Semua fakta ini merupakan contoh yang
menunjukkan
ketidakmampuan
mahasiswa
dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang terjadi dan semakin meningkatnya persaingan hidup (Djuwarujah, 2005). Untuk menghadapi kondisi tersebut, tidak jarang sebagian mahasiswa merasa membutuhkan suatu pedoman yang dapat menuntun mereka, salah satunya ialah nilai-nilai agama. Iman yang
dihayati
oleh
individu
memainkan
peranan
dan
memengaruhi individu dalam pilihan-pilihan dan pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukannya sehari-hari dan dalam proses penyesuaian dirinya (Waruwu, 2003). Nilai-nilai agama yang dimiliki oleh seorang anak, yang dapat membantunya dalam menjalani proses penyesuaian diri sangat dipengaruhi oleh bagaimana peran dari figur orang tua dalam membimbing dan membekali anak. DeVaus (dalam Waruwu, 2003) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kepercayaan religius remaja lebih dipengaruhi oleh orang tua daripada teman-teman sebayanya. Pandangan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hart (dalam Idrus, 2006) yang menyimpulkan bahwa peranan orang tua dan pola asuh yang dilaksanakan sangat penting dalam pembentukan komitmen keberagamaan remaja. Hal ini dapat berlaku, baik bagi orang tua yang beragama sama maupun orang tua beda agama. Pada pola asuh orang tua yang berbeda agama, fenomena yang seringkali terjadi adalah anak akan diperhadapkan pada dua
14
pilihan cara beragama. Hal ini membuat sang anak sulit untuk memutuskan pilihan keyakinan yang akan dijadikan sebagai pegangan hidupnya. Thomas (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) mengemukakan bahwa kebanyakan anak dari pernikahan beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orang tuanya. Hal inilah yang
merupakan
salah
satu
pemicu
terbentuknya
ketidakmatangan keberagamaan dalam diri anak yang akan berpengaruh terhadap perkembangan dirinya. Individu yang hidup dalam situasi keberagamaan yang kurang baik maka mereka tidak mampu menjadi manusia yang utuh. Demikian sebaliknya, individu yang perkembangan keberagamaannya baik akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat dan bahkan sempurna (Nashori, dalam Indirawati, 2006). Seperti yang
dikemukakan
oleh
Waruwu
(2003)
dalam
artikel
penelitiannya bahwa kaum remaja yang hidup sesuai dengan etika moral religiusnya pada umumnya memiliki kejelasan tujuan hidup dan mampu mengambil keputusan serta melaksanakan keputusan tersebut. Penelitian-penelitian di atas selaras dengan pandangan Daradjat (1982) yang mengemukakan bahwa agama dapat berfungsi untuk memberikan bimbingan dalam hidup, menolong dalam kesukaran, dan menentramkan batin. Agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak sehingga merupakan bagian dari unsur-unsur kepribadiannya, akan cepat bertindak
15
menjadi pengendali dalam menghadapi segala keinginan dan dorongan-dorongan yang timbul. METODE PENELITAN Kajian penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yang
bersifat
komparatif.
kuantitatif
Variabel
dengan
terikat
jenis
dalam
desain
penelitian
penelitian ini
ialah
penyesuaian diri. Penyesuaian diri pada penelitian ini diartikan sebagai suatu upaya untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan
oleh
lingkungannya.
Pengukuran
terhadap
penyesuaian diri dalam penelitian ini menggunakan Skala Penyesuaian Diri yang disusun oleh peneliti berdasarkan pada 20 ciri-ciri penyesuaian diri yang efektif menurut Lawton (dalam Hurlock, 1990), yaitu sebagai berikut: 1. Mampu dan bersedia menerima tanggung jawab yang sesuai dengan usianya. 2. Merasa gembira dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang sesuai dengan usianya. 3. Bersedia menerima tanggung jawab yang berhubungan dengan peran dirinya. 4. Segera menangani masalah yang menuntut penyelesaian. 5. Senang memecahkan masalah dan mengatasi berbagai hambatan yang mengancam kebahagiaan.
