-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
PEMEROLEHAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN PENUTUR MULTIBAHASA SERTA STRATEGI PEMERTAHANANNYA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BUDAYA BANGSA Favorita Kurwidaria dan Astiana Ajeng Rahadini Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak Kemampuan berbahasa Jawa oleh para penutur Jawa, dewasa ini telah banyak mengalami pelemahan. Apabila dirunut lebih jauh, maka hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh pemakaian bahasa daerah mereka pada masa usia dini dan kanak-kanak, terutama di lingkungan keluarga. Anak usia dini di lingkungan multibahasa yang dibiasakan berbahasa Jawa oleh orang tuanya dengan yang tidak dibiasakan, akan mengalami perbedaan dalam penyerapan bahasa, yaitu mulai dari aspek fonologis dan akan berpengaruh pada pemerolehan leksikon. Dengan pembiasaan berbahasa Jawa di lingkungan keluarga maka akan melatih mereka untuk dapat berbicara dengan bahasa daerahnya secara baik dan benar, sehingga hal ini dapat menjadi sebuah upaya dalam pemertahanan bahasa daerah, agar tetap lestari dan mampu memperkokoh jati diri bangsa Indonesia. Kata kunci: pemerolehan bahasa Jawa, bahasa Jawa anak usia dini, pemertahanan bahasa
Pendahuluan Bahasa daerah merupakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat suatu daerah di dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anggota komunitasnya. Fungsi bahasa daerah selain sebagai alat komunikasi verbal dalam lingkup kedaerahan, juga sebagai sarana dalam mengidenti ikasikan diri di lingkup masyarakat yang lebih luas. Bahasa daerah juga berperan sebagai penguat eksistensi dan jati diri budaya nasional. Bahasa daerah yang ada di Indonesia sebagian besar merupakan bahasa ibu, dimana seorang anak belajar bahasa untuk pertamakali dari ibunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Chaer dan Agustina (2004: 227) yang menyatakan jika sebagian besar anak Indonesia memiliki bahasa pertama adalah bahasa daerahnya masing-masing. Melalui bahasa daerah seorang anak dapat mengenal dan memperluas khazanah budaya daerahnya, termasuk kearifan lokal yang melingkupinya. Upaya dalam menjaga dan melestarikan bahasa daerah sebagai warisan budaya perlu untuk terus dipertahankan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tetap menggunakan bahasa daerah secara berdampingan dengan bahasa nasional. Penerapan/penggunaan bahasa daerah sebagai sarana komunikasi dapat dilakukan mulai dari anak usia dini. Anak usia dini dinilai memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menyerap suatu bahasa. Pada masa tersebut otak anak sedang mengalami fase perkembangan sehingga dapat cepat merespon berbagai stimulus yang merangsangnya, termasuk kosakata-kosakata yang ia didengar. Bahasa pertama yang didengar oleh seorang anak adalah bahasa yang digunakan di lingkungan keluarganya. Bahasa tersebut akan tersimpan kuat dalam memori seorang anak bahkan sampai ia besar nanti. Oleh karena itu lingkungan keluarga dinilai memiliki peran yang cukup penting dalam perkembangan dan pemerolehan bahasa anak. Proses pemerolehan bahasa pada anak akan banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana anak tersebut tumbuh dan berkembang. Lingkungan disini dapat meliputi lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, maupun komunitas tempat tinggalnya. Oleh karena itu dimungkinkan anak akan mempelajari lebih dari satu bahasa dalam berkomunikasi dan berinteraksi dalam lingkungan sosialnya. Seperti halnya pada anak yang ada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY. Di wilayah tersebut sebagian besar anak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu mereka. Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia digunakan secara berdampingan. Dalam situasi resmi di sekolah misalnya, mereka menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi dalam 78
