PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNITAS KORBAN TSUNAMI MELALUI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
MIRODIYATUN RESI NURIDAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT MIRODIATUN RESI NURIDIYATI, Community Empowerment and Development through Micro Finance Organization for the Tsunami’s Victims in Gampong Keude Simpang Jalan, Seunuddon Sub-District, North Aceh District. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo MS. as Lead Adviser; and Drs. Holil Soelaiman, MSw. as Co-Adviser. The objectives of this study are, first, to analyze the achievements and weaknesses of the micro finance program in Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon. Second, to analyze the impact of the Seunuddon Micro Finance (SMF) to the livelihood of the Tsunami’s victims. Third, to analyze the sustainability of the program for the Tsunami’s victims. The last, fourth, to formulate the future strategy and community empowerment and development agenda for the Tsunami’s victims. Data are collected through in-depth interview, direct observation, focus group discussion as well as collection of SMF’s documents. Data are analyzed through qualitative method. The results show that, first, although almost all of the SMF’s fund have already been distributed to the target group in relatively short period, however, the capacity and integrity of SMF management in handling a huge amount of money are in questions. Low quality of human resources, weak honesty, and lack of capability to run a cooperative institution such as SMF are factors that significantly contribute to this situation. As a result, distrust to SMF management and contravention between debt recipients and non-recipients arise. Second, no significant improvement to the livelihood of the community member occur due failed to notice the right target for debt recipient, low trust among community member to the role of SMF, the amount of debt are too small for running an appropriate small scale business, and the debt goes more to consumption rather than to a productive one. Third, the sustainability of the program are weak only 35 percent of the loan are paying back in the last three years. Only a few of the community member viewed that the fund from SMF are revolving fund and not perceived as grants as they used to have. Fourth, to strengthen community empowerment and development for Tsunami’s victim, SMF management need to restructure, have high integrity, competency and developed trust building.
ABSTRAK Mirodiatun Resi Nuridayati, Pemberdayaan dan Pengembangan Komunitas Korban Tsunami Melalui LKM / Koperasi di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara. Ketua Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. Dan Anggota Komisi Pembimbing: Drs. Holil Soelaiman, MSw . Tujuan pokok kajian ini adalah merumuskan apakah strategi pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro oleh LKM Seunuddon Finance mampu memberdayakan korban tsunami dan bagaimana tingkat keberdayaan korban tsunami serta proses keberlanjutan program. Untuk merumuskan strategi tersebut, maka secara khusus kajian bertujuan: Menganalisis keberhasilan dan kelemahan pelaksanaan program-program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro yang telah dilaksanakan di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon. Menganalisis dampak dan tingkat keberdayaan korban tsunami setelah mendapat bantuan dari LKM Seunuddon Finance dan menganalisis prospek keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami. Sedangkan lokasi kajian di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara Nanggroe Aceh Darussalam. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, obsevasi dan fokus group diskusi (FGD). Analisis data yang digunakan dengan metode kualitatif. Dari penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya manusia, tingkat kejujuran, kesadaran dan pemahaman tentang program pengelola LKM masih rendah. Pemahaman berkoperasi baik bagi pengurus koperasi/LKM sendiri maupun komunitas korban tsunami masih minim. Artinya kapasitas pengelola dan lembaga LKM/koperasi itu sendiri masih dipertanyakan dalam mengelola dana besar. Selain itu kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga BRR Aceh-Nias bahwa adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Program tersebut mestinya mengutamakan nilai-nilai kejujuran, kearifan lokal. Komunitas korban dan LKM/Koperasi dapat mengembangkan prakarsa, inisiatif, dan partisipasi aktif sesuai potensi yang dimilikinya. Keterlibatan komunitas merupakan strategi potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi mikro, peran sosial, dan transformasi budaya serta kemandirian. Keberhasilan proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro komunitas korban tsunami menjadi tanggungjawab bersama, BRR Aceh-Nias, Pemerintah, NGO dan semua pihak yang berkepentingan untuk meningkatkan keberdayaan ekonomi mikro komunitas korban tsunami.
RINGKASAN MIRODIATUN RESI NURIDAYATI, Pemberdayaan dan Pengembangan Komunitas Korban Tsunami Melalui Lembaga Keuangan Mikro. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan HOLIL SOELAIMAN. Pasca tsunami 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) membawa efek perekonomian masyarakat kembali pada titik nol. Proyeksi penurunan perekonomian mencapai 5 persen, lebih dari 100.000 pengusaha kecil kehilangan usahanyanya dan sektor produktif mengalami kerusakan mencapai AS$1,2 milyar. Lebih dari 4.717 perahu nelayan hilang, 20.000 hektar tambak rusak dan 60.000 hektar sawah pertanian tidak berfungsi, lebih dari 2000 gedung sekolah rusak dan 114 Puskesmas tidak berfungsi. Pengangguran dan kemiskinan baru bertambah di NAD mencapai 2 juta jiwa atau 53 persen. Lebih dari 70 persen masyarakat NAD pasca tsunami populasi pekerja adalah wiraswasta yang terlibat dalam kegiatan informal, yang bergantung terhadap sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Merehabilitasi dan merekonstruksi kembali puing-puing kehidupan ekonomi, sosial budaya masyarakat NAD yang begitu masif untuk kehidupan yang layak dan normal bukanlah pekerjaan biasa.Memerlukan penanganan yang tepat, sejak mencari metode, perencanaan, sosialisasi hingga implementasi. Memulai kehidupan dari puing-puing kehancuran adalah permulaan yang sangat berat baik bagi mereka yang disebut sebagai korban (viktims) maupun mereka yang selamat (survivors). Mereka memerlukan pemulihan selain jiwa yang trauma, pengakuan diri serta keberdayaan ekonomi. Hal ini mengundang simpati dan bantuan dari berbagai stakeholders dalam maupun luar Negeri. Bidang pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro menjadi prioritas utama pasca tiga tahun tsunami dengan tujuan utama untuk normalisasi roda perekonomian, kemandirian dan keberdayaan masyarakat korban. Selain itu penguatan pranata sosial seperti Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Koperasi sebagai sumbu utama pembangunan ekonomi mikro pada tingkat lokal yang berbasis kerakyatan dan kekeluargaan. Kondisi tersebut mengundang Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi, Satuan Kerja dan Manager Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sejak tahun 2005 mengucurkan Program Pemberdayaan Koperasi dan LKM dengan dana ratusan milyar rupiah. Sampai tahun 2007 telah mencapai 137 LKM yang biberdayakan oleh BRR Aceh-Nias dengan dana mencapai 1 milyar per LKM. Hasil kajian ini menunjukan bahwa tidak ada perubahan yang nyata atau signifikan pada ekonomi mikro komunitas korban tsunami. Penyebabnya dapat dilihat dalam dua segi yaitu segi kelembagaan LKM/koperasi dan segi komunitas itu sendiri. Dari segi kelembagaan LKM/koperasi tidak memiliki sumber daya manusia yang profesional untuk mengelola dana bergulir secara berkelanjutan termasuk atau belum memenuhi persyaratan minimal untuk mengelola LKM. Waktu yang dimiliki pengurus LKM untuk memverifikasi komunitas calon penerima modal usaha terbatas menyebabkan modal usaha yang dikucurkan banyak yang tidak tepat sasaran yang menyebabkan image komunitas terhadap LKM kurang baik. Program LKM tidak dilakukan sosialisasi secara maksimal baik oleh BRR Aceh-Nias maupun LKM/koperasi itu sendiri, maka keterlibatan komunitas sebagai penerima manfaat tidak ada. Lembaga LKM/koperasi masih dipandang pesimis oleh komunitas, citra koperasi/LKM yang buruk mengurangi kepercayaan komunitas. Secara ekternal dan internal lembaga koperasi/LKM
masih terjadi konflik. Konflik ekternal, terjadi dalam komunitas yang mendapat bantuan dengan yang tidak mendapat bantuan modal dengan pengurus LKM. Dari segi komunitas, modal bantuan yang di dapat dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini karena tidak ada sumber pendapatan lain pasca tsunami, juga anggapan jumlah modal usaha yang disalurkan terlalu kecil untuk modal usaha. Dalam hal ini termasuk modal kejujuran pihak yang terlibat masih dipandang rendah. Ditambah lagi, lembaga LKM dan Koperasi, pengurus, anggota dan sarana fisiknya turut menjadi korban tsunami mengalami kondisi rusak parah sehingga tidak memungkinkan bagi LKM dan Koperasi untuk memberikan layanan kepada komunitas secara optimal. Dilain pihak komunitas terbiasa dimanjakan dengan program-program hibah dari berbagai stakeholders. Program tersebut mestinya mengutamakan nilai-nilai kejujuran, kearifan lokal. Komunitas korban dan LKM beserta Koperasi dapat mengembangkan prakarsa, inisiatif, dan partisipasi aktif sesuai potensi yang dimilikinya. Keterlibatan komunitas merupakan strategi potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi mikro, peran sosial, dan transformasi budaya serta kemandirian. Untuk itu kajian ini, memfokuskan pada strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas, tingkat keberdayaan komunitas dan prospek keberlanjutan program. Tujuannya adalah menganalisis keberhasilan dan kelemahan pelaksanaan program-program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro yang telah dilaksanakan di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon. Menganalisis dampak dan tingkat keberdayaan korban tsunami setelah mendapat bantuan dari LKM Seunuddon Finance. Menganalisis prospek keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami dan merumuskan strategi dan agenda pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, obsevasi dan fokus group diskusi (FGD) dan analisis data yang digunakan dengan metode kualitatif. Keberhasilan proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro komunitas korban tsunami menjadi tanggungjawab bersama, baik BRR Aceh-Nias, Pemerintah, Non Goverment Organitation dan semua pihak yang berkepentingan untuk meningkatkan keberdayaan ekonomi mikro masyarakat korban tsunami.
GLOSARI AMF AMFC AD/ART APBD AU BLM BKM BRR BPS BI BRI BPG BQ FGD IOO KSM KPA KTP KUD KUBE LKM LPUM LSM MH NAD NGO PL PEMDA PKK PER PD QH SD SDM SDA SK SLTP SMU UMKM UUD UU UKM
: Aceh Micro Finance : Aceh Mikro Finance Center : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah : Aceh Utara : Bantuan Langsung Mandiri : Badan Keswadayaan Masyarakat : Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi : Badan Pusat Statistik : Bank Indonedia : Bank Rakyat Indonesia : Badan Perwakilan Gampong : Baitul Qirad : Focus Group Discussion : Investor Outreach Office) : Kelompok Swadaya Masyarakat : Komite Peralihan Aceh : Kartu Tanda Penduduk : Koperasi Unit Desa : Kumpulan Usaha Bersama : Lembaga Keuangan Mikro : Lembaga Pendamping Usaha Mikro : Lembaga Swadaya Masyarakat : Mudharabah : Nanggroe Aceh Darussalam : Non Government Organisation : Praktek Lapangan : Pemerintah Daerah : Program Kesejahteraan Keluarga : Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Perusahaan Daerah : Qaldul Hasan : Sekolah Dasar : Sumber Daya Manusia : Sumber Daya Alam : Surat Keputusan : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Sekolah Menengah Umum : Usaha Mikro Kecil Menengah : Undang-Undang Dasar : Undang-Undang : Usaha Kecil Menengah
PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNITAS KORBAN TSUNAMI MELALUI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
MIRODIYATUN RESI NURIDAYATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tugas Akhir
: PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNITAS
KORBAN TSUNAMI MELALUI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO Nama Mahasiswa
: Mirodiyatun Resi Nuridayati
NRP
: I 354060205
Program Studi
: Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Disetujui, Komisi Pembimbing :
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua
Drs. Holil Soelaiman, MSw Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat,
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P.Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 11 Februari 2008
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Pemberdayaan dan Pengembangan Komunitas Korban Tsunami Melalui Lembaga Keuangan Mikro (Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir kajian ini.
Bogor, Februari 2008
MIRODIYATUN RESI NURIDAYATI NRP. I 354.060.205
Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena hanya atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir kajian pemberdayaan dan pengembangan masyarakat dengan judul Pemberdayaan dan Pengembangan Komunitas Korban Tsunami Melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) studi kasus di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara Nanggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan karena dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). 2. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB). 3. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S, selaku Sekretaris Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. 4. Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S, selaku ketua komisi pembimbing 5. Bapak Drs. Holil Soelaiman, MSw, selaku anggota komisi pembimbing. 6. Ibu Dra. Neni Kusumawardhani, MS, selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. 7. Bapak Ir. Said Rusli, MA, selaku penguji dari luar Komisi Pembimbing. 8. Informan dan kawan-kawan penggiat LKM/koperasi di Nanggroe Aceh Darussalam khususnya Kabupaten Aceh Utara yang telah memberikan waktunya dan data-data yang diperlukan dalam kajian. 9. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan STKS Bandung. 10. Orang tua, suami, anak-anakku dan seluruh keluarga atas doa serta kasih sayangnya. 11. Kawan-kawan satu angkatan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan bagi penyelesaian tugas akhir ini. Terima kasih untuk semua. Semoga kajian ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2008
Mirodiyatun Resi Nuridayati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwokerto, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 14 Juli 1977. Penulis menyelesaikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Bayangkari Ajibarang Banyumas. Menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) Negeri I Karangtengah Kecamatan Cilongok pada tahun 1989 di Banyumas. Sekolah Lanjutan Pertama (SMP) Negeri 2 Cilongok lulus tahun 1992. Sekolah Lanjutan Atas (SMA) Negeri Ajibarang Banyumas lulus tahun 1995. Melanjutkan Kuliah di STPMD Yogyakarta jurusan Ilmu Sosiatri lulus tahun 1999. Pada tahun 2002-2004 mengajar Ilmu Sosiologi di SMU Negeri I Lhokseumawe Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai Guru Honor Daerah (Honda). Tahun 2005 diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) ditugaskan pada Dinas PMBS (Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial) Kabupaten Aceh Utara NAD. Pada tahun 2006 diberi kesempatan mengikuti tugas belajar Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Magister Pengembangan Masyarakat Konsentrasi Pekerja Sosial. Pada tahun 2000 menikah dengan Kamaruddin Hasan, dan dari pernikahan ini dikaruniai empat orang putra-putri yaitu Regita Keumala Sabty, Regina Keumala Sabty, Tamlika Priambanu dan Zakiya Keumala.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
iii iv v
I. PENDAHULUAN .................................................................................
1 1 6 7 8
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 1.3. Tujuan Kajian .......................................................................................... 1.4. Kegunaan Kajian .....................................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ....................... 2.1. LKM/Koperasi dalam Pemberdayaan Komunitas ................................. 2.1.1. Pengertian LKM/Koperasi ........................................................... 2.1.2. Hubungan LKM dengan AMF Center ........................... .............. 2.1.3. Permasalahan Mengenai LKM .................................................... 2.2. Partisipasi dalam Pemberdayaan Komunitas ....................................... 2.2.1. Pengertian Partisipasi dalam Komunitas .................................... 2.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Komunitas .................... 2.3. Pemberdayaan Komunitas Korban Tsunami ........................................ 2.4. Pengembangan Komunitas Korban Tsunami ....................................... 2.5. Hubungan Partisipasi dan Pemberdayaan ............................................ 2.6. Kelembagaan ........................................................................................ 2.6.1. Kelembagaan Masyarakat .......................................................... 2.6.2. Penguatan Kelembagaan ............................................................ 2.6.3. Hubungan Kelembagaan dengan Modal Sosial .......................... 2.7. Batasan Komunitas ............................................................................... 2.8. Peran Pendamping dalam Pengembangan Masyarakat ....................... 2.9. Kerangka Pemikiran ..............................................................................
9 9 9 19 21 22 22 24 26 35 37 38 38 40 41 44. 46 47
III. METODOLOGI KAJIAN ................................................................................ 3.1. Metode Kajian ....................................................................................... 3.2. Strategi Kajian ....................................................................................... 3.2.1. Jenis Data .................................................................................. 3.2.2. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 3.2.3. Metode Pengelohan dan Analisis Data ..................................... 3.3. Tempat dan Waktu Kajian .................................................................... 3.3.1. Lokasi Kajian .............................................................................. 3.3.2. Waktu Kajian .............................................................................. 3.3.3. Metode Penyusunan Program ...................................................
49 49 50 50 52 54 55 55 55 56
IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS ............................................................
57 57 59 62 62 62 64 64
4.1. Kondisi Geografis .............................................................................. 4.2. Sumber Daya Lokal ........................................................................... 4.3. Struktur Komunitas ............................................................................ 4.3.1. Pelapisan Sosial ...................................................................... 4.3.2. Kepemimpinan dan Sumber Daya ......................................... 4.3.3. Jejaring Sosial dalam Komunitas ........................................... 4.4. Organisasi dan Kelembagaan ............................................................
4.4.1. Lembaga Kemasyarakatan ...................................................... 4.4.2. Fungsi Kontrol Sosial Lembaga ................................................ 4.4.3. Proses Sosialisasi dalam Komunitas ........................................ 4.5. Masalah Sosial dan Penggunaan Lahan ............................................. 4.6. Situasi Kependudukan ......................................................................... 4.7. Ihktisar Peta Sosial ..............................................................................
64 65 65 65 67 70
V. EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN
73 73 77 77 78 82 83 84 86 87 88 89 92 92 92 100 105 107 107 109 112 124
5.1. Kebijakan dan Strategi Pemberdayaan dan Pengembangan ............... 5.2. LKM Seunuddon Finance ...................................................................... 5.2.1. Riwayat LKM Seunuddon Finance ............................................. 5.2.2. Penyelenggara, Sumber Dana dan Modal Bantuan ................... 5.2.3. Pendekatan dalam Program LKM .............................................. 5.2.4. Pengembangan Ekonomi Lokal ................................................. 5.2.5. Modal Sosial dan Gerakan Sosial .............................................. 5.3. Konflik dalam Program LKM ................................................................. 5.3.1. Pemetaan dan Penyebab Konflik ............................................... 5.3.2. Kebutuhan dan Kepentingan dalam Konflik ............................... 5.3.3. Perundingan dan Sasaran yang Ingin Dicapai ........................... 5.4. Evaluasi dan Prospek Keberlanjutan Program ..................................... 5.4.1. Evaluasi Program LKM .............................................................. a. Pandangan Terhadap Kinerja Umum BRR Aceh-Nias b. Evaluasi Program LKM Seunuddon Finance ......................... 5.4.2. Prospek Keberlanjutan Program LKM ....................................... 5.5. Dampak LKM Terhadap Keberdayaan Komunitas ................................ 5.5.1. Perubahan Jenis Pekerjaan ....................................................... 5.5.2. Perubahan Ekonomi Komunitas ................................................. 5.5.3. Tingkat Keberdayaan Komunitas ............................................... 5.6. Ihktisar Evaluasi Program .....................................................................
VI. RANCANGAN PROGRAM ............................................................... 6.1. Latarbelakang Rancangan Program ................................................... 6.2. Tujuan dan Sasaran ............................................................................ 6.3. Program Aksi ....................................................................................... 6.3.1. Program Penguatan Komunitas ............................................... 6.3.1. Program Penguatan Lembaga Lokal ....................................... 6.4. Ihktisar Rancangan Program ..............................................................
134 134 135 136 136 137 138
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ......................................................... 7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 7.2. Rekomendasi ......................................................................................
139 139 142
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
146
LAMPIRAN ..........................................................................................................
151
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rencana pengumpulan data .......................................................................
50
2. Data masalah sosial gampong ....................................................................
66
3. Penggunaan lahan ......................................................................................
67
4. Penggunaan lahan ......................................................................................
68
5. Rancangan tindakan langsung dalam penyelesaian konflik .......................
90
6. Jenis Pekerjaan Pemetik Manfaat LKM
108
....................................................
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran .....................................................................................
48
2. Jejaring Sosial Komunitas ...........................................................................
64
3. Pihak yang terkait dalam Konflik LKM .........................................................
87
4. Masalah inti penyebab dan efek konflik LKM ..............................................
88
5. Kebutuhan, posisi pihak yang berkonflik .....................................................
89
iv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Lokasi Kajian.......................................................................................
151
2. Pedoman Wawancara untuk Pengurus LKM .............................................
152
3. Pedoman Wawancara untuk Pengurus Koperasi ......................................
153
4. Pedoman Wawancara untuk BRR Aceh-Nias Wil. II Lhokseumawe ..........
154
5. Pedoman Wawancara untuk Komunitas Korban Tsunami .........................
155
6. Pedoman Wawancara untuk Penggiat Perkoperasian ...............................
156
7. Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus (Gampong Keude Simpang Jalan).
157
8. Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus (Dekopinda Aceh Utara) ...............
158
9. Dokumentasi Kegiatan Kajian ....................................................................
159
10. Kondisi Fasilitas Sosial dan Ekonomi Gampong Keude Simpang Jalan ...
166
11. Daftar Nama Lembaga LKM Lhokseumawe dan Aceh Utara ...................
168
v
PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berbadan hukum koperasi telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Tenaga kerja yang diserap industri rumah tangga (yang merupakan bagian dari usaha mikro sektor perindustrian) dan industri kecil pada tahun 2000, mencapai 65,38% dari tenaga kerja yang diserap sektor perindustrian nasional. Pada tahun yang sama sumbangan usaha kecil terhadap total PDB mencapai 39,93% (BPS, 2001). Lembaga keuangan mikro mampu bertahan menghadapi goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Indikator keberhasilannya serapan tenaga kerja antara kurun waktu sebelum krisis dan ketika krisis berlangsung tidak banyak berubah, dan pengaruh negatif dari krisis terhadap pertumbuhan jumlah usaha mikro dan kecil adalah lebih rendah dibanding pada usaha menengah dan besar. Usaha mikro dan usaha kecil telah berperan sebagai buffer dan katup pengaman (savety valve) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan alternatif lapangan pekerjaan bagi para pekerja sektor formal yang terkena dampak krisis1. Di Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami 26 Desember 2004 fungsi dan peran maksimal LKM sangat dibutuhkan untuk pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro komunitas korban. Namun keterlibatan LKM dan koperasi usaha mikro dalam proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami masih kecil. Momentum pasca tsunami seharusnya dimanfaatkan dengan baik dalam upaya pemberdayaan serta peningkatan partisipasi komunitas korban dalam proses pembangunan secara berkelanjutan. Pada pasca tsunami, di Nanggroe Aceh Darussalam lapisan kaum miskin bertambah. Menurut Kompas, 6 November 2006. Pertama, pengangguran, kemiskinan baru semakin bertambah. Kedua, sektor produktif mengalami kerusakan sekitar AS$1,2 milyar, proyeksi penurunan perekonomian mencapai 5 persen lebih dari 100.000 pengusaha kecil kehilangan usahanya, lebih dari 4,717 perahu nelayan hilang, 20.000 hektar tambak rusak atau disfungsi, 60.000 hektar sawah pertanian rusak. Ketiga, bidang pendidikan, lebih dari 2.000 gedung sekolah rusak berat, lebih dari 2.500 orang guru meninggal dunia, masih banyak sekolah yang hancur yang belum selesai dibangun bahkan belum dimulai sama 1
Di analisis dari Laporan BPS tahun 2001 berkaitan dengan usaha kecil dan koperasi
2 sekali. Keempat, bidang kesehatan juga mengalami hal serupa, banyak masyarakat korban tidak mendapat pelayanan kesehatan yang baik pasca ditinggalkan oleh tenaga medis asing. Lebih dari 8 rumah sakit rusak dan hancur, 114 Puskesmas dan Puskesmas pembantu rusak dan hancur. Kelima, masalah social budaya yang belum tertangani dengan baik, termasuk pergantian suratsurat berharga masyarakat yang hilang akibat tsunami dan konflik. Menurut Imam Budi Utama staf GTZ (Serambi, 22 Juni 2006), pada seminar ekonomi yang selenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (Himadipa) bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) di Balai Sidang Fakultas Ekonomi Unsyiah; bahwa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berperan penting terhadap perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebanyak 70 persen populasi pekerja di Aceh adalah wiraswasta yang terlibat dalam kegiatan ekonomi informal, yang bergantung terhadap sektor UMKM. Dengan komunitas miskin yang mencapai 2 juta jiwa (53 persen), kini Nanggroe Aceh Darussalam menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS, tercatat bahwa tingkat pengangguran di Nanggroe Aceh Darussalam meningkat dari 9,86 persen tahun 2004 menjadi 12,50 persen pada tahun 2005. Bahwa 10 dari 21 kabupaten-kota memiliki tingkat kemiskinan di atas 50 persen.2 Pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro melalui LKM di Aceh pasca tsunami tanpa kemandirian dalam basis perekonomian komunitas korban tsunami tidak akan bertahan lama. Selama perekonomian komunitas lokal bergantung kepada perekonomian nasional dan internasional serta warga komunitas lokal tidak mempunyai wewenang untuk mengaturnya, maka akan terjadi pembatasan kemandirian komunitas lokal dalam berbagai bidang. Kemandirian komunitas korban diartikan sebagai komunitas yang mengutamakan nilai-nilai sosial untuk dapat hidup terus bersandar pada sumberdaya yang dimilikinya. Kemadirian yang dimiliki komunitas korban dalam sebuah Gampong merupakan
kesempatan
untuk
mengembangkan
prakarsa,
inisiatif,
dan
partisipasi aktif dalam proses pembangunan serta pemenuhan kebutuhan mereka sesuai dengan potensi lokal yang tersedia. Berbagai potensi sumberdaya
2
Dalam seminar tersebut dibahas secara mendalam tentang prospek ekonomi mikro di Aceh Pasca Tsunami 21 Juni 2006 di Banda Aceh yang dimuat oleh Koran Harian Serambi Indonesia 22 Juni 2006
3 yang
tersedia
dapat
dikelola,
dimanfaatkan
dan
dikembangkan
secara
berkelanjutan guna meningkatkan keberdayaan komunitas korban. Tanpa partisipasi aktif komunitas, pemberdayaan dan pengembangan tidak akan berhasil. Partisipasi merupakan komponen penting dalam membangkitkan kemandirian komunitas lokal dalam proses pemberdayaan dan pengembangan. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan komponen yang menjadi pusat perhatian
dalam
proses
pembangunan
dan
pengembangan
komunitas.
Partisipasi dan pemberdayaan merupakan strategi yang potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi mikro, sosial, dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya
dapat
menciptakan
program-program
pemberdayaan
dan
pengembangan komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan komunitas atas dasar aspirasi komunitas sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Keterlibatan komunitas korban dapat dikembangkan lebih luas tidak terbatas sebagai pelaksana dan penerima manfaat dari program pemberdayaan dan pengembangan. Tetapi diharapkan secara aktif dapat terlibat langsung dalam pelaksanaan program-program yang dilaksanakan di Gampong. Untuk merealisasikan hal tersebut diperlukan peran aktif dari berbagai kelembagaan yang ada di Gampong serta melakukan evaluasi dan kontrol atas pelaksanaan berbagai program yang ada. Untuk menunjang peran partisipasi aktif dari komunitas korban, diperlukan adanya kelembagaan yang dibentuk oleh komunitas sendiri (botton up), bukan lagi bentukan dari pemerintah (top down). Sehubungan dengan itu, diperlukan langkah-langkah baik dari pemerintah, BRR Aceh-Nias, NGO, lembaga donor (stakeholders) maupun komunitas lokal sebagai upaya untuk meningkatkan keberdayaan ekonomi komunitas dalam mengembangkan potensi sumberdaya yang tersedia dengan tetap menjaga keberlanjutan program. Merehabilitasi dan merekonstruksi kembali puing-puing kehidupan ekonomi sosial budaya komunitas korban tsunami yang begitu masif untuk kehidupan layak dan normal bukanlah kerja biasa. Memerlukan penanganan yang tepat, sejak
mencari
pendekatan
metode,
perencanaan,
sosialisasi
hingga
implementasi lapangan. Memulai hidup dari puing-puing kehancuran, adalah sebuah permulaan yang sangat berat. Oleh sebab itu nasib korban tsunami yang disebut sebagai korban (victims) maupun yang selamat (survivors) perlu mendapatkan perhatian yang besar. Mereka memerlukan upaya pemulihan
4 selain pemulihan jiwa yang trauma, memerlukan pengakuan diri, mendapat tempat yang layak dalam masyarakat. Diperlukan pemulihan dan pemberdayaan ekonomi untuk mendorong perbaikan kehidupan mereka yang hancur. Pengembangan dan pemberdayaan ekonomi lokal merupakan salah satu cara mengatasi kemiskinan pasca tsunami. Korban tsunami yang sebelumnya memiliki usaha dalam perjalanannya menghadapi kendala kehancuran akibat tsunami. Maka diperlukan dukungan permodalan untuk normalisasi usaha ekonomi yang hancur. Hasil praktek lapangan II di Kecamatan Seunuddon Gampong Keude Simpang Jalan diketahui bahwa sebagian besar jenis pekerjaan komunitas korban adalah pedagang informal, kios, warung kopi, nelayan, petani tambak, petani garam, petani sawah dan peternak. Cara yang dapat dilakukan untuk memberdayakan sektor informal ini, khususnya yang terkait dengan permodalan yaitu dengan memberikan bantuan sosial dan modal usaha. Mereka merupakan segolongan komunitas yang jarang diperhatikan dan terjamah oleh program-program pemerintah, NGOs maupun lembaga donor lainnya. Walaupun ada stakehoders yang berperan dalam pemberdayaan ekonomi lokal belum mampu meningkatkan keberdayaan komunitas korban. Mereka hanya difungsikan sebagai obyek dalam program bukan sebagai subjek. Pemikiran ini mengisyaratkan upaya penting yang perlu dilakukan secara runtun dan simultan, yaitu upaya peningkatan suplai kebutuhan bagi para korban tsunami yang paling tidak berdaya, penyadaran, penguatan institusi, penguatan kebijakan, dan pengembangan jaringan. Dalam hal ini, para korban harus menjadi pelaku utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Untuk itu mesti diarahkan pada bagaimana komunitas dapat mengartikulasikan kebutuhannya dan mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif sesuai dengan konteks lingkungan budaya lokal, adat istiadat setempat. Hasil praktek lapangan I-II di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon diketahui
bahwa
kondisi
kehidupan
ekonomi
komunitas
korban
belum
menunjukkan perubahan yang signifikan. Sumber matapencaharian komunitas korban 70 persen sebagai neleyan dan petani tambak lainnya pedagang kecil, petani sawah, petani garam dan peternak. Tingkat pendidikan masih rendah rata-
5 rata hanya tamatan Sekolah Dasar/SD. Angka kemiskinan meningkat di banding dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial lain pasca tsunami.3 Program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi komunitas korban melalui LKM/Koperasi dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias di bawah koordinasi Aceh Mikro Finance (AMF), merupakan amanah untuk menanggulangi atau normalisasi kondisi ekonomi akibat tsunami, yang tertuang dalam Blue Print pembangunan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami. Berdasarkan hasil praktek lapangan I- II, diketahui bahwa besarnya dana yang dikucurkan untuk LKM/Koperasi oleh BRR Aceh-Nias kurang dirasakan manfaat secara berkelanjutan oleh komunitas korban. Adanya anggapan umum dalam komunitas korban bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan (hibah) mengakibatkan sulitnya pengembalian sehingga dana tidak dapat digulirkan kepada anggota lain. Anggapan tersebut didasari oleh banyak NGO asing tahun pertama dan kedua tsunami memberikan modal usaha secara cumacuma (hibah). Selain itu, ada pihak-pihak yang kurang senang terhadap program tersebut mempengaruhi komunitas lain yang menerima bantuan dari LKM4. Program pemberdayaan melalui LKM, kurang dilandasi oleh pemahaman terhadap konsep pemberdayaan dan pengembangan ekonomi, sehubungan dengan hal itu maka pengkaji tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi komunitas korban tsunami yang dijalankan oleh LKM di Nanggroe Aceh Darussalam. Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi stakehoders dalam menjalankan program tersebut di Nanggroe Aceh Darussalam. Kajian ini merupakan satu rangkaian yang diawali dari kegiatan praktek lapangan satu dan dua (PL-I dan II) berupa pemetaan sosial dan evaluasi program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro komunitas, yang pengkaji lakukan pada lokasi penelitian yang sama dengan pengambilan judul ” Pemberdayaan dan Pengembangan komunitas korban tsunami melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupatan Aceh Utara.
3
Sesuai dengan monografi Gampong Keude Simpang Jalan tahun 2007. Akibat tsunami Monografi Gampong Keude Simpang Jalan belum terdata secara baik. Hanya diperoleh data-data umum. 4 Diketahui dari hasil wawancara yang dilakukan tidak hanya dengan komunitas korban namun juga dengan pengurus LKM termasuk pihak BRR Aceh-Nias, Ketua Dekopinda Aceh Utara dan AMF.
6
I.2. Rumusan Masalah Pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami tahun ke tiga pasca tsunami, menunjukkan adanya transformasi pilihan rekonstruksi dan rehabilitasi; mulai dari emergensi, rekonstruksi infrastruktur dan pasca tiga tahun tsunami mulai dioptimalkan dan diarahkan pada pemberdayaan ekonomi lokal. Tantangan besar adalah bagaimana menuntaskan proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi lokal komunitas korban. Proses pemberdayaan secara holistik komunitas korban ini tentu saja bukan sebuah proses yang mudah. Keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh struktur dan mekanisme dari proses pemberdayaan, tetapi juga oleh dukungan stakeholders. Dari hasil kegiatan praktek lapangan II, berkaitan dengan evaluasi program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro bagi komunitas korban tsunami melalui LKM berasama BRR Aceh-Nias, dapat ditemukan beberapa kendala berikut: a. Ketidaklancaran pembayaran sebagai akibat cara pandang komunitas korban terhadap setiap program pemberdayaan ekonomi sebagai bantuan dari pemerintah, BRR, NGO dan lembaga donor lain dianggap hibah. b. Citra LKM berbadan hukum koperasi yang negatif selama ini menjadi kendala utama dalam pelaksanaan lapangan. c. Kurang konsisten dalam menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku oleh LKM dan koperasi. d. Kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola masih rendah yang terlihat dari sistem dan manajemen LKM dan koperasi yang lemah. e. Kurangnya pemahaman dan sosialisasi bagi komunitas korban terhadap sistem operasional kelembagaan LKM dan koperasi. f.
Sistem pengawasan yang kurang efektif serta kualitas pembina koperasi, LKM lemah.
g. Selain itu keterlibatan dan partisipatif komunitas korban tsunami relatif kurang. h. Lembaga lokal seperti LKM sebagai pelaksana masih kurang memahami karakteristik, identitas keacehan, adat istiadat setempat. i.
Komunitas korban tsunami tidak dilibatkan secara langsung sejak awal program dijalankan. Program tersebut kurang efektif bahkan tidak tepat
7 sasaran. Program ini hanya menguntungkan pelaksana program menjadi proyek yang instant. j.
Keberlanjutan program dalam komunitas korban kurang mendapat perhatian. Ditambah lagi, belum ada contoh keberhasilan koperasi/LKM yang dibantu dengan dana BRR dan pemerintah. Muncul ancaman adanya kegagalan dalam mencapai tujuan program tersebut.
k. Tingkat kejujuran, keihklasan para pihak yang terlibat masih sangat rendah. Dari paparan hasil praktek lapangan II diatas, maka masalah yang akan dikaji adalah: a. Apakah strategi pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro oleh LKM ”Seunuddon Finance” mampu memberdayakan korban tsunami di Kecamatan Seunuddon. b. Bagaimana tingkat keberdayaan komunitas korban tsunami pasca tiga tahun tsunami. c. Bagaimana
prospek
keberlanjutan
program
pemberdayaan
dan
pengembangan ekonomi mikro bagi komunitas korban tsunami.
I.3. Tujuan Kajian Tujuan
pokok
kajian
ini
adalah
merumuskan
apakah
strategi
pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro oleh LKM seunuddon Finance mampu memberdayakan korban tsunami dan bagaimana tingkat keberdayaan korban tsunami serta proses keberlanjutan program. Untuk merumuskan strategi tersebut, maka secara khusus kajian bertujuan: a. Menganalisis
keberhasilan
dan
kelemahan
pelaksanaan
program-
program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro yang telah dilaksanakan di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon b. Menganalisis dampak dan tingkat keberdayaan korban tsunami setelah mendapat bantuan dari LKM Seunuddon Finance. c. Menganalisis
prospek
keberlanjutan
program
pemberdayaan
dan
pengembangan ekonomi mikro korban tsunami. d. Merumuskan strategi dan agenda pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami.
8
1. 4. Kegunaan Kajian Hasil kajian pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami yang dilaksanakan di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon, ada tiga tujuan umum yang hendak dicapai oleh dalam kajian ini, yaitu: a. Secara teoritis dan akademis, kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan gagasan baru yang dapat melengkapi studi-studi sebelumnya tentang komunitas korban dan kelembagaan lokal yang tumbuh secara partisipatif. b. Secara praktis, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif berupa masukan dan rekomendasi bagi peningkatan pemahaman atau pengertian serta komunikasi komunitas dalam ingroup maupun outgroup dalam proses pembardayaan dan pengembangan komunitas tak berdaya itu sendiri. 1. Pemerintah Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon sebagai bahan masukan tentang bagaimana normalisasi ekonomi mikro pasca tsunami. 2. Lembaga-lembaga lokal, sebagai bahan dalam rangka mengatasi masalah ekonomi mikro pasca tsunami di NAD. 3. Keluarga korban tsunami, sebagai pengembangan peran untuk mengatasi masalah perekonomian keluarganya. 4. Bagi stakeholders seperti BRR, PEMDA, NGOs, negera donor yang terlibat dalam pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami. 5. Para pekerja sosial sebagai fasilitator dalam proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi pasca tsunami. 6. Pengkajian wawasan
sebagai tentang
wahana teori
pembelajaran
dan
praktek
dan
penambahan
pemberdayaan
dan
pengembangan komunitas dengan harapan dapat mengembangkan suatu model pengembangan ekonomi mikro komunitas di daerah lain. c. Kegunaan strategis, diharapkan dapat memberikan kontribusi atas penyusunan strategi pelayanan sosial yang melibatkan banyak pihak dan bertumpu pada kemampuan dan kearifan lokal. Dengan demikian, perumusan kerangka strategis penanganan masalah-masalah sosial kemasyarakat tetap mempertimbangkan konteks lokal dalam persepektif pemberdayaan komunitas.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. LKM/Koperasi dalam konteks Pemberdayaan Masyarakat
2.1.1. Pengertian Tentang LKM/Koperasi LKM/Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat maju, adil dan makmur. Dalam melaksanakan usahanya LKM/Koperasi tidak semata-mata berorientasi bisnis tertapi bagaimana membangun suatu perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Segala usahanya ditujukan untuk kesejahteraan anggota. Sumarti (2005) dalam Sumarti dan Syaukat (2006) menjelaskan bahwa koperasi merupakan salah satu contoh organisasi ekonomi lokal yang digolongkan kepada sektor keswadayaan masyarakat yang tumbuh dan digiatkan oleh warga masyarakat secara sukarela untuk kepentingan bersama. Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, kedudukan koperasi sebagai model badan usaha dianggap paling sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, pelaksanaannya diatur dan dikembangkan dalam berbagai peraturan. Pasal 3 UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian menjelaskan bahwa fungsi koperasi adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut serta membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sebagai suatu lembaga LKM/Koperasi mempunyai peran dan fungsi berikut: Pertama, membangun dan mengembang potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan secara
aktif
dalam
ekonomi dan sosialnya. Kedua, berperan serta
mempertinggi
kualitas
kehidupan
manusia
dan
masyarakatnya. Ketiga, memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya. Keempat, berusaha untuk mewujutkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. (Sumarti, 2005). Untuk membentuk suatu koperasi bersama LKM, ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Hal tersebut dijelaskan dalam undang-undang nomor 25 tahun
1992
tentang
perkoperasian
yang
menyebutkan
bahwa
syarat
10 pembentukan koperasi adalah; dibentuk oleh sekurang-kurangnya dua puluh orang, dilakukan dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar dan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah. Landasan hukum koperasi ada pada undang-undang dasar 1945 dalam pasal 33 ayat 1 beserta penjelasannya yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah suatu bangunan usaha yang sesuai dengan susuanan perekonomian indonesia. Cita-cita koperasi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 bahwa arah pemerintah dalam hal pembangunan ekonomi adalah terwujudnya demokrasi ekonomi dimana masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan tersebut. Atas dasar inilah koperasi diharapkan akan dapat tumbuh. Salah satu masalah yang menjadi perhatian LKM/Koperasi adalah akses terhadap sumber modal dari luar serta masih lemahnya kemampuan untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada, termasuk untuk memanfaatkan modal untuk tujuan suatu usaha yang benarbenar mampu bersaing dan memberikan keuntungan ekonomis yang memadai. Ismail dan Jauhari (1995) dalam Sumodiningrat (2007), menjelaskan bahwa permasalahan modal pada koperasi pada intinya disebabkan oleh tiga faktor utama berikut. Pertama, akses modal koperasi/LKM terhadap modal luar relatif sangat kecil. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh masih rendahnya return on investment dari usaha-usaha yang dikerjakan oleh koperasi dan atau karena biaya administrasi yang terlalu besar dan atau efisiensi manajemen yang masih rendah sehingga tidak proporsional dengan jumlah kredit yang dikelola. Kedua, umumnya LKM/Koperasi juga tidak mampu menghimpun modal sendiri melalui penyisihan secara berarti melalui akumulasi keuntungan usahanya, karena usaha yang dikelola masih dalam tingkatan yang sederahana dengan skala usaha yang relatif kecil pula. Ketiga, meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai jenis skim kredit khusus yang menurut ukuran dunia usaha pada umumnya sebenarnya dapat dijadikan sebagai keunggulan komparatif bagi koperasi dan tidak dimiliki oleh usaha yang lain. Namun dalam kenyataannya kesempatan inipun masih sulit dimanfaatkan oleh koperasi secara maksimal. Hal ini terbukti dengan masih rendahnya realisasi kredit dari skim-skim khusus kredit ini. Disini terlihat bahwa profesionalisme manajemen koperasi dengan berbagai interaksinya dengan maslah-masalah lain belum mampu secara optimal
11 menangkap peluang yang ada. Khusus untuk koperasi upaya untuk pemupukan modal yang bersumber dari para anggota dengan mengacu pada prinsip dasarnya
juga
masih
belum
dapat
diharapkan
secara
berarti
untuk
menggerakkan usaha-usaha koperasi. Untuk membentuk suatu koperasi yang sehat, Departeman Koperasi Usaha Kecil dan Menengah sesuai dengan Badan Litbang Koperasi dan Pengusaha Kecil (1998) menjelaskan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus ada dan dilaksanakan dalam kegiatan tersebut, yaitu: permodalan, sumber daya manusia dan penguasaan teknologi, manajemen, jenis usaha dan keragaannya, serta jaringan usaha. Pada lembaga ekonomi termasuk koperasi dikenal adanya dua jenis modal yaitu modal dalam/modal sendiri dan modal luar/modal pinjaman dari pihak lain. Modal sendiri adalah modal yang dihimpun dari dalam koperasi atau anggotanya dalam bentuk simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, simpanan lainnya serta hibah dan cadangan. Lembaga ekonomi yang memerlukan suatu kegiatan usaha sangat memerlukan kehadiran sumber daya manusia yang handal, artinya adalah bahwa seperti lembaga koperasi memerlukan sumber daya yang mengetahui tata cara kehidupan berkoperasi, tata cara berbisnis yang baik, dan cara mengembangkan beberapa usaha dan kegiatan produksi. Kebijaksanaan manajemen usaha koperasi dapat dilakukan langsung oleh pengurus dan dapat juga diserahkan kepada manajer LKM. Sebenarnya prinsip penerapan sistem telah ditujukan agar pengembangan usaha koperasi berupa LKM dapat berjalan lebih agresif, efisien dan efektif. Sedangkan pengurus, dalam hal ini cukup hanya menetapkan kebijaksanaan umum yang perlu dijalankan oleh manajer LKM. Pengurus diharapkan agar dapat lebih mengkonsentrasikan diri pada aspek pengembangan dan pembinaan anggota. Oleh sebab itu dalam hal pengembangan koperasi maka aspek manajemen usaha menjadi penting, karena kunci sukses dari lembaga usaha LKM sangat tergantung kepada kehandalan manajemen. Di samping penataan manajemen perlu diperhatikan aspek pelayanan kepada anggota mengingat kedudukan anggota didalam koperasi, disamping sebagai pemilik juga sekaligus sebagai pengguna. Mengenai keragaan usaha koperasi dinyatakan sebagai berjalan atau tidaknya sebuah koperasi serta menyangkut keuntungan atau kerugian yang dialami oleh koperasi bersama LKM.