16
6. Mengambil keputusan dengan tenang, tanpa konflik, dan tanpa banyak meminta nasihat dari orang atau pihak lain. 7. Teguh pada pilihan yang telah ditetapkan. 8. Lebih banyak memperoleh kepuasan dari prestasi yang nyata daripada prestasi yang imajiner. 9. Dapat
menggunakan
pikiran
sebagai
alat
untuk
merancangkan suatu tindakan, bukan sebagai akal untuk menunda atau menghindari suatu tindakan. 10. Belajar dari kegagalan dan tidak mencari alasan untuk menjelaskan kegagalan. 11. Tidak membesar-besarkan keberhasilan. 12. Dapat menempatkan diri dengan situasi, yaitu mengetahui bagaimana bekerja bila saatnya bekerja dan bermain bila saatnya bermain. 13. Dapat
mengatakan
“Tidak”
dalam
situasi
yang
membahayakan kepentingan diri. 14. Dapat mengatakan “Ya” dalam situasi yang pada akhirnya akan menguntungkan diri. 15. Dapat menunjukkan amarah secara langsung apabila tersinggung atau apabila haknya dilanggar, akan tetapi dengan cara yang sesuai yang dapat diterima oleh orang lain. 16. Dapat menunjukkan rasa kasih sayang secara langsung dengan cara dan komposisi yang sesuai. 17. Dapat menahan frustasi emosional.
17
18. Dapat berkompromi apabila menghadapi kesulitan. 19. Dapat memusatkan energi pada tujuan-tujuan yang penting. 20. Menerima kenyataan bahwa hidup adalah perjuangan yang tidak kunjung berakhir. Kemudian yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini ialah status agama orang tua (orang tua beragama sama dan orang tua beda agama). Yang dimaksud dengan orang tua beragama sama adalah pasangan suami istri yang berasal dari pernikahan satu agama atau pernikahan antara dua individu yang memeluk agama atau iman yang sama. Sedangkan yang dimaksud dengan orang tua beda agama adalah pasangan suami istri yang berasal dari pernikahan beda agama atau pernikahan antara dua individu yang memeluk agama atau iman yang berbeda. Status agama orang tua dapat diketahui melalui pengisian lembar identitas subjek. Sampel Penelitian dan Sampling Penelitian Sampel dalam penelitian ini berjumlah 71 orang, yang dibagi menjadi dua kelompok sampel. Kelompok sampel pertama yang berjumlah 38 orang adalah Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang berusia 18-22 tahun yang menuntut ilmu di jurusan ilmu sosial dan berdomisili bersama orang tua (tidak tinggal terpisah, misalnya tinggal dengan saudara, teman atau kost), serta memiliki orang tua beragama sama. Sedangkan kelompok sampel kedua yang berjumlah 33 orang adalah
18
Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang berusia 18-22 tahun yang menuntut ilmu di jurusan ilmu sosial dan berdomisili bersama orang tua (tidak tinggal terpisah, misalnya tinggal dengan saudara, teman atau kost), serta memiliki orang tua beda agama. Yang dimaksudkan dengan fakultas jurusan ilmu sosial ialah Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi, Fakultas Bahasa dan Sastra, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Hukum, dan Fakultas Seni dan Pertunjukan. Penetapan latar belakang mahasiswa yang menuntut ilmu di jurusan ilmu sosial tersebut merupakan salah satu upaya penulis
untuk
mempersempit
populasi
sehingga
dapat
mempermudah penulis dalam proses pengambilan sampel. Kemudian teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan snowball sampling (sampel bola salju). Cara ini baik digunakan ketika peneliti tidak banyak mengetahui mengenai populasi penelitiannya (Peni, 2007). METODE PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan satu skala psikologi, yaitu Skala Penyesuaian Diri. Skala ini bertujuan untuk mengungkap ada-tidaknya perbedaan penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua. Pengambilan data dilakukan di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Kota Salatiga, Jawa Tengah. Dalam penelitian ini, pengambilan data menggunakan try out terpakai.