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
lingkungan masyarakat dan keluarga, sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam/tingkat tuturnya. Kekhawatiran terhadap melemahnya keterampilan berbahasa Jawa sebagai bahasa ibu di lingkungan masyarakat Jawa, mulai banyak dirasakan, khususnya di kalangan remaja. Apabila dirunut lebih jauh, maka hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh pemakaian bahasa daerah mereka pada masa kanak-kanak. Chaer dan Agustina (2004: 81) menyatakan sebuah fakta bahwa dewasa ini, di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya, banyak terjadi kasus dimana ibu dan ayahnya menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi verbal jika mereka bercakap cakap, tetapi sering menggunakan bahasa Indonesia bila bercakap-cakap dengan anak-anak mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahasa ibu mereka adalah bahasa Indonesia. Fenomena tersebut sedikit banyak telah berpengaruh terhadap pemakaian bahasa daerah. Indikasinya yaitu mulai melemahnya keterampilan berbahasa Jawa mereka, seperti misalnya mereka sudah jarang menggunakan bahasa Jawa dengan ragam krama jika berbicara dengan orang yang lebih tua dan memilih menggunakan bahasa nasional. Selain itu juga terjadi kesalahan dalam pemakaian unggah-ungguh bahasa Jawa. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa daerah, seperti bahasa Jawa mulai mengalami pergeseran secara perlahan yang berpengaruh pada kelestarian bahasa daerah itu sendiri. Fenomena tersebut dapat menjadi suatu hal yang positif bagi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, namun juga dapat menjadi ancaman bagi kelestarian bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa. Mengingat bahwa keberadaan bahasa Jawa merupakan aset kekayaan budaya masyarakat Jawa yang secara tidak langsung telah memperkuat jati diri dan identitas budaya nasional. Oleh karena itu pemertahanan bahasa Jawa perlu untuk diupayakan, melalui penanaman dan pendidikan bahasa Jawa yang dapat dimulai dari anak usia dini. Pembahasan Pemerolehan bahasa Jawa Anak Usia Dini di lingkungan Keluarga Multibahasa Penguasaan bahasa dimulai dari proses pemerolehan bahasa. Proses pemerolehan bahasa pertama dimulai sejak lahir. Bahasa pertama anak adalah bahasa yang pertama kali menyapa kehidupan anak-anak. Perbedaan input bahasa yang diberikan pada anak-anak akan berpengaruh pada bahasa yang dikuasainya ketika beranjak dewasa. Tahapan pemerolehan bahasa anak usia dini dimulai dari pemerolehan fonologi yang kemudian dilanjutkan dengan pemerolehan leksikon. Pemerolehan fonologi terkait dengan bunyi bahasa yang terdapat pada suatu bahasa yang diperoleh anak secara alami. Bunyi bahasa yang terdapat pada suatu bahasa berbeda dengan bunyi bahasa pada bahasa yang lain. Dengan kata lain, ada bunyi bahasa yang unik dan khas yang hanya terdapat pada suatu bahasa. Bunyibunyi bahasa inilah yang akan mempengaruhi tahapan pemerolehan leksikon. Bunyi bahasa akan berpengaruh pada makna leksikon yang diucapkan. Bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia juga memiliki bunyi bahasa yang khas, yaitu adanya perbedaan bunyi [ḍ], [d], [ṭ], dan [t] atau apikopalatal dan apikodental. Dua bunyi bahasa ini termasuk fonem, yaitu bunyi bahasa yang mampu membedakan makna jika membentuk suatu leksikon. Contoh pada pasangan minimal kata [wəḍi] dibaca wedhi ‘pasir’ >< [wədi] dibaca wedi ‘takut’ dan pada pasangan minimal [ṭuṭUk] dibaca thuthuk ‘pukul’ >< [tutUk] tutuk ‘mulut’. Berdasarkan pengamatan terhadap perbandingan pemerolehan fonologi anak usia dini, anak yang sejak kecil dibiasakan menggunakan bahasa Jawa mampu menguasai keempat bunyi bahasa tersebut dengan baik. Tetapi, untuk anak dengan bahasa pertama bukan bahasa Jawa (bahasa Indonesia) hanya mampu menguasai bunyi [ḍ] dan [t]. Jadi ketika mereka diminta mengucapkan kata udan [udan] ‘hujan’, mereka akan mengucapkannya dengan kata udhan [uḍan], yang berarti tidak bermakna pada tataran leksikon. 79