12 Lebih lanjut Ismail dan Jauhari (1995) dalam Sumodiningrat (2007) mengungkapkan bahwa upaya untuk mengembangkan jaringan usaha koperasi perlu dikaitkan dengan upaya untuk memperbesar peluang usaha, meningkatkan kemampuan dalam menangkap peluang serta terciptanya kerjasama usaha yang berorientasi jangka panjang. Untuk itu beberapa hal perlu diperhatikan diantaranya adalah diperlukan peran pihak lain, termasuk peran para tokoh-tokoh yang berkepentingan dengan pengembangan koperasi perlu untuk dimanfaatkan dalam membangun jaringan usaha koperasi dalam bentuk LKM. Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro memuat tiga elemen kunci (Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, 2004) yaitu: a) Menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani. b) Melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. c) Menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan. Alasan di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang ‘merakyat’. Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan baru menyangkut pertumbuhan Usaha Mikro, melalui Inpres No. 6 Tahun 2007, tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan juga merupakan paket penggerak Investasi. Inpres ini pada intinya diharapkan mampu mendorong sektor riil, yang pada gilirannya akan berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan (versi pemerintah). Inpres ini harus benar-benar dapat digunakan sebagai salah satu dasar bagi pertumbuhan usaha mikro. Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana implementasinya bagi pelaku usaha mikro itu sendiri. Kesuksesan berbagai kebijakan pendukung usaha mikro baik di tingkat pusat maupun daerah untuk optimalisasi dapat bersinergi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Untuk dapat menyentuh skala prioritas yang efektif bagi pertumbuhan ekonomi terutama di sektor usaha mikro, tentu diperlukan suatu pola yang sistemastis dengan mengedepankan pemberdayaan pelaku usaha mikro dengan melakukan suatu Action (diawali suatu actionplant). Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha mikro dengan segala permasalahan serta tantangan intern dan ekstern. Usaha mikro tergolong jenis usaha marginal, yang antara lain ditunjukkan oleh penggunaan teknologi yang relatif sederhana, tingkat modal dan kadang
13 akses terhadap kredit yang rendah, serta cenderung berorientasi pada pasar lokal. Studi-studi yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa usaha mikro mempunyai peranan yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja melalui penciptaan lapangan pekerjaan, penyediaan barang dan jasa dengan harga murah, serta mengatasi masalah kemiskinan. Disamping itu, usaha mikro juga merupakan salah satu komponen utama pengembangan ekonomi lokal dan mampu memberdayakan kaum perempuan dalam meningkatkan bargaining position perempuan dan keluarga. Defenisi Usaha mikro menurut Asia Development Bank, adalah usahausaha non-pertanian yang mempekerjakan kurang dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga. Sedangkan USAID mendefinisikan usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan satu orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja. Kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas. Bank Dunia mendefinisikan usaha mikro adalah merupakan usaha gabungan (partnership) atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 10 orang, termasuk di dalamnya usaha yang hanya dikerjakan oleh satu orang yang sekaligus bertindak sebagai pemilik (self-employed). Usaha mikro sering merupakan usaha tingkat survival (usaha untuk mempertahankan hidup–survival level activities), yang kebutuhan keuangannya dipenuhi oleh tabungan dan pinjaman berskala kecil. Dengan melihat beberapa defenisi tentang usaha mikro, maka hal yang perlu di garis bawahi adalah bagaimana kekuatan usaha mikro bisa di jadikan sebagai alternatif dalam mengurangi pengangguran, karena pengurangan pengangguran secara otomatis akan memberikan dampak positif untuk bisa mengurangi kemiskinan di Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi alternatif tersebut tidak bisa jalan begitu saja tanpa mendapatkan dukungan secara maksimal oleh pemerintah dan swasta dengan memberikan akses keadilan bagi usaha tersebut. Peranan pemberdayaan oleh LKM/Koperasi seharusnya bisa terealisasi apabila pemerintah dan swasta bisa menciptakan suatu program yang sifatnya memberikan akses modal kepada usaha mikro, sebab kendala yang banyak dihadapi oleh usaha ini adalah masalah permodalan. Fenomena permodalan ini apabila di kaji lebih empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih adanya ketidakadilan dalam penyalurannya. Misalnya usaha mikro sering dipersulit untuk bisa mendapatkan modal, seperti prosedur yang berbelit-belit, harus ada
14 jaminan, serta banyak lembaga keuangan tidak menyediakan permodalan bagi usaha mikro. Fenomena tersebut bisa di lihat secara kasat mata, artinya pemerintah dan swasta belum berpihak kepada pembangunan yang berbasiskan kerakyatan. Usaha mikro sering mengalihkan pinjaman permodalan kepada lembaga-lembaga keuangan informal, sehingga yang terjadi adalah penghisapan atau eksploitasi oleh lembaga informal dalam hal ini rentenir. Eksploitasi tersebut terjadi dengan bunga yang tinggi, tetapi eksploitasi tersebut bisa dinikmati atau diterima oleh usaha mikro. Ini merupakan fenomena yang harus segera dijawab oleh
pemerintah
dengan
membuat
kebijakan
yang
benar-benar
di
implementasikan. Batasan definisi keuangan mikro dapat diringkas sebagai berikut. Keuangan mikro adalah suatu alternatif yang amat dibutuhkan bagi usaha mikro, karena mereka tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal: Bank, BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Dalam keuangan mikro, para pihak yang terkait adalah, a) Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang menyediakan dana yang berkesinambungan dan makin besar dananya. b) Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM), yang secara berkelanjutan mendampingi kelompok usaha mikro maupun satu persatu anggota kelompok. c) Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang membentuk kelompoknya sesuai dengan kebutuhan mereka dan terdiri dari anggota-anggota yang mereka kenal satu sama lain termasuk usaha-usahanya yang beraneka rupa. Berkelompok itu penting karena; motivasi dan spirit berusaha dapat terpelihara dengan baik, dan mereka dapat belajar satu sama lain, pada kelompok yang solid, dapat diterapkan sistem “tanggung renteng”. Sistem ini sebagai pengganti kolateral (dikenal sebagai collateral substitute), sehingga resiko tidak membayar kembali pinjaman, menjadi kecil.
Kebiasaan menabung dapat dibina dengan baik serta dikembangkan.
Apabila jumlah tabungan sudah memadai, anggota dapat meminjam dari kelompoknya. Dengan berkelompok maka biaya transaksi bagi LKM dan LPUM menjadi ringan. Pelayanan secara individual kepada usaha mikro akan memerlukan transactin cost yang tinggi sekali. Dengan sistem seperti tersebut di atas, maka para pihak, yaitu: LKM, LPUM, dan KSM beserta anggotanya, dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan mandiri (ADB dan Bank Dunia, 2004) Dengan demikian keuangan mikro dapat berperan untuk mengentaskan kemiskinan, tidak untuk semua kemiskinan, tetapi hanya sebatas pada orang-
15 orang miskin yang punya usaha (enomically active poor). Upaya penguatan Usaha Mikro juga telah banyak dilaksanakan di Indonesia, apakah efektif atau tepat sasaran? Ini belum ada data yang kongkrit. Upaya ini diketahui telah banyak dilakukan, baik oleh lembaga pemerintah, lembaga non-pemerintah, lembaga swasta, lembaga perbankan, lembaga donor, maupun individu. Hambatan-hambatan yang dialami Usaha mikro adalah keterbatasan sumberdaya finansial. Karena sifatnya yang mikro dengan modal kecil, tidak berbadan hukum dan manajemen yang sebagian masih tradisional sehingga sektor ini tidak tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (Bank) yang selalu menerapkan prinsip perbankan dalam memberikan kreditnya. Upaya pemerintah untuk membantu Usaha mikro misalnya dengan menghubungkan dengan pengusaha besar untuk bermitra belum cukup efektif untuk mengatasi masalah mengingat jumlahnya yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal usaha mikro karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik usaha mikro yang cenderung dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan pelayanan kredit dalam skala besar tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan. Selain itu LKM dapat juga menjadi perpanjangan tangan dari lembaga keuangan formal, sebelum dana untuk pelayanan keuangan mikro itu tersalur kepada kelompok swadaya masyarakat (atau usaha mikro tersebut). Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan bagi masyarakat karena memang mempunyai karakteristik yang cocok dengan rakyat kecil. Pelayanan LKM sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan pengembangan usaha mikro yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar perekonomian Indonesia. Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid.
16 Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga kemampuan nasabah untuk dapat me-manage keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya. Selama ini keengganan dari pihak bank komersial dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat tak berdaya ini sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Pihak perbankan kebanyakan akan merasa sia-sia dalam memberi pelayanan kepada mereka. Hal itu karena pihak perbankan memandang pelayanan terhadap masyarakat ini akan mendatangkan biaya transaksi tinggi dan penuh dengan resiko. Tingginya biaya disebabkan skala kredit yang mereka butuhkan terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memberikan agunan, ditambah lagi dengan pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah. Kenyataan, menunjukkan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah. Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari KSM, organisasi yang terdiri dari orangorang sesuai strata ekonominya diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral. Mekanisme penyaluran itu membutuhkan keberadaan seorang pendamping. Pendamping merupakan faktor kunci agar receiving mechanism berjalan. Pendamping memberi bantuan dan fasilitas non keuangan untuk sektor mikro seperti memfasilitasi adanya penyusunan rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Agar proses pendampingan berkelanjutan, maka diperlukan biaya pendampingan. Biaya itu dapat diambilkan dari beberapa alternatif, misalnya dari pengembalian kredit yang berasal dari kegiatan LKM itu sendiri.
Pengembangan
usaha
mikro
dalam
konteks
penanggulangan
17 ketidakberdayaan tidak bisa lepas dari peran LKM. LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan usaha mikro yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan
usaha mikro yang diarahkan untuk menanggulangi korban
tsunami di Aceh. Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Prinsip yang mesti dipelihara dalam menjalankan binaan terhadap usaha mikro melalui LKM antara lain: a) Akuntabilitas, dilaksanakan dengan memberikan akses kepada semua pihak untuk melakukan audit, bertanya dan atau menggugat pertanggung-jawaban para pengambil keputusan, baik di tingkat proyek, daerah, prinsip maupun pelaksana. b) Transparansi, melalui pemberian akses kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mengetahui seluruh informasi yang berkaitan dengan konsep, kebijakan serta pengambilan keputusan, perkembangan kegiatan dan keuangan, serta informasi lainnya dari para pelaku program. Masyarakat dapat bebas mengajukan usulan kegiatan mengacu pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Pengelolaan
Dana
Program/BLM
adalah
sebagai
dana
bergulir.
Pengelolaan dana program/BLM diserahkan dan menjadi tugas dan tanggung jawab LKM sebagai unit usaha di bawah BKM, dengan kegiatan dan mekanisme berikut. a) Penatabukuan, agar tertib admibistrasi, khususnya dalam menangani keuangan, maka konsultan pelaksana memberikan pelatihan tentang penatabukuan secara sederhana, khususnya kepada LKM sebagai unit pengelola keuangan BKM, termasuk kepada KSM, b) Audit, bentuk audit dalam program ini adalah di samping model partisipatif oleh para pelaku di semua lini, juga oleh pihak-pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pendampingan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencegah upaya dan atau penyalahgunaan dana, tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok tertentu, c) Sanksi pembatalan/pencabutan dana,
18 yaitu suatu bentuk sanksi dengan pembatalan atau tidak dialokasikannya dana program (BLM atau komponen program lainnya) pada tahap atau tahun berikutnya. d) Penerapan sanksi oleh masyarakat, sanksi yang diterapkan masyarakat dapat bersifat formal, dalam arti merupakan keputusan atau hasil musyawarah warga, atau bersifat non formal dalam bentuk sanksi yang dilakukan oleh warga orang per orang, seperti cemoohan atau tidak dihargai lagi, dikucilkan dan sebagainya. Strategi dasar LKM adalah: a) Memanfaatkan interaksi sosial. b) Sosialisasi program. c) Usulan kegiatan mengacu pada kebutuhan masyarakat. d) Menggerakkan potensi keswadayaan masyarakat. e) Mendorong komunitas dalam perencanaan, pelaksanaan. dan pengawasan. f) Peningkatan peran insititusi kemasyarakatan dengan dampingan. g) Pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan Strategi Umum Operasional LKM adalah: sosialisasi, seleksi dan rekrutment, pelatihan, penugasan pendamping, strategi pengalokasian dana, pendekatan ekonomi (bagian dari Tri Daya) menjadi lembaga pendorong terciptanya kemandirian ekonomi masyarakat Aceh sesuai dengan kearifan lokal, memulihkan kondisi ekonomi akibat gempa dan tsunami, pencapaian standard hidup yang lebih layak bagi masyarakat NAD, melakukan pembangunan ekonomi rakyat dengan melibatkan sel-sel ekonomi dengan rencana makro sebagai guidelines untuk program-program mikro, dengan pendekatan kemanusiaan, peningkatan kualitas SDM dalam rangka capacity building, dan distribusi yang berkeadilan, kejujuran, kesetaraan gender, kemitraan, kesederhanaan, halal, tayyib, dan mubarakah, demokrasi, partisipasi, transparansi, serta akuntabilitas. Asas dan prinsip LKM ádalah meningkatkan penghidupan masyarakat NAD lebih baik, adanya jaminan kehidupan ekonomi yang normal dengan tingkat pendapatan yang semakin meningkat dan lapangan kerja yang produktif serta perlindungan sosial yang memadai, pulihnya standar layanan minimum bidang ekonomi, khususnya jaringan lembaga keuangan mikro dan usaha kecil menengah meningkatknya mutu dan jangkauan layanan jaringan lembaga keuangan, infrastruktur dan pengembangan SDM, produksi dan distribusi. Lembaga keuangan mikro adalah: yang berbadan hukum koperasi sebagaimana kepmen No. 91/kep/M.KUKM/1X/2004. Lembaga keuangan mikro mengelola dan menerima dana program LKM yang diterima dari berbagai penyalur dana pinjaman untuk rehabilitasi Aceh. Penyaluran dana ditujukan untuk masyarakat miskin khususnya untuk tujuan pemulihan
asset produktif
19 anggota LKM yang mengalami kerusakan karena tsunami atau pemetik manfaat yang tergolong dalam korban konflik. Pada setiap orang yang mendapatkan peminjaman dari LKM berkewajiban untuk mengembalikan dan setiap peminjam atau pemetik mamfaat harus membuat pernyataan atau akad untuk perjanjian yang dilakukan selama proses pinjaman yang berlangsung dalam jangka pajang. Untuk perkiraan modal, besarnya ditentukan sebesar 80 persen dari seluruh bantuan dana. Untuk perkiraan kewajiban jangka panjang besarnya di tentukan 20 persen dari seluruh bantuan dana. Dengan jangka waktu pengembalian satu tahun dengan pola cicilan tergantung kebijakan LKM.
2.1.2. Hubungan LKM dengan AMF Center. Kegiatan program pemberdayaan koperasi dan usaha kecil menengah melalui lembaga keuangan mikro (LKM) yang dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias, merupakan amanah untuk menanggunglangi kondisi ekonomi akibat dampak dari bencana tsunami dan gempa bumi yang tertuang dalam “Blue Print” pembangunan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam yang harus dilakukan oleh BRR melalui LKM. Supaya mampu bangkit, tumbuh dan berkembang, dibentuklah lembaga “jangkar”; Aceh Mikro Finance Center (AMFC), dengan perwakilannya tersebar di kabupaten/kota NAD, sebagai “wholesaler”, sekaligus “apex”nya LKM yang diberdayakan oleh BRR dengan memberikan hak dan dukungan fasilitas, supervisi, pembinaan dan pengawasan. Aceh Mikro Finance adalah sebuah program lembaga keuangan mikro Aceh yang digagas oleh BRR yang merupakan “master Piece”nya Mikro Finance. Berdasarkan SK Gubernur NAD Nomor 17 tanggal 7 November 2006 dengan nomor: 02/BH/2006. AMF Center sebagai Lembaga yang ditunjuk untuk mengemban amanah dari BRR Aceh-Nias berhak melaksanakan visi, misi, dan fungsi secara profesional dan mandiri sebagaimana yang telah digariskan dan akan bertanggungjawab secara langsung dan berkala kepada BRR Aceh-Nias. AMF Center akan melakukan penguatan terhadap Lembaga Keuangan Mikro yang berbadan hukum Koperasi, baik aspek managemen, kualitas SDM maupun penguatan modal anggotanya, UKM dan masyarakat. AMF Center sebagai pintu kerjasama bagi kepentingan anggota (Koperasi Primer) untuk meningkatkan akses sumber-sumber dana modal dari lembaga keuangan lain dan mengembangkan kemitraan pemerintah dan swasta. Selain sebagai lembaga fasilitator terhadap penguatan LKM, AMF Center juga berperan sebagai
20 lembaga pelaksana pendidikan, pelatihan dan memberikan sosialisasi terhadap LKM. AMF Center sebagai wadah dan penanggung jawab dari program Ekonomi Mikro yang dilakukan oleh BRR melalui LKM yang berbadan hukum koperasi. AMF Center mengelola Rumah Tangganya secara mandiri dan profesional sebagaimana yang terdapat pada AD/ART. Dalam Keuangan mikro, para pihak yang terkait adalah Aceh Mikro Finance (AMF) atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM),
dengan
menyediakan
dana
berkesinambungan
dan
berjenjang
jumlahnya. Sedangkan fungsinya adalah: a) sebagai media pengawasan langsung dan tidak langsung terhadap anggota AMF center, b) sebagai media yang melaksanakan pendidikan, pelatihan dan sosialisasi terhadap anggota AMF center, c) sebagai pemilik modal dan pembiayaan pada anggota AMF center, d) sebagai fasilitator yang memfasilitasi seluruh kegiatan anggota AMF center. Berdasarkan DIPA tahun 2006, Aceh Micro Finance (AMF) adalah sebuah program Lembaga Keuangan Mikro Aceh yang digagas oleh BRR Aceh-Nias yang merupakan induk dari Micro Finance. Untuk mencapai tujuan, BRR telah berhasil mendorong dan mendirikan lembaga Aceh Micro Finance Center (AMFC) dengan perwakilan di 11 Kabupaten/Kota di NAD dalam bentuk badan hukum Koperasi, SK Nomor 17 tanggal 7 November 2006 dengan nomor : 02/BH/2006. Tugas dan amanahnya adalah melaksanakan visi, misi dan fungsi secara maksimal sebagaimana yang telah dikonsepkan oleh BRR Aceh-Nias. AMF Center sebagai wadah dari semua kebijakan BRR Aceh-Nias yang berhubungan dengan Program Pemberdayaan Koperasi dan UKM melalui LKM di NAD. Visi dan misi AMF adalah menjadi lembaga pendorong terciptanya kemandirian ekonomi berdasarkan kearifan lokal hingga terwujudnya masyarakat Aceh yang adil, bermartabat, amanah dan sejahtera. Sedangkan misinya adalah: a. Melakukan
pembangunan
ekonomi
rakyat
serta
ikut
membangun
perekonomian nasional. b. Meningkatkan kualitas kelembagaan, sistem managemen dan SDM LKM malalui pendampingan dan pemberdayaan yang berkelanjutan. c. Menciptakan sistem pengembangan dan pengawasan LKM berbasis masyarakat. d. Optimalisasi kualitas pengelolaan AMF yang profesional, transparan, terukur, berdayaguna
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
dalam
mewujudkan
kemandirian AMF hingga dapat memayungi dan meningkatkan nilai tambah
21 secara berkelanjutan bagi LKM dengan berdasarkan good corporate governance5. (Pedoman Kerja AMF center 2007).
2.1.3. Permasalahan Mengenai LKM Permasalahan yang ada dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan masyarakat melalui koperasi dan lembaga keuangan mikro di Nanggroe Aceh Darussalam, antara lain: a. Kondisi dan situasi umum koperasi dan LKM di Indonesia, masih belum mendapat perhatian secara proporsional baik dari pemerintah maupun pihak swasta. b. Dalam konteks Aceh, akibat musibah gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004, penganguran, kemiskinan baru bertambah di Aceh. Sektor produktif mengalami kerusakan sekitar $ 1,2 Milyar AS, proyeksi penurunan perekonomian mencapai 5 persen, lebih dari 100.000 usaha kecil (koperasi/LKM) hancur. (Kompas, 6 November 2006). c. BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi khususnya manager dan satuan kerja Koperasi dan Ekonomi kecil menengah, telah mengucurkan dana ratusan milyar rupiah ke 137 LKM/koperasi. Per LKM/koperasi mencapai 1 milyar lebih dari BRR, ditambah dari instansi pemerintah dan lembaga lain. (serambi, 14 Juni 2007). d. Bahwa rata-rata kredit bermasalah sampai dengan akhir tahun 2007 di LKM mencapai 42 persen. (laporan AMF center 2007) e.
Secara umum kondisi SDM koperasi dan LKM masih memerlukan peningkatan kinerja dalam hal pemahaman dan implementasi prinsipprinsip perkoperasian, teknik managemen pembiayaan dan tertib administrasi keuangan.
f.
Kondisi kelembagaan LKM/koperasi belum terlaksana tertib pencatatan administrasi keuangan, belum dikuasai teknis managemen (pembiayaan, bagi hasil, sisa hasil usaha), baik untuk sistem syariah maupun konfensional. Selanjutnya belum maksimal penghimpunan keswadayaan melalui pemupukan modal sendiri yang bersumber dari anggota maupun masyarakat bukan anggota, serta belum ada sistem perencanaan,
5
Dianalisis dari modul Pedoman Kerja Aceh Mikro Finance (AMF) tahun 2007. AMF sampai dengan tahun 2007 terdapat di 11 Kabupaten/Kota sampai sekarang belum berfungsi secara maksimal. Sarana dan prasarana yang telah disediakan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk keberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami di NAD.
22 pengelolaan dan pengawasan khususnya pada dana yang bersumber dari dana penyertaan BRR Aceh-Nias. g. Hasil praktek lapangan II, menyimpulkan bahwa: a) Belum adanya standarisasi dan strategi yang jelas dalam program pemberdayaan LKM dan koperasi untuk keberdayaan komunitas korban, b) Terabaikannya prinsip demokrasi, partisipasi (keterlibatan), transparansi dan akuntabilitas serta sosialisasi program, c) tingkat keberdayaan komunitas korban dengan hadirnya program pemberdayaan ekonomi melalui LKM belum menunjukkan hasil yang signifikan, d) Pada akhirnya keberlanjutan program tersebut menjadi permasalahan serius di Nanggroe Aceh Darussalam.
2.2. Partisipasi Dalam Pemberdayaan Komunitas 2.2.1. Pengertian Partisipasi komunitas Secara harfiah partisipasi berarti: ‘turut berperan serta dalam satu kegiatan’, ‘keikutsertaan atau peran serta dalam satu kegiatan’, peran serta aktif atau proaktif dalam satu kegiatan’. Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan suka rela baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ektrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan Moeliono, (2004) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006). Dari sudut terminologi, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antra dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Partisipasi masyarakat
merupakan
insentif
moral
sebagai
“paspor”
mereka
untuk
mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka. Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa sebagaimana yang dijelaskan Sastropoetro (1988) dalam Sumardjo dan Saharuddin (2006), bahwa partisipasi adalah keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan. Menurut Moebyarto (1985) dalam Sumarjo dan Saharuddin (2006), partisipasi adalah kesadaran untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan
diri-sendiri.
Dikaitkan
dengan
pelaksanaan
pembangunan
23 masyarakat, maka partisipasi menyangkut keterlibatn masyarakat secara aktif dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemeliharaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Dalam kerangka pembangunan pedesaan berkelanjutan maka menjadi suatu kebutuhan adanya perencanaan partisipasi dalam pembangunan. Hal ini akan dapat meningkatkan manfaat yang akan diterima masyarakat dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Dalam pembangunan seperti itu sangat dibutuhkan keterlibatan masyarakat. Tanpa partisipasi dari seluruh masyarakat, maka pembangunan sulit dapat berjalan dengan baik. Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan sekaligus menjadi keluaran atau saran dari pelaksanaan pembangunan. Dalam
kenyataannya
partisipasi
masyarakt dalam pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal. Partisipasi vartikal berlangsung bila mana masyarakat berperan serta dalam suatu program yang dari atas, yakni masyarakat pada posisi sebagai bawahan atau sebagai pengikut. Sedangkan partisipasi horizontal bila mana masyarakat mampu berprakarsa, yakni setiap anggota masyarakat secara horizontal atau dengan kata lain berperan serta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Ndrha (1990) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006), berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat dipilah sebagai berikut: (1) partisipasi dalam atau melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2) partisipasi dalam memperhatikan atau menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk dalam pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam pelaksanaan oparasional, (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan, tidak lepas dari hubungan dengan pihak lain dan penguasaan informasi, sehingga penting artinya proses sosialisasi dalam program yang berasal dari luar masyarakat. Menurut Bumberger dan Hams (1989) dalam Sumarjdo dan Saharuddin (2006), terdapat dua pendekatan mengenai partisipasi masyarakat. Pertama,
24 partisipasi merupakan proses sadar tentang pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan dari masyarakat yang kurang beruntung berdasarkan sumber daya dan kapasitas yang dimilikinya. Dalam hal ini tidak ada campur tangan dan prakarsa pemerintah.
Kedua, partisipasi harus mempertimbangkan intervensi
dari pemerintah dan LSM di samping peran serta masyarakat. Hal ini penting untuk implementasi proyek yang lebih efisien, mengingat kualitas sumberdaya dan kapasitas masyarakat tidak memadai. Jadi, masyarakat miskin tidak leluasa sebebas-bebasnya bergerak sendiri berpatisipasi dalam pengembangan dan pemberdayaan. Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Dalam partisipasi masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepantingan, anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, dimana keputusan terakhir tetap berada ditangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Dalam konteks partisipasi masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan bersama.
2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Komunitas Menurut Sumardjo dan Saharudin (2006), kunci yang akan
sangat
mempengaruhi apakah seseorang akan berpartisipasi dalam suatu program pemberdayaan dan pembangunan adalah: Pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi kehidupannya, makin besar manfaat yang akan diperoleh makin besar pula derajat partisipasinya dan makin panjang (berkelanjutan) manfaat tersebut dinikmati makin berkelanjutan pula partispasinya. Manfaat bisa berarti terpenuhinya kebutuhan dan bisa pula berarti terbebasnya dari ancaman tertentu. Kedua, komunikasi yang efektif di antara pelaku
yang diharapkan
berperan serta dalam program. Adanya kesukarelaan antara para pelaku dalam berperan serta artinya bukan karena paksaan maupun tekanan dari pihak lain dengan cara dan bentuk apapun. Makin besar obyek partisipasi tersebut menimbulkan motivasi intrinsik-feltneeds makin besar pula derajat keikutsertaan seseorang. Hal diatas mesti dilandasi oleh paradigma dalam pemberdayaan partisipatoris dengan pendekatan pembangunan dimulai dengan komunitas yang
25 paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka (indigenus knowledge). Menilai dan mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan sarana mereka agar dapat mengembangkan diri Pretty dan Guijt, (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006). Ada dua perspektif pemberdayaan dan pembangunan partisipatoris yang perlu dipahami; pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan program yang akan mewarnai hidup mereka. Kedua, mempertimbangkan secara penuh persepsi, pola sikap, pola pikir, pengetahuan, dan nilai nilai setempat, membuat umpan balik yang tepat Jamieson, (1989) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006). Pada hakikatnya strategi dan pendekatan pembangunan manusia adalah menumbuhkan otonomi prilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Interaksi tersebut merupakan kritalisasi dari faktor-faktor situasional berserta kognisi, keinginan, sikap, motivasi, dan responnya. Latar belakang sosioculture, status sosial dan tingkat kehidupan menentukan kesempatan dan kemampuan untuk turut berproses dalam pembangunan. Faktor internal manusia dan lingkungan sosial, terutama lembaga sosial untuk menumbuhkan self sustaining capacity masyarakat, bekerjasama dengan lembaga pemerintahan mempunyai makna penting
dalam
pembangunan
sumberdaya
manusia
yang
berkelanjutan
Supriatna, (1997) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi faktor-faktor yang mendukungnya, yaitu: a. Adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa ia berpeluang untuk berpartisipasi. b. Adanya
kemauan,
yaitu adanya
sesuatu
yang
mendorong atau
menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasi tersebut. c. Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran atau kenyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya Slamet, (1994) dalam Sumardjo dan Saharudin(2006). Ketiga faktor tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor diseputar kehidupan, manusia yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, seperti psikologis individu (kebutuhan, harapa, motif dan reward), pendidikan, adanya informasi, ketrampilan, teknologi, kelembagaan yang mendukung, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal serta peraturan dan pelayanan pemerintah.
26 Menurut Oppenheimen (1973) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006), ada unsur yang mendukung untuk berprilaku tertentu pada diri seseorang dan terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya prilaku tertentu. Menurut Sahidu (1998) dalam Sumardjo dan Saharudin, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemauan masyarakat untuk berpartisipasi adalah motif, harapan, kebutuhan, reward dan penguasaan informasi.
Faktor yang
memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan,
sarana
dan
prasarana.
Faktor
yang
medorong
adalah
pendidikan, modal, dan pengalaman yang dimiliki. Terdapat tiga prinsip dasar dalam
menumbuhkan
partisipasi
masyarakat
agar
ikut
serta
dalam
pembangunan yaitu: a) learning proses (learning by doing) adalah proses kegiatan dengan melakukan aktifitas kegiatan pelaksanaan program dan sekaligus mengamati, menganalisis kebutuhan dan keinginan masyarakat; b) institutional development ialah melakukan kegiatan melalui pengembangan pranata sosial yang sudah ada dalam masyarakat. Karena institusi atau pranata sosial masyarakat merupakan daya tampung dan daya dukung sosial; c) partisipasi, cara ini merupakan suatu pendekatan yang umum dilakukan untuk dapat menggali kebutuhan yang ada dalam masyarakat Marzali (2003) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006).
2.3. Pemberdayaan Komunitas Korban Tsunami Pada dasarnya sasaran pembangunan masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat mengandung arti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pembangunan berencana merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang khas dan direncanakan. Ada tiga perspektif perubahan sosial, yaitu: perspektif materialistik, adalah suatu perspektif yang menjelaskan bahwa teknologi baru dan “model ekonomi produksi” menyebabkan dalam interaksi sosial, organisasi sosial, nilai-nilai budaya, kepercayaan dan norma-norma dalam suatu komunitas. Melalui Lembaga Keuangan Mikro komunitas miskin memberdayakan dirinya dalam berhadap-hadapan dengan organisasi-organisasi Negara. Dengan
27 konsep pemberdayaan, partisipasi akar rumput menjadi tema sentral hampir disetiap wacana paradigma pemberdayaan ekonomi. Menurut Suramto (1992) dalam Nasdian dan Darmawan (2006) masyarakat berdaya memiliki ciri-ciri: 1) mampu memahami diri dan potensinya, 2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan kedepan) dan mengarahkan dirinya
sendiri,
3)
memiliki
kekuatan
berunding,
bekerjasama
saling
menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, 4) bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. Diera globalisasi sekarang ini, ciri-ciri masyarakat berdaya dapat dilihat dengan dimilikinya etos kerja yang tinggi, kreatif, peka dan tanggap, inovatif, religius, fleksibel dan jatidiri dengan suakendali. Menurut Suharto (2001), bahwa pemberdayaan muncul sebagai solusi atas fakta ketimpangan struktur kekuasaan (strukutral power inequality) yang berlangsung selama ini, dimana masyarakat bawah haus akan kebutuhan untuk mendapatkan
kekuasaan
dalam
mengatur
diri
mereka
sendiri,
artinya
pemberdayaan dapat dipahami sebagai mekanisme dari retristribution of hegemoni. Dimasa awal kedatangannya konsep pemberdayaan dimaknai sebagai: The Principle of dismandismantling of the dominion (pembongkaran kekuasaan yang mengkungkung kehidupan rakyat). Kedua, Class struggle (perjuangan kelas) atau takking over the control ethich of liberation (etika pembebasan) drawn from
the vision or ideology of Marxism. Pemahaman
konsep pemberdayaan melunak dan mengalami perubahan sangat dramatis dimana konsep tersebut lebih dimaknai sebagai proses penguatan kapasitas komunitas lokal. Artinya, pemberdayaan lebih dipahami sebagai encouraging self expression and self determination. Pada masa sekarang pemberdayaan dipahami jauh lebih moderat. Baum (1999) dalam Nasdian dan Darmawan (2006), mengemukakan bahwa memberdayakan suatu kaum atau komunitas tertentu mengandung makna berikut. Pertama, authorityzation
atau
authority, pemberdayaan membawa konotasi pemberian kewenangan lebih luas kepada suatu
komunitas tertentu. Kedua, capacity, kekuasaan atau power bermakna pula sebagai energi. Artinya, empowerment (to energyze) diri
pihak
bermakna sebagai pemberian energi
yang kuat kepada kaum atau komuitas yang lemah.
Pemberdayaan mengandung aspek atau bermakna memperbesar peluang dalam melakukan pilihan-pilihan ekonomi dan politik, meningkatkan derajat kebebasan seseorang atau suatu komunitas tertentu dalam mengembangkan kehidupannya,
28 meningkatkan kapasitas dalam penguasaan sumber daya ekonomi, memiliki posisi dan kewenangan lebih besar dalam menentukan sesuatu. Pemberdayaan dan pengembangan komunitas serta masyarakat biasanya dilakukan dengan pembangunan atau perubahan. Menurut Hadad (1980) dalam Nasdian dan Darmawan (2006), istilah “pembangunan” pada dasarnya tidaklah berbeda dengan istilah “perubahan”. Kedua istilah tersebut masing-masing memilki sisi positif dan negatif, tergantung kepada apa dan siapa yang akan diubah, dan juga bagaimana perubahan itu dilakukan. Selama lebih dari tiga dekade, teori-teori pembangunan telah dibahas dan dikaji oleh berbagai praktisi dan teorisi pembangunan. Untuk mewujudkan agenda perubahan tersebut, maka pembangunan, kebijakan pembangunan dan pengembangan kelembagaan perlu diarahkan oleh suatu paradigma baru yang berakar kepada ide-ide, nilai-nilai, teknik-tehnik sosial, dan tehnologi lokal, ekologi manusia yang mengutamakan pembangunan harkat, martabat dan hakikat manusia dan lingkungannya. Logika yang dominan dan perlu dikembangkan dari paradigma baru tersebut adalah logika ekologi manusia yang seimbang dengan sumberdaya utama berupa sumberdaya informasi dan prakarsa kreatif
dengan memberi peran kepada
rakyat bukan sebagai subyek, tetapi lebih sebagai aktor. yang menetapkan tujuan,
mengendalikan
sumberdaya,
dan
mengarahkan
proses
yang
mempengaruhi kehidupannya. Namun demikian perubahan paradigma ini tidak serta merta membawa perubahan yang signifikan pada kondisi kehidupan social ekonomi masyarakat serta upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan atas sumberdaya alam yang tersedia, karena pemahaman aparat pemerintah dan masyarakat relatif masih kurang. Selain itu, pemahaman tentang karakteristik komunitas setempat juga masih kurang. Mengenal komunitas lokal secara mendalam penting dilakukan untuk mencapai pembangunan atau perubahan ke arah yang lebih baik. Ada beberapa konsep yang tepat digunakan, antara lain: Pertama teori atau konsep yang disampaikan oleh Hacker (1999) dalam Nasdian dan Darmawan (2006)
mengenai pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.
Ada tujuh elemen
penting
dalam
konsepsi
Hacker.
Berikut ini adalah
ketujuh element penting dari Hacker. Pertama, para anggota komunitas korban tsunami mengerti dan paham persoalan ekonomi riil di komunitasnya. Komunitas korban tsunami lokal perlu dibimbing untuk sadar bahwa hak-hak kepemilikan atas sumber daya
(tanah) dan hak-hak ekonomi merupakan kunci penting
29 menuju pembebasan dari belenggu kemiskinan. Termasuk akses komunitas kepada sumber-sumber informasi yang menguntungkan dan tidak bias, perlu diperluas. Kedua, pola kepemilikan sumber daya ekonomi dan alat-alat produksi. Para anggota komunitas lokal harus menyadari benar apa yang menjadi hak-hak mereka. Mereka perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa dan bagaimana pola kepemilikan sumber daya ekonomi lokal dan penguasaan alatalat produksi komunitas itu sendiri. Ketiga, persoalan nafkah dan kapasitas untuk mendapatkan penghasilan yang mencukupi. Artinya ada pendapatan dan kontrol atas sumber dana. Anggota komunitas korban tsunami perlu diberdayakan agar mampu menciptakan sumber-sumber nafkah serta meningkatkannya demi kesejahteraan bersama. Keempat, ketergantungan para anggota komunitas korban pada sumber daya ekonomi luar, resiko yang besar dan belitan utang yang menyakitkan harus bisa dikurangi dengan cara memberdayakan usahausaha ekonomi lokal atau mikro dan atau tradisional. Kerentanan ekonomi dan ketergantungan komunitasnya
ekonomi harus
di
pada kurangi.
sumber-sumber Kelima,
kapital
pembentukan
di
luar
organisasi
sistem atau
kelembagaan ekonomi lokal. Dalam hal ini potensi capital social melalui jejaring sosial perlu dimobiliasi. Selain itu jaringan sosial dengan kelembangaan ekstra lokal perlu dibina dan dipelihara agar tetap eksis. Kelima, sistem jaring pengaman sosial. Jaring pengaman social asli bentukan komunitas lokal perlu dipelihara dan dilestarikan. Keenam, pembangunan yang partisipatif dengan pendekatan pemberdayaan dan pengembangan basis komunitas lokal-kelas bawah. Hal ini dapat dijawab ketika peran dan fungsi LKM, koperasi, usaha kecil dan usaha mikro mendapat tempat yang layak dalam sistem suatu komunitas itu sendiri. Pemahaman ini sejalan dengan konsepsi dari Soemarjan (1964) dalam Nasdian dan Darmawan (2006) bahwa konsep pembangunan berencana dalam perspektif perubahan sosial tidak terlepas dari peran koperasi, usaha mikro dan usaha kecil. Adalah gejala perubahan dalam kelembagaan masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya perubahan nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola peri kelakuan diantara kelompok-kelompok didalam suatu masyarakat. Struktur sosial mencakup kelompok atau organisasi sosial seperti keluarga, marga, klien, partai, perusahaan dan lain-lain. Sedangkan pola kebudayaan mencakup cara berpikir, nilai, norma, pengetahuan, kesenian, sarana benda-benda dan lain sebagainya.
30 Tiga tahun pasca tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, konsep dan pendekatan dalam pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban dan masyarakat belum berjalan seperti diharapkan. Bahkah secara umum dapat dikatakan konsep, perspektif ataupun pendekatan yang digunakan masih pola lama,
yang
menitik
beratkan
pada
pendekatan
top
down.
Untuk
itu
pemberdayaan atau pembangunan perlu diarahkan oleh suatu paradigma baru yang berakar kepada ide-ide, nilai-nilai, teknik-tehnik sosial, dan tehnologi lokal, alternative. Logika yang dominant dan perlu dikembangkan dari paradigma baru tersebut adalah logika ekologi manusia yang seimbang dengan sumberdaya utama berupa
sumberdaya informasi dan prakarsa kreatif
dengan memberi
peran kepada rakyat bukan sebagai objek, tetapi lebih sebagai aktor. Model pembangunan yang berpusat pada rakyat memiliki paradigma penghidupan
berkelanjutan
(sustanaible
livelihood).
Artinya,
memahami
penghidupan komunitas korban dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan potensi/aset yang dimiliki. Dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Potensi yang dimaksud adalah baik yang bersifat material maupun social. Konsep dasar pengembangan sustainable livelihood ádalah komunitas dipandang sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people-centered), yaitu menempatkan masyarakat sebagai pusat kepentingan, pendekatan menyeluruh sesuai kebutuhan masyarakat, tidak sekedar hasil akhir, tetapi juga proses dan perubahan yang terjadi, penting untuk diperhatikan. Pendekatan ini lebih melihat bagaimana kekuatan dapat dibangun daripada menganalisis kebutuhan (building on strengths). Adanya keterkaitan makro dan mikro dalam proses perubahan dan pengembangan (macro-micro link). Pendekatan ini berupaya untuk menjembatani jurang teori dan praktek maupun kebijakan makro dan kegiatan mikro. Pendekatan ini memperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses dan hasil. Proses dan hasil yang diharapkan adalah melakukan transformasi dari kondisi yang rentan menuju peningkatan yang berkelanjutan. Paradigma pembangunan ini menyadari pentingnya kapasitas komunitas meningkatkan kemandirian melalui kekuatan internal mereka agar sanggup melakukan kontrol atas sumber daya material dan non-material yang penting melalui redistribusi modal dan kepemilikan Korten (1992) dalam Adimiharja dan Hikmat (2001). Pembangunan yang berpusat pada rakyat memungkinkan keserasian hubungan vertikal dan horisontal yang memberikan peluang terhadap
31 semua orang bagi terciptanya pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat sesuai dengan konteks lingkungan budaya lokal. Dengan demikian, pembangunan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan derajat keberdayaan komunitas sampai pada keberdayaan yang optimal. Selain itu, visi berpusat pada rakyat bertumpu pada beberapa nilai eksplisit adalah dalam penggunaan sumberdaya harus ada kesempatan kepada semua orang untuk mendapatkan mata pencaharian pokok, generasi sekarang tidak berhak mengkonsumsi sumberdaya secara berlebihan yang dapat membuat generasi mendatang tidak dapat mempertahankan standar hidup manusiawi yang layak, tiap individu berhak menjadi anggota yang produktif dan berguna bagi keluarga, kelompok dan masyarakat. Kedaulatan ada ditangan rakyat, kekuasaan Negara diberikan oleh rakyat dan karena itu bisa ditarik kembali oleh rakyat. Perekonomian lokal mesti di diversififikasikan dan bersifat swasembada dalam memenuhi kebutuhan pokok. Rakyat mempunyai hak suara dalam pengambilan
keputusan
yang
akan
mempengaruhi
pengambilan keputusan harus dilakukan individu,
keluarga
dan
masyarakat.
hidup
sedekat mungkin
mereka
dan
dengan tingkat
Keputusan-keputusan
local
harus
mencerminkan suatu perspektif global dan pengakuan atas hak dan kewajiban warga global. Preferensi-preferensi kebijakan dalam pembangunan berpusat pada rakyat adalah mengusahakan diversifikasi ekonomi pada semua peringkat ekonomi,
dimulai
dari
rumah
tangga
dipedesaan,
untuk
mengurangi
ketregantungan dan kerawanan terhadap goncangan pasar sebagai akibat spesialisasi yang berlebihan. Dalam mengalokasikan sumberdaya
lokal
ditujukan untuk memberikan prioritas kepada produksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk lokal. Tujuannya untuk menciptakan ekonomi lokal, yang terdiri dari unit-unit ekonomi lokal yang swasembada dan saling terkait. Memperkokoh pemilikan local yang beralasan luas dan pengawasan atas sumberdaya-sumberdaya dengan menganut kebijakan yang memberikan kewenangan substansial kepada masyarakat lokal atas semua sumberdaya utama mereka dan kebijakan memberi produsen perorangan kekuasaan atau kepemilikan
atas sarana produksi mereka. Mendukung
pengembangan organisasi rakyat yang ragam, mandiri, sadar politik dan sukarela yang akan memperkuat partisipasi penduduk secara lansung dalam proses
32 pengambilan keputusan lokal maupun nasional dan menyediakan lahan latihan yang penting dalam kewarganegaraan yang demokratis. Visi paradigma berpusat pada rakyat memilih kesejahteraan manusia dan berkelanjutannya lingkungan hidup diatas penambahan dalam masukan ekonomi; pasaran domestic diatas pasaran luar negeri, pembiayaan dan pemilikan local diatas pinjaman dan investasi asing, dan kemadirian dalam bidang ekonomi di atas ketergantungan pada system perdagangan internasional. Visi ini menyambut partisipasi dalam masyarakat global, tetapi dalam posisi dengan kekuatan mandiri. Bukan dengan ketergantungan pada pihak luar. Salah satu prinsip pembangunan yang dianggap penting dan bisa menjembatani proses pemberdayaan komunitas adalah grass-root development yang memiliki akar ideologi popular development atau pembangunan dimulai dari rakyat. Popular
development
pada
dasarnya
adalah
pembangunan
yang
menggunakan prinsip-prinsip learning process. Dalam upaya pembangunan komunitas korban yang berlandaskan atau berpusat pada manusianya, kita sepakat bahwa visi pembangunan berpusat pada rakyat menjadi salah satu alternatif
dalam
pemberdayaan
komunitas
di
Aceh
dalam
millennium
development. Memang sudah demikian banyak paradigma dan pendekatan pembangunan
digunakan,
masih
ada
saja
kekurangan.
Pendekatan
pembangunan berpusat rakyat saat ini menjadi harapan dalam proses pembangunan Aceh pasca tsunami. Mungkin saja suatu saat pendekatan inipun terdapat banyak kelemahan. Suharto
(2005)
membangun
masyarakat
memberdayakan
rakyat.
Menyatakan, bahwa kegiatan pembedayaan ekonomi masyarakat sering kali dengan pendekatan yang digunakan terkesima/mengangungkan konteks lokal. Sedangkan
pembangunan
sosial,
kebijakan
sosial,
relasi
kekuasaan,
ketidakadilan gender, ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik dan kesetetaraan sosial kurang mendapat perhatian. Seakan-akan komunitas lokal merupakan entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa di lihat dari dominannya program-program pemberdayaan ekonomi yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro seperti “warungisasi”, “kambingisasi”, “sapingisasi” dan lain-lain. Lebih jauh menurutnya, tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme tersebut. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-
33 kegiatan lokal dengan analisis kelembangaan dan kebijakan sosial secara terintegrasi, pendekatan ini bukan saja kurang efektif melainkan tidak akan sustainable. Ibarat analogi “ikan dan pancing” meskipun komunitas korban atau target group diberi ikan dan pancing sekaligus, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai yang ada diseputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat. Maka wajar proses pemberdayaan ekonomi mikro memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan isu-isu lokal dan global. Perlu dipahami bahwa social development secara luas mencakup ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan. Social welfare development bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan economic capital yaitu matapencaharian yang memungkinkan mereka mampu memperolah dan mengelola aset-aset finansial dan material untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar kemanusiaan. Human capital merupakan berkembangnya kemanpuan atau kapabilitas intelektual, emosional dan spiritual. Social capital adalah tumbuh dan berkembangnya kepercayaan (trust) di antara berbagai elemen masyarakat. Sedangkan security capital adalah modal perlindungan. Peningkatan kapital in mesti secara terintegrasi dan berkesinambungan. Salah satu prinsip pembangunan yang dianggap penting dan bisa menjembatani proses pemberdayaan komunitas adalah grass-root development yang memiliki akar ideologi popular development (pembangunan dimulai dari rakyat). Popular development pada dasarnya adalah pembangunan yang menggunakan
prinsip-prinsip
learning
process.
Paradigma
baru
yang
menyerahkan kekuasaan cukup signifikan kepada rakyat memerlukan upaya desentralisasi (devolusi) kekuasaan yang cukup kuat dari pusat ke kawasan pinggiran, artinya popular development memberikan ruang gerak lebih leluasa kepada pihak pinggiran (komunitas lokal) untuk mendefinisikan kebutuhan, merencanakan program,dan mengendalikan pelaksanaan program community development. Kata kunci dalam hal ini adalah pemberdayaan dan partisipasi dalam pembangunan. Dengan paradigma penghidupan lokal berkelanjutan (sustainaible rural livelihood), dipahami bahwa penghidupan masyarakat local dari kondisi yang rentan menjadi berkelanjutan dengan mengembangkan potensi/aset yang dimiliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Potensi yang dimaksud adalah baik yang bersifat material maupun social.
Konsep dasar
34 pengembangan
penghidupan
berkelanjtan
ádalah:
Pertama,
masyarakat
dipandang sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people-centered), yaitu menempatkan masyarakat sebagai pusat kepentingan. Kedua, pendekatan menyeluruh sesuai kebutuhan masyarakat. Ketiga, tidak sekedar hasil akhir, proses dan perubahan yang terjadi, penting untuk diperhatikan. Keempat, pendekatan ini lebih melihat bagaimana kekuatan dapat dibangun daripada menganalisis kebutuhan (building on strengthts). Kelima, adanya keterkaitan makro dan mikro dalam proses perubahan dan pengembangan (macro-micro link). Pendekatan ini berupaya untuk menjembatani jurang teori dan praktek maupun kebijakan makro dan kegiatan mikro. Keenam, pendekatan ini memperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses dan hasil. Proses dan hasil yang diharapkan adalah melakukan transformasi dari kondisi yang rentan menuju peningkatan yang berkelanjutan (sustainable). Korten (2001) menunjuk kesalahan konsep yang di pakai selama ini, mengutip Kennetl E. Building ia membedakan dua macam ekonomi; ekonomi koboi dan ekonomi ruang angkasa. Ekonomi Koboi, berlandaskan bahwa sumberdaya alam tersedia secara tidak terbatas. Ekonomi ruang angkasa, bahwa sumnberdaya alam serba terbatas. Maka masalah yang paling menentukan bagi pembangunan pada dasawarsa sekarang ini bukanlah pertumbuhan.
Masalahnya
adalah
transformasi.
