Tenggel G t{(l 1;2t:r) '":"H"':""lm-/::=:kl=-m--.-,9 """r;
•
Pembuka Jalan Sastra Indonesia Modern Bukan sebuah kebetulan jika bentuk karya sastra modern tertua di Indonesia adalah puisi. Dibanding prosa maupun drama, secara alam~ bentuk puisi memang berkemungkinan lebih dulu muncul. Bentuk seperti ini mudah diasumsikan dikenal luas di dalam budaya suatp masyarakat yang masih lebih mengandalkan kelisanan atau masih belum mengenal baca-tulis secara merata.
dan selalu adanya formula dari sep"isi di masa seperti tidak semenjak peYunani bernama menciptakan Iliad dan sekira 3.000 tahun lampau, masyarakat pendukung sash a dalam mengmenerapkan, mematau juga menghaTapi, yang terjadi dalam pllisi atau juga kisah prosaik lainnya, sesungguhnya bukan suatu penghafalan lretat dan lengkap. Aktivitas beritu lebih sebagai suatu kembali seeara spontan dan mungkin juga baru, de1"-'. I I mengandalkan unsur-unIUI' babas8 yang berima maupun
seperti ini melekat pllisi bukan sebagai estetik tertenatau itu tapi keotomatisan kelisanan psikodiisilah Walter menjadi sarana Kualitas bunyi,
begitu,
penting piImicu akan bunyi yang
barns."me\ihat" bu-
ada yang dapat tidek. ada Dalam ungkapan You bach-'recall' • nowhere to
Kumpulan puisi tertua Sajak-sajak modern tertua di Indonesia ini terkumpul dalam buku puisi berjudul Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen yang ditulis oleh Sa-Orangjang Bangsjawan tahun 1857, lebih dari 150 tahun lalu. Himpunan syair ini diterbitkan oleh Lange & Co di Batavia. Khazanah perpllisian menjelang akhir abad ke-19 di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, memang sudah marak. Beberapa di antara buku puisi itu adalah karya Tan Kit Tjoan (Saier Boeroeng dan Saier Mengimpie, Batavia, 1882), karya Lie Kim Hok (Orang Prampoewan, Bogor, 1885), karya Boen Sing Hoo (Boekoe Sair Binatang, Semarang, 1889), karya Tjiat Abdul Karim (Sjair atau Pantoen aken
Djoedoh Perak deri Bangsawan Ambon, 1865-14 Maret 1890, Ambon, 1890), karya Tan Teng. Kie (Syai'ir Djaianan Kreta Apl, Batavia, 1890), karya Tan Tjiook San (/}air Komedi Stamboel, Djokjakarta, 1893), dan .karya Ang I Tong berjudul Im/ah
.I't!n- .
toen Peiawanan Orang Panlpl dan Pantoen Waktoe Kad';'tangan Prins Frederik Hendrik dl Ambon dan Pantoen Kapitan Ambon Serta Lagi Terhoeboeng Pantoen. Sedikit pada Merifoekaken Hall, Batavia, 1899).
