PEMBAGIAN WARIS DALAM PERKAWINAN TIDAK TERCATAT (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
MUHAMMAD FAHRI NIM : 1111044100062
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M
ABSTRAK MUHAMMAD FAHRI, NIM 1111044100062, Pembagian Waris Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami Tidak Tercatat di Kelurahan Cipete Selatan, Strata Satu (S1), Jurusan Ahwal Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui cara pembagian waris yang dilakukan oleh pelaku poligami tidak tercatat di Kelurahan Cipete Selatan dan untuk mengetahui dasar hukum yang dijadikan landasan dalam pembagian waris tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya pernikahan poligami yang tidak melakukan pencatatan pernikahan di KUA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian kualitatif melalui metode survei. Metode analisis yang digunakan adalah deskrifptif analitis yaitu mengolah dan mendiskripsikan penelitian yang dikaji dalam tampilan data yang lebih bermakna dan dapat lebih dipahami sekaligus menganalisis data tersebut. Teknik pengumpulan data, melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pembagian harta waris pada perkawinan poligami tidak tercatat di Kelurahan Cipete Selatan tidak sepenuhnya melaksanakan hukum. Hal ini dapat dilihat pada keluarga Bapak H. Hasyim, H. Tabroni dan H. Jaelani yang telah melaksanakan pembagian harta warisnya tanpa membagikan pembagian istri 1/8 dibagi 2, seharusnya pembagian warisan mengikuti ketetentuan pembagian dalam hukum islam sedangkan dalam praktinya istri-istri tetap mendapatkan masing-masing 1/8. Sedangkan praktik pembagian harta warisan untuk anak laki-laki dan perempuan pada masyarakat cipete menggunakan 2:1 dan ini sudah sesuai dengan ketentuan hukum islam, akan tetapi terkadang masih ada praktik pembagiannya sama rata tanpa menggunakan 2:1. Bahkan ada penambahan harta warisan untuk anak laki-laki baik berupah tanah, sawah ataupun yang lain. Harta peninggalan tidak semua berwujud nominal uang melainkan dengan benda yang tidak bergerak seperti: rumah, tanah, sawah dan lain-lainnya. Terbukti dengan pembagian harta waris pada keluarga bapak H. Jaelani.
Keyword: Poligami, Waris dan Cipete Selatan
iv
KATA PENGANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Alm. Ayahanda Hj. Samalih dan Ibunda Hj. Haironih yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, serta doa tanpa mengenal lelah sedikit pun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya kepada mereka. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan,
namun
syukur
alhamdulillah
berkat
rahmat
dan
hidayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2.
Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, dan Arip Purqon, MA, Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Sri Hidayati, M.Ag, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4.
Hayatin Nupus, S.E.Sy, yang selalu memberikan semangat, mendengarkan keluh kesah dan menemani penyusun selama penulisan skripsi ini.
5.
Kepada H. Ahmad Junaidi, Musthofa, Hj. Masronih dan yang lain-lainnya yang telah meluangkan waktunya dan bersedia diwawancara sebagai narasumber dari penelitian penyusun.
6.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
7.
Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
8.
Doa dan harapan penulis panjatkan kepada kakanda Ahmad Fatih, Ahmad Fahru yang selalu membimbing dan kepada ananda , Wildan Anshori dan Ahmad Hanif yang senantiasa memberikan do’a dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
vi
9.
Sahabat seperjuangan penulis : Muhammad Munzir Kamil, Muhammad Shandika Rizkiandi, Arif Maulana Thoir, Muhammad Nazir, Semua temanteman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Beserta teman bercanda Chairul Amin S.Thi, yang bersedia menemani waktu-waktu luang sebagai sebuah refresing dalam penulisan ini. Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda.Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini
Jakarta, 12 Oktober 2015
MUHAMMAD FAHRI
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN................................................................................ iii ABSTRAK……………………………………………………………………... iv KATA PENGANTAR......................................................................................... v viii DAFTAR ISI..................................................................................................... BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................ 4 A. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 5 B. Review Studi Terdahulu............................................................... 6 C. Metodologi Penelitian............................................................... 8 11 D. Sistematika Penulisan................................................................
BAB II
PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DAN POLIGAMI DI INDONESIA A. Pengertian............................................................................. 13 B. Prosedur Poligami dan Hikmah Poligami................................. 27 C. Akibat Hukum Perkawinan Poligami Tidak Tercatat.................. 32
BAB III
PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Dasar Hukum Pembagian Waris……………….......................... B. Ahli Waris............................................................................... C. Pembagian Waris Sesuai dengan Ketentuan (Furud).................... D. Pembagian Waris dalam Perkawinan Poligami............................
BAB IV
38 40 47 51
PEMBAGIAN HAK WARIS PERKAWINAN POLIGAMI DI KELURAHAN CIPETE SELATAN A. Gambaran Umum Tentang Kelurahan Cipete Selatan (Letak, 56 Keadaan, Profesi Dan Pendidikan)............................................... B. Jumlah Kepala Keluarga yang Melaksanakan Perkawinan 58 Poligami Masyarakat Kelurahan Cipete Selatan........................... C. Praktik Pembagian Waris Perkawinan Poligami di Kelurahan 60 Cipete Selatan.......................................................................... 63 D. Interpretasi dan Pembahasan......................................................