Transformasi
ini
harus
menyelesaikan tiga persoalan mendasar yaitu keadilan, kesinambungan sumberdaya alam, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan disentuhnya ke tiga persoalan mendasar ini, maka pembangunan akan merupakan pembangunan berorientasi rakyat. Pembangunan bukan lagi proyek pemerintah yang dipersembahkan kepada rakyat di bawah, atau proyek para pemerintah asing yang memberi pinjaman uang kepada Negara miskin. Pembanguanan merupakan gerakan masyarakat, seluruh masyarakat. Hanya dengan konsep ini pembangunan akan memperhatikan masalah lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan terhadap konsumen, diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan masalah perdamaian. Dari kerangka konseptual sustainable livelihood di atas, implementasi progam pemberdayaan ekonomi lokal komunitas korban semakin mempertajam pada upaya keberlanjutan yaitu dengan konsentrasi pada pelembagaan sistem perencanaan pembangunan. Beberapa strategi yang dilakukan antara lain: pertama,
tetap
menempatkan
komunitas
sebagai
subyek
dalam
35 penyelenggaraan pemberdayaan dan pengembangan; kedua, sistem dan lembaga yang telah dibangun oleh komuniats korban bersama LKM tetap dipertahankan
dan
dikembangan
sesuai
dengan
kondisi
dan
orientasi
pengembangan potensi lokal; ketiga, terdapat dukungan dari Pemda, BRR agar tercipta iklim demokratisasi dan partisipasi, dalam bentuk regulasi di daerah; keempat,
dapat
mendorong
dan
mengembangkan
terwujudnya
otonomi
gampong serta mendorong terwujudnya kerjasama antar gampong secara nyata dan melembaga; kelima, menggali sumber-sumber pendanaan pemberdayaan secara lebih luas, khususnya dari BRR, Pemda dan lembaga donor lainnya.
2.4. Pengembangan Komunitas Korban Tsunami Menurut Korten (2001), pengembangan masyarakat adalah suatu aktifitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam, partisipasi masyarakat, dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas. Dharmawan dan Adi wibowo (2006) mengungkapkan bahwa pengembangan masyarakat merupakan suatu perubahan yang terencana dan relevan dengan persoalan-persoalan lokal yang dihadapi oleh para nggota komunitas yang dilaksanakan secara khas dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas, norma, nilai-nilai, persepsi, dan keyakinan
anggota komunitas setempat, dimana
prinsip-prinsip
resident
partisipation dijunjung tinggi. Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat meliputi pembangunan terpadu, melawan ketidak berdayaan struktural, hak asasi manusia, keberlanjutan, pemberdayaan, kaitan masalah pribadi dan politis, kepemilikan oleh komunitas, kemadirian, ketidaktergantungan pada pemerintah, keterkaitan, tujuan jangka pendek, dan visi jangka panjang, pembangunan yang bersifat organik, kecepatan pembangunan, keahlian dari luar, pembangunan komunitas, kaitan proses dan hasil, integritas proses, tanpa kekerasan, konsensus, keinklusifan, kerjasama, partisipasi, dan perumusan tujuan. Gunardi, Agung, dan Purnaningsih, (2006). Lima
karakteristik
dari
pengembangan
masyarakat
(community
development) yaitu: a. Berdasarkan pada kondisi dimana pemerintah menjadi terbuka kepada upaya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, tingkat
keterlibatan
masyarakat
yang
menggambarkan
keterbukaan secara efektif diatur oleh pemerintah.
tingkat
36 b. Aktifitas pengembangan masyarakat dibangun terutama sekitar masalahmasalah sosial, dimana orang dalam masyarakat berhubungan secara mudah. Dilain pihak, melalui managemen masyarakat, terpadu suatu komponen ekonomi dan atau tehnik yang kuat. Meskipun demikian, proyek managemen masyarakat tetap melaksanakan usaha-usaha yang dapat diidentifikasi secara jelas dalam suatu dasar homogenitas yang terbuka. c. Bercirikan masyarakat lokal yang memiliki keutamaan atau kekuasaan, dapat diidentifikasi secara jelas dan mengandung muatan diri. d. Proses
pengembangan
masyarakat
diarahkan
kepada
kepuasan
terhadsap kebutuhan masyarakat. e. Berpusat pada kegiatan pelatihan yang netral secara politik dan terpisah dari berbagai pertikaian atau debat politik. Abbot, (1996) dalam Gunardi, Agung dan Purnaningsih (2006). Kegiatan
pengembangan
masyarakat
ini
harus
berdasarkan
pada
perspektif ekologikal dengan prinsip holism (menyeluruh dari segala aspek lingkungan), sustainability (keberlanjutan kegiatan), diversity (keanekaragaman), dan equilibrium (keseimbangan). Konsekuensi dalam perspektif ekologikal ini melukiskan bahwa prinsip holistik akan mengarah pada pemikiran untuk memusatkan pada filosofi lingkungan, menghormati hidup dan alam, menolak solusi yang linier, dan perubahan yang terus menerus. Prinsip sustainability akan membawa pada konsekuensi untuk memperhatikan konservasi, mengurangi konsumsi,
tidak
mementingkan
pertumbuhan
ekonomi,
pengendalian
perkembangan teknologi dan aktif kapitalis. Prinsip diversity membawa konsekuensi pada penilaian terhadap perbedaan, jawaban atau alternatif yang tidak tunggal, desentraliasi, jaringan kerja dan komunikasi lateral serta penggunaan teknologi tepat guna. Sementara prinsip equilibrium akan membawa pada penggunaan isu-isu global dan lokal, energi yin dan yang, gender, hak pertanggungjawaban, kedamaian dan kooperatif. Ife (1995) dalam Gunardi, Agung dan Purnaningsih (2006). Selain prinsip ekologi, kegiatan pengembangan masyarakat juga harus berdasarkan pada sosial justise atau keadilan sosial. Keadilan sosial ini mencakup kegiatan-kegiatan yang memperhatikan kelemahan secara struktural pemberdayaan, kebutuhan, hak asasi, kedamaian, dan aktif tindakkekerasan, partisipasi dalam kehidupan demokrasi.
37 Pembangunan masyarakat berbasis lokal merupakan tindakan kolektif yang merupakan inti dari gerakan sosial yang melibatkan sekelompok orang yang dicirikan oleh adanya kerjasama, tujuan yang tegas, serta kesadaran dan kesengajaan. Portes (1998) dalam Gunardi, Agung dan Purnaningsih (2006) mengatakan sumber modal sosial dapat bersifat: 1) consummatory, yaitu nilainilai sosial budaya dasar dan solidaritas sosial, dan 2) instrumental, yaitu pertukaran yang saling menguntungkan dan rasa saling percaya. Sifat sosial dari modal sosial adalah adanya saling menguntungkan paling sedikit antara dua orang,
menunjuk
pada
hubungan
sosial,
serta
berhubungan
dengan
kepercayaan, jejaring sosial, hak dan kewajiban.
2.5. Hubungan Partisipasi dengan Pemberdayaan Paradigma baru pembangunan dewasa ini lebih memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk berpatisipasi dalam proses pembangunan. Menurut Holsteiner (1980) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006), partisipasi masyarakat diperlukan karena partisipasi berarti: 1) mensukseskan program secara lebih terjamin dan lebih cepat. 2) mendekatkan pengertian pihak perencana atau pengelola dengan kebutuhan golongan sasaran. 3) Media untuk memupuk ketrampilan masyarakat, kekeluargan, dan keercayaan diri. 4) Mencapai partisipasi positif sebagai ciri khas masyarakat modern. Menurut Sumardjo (2001) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006) kunci yang akan sangat mempengaruhi apakah seseorang akan berpartisipasi dalam suatu program pemberdayaan dan pembangunan adalah: Pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi kehidupannya, makin besar manfaat yang akan diperoleh makin besar pula derajat partisipasinya dan makin panjang (berkelanjutan)
manfaat
tersebut
dinikmati
makin
berkelanjutan
pula
partisipasinya. Manfaat bisa berarti terpenuhinya kebutuhan dan bisa pula berarti terbebasnya dari ancaman tertentu. Kedua, komunikasi yang efektif di antara pelaku yang diharapkan berperan serta dalam program. Adanya kesukarelaan antara para pekaku dalam berperan serta artinya bukan karena paksaan maupun tekanan dari pihak lain dengan cara dan bentuk apapun. Makin besar obyek partisipasi tersebut menimbulkan motivasi intrinsik-feltneeds makin besar pula derajat keikutsertaan seseorang. Hal diatas mesti dilandasi oleh paradigma dalam pemberdayaan partisipatoris dengan pendekatan pembangunan dimulai dengan komunitas yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka
38 indigenus knowledge. Menilai dan mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan sarana mereka agar dapat mengembangkan diri. Pretty dan Guijt, (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006). Menurut Jamieson (1989) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006) ada dua perspektif pemberdayaan dan pembangunan partisipatoris yang perlu dipahami; pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan program yang akan mewarnai hidup mereka. Kedua, mempertimbangkan secara penuh persepsi, pola sikap, pola pikir, pengetahuan, dan nilai nilai setempat, membuat umpan balik yang tepat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat setidaknya akan berfokus pada cara bagaimana memobilisasi sumber-sumber lokal, menggunakan keragaman kelompok sosial dalam pengambilan keputusan dan sebagainya. Dalam prosesnya masyarakat lokal harus menjadi elemen utama dalam program pengembangan masyarakat. Disini sesungguhnya partisipasi mengambil peran sebagai suatu proses pemberdayaan yang dapat membantu untuk menampilkan dan menjelaskan suara-suara dari masyarakat yang selama ini tidak didengar. Prasetijo (2003). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang dinamis dan aktif berpartisipasi di dalam membangun diri mereka. Tidak menggantungkan hidupnya kepada belas kasihan orang lain. Mereka mampu berkompetisi dalam konteks kerja sama dengan pihak lain. Mereka diharapkan memiliki pola pikir jauh kedepan, memiliki wawasan berpikir yang luas, cepat mengadopsi inovasi, toleransi tinggi, dan menghindari konflik sosial. Hal ini dapat terwujud bila tingkat pendidikan yang mereka miliki cukup memadai.
2.6. Kelembagaan 2.6.1. Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan
sosial
disebut
juga
pranata
sosial.
Menurut
Koentjaraninggrat (1984), pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktifitas-aktifitas yang memenuhi komplekskompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, maka lembaga kemasyarakatan dapat digolongkan berdasarkan jenis kebutuhan tersebut. Koentjaraninggrat (1984), mengkatagorikannya kedalam delapan
39 golongan yaitu kelembagaan kekerabatan, kelembagaan ekonomi, kelembagaan pendidikan,
kelembagaan
ilmiah,
kelembagaan
estetika
dan
rekreasi,
kelembagaan keagamaan, kelembagaan politik dan kelembagaan somatik. Proses pelembagaan dimulai dari warga komunitas saling mengenal, mengakui, menghargai, mentaati dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Pemberdayaan masyarakat selain meliputi penguatan individu anggota masyarakat itu sendiri, juga meliputi penguatan pranata. Pranata atau kelembagaan yang dimaksud baik berupa kelembagaan yang bersifat “badan” atau organisasi maupun berupa pranata sosial. Kelembagaan disini merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki oleh masyarakat. Salah satu hal yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan adalah tersedianya wadah sebagai sarana untuk berpartisipasi. Kemauan untuk berpartisipasi seperti menyumbangkan pikiran, tenaga dan dana tidak dapat direalisasikan jika tidak tersedia wadahnya. Kelembagaan merupakan wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi, masyarakat akan berpartisipasi manakala organisasi tersebut sudah dikenal dan dapat memberikan manfaat langsung pada masyarakat yang bersangkutan, serta pemimpin yang dikenali dan diterima oleh kelompok sosial. Nurdin, (1998) dalam Kolopaking
dan
Nasdian
(2006).
Istilah
kelembagaan
(institution)
dan
pengembangan kelembagaan atau pembinaan kelembagaan mempunyai arti yang berbeda untuk orang yang berbeda pula. Misalnya pengembangan kelembagaan didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dengan keuangan yang tersedia. Israel, (1992) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006). Kelembagaan adalah himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Soekanto, (1999) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006) kelembagaan yang tumbuh di masyarakat diumpamakan ibarat organ-organyang ada dalam tubuh manusia, yang masing-masing menjalankan fungsinya, dan satu sama lain saling berkaitan. Dalam hal ini, kelembagaan yang dimaksud adalah baik dalam bentuk konkret lembaga yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat, maupun yang bersifat pranata sosial, yaitu dalam wujud pola tingkah laku msayarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Pada kelembagan lokal terdapat jaringan sosial, dimana merupakan pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang minimal tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas sendiri-sendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada, dan melalui
40 hubungan tersebut dapat dikelompokkan sebagai satu kesatuan yang berbeda dengan yang lain. Jaringan sosial mencakup tiga komponen : 1. Simpul-simpul (nodes), dimana sekelompok orang, obyek atau peristiwa yang berperan sebagai simpul. 2. Ikatan (keterhubungan), yang menghubungkan satu simpul dengan simpul yang lain. 3. Arus, yaitu sesuatu yang mengalir dari simpul satu ke simpul lainnya. Komponen di atas haruslah berpringsip pada (a) memiliki pola tertentu, (b) sekumpulan simpul-simpul yang ada bisa digolongkan dalam satu kesatuan yang berbeda dengan golongan lainnya, (c) ikatan bersifat relatif permanen , dan (d) ada aturan main (hak dan kewajiban). Kelembagaan lokal dapat didayagunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui jaringan-jaringan sosial yang dibentuk didalamnya, namun bukan berarti pendayagunaan terbatas pada pendayagunaan kelembagaan yang sudah ada saja karena lembaga bisa muncul bila masyarakat membutuhkannya. Dalam hal ini lembaga merupakan alat bagi masyarakat untuk mengatasi masalah dan mewujudkan tujuan bersama. Lokal yang dimaksud disini adalah lembaga yang muncul asli dari bawah dan bisa pula lembaga
yang
sudah
melembaga
(internalized)
dalam
masyarakat.
Pendayagunaan bisa berarti menciptakan atau memelihara jaringan yang sudah ada.
2.6.2. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Penguatan kelembagaan adalah proses menciptakan pola baru kegiatan dan prilaku yang bertahan dari waktu ke waktu karena didukung oleh norma standar dan nilai-nilai dari dalam. Brinkrhoff, seperti dikutip Israel, (1992) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006). Selain menciptakan pola baru kegiatan, dalam konteks
pengembangan
kelembagaan
dapat
pula
dilakukan
penguatan
kelembagaan. Penguatan kelembagaan dilakukan dengan cara capacity building (penguatan kapasitas), dimana istilah ini makna dan caranya berbeda-beda antara orang dan organisasi. Penguatan kelembagaan dikatakan juga sebagai: “...strengthening people’s capacity to determine their own value and priorities, and to organize themselves to act on these, which is the baic for development”. Merupakan kapasitas orang-orang untuk menentukan nilainilai dan prioritas mereka sendiri dan untuk mengatur diri mereka sendiri dan bertindak dalam kegiatan yang merupakan dasar dari pengembangan. (Deborah Eade dan Suzane, dalam Tim O’Shaughnessy with Leane Black and Helen, (1999).
41
Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan capasity building adalah untuk menggambarkan serangkaian tindakan mulai dari mengembangkan kapasitas manusia secara langsung, restrukturisasi organisasi, dan pemasaran tenaga kerja. Tiga elemen penguatan kapasitas adalah: a. Pembangunan manusia, terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, makanan, ketrampilan tekhnis. b. Restrukturisasi pemerintah dan swasta untuk menciptakan pekerja yang terampil dan berfungsi secara efektif. c.
Kepemimpinan politik yang memahami bahwa institusi merupakan satu kesatuan yang rentan dan mudah hancur, oleh karena itu memerlukan pendampingan yang berkelanjutan. (Bank Dunia dan UNDP, 1999). Didalam penguatan kapasitas kelembagaan, kerjasama antar pihak
menjadi sangat penting, dalam ini kerjasama pemerintah, swasta dan LSM serta masyarakat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasdian (2006) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006) yang menunjukkan bahwa pengembangan usaha-usaha produktif skala kecil dan menengah seringkali mengabaikan kemampuan
kelembagaan,
karena
hampir
semua
kelembagaan
yang
mendukung faktor ini lemah dalam: 1) merancang rencana kegiatan yang luwes, 2) managemen dan administrasi secara profesional, 3) mengoprasionalkan dan melaksanakan tugas kelembagaan secara efektif dan 4) melanjutkan pendanaan secara efisien dan mandiri. Dengan dasar demokratisasi ekonomi dan kebijakan otonomi, maka strategi itu perlu menghidupkan kembali konsep partisipatori masyarakat dan komunitas dalam pengembangan kelembagaan.
2.6.3. Hubungan kelembagaan dengan Modal Sosial Penguatan
kelembagaan
agar
dapat
berkembang
serta
mampu
menggerakkan sumberdaya masyarakat berbasis komunitas, dalam artian kelembagaan direncanakan dan dilaksanakan oleh komunitas secara partisipatif untuk kepentingan komunitas. Oleh karena itu di dalam proses penguatan kelembagaan memanfaatkan faktor modal sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas dan untuk setiap komunitas ada modal sosial, yaitu: 1) kepemimpinan komunitas, 2) dana kominitas, 3) sumberdaya material, 4) pengetahuan
42 komunitas, 5) teknologi komunitas, 6) proses-proses pengambilan keputusan oleh komunitas dan 7) organisasi komunitas. (Nasdian, 2006). Konsep dana tidak saja mencakup uang sebagai alat tukar yang umum dipakai sebagai alat tukar sekarang, tetapi juga meliputi hubungan yang mereka jalin. Rachman dalam Nasdian (2006). Secara umum modal sosial didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melihat dalam suatu sistem jaringan sosial. Woolcock seperti dikutip Nasdian (2006). Hal tersebut sejalan dengan Fukayama (2002) seperti dikutip Nasdian (2006) yang menyatakan bahwa modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar,
negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada diantaranya.
Komunitas-komunitas yang berdasarkan nilai-nilai etis bersama ini tidak memerlukan kontrak ekstentif dengan segenap pasal-pasal hukum yang mengatur hubungan-hubungan mereka, karena konsensus moral sebelumnya cukup memberikan kepada anggota kelompok itu basis untuk terwujudnya sikap saling percaya. Modal sosial memiliki empat dimensi: 1) integritas yaitu ikatan yang kuat antara anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya, 2) pertalian yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal, 3) Integritas organisasional yaitu keefektifan menjalankan
fungsinya,
dan kemanpuan institusi negara untuk
termasuk
menciptakan
kepastian
hukum
dan
menegakkan peraturan. 4) Sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas.
Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah
apakah pemerintah memberi ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua, berada pada tingkat horizontal sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market) berada pada tingkat vertikal. Nasdian dan Kolopaking (2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa penguatan kelembagaan berbasis komunitas dilakukan dengan memperhatikan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Modal sosial secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain akan
43 berprilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai, kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi lebih efisien. Fukayama, (2002) dalam Nasdian (2006). Dalam pelaksanaan kegiatan penguatan kelembagaan LKM Seunuddon Finance, prinsip-prinsip LKM harus sesuai dengan prinsip pengembangan masyarakat yang menjadi acuan, landasan dan penerapan dalam seluruh proses kegiatan. Prinsip-prinsip tersebut mesti dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan serta dilestarikan oleh semua pelaku dan stakeholders yang berkaitan dengan kegiatan LKM/koperasi. Prinsip-prinsip yang diperlukan LKM/koperasi adalah sebagai berikut: a. Demokrasi,
dalam
setiap
proses
pengambilan
keputusan
yang
menyangkut kepentingan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis. Anggota atau masyarakat didorong agar mampu membangun dan memperkuat kelembagaan LKM dengan refresentasi yang akseptabel, insklusif, transparan, demokrasi dan akuntabel. b. Partisipasi, dalam setiap langkah kegiatan LKM harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kebersamaan melalui proses belajar dan berkerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekan proses pengambilan keputusan oleh warga mulai dari tataran ide
atau
gagasan,
perencanaan,
pengorganisasian,
pemupukan
sumberdaya, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap komponen masyarakat khususnya kelompok masyarakat yang rentan yang selama ini tidak memiliki peluang atau akses dalam program Pemberdayaan ekonomi melalui LKM. c. Transparansi dan akuntabilitas, dalam proses managemen proyek maupun managemen kelembagaan masyarakat harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat belajar dan “melembagakan” sikap bertanggungjawab serta tanggunggugat terhadap pilihan
keputusan
pengembangan
dan
kegiatan
masyarakat
yang
terdapat
dilaksanakannya. prinsip
Didalam
transparansi
yaitu
keterbukaan terhadap pelaksanaan program dengan tujuan seluruh warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang program pemberdayaan
dan
pengembangan
masyarakat
sampai
dengan
pelaksanaan kegiatannya, sehingga masyarakat dapat berperan aktif
44 dalam mengontrol kegiatan-kegiatan di Gampong baik program yang datang dari pemerintah maupun yang tumbuh atas prakarsa masyarakat. d. Desentralisasi, dalam rangka otonomi daerah, proses pengembalian keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaatan atau diserahkan pada masyarakat sendiri, sehingga keputusan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak. Dengan pemberdayan
kuatnya dan
kelembagaan, pengembangan
maka
dapat
komunitas.
mendukung Penguatan
terhadap kapasitas
kelembagaan selain meliputi penguatan individu, juga meliputi penguatan kelembagaan itu sendiri. Pranata atau kelembagaan yang maksud, baik berupa kelembagaan yang bersifat “badan” atau organisasi maupun berupa pranata sosial. Kelembagaan di sini merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki oleh masyarakat.
2.7. Batasan Komunitas Dalam kontek ini, komunitas dapat dilihat dalam perspektif general/umum atau makro dan juga dapat lihat secara mikro. Secara makro, misalnya, sebuah bangsa, suku bangsa, Negara, benua juga bisa disebut sebagai komunitas. Demikian juga komunitas dilihat secara mikro, seperti komunitas korban bencana seperti di Aceh, nelayan/pesisir, kaum miskin, petani, tukang ojek, sopir, pemulung, buruh, PNS, guru dan lain-lain. Maka dalam kajian ini, komunitas korban dimaksud adalah sekelompok masyarakat yang terkena dampak langsung musibah tsunami di Aceh. Dalam hal ini, komunitas korban dapat terdiri dari para nelayan, petani sawah, petani tambak, petani garam, pedagang kecil dan peternak di Kecematan Seunuddon. Komunitas dimaksudkan adalah suatu satuan sosial yang merupakan sistem sosial yang terintegrasi atas dasar satu atau lebih basis ikatan sosial, misalnya kekerabatan, teritorial, atas-desa, dan kepentingan sosial. Keberdayaan komunitas dipahami Susiladiharti (2004) dalam Nasdian dan Dharmawan (2006) sebagai terpenuhinya kebutuhan dasar (basic walfare); penguasaan dan akses terhadap berbagai sistem dan sumber yang diperlukan, dimilikinya kesadaran penuh akan berbagai potensi, kekuatan dan kelemahan diri dan lingkungannya, kemampuan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang
45 bermanfaat
bagi
lingkungan
yang
lebih
luas,
dan
kemampuan
untuk
mengendalikan diri dan lingkungannya. Upaya penting yang perlu dilakukan secara runtun dan simultan, yaitu upaya peningkatan suplai kebutuhan bagi kelompok komunitas yang paling tidak berdaya,
penyadaran,
penguatan
institusi,
penguatan
kebijakan,
dan
pengembangan jaringan. Dalam hal ini, komunitas sorban harus menjadi pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pembangunan. Hal ini berdampak pada adanya restrukturisasi dalam strategi pembangunan, baik
pada
tingkat
mikro
maupun
makro
sehingga
komunitas
dapat
mengembangkan potensi diri tanpa mengalami hambatan yang bersumber dari faktor-faktor eksternal dan internal. Dengan demikian, pengembangan komunitas untuk membantu komunitas mesti diarahkan pada bagaimana komunitas dapat mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhannya dan mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi Secara lebih efektif (to help people to help themselves) dilakukan sesuai dengan konteks lingkungan budaya lokal. Menurut Wilkinson (1970) dalam Nasdian dan Dharmawan (2006), komunitas adalah kumpulan orang yang hidup disuatu tempat (lokalitas) dimana mereka mampu membangun sebuah konfigurasi sosial budaya dan secara bersama-sama menyusun aktifitas kolektif (collective action). Bagi Warren (1985) seperti dikutif Nasdian (2006), komunitas menurutnya adalah kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unit-unit sosial (manusia dan kelembagaan sosial) yang membentuk keteraturan, dimana setiap unit sosial menjalankan fungsi-fungsi sosialnya secara konsisten sehingga tersusun sebuah tatanan sosial yang tertata secara tertib. Aspek penting pembentukan komunitas adalah adanya territorial, ikatan sosial bersama dan interaksi sosial. Dalam fenemona struktur komunitas di kenal prinsip saling berbagi diantara para anggota suatu komunitas, pertukaran materi informasi yang adil diantara individu-individu
anggota komunitas,
kesatuan komunitas yang dibangun oleh face-face communication yang akrab. Struktur komunitas menurut kategori. Pertama, katagori status, membedakan komunitas satu dengan yang lainya
yang
dari status social yang
disandangnya. Kedua, pengelompokan secara deskriptif yang membedakan suatu komunitas yang berdasarkan pengelompokan
anggota komunitas
bersangkutan, ketiga; ekologi social adalah komunitas yang
dikelompokan
46 menurut setting ekologi suatu kawasan. Faktor-faktor penting penopang komunitas; pertama, kelembagaan social, kedua karakter komunitas, ketiga tipe pelapisan sosial dalam komunitas, keempat pola interaksi sosial yang terbentuk dalam komunitas, kelima sistem mata pencaharian (produksi, konsumsi, dan reproduksi). Komunitas sering diasumsikan yang bersifat kecil, homogen, solidaritas mekanik, partisipatif efektif, relatif otonom. Sedangkan masyarakat sering didefinisikan sesuatu yang besar, heterogen, structural, solidaritas organic, produktifitas efisiensi, dependen. Beberapa konsep pendekatan dalam analisis kasus komunitas korban yang terhimpit oleh kemiskinan yaitu dengan pendekatan Ekologi; bahwa komunitas korban sebagai suatu Fenomena sosial. Menurut Wilkinson (1972), sebagai sebuah lapangan sosial, komunitas bersama-sama
dengan
bentuk-bentuk
organisasi
sosial
lainnya,
seperti
kelompok sosial (social group) dan organisasi, memilki karakteristik sebagai berikut: ada proses atau interaksi social yang berlansung secara kontinu didalamnya. Adanya arah perubahan ke suatu titik tertentu. Adanya perubahan atau perkembangan yang berlansung secara teratur atas elemen dan struktur yang membentuknya.
2.8. Peran Pendamping dalam Pengembangan Masyarakat Pendampingan sosial merupakan satu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pekerja sosial yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”, pemberdayaan masyarakat sangat memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peran seorang pekerja sosial sering kali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Pendampingan sosial berpusat pada empat bidang tugas atau fungsi yang dapat disingkat dalam akronim empat P, yaitu: a) Pemungkin (Enabling) atau fasilitasi, merupakan fungsi yang berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. Beberapa tugas pekerja sosial yang berkaitan dengan fungsi ini antara lain menjadi model (contoh), melakukan mediasi dan negoisiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan managemen sumber. Program penanganan masalah sosial pada umumnya diberikan kepada anggota masyarakat yang
47 tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber, baik karena sumber tersebut tidak ada disekitar lingkungannya, maupun karena sumber-sumber tersebut sulit dijangkau karena alasan ekonomi maupun birokrasi. Dengan demikian, tugas
utama
pekerja
sosial
dalam
managemen
sumber
adalah
menghubungkan klaim dengan sumber-sumber sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri klaim maupun kapasitas pemecahan masalahnya. b) Penguatan (empowering), fungsi ini berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan
dan
pengalamannya
serta
bertukar
gagasan
dengan
pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampingi. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan fungsi penguatan. c) Perlindungan (protection), fungsi ini berkaitan dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat dan membangunan jaringan sosial. Fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pekerja sosial sebagai konsultan, orang yang biasa diajak berkonsultasi dalam proses pemecahan masalah. d) Pendukung (supporting), mengacu pada aplikasi ketrampilan yang bersifat praktis
yang
dapat
mendukung
terjadinya
perubahan
positif
pada
masyarakat. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi manager perubahan yang mengorganisasi kelompok, melainkan pulan mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai ketrampilan dasar, seperti melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mencari serta mengatur sumber dana. (Suharto, 2006). Berdasarkan uraian diatas, dapat pengkaji paparkan bahwa program pemberdayaan ekonomi mikro bagi komunitas korban mesti dilakukan dengan penguatan kapasitas kelembagaan LKM/koperasi, dimana dalam penguatan kepasitas kelembagaan dilakukan dengan cara mengefektifkan sumberdaya
48 yang ada dengan memanfaatkan peran pendamping di dalam pengembangan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup komunitas korban tsunami, melalui tindakan pengembangan komunitas.
2.9. Kerangka Pemikiran Untuk menganalis pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami yang dilakukan oleh LKM Seunuddon Finance di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon. Peneliti melakukan studi sebagai berikut, pertama, untuk menganalisi LKM Seunuddon Finance dalam beberapa aspek yaitu strategi pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro, prospek keberlanjutan program dan pola bantuan modal yang diterapkan oleh LKM. Tiga hal ini penting dilakukan untuk menganalisis LKM Seunuddon Finance karena dapat menjawab permasalahan kajian. Kedua, Menganalisis komunitas korban tsunami dalam beberapa aspek yaitu perubahan jenis pekerjaan komunitas korban tsunami sebelum dan sesudah menerima bantuan dari LKM, perubahan ekonomi korban tsunami setelah mendapat bantuan dari LKM dan tingkat keberdayaan korban tsunami setalah mendapat modal bantuan dari LKM. Tiga hal ini penting dilakukan untuk menganalisis komunitas korban tsunami karena ketiga hal tersebut dapat menjawab permasalahan kajian. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran tersebut diatas dapat pengkaji sampaikan dalam Gambar 1: Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan dan Pengembangan Komunitas korban Tsunami melalui LKM di Seunuddon Aceh Utara
BRR ACEH-NIAS
PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI MICRO PASCA TSUNAMI
LKM ”SEUNUDDON FINANCE” • Strategi Pemberdayaan Ekonomi Mikro • Prospek Keberlanjutan Program • Pola Bantuan Modal yang disalurkan oleh LKM.
KOMUNITAS KORBAN TSUNAMI • Jenis pekerjaan/ketrampilan sebelum dan sesudah tsunami bagi komunitas • Perubahan ekonomi komunitas korban setelah mendapat mendapat bantuan dari LKM • Tingkat Keberdayaan Komunitas Korban setalah mendapat bantuan dari LKM
METODOLOGI KAJIAN 3.1. Tempat dan Waktu Kajian 3. 1.1. Lokasi penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara (lihat lampiran 1). Komunitas ini dipilih karena setelah dilakukan pemetaan dan evaluasi program pemberdayaan dan
pengembangan
komunitas,
ternyata
memiliki
program-program
pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban pasca tsunami yang menarik untuk dikaji, dengan pertimbangan antara lain: a) Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara merupakan satu kecamatan terparah dihantam oleh musibah tsunami Desember 2004 lalu. b) Adanya lembagalembaga lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung aktifitas ekonomi mikro dalam bentuk jaringan sosial. Dimana jaringan tersebut sangat lemah terutama dalam hal akses permodalan, dalam hal ini Koperasi dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
c) Letak kecamatan Seunuddon yang strategis untuk
dikembangkan perekonomian mikro terutama sesuai dengan matapencaharian masyarakat yaitu 70% petani tambak, nelayan, sawah, petani garam. (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Utara 2005). d) Karakteristik masyarakat di Seunuddon yaitu tingkat pendidikan masih rendah, perekonomian lumpuh total akibat tsunami, budaya menabung masih rendah dan budaya bekerja dalam kelompok juga masih rendah. e) Adanya support dana dari BRR Aceh-Nias dan lembaga lain melalui AMF terutama LKM ”Seunuddon Finance” untuk di distribusikan secara bergulir kepada komunitas korban yang masih memiliki aset produktif seperti tambak, kios, nelayan, petani,peternak dan lainlain. f) Adanya lembaga-lembaga lokal baik berbentuk konkret yang dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat dan berbentuk pranata sosial yang dapat berdaya guna untuk mendukung aktivitas ekonomi mikro korban tsunami dalam bentuk jaringan sosial. Dimana jaringan tersebut kondisinya saat ini lemah. g) Adanya lembaga-lembaga mendukung program tersebut.
NGO lokal, nasional dan internasional yang
50
3. 1.2. Waktu Kajian Kajian dilaksanakan dalam tiga tahap meliputi: 1) praktek lapangan I yang dilaksanakan di tingkat Gampong, 2) praktek lapangan II yang dilaksanakan di tingkat
Gampong,
dan
3)
Perancangan
Program
Pemberdayaan
dan
Pengembangan komunitas korban stunami. Tahapan tersebut dilaksanakan di Gampong yang sama, dan setiap tahapan merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, artinya data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua dipadukan dengan tahap ketiga yang kemudian dipergunakan dalam penulisan laporan kajian. Tahap pertama, praktek lapangan I dilaksanakan di tingkat Gampong pada 26 Desember 2006 sampai dengan 13 Januari 2007 mengenai pemetaan
sosial.
Kegiatan
ini
bertujuan
memperoleh
gambaran
yang
konfrehensif mengenai keterkaitan dimensi-dimensi sosial masyarakat dengan kegiatan pengembangan masyarakat. Tahap kedua, praktek lapangan II dilaksanakan di tingkat Gampong pada tanggal 12 April 2007 sampai dengan 7 Mei 2007. Kegiatan ini bertujuan mengenali, mengevaluasi, dan menganalisis kegiatan pengembangan masyarakat yang pernah dilaksanakan di Gampong. Tahap ketiga, adalah perancangan program pengembangan masyarakat ditingkat Gampong hingga laporan penulisan yang dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2007.
3. 2. Metode Kajian Untuk dapat mengungkapkan
realitas kehidupan komunitas korban
tsunami dalam proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro; dibutuhkan penelitian secara mendalam dan holistik dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang bersifat terbuka kepada subjek yang akan diteliti. Wawancaran dilakukan secara mendalam, bersifat informal dan tidak berstruktur. Metode kajian yang digunakan merupakan metode kajian komunitas eksplanasi, yaitu proses pencarian pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang berbagai aspek sosial komunitas melalui aksplanasi (menjelaskan) faktor penyebab suatu kejadian atau gejalan sosial yang dipertanyakan, atau gejala sosial melalui data kualitatif.
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini
adalah subyektif-mikro, yaitu upaya untuk memahami sikap, pola perilaku, dana upaya-upaya yang berkaitan dengan masalah yang dipertanyakan dalam kajian, dengan menggunakan strategi studi kasus. Sitorus dan Agusta, (2006).
51 Studi kasus menurut (Stake, 1994 dan Yin, 1996 dalam Sitorus 2006), adalah penerapan serangkaian metode kerja penelitian untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas satu atau lebih
kejadian/gejalan sosial.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka studi kasus tersebut dianggap relevan untuk mengkaji masalah yang dihadapi oleh komunitas korban dan Lembaga Keuangan Mikro dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan. Kajian ini akan membahas secara konfrehensif pengalaman-pengalaman komunitas korban baik kendala internal maupun ekternal juga kendala dan pengalaman yang dihadapi oleh lembaga LKM dalam upaya pemberdayaan ekonomi mikro tersebut. Tipe studi kasus dalam kajian ini adalah studi kasus instrumental. Yaitu studi yang memerlukan kasus sebagai instrumen untuk memahami masalah tertentu. Karena kajian menggunakan data kualitatif, maka data yang diolah berupa kata-kata lisan atau lukisan dari subyek kajian yaitu informan. Data kualitatif menurut Nasution, (2003) dalam Gunardi (2006) merupakan pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapan-tanggapan, dan lain-lain tentang sesuatu keadaan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Strategi studi kasus yang digunakan dalam mengumpulkan data kulaitatif merupakan studi aras mikro yang menyoroti satu atau lebih kasus terpilih.
3. 3. Strategi Kajian 3. 3.1 Jenis Data Data adalah informasi sahih dan terpercaya yang dibutuhkan untuk keperluan analisis dalam kajian. Data yang digunakan dalam kajian lapangan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer, ialah data yang diperoleh dari informasi dan pengamanan lapangan. Data sekunder, ialah data yang peroleh dari data statistik, literatur, dan laporan atau publikasi yang diperoleh dari instansi-instansi/lembaga-lembaga terkait serta data pendukung yang ada di gampong sperti: data monografi gampong, laporan tahunan, daftar isian potensi gampong dan dokumen lain yang diperlukan dalam kajian ini. Data primer yang bersumber dari informasi, yaitu para komunitas korban tsunami, pengurus LKM/koperasi, pengurus AMF, pengurus Dekopinda Aceh Utara. Tokoh formal seperti Geushik, sekdes dan perangkatnya dan tokoh informal yang dijadikan
52 informan adalah tokoh agama, adat dan warga masyarakat serta BRR Aceh Nias wilayah II Lhokseumawe, NGO di Aceh Utara. Data sekunder, diperoleh dengan melakukan kegiatan studi kepustakaan atau literatur yang bersumber dari instansi-instansi terkait serta datapendukung yang ada di desa seperti: data monografi gampong, laporan tahunan, daftar isian potensi desa dan dokumen lain. Lebih jelasnya cara-cara pengumpulan data dalam kajian ini dapat dilihat pada tabel 1 Tabel 1.Metode pengumpulan data No 1 1.
Tujuan 2 Menganalisis keberhasilan dan kelemahan pelaksanaan programprogram pember dayaan dan pengembangan eko nomi mikro yang telah dilaksana kan pasca tsunami.
Data & Informasi 3 Data peta sosial gampong. Usaha yang telah dilakukan oleh LKM Program pengembangan komunitas korban. Keterlibatan komunitas korban
Sumber
Metode
4 Laporan Praktek Lapangan I& II
5 Pengamatan
Komunitas korban
Wawancara
Pengurus LKM
Studi dokumentasi
Rekam an 6 Praktek Lapang an I& II dan Dokum en
FGD
Tokoh formal dan informal (Perangkat Gampong, BRR, NGO lokal, tokoh masyarakat, pemuda,ag ama/adat)
2
Menganalisis tingkat keberdaya an komunitas kor ban tsunami
Jenis pekerjaan/ketra mpilan sebelum dan sesudah tsunami Perubahan Kehidupan ekonomi komunitas korban setelah mendapat pemberdayaan
Komunitas korban
Wawancara
FGD Pengurus LKM/kopera Studi si Dokumentasi Tokoh formal dan informal (Perangkat Gampong, Tokoh
Pengamatan
Catatan harian Dokum en
53 dari LKM Keterlibatan komunitas korban dalam program
3
Menganalisis prospek keberlanjutan program.
Potensi keberlanjutan usaha dari komunitas korban
Komunitas korban
Tingkat pengembalian pinjaman
Tokoh formal dan informal
Tingkat keuntungan LKM
(Geuchik, perangkat, Tokoh masyarakat, adat/agama , pemuda, BRR, NGO lokal, Dekopinda)
Keterlibatan komunitas dalam program
4
Menyusun program penguatan kelembagaan dan keberdayaan komunitas korban tsunami
masyarakat, pemuda, agama/adat , NGO lokal)
Alternatif pemecahan masalah Rancangan program dan rencana kegiatan
Pengurus LKM/kprs
Wawancara Studi dokumentasi
Catatan harian Dokum en
Pengamatan
Komunitas korban
Wawancara
Catatan harian
Pengamatan Pengurus LKM/kprs Tokoh formal dan informal (Geuchik, perangkat, Tokoh masyarakat, adat/agama , pemuda, BRR, NGO lokal, Dekopinda)
FGD
Dokum en
54
3. 3.2. Metode Pengumpulan Data Teknik yang dipergunakan untuk mengumpulkan data diatas, dilakukan dengan cara: a. Wawancara Mendalam (in-depth interview) Dalam kajian ini, wawancara mendalam ditujukan pada komunitas korban tsunami yang mendapat modal usaha dari LKM (6 orang), komunitas korban yang tidak mendapat modal dari LKM (2 orang), Geuckhik dan perangkatnya (2 orang), tokoh masyarakat (3 orang), tokoh agama/adat (1orang), tokoh pemuda (2 orang), pengurus Dekopinda Aceh utara (3 orang), pengurus LKM ”Seunuddon finance” (2 orang), pengurus koperasi ”Bungong laot” (1 orang), Pengurus AMF (2 orang), BRR wilayah II Lhokseumawe (1 orang), NGO lokal (1 orang). Melalui cara ini pengkaji hendak memahami pandangan subyektif informan tentang pengalaman
hidupnya,
situasi
sosialnya,
kaitannya
dengan
program
pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami yang ada di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon Aceh Utara. Guna memudahkan pengkaji membuat pedoman wawancara. (lihat lampiran 9)
b. Observasi melalui Pendekatan Peran Serta Metode observasi langsung menurut Adimiharja dan Hikmat (2004), merupakan metode perolehan informasi yang mengandalkan pengamatan langsung dilapangan. Dalam konteks observasi ini ditujukan pada aspek kondisi keberdayaan komunitas korban, prospek keberlanjutan program, strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas yang diterapkan oleh BRR-LKM, kelembagaan LKM/koperasi, pola kontrol LKM, serta kinerja LKM baik yang menyangkut obyek, kejadian, proses, hubungan, lingkungan yang berkaitan dengan
proses
dialog,
penemuan
dalam
pengembangan komunitas korban tsunami
program
pemberdayaan
dan
melalui LKM di gampong Keude
Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon.
c. Metode Fokus Group Discussion (FGD) Fokus Group Discussion atau FGD adalah metode pengumpulan data dimana pengkaji memilih orang-orang yang dianggap mewakili sejumlah publik atau populasi yang berbeda. Menurut Sumarjo dan Saharudin (2006), FGD merupakan suatu forus yang dibentuk saling membagi informasi dan pengalaman
55 diantara para peserta diskusi dalam satu kelompok untuk membahas satu masalah khusus yang telah terdefinisikan sebelumnya. Dalam konteks penelitian ini FGD dilakukan dua kali dengan peserta dari unsur komunitas korban, pengurus LKM/koperasi, perangkat gampong, Dekopinda Aceh Utara, BRR wilayah II, pengurus AMF, tokoh masyarakat, NGO local. Adapun agenda FGD adalah menganalisis masalah dan pemecahan masalah tentang program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro bagi komunitas korban oleh LKM, serta menyusun program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro komunitas korban ke depan. (lihat lampiran 9)
d. Studi Dokumentasi Menurut Schatzman dan Strauss dalam Mulyana, (2001:195) bahwa dokumen merupakan bahan yang penting dalam penelitian kualitatif. Selain itu juga menurut mereka, sebagian dari metode lapangan, peneliti dapat menggunakan dan menelaah dokumen historis dan sumber-sumber sekunder lainnya karena kebanyakkan situasi yang dikaji mempunyai sejarah dan dokumen-dokumen ini sering menjelaskan sebagian aspek dari situasi tersebut. Studi Dokumentasi dilakukan dengan menelaah beberapa laporan, buku, arsip,
dan
catatan
tentang
program
LKM/koperasi
kaitannya
dengan
pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro di gampong Keude Simpang Jalan yang relevan dengan masalah kajian. Agar proses pengumpulan data terarah dan teratur, digunakan pedoman pengumpulan data, yang meliputi wawancara, FGD dan observasi. Pedoman wawancara, FGD dan observasi kajian pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban dapat dilihat pada lampiran 1.Rincian informasi dan cara pengumpulan data tersaji pada table 1.
3. 3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul, dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan dalam kajian lapangan. Data yang ada tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan langkahlangkah menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Mulyana (2001) yakni analisis data kualitatif yang meliputi: a) Reduksi Data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksikan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. b) Penyajian Data, adalah sekumpulan data informasi tersusun yang memberi kemungkinan
56 adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c) Kesimpulan, adalah proses
menemukan
makna
data,
bertujuan
memahami
tafsiran
dalam
konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Dalam mendukung prosedur analisis tersebut, pengumpulan data menggunakan metode triangulasi melalui diskusi kelompok terfokus, observasi dan wawancara. 3. 3.4. Metode Penyusunan Program Metode penyusunan program dalam kajian ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a) Identifikasi potensi dan permasalahan yang dihadapi komunitas korban dan LKM/koperasi dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan. Identifikasi ini dilakukan melalui pengamatan langsung dan wawancara mendalam. Hasil identifikasi ini berupa data potensi yang dimiliki Gampong yang dapat mendorong dan faktor-faktor yang menghambat proses pemberdayaan dan pengembangan komunitas melalui LKM. Faktor penghambat tersebut menyebabkan timbulnya permasalahan yang dihadapi komunitas korban dan diupayakan akan diselesaikan. b) Data potensi dan permasalahan diatas dikonfirmasikan melalui Focus Group Discussion (FGD). Dalam FGD diupayakan untuk memperoleh kesempatan bahwa rancangan program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban melalui LKM dalam proses pengembangan masyarakat
pada
pelaksanaannya
tidak
hanya
menjadi
tanggungjawab
masyarakat Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon saja. Pelaksanaan program
pemberdayaan
tanggungjawab
dan
pihak-pihak
pengembangan terkait
seperti
masyarakat
juga
Pemerintahan
menjadi
Gampong,
Pemerintahan Kecamatan, Pemerintahan Kabupaten, Pihak BRR, Pihak NGO, lembaga donor dan pihak lain yang berkompeten.
PETA SOSIAL GAMPONG KEUDE SIMPANG JALAN 4. 1. Kondisi Umum Kabupaten Aceh Utara memiliki banyak keanekaragaman hayati yang dapat dikelola sebagai sumber mata pencaharian masyarakat miskin. Kenyataan ini didukung oleh kondisi agroklimat dimana curah hujan dan kelembaban udara cukup baik. Akibat krisis ekonomi, konflik politik yang berkepanjangan ditambah dengan terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami membuat kondisi kehidupan masyarakat di Aceh Utara kembali pada titik nol. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Aceh Utara, angka kemiskinan di daerah ini telah mencapai 46,17 persen sedangkan pasca tsunami angka tersebut meningkat tajam. Sedangkan data yang dihimpun di lapangan beberapa NGOs pasca tsunami, angka kemiskinan tidak kurang dari 65,5 persen dan sebagian besar berada di daerah pesisir pantai. Kecamatan Seunuddon merupakan salah satu yang menyimpan kantong-kantong kemiskinan baru pasca tsunami. Ketika lahan ekonomi hancur akibat diterjang tsunami secara otomatis masyarakat kehilangan matapencaharian. Tahun 2006-2007 pihak Pemda, BRR dan NGO internasional memperbaiki dengan program normalisasi tambak. Tahap awal masyarakat memperbaiki tambak secara tradisional. Sampai sekarang masih berlansung di Aceh Utara, dan sudah mencapai 70 persen dari total tambak yang rusak berat dan ringan. Laporan dua tahun BRR Aceh-Nias, (2007). Sebelum tsunami, Kabupaten Aceh utara terutama Kecamatan Seunuddon dan Tanah Jambo Aye tercatat sebagai pengekspor Udang Windo/udang tiger, Ikan bandeng dan beberapa jenis ikan laut ke beberapa Negara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang dan beberapa negara Europa serta Amerika. Kabupaten ini sudah memiliki pelabuhan kelas B. Namun potensi tersebut tersapu bersih akibat tsunami.