19
Skala psikologi ini mengungkapkan 20 ciri-ciri penyesuaian diri yang efektif, yang terdiri dari 50 item yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu 25 item favourable (pernyataan atau item yang mendukung teori) dan 25 item unfavourable (pernyataan atau item yang tidak mendukung teori), di mana jawaban dari setiap item instrumen tersebut dinilai menggunakan Skala Likert yang mempunyai gradasi (tingkat penilaian) dari sangat positif sampai sangat negatif, yang berupa kata-kata antara lain: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Respon subjek pada penelitian ini diberikan bobot masingmasing sebagai berikut (lihat tabel 1): Tabel 1 (Bobot Penilaian Skala Penyesuaian Diri) a. Untuk jenis pernyataan favourable: Respon Subjek Sangat Sesuai (SS) Sesuai (S) Tidak Sesuai (TS) Sangat Tidak Sesuai (STS)
Bobot Skor 4 3 2 1
b. Untuk jenis pernyataan unfavourable: Respon Subjek Sangat Sesuai (SS) Sesuai (S) Tidak Sesuai (TS) Sangat Tidak Sesuai (STS)
Bobot Skor 1 2 3 4
20
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tahap pengumpulan data Proses pengumpulan data dimulai dengan menyusun survei identitas untuk mendapatkan informasi mengenai identitas diri mahasiswa, meliputi identitas diri mahasiswa (nama lengkap, nomor induk mahasiswa (NIM), fakultas/penjurusan, jenis kelamin, usia, anak ke-dari bersaudara, agama, alamat asli, alamat e-mail) dan identitas orang tua (ayah-ibu; usia, agama, asal suku, alamat, pekerjaan). Survei identitas tersebut disebarkan kepada salah satu fakultas yang dijadikan sebagai target pertama dalam populasi penelitian, yaitu Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), hal ini didasari atas pertimbangan kemudahan bagi penulis dalam mendapatkan ijin dari dosen untuk menyebarkan survei tersebut pada saat proses belajar-mengajar di kelas, di mana pemilihan penyebaran survei pada saat proses belajar-mengajar dilandaskan atas pemikiran bahwa jumlah penjaringan mahasiswa akan lebih banyak diperoleh pada saat proses belajar di kelas sehingga data yang diperoleh pada proses survei pun menjadi lebih optimal. Setelah melakukan penyebaran survei, penulis segera menghubungi para responden survei tersebut untuk memohon kesediaan mereka agar menjadi subjek dalam penelitian ini.
21
Uji Validitas Skala Penyesuaian Diri Validitas
Skala
Penyesuaian
Diri
dicari
dengan
menggunakan kriteria dalam, yaitu dengan cara menggunakan korelasi antara skor item dengan skor total item. Teknik statistik yang digunakan adalah korelasi Product Moment dari Pearson dengan bantuan program komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows Version 16.0. Kriteria validitas item didasarkan pada besarnya korelasi yang diperoleh. Berdasarkan pengujian
yang dilakukan sebanyak 3 kali
didapatkan koefisien validitas yang bergerak antara 0.269 (item 24) sampai dengan 0.632 (item 38). Dalam penghitungan ini terdapat 16 item yang gugur karena tidak memenuhi standar validitas yang ditetapkan ( 0.25). Item tersebut adalah item nomor 2, 4, 9, 10, 15, 16, 17, 21, 25, 26, 29, 31, 35, 41, 47, 50. Uji Reliabilitas Skala Penyesuaian Diri Uji reliabilitas Skala Penyesuaian Diri dilakukan dengan menggunakan analisis teknik Alpha Cronbach dan diolah dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows Version 16.0. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh reliabilitas sebesar 0.884 dari 34 item yang berarti bahwa Skala Penyesuaian Diri ini tergolong reliabel. Sebelum memasuki tahap pengujian reliabilitas Alpha Cronbach tersebut, peneliti telah melakukan terlebih dahulu uji reliabilitas alat ukur
22
dengan metode split halve, yaitu pada proses penyajian alat ukur (penempatan penyebaran item tes). Deskripsi Hasil Pengukuran Variabel Penelitian Hasil perhitungan statistik pada penelitian ini menghasilkan data bahwa mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama (sampel kelompok 1) memiliki mean: 103.71. Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki orang tua beda agama (sampel kelompok 2) memiliki mean: 99.48. Berdasarkan analisa deskriptif pada Skala Penyesuaian Diri dapat ditentukan lima kategori tingkat penyesuaian diri, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Analisa tersebut menunjukkan bahwa baik mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama maupun orang tua beda agama memiliki penyesuaian diri yang tergolong tinggi. Penyesuaian diri pada mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama memiliki presentase sebesar 71.05 % dan penyesuaian diri pada mahasiswa yang memiliki orang tua beda agama memiliki presentase sebesar 69.70 %. Analisa Data Uji Beda Uji beda rata-rata yang digunakan dalam penelitian ini adalah independent sample t-test, yaitu uji signifikansi dua mean yang berasal dari dua distribusi yang tidak saling berhubungan. Dari hasil perhitungan uji beda (Uji-t) dapat diketahui bahwa