Kenyataan bahwa bentuk puisi lazimnya mendahului bentuk prosa maupun drama, dengan mudah dapat disimak dari perjalanan kehidupan sastra di berbagai belahan dunia Puisi bersifat universal, dernikian simpul Sir Philip Sydney dalam The Defense of Poesie. Sementara Miehael Alexander dalam A History of English Literature menjelaskan bahwa di Inggris, misalnya, Beowulfyang merupakan sebuah epik yang terdiri atas 3.182 bait, dianggap sebagai penanda awal keberadaan sastra Inggris kuna Begitu pun di Korea, bentuk puisi telah terlebih dahulu dikenall1!as dalam masyarakat dibandingkan dengan prosa atau drama. Bentuk puisi yang disebut sebagai hyangga, yang muneul sekira 2.000 tahun lalu, merupakan khazanah awal dalam perjalanan sastra Korea sebelum kemudian dikenal bentuk p1!isi yang biasa dinyanyikan secara spontan dan luas oleh masyarakat dari generasi ke generasi yang melintasi masa ratllsan tahun, yang disebut dengan "sizo". Kesemua eontoh ini merujuk pada kehidupan p"isi dalam masyarakat yang masih terkungkung oleh kelisanan, tradisional yang sisi banyak ditentukan oleh ru~ atau infollllasi bersama nr. aksara atau huruf mulai diJcpu! seiring dengan muJai sekolah atau lembaga tentu ma-
sih
11
perini, daterluJis, yang __ mengikuti. Da... trIdisi Jisa", bukan pengyang terjadi, melainkan kembali dengan kepada formula, peserta pepatah dan peyang terdengar dalam kuasa Jjsan itu, telah mampo menempatkan diri sebagai Dicontohkan oleh dalam sekolah atau ceramah, ketika guru atau penceramah berbicara, hadirin, audience, bersama-sama terlibat dalam atau penanggapan apa yang dicedalam orang cenderung berada dalam kondisi terceraikan meski teks atau buku yang di-
baca
'
awal sastra kemudian perhatian kita arahkan kepada genealogi sastra buJol8ia modern, munculnya IIoek ~awa Terseboet Jbntoen inijelas bukan Sesll3tu diherankan. Yang baakan dipersoalkan adalabel yang melekat, yaitu islilah "modern" di situ istilah ini sudah ba_ sebagai istilah aeIalu lentur dan tidak terdari konboversi. Dalam 1nl, kumplllan sajak ini karya "moterpicu
!ab -
Teeuw IIecara
pernah mebabwa karya Harnzah u,ja yang telah dibuat 400 tahun lalu sudah dllebut "melam-
aaslia" ciri khas ke•
Media
•
Tanggal
•
Hlm/klm
Penetapan kumpulan puisi ini sebagai karya terawal, mengikuti kriteria yang intinya berdasarkan kriteria adanya nama pengarang, ditulis dengan aksara atau huruf Latin, dan dipakainya bahasa Melayu.
Penegasan Teeuw bahwa karya .£:Iamzah Fansuri merupakan bagJan dari lintasan sastra Indonesia' juga merupakan suatu kenyataan bahwa dalam ranah ilrnu-ilmu humaniora pada umumnya, penetapan seperti itu sangat dimungkinkan. Oleh kenyataan seperti ini, tidak pula mengherankan jika MC Riklefs pun berani menyatakan bahwa "keindonesjaan" maupun "kemodernan Indonesia" sudah layak disebutkan ada pada abad ke-13 kendati jelas nama "Indonesia" sendiri pada saat itu belum ada. Dengan memberi judul pada bukunya sebagai Sejaroh Indonesia Modern, yang terbit pertama kali pada tahun i981, dari aspek peristilahan, apalagi kalau bukan suatu kebebasan dan sekaligus keberanian ilmiah yang ia terapkan? Walaupun Teeuw atau Ricklefs sudah menyatakan bahwa kemodernan Indonesia layak dinyatakan ada sejak abad XIII atau abad XVI itu, penegasan akan kemodernan sastra Indonesia dalam tulisan ini tidak sama dengan pendapat kedua ahli itu. Kemodernan yang dipakai sebagai landasan dalam tlllisan ini cenderung mengikuti pendapat Sapardi Djoko Damono ketika membicarakan sejumlab novel Jawa terbit tahun 1950-30 dalam bahwa kemodeman bellllmpu pada "dipe'MlIgunakanhuruf Latin dan disebarlubentuk tercetak
berpandangan atau
•
• •