Namun demikian masyarakat pesisir di
Kabupaten Aceh utara sudah tampak semangat baru, untuk bangkit dari keterpurukan.
Gampong
Keude
Simpang
Jalan
kecmatan
Seunuddon
merupakan daerah dengan tipologi daratan yang dikelilingi oleh pertambakan rakyat, persawahan, peternakan dan perkebunan dengan pantai Ulee Rubeek hanya berjarak dua kilometer, ketinggian dari permukaan laut sepuluh meter, tidak ada sungai yang melintasi Gampong tersebut. Di Gampong Keude Simpang Jalan terdapat 450 Hektar tambak produktif, memiliki satu unit tempat pelelangan
58 ikan (TPI) dengan kapal nelayan, dan Keudai/toko sebanyak 20 buah. Tahun 2002 saat konflik berkecamuk Gampong Keude Simpang Jalan dibakar, hampir semua keudai/toko hangus terbakar. Saat ini, keudai/toko mulai dibangun kembali oleh masyarakat bersama Pemerintah Daerah. Kerusakan yang dialami oleh tsunami tidak begitu parah dibandingkan dengan Gampong tetangganya Ulee Rubek Barat, Ulee Rubeek Timu, Teupin Kuyun, Ulee Matang, Matang Lada, Bantayan, Lhok Puuk, Mns. Sagou dan Matang Puntoung. Jarak dari jalan Negara menuju Gampong Keude Simpang Jalan sepuluh kilometer dengan jalan aspal yang sudah rusak berat, lebar jalan empat meter. Dari Kecamatan hanya berjarak satu kilometer, sedangkan jarak ke Kabupaten 60 kilometer, jarak ke Ibu Kota Propinsi 350 kilometer. Sepanjang jalan sebelah kiri dan kanan menuju Gampong terbentang persawahan dan pertambakan rakyat. Listrik sudah ada sejak tahun 1997, sumber air minum masih sumur tradisional, penggunaan minyak tanah dan pembuangan air limbah belum lancar. Fasilitas pendidikan masih minim. Fasilitas kesehatan juga sangat minim, rumah sakit hanya terdapat di Ibu Kota Kabupaten dengan jarak tempuh 60 kilometer, rumah bersalin belum ada, poliklinik juga belum ada. Puskesmas terdapat di Ibu Kota Kecamatan berjarak satu kilometer, praktek dokter tidak ada. Puskesmas pembantu berjarak lima kilometer. Posyandu tidak ada, terdapat satu unit polindes, toko khusus obat terdapat dua unit dan bidan Gampong hanya satu orang.
Dari
segi
faslitas
sosial
dan
keagamaan
terdapat
satu
unit
meunasah/surau, kelompok PKK, arisan masih berjalan, lembaga adat sawah dan tambak masih aktif (kajruen blang dan lembaga adat tambak), dan lembaga zakat Gampong masih berjalan. (Lihat Lampiran 10) Semua penduduk Gampong keude Simpang Jalan memeluk agama Islam, yaitu 100 persen atau 5,682 orang. Laki-laki 3.120 dan perempuan 2.274. Gampong Keude Simpang Jalan merupakan salah satu Gampong yang terletak di wilayah Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Ciri-ciri fisik Gampong tersebut tidak jauh berbeda dengan Gampong lain di Kecamatan Seunuddon. Matapencaharian penduduk terdiri dari perikanan laut, tambak, tani sawah, ternak dagang kecil. Masyarakat Gampong Keude Simpang Jalan, merupakan masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sektor alam. Sumber daya laut, tambak dan sawah tadah hujan masih menjadi andalan, selebihnya dagang kecil. Dari hasil pengamatan dan wawancara diperoleh gambaran bahwa mereka masih
59 membutuhkan pemberdayaan dalam segi ekonomi mikro. Modal untuk menghidupkan kembali usaha-usaha yang hancur baik oleh tsunami maupun konflik. Lahan tambak, sawah, kebutuhan nelayan yang sudah dinormalisasikan oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Nias (BRR Aceh-Nias) tahun 2006-2007 masih belum bisa dimanfaatkan dengan baik, karena sumber modal masih terbatas. Mereka masih menggantungkan hidup pada bantuan dari lembaga donor maupun pemerintah daerah maupun pusat. Dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha dari LKM Seunuddon Finance, juga belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Modal bantuan sosial yang dominan diterima adalah pola Qaldul Hasan, maksimal 1 juta sampai 2 juta. Bantuan sebesar itu, habis digunakan untuk kebutuhan pokok rumah tangga, bukan untuk modal usaha. Sedangkan pola mudharabah/bagi hasil yang diterima oleh 50 orang
maksimal 4 juta sampai 5 juta, secara umum juga belum membawa
dampak apapun terhadap kehidupan ekonomi masyarakat karena selain kebutuhan harian rumah tangga juga disebabkan masyarakat tidak ada lapangan pekerjaan lain. Modal bantuan pola mudharabah hanya cukup untuk budidaya tambak ikan bandeng atau udang kapasitas dua hektar, sekali panen. Informasi yang didapat, ketika tambak dan sawah hampir panen pertengahan tahun 2007 lalu, terjadi bencana alam yaitu terjadi pasang laut yang menenggelamkan hampir seluruh tambak dan sawah, sehingga semua benih ikan, udang dan sawah gagal panen. Hal ini juga dialami oleh petani garam. Sedangkan modal bantuan dengan pola ritel/bagi hasil 10 juta sampai 20 juta hanya 5 orang. Pola modal ini hanya untuk pengurus inti Koperasi dan LKM Seunuddon Finance, yang digunakan untuk dagang dan tambak. Dengan realitas diatas, yang terjadi adalah masyarakat Gampong Keude Simpang Jalan masih menunggu bantuan modal usaha dari lembaga-lembaga maupun pemerintah.
4.2. Sumber Daya Lokal Gampong Keude Simpang Jalan Sumber daya lokal Gampong Keude Simpang Jalan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Gampong-Gampong pesisir pantai lain di Indonesia. Gampong Keude Simpang Jalan termasuk katagori Gampong tertinggal. Selama konflik dan terakhir bencana tsunami memperburuk keadaan Gampong tersebut. Sumber daya yang terdapat belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Sumberdaya manusia masih sangat minim sehingga belum mampu mengolah sumberdaya
60 alam yang ada. Walaupun ada sumberdaya manusia, akibat konflik dan tsunami semua tidak bisa berbuat apapun. Sumberdaya manusia menurut komposisi penduduk tingkat pendidikan baru tercatat 300 orang yang tamat SMU, 10 orang sarjana, SLTP 120 orang, tinggkat akademi 30 orang dan SD 50 orang. Sumberdaya
alam
dapat
dikatakan
mencukupi,
namun
belum
mampu
dimanfaatkan. Sumberdaya alam seperti perikanan laut, pertambakan, perikanan darat, pertanian, peternakan. Ketika program pemberdayaan ini digulirkan oleh BRR dan stakeholders lain, ada semangat baru untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Dalam kontek ini minimal ada lima jenis sumber daya yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, sumber daya alam, sumber daya ini perlu diperhatikan efektifitas pengeloaannya, dalam arti bahwa sumber daya alam yang tersedia tidak semata-mata memikirkan aspek keuntungan ekonomis, tetapi keuntungan ekologis harus menjadi prioritas dalam rangka pembanguan yang berkelanjutan. Keuntungan ekonomis yang didapatkan dari pengelolaan sumber daya alam, seyogyanya mempertimbangkan rasa keadilan bagikomunitas lokal. Pemanfaatan sumber daya alam seperti ini, tentu tidak cukup hanya dengan komitmen moral atau konsep yang retoris, tetapi perlu ada payung kebijakan yang menjadi rambu-rambu pengikat. Dengan
demikian,
akan
tercipta
mekanisme
kontrol
dan
pertanggungjawaban serta sanksi-sanksi terhadap eksploitasi bumber daya alam yang tidak memenuhi rasa keadilan sosial serta daya dukung ekologis. Misalnya pengelolaan tambak, mesti ada aturan adat yang perlu dihidupkan kembali. Seperti dulu pernah ada lembaga adat pembudidaya tambak. Namun sekarang sudah hilang. Jadi cara atau metode mengurus tambak juga ada aturannya. Hal ini demi kepentingan bersama dan menghilangkan berbagai hambatan dan penyakit dalam proses produksi. Sumber Daya Alam Kabupaten Aceh Utara terutama usaha nelayan dan pertambakan cukup menjanjikan untuk peningkatan pendapatan komunitas korban. Sumber daya alam Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon terutama usaha nelayan, petani garam, petani sawah dan pertambakan cuku menjanjikan untuk peningkatan pendapatan komunitas. Kedua, sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan faktor penting
dalam pembangunan daerah. Apabila kualitas dan kapasitas
sumber daya memadai, maka pengelolaan sumber daya alam akan memberikan hasil maksimal, demikian pula pada aspek yang lain. Asumsi ini, menegaskan
61 bahwa tuntutan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia menjadi kebutuhan mendasar. Pengetahuan dan keterampilan dari sumber daya manusia, menjadi tumpuan dasar dalam pengembangan kualitas dan sikap, sebab kedua faktor ini akan berpengaruhi efektifitas manajemen pengelolaan sumber daya alam yang ada di gampong. Upaya seperti ini menjadi bagian dari penciptaan kondisi yang ideal untuk mendorong proses pembangunan yang berkelanjutan. Masyarakat Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon dari segi pendidikan masih sangat minim, sarana dan prasarana juga belum memadai. Mata pencaharian lebih pada nelayan, petani garam, pedagang kecil, patani tambak, sawah, dan peternakan. Ketiga, sumber daya sosial. Sumber daya sosial merupakan sumber daya yang tidak tampak secara nyata. Wujud sumber daya ini hanya dapat dideteksi pada prilaku sosial yang pada suatu gampong. Sumber daya ini lebih banyak dipengaruhi oleh sejarah, tradisi, nilai-nilai kebudayaan, dan adat istiadat. Dalam proses pembangunan selama ini, potensi sumber daya sosial yang bersifat in bature itu belum menjadi bagian dalam proses perencanaan dan sumber pembiayaan
pembangunan.
keswadayaan
masyarakat
Sehingga cenderung
solidaritas, diabaikan
gotong
sebagai
royong suatu
dan
potensi
pembangunan yang berkelanjutan. Keempat, sumber daya finansial, sumber daya finansial merupakan pendukung utama dalam proses pelaksanaan pembangunan.
Maka
dalam
memanfaatkan
sumber
daya
ini
perlu
memperhatikan skala prioritas dalam arti tingkat kebutuhan dan ketepatan sasaran yang dituju. Penggalian sumber daya finansial tidak semata-mata mengandalkan sumber dana masyarakat dari retribusi dan pajak, tetapi diperlukan kreatifitas pengelolaan sumber daya yang dimiliki secara inovatif. Dalam pengelolaannya, finansial yang didapat baik dari retribusi, pajak dan pengelolaan sumber daya lainnya, memerlukan penanganan dengan manjemen terbuka. Hal ini penting untuk pembangunan kepercayaan dan akuntabilitas publik. Kelima, sumber daya teknologi dan Informasi. Penggunaan sumber daya teknologi dan informasi merupakan pendukung efektifitas kinerja pelaku pembanguan dan peningkatan produksi masyarakat. Daya dukung sumber daya ini, sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan akses informasi dan peningkatan kualitas kinerja untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Penerapan teknologi tetap memperhatikan budaya lokal yang berlaku dan tidak
62 menggeser teknologi tepat guna yang berbasis lokal yang sudah ada. Demikian pula,
informasi
yang
disampaikan
bersifat
objektif
dan
mendukung
pengembangan wawasan dan pengetahuan masyarakat secara luas.
4.3. Struktur Komunitas Gampong Keude Simpang Jalan Struktur sosial yang terdapat pada suatu komunitas korban dapat ditinjau dari beberapa aspek berikut.
4.3.1. Pelapisan Sosial Sistem pelapisan sosial dalam komunitas dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan komunitas, namun dapat pula terjadi dengan sengaja, disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Pelapisan sosial penduduk Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon dapat terlihat secara fisik (bangunan perumahan, jenis mata pencaharian) maupun non fisik (alasan-alasan pembentukan kelompok, seperti kelompok tani, kelompok pengrajin, kelompok remaja masjid, kelompok home industry gula kelapa, kelompok arisan). Unsur Utama Pelapisan Sosial Pelapisan sosial terjadi karena adanya penghargaan terhadap hal-hal tertentu dalam komunitas. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon didasarkan pada: kekayaan yang dimiliki, kekuasaan, pendidikan formal yang di tempuh, keaktifan dalam kegiatan keagamaan/kemasyarakatan, dan pekerjaan. Dalam kehidupan sehari-hari, pelapisan sosial tersebut tidak menimbulkan terjadinya konflik dan kesenjangan sosial diantara warga masyarakat, interaksi sosial tetap terjalin sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
4.3.2. Kepemimpinan dan Sumbernya Dari informasi dan pengamatan, sumber kepemimpinan yang muncul di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon dasarkan pada; posisi yang tengah dijabat oleh seseorang, adanya para pendukung yang menokohkan seseorang, pada kalangan atau segmen mana tokoh tersebut berada, seberapa banyak aset yang dimiliki seseorang dan ketokohan dan penguasaan agama dalam masyarakat. Dari sumber-sumber kepemimpinan yang dimiliki, melahirkan tokoh tokoh kepemimpinan: tokoh formal, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemuda.
63 Komunitas masyarakat Gampong Keude Simpang Jalan memberi dukungan dan kepercayaan yang tinggi bagi pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah yang ada di dalam komunitas. Kepemimpinan formal, dalam hal ini kepala Gampong (geuchik) dan perangkat Gampong memiliki peranan penting dan sangat menentukan dalam kehidupan komunitas masyarakat. Dilihat dari latar belakang terpilihnya Geuchik, diperoleh informasi bahwa Geuchik memiliki sikap-sikap peduli, yang memihak kepada kepentingan komunitas masyarakat. Pada umumnya perangkat gampong (Geuchik, sekretaris, kaur-kaur, kepala dusun, tuha peut, tuha lapan, karang taruna, ketua pemuda dan tokoh masyarakat termasuk KPA, dll) memiliki peranan menyangkut hal-hal yang bersifat prosedural, seperti pembuatan KTP, pengurusan izin mengadakan acara-acara (rekes), mengurus administrasi jual beli, memberikan rekomendasi bagi penduduk yang akan meminjam uang ke LKM Seunuddon Finance dan bank seperti BRI. Di samping melaksanakan tugas-tugas tersebut, perangkat gampong berperan dalam berbagai acara gampong, acara dalam menyambut malam 17 Agustus (istighasah), pengajian masjid ta’lim yang dilaksanakan di aula gampong setiap satu bulan sekali, ramadhan bersama, meugang bersama, keunduri blang/tambak, gotong royong, rapat bulanan, koordinasi dengan NGO yang masuk ke Gampong, dan berperan langsung dalam menyelesaikan kasuskasus perkelahian yang terjadi. Kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana melalui kerjasama dengan masyarakat, tokoh keagamaan dan tokoh pemuda. Kepemimpinan informal yang berperan dalam masyarakat merupakan tokoh-tokoh yang aktif dalam kegiatan keagamaan (ketua DKM, PKK, Imam mesjid, madrasah, KPA, tuha peut, tuha lapan) dan kepemudaan (ketua karang taruna). Tokoh-tokoh ini memberikan bimbingan dan pembinaan mental kepada generasi muda dalam mencegah terjadinya kenakalan-kenakalan remaja melalui kegiatan-kegiatan pengajian, latihan olah raga volley ball, sepak bola yang dilaksanakan secara rutin setiap seminggu sekali. Secara umum tanggapan masyarakat terhadap kepemimpinan formal maupun informal adalah cukup baik.
64
4.3.3. Jejaring sosial dalam komunitas Jejaring sosial kepemimpinan formal dalam membangun hubungan dengan masyarakat terjalin dalam suatu kumpulan gampong setiap satu bulan sekali. Jejaring sosial dalam membangun kepemimpinan formal dan informal terjalin dalam satu bentuk komunikasi yang sifatnya informal dalam konteks kepentingan menyangkut aktivitas dan persoalan kehidupan sehari-hari. Keputusan Geuchik diperoleh sebagai hasil musyawarah antara imum mukim, geuchik, perangkat gampong, dan tuha peut dan tuhan lapan yang berfungsi sebagai badan perwakilan gampong (BPG). Jejaring sosial kepemimpinan formal dalam membangun hubungan di luar komunitas dilakukan dengan pihak kecamatan. Hubungan ini terjalin dalam suatu rapat koordinasi bulanan . Gambar 2 : Jejaring Sosial Komunitas Gampong Keude Simpang Jalan
Geuchik
Tuha Peut/tuha lapan
Musyawarah Gampong
Imum Mukim
BPG/Perangkat Gampong
Keputusan
Kecamatan
Kabupaten
4.4. Organisasi dan Kelembagaan 4.4.1. Lembaga Kemasyarakatan Lembaga-lembaga kemasyarakatan muncul baik berdasarkan inisiatif masyarakat lokal maupun bentukan dari pihak luar (pemerintah). Lembagalembaga kemasyarakatan yang muncul berdasarkan inisiatif masyarakat lokal, misalnya kelompok remaja masjid, kelompok pengajian mingguan, kelompok pengajian masjid ta’lim, kelompok arisan (terdapat 4 kelompok arisan).
65 Kelompok-kelompok pengajian mingguan terdapat pada setiap dusun, kelompok pengajian masjid ta’lim dilaksanakan satu bulan sekali yang jatuh bertempat di mesjid. Gampong ini memiliki sarana ibadah satu buah masjid dan tiga buah meunasah. Lembaga kemasyarakatan yang muncul sebagai bentukan dari pihak luar, misalnya PKK, Karang Taruna, polindes/poliklinik dan 2 Pos Yandu dan dukun terlatif 1 orang, bidan desa 1 orang dan paramedis 1 orang. Lembaga ekonomi yang ada di Gampong, diantaranya meliputi KUD petani tambak, koperasi melalui LKM/AMF kelompok-kelompok tani, kelompok tambak, nelayan, petani garam, peternak kambing, kelompok pedagang kecil, dan industri rumah tangga.
4.4.2. Fungsi Kontrol Sosial Lembaga Dalam
menjalankan
fungsi
dan
peranannya,
lembaga-lembaga
kemasyarakatan mengontrol berdasarkan acuan nilai-nilai dan norma-norma agama. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang teguran muncul dari tokohtokoh agama yang diajukan kepada perangkat gampong. Sanksi dan tindakan akan tergantung pada sikap dan kebijakan Geuchik.
4.4.3. Proses Sosialisasi dalam komunitas Proses sosialisasi di dalam masyarakat umumnya dilaksanakan oleh keluarga, yaitu ayah, ibu, dan kerabat dari pihak istri maupun suami. Apabila kedua orang tuanya bekerja pada sektor formal, biasanya pola pengasuhan anak diserahkan pada kerabat dan apabila keluarga jauh dari kerabat atau sanak saudara maka pola pengasuhan anak diserahkan pada pembantu rumah tangga atau meminta bantuan jasa tetangga dekat. Apabila kedua orang tuanya bekerja pada sektor informal, pada umumnya pula pengasuhan anak akan tetap dilakukan orang tua dengan membawa anak ke tempat bekerja.
4.5. Masalah sosial dan penggunaan Lahan Di Gampong ini terdapat berbagai masalah sosial seperti terlihat pada keadaan tahun 2007 (Tabel 2).
66 Tabel 2. Data Masalah Sosial Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon Tahun 2007 No
Jenis Masalah Sosial
Jumlah
1
Narkoba/pengkonsumsi miras
4
2
Keluarga Miskin (konflik/tsunami)
3
Pengangguran
4
Warung yang menyediakan Miras
5
Balita Gizi Buruk
6
Germo
-
7
PSK
-
8
Perjudian
-
9
Rumah Tidak Layak Huni
921 KK 412 orang 70 orang
167 buah
Sumber : Data Potensi gampong Keude Simpang Jalan Tahun 2007
Keluarga miskin merupakan jenis masalah sosial tertinggi di gampong keude simpang jalan. Langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi diantaranya dengan memanfaatkan lahan yang ada baik untuk pertambakan, pertanian, peternakan dan kelautan. Dalam laporan rencana detail tata ruang Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara tahun 2007 yang dibiayai oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD – Nias bekerja sama dengan PT. Zonasi Consultan. Laporang awal, memperlihatkan ketidak siapan perangkat Gampong dalam membuat monografi Gampong. Banyaknya data yang tidak dapat diisi. Menggambarkan kondisi dan situasi Gampong masih dalam pembenahan. Menurut Geuchik Gampong Keude Simpang Jalan dengan luas wilayah 217 hektar ini, Dms dan Ah; mengatakan. ”kita masih dalam pembenahan data Gampong, maklum kami baru terpilih 3 bulan yang lalu. Data-data awal, kebanyakan asal diisi saja. Untuk itu kami berharap ada tim khusus untuk mendata dan melakukan pendataan ulang Gampong kami”. Hal ini terlihat dalam laporan yang pengkaji temukan dilapangan. Suatu data tentang penggunaan lahan di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon di sajikan pada Tabel 3.
67 Tabel 3. Penggunaan Lahan No 1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11
Jenis Pembangunan Pemukiman/ Pekarangan Lahan Sawah a. Irigasi Teknis b. Irigasi Setengah teknis c. Irigasi Sederhana d. Irigasi Desa Tadah ujian Padi Ladang Tegalan/ Kebun Ladang/ Huma Pengembalaan Tidak diusahakan Hutan Rakyat Hutan Negara Perkebunan a. Besar Perusahaan b. Rakyat c. Kebun Campurran Rawa-rawa Tambak/ Kolam/ Empang
Tahun 2001 (Ha) 1,40 1 0.20 1 ha 90 ha
Tahun 2006 (Ha) 1,40
1 ha 90 ha
4.6. Situasi Kependudukan Situasi kependudukan di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara pasca tiga tahun musibah tsunami belum terdata dengan baik. Pihak terkait belum maksimal melakukan pendataan. Tahun 2007 BRR Aceh-Nias menggunakan jasa PT. Zonasi Consultan untuk melakukan penyusunan rencana detail tata ruang Kecamatan Seunuddon. Namun hasil isian yang diperoleh dari gampong-gampong tidak memadai. Terlihat dari daftar isian kondisi Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon tentang kondisi kependudukan banyak yang tidak akurat. Namun demikian sebagai data awal dapat disampaikan bahwa Gampong Keude Simpang Jalan berdasarkan jenis kelamin banyak jumlah kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan yaitu laki-laki 3.120 jiwa dan perempuan 2,742 jiwa. Berdasarkan struktur umur terlihat umur antara 40-44 dan umur 50-54 masing-masing berjumlah 30 jiwa/orang artinya lebih banyak dibandingkan dengan struktur umur lainnya. Struktur umur paling sedikit adalah umur 0-4 tahun yaitu hanya terdapat 6 jiwa. Di lihat dari komposisi penduduk tingkat pendidikan terlihat tamatan SMU/sederajat terbanyak yaitu 300 jiwa, terdapat 10 jiwa tamatan Perguruan Tinggi atau sarjana dan 30 jiwa tamatan akademi/sederajat. Menurut pengkaji sebuah Gampong di Aceh yang baru keluar dari situasi dan
68 kondisi konflik dan tsunami sudah terdapat 10 orang Sarjana dan 30 orang tamatan akademi semestinya Gampong tersebut dapat dikatagorikan maju. Namun realitas di lapangan masih jauh dari nuansa budaya pendidikan. Diperoleh informasi bahwa sarjana-sarjana yang ada di Gampong tersebut saat konflik Aceh banyak yang keluar daerah. Mata pencaharian penduduk Gampong Keude Simpang Jalan tahun 2006 terbanyak adalah petani tambak 921 jiwa, perikanan laut 870 jiwa dan pertanian terutama sawah 175 jiwa. Sedangkan pengawai negeri terdapat 25 jiwa, pedagang kecil data tahun 2006 terjadi peningkatan yaitu 200 jiwa dibandingkan tahun 2001 hanya 17 jiwa. Usaha ternak juga mengalami peningkatan dari 46 jiwa tahun 2001 meningkat menjadi 78 jiwa tahun 2006. Termasuk usaha transportasi meningkat dari 12 jiwa tahun 2001 menjadi 15 jiwa tahun 2006. Sedangkan industri rumah tangga hanya terdapat 2 jiwa tahun 2006. Perubahan penduduk tahun 2001 kelahiran hanya 30 jiwa sedangkan tahun 2006 meningkat menjadi 50 jiwa. Pendatang terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2001 yaitu 10 jiwa menjadi 50 jiwa tahun 2006.
Sedangkan migrasi netto dapat dilihat
dalam table 4e bahwa jumlah penduduk tahun 2001 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006. Data kondisi kependudukan Gampong Keude Simpang Jalan terdapat dalam Tabel 4. Tabel 4. Kependudukan a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No
Tahun Laki-Laki
1 2 3 4 5 6 b.
2001 2002 2003 2004 2005 2006
3,120
Penduduk (jiwa) Perempuan 2,742
Jumlah -
Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Umur
No
Klasifikasi Umur
Laki-Laki (Jiwa)
Perempuan (Jiwa)
1 2 3 4 5 6
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29
6 15 15 10 9 10
4 10 10 10 11 25
69 7 8 9 10 11 12 13 14
30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 >65
12 25 30 11 30 22 20 11
13 25 37 23 20 28 49 20
c. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan SD/Sederajad SMP/SLTP/Sederajd SMA/Sederajad Akademi Perguruan Tinggi
Jumlah (Jiwa) 50 120 300 30 10
d. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian/ Lapangan Kerja No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Mata Pencaharian Pertanian Peternak Perikanan Laut Tambak Perikanan Darat Pegawai Negeri TNI/ Polisi Pertambangan dan Peggalian Perindustrian/ Industri Rumah Tangga Perdagangan, Hotel, Restoran Pengangkutan/ Transportasi
Tahun 2001 Jumlah (Jiwa) 150 46 800 921 7 20 1 17 12
Tahun 2006 Jumlah (Jiwa) 175 78 870 921 7 25 2 200 15
e. Perubahan Penduduk (Migrasi dan Lahir/ Kematian) No 1 2 3 4 5
Perubahan penduduk (jiwa) Datang Keluar/ Pindah Lahir Mati Migrasi Netto
Tahun 2001 Jumlah (Jiwa) 10 30 10 - 30
Tahun 2006 Jumlah (Jiwa) 75 50 5 + 20
Dari hasil wawancara dengan geuchik pada 7 September 2007 di kantor LKM/Koperasi berkaitan dengan fasilitas gampong, terungkap bahwa, jenis kendaraan yang digunakan oleh masyarakat dalam menjalan aktifitas pergi ketempat kerja, pasar, sekolah dan lainnya adalah kenderaan umum. Angkutan penumpang umum yang melintasi gampong setiap saat yaitu angkutan umum Pick Up. Kondisis jalan menuju gampong, sudah rusak parah namun masih bisa di lalui, yaitu dari simpangan Panteu Breuh sampai dengan ulee Reubek.
70 Permasalahan yang muncul di gampong tersebut adalah: Perbaikan pertokoan dan kedai kayu yang sekarang dimiliki warga, jalan yang sangat parah, listrik yang belum sempurna 24 jam, Air bersih yang belum berjalan dan perbaikan ekonomi masyarakat. Usulan dan kebutuhan pembangunan di gampong tersebut yang mendesak sesuai dengan permasalahan yang ada: a) Kantor geuchik (kepala Desa). b) Rumah untuk korban tsunami dan konflik. c) saluran pinggir jalan. d) Pelataran antara jalan dan jalan raya. e) Jalan alternatif simpang jalan/samping kantor camat seunuddon. f) Perbaikan ekonomi masyarakat baik yang korban tsunami maupun konflik. g) Penambahan modal usaha mikro bagi masyarakat korban tsunami maupun konflik melalui LKM/Koperasi, terutama untuk usaha kecil seperti menghidupkan/normalisasi kembali tambak, boat nelayan, sawah yang rusak, petani garam dan pedagang kecil.
4.7. Ikhtisar Peta Sosial Gampong Keude Simpang Jalan Berdasarkan hasil pemetaan sosial Gampong Keude Simpang Jalan seperti yang telah diuraikan diatas, pasca tiga tahun tsunami dan konflik ternyata masih terdapat sejumlah potensi yang dimiliki Gampong dan warganya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami kondisi dan situasi Gampong tersebut sebenarnya cukup memadai untuk mendukung normalisasi ekonomi mikro komunitas pasca tsunami, walaupun demikian masih banyak potensi yang ada belum digali dan dipergunakan secara maksimal. Misalnya potensi tambak dan perikanan laut yang cukup menjanjikan belum mampu memberdayakan warga masyarakat. Hal ini disebabkan antara lain normalisasi tambak belum sepenuhnya pulih, sarana dan prasaran melaut bagi nelayan belum memadai (ketersedian kapal bermotor masih kurang termasuk sarana dan prasarana pendukungnya). Angka kemiskinan pasca tsunami meningkat tajam mencapai 65,5 persen dan sebagian besar berada di daerah pesisir pantai. Gampong Keude Simpang Jalan merupakan salah satu yang menyimpan kantong-kantong kemiskinan baru pasca tsunami. Sebelum tsunami, Kabupaten Aceh utara terutama Kecamatan Seunuddon dan Tanah Jambo Aye tercatat sebagai pengekspor Udang Windo/udang tiger, Ikan bandeng dan beberapa jenis ikan laut ke beberapa Negara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang dan beberapa negara
71 Europa serta Amerika. Kabupaten ini sudah memiliki pelabuhan kelas B. Namun potensi tersebut tersapu bersih akibat tsunami. Gampong Keude Simpang Jalan termasuk tipologi daratan yang dikelilingi oleh pertambakan rakyat, persawahan, peternakan dan perkebunan. ketinggian dari permukaan laut sepuluh meter, tidak ada sungai yang melintasi Gampong tersebut. Di Gampong Keude Simpang Jalan terdapat 450 Hektar tambak produktif, memiliki satu unit tempat pelelangan ikan (TPI) dengan kapal nelayan, dan Keudai/toko sebanyak 20 buah. Kerusakan akibat tsunami tidak begitu parah dibandingkan dengan Gampong tetangganya. Jarak dari
jalan Negara
menuju Gampong Keude Simpang Jalan sepuluh
kilometer dengan jalan aspal yang sudah rusak berat, lebar jalan empat meter. Dari Kecamatan hanya berjarak satu kilometer, sedangkan jarak ke Kabupaten 60 kilometer, jarak ke Ibu Kota Propinsi 350 kilometer. Sepanjang jalan sebelah kiri dan kanan menuju Gampong terbentang persawahan dan pertambakan rakyat. Listrik sudah ada, sumber air minum sumur tradisional, penggunaan minyak tanah dan pembuangan air limbah belum lancar. Fasilitas pendidikan masih minim. Fasilitas kesehatan juga sangat minim, rumah sakit hanya terdapat di Ibu Kota Kabupaten dengan jarak tempuh 60 kilometer, rumah bersalin belum ada, poliklinik belum ada. Puskesmas terdapat di Ibu Kota Kecamatan berjarak satu kilometer, praktek dokter tidak ada. Puskesmas pembantu berjarak lima kilometer. Posyandu tidak ada, terdapat satu unit polindes, toko khusus obat terdapat dua unit dan bidan Gampong hanya satu orang. Dari segi faslitas sosial dan keagamaan terdapat satu unit meunasah/surau, lembaga adat sawah dan tambak masih aktif (kajruen blang dan lembaga adat tambak), dan lembaga zakat Gampong masih berjalan. Semua penduduk Gampong keude Simpang Jalan memeluk agama Islam, yaitu 100 persen. Matapencaharian penduduk terdiri dari perikanan laut, tambak, tani sawah, ternak, dagang kecil. Masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sektor alam. Sumber daya yang terdapat belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Sumberdaya manusia masih sangat minim sehingga belum mampu mengolah sumberdaya alam yang ada. Sumberdaya alam Gampong Keude Simpang Jalan cukup menjanjikan untuk peningkatan pendapatan komunitas.
Sumberdaya
manusia
merupakan
faktor
penting
dalam
pembangunan daerah. Apabila kualitas dan kapasitas sumber daya memadai,
72 maka pengelolaan sumber daya alam akan memberikan hasil maksimal, demikian pula pada aspek yang lain. Sumber kepemimpinan yang muncul dasarkan pada posisi yang tengah dijabat oleh seseorang, adanya para pendukung yang menokohkan seseorang, pada kalangan atau segmen mana tokoh tersebut berada, seberapa banyak aset yang dimiliki seseorang dan ketokohan dan penguasaan agama dalam masyarakat. Dari sumber-sumber kepemimpinan yang dimiliki, melahirkan tokoh tokoh kepemimpinan, tokoh formal, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemuda. Di lihat dari latar belakang terpilihnya Geuchik, diperoleh informasi bahwa Geuchik memiliki sikap-sikap peduli, yang memihak kepada kepentingan komunitas
masyarakat.
Kepemimpinan
informal
yang
berperan
dalam
masyarakat merupakan tokoh-tokoh yang aktif dalam kegiatan keagamaan (Imum mukim, pengurus PKK, Imam mesjid, madrasah, KPA, tuha peut, tuha lapan,
ketua
adat
dan
kepemudaan).
Dalam
menjalankan fungsi
dan
peranannya, lembaga-lembaga kemasyarakatan mengontrol berdasarkan acuan nilai-nilai dan norma-norma agama. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang teguran muncul dari tokoh-tokoh agama yang diajukan kepada perangkat gampong. Kondisi kependudukan Gampong Keude Simpang Jalan berdasarkan jenis kelamin banyak jumlah kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan yaitu lakilaki 3.120 jiwa dan perempuan 2,742 jiwa. Berdasarkan struktur umur terlihat umur antara 40-44 dan umur 50-54 masing-masing berjumlah 30 jiwa/orang artinya lebih banyak dibandingkan dengan struktur umur lainnya. Di lihat dari komposisi
penduduk
tingkat
pendidikan
terlihat
tamatan
SMU/sederajat
terbanyak yaitu 300 jiwa, terdapat 10 jiwa tamatan Perguruan Tinggi atau sarjana dan 30 jiwa tamatan alademi/sederajat. Mata pencaharian penduduk Gampong Keude Simpang Jalan tahun 2006 terbanyak adalah petani tambak 921 jiwa, perikanan laut 870 jiwa dan pertanian terutama sawah 175 jiwa. Sedangkan pengawai negeri terdapat 25 jiwa, pedagang kecil data tahun 2006 terjadi peningkatan yaitu 200 jiwa dibandingkan tahun 2001 hanya 17 jiwa. Usaha ternak juga mengalami peningkatan dari 46 jiwa tahun 2001 meningkat menjadi 78 jiwa tahun 2006.
EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 5.1. Kebijakan dan Strategi Pemberdayaan dan Pengembangan Kebijakan sosial adalah serangkaian tindakan, kerangka kerja, pentunjuk, rencana, peta atau strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial. Suharto, (2005). Program Pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM bagi masyarakat korban tsunami dan konflik, merupakan visi dan misi BRR dan pemerintah daerah yang diterjemahkan
ke
dalam
program
dan
tindakan
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Mengikuti konsepsi kebijakan sosial yang terkait erat dengan perencanaan sosial, maka program LKM merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan guna menanggulangi kemiskinan dengan sasaran keluarga rentan/miskin. Kegiatan LKM dilakukan secara terarah, terencana dan sistematik yang bertujuan untuk membantu meningkatkan kehidupan sosial, psikologis dan ekonomi keluarga melalui penguatan motivasi dan kemampuannya dalam mendayagunakan sumber-sumber dan potensi yang dimiliki, sehingga kemandiriannya secara cepat dapat diwujudkan. Perencanaan kegiatan pengembangan masyarakat seperti program melalui LKM termasuk perencanaan sosial yang merupakan serangkaian kegiatan yang terorganisir, yang memungkinkan individu, kelompok dan masyarakat untuk memperbaiki keadaannya sendiri, menyesuaikan diri terhadap kondisi yang ada dan berpartisipasi dalam tugas-tugas pembangunan. Dalam hal ini program pemnberdayaan melalui LKM tidak hanya menyalurkan bantuan modal usaha ke masyarakat melainkan juga mendorong pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Perencanaan dalam menyusun proposal kegiatan kelompok dilakukan oleh masyarakat dengan didampingi pendamping sosial termasuk menentukan jenis usaha, modal yang dibutuhkan, dan cara mengelola usaha ditetapkan oleh masyarakat khususnya keluarga miskin yang tergabung dalam kelompok usaha bersama. Tujuan dari ditingkatkannya pengalokasikan dana untuk program dan kegiatan pemberdayaan ekonomi rakyat pada tahun ketiga pasca gempa dan tsunami ini, dimaksudkan untuk memacu agar aktivitas ekonomi rakyat bisa bangkit dan berkembang kembali. Dengan aktifnya LKM seunuddon finance sejak tahun 2005, data awal diperoleh bahwa jumlah masyarakat atau komunitas
74 korban yang terberdaya berjumlah 350 orang/individu lebih dengan berbagai profesi. Profesi dominan adalah nelayan dan petani tambak. Penguatan ekonomi mikro bagi korban tsunami membutuhkan kinerja, strategi, ketepatan sasaran dan
profesionalisme
serta
proporsional
sumberdaya
manusia
maupun
kelembangaan/LKM. Namun sampai dengan saat ini tiga tahun pasca tsunami, komunitas korban tsunami Keude Simpang Jalan Seunuddon dalam segi ekonomi mikro relatif belum terberdaya. Walaupun upaya ini diketahui telah banyak dilakukan, baik oleh BRR Aceh-Nias, lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, lembaga swasta, lembaga perbankan, dan lembaga donor maupun lembaga atau individu. Tentu hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri terutama dalam komunitas korban dan masyarakat di Gampong keude simpang Jalan Kecamatan Seunuddon. Misalnya Ibu-ibu petani garam di Seunuddon, juga memperlihatkan etos mereka dalam menjalani kehidupan pasca tsunami. Ada atau tidak ada bantuan, mereka
tetap
bersemangat
menjalan
aktifitas
ekonominya,
demi
mempertahankan hidup keluarga dan harga diri. Mereka mampu mengorganisir kelompoknya dengan baik walau penghasilan mereka pas-pasan. Menurut Manager LKM Seunuddon Finance AH, ibu-ibu petani garam tersebut tidak pernah mengajukan permohonan kepada LKM. Namun menurutnya komunitas perempuan ini wajar untuk mendapat bantuan dari LKM. ” setahu kami, ib-ibu itu tidak pernah membuat permohonan kepada kami (LKM-red), namun hasil pengamatan kami bahwa ibu-ibu itu wajar dibantu dan berhak mendapat bantuan. Ketika kita sampaikan hal ini, tentu kita sampaikan syarat-syarat menjadi anggota LKM, ibu-ibu itu langsung sepakat..ada spirit yang kuat terpancarkan dari komunitas ini. Dalam LKM kami tercatat ada 102 orang perempuan yang mendapat modal usaha. Kedepan ibu-ibu ini akan menjadi anggota koperasi. Tentu tidak hanya komunitas ibu-ibu itu saja, juga ibu-ibu lain seperti pedagang, peternak, petani sawah..terbukti mereka dapat membantu kebutuhan ekonomi keluarganya”. Dalam konteks strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban, LKM seunuddon finance memiliki pendekatan sendiri selain aturan yang sudah diformalkan oleh BRR Aceh-Nias di Banda Aceh. Menurut managernya, keterlibatan sasaran menjadi hal utama. Mereka tidak hanya sekedar menyalurkan dana baik dalam bentuk qaldul hasan, mudharabah maupun ritel. Memang bantuan sosial berupa Qaldul Hasan sebesar Rp. 2000.000,diutamakan bagi orang-orang yang sangat miskin konban tsunami dan konflik. Pola yang diterapkan sesuai dengan makanisme yang sudah dibuat dalam buku
75 induk BRR, namun dibeberapa daerah kecamatan dan gampong ada perlakuan khusus. ”kita coba mendatangi orang-orang yang memang membutuhkan, dalam hal pendataan kita bekerja sama dengan pihak aparat gampong...karena dana qaldul hasan, menurut kami tidak ada imbalan atau infaq..mampu di kembalikan saja selama satu tahun itu sudah syukur. Beda perlakuannya dengan dana mudharabah dan ritel. Pengalaman; kalau untuk kaum lakilaki baiknya dibantu perorangan, sedangkan untuk kaum perempuan kalau bisa berkelompok...kami sudah pernah membantu secara kelompok untuk petani tambak, karena hampir semua memiliki tambak jadi sulit untuk berkelompok..kecuali dari individu-individu yang di bantu baru kemudian di jadikan kelompok bersama agar ada ikatan sesama petani tambak...juga pengalaman salah satu LSM lokal LIPMAGA, pernah membina secara kelompok artinya dana diperuntukkan bagi kelompok.., petani tambak jadi susah tambak siapa yang akan dipakai atau ketika panen semua minta bagian..belum sempat dicicil kepada LSM tersebut”. Hal senada disampaikan oleh ketua AMF center Banda Aceh, Drh.BHS, menurutnya strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami di Aceh sudah sesuai secara aturan. Namun dilapangan mungkin lain yang terjadi. “BRR Aceh-Nias bersama dengan stakholders lain telah mampu memformat strategi ini dengan baik, masalahnya tinggal dalam aplikasi lapangan. Memang yang terpenting adalah realitas lapangan. Bagaimana komunitas betul-betul menyatu dan terlibat mulai dari proses pendataan, perencanaan, implimentasi sampai evaluasi dalam program tersebut secara utuh. Kita terkendala dengan sumber daya manusia dilapangan, banyak orang yang dipakai menjadi maneger LKM, tidak memiliki waktu..mereka sibuk dengan aktivitasnya yang lain, harus diupayakan verifikasi ulang keberadaan manager, staf keuangan dan pembukuan. selain itu, verifikasi kelompok sasaran, yang terpenting juga pola koordinasi yang selama dianggap kurang baik, saya melihat tidak ada upaya berpikir jangka panjang, ketika komunitas yang dibina dapat menghasilkan produk-produk LKM kemana pasarnya? tidak mungkin hanya pada taraf lokal, maka diperlukan kerjasama semua elemen..mulai dari dinas perindag, Kadin, Dekopinda, perbankkan, koperasi/LKM dan lain-lain. Sudah saatnya Aceh memikir jangka panjang yang berkelanjutan”. Dalam hal ini tidak hanya koperasi/LKM Seunuddon Finance, berupaya mencari
strategi
pemberdayaan
dan
pengembangan
komunitas,
namun
lembaga-lembaga lokal lain juga sedang berupaya. Ketua Koperasi Pesantren Aneuk Laot sebagai induk dari LKM Seunuddon Finance, H.G, berpendapat bahwa, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh; Koperasi/ LKM perlu menjalin kerjasama dengan perbankan dan Pemda Aceh Utara serta NGOs guna memenuhi kebutuhan akan tambahan modal usaha, perluasan aksesibilitas
76 terhadap pasar agar peningkatan produksi dengan mudah dapat ditransfer ke bentuk pendapatan, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia LKM melalui berbagai pelatihan keterampilan dan bimbingan manajemen yang berkaitan dengan pengembangan uasaha ekonomi produktif, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Selain itu, modal sosial dan sistem jaring pengaman sosial dalam proses strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas menjadi penting. ”... saat ini, koperasi dan LKM kurang memiliki akses permodalan maupun pasar keluar, ketika hasil panen melimpah seperti ikan bandeng, kepiting dan lain-lain...,selain itu sumberdaya manusia pengurus koperasi dan LKM menjadi kendala, karena masyarakat menganggap masuk jadi pengurus dan anggota koperasi/LKM kurang mengungtung, bersifat jangka panjang.., menumbuhkan kesadaran dan kegunaan koperasi/LKM bagi masyarakat memang sulit.., tentu hal ini banyak dipengaruh oleh konerja koparsi/LKM masa lalu. Padahal modal sosial dan modal sumberdaya manusia cukup di gampong kami, tinggal saja memaksimalkannya”. Dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM, setiap anggota kelompok saling berelasi, berinteraksi satu sama lain secara timbal balik atas dasar kepercayaan, hak dan kewajiban. Setiap anggota kelompok ini juga mengembangkan
modal sosial melalui pengembangan
hubungan-hubungan aktif, partisipasi, dan demokrasi dalam wadah kelompok usaha bersama. Koperasi melalui LKM sebagai program pemberdayaan ekonomi mikro keluarga miskin berupaya untuk mengembangkan aspek lokalitas dan mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dan sumber-sumber terkait sehingga program dilaksanakan secara terpadu, saling mengisi dan memperkuat
dalam
mewujudkan
tujuan
bersama
untuk
meningkatkan
kesejahteraan komunitas. Dalam aspek psikologi sosial, pengembangan modal dan gerakan sosial pada pelaksanan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM dapat dijelaskan
melalui
perspektif
konvergensi
bahwa
perilaku
anggota
individu/keluarga dalam membentuk kelompok usaha bersama dapat dipahami dari dua faktor, yaitu faktor internal merupakan faktor yang muncul dari diri individu dan faktor eksternal merupakan faktor yang muncul dari luar diri individu. Kedua faktor tersebut saling berinteraksi memunculkan perilaku atau kondisi tertentu. Dalam interaksi ini akan terjadi saling percaya, saling memberi dan menerima, dan saling mempengaruhi.
77 Proses pembentukan perilaku anggota kelompok penerima program LKM dapat dilihat secara multi-center dan transaksional-center bahwa lingkungan sosial dan individu memiliki pengaruh yang sama besar dalam pembentukan perilaku. Dengan demikian kondisi yang terdapat dalam diri individu seperti karakter mental, skema, motif dan afeksi serta pengaruh dari center lainnya di luar diri seperti adanya pengaruh keluarga, kelompok, masyarakat, dan pemerintah mempengaruhi perilaku anggota kelompok usaha bersama. Dengan adanya motivasi anggota kelompok untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga maka mereka akan berperilaku kearah positif dalam pengembangan usaha. Keadaan seperti ini akan memunculkan feedback atau umpan balik dari lingkungan sosial yang menguntungkan mereka. Hal ini merupakan input untuk perilaku kearah positif berikutnya.
