Pendahuluan Menurut Azyumardi Azra, jaringan ulama Nusantara dan Dunia Islam tidak hanya di wilayah yang sekarang dikenal dengan Timur Tengah, tetapi juga mencakup Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Oleh karena itu, Azra berargumentasi bahwa Islam Indonesia sangat kosmopolitan; terkait dengan dinamika dan perkembangan Islam di wilayah-wilayah lain Dunia Muslim, sehingga Islam di Indonesia tidak berkembang secara terpisah. Sayangnya, biografi ulama Nusantara secara lengkap masih sangat langka. Salah seorang pioner penulis buku biografi ulama Nusantra adalah Sirajuddin Abbas yang menulis Ṭabaqāt al-Syāfi’iyyah dan mulai muncul semacam ‘kamus biografi ulama’ mulai abad ke-17. Genre literatur tarajim (biografi) para ulama Nusantara sangat dibutuhkan. Kebutuhan itu bukan hanya untuk mengetahui biografi ulama tersebut, tetapi juga untuk merekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam. 1 Belakangan ini, kajian tentang ulama dan tokoh di Indonesia telah diakukan oleh berbagai kalangan akademisi dengan pendekatan dan disiplin keilmuan yang beragam. Secara umum, berbagai kajian dan penelitian itu telah membuktikan tingginya peran dan posisi ulama dan tokoh agama dalam perkembangan budaya, dakwah keagamaan, transmisi keilmuanpendidikan keagamaan, perubahan sosial, dan pertumbuhan lembaga-lembaga keagamaan, dan pembentukan corak pemikiran keagamaan masyarakat sekitar. Bahkan, para ulama dan tokoh 1
Azyumardi Azra, “Pengantar” dalam Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi, (Jakarta: Jakarta Islamic Centre, 2011), h. xiv-xvi.
1
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
agama juga dipandang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan karakter bangsa, perjuangan kemerdekaan, perkembangan politik lokal, dan pengembangan wacana keagamaan di masyarakat. Sedemikian tingginya peran pengaruh agama bagi masyarakat sekitar, sampai-sampai kehidupannya memiliki pengaruh terhadap sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sebagainya. Tentang pentingnya peran ulama dalam pembentukan corak keagamaan, transmisi keilmuan Islam, perkembangan pendidikan keagamaan dan lembaga sosial dan dakwah, tampak dari berbagai buku biografi ulama dan tokoh agama yang ditulis dalam beberapa dekade terakhir ini. Untuk sekadar menyebut beberapa di antaranya adalah: Biografi K.H. Zarkasyi (pendiri pesantren Darussalam, Gontor), K.H. E. Muttaqin (Ketua MUI Jawa Barat), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Prof. Dr. Hamka (ulama, mufassir, budayawan, sejarahwan), Prof. Dr. Harun Nasution (pembaharu Islam, Rektor IAIN [UIN] Jakarta), K.H. Saifuddin Zuhri (mantan menteri Agama, tokoh NU), dan sederet ulama dan tokoh agama lainnya. Dalam konteks penulisan biografi ulama dan tokoh agama Jakarta, antara lain dapat disebut buku yang ditulis oleh Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Abad ke-19 sampai Abad ke-21, (Februari, 2011) dan tulisan Ahmad Fadli HS yang menyusun buku Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20 (Mei, 2011). Fenomena penulisan dan penerbitan biografi ulama dan tokoh agama secara nasional ini jelas patut disambut gembira. Dengan demikian, sisi kehidupan sang tokoh, pemikiran keagamaan, karya intelektual, dan pelbagai aspek kehidupannya dapat dikenali dan memiliki jejak yang jelas bagi perjalanan sejarah pemikiran dan keagamaan di Indonesia. Sayangnya, tidak semua tokoh agama dan ulama dapat dikenali jejak pemikiran dan pengaruhnya. Celakanya, tidak sedikit ulama dengan pengaruh yang besar bagi pembentukan corak keagamaan masyarakat dan pendidikan Islam – karena tidak tersedia tulisan tentangnya— yang tidak lagi dikenali sejarah dan perannya bagi perkembangan keagamaan. Dalam konteks inilah, perlu disusun biografi ulama dan tokoh agama lokal yang dipadang memiliki pengaruh besar 2
bagi pembentukan corak pemikiran keagamaan, memiliki jasa yang tidak kecil terhadap perkembangan lembaga keagamaan dan institusi pendidikan, memiliki karya intelektual yang patut dibanggakan dalam bidang keislaman, serta menjadi tokoh panutan bagi pembentukan watak keulamaan di tingkat lokal dan nasional. Salah satu ulama yang lokal yang memiliki peran yang signifikan bagi pengembangan dakwah dan pendidikan di Indonesia adalah K.H. Abdullah Syafi’ie. Ulama ini mengalami masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang dan tinggal di pusat pergolakan dan perjuangan kemerdekaan di Jakarta. Beliau tidak pernah sekolah di Timur Tengah, bahkan dapat dikatakan tidak pernah keluar dari wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) untuk belajar, namun keulamaannya setara dengan ulama-ulama Nusantara di jamannya. K. H. Abdullah Syafi'ie adalah ulama yang berani mengatakan benar itu benar dan salah itu salah, seperti menetang masalah perjudian (kebijakan lokalisasi perjudian oleh Ali Sadikin, pen.). Sangat merakyat, pendiriannya kuat, dan ilmunya tinggi. Beliau tidak radikal tetapi tegas. “Keras dalam pendirian tetapi tidak radikal.” 2 Selain itu, beliau dapat disebut sebagai ulama yang berpaham Ahlussunnah Waljama’ah (Nahdlatul Ulama) dalam paham keagamaan tetapi berpikiran Muhammadiyah dari segi pengembangan dakwah dan pendidikan dalam merespons modernisasi. Masalah pokok yang dibahas dalam buku adalah bagaimana latar belakang sosial historis dan keagamaan serta kiprah K.H. Abdullah Syafi’ie? Apa saja warisan intelektual dan lembaga pendidikan keagamaan K.H. Abdullah Syafi’ie? Dan bagaimana pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam pengembangan dakwah dan pendidikan Islam? Dengan demikian, buku ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang sosial historis dan keagamaan serta kiprah K.H. Abdullah Syafi’ie; warisan intelektual dan lembaga pendidikan keagamaan beliau; pemikirannya dalam bidang dakwah dan 2
H. M. Yusuf Kalla, “K.H. Abdullah Syafi’ie Ulama Yang Merakyat, Keras, Tetapi Tidak Radikal” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), KH. Abdullah Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim,” (Jakarta: Univeristas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 3
3
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
pendidikan Islam; dan secara akademik, tulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan perkembangan Islam di Betawi atau Jakarta pada masa-masa akhir penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Masa Kemerdekaan, Pascakemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru. Lebih khususnya menyangkut peran dan kipra ulama Betawi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi bagi ummat Islam masa kini dalam memilih metode dakwah dan pendidikan dalam rangka menjadikan Islam sebagai solusi bagi permasalahan masyarakat modern; dan secara praktis, buku ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah, khususnya kementerian agama, dalam melakukan pembinaan masyarakat menuju masyarakat seutuhnya, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dinaungi oleh keberkahan dan rahmat dari Allah Swt. Sebetulnya, tulisan mengenai K.H. Abdullah Syafi’ie sudah cukup banyak yang mengungkap berbagai hal, seperti riwayat hidup, pemikiran, dan kiprahnya sebagai ulama. Tulisan-tulisan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, buku yang disunting oleh Hj. Tutty Alawiyah berjudul K.H. Abdulllah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985 yang diterbitkan oleh Yayasan Alawiyah Jakarta tahun 1999. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dengan penulis Hj. Tuti Alawiyah, Utomo Dananjaya, Badaruzzaman, Sulastomo, dan Adi Badjuri. Dalam buku tersebut, Hj. Tuti Alawiyah menyatakan bahwa ayahnya (K.H. Abdullah Syafi’ie) bukan saja sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai pengabdi pada dunia pendidikan Islam. Ia mengelola dan mengembangkan madrasah/pesantren dari tahun ke tahun dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia mendidik para siswa baik laki-laki maupun perempuansebagai kader-kader yang pada waktu itu disebut sebagai musā’id-musā’idah (para penolong). Mereka inilah yang kelak menjadi ustaz dan ustazah. K.H. Abdullah Syafi’ie adalah seorang guru yang tawaduk dan di setiap kesempatan selalu mengatakan bahwa dirinya adalah khādim al-ṭalabah (pelayan para siswa). Pendidikan pesantren yang diselenggarakan sangat beragam, ada pesantren putra dan putri, pesantren tradisional, dan pesantren khusus yatim.
4
Dalam buku tersebut, Utomo Dananjaya menulis artikel dengan judul “K.H. Abdullah Syafi’ie - Khādimutthalabah Perguruan Al-Syāfi’iyah (Kharismatik dan Rendah Hati). Dananjaya memastikan sebutan Khādim al-Ṭalabah (pelayan para siswa) kepada K.H. Abdullah Syafi’ie. Dalam tulisan tersebut diketahui bahwa K.H. Abdullah Syafi’ie sendiri karena rendah hatinya tidak berkenan menempelkan huruf “K” (singkatan dari Kiai) di depan namanya. Sehari-hari ia menyebut dirinya sebagai ustaz kepada murid dan jamaahnya. Sifat kerendahan hati itulah yang menjadikan K.H. Abdullah Syafi’ie mendapatkan kepercayaan dari berbagai kalangan. Sementara Badaruzzaman dalam tulisannya yang berjudul “Goresan dan Kumpulan Tulisan” menggambarkan bahwa K.H. Abdullah Syafi’ie hingga usianya 70-an dihabiskan untuk dakwah islamiyah. Beliau telah membangun masjid, musalla, dan langgar. Beliau juga membangun pesantren, madrasah, dan tempat kegiatan keagamaan lainnya. Berbagai komentar tokoh, seperti HAMKA, Yunan Nasution, Osman Raliby, dan K.H. Hasan Basri, juga ditampilkan dalam tulisan ini. Sulastomo dalam artikelnya “K.H. Abdullah Syafi’ie” menuliskan kekagumannya kepada beliau karena walaupun sangat sibuk tetapi tetap mau menerima tamu walaupun sebentar. Dan tulisan terakhir dari Adi Badjuri dengan judul “K.H. Abdullah Syafi’ie” menjelaskan beberapa isi ceramah beliau yang pernah diikutinya. Badjuri juga menjelaskan bahwa setiap pagi, siang, sore, dan malam, K.H. Abdullah Syafi’ie duduk bersila membaca kitab al-Naā’iḥ alDīniyyah, Tafsīr Jalālain, dan Riyāḍ al-Ṣāliḥīn. Kedua, disertasi yang ditulis oleh Hasbi Indra pada program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie tentang Pendidikan Pesantren dan Praksisnya,” tahun 2003. Selanjutnya, disertasi tersebut diterbitkan oleh Penamadani Jakarta tahun 2003 dengan judul Pesantren dan Transformasi Sosial: Studi atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam. Berdasarkan judulnya, buku ini menguraikan pendidikan pesantren dalam perspektif K.H. Abdullah Syafi’ie yang meliputi tujuan, materi, dan metode pendidikan; karekter pendidik dan perilaku anak didik; serta lembaga pendidikan. Selain itu, buku ini juga menyajikan riwayat hidup dan kepribadian K.H. Abdullah 5
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Syafi’ie, kiprah dan peranannya dalam perkembangan Islam di Jakarta, serta lembaga pendidikan Pesantren Al-Syafi’iyah yang dibinanya. Ketiga, buku yang ditulis oleh Abuddin Nata dengan judul Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia yang diterbitkan oleh Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 2005. Dalam buku ini, secara sekilas dijelaskan tentang ketokohan K.H. Abdullah Syafi’ie dalam pembaruan pendidikan di Indonesia. Keempat, sebuah tesis magister yang ditulis oleh Nur Rahmah dengan judul Model Pendekatan Dakwah K.H. Abdullah Syafi'ie pada pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005. Tulisan ini menyoroti beberapa pendekatan yang digunakan oleh K.H. Abdullah Syafi'ie dalam berdakwah, mulai dari pendekatan tradisional hingga pemanfaatan teknologi informasi modern. Kelima, buku yang disunting oleh Hj. Tuti Alawiyah yang berjudul Kepemimpinan dan Keteladanan K.H. Abdullah Syafi’ie, diterbitkan oleh Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta tahun 2010. Buku ini khusus menyoroti bagaimana gaya kepemimpinan K.H. Abdullah Syafi’ie dalam mengelola perguruan as-Syafi’iyah dan kepribadiannya. Di dalamnya juga terdapat berbagai komentar ulama, tokoh masyarakat, para dosen, santri, dan jama’ah yang pernah berguru kepada beliau. Keenam, buku K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial yang juga disunting oleh Hj. Tuti Alawiyah dan diterbitkan oleh Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta tahun 2010. Ketujuh, buku yang juga disunting oleh Hj. Tuti Alawiyah dengan judul K.H. Abdullah Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan. Buku ini juga diterbitkan oleh Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta tahun 2010. Buku ini berisi berbagai komentar para tokoh dan sahabat K.H. Abdullah Syafi’ie, yaitu: Jusuf Kalla, Tri Sutrisno, K.H. Ali Yafie, K.H. Syatiri Ahmad, Ridwan Saidi, K.H. Cholil Ridwan, K.H. Amin Nur, Fahmi Idris, Jimly As-Siddieqy, Adi Sasono, Nabilah Lubis, Dawam Rahardjo, Amin Aziz, K.H. Ma’ruf Amin, Harmoko, Utomo Dananjaya, MS Ka’ban, Adi Badjuri, Azrai’ie Zakaria, K.H. Munzir Tamam, dan Baharuddin Husin.
6
Kedelapan, buku yang ditulis oleh Ahmad Fadli HS dengan judul Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20. Buku ini diterbitkkan oleh Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, tahun 2011. Penulis buku ini menyajikan secara singkat sosok K.H. Abdullah Syafi’ie sebagai salah satu ulama Betawi yang cukup berpengaruh di era pasca kemerdekaan dalam pengembangan Islam di Jakarta pada khususnya. Memperhatikan buku-buku yang telah ditulis mengenai K.H. Abdullah Syafi’ie, maka hampir tidak ada lagi aspek yang tersisa. Untuk itu, tulisan ini hanyalah usaha untuk merekonstruksi kembali riwayat hidup K.H. Abdullah Syafi’ie serta kiprahnya dalam pengambangan dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di Jakarta. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan penelusuran bahan pustaka. Pengumpulan data melalui wawancara yang penulis lakukan hanya dengan beberapa orang saja, karena sejumlah informan kunci (key informan), meliputi istri, anak, saudara, murid, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan teman seperjuangan telah memberikan informasi tentang figur yang diteliti. Bahkan, komentar beberapa tokoh politik, pejabat pemerintah setempat, tokoh pemuda, penguasaha, budayawan, dan sebagainya juga telah dilakukan secara lengkap oleh Tutty Alawiyah AS sebagaimana termuat di dalam bukunya. 3 Sementara teknik pengamatan dilakukan untuk memahami lingkungan sosial, ekonomi budaya, dan keagamaan di daerah K.H. Abdullah Syafi’ie berkiprah; untuk mengenali lebih dekat perkembangan dari perjalanan lembaga keagamaan yang didirikan oleh K.H. Abdullah Syafi’ie; dan mengenali pengaruh kiprah dan pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam kehidupan dan praktik keagamaan masyarakat. Adapun telaah dokumen meliputi buku-buku yang ditulis K.H. Abdullah Syafi’ie; bahan materi dakwah dan bimbingan agama yang ditulis oleh K.H. Abdullah Syafi’ie; dan okumen lain yang menyangkut K.H. 3
Lihat Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, (Jakarta: UIA, 2010); dan Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial, (Jakarta: UIA, 2010).
7
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Abdullah Syafi’ie dan kiprahnya dalam pengembagan Islam dan pembinaan umat. Pendekatan penelitian dan penulisan biografi ulama dan tokoh agama ini tentu menggunakan pendekatan sejarah, dengan melihat dan mengkaji seluruh aspek kehidupan sang tokoh. Dengan perspektif ini, diharapkan dapat diungkap keseluruhan sosok K.H. Abdullah Syafi’ie, mulai dari latar belakang keluarga, latar sosial, perjalanan hidup, kehidupan keluarga, dan rumah tangga, perannya dalam kegiatan dakwah dan pendidikan, corak pemikiran dan karya-karya keagama-annya, kitab-kitab dan tokoh yang mempengaruhinya, warisan kelembagaan, pengaruh pemikirannya bagi masyarakat, guru-gurunya, murid-muridnya, dan lain sebagainya. Yang tidak kurang pentingnya adalah tantangan yang dihadapi dalam seluruh peran keulamaannya, pandangan murid dan tokoh masyarakat terhadapnya, ciri khas pakaiannya, gaya bicaranya, semangat keilmuannya, kepedulian sosialnya, dan pelbagai aspek human interest lainnya. Dengan mempertimbangkan kemungkinan terbatasnya data tertulis tentang kehidupan K.H. Abdullah Syafi’ie, pengumpulan data dilakukan dengan mengandalkan pendekatan life history dalam konteks penekanannya pada wawancara dan kesaksian lisan (sejarah lisan) berbagai sumber data (istri, anak, saudara, teman seperjuangan, tokoh masyarakat, warga setempat, pengurus yayasan, tokoh politik, pengusaha, pejabat pemerintah, dan lain-lain sesuai dengan koteks permasalahan yang dialami. Defenisi Operasional 1. Biografi adalah kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang yang ditulis oleh orang lain. 2. Ulama yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Secara khusus, ulama adalah orang hamba Allah yang berakhlak qur’ani yang menjadi pewaris para nabi, pemimpin dan panutan, khalifahpengemban amanah, penerang bumi dan pemelihara kemaslahatan, serta kelestarian hidup manusia. Ulama juga berperan dalam proses pembaruan dalam Islam sesuai dengan tuntutan
8
masyarakat, baik dalam bidang pendidikan maupun bidang pemikiran. 4 3. Betawi adalah suatu kelompok komunitas masyarakat baru di Batavia (Jakarta sekarang) yang lahir dari hasil pembauran orang-orang yang berasal dari berbagai daerah di kepulauan Indonesia dan juga orang asing yang berasal dari berbagai negeri melalui pergaulan dan perkawinan. 5 Buku ini terdiri atas lima bab, bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan, kegunaan, tinjauan pustakan, metolodogi, definisi operasional dan sistimatika penulisan. Bab kedua membahas tentang sejarah hidup K.H. Abdullah Syafi'ie yang meliputi setting sosial budaya yang melingkupinya, kelahiran dan dibesarkan, kehidupan keluarga, riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, dan akhir hayatnya. Pada bab ketiga diuraikan tentang kiprahnya di bidang dakwah, keilmuan, dan pendidikan serta pengaruhnya kepada masyarakat Islam di Jakarta. Bab ini meliputi kiprahnya di bidang dakwah yang mencakup Majelis Taklim as-Syafi’iyah, pembangunan Masjid Al-Barkah, pendirian stasiun radio siaran AsSyafi’iyah, dan pelembagaan organisasi dakwah Islam yang terdiri atas Muazakarah ulama dan Majelis Ulama Indonesia. Di bidang pendidikan, K.H. Abdullah Syafi'ie juga menjdirikan banyak lembaga pendidikan, seperti pesantren putra putri, pesantren salafiyah, pesantren khusus yatim, dan perguruan tinggi. Bab ini juga menguraikan tentang karya akademik dan rekaman ceramah K.H. Abdullah Syafi'ie serta pengaruh dakwahnya bagi masyarakat Jakarta. Bab keempat berisi tentang ide-ide pembaruan yang dilakukan K.H. Abdullah Syafi'ie selama hidupnya di bidang dakwah dan pendidikan Islam. Bab ini membahas ide pembaruan di bidang dakwah yang terdiri atas penamaan masjid dengan shigat bahasa Arab, dakwah melalui media massa, organisasi lembaga dakwah, dan pelibatan perempuan dalam dakwah. Di 4
Badri Yatim, “Peran Ulama dalam Masyarakta Betawi,” dalam Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), h. 132. 5 Siswantari, “Kedudukan dan Peran Bek Betawi dalam Pemerintahan serta Masyarakat di Jakarta (19800-1960), Tesis, Program Studi Ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Program Pascasarjana UI, Depok, 2000, h. 13.