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Begitu juga dengan bunyi [ṭ]. Anak dengan bahasa ibu bahasa Indonesia akan mengganti bunyi tersebut dengan bunyi [t], misalnya dalam pengucapan kata kathok [kaṭo?] ‘celana’, mereka akan mengucapkan katok [kato?], yang tidak memiliki makna pada tataran leksikon. Seringnya suatu bunyi bahasa diperdengarkan dan diberikan pada anak ternyata berpengaruh pada penguasaan anak terhadap bunyi bahasa tersebut. Pada bahasa Jawa, terdapat keempat bunyi bahasa yang khas yang bersifat fungsional, sehingga bunyi bahasa itu perlu sering digunakan dalam interaksi dengan anak. Sementara itu, di dalam bahasa Indonesia bunyi [d] dan [ṭ] tidak ada sehingga tidak digunakan dan anak tidak mengenal dan tidak memperoleh input bunyi bahasa tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Bahasa Ibu Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Bunyi [ḍ]
Bunyi [d] -
Bunyi [ṭ]
Bunyi [t]
-
Perbedaan penguasaan bunyi bahasa ini akan berpengaruh pada penguasaan leksikon. Untuk pembelajaran bahasa Jawa dimana ada materi aksara Jawa yang membedakan bunyi dh dengan d dan th dengan t akan menyebabkan mereka kesulitan menerapkan penggunaan kedua aksara tersebut. Mungkin, kedua bunyi ini dapat dipelajari pada usia yang lebih dewasa, namun pembiasaan sejak kecil menunjukkan bahwa pemerolehan bunyi bahasa Jawa sejak usia dini akan lebih mempermudah dan memperkaya ragam bahasa mereka. Hasil pengamatan ini sesuai dengan teori Generatif Struktural Universal, Moskowitz (1970, 1971). Teori ini menemukan konsep dan membentuk hipotesis berbunyi “rumus-rumus yang dibentuk oleh data kanak-kanak berdasarkan data linguistik utama (DLU) yaitu katakata dan kalimat yang didengarnya sehari-hari”. Teori ini menolak pendapat Jackobson bahwa pemerolehan tahap fonetik pada kanak-kanak berlaku dengan cara-cara yang sama bagi semua kanak-kanak di dunia. Teori ini merumuskan bahwa bunyi-bunyi bahasa yang secara umum sering muncul sebagai data masukan akan lebih dahulu diperoleh kanak-kanak. Sebaliknya, jika suatu bunyi kemunculannya terbatas, maka bunyi tersebut baru bisa diperoleh kemudian oleh kanak-kanak setelah dia menguasai bunyi-bunyi yang umum. Pemerolehan bahasa pada tataran leksikon pada anak usia dini juga terjadi secara massive. Anak usia dini sedang ‘rakus-rakusnya’ menyerap input kebahasaan dari lingkungan di sekitarnya. Setelah berhasil menyerap, input yang masuk juga akan menetap lebih permanen sebagai daftar inventaris kosakata yang akan dia gunakan untuk berkomunikasi. Strategi Pemertahanan Bahasa Jawa Pada Anak Usia Dini di lingkungan Keluarga Multibahasa Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, mengenai pemerolehan bahasa Jawa pada anak usia dini, bagi anak yang dibiasakan dengan bahasa Jawa dengan yang tidak, khususnya di lingkungan keluarga multibahasa. Maka dapat dikatakan bahwa anak yang terbiasa menggunakan bahasa Jawa dapat menguasai pemakaian bunyi bahasa Jawa tertentu dengan baik. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada pemerolehan aspek leksikal bahasa Jawa, sehingga dapat mendukung peningkatan kemampuan berbahasa Jawa mereka. Pada kenyataannya, keluarga penutur Jawa dewasa ini banyak yang memilih tidak menggunakan bahasa Jawa di dalam keluarga mereka. Fenomena ini tentunya akan berdampak pada semakin terdesaknya eksistensi bahasa Jawa pada komunitas masyarakat Jawa itu sendiri yang ditandai dengan melemahnya kemampuan berbahasa Jawa yang baik dan benar, baik pada tataran fonologi, sampai pada pemakaian ragam unggah-ungguhnya. Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan bahasa Jawa agar tetap hidup di masyarakat penuturnya. Adapun strategi yang dapat diupayakan dalam pemertahanan bahasa Jawa, antara lain dengan pembiasaan berbahasa Jawa yang baik dan benar sebagai alat komunikasi dalam 80
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
lingkungan keluarga sejak usia dini. Pembiasaan tersebut dapat dilakukan dengan teknik: (1) menambah jumlah frekuensi pemakaian bahasa Jawa dalam lingkungan keluarga sejak anak usia dini, (2) berbahasa Jawa dengan langsung menerapkan unggah-ungguhnya, serta (3) memberi teguran dan pembenaran secara langsung ketika si anak salah dalam berbahasa (khususnya ketika berbicara dengan ragam krama inggil dan krama andhap) Pemertahanan bahasa merupakan sebuah bentuk kesetiaan untuk tetap menggunakan bahasanya dalam konteks situasi yang multilingual. Hal ini seperti apa yang dikemukakan oleh Hoffman (Maharani, 2011: 79) bahwa pemertahanan bahasa mengacu pada situasi anggota komunitas atau masyarakat yang berusaha mempertahankan penggunaan bahasa yang telah biasa mereka gunakan. Adapun strategi dalam pemertahanan bahasa Jawa pada masyarakat Jawa di lingkup penutur multilingual, khususnya pada anak usia dini yaitu pertama menambah jumlah frekuensi pemakaian bahasa Jawa dalam lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam pemerolehan bahasa anak. Fishman (1972) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Lingkungan keluarga lah yang dinilai memiliki peran penting dalam pewarisan bahasa tersebut. Pembiasaan berbahasa Jawa yang baik dan benar dalam lingkup keluarga ini perlu untuk dilakukan. Para penutur Jawa hendaknya mengenalkan bahasa Jawa terhadap anak mereka sejak dini. Pembiasaan tersebut bisa dengan menambah frekuensi pemakaian bahasa Jawa dari segi kosa kata yang digunakan ketika berkomunikasi. Walaupun mereka juga perlu pengenalan terhadap bahasa nasional serta bahasa asing. Hal ini didukung pendapat Chaer (1994:66) yang menyatakan bahwa kefasihan seorang anak untuk menggunakan dua bahasa sangat tergantung adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu. Jika kesempatan banyak maka kefasihan berbahasanya semakin baik. Dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa kedua, pengenalan akan bahasa nasional (bahasa kedua) anak akan tertanam ketika mereka berada di sekolah formal yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Sehingga dengan pembiasaan pemakaian bahasa Jawa di lingkungan keluarga dirasa akan lebih efektif dalam mendukung pemertahanan bahasa daerah mereka. Berkaitan dengan pembiasaan berbahasa Jawa yang baik dan benar juga dapat ditanamkan dengan mengajak mereka berbahasa Jawa dengan langsung menerapkan unggah-ungguhnya. Misalnya ketika berkomunikasi dengan anak, orang tua langsung mengajaknya berbicara dengan ragam krama inggil. Ragam krama inggil adalah suatu ragam bahasa yang digunakan untuk menghormati mitra tutur. Keluarga dengan bahasa pengantar bahasa Jawa akan lebih memilih membiasakan anak berbicara dengan ragam krama inggil karena mereka sadar anak mereka kelak akan berinteraksi dengan orang lain yang wajib dihormati. Baru ketika anak paham posisi dirinya, orang tua akan mengenalkan ragam ngoko. Contoh: pembiasaan kata ndherek ‘ikut (krama inggil)’ daripada tumut ‘ikut (krama madya)’, kondur ‘pulang (krama inggil untuk orang lain)’ daripada wangsul ‘(krama andhap untuk diri sendiri)’. Pembiasaan sejak dini akan memudahkan bagian kebahasaan bekerja di bawah sadar dimana bahasa yang mereka ucapkan penuh penghormatan pada orang lain. Selain itu pembiasaan juga dapat dilakukan dengan memberi teguran serta pembenaran secara langsung. Ketika anak salah dalam menggunakan kata, langsung diberi kode jika itu salah (ditegur) dan dibenarkan. Hal ini akan melatih daya re lek sang anak ketika berbahasa Jawa dengan menerapkan unggah-ungguh yang benar. Saat mereka berbahasa dengan kata yang kurang tepat, misalnya ketika anak hendak memanggil ayahnya “Pak, apa kowe….?” (Pak apa kamu….?), maka Orang tua dapat langsung memberikan kode/teguran dan membenarkannya, “Menawi kalih Bapak kok kowe?” (Kalau sama bapak kok kamu?). Si anak akan secara otomatis
81
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
mencari kata yang tepat yang telah diajarkan dan dibiasakan sebelumnya oleh orang tuanya, untuk memanggil orang yang lebih tua (ayahnya) itu, dengan kata panjenengan. Pembiasaan anak usia dini berbicara dan diajak berinteraksi menggunakan ragam krama inggil akan membuat anak lebih terbiasa dan familiar dengan kosakata ragam krama inggil. Dia akan menyerap dan menyimpannya dalam memori sehingga ketika suatu saat dia membutuhkan, yang akan dia keluarkan adalah kosakata ragam krama inggil. Hal ini tentunya membutuhkan proses yang berulang, namun efeknya akan dapat tertanam dalam memori sang anak, bahkan sampai ia dewasa nanti. Penutup Keterampilan seorang anak di dalam berbahasa sangat dipengaruhi oleh pemerolehan bahasa sejak anak usia dini. Lingkungan keluarga dinilai memiliki peran penting. Bagi anak yang tidak dibiasakan berbahasa Jawa di lingkungan keluarganya, maka ia akan sulit untuk mengucapkan fonem /ṭ/ dan /d/, padahal di dalam bahasa Jawa fonem tersebut bersifat fungsional. Hal ini tentunya dapat menyebabkan pelemahan keterampilan berbahasa Jawa. Untuk itu diperlukan strategi pemertahanan bahasa Jawa yang dapat diterapkan mulai anak usia dini, yaitu dengan menambah jumlah frekuensi pemakaian bahasa Jawa dalam lingkungan keluarga sejak anak usia dini, berbahasa Jawa dengan langsung menerapkan unggah-ungguhnya, serta memberi teguran dan pembenaran secara langsung ketika si anak salah dalam berbahasa (khususnya ketika berbicara dengan ragam krama inggil dan krama andhap). Dengan proses yang dilakukan secara kontinyu, maka startegi tersebut dapat menjadi suatu langkah konkret dalam upaya pelestarian bahasa dan budaya Jawa.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. ___________. (2002). Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. ___________, dan Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. (2014). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Djatmika. (2015). “Kualitas Keterampilan Berbahasa Jawa Penutur Belia di Surakarta: Sebuah Fenomena Pemerolehan Bahasa”. Proceeding International Seminar Language Maintenance and Shift V. Semarang: Universitas Diponegoro Semarang Bekerjasama dengan Balai Bahasa Semarang. Fishman, J. A. 1972. Language and Nationalism. Massachusetts: Newbury House Publishers. Maharani, S. A. I. (2011). “Pemertahanan Bahasa Ibu di Kalangan Remaja pada Lingkungan Puri di Kabupaten Gianyar”. Kongres International Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI). Bandung: Masyarakat Linguistik Indonesia Bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia. Pp 78-82. Sumarsono dan Partana, Paina. (2004). Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
82