5.2. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Seunuddon Finance 5.2.1. Riwayat LKM Seunuddon Finance LKM Seunuddon Finance di bentuk tahun 2005 berdasarkan Badan Hukum Koperasi Pasantren Bungong Laot No.134/BH/KWK I/XII/1995/ 14 Desember 1995. Bermula ketika BRR Aceh-Nias meluncurkan program pemberdayaan dan pengembangan LKM dan Koperasi untuk kesejahteraan komunitas lokal terutama korban tsunami. Pilihan terhadap Koperasi Bungoeng laot sebagai salah satu Koperasi peserta program BRR adalah pilihan yang dilematis. Di Kecamatan Seunuddon sebagai daerah tsunami sangat sulit untuk mendapatkan lembaga keuangan yang sehat, baik lembaga perbankan sekalipun apalagi koperasi. Berpijak pada realita tersebut sangat sulit menentukan LKM-LKM peserta program BRR, yang mempunyai tingkat kesehatan keuangan yang baik, karena pada kenyataannya LKM Seunuddon Finance tidak memiliki simpanan pokok maupun simpanan wajib. Ditambah lagi tidak tersedia Sumber Daya Manusia yang dilengkapi dengan pengalaman dan kemampuan yang optimal. Pada kenyataannya unsur Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor utama dalam menjalankan suatu lembaga, khususnya lembaga keuangan. Musyawarah dan koordinasi dilakukan di kantor Dekopinda Aceh Utara bulan Maret 2005, antara Dekopinda Aceh Utara, Disperindagkop Aceh Utara, BRR Aceh-Nias Manager Koperasi dan Usaha Kecil dan PT. Bilpas Asri Kencana sebagai konsultan BRR bidang Koperasi dan Usaha Kecil. Hasil musayawarah tersebut ditetapkan dua koperasi di Kecamatan Seunuddon, salah satunya
78 adalah Koperasi Pesantren Bungong Laot. Koperasi ini sudah berdiri sejak tahun 1995, dengan ketua Tgk. H. Gani sampai dengan saat ini, Saiful Amd sebagai sekretaris dan Zulkifli sebagai bendahara. Sedangkan Badan Pengawas diketuai oleh Tgk. Ramli Sabil, anggota Tgk. H. Jamil dan H. Rusli Amat. Kemudian membentuk LKM Seunuddon Finance. LKM Seunuddon Finance menunjuk Aidi Habibie sebagai manager, Darmansyah sebagai staf keuangan dan Tgk. Usman AB sebagai staf administrasi. Kabupaten Aceh Utara memiliki jumlah koperasi yang cukup besar, mencapai 300 buah koperasi dengan berbagai bidang usaha dan melalui Lembaga BRR di Aceh Utara, ada tahun 2005 ada 13 koperasi dengan Lembaga Keuangan Mikro yang dipercaya untuk memberdayakan masyarakat korban tsunami dan konflik yaitu BD. Dewantara, BQ.Al-Amin, Kopontren Humaira, Kop. Pertanian Jambo Aye Makmu, Kopontren Miftahul Jannah, Kop. Krueng Bungka, Kopontren Bungoeng Laot, Kop. Perikanan Aneuk Laot, Kop. Perikanan Harkat Aneuk Laot, BQ.Al Fattah, Kop. Maba Saudara, Kowapi. Cut Nyak Dhien, dan Kop. Perikanan Makmu Beusare. Pada Tahun 2006 ditambah tiga Koperasi
dengan LKMnya yaitu Kop. Mastura, Kop. Neulayan Aneuk
Gampong dan Kop. Krueng Putroe. Di Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara ada dua Koperasi yaitu Kopontren Bungong Laot dan Koperasi Aneuk Laot. Salah satu yang akan dianalisis adalah Kopentren Bungong Laot dengan Lembaga Keuangan Mikro ”LKM Seunuddon Finance”, yang berkedudukan di Gampong Keude Seunuddon Kab. Aceh Utara (Dekopinda AU, 2006). (Lihat lampiran 11)
5.2.2. Penyelenggara, Sumber Dana dan Modal Bantuan Mekanisme penyelenggara program pemberdayaan komunitas korban melalui LKM, diterangkan lebih lanjut oleh Ketua AMF Center Banda Aceh. Bahwa di tingkat Propinsi penyelenggaranya adalah BRR Aceh-Nias dengan mekanisme pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: Pertama, BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi dan Manager Koperasi dan Usaha sebagai pembina dan regulator LKM berbadan hukum koperasi serta menyediakan pedoman umum pelaksanaan. Kedua, Dinas/Instansi di tingkat Propinsi dan Kabupaten memberi dukungan baik bantuan melalui APBD maupun mekanisme koordinasi. Ketiga, BRR melalui Deputi Ekonomi dan manager Koperasi dan UKM melakukan persiapan dalam bentuk orientasi dan observasi serta penyusunan Panduan
79 Teknis LKM yang dapat diterapkan di lapangan serta melakukan monitoring. Keempat, Aceh Mikro Finance Center (AMFC) sebagai wadah pemberdayaan, mengkoordinasikan LKM di seluruh Aceh yang berjumlah 137 LKM. AMF sendiri sudah memiliki 11 Cabang di Kabupaten/Kota. Kelima, BRR melalui konsultan PT. Bilpas Asri Kencana melakukan training 4 kali bagi seluruh ketua Koperasi, manager dan staf LKM dari berbagai daerah di Aceh dan Nias di Banda Aceh. Keenam, Dinas/Instansi Kabupaten/Kota bersama pengurus LKM dan AMF Kab. Aceh Utara melakukan need assesment keluarga dan jenis program yang diperlukan, serta saling koordinasi. Ketujuh, BRR bersama konsultan Bilpas menyiapkan tenaga pendamping dengan mekanisme sebagai berikut: Sosialisasi rekruitmen tenaga pendamping LKM bagi seluruh LKM yang dipercaya yaitu 137 LKM, pihak Konsultan dan BRR menghimpun seluruh nama calon pendamping untuk diseleksi kelayakan, selanjutnya pihak BRR dan Konsultan melakukan seleksi terhadap nama-nama calon pendamping yang masuk dan masing-masing LKM mendapat 1 orang pendamping yang langsung tinggal diwilayah LKM tersebut.Kedelapan, AMF Kab. Aceh Utara sebagai mediator dan mengkoordinir para pendamping dalam melaksanakan perannya. Kesembilan, LKM serta Dinas terkait membantu pendamping dalam melaksanakan peran pendampingan. Kesepuluh, pendamping melakukan peran pendampingan, yaitu pemberi informasi,
perencana,
fasilitator,
partisipator,
mobilisator,
edukator
dan
advokator. Sumber
dana
untuk
membiayai
Kegiatan
LKM
adalah
Anggaran
Pendapatan dan Belanja BRR Tahun Anggaran 2004, 2005, 2006 dan 2007. Bantuan stimulasi modal usaha ekonomi mikro yang diserahkan LKM ditujukan kepada masyarakat korban tsunami dan konflik yang memiliki embrio usaha di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon juga gamponggampong disekitarnya. Pada dasarnya dalam pembiayaan/pinjaman yang diberikan/disalurkan LKM kepada masyarakat ada beberapa jenis pembiayaan khususnya dengan menggunakan program BRR, antara lain: a. Konsep Pinjaman Qardhul Hasan (QH) Pinjaman jenis ini adalah pinjaman (maximal 2 juta) yang hanya mengembalikan pinjaman pokoknya saja dengan cara mencicil (maximal 1 tahun) tanpa harus memberikan bagi hasil keuntungan. Sifat pinjaman ini adalah pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi masyarakat korban gempa dan tsunami yang punya motivasi ingin usaha tapi tidak mempunyai asset produktif. Dari studi
80 ini ditemukan bahwa warga masyarakat yang menerima pinjaman QH ini hampir sebagian besar tidak mengembalikan pinjaman sesuai rencana (sesuai petunjuk teknis). Pada temuan yang lainnya pada masyarakat yang menerima pinjaman QH walaupun usaha mereka telah berjalan kembali dengan baik, tapi mereka masih enggan mengembalikan dana QH tersebut sesuai dengan rencana angsuran. b. Konsep Pembiayaan Mudharabah/Bagi Hasil (MH) Pembiayaan jenis ini adalah pembiayaan (maximal 5 Juta) yang diperuntukkan bagi masyarakat yang telah mempunyai usaha kembali setelah bencana gempa dan tsunami. Pola yang digunakan adalah bagi hasil dari keuntungan sesuai dengan penyertaan yang diberikan LKM kepada masyarakat, dan LKM hanya berhak mendapatkan keuntungan dari penyertaan modalnya sebesar (20 persen – 80 persen) 20 persen untuk LKM dan 80 persen untuk peminjam. Tapi bagi hasil ini tidak harus dibagikan apabila usaha yang dikelola tidak memperoleh keuntungan. Dari hasil studi ini ditemukan masih banyak LKMLKM yang memberlakukan pembiayaan ini sama halnya dengan pembiayaan Musyarakah.1 Pemberlakuan sistem bagi hasil ini pada masyarakat diperoleh temuan beberapa pandangan pro dan kontra, antara lain sebagai berikut : a) Masyarakat yang pro terhadap pola penerapan sistem bagi hasil ini mendapat respon positif dari masyarakat. Umumnya masyarakat bisa menerima sistem bagi hasil ini, karena mereka setuju dengan penerapan apabila mereka mendapat keuntungan mereka bagikan ke LKM (sesuai prosedur) dan apabila usaha mereka tidak memperoleh keuntungan maka mereka tidak harus membagikan keuntungan usaha. Biasanya warga masyarakat yang setuju dengan pola ini adalah mereka yang pencatatan usahanya jelas, lengkap, dan transparan dari pengelola usaha, dengan adanya informasi pendapatan yang jelas, maka dapat dilakukan pembagian secara adil. b) Masyarakat yang kontra dengan sistem bagi hasil ini, biasanya masyarakat tersebut tidak ingin di repotkan dengan perhitunganperhitungan usaha, dan oleh karena itu mereka tidak mengetahui pasti apakah diperoleh keuntungan atau tidak. Di samping pola QH dan MH juga ada pola Ritel, yaitu bantuan bagi hasil bagi pedagang maksimal Rp. 20.000.000,-. Pada Tahap awal LKM “Seunuddon
1
Pinjaman jenis musyarakah adalah pola bagi hasil dengan modal bercampur dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Namun pinjaman ini tidak ditelaah secara khusus dalam studi ini.
81 Finance” menyalurkan kepada 200 keluarga/individu untuk bantuan modal sosial Rp. 2.000.000,-. 140 keluarga/individu untuk bantuan bagi hasil mudharabah Rp. 5.000.000,- dan 4 keluarga/individu untuk bantuan bagi hasil Ritel Rp. 20.000.000,-. Semua stimulan ekonomi mikro ini disalurkan mulai Desember 2005. Bantuan modal usaha mikro ini ditujukan kepada masyarakat korban tsunami dan konflik yang memiliki usaha produktif seperti tambak, nelayan, petani sawah, petani garam, peternak, pedagang dan lain-lain. Pinjaman modal selama 1 tahun sesuai dengan akad perjanjian. Pola pembayaran dapat secara harian, mingguan, bulanan. Bila dilihat dari jenis usaha, untuk bantuan Qaldul Hasan Rp. 2.000.000,banyak disalurkan kepada keluarga dan individu paling miskin setalah tsunami, seperti petani garam dan sawah. Efeknya adalah pengembalian dana menjadi macet. dikarenakan banyak yang tidak memiki usaha yang jelas. Sedangkan untuk bantuan bagi hasil Mudharabah Rp. 5.000.000,- dilakukan pendataan dan verifikasi lapangan dengan baik, kebanyakan untuk usaha pertambakan, nelayan dan dagang kecil. Sedangkan Ritel hanya 4 orang digunakan untuk Dagang. Adanya bantuan ekonomi mikro secara stimulan melalui LKM pada keluarga rentan/miskin yang tergabung dalam kelompok usaha bersama
dirasakan
berdampak cukup besar terhadap kelangsungan usaha mereka sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan mempengaruhi taraf kesejahteraan keluarga miskin menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan program Pemberdayaan melalui LKM dan Koperasi. Pada daerah-daerah bencana alam, program yang diluncurkan biasanya bersifat
kerikatif (penyampaian sumbangan, yang tidak perlu dilunasi). Pada
program pemberdayaan koperasi dan LKM, bentuk santunan diwujudkan dalam jenis Dana Titipan Sosial (Qardhul Hasan). Jenis pinjaman ini ternyata pada temuan
monitoring
di
barak-barak
pengungsi,
terdapat
kecenderungan
masyarakat tidak mau mengembalikan ke LKM. Sudah tepat kiranya dana titipan sosial (Qardhul Hasan) menjadi bagian untuk dari pelayanan LKM. Saran yang dapat disampaikan, adalah: a) Jenis pinjaman Qardhul Hasan hendaknya diusulkan oleh masyarakat yang sungguh-sungguh tidak berdaya, bukan diusulkan oleh mereka yang telah memiliki unit-unit usaha kecil. b) Program pemberdayaan koperasi belum dapat terlihat wujudnya pada saat durasi pelaksanaan program kurang dari 1 tahun. Hal ini ditemukan pada koperasikoperasi program 2005.
82
5.2.3. Pendekatan dalam program LKM Program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM dilaksanakan dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan individual, yaitu kegiatan asistensi keluarga yang dilakukan dengan
memandang
individu
sebagai
bagian
penting
yang
sangat
menentukan keberhasilan Pemberdayaan. 2. Pendekatan keluarga, yaitu kegiatan pemberdayaan ekonomi mikro keluarga yang dilakukan meletakkan keluarga sebagai sentral kegiatan. 3. Pendekatan masyarakat, yaitu kumpulan usaha bersama (KUBE) keluarga dilakukan dengan meletakan masyarakat sebagai sumber penguatan kemampuan keluarga. 4. Pendekatan kelembagaan, yaitu Pemberdayaan ekonomi mikro keluarga yang dilakukan dengan meletakkan berbagai lembaga sebagai penyedia sumber penguatan kemampuan keluarga. Keempat pendekatan di atas, tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat antara lain: 1) Agama dan kepercayaan yang dianut. 2) Sosial dan budaya, berupa hubungan sosial, solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), dan keharmonisan untuk mencapai keadaan yang kondusif dalam masyarakat. 3) Politik, berupa azas-azas yang digunakan dalam pengambilan keputusan (demokratis, akuntabel, pertanggungjawaban, dan transparan). 4) Ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan bagi anggota keluarga. Dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan program LKM dilakukan beberapa sub- kegiatan sebagai berikut: a. Melakukan training bagi Ketua-ketua Koperasi yang terpilih dalam program BRR Aceh Nias. b. Melakukan training bagi manager-manager LKM yang terpilih. c. Melakukan taining bagi staf LKM (staf Administrasi, Finance dan kreditor) d. Melakukan
training
bagi
pengurus
AMFC
baik
propinsi
maupun
Kabupaten/kota. e. Melakukan sosialisasi bagi calon pemetik manfaat (masyarakat) tentang program pemberdayaan ekonomi mikro secara bergulir. f.
Bimbingan kesejahteraan sosial keluarga, dilakukan pada awal, proses dan lanjutan dalam penyelenggaraan program LKM.
83 g. Bimbingan /pemantapan teknis dalam bentuk antara lain pelatihan praktis, pelatihan keterampilan, pendampingan sosial, kemitraan/jaringan dan lainlain. Kesemua bimbingan teknis ini merupakan penunjang dari program LKM secara menyeluruh. h. Bimbingan manajemen usaha kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi mikro produktif, diadakan untuk memberikan bekal kepada sasaran agar dapat mengelola usahanya dengan baik dan bermanfaat bagi keluarga dan lingkungannya. Pelaksanaan LKM menggunakan media bimbingan sosial, stimulan usaha ekonomi mikro, dan sekaligus pembinaan kepada pihak-pihak yang berpengaruh terhadap kelompok sasaran. Seluruh kegiatan pada prinsipnya dilakukan atas dasar prakarsa atau inisiatif keluarga, sedangkan pihak penyelenggara adalah memfasilitasi inisiatif tersebut. Semua kegiatan diatas belum berjalan dengan baik.
5.2.4. Pengembangan Ekonomi Lokal Ekonomi lokal belum menunjukkan perubahan yang berarti dalam masyarakat Keude Simpang Jalan setalah mendapat modal usaha dari LKM Seunuddon Finance. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a. Strategi penyaluran modal bantuan LKM, banyak yang belum
tepat
sasaran. Pengurus LKM tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi lapangan terhadap kebutuhan atau kelayakan calon penerima bantuan. Sehingga dana yang disalurkan tidak berkelanjutan artinya terjadi kredit
macet.
Sesuai
dengan
pendapat
Syaukat
(2005),
bahwa
pengembangan ekonomi lokal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. b. Modal usaha yang diterima oleh masyarakat lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini dikarenakan pasca tsunami dan konflik masyarakat kehilangan matapencaharian. Lahan tambak, sawah belum berfungsi dengan baik. c. Kerjasama dalam masyarakat (lokal) di Keude Simpang Jalan juga belum berjalan dengan baik. Menurut Syaukat (2005) salah satu syarat untuk menumbuhkan ekonomi lokal adalah kerjasama dari seluruh masyarakat lokal tersebut. Hal ini diketahui dari hasil FGD dan wawancara dilapangan, bahwa proses perencanaan, implementasi dan monitoring dan evaluasi
84 terhadap program LKM tidak melibatkan masyarakat lokal secara aktif. Sehingga
bagi
warga
masyarakat
yang
mendapat
modal
usaha
menganggap sebagai hibah dari pemerintah sedangkan yang tidak mendapat modal dari LKM menjadi sumber konflik baru di Gampong Keude Simpang Jalan. Sumber-sumber potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Dalam perekonomian, permasalahan pokok yang harus dipecahkan adalah untuk siapa barang tersebut didistribusikan, bagaimana cara memproduksi barang, dan barang apa yang akan diproduksi. Untuk siapa barang tersebut didistribusikan sangat erat kaitannya dengan masalah pemasaran. Hal ini berarti barang tersebut akan diproduksi jika ada permintaan dari konsumen, sehingga untuk menjangkau pasar yang lebih luas tergantung dari permintaan pasar (demand creates own supply). Konsumen yang terjangkau oleh LKM sebagian besar hanya masyarakat
Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon
belum dapat menjangkau pasar yang lebih luas, apa lagi ekspor. Pasar andalan saat ini masih tertuju ke Medan. Padahal produk perikanan dan kelautan sangat potensial untuk pasar internasional.
5.2.5. Modal Sosial dan Gerakan Sosial Modal sosial meliputi partisipasi, kerjasama, gotong royong, kepercayaan (trust), saling tolong menolong, kelembagaan-kelembagaan yang berhubungan dengan sosial, ekonomi, agama, politik, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Asosiasi dan jaringan lokal seperti adanya Majelis Taklim dan kelompokkelompok pengajian yang melembagakan nilai-nilai moral dan norma-norma yang harus dipatuhi dapat memunculkan kepercayaan. Gampong Keude Simpang Jalan, seperti halnya Gampong-gampong lain di Nanggroe Aceh Darussalam memiliki modal sosial yang terus berkembang dalam masyarakat lokal. Namun pasca tsunami dan konflik, dari hasil wawancara dan FGD dilapangan didapati fakta yang berbeda. Bahwa realitas modal sosial sudah mulai bergeser atau mulai hilang dalam masyarakat. Partisipasi, kerjasama, gotongroyong, lembaga adat, saling kepercayaan dan tolong menolong, kepercayaan terdapat pemerintah dan tokoh agama, tokoh masyarakat (keuchik, imum mukim, imum meunasah, tuha peut, tuha lapan, ketua adat dll) dalam masyarakat lokal mulai luntur. Tatanan sosial mulai bergeser menuju ranah
85 indivualistik, materialistik dan ekonomi kapitalistik. Hal ini terbukti, semua hubungan interaksi dilandasi oleh kepentingan uang. Mengikuti konsepsi tentang modal sosial sebagaimana telah dijelaskan, maka Program Pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM merupakan modal sosial karena apa yang digambarkan oleh modal sosial juga terdapat pada Koperasi dan LKM, yaitu: a) Koperasi dan LKM merupakan serangkaian norma (norms) dan jaringan (network) yang dapat menggerakan keluarga rentan/miskin untuk melakukan tindakan secara bersama-sama (kolektif) yang diwujudkan dalam kelompok usaha bersama berdasarkan kekeluargaan, perasaan senasib sepenanggungan, semangat gotong royong, dan komitmen untuk berjuang bersama diantara mereka, menimbulkan solidaritas dan keterikatan yang kuat diantara kelompok. Semangat ini merupakan bentuk modal sosial yang mampu menciptakan kohesi kelompok. b) Dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM, setiap anggota kelompok saling berelasi, berinteraksi satu sama lain secara timbal balik (reciprocity) atas dasar kepercayaan (trust), hak dan kewajiban. Setiap anggota mengembangkan
kelompok ini juga
modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan
aktif, partisipasi, dan demokrasi dalam wadah kelompok usaha bersama. c) Koperasi melalui LKM sebagai program pemberdayaan ekonomi mikro keluarga
miskin
berupaya
untuk
mengembangkan
aspek
lokalitas
dan
mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dan sumber-sumber terkait sehingga program dilaksanakan secara terpadu, saling mengisi dan memperkuat
(bersinergi)
dalam
mewujudkan
tujuan
bersama
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terjadinya gerakan sosial pada program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM karena adanya deprivasi ekonomi dan sosial, seperti hilangnya peluang untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mengakses sumbersumber yang ada di masyarakat sehingga mereka berada dalam situasi kekurangan dan penderitaan. Jadi program ini sejatinya merupakan gerakan sosial karena bertolak dari gejala yang meningkat terutama dikalangan komunitas korban tsunami lapisan bawah. Dalam prosesnya dilakukan dengan memobilisasi berbagai potensi yang ada di masyarakat ke dalam peran terorganisir. Program Pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM ini pun memberikan momentum kemudahan situasional yang menunjang terjadinya suatu tindakan sosial.
86
5.3. Konflik dalam Program LKM Konflik yang terjadi di Gampong Keude Seunuddon dapat dikatakan masih merupakan konflik yang bersifat laten, tetapi bila potensi konflik ini tidak dikelola dengan baik maka dapat berkembang menjadi konflik yang nyata. Salah satu contoh isu konflik yang ada di Gampong Keude Seunuddon adalah masalah yang berkaitan dengan bantuan dari LKM. Warga masyarakat pada umumnya menganggap bahwa bantuan yang datang dari pemerintah adalah hibah. Persepsi seperti ini juga terjadi pada anggota kelompok usaha bersama LKM yang menganggap bantuan stimulan LKM sebagai hibah yaitu pemberian cumacuma dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan sehinga terjadi kemacetan pengembalian pinjaman modal usaha. Sementara pengurus kelompok usaha bersama LKM menekankan pada anggotanya bahwa bantuan tersebut harus dikembalikan agar dapat digulirkan. Pengembalian modal pinjaman dilakukan dengan cara mencicil sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Namun kenyataannya ada sebagian anggota tidak menepati kesepakatan yang telah dibuat bersama antara pengurus dan anggota dalam kelompok usaha bersama tersebut. Kemacetan dalam pengembalian pinjaman modal usaha ini memunculkan inisiatif pada pengurus dan anggota lain yang lancar untuk menagih secara langsung pada peminjam yang menunggak dan memberikan sanksi pada pemimjam yang tidak menepati kesepakatan dengan cara tidak diberikan lagi pinjaman modal usaha. Akan tetapi cara ini menimbulkan rasa tidak suka dari anggota yang macet pengembalian pinjamannya. Mereka tetap menganggap bantuan modal tersebut tidak perlu dikembalikan, karena pengalaman sebelumnya banyak bantuan modal dari pemerintah dan BRR bagi keluarga miskin tidak dikembalikan dan ternyata tidak pernah ada sanksi. Anggapan bahwa bantuan modal dari pemerintah dan BRR adalah pemberian yang tidak perlu dikembalikan sudah mengakar pada masyarakat. Selain itu, muncul juga prasangka anggota terhadap pengurus kelompok usaha bersama, bahwa pengurus telah menyelewengkan bantuan modal untuk kepentingannya sendiri. Anggapan lainnya, ketidakadilan dalam jumlah bantuan yang dipinjam bahwa pengurus dapat leluasa meminjam modal usaha dan anggota yang punya kedekatan hubungan dengan pengurus diberi kemudahan dalam meminjam modal usaha.
87
5.3.1. Pemetaan dan Penyebab Konflik di LKM Konflik yang terjadi di Gampong Keude Seunuddon bukan hanya melibatkan pengurus dan anggota melainkan ada pihak yang terkait dan berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Pihak-pihak tersebut adalah Geuchik, tokoh masyarakat, Pemetik Manfaat, masyarakat yang tidak mendapt bantuan dan anggota masyarakat yang pernah menerima bantuan dana dari pemerintah. Keterlibatan
pihak-pihak yang terkait dalam konflik secara lebih jelas terlihat
dalam Gambar 3. Gambar 3. Pihak-pihak yang terkait dengan konflik di LKM
PIHAK YANG TERKAIT DENGAN KONFLIK DI GAMPONG KEUDE SEUNUDDON A 1999 MASYARAKAT YANG TIDAK MENDAPAT MODAL DAN TOKOH MASYARAKAT
PEMETIK MANFAAT KREDIT MACET
: Konflik WARGA LAIN
PENGURUS LKM DAN KOPERASI
MUSYAWARAH
utama ANGGOTA : Hubungan yang kuat YANG RAJIN : Memberikan dukungan : Cara yang ditempuh untuk mengatasi konflik
: Konflik Utama : Hubungan yang kuat : Memberikan dukungan : Cara yang ditempuh mengatasi konflik
Dari Gambar 3 terlihat bahwa konflik utama yang terjadi di LKM Seunuddon Finance adalah
antara anggota yang menunggak pinjaman dan
pengurus LKM. Anggota yang menunggak mendapat dukungan dari warga lain yang pernah menerima bantuan dana dari pemerintah dan sampai saat ini mereka juga tidak membayar pinjaman yang diberikan. Sementara anggota yang disiplin dalam mengembalikan pinjaman sesuai dengan peraturan memberikan dorongan kepada pengurus untuk memberikan sanksi. Upaya yang pernah
88 dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan jalan musyawarah yang melibatkan Geuchik, pendamping, AMF Kab. Aceh Utara dan tokoh masyarakat yang netral. Masalah utama dalam konflik di LKM Seunuddon Finance adalah macetnya pengembalian pinjaman sebagai modal usaha. Penyebab yang sifatnya laten dari konflik ini adalah timbulnya prasangka anggota terhadap pengurus, adanya anggapan yang salah tentang bantuan pinjaman yang diberikan, adanya dorongan dari warga lain yang pernah menerima bantuan dri pemerintah dan tidak mengembalikan pinjaman yang diberikan, dan kurangnya sanksi terhadap anggota
yang
melanggar
kesepakatan.
Diagram
pohon
konflik
berikut
menjelaskan tentang masalah inti, penyebab, dan efeknya (Gambar 4). Gambar 4. Masalah inti, penyebab dan efek konflik di LKM.
Penyebab Konflik LKM
KECEMBURUAN ANGGOTA YANG TAAT
MENJELEKJELEKKAN PNGURUS
EFEK MENGHINDAR BERTEMU PENGURUS
TIDAK MENGHADIRI PERTEMUAN
TIDAK MENGEMBALIKAN PINJAMAN
MASALAH INTI Æ
KREDIT MACET DI LKM
PENYEBAB
PEMAHAMAN PEMAHAMAN YANG YANG SALAH SALAH PRASANGKA TERHADAP DORONGAN PRASANGKA TERHADAP DORONGAN WRGA WRGA LAIN LAIN 1/10/2004 17 PENGURUS KURANGNYA PENGURUS KURANGNYA SANKSI SANKSI USAHA USAHA MACET MACET
5.3.2. Kebutuhan dan Kepentingan Pihak-Pihak Berkonflik Masalah kredit macet di LKM Seunuddon Finance disebabkan perbedaan kebutuhan penunggak
dan
kepentingan
dengan
pengurus
yang
saling
LKM.
bertentangan
Analogi
bawang
antara bombay
anggota berikut
menggambarkan kebutuhan, kepentingan dan posisi dari kedua belah pihak yang berkonflik.
89
Gambar 5. Kebutuhan, kepentingan dan posisi pihak yang berkonflik di LKM.
KEP ENTINGAN DAN KEBUTUHAN PIHAK YANG BERKONFLIK
Pemetik Manfaat Penunggak
Tersedia fas ilitas pinjam an modal
Pengurus LKM Ke berlanjutan dan pe ngembangan us aha
Menambah pendapatan Menyambung hidup
Ke butuhan
Bantuan LKM perlu digulirk an
Ke pentingan Bantuan LKM adalah dari pemerintah, tidak perlu dikembalik an 1/10/ 2004
Pos is i
Bantuan LKM buk an pemberian, te tapi pinjam an yang harus dikembalik an
18
Dari Gambar 5 tampak bahwa terjadi perbedaan antara kebutuhan, kepentingan dan posisi dari kedua pihak yang berkonflik. Bagi pengurus, kebutuhan mereka adalah mengembangkan LKM agar dapat berkelanjutan. Kepentingan mereka adalah menggulirkan bantuan yang berasal dari pemerintah kepada anggota-anggotanya, sementara posisinya adalah bahwa pengurus bertanggung jawab terhadap pengembalian bantuan karena bantuan yang digulirkan bukan merupakan pemberian, tetapi berupa pinjaman. Bagi anggota, kebutuhan mereka adalah meningkatkan pendapatan sehingga dapat memenuhi kebuthan pokok. Kepentingan mereka adalah terdapat fasilitas bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan BRR melalui LKM, dan posisi (apa yang mereka katakan) adalah bahwa bantuan dari pemerintah dan BRR tidak perlu dikembalikan karena bantuan lain yang tidak dikembalikan tidak ada sanksinya.
5.3.3. Perundingan dan sasaran yang hendak dicapai Dalam rangka mengusahakan kembalinya pinjaman dari anggota yang menunggak dan menjelaskan permasalahannya, pengurus LKM melakukan koordinasi dengan Geuchik, pihak BRR dan AMF Kabupaten. Atas dasar itu, Geuchik dan AMF menghubungi anggota yang menunggak untuk melakukan pertemuan. Pertemuan diselenggarakan dengan dihadiri oleh pengurus, anggota yang menunggak pembayaran, Geuchik serta tokoh masyarakat. Kesepakatan
90 yang dicapai dari pertemuan tersebut adalah kesediaan para anggota untuk melunasi pinjamannya dengan cara mencicil dalam waktu yang diperpanjang. Setelah pertemuan, hubungan antara anggota dan pengurus tersebut mengarah kembali normal. Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian konflik melalui pertemuan belum mampu menyelesaikan konflik secara tuntas. Ada beberapa masalah yang belum terselesaikan. Masalah tersebut adalah: a) Tidak ada jaminan ketepatan waktu dalam pengangsuran pinjaman. b) Masih berkembang prasangka yang kurang baik terhadap kejujuran pengurus. c) Tidak ada sanksi bagi pelanggar kesepakatan. Penyelesaian diupayakan
melalui
konflik antara
musyawarah
diantara
anggota dan pengurus LKM kedua
belah
pihak.
Melalui
musyawarah diharapkan kedua belah pihak dapat menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan masing-masing pihak, sehingga didapatkan suatu titik temu yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Sasaran yang ingin dicapai dari musyawarah ini adalah: a) Anggota yang menunggak dapat mengembalikan pinjaman sehingga dapat digulirkan kepada anggota lain. b) Tercipta hubungan yang harmonis antara anggota dan pengurus. c) Pengelolaan keuangan LKM dilaksanakan secara transparan, sehingga tidak menimbulkan prasangka negatif anggota kepada pengurus. d) Bagi warga masyarakat yang belum mendapat bantuan modal usaha dari LKM perlu mendapat penjelasan secara jelas. Sehingga tidak muncul kecemburuan sosial. Secara rinci langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rancangan tindakan langsung terhadap konflik di LKM Seunuddon Finance di Gampong Keude Seunuddon berdasarkan praktek lapangan II adalah sebagaimana nampak pada Tabel 5. Tabel 5. Rancangan Tindakan Langsung dalam Penyelesaian Konflik Tahap Kegiatan Perencanaan - Mengadakan pertemuan - Memfasilitasi terlaksananya pertemuan
- Pihak I - Pihak II - Geuchik - Tokoh masyarakat
Pihak yang Terlibat
- Wawancara - Diskusi
Metode Kerja
Pelaksanaan Pertemuan/musyawarah untuk mencapai komitmen dan menyusun langkah
- Pihak I - Pihak II - Geuchik - Tokoh Masy. - Anggota lain
Dialog Diskusi Musyawarah Pengamatan Lapangan
Hambatan/Risiko Karena kedua belah pihak memiliki pandangan berbeda, kemungkinan sulit mengakomodir pendekatan yang cocok bagi kedua belah pihak. Kemungkinan salah satu atau kedua belah pihak melanggar kesepakatan.
91 pemeliharaan.
Monitoring dan Evaluasi - Melaksanakan pengawasan - Evaluasi
Kemungkinan adanya pihakpihak tertentu yang sengaja mempertahankan konflik
- Pihak I - Pihak II - Geuchik - Tokoh Masyarakat. - Anggota lain
- Pengamatan Lapangan - Diskusi
Kemungkinan kedua belah pihak saling menyalahkan satu sama lain.
Hasil wawancara tentang evaluasi program pemberdayaan melalui LKM Gampong Keude Simpang Jalan, diperoleh informasi bahwa setelah dikucurkan dana bantuan dari BRR Aceh-Nias melalui lembaga LKM/Koperasi selain tingkat keberdayaan, keberlanjutan program dalam masyarakat yang masih terabaikan, malah memunculkan konflik baru dalam masyarakat lokal tersebut. Konflik tersebut dipicu oleh pihak-pihak yang tidak mendapat bantuan modal dari LKM sedangkan mereka sudah mengumpulkan KTP sejak awal program yaitu bulan Juni tahun 2005. KTP yang terkumpulkan melebihi dari kapsitas dana yang ada. Selain itu, ada pihak-pihak yang dikatagorikan sebagai provokator atau pihak yang tidak senang dengan kepengurusan koperasi dan LKM. Mereka menjadi salah satu penghambat dalam keberlanjutan program. Mereka menghembuskan wacana bahwa dana bantuan LKM tidak perlu dikembalikan karena bersifat hibah dari BRR Aceh-Nias. Konflik bertambah besar ketika ada anggota Koramil, Polsek, perangkat kecamatan, perangkat Gampong, perangkat Mukim yang mendapatkan modal bantuan dari LKM sedangkan mereka menurut masyarakat tidak berhak mendapat dana tersebut. Ada juga warga masyarakat yang dikatagorikan mampu dan tidak mengalami musibah stunami dan konflik, malah mendapat bantuan sehingga masyarakat mempertanyakan ulang tujuan program tersebut. Bahkan ada informasi bahwa pengurus LKM dan koperasi pilih kasih, tidak transparan sehingga masyarakat menuduh terjadi korupsi dana LKM juga memunculkan kecemburuan sosial dalam masyarakat. Konflik juga terjadi dalam interen pengurus koperasi dan LKM. Konflik interen ini muncul sejak awal program implementasikan berkaitan dengan memilih kepengurusan LKM (manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan/debitor). Selain itu, banyak warga masyarakat yang mendapat bantuan ketika diundang tidak mau hadir, menghindari bertemu dengan pengurus LKM dan koperasi, bahkan menjelek-jelekkan pengurus LKM. Untuk mengatasi konflik
92 tersebut, dari FGD dan wawancara yang pengkaji lakukan didapatkan solusi bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mesti bermusyawarah dan juga pemahaman ulang tentang program yang sedang berjalan.
5.4. Evaluasi dan Prospek Keberlanjutan Program LKM 5.4.1.
Evaluasi Program LKM
a. Pandangan Terhadap Kinerja Umum BRR Aceh-Nias Evaluasi terhadap gagasan, ide, arah, kebijakan dan kebijakan program pemberdayaan
dan
pengembangan
koperasi
melalui
LKM
untuk
memberdayakan kehidupan ekonomi komunitas korban tsunami, dilakukan oleh pengkaji mulai praktek lapangan I,II dan III. Seluruh ide, gagasan, arah dan kebijakan tentang program, merupakan sebuah konsep yang komprehensif dalam menata kembali perekonomian rakyat Aceh pada pasca bencana gempa dan tsunami mulai tahun 2005 sampai dengan selesainya masa bakti BRR NADNias pada tahun 2009. Akhir masa tugas BRR tahun 2009, semua tugas, fungsi, seluruh asset yang tetap dan bergerak diserahkan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu aset penting dengan dana triliyunan rupiah adalah program pemberdayaan koperasi/LKM untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat khususnya korban tsunami. Program yang dikucurkan sejak tahun 2005 oleh BRR Aceh-Nias telah membawa pro dan kontra dalam dinamika masyarakat NAD. Pilihan terhadap lembaga berbadan-hukum Koperasi sebagai alat mediasi pengelolaan fasilitas dana BRR yang harus disalurkan ke komunitas korban, pada satu sisi merupakan langkah yang paling aman ditilik dari aspek legalitasformal sebuah lembaga yang akan menerima dana pemerintah. Namun pada sisi yang lain ternyata mengundang banyak tanggapan khususnya dari pihak institusi atau individu yang memiliki pandangan terhadap koperasi/LKM sebagai sebuah lembaga yang bercitra kurang positif. Evaluasi terhadap keterlibatan (partisipasi) komunitas korban menunjukkan bahwa komunitas korban karena kondisi dan situasi musibah, keterlibatan mereka terabaikan. Hal ini diungkapkan oleh Staf Pembiayaan LKM DS: ”..kami dari pengurus koperasi dan LKM hanya menyalurkan dana bantuan BRR kepada masyarakat yang berhak, dalam penentuan masyarakat yang berhak kami hanya berkoordinasi dengan aparat Gampong itupun hanya sebatas masukan umum. Wewenang besar dalam memilih ada pada koperasi/LKM. Kami tidak tahu bagaimana harus melibatkan masyarakat,
93 semua masyarakat yang tahu ada dana bantuan mendatangi kami, kami kewalahan, dengan waktu yang sedikit”. Penerapan prinsip partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam konteks pemberdayaan ekonomi mikro komunitas korban stunami di Aceh masih sangat kurang. Hal ini juga diungkapkan oleh Ketua AMF center Banda Aceh sekaligus sebagai ketua Dekopinda Aceh Utara Drh. BHS. “..kita ketahui program ini lahir dari BRR Aceh-Nias, sehingga dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi program pemberdayaan koperasi dan LKM untuk memberdayakan dan pengembangan komunitas korban tsunami keterlibatan korban tsunami relatif tidak ada. Partisipasi masyarakat hanya ketika dana masuk ke rekening LKM/koperasi artinya masyarakat mendatangi LKM untuk mendapat modal usaha. Itupun bagi masyarakat yang mendapat informasi dari mulut ke mulut. Bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi? Sosialisasipun tidak dilakukan, program terkesan terburu-buru hanya ingin menghabiskan dana secara instan, tanpa pemahaman yang jelas dalam masyarakat. Akibatnya kemanfaatan dan keberlanjutan program masih menjadi pentanyaan besar sampai saat ini”. Prospek keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami melalui koperasi/LKM yang mendapat suntikan dana dari BRR Aceh-Nias belum jelas. Besarnya dana yang dikucurkan oleh BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi untuk pemberdayaan ekonomi mikro di Aceh, belum menjadi jaminan program tersebut akan bertahan dan berlanjut dalam komunitas korban tsunami. Hasil observasi dan wawancara serta diskusi fokus group yang dilakukan pengkaji, menunjukkan indikasi tersebut. Keberlanjutan program tersebut masih menjadi pertanyaan. Artinya mesti dilakukan penelitian, pengkajian dan evaluasi ulang secara menyeluruh berkaitan dengan program penguatan ekonomi mikro tersebut. Walaupun demikian nada optimis muncul dari Deputi Ekonomi BRR Aceh Nias. Optimisme ini muncul, menurut pengkaji lebih kepada keberhasilan bidang ekonomi dalam upaya menghabiskan anggaran, tanpa dilandasi evaluasi mendalam tentang keberhasilan dan keberlanjutan program tersebut. Dalam sebuah wawancara, Deputi Ekonomi Sayed Faisal, kamis 4 Oktober 2007 dengan Koran Waspada mengatakan, bahwa dalam dua tahun terakhir, BRR giat melakukan program pemberdayaan ekonomi. Ada dua misi utama yang diemban oleh Kedeputian Ekonomi dan Usaha BRR Aceh-Nias yakni pada tahun-tahun awal fokus tugas untuk memperbaiki sektor usaha yang rusak, dimana bencana gempa dan tsunami menyebabkan sektor produktif merugi sekitar US$ 1,2 miliar. Kemudian, mulai
94 tahun ini tugas kedeputian adalah melakukan penguatan pondasi ekonomi yang berkelanjutan. Perbaikan ekonomi masyarakat ini ditunjang dengan pengembangan sentra-sentra porduksi seperti sentra kerajinan batik Aceh, sentra pengolahan ikan, pengembangan kawasan peternakan, terminal agribisnis, penguatan IOO (Investor outreach office) untuk menarik investor dalam dan luar negeri. Telah diresmikannya
Klinik
Kemasan
dan
Merk
untuk
UKM
yang
berfungsi
meningkatkan daya tarik agar tembus ke pasar pada berbagai kemasan dan merk, serta telah diresmikannya EDC (export development centre) yang menjadi pusat pengembangan ekspor baik untuk tingkat nasional maupun internasional. Selain itu juga telah melakukan kegiatan pelatihan, seperti life skill, perikanan, pertanian, peternakan untuk meningkatkan kualitas pelaku sektor riil ekonomi kecil. (Jumlah peserta pelatihan, melalui satuan kerja BRR Life Skill untuk tahun 2006 telah dilatih sebanyak 3.691 orang. Sayed Faisal menyebutkan, satuan kerja BRR Tenaga Kerja telah dilatih sebanyak 7.244 orang, masing-masing tahun 2005 sebanyak 3.947 orang dan tahun 2006 sebanyak 3.297 orang. Total jumlah peserta pelatihan sebanyak 10.935 orang). Guna mendukung program pemberdayaan ekonomi, BRR mendirikan lembaga keuangan mikro, dengan tujuan semua program dalam berkesinambungan setelah tugas BRR berakhir 2009. Angka realiasi keuangan Tahun Anggaran 2007 per 1 Oktober 2007 untuk Bidang Ekonomi dan Usaha baik di provinsi dan regional secara keseluruhan sudah mencapai rerata 30,79 persen. Kemudian angka realiasi kegiatannya sudah mencapai 36,44 persen. Serapan keuangan akan meningkat tajam pada bulan-bulan berikutnya, karena kegiatan di bidang ekonomi dan usaha pada umumnya bersifat swakelola (80 persen) dan kontraktual (20 persen). Selektivitas terhadap calon beneficiaries, penyesuaian kondisi iklim untuk bidang pertanian, dan penentuan lokasi kegiatan yang memerlukan koordinasi dengan pemerintah daerah merupakan tahapan yang harus ditempuh, yang notabene memerlukan waktu. Dalam sebuah seminar nasional di Jakarta Gedung Bidakara yang diselenggarakan oleh Bappenas dan BRR Aceh-Nias pada 30 Juli 2007, Kebetulan Pengkaji berkesempatan hadir sebagai peserta. Dalam wawancara kecil dengan Sayed Faisal juga mengungkapkan; bahwa ada 5 (lima) hal yang menjadi penyangga pondasi ekonomi Aceh, yakni pertama fokus pada ekonomi kerakyatan, kedua peningkatan investasi, ketiga perdagangan internasional,
95 keempat nilai tambah produk, dan kelima penguatan pengusaha dan institusi bisnis lokal. Ekonomi kerakyatan yang pada intinya memacu sektor produktif agar berkembang telah dilaksanakan melalui pemberian modal yang mudah dan tanpa agunan. Jika pada tahap awal perhatian utama pada kecepatan dana turun dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berusaha, maka saat ini fokus kita pada penguatan lembaga keuangan termasuk SDM-nya. Kemudian investasi terus diupayakan untuk dapat berkembang di Aceh, karena tanpa investasi, kegiatan ekonomi berkelanjutan susah dicapai. Di samping ini pembentukan EDC (Export Development Center) atau pusat pengembangan ekspor juga diarahkan sebagai lembaga penunjang pemasaran produk-produk Aceh ke luar (dalam dan luar negeri). Satu hal lagi, suatu produk akan tembus ke pasar apabila memiliki daya tarik, sehingga tahun 2007 ini juga diresmikan Klinik Kemasan dan Merk untuk UKM. BRR memprogramkan ‘exit strategy’ melalui lembaga Aceh Micro Finance, yang berperan dalam melakukan supervisi pembinaan kepada LKM-LKM. Dengan demikian pengelolaan dana di LKM-LKM tersebut akan tetap dapat di supervisi/dibina oleh AMF. BRR dan Pemerintah Aceh saling bahu membahu dalam mengimplementasikan program pemberdayaan ekonomi di Aceh. Melalui pembentukan "joint secretariat" atau Sekretariat bersama antara Pemda dan BRR yang ditunjang dengan telah dibentuknya Regionaliasi (Regional I – VI) merupakan langkah yang ditempuh BRR dalam proses pengalihan aset baik program dan operasional kepada pemerintah daerah. Di samping itu kegiatan akan lebih banyak kepada peningkatan kapasitas lembaga Pemda untuk mengelola aset dan melanjutkan program yang telah dijalankan oleh BRR. Seorang kawan pengkaji, ID seorang mahasiswa di Lhokseumawe, mengirim email pada pengkaji berkaitan dengan program LKM ini, pada 04 Oktober 2007, menurutnya; ”kita tidak perlu terlalu berprasangka negatif apa lagi secara berlebihan, coba lihat saja yang telah dikerjakan BRR mulai rehabilitasi mental masyarakat korban konflik, rekontruksi kawasan dan infrukstur daerah tsunami, pemberian modal usaha kepada masyarakat korban tsunami & dan korban konflik, kemudian BRR mengirim ratusan mahasiswa S1 dan s2 mendapat kesempatan belajar ke luar negeri, ratusan Lembaga keuangan mikro didirikan, ratusan pemuda tuna karya mendapat pelatihan dan kursus ketrampilan tepat guna. belum puasnya layanan masyarakat terhadap layanan LKM tentunya harus dipahami ada bebagai permasalahan, tidak semua orang yang datang ke LKM akan mendapat pinjaman, hanya bagi mareka yang betul-betul mau menjalankan berusaha dan berkarakter jujur yang akan mendapat prioritas, karena hal
96 ini berkaitan dengan jumlah pinjaman macet yang terjadi di LKM saat ini karena LKM rata-rata tidak membebankan agunan pinjaman bagi peminjam. sebagai contoh sekitar 40% dana modal usaha BRR melalui LKM saat ini macet”. Ada juga yang berpendapat, IS, ML dan MT mengenai pernyataan Deputi ekonomi BRR Aceh-Nias berkaitan wawancaranya dengan koran waspada tanggal 4 oktober 2007, yang terkirim ke email pengkaji. Menurutnya IS; ”merupakan sebuah pembenaran terhadap apa yg sudah dilakukan oleh BRR mengenai kinerja nya selama ini dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh- Nias. Jangankan berbicara tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat korban tsunami, tapi rekonstruksi perumahan saja belum selesai dan masih banyak para korban yang belum mendapat bantuan perumahan yang menjadi hak-hak dasar korban yang menjadi kewajiban BRR untuk melakukan pemenuhannya. Mengenai tentang pembentukan sektretat bersama antara BRR dan Pemda yang orientasinya untuk penguatan kapasitas pemda semata. Begitu juga dengan pemberdayaan ekonomi yang sudah dijalankan, begitu banyak masalah yang tersisa di daerah program baik yang bersumber dari BRR maupun yang dilakukan langsung oleh para donor”. Namun demikian, juga perlu disampaikan bagaimana pendapat pengamat tentang keberadaan BRR dengan berbagai programnya. Salah seorang tokoh Aceh yang konsisten mengamati perkembangan masyarakat Aceh adalah Teuku Kemal Fasya dalam sebuah artikelnya di kompas 12 Mei 2007, yang berjudul; Bersama BRR, Aceh Tetap Menderita, juga memberi masukan yang sangat berarti kepada BRR dengan program pemberdayaan ekonomi mikronya. Menurutnya, tanggal 30 April lalu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi AcehNias memperingati tahun kedua keberadaannya. Namun, suasana di Aceh tidak gempita di mata korban tsunami. Tiada hiasan umbul-umbul yang menyemangati keberadaan super body yang dibentuk berdasar Perpu No 2/2005 itu, kecuali sederet permasalahan yang masih menumpuk. Kado terburuk bagi puluhan ribu pengungsi yang masih tinggal di barakbarak kumuh dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan memprihatinkan. Problem lain adalah komitmen sosial para pekerja BRR yang lemah. Kebanyakan pengelola Badan Pelaksana bukan orang Aceh atau tidak berasal dari komunitas aktivis yang dikenal berhasil melakukan pekerjaan sosial dengan cepat dan tepat. Sebagian besar adalah "profesional kantoran" yang tidak menguasai lapangan dan lemah pengalaman partisipatif dalam mengatasi bencana alam dan sosial. Dibandingkan dengan lembaga sejenis di negara lain, peran BRR sama sekali tidak memiliki fokus. Pada kasus gempa di Kobe, Pemerintah Jepang
97 hanya fokus kepada program perumahan dan infrastruktur. Demikian pula pada penanganan bencana tsunami di Andaman dan Nikobar, Pemerintah India mendelegasikan wewenang kepada lembaga independen yang bertugas mengurangi derita bencana (disaster reduction) yang "hanya" bertujuan pokok pada pemulihan ekonomi, perbaikan infrastruktur air, pemberdayaan perempuan, dan peningkatan kapasitas masyarakat desa”. Menurutnya, Prinsip ingin melakukan semua telah membuat banyak proyek rehabilitasi menjadi "setengah matang" di perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Terlalu banyak perencanaan, sedikit tindakan, tetapi terlalu besar risiko anggaran yang dikeluarkan. Struktur BRR yang terus menggelembung untuk gaji, biaya operasional, dan pengadaan alat yang menghabiskan lebih dari dua pertiga dari total anggaran menjadi masalah prinsipiil. Hingga Maret 2007 keberadaan pegawai BRR telah mencapai 1.297 orang. Anggaran untuk menggaji mereka adalah Rp 14,03 miliar per bulan atau Rp 168,4 miliar per tahun. Dan jumlah ini terus menunjukkan grafik meningkat per semester. Anggaran transportasi staf sebesar Rp 2,7 miliar per bulan, membuka peluang distortif untuk kepentingan jalan-jalan gratis atau weekend ke luar kota dan atau ke luar negeri. Pemikiran
konkret
yang
harus
diambil
untuk
mengakhiri
infeksi
inkompetensi dan kelambanan kinerja BRR adalah secepat mungkin melepas mandat dan menyerahkan wewenang rehabilitasi dan rekonstruksi kepada pemerintahan yang terpilih melalui pilkada 11 Desember lalu. Wacana awal pembentukan BRR adalah menjadi lembaga yang terpercaya dalam koordinasi dan konsolidasi anggaran dari pemerintah dan dunia internasional (6,1 miliar dollar AS dari komitmen 7,5 miliar dollar AS pada awal tsunami) sekaligus menengahi problem korupsi yang terjadi di Aceh karena kepemimpinan daerah yang lemah. Berbagai nada optimis sekaligus pesimis dalam proses keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat melalui koperasi/LKM bermunculan dalam masyarakat baik di Aceh sendiri maupun luar Aceh. Namun yang pasti keberhasilan program tersebut mesti dikembalikan kepada komunitas korban sendiri. Keterlibatan sejak awal perencanaan sampai proses evaluasi; komunitas korban semestinya diikutkan. Harapan kini satu transisi telah selesai dengan hadirnya figur Irwandi Yusuf sehingga tak ada peluang untuk menunda mengembalikan tanggung jawab di tangan masyarakat Aceh sendiri. Menurut
98 pengkaji, proses phasing out/pengalihan yang dipercepat akan mengakhiri penyakit birokratisme dan gaji yang supermewah yang dirasakan pegawai BRR saat ini. Sebagai perbandingan, gaji Kepala BRR sebesar Rp 60,6 juta dan pegawai terendah sebesar Rp 10 juta per bulan tidak sebanding dengan kinerja yang telah ditunjukkan. Sebagian besar aktivis Aceh yang cukup kreatif dan passionate tidak bisa berbuat apa-apa dan menjadi ”ayam sayur” ketika masuk ke lembaga ini. Mereka tak berani melawan problem sistemik yang ada di lembaga itu. Tujuan pun beralih dari cita-cita transformasi sosial ke arah mendapatkan jaminan hidup di atas rata-rata. Phasing out dan penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah akan mengakhiri dualisme program yang selama ini terjadi sekaligus mengintensifkan peran kedinasan yang ada, termasuk "menaturalisasi" kesenjangan pendapatan dan telah menimbulkan kecemburuan sosial. Kalaupun BRR harus tetap dipertahankan, wewenangnya hanya pada perencanaan dan pengawasan dan bukan implementasi. Jika berbagai masukan lagi-lagi diabaikan, sepertinya Aceh menunggu sejarah kembali melipat nasib korban yang seharusnya diangkat tinggi-tinggi dalam penanganan bencana. Penting mengingat kata-kata Graham Hancock dalam Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business (2004), "Organisasi bantuan sosial hanya melakukan kompetisi untuk memperbesar ukuran tubuhnya sendiri dengan membuat catatan kecil yang berharga bagi korban dan sebenarnya mereka sendirilah yang paling diuntungkan dari program tersebut. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengatur komitmen dari komuniti untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: konteks saat ini untuk meningkatkan partisipasi dari komunitas, overview tentang hubungan antara kegiatan komunitas dengan lingkungan, meningkatkan issueissue utama dan pertanyaan untuk mengumpulkan khususnya proverty, komunity,
membangunan
kapasitas
dan
kelanjutannya.