sikap hidup yang tersurat dan tersirat di dalamnya". Penetapan kumpulan puisi ini se~ag~ karya terawal, mengikuti kritena yang intinya berdasarkan kriteria adanya nama pengarang, ditulis dengan aksara atau huruf Latin, dan dipakainya ~a?asa Melayu. Dengan kriteria ~, maka penetapan buku puisi llll sebagru bagian integral khazanah sastra Indonesia modern telah melalui langkah seleksi yang berbeda, baik dengan Teeuw maupun dengrul pengamat sastra Indonesia lainnya Dalam kaitan dengan ilrnu humaniora atau ilrnu-ilmu sosial umumnya, segala sesuatu yang tampak, yang mewujud, tidak muncul begitu saja melainkan ada prakondisi yang mengitarinya yang berkaitan dengan tradisi, kehidupan sosial, pertautan nilai, atau kepolaritasan antara kelisanan dengan keberaksaran-masih meminjam istilah Walter Ong-yang tidak mungkin dinafikan. Berkenaan dengan keinginan mengungkap suatu entitas yang berada daJam perpindahan ekspresi, tak ayaJ selalu akan merupakan suatu kajian yang tidak akan ada ujungnya
Media
•
Tenggel
•
Hlm/klm
•
kegamangan pujsi ini jelas mekegamangan. Dinyaoleh penulisnya • • • uu ya syarr, ya pantersurat dari oetawa pansepintas, keini sangat sekadar suatu ketisebagai akibat belum dunia penyang antara lain menghal tersebut, namun jika lebih mendalam, kegabisa saja mesuatu kenyataan historia yang berkaitan dengan identitas -syair" maupun "pantun" itu saja telah di• • saat uu. judul bahwa apa dengan syair itu sebagai sama saja disebut sebagai pantun, dan yang dinamakan pantun juga dengan syair. Berkaitan kenyataan ini maka pernah dikemukakan Djoko Damono bahwa berbagai karangan yang ditulis oleh sasb'awan peranakan Cina, istilah pantun dan syair sering dipertukarkan" tepatjuga ditujukan untuk kumpill!" pllisi ini meskipun penulis karya ini behun terbukti sebagai
peranakanChina
Jib dinIDut berdasarkan atau
isl ilah
kegiatan bersastra itu, yang kemudian dapat dipahami adalah kenyataan bahwa pengertian "pantun" ti-
dak belll'HI,A sama dengan
Begitu terislilah "panorang sekarang suatu poJa p"isi tertentu. Sementara di kala itu, atau juga "syair" ara mengekspretidak
(1931)
asa, atau yang "nyastra" belaka. la mengatakan, "sadari satenga abad jang laloe soedah ada banjak diterbitken boekoe-boekoe sairan, jang kabanjakan berisi pantoenan soeal bertjinta-tjinta",
Dengan memahami situasi bersastra yang tidak terlalu terikat oleh aturan atau konvensi pada masa pertumbuhan sastra Indonesia modern itu, maka adanya kerancuan pengertian antara "syair" dengan "pantun" adalah hal yang wajar. Bukan hanya kumpulan puisi ini saja yang memperlihatkan kerancuan pengertian itu; kumpulan puisi yang lain, seperti telah disebutkIm, juga memperlihatkan hal serupa. Sebagai contoh, pantun-pantun dalam Pantoen Balapan Koeda di Djokjakarta yang ditulis oleh Tan Tj iook San, terbit tahun 1894, secara sekilas memang memperlihatkan pola pantun (a-b-a-b), naIl'lun secara . isi ia berupa syair karena ber-
cerita m~ngenai peristiwa balapan kuda ltu dan juga tidak men~dahkan adanya sampiran dan ISI. //Slama-lamanja poen belon ada/ Balapan koeda di ini negrij Serta di Solo bikin toeladal Djokja poen djoega bjkin sendirij/, Dari pantun ini, sukar untuk menyatakan bahwa larik perta, ma dan kedua adalah sampiran Bagaimana akan menyatakan . bahwa larik pertama dan kedua ~~~a~ai s~~iran sedangkan puISI lru sendirl berjudul "Pantoen Balapan Koeda di Djokjakarta"? Bukankah larik-Iarik itu justru berupa "isi"? Inilah contoh akan kebelumrnantapan istilah, baik . un~ )antun" ~aupun "syair" ketika ltu. Atau, inikah bentuk yang di kemudian hari disebut sebagai "pantun mulia", yaitu pantun yang sampirannya tidak hanya mempersiapkan isi secara fone~i~, tetapi juga mengisyaratkan ISI secara semantik? Rasanya tidak juga.