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.............................................................................. B. Saran......................................................................................
viii
69 70
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
71
LAMPIRAN......................................................................................................... 73
ix
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumahtangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1 Islam sangat menganjurkan pernikahan dengan berbagai cara. Terkadang dengan menyebutnya sebagai salah satu sunah para nabi dan jalan hidup para rasul yang merupakan para pemimpin yang jalan hidupnya patut diteladani.2 Perkawinan di Indonesia menganut azas monogami, poligami merupakan pengecualian dengan persyaratan-persyaratan ketat yang ditentukan dalam perundang-undangan. Poligami diatur sedemikian rupa dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan diantaranya adalah: UU Perkawinan dan PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Walaupun sudah diatur dalam berbagai peraturan, nampaknya masyarakat Indonesia belum mematuhi peraturan ini sebagaimana seharusnya. Namun kenyataan di lapangan, masih banyak orang Islam yang melakukan poligami 1
Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: CV. Karya Gemilang, 2015), h. 71. 2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, Penerjemah, Asep sobari, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h.
153.
1
2
liar hanya karena motif melampiaskan nafsu atau mendapat keuntungan materi, sehingga tidak memperlihatkan hikmah poligami dan bukan untuk mencapai kemaslahatan. Bahkan tidak jarang mengabaikan hak istri tua dan membahayakan anak-anaknya dengan tidak memberikan mereka hak waris, dengan berbagai alasan dan kepentingan. Jika ditelusuri alasan dan kepentingan masyarakat Islam Indonesia melakukan poligami, setidaknya ada tiga faktor besar alasan mereka melakukan poligami liar3: 1. Kuatnya budaya patriarkis yang kental dalam masyarakat Indonesia. Patriarkis, laki-laki mendominasi seluruh lini kehidupan, dan perempuan hanya merupakan sub-ordinasi dari laki-laki. Perempuan bukan sebagai mitra sejajar dari laki-laki melainkan sebagai “bawahan” laki-lakilah yang berkuasa dan penentu dalam rumah tangga. Dalam seperti ini perempuan seolah-olah “terkunci” dan tidak melakukan apa-apa yang bisa merubah nasibnya. 2. Pemahaman agama yang salah dalam poligami. Dalam konteks ini terjadi karena kuatnya interpretasi agama yang bias gender dan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusian. Interpretasi agama yang memposisikan istri sebagai obyek seksual, tidak memiliki kemandirian sebagai manusia utuh. Ada sebagian mayarakat yang menilai bahwa poligami itu merupakan 3
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, ( Jakarta : Semesta Rakyat Merdeka, 2012 ), h. 166
3
sunnah Rasulullah, bahkan
menganggap karena Rasulullah sendiri juga
berpoligami. Demikian juga dengan ayat Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3 yang membolehkan poligami. 3. Lumpuhnya sistem hukum di Indonesia sehingga terjadi sifat dualisme terhadap UU perkawinan dan peraturan-peraturan yang lainnya. Masyarakat tidak menganggap bahwa UU perkawinan merupakan bagian dari UU perkawianan Islam. Sehingga dianggapnya UU Perkawinan tidak mengikat pada mereka. Di sisi lain, lemahnya pemerintah dalam melaksanakan UU tersebut menjadi penentu. Banyaknya praktik poligami sehingga banyak juga poligami yang dicatat di petugas pencatat pernikahan dan poligami yang tidak tercatat di pegawai pencatat perkawinan. Jika kita melihat pada negara-negara Islam seperti, Yaman, Bahrain, Uni Emiret Arab memberlakukan bahwa seorang yang hendak menikah harus mencatatkan dalam catatan resmi, apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan maka undang-undang akan memberi sanksi. Bahkan pada negara Tunisia pada pasal 4 undang-undang hukum keluarga menyebutkan tidak sah suatu perkawinan yang tidak dicatat secara resmi.4
4
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifudin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian, 2011), h. 268
4
Pencatatan perkawinan itu sangatlah penting melihat perkembangan yang semakin maju dan dampak hukum apabila perkawinan tidak dicatatkan seperti halnya pembagian waris. Pembagian waris terkadang dapat memicu permasalahan dalam rumah tangga. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 pengelompokan ahli waris terdiri dari, menurut hubungan darah yaitu golongan laki-laki: ayah, anak lakilaki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari:ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda, atau duda. Seorang yang berpoligami akan menimbulkan perbedaan dalam pembagian hak waris. Karena dalam kehidupan masyarakat banyaknya poligami yang tidak tercatat sehingga mendatangkan perbedaan pembagian hak waris dalam masingmasing rumah tangga. Dalam hal ini penulis merasa perlu membahas permasalahan seperti ini yang dituangkan dalam skripsi berjudul: “Pembagian Waris Dalam Perkawinan Poligami Tidak Tercatat”.
B.
Pembatasan dan Rumusan masalah 1. Pembatasan masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis membatasi masalah pada praktek pembagian waris terhadap ahli waris pada perkawinan poligami yang tidak tercatat, yang terdapat di Kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan.
5
2. Rumusan masalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan pembagian hak waris bagi yang berpoligami tidak tercatat, sedangkan hukum Islam tidak membedakan pembagian hak waris baik yang tercatat atau tidak. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka untuk memudahkan pembahasan penulis merumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana praktik pembagian warisan dalam perkawinan poligami tidak tercatat, pada masyarakat Betawi Cipete Selatan? b. Apa alasan yang menjadi dasar atas pembagian warisan tersebut?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun dalam melakukan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana cara pembagian waris terhadap perkawinan poligami tidak tercatat di Kelurahan Cipete Selatan. b. Untuk mengetahui alasan yang menjadi dasar atas pembagian waris tersebut. 2. Manfaat Penelitian Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut di harapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:
6
a. Secara Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum keluarga dan umumnya pada ilmu pengetahuan. b. Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan dan memberikan pencerahan khususnya kepada masyarakat Betawi Cipete Selatan yang melaksanakan perkawinan poligami tidak tercatat, agar dapat mengetahui pembagian hak waris secara hukum positif, hukum adat,
maupun hukum
Islam.