Pada
dasarnya,
komunitas sendiri saja tanpa dukungan dari pemerintahan local tidak akan bisa bertahan lama. Setiap profesi dan petugas public harus menghormati mereka yang tergantung pada pelayanan yang diberikan oleh profesi atau petugas public tersebut, dan harus memberi mereka jalan untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka. Membangun hubungan yang kreatif antara pendekatan komunitas lokal dengan institusi public yang mendukungnya, sangatlah penting.
99 Partisipasi dari komunitas dalam pembangunan berkelanjutan bisa terwujud yang menurut Chanan berdasarkan hasil penelitiannya adalah jika kepuasan atas hubungan personal tinggi, dengan otoritas yang rendah, pengaruh dari individuindividu tertentu moderat, dan pengaruh dari group local tinggi. Kalau kondisi masyarakat sangat tidak percaya kepada pemerintah dan layanan-layanan public, maka partisipasi dari penduduk dalam komunitas yang mendorong pembangunan berkelanjutan sangat rendah. Pembangunan Kapasitas sebaiknya tidak terlihat sebagai pelopor dan pembangunan berkelanjutan tapi proses pengembangan melalui program kegiatan yang didukung oleh prinsip-prinsip yang pasti. Setelah mengevaluasi program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM “Seunuddon Finance” dari aspek pengembangan ekonomi lokal, pengembangan modal sosial dan gerakan sosial, serta kebijakan dan perencanaan sosial, maka disimpulkan
beberapa
hasil
evaluasi
secara
umum
terhadap
program
pengembangan masyarakat melalui LKM sebagai berikut. 1. Sumber Daya Manusia pengelola LKM masih kurang, rata-rata hanya tamatan SMU. 2. Pola koordinasi antara BRR, Pemda/Dinas terkait, AMFC dan Koperasi-LKM belum berjalan sebagaimana mestinya. 3. Belum
terciptanya
dukungan
yang
memadai
dari
pelaku-pelaku
pembangunan lokal seperti pemda, pengusaha, kelompok peduli, NGOs (Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat, ulama) sehingga kerjasama belum terwujud dalam penanggulangan keluarga miskin melalui kelompok usaha bersama. 4. Belum terciptanya jalinan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi yang disebabkan
kurangnya
informasi
dan
pengetahuan
bagaimana
cara
mengakses sumber dan pihak mana yang dapat diakses, maka dalam hal ini pendamping sosial perlu melakukan perannya secara optimal yaitu sebagai pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan advokator. 5. Bantuan modal usaha pergulirannya kurang lancar bahkan terjadi kemacetan dan tidak berkembang karena pada umumnya masyarakat menganggap bahwa setiap bantuan dari pemerintah dan BRR sebagai hibah yang tidak perlu dikembalikan.
100 Dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM pemanfaatan modal sosial sebenarnya sudah ada. Kelompok usaha bersama yang dibentuk, di dalamnya terdiri dari keluarga miskin sebagai anggota masyarakat yang saling berinteraksi dan berelasi, bila dilihat dari modal sosial hal ini menunjukkan bahwa kohesifitas dan kepercayaan sudah ada diantara mereka. Norma-norma dan nilai-nilai yang menentukan interaksi antara anggota kelompok dibentuk oleh LKM dengan persyaratan bantuan modal usaha secara bergulir diberikan kepada keluarga dan individu serta kelompok. Wujud kongkrit dari modal sosial dalam kelompok usaha bersama, seperti kelompok tambak, berupa komitmen bersama dalam berorganisasi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Semangat gotong royong, senasib sepenanggungan dan komitmen untuk berjuang bersama diantara mereka menimbulkan solidaritas dan keterikatan yang kuat diantara kelompok. Semangat ini merupakan bentuk modal sosial yang mampu menciptakan kohesi antar keluarga yang membemtuk kelompok bersama yaitu kelompok tambak, dagang, nelayan dan lain-lain.
b. Evaluasi Program LKM Secara umum dapat dievaluasi sesuai dengan temuan lapangan, yaitu: a. Dari segi sebaran lokasi keberadaan koperasi/LKM; keberadaan LKM Seunuddon Finance masih mudah dijangkau dengan roda dua atapun roda empat. Transportasi sudah tersedia, jalan sudah diaspal walaupun sudah mengalami rusak berat, jarak dengan kecamatan hanya 1 kilometer, dengan jalan negara 10 kilometer, dengan Ibu kota Kabupaten 60 kilometer. b. Dari sisi Sumber Daya Manusia untuk pengurus dan pengelola yang berbadan hukum koperasi secara umum ditemukan berdasarkan biodata yang ditemukan bahwa LKM Seunuddon Finance, yang terdiri dari manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan semua tamatan SMU. Sehingga mereka memenuhi persyaratan minimal sebagai pengelola LKM. c. Adapun evaluasi tentang kemandirian LKM ditemukan bahwa setiap LKM belum dapat mengelola dana fasilitas BRR (rata-rata per LKM 900 juta) yang pada kenyataannya dengan dana sebesar itu seharusnya LKM yang mendapat Bantuan/suntikan dana dari BRR, sudah dapat mandiri. Hal ini dikarenakan,
LKM
Seunuddon
Finance
mengalami
konflik
dengan
101 masyarakat maupun dalam tubuh lembaga LKM atau koperasi itu sendiri. Sehingga semua dana yang sudah dikucurkan sulit dikembalikan. d. Ide dan gagasan tentang pemberdayaan koperasi melalui LKM pada saat pasca gempa dan tsunami secara langsung tanpa dilandasi penguatan kelembagaan Koperasi/LKM dapat dikatakan kurang tepat. Mestinya BRR Aceh-Nias, pemerintah dan lembaga donor lain melakukan penguatan capacity building terhadap lembaga dan pengurus koperasi/LKM, setelah itu selesai, baru kemudian dana dikucurkan. e. Dari segi masyarakat, pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah (barak). Kalaupun ada pihak diluar mereka yang mempersiapkan fasilitas dana untuk usaha, prosedur/tata cara yang paling tepat adalah yang sederhana. Karena pada dasarnya kondisi dan lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat lokasi bencana tidak dapat berfungsi atau belum saatnya berfungsi secara normal. Sehingga yang terjadi adalah semua dana bantuan modal usaha dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, bukan untuk modal usaha. f.
Di tilik dari kondisi infrastruktur seperti media transportasi, sarana komunikasi, dan sarana listrik, semuanya masih belum berfungsi normal pada saat program diluncurkan. Faktor tersebut sangat berpengaruh pada tingkat pelayanan lembaga yang bergerak di pelayanan publik termasuk koperasi. Ketika kondisi ini diabaikan dan program tetap berjalan, akibatnya adalah terjadi gangguan (disfungsi) terhadap pelayanan publik. Untuk lembaga koperasi/LKM di temukan kondisi sebagai berikut: kesulitan menjangkau koperasi pada daerah bencana karena belum ditemukan sarana, sehingga fungsi pengendalian dan supervisi terlambat dilakukan. Arus listrik yang cenderung tidak stabil setiap hari, hal ini berakibat pada tidak berfungsinya atau kerusakan pada perangkat lunak dan keras yang menjadi alat kerja utama lembaga pelayanan publik seperti koperasi/LKM. Sehingga administrasi awal dari LKM Seunuddon Finance bersifat manual. Semua dicatat secara manual yang menyulitkan proses kerja dilapangan. Akibat lain yang ditentukan adalah pencatatan administrasi dan keuangan
102 dilakukan secara manual yang
cenderung memiliki kelemahan dalam
keakuratan data keuangan dalam penerapannya. g. Evaluasi terhadap tata cara: identifikasi, seleksi dan penetapan LKM peserta program BRR Aceh-Nias, adalah hal yang sangat sulit untuk mendapatkan lembaga keuangan yang sehat, baik itu lembaga perbankan sekalipun apalagi koperasi. Berpijak pada realita tersebut sangat sulit menentukan LKM peserta program BRR, yang mempunyai tingkat kesehatan keuangan yang baik, karena pada kenyataannya banyak LKM yang tidak memiliki simpanan pokok maupun simpanan wajib. Kenyataan ini dialami oleh LKM Seunuddon Finance, mereka baru terbentuk ketika program BRR Aceh-Nias diluncurkan. h. Dinilai dari jenis bantuan pola bantuan yang diterapkan sudah cukup baik, baik itu dinilai untuk kepentingan masyarakat sebagai pemetik manfaat ataupun LKM, karena jenis bantuan yang ada bervariasi disesuaikan dengan kondisi dari masyarakat/pemetik manfaat yang ada. Namun dalam prakteknya dilapangan semua jenis bantuan tersebut tidak
berjalan
dengan baik. Hal ini disebabkan, pemahaman masyarakat tentang pola bantuan sosial, mudharabah/bagi hasil dan ritel masih lemah, termasuk pengurus LKM/koperasi itu sendiri. Artinya sosialisasi tentang program tidak dilakukan secara maksimal. i.
Evaluasi di lapangan ditemukan bahwa LKM dituntut dalam waktu yang singkat harus dapat menyeleksi masyarakat untuk menjadi pemetik manfaat atau penerima bantuan dalam jumlah yang besar. Yang pada kenyataannya dalam waktu yang singkat tidak bisa dilakukan penyeleksian yang akurat terhadap pemetik manfaat yang berkualitas. Realitas dilapangan, untuk sosialisasi tentang keberadaan LKM belum
berjalan dengan baik. Padahal dengan sosialiasi ini merupakan sarana ampuh untuk menarik minat masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan program LKM. Namun sampai sejauh ini upaya sosialisasi LKM masih belum optimal dijalankan, sehingga banyak warga masyarakat yang belum memahami program LKM, seperti yang diungkapkan oleh Manager LKM Seunuddon Finance AH. “...memang keberadaan program LKM Seunuddon Finance belum semua masyarakat mendapat informasi yang lengkap. Kita saja sebagai pengurus LKM dan koperasi mendapat informasi yang berubah-rubah dari Banda Aceh (BRR-Red), awalnya kita disuruh mengumpulkan KTP masyarakat, membuat rekap nama dan nomor KTP dan administrasi lain dikirim ke Banda Aceh. Tahap awal sampai 800 orang diminta per LKM,
103 namun kemudian berubah-rubah sampai tiga kali. Saya kira di Banda Aceh saja belum siap, apalagi kita sebagai pengurus di Gampong”. Ketua AMF center Banda Aceh Drh.BHS, sebagai payung LKM berkaitan dengan keberlanjutan program dan masalah yang muncul, mengatakan bahwa; ”kita tidak mungkin mengakomodir semua permohonan masyarakat korban, LKM di masing-masing daerah mesti melakukan verifikasi terhadap layak atau tidaknya di bantu dengan dana LKM. Sekarang saja, banyak yang sudah menerima pinjaman tapi sulit dalam pengembalian..saya kira berlanjut atau tidaknya program ini salah satu tergantung pada pengembalian nasabah, sehingga dana pengembalian dapat digulirkan pada orang lain, itu baru adil namanya. Komitmen awal dan arah program saya kira sudah cukup bagus, keterlibatan masyarakat juga ada..., tapi memang dalam praktek dan realitas lapangan ya seperti itu. Kalau boleh saya menyebutkan, tidak hanya pada pihak BRR, AMF atau LKM yang yang bermasalah secara manegement tapi juga budaya kita yang belum terbiasa seperti ini, ada yang mengangap dana ini hibah jadi tidak usah dikembalikan.” Manager dan sekretaris LKM ”seunuddon Finance” AH dan DS. Sampai mengeluh untuk mengundurkan diri dari kepengurusan LKM, dengan alasan susahnya pengembalian dari masyarakat. Karena menurutnya, indikator keberhasilan LKM selain sukses dalam penyalur yang tepat sasaran juga ditentukan oleh lancarnya pengembalian dari masyarakat. Sampai saat ini LKMnya baru mampu menarik pengembalian dana dari nasabah 35 persen sedangkan 70 persen kredit macet. ”....memang tidak mudah berhadapan dengan masyarakat dalam mengutip dana pengembalian.., kadang kita berkali-kali datang ke tempat usahanya, terkadang juga ke rumahnya..., berbagai macam alasan. Padahal kita sudah capek, butuh biaya untuk pergi kesana-kemari..,tapi tidak semua ya, ada juga yang tepat waktu datang ke kantor untuk menyetor..nah..orang seperti ini biasanya bisa pinjam lagi kalau dia membutuhkan. Kami kira kejujuran dan kesadaran dalam hal ini penting. Rata-rata yang mendapat pinjaman ada usaha yang jelas seperti tambak, nalayan, petani garam, petani sawah, pedagang kecil, peternak kambing juga ada beberapa orang pedagang jual beli ikan (mugee-red) dengan honda (motor-red).. Kami juga ada pinjam, ya seperti orang lain. kami hanya di gaji 2 bulan pertama waktu awal program berjalan, sedangkan saat ini tergantung dari pengembalian dari masyarakat. Padahal kami harus menggaji staf administrasi dan pembukuan. Hal senada juga disampaikan oleh geuchik (kepala desa-red) Bapak DS keude
simpang jalan
seunuddon
yang
juga sebagai
sektretaris LKM.
Menurutnya, persoalan ini sudah muncul sejak kita mengekuti pelatihan di Banda
104 Aceh berkaitan dengan pemberdayaan koperasi dan LKM yang diselenggarakan oleh BRR Aceh-Nias. ”waktu kami diundangpun mendadak, itupun ada pak Baharuddin yang menelpon kami untuk mengikuti pelatihan. Pak Baharuddin waktu itu masih ketua Dekopinda Aceh Utara jadi beliau tahu koperasi-koperasi yang cocok untuk mengelola dana tersebut..setelah kami pelatihan, secara mendadak pula kami disuruh kumpulkan KTP masyarakat yang kira-kira berhak mendapat bantua...dengan jumlah sampai 700 orang, terus 1 minggu kemudian jumlah itu berkurang hanya 300 orang, padahal KTP sudah kami kumpulkan...efeknya ketika dana ada..semua yang merasa pernah menyerahkan KTP minta dana, jadi kami yang pusing disini. Memenag sejak awal sudah seperti itu, jadi kadang sulit menyalahkan masyarakat ketika ada yang tidak mau mengembalikan. Keluhan mereka, sebenarnya cerminan dari ratusan LKM yang ada di Aceh, mungkin akan berbada dengan LKM atau Baitul Qiradh yang sudah profesional atau lembaga keuangan yang sudah lama muncul. Sebagai contoh Baitul Qiradh Baiturrahman Madani merupakan salah satu lembaga keuangan mikro (LKM) yang memberikan bantuan kredit untuk membangun usaha kecil dan menengah. Baitul Qiradh ini mulai beroperasi pada 1995 dan menjadi salah satu program pemberdayaan usaha kecil dan menengah yang diprakarsai oleh pemerintah di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi, B.J.Habibie saat itu.
Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, Baitul
Qiradh Baiturrahman Madani melakukan kerja sama dengan BRR, mengelola dana bantuan modal usaha sebesar 1,4 miliar untuk jangka waktu 1 sampai 2 bulan. Usaha ini dilakukan untuk membantu warga yang kehilangan mata pencahariannya setelah rumah dan usahanya rusak diterjang tsunami. Dana ini merupakan dana bergulir artinya dana yang diterima akan diberikan kepada masyarakat untuk unit usaha kecil menengah (UKM) dalam bentuk pinjaman. Dana tersebut harus dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Dana yang sudah dikembalikan akan digulirkan lagi dan dipinjamkan kepada warga lain dan seterusnya demikian. Nora Paulina, Direktur Baitul Qiradh Baiturrahman Madani, yang dikutip dari Koran Serambi oleh peneliti pada tanggal 2 Maret 2007. Menerangkan; ”...penyediaan modal pada Baitul Qiradh merupakan akses yang memudahkan para pengusaha kecil ketimbang peminjaman modal ke Bank yang membutuhkan jaminan besar. Baitul Qiradh juga memiliki kebijakan perlu ada jaminan ketika warga mengajukan usulan peminjaman modal, “Jaminan ini merupakan usaha kami untuk membangun ikatan antara nasabah dan lembaga,”. Pada mulanya Baitul
105 Qiradh memberikan pinjaman tanpa jaminan dan mengandalkan asas saling percaya. Sayang, banyak dari nasabah tak mengembalikan pinjaman tersebut sehingga dana bergulir macet. “Masyarakat kita belum siap menerima kemudahan yang kita berikan,”. Berdasarkan pengalaman ini, kita mengganti kebijakan dan menetapkan perlu ada jaminan, sehingga dana tetap bisa digulirkan. Jaminan bukan merupakan hal mutlak dalam pemberian dana ini. Dalam memberikan dana, LKM juga menilai kelayakan usaha. Jaminan hanya 75% dari pinjaman. Kalau macet mereka tidak mengeksekusi langsung. bahwa selalu ada usaha musyawarah dengan nasabah bagaimana agar dana tersebut bisa dikembalikan kepada lembaga Baitul Qiradh. Pengembalian modal akan mencakup sistem bagi hasil, perhitungan margin, tabungan, dan sedekah”.
5.4.2. Prospek Keberlanjutan Program LKM Hasil evaluasi program melalui observasi dan wawancara serta diskusi fokus group (FGD) yang dilakukan pengkaji, menunjukkan bahwa prospek keberlanjutan program tersebut tidak berlansung atau tidak berhasil. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa sebab antara lain: Pertama, kurang percaya masyarakat terhadap lembaga BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi yang terjadi dalam berbagai lembaga penyedia layanan dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami termasuk koperasi/LKM serta AMF, NGO lokal, nasional maupun internasional. Kedua,
faktor sosioculture masyarakat yang
kurang memahami arti penting swadaya dalam komunitas. Ketiga, pendataan yang masih simpang siur serta diketahui masyarakat yang baru keluar dari situasi dan kondisi musibah tsunami dan konflik berkepanjangan masih menyimpan
traumatik
secara
psikologis,
sosiologis
bahkan
komunikasipun masyarakat masih merasa takut. Keempat,
secara
kredit macet
mencapai 65 persen di LKM Seunuddon Finance. Kelima, pola dana bergulir atau pola kredit masih relatif baru bagi komunitas di Keude Simpang Jalan. Keenam, komunitas terbiasa menerima dana bantuan secara percuma dari beberapa NGO dan lembaga donor lainnya, sehingga kesadaran untuk mengembalikan dana bantuan dari LKM sulit. Ketujuh, lemahnya kesadaran komunitas dalam program semacam ini. Kedelapan, dari 350 individu yang mendapat dana dari LKM Seunuddon Finance hanya beberapa orang saja yang dana bantuan tersebut digunakan sesuai dengan usahanya, lainnya hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Dalam sebuah diskusi di kantor Dekopinda Aceh Utara; KMH, SA, SF, ST, SK, ZF, AK, SR, IW dan BHS; mereka sepakat bahwa salah satu upaya membangkitkan
kembali
keberdayaaan
komunitas
adalah
dengan
106 memfasilitasinya untuk bangkit untuk itulah kegiatan ini dilakukan yang memiliki aspek pendidikan pengurus kelembagaan, komunitas, melakukan penelitian dan advokasi komunitas korban termasuk keberadaan lembaga lokal seperti koperasi/LKM. Tiga aspek ini merupakan pemberdayaan yang menyentuh tiga aspek pada mental manusia yakni kognitif, afektif dan behavioral. Dengan cara seperti ini
komunitas diharapkan bisa melakukan pembelaan secara mandiri
ketika kegiatan sudah tidak lagi berlangsung. Prinsip pembangunan yang dianggap penting dan bisa menjembatani proses pemberdayaan komunitas adalah pembangunan dimulai dari rakyat kelas bawah. Menurut mereka, paradigma baru yang menyerahkan kekuasaan cukup signifikan kepada rakyat memerlukan upaya desentralisasi kekuasaan cukup kuat dari pusat ke kawasan pinggiran artinya popular development memberikan ruang gerak lebih leluasa pada pihak pinggiran (komunitas local) untuk mendefinisikan
kebutuhan,
merencanakan
program,
dan
mengendalikan
pelaksanaan program community development kata kunci dalam hal ini adalah pemberdayaan
dan
partisipasi
dalam
pembangunan.
KMH;
pengamat
komunikasi sosial budaya juga salah seorang yang pernah menjabat manager di sebuah LKM di Lhokseumawe, mengatakan; ”...pemberdayaan komunitas korban tsunami, sampai saat ini belum memilki format yang jelas dalam implementasi dilapangan, dalam buku panduan BRR bidang ekonomi memang sudah mengarah pada perlibatan komunitas bawah dalam setiap program. Namun dilapangan masih terpolakan pendekatan lama yaitu topdown, indikatornya hanya pada pertumbuhan. Padahal yang penting adalah rasa memiliki, adanya jejaring sosial yang baik, pemamfaatan modal sosial yang ada dalam komunitas lokal, termasuk kearifan lokal, kemandirian, tidak adanya ketergantungan dengan sumber ekonomi yang bersifat kapitalistik, partisipatif komunitas menjadi kata kunci. Selain itu, bagaimana menumbuhkan budaya kerja sama yang konstruktif dalam komunitas? Pendekatan pada paradigma people centered development, mendesak dilakukan, jangan sampai dana yang begitu besar tidak membawa dampak jangka panjang dalam komunitas,individu menjadi targer utama pemberdayaan, baru kemudian pada taraf komunitas yang relatif homogen dalam usaha seperti petani tambak, komunityas nelaya, komunitas petani garam, kalau secara individu sudah mendapat akses pemberdayaan, kemudian baru diidentifikasi menjadi sebuah komunitas dengan indikator seperti diatas. Sayed Faisal Deputi Ekonomi BRR Aceh-Nias; ketika peneliti temui dan bertanya
berkaitan
dengan
strategi
pemberdayaan
dan
pengembangan
masyarakat tanggal 30 Juli 2007 dalam sebuah seminar di Jakarta menjelaskan bahwa; melalui pengutan koperasi dan LKM diharapkan komunitas korban
107 tsunami dan konflik dapat terberdaya dari keterpurukan ekonominya baik akibat tsunami maupun konflik. “ kita dari BRR sudah melakukan yang terbaik, telah membuat program yang sangat berpihak kepada komunitas korban..kita siapkan mekanismenya..kita siapkan dana yang besar, keberhasilan program ini sangat tergantung pada pengelola pada tingkat bawah yang langsung bersingungan dengan komunitas. Keterlibatan semua pihak akan menenytukan keberhasilan, bayangkan saja tahun 2007 ini sudah mencapai 1 trilyun dana diperuntukkan bagi pengembangan koperasi dan LKM. Per LKM sampai 1 milyar lebih di Jawa saja, jarang ada, ini kesempatan bagi koperasi dan LKM di Aceh untuk bangkit. Kalau tidak pandai menggunakan kesempatan ini, saya kira tidak akan datang dua kali”. Strategi pemberdayaan dan pengembangan yang diterapkan oleh LKM seunuddon Finance, belum memcerminkan program yang partisipatif dan berkelanjutan. Banyak faktor yang menyebabkan strategi tidak sesuai dengan realitas dilapangan. Seperti diungkapkan oleh ketua Koperasi Bungong Laot HG. “strategi yang kami pahami, bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi secara langsung, program yang demokratis dan transparan, namun kenyataannya sangat sulit mewujudkannya. Program ini datang dari atas yaitu BRR, koperasi dan LKM hanya menjalankan saja. Mestinya BRR melakukan perencanaan dengan melibatkan masyarakat setempat, melakukan sosialisasi dan lain-lain.”
5.5. Dampak LKM Terhadap Keberdayaan Komunitas 5.5.1. Perubahan Jenis Pekerjaan Komunitas korban yang mendapat bantuan dari program LKM, tidak mengalami perubahan secara signifikan, ditilik dari jenis perekrajaa sebelum dan sesudah stsunami. Sebelum stunami jenis pekerjaan komunitas atau masyarakat di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon dominan adalah nelayan, petani tambak, petani garam, peternak, petani sawah, pedagang kecil dan lain-lain. Setalah tsunami jenis pekerjaan tersebut tetap di geluti. Seperti petani tambak, setelah tambak dinormalisasikan oleh BRR Aceh-Nias, mereka kembali bekerja seperti sediakala. Seperti diungkap oleh salah seorang pemetik manfaat dari LKM seunuddon Finance, Ibu ZT: “sebelum tsunami kami sudah seperti ini, memang banyak yang datang nanya-nanya tapi belum ada bantuan apapun, baru tahun lalu kami dapat bantuan dari LKM “Seunuddon Finance” melalui anak kami Darman dan Aidi, ya..dengan bantuan itu kami bisa membeli beberapa peralatan dan memperbaiki gubuk pembuatan garam”.
108 Data dari LKM Seunuddon Finance, tahun 2006 menyebutkan dari 350 orang atau pemetik manfaat yang mendapat modal bantuan dari LKM, terdapat jenis pekerjaan beragam. Lebih jelasnya terdapat dalam tabel dibawah ini: Tabel.6. Jenis Pekerjaan Pemetik Manfaaf LKM Seunuddon Finance 2007
NO
JENIS PEKERJAAN
Sebelum Tsunami
Setalah Tsunami
JUMLAH
1
Nelayan
Nelayan
Tetap
176 org
2
Petani Tambak
Petani Tambak
Tetap
101 org
3
Petani Garam
Petani Garam
Tetap
16 org
4
Peternak
Peternak
Tetap
12 org
5
Pedagang Kecil
Pedagang Kecil
Tetap
15 org
6
Petani sawah
Petani sawah
Tetap
17 org
7
Lain-lain
Lain-lain
-
13 org
JUMLAH
350 org
Bagi petani tambak yang sempat ditemui, mereka rata-rata tidak ada jenis pekerjaan lain yang sesuai dengan keahliannya. Pekerjaan di tambak sudah dijalankan dari turun temurun. Seperti diungkapkan oleh Bapak SLA. “ sebelum tambak kami diperbaiki oleh BRR, kami ya nganggur, kadang bantu-bantu pekerjaa dari NGO yang lagi buat rumah. Setelah tambak kami normal, kami kembali lagi menekuni pekerjaan bertambak yang memang sudah sejak dulu. Tahap awal kemarin kami mendapat bantuan modal dari LKM, untuk membeli bibit, obat-obatan, dan pakan”. Masyarakat Gampong Kaude Simpang Jalan yang mendapat bantuan modal usaha dari LKM, ada beberapa orang yang bekerja sambilan dengan NGOs di Gampongnya sebagai tukang dan lain-lain. Hal ini wajar, karena pekerja seperti petani tambak tidak menyita waktu terlalu banyak. Berbeda dengan jenis pekerjaa sebagai nelayan. Meraka turun laut sampai beberapa hari. Diakui bahwa, walaupun jenis pekerjaan relatif sama sebelum stunami dan sesuad tsunami. Namun ada perbedaan dalam hasil yang mereka peroleh setelah tsunami. Lahan yang sudah hancur waktu tsunami, ketika diperbaiki tetap tidak bisa kembali seperti semula. Hal ini di akui oleh Ibu CM, yang berprofesi sebagai petani sawah. “ Sawah kami terkena tsunami, naik air asin/laut jadi rusak..hampir 2 tahun baru bisa dipakai lagi...namun hasil panen tidak seperti dulu”.
109 Jenis pekerjaan korban tsunami di Gampong Keude Gampong Seunuddon, tidak banyak mengami perubahan. Meraka masih tetap pada profesi pekerjaan sebelum tsunami. Dalam hal ini ketika dikonfirmasi dengan Geuchik Keude Simpang Jalan Seunuddon Bapak DS, juga membenarkan hal tersebut. “..masyarakat kami, masih setia dengan pekerjaannya sebelum tsunami, karena memang tidak ada pekerjaan lain yang dikuasainya. Memang ada beberapa orang yang diperbantukan oleh beberapa lembaga yang bekerja dalam pembuatan barak dan rumah korban tsunami, itupun ketika ada proyek..tapi pekerjaan utama tetap sebagai nelayan, petani tambak sawah, berdagang dan sebagainya”.
5.5.2. Perubahan Ekonomi Komunitas Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang nyata atau signifikan pada ekonomi komunitas. Penyebab tidak adanya perubahan ekonomi komunitas yang signifikan dapat dilihat dalam dua segi yaitu segi kelembagaan LKM/koperasi dan segi komunitas itu sendiri. Pertama, penyebabnya dari segi kelembagaan LKM/koperasi bahwa LKM tidak memiliki sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola dana bergulir secara berkelanjutan termasuk waktu yang dimiliki pengurus LKM untuk memverefikasi komunitas calon penerima modal usaha terbatas sehingga modal usaha yang dikucurkan banyak yang tidak tepat sasaran. Tidak tepatnya sasaran menyebabkan image komunitas terhadap LKM kurang baik. Selain itu, program LKM tidak dilakukan sosialisasi secara maksimal baik oleh BRR Aceh-Nias maupun LKM/koperasi itu sendiri, sehingga keterlibatan komunitas sebagai penerima manfaat tidak ada sama sekali. Lembaga LKM/koperasi masih dipandang pesimis oleh komunitas, citra koperasi/LKM yang buruk mengurangi kepercayaan komunitas. Secara ekternal dan internal lembaga koperasi/LKM masih terjadi konflik. Konflik ekternal, terjadi dalam komunitas yang mendapat bantuan dengan yang tidak mendapat bantuan modal dengan pengurus LKM. Kedua, dari segi komunitas, modal bantuan yang di dapat dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini dikarenakan tidak ada sumber pendapatan lain pasca tsunami dan konflik, juga anggapan jumlah modal usaha yang disalurkan terlalu kecil untuk modal usaha. Pengembalian modal usaha sampai dengan 2 tahun pencairan masih terjadi kredit macet mencapai 65 persen. Pemanfaatan Lahan tambak, persawahan, kehidupan nelayan, kios/dagang masih belum dapat difungsikan secara maksimal karena kekurangan modal usaha.
110 Dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha dari LKM Seunuddon Finance, juga belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Modal bantuan sosial dengan pola Qaldul Hasan yang dominan diterima dengan maksimal 1 juta sampai 2 juta dominan. Bantuan sebesar itu, habis digunakan untuk kebutuhan pokok rumah tangga bukan untuk modal usaha. Sedangkan pola mudharabah/bagi hasil yang diterima oleh 50 orang maksimal 4 juta sampai 5 juta, secara umum juga belum membawa dampak apapun terhadap kehidupan ekonomi masyarakat dikarenakan selain kebutuhan harian rumah tangga juga disebabkan masyarakat tidak ada lapangan pekerjaan lain. Modal bantuan pola mudharabah hanya cukup untuk budidaya tambak ikan bandeng atau udang kapasitas 2 hektar sekali panen. Informasi yang didapat, ketika tambak dan sawah hampir panen pertengahan tahun 2007 lalu, terjadi bencana alam yaitu terjadi pasang laut yang menenggelamkan hampir seluruh tambak dan sawah, sehingga semua benih ikan, udang dan sawah gagal panen. Hal ini juga dialami oleh petani garam. Sedangkan modal bantuan dengan pola ritel/bagi hasil 10juta sampai 20 juta hanya 5 orang. Pola modal ini hanya untuk pengurus inti Koperasi dan LKM Seunuddon Finance, yang digunakan untuk dagang dan tambak. Selain itu, kesadaran komunitas untuk usaha bersama masih sangat minim hal ini terbukti dengan rendahnya kesadaran pengembalikan dana pinjaman termasuk budaya mengharap bantuan dari NGO dengan tanpa berupaya sendiri menjadi hambatan besar dalam menciptakan perubahan ekonomi komunitas. Komunitas korban di Gampong keude simpang jalan sudah terbiasa menerima bantuan secara percuma dari beberapa NGO termasuk dari negera Arab Saudi tahun 2006 sehingga berdampak pada sulitnya menciptakan kemandirian dalam ekonomi komunitas. Pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah. Perubahan ekonomi komunitas korban, hanya terlihat saat menerima bantuan untuk keperluan usahanya. Seperti yang terjadi bagi komunitas tambak, mereka dapat menggunkana dana bantuan tersebut untuk kebutuhan tambaknya 1 kali panen, namun ketika panen tambak tidak bagus mereka kehabisan modal untuk memulai lagi. Hal serupa juga berlaku bagi nelayan, ketika mereka turun
111 laut dan mendapat hasil yang bagus, nampak terlihat perubahan ekonomi keluarganya. Mereka dapat melanjutkan sekolah anaknya, kebutuhan pokok keluarga tidak perlu berhutang diwarung-warung. Namun ketika hasil tangkapan tidak maksimal, maka mereka kehabisan modal untuk melaut lagi. Dan pilihan kemudian adalah pada rentenir. Untuk menjalankan kegiatan usaha nelayan, seorang nelayan tidak hanya cukup dengan modal sebuah pancing, jarring atau jala. Nelayan juga perlu sebuah perahu, kalau tidak ada boat yang besar. Bahkan minyak (premium) untuk menggerakkan boat menuju lautan, menangkap ikan. Sayangnya, fasilitas-fasilitas seperti ini masih menjadi masalah bagi nelayan yang ingin meningkatkan pendapatan (income) yang bisa mensejahterakan. Persoalan-persoalan tidak adanya modal, sulitnya mendapatkan modal bagi para nelayan memang sudah sangat sering didengar. Namun, masalah itu, tetap saja menjadi sebuah catatan sejarah. Ia tetap saja menjadi sebuah elegi yang merdu untuk didengar. Namun demikian, bukan berarti tidak ada komunitas korban yang tida ada perubahan ekonominya. Ada beberapa orang yang pengkaji temui, menurunya mengalami perubahan ekonomi dalam kehidupan keluarganya. Bapak BK sebagai petani tambak di Keude simpang jalan Seunuddon, menerima bantuan modal mikro bentuk pola mudharabah senilai Rp. 5.000.000,- untuk membeli bibit bandeng, obat-obatan tambak dan pakan. beliau menuturkan; “ Saya mendapat pinjaman dari LKM sebesar Rp. 5000.000,- awal tahun 2006 untuk membeli bibit bandeng, obat-obatan dan pakan selebihnya saya gunakan untuk merehab daka tambak, dan sekarang sudah dua kali panen dengan modal itu..saya cicil setiap panen. Cicilan saya sudah 50 % dari jumlah pinjaman. Yang penting tambak saya bisa difungsikan kembali.. awalnya memang susah, karena tambak saya terkana tsunami, saya mau kerja lain tidak tau mau kerja apa. Ya.. saat itu kami makan hasil kebun kelapa, sawah, tapi sekarang Alhamdulillah sudah mendingan, anak-anak sudah bisa sekolah lagi”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu HS, pemilik warung kopi, menerima bantuan modal senilai
pola mudharabah
Rp. 4000.000,- untuk kebutuhan
warungnya, mengatakan: “Program ini dapat membantu kelangsungan usaha warung saya, barangbarang yang di jual jadi lebih banyak dan lengkap jenisnya, pelangganpun jadi lebih banyak dan pendapatan saya juga bertambah, program ini bermanfaat untuk orang-orang kecil seperti saya juga yang lainnya untuk nambah modal tidak perlu pinjam ke rentener..., saya tidak dikasih uang semua sesuai dengan perjanjian, tapi dalam bentuk barang disuruh ambil di grosir yang sudah ditentukan oleh LKM, katanya biar jelas penggunaan pinjaman, saya kira itu bagus.”
112 Baik Bapak BK maupun Ibu HS telah mampu mengembalikn pinjamannya dan setelah melunasi dapat meminjam lagi kepada pengurus LKM Seunuddon Finance. Adanya pemberian bantuan stimulan modal usaha melalui program LKM ini memberikan manfaat yang cukup besar bagi anggota-anggota kelompok, karena anggota kelompok mempunyai peluang untuk mengembangkan usaha dan menjaga keberlangsungan usahanya. Namun pengurus LKM seringkali kekurangan dana untuk dipinjamkan kepada anggota, karena masih banyak anggota yang tidak lancar mengembalikan pinjaman bahkan ada beberapa anggota yang tidak dapat mengembalikan pinjaman karena usahanya macet sehingga anggota yang lain yang membutuhkan tambahan modal tidak dapat terpenuhi. Macetnya pengembalian pinjaman modal disebabkan karena pada umumnya masyarakat mengganggap bahwa setiap bantuan yang diberikan pemerintah adalah hibah tidak perlu dikembalikan. Dalam sebuah wawancara di kantor LKM Geuchik Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon, menuturkan: “..perubahan ekonomi suatu keluarga pasti ada. Yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri... tidak hanya dengan bantuan modal dari LKM ekonomi korban tsunami berubah, di Gampong ini banyak NGO dan lembaga lain yang membantu modal usaha bagi korban tsunami. Saya kira, sudah banyak korban tsunami sudah mulai hidup normal kembali. Lihat saja, tambak sudah banyak yang normal, boat-boat sudah banyak bantuan, warung-warung sudah ada yang diperbaiki, ibu-ibu pembuat garam tidak hanya mendapat bantuan dari LKM tapi juga dari GTZ dan lain sebagainya...ya, hampir tiga tahun pasca tsunami sudah ada perubahan dalam masyarakat”. Pendapat Geuchik diperkuat oleh manager LKM Seunuddon Finance, AH, menurunya, pemetik manfaat atau korban tsunami yang mendapat modal usaha dari LKM ada yang sudah hidup normal. Artinya perubahan ekonomi dalam keluarganya terlihat kalau dibandingkan pasca 1 tahun tsunami. Dimana meraka tidak memiliki usaha apapun hancur akibat tsunami. Walaupun demikian, menurutnya ada juga yang mendapatkan modal usaha tidak digunakan dengan baik, sehingga hanya bertahan beberapa hari. Setelah itu kembali seperti awal.
5.5.3. Tingkat Keberdayaan Komunitas Hasil kajian menunjukkan tingkat keberdayaan komunitas tidak jauh berbeda dengan perubahan ekonomi komunitas. Kehadiran LKM Seunuddon Finance tidak membawa dampak perubahan yang signifikan pada kehidupan dan
113 keberdayaan komunitas yang mendapat bantuan dari LKM. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, strategi penyaluran bantuan modal usaha tidak melibatkan komunitas secara langsung. Komunitas tidak tahu tentang program LKM yang sebenarnya, mereka hanya mengetahui bahwa ada bantuan modal usaha dari koperasi/LKM secara cuma-cuma sehingga semua mengajukan permohonan tanpa
berpikir
untuk
mengembalikan
modal
bantuan
tersebut.