23
nilai t-hitung adalah sebesar 1.833 dengan signifikansi sebesar 0.71(p>0.05). Dengan tingkat Alpha 5 %, maka diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan penyesuaian diri yang signifikansi diantara mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama dengan mahasiswa yang memiliki orang tua beda agama. Proses analisa data pada penelitian ini menggunakan program komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows Version 16.0. Namun, sebelum melakukan proses analisa statistik berupa uji beda rata-rata, penulis terlebih dahulu melakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan homogenitas yang merupakan syarat untuk melakukan uji beda rata-rata. Uji Normalitas Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
normalitas
Kolmogrov-Smirnov
yang
diolah
dengan
menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows Version 16.0. Hasil yang diperoleh adalah p=0.281 pada sampel mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama dan p=0.915 pada sampel mahasiswa yang memiliki orang tua beda agama. Kedua nilai p tersebut memiliki nilai >0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa kedua kelompok sampel memiliki distribusi normal.
24
Uji Homogenitas Berdasarkan uji homogenitas dengan menggunakan teknik Levene’s Test, diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0.894 (p>0.05), yang berarti bahwa data yang diperoleh dari populasi memiliki varian yang sama atau homogen. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa data penelitian
mengenai
perbedaan penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua (orang tua beragama sama dan orang tua beda agama) dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows Version 16.0, diperoleh t-hitung sebesar 1.833 dengan signifikansi 0.71>0.05 yang artinya hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ditolak. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua (orang tua beragama sama dan orang tua beda agama). Hal ini ditunjukkan melalui perolehan hasil tingkat penyesuaian diri, di mana baik mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama maupun orang tua beda agama, berada pada kategori tingkat penyesuaian diri yang sama, yaitu kategori tinggi. Individu dengan penyesuaian diri yang tinggi dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang positif, yang berarti bahwa individu tersebut mampu untuk bertindak secara efektif
25
dalam mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan dari pikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan perilaku dalam menghadapi tuntutan dirinya dan masyarakat, serta kemampuan untuk menemukan manfaat dari situasi baru dalam memenuhi segala kebutuhan secara sempurna dan wajar (Sunarto & Hartono, (dalam Kertamuda & Herdiansyah, 2009). Hasil penelitian ini membuktikan hal yang berlawanan dengan
hipotesis
yang
dikemukakan
oleh
penulis
yang
menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua (orang tua beragama sama dan orang tua beda agama), yaitu bahwa penyesuaian diri dari mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama lebih baik daripada mahasiswa yang memiliki orang tua beda agama. Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada penyesuaian diri mahasiswa yang ditinjau dari status agama orang tua tersebut dapat dimungkinkan karena terdapat beberapa faktor lain yang dapat memengaruhi penyesuaian diri individu, selain faktor agama sebagai salah satu faktor internal yang bersumber dalam diri individu (Schneiders, dalam Agustiani, 2009). Hal tersebut dapat meliputi faktor eksternal yang bersumber dari lingkungan, faktor internal lainnya, maupun faktor hasil uji statistik atau pengolahan data secara statistik. Salah satu faktor eksternal yang dapat menyebabkan tidak adanya perbedaan penyesuaian diri remaja yang ditinjau dari
26
status agama orang tua ialah kondisi keluarga sebagai faktor lingkungan. Suasana hidup dalam keluarga yang merupakan salah satu dunia sosial mahasiswa selaku insan remaja, akan sangat berpengaruh terhadap taraf permulaan perkembangan anak dan proses penyesuaian dirinya. Keutuhan keluarga dan keserasian yang menguasai suasana rumah tangga merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi proses penyesuaian diri anak hingga tahap pembentukan kepribadian anak. Di mana orang tua adalah pihak utama yang bertanggung jawab untuk memberikan perhatian kepada perkembangan anak, hal ini berlaku baik kepada orang tua yang beragama sama maupun orang tua beda agama. Perhatian tersebut dapat berwujud pengasuhan orang tua. Anak dalam pernikahan beda agama dapat tetap mampu mengalami proses penyesuaian diri yang baik jika orang tua mampu memilih dan menerapkan pendidikan yang tepat kepada anak, termasuk dalam hal pendidikan agama yang akan berhubungan dengan komitmen beragama anak, di mana pendidikan agama yang sesuai dapat membantu anak untuk mencapai komitmen beragama yang baik, dan hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan dirinya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa agama merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri individu (Schneiders, dalam Agustiani, 2009). Pandangan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh
Hikmatunnisa
dan
Takwin
(2007)
yang
27
menunjukkan bahwa komitmen beragama anak dari orang tua beda agama tidak berbeda dengan anak dari orang tua seagama. Hal ini dikarenakan faktor pola pemilihan dan pendidikan agama yang tepat yang diberikan oleh orang tua dapat mendukung tercapainya komitmen beragama anak. Faktor lainnya adalah kematangan perkembangan diri individu dan faktor psikologis, inilah faktor-faktor internal lainnya yang dapat memungkinkan tidak adanya perbedaan penyesuaian diri (Schneiders, dalam Agustiani, 2009). Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua atau pengalaman yang dialami oleh anak dalam lingkungan keluarga dan ketika individu berinteraksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya, semua hal itu akan memengaruhi pembentukan kematangan dan perkembangan dirinya, termasuk perkembangan psikologisnya. Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Schneiders (dalam Putri, dkk, 2009) bahwa pada prinsipnya olah dasar penyesuaian diri dibentuk oleh lingkungan sosial pertama individu, yaitu keluarga. Walaupun terdapat perbedaan agama diantara kedua orang tua, namun ketika orang tua mampu untuk membina sang anak hingga mampu menjadi pribadi yang memiliki kematangan dalam perkembangan intelektual, sosial, moral, dan emosional, maka kematangan menghantarkan
dalam
perkembangan
individu
menjadi
menyesuaikan diri dengan baik.
diri pribadi
tersebut yang
akan mampu
28
Bukan hanya itu saja, ketika dalam proses menuju kematangan diri tersebut (yakni pengalaman-pengalaman diri saat menghadapi berbagai konflik, frustrasi, dan kesulitan hidup), seseorang dapat belajar dari setiap pengalaman tersebut hingga mampu mengarahkan dorongan-dorongan dalam dirinya dengan cara yang tepat maka dengan demikian tidak dapat disangkali, penyesuaian diri individu tersebut dapat menjadi lebih baik. Pandangan ini sesuai dengan pandangan teori behavioral yang menyatakan bahwa seseorang dinilai mampu menyesuaikan diri dengan baik apabila dia berhasil menghadapi tuntutan hidup melalui perilaku yang telah dipelajari dan dia dinilai gagal menyesuaikan diri apabila perilaku yang dipelajari tersebut justru menghalangi dia dalam menghadapi tuntutan hidup (Calhoun & Acocella, dalam Susanti, 2010). Pandangan ini dapat memperkuat hasil penelitian ini bahwa status agama orang tua tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap penyesuaian diri anak, jika sang anak mampu memahami akan kekuatan dan kelemahan dalam dirinya dan dapat menyelaraskan dirinya dengan tuntutan dari lingkungan dan kebutuhan dirinya. Kemudian faktor berikutnya yang dapat memungkinkan tidak adanya perbedaan penyesuaian diri ialah faktor pengolahan data secara statistik atau hasil uji data secara statisik. Menurut Widhiarso (2011), jika teori yang melandasi hipotesis yang diajukan cukup kuat, namun hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada data yang diuji, hasil
29
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, meliputi: (1) Adanya outliers; (2) Model yang tidak sesuai; (3) Ukuran sampel kecil: (4) Pengaruh variabel intervening; (5) Prasyarat analisis yang tidak dipatuhi; (6) Perbedaan konteks; dan (7) Alat ukur yang kurang valid dan reliabel. Pada kajian penelitian ini, beberapa hal dari faktor pengujian data secara statistik yang dapat dimungkinkan menjadi penyebab
tidak
terdapatnya
perbedaan
penyesuaian
diri
mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua ialah karena adanya pengaruh dari variabel intervening dan adanya perbedaan konteks (karakteristik sampel penelitian). Misalnya pada perihal adanya perbedaan konteks. Banyak konteks yang dapat memengaruhi hasil uji statistik yang tidak signifikan, seperti faktor karakteristik sampel, variabel yang diteliti, level atau kategori skor, atau desain penelitian (Widhiarso, 2011). Demikian halnya pada kajian penelitian ini, jika kembali mencermati pada beberapa faktor internal maupun faktor eksternal yang dapat memengaruhi
penyesuaian
diri
individu
maka
dapat
dipertimbangkan bahwa penetapan karakteristik sampel yang kurang terperinci dapat dimungkinkan sebagai salah satu penyebab diperolehnya hasil uji statistik yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan, misalnya kurang adanya kontrol terhadap faktor budaya atau istiadat dari subjek penelitian.