·-
1 tAGl E GALLERY
Founding Ceremony (36 pieces), - SHEN JINGDONG, 2006 Cat aIailik, Patung Fiberglass, 36 x 80 cm --- -
.--~ . . . - ~ _ .. . . . . .
• _."
-
_ _ • • • • • 0 _ .. _ . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 0 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . _ . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . _ • • _
.
_ _ • • • _ _ _ . . ... . . . . . . . . . _ • • • _ • • • • 0 . _ . . . . _ • • •
•
••• -
.. -- -~.
Medio
• •
10n9901
•
Hlm/klm
•
Sernentara itu, sejumJah syair dalam Boekoe Sair Roepa-roepa
seperti Sair orang Bersobat, Sair Nona Boeqjang dan Sair Segala Boea-boeahan yang ditulis oleh Oetj Peng Long tidak sernuanya rnengikuti pola syair tapi malahan serupa pantun. Contohnya, I/Kelapa Poewan TjeJintjing d.i makan goeril Poehoenja tinggi di liat ngeril Saija pandang nona sahari-haril Saija rasa kiamat didalern diri//. Jika hanya dilihat pada rima akhimya saja, sepintas rnemang rnenyerupai syair. Semuanya bersajak l a-a-a-a/' Tapi begitu pola daJarnnya, kelihatan bahwa baris pertarna dan kedua dari ketiga puisi ini lebih tepat disebut sampiran daripada isi yang merupakan hakikat pola pantun yang lazim. Baris yang berbunyi IjKelapa Poewan Tjedi makan goeril Poehoenja di liat ngeril tidak lain merupakan sernacam stimulus untuk lahirnya, terutama,
•
• •
kata-kata "sahari-hari" dan "diri" yang dipicu oleh kata "goeri" dan. "ngeri" sedangkan di antara bans-baris itu tidak ada kesejajaran makna Demikianlah, telah terjadi kerancuan atau kebelummantapan bentuk syair dan pantun pada pertengahan abad ke-19 itu. Kenyataan ini dipandang dari sisi genealogi atau perkembangan suatu bentuk kesenian harns dinyatakan sebagai wajar dan alami m"engingat bahwa kedua bentuk itu barn muncul sebagai bentuk komunikasi tulis atau cetak. Namun begitu, meski kerancuan dalam penyebutan syair atau pantun itu terjadi, secara keseluruhan kump1!lan Boek
Saier Oetawa Terseboet Pantoen ini dapat dikatakan sebagai syair. . Ke-80 bait syair yang terhimpun dalam kumpulan ini bersajak a-a-a-a yang artinya adalah syair. Demikian pula dengan pola sampiran dan isinya, kesemua larik adalah isi, sehingga tidak ada keraguan lagi untuk menyebutnya sebagai syair. Dengan kata lain, kerancuan hanya ditunjukkan pada judul, sementara isinya temyata kesemllanya syair. Pertanyaannya kemudian, mengapa pengarang harus pula menyertakan embel-embel "Oetawa Terseboet Pantoen"? Jawaban yang sementara ini dapat diberikan, berdasarkan dugaan rekonstruktif sosiologis, adaJah bahwa kata "pan tun" agaknya merupakan suatu sebutan umum masa itu yang dilekatkan pada semua bentuk yang bukan prosa atau hikayat. Frase "terseboet pantoen" seolah-olah menegaskan hal ini, yaitu bahwa bentuk sastra dengan bait-bait itu lazirn dengan "pantun" terJepas dari pola yang ada d.i daJamnyaitu lebilt tepat syair atau pan-
tun
. IBNU
Jw lia) Puisi
'1W1idur