Kedua,
pendampingan terhadap komunitas termasuk kelembagaan LKM tidak dilakukan secara maksimal, sehingga mengakibatkan tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif baik dengan komunitas maupun lembaga yang terkait. Ketiga, dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha hanya segelintir yang mampu mengembalikan modal tersebut, selebihnya modal usaha digunakan untuk kebutuhan konsumtif sesaat. Keempat, hanya terdapat 5 orang yang memdapat modal usaha dari LKM untuk penambahan modal warung kopi dan toko yang lancar pengembalian sedangkan komunitas lain dengan jenis usaha tambak, sawah, dan nelayan rata-rata tidak mampu mengembalikan, hal ini disebabkan bantuan modal usaha tidak digunakan untuk kepentingan usaha. Keenam, kelompok nelayan yang mendapat modal bantuan yang rata-rata hanya 1 juta sampai 3 juta habis digunakan untuk kebutuhan rumah tangga hanya sisa untuk kebutuhan kapal bermotor seperti untuk BBM dan kebutuhan melaut. Sedangkan komunitas tambak, sawah, petani garam yang sempat menggunakan modalnya untuk usaha tersebut akibat musibah pasang laut yang terjadi tahun 2007 telah menenggelam tambak, sawah, dan lahan garam sehingga gagal panen. Di tengah banyaknya bantuan saat ini, apakah bisa momentum ini dapat dijadikan sebagai sebuah batu pijakan (steppingstone) bagi pembangunan kembali ekonomi mikro komunitas korban? Barangkali jawabannya ya bisa. Tentu saja bisa. Apalagi bantuan yang ada, katanya sangat besar. Dengan demikian, harapan akan berdayanya para komunitas korban yang terkena terjangan tsunami menjadi sesuatu yang sangat prospektif. Dikatakan demikian, karena komunitas tersebut kini konon banyak diperhatikan oleh pihak-pihak yang telah datang membawa bala bantuan. Hanya saja, bila kita boleh sedikit pesimis, kita akan bertanya apakah semua bantuan itu akan sampai atau tepat sasaran? Sekali lagi, bahwa ini masih memerlukan kajian. Maka, kalau mau dikaji lebih dalam, bantuan-bantuan itu belum secara signifikan dapat menjawab persoalan
114 komunitas korban. Karena, banyak bantuan yang diberikan itu bukan sebagai sebuah jawaban, tetapai masih menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Hal ini bisa terjadi, karena strategi yang digunakan dalam membangun ekonomi komunitas korban, belum tepat. Oleh sebab itu, agar bantuan yang diberikan bisa lebih berarti dan bernilai ekonomis berkelanjutan, maka pola bantuan yang diberikan harus direncanakan secara matang dan partisipatif yang diikuti dengan upaya pendampingan yang intens. Memberdayakan ekonomi mikro komunitas korban, dilihat dari kondisi saat ini sangatlah diperlukan. Dikatakan demikian, karena kelompok ini adalah korban pertama yang sangat menderita. Di samping itu, pemberdayaan korban merupakan upaya strategis bagi pengembangan ekonomi di Aceh. Diharapkan dapat membuat program-program strategis yang memberdayakan secara ekonomi untuk mengembalikan komunitas korban pada posisi yang tidak lagi marginal. Dalam observasi dan wawancara dengan komunitas korban yang pernah mendapat bantuan modal usaha dari LKM Seunuddon Finance, terutama kaum nelayan, ibu-ibu petani garam, petani tambak, petani sawah dan pedagang kecil. Dapat Pengkaji sampaikan bagaimana getir dan pahit dalam merajut kehidupan kembali di atas puing-puing kehancuran. Di dekat pantai Ulee Rubeuk kecamatan seunuddon, Pengkaji ketemu dengan
seorang lelaki tua, berkulit
hitam, penuh peluh bersama anaknya yang tampak lesuh, sambil berjongkok menjemur ikan teri dan ikan kayu yang baru saja dibersihkan dan digarami. Mereka menjemur ikan itu, di tengah terik matahari yang membakar sesekali ia berdiri meluruskan pinggangnya, agar tidak penat. Sesekali pula ia menyeka keringat yang membasahi keningnya yang telah mengerut, karena termakan usia dan beratnya tantangan hidup di pinggir laut yang terletak di wilayah selat malaka itu. Pengkaji berhenti dan mengucapkan salam pada lelaki tua itu. Ia menyambut dengan balasan salam yang agak lirih, namun sangat bersahabat. Ia mendekati Pengkaji dan saling bersalaman. Percakapan pun, dimulai. Seakan ada sebuah scenario yang sengaja telah disusun untuk bertanya. Padahal, itu adalah karena sebuah kebiasaan orang-orang yang mungkin telah terbiasa berjalan dan mendampingi kelompok-kelompok marginal seperti halnya nelayan dan lain-lain. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya seperti kata pepatah, sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu, bertanya pula. Begitulah awal percakapan pengkaji dengan lelaki tua itu yang mengaku dirinya sebagai seorang nelayan. Seperti
115 orang yang sudah saling kenal, pengkaji melemparkan sebuah pertanyaan, Lagi ngapain Pak?. Lelaki itu, menjawab, ya, Bapak sedang menjemur ikan teri dan ikan kayu. Dengan penuh basa basi, pertanyaan itu ditambali dengan ungkapanungkapan lain untuk menjalin tali persahabatan dengan lelaki tua itu. Namun, sebenarnya sangatlah interogatif. Tujuannya pasti untuk mendapatkan informasi tentang pekerjaan yang sedang digeluti lelaki itu. Beberapa pertanyaan awal pengkaji coba tanyakan. Tentu saja, jawaban yang selalu muncul adalah soal modal usaha. Masalahnya bisa karena tidak ada modal atau tidak cukup modal. Bisa pula karena sulitnya memperoleh modal usaha untuk menjalankan dan mengembangkan usaha itu dan lain sebagainya. Maklum saja, selama ini, akses kredit bagi kaum marginal seperti nelayan, petani dan perempuan terutama petani garam usaha kecil terasa sangat sulit, karena berbagai alasan. Tidak punya agunan, takut tidak sanggup menyicil, atau terlalu berat membayar bunga dan sebagainya. Terungkap dari Bapak tua tersebut, bahwa belia telah mendapat modal usaha dari LKM “seunuddon Finance” sebesar Rp. 2000.000,- juta rupiah, yang dicicil setiap bulan sekali ke LKM. “Kalau pun ada kredit, seperti Kredit dana PER (pemberdayaan ekonomi rakyat) yang pernah diluncurkan oleh Pemerintah daerah di Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa tahun yang lalu itu, orangorang kecil seperti kami nelayan, tidak mudah mendapatkannya”. Kisah serupa, ketika Pengkaji berkunjung diwilayah yang sama ibu-ibu petani garam disebuah pantai di kecamatan yang sama. Petani garam yang berjumlah 20-an orang tersebut pernah mendapat
modal usaha dari LKM
serupa. Meraka ada yang mendapat bantuan Rp. 500,000, Rp. 1000.000,sampai dengan Rp. 2000.000,-. Menurut data dari LKM Seunuddon Finance, hanya 16 orang yang dapat dibantu oleh LKM selebihnya ada NGO yang konsisten melakukan pembedayaan ekonomi mikro. Salah seorang yang belakangan pengkaji kenal namanya Ibu ZT. “sebelum tsunami kami sudah seperti ini, memang banyak yang datang nanya-nanya tapi belum ada bantuan apapun, baru tahun lalu kami dapat bantuan dari LKM “Seunuddon Finance” melalui anak kami Darman dan Aidi, ya..dengan bantuan itu kami bisa membeli beberapa peralatan dan memperbaiki gubuk pembuatan garam”. Karena sudah merasa akrab, sambil duduk dipematang tambak dibawah tariknya matahari dekat pantai, ibu-ibu tersebut bercerita panjang lebar. Ada beberapa kalimat yang menarik.
116 “kami ini korban tsunami dan konflik, kami jangan dijadikan bulanbulanlah..gimana tidak, banyak yang datang kekami hanya ambil data, tanya kebutuhan dan lain-lain, tapi sampai saat ini tidak kembali lagi. Kami sudah didata oleh banyak pihak..kami sudah bosan, padahal kami dengan uang banyak di Aceh, kami ini hanya petani garam apalah kuasa, kami hanya pasrah serahkan pada Allah nasib ini, tapi kami tetap menjalankan kerja seperti ini,bantuan dari LKM walau lambat tapi tetap kami cicil setiap penjualan garam, ya maklum harga garampun murah sekali”. Ketika pengkaji menanyai apakah kehidupan ekonominya sekarang sudah ada perbaikan, dan bagaimana kalau suatu saat tidak ada lagi bantuan. Terlihat ibu-ibu tersebut saling memandang, salah satu menjawab belakangan pengkaji tahu namanya SF yang sudah berumur 45 tahun suaminya meninggal akibat tsunami, sekarang ibu SF harus menghidupkan 4 anaknya walaupun ada yang sudah berkeluarga. “kami ingin melupakan tsunami, kami ingin kembali mencari rezeki seperti sekarang ini dengan bantuan sedikit dari LKM peralatan kami sudah cukup untuk membuat garam, yang dulunya rumah (gubuk-red) garam hancur sekarang sudah bisa diperbaiki. Yang penting kami bisa makan sehari-hari cukuplah seperti saya ini rumah sudah diperbaiki oleh orang asing..ya kedepan saya hidup seperti biasalah, Allah yang menentukan...” Ada juga salah satu komunitas korban yang tidak mendapat bantuan dari LKM seunuddon Finance yaitu IM, ketika di wawancarai terungkap bahwa dalam proses penyaluran bantuan adanya indikasi pilih kasih, kurangnya verifikasi lapangan kurang sosialisasi sehingga mereka tidak tahu ada program tersebut. Bahkan ada juga yang mendapat bantuan selain dari LKM juga dari NGO lain. Bapak TF, MS dan SB dalam sebuah FGD di kedai Kopi Keude Simpang Jalan Seunuddon. Bahwa mereka semestinya layak menerima bantuan karena selain korban tsunami juga korban konflik. ”kami ini selain korban tsunami tapi juga konflik, semestinya kami bisa mendapat bantuan dari LKM, kami tidak tahu adanya bantuan dari LKM, informasi tertutup dan sosilaiasi yang kurang dilakukan oleh LKM dan Koperasi. Mestinya sebelum program di kucurkan masyarakat diajak musyawarah,jangan seperti ini, yang dekat-dekat dengan pejabat Gampong dan Kecamatan yang dapat. Mungkin nasib kami seperti ini, masih ada pilih kasih”. Nasib nelayan, petani garam, petani tambak, pedagang kecil dan usaha kecil lainnya di gampong tsunami kecamatan seunuddon semakin berat, tatkala gempa dan gelombang tsunami yang menhantam Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Bencana yang sangat dahsyat dan tragis itu, di
117 samping telah merenggut ratusan ribu nyawa, menghancurkan semua sektor kehidupan dan infra struktur. Gempa dan gelombang tsunami juga telah menghancurkan harapan para nelayan, petani, pedagang, peternak di daerah pesisir, wilayah utara dan barat dan timur Aceh. Karena para komunitas yang selamat dari bencana tsunami itu, harus berjuang hidup dalam keadaan yang memprihatinkan. Berjuang bangkit dari puing-puing kehancuran total, tanpa ada keluarga, tanpa ada harta benda, rumah dan modal usaha. Dari hasil obrservasi dan wawancara dengan tokoh masyarakat dalam hal ini Kepala Gampong (geuchik); DS, sekretaris Kepala Gampong ;AH,
tokoh
masyarakat SM, tokoh pemuda AB, ZK, UM dan DA. Tergambarkan bahwa; Ketahanan Pangan (food Scurity), pembangkitan lapangan kerja (employment creation), peningkatan pendapatan (Income generation), penanggulangan kemiskinan komunitas korban (Poverty allevation), dan pertumbuhan ekonomi mikro dan pemerataannya, perlu segera ditingkat di Kecamatan Seunuddon khususnya Gampong Keude Seunuddon. Mengingat masyarakat tidak hanya tercatat sebagai korban tsunami tahun 2004 tapi juga korban konflik. Dalam
hal
ini,
ketidakberdayaan
masyarakat
karena
antara
lain;
terbatasnya ketersediaan sarana-prasarana dasar, terbatasnya kemampuan masyarakat untuk menggunakan kesempatan-kesempatan (peluang-peluang) dalam mengakses kelembagaan lokal termasuk upaya penguatan lembaga seperti koperasi dan UKM, kurangnya akses permodalan, lemahnya pasar dan teknologi. Lemahnya kelembagaan sosial ekonomi pada tingkat kelompok dan komunitas
untuk
menunjang
perbaikan
pendapatan
dan
kehidupan
rumahtangga-rumahtangga miskin (the disadvantaged households). Kurang terpadunya program-program pengentasan (penanggulangan) komunitas korban yang dilaksanakan oleh berbagai pihak, dan program-program tersebut tidak memunculkan secara nyata partisipasi/keterlibatan komunitas korban. Bantuan modal usaha mikro ini ditujukan kepada masyarakat korban tsunami dan konflik yang memiliki usaha produktif seperti tambak, nelayan, petani sawah, petani garam, peternak, pedagang dan lain-lain. Pinjaman modal selama 1 tahun sesuai dengan akad perjanjian. Pola pembayaran dapat secara harian, mingguan, bulanan. Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 2006, bantuan ini sudah memberdayakan masyarakat 350 keluarga/individu.
118 Dana cicilan/pengembalian digulirkan kepada keluarga/individu lain yang telah diteliti dan verifikasi lapangan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah anggota yang terjaring dalam program LKM telah berkembang dan mampu menambah pemetik manfaat setiap bulannya. Bertambahnya jumlah pemetik manfaat menggambarkan bahwa partisipasi masyarakat terhadap program ini cukup besar dan hal ini menunjukkan bahwa program LKM berjalan cukup baik. Memang masih ada pemetik manfaat yang tidak mampu membayar atau mengembalikan dana tersebut walau sudah berjalan 2 tahun. Manager LKM Seunuddon Finace yang terbentuk pada tanggal 16 Februari 2006 dibawah payung hukum Koperasi Pasanteran Bungong Laot, yang juga sekretaris Gampong Simpang Jalan Seunuddon yaitu AH. Menurutnya; ”gampong kami banyak lahan usaha yang menjadi penumpang hidup masyarakat hancur karena tsunami, masyarakat kami sulit mendapat kredit dari bank konvensional, karena tidak jaminan apapun. LKM inipun baru dilegalkan tahun lalu ketika ada program dari BRR, sehingga selama ini hanya usaha simpan pinjam yang kami jalankan dengan kredit Rp. 718.000.000,-. Malah yang simpan tidak ada, hanya pinjam aja. Pengembalian Lamban, dikarenakan hampir 75% dari pemetik mamfaat mengalami kredit macet, hal ini mungkin disebabkan, kurangnya pelatihan manajemen bagi pengurus LKM dan koperasi, tidak aktifnya pengurus koperasi dalam menjalankan program, kurangnya minat masyarakat untuk maju bersama koperasi dan LKM. Namun demikian sesuai dengan yang diharapkan, sebahagian besar komunitas korban yang mendapat bantuan pinjaman sudah mulai terlihat peningkatan ekonomi keluarga mereka. Dari data yang kami terima di LKM peningkatan jelas ada, dari segi pendapatan ekonomi keluarga sudah menyakinkan namun sudah pasti tidak semua dari mereka. Pemetik manfaat dari LKM kami lebih banyak dalam bidang perikanan, nelayan, pedagang kecil, petani sawah dan petani garam. Ya.., memang tidak semua mendapat bantuan dari LKM, ken ada lembaga lain seperti NGO. Program inipun mendadak, kami harus kerja mati-matian dikecar waktu saat itu.Sedangkan sumber daya kami sangat kurang”. Hal senada di sampaikan oleh Ketua AMF Center BHS di Kantor Dekopinda Aceh Utara. Bahwa aspek yang diperlukan untuk memerangi kemiskinan bagi komunitas korban adalah Aspek political will dari Pemerintah pusat, Propinsi, Kabupaten, kecamatan termasuk Desa/Gampong, artinya dukungan iklim yang kondusif, strategi, kebijakan dan program, data, pemantauan dan evaluasi. Sedangkan aspek dukungan Iklim yang diperlukan untuk memerangi komunitas antara lain: Semua pihak merasa terpanggil untuk berpartisipasi, Ada kesadaran kolektif untuk menempatkan kemiskinan yang dialami oleh komunitas korban sebagai musuh bersama yang harus diperangi, kemudian diikuti dengan langkah-langkah kampanye sosial melalui berbagai
119 saluran informasi untuk lebih meningkatkan kepedulian, kepekaan, dan partisipasi masyarakat dan ada peraturan dan kebijakan daerah yang mendukung penanggulangan kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan usaha kecil, pertambakan, pedagang kecil, pedagang ikan, pedagang benih atau nener ikan dan udang, petani garam, persawahan, pedagang kaki lima, penghapusan
pungutan
terhadap
hasil-hasil
pertanian
atau
kegiatan
perekonomian rakyat. Aspek kebijakan dan program yang diperlukan; Langkah-langkah dan tindakan
operasional
dilakukan
secara
terencana,
bertahap,
dan
berkesinambungan, Disusun oleh dan berdasarkan kesepakatan segenap pihak yang berkepentingan serta disesuaikan dengan kondisi wilayah dan membuka peluang atau kesempatan bagi orang miskin, memberdayakan orang miskin, melindungi orang miskin, mendorong partisipasi semua pihak. Untuk program pendampingan pemberdayaan ekonomi mikro lokal seperti normalisasi tambak, nelayan, pedagang kecil terutama yang bersifat sustainable livelihood masih terus diperlukan termasuk pembinaan dan pemberian bantuan sosial. Selama ini lembaga non pemerintah/NGO maupun pemerintah masih relatif kurang perhatian terhadap kelangsungan hidup ekonomi komunitas korban, hal ini disebabkan banyak lembaga yang menitikberatkan pada rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan dan sarana lain. Maka untuk tahap tahun ke 2 (dua) dan ke 3 (tiga) pasca tsunami diperlukan perhatian lembaga/instansi untuk konsentrasi pada ekonomi mikro secara sustainable sehingga mata pencaharian dapat dikembalikan. BHS menambahkan, bahwa sasaran LKM adalah keluarga korban tusnmai dan konflik yang telah didata oleh pihak pemerintah Gampong bersama dengan stakeholders lain. Bantuan modal usaha baik sektor nelayan, pertambakan, pedagang kecil, petani sawah, peternak dan lain-lain, dengan kriteria: Korban tsunami dan konflik, mempunyai embrio usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan,
berkatagori
rentan,
dengan
indikator
sebagai
berikut:
keterbatasan kemampuan sosial ekonomi, sehingga berpotensi bermasalah, berada pada ambang batas marginal pemenuhan kebutuhan fisik minimal (KFM) di daerah yang bersangkutan, pekerjaan tidak tetap atau punya pekerjaan tetapi tidak memiliki keterampilan khusus, dan tidak mampu mengakses sumbersumber pelayanan kesejahteraan sosial terdekat.
120 Diakui, bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial keluarga telah banyak dilaksanakan melalui berbagai program dengan berbagai kegiatan dan sasaran oleh berbagai unit teknis di lingkungan Pemda Aceh Utara melalui Dinas PMBS (Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial) dan BRR serta NGOs pasca Tsunami
dan
konflik.
Berbagai
kegiatan
dimaksud
belum
sepenuhnya
dilaksanakan secara terpadu, sehingga kurang terlihat adanya unsur sinergisme antara program satu dengan lainnya. Akibatnya penanganan masalah sosial terhadap sasaran menjadi kurang tuntas dan berkesinambungan program sulit diwujudkan. BHS (Ketua AMF Pusat) juga mengatakan; “Dengan adanya pemberdayaan ekonomi komunitas korban pasca tsunami yang dilakukan melalui koperasi (UU Keuangan Negara) maka diperlukan atau dibentuklah AMF sebagai wadah dari seluruh koperasi /LKM penerima bantuan yang ada di seluruh NAD. Sampai saat ini masih dalam proses transisi sebagai lembaga independen yang ditunjuk untuk mengurus dan bertangggung jawab penuh terhadap program koperasi/LKM pasca masa tugas BRR. Bahwa per Agustus 2007 telah mencapai 148 koperasi/LKM yang tersebar pada 22 Kabupaten/Kota di NAD dan akan mencapai 400 unit Koperasi/LKM pada tahun 2009. Kendala yang dihadapi saat ini Koordinasi masih kurang/tumpang tindih, kurangnya pemahaman masyarakat tentang dana hibah dan kredit mikro, lemahnya pengawasan dari DIKLAT pada level pengelola. Tersebarnya LKM secara merata pada 108 Kecamatan dari 246 Kecamatan yang ada di seluruh NAD Para pemetik mamfaat dari program ini (masyarakat Aceh ) telah mencapai 112.000 orang(Revolving). Tahun 2006 Sudah tersalur/terserap 229 milyar dalam 2 tahun pasca Tsunami”. Dalam proses pemberdayaan komunitas korban LKM bersama AMF mesti sinergi dalam menjalankan tugas, kalau tidak keberdayaan korban tsunami jauh dari harapan. Ketua dan sekteraris AMF Lhokseumawe, ST dan ZFK di kantor AMF di jalan samudera Lhokseumawe. “kita yang bekerja di AMF Lhokseumawe, hanya di gaji selama 2 bulan pertama sedangkan ini sudah hampir 6 bulan tidak jelas gaji kami. Padahal kita dituntut untuk dapat mengkoordinir 8 LKM yang ada di wilayah Lhokseumawe. Kami kira program pemberdayaan dan pengembangan seperti ini cukup bagus, asalkan mekanisme dan pola koordinasi jelas. jangan sampai perannya tumpang tindih dengan lembaga lain. Perlu diketahui juga awal program ini pola perekrutan pengurus LKM juga asal ambil, sehingga sekarang kualahan dalam menata management, BRR terkesan sangat terburu-buru, mungkin untuk menghabiskan uang… Hal yang sama di ucapkan oleh SA, ketua AMF Kabupaten Aceh Utara, yang juga pegawai negeri di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Utara. Menurutnya, program pemberdayaan dan pengembangan komunitas melalui LKM dan Koperasi sangat bagus untuk membangkitkan perekonomian
121 dan pemberyaan masyarakat yang baru dilanda musibah. Namun dalam pelaksanaan dilapangan dibutuhkan pendekatan dan stategi yang tepat. LKM tidak dilepas begitu saja dalam menjalankan fungsinya tanpa pembinaan secara berkelanjutan. Sosiolog Aceh, dosen Unsyiah yang sedang melanjutkan studi S3 fakultas sosiologi Universitas Indonesia OS dalam sebuah diskusi, ketika pengkaji bertemu di Jakarta akhir oktober 2007. “Di Aceh sekarang mengalir dana cukup besar, sehingga kehabisan ide untuk menghabiskannya, mestinya kita semua berbuat apa saja yang bermanfaat ke depan untuk masyarakat Aceh, bukan hanya sekedar proyek instant atau sesaat, sekecil apapun mari kita berbuat untuk Aceh. Jangan hanya berharap pada lembaga seperti BRR dan lain-lain, mereka terkadang terbentur dengan birokrasi dan pola koordinasi yang rumit. Kalau saat ini Aceh belum bisa menggunakan dana dengan baik dan benar, saya kira tidak akan ada kesempatan serupa. Salah seorang pengamat sosial dan antropolog muda Aceh, juga sebagai Dosen Sosial politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, TKF. Ketika di tanya tentang program LKM/AMF dari BRR dan keberdayaan komunitas korban sampai saat. Beliau memberi komentar panjang lebar, namu ada beberapa inti sari yang dapat dipetik; ”bahwa keberadaan dan fungsi utama BRR hanya menjalankan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami, jadi jangan disalahgunakan fungsi tersebut. Hampir tiga tahun tsunami, sisi pemberdayaan ekonomi masih sangat kurang. Yang saya tangkap bersifat proyek sementara; artinya setelah disalurkan ya..sudah, tanpa ada evaluasi yang jelas. Padahal dananya besar sekali sampai trilyunan. Pendekatan yang digunakan bersifat top down. Proyek pemulihan ekonomi yang dinamakan Aceh Micro Finance (AMF) yang membantu ratusan lembaga keuangan mikro (LKM) hanya menjadi cara untuk mendistribusikan uang dengan studi kelayakan lemah, ditambah lagi aroma korupsi yang cukup menyengat pada proses. Boleh dicari bukti dari ratusan LKM yang dibantu, berapa gelintir yang telah mampu mengembangkan dan mengembalikan modal usaha. Jika mengacu kepada problem yang menghinggapi BRR saat ini, terlihat tidak ada prioritas yang dilakukan untuk mempercepat pemulihan dan pembangunan pascatsunami, Prinsip ingin melakukan semua telah membuat banyak proyek rehabilitasi menjadi "setengah matang" di perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Terlalu banyak perencanaan, sedikit tindakan, tetapi terlalu besar risiko anggaran yang dikeluarkan’’. Dalam sebuah fokus diskusi group di kantor Dekopinda Aceh Utara, pengamat komunikasi dan social budaya, KMH juga dosen Universitas Malikussaleh. Berbicara panjang lebar tentang realitas kehidupan komunitas korban tsunami berkaitan dengan program LKM/AMF. Menurutnya;
122 “tingkat keberdayaan komunitas korban tidak bisa hanya diukur dari segi pertumbuhan ekonomi semata, atau diukur dengan jumlah bantuan dana. Namun banyak indikator lain yang perlu dikaji, terutama faktor sociocultural, psikologis komunitas korban termasuk perubahan antropologis komunitas saat ini, mengingat ada perubahan tatanan social budaya dalam komunitas baru tersebut, apakah secara adat nilai-nilai normatif dalam komunitas sudah terwakili? rasa memiliki dan daya guna uang tersebut terabaikan. lemahnya sumber daya manusia dalam mengurus koperasi/LKM dan waktu yang terbatas dalam proses pendataan dan verifikasi penerima bantuan, juga menjadi kendala. Sisi lain, sosialiasi, komunikasi antar pihak yang terlibat masih kurang. Dana yang cukup besar. Memilih pendekatan yang tepat, dengan melakukan perencanaan bersama komunitas, membuat kebijakan juga berdasakan kebutuhan komunitas, implementasi program dan melakukan monitoring dan evaluasi serta pendokumentasiaan secara bersama. Kalau tidak, ya..seperti sekarang ini, hanya ada data kuantitatif dari BRR Aceh-Nias seperti jumlah LKM/ koperasi yang mendapat dana, jumlah penerima bantuan, jumlah dana yang kucurkan. Sedangkan evaluasi keberlanjutan dan tingkat keberdayaan komunitas korban masih merabaraba. Saya kira juga, integritas, komitmen, moralitas dan kejujuran menjadi hal penting. Banyak orang yang pandai ada datang ke Aceh, tapi sangat sedikit kita menemukan orang yang jujur dan ihklas. Saya kira, pemberdayaan dan pengembangan ini muncul sebagai solusi atas fakta ketimpangan yang selama berlansung baik itu struktur kekuasaan, dimana komunitas korban haus akan kebutuhan untuk mendapatkan kekuasaannya dalam mengatur diri mereka sendiri”. Keberdayaan komunitas korban seperti yang tergambarkan diatas, tentu saja tidak berhenti hanya sampai disitu. Tapi prinsip dalam proses komunikasi dialektika dan interaksi antar stakeholders akan terus berlangsung dalam proses pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami. Kenyataan sosial ekonomi yang terbentuk dalam komunitas secara objektif ini kemudian dihadapkan pada individu, yang pada tahap selanjutnya bersifat mempengaruhi dan memaksa pembentukan pola fikir, sikap, tindakan dan perilaku-perilaku individu. Kenyataan sosial ekonomi objektif yang dimiliki, dialami dan dirasakan bersama tersebut kemudian menjadi bagian-bagian dari individu yang sebut kenyataan sosial ekonomi subjektif yang mendasari pola fikir, sikap, dan tindakan serta perilaku individu. Mulai disini proses pembentukan kenyataan sosial ekonomi kembali dilakukan oleh individu dari awal dan oleh karenanya disebut sebagai proses dialektika. Proses inilah yang sedang berlansung di gampong Keude simpang jalan Seunuddon dalam proses rehabilitasi ekonomi mikro oleh Koperasi/LKM dan lembaga lembaga lain. Namun, bantuan ekonomi mikro ini berdampak cukup besar terhadap kelangsungan usaha mereka sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan akan mempengaruhi taraf kesejahteraan keluarga
123 miskin menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan program Pemberdayaan melalui LKM dan Koperasi. Hal ini seperti yang dituturkan oleh salah seorang pemetik manfaat Bapak MA sebagai petani tambak di Keude Seunuddon, menerima bantuan modal mikro bentuk mudharabah senilai Rp. 5.000.000,- untuk membeli bibit bandeng, obat-obatan tambak dan pakan. “ Setelah ada program LKM ini tambak saya bisa difungsikan kembali, tahun lalu (2005-red) saya mendapat pinjaman bantuan modal dari LKM Seunuddon Finance Rp. 5000.000,- dan di perjanjian saya akan bayar dua kali panen yaitu setiap 5 bulan sekali. Panen pertama saya kembalikan 2,5juta, sisanya ya.. untuk makan, anak sekolah dan kebutuhan lainnya. Panen kedua 3 bulan lalu saya bayar semua. Dan hasilnya tambak saya sampai saat ini bisa terus difungsikan”. Awalnya memang susah, karena tambak saya terkana tsunami, saya mau kerja lain tidak tau mau kerja apa. Ya.. saat itu kami makan hasil kebun kelapa, sawah, tapi sekarang Alhamdulillah sudah mendingan”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu SR yang menerima bantuan modal senilai pola mudharabah Rp. 5.000.000,- untuk kebutuhan warungnya bahan sembako, yang mengatakan: “program ini dapat membantu kelangsungan usaha warungan saya, barang-barang yang di jual jadi lebih banyak dan lengkap jenisnya, pelangganpun jadi lebih banyak dan pendapatan saya juga bertambah, program ini bermanfaat untuk orang-orang kecil seperti saya juga yang lainnya untuk nambah modal tidak perlu pinjam ke rentener.” Baik Bapak MA maupun Ibu SR telah mampu mengembalikn pinjamannya dan setelah melunasi dapat meminjam lagi kepada pengurus LKM Seunuddon Finance. Adanya pemberian bantuan stimulan modal usaha melalui program LKM ini memberikan manfaat yang cukup besar bagi anggota-anggota kelompok, karena anggota kelompok mempunyai peluang untuk mengembangkan usaha dan menjaga keberlangsungan usahanya. Namun pengurus LKM seringkali kekurangan dana untuk dipinjamkan kepada anggota, karena masih banyak anggota yang tidak lancar mengembalikan pinjaman bahkan ada beberapa anggota yang tidak dapat mengembalikan pinjaman karena usahanya macet sehingga anggota yang lain yang membutuhkan tambahan modal tidak dapat terpenuhi. Gambaran diatas, menunjukkan bahwa ada komunitas korban tsunami yang telah mampu kembali hidup normal artinya mereka relatif telah terberdaya. Namun banyak diantara mereka di Gampong Keude Seunuddon belum merasakan proses pemberdayaan dengan dana yang cukup besar di Aceh.
124
5.6. Ikhtisar Evaluasi Program Berdasarkan
hasil
evaluasi
program
diatas,
ternyataan
program
pemberdayaan ekonomi mikro oleh LKM bagi komunitas korban tsunami dan konflik belum membawa perubahan yang signifikan terhadap komunitas korban. Program ini merupakan visi dan misi BRR Aceh-Nias Deputi Ekonomi dan pemerintah daerah yang diterjemahkan ke dalam kegiatan untuk meningkatkan keberdayaan korban tsunami. Mengikuti konsepsi kebijakan sosial yang terkait erat dengan perencanaan sosial, maka program LKM merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan guna menanggulangi ketidakberdayaan komunitas korban tsunami. Program LKM dilakukan secara terarah, terencana dan sistematik
yang
bertujuan
untuk
membantu
meningkatkan
keberdayaan
kehidupan sosial, psikologis dan ekonomi keluarga melalui penguatan motivasi dan kemampuannya dalam mendayagunakan sumber-sumber dan potensi yang dimiliki, sehingga kemandiriannya bagi korban tsunami secara cepat dapat diwujudkan. LKM seunuddon finance aktif sejak tahun 2005, data awal diperoleh bahwa jumlah komunitas korban mendapat modal usaha 350 jiwa lebih dengan berbagai profesi. Profesi dominan adalah perikanan laut/nelayan dan petani tambak. Namun dua tahun pasca program dikucurkan, komunitas korban tsunami Keude Simpang Jalan Seunuddon masih belum terberdaya. Dalam konteks strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban, LKM seunuddon finance memiliki pendekatan sendiri selain aturan yang sudah diformalkan oleh BRR Aceh-Nias. Menurut managernya, keterlibatan sasaran menjadi hal utama. Mereka tidak hanya sekedar menyalurkan dana. Pola yang diterapkan sesuai dengan makanisme yang sudah dibuat dalam buku induk BRR Aceh-Nias, namun dibeberapa tempat ada perlakuan khusus. Dalam pelaksanaannya, diharapkan setiap anggota kelompok saling berelasi, berinteraksi satu sama lain secara timbal balik atas dasar kepercayaan, hak dan kewajiban. Setiap anggota kelompok ini juga mengembangkan modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi, dan demokrasi dalam wadah kelompok usaha bersama. Koperasi/LKM berupaya untuk mengembangkan aspek lokalitas dan mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dan sumber-sumber terkait sehingga program dilaksanakan
secara
terpadu,
saling
mengisi
dan
memperkuat
dalam
mewujudkan tujuan bersama untuk meningkatkan keberdayaan komunitas.
125 Namun realitas lapangan menunjukkan modal sosial tidak berkembang dengan baik. LKM Seunuddon Finance di bentuk tahun 2005 berdasarkan Badan Hukum Koperasi Pasantren Bungong Laot No.134/BH/KWK I/XII/1995/ 14 Desember 1995. Bermula ketika BRR Aceh-Nias meluncurkan program pemberdayaan dan pengembangan LKM dan Koperasi untuk keberdayaan komunitas korban tsunami. Pilihan terhadap Koperasi Bungoeng laot sebagai salah satu Koperasi peserta program BRR adalah pilihan yang dilematis. Di Kecamatan Seunuddon sebagai daerah tsunami sangat sulit untuk mendapatkan lembaga keuangan yang sehat, baik lembaga perbankan sekalipun apalagi koperasi. Berpijak pada realita tersebut sangat sulit menentukan LKM-LKM peserta program BRR Aceh-Nias, yang mempunyai tingkat kesehatan keuangan yang baik, karena pada kenyataannya LKM Seunuddon Finance tidak memiliki simpanan pokok maupun simpanan wajib. Ditambah lagi tidak tersedia Sumber Daya Manusia yang dilengkapi dengan pengalaman dan kemampuan yang optimal. Jenis pembiayaan LKM ada beberapa jenis, antara lain: Konsep Pinjaman Qardhul Hasan (QH), adalah pinjaman (maximal 2 juta) yang hanya mengembalikan pinjaman pokoknya saja dengan cara mencicil (maximal 1 tahun) tanpa harus memberikan bagi hasil keuntungan. Sifat pinjaman ini adalah pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi masyarakat korban gempa dan tsunami yang punya motivasi ingin usaha tapi tidak mempunyai asset produktif. Dari studi ini ditemukan bahwa warga masyarakat yang menerima pinjaman QH ini hampir sebagian besar tidak mengembalikan pinjaman sesuai rencana (sesuai petunjuk teknis). Pada temuan yang lainnya pada masyarakat yang menerima pinjaman QH walaupun usaha mereka telah berjalan kembali dengan baik, tapi mereka masih enggan mengembalikan dana QH tersebut sesuai dengan rencana angsuran.
Konsep
Pembiayaan
Mudharabah/Bagi
Hasil
(MH)
adalah
pembiayaan (maximal 5 Juta) yang diperuntukkan bagi masyarakat yang telah mempunyai usaha kembali setelah bencana gempa dan tsunami. Pola yang digunakan adalah bagi hasil dari keuntungan sesuai dengan penyertaan yang diberikan LKM kepada masyarakat, dan LKM hanya berhak mendapatkan keuntungan dari penyertaan modalnya sebesar (20 persen – 80 persen) 20 persen untuk LKM dan 80 persen untuk peminjam.
126 Namun bagi hasil ini tidak harus dibagikan apabila usaha yang dikelola tidak memperoleh keuntungan. Dan pola Ritel yaitu bantuan bagi hasil bagi pedagang maksimal Rp. 20.000.000,-. Hanya 4 keluarga/individu. Semua stimulan ekonomi mikro ini disalurkan mulai Desember 2005. Ekonomi lokal komunitas korban tsunami belum menunjukkan perubahan yang signifikan setalah mendapat modal usaha dari LKM Seunuddon Finance. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) strategi penyaluran modal bantuan LKM, banyak yang belum tepat sasaran. Pengurus LKM tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi lapangan terhadap kelayakan calon penerima bantuan. b) modal usaha yang diterima oleh masyarakat lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari. c) kerjasama dalam komunitas juga belum berjalan dengan baik. d) Kejujuran pengelola dan penerima bantuan masih dipertanyakan. Hasil praktek lapangan tentang evaluasi program diperoleh informasi bahwa setelah dikucurkan dana bantuan dari BRR Aceh-Nias selain tingkat keberdayaan, keberlanjutan program dalam masyarakat yang masih terabaikan. Juga memunculkan konflik baru. Konflik tersebut dipicu oleh pihak-pihak yang tidak
mendapat
bantuan
modal
dari
LKM
sedangkan
mereka
sudah
mengumpulkan KTP sejak awal program yaitu bulan Juni tahun 2005. KTP yang terkumpulkan melebihi dari kapasitas dana yang ada. Selain itu, ada pihak-pihak yang dikatagorikan sebagai provokator atau pihak yang tidak senang dengan kepengurusan koperasi dan LKM. Mereka menjadi salah satu penghambat dalam keberlanjutan program. Mereka menghembuskan wacana bahwa dana bantuan LKM tidak perlu dikembalikan karena bersifat hibah dari BRR Aceh-Nias. Konflik bertambah besar ketika perangkat Muspika yang mendapatkan modal bantuan dari LKM sedangkan mereka tidak berhak mendapat dana tersebut. Ada juga warga masyarakat yang dikatagorikan mampu dan tidak mengalami musibah stunami dan konflik mendapat bantuan. Pengurus LKM/koperasi pilih kasih, tidak transparan masyarakat menuduh ada indikasi korupsi dana LKM, dan memunculkan kecemburuan sosial. Konflik juga terjadi dalam interen pengurus koperasi
dan
LKM.
Konflik
interen
ini
muncul
sejak
awal
program
implementasikan berkaitan dengan memilih kepengurusan LKM (manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan/debitor). Selain itu, banyak warga masyarakat yang mendapat bantuan ketika diundang tidak mau hadir, menghindari bertemu dengan pengurus LKM dan
127 koperasi, bahkan menjelek-jelekkan pengurus LKM. Untuk mengatasi konflik tersebut, dari FGD dan wawancara yang pengkaji lakukan didapatkan solusi bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mesti bermusyawarah dan juga pemahaman ulang tentang program yang sedang berjalan. Evaluasi terhadap gagasan, ide, arah, kebijakan dan kebijakan program merupakan sebuah konsep yang komprehensif dalam menata kembali perekonomian rakyat Aceh pada pasca bencana gempa dan tsunami mulai tahun 2005 sampai dengan selesainya masa bakti BRR NAD-Nias pada tahun 2009. Akhir masa tugas BRR tahun 2009, semua tugas, fungsi, seluruh asset yang tetap dan bergerak diserahkan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu aset penting dengan dana triliyunan rupiah adalah program pemberdayaan dan pengembangan koperasi/LKM untuk keberdayaan komunitas korban tsunami. Program yang dikucurkan sejak tahun 2005 oleh BRR Aceh-Nias telah membawa pro dan kontra dalam dinamika masyarakat NAD. Pilihan terhadap lembaga berbadan-hukum Koperasi/LKM sebagai alat mediasi pengelolaan fasilitas dana BRR yang harus disalurkan ke komunitas korban, pada satu sisi merupakan langkah yang paling aman ditilik dari aspek legalitasformal sebuah lembaga yang akan menerima dana pemerintah. Namun pada sisi yang lain ternyata mengundang banyak tanggapan khususnya dari pihak institusi atau individu yang memiliki pandangan terhadap koperasi/LKM sebagai sebuah lembaga yang bercitra kurang positif. Evaluasi terhadap keterlibatan komunitas korban menunjukkan bahwa komunitas korban karena kondisi dan situasi musibah, keterlibatan mereka terabaikan. Penerapan prinsip keterlibatan komunitas korban dalam konteks pemberdayaan ekonomi mikro di NAD masih sangat kurang. Prospek keberlanjutan program belum jelas. Besarnya dana yang dikucurkan oleh BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi belum menjadi jaminan program tersebut akan bertahan dan berlanjut. Hasil observasi dan wawancara serta diskusi fokus group yang dilakukan pengkaji, menunjukkan indikasi tersebut. Keberlanjutan program tersebut masih menjadi pertanyaan. Artinya mesti dilakukan penelitian, pengkajian dan evaluasi ulang secara menyeluruh berkaitan dengan program penguatan ekonomi mikro tersebut. Walaupun demikian nada optimis muncul dari Deputi Ekonomi BRR Aceh Nias. Optimisme ini muncul, menurut pengkaji lebih kepada keberhasilan bidang ekonomi dalam
128 upaya menghabiskan anggaran, tanpa dilandasi evaluasi dan monitoring mendalam tentang keberhasilan dan keberlanjutan program. Beberapa hasil evaluasi secara umum terhadap program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami oleh LKM sebagai berikut: a) sumber Daya Manusia pengelola LKM masih kurang. b) pola koordinasi antara BRR, Pemda/Dinas terkait, AMFC dan Koperasi-LKM belum berjalan. c) belum terciptanya dukungan yang memadai dari pelaku-pelaku pembangunan lokal seperti pemda, pengusaha, kelompok peduli, NGOs (Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat, ulama, KPA dll) sehingga kerjasama belum terwujud dalam penanggulangan keluarga miskin melalui kelompok usaha bersama. d) belum terciptanya jalinan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi yang disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan bagaimana cara mengakses sumber dan pihak mana yang dapat diakses, maka dalam hal ini pendamping sosial perlu melakukan perannya secara optimal yaitu sebagai pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan advokator. e) bantuan modal usaha pergulirannya terjadi kemacetan karena pada umumnya masyarakat menganggap bahwa setiap bantuan dari pemerintah dan BRR sebagai hibah yang tidak perlu dikembalikan. f). kejujuran pengelola dan penerima bantuan masih rendah. g) Sosialiasi program kurang dilakukan. h) pendataan dan verifikasi lapangan kurang dilakukan. Lebih lanjut secara khusus dapat di evaluasikan sesuai dengan temuan lapangan, berikut. 1. Dari segi sebaran lokasi keberadaan koperasi/LKM; keberadaan LKM Seunuddon Finance masih mudah dijangkau dengan roda dua atapun roda empat. Transportasi sudah tersedia, jalan sudah diaspal walaupun sudah mengalami rusak berat, jarak dengan kecamatan hanya 1 kilometer, dengan jalan negara 10 kilometer, dengan Ibu kota Kabupaten 60 kilometer. 2. Pengelola berdasarkan biodata yang ditemukan bahwa LKM Seunuddon Finance, yang terdiri dari manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan semua tamatan SMU. Sehingga mereka memenuhi persyaratan minimal sebagai pengelola LKM. Namun tingkat pendidikan tidak menjamin program berjalan lancar. Banyak faktor lain seperti sosial budaya, situasi dan kondisi korban yang masih trauma. 3. Kemandirian LKM, bahwa LKM belum dapat mengelola dana fasilitas BRR (rata-rata per LKM 900 juta) yang pada kenyataannya dengan dana sebesar
129 itu seharusnya LKM yang mendapat Bantuan/suntikan dana dari BRR, sudah dapat mandiri. Hal ini dikarenakan, LKM Seunuddon Finance mengalami konflik dengan masyarakat maupun dalam tubuh lembaga LKM atau koperasi itu sendiri. Sehingga semua dana yang sudah dikucurkan sulit dikembalikan. 4. Penguatan kelembagaan Koperasi/LKM tidak dilakukan sejak awal. Mestinya BRR Aceh-Nias, pemerintah dan lembaga donor lain melakukan penguatan capacity building terhadap lembaga dan pengurus koperasi/LKM, setelah itu selesai, baru kemudian dana dikucurkan. 5. Dari segi masyarakat, pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah (barak). Karena pada dasarnya kondisi dan lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat lokasi bencana tidak dapat berfungsi atau belum saatnya berfungsi secara normal. Sehingga yang terjadi adalah semua dana bantuan modal usaha dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, bukan untuk modal usaha. 6. Di tilik dari kondisi infrastruktur seperti media transportasi, sarana komunikasi, dan sarana listrik, semuanya masih belum berfungsi normal pada saat program diluncurkan. Faktor tersebut sangat berpengaruh pada tingkat pelayanan lembaga yang bergerak di pelayanan publik termasuk koperasi. Ketika kondisi ini diabaikan dan program tetap berjalan, akibatnya adalah terjadi gangguan (disfungsi) terhadap pelayanan publik. Untuk lembaga koperasi/LKM di temukan kondisi sebagai berikut: kesulitan menjangkau koperasi pada daerah bencana karena belum ditemukan sarana, sehingga fungsi pengendalian dan supervisi terlambat dilakukan. Arus listrik yang cenderung tidak stabil setiap hari, hal ini berakibat pada tidak berfungsinya atau kerusakan pada perangkat lunak dan keras yang menjadi alat kerja utama lembaga pelayanan publik seperti koperasi/LKM. Sehingga administrasi awal dari LKM Seunuddon Finance bersifat manual. Semua dicatat secara manual yang menyulitkan proses kerja dilapangan. Akibat lain yang ditentukan adalah pencatatan administrasi dan keuangan dilakukan secara manual yang cenderung memiliki kelemahan dalam keakuratan data
130 keuangan dalam penerapannya. Akhir tahun 2006 baru tersedia perangkat lunak dan keras LKM. 7. LKM Seunuddon Finance, baru diaktifkan ketika program BRR Aceh-Nias diluncurkan. 8. Dinilai dari jenis bantuan pola bantuan yang diterapkan sudah cukup baik, baik itu dinilai untuk kepentingan masyarakat sebagai pemetik manfaat ataupun LKM, karena jenis bantuan yang ada bervariasi disesuaikan dengan kondisi dari masyarakat/pemetik manfaat yang
ada. Namun dalam
prakteknya dilapangan semua jenis bantuan tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan, pemahaman masyarakat tentang pola bantuan sosial, mudharabah/bagi hasil dan ritel masih lemah, termasuk pengurus LKM/koperasi itu sendiri. 9. LKM dituntut dalam waktu yang singkat mesti dapat menyeleksi masyarakat untuk menjadi penerima bantuan dalam jumlah yang besar. Pada kenyataannya dalam waktu yang singkat tidak bisa dilakukan penyeleksian yang akurat terhadap penerimarima bantuan yang layak. 10. Hasil evaluasi program melalui observasi dan wawancara serta diskusi fokus group (FGD) yang dilakukan pengkaji, menunjukkan bahwa prospek keberlanjutan program tersebut tidak berlansung atau tidak berhasil. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa sebab antara lain: Pertama, kurang percaya masyarakat terhadap lembaga BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi yang terjadi dalam berbagai lembaga penyedia layanan dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami termasuk koperasi/LKM serta AMF, NGO lokal, nasional maupun internasional. Kedua, faktor sosioculture masyarakat yang kurang memahami arti penting swadaya dan dana bergulir. Ketiga, pendataan yang masih simpang siur serta diketahui masyarakat yang baru keluar dari situasi dan kondisi musibah tsunami dan konflik berkepanjangan masih menyimpan traumatik secara psikologis, sosiologis. Keempat, kredit macet mencapai 65 persen di LKM Seunuddon Finance. Kelima, pola dana bergulir atau pola kredit masih relatif baru bagi komunitas di Keude Simpang Jalan. Keenam, komunitas terbiasa menerima dana bantuan secara percuma dari beberapa NGO dan lembaga donor lainnya, sehingga kesadaran untuk mengembalikan dana bantuan dari LKM kurang. Ketujuh, lemahnya kesadaran komunitas dalam program semacam ini. Kedelapan, dari 350 individu yang mendapat dana dari LKM Seunuddon Finance hanya beberapa
131 orang saja yang dana bantuan tersebut digunakan sesuai dengan usahanya, lainnya hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Komunitas korban yang mendapat bantuan dari program LKM, tidak mengalami perubahan secara signifikan, ditilik dari jenis perekrajaan sebelum dan sesudah tsunami. Seperti petani tambak, setelah tambak dinormalisasikan oleh BRR Aceh-Nias, mereka kembali bekerja seperti sediakala. Bagi petani tambak yang sempat ditemui, mereka rata-rata tidak ada jenis pekerjaan lain yang sesuai dengan keahliannya. Pekerjaan di tambak sudah dijalankan dari turun temurun. Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang nyata atau signifikan pada ekonomi komunitas. Penyebab tidak adanya perubahan ekonomi komunitas yang signifikan dapat dilihat dalam dua segi yaitu segi kelembagaan LKM/koperasi dan segi komunitas itu sendiri. Pertama, penyebabnya dari segi kelembagaan LKM/koperasi bahwa LKM tidak memiliki sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola dana bergulir secara berkelanjutan termasuk waktu yang dimiliki pengurus LKM untuk memverefikasi komunitas calon penerima modal usaha terbatas sehingga modal usaha yang dikucurkan banyak yang tidak tepat sasaran. Keterlibatan komunitas sebagai penerima manfaat tidak ada sama sekali. Lembaga LKM/koperasi masih dipandang pesimis oleh komunitas, citra koperasi/LKM yang buruk mengurangi kepercayaan komunitas. Secara ekternal dan internal lembaga koperasi/LKM masih terjadi konflik. Kedua, dari segi komunitas, modal bantuan yang di dapat dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini dikarenakan tidak ada sumber pendapatan lain pasca tsunami dan konflik, juga anggapan jumlah modal usaha yang disalurkan terlalu kecil untuk modal usaha. Pengembalian modal usaha sampai dengan 2 tahun pencairan masih terjadi kredit macet mencapai 65 persen. Pemanfaatan Lahan tambak, persawahan, kehidupan nelayan, kios/dagang masih belum dapat difungsikan secara maksimal karena kekurangan modal usaha. Perubahan ekonomi komunitas korban, hanya terlihat saat menerima bantuan untuk keperluan usahanya. Seperti yang terjadi bagi komunitas tambak, mereka dapat menggunkana dana bantuan tersebut untuk kebutuhan tambaknya 1 kali panen, namun ketika panen tambak tidak bagus mereka kehabisan modal untuk memulai lagi. Hal serupa juga berlaku bagi nelayan, ketika mereka turun laut dan mendapat hasil yang bagus, nampak terlihat perubahan ekonomi
132 keluarganya. Mereka dapat melanjutkan sekolah anaknya, kebutuhan pokok keluarga tidak perlu berhutang diwarung-warung. Namun ketika hasil tangkapan tidak maksimal, maka mereka kehabisan modal untuk melaut lagi. Dan pilihan kemudian adalah pada rentenir.