D.
Review studi terdahulu Review studi terdahulu yang dimaksud adalah melihat data-data skripsi atau penelitian tahun-tahun sebelumnya dengan tujuan dengan menganalisis skripsi yang berkaitan dengan judul atau permasalahan penelitian. Dari sekian banyak skripsi yang penyusun temukan, diantara penelitian yang dilakukan sebelumnya, terkait mengenai permasalahan-permaslahan sebagai berikut: Syarif Hidayatullah, “Hukum pengulangan Nikah sirri perspektif Hukum Islam dan Hukum positif (studi kasus dilingkungan Kelurahan Kedoya Selatan, Kecamatan Kebun Jeruk, Jakarta Barat).” Skripsi ini membahas tentang hukum pengulangan nikah sirri menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum positif yaitu bahwa pernikahan telah sah
7
apabila dicatatkan oleh PPN (pegawai pencatat nikah). Nikah sirri menurut hukum positif yaitu pernikahan yang telah sah menurut agama tetapi ia “cacat” karena pernikahannya tidak dicatatkan oleh PPN (pegawai pencatat nikah) secara resmi. Evi Hanifah, yang berjudul “Pengetahuan dan sikap Masyarakat Terhadap Poligami dan Dampaknya Bagi Keluarga (studi pada masyarakat kelurahan bukit duri kecamatan tebet kota madya Jakarta Selatan).”Pengadilan Agama, 2008. Skripsi yang berjudul Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap Poligami dan Dampaknya Bagi keluarga, memaparkan tentang minimnya pengetahuan masyarakat tentang poligami khususnya masyarakat Bukit Duri. Sehingga membawa dampak yang negatif terhadap keluarga ketika poligami itu dilakukan. Kekurangan skripsi ini dalam memaparkan sisi negatif serta positifnya poligami bagi pelaku poligami itu sendiri serta orang-orang yang disekitarnya. Kelebihanya pada latar belakang yang benar-benar memberikan gambaran masyarakat kelurahan Bukit Duri. Kedua skripsi tersebut menjalaskan, nikah sirri dalam hukum Islam dan hukum positif dan mengetahui pengetahuan dari para pelaku poligami di dalam berkeluarga serta melihat perkembangan sikap dan dampaknya bagi keluarga. Dengan demikian perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya yaitu: penelitian ini membahas bagaimana praktek pembagian
8
waris para pelakuperkawinan poligami tidak tercatat (sirri)
di Kelurahan
Cipete Selatan). E.
Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penyusun untuk menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.5 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan optimal maka penyusun menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian lapangan (field research) artinya penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke daerah obyek penelitian untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan pembahasan yang akan dibahas. Dalam hal ini untuk mengetahui secara pasti bagaimana pembagian hak waris
masyarakat Betawi Cipete Selatan yang
berpoligami tidak tercatat. Adapun sifat penelitian itu yang digunakan adalah “deskriptif analitis”yaitu mengolah dan mendiskripsikan penelitian yang dikaji dalam tampilan data yang lebih bermakna dan lebih dapat dipahami sekaligus menganalisis data tersebut.6 Yakni menganalisa bagaimana cara pembagian hak
5
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, cet-1 (Jakarta: Permata Puti Media. 2012).
h. 3 6
Nana sujatna, Tuntunan Penelitian Karya ilmiah, Makalah-Skripsi-Tensis-Disertasi. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1999), h. 77
9
waris pada masyarakatBetawi di Kelurahan Cipete Selatan Kecamatan Cilandak.
2. Kriteria dan Sumber Data a. Data primer yaitu data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara penyusun terhadap responden para pelaku poligami tidak tercatat atau ahli warisnya. b. Data sekunder adalah data yang diambil dari bahan-bahan pustaka yang menunjang data primer, dalam hal ini data sekunder diperoleh dari bukubuku hukum, majalah, artikel, internet yang berhubungan dengan masalah penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapat data-data yang terkait dengan tema penelitian ini maka penyusun menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat. Mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Observasi berarti pengamatan bertujuan untuk mendapat data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.7 Dalam kaitan ini, penyusun melakukan 7
Lin Tri Rahayu, Tristiadi Ardini, Observasi dan Wawancara, Ed-1, Cet-1. (Malang: Bayu Media Publishing, 2004), h. 1
10
pendataan pelaku perkawinan poligami tidak tercatat secara langsung ke lokasi penelitian. guna mendapatkan data yang diperlukan, antara lain: jumlah yang melakukan perkawinan poligami tidak tercatat, jumlah praktek pembagian waris yang dilakukan pada keluarga pelaku perkawinan poligami tidak tercatat. b. Wawancara Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan bertanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dengan berlandaskan kepada tujuan penyidikan.8 Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data yang diperlukan penyusun yang berupa data yang tidak tertulis. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para pelaku poligami dan ahli warisnya dalam hal ini para istri dan anak-anaknya. Dengan teknik wawancara yang dilakukan ini, diharapkan dapat memperoleh data-data yang berkaitan dengan pembagian hak waris dalam perkawinan poligami tidak tercatat. c. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan mencari konsepkonsep, teori-teori, pendapat atau penemuan yang relevan terkait yang hendak diangkat oleh penyusun terhadap pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kepustakaan tersebut berupa buku-buku, karya ilmiahpara sarjana, laporan lembaga, sumber-sumber lainnya.