9
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
bidang pendidikan, diuraikan tentang integrasi keilmuan dan modernisasi lembaga pendidikan Islam. Bab terakhir adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian ini, dan rekomendasi yang ditujukan kepada berbagai pihak terkait dengan hasil penelitian ini.
10
Sejarah Hidup K.H. Abdullah Syafi'ie
Setting Sosio-Historis dan Keagamaan Terdapat beberapa versi mengenai awal masuknya Islam di Betawi. Pendapat yang umum dan populer adalah apa yang dikutip oleh Abdul Aziz bahwa Islam masuk di Betawi pada saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa untuk mengusir pendudukan bangsa Portugis pada tanggal 22 Juni 1527. 1 Menurut catatan Portugis, panglima tentara Demak yang berhasil mengusir mereka dari Kota Bandar Kalapa bernama Faletehan pada tanggal 22 Juni 1527. Ketika itu, Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon (1720M), nama pemimpin tentara tersebut adalah Fadhillah atau Fadhillah Khan. Setelah berhasil direbut, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta. 2 Nama Fadhillah ini, menurut Uka Tjandrasasmita, lebih dekat dengan nama Fatahillah, sehingga yang dimaksud Faletehan dalam berita Portugis adalah Fadhillah Khan. Hal ini sekaligus mengoreksi pendapat Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya Critische Bershouwing van den Sejarah Banten (Diss. 1913) sampai karya “Hari Lahirnya Jayakarta” (1956) yang masih
1
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, , h. 41. Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), h. 152 2
11
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
berpendapat bahwa Faletehan (berita Portugis) sama dengan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. 3 Ridwan Saidi, seorang budayawan Betawi, mengemukakan versi lain, yaitu bahwa Islam datang ke Betawi berawal dari kedatangan Syekh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro adalah seorang ulama yang datang pada tahun 1409 dari Kamboja. Berawal dari tahun tersebut, Ridwan Saidi membuat fase perkembangan Islam dan sejarah keulamaan Betawi. Sayangnya, Ridwan Saidi tidak menyebut nama Fatahillah, Dato Wan, dan Dato Makhtom pada fase perkembangan Islam Betawi tahun 1522-1650. Ridwan Saidi juga mengatakan bahwa pada fase lanjutan antara tahun 16501750 tidak ada rekam jejak ulama Betawi yang tertulis maupun lisan. 4 Adapun fase-fase tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527). Ulama yang masuk dalam fase ini adalah Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pengeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke. 2. Fase penyebaran Islam lanjutan (1522-1650). Pada masa ini terdapat tokoh ulama Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, dan Kong Ja’mirin Kampung Marunda. 3. Fase penyebaran Islam lanjutan kedua (1650-1750). Pada fase ini terdapat nama Abdul Mihid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid AlManshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak, yang berbasis di Masjid al-Makmur, Tanah Abang. 4. Fase perkembangan Islam pertama (1750 sampai awal abad ke-19). Pada fase ini muncul nama Habib Husein Alaidrus Luar Batang, dan Syekh Junaid al-Batawi, Pekojan.
3 4
12.
12
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 141-142. Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…”, h. 11-
5. Fase perkembangan Islam kedua (dari abad ke-19 hingga sekarang). 5 Pada fase perkembangan Islam terakhir ini, Abdullah Syafi’ie (1910-1985) mengambil peranan. Abdullah Syafi’ie telah mengalami pengalaman hidup dan banyak peristiwa sejarah yang dilaluinya. Ia berada di Jakarta ketika masa penjajahan Belanda (VOC), Jepang, lalu Belanda kembali lagi, masa kemerdekaan, orde lama, dan orde baru. Ini juga berarti bahwa ia sangat memahami betapa menderitanya hidup di bawah bayang-bayang para penjajah. Masyarakat pribumi dalam hal ini orang Betawi, selalu mendapatkan perlakuan diksriminatif dari para penjajah. Pada masa VOC saja, dapat dilihat bentuk pelapisan dan perbedaan sosial antara orang Eropa yang mendapatkankehidupan yang mewah di Jakarta, sementara orang pribumi pada umumnya hanya mendiami rumah bambu dan beratap jerami. Mereka pun hanya bekerja sebagai petani, nelayan, serdadu, bahkan menjadi babu. Sebagai bagian dari masyarakat Betawi, Abdullah Syafi’ie hidup dalam suasana pengembangan Islam dalam bentuk pengajian pada para guru mengaji atau ulama yang berasalah dari keturunan Arab Yaman atau Hadramaut. Tradisi keagamaan ini diteruskan dan diwariskan dari masa ke masa kepada masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi memandang bahwa para penjajah itu adalah kafir sehingga segala yang berbau penjajah harus dijauhi, termasuk bersekolah pada lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda. Orang Betawi ketika itu lebih senang belajar dari satu Muallim kepada Muallim yang lain, dari satu guru kepada guru yang lain. Jepang datang memasuki Batavia tanggal 5 Maret 1942. Jepang menerapkan ajaran “Seikeirei”, yaitu kegiatan membungkukkan badan sebagai penghormatan terhadap matahari. Hal ini sangat ditentang oleh ummat Islam, termasuk Islam di Batavia. Hal ini yang menyebabkan ditangkapnya Kiai Zainal Musrafa dan dibunuh. Ummat Islam Baravia sangat marah sehingga Jepang terpaksa berusaha meraih simpati mereka dengan menghidupkan kembali Majelis Islam Indonesia pada tanggal 13 Juli 1942 5
Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…, h. 12-
13.
13
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
kemudian majelis ini berubah nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kemudian senjutnya menjadi partai politik pada tanggal 7 November 1945. Pada awal kemerdekaan, perjuangan fisik tidak terlalu banyak dilakukan lagi, tetapi yang paling pokok dan krusial adalah menetapkan dasar dan simbol negara Republik Indonesia yang baru merdeka. Perdebatan mengenai dasar negara ini menjadi hangat. Masyumi sebagai wadah bagi ummat Islam dalam menyuarakan aspirasinya menginginkan Islam sebagai dasar, sementara kelompok lainnya yang diwakili oleh PNI tidak menginginkan Pancasila. Karena perdebatan itu, Soekarno dengan terpaksa membubarkan Masyumi dan menganggapnya sebagai partai terlarang. Selanjutnya, Soekarno membentuk Demokrasi Terpimpin dengan jargon NASAKOM (Nasional, Agamis, dan Komunis). Yang pada akhirnya Partai Komunis Indonesia melakukan percobaan kudeta melalui Gerakan 30 September 1965 dan berhasil menumbangkan rezim Soekarno yang selanjutnya digantikan oleh Soeharto. Di masa Orde Baru, masyarakat Islam yang dipimpin oleh para alim ulama bersama-sama pemerintah bahu membahu memberantas komunisme sampai ke akar-akarnya. Setelah berhasil menumpas komunisme, ummat Islam mencoba menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah Soeharto mengenai kesatuan ummat Islam dalam wadah Masyumi serta memberlakukan Piagama Jakarta sebagai dasar negara, tetapi ternyata tidak mendapat respons yang baik. Yang ada waktu itu adalah marginalisasi politik Islam dengan menjadikan satu (fusi) partaipartai Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai-partai nasionalis disatukan dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan partai pemerintah dalam Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya, Golkarlah merupakan motor pembangunan nasional. Dari segi sosial budaya, di masyarakat Betawi telah berkembang tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka, yaitu pondok pesantren, madrasah, dan majelis taklim. Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan tertudi Betawi dibandingkan dengan dua institusi yang lain. Pesantren pertama yang berdiri adalah Pondok Pesantren Syekh Quro. 14
Sebelum kemerdekaan, model pondok pesantren di Betawi bersifat salafi. Pesantren yang terkenal ketika itu adalah yang didirikan dan dipimpin oleh K.H. Marzuki, Cipinan Muara. Mayoritas warga Betawi menyekolahkan putra-putrinya di pesantren Guru Marzuki, Cipinan Muara tersebut. Pada saat ini, model pesantren salafi di Betawi sudah tidak ada lagi. Yang mampu bertahan adalah pesantren salafi non pondok, seperti Pesantren al-Ihsan, Cakung Barat yang dipimpin oleh K.H. Hifdzillah. Madrasah yang pertama kali berdiri di Betawi adalah Madrasah Jam’iyatul Khair yang didirikan oleh Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab. Ulama Betawi yang pernah belajar di madrasah ini adalah Dr. Nahrawi Abdussalam alIndunisi. Selanjutnya berdiri pula Madrasah Unwanul Falah yang didirikan oleh Habib Ali al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada tahun 1911. Murid-murid yang dididik di madrasah ini yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Betawi adalah K.H. Abdullah Syafii, K.H. Thohir Rahili, K.H. Jayadi Muhadjir, K.H. Haji Ismailo Pendurenan, K.H. Muhammad Naim Cipete, K.H. Fathullah Harun dan Mu’allim K.H. M. Syafi’i, Cepete, K.H. Muhammad Naim, K.H. Syafi’I Hadzami. Lalu berdiri pula Madrasah al-Ihsaniyah, di Salemba Tagelan, yang salah satu muridnya adalah K.H. Fathullah Harun. Majelis Taklim merupakan lembaga pendidikan informal yang dikelola oleh masyarakat yang berbasis masjid dan mushalla. Menurut Ridwan Saidi dan Alwi Sahab, majelis taklim binaan Habib Ali Kwitang (Habib Ali al-Habsyi) merupakan yang pertama di Betawi dan mulai melakukan kegiatan pada tanggal 20 April 1870. 6 Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya diteruskan oleh putranya, Habib Muhammad alHabsyi dan cucunya Habib Abdurrahman al-Habsyi. Dari majelis taklim ini, muncul ulama-ulama besar Betawi, seperti K.H. Abdullah Syafi’ie (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyah) dan K.H. Thohir Rohili (pendiri perguruan Islam Ath-Thahiriyah). Majelis taklim ini berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya. Salah seorang ulama 6
Disampaikan oleh Ridwan Saidi dan Alwi Sahab pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi, 27 Maret 2007 di JIC.
15
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
yang masuk kategori ini adalah Mu’allim K.H. Syafi’i Hadzami yang sangat ahli di bidang fikih mazhab Syafi’i dan memiliki pengaruh yang sangat luas hingga hari ini. Beliau benar-benar merupakan produk dari majelis taklim yang tidak kurang dari 11 majelis taklim yang didatanginya dalam rangka menuntut ilmu di berbagai bidang ilmu agama. Setelah menjadi ulama, beliau pun mengajar pada tidak kurang dari 30 majelis taklim dan telah mencetak beberapa ulama Betawi terkemuka, antara lain K.H. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, dan K.H. Abdurrahman Nawi. Mereka pun meneruskan kegiatan pendidikan di berbagai majelis taklim. 7 Menurut K.H. Saifuddin Amsir, keberhasilan majelis taklim mencetak ulama Betawi disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pendidikan informal ini tidak dibatasi oleh waktu seperti sistem kredit semester (sks) di perguruan tinggi saat ini; kedua, anak didik memiliki kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dipahaminya kepada guru; dan ketiga, anak didik langsung dihadapkan kepada kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. 8 Sistim pendidikan majelis taklim di Betawi memang memungkinkan mencetak ulama. Hal itu dapat dipahami karena setiap pengajian melakukan kajian terhadap kitab-kitab utama yang jarang dikaji di perguruan tinggi secara tuntas. Kitab-kitab yang diajarkan di majelis taklim mencakup kajian tasawuf, fikih, hadis, tafsir, ilmu al-Qur’an dan sejarah. Kitab kategori tasawuf antara lain adalah Syarḥ Hidāyat al-Atqiyā’, Syarḥ al-Ḥikam, Kifāyat al-Atqiyā’, Anwār al-Masālik, dan Tanbīh al-Mughtarrīn. Kitab kategori fikih antara lain Sab`ah Kutub Mufīdah, Fatḥ alMu`īn, Bidāyat al-M ujtahid, Mughni al-Muhtāj, Minhāj alṬālibīn, al-Maḥallī, Fatḥ al-Qarīb, Kifāyat al-Akhyār, Fatḥ alWahhāb, dan Tuḥfat al-Ṭullāb. Kitab kategori tafsir antara lain Tafsīr Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Nasafī, dan Tafsīr Jalālain. Kategori kitab hadis antara lain Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Muslim, dan Nail
7 8
26.
16
Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…., h. 25. Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…., h.
al-Auṭār. Kategori kitab ulum al-Qur’an adalah al-Itqān fī `Ulūm al-Qur’ān. Kategori kitab sejarah adalah Tārīkh Muḥammad. 9 Di sini juga perlu dikemukakan tentang sentra intelektual Betawi pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai latar belakang keulamaan K.H. Abdullah Syafi'ie. Kawasan yang menjadi sentra intelektual di wilayah Betawi, khususnya Jakarta pada masa itu adalah sebagai berikut: 10 1. Pekojan, sebagai kawasan tempat lahirnya Syaikh Junaid al-Batawi. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal sebagai syaik al-masyayikh yang tekenal di dunia Islam Sunni sepanjang abad ke-19. Ulama lain yang berasal dari Pekojan adalah Muallim Rojiun, Kiai Syam’un Kampun Mauk (menurut dugaan), Guru Manshur Jembatan Lima, dan Guru Madjid Pekojan. 2. Mester, sebagai kawasan yang didiami oleh Syaikh Mujitaba. 3. Paseban, sebagai kawasan yang menjadi pusat kegiatan dakwah dan pendidikan Muallim Thabrani. 4. Cipinan Muara, sebagai wilayah yang menjadi basis Guru Marzuki. Pondok pesantren yang didirikannya telah melahirkan banyak ulama Betawi terkemuka. 5. Kuningan, merupakan pusat kegiatan dakwah dan pendidikan Guru Mughni. 6. Menteng Atas, sebagai pusat majelis taklim dan dakwah Guru Mahmud. 7. Gondangdia, sebagai basis pengajaran dan pendidikan Guru Khalid. 8. Basmol, yang merupakan sentra majelis taklim dan dakwah Guru Madjid Pekojan. 9. Cengkareng, yang merupakan poros majelis taklim di kawan ini adalah K.H. Usman Perak. 10. Tenabang, sebagai tepat mengajar dan dakwah Guru Mujib bin Sa’abah. Pada masa Pasca-kemerdekaan sampai Orde Baru di mana K.H. Abdullah Syafi'ie berkiprah, sentra intelektual Betawi telah 9
Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…., h.
27-28. 10
Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi….,
h. 30-31.
17
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
berubah sehubungan dengan meninggalnya generasi sebelumnya. Sentra intelektual yang tetap hanyalah Gondangdia di mana terdapat Muallim K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami; dan Kuningan yang merupakan tempat K.H. Syibromalisi melakukan kiprah keulamaannya. Selain itu, sentra ulama sudah berpindah sesuai dengan tempat kediaman ulama yang menjadi sentralnya. Wilayah itu meliputi Klender di mana K.H. Hasbiyallah; Matraman tempat K.H. Abdullah Syafi'ie, Kampung Melayu tempat pengabdian K.H. Thohir Rohili; Tegal Parang sebagai tempat pengajaran K.H. Abdul Razak Ma’mun; Pancoran tempat Syaikh Dr. H. Nahrawi Abdussalam; Cipete tempat Guru Naim; Kampung Baru-Cakung Barat di mana Guru Asmat berkiprah; Kampung Mangga Koja-Jakarta Utara di mana yang menjadi sentralnya adalah Mu’allim Rasyid; Mangga Besar sebagai tempat K.H. Abdul Hanan Said; Duri Kosambi yang merupakan tempat pengajaran K.H. Asirun; dan Rawa Buaya yang merupakan tempat Guru Ma’mun. 11
Lahir dan Dibesarkan Putri K.H. Abdullah Syafi'ie, Tutty Alawiyah AS, menulis tentang figur ayahnya yang lahir dari H. Syafi’ie bin H. Sairan dan Nona binti Sa’ari, seorang pengusaha kelahiran Betawi. Pengusaha grosiran mangga itu tinggal di Kampung Balimatraman, Tebet, Jakarta Selatan. Setiap harinya, H. Syafi’ie bin H. Sairan sang pengusaha mangga itu berpangkalan di Pasar Manggarai dan mendapatkan mangga dari Indramayu dan disalurkan grosiran ke berbagai pasar di sekitar Jakarta, sementara istrinya, Nona binti Sa’ari, membuat kecap untuk diperdagangkan (home industri). H. Syafi’ie bersama istrinya Nona binti Sa’ari mempunyai tiga orang anak. Pada tanggal 10 Agustus 1910, Abdullah dilahirkan sebagai anak pertama. Abdullah memiliki dua saudara, yaitu Rogayah dan Aminah. Nona binti Sa’ari meninggal pada usia yang relatif masih muda, sehingga suaminya H. Syafi’ie 11
h. 31-32.
18
Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi….,
menikahi Siti Chodijah dari Kampung Celilitan. Sayangnya, dari pernikahannya yang kedua itu, H. Syafi’ie tidak dikaruniai seorang anak hingga dipanggil menghadap Allah Swt. 12 Pada usianya 13 tahun, Abdullah Syafi’ie diajak kakeknya H. Rahimun dan neneknya Hj. Najehah untuk naik haji. Pulang dari haji, sekalipun kakinya terluka akibat terkena cangkul, Abdullah Syafi'ie tetap kuat tekadnya untuk menjadi seorang muallim. Dia diberikan hadiah oleh bapaknya berupa sepeda Releigh, sepeda mewah ketika itu, untuk digunakan pergi belajar agama. Dirinya tidak diperkenankan untuk mengurusi dagang yang dikelola ayahnya. 13 Beliau memiliki portur tubuh tinggi besar. Dalam penampilannya, beliau kalau berpakaian biasanya memakai kopiah hitam, sementara kopiah putih dipakainya belakangan. Itulah gaya muslim Betawi, khas, dengan jas tertutup. Kadang juga memakai kacamata dan sorban putih di sampirin. Sampai kini belum ada lagi ulama seperti beliau dan Buya Hamka. 14
Kehidupan Keluarga Pada tahun 1928, Abdullah Syafi’ie menikahi seorang gadis yang bernama Rogayyah binti K.H. Ahmad Muchtar. Siti Rogayyah adalah seorang gadis terpelajar dan pernah berkesempatan menjadi pembaca al-Qur’an di Istana Negara di depan Presiden Soekarno pada tahun 1949. Dari pernikahannya, Abdullah Syafi’ie bersama istrinya memperoleh karunia 5 orang putra, yaitu Muhibbah, Tutty Alawiyah, Abdul Rasyid, Abdul Hakim, dan Ida Farida. Pada tahun 1951, Rogayah meninggal dunia dan pada tahun 1958, putra pertamanya, Muhibbah, juga 12
Tutty Alawiyah, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah” dalam Tutty Alawiyah (Ed.), Kepemimpinan dan Keteladanan K.H. Abdullah Syafi’ie, (Jakarta: Universitas Islam AsSyafi’iyah, 2010), h. 2. 13 Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 12 14 Ridwan Saidi, “K.H. Abdullah Syafi'ie Bertahta di Hati Ummat” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Universitas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 106-107.
19
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
meninggal. Setelah beberapa tahun ditinggal Rogayah istrinya, beliau menikah dengan Salamah atas ijin dari keluarga dan putraputrinya. Dari pernikahan dengan Salamah, beliau dikarunia 10 orang anak, yaitu: Mohammad Surur, Syarif Abdullah, Mohammad Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yaqin, Syafi’ie Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila Sakinah. K.H. Abdullah Syafi'ie sangat dekat dengan para keluarganya, kepada istri, anak, dan familinya yang lain. Bila K.H. Abdullah Syafi'ie hendak bepergian, istrinya Hj. Rogayyah selalu yang memakaikan jasnya, sebaliknya bila Hj. Rogayyah yang bepergian K.H. Abdullah Syafi'ie selalu mendampinginya. 15 Dulloh, sapaan akrab untuk Abdullah Syafie, mewarisi bakat dagang ayahnya. Ketika menuntut ilmu di berbagai tempat, dia telah berdagang barang-barang keperluan masyarakat berupa kain dan songkok. Bahkan, setelah aktif di masyarakat, dia dikenal sebagai ulama yang energik. Berbagai kegiatan yang dilakukan, mulai dari memberikan pengajian di beberapa majlis taklim, mendirikan dan mengelola pendidikan agama yang kemudian berkembang secara luas, namun profesi dagangnya beliau lakukan, baik di daerah Jakarta maupun di luar Jakarta. Tampaknya, berdagang menjadi sumber ekonomi keluarga dan penopang dakwahnya. Dari hasil laba perdagangan itulah dijadikan modal untuk mendirikan dan mengembangkan institusi pendidikannya. Namun, yang sangat perlu mendapat apresisasi generasi muda Islam, bahwa betapa pun besar bakat dagangnya Abdullah Syafi’i tidak lupa terus menuntut ilmu pengetahuan agama. 16
15
K.H. Syatiri Ahmad, “K.H. Abdullah Syafi'ie Disiplin Waktu, Gemar Membaca, dan Santun Pada Istri” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 100. 16 Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial: Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta: Pena Madani, 2003), h. 109.
20
Pengalaman Pendidikan Abdullah Syafi’ie di waktu kecil sekolah di Sekolah Rakyat (SR) di Laan Meni Jatinegara selama 2 tahun, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ayahnya membawanya ke rumah guruguru yang alim, para habib, dan ulama terkemuka di Jakarta ketika itu. Di antara guru-gurunya adalah Muallim Amin dan Mu’allim al-Musannif bidang ilmu nahwu dan beberapa kitab seperti Jurmiyah, Riyad al-Badiah, Kafrawi, dan lain-lain. Dari Muallim Subeki belajar kitab Asymawi, Mutamminah, dan Immiriti. Dari Muallim Subeki juga mulai berlajar pidato. Dari Muallim H. Ahmad Mukhtar kecuali belajar wirid, juga mendapatkan putrinya, Rugayyah sebagai istrinya. Ustaz Abdul Madjid dan K.H. Ahmad Marzuki bidang ilmu fiqh, dengan K.H. Ahmad Marzuki mendalami ilmu tasawuf dan tafsir, juga belajar berpidato ke Habib Alwi al-Hadad yang tinggal di kota Bogor. Kemudian, pada tahun 50-an kepada Habib Salim bin Jindan di Jatinegara menekuni bidang hadis. 17 Abdullah kecil diberikan sepeda mahal dan pakaian yang sangat necis dan parlente. Ayahnya membayar guru-gurunya bisa lima sampai sepuluh kali lipat dar i pembayaran orang lain. 18 Ketika usianya 17 tahun, Abdullah Syafi’ie memperoleh pemberitahuan untuk belajar di langgar partikelir dan setahun sesudahnya (usia 18 tahun) berhasil membujuk ayahnya agar menjual sapisapinya karena kandangnya hendak dijadikan sebagai tempat belajar agama bersama dengan teman-temannya. Tempat itulah yang kemudian dijadikan lokasi untuk mendirikan madrasah pertama yang berdiri pada tahun 1928. Pada usia 21 tahun, Abdullah Syafi’ie telah memiliki sertifikat pendidik atau beslit dari rachen scahf sebagai pertanda kelayakan menjadi guru. Di madrasah yang telah didirikan, beliau bersama istrinya Rogayah mengajarkan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlak, dan ilmu-ilmu lainnya.
17
Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 12-13. 18 Tutty Alawiyah AS, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah” dalam Tutty Alawiyah (Ed.), Kepemimpinan dan Keteladanan K.H. Abdullah Syafi’ie, , h. 2.
21
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Keulamaan Abdullah Syafi'ie tidak hanya terbangun melalui kegiatannya mengikuti halaqah dari satu guru kepada guru yang lain, atau dari satu habib ke habib yang lain, tetapi yang paling kuat membentuk keulamaannya adalah kebiasannya berdiskusi, muzakarah dengan ulama lain, serta ketekunannya dalam membaca kitab setiap hari. Abdullah Syafi’ie, menempatkan diri sebagai penuntut ilmu agama yang tekun dan tahan uji serta mengantarkannya menjadi ulama yang tangguh di kemudian hari, yang memang telah tumbuh sejak usia muda dan berlanjut sampai usia tuanya. Yang menarik, selesai mendalami pelajarannya, lalu beliau mendiskusikannya dengan saudarasaudaranya atau di lingkungan tetangga rumahnya. Hingga usia tuanya, tradisi menuntut ilmu ini tetap tinggi sebagaimana dikatakan oleh K.H. Abdul Hakim putranya, “Dia meluangkan waktunya kurang lebih 4 jam setiap hari untuk membaca kitab, dan di setiap habis membaca kitabnya dibuat intisarinya. Bahkan, pada menit terakhir dia akan dipanggil Tuhan, dia meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab. Beliau memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan semangat membaca yang kuat. 19 K.H. Syatiri Ahmad—adik ipar dari istrinya Hj. Rogayyah—menceritakan bahwa K.H. Abdullah Syafi'ie sebagai orang yang disiplin, selalu membaca, dan menulis. Beliau sangat komitmen dengan waktu. Di meja kamarnya, beliau tidak bisa diam, selalu menulis, membaca, dan mengumpulkan kitab. Beliau memiliki sekretaris yang selalu menuliskan ceramahnya beliau, yaitu Ustadz Rohomi. Beliaulah yang selalu menyalin kutipan dari K.H. Abdullah Syafi'ie. Selain itu, juga ada sekretaris yang lain yang selalu membantu, seperti Satiri Nur dan Ahmad Muchtar. Itulah sebabnya sehingga rumah beliau berantakan, teapi oleh buku-buku yang menjadi gudang ilmunya. Beliau itu seorang yang kutu buku. Setiap hari, beliau tidak penah melewatkan untuk tidak membaca dan menulis. 20
19
Lihat Hasbi, Pesantren dan Transfrmasi Sosial…, h. 111 K.H. Syatiri Ahmad, “K.H. Abdullah Syafi'ie Disiplin Waktu, Gemar Membaca, dan Santun Pada Istri” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 100. 20
22
Menurut A. Ilyas Ismail, beliau cinta kepada ilmu pengetahuan. Semua orang, termasuk para ulama, teman seperjuangan, dan murid-murid yang mengenal beliau mengetahui betul hobinya kepada ilmu pengetahuan. Karena cinta ilmu, Abdullah Syafi’ie menyempatkan diri untuk belajar setiap hari, tiada hari tanpa belajar. Belaiu membaca buku bukan hanya dimasjid atau dikelas sewaktu mengajar, tetapi di mana saja dan dalam keesempatan apa saja. Beliau senantiasa membaca dan membaca kitab pada saat datang ke proyek pembangunan sambil mengontrol tukang pun tetap disempatkan untuk membaca. 21 Walaupun telah memiliki madrasah dan menjadi pembina Majelis Taklim di Masjid Al-Barkah, Abdullah Syafi’ie tetap saja gigih menuntut ilmu kepada guru-guru sampai ke Bogor, Habib Alwi bin Thohir al-Haddad. 22 Silsilah keilmuan K.H. Abdullah Syafi'ie dalam kaitannya dengan guru-guru tempatnya belajar dapat dilihat dalam dua skema berikut ini. Skema pertama dibuat oleh Abdul Aziz tahun 2002 dan skema kedua dibuat oleh Ahmad Fadli HS tahun 2010.
21
A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam Melalui Pilar Dakwah, Pendidikan, dan Sosial,” dalam Tutty Alawiyah AS, K.H. Abdullah Syafi'ie: Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial, h. 28-29. 22 Tutty Alawiyah, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah”, h. 3
23
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Isnad Ulama Betawi pada abad-17 Ahmad Al-Qusyasyi (lahir 1661)
Abdul Aziz al-Zamzami (lahir 1662)
Sulaiman al-Babili (lahir 1666)
Ali al-Habsyi* Abdullah Al-Syarkawi (lahir 1812)
Ahmad Zaini* Abubakar Syatha alDi ti*
Umar Bajunaid*
Abdul Ghani Bima*
Mukhtar Atharid*
Umar Sumbawa*
Ulama Betawi Abad keK.H.Ahmad Khalid (w. 1946)
K.H.Abdul Majid
K.H. Thohir R* K.H. Mas’ud* K.H. Tabrani* K.H. Marsun* K.H. A. Wahab* K.H. M. Zen* Dll.
K.H. Abdul Mughni
K.H.Ahmad Marzuki
K.H.Mahmud Romli
K.H.Moh. Mansur
Guru Yakub* Guru Rahab* Guru Najib* K.H.Maksum* Guru Ilyas Cikini* Dll.
K.H. Firdaus* K.H.A Hamid* K.H.Rojiun* K.H.Muhajirin* Dll.
K.H. Rahman* Guru Naim* K.H.Hamim* K.H.Mughni* Guru Mael* Guru Ilyas Karet* Dll.
Guru Malik* K.H.Nur ali* K.H.Zayadi* K.H. Abdullah Syafi’ie (lahir 1910) K.H. Mursidi* Dll.
K.H. Muhammad* K.H. Syafri* K.H. Syafe’i Hadzami (lahir 1917) Dll.
Sumber: Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, 2002. *Tahun lahir atau tahun wafat tidak dapat dilacak.
24
Silsilah yang berdasarkan tahun lahir dan atau wafat yang lebih lengkap dapat dilihat pada skema yang dibuat oleh Ahmad Fadli HS. berikut:
Silsilah ini memeperlihatkan isnad para ulama Betawi kepada tiga ulama (Mukhtar Atharid, Umar Bajunaid dan Umar Sumbawa) dan selanjutnya kepada dua ulama Haramain ternama abad ke-17 (Al-Qusyasyi dan Al-Zamzami). 23 Dari beberapa ulama itu telah memproduksi ulama-ulama Betawi yang disegani yaitu K.H. Moh. Mansur (1878-1967), 24 K.H. Abdul Majid 23
Lihat Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, h. 65; dan Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011), h. 215-216. 24 Moh. Mansur, lahir di Kampung Sawah, Jembatan Lima, ayahnya seorang yang alim yang meneruskan kepemimpinan masjid kuno di Kampung
25
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
(1887-1947), 25 K.H. Ahmad Khalid (1874-1946), 26 K.H Mahmud Romli (1866-1959), 27 K.H. Ahmad Marzuki (1876-1934), 28 dan Sawah (sekarang bernama al-Mansyuriah) yang didirikan oleh kakek buyutnya yang bernama Abdul Muhit. Kepada ayahnya ia pertama kali berguru belajar agama, dan setelah ayahnya meninggal ia berguru kepada kakaknya kandungnya, K.H. Mahbub. Ia belajar di Makkah selama 4 tahun dan berguru kepada Syeikh Mukhtar Atharid al-Bogori, Umar Bajunaid al-Hadrami, Ali alMaliki, Said al-Yamani dan Umar Sumbawa. Gurunya yang terakhir pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi, karena dianggap cakap dan rapih serta tertib tulisannya. Ilmu-ilmu yang dipelajari, ilmu fiqh, qira’at, ushul fiqh, beberapa cabang ilmu bahasa Arab, tafsir, hadits dan ilmu falak; ia dikenal sebagai ahli falak. Abdul Aziz, Islam, h. 56; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 107-112. 25 Abdul Majid, lahir di Pekajon tahun 1887, ayahnya bernama K.H. Abdurrahman bin Sulaiman Nur bin Rahmatullah – Rahmatullah ini konon masih keturunan Pangeran Diponegoro. Pertama kali ia belajar agama pada ayahnya sendiri. Setelah belajar di Makkah ia berguru ke Mukhtar Atharid, Umar Bajunaid al-Hadrami, Ali Maliki dan Said al-Yamani. Ilmu yang dipelajarinya adalah fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan bahasa Arab. Ia dikenal alim dalam tashawuf, tafsir, ilmu falak dan bahasa Arab. Di mata muridmuridnya ia k menunjukkan keluarbiasaan, yang dalam bahasa Arab, disebut Khariqul ‘adab. Ia meninggal dan dimakamkan di Pesolo Bosmol. Abdul Aziz, Islam, h. 57; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 113-117. 26 Ahmad Khalid, anak orang biasa yang bukan ulama,ia berasal dari Bogor dan menikah dengan orang Gondangdia. Tidak ada catatan guru mengajinya yang paling awal, tetapi ia pernah bermukim di Tanah Suci selama 11 tahun. Guru-gurunya adalah Syaikh Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid. Ia belajar ilmu agama pada umumnya. Ia dikenal di kalangan ulama Betawi sebagai ahli hadits dan tashawuf. Ia terkenal di kalangan muridnya anti merokok dan suara radio. Ia dikubur di Tanah Abang dalam usia 72 tahun. Abdul Aziz, Islam, h. 57; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 99-101. 27 Mahmud Romli, lahir daerah Menteng, asal usul yang lain tidak terlalu jelas. Para muridnya dan bahkan anaknya sendiri berprinsip tidak sopan untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kecuali kepada gurunya, kecuali apa yang dituturkan sendiri oleh sang guru tanpa diminta oleh muridnya. Sedikit informasi yang ada bahwa ia pergi ke Makkah bersama orang tua dan tiga saudaranya. Namun, mereka meninggal di sana kecuali Guru Mahmud. Ia kemudian mengembara di sana selama 17 tahun. Ia dikenal sebagai “jagoan” yang tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang keberaniannya berhadapan dengan siapapun. Ia dikenal sebagai ulama tafsir. Ia meninggal sekitar tahun 1959 – dalam usia 93 tahun. Abdul Aziz, Islam, h. 57; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 91-93. 28 Ahmad Marzuki, lahir tahun 1876 di Meester Cornelis, ayahnya bernama Ahmad Mirsad, merupakan keturunan keempat dari Sultan Laksana Mayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai
26
K.H. Abdul Mughni (1860-1935). 29 Adapun Abdullah Syafi’ie berguru ke Guru Mahmud Ramli dan Habib Ali al-Habsyi yang keduanya memiliki isnad ke Ahmad Al-Qusyasyi dan juga kepada Guru Marzuki dan Guru Majid yang keduanya memiliki isnad ke Abdul Aziz Al-Zamzami. Salah satu kebiasaan Abdullah Syafi’ie yang sampai sekarang masih diteruskan oleh putra-putri dan santrinya adalah setiap selesai shalat, memimpin dzikir, seperti membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali dan seperti juga pada umumnya ulama Betawi di acara tertentu membaca ratib Hadad. Selatan, meninggal ketika usia Ahmad Marzuki 6 tahun. Melalui ibunya Siti Fatimah, ia diminta belajar agama ke kakeknya Syihabuddin al-Maduri, khatib dan pendiri masjid Rawa Bangke. Ia mendalami al-Qur’an kepada Haji Anwar dan belajar mengkaji kitab ke Sayyid Usman bin Muhamdmad Banashan yang kelak menjadi ayah tirinya. Di usia yang keenam belas tahun ia belajar di Makkah, berguru dengan Syakh Ali al-Maliki, Umar Bajunaid, Umar Sumbawa, Mukhar Atharid, Ahmad Khatib al-Minangkabau, Mahfudz AtTremasi, Said al-Yamani, Abdul Karim al-Degestani dan yang lainnya dalam ilmu fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, dan mantiq. Ia juga mendalami tashawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata. Setelah kembali ke tanah air, atas permintaan Usman Banahsan ia mengajar di masjid Rawabangke selama 5 tahun. Di sini ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya. Santrinya ditaksir sekitar 50 orang. Metode mengajarnya tidak lazim pada waktu itu, ia mengajar sambil berjalan di kebun dan berburu tupai. Santri belajar perkelompok sebanyak 5 orang untuk kitab yang sama. Seseorang dari mereka menjadi juru baca, selesai membaca Ahmad Marzuki m,emberikan penjelasan. Selesai satu kelompok dilanjutkan oleh kelompok yang lain, mengkaji kitab yang lain dengan metode yang sama. Mengajar dengan cara duduk dilakukannya untuk konsumsi masyarakat umum. Meskipun demikian ada pula santrinya yang mengikuti pelajarannya menjadi juru baca. Ia di samping guru agama, juga sibuk berbisnis (antara lain usaha taksi dalam kota dan angkutan bus trayek JakartaKerawang). Abdul Aziz, Islam, h. 58; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 101-106. 29 Abdul Mughni, lahir pada tahun 1860 di daerah Kuningan. Ia belajar agama pertama kali pada ayahnya, H. Sanusi bin Qais. Ia belajar pula ke H. Jabir dan Sayyid Usman bin Yahya. Dalam usia 16 tahun ia belajar di Makkah ke Syaikh Atharid, Umar Bajunaid, Said al-Yamani, Ali Maliki, Abdul Karim al-Dagestani, Mahfudz At-tremasi dan Muhammad Umar Syata. Setelah di tanah air, ia mengajar ilmu fiqh, tauhid, tafsir, hadits dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Ia dikenal ulama yang kaya harta, sehingga mengurus kekayaannya itu sengaja menyewa pengacara. Lihat Abdul Aziz, Islam, h. 4960; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 86-90.