30
Berikutnya ialah perihal pengaruh variabel intervening. Hubungan antara penyesuaian diri dan status agama orang tua (perbedaan penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua-orang tua beragama sama dan orang tua beda agama), secara tidak langsung memiliki dasar teori yang kuat, yakni berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang ditemukan penulis dan beberapa fenomena secara umum yang nampak. Akan tetapi, setelah diuji secara statistik ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dimungkinkan karena adanya faktor lain yang memengaruhi perbedaan penyesuaian diri individu, selain faktor agama, dalam hal ini ialah status agama orang tua. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa faktor lingkungan, yaitu kondisi keluarga (faktor eksternal) dan faktor kematangan perkembangan diri individu dan faktor psikologis (faktor internal) dapat dimungkinkan berperan sebagai variabel mediator yang turut mengantarai hubungan antara penyesuaian diri dan status agama orang tua. Akan tetapi, meskipun penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan penyesuaian diri mahasiswa yang ditinjau dari status agama orang tua, namun generalisasi hasil penelitian ini masih terbatas pada subjek penelitian dari populasi yang serupa.
31
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
mengenai
perbedaan
penyesuaian diri mahasiswa ditinjau dari status agama orang tua, diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan penyesuaian diri pada masiswa ditinjau dari status agama oran tua (orang tua beragama sama dan orang tua beda agama). Sebagian besar mahasiswa yang memiliki orang tua beragama sama (71.05 %) memiliki tingkat penyesuaian diri yang tergolong tinggi, demikian juga sebagian besar mahasiswa yang memiliki orang tua beragama berbeda (69.70 %) memliki tingkat penyesuaian diri yang tergolong tinggi. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi orang tua, diharapkan pengasuhan yang diterapkan dan pendidikan yang diberikan dapat mencakup setiap aspek kehidupan anak (fisik, psikologi, sosial dan spiritual) sehingga perkembangan diri anak dapat berlangsung dengan baik. 2. Bagi pasangan yang belum menikah, baik untuk pasangan yang beragama sama maupun beda agama, diharapkan dapat lebih membekali diri dalam pemahaman pembinaan keluarga, yakni dalam memahami akan pentingnya kondisi lingkungan keluarga yang kondusif yang akan berpengaruh
32
terhadap setiap anggota keluarga, khususnya perkembangan diri anak yang dipengaruhi oleh konsekuensi dari proses penyesuaian dirinya. 3. Bagi pendidik/konselor, diharapkan agar menindaklanjuti penelitian atau hasil penelitian ini sehingga dapat lebih memahami berbagai hal yang dapat memengaruhi proses penyesuaian diri individu dalam proses mengajar dan bimbingan konseling kepada setiap individu dan keluarga. Pengembangan secara konkrit salah satunya ialah pada pengembangan alat ukur penyesuaian diri sesuai dengan kajian permasalahan yang terkait. 4. Bagi subjek (mahasiswa), sadarilah bahwa setiap individu memiliki
kesempatan
yang
sama
untuk
dapat
mengembangkan diri menjadi lebih baik, di mana hal ini ditunjang melalui pemahaman diri yang tepat serta kepemilikian keterampilan penyesuaian diri yang baik yang akan berpengaruh terhadap proses interaksi sosial dengan lingkungan di sekitar. Walaupun keluarga, khususnya yaitu orang tua, sebagai agen sosialisasi pertama yakni pendidik atau pengasuh pertama dalam kehidupan setiap anak, akan tetapi pada akhirnya kita sendirilah (individu) yang akan bertanggung
jawab
terhadap
kehidupan
kita
kelak.
Kenalilah diri dengan baik atau milikilah pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan dalam diri; latihlah diri untuk mampu mengarahkan dorongan-dorongan dari dalam
33
diri (mengendalikan diri) dengan tepat sehingga dapat menanggapi segala macam konflik, kesulitan masalah hidup, dan rasa frustrasi dalam menjalani hidup; serta bentuklah hubungan interpersonal yang baik agar dapat menjadi pribadi yang mampu menyelaraskan diri dengan kebutuhan diri dan tuntutan lingkungan. 5. Bagi
penelitian
selanjutnya,
diharapkan
dapat
mengembangkan penelitian misalnya dengan melakukan pengkategorian karakteristik subjek dengan lebih terperinci, yaitu pada jenis kelamin dan asal suku budaya (adat istiadat). Atau diterapkan pada subjek penelitian dengan kategori usia yang berbeda. Selain itu, dalam pengumpulan data, ada baiknya menggunakan metode selain kuantitatif yaitu kualitatif, baik dengan cara wawancara maupun observasi langsung agar hasil yang didapatkan lebih variatif dan mendalam. Atau dapat memvariasikan kedua metode tersebut sehingga dapat yang diperoleh data yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan (pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja). Bandung: PT Refika Aditama. Daradjat, Z. (1982). Peranan agama dalam kesehatan mental. Jakarta: PT Gunung Agung. -------(1985). Kesehatan mental. Jakarta: PT Gunung Agung. Djuwarijah, D. (2005). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan penyesuaian diri mahasiswa FIAI angkatan 2002/2003 tahun pertama. Jurnal Fenomena, 3, 2, 110-118. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hikmatunnisa, M., & Takwin, B. (2007). Pengaruh perbedaan agama orang tua terhadap psychological well-being dan komitmen beragama anak. Jps, 13, 2, 157-165. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan edisi kelima. Jakarta: Erlangga. -------(1990). Child development sixth edition (perkembangan anak jilid 2-edisi keenam). Jakarta: Erlangga. Idrus, M. (2006). Keraguan kepada tuhan pada remaja. Jurnal Psikologi, XI, 21, 1-27.
34
35
Indirawati, E. (2006). Hubungan antara kematangan beragama dengan kecenderungan strategi coping. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 3, 2, 69-92. Semarang: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII. Kertamuda, F., & Herdiansyah, H. (2009). Pengaruh strategi coping terhadap penyesuaian diri mahasiswa baru. Jurnal Universitas Paramadina, 6, 1, 11-23. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Paramadina. Lestari, P., Terry, I., & Nur, H. Pelatihan pola asuh anak dalam keluarga pada masyarakat di kampung jlagran. Program studi pendidikan sosiologi, FISE UNY. Diakses 20 Januari 2011, dari http://eprints.uny.ac.id/1311/1/ARTIKEL_PPM_POLA_AS UH_ANAK.doc. Mutadin, Z. (2002). Penyesuaian diri remaja. Diakses 18 September 2011, dari http://www.epsikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=390 Peni. (2007). Teknik sampling. Diakses 26 Juli 2011 dari http://peni.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/10796/Tek nik+Sampling.pdf Putri, A. R., Indrawati, E. S., & Masykur, A. M. (2009). Hubungan antara persepsi terhadap dukungan sosial orang tua dengan penyesuaian diri dalam penyusunan skripsi pada mahasiswa fakultas psikologi universitas diponegoro. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Sarwono. (2000). Psikologi remaja. Jakarta: PT Raja Raja Grafindo Persada.
36
Susanti, H. D. A. (2010). Penyesuaian diri janda etnis jawa. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Waruwu, F. E. (2003). Perkembangan kepribadian dan religiusitas remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi “ARKHE”, Th 8, 1, 29-39. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara. Widhiarso, W. (2011). Mengapa hasil uji statistik tidak signifikan. Diakses 15 Mei 2012, dari http://wahyupsy.blog.ugm.ac.id/2011/06/07/hasil-ujistatistik-tidak-signifikan-mengapa/