8
Lin Tri Rahayu, Trisdiiani Ardi Ardini, observasi dan Wawancara,h. 63
11
4. Analisa Data Setelah semua data terkumpul dan mengidentifikasikan semua data baik data primer atau data sekunder, penulis mulai mengolah data yang ada dimana semua data terkumpul dianalisis dan menghasilkan pemaparan serta gambaran yang bersifat pengamatan awal hingga akhir. 5. Metode Penulisan Sedangkan dalam teknik penulisan, penulis berpandukan pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.
F.
Sistematika Penulisan Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 bab dengan beberapa sub bab. Agar sesuai dengan arahan maka penulis menggambarkan sebagai berikut skema penulisan lengkapnya : Bab I merupakan bab pendahuluan. Bab ini membahas mengenai latar belakang permasalahan, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan. Bab II adalah landasan teori yang memuat tentang Perkawinan Poligami Tidak Tercatat dan Akibatnya, yang terdiri dari sub bab: Pengertian
12
Poligami,Prosedur Poligami dan Hikmah Poligami, Akibat Hukum Perkawinan Poligami Tidak Tercatat Bab III membahas tentang Pembagian waris menurut Hukum Islam, yang terdiri dari sub bab: Dasar Hukum Pembagian waris, Ahli waris, Pembagian Waris Sesuai dengan Ketentuan (Furudh), Pembagian Waris dalam Perkawinan poligami Bab IV membahas tentang Praktek Pembagian waris para pelaku Poligami Tidak Tercatat di Keluraham Cipete Selatan dan Analisa. Pada bab ini dibagi dalam beberapa sub bab, yaitu: sekilat tentang geografis kelurahan Cipete Selatan, Jumlah Kepala Keluarga yang melakukan poligami tidak tercatat, Praktek pembagian Waris Perkawinan Poligami tidak tercatat, dan analisa Penulis Bab V merupakan bab penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulankesimpulan akhir yang didapat dari hasil penelitian dan saran.
BAB II PERKAWINAN POLIGAMI TIDAK TERCATAT DAN AKIBATNYA
A.
Pengertian Poligami Poligami
berasal
dari
bahasa
Yunani.
Kata
ini
merupakan
penggalan dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan
kata
digabungkan
“gamein” akan
yang
berarti
artinya suatu
kawin
perkawinan
atau
perkawinan.
yang
banyak.
Jika Kalau
dipahami dari definisi ini, maka sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak
terbatas.Ada
istilah
lain
yang
maknanya
mendekati
makna
poligami yaitu “poligini” kata ini berasal dari “poli”atau “poli” atau “polus” artinya “gini” atau “gene” artinya istri, jadi poligami artinya beristri banyak. Dalam bahasa arab, disebut ta’adud az-zaujat.1 Dari uraian di atas dapat disimpulkan poligami atau poligini adalah suatu sistem perkawinan di mana seorang pria mengawini lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan.2
1
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007, cet Petama), h. 680 2
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Intermedia 2012), h. 139
13
14
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata”poli” dan “gami” secara etimologi, poli artinya “banyak‟, gami artinya “istri”. Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”. Berkaitan sebagaimana
dengan yang
masalah
dikutip
oleh
ini,
Rasyid
Ridha
mengatakan,
Abdul
Rahman
Ghozali,
sebagai
lebih
banyak
membawa
resiko/
berikut: Islam
memandang
poligami
madharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human
nature)
mengeluh.
mempunyai
Watak-watak
watak
tersebut
akan
cemburu, mudah
iri
hati,
timbul
dan
suka
dengan
kadar
tinggi, jika hidup dalam kehidupan yang poligamis3. Poligami ialah mengawini
beberapa
lawan
jenis
di
waktu
yang
bersamaan.
Berpoligami adalah menjalankan (melakukan) poligami. Poligami sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa perempuan dalam waktu yang Tahido
sama.
Menurut
Yanggo,
Sidi
Ghazalba
poligamiialah
yang
perkawinan
dikutip antara
oleh
Huzaemah
seseorang laki-laki
dengan perempuanlebih dari seorang. 4 3
4
h.201
Abbdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010)
15
Poligami dalam bahasa Arab disebut dengan “ta’diiduz zaujat’ (berbilangnya
pasangan),
atau
dalam
istilah
fiqih
menyebutkan
“ta’adduduz zaujat’ (seorang laki-laki beristri lebih dari seorang).5 Pengertian adalah
sistem
poligami
menurut
perkawinan
yang
Kamus salah
Besar
satu
Bahasa
pihak
Indonesia
memiliki
atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.6 Para
ahli
membedakan
istilah
bagi
seorang
laki-laki
yang
mempunyai lebih dari seorang isteri dengan istilah poligini yang berasal dari dari kata “polus” berarti banyak dan “gune” berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang isteri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata “polus” yang berarti banyak dan “andros” berarti laki-laki.7 Poligami dalam kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai perkawinan antara
seorang
dengan
dua
orang
atau
lebih.
(namun
cendrung
diartikan: perkawianan seorang suami dengan dua isteri atau lebih.8
5
6
A. Abdul Mujib, Mabrur Thalhah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) h.352 KBBI, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
7
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nkah lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),h.352. 8
Hendro Darmawan, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap dengan EYD dan pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Bintang Cermelang, 2010),h.43.
16
1. Dasar Hukum Poligami Dasar hukum diperbolehkannya poligami menurut hukum Islam adalah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3 :
Artinya: “Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku (hak-hak) perempuan yatim (bilaman kamu mengawininya), kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak kamumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada berbuat aniaya.9”
adil maka tiga, adil, yang tidak
Allah SWT memperbolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami). Hal tersebut berdasarkan firman Allah SWT sebagimana di atas.
9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: yayasan penyelenggara penerjemah Al-Qur‟an), 1984, h.115.
17
2. Hukum Berpoligami Sebagaimana bentuk
hukum,
hukum maka
perkawinan begitu
juga
yang
bisa
dengan
memiliki
poligami,
banyak
hukumnya
ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi menyangkut kondisi dan perasaan orang lain. Dalam hal ini bisa saja istrinya dan keluarga istrinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja. Oleh karna itu, hukum poligami adalah sebagai berikut: a.
Menjadi wajib apabila kebutuhannya sangat mendesak, misalnya dalam kondisi si suami mempunyai dorongan seks yang luar biasa, kalau
tidak
poligami,
ia
pasti
akan
dapat
terjerumus
pada
perzinahan, si suami juga potensial untuk mempunyai keturunan. dari sisi lain, si suami memang sholeh, bisa berbuat adil kepada istri-istrinya,
dari
aspek
materi,
si
suami
berkecukupan
bisa
menafkahi lebih dari dua keluarga. Dari sisi istri pertama, si istri sakit keras yang tidak dapat melayani suami dan mandul pula, si istri tidak mau diceraikan oleh suami, dan tidak keberatan untuk di poligami oleh suaminya, dan hal itu ditunjukkan dengan pernyataan persetujuannya di pengadilan, dan calon istri kedua juga mengatahui keberadaannya bahwa ia akan dijadikan
18
istri kedua oleh calon suaminya, dan sudah mendapatkan persetujuan dari istri pertama, serta persetujuan untuk dijadikan istri kedua juga dideklarasikan di depan pengadilan, dan lain-lain. b.
Menjadi
sunnah,
misalnya
apabila
dalam
kondisi
suami
mempunyai dorongan seks yang luar bisa, kalau tidak poligami, ia memungkinkan dapat terjerumus pada perzinahan, si suami juga potensial untuk mempunyai keturunan. dari sisi lain, si suami memang sholeh, bisa berbuat adil kepada istri-istrinya, dari aspek materi, si suami berkecukupan bisa menafkahi lebih dari dua keluarga. Dari sisi istri pertama, si istri sakit keras yang tidak dapat melayani suami dan mandul pula, si istri tidak mau diceraikan oleh suami, dan tidak keberatan untuk di poligami oleh suaminya, dan hal itu ditunjukkan dengan pernyataan persetujuannya di pengadilan, dan calon istri kedua juga mengatahui keberadaannya bahwa ia akan dijadikan istri kedua oleh calon suaminya, dan sudah mendapatkan persetujuan dari istri pertama, serta persetujuan untuk dijadikan istri kedua juga dideklarasikan di depan pengadilan. Terlepas dari kondisi di atas, akhir-akhir ini sering terdengar ungkapan
beberapa
kelompok
masyarakat
yang
menyatakan
bahwa
poligami itu sunnah, poligami membawa berkah, poligami itu indah.
19
Bagi
penulis,
ungkapan
itu
sebagai
pembenaran
terhadap
poligami.
Namun berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada
kenyataannya,
sebagaimana
ditegaskan
dalam
Al-Qur;an
[Al-
Nisa: 129] berlaku adil itu sulit dilakukan. c.
Menjadi mubah, apabila dalam sebuah pasangan suami istri, si suami
memiliki
keinginan
kuat
untuk
melakukan
poligami,
materinya juga mampu untuk membiayai dua keluarga, si istri pertama dan calon istri kedua tidak keberatan. Serta perkawinan kedua berdasarkan persetujuan/kesepakatan tiga pihak, serta sudah mendapatkan izin dari pengadilan. d.
Menjadi makruh, apabila dalam sebuah pasangan suami istri, si suami
memiliki
keinginan
kuat
untuk
melakukan
poligami,
materinya juga mampu untuk membiayai dua keluarga, si istri pertama dan calon istri kedua tidak keberatan. Serta perkawinan kedua berdasarkan persetujuan/kesepakatan tiga pihak, serta sudah mendapatkan
izin
dari
pengadilan.
Namun,
si
suami
merasa
khawatir untuk tidak berlaku adil pada istri-istrinya. Atau si suami khawatir ia lebih mencintai istri keduanya dari ketimbang istri pertamanya.
20
e.
Menjadi
haram
apabila
ternyata
sisuami
ketika
melakukan
poligami hanya berorientasi pada pelampiasan syahwat belaka dan tidak memperhatikan kondisi dan kemampuan materi dan mental. Ia tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil kepada istriistrinya. Ketika seorang suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak
istri,
apalagi
sampai
menyakiti
dan
mencelakakannya, maka poligami hukumnya haram.10 3. Hukum Nikah Syariat
nikah
berupa
anjuran
dan
beberapa
keutamaannya
merupakan realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada satu sisi adalah sunnah yang dilakukan para nabi dan rasul dalam upaya penyebaran dan penyapaian risalah illahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang. Kesinambungan mata rantai sebuah keluarga amat penting bagi generasi hadapan agar mereka berkaca dan menteladani hal-hal yang baik berarti
dan menjauhi diambil
hal-hal
kesimpulan
yang buruk. Meskipun demikian, tidak bahwa
menikah
menjadi
sesuatu
yang
mutlak adanya tanpa melihat beberapa kondisi pendukungnya. 10
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islama dalam Hukum Nasional. h. 149
21
Untuk mengetahui kedudukan nikah dilihat dari sundut pandang hukum perlu dikemukakan beberapa hukum nikah. Terhadap persoalan seputar hukum nikah, ulama fiqih (fuqaha) berbeda
pendapat
dalam
menentukan
kedudukan
hukumnya.
Secara
umum ada pendapat tentang hukum nikah seperti sunnah menurut kelompok
jumhur
dan
wajib
menurut
golongan
Zahiriyah.kelompok
pengikut madhab Malik yang belakangan memerinci kedudukan hukum nikah berdasarkan kondisi, yaitu hukum wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian yang lainnya dan dapat juga berhukum mubah bahkan haram, tergantung pada keadaan masing-masing sesuai kemampuan
menghindarkan
diri
dari
perbuatan
tercela.
Berikutini
beberapa rincian hukum nikah:11 Pertama
:
sunnah.
Jumhur
berpendapat
bahwa
hukum
nikah
adalah sunnah bagi mereka yang khawatir dirinya yang terjerumus ke perbuatan zina. Dasar pemikiran Jumhur adalah Firman Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 3 :
Di dalam ayat
tersebut
menberi penjelasan bahwa pernikahan
hendaknya didasarkan selera yang dimiliki sang pelaku. Apabila yang
11
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 7
22
bersangkutan
tidak
berselera
untuk
melakukannya,
maka
tidak
ada
ikatan yang memaksa dan tidak pula berdosa. Kelanjutan ayat berbunyi:
Ayat ini ada yang mengomentari bahwa sitiran ayat mengandung hukum sunnah, akan tetapi ada penjelasan bahwa hukum „Nadb‟ di sini bukan hukum asal dari nikah, ayat tersebut ditujukan pada hukum poligami.
Al-Istitaabahatau
kehendak
yang memunculkan
selera
rasa
senang terhadap wanita tertentu dalam ayat di atas berimplikasi hukum nadb. Selain
ayat,
seperti
disebutkan
jumhur
menegaskan
hukum
sunnah bagi suatu pernikahan berdasarkan dua pertimbangan:12 1. Bagi yang tidak khawatir terjebak dalam perbuatan zinah tanpa nikah 2. Dan tidak khawatir berbuat zalim atas istrinya apabila ia menikah, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Wahai para pemuda, bagi kalian yang telah mampu menikah, maka hendaklah ia menikah, karena dengan menikah akan dapat lebih menjaga pandangannya dan dapat lebih memlihara kemaluannya. Dan bilamana ia belum mampu untuk menikah, maka hendaklah ia berpuasa sebab dengan puasa dapat menjadi kendali syahwat.” 12
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 8
23
“..kaliankah yang mengatakan:ingin sholat malam seterusnya, akan berpuasa sepanjang tahundan akan menjauhi wanita (tidak menikah), adapun aku demi Allah!sesungguhnya adalah orang yang paling takut akan Allah dan paling bertaqwa diantara kalian, sungguhpun demikian, aku tetep berpuasa dan berbuka, melaksanakan sholat dan tidur, sertra menikah. Maka, bagi yang tidak menyukai sunnahku bukanlah dari golonganku.” Subtansi dua hadist di atas, secara real dilakukan nabi SAW, beliau menikah dan melanggengkannya. Demikian pula para sahabat mengikuti
jejak
Nabi
SAW
dengan
melakukan
pernikahan
dan
mendawamkan (melenggengkan), dan kebiasaan itu diikuti mayoritas kaum muslimin. Napak tilas atau penteladanan atas pekerjaan yang dilakukan Nabi SAW menunnjukkan bahwa nikah menempati posisi hukum sunnah. Kedua : wajib. Diantara fuqaha yang berpendapat bahwa hukum nikah wajib adalah kelompok Abu Daud al-Zahiriy, Ibnu Hazm melalui riwayat Ahmad, Abu Awanah al-Isfaraini dari golongan al-syafi‟i dan pendapat
ini
termasuk
pandangan
kelompok
ulama
salaf.
Dasar
pemikiran mereka ayat-ayat tentang seruan atau ajakan menikah antara lain : “dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan juga perempuan. jika mereka miskin, allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S ;24 :32)
24
Struktur
kata
ayat
di
atas,
menunjukkan
perintah
yang
berimplikasi bentuk wajib. Sehingga, kedudukan hukum nikah adalah wajib. Ketiga : haram. Hukum nikah bagi seseorang tertentu menjadi haram manakala si lelaki yang akan melaksanakan pernikahan itu tidak memiliki istri,
kemampuan
dan
tidak
melakukan
memiliki
aktifitas
kemampuan
biologis
menjamin
hubungan
suami
pembelanjaan
atas
istrinya. Menilik literal nikah, makna yang langsung dapat dipahami adalah
persetubuhan
halal
antara
seorang
laki-laki
dan
perempuan
dalam sebuah ikatan keluarga suami istri berdasarkan syariat. 4. Makna Ayat Poligami Adapun sababun nuzul dari ayat 3 surat an-Nisa tentang poligami diatas,
sebagaimanaBukhari
dan
Muslim
meriwayatkan
dari
Urwah
ibnu zubair, bahwa beliau bertanya tentang ayat ini, yang oleh aisyah dijawab, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang lelaki yang suatu ketika menguasai anak yatim, kemudian dinikahinya. Ia mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang menjadi tanggungannya itu. Karena itu, di dalam pernikahan ia
25
tidak memberi apa-apa dan menguasai harta perserikatan itu, hingga wanita itu tidak mempunyai kuasa apapun.13 Maksud
ayat
Qs.
(4)
an-nisa’
:
3yaitu
bahwa
Allah
menghadapkan titah-Nya kepada para pengasuh anak-anak perempuan yatim, bahwa bila anak perempuan yatim itu berada di bawah asuhan dan kekuasaan salah seorang diantara kamu dan kamu takut tidak memberikan
kepadanya
mas
kawin
yang
sama
besarnya
dengan
perempuan lain, maka hendaklah kamu pilih perempuan lain saja, sebab perempuan lain ini banyak dan Allah tidak akan mempersulit, bahkan dihalalkan bagi seorang laki-laki kawin sampai empat orang istri. Jika takut
akan
berbuat
perempuan, maka
aniaya
wajiblah ia
apabila
menikah
cukupkan
lebih
dari
seorang
dengan seorang saja
atau
mengambil budak perempuan yang ada dibawah kekuasaannya.14 Para
fuqaha
pun
bersepakat
bahwa
sudah
menjadi
kewajiban
seorang lelaki yang berpoligami untuk bisa berlaku adil. Seiring dengan itu, para ulama Hanafi berpendapat bahwa perilaku adil merupakan salah satu hak isteri dan menjadi kewajiban bagi suami. Mereka pun berpendapat bahwa di saat suami tidak bisa berlaku adil, maka pihak isteri bisa mengadukannya kepada hakim hingga kekuasaan hakim pun 13
Hatta,Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata Dilengkapi dengan Asbabul Nuzul dan Terjemah, Maghfirah Pustaka, h.77 14
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (terj) Muh. Thalib, (Bandung: al-Ma‟rif, 1974), h. 149.
26
diharap bisa memberi peringatan padanya dan juga menghukumnya atas ketidakadilannya tersebut.15 Adapun
dasar
hukum
tentang
dituntutnya
untuk
berlaku
adil
dalam poligami terdapat dalam surat an-Nisa ayat 129 :
Artinya:“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat di atas sebenarnya dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Namun demikian, Islam tidak
menutup
rapat-rapat
pintu
kemungkinan
untuk
berpoligami,
sepanjang persyaratan keadilan diantara istri dapat dipenuhi dengan baik.16 Syarat adil menurut Imam Syafi‟i dan ulama-ulama Syafi‟iyyah serta orang-orang yang setuju dengannya, syarat adil adalah syarat dalam bentuk zhahiratau material saja dan bukan masalah cinta, bahkan 15
Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah dan Falsafah Syari’at Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2006,
16
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perseda, 2003),h.170
h.324
27
ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.17
B.
Prosedur Poligami dan Hikmah Poligami 1. Prosedur Poligami Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, diIndonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut18:
1. 2.
3.
Pasal 56 mengatur tentang izin poligami sebagai berikut. Suami yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari Pengadilan Agama Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 mengatur tentang persyaratan boleh berpoligami. Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seseorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
127
17
Hk Auryato, Makna Keadilan dalam Poligami, (Jakarta: Balai Pustaka cet.I, 1971), h. 83
18
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademik Pressindo, 2010), h. 126–
28
Pasal
58
mengatur
persyaratan
dibolehkan
berpoligami
dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 1.
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 tahun 1974, yaitu: a. Adanya persetujuan istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Dengan tidak mengurangi pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadlan Agama. d. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59 berpoligami.
tentang
persetujuan
istri
terhadap
suami
yang
ingi
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan poligami diatur didalam pasal 40, 41, 43 PP No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu : Pasal 40 tentang permohonan suami yang ingin berpoligami. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
29
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah : 1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan; Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan : 1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau 2. Surat keterangan pajak penghasilan; atau 3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan; 4. Ada atau tidak adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 43 tentang pengesahan dari pengadilan untuk yang ingin beristri lebih dari seorang. Apabila pengadilan berpendapat, bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang , maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang. Berdasarkan ketentuan Perundang-undangan tersebut diatas oleh Menteri Agama RI mengeluarkan ketentuan-ketentuanpelaksanaanya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. Tahun 1975. Ketententuan ini sebagai pedoman pelaksanaan teknis yang harus dipatuhi oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memberikan putusan/penetapan izin berpoligami, maupun oleh pejabat pencatat nikah dalam menyelenggarakan Pencatatan Perkawinan Poligami.19
19
Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berpekara di Peradilan Agama (Bandung: CV. Armico. 1984). Cet 1. h.67
30
Pasal 8 ayat 2 mengatur mengenai surat izin.Bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang, harus membawa surat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 1 ayat 2 point (h) tentang penetapan yang berupa izin.izin beristri lebih dari seorang dari Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa izin beristri lebih dari seorang. Pasal 14 ayat 1 mengatur permohonan secara tertulis.Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-alasanya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan membawa kutipan akte nikah yang terdahulu dan surat-surat lain yang diperlukan; (Permenag No. 3/1975 pasal 14 (1)). Yang dimaksud oleh Permenag pasal 1 ayat 1 di atas adalah atau syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 Undangundang Perkawinan, sebagaimana pula dalam PP pasal 41. Selanjutnya Permenag No. 3 tahun 1975 tadi menentukan: Pasal darurat.
15
ayat
4
mengenai
izin
berpoligami
dalam
keadaan
apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang kapada pemohon yang bersangkutan..20 Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain sebagai berikut: a. Untuk mendapatkaan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul. b. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istrinya, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan. 20
Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975
31
c. Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. d. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama. 1. Hikmah poligami Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang,
bahkan
melebihi
jumlah
maksimal
yang
diizinkan
bagi
umatnya (yang merupakan khushushiyat bagi nabi), sebagaiman dikutip oleh Abdul Rahman Ghozali adalah sebagai berikut: a. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9 orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat,
terutama
mengenai
masalah-masalah
kewanitaan/kerumahtanggaan. b. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk dalam agama Islam. Misalnya perkawinan
Nabi
denganJuwairiyah,
putri
Al-Harits
(kepala
suku
Bani Musthaliq). Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shofiyah (seorang tokoh dari Bani Quraizhah dan Bani Nazhir). c. Untuk kepentinggan sosial dan kemanusian. Misalnya perkawinan Nabi
dengan
beberapa
janda
pahlawan
Islam
yang
telah
lanjut
32
usianya,
seperti
Saudah
binti
Zum‟ah
(suami
meninggal
setelah
kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya, serta penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.21
C.
Akibat Hukum Perkawinan Poligami tidak Tercatat Meskipun
masalah
pencatatan
perkawinan
telah
disosialisasikan
dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selama 41 tahun lebih, Namun sampai saat ini masih didasarkan adanya kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fikih tradisional. Menurut
pemahaman
sebagian
masyarakat
tersebut
bahwa
perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih sudah terpenuhi, tidak perlu adanya pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak perlu surat nikah sebab hal itu diatur pada zaman Rasulullah dan merepotkan saja. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas, banyak timbul perkawinan secara secara sirri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai urusan perkawinan. 21
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 136
sebagai petugas resmi
33
Adapun
faktor-faktor
penyebab
mereka
melakukan
perkawinan
secara diam-diam (sirri) tersebut antara lain : 1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah/negara 2. Adanya kekhawatiran dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah; 3. Tidak ada izin istri atau istrinya dan Pengadilan Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang. 4. Adanya bergaul
kekhawatiran
orang
tua
terhadap
rapat
calon
istri
/suami,
dengan
anaknya sehingga
yang
sudah
dikhawatirkan
terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. 5. Adanyan kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi,
maka
perkawinan
baru
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan yang telah ditentukan.22 22
h. 47
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,2008),
34
Dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
urgensi
pencatatan
pernikahan
telah diatur diantaranya: Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang NO. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilang Akta Nikah.
35
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. (4) Yang berhak yang mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah yang berkepentingan dengan perkawinan itu.23 Perkawinan menimbulkan
poligami
sejumlah
tidak
pengaruh
tercatat negatif.
(dibawah Dampak
yang
tangan) sangat
memukul perasaan dan nasib pihak istri adalah segi hukumnya. Ada banyak kerugian yang dapat dirasakan sang istri jika nikah tidak tercatat (dibawah tangan) tidak mendapat pengakuan hukum. Belum lagi, sang istri juga akan merasakan dampak sosial, ekonomi, dan sebagainya. Disamping istri, masa depan anak juga patut dikhawatirkan. Akibat perkawinan poligami tidak tercatat (dibawah tangan) sangat banyak. Diantaranya:
23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademik Pressindo. 2010). Cet 4.h.114
36
a. Istri
yang
dinikahi
dan
tidak
tercatat
(dibawah
tangan)
tidak
dianggap sebagai istri yang sah,. Berdasarkan Undang-undang pasal 2 ayat 2, perkawinan harus dicatat menurut Peraturan Peraturan perundang-undangan berarti
menyalahi
yang
berlaku.
ketentuan
ini,
Tidak
dicatatnya
sehingga
perkawinan
perkawinan
tersebut
dianggap tidak sah dan legal. b. Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian. c. Istri dalam pernikahan tidak tercatat (dibawah tangan) tidak berhak atas nafkah, dan jika suami meninggal dunia, maka dia juga tidak berhak mendapatkan warisan dari peninggalan suaminya itu. d. Anak tidak berhak atas nafkah dan warisan dari ayahnya. Dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan disebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat yang sah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak hasil perkawinan tidak tercatat (dibawah tangan) dianggap anak yang tidak sah. e. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak mempunyai hubungan
perdata
dengan
ayahnya,
tetapi
hanya
mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini berdasarkan
pada
pasal
43
Undang-undang
perkawinan
yang
menyebutkan. “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
37
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.24Ketentuan tesebut di dukung oleh KHI pasal 100 yang menyebutkan, “ anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya
Undang-undang
dan
keluarga
perkawinan
ibunya. lebih
Dibanding
tegas
dalam
hubungan anak dengan ibunya sebagai hubungan perdata.25
24
Happy susanto, Nikah Siri Apa Untungnya? h.86
25
Happy susanto, h. 86
dengan
KHI,
menyebutkan
BAB III PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
A.
Dasar Hukum Pembagian Waris Masalah mawaris atau fara‟idh bersumber pada ketentuan allah dalam (QS. An-Nisa‟ [4] : 11-12). Berikut:
38
39
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana 12 - Dan bagi kalian (suami-suami) setengah dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian apabila mereka tidak