27
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Ratib ini biasanya disebut dengan “wirid Betawi” karena tidak ditemukan pada komunitas etnis lainnya, dan juga selalu dibaca dalam kegiatan keagamaan yang penting seperti pada saat mengantar orang naik haji. 30 Didorong ajaran Islam yang mewajibkan ummatnya menuntut ilmu hingga akhir inilah akhir hayatnya, Abdullah Syafi’ie menempatkan diri sebagai penuntut ilmu agama yang tekun dan tahan uji serta mengantarkannya menjadi ulama yang tangguh di kemudian hari, yang memang telah tumbuh sejak usia muda dan berlanjut sampai usia tuanya. Yang menarik, selesai mendalami pelajarannya, lalu beliau mendiskusikannya dengan saudara-saudaranya atau di lingkungan tetangga rumahnya. Hingga sampai usia tuanya, tradisi menuntut ilmu ini tetap tinggi sebagaimana dikatakan oleh Abdul Hakim: “Dia meluangkan waktunya kurang lebih 4 jam setiap hari untuk membaca kitab, dan di setiap habis membaca kitabnya dibuat intisarinya. 31 Bahkan, pada menit terakhir dia akan dipanggil Tuhan, dia meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab, seperti yang diungkapkkan Abdul Rasyid, “Beliau memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan semangat membaca yang kuat, bahkan sebelum dipanggil Allah masih sempat mengingatkan sebuah kitab untuk dibaca. 32 Adapun murid-murid K.H. Abdullah Syafi’ie yang menjadi ulama terkemuka antara lain, K.H. Saifuddin Amsir, K.H. Abdul Rasyid AS (putranya dan kini sebagai pimpinan Pesantren As-Syafi’iyah, Pulo Air, Lido, Sukabumi), Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS (putrinya, pimpinan Yayasan Perguruan Islam as-Syafi’iyah), K.H. Abdurrahman Nawi (pendiri Perguruan Al-Awwabin), K.H. Rahmat Abdullah, dan K.H. A. Syanwani (Tanah Sereal, Bogor). 33
30
Lihat Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, h. 107. Bunyi salah satu Ratib Hadad, yakni Bismillah alladzi la yadlurru ma’a ismibi syai’un fi al-ardli wa la fi al-samai wa buwa al-sami al-‘amin. 31 Lihat Hasbi Hasbi, Pesantren dan Transformasi Sosial…, h. 111 32 Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial…, h. 111 33 Rakhmad Jailani Kiki dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi, h. 86.
28
Pengalaman Organisasi Di tengah kota Jakarta yang kompleks, Abdullah Syafi’ie tumbuh dan berkembang serta berinteraksi dengan penduduk ibukota Jakarta yang beranekaragam. Dia berinteraksi, berkenalan, dan bersosialisasi dengan banyak orang yang bukan saja berasal dari etnis Betawi, tetapi juga berasal dari etnis Ambon, Bali, Jawa, dan Sumatera. Hasil dari interaksi itu, tumbuhlah kesadaran di dalam diri Abdullah untuk berkelompok atau berorganisasi. Dia aktif menjadi anggota partai politik Islam Masyumi, dan bergaul akrab dengan pemimpinnya seperti M. Natsir. Bahkan, dia dapat mengajak M. Natsir untuk bergabung dalam Mudzakarah Ulama yang beliau pimpin, yang biasanya dalam mudzakarah itu para peserta mengkaji agama melalui kitab kuning. Setelah Masyumi membubarkan diri, Abdullah Syafi’ie tidak lagi menjadi anggota partai politik mana pun. Ketika Nahdlatul Ulama (NU) memisahkan diri dari Masyumi, K.H. Abdullah Syafi'ie memilih Masyumi, sementara banyak ulama Betawi yang memilih bergabung dengan NU. K.H. Abdullah Syafi'ie bersama K.H. Sasih Kramat Jati dan K.H. Rahmatullah Sidik memilih menjadi kiai Masyumi bersama Habib Salim bin Djindang. Ia juga menjadi juru kampanye Masyumi pada pemilihan umum tahun 1955. Walaupun sering ikut kampanye, tetapi K.H. Abdullah Syafi'ie tidak suka terlibat dalam intrik-intrik politik. Beliau tampak kurang berselera bersama dalam jabatan politik. Hal itu pulalah yang menyelamatkan perannya sebagai guru sehingga madrasah dan lembaga pendidikannya semkin maju. 34 Beliau tidak masuk dalam salah satu organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Perserikatan Muhammadiyah, al-Wasliyah, Persatuan Islam (Persis), dan lain sebagainya. 35 Walaupun tidak termasuk dalam ormas-ormas tersebut, namun beliau tetap bergaul dan akrab dengan tokoh-tokohnya. Apalagi pada tahun 1977, ia ikut mendirikan dan mengaktifkan 34
Tutty Alawiyah As (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 110-1985, h. 18-19. 35 Tri Sutrisno, “KH. Abdullah Syafi’ie: Ulama Besar yang Rendah Hati,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 17.
29
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
diri di Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ia menjadi Ketua I di MUI Pusat. Pada tahun 1978-1985, ia dipercaya menduduki jabatan puncak sebagai Ketua Umum MUI di DKI Jakarta dan kemudian pada tahun 1982, ia ditunjuk sebagai anggota penasihat MUI Pusat yang diketuai oleh HAMKA. 36 Abdullah Syafi’ie sebagai ulama, sangat diharapkan sumbang-sihnya di organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di organisasi MUI ini, dia menjalin komunikasi yang baik dengan Ali Sadikin sebagai gubernur DKI, dan menjadi mitra pemerintah dalam mendorong adanya modernisasi atau pembangunan di segala sektor kehidupan masyarakat. Namun, dalam hal-hal tertentu, untuk membentengi moral masyarakat banyak kebijakan pemerintah DKI, dia kritik dan kritik itu ada yang mendapat perhatian, ada pula yang tidak. Misalnya kebijakan pemerintah dalam melokalisasi wanita tuna susila; melegalisasi perjudian dan sebagainya. Begitu pula denga kritiknya terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan berbagai kepentingan umat Islam. Dalam hal melokalisasi wanita tuna susila, pemerintah DKI berpandangan vahwa pelacuran hal yang sudah berlangsung lama dalam kehidupan manusia. Upaya untuk membatasi ekses-ekses pelacuran agar tidak menjangkiti masyarakat luas, karena sering dilakukan di sembarang tempat, pemerintah mengajukan konsep “lokalisasi” untuk mengatasinya. Kebijakan pemerintah itu sangat ditentang oleh Abdullah Syafi’ie dengan MUI-nya. Abdullah Syafi’ie berpandangan bahwa tindakan pemerintah yang telah melegalisasi perbuatan pelacuran sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Pelacuran tersebut sangat dilarang agama karena termasuk perbuatan zina. Jangankan melakukan zina, mendekatinya saja tidak dibolehkan oleh agama. Karena itu, Abdullah Syafi’ie menentang keras upaya lokalisasi pelacuran yang dilakukan oleh Pemda DKI, walaupun hal itu masih tetap berlangsung. Demikian pula yang berkaitan dengan kebijakan melegalisasi perjudian. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) di bawah Gubernur Ali Sadikin telah melegalisasi perjudian. Ali Sadikin dan pemerintahannya memandang bahwa dana yang akan 36
30
Hasbi Indra, Pesantren dan Transfromasi Sosial…, h. 115
diterima dari hasil perjudian sangat besar dan dapat mendukung percepatan pembangunan kota Jakarta. Pemerintah berpandangan pula bahwa, daripada para penjudi itu berjudi ke negara lain seperti Singapura, lebih baik mereka berjudi di Jakarta serta ikut membangun kotanya. Abdullah Syafi’ie dan MUI melihat kebijakan itu sangat bertentangan dengan ajaran agama. Perbuatan itu sendiri di dalam agama Islam sebagai perbuatan dosa, karenanya hasil yang diperoleh melalui perjudian otomatis bersifat haram untuk dimakan dan dikonsumsi. Pada contoh yang lain, terhadap adanya wacana di pemerintahan untuk mengambil jalan yang pragmatis untuk membakar orang yang meninggal dunia, atau memindahkan tempat pemakaman dari daerah Karet ke Tanah Kusir. Pemerintah DKI melihat bahwa kota Jakarta sudah sangat ramai dan padat, sementara itu, lahan yang ada sudah sangat terbatas untuk menampung semakin bertambahnya orang yang meninggal dunia. Untuk itu, sebagai jalan keluarnya ada wacana yang berkembang di pemerintahan untuk membakar mayat. Abdullah Syafi’ie juga menentang wacana ini. 37. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, ingin menerapkan pembatasan adzan pada waktu subuh sebagai respons dari banyaknya warga non Muslim, seperti daerah Menteng yang merasa terganggu dengan suara adzan. Ummat Islam di Jakarta marah dengan rencana itu. Dan yang paling keras dan terusmenerus menentang adalah K.H. Abdullah Syafi'ie karena memiliki radio siaran. Melalui radionya itu, K. H. Abdullah Syafi'ie menentang terus sampai akhirnya Ali Sadikin mundur dari jabatannya. Makanya, menurut K.H. Ali Yafie, yang paling berkesan dari sosok K.H. Abdullah Syafi'ie adalah berani sepanjang itu al-haq. Beliaulah ulama yang disebut al-dā’i ila Allāh atau “berbicara menyampaikan agama Allah apa adanya. Beliau betul-betul berpegang kepada sabda Nabi Saw, “Qul al-
37
Dailami Firdaus, “Latar Belakang Pemikiran Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie”, dalam Tutty Alawiyah AS, K.H. Abdullah Syafi’ie …, h. 14. Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial ..., h. 116-117
31
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
haqq walau kāna murra” atau “Katakan yang benar walaupun pahit.” 38 Itulah di antara ketegasan beliau, sehingga Tri Sutrisno menilainya sebagai orang yang memiliki sifat rendah hati yang senantiasa “Manghayu hayuning bawana, ibarat sugih tanpa bandha, ngluruk tanpa bala, dan menang tanpa ngasorake” (memelihara dan menyelamatkan dunia, ibarat orang yang kaya tanpa harta, berani tanpa bantuan, dan menang tanpa merendahkan, pen.). 39
Akhir Hayatnya Abdullah Syafi’ie memilki semangat tinggi, di sela-sela memimpin MUI, ia tetap meluangkan waktunya untuk mengelola atau mengontrol institusi pendidikannya yang beraneka ragam mulai dari pondok pesantren, sekolah umum hingga Universitas Islam Al-Syafi’iyah (UIA). Dia meluangkan waktunya yang cukup untuk mengabdi di dunia pendidikan yang dia rintis. Selain itu, ia juga seorang muballigh yang handal dan orator yang hebat sehingga selalu diundang ceramah, bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti ke Negara Malaysia dan Singapura. Selain melalui forum majelis taklim ini, ia menyampaikan dakwahnya melalui pemancar radio yang didirikannya di Balimatraman. Risalah dakwahnya direkam di studionya agar dapat didengar oleh peminatnya di waktu yang lain. Abdullah Syafi’ie, di saat ia memimpin MUI Jakarta, ia masih meneruskan aktivitas kesehariannya. Perjuangan yang dilakukannya telah banyak dirasakan dan banyak memberi manfaat kepada orang banyak, karena dilakukannya sejak ia masih muda hingga ke usia tuanya. Di usianya yang kurang lebih 75 tahun, fisiknya sudah sangat lemah, dia dirawat di Rumah 38
KH. Ali Yafie “K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Berani, Ikhlas, dan Tak Jemu Berdakwah,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 34. 39 Tri Sutrisno, “KH. Abdullah Syafi’ie: Ulama Besar yang Rendah Hati,” h. 10
32
Sakit Islam, dan tepat pada tanggal 3 september 1985 ia menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di Jatiwaringin Jakarta. Ia menerima rasa belasungkawa dari Presiden Soeharto, 40 dan pemimpin MUI pusat mengajak kaum muslimin untuk melakukan shalat gaib. 41
Lebih kurang 5 surat kabar Nasional dan Warta Berita Antara, dan mengungkapkan sejarah hidupnya. Harian Sinar Harapan memuat judul: “Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie Meninggal Dunia Selasa Dini Hari”; 42 Pos Kota Berjudul: “Kita Kehilangan Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie Tutup Usia”, 43 Suara Karya mengambil judul: “Ulama Besar K.H. Abdullaah Syafi’ie Telah Tiada”; 44 Pikiran Rakyat memberi judul: “K.H. Abdullah Syafi’ie Tutup Usia”; Kompas member judul: “Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie Telah Tiada”. 45 Pelita mengambil judul: “K.H. Abdullah Syafi’ie Berpulang ke Rahmatullah”, 46 dan Widuarta Berita Nusantara yang berjudul “Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie”. 47
40
Lihat Koran Harian Berita Buana, 4 Sepetember 1985. Berita Buana, 6 Sepetember 1985. 42 Koran Harian Sinar Harapan, Selasa 3 Sepetember 1985. 43 Koran Harian Pos Kota, Rabu 4 Sepetember 1985. 44 Koran Harian Suara Karya, Rabu 4 Sepetember 1985. 45 Koran Harian Kompas, Rabu 4 Sepetember 1985. 46 Koran Harian Pelita, Rabu 4 Sepetember 1985. 47 Warta Berita Antara, 3 Sepetember 1985. 41
33
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Beliau telah membuktikan diri sebagai ulama yang membuat ummat senang di saat bersuah dan bersedih di saat berpisah. Sungguh besar jasamu wahai Guru yang dalam ilmu dan tulus dalam amal.
34
Kiprah Dakwah dan Pendidikan Serta Pengaruhnya Bagi Masyarakat Jakarta
Sebagai ulama, K.H. Abdullah Syafi’ie memiliki lima ciri yang menonjol. Kelima ciri ini membentuk kekhasan, identitas, dan sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh beliau dan membedakannya dan ulama-ulama yang lain, 1 yaitu: Pertama, beliau cinta kepada ilmu pengetahuan. Semua orang, termasuk para ulama, teman seperjuangan, dan muridmurid yang mengenal beliau mengetahui betul hobinya kepada ilmu pengetahuan. Karena cinta ilmu, K.H. Abdullah Syafi’ie menyempatkan diri untuk belajar setiap hari, tiada hari tanpa belajar. Belaiu membaca buku bukan hanya dimasjid atau dikelas sewaktu mengajar, tetapi di mana saja dan dalam keesempatan apa saja. Beliau senantiasa membaca dan membaca kitab pada saat datang ke proyek pembangunan sambil mengontrol tukang pun tetap disempatkan untuk membaca. Kedua, beliau cinta kepada ulama. Ini merupakan kelanjutan logis dari ciri yang pertama. Karena cinta ilmu, maka beliau pun sangat mencintai orang-orang yang berilmu dan 1
A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah KH. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam melalui Pilar Dakwah, Pendidikan dan Sosial,” dalam Tutty Alawiyah (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial (Jakarta: Universitas Islam AsSyafi’iyah, 2010), h. 28-30.
35
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
beramal dengan ilmunya. Beliau selalu bergaul dengan para ulama. Dalam kesehariannya, beliau seringkali menjamu para ulama yang mengunjunginya, baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam aktivitas dakwahnya, beliau juga membentuk semacam jaringan ulama, tidak saja di wilayah Jabodetabek, tetapi juga di daerah lain di pulau Jawa. Dalam pertemuannya dengan para ulama ini, K.H. Abdullah Syafi’ie mengembagkan diskusi-diskusi tentang berbagai hal yangpenting menyangkut pengembangan Islam dan masyarakat Islam. Dalam tradisi dikusi ini, lahir ungkapan beliau yang kemudian luas dikenal, yaitu ungkapan Niṣfu ra’yika ‘ala akhīka (separuh pendapatmu ada pada pikiran saudaramu). Ungkapan ini, menurut Utomo Dananjaya, mengandung semangat demokrasi, dalam arti kesediaan mendenarkan dan menghargai pendapat dan pemikiran orang lain di satu sisi, dan kelapangan untuk tidak a-priori terhadap pemikiran dan pandangan sendiri. Ketiga, beliau sangat cinta kepada orang-orang yang mencari ilmu, yaitu pada santri/pelajar dan mahasiswa. Untuk yang satu ini, boleh dikatakan bahwa seluruh hidup Abdullah Syafi’ie didedikasikan untuk pentingan melayani para santri. Tak heran bila beliau disebut dengan gelar Khadum al-Thalabah (pelayan para pelajar). Istilah khadim juga mengandung makna kerendahan hati, tidak sombong. Keempat, cinta kepada orang-orang yang lebih, seperti kaum du’afa. Hal ini beliau buktikan dengan mendirikan pesantren khusus anak-anak yatim dan orang yang tidak mampu, yaitu disebut dengan Pesantren Khusus Yatim As-Syafi’iyah. Ide ini termasuk sesuatu yang baru karena biasanya pendidikan khusus yatim dilembagakan dalam bentuk panti asuhan. Kelima, cinta perjuangan (jihad) untuk kemuliaan Islam dan ummat Islam. Ini menjadi dasar danlandasan bagi semua ciri dan karakter K.H. Abdullah Syafi’ie sebelumnya. Aktivitas dakwah dan pendidikan yang dikembangkan beliau lahir dari semangat perjuangan jihad ini Kelima karakter beliau tersebut menunjukkan bahwa K. H. Abdullah Syafi'ie adalah orang yang mengembangkan masyarakat yang mencintai ilmu pengetahuan (knowledge society). Masyarakat yang senantiasa belajar dan belajar untuk meningkatkan harkat dan martabanya. Sebagai buktinya, beliau 36
membuat kawasan kota pelajar di Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Kiprah di Bidang Dakwah 1. Majelis Taklim As-Syafi’iyah Kiprah dakwahnya dimulai memulai membuka pengajian di rumahnya pada umur 17 tahun. Pada awalnya, beliau mengadakan semacam tempat diskusi dengan teman-teman dan keluarganya menyangkut berbagai masalah keagamaan. Semakin hari semakin banyak yang terlibat sehingga dibuatlah semacam majelis taklim. Maka, majelis taklim yang dibinanya mulai dirintis pada tahun 1928. Majelis yang dikemudian hari lebih populer di sebut Majelis Taklim As-Syafi’iyah ini diperuntukan bagi kaum bapak dan kaum ibu. Setelah pembangunan Masjid al-Barkah selesai di bangun, majelis taklim ini dipusatkan di sana. Majelis Taklim yang dipimpin langsung oleh K.H. Abdullah Syafi’ie ini terutama diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Dalam majelis taklim ini, diisi berbagai program seperti pengajian umum, kajian kitab kuning, pengajian khusus yang menghadirkan ulama dan habaib, serta pengajian yang dikaitkan dengan hari-hari besar keagamaan, seperti Maulid Nabi, Isra’ dan Mikraj, Tahun Baru Islam, dan lain-lain yang hingga saat ini masih dilestarikan. Ada yang khas dari pengajian ini, yaitu setiap kali K.H. Abdullah Syafi’ie memberi pengajian, beliau selalu meminta jama’ah untuk meneriakkan kalimat tauhid dan takbir. Takbir beliau sangat khas dan menimbulkan getaran tersendiri di dada para jama’ah. Dengan mengikuti takbir tersebut, ada di antara jama’ah tanpa sadar meneteskan air mata keharuan.
37
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Majelis Taklim As-Syafi’iyah Minggu Pagi Sementara untuk kalangan ibu-ibu dan remaja putri, pengajian dipimpin oleh Hj. Rogayah, istri K.H. Abdullah Syafi’ie. Setelah Hj. Rogayah meninggal, pengajian dipimpin oleh putrinya, Tutty Alawiyah. Pengajian kaum ibu Majelis Taklim As-Syafi’iyah merupakan pengajian yang fenomenal dan paling besar hingga saat ini. Pengajian ini sudah dikembangkan sehingga memiliki kurikulum dan materi ajar yang terstruktur. Dulu, pengajian hanya dilakukan dengan sistem “jiping” (Betawi: mengaji dengan menguping saja) tanpa ada materi ajar yang jelas. Metode pengajian majelis taklim dengan menerapkan kurikulum saat ini sudah mulai banyak yang menirunya. 2 Majelis taklim yang dibina oleh K.H. Abdullah Syafi'ie sangat ramai. Majelis taklim untuk bapak-bapak rutin dilaksanakan pada setiap hari Ahad bertempat di Masjid AlBarkah, sementara majelis taklim untuk ibu-ibu dipimpin oleh putrinya Tutty Alawiyah. Beliau pernah mengumpulkan jama’ahnya pada suatu acara tablik akbar di lapangan senayan Jakarta yang dihadiri oleh puluhan ribu orang.
2
A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam melalui Pilar Dakwah, Pendidikan dan Sosial,” h. 33-35.
38
Sebelumnya, selama bertahun-tahun, majelis taklim hanya berpusat di Masjid Jami’ Kwitang yang dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi setiap hari Ahad. Setelah beliau wafat, maka K.H. Abdullah Syafi'ie mulai membuka pengajian atau majelis taklim. Pada tahun 1971, setelah dengan tekun dan dengan pertimbangan beberapa ulama maka dimulailah Majelis Taklim pertama di Masjid al-Barkah yang juga diadakan pada hari Ahad. Sejak itu pula, berbagai majelis taklim bermunculan di Ibukota. Majelis Taklim as-Syafi’iyah merupakan majelis taklim kedua sesudah majelis taklim Kwitang. 3 Majelis taklim yang dibina tidak hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke Malaysia dan Singapura. Harian Pelita 3
Harian Terbit, 11 Maret 1984.
39
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
memberitakan bahwa K.H. Abdullah Syafi'ie bersama Tutty Alawiyah mendapat kehormatan melakukan lawatan dakwah ke Malaysia Timur. Undangan itu datang dari Menteri Pertahanan Malaysia Abubakar. Tempat-tempat yang dikunjungi adalah Serawak, Kota Kuching, Masjid Negeri, Masjid Kampung Lintang, Masjid Patra Jaya, Gedung Aula Majelis Islam Serawak, Komplek Tentara Brigade 4 Kuching, Intitute Teknologi MARA, Masjid Negeri di kota Cibu, Masjid kampung Bandung Cibu. Perjalanan mereka berlangsung dari tanggal 3 sampai dengan 11 Agustus 1984, dan pulangnya mampir satu malam di Singapura. 4
K. H. Abdullah Syafi'ie dikenal sebagai “singa podium” di kalangan rakyat Betawi. Suaranya lantang, tetapi berisi dan menyejukkan. Kesan mendalam dari dakwah beliau, menurut Harmoko, selalu menggunakan bahasa yang terang dan sederhana sehingga dapat dicerna oleh rakyat. Dakwahnya yang sejuk dan menyentuh hati serta meningkatkan ketakwaan dan keimanan dan itulah yang seharusnya dikembankan di pesantren. Beliau tidak pernah menyinggung masalah politik. Memang menyenangkan, karena beliau mampu menempatkan dakwah Islam dan soal politik dalam porsi yang tepat. 5 4
Harian Pelita, 1 September 1984. Harmoko, “K.H. Abdullah Syafi'ie Berdakwah dengan Bahasa Terang,” dalam dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), KH. Abdullah Syafi’ie di 5
40
2. Pembangunan Masjid Setelah mulai banyak jama’ah yang mengikuti majelis taklim yang dibinanya, K.H. Abdullah Syafi'ie sangat berkeinginan untuk mendirikan masjid karena tempat yang selama ini digunakan sudah tidak lagi memadai untuk menampung jama’ah yang semakin hari semakin besar. Setelah halaqahnya mulai berjalan, Abdullah Syafi’ie kembali punya keinginan untuk melengkapinya dengan membangun masjid. Abdullah Syafi’ie ingin segera memiliki masjid sehingga ingin membeli tanah dan telah menentukan lokasi. Sayangnya, uang dimilikinya tidak cukup untuk membeli tanah. Kemudian, Abdullah Syafi’ie mendekati istri dan ibudanya untuk meminta dukungannya membangun masjid. Akhirnya, kedua wanita hebat itu bersedia membantu dengan menyerahkan kalung emas permata untuk djual dan membeli tanah wakaf untuk masjid. Pada usia 23 tahun, Abdullah Syafi’ie mulai merancang pembangunan Masjid Al-Barkah di kampung Bali Matraman. Masjid ini berdiri atas usaha dan pengorbanan beliau, orang tua, dan istrinya. Ketika itu, masjid-masjid yang ada di wilayah Jakarta tidak diberi nama khusus dan biasanya dikenal berdasarkan kampung tempatnya berdiri, seperti Masjid Manggarai, Masjid Kebon Jeruk, Masjid Matraman, dan lain sebagainya. Berdirinya Masjdi Al-Barkah merupakan pembaruan bagi penamaan masjid-masjid yang ada di Jakarta pada umumnya. 6 Pada tanggal 15 November 1933, Habib Ali bin Abdurrahman dari Kwitang datang meresmikan Masjid AlBarkah. Upacara peresmian dilakukan setelah shalat magrib, dengan hiasan lampu terang benderang di sekitarnya. 7 Dari masjid ini, Abdulah Syafi’ie lebih menekuni pembinanaan masyarakat ummat, mengajak mereka ke jalan Alah. Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim,” (Jakarta: Univeristas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 39-40. 6 Tutty Alawiyah, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah”, h. 3 7 Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie Khodimatuthalabah Perguruan As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,” dalam Tutty Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 13.
41
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Pada akhir tahun 1970-an, Masjid al-Barkah direnovasi kembali. Melalui radio yang telah dibangunnya, K.H. Abdullah Syafi'ie menggugah masyarakat untuk ikut serta memberikan sumbangsih bagi pengembangan Islam, terutama dalam pembangunan Masjid al-Barkah. Banyak tokoh yang memberikan sumbangan, walaupun sebelumnya belum pernah bertemu secara langsung. Salah tokoh muda saat itu banyak menymbang walaupun belum kenal langsung dengan K.H. Abdullah Syafi'ie adalah Fahmi Idris. Fahmi Idris melalui sopirnya berkali-kali memberikan sumbangan untuk pembangunan masjid tersebut. 8
Renovasi Masjid Al-Barkah dimulai bersamaan dengan tasyakur 50 tahun Perguruan As-Syafi’iyah pada tanggal 18 September 1984. Para pejabat, kiai, dan ulama menyampaikan pidato sambutan dalam acara peletakan batu pertama pembangunan Masjid Al-Barkah. Turut memberikan sambutan adalah Menko Kesra H. Alamsyah Rau Perwiranegara, Menteri Agama H. Munawir Syazali MA, Pangdam V Jaya Try Sutrisno, 8
Fahmi Idris, “Kiyai Abdullah Syafi'ie Adalah Entrepreneur” dalam dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Universitas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 45.
42
Ismail Hasan yang mewakili Menteri Penerangan, Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri dan Pemimpin Pesantren Modern Gontor Jawa Timur K.H. Imam Zarkasyi. Renovasi ini dibangun bertingkat dua di atas tanah seluas 3500 m2. 9 Tiga hari sebelum K.H. Abdullah Syafi'ie meninggal, renofasi Masjid Al-Barkah telah rampung dan diresmikan pemakaiannya di Jakasampurna, salah satu komplek pendidikan yang baru di bangun ketika itu. 10
3. Pendirian Radio Siaran As-Syafi’iyah Untuk itu, pada tahun 1967, setelah mendirikan madrasah dan Akademi Keguruan Pendidikan Islam (AKPI), beliau bersama dengan para mahasiswa mulai mendirikan pemancar radio. Salah satu tujuan didirikannya pemancar tersebut adalah agar ummat terbentengi dari kekuatan komunis. Orang-orang komunis telah mendirikan Universitas Rakyat (UR) yang didirikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memiliki pengaruh yang cukup kuat kala itu. Abdullah Syafi’ie memanfaatkan media radio tersebut sebagai sarana dakwah untuk menanamkan pengetahuan-pengetahuan Islam, dan menjauhkan dari larangan-larangannya seperti perilaku judi, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya yang semuanya berpotensi untuk menghancurkan keimanan ummat Islam. 11
9
Harian Pelita, 19 Desember 1983. Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie Khodimatuthalabah Perguruan As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,” dalam Tutty Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 17. 11 Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie Khodimatuthalabah Perguruan As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,” dalam Tutty Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 19; Dailami Firdaus, “Latar Belakang Pemikiran Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie”, h. 20. 10
43
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Studio RAS FM
Radio AKPI As-Syafi’iyah yang didirikan tahun 1967 itu kini masih eksis dan namanya Radio As-Syafi’iah [RAS FM pada frekuensi 95,5FM]). Dakwah melalui radio ini ternyata memang memberikan hasil yang sangat menggembirakan. Belum setahun berdirinya radio tersebut telah mampu menggiring puluhan ribu umat Islam untuk menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di lapangan Istora Senayan Jakarta. Acara ini dipelopori oleh perguruan As-Syafi’iyah. Ini menjadi bukti bahwa keberadaan radio ini telah menyedot perhatian berbagai kalangan ummat Islam di Jakarta ketika itu. Mendirikan radio di era 60-an merupakan hal yang langka sehingga patut disebut sebagai salah satu bentuk pembaruan di bidang dakwah yang dilakukan oleh Abdullah Syafi’ie. Pemancar radio As-Syafi’iyah ini bahkan merupakan stasiun radio siaran swasta pertama di Jakarta. Ide pendirian radio ini, menurut Utomo Dananjaya, sebetulnya datang dari putrinya Tutty Alawiyah setelah banyak bergaul dengan orang-orang LSM seperti Utomo Dananjaya sendiri dari Dewan Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuku (DKJ-TIM), Dawam Rahardjo dari Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jimly As-Shiddieqy
44
dari Lembanga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dll. 12 Fungsi Radio pada masa itu sangat urgen sekali karena masyarakat bersama-sama dengan pemerintah sedang gencargencarnya mengganyang para pengikut paham komunisme dan anggota Partai Komunis Indonesia. Melalui radio inilah, K.H. Abdull ah Syafi'ie dengan gencarnya memberikan bimbingan kepada masyarakat mengenai bahaya laten komunis tersebut.
4. Organisasi Lembaga Dakwah a. Muzakarah Ulama Pada tahun 1973, K.H. Abdullah Syafi'ie bersama dengan ulama lainnya mendirikan Majelis Muzakarah Ulama. Untuk ide tersebut, K.H. Abdullah Syafi'ie datang sendiri ke rumah K.H. Abdussalam Djaelani mendiskusikan rencana tersebut. K.H. Abdussalam Djaelani mendukung rencana itu dengan kesediaan memberikan bantuan berupa tenaga, pikiran, dan dana. Bersama dengan K.H. Abdussalam Djaelani, menemui K.H. Abdullah Musa di Tegal Parang dan juga setuju dengan rencana tersebut. 13 K.H. Abdullah Musa setuju untuk membuka Majelis Muzakarah Ulama. Mereka bertiga kemudian mulai bergerak. Mereka mengundang seluruh ulama di Jakarta tanpa memandang golongan, ide khilafiah dalam soal furu’iyah. Dalam forum itulah, para ulama dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis) senantiasa berdiskusi untuk membicarakan perkembangan dakwah dan pendidikan Islam saat ini. Pertemuan Majelis Muzakarah Ulama pertama kali di kediaman K.H. Abdullah
12
Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie Khodimatuthalabah Perguruan As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,” dalam Tutty Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 19; lihat pula Utomo Dananjaya, “Kedekatan K. H. Abdullah Syafi'ie dengan Gubernur Ali Sadikin,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh…, h. 89. 13 Badaruzaman, “Goresan dan Kumpulan Tulisan,” dalam Tutty Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 26.
45
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Musa, yang kedua dilaksanakan di Masjid Attahiriyah, ketiganya di rumah K.H. Abdussalam Djaelani. 14 Menurut Ridwan Saidi, K.H. Abdullah Syafi'ie berhasil mengumpulkan 1000 orang ulama membaiat padanya untuk menolak aliran kepercayaan. Adanya 1000 ulama yang memiliki integritas mendukung K. H. Abdullah Syafi'ie, Soeharto akhirnya Pak Harto urung melanjutkan idenya untuk mengakui Aliran Kepercayaan sebagai agama yang diakui di Indonesia. 15 b. Majelis Ulama Indonesia Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkahlangkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. 16 Para pendiri tersebut terdiri atas dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. K.H. Abdullah Syafi'ie merupakan wakil dari propinsi DKI Jakarta.
14
Utomo Dananjaya, “As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,” dalam Tutty Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 26. 15 Ridwan Saidi, “K.H. Abdullah Syafi'ie Bertahta di Hati Ummat” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 107 16 http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article& id=49&Itemid=53, diakses tanggal 11 Desember 2011.
46
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam. Dalam perjalanannya, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan 47
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah) 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid 5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar. 17 K.H. Abdullah Syafi'ie aktif di Majelis Ulama Indonesia pada masa kepemimpinan Ketua Umum Prof. Dr. Hamka, K.H. Syukri Ghozali, dan K.H. Hasan Basri.
17
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=49&It emid=53, diakses tanggal 11 Desember 2011.
48
K.H. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa sebagai orang yang pernah aktif di MUI DKI maupun MUI Pusat, K. H. Abdullah Syafi'ie adalah seorang yang tidak hanya ulama yang mengajak di surau, masjid, tetapi juga di berbagai lini melakukan kegiatannya. Dulu, Ali Sadikin yang sempat berseberangan dengan K. H. Abdullah Syafi'ie dan saling menuding di radio tetapi pada akhirnya juga akrab kembali. Jadi, menurut K.H. Ma’ruf Amin, beliau itu berhadap-hadapan mau, tetapi berangkulan juga mau kalau orang itu sudah kembali kepada yang benar. Kalau orang lain sudah baik maka akan dirangkul oleh K. H. Abdullah Syafi'ie, tetapi apabila bermusuhan beliau akan menghadapinya dengan gentlement. Beliau adalah sosok ulama yang berani memberika koreksi walaupun ketika itu mengeritik dan mengoreksi pejabat, apalagi gubernur, tidak ada yang berani. 18 18
K.H. Ma’ruf Amin (Ketua MUI), K. H. Abdullah Syafi'ie Ulama yang Keras Sekaligus Lembut” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), KH. Abdullah Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim,” (Jakarta: Univeristas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 83
49
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
c.
Badan Kontak Majelis Taklim Seiring dengan semakin berkembangannya majelis taklim yang dibinanya, begitu pula dengan majelis taklim ibuibu yang dibina oleh putrinya Tutty Alawiyah, berkembang pula berbagai majelis taklim yang lain di Jakarta dan semakin ramai. Perkembangan majelis taklim tidak hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga berkembangan di seluruh Indonesia. Semua majelis tersebut tentu saja dimaksudkan untuk pembinaan ummat Islam. Oleh karena itu, timbul ide agar lembaga-lembaga tersebut diwadahi dalam satu organisasi tersendiri. Dengan alasan itu, Tutty Alawiyah mempelopori dibentuknya organisasi yang mengkoordinasi kegiatan majelis taklim dengan nama Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT). Adalah K.H. Abdullah Syafi'ie yang meresmikan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) pimpinan putrinya tahun 1981.
Kiprah di Bidang Pendidikan Dalam usianya yang masih muda, Abdullah Syafi’ie sudah mulai muncul ide-ide cemerlangnya. Ketika itu, Abdullah Syafi’ie membayangkan sebuah halaqah di rumahnya sebagai tempat diskusi. Cinta-cita itu kemudian disampaikan kepada ayahnya dan lokasi yang dipilih adalah kandang sapi yang ada di belakang rumahnya. Ayahnya pun setuju dengan keinginan Abdullah, maka berubahlah kandang sapi menjadi tempat pengajian. Setelah halaqahnya mulai berjalan, K.H. Abdullah Syafi'ie kemudian mendirikan masjid al-Barkah. Pada usianya yang ke 23 tahun atau pada tahun 1933, Masjid al-Barkah pun selesai dibangun di Bali Matraman. Pada tahun 1940-an, Abdullah Syafi’ie telah membangun madrasah tingkat ibtidaiyah, dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari kalangan keluarga dekat. Antara tahun 1954-1980, beliau mengembangkan lembaga pendidikannya dalam bentuk 50
pesantren. Institusi pesantren ini kemudian mengambil beragama bentuk, yaitu pesantren putra, pesantren putri, pesantren trandisional dan pesantren khusus anak yatim. Selain mendirikan pesantren, juga merintis pengajian bagi kaum ibu. Pada tahun 1948, Abdullah Syafi’ie telah mendatangkan guru bahasa Inggris untuk murid-murid madrasahnya. Setelah itu, beliau juga mendirikan sekolah umum (SMU) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), pendidikan taman kanak-kanak, majelis taklim, poliklinik, hingga universitas. 19 Pada tahun 1968, beliau mengembangkan sayap pembangunan lembaga pendidikan Islam di Jatiwaringin Bekasi dan menjadikan kota itu sebagai kota pelajar. Pada tahun 19741975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin. Pada tahun 1978, membangun pesantren khusus untuk Yatama dan Masakin. Pengembangansarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke skitar Jakarta, seperti Cilangkap-Pasar Rebo, Payangan-Bekasi, Kampung Jakasampurna-Bekasi. Sebelum meninggal, beliau bercita-cita ingin punya pesantren al-Qur’an. Cita-cita itu diwujudkan oleh putranya K.H. Abdul Rasyid yang membangun pesantren alQur’an di Pulo Ari-Sukabumi dari tanah wakaf seorang pengusaha restoren Lembur Kuring, H. Sukarno, mewakafkan tanahnya seluas 3,3 hektar di Jl. Sukabumi – Cianjur. Pada awalnya tanah itu adalah tempat rekreasi. Sekarang, pesantren K.H. Abdullah Syafi'ie telah menempati tanah seluas 27 hektar dengan sarana bangunan yang cukup lengkap. K.H. Abdullah Syafi'ie telah meninggalkan 63 buah lembaga pendidikan Islam sebagai wujud cita-citanya yang mulia dalam rangka memajukan ummat Islam Indonesia. 20 Lembaga pendidikan yang didirikan oleh Abdullah Syafi’ie secara singkat adalah sebagai berikut: 1. Madrasah al-Islamiyah tahun 1940
19
Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Jakarta: Penamadani, 2003), h. 113. 20 H. Adi Badjuri (mantan wartawan TPI dan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar), “Mengenal K.H. Abdullah Syafi’ie dari Dekat, “ dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 124.
51
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
2. Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah (Pagi Sore) 1954 dan secara resmi berada di bawah Yayasan Perguruan Islam AsSyafi’iyah. 3. Madrasah Tsanawiyah lil Muballighin wal Muallimin tahun 1957. 4. SD, SMP, SMA, SMK as-Syafi’iyah 5. Pesantren putra dan pesantren putri 1963 (tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah). 6. Akademi Pendidikan Islam (AKPI) as-Syafi’iyah tahun 1965. 7. Pesantren Tradisional (Salaf) tahun 1977 8. Pesantren Khusus Yatim tahun 1977 9. AKPI menjadi Universitas Islam As-Syafi’iyah tahun 1984.
1. Pesantren Putra-Putri Pada tahun 1954 Abdullah Syafi’ie membeli tanah di depan masjid al-Barkah. Ia mengembangkan madrasahnya dan diberi nama Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah (pagi-sore). Pada saat ini pula disahkan dan diresmikan bahwa semua lembaga pendidikannya berada di bawah Yayasan Perguruan AlSyāfi’iyah, yang di dalamnya ada lembaga pesantren putra-putri, dan madrasah yang berjenjang mulai Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Pesantren yang pertama kali membuka kelas I dan II, jumlah muridnya ada 24 siswa, 9 tenaga pengajar, sedang jumlah mata pelajarannya berjumlah 20. Bertepatan denga dibukanya pesantren dibuka pula tingkat Tsanawiyah yang santrinya berasal dari ibukota dan sekitarnya. Mereka bergabung dengan murid pesantren. Waktu belajarnya pagi, mereka mengaji kitab tertentu pada waktu tertentu pula yang langsung diasuh oleh Abdullah Syafi’ie. Santrinya ada yang mukim di tempat Abdullah Syafi’ie, ada pula yang pulang ke rumahnya yang dekat dengan pesantren. Pada tahun 1960 dibangunlah gedung yang bertingkat sehingga dapat menampung tempat belajar siswa dan tempat mukim para santri. Pada tahun 1963 pesantren mendapat ketetapan Badan Hukum dengan ditingkatkan menjadi Yayasan Pendidikan Islam Perguruan Al-Syāfi’iyah dengan Akte Notaris RM. Soerojo No. 100 tahun 1963.
52
Pendidikan pesantren tampaknya merupakan pengembangan atau kelanjutan dari pendidikan madrasahnya. Sebagai ulama ia rupanya masih mengembangkan tradisi ulama pada umumnya yang mengembangkan pendidikan Islam dengan berbasiskan kepada pendidikan pesantren. Sekalipun ia mendirikan dan mengembangkan pendidikan umum, seperti Sekolah Dasar (SD) di peguruannya, namun sebagai ulama ia masih tetap berbasiskan kepada lembaga pendidikan pesantren. Secara umum lembaga pendidikan yang didirikannya sebagai tempat untuk mencetak para ulama dan zu’ama.
Selanjutnya, ia mendirikan dan mengembangkan pesantren putra-putri di Jatiwaringin Jakarta, pada bulan Agustus 1976 di atas luas tanah 40.000 𝑚2 . Peresmian pesantren putra dihadiri oleh para pejabat tinggi negara seperti Menteri Agama Mukti Ali, Faisal Tamim sebagai wakil Mendagri, Ny. Nelly Adam Malik, Ny. Ali Sadikin, juga Jendral A,H. Nasution, HAMKA, Yunan Nasution dan lain-lain. 21
21
Majalah Kiblat, (Jakarta), Agustus 1976.
53
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Pesantren ini menggunakan model sistem keterpaduan antara sistem pesantren tradisional dengan sistem madrasah untuk pendidikan agama, dan sistem sekolah untuk pendidikan umum dan keterampilan. Di pesantren ini digunakan sistem yang memadukan antara sistem pengajaran perorangan dan sistem pengajaran bersama. Dengan sistem ini dimungkinkan murid yang berbakat, cerdas, dan tekun lebih cepat menyelesaikan program studinya daripada yang lain. Madrasah dan sekolah yang dikenal sebagai bentuk pendidikan klasikal dengan mengutamakan masing-masing untuk pendidikan umum, lebih memungkin terlaksananya program studi yang sama bagi seluruh pelajaran yang harus diselesaikan pada waktu yang sama pula. Ketiga bentuk itu hendak digabung secara terpadu dalam pesantren, menjadi suatu sistem pendidikan yang diatur menjadi: Pertama, madrasah untuk pendidikan agama denga target pengetahuan agama yang sama dengan Tsanawiyah dan Aliyah. Kedua, sekolah untuk pendidikan umum dan keterampilan denga target pengetahuan umum yang sama dengan lulusan SMP dan SMA. Ketiga, pesantren untuk lebih mengkhususkan murid mendalami sesuatu bidang pengajaran yang digemarinya, baik
54
melalui kelompok belajar maupun secara perorangan. Waktunya dapat diatur pagi hari setelah subuh atau setelah maghrib/isya’. Hal itu dimungkinkan karena murid tinggal di asrama. 22 Di samping itu, dikembangkan pula suatu metode pengajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris, di mana murid-murid dalam pergaulannya sehari-hari diwajibkan berkonsultasi sesamanya dengan salah satu dari dua bahasa itu. Dengan cara tersebut diharapkan selama enam tahun seorang murid pesantren akan memperoleh pengetahuan agama yang setingkat Aliyah dan pengetahuan umum yang setingkat dengan SMA dan dapat berbahasa Arab dan bahasa Inggris. Sedangkan di bidang mental spiritual anak didik akan memiliki kepribadian sebagai ulama dan pemimpin umat dengan satu bidang spesialisasi yang dipilihnya yaitu apakah ia akan menjadi pendidik atau menjadi da’i. 23
2. Pesantren Tradisional Pesantren Tradisional (Salaf) merupakan pesantren “awal” atau cikal bakal dalam pengembangan pesantren yang berkembang pada fase-fase berikutnya, seperti pesantren Khalaf dan pesantren plus sekarang ini. Pesantren ini pertama kali dicetuskan oleh Raden Rahmad, salah seorang Walisongo pada abad 16 yang berlokasi di daerah Gresik, Jawa Timur. Pembelajaran pesantren tradisional menggunakan sistem belajar wetonan, sorogan atau sistem halaqah. Pesantren tradisional Abdullah Syafi’ie didirikan pada tahun 1977 di Jatiwaringin. Di pesantren ini azasnya tetap memiliki ciri-ciri pesantren tempo dulu, dalam arti tidak mengenal sistem kelas, dan lama belajar. Tetapi, menggunakan sistem kelompok pengajian dengan sistem halaqah. 24 Berdirinya pesantren ini dimaksudkan agar santrinya dapat memahami kitabkitab klasik, dan dari institusi pesantren ini diharapkan dapat
22
Abdullah Syafi’ie dkk. Berkenalan dengan Pesantyren Al-Syafi’iyah, (Jakarta, t.p., 1981), h. 5. 23 Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, h. 6. 24 Abdullah Syafi’ie, Berkenalan h. 9.
55
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
mencetak para ulama yang dapat merespons problema masyarakat. Di pesantren ini, diatur kelompok-kelompok pengajian (halaqah) dan para santrinya diwajibkan memilih halaqah, menurut kemampuan dan kebutuhannya. Halaqah, yaitu mengaji salah satu kitab yang sesuai dengan kurikulum yang ditentukan dengan bimbingan seorang badal kyai. Selain itu, dapat dibantu oleh seorang asisten (musāid-musāidat) yang bila perlu bertindak sebagai pengganti tugas badal terutama bagi pelajar yang mendapatkan kesulitan dalam memahami pelajaran. Evaluasi belajar diatur dengan cara yang lain dari sekolah biasa. Untuk halaqah diatur oleh badal, sedangkan untuk paketpaket pendidikan oleh asisten, dan untuk kehidupan di pesantren serta peribadatan oleh para tentor. Prestasi santri terakhir tidak saja ditentukan oleh nilai-nilai prestasi belajar yang dicerminkan di halaqah dan paket-paket pendidikan, tapi ditambah atau dikurangi dengan prestasi kehidupan pesantren atau kepribadian yang diatur oleh “tentor”. Seorang pelajar dapat pindah halaqah atau dapat mengambil paket selanjutnya atas seizin badal atau pimpinan pesantren. 25
Untuk pelajaran umum, santri harus mengikuti program wajib yang sistemnya mirip dengan sistem klasikal pada sekolah biasa. Di program ini materi pelajaran merupakan saripati ilmuilmu sosial dan bahasa yang diajarkan di SMP/SMA jurusan 25
56
Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, h. 9.
sosial dan bahasa, ditambah program khusus da’wah dan tarbiyah. Adapun program pendidikan terdiri dari 3 komponen, yakni: Pertama, komponen ilmu-ilmu agama, yang meliputi bidang pengajaran ilmu tauhid, fiqh, hadits, tafsir dan akhlak/tashawuf. Kedua, komponen ilmu alat yang terdiri dari bahasa Arab beserta ilmu alat yang berkaitan dengan ilmu itu. Ketiga, komponen pengetahuan umum, terdiri dari serangkaian ilmu-ilmu umum dan bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia yang merupakan saripati dari pelajaran di SMP/SMA ditambah dengan dasar-dasar ilmu da’wah dan pendidikan. 26 Untuk komponen pelajaran ilmu-ilmu agama dan ilmu alat ditempuh melalui sistem halaqah dan sistem sorogan (paket pendidikan), sedangkan untuk pengetahuan umum akan ditempuh melalui pengajaran kelas. Pelaksanaan pendidikan pesantren terdiri dari 4 kelompok santri, yang diatur menjadi: Pertama, kelompok A yang merupakan kelompok dasar diberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu agama. Kedua, kelompok B merupakan penghalusan dari kelompok A yang standar ilmu agamanya sama dengan tingkat Tsanawiyah. Ketiga, kelompok C yang merupakan kelompok lanjutan akan diberikan ilmu-ilmu agama dalam bentuk lanjutan. Keempat, kelompok D merupakan pengahalusan kelompok C yang standar ilmu agamanya sama dengan ilmu-ilmu Aliyah. 27 Dalam kehidupan sehari-hari para santri akan dikembangkan pula sistem “tentor” yang lazim dikenal di pesantren. Yang menjadi “tentor” adalah para santri yang dipandang sudah senior, ia diwajibkan membimbing temantemannya yang masih yunior, baik dalam pemahaman ilmu maupun dalam kehidupan beragama dan ke pesantrenan. Seorang santri yang telah memiliki prasyarat tertentu akan diarahkan menjadi tentor dan kemudian bila telah matang lagi dapat ditunjuk menjadi asisten (musāid-musāidat), dan selanjutnya menjadi badal bahkan akan menjadi kyai suatu pesantren. 26 27
Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, h. 10. Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, h. 11.
57
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Selain sistem halaqah, para santri diwajibkan untuk memilih bahan-bahan pendidikan (disebut paket pendidikan) yang dipilihnya dari paket-paket yang disediakan pesantren. Paket ini menggunakan sistem “sorogan” dengan bimbingan tentor atau para asisten. Sistem ini di samping dapat mengembangkan kreativitas pelajar juga berfungsi mengembangkan kreativitas para tentor dan asisten yang ada.
3. Pesantren Khusus Yatim Pesantren khusus atau pesantren khusus yatim ini didirikankan Abdullah Syafi’ie pada tahun 1977, adalah model lain dalam wacana pesantren di Tanah Air. Pendirian pesantren khusus ini diduga didasari oleh adanya sebagian orang di masyarakat yang ditinggalkan kedua orang tuanya; dan atau mereka yang hidupnya sangat miskin dan memprihatinkan, sehingga untuk masuk ke sekolah mereka kesulitan biaya. Selain itu, didorong pula oleh semangat ajaran Islam yang tersirat di dalam ayat-ayat al- Qur’an. Ayat al-Qur’an menganjurkan agar umat berjuang, memberikan pengorbanan untuk memperhatikan dan membela nasib golongan lemah dan masyarakat kecil (Q.S. al-Nisa’, ayat 75). Sebaliknya, sikap enggan memperhatikan nasib anak yatim dan sikap mengabaikan kepentingan golongan miskin, sebagai pertanda pembangkangan terhadap ajaran agama (Q.S. al-Ma’un, ayat 2). Pada ayat yang lain diungkapkan bahwa, ada pelarangan untuk menghina dan menghardik anak-anak yatim serta mencelanya (Q.S. al-Dhuha, ayat 9 dan al-Fajr, ayat 17). 28
28
Agak lengkap pembahasan tentang anak yatim, lihat dalam buku Tutty Alawiyah dkk., Yatim dan Masalahnya, (Jakarta: UIA Press, 1988), h. 15.
58
Pesantren khusus ini sebenarnya telah dirintis oleh Abdullah Syafi’ie tahun 1970 di Balimatraman. Pesantren itu semakin dikembangkan pada tahun 1977 di Jatiwaringin. Di pesantren ini ditampung sebanyak 268 orang putra-putri, kemudian pada tahun 1980 jumlah santrinya mengalami perkembangan hingga mencapai 340 siswa-siswi. Di pesantren khusus ini para siswa diharapkan memiliki akhlak yang mulia dan akan menjadi warga masyarakat yang baik, bertakwa kepada Allah serta mengamalkan ajaran Islam dengan cara perkembangan dan perjuangan umat Islam dalam skala nasional dan internasional, memiliki pengetahuan umum dan kejuruan yang dipilihnya. Siswa diharapkan pula mampu berkomunikasi dengan masyarakat, berpidato, mengarang, menulis, kerajinan tangan dan kesenian serta lain-lainnya. Siswa diharapkan pula memiliki cinta kasih sesama manusia dan alam sekitar, menghargai seni budaya nasional serta selektif dengan budaya asing, jujur, tabah, berdedikasi, berdisiplin, tekun dan lainnya. 29 Siswa yang belajar di pesantren ini adalah anak yatim dan anak golongan tidak berpunya di atas usia SD/Ibtidaiyah. Karena mereka diharapkan cepat kembali ke lingkungan keluarganya, maka masa pendidikan mereka tidak terlalu lama, cukup 3 tahun. 29
Abdullah Syafi’ie dkk., Berkenalan, h. 14-15
59
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Program pendidikan ditekankan kepada pembinaan keterampilan sebagai bekal kehidupannya dan mereka dibekali pula dengan ilmu pengetahuan dan sikap beragama. Program keterampilan yang diberikan kepada mereka hanya merupakan “basic knowledge” untuk membuka kesempatan untuk melanjutkan studinya, di samping untuk bekerja di masyarakat. Adapun jenis program yang disediakan bagi mereka adalah: Pertama, program pendidikan agama dan bahasa Arab. Materi pengajaran agama dan bahasa Arab sebagai sarana penunjang, pendidikan agama diberikan secara selektif dan dibatasi dalam hal yang bersifat praktis. Kedua, program pendidikan keterampilan, berfungsi untuk pembinaan keterampilan, sebagai bekal kerja mereka di kemudian hari di masyarakat. Pada tahun pertama program keterampilan diberikan secara umum dan mendasar, sedangkan pada tingkat II mereka diharuskan memilih program spesialisasi untuk pendalaman. Pada tahun ini mereka dimagangkan pada salah satu perusahaan yang relevan. Ketiga, program pelengkap yang berfungsi sebagai alat pelengkap untuk mendalami agama dan ilmu atau bidang studi yang mendukung pendidikan keterampilan. 30 Kegiatan belajar mereka lakukan tidak sekedar menekankan pencapaian dan pengumpulan pengetahuan yang bersifat teoritis, namun ditekankan pula pada hal-hal yang bersikap praktis. Pembinaan kepribadian, sikap dan nilai tidak cukup dilakukan melalui jalan pengajaran belaka. Tetapi juga melalui nternalisasi dan aplikasi nilai dan norma. Untuk itu diperlukan asrama atau pesantren bagi mereka. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem pendidikan pada “sekolah kerja”, yang pengaturannya sebagai berikut: Pertama, untuk pendidikan keterampilan pada tahun pertama mereka diperkenalkan dengan dasar-dasar dari pelbagai jenis keterampilan yang dipilih seperti montir, penjahit, beternak, pelistrikan, administrasi perkantoran dan mereka mulai diarahkan melalui seleksi untuk jenis keterampilan yang dipilihnya. Kedua, semester II tahun II mereka mulai dimagangkan untuk tahap I. ketiga, pada tahun III semester I mereka kembali ke kampus 30
60
Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, h. 19.
untuk menguji pengalaman selama kerja magang di lapangan dengan teori yang sudah dipelajari. Setelah itu untuk beberapa lama sebelum penghujung semester II tahun III, mereka kembali kerja lapangan untuk pemantapan ilmu dan prakti yang mereka terima. Kemudian barulah mereka menempuh ujian akhir. Keempat, pendidikan agama dan pendidikan pelengkap berjalan menurut sistem yang biasa pada madrasah dan sekolah kejuruan setingkat. 31 Lembaga-lembag pendidikan pesantren Abdullah Syafi’ie cukup beragam, ada pesantren yang bercorak modern (khalaf) seperti tergambar pada pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim serta pesantren tradisional (salaf), seperti tergambar pada pesantren tradisionalnya. Di kedua pesantren yang bersifat Khalaf itu, materi pelajarannya ditekankan pada penguasaan ilmu agama dan ilmu umum, dan bersifat klasikal. Hanya saja kalau di pesantren putra-putri dan tradisional penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat akademik, sementara itu, pada pesantren khusus yatim bersifat “sekolah kerja”. Kemudian, bila pendidikan pesantren putra-putri dan tradisional diperuntukkan bagi masyarakat umum, maka di pesantren khusus yatim hanya hanya diperuntukkan bagi anak yatim atau anak yang tidak mampu. Sementara itu, materi pelajaran pada pesantren tradisional Abdullah Syafi’ie, hampir 100 persen mata pelajaran agama – melalui media kitab kuning. Pendidikannya dilakukan dengan sistem klasikal pada pagi hari dan menggunakan sistem halaqah dan bandongan pada sore hari dan malam. Pendidikan model ini dimaksudkan untuk menciptakan seorang ulama yang menguasai ilmu-ilmu keislaman.
4. Perguruan Tinggi Seperti telah diuraikan bahwa pada tahun 1965, K.H. Abdullah Syafi'ie dan Tutty Alawiyah melakukan banyak musyawarah dengan sahabat dan tokoh Islam yang lain hendak mendirikan perguruan tinggi yang dapat membentengi ummat Islam dari pengaruh paham komunis yang sedang marak ketika itu. Akhirnya, didirikanlah Akademi Pendidikan Islam (AKPI)
31
Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, h. 20.
61
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
as-Syafi’iyah sebagai tempat menempa para Muallimin dan Muballighin as-Syafi’iyah. AKPI berjalan dengan baik dengan memperkenalkan dan melakukan terobosan pengajaran ulama, seperti K.H. Abdullah bin Nuh, K.H. Abdullah bin Musa, K.H. Abdullah Arfan, K.H. Fathullah Harun, Said Muhammad Asri, dan lain-lain. AKPI semula direncanakan peresmiannya pada tanggal 19 September 1965, namun trangedi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang amat mengerikan, padahal ketika itu akan dibuka kuliah perdana oleh Jend. TNI Abdul Haris Nasuiton. Namun, dalam tragedi itu beliau termasuk yang akan dikorbankan, tetapi masih dilindungi oleh Allah Swt sehingga selamat. Akhirnya, dua minggu kemudian, Muhammad Hatta meresmikan AKPI dengan kulia perdana beliau yang bertempat di Aula Perguruan AsSyafi’iyah Balimatraman, Jakarta Selatang. Tidak lama kemudian, seiring dengan pendirian Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah, AKPI berubah nama menjadi Univeristas Islam As-Syafi’iyah (UIA). Saat itu, UIN hanya memiliki tiga fakultas, yaitu Fakultas Dakwah perubahan dari Fakultas Ushuluddin, Fakultas Bahasa Arab, dan Fakultas Ekonomi. Yayasan yang menjadi induk UIA kurang berjalan dengan baik sehingga akhirnya muncul gagasan K.H. Nurul Huda atas ide besar K.H. Abdullah Syafi'ie untuk mendirikan yayasan yang akan menaungi semua lembaga yang ada. Ada dasar itu, dibentuklah Yayasan As-Syafi’iyah yang didirikan oleh tiga orang pendirinya, yaitu K.H. Abdullah Syafi'ie, Tutty Alawiyah AS, dan Abdul Rasyid AS. Melalui yayasan tersebut, K.H. Abdullah Syafi'ie mendirikan Ma’had Aliy Darul Arqam atau pesantren tinggi. Selain itu, AsSyafi’iyah juga bekerjasama dengan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) tahun 1979 untuk memberikan beasiswa bagi guru-guru utama dan berkualitas. Selanjutnya, membuat Sekolah Tinggi Wiraswasta (STW) di Jatiwaringin yang didirikan atas kerjasama dengan Probo Soetedjo dan beberapa aktivis LSM. Jimly As-Shiddieqy sebagai aktivis LP3ES bersama-sama dengan Adi Sasono dari LSP, Amin Rais dari PPA, Dawam Rahardjo dari LSAF dan lainnya pada tahun 1979 berkeinginan mendirikan sekolah tinggi wiraswasta. Mereka bersama-sama mencari partner dan disepakati berpartner dengan Perguruan 62
Islam as-Syafi’iyah. Pada waktu itu, K. H. Abdullah Syafi'ie mendapat tanah wakaf di Jatiwaringin. Beliau melamun mengenai apa yang bisa dibuat dengan lahan wakaf tersebut dan terpikir olehnya membuat LSM. Orang-orang LP3ES punya ide mengembangkan sekolah wiraswasta dengan menggunakan metode partisipatory education yang Jimly sendiri terlatih di situ. K. H. Abdullah Syafi'ie sendiri berkeinginan mendirikan universitas. Akhirnya, pada tahun 1979, Jimly As-Shiddieqy bersama Utomo Dananjaya dari DKJ-TIM, dan lainnya dilibatkan dalam penyusunan rencana Universitas Islam As-Syafi’iyah. Setelah berdiri, UIA menjadi perguruan tinggi pertama menjadi pusat training, penataran, termasuk penataran ormas Islam. 32 Kesediaan K.H. Abdullah Syafi’ie menerima Akademi Wiraswasta As-Syafi’iyah yang notabene didirikan oleh anakanak muda yang berasal dari LSM menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang terbuka dan dapat menerima ide-ide baru. 33 Setelah tiga tahun berjalan, ketiga perguruan tinggi: Universitas Islam As-Syafi’iyah, Ma’had Aliy Darul Alqam, dan Sekolah Tinggi Wiraswasta diupayakan agar dikelolah dalam satu lembaga tinggi As-Syafi’iah. Untuk itu, dibentuklah presidium untuk melahirkan lembaga yang dimaksud. Tutty Alawiyah mencoba mewujudkan impian ayahnya memiliki sebuah universitas yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi ajaran agama Islam yang kuat. Akhirnya, lahirlah Universitas Islam As-Syafi’iyah yang resmi beroperasi pada tahun 1984. 34
32
Jimly As-Shiddieqy, “Kiyai Abdullah Syafi’ie Ulama Kreatif,” dalam Alawiyah AS, K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan, h. 51. 33 Dawam Rahardjo, “K.H. Adullah Syafi’ie Orang Terbuka dan Reseptif dengan Gagasan Baru,” dalam dalam Alawiyah AS, K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan, h. 69. 34 Tutty Alawiyah AS, “K.H. Abdullah Syafi'ie Menggagas Perguruan Tinggi dan Pesantren Khusus Yatim dan Miskin,” dalam Tutty Alawiyah AS, K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan, h. 2327.
63
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Dengan demikian, menurut Dawam Rahardjo, K.H. Abdullah Syafi'ie sebagai seorang kiai merupakan tokoh Betawi yang terbesar karena berhasil mendirikan satu lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas. Jadi, beliau berhasil dengan pikiran dan gagasan modernnya dapat mengembangkan pendidikan. 35
Karya Akademik Keagamaan Karya K.H. Abdullah Syafi’ie mencakup kelembagaan, karya tulis, dan ceramah-ceramah yang direkam dalam ratuskaset. N Karya tulis yang berhasil dilacak peninggalah Abdullah Syafi’ie sebanyak sepuluh buah karya, di samping karya
35
Dawam Rahardjo, “K.H. Adullah Syafi’ie Orang Terbuka dan Reseptif dengan Gagasan Baru,” h. 70.
64
terjemahannya. Karya-karya tertulis tersebut adalah sebagai berikut ini: 36 a. al-Muassasāt Al-Syāfi’iyah al-Ta’līmiyah. Karya ini menjelaskan tentang latar belakang Abdullah Syafi’ie mendirikan pendidikan madrasahnya, serta menggambarkan pula tentang materi pendidikan/ pelajaran. b. Bir al-Wālidaini. Karya ini membicarakan bagaimana kondisi seorang ibu yang sedang mengandung dan setelah melahirkan; dan bagaimana pemberian nama kepada si anak; proses memelihara anak dan mengisi jiwanya serta ke arah mana anak dididik. Perlunya sejak dini menanamkan jiwa agama dan pengamalan agama, menceritakan perlunya seorang anak berbakti kepada orang tua serta keberuntungan yang diperoleh seseorang apabila berbakti atau berakhlak kepada kedua orang tua. c. Berkenalan dengan Perguruan Al-Syafi’iyah. Karya ini menggambarkan tentang latar belakang serta tujuan, kurikulum dan lainnya yang berkaitan dengan pendirian pesantren putra-putri, pesantren khusus yatim dan pesantren tradisional. d. Penduduk Dunia Hanya Ada Tiga Golongan. Dalam karya ini Abdullah Syafi’ie menyoroti manusia dalam tiga kelompok, yaitu pertama kelompok mukmin, kedua kelompok kafir, dan ketiga kelompok munafiq. Manusia kelompok pertama adalah manusia yang meyakini Allah serta mengikuti perintahnya serta menjauhi larangannya. Manusia kelompok kedua adalah manusia yang tidak percaya kepada Allah serta senantiasa melanggar perintah-Nya. Manusia kelompok ketiga adalah manusia yang berada di tengah keraguan, sehingga apa yang terucapkan sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya. Dua bentuk manusia tersebut yaitu manusia yang kafir dan munafiq senantiasa mereka dalam kerugian terutama di akhirat. 36
Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, h. 133-135.
65
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
e. Mu’jizat Saiyidunā Muhammad, karya ini berbicara tentang mu’jizat Nabi Muhammad, juga mu’jizat nabi-nabi lainnya seperti Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan lainnya. Nabi Muhammad dalam pandangannya mempunyai kelebihan dibandingkan dengan nabi-nabi lainnya. Misalnya Muhammad adalah cahaya, alam semesta ini ada karena ada cahaya Nabi Muhammad. Mu’jizat nabi-nabi lainnya juga dipunyai oleh Nabi Muhammad. f. Al-Dīnu wa al-Masjid. Karya ini membahas tentang hubungan yang erat antara agama dan tempat ibadah (masjid). Pentingnya membangun masjid bagi umat Islam. Orang yang ikut membangun dan memakmurkannya akan mendapat keutamaan dan pahala yang besar. g. Madārij al-Fiqhi. Abdullah Syafi’ie membahas di dalam kitab ini tentang pengertian agama, pengertian Islam, pengertian iman dan rukun-rukunnya, juga berbicara tentang najis dalam konteks shalat, juga masalah pelaksanaan shalat, tentang qunut dan lainnya. h. Hidāyah al-Awwam. Karya ini membahas tentang sifat-sifat Allah yang wajib dan mustahil. Kemudian ia membahas pula masalah iman kepada para malaikat, kitab-kitab Allah, juga iman kepada nabinabi Allah dengan sifat-sifatnya seperti fathanah dan lainnya. i. Al-Ta’līm al-Dīn. Karya ini membicarakan ajaran tentang siapa pencipta manusia, apa agamanya, siapa imannya, kiblatnya yang luas ini, juga membahas tentang rukun Islam dan rukun iman. j. Al-Mahfuzhāt (sebanyak III jilid). Karya ini berisi sejumlah materi hadis utama yang singkat, seperti hadis tentang keutamaan iman, tentang keutamaan membaca al-Qur’an, keutamaan orang yang menuntut ilmu serta manfaat orang berilmu dan sebagainya. Karya tulis Abdullah Syafi’ie tersebut semuanya di bidang ilmu agama Islam. Karya tulisnya ada yang berkaitan dengan bidang pendidikan Islam seperti dalam tulisan yang berjudul al66
Muassasāt Al-Syāfi’iyah al-Ta’līmiyah, Berkenalan dengan Perguruan Al-Syafi’iyah dan lainnya. Karya tulisnya yang berkaitan dengan bidang ilmu tauhid terlihat dalam tulisannya yang berjudul Al-Ta’līm al-Dīn. Karya tulis yang berkaitan dengan bidang hadits terdapat dalam tulisannya yang berjudul AlMahfuzhāt. Dari karya-karya itu tampaknya minat keilmuan Abdullah Syafi’ie di bidang keilmuan agama Islam cukup bervariasi. Adapun karya dalam bentuk rekaman ceramah dalam kasetkasetnya jumlahnya ratusan. Jumlah tersebut memang sangat memungkinkan karena hampir semua ceramahnya direlai melalui radio as-Syafi’iyah dan ada rekamannya. Bahkan, sampai sekarang sebagian dari kaset-kaset tersebut masih sering diputar ulang di RAS FM. Adapun materi dan kadungannya berisi tentang berbagai macam bidang ilmu agama. Penulis tidak sempat memutar kaset-kaset tersebut karena kendala waktu dan teknis, namun sebagian di antaranya sudah pernah ditranskrip oleh Hasbi Indra. 37 Menurutnya, materi keilmuan yang dibahas Abdullah Syafi’ie di dalam kaset-kasetnya itu sangat berragam. Materi yang dibicarakan berkisar masalah-masalah yang berkaitan dengan proses penciptaan manusia dan pada saat tiba ajalnya; masalah yang berkaitan dengan masalah keimanan dan keislaman; masalah yang berkaitan dengan pentingnya shalat dan pengampunan dosa; masalah yang berkaitan dengan kemuliaan kitab suci al-Qur’an; masalah pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta masalah-masalah lainnya. Masalah-masalah yang dibicarakannya umumnya masalah aktual dalam kehidupan masyarakat Jakarta.
Pengaruh Dakwahnya di Jakarta Abdullah Syafi’ie telah menunjukkan kiprah dna peranannya dalam perkembangan agama Islam di kota Jakarta. Sebagai seorang ulama ia berperan sebagai penjaga moral masyarakat dengan menggunakan masjid sebagai tempat untuk memberi pengajaran Islam kepada umat. Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam, pertama kali ia dirikan di dekat rumah 37
Hasbi Indra, Pesantren dan Tranformasi Sosial, h. 135-140.
67
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
tinggalnya dan ia namai masjid itu dengan nama Masjid AlBarkah. Pada saat itu di Jakarta, nama masjid masih banyak dinamai dengan nama lokasi di mana masjid itu berdiri, seperti masjid Manggarai, masjid Kwitang dan lain-lain. Namun, sejak ia memberi nama masjid dengan ‘sighat’ bahasa Arab itu, maka kemudian nama-nama masjid di Jakarta mulai menggunakan ‘sighat’ bahasa Arab, seperti masjid Istiqlal, masjid al-Azhar. Sementara itu, kota Jakarta sebagaimana diketahui sebagai ibukota Negara dan juga sebagai kota metropolitan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dinamika terjadi, sebagai akibat dari derasnya pembangunan, yang juga menimbulkan dampak yang sangat negatif di tengah masyarakat Jakarta, berupa munculnya dekadensi moral, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Untuk mengatasi dampak dari pembangunan itu, ia mulai membentuk masyarakat muslim yang belajar agama melalui pengajian yang diselenggarakan di masjid. Masjid dijadikannya bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi ia jadikan pula sebagai tempat mengajar agama yang biasa penyelenggaraannya pada Selasa malam. Dalam pengajian agama ini Abdullah Syafi’ie membaca kitab-kitab, seperti kitab Riyādl al-Shālihīn dan lainnya. Di samping itu pula, Abdullah syafi’ie memberikan pengajian di masjid-masjid yang ada di sekitar Jakarta, seperti masjid al-Azhar, yang waktunya seminggu sekali atas permintaan masyarakat Betawi di sana. Pada saat Nisfu Sya’ban ia biasa berpidato di kota Pekalongan dan Tegal dalam peringatan Haul seorang Habib yang sangat dicintai masyarakat di sana. Juga berda’wah di luar negeri seperti ke Malaysia dan Singapura. 38 Model pengajian yang dilakukan oleh Abdullah Syafi’ie ini di kemudian hari banyak ditiru dan mengalami perkembangan yang sangat pesat di Tanah Air, yang biasa disebut dengan Majelis Taklim. Majelis Taklim ini telah berkembang ke seluruh Tanah Air dengan mengambil nama yang beraneka ragam, seperti Majelis Taklim al-Hidayah, Majelis Taklim al-Muhajirin, dan sebagainya. Selain melalui forum pengajian ini, Abdullah Syafi’ie menyampaikan pesan-pesan agama Islam melalui alat komunikasi 38
Tutty Alawiyah (Ed.), KH. Abdullah Syafi’ie Tokoh Harismatik 1910-1985, h. 5-7.
68
yang canggih dan modern yaitu Radio Al-Syafi’iyah yang ia dirikan. Dia sangat pandai beretorika dalam pidatonya, suaranya lantang. Jika ia di mimbar, isi pidatonya sering vokal dan sesekali diselingi oleh sindiran dalam bahasa Betawi. Karena begitu mantap isi tablighnya, maka tidak ada yang menjerit dan menangis histeris terutama ketika ia menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan datangnya hari kiamat.
Ia menyadari, bila ia memberi pengajian melalui alat teknologi canggih yang pada saat itu melalui radio, maka jangkauannya sangat luas. Selain itu, melalui pesan-pesan agamanya yang disampaikan melalui sarana yang ia miliki, dimaksudkan sebagai benteng umat dari pengaruh ajaran Partai Komunis. Ia mendirikan Radio Syafi’iyah tahun 1967 untuk mengimbangi atau melawan pengaruh Universitas Rakyat yang didirikan PKI. 39 Melalui stasiun radio itu pula ia mengingatkan umat Islam untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari pengaruh buruk Kwa Hwe, Toto Koni, dan perjuadian lainnya. 40 Ia menghimbau pula para pendengarnya agar menghindarkan diri dari Night Club dan Stambath. Melalui radio pula ia sering mengkritik kebijakan Gubernur Ali Sadikin tentang legalisasi perjudian, pelacuran, dan pembakaran/pembongkaran mayat. 39 40
Utomo Dananjaya, KH. Abdullah Syafi’ie, h. 19. Utomo Dananjaya, KH. Abdullah Syafi’ie h. 19.
69
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Melalui stasiun radionya pula ia menyampaikan bahwa generasi muda Islam, di samping harus memiliki ilmu pengetahuan umum, juga hendaklah memiliki pengetahuan agama dan akidah yang kuat dalam menghadapi godaan pesatnya pembangunan kota Jakarta. Untuk membentuk generasi muda Islam yang berkualitas dan dapat membentengi mereka dari dampak pembangunan yang ada, ia menganjurkan kepada umat agar mendirikan tempattempat ibadah dan tempat-tempat pendidikan yang Islami. Dia menghimbau agar umat Islam peduli dan member bantuan kepada setiap usaha mendirikan masjid dan tempat pendidikan Islam. Dia menghimbau agar umat Islam peduli dan memberi bantuan sesuai dengan kemampuannya. Dari radio itu pula ia menggembirakan orang-orang yang telah membantu mendirikan tempat ibadah dan tempat mendidik generasi muda Islam disertai dengan pemberian pahala dari Tuhan. Melalui radio itu pula ia mempertanggungjawabkan atau memberikan laporan kepada umat yang telah memberikan bantuan. Melalui himbauan radio ini pula bantuan mengalir dari para dermawan yang kaya maupun para dermawan yang berasal dari orang kebanyakan. Melalui salah satu metode yang ia lakukan inilah institusi pendidikan agama dan masjid yang sedang ia bangun semakin berkembang dan telah ada wujudnya. 41 Ia sangat menyadari bahwa kekuatan teknologi dapat mengawetkan pesan-pesan agama yang pernah ia sampaikan, dengan tujuan agar nantinya dapat didengar pula oleh umat di kemudian hari. Untuk itu, pada setiap ceramah yang ia berikan melalui Radio Al-Syāfi’iyah, direkam oleh petugas di stasiun radionya dalam berbagai kaset. Selama perjalanan hidupnya telah ratusan kaset yang dihasilkannya yang isinya menyangkut berbagai tema agama. Hingga sekarang ini Radio Al-Syāfi’iyah masih terus memeperdengarkan ceramah agama Abdullah Syafi’ie dari kaset-kaset yang ada, di samping tetap merekam berbagai ceramah agama dari putra-putri Abdullah Syafi’ie seperti ceramah agama Tutty Alawiyah, Abdul Rasyid dan Ida farida. Ceramah agama melalui radio serta merekam ceramah agama melalui kaset-kaset sekarang ini telah menjadi budaya. 41
70
Utomo, h. 16-17.
Ide-Ide Pembaruan Dakwah Dan Pendidikan Islam
Ide Pembaruan di Bidang Dakwah 1. Pemberian Nama Masjid Seperti telah diuraikan di muka, penamaan masjid yang selesai dibangun Abdullah Syafi’ie pada tahun 1933 dengan nama Masjid al-Barkah merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Masjid-masjid di Betawi pada waktu itu umumnya dikenal dengan nama kampung tempatnya berada. Sebagai contoh, Masjid Kebon Jeruk, Masjid Matraman, dan masjid-masjid yang lain. Menurut keterangan Tutty Alawiyah AS dan beberapa santri seniornya, sejak selesainya Masjid AlBarkah, masjid-masjid yang dibangun sesudah itu di Jakarta dan sekitarnya mulai menggunakan nama-nama Arab dan tidak lagi menggunakan nama kampung.
2. Dakwah Melalui Media Massa Pemanfaatan radio sebagai media dakwah akan memberikan pengaruh yang cukup luas bagi masyarakat. Radio memang memiliki keunggulan dalam hal penyebaran informasi,
71
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
tidak terkecuali informasi mengenai ajaran Islam. Beberapa keistimewaan radio antara lain sebagai berikut: - Bersifat langsung, tanpa melalui proses yang kompleks; - Tidak mengenal jarak dan rintangan; - Memiliki daya tarik yang kuat, karena di dalamnya terdapat beberapa hal menarik, seperti musik, kata-kata dan efek suara. - Biayanya relatif murah; - Menjangkau-tempat-tempat terpencil; - Tidak terhambat oleh kemampuan baca dan tulis. 1 Karena keunggulan yang dimiliki oleh radio tersebut, Abdullah Syafi’ie semakin bersemangat untuk membangun stasiun radio. Dengan radio itulah, beliau dapat menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat secara luas. Ada sejumlah alasan Abdullah Syafi’ie mendirikan pemancar radio ini, yaitu: - Masih banyak para alim ulama yang kehidupannya jauh dari perkembangan teknologi; - Ummat Islam kebayak adalah ummat nomor dua dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Penguasaan ilmu dan teknologi selalu saja menjadi bulan-bulanannya orang Barat. Ummat Islam hanya menjadi konsumen dan penonton saja. Dengan adanya pemancar radio Islam ini, Abdullah Syafi’ie memberikan contoh bagaimana memanfaatkan teknologi sebagai media dalam berdakwah. - Stasiun radio ketika itu merupakan media massa yang paling memungkinkan bagi bangsa Indonesia karena media televisi memerlukan biaya besar dalam operasionalnya. 2
3. Organisasi Lembaga Dakwah Sejak masih dalam usia muda, Abdullah Syafi’ie mendirikan Majelis Taklim As-Syafi’iyah. Majelis taklim ini diperuntukkan bagi kaum bapak dan kaum ibu. Majelis taklim ini 1
Moh Ali Azizi, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Cet. 2. H. 404. 2 Dailami Firdaus, “Latar Belakang Pemikiran Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie”, h. 20-21.
72
berpusat di Masjid Al-Barkah yang dipimpin langsung oleh K.H. Abdullah Syafi’ie, terutama bagi kaum laki-laki. Dalam majelis taklim ini, diisi berbagai program seperti pengajian umum, kajian kitab kuning, pengajian khusus yang menghadirkan ulama dan habaib, serta pengajian yang dikaitkan dengan hari-hari besar keagamaan, seperti Maulid Nabi, Isra’ dan Mikraj, Tahun Baru Islam, dan lain-lain yang hingga saat ini masih dilestarikan. Ada yang khas dari pengajian ini, yaitu setiap kali K.H. Abdullah Syafi’ie memberi pengajian, beliau selalu meminta jama’ah untuk meneriakkan kalimat tauhid dan takbir. Takbir beliau sangat khas dan menimbulkan getaran tersendiri di dada para jama’ah. Dengan mengikuti takbir tersebut, ada di antara jama’ah tanpa sadar meneteskan air mata keharuan. Sementara untuk kalangan ibu-ibu dan remaja putri, pengajian dipimpin oleh Hj. Rogayah, istri K.H. Abdullah Syafi’ie. Setelah Hj. Rogayah meninggal, pengajian dipimpin oleh putrinya Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah dan berlangsung sampai dengan saat ini. Di bawah kepemimpinan putrinya, Abdullah Syafi’ie meresmikan organisasi majelis taklim yang dikenal dengan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang hingga saat ini telah memiliki cabang di seluruh Indonesia. Pengajian kaum ibu Majelis Taklim As-Syafi’iyah merupakan pengajian yang fenomenal dan paling besar hingga saat ini. Pengajian ini sudah dikembangkan sehingga memiliki kurikulum dan materi ajar yang terstruktur. Dulu, pengajian hanya dilakukan dengan sistem “jiping” (Betawi: mengaji dengan menguping saja) tanpa ada materi ajar yang jelas. Metode pengajian majelis taklim dengan menerapkan kurikulum saat ini sudah mulai banyak yang menirunya. 3
3
A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam melalui Pilar Dakwah, Pendidikan dan Sosial,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.) K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan dan Sosial (Jakarta: Universita As-Syafi’iyah, 2011), h. 33-35.
73
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
4. Peran Perempuan dalam Dakwah Pada masa itu, menurut Tutty Alawiyah, wanita di masyarakat Betawi maupun di daerah lain tidak diperkenankan masuk masjid. Jika ada pengajian, mereka ditempatkan di samping masjid atau bagian belakang yang biasanya gelap dan kumuh. Namun, setelah berdirinya Masjid Al-Barkah, Abdullah Syafi’ie telah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memanfaatkan masjid sebagai tempat belajar dan pembinaan ummat. Istri beliau, Siti Rogayyah dimintanya untuk membuat pengajian khas perempuan atau kaum ibu. Pengajian secara rutin dilaksanakan setiap hari Sabtu pagi. Siti Rogayyah senantiasa didampingi oleh Abdullah Syafi’ie dan juga terkadang oleh orang tuanya, Muallim H. Achmad Mukhtar bin Murtaha. Terobosan pengajian bagi ibu-ibu di Masjid Al-Barkah ini merebak ke masjid lain di sekitar Jakarta. Siti Rogayyah mulai diundang untuk mengisi pengajian di mesjid lain seperti Masjid Mujahidin, Menteng Atas, dan tempat lainnya. 4 Sepeninggal ibunya, Tutty Alawiyah AS terus melakukan pembinaan majelis taklim bagi kaum perempuan. Sampai akhirnya, majelis taklim yang dipimpinnya dibuatkan wadah untuk bersama-sama dengan majelis taklim yang lain untuk membina ummat secara terencana dan berkesinambungan melalui wadah Badan Kontak Majelis Talim (BKMT). Sejak Abdullah Syafi’ie mempercayakan kepada putrinya itu untuk memimpin majelis taklim dan mengetuai organisasi BKMT, peran perempuan dalam dakwah semakin kuat.
Ide Pembaruan di Bidang Pendidikan 1. Integrasi Keilmuan K.H. Abdullah Syafi’ie dalam banyak kesempatan selalu mendengung-dengungkan bahwa Perguruan As-Syafi’iyah harus menghasilkan dokter-dokter yang sebelum menyuntik pasien setidak-tidak diawali dengan basmalah dan sesudahnya 4
Tutty Alawiyah AS, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah”, dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa…, h. 4
74
mendoakan agar lekas sembuh, atau lahir seorang insiyur muslim sejati yang kalau membangun jembatan tidak menanam kepala kerbau sebagai tumbal – hal itu bertentangan dengan akidah Islam – tetapi dimulai dengan basmalah dan memohon kepada Allah agar kuat dan bermanfaat bagi manusia. 5 Ungkapan tersebut mengisyarakat adanya keinginan yang kuat agar pendidikan yang selama ini mengajarkan ilmu-ilmu agama selaiknya juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Dengan konsep integrasi keilmuan tersebut, akan mengakiri dikotomikparsialistik yang memang tidak membawa kemajuan bagi ummat Islam sendiri. Pemikiran integrasi keilmuan ini memang sangat kuat dikemukakan oleh K.H. Abdullah Syafi’ie, sehingga menjadi ciri khas perguruan As-Syafi’iyah, khususnya Universias Islam AsSyafi’iyah (UIA) Jakarta. Para pendiri UIA yang dimotori oleh Tutty Alawiyah AS, dibantu oleh beberapa tokoh seperti Utomo Dananjaya, Jimly As-Shiddiqie, dan lain-lain, memahami betul pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie tersebut dan merumuskannya secara lebih konsepsional dalam bentu visi-misi, orientasi, dan identitas program UIA. Ada tiga orietntasi UIA yang khas, yaitu: 1) integrasi ilmu dan agama, 2) kemandirian (profesional mandiri), dan 3) pemihakan kepada kaum dhu’afa. Sebagai bukti dan wujud dari integrasi ini, sejak didirikannya pada tahun 1980an, UIA dideklarasikan sebgai “Kampus Tempat Berpadunya Ilmu dan Agama”. Pada masa-masa awal, orientasi ini disosialisasikan secara luas. Bahkah, A. Ilyas Ismail mengklaim bahwa konsep ini pertama kali muncul di UIA dan kini menjadi hangat kembali setelah adanya konversi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Univeristas Islam Negeri (UIN) di berbagai provinsi. 6 2. Modernisasi Lembaga Pendidikan Pendidikan yang dikembangkan oleh Abdullah Syafi’ie merupakan bagian dari kegiatan dakwahnya. Pendidikan adalah bagian integral dari dakwah itu sendiri. Dakwah yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang islami, baik individu, 5 6
A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie,” h. 38. A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie, h. 39
75
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
keluarga, maupun masyarakat, tidak bisa tidak harus memanfaatkan pendidikan sebagai medianya. Fungsi-fungsi dakwah yang begitu luas meliputi informasi dan pengenalan ajaran Islam, internalisasi, sosialisasi dan implementasi menjadi pendidikan menjadi wadah dakwah itu sendiri. Karena itulah, Abdullah Syafi’ie membangun dan mengembangkan pendidikan Islam sebagai media dakwah di bawah payung Yayasan Perguruan As-Syafi’iyah, bukan saja pendidikan pesantren, melainkan juga madrasah, dan sekolahsekolah umum yang berada di bawah wilayah Kementerian Pendidikan Nasional, mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) AsSyafi’iyah Jakarta hingga Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta. K.H. Abdullah Syafi’ie berbeda dengan pada umumnya ulama-ulama di zamannya dalam memandang modernisme. Beliau menerima sains modern sebagai kebutuhan yang dianggap mendesak untuk mencapai kemajuan ummat. Dalam konteks pendidikan Islam, modernisme biasanya diukur dari penerimaan terhadap sains modern atau yang di masa lalu sering disebut dengan “ilmu pengetahuan umum” sebagai bandingan dari “ilmu pengetahuan agama.” Hasbi Indra menggambarkan bahwa di lembaga pendidikan As-Syafi’iyah, diberikan pelajaran-pelajaran ilmu agama, seperti fiqih, tauhid, akhlak, dan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu dan sharaf. Kemudian, sejalan dengan berjalannya waktu, Pak Kiai mengizinkan pula untuk diberikan mata pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, aljabar, ilmu ukur, dan lain-lain. 7 Bahkan, Abuddin Nata menegaskan bahwa untuk masa tahun 1960-an, pemikiran ini tergolong modern mengingat masih banyak ulama Indonesia ketika itu, juga di negeri-negeri Islam lainnya, yang melarang dan menganggap mata pelajaran seperti itu sebagai produk Barat, sementara Barat adalah kafir, penjajah, dan musuh ummat Islam. Berlainan dengan pandangan yang konservatif ini, K.H. Abdullah Syafi’ie justru memandang perlu dan menjadi keharusan bagi ummat Islam agar mencapai kemajuan. Itu sebabnya, beliau mendirikan pesantren dan madrasah di bawah naungan Kementerian Agama, tetapi juga 7
76
Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial…, h. 176.
mendirikan sekolah-sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Fakta inilah yang dijadikan dasar pemerhati pendidikan Islam untuk menempatkan K.H.Abdullah Syafi’ie sebagai seorang pelopor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. 8 Beliau termasuk orang yang dapat menerima ide-ide baru, misalnya entrepreneurship atau kewiraswastaan. Beliau memberi dukungan untuk membuka lembaga yang sama sekali baru. Mungkin ide itu terlalu cepat pada jamannya. Pesantren asSyafi’iyah tidak sepenuhnya pesantren yang ada di Jawa. Ia lebih sebagai lembaga pendidikan umum yang bercorak agama, lembaga sosial penyantun fakir miskin, yatim, dan juga masyarakat peserta majelis taklim. Pesantrennya lebih mirip tradisi Muhammadiyah daripada NU. 9 Salah satu kelemahan yang dapat dilihat dari diri K.H. Abdullah Syafi'ie adalah tidak berhasil mewariskan kelembagaan pesantrennya, sehingga menjadi hilang. Hal ini tentu saja berbeda dengan Kiai Zarkasih Gontor yang berhasil mewariskan kelembagaan Pesantren Darussalam yang sistemnya tetap berjalan hingga saat ini, bahkan melahirkan berbagai cabang dengan model dan sistem pengelolaan yang sama dan berhasil mencetak alumni dengan kualitas dan kompetensi yang merata. Begitu juga dengan Pesantren Tebu Ireng yang diwariskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
8
Abuddin Nata, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.), h. 169. 9 Adi Sasono, “K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Orisinil dan Selalu Mengembangkan Energi Positif,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), KH. Abdullah Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim,” (Jakarta: Univeristas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 61.
77
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
78
Penutup
Berdasarkan uraian terdahulu, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan: 1. Latar belakang sosial historis dan keagamaan mengalami 4 masa, yaitu masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, era Orde Lama, dan Era Orde Baru. Adapun kiprah K.H. Abdullah Syafi’ie dalam masa-masa itu cukup besar yang ditandai dengan adanya banyak warisan akademik dan lembaga dakwah/pendidikan yang ditinggalkan, termasuk keterlibatannya dalam MUI Pusat dan MUI Provinsi DKI Jakarta. 2. Warisan intelektual berupa karya tulis terdiri 10 buah buku, ratusan kaset rekaman ceramah, radio siaran sebagai media dakwah Islam. Dari segi kelembagaan, Abdullah Syafi’ie telah mewariskan semua model pendidikan Islam, baik yang salaf maupun khalaf, baik pesantren/madrasah maupun sekolah umum, dan mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga universitas. 3. Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam pengembangan dakwah berupa inisiasi penamaan masjid tidak berdasarkan nama kampung; pendirian radio siaran untuk dakwah islamiyah, pembentuk wadah organisasi majelis taklim, dan pemberian peran perempuan dalam dakwah. Adapun dari aspek pendidikan, Abdullah Syafi’ie berhasil melakukan
79
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
integrasi keilmuan Islam dan sains, serta melakukan modernisasi lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, maka penulis mengusulkan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Penelitian belum mengungkap pola pemikiran K.H.Abdullah Syafi’ie secara keseluruhan, terutama yang terdapat dalam ratusan kaset rekaman ceramahnya. Untuk itu, perlu ada kajian lebih lanjut yang mesti mengungkap hal ini. 2. Penelitian tentang biografi ulama di Nusantara perlu terus dilakukan untuk melihat kekayaan warisan intelektual mereka untuk dijadikan pelajaran bagi pengembangan dakwah dan pendidikan Islam di masa datang. 3. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, khusus Pusat Lektur dan Khazanah Keagamaan sebagai lembaga pemerintah wajib menyelamatkan warisan para ulama, salah satunya dalam bentuk penulisan biografi ulama Nusantara.
80
Daftar Pustaka Alawiyah AS, Tutty (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, Jakarta: Universita As-Syafiiyah, 2010. _____ (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial, Jakarta: Universita AsSyafiiyah, 2010. _____, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah” dalam Tutty Alawiyah AS (ed.), Satu Abad K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-2010): Kepemimpinan dan Keteladanan K.H. Abdullah Syafi’ie, Jakarta: Universitas Islam As-Syafi’iyah, 2010. Aziz, Abdul, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002. Azra, Azyumardi, “Pengantar” dalam Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21, Jakarta: Jakarta Islamic Centre, 2011. Berita Buana, 6 Sepetember 1985. Fadhli HS, Ahmad, Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20, Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011. Firdaus, Dailami, “Latar Belakang Pemikiran Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie”, dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah,
81
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985)
Pendidikan, dan Sosial, Jakarta: Universita As-Syafiiyah, 2010. Indra, Hasbi, Pesantren dan Transformasi Sosial: Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, Jakarta: Pena Madani, 2003. Ismail, A. Ilyas, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam melalui Pilar Dakwah, Pendidikan dan Sosial,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.) K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan dan Sosial, Jakarta: Universita AsSyafi’iyah, 2011. Kiki, Rakhmad Zailani, dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21, Jakarta: Jakarta Islamic Centre, 2011. Koran Harian Berita Buana, 4 Sepetember 1985. Koran Harian Kompas, Rabu 4 Sepetember 1985. Koran Harian Pelita, Rabu 4 Sepetember 1985. Koran Harian Pos Kota, Rabu 4 Sepetember 1985. Koran Harian Sinar Harapan, Selasa 3 Sepetember 1985. Koran Harian Suara Karya, Rabu 4 Sepetember 1985. Moh Ali Azizi, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, Cet. 2. Nata, Abuddin, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Saidi, Ridwan, dan Alwi Sahab pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi, 27 Maret 2007 di JIC. Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009. Warta Berita Antara, 3 Sepetember 1985.
82
Tentang Penulis Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1973 di Lemo, salah satu desa terpencil di wilayah pinggir selatan Kecamatan Kajuara Kebupaten Bone Sulawesi Selatan. Dari desa itulah mulai sekolah di SDN 276 Raja (19801986), kemudian melanjutkan pendidikan pada MTs No. 11 Tanah Gunung – Kajuara (1996-1989), dan MAN Lappariaja Cabang Sinjai (1989-1992). Selanjutnya, melanjutkan pendidikan S1 pada Jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada Fakultas penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Syariah PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pada lembaga yang sama, menyelesaikan program S3 dari tahun 2000-Maret 2008 pada bidang yang sama. Selama kuliah di S1, penulis pernah aktif pada senat Fakultas Adab IAIN Alauddin 1994-1995 dan menjadi salah seorang pengurus IMM Komisariat Fakultas Adab IAIN Alauddin. Sejak tahun 1999-2001, penulis aktif pada Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Jakarta dan sejak tahun 2002 aktif pada Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak tahun 2004, penulis tercatat sebagai Koordinator Dewan Pengawas Syariah pada BMT Cita Sejahteta Ciputat. Sejak tahun 1999 hingga saat ini, penulis adalah staf pengajar tetap pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh. Karya ilmiah yang dihasilkan antara lain Ta`£³r al¦a«±rah al-Abb±siyyah f³ Ta¯awwur al-Lughah al-Arabiyyah wa ²d±bih± (Pengaruh Kemajuan Peradaban Bany Abbasiyah terhadap Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab), sekripsi, 1996; Pemikiran Zamakhsyari dalam Hukum Islam: Telaah terhadap Tafsir Al-Kasysyaf, Tesis, 2000 dan telah diterbitkan oleh penerbit Mishbah, 2008. Menulis “Nafkah Istri dalam Islam”
dalam Relasi Suami Istri dalam Islam, Jakarta: PSW-UIN Jakarta, 2004 (Kontributor); Menuju Masyarakat Antikorupsi, Jakarta: Dep. Komimfo, 2005 (Tim); Pada program Doktornya menulis disertasi yang berjudul Gaya Bahasa Ayat Hukum Al-Qur’an tahun 2008. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007 (Kontributor); Ruqyah yang Disyariatkan, Jakarta: Penerbit Mishbah Press, September 2008. Memahami Dan Memaknai Ibadah Shalat; Jakarta: Rabbani Press, September 83
K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985) 2008; Kontribusi Abu Ubaid ibn Sallam dalam Pengembangan Ekonomi Syariah, Rabbani Press, 2008; Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press, 2008 (Tim); Studi
Eksploratif Model Pembelajaran Berbasis Riset: Suatu Upaya Pengembangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Universitas Riset, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008 (Tim); Ensiklopedia Anak Shaleh: Koleksi Keluarga Muslim, Jakarta: Naylal Moona, 2011 (Tim).
Penulis juga menulis dalam beberapa jurnal ilmiah: Al-Turas, Islam dan Lingkungan, al-Iqtishadiyyah, al-Fikr, Zainal Abidin Syah, dan Lektur. Selain itu, penulis juga menjadi penerjemah, editor, dan penyunting belasan buku yang diterbitkan oleh Penerbit Teraju-Mizan dan penerbit lainnya.
84