Namun, bukan berarti tidak ada komunitas
korban yang tidak ada perubahan ekonomi. Ada beberapa orang yang pengkaji temui,
menurunya
mengalami
perubahan
ekonomi
dalam
kehidupan
keluarganya. Kehadiran LKM Seunuddon Finance tidak membawa dampak perubahan yang signifikan pada kehidupan dan keberdayaan komunitas yang mendapat bantuan dari LKM. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, strategi penyaluran bantuan modal usaha tidak melibatkan komunitas secara langsung. Komunitas tidak tahu tentang program LKM yang sebenarnya, mereka hanya mengetahui bahwa ada bantuan modal usaha dari koperasi/LKM secara cuma-cuma sehingga semua mengajukan permohonan tanpa berpikir untuk mengembalikan modal bantuan tersebut. Kedua, pendampingan terhadap komunitas termasuk kelembagaan LKM tidak dilakukan secara maksimal, sehingga mengakibatkan tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif baik dengan komunitas maupun lembaga yang terkait. Ketiga, dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha hanya segelintir yang mampu mengembalikan modal tersebut, selebihnya modal usaha digunakan untuk kebutuhan konsumtif sesaat. Keempat, hanya terdapat 5 orang yang memdapat modal usaha dari LKM untuk penambahan modal warung kopi dan toko yang lancar pengembalian sedangkan komunitas lain dengan jenis usaha tambak, sawah, dan nelayan rata-rata tidak mampu mengembalikan, hal ini disebabkan bantuan modal usaha tidak digunakan untuk kepentingan usaha. Keenam, kelompok nelayan yang mendapat modal bantuan yang rata-rata hanya 1 juta sampai 3 juta habis digunakan untuk kebutuhan rumah tangga hanya sisa untuk kebutuhan kapal bermotor seperti untuk BBM dan kebutuhan melaut. Sedangkan komunitas tambak, sawah, petani garam yang sempat menggunakan modalnya untuk usaha tersebut akibat musibah pasang laut yang terjadi tahun 2007 telah menenggelam tambak, sawah, dan lahan garam sehingga gagal panen. Keberdayaan komunitas korban seperti yang tergambarkan diatas, tentu saja tidak berhenti hanya sampai disitu. Tapi prinsip dalam proses komunikasi dialektika dan interaksi antar stakeholders akan terus berlangsung dalam proses pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami. Kenyataan sosial
133 ekonomi yang terbentuk dalam komunitas secara objektif ini kemudian dihadapkan pada individu, yang pada tahap selanjutnya bersifat mempengaruhi dan memaksa pembentukan pola fikir, sikap, tindakan dan perilaku-perilaku individu. Kenyataan sosial ekonomi objektif yang dimiliki, dialami dan dirasakan bersama tersebut kemudian menjadi bagian-bagian dari individu yang sebut kenyataan sosial ekonomi subjektif yang mendasari pola fikir, sikap, dan tindakan serta perilaku individu. Mulai disini proses pembentukan kenyataan sosial ekonomi kembali dilakukan oleh individu dari awal dan oleh karenanya disebut sebagai proses dialektika. Proses inilah yang sedang berlansung di gampong Keude simpang jalan Seunuddon dalam proses rehabilitasi ekonomi mikro oleh Koperasi/LKM dan lembaga lembaga lain. Gambaran diatas, menunjukkan bahwa hanya segelintir orang dalam komunitas korban tsunami yang mampu kembali hidup normal artinya mereka relatif telah terberdaya. Namun kebanyakan anggota komunitas korban tsunami di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon belum terberdaya. Minimnya tingkat keberdayaan ekonomi komunitas korban tsunami tidak signifikan dengan dana yang dikucurkan ratusan milyar rupiah.
RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS KORBAN TSUNAMI DAN PENGUATAN LKM 6. 1. Latarbelakang Rancangan Program Guna
menjawab
permasalah
pokok
kajian
ini
yaitu
bagaimana
pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro yang dilakukan oleh LKM dapat memberdayakan korban tsunami telah dilakukan serangkaian kajian mulai dari pemetaan sosial, evaluasi program dan analisis penguatan kapasitas LKM Seunuddon Finance serta analisis faktor-faktor yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan koperasi/LKM. Dari serangkaian kajian tersebut, dapat diidentifikasi
permasalah
yang
menghambat
proses
pemberdayaan
dan
pengembangan komunitas korban tsunami melalui LKM dan penguatan lembaga LKM itu sendiri. Permasalahan yang telah teridentifikasi berasal dari faktor-faktor yang selama ini menghambat terselenggaranya keberhasilan pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban melalui LKM dan pengautan kelembagaan LKM. Oleh karena itu, agar dapat menyelesaikan permasalahan pokok kajian maka dipandang perlu dirancang program yang dapat menjawab permasalahan kajian.
Dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang dialami komunitas
korban tsunami dan LKM di Gampong Keude Seunuddon terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan baik oleh komunitas korban tsunami sebagai anggota LKM, pengurus LKM maupun pihak diluar masyarakat anggota LKM/koperasi, seperti NGO, fasilitator atau pendamping, pemerintah Gampong, pemerintah
Kecamatan,
Pemerintah
Kabupaten,
BRR
Aceh-Nias
atau
Pemerintah propinsi dan pusat. Menurut prioritas permasalahan dan upayaupaya pemecahan tersebut ada yang bersifat prioritas utama dan prioritas jangka panjang. Apabila seluruh upaya pemecahan tersebut dapat dilakukan secara simultan, diharapkan tujuan kajian ini dapat tercapai. Salah satu faktor pendukung proses pemberdayaan dan pengembangan baik komunitas korban maupun LKM adalah adanya kesempatan untuk melaksanakan program-programnya dan dapat dukungan dari berbagai pihak termasuk dukungan dana dari BRR Aceh-Nias, NGO dan pemerintah daerah dan pusat. Adanya kebutuhan mendesak dari komunitas korban untuk diberdaya secara ekonomi pasca 3 tahun tsunami serta adanya kebutuhan akan peningkatan kemampuan kinerja dari pengurus LKM/koperasi, termasuk
135 keberadaan
AMF
center.
Dengan
adanya
jaringan
koalisi
dan
komunikasi/koordinasi semua pelalu melalui kelembagaan yang ada menjadi dasar keberhasilan program. Modal peran pendamping didalam pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami melalui LKM sangat penting. Keberadaan pendamping dapat mengalirkan ilmu dan pengalamannya kepada komunitas korban, hingga pada akhirnya tanpa pendamping nantinya komunitas korban dapat mampu dan berdaya sehingga akan lebih berpartisipasi dalam proses pembangunan di Gampongnya. Berdasarkan kenyataan di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon pendamping lokal yang ada di masyarakat berjumlah sangat minim, kurang profesional dan pengalaman yang minim. Oleh karena itu, perlu dirancang ulang program pemberdayaan dan pengembangan komutitas korban termasuk penguatan ulang LKM/koperasi yang diikuti oleh perekrutan kader pembangunan sebagai pendamping komunitas korban dan pendamping LKM/koperasi. Upaya pemecahan lain yang tidak dituangkan didalam rancangan program akan direkomendasikan didalam kebijakan lokal melalui pemerintah Gampong, kebijakan pemerintah Kecamatan, pemerintah Kabupaten dan Pemerintah pusat/propinsi serta pihak-pihak lain yang terkait dalam pemberdayaan dan pengembangan LKM/koperasi untuk keberdayaan komunitas korban.
6.2. Tujuan dan sasaran Tujuan disusunnya rancangan program ini adalah untuk rancangan program utama bagaimana dapat memberdayakan dan mengembangkan komunitas korban tsunami dan bagaimana melakukan penguatan kapasitas lembaga lokal seperti LKM/koperasi. Sasaran rancangan program adalah komunitas korban tsunami Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon dan sekitarnya, pengurus LKM/koperasi, pengurus AMF Aceh Utara, pengurus Dekopinda Aceh Utara, Dinas terkait dan Satket/manager BRR koperasi dan UKM, kelembagaan lain yang ada di Gampong serta perangkat Gampong. Tanpa keterlibatan semua pihak yang disebut diatas, program apapun yang dibuat berkaitan dengan pemberdayaan dan pengembangan komunitas tidak akan berhasil maksimal.
136
6.3. Program Aksi Program aksi dalam kajian ini diperlukan dalam upaya tercapainya tujuan kajian yaitu peningkatan keberdayaan komunitas korban tsunami dan lembaga lokal dalam program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami melalui LKM/koperasi. Pertama, perlu dilakukan pembenahan secara besar-besaran untuk mencapai tujuan kajian. Semua pihak terkait mesti membuat evaluasi menyeluruh tentang program tersebut. Diakui bahwa program tersebut
bagus
secara
konsep.
Namun
karena
proses
perencanaan,
implementasi, evaluasi tanpa keterlibatan/partisipasi komunitas korban dan LKM/koperasi secara langsung, mengakibatkan program ini kurang bermanfaat, kurang tepat sasaran bahkan tidak bertahan lama (keberlanjutan). Dengan ini pengkaji menawarkan dua program utama yaitu pemberdayaan komunitas korban tsunami dan penguatan LKM/koperasi Seunuddon Finance. Beberapa program kegiatan yang perlu dilaksanakan, termasuk program pelatihan lanjutan bagi LKM/Koperasi dan komunitas korban sebagai pemetik manfaat. Adapun program kegiatan yang perlu dilakukan, antara lain:
6.3.1. Program penguatan komunitas korban tsunami a. Program
penguatan
komunitas
untuk
menumbuhkan
kesadaran
kemandirian dan kekeluargaan. Pemahaman dan kesadaran bersama dalam berkoperasi secara kekeluargaan. Di harapkan semua masalah yang ada berkaitan dengan program LKM dapat teratasi. Program ini dapat diprakarsai oleh tokoh Gampong formal maupun tokoh informal serta pengurus LKM/Koperasi. b.
Program Diklat pemanfaatan ekonomi lokal komunitas korban, diharapkan Komunitas korban dapat memanfaatkan sumberdaya ekonomi lokal yang ada di daerahnya secara maksimal. Diharapkan Komunitas korban harus meningggalkan ketergantungan ekonomi mereka dari pihak luar seperti NGO Asing, BRR, Pemda. Komunitas korban siap ketika seluruh bantuan yang selama ini datang dari berbagai pihak tidak ada lagi. Mereka mandiri dengan sumber ekonomi yang dimilikinya. Menumbuhkan ketahanan ekonomi mikro dalam keluarga secara berkelanjutan. Menumbuhkan kesadaran
berusaha
bersama
dalam
kelompok.
Manajemen
dan
pemanfaatan sumberdaya lokal secara maksimal dengan landasan ekologikal. Potensi lokal seperti tambak, potensi laut dapat menjadi
137 motivasi bagi komunitas untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca tsunami. Kegiatan penguatan komunitas korban tsunami; tahap pertama diupayakan tumbuh kesadaran, kemandirian dan semangat untuk berusaha secara mandiri dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada di Gampong tersebut. Kedua, menumbuhkan kesadaran dari komunitas untuk memanfaatkan lembaga lokal seperti LKM sebagai sarana mencapai keberdayaan. Ketiga, komunitas mesti menjadi pelaku utama dalam penguatan ekonominya.
6.3.2. Program Penguatan lembaga Lokal (koperasi/LKM) Melakukan restrukturisasi kepengurusan koperasi/LKM dengan partisipasi aktif/langsung anggota masyarakat. Dengan tujuan dapat melahirkan pengelola Koperasi/LKM yang kredibel, terpercaya dan jujur. Hal itu dipilih dari dan oleh anggota koperasi/LKM itu sendiri. Diklat manajemen dan organisasi lokal. Penguatan kapasitas Lembaga koperasi/LKM sebagai lembaga lokal yang langsung berhubungan dengan komunitas lokal. Materi Diklat di utamakan adalah tertib administrasi, pembukuan dan pencacatan dalam lembaga LKM secara baik dan benar. Meningkatkan kapasitas pengurus dalam bidang masingmasing. Menumbuhkan ketahanan etos kerja dalam kelembagaan lokal. Menumbuhkan kesadaran berusaha bersama dalam kelompok. Managemen dan pemanfaatan sumberdaya lokal secara maksimal dengan landasan ekologikal. Penguatan kapasitas pengurus inti koperasi dan LKM. Sehingga masyarakat mampu membuat agenda-agenda kegiatan ekonomi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan berkelanjutan.
6.3. Ikhtisar Rancangan Program Berdasarkan hasil rancangan program yang diuraikan diatas. Ternyata masih banyak masalah berkaitan dengan aspek pemahaman, kesadaran, kemandirian termasuk kejujuran individu dan kelompok termasuk dalam berorganisasi dalam lembaga lokal. Maka tidak banyak yang dapat dilakukan ketika pemahaman, kesadaran, kemadirian dan kejujuran masih rendah baik secara individu maupun berorganisasi dalam lembaga lokal. Untuk itu hanya dua program utama yang dapat dilakukan yaitu pertama, penguatan komunitas korban tsunami dalam meningkatkan pemahaman, kesadaran, kejujuran dan kemndirian secara kekeluargaan. Kedua, penguatan LKM/Koperasi dengan
138 melakukan restrukturisasi pengurus koperasi/LKM dengan melibatkan seluruh anggota komunitas. Sehingga tumbuh kepercayaan terhadap LKM/koperasi dalam mengemban amanah.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berkenaan dengan tujuan pertama dari kajian ini yaitu menganalisis keberhasilan dan kelemahan dalam pelaksanaan program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro oleh LKM Seunuddon Finance dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Keberhasilan Pelaksanaan Program Pemberdayaan dan Pengembangan ekonomi mikro bagi komunitas korban tsunami oleh LKM Seunuddon. Dapat disimpulkan: bahwa dengan durasi waktu yang sangat singkat LKM Seunuddon Finance berhasil menyalurkan dana bantuan dari BRR AcehNias kepada komunitas korban yang telah menyerahkan kartu identitas (KTP). b. Kelemahan
dalam
pengembangan,
pelaksanaan
dapat
disimpulkan
program bahwa
pemberdayaan pertama,
dan
sumberdaya
manusia pengelola LKM masih rendah. Kedua, tingkat kejujuran, pemahaman tentang program, kesadaran usaha bersama secara bergulir dan kemandirian pengelola dan penerima bantuan modal masih rendah, sehingga dana yang di
amanahkan kurang tepat sasaran. Ketiga,
pemahaman berkoperasi baik bagi pengurus koperasi/LKM sendiri maupun komunitas korban masih sangat rendah. Kelima, kapasitas atau capacity building LKM/koperasi masih dipertanyakan dalam mengelola dana besar. Keenam, kurang percaya masyarakat terhadap lembaga BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi yang terjadi dalam berbagai lembaga penyedia layanan dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami termasuk koperasi/LKM serta AMF, NGO lokal, nasional maupun internasional. Ketujuh, memunculkan konflik baru dalam komunitas korban antara yang mendapat bantuan dengan yang tidak mendapat bantuan. Berdasarkan tujuan kedua penelitian ini yaitu menganalisis dampak dan tingkat keberdayaan korban tsunami setelah mendapat bantuan dari LKM Seunuddon Finance dapat disimpulkan bahwa: a. Program
pemberdayaan
dan
pengembangan
LKM/koperasi
yang
dikucurkan oleh BRR Aceh-Nias yang dipercayakan salah satunya pada LKM Seunuddon Finance di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan
140 Seunuddon belum mampu memberdayakan ekonomi mikro korban tsunami walaupun dana yang kucurkan mencapai 900 juta rupiah. Ada beberapa sebab antara lain; sejak awal diprogramkan oleh BRR AcehNias, belum ada upaya sosialiasi strategi bersama masyarakat mulai tahap
perencanaan,
implementasi
dan
evaluasi
program
belum
sepenuhnya dilaksanakan secara partisipatif sehingga tujuan tidak tercapai. Program bersifat top down, sarat dengan unsur birokratis dan struktural. b. Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang nyata atau signifikan pada ekonomi mikro komunitas. Penyebab tidak adanya perubahan ekonomi komunitas yang signifikan dapat dilihat dalam dua segi yaitu segi kelembagaan LKM/koperasi dan segi komunitas itu sendiri. Pertama, penyebabnya dari segi kelembagaan LKM/koperasi bahwa LKM tidak memiliki sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola dana bergulir secara berkelanjutan termasuk waktu yang dimiliki pengurus LKM untuk memverifikasi komunitas calon penerima modal usaha terbatas sehingga modal usaha yang dikucurkan banyak yang tidak tepat sasaran. Tidak tepatnya sasaran menyebabkan image komunitas terhadap LKM kurang baik. Selain itu, program LKM tidak dilakukan sosialisasi secara maksimal baik oleh BRR Aceh-Nias maupun LKM/koperasi itu sendiri, sehingga keterlibatan komunitas sebagai penerima manfaat tidak ada. Lembaga LKM/koperasi masih dipandang pesimis oleh komunitas, citra koperasi/LKM yang buruk mengurangi kepercayaan
komunitas.
Secara
ekternal
dan
internal
lembaga
koperasi/LKM masih terjadi konflik. Konflik ekternal, terjadi dalam komunitas yang mendapat bantuan dengan yang tidak mendapat bantuan modal dengan pengurus LKM. Kedua, dari segi komunitas, modal bantuan yang di dapat dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini karena tidak ada sumber pendapatan lain pasca tsunami dan konflik, juga anggapan jumlah modal usaha yang disalurkan terlalu kecil untuk modal usaha. c. Pola bantuan modal, prinsipnya sudah cukup baik. Namun dalam realisasi pola bantuan modal tidak tepat sasaran dan pengembalian dana hanya 35 persen. Adapun pola bantuan pertama, Qardhul Hasan, pinjaman jenis ini adalah pinjaman (maximal 2 juta), karena sifat dari pinjaman ini adalah
141 pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi masyarakat korban gempa dan tsunami yang punya motivasi ingin usaha tapi tidak mempunyai asset produktif. Kedua, pola mudharabah/Bagi Hasil. pembiayaan jenis ini adalah
pembiayaan
(maximal
5
Juta)
yang
diperuntukkan
bagi
masyarakat yang telah mempunyai usaha kembali setelah bencana Gempa dan tsunami. Pola yang digunakan adalah bagi hasil dari keuntungan sesuai dengan penyertaan yang diberikan LKM kepada masyarakat, dan LKM hanya berhak mendapatkan keuntungan dari penyertaan modalnya sebesar (20 persen- 80 persen), 20 persen untuk LKM dan 80 persen untuk peminjam. d. Komunitas korban yang mendapat bantuan dari program LKM, tidak mengalami perubahan ekonomi secara signifikan, ditilik dari jenis pekerjaan sebelum dan sesudah tsunami. Berkaitan dengan tujuan ketiga dari penelitian ini yaitu menganalisis prospek keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami dapat disimpulkan bahwa: a. Prospek keberlanjutan program dapat dikatakan terancam gagal, kemungkinan gagal cukup besar, hal ini diindikasikan sudah tiga tahun tsunami dana yang kembali dari masyarakat baru 35 persen. b. Bahwa prospek keberlanjutan program tidak akan bertahan lama seperti yang diharapkan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa sebab antara lain: Pertama, faktor sosioculture masyarakat yang kurang memahami arti penting swadaya dan dana bergulir dalam komunitas korban tsunami termasuk pengurus LKM. Kedua, pendataan yang masih simpang siur serta diketahui masyarakat yang baru keluar dari situasi dan kondisi musibah tsunami dan konflik berkepanjangan masih menyimpan traumatik secara psikologis, sosiologis. Ketiga, kredit macet mencapai 65 persen di LKM Seunuddon Finance. Keempat, pola dana bergulir atau pola kredit masih relatif baru bagi komunitas di Keude Simpang Jalan. Kelima, komunitas terbiasa menerima dana bantuan secara percuma dari beberapa NGO dan lembaga donor lainnya, sehingga kesadaran untuk mengembalikan dana bantuan dari LKM sulit. Keenam, lemahnya kesadaran komunitas dalam program semacam ini. Ketujuh, dari 350 individu yang mendapat dana dari LKM Seunuddon Finance hanya
142 beberapa orang saja yang dana bantuan tersebut digunakan sesuai dengan usahanya, lainnya hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Tujuan terakhir dari penelitian ini adalah dirumuskannya strategi dan agenda pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami dapat disumpulkan sebagai berikut. Berdasarkan hasil rancangan program yang diuraikan diatas. Ternyata masih banyak masalah berkaitan dengan aspek pemahaman, kesadaran, kemandirian termasuk kejujuran individu dan kelompok termasuk dalam berorganisasi dalam lembaga lokal. Maka tidak banyak yang dapat dilakukan ketika pemahaman, kesadaran, kemadirian dan kejujuran masih rendah baik secara individu maupun berorganisasi dalam lembaga lokal. Untuk itu hanya dua program utama yang dapat dilakukan yaitu pertama, penguatan komunitas korban tsunami dalam meningkatkan pemahaman, kesadaran, kejujuran dan kemndirian secara kekeluargaan. Kedua, penguatan LKM/Koperasi dengan melakukan restrukturisasi pengurus koperasi/LKM dengan melibatkan seluruh
anggota
komunitas.
Sehingga
tumbuh
kepercayaan
terhadap
LKM/koperasi dalam mengemban amanah.
7.2. Rekomendasi Belajar dari pelaksanaan proses perencanaan program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban melalui LKM yang pernah dilaksanakan di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon, merupakan pembelajaran yang sangat berharga bagi berbagai pihak terutama yang berkepentingan dalam program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Berbagai program pemberdayaan dan pengembangan komunitas selayaknya dirancang sesuai dengan
komunitas
lokal,
yang
berdasarkan
prinsip-prinsip
partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, demokrasi dan desentralisasi. Prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat menjawab sebagian tujuan program yaitu terberdayanya komunitas, meningkatkan partisipasi komunitas dalam pengambilan keputusan pembangunan mulai dari proses perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Program pemberdayaan dan pengembangan komunitas seharusnya menjadi media pembelajaran dan pengembangan kemampuan para pelaku pembangunan, serta media untuk mewujudkan masyarakat sebagai penggagas dalam sebuah kegiatan pembangunan dan juga diarahkan pada penyelenggaran pemerintahan baik dan benar. Harapan konsep perencanaan partisipatif dari
143 program
pemberdayaan
dan
pengembangan
komunitas
nantinya
dapat
diterapkan ke dalam sistem perencanaan program pembangunan di Gampong. Namun pada kenyataannya sistem perencanaan pembangunan yang berlaku sampai dengan saat ini, masih tetap bersifat top down. Dengan pemberdayaan
melihat
realitas
ekonomi
pembangunan, maka
permasalahan
komunitas
korban
yang
ada
dalam
melalui
LKM
sebagai
upaya pilar
ada beberapa rekomendasi yang dapat pengkaji
sampaikan, antara lain: a. Bagi BRR Aceh-Nias, mampu melakukan evaluasi menyeluruh sejak awal program tahun 2005-sampai sekarang, tentang program pemberdayaan dan pengembangan LKM untuk kesejahteraan masyarakat. Hasil evaluasi tersebut dapat menjadi landasan program selanjutnya. b. Lembaga keuangan mikro (LKM) harus bisa berkompetisi dengan lembaga keuangan yang informal dengan mengedepankan pelayanan yang pro terhadap usaha mikro, sehingga usaha mikro akan tertarik serta nyaman dalam melakukan pinjamannya, hal yang terpenting dan merupakan indikator pelayanan adalah proses pelayanan yang tidak berbelit-belit. Menciptakan jejaring dan kolaborasi dengan lembagalembaga formal dan informal untuk mendorong pengembangan usaha ekonomi kelompok yang merupakan kelembagaan ekonomi warga masyarakat di Gampong Keude Seunuddon. Koperasi dan LKM seunuddon Finance mesti menampung semua produk tambak, nelayan dan lain-lain. Untuk menjaga stabilitas harga. Koperasi dan LKM juga mendapat keuntungan dari proses tersebut. c. Pemerintah, swasta, dan elemen masyarakat yang diwakili oleh Koperasi/LKM
dan
LSM
harus
bisa
membuat
lembaga-lembaga
keuangan mikro yang kuat serta mengedepankan distribusi keadilan dalam prosesnya. Hal tersebut supaya usaha mikro bisa terhindar dari rentenir yang nota benenya akan mengeksploitasi usaha mikro dengan bunga yang tinggi. Bagaimana elemen pemerintah, swasta, LSM, koperasi
mempunyai
komitmen
dalam
bekerjasama
untuk
bisa
merealisasikan visi dan misi dalam melenyapkan ketidakberdayaan di Indonesia. d. Komunitas lokal diharapkan dapat berpartisipasi secara langsung dalam setiap proses pemberdayaan dan pengembangan komunitas. Partisipasi
144 komunitas
mesti
diperhatikan
mulai
dari
perencanaan
program,
implemnetrasi, monitoring dan evaluasi. e. Upaya
mencapai
pemberdayaan
dan
pengembangan
diperlukan
kebijakan pemerintah pusat maupun daerah juga diperankan oleh tokohtokoh masyarakat, seperti elit KPA, ulama, tokoh pemuda, geuchik, mukim, imam gampong, tuha peut, tuha lapan, tokoh adat/panglima laot, kajrun blang, pengusaha, akademisi, jurnalis, aktifis
sipil, mahasiswa,
dan aktifis-aktifis lainnya. Mestinya mampu berperan sebagai pekerja sosial yang secara konsisten memperjuangkan kepentingan komunitas yang termarjinalkan dalam masyarakat. Semua element tersebut mesti mampu berperan sebagai pekerja sosial. Pekerja sosial merupakan aktifitas profesional untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut. f.
Untuk mendukung terlaksananya program pengembangan masyarakat khususnya melalui program LKM, maka saran yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan kebijakan dan perencanaan sosial: 1. Perlu adanya kebijakan yang terarah dan kongkrit dari Pemerintah Daerah
dan
BRR
Aceh-Nias
dalam
upaya
mendorong
dan
menciptakan jaringan kerjasama baik secara formal maupun informal dalam upaya pemberdayaan ekonomi mikro bagi masyarakat korvban tsunami dan konflik. 2. Perlu dilakukan upaya koordinasi secara kontiu bagi semua stakeholder yang terlibat dalam program pemberdayaam ekonomi mikro di Aceh (BRR, Pemda, AMFC, NGOs). 3. Perlu dilakukan memaksimalkan fungsi AMFC yang sudah di bentuk secara baik, jangan hanya bervsifat politis. g. Untuk mengembangkan usaha ekonomi mikro LKM Seunuddon Finance di Keude Seunuddon Kec. Seunuddon, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh: 1. LKM perlu menjalin kerjasama dengan perbankan dan Pemda Aceh Utara serta NGOs guna memenuhi kebutuhan akan tambahan modal usaha.
145 2. Perluasan aksesibilitas terhadap pasar agar peningkatan produksi dengan mudah dapat ditransfer ke bentuk pendapatan. 3. Peningkatan kualitas sumber daya manusia LKM melalui berbagai pelatihan keterampilan dan bimbingan manajemen yang berkaitan dengan pengembangan uasaha ekonomi produktif, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta .
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, K. Dan Harry Hikmat (2001), Participatory Research Apraisai: Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press Bandung Bahagio,Sugeng, Pertumbuhan ekonomi atau pembangunan manusia. Kompas, 17/9/2006. Bornstein, David. Mengubah dunia: Kewirausahaan sosial dan kekuatan gagasan baru, INSIST-Press-Nurani Dunia, 2006 (di terjemahkan oleh Marco Kusumawijaya dari judul asli; How to Change the World: Social Entrepreneurs and the power of new ideas, Oxford University, New York 2004) Chambers, Donald E (2000), Social Policy and Social Program: A Method For Practical Public Policy Analys, Allyn and Bacon, Boston David C. Korten, (2001) "Pembangunan Yang Berpusat Pada Rakyat: Menuju Suatu Kerangka Kerja", dalam David C. Korten dan Sjahrir (2001). Dharmawan Arya, Adi Wibowo Soeryo (2006), Ekologi Manusia, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Friedmann J. (1992). Empowerment; creating community alternatives-vision, analisys and practice. Malbourne: Longman Fasya, T.Kemal, “Aceh tetap Menderita” Kompas 12 Mei 2007 Gunardi, Agung Sarwititi S, Purnaningsih Ninuk, Lubis Djuara P (2006), Pengantar Pengembangan Masyarakat, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekoloi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Hikmat, Harry (2001), Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press, Bandung. Hettne, Bjorn (2001).Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT. Gramedia pusaka utama, Jakarta Hancock, Graham (2004) dalam Lords of Poverty: The power prestige and corruption of the International and Business. Info Sosieta, tahun ke 3, edisi 34 (2005). Edisi khusus. Biro Humas Departemen Sosial RI Inpres No. 6 Tahun 2007 Tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Rill dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
147 Korten, David C. (2001) Menuju Abad ke 21, Yayasan Oboor Indonesia Krisnamurthi,B (2002). Membangun Koperasi Berbasis Anggota Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.1, No. 4 (www.ekonomirakyat.org) Koentjaraningrat (1990), Masyarakat Desa di Indonesia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Kolopaking, L.M, Nasdian, TF. (2006), Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Pembangunan. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Kompas, 16 Oktober 2006, tajuk rencana Kompas, 6 November 2006 Maleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosadakarya, Bandung 2000. Modul, Sosiologi untuk Pengembangan Masyarakat, Modul IPB-STKS tahun 2006 Mubyarto, (2002). Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan Koperasi:Peran Perguruan Tinggi, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.1, No. 6 (www.ekonomirakyat.org) …………, (1985), Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaaan, BPEE, Yogyakarta. Mutis, T, (2001). Satu Nuansa, Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan, Kompas, 29 September 2001. ..............., (2003). Koperasi Konsumsi Harus Bisa Digalakkan Kembali, Kompas, 5 Juli 2003. Mulyana, Deddy (2001). ”Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya”. Bandung Remaja Rosdakarya. Modul Kerja AMF Center tahun 2007 Nasdian TF, Dharmawan Arya Hadi, (2006), Sosiologi Untuk Pengembangan Masyarakat, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Ndaha, Taqliziduhu, (1990), Pembangunan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta. Nasution (2003) dalam Gunardi, Agung Sarwatiti S, Purnaningsih Ninuk, Lubis Djuara P, (2006) ”Pengantar Pengembangan Masyarakat”
148 Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Prasetijo, Adi (2003), Akses Peran Serta Komuniti Lokal dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Akses Peran Masyarakat. Penerbit ICD Jakarta. Resi, Nuridayati M, Peta Sosial Gampong Keude Simpangan Jalan Kecmatan Seunuddo, Kabupaten Aceh Utara, Laporan Praktek Lapangan I, Program Studi Pengembangan Masyarakat Program Pasca Sarjana IPB. ......................., Evaluasi Program Pemberdayaan dan Pengembangan Masyarakat Melalui LKM Gampong Keude Simpangan Jalan Kecmatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, Laporan Praktek Lapangan II, Program Studi Pengembangan Masyarakat Program Pasca Sarjana IPB. Rahardjo,D, (2002). Apa Kabar Koperasi Indonesia, Kompas, 9 Agustus 2002. Rusli Said, Wahyuni Ekawati Sri, Sunito Melani A (2006), Kependudukan, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Sastropoetro, RA. Santoso, (1988), Partisipasi, komunikasi, Persuasi, dan Disiplin dalam Pembangunan, Penerbit Alumni, Banndung Soehartono Irawan, Marjuki dan Edi Suharto, (2006) Kebijakan dan Perencanaan Sosial, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IBP dan Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sitorus MT Felik, Agusta Ivanovich, (2006), Metodelogi Kajian Komunitas, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Soekanto Soerjono (1990), Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumardjo dan Saharudin (2006), Tajuk Modul EP-523: Metode-metode Partisipatif dalam pengembangan Masyarakat, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB. Soertarto Endriatmo, Kolopaking Lala M, Hardjomidjojo Hartisari (2006), Analisis Sosial, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor
149 Sumarti Titik, Syaukat Yusman (2006), Analisis Ekonomi Lokal, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Syaukat, Yusman (2006), Tajuk Modul SEP-579: Pengembangan Ekonomi Berbasis Lokal, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor So, Alvin Y, Suwarsono (1994). Perubahan social dan pembangunan LP3ES Suharto, Edi (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Rafika Aditama. Sumadiningrat, Gunawan (2004) “Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.3, No. X. (www.ekonomirakyat.org) Shepherd, Sustainable Rural Development (London: Macmillan Press, 1998), Stake, 1994 dan Yin, 1996 dalam Sitorus, Felik MT dan Ivanovick Agusta (2006). “ Metodelogi Kajian Komunitas”. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Program Pascasarjana Pertanian Bogor. Serambi Indonesia, Tajuk Rencana. 11 November 2006. Serambi Indonesia, Tajuk Rencana, 9 Desember 2006 Serambi Indonesia, 22 Juni 2006 Serambi Indonesia, 14 Juni 2007 Serambi Indonesia, 2 Maret 2007 Tim Penyusun Pedoman Penyajian Karya Ilmiah (2007), Pedoman Penyajian Karya Ilmiah, IPB Press, Bogor. Usman S. (2004). Pembangunan Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
dan
Pemberdayaan
Masyarakat.
World Bank, (1998). The Initiative of Defining, Monitoring and Measuring Social Capital. Social Capital Initiative Worlking Paper, No. 1 Washington DC: World Bank. UUD 1945 pasal 33 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian UU No. 32 Tahun 2004 Tantang Otonomi Daerah
150 Laporan Dekopinda Kabupaten Aceh Utara. Laporan tahun 2006 Laporan BPS, Aceh Utara Tahun 2003. Laporan BPS Pusat Tahun 2001 Laporan dua (2) tahun BRR Aceh-Nias Tahun 2007. Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Utara Tahun 2005 Laporan AMF Center Tahun 2007 Laporan Bank Dunia dan UNDP, Tahun 1999
LAMPIRAN
151 Lampiran 1 Peta Lokasi Kajian
PETA NANGGROE ACEH DARUSSALAM
PETA KABUPATEN ACEH UTARA
72 71
170
08
09
090
74
10
11 16
150
160
17
130
05
101 100
73 06
07
020 14
140
081
030
15
120
031
13
010
12
040
121 050 061
04
060
070
03
110 01 02
KABUPATEN ACEH UTARA
KECAMATANSEUNUDDON
PETA KECAMATAN SEUNUDDON DAN GAMPONG KEUDE SIMPANG JALAN
033
027 026 021 019
020
018
022
023 016
017
025 012 011 024 009 010 015 007 006 005 001 002
LOKASI GAMPONG KEUDE SIMPANG JALAN (LOKASI KAJIAN)
013
014
032 031 028
030
008
080
029
004 003
152 Lampiran 2. Pedoman wawancara
PANDUAN WAWANCARA UNTUK PENGURUS LKM
A. IDENTITAS INFORMAN 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Pendidikan
:
4. Unit Kerja
:
5. Jabatan
:
6. Lama bekerja
:
B. PANDUAN PERTANYAAN 1. Apa yang melatar belakangi di aktifkannya LKM/AMF saudara? 2. Sejak kapan di bentuk LKM/AMF Saudara? 3. Program apa yang sedang dijalankan? 4. Siapa saja yang menjadi sasaran dalam program tersebut? 5. Apa saja bentuk pemberdayaan komunitas korban yang sedang dan telah di jalankan? 6. Permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan program tersebut? 7. Perkembangan apa saja yang telah dicapai selama ini? 8. Apakah ada kemajuan bagi komunitas korban yang menerima bantuan kredit mikro dari LKM? 9. Bagaimana saran dan harapan Bapak/Ibu/Sdr untuk kelangsungan program tersebut?
153 Lampiran 3. Pedoman wawancara
PANDUAN WAWANCARA PENGURUS KOPERASI SEBAGAI INDUK LKM A. IDENTITAS INFORMAN 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Pendidikan
:
4. Unit Kerja
:
5. Jabatan
:
6. Lama bekerja
:
B. PANDUAN PERTANYAAN 1. Apa yang melatar belakangi di aktifkannya Koperasi saudara? 2. Sejak kapan LKM di koperasi di aktifkan? 3. Sejak kapan di bentuk Koperasi Saudara? 4. Apakah sebelumnya Koperasi saudara pernah mendapat bantuan LKM 5. Bagaimana hubungan koperasi dengan LKM atau AMF? 6. Apa saja bentuk pemberdayaan komunitas korban yang sedang dan telah di jalankan? 7. Permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan program tersebut? 8. Perkembangan apa saja yang telah dicapai selama ini? 9. Bagaimana saran dan harapan Bapak/Ibu/Sdr untuk kelangsungan program tersebut?
154 Lampiran 4. Pedoman wawancara
PANDUAN WAWANCARA UNTUK BRR ACEH - NIAS WIL.II LHOKSEUMAWE
A. IDENTITAS INFORMAN 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Pendidikan
:
4. Unit Kerja
:
5. Jabatan
:
6. Lama bekerja
:
B. PANDUAN PERTANYAAN 1. Apa yang melatar belakangi di bina Koperasi melalui LKM/AMF? 2. Berapa kucuran dana masing-masing LKM? 3. Mengapa program tersebut dianggap bisa memberdayakan komunitas korban? 4. Apakah selama sudah tepat sasaran? 5. Bagaimana mekanisme monev program tersebut? 6. Permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan program tersebut? 7. Perkembangan apa saja yang telah dicapai selama ini? 8. Bagaimana saran dan harapan Bapak/Ibu/Sdr untuk kelangsungan program tersebut?
155 Lampiran 5. Pedoman wawancara
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK KOMUNITAS KORBAN YANG MENDAPAT BANTUAN DARI LKM
A. IDENTITAS INFORMAN 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Pendidikan
:
4. Unit Kerja
:
5. Jabatan
:
6. Lama bekerja
:
B. PANDUAN PERTANYAAN 1. Apakah saudara mendapat bantuan dan berapa dari LKM? 2. Apakah bermanfaat bantuan tersebut bagi saudara? 3. Apakah ada kemajuan usaha saudara? 4. Digunakan untuk apa dana tersebut? 5. Sudah berapa lama saudara pinjam dana tersebut dan apakah di cicil tepat waktu? 6. Apa saja bentuk pemberdayaan komunitas korban yang sedang dan telah di jalankan? 7. Apakah selama menerima bantuan tersebut ada masalah? 8. Perkembangan apa saja yang telah dicapai selama ini? 9. Bagaimana saran dan harapan Bapak/Ibu/Sdr untuk kelangsungan program tersebut?
156 Lampiran 6. Pedoman wawancara
PANDUAN WAWANCARA UNTUK PENGGIAT PERKOPERASIAN (DEKOPINDA DAN AMF CENTER) A. IDENTITAS INFORMAN 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Pendidikan
:
4. Unit Kerja
:
5. Jabatan
:
6. Lama bekerja
:
B. PANDUAN PERTANYAAN 1. Apa yang melatar belakangi lahirnya program pemberdayaan ini melalui koperasi/LKM? 2. Berapa kucuran dana masing-masing LKM? 3. Apakah Strategi Pemberdayaan seperti ini telah sesuai? 4. Mengapa program tersebut dianggap bisa memberdayakan komunitas korban? 5. Apakah selama ini sudah tepat sasaran? 6. Bagaimana mekanisme monev program tersebut? 7. Bagimana mekanisme evaluasi dan koordinasi yang diterapkan? 8. Permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan program tersebut? 9. Perkembangan apa saja yang telah dicapai selama ini? 10. Bagimana dengan keberlanjutan program? 11. Bagaimana saran dan harapan Bapak/Ibu/Sdr untuk kelangsungan program tersebut?
157 Lampiran 7. Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus
PANDUAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) LOKASI: GAMPONG KEUDE SIMPANG JALAN PETUNJUK : Untuk melaksanakan diskusi kelompok terarah dengan unsurunsur: • • • •
Komunitas Korban yang mendapat bantuan dari LKM Pengurus LKM dan Koperasi Perangkat Gampong Tokoh Masyarakat Gampong Keude Simpang Jalan
DISKUSI Tanggal Waktu Tempat
: ................................................................... : .................................................................. : ..................................................................
PETUGAS DISKUSI Pemimpin Diskusi Pencatat Diskusi
: ................................................................. : ..................................................................
PEDOMAN PERTANYAAN 1. Bagaimana masalah yang ada pada LKM dan Koperasi? 2. Apa factor-faktor penyebab masalah LKM dan Koperasi? 3. Bagaimana masalah yang dihadapi oleh komunitas korban selama program LKM berjalan. 4. Upaya-upaya yang sudah dilakukan LKM/koperasi bersama perangkat Gampong? 5. Apa saja hambatan dalam mengatasi masalah tersebut? 6. Apa yang melatar belakangi lahirnya program pemberdayaan ini melalui koperasi/LKM? 7. Berapa kucuran dana masing-masing LKM? 8. Apakah Strategi Pemberdayaan seperti ini telah sesuai? 9. Mengapa program tersebut dianggap bisa memberdayakan komunitas korban? 10. Apakah selama ini sudah tepat sasaran? 11. Bagaimana mekanisme monev program tersebut? 12. Bagimana mekanisme evaluasi dan koordinasi yang diterapkan? 13. Permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan program tersebut? 14. Perkembangan apa saja yang telah dicapai selama ini? 15. Bagimana dengan keberlanjutan program? 16. Bagaimana saran dan harapan Bapak/Ibu/Sdr untuk kelangsungan program tersebut?
158 Lampiran 8. Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus
PANDUAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) LOKASI: DEKOPINDA ACEH UTARA PETUNJUK: Untuk melaksanakan diskusi kelompok terarah dengan unsurunsur: • • • • •
Pengurus Dekopinda Aceh Utara Ketua AMF Center Banda Aceh BRR Wilayah Lhokseumawe Perwakilan LKM/Koperasi P
DISKUSI Tanggal Waktu Tempat
: .................................................................. : .................................................................. : ..................................................................
PETUGAS DISKUSI Pemimpin Diskusi Pencatat Diskusi
: ................................................................ : .................................................................
PEDOMAN PERTANYAAN: 1. Bagaimana masalah yang ada pada LKM dan Koperasi? 2. Apa factor-faktor penyebab masalah LKM dan Koperasi? 3. Bagimana masalah yang dihadapi oleh komunitas korban selama program LKM berjalan. 4. Upaya-upaya yang sudah dilakukan LKM/koperasi bersama perangkat Gampong? 5. Apa saja hambatan dalam mengatasi masalah tersebut? 6. Apa yang melatar belakangi lahirnya program pemberdayaan ini melalui koperasi/LKM? 7. Berapa kucuran dana masing-masing LKM? 8. Apakah Strategi Pemberdayaan seperti ini telah sesuai? 9. Mengapa program tersebut dianggap bisa memberdayakan komunitas korban? 10. Apakah selama ini sudah tepat sasaran? 11. Bagaimana mekanisme monev program tersebut? 12. Bagimana mekanisme evaluasi dan koordinasi yang diterapkan? 13. Permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan program tersebut? 14. Perkembangan apa saja yang telah dicapai selama ini? 15. Bagimana dengan keberlanjutan program? 16. Bagaimana saran dan harapan Bapak/Ibu/Sdr untuk kelangsungan program tersebut?
159 Lampiran 9. Dokumentasi Kegiatan Kajian
PROFIL KANTOR LKM/KOPERASI, DEKOPINDA ACEH UTARA DAN AMF
wawancara
160
161 Diskusi Terfokus (Lokasi Kantor Dekopinda Aceh Utara)
162 Diskusi Terfokus (Lokasi Gampong Keude Simpang Jalan)
163 Jenis usaha komunitas Tsunami (Nelayan)
164 Petani Garam dan Dagang Kecil
Petani Tambak
165
166 Lampiran: 10
Kondisi Fasilitas Sosial dan Ekonomi Gampong Keude Simpang Jalan Tahun 2007 No 1
2
3
4
5
6
7
Jenis Fasilitas Fasilitas Pendidikan dan Tenaga Pengajar a. TK b. SD c. SMP/ SLTP d. SMA/ SLTA e. Akademi/ Perguruan Tinggi f. Ibtidayah g. Tsanawiyah h. Aliyah Fasilkitas Kesehatan a. Rumah Sakit b. Puskesmas c. Balai Pengobatan d. BKIA d. Pos Kesehatan e. Apotik/ Toko Obat f. Non Paramedis g. Dan Lain-Lain Fasilitas Ibadah a. Mesjid b. Langgar c. Mushola d. Balai Pengajian e. Fasilitas Ibadah Lainnya…………. Fasilitas Perdagangan a. Asar dan Pertokoan b. Pasar Lingkungan c. Toko d. Warung/ Kios Fasilitas Sosial a. Balai Warga b. Gedung Serba Guna c. Gedung Seni Tradisional d. Lain-Lainnya………… Fasilitas Hiburan a. Gedung Bioskop b. Gedung Hiburan/ Rekreasi c. Gedung Kesenian d. Lapangan Volley Ball e. Lapangan Sepak Bola f. Taman Bermain g. Fasilitas Hiburan Lainnya………. Pelayanan pemerintahan a. Pos Keamanan
Jumlah (Unit)
3 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 24 53 1 1 1 1 1 -
1
167
8
9
b. Kantor Desa/ Gampong c. Kantor Pelayanan Pos d. Kantor Pemerintahan Lainnya Fasilitas keuangan a. Bank Pemerintah b. BPR c. KUD d. LKM e. Fasilitas Keuangan Lainnya…………. Fasilitas Lainnya a. Telpon Umum b. Gardu Listrik c. Tempat Pembuangan Sampah d. Terminal/ Sub Terminal e. Pelabuhan Ikan/ TPI f. Fasilitas Lainnya……………
1 1 1 1 1 1 2
2 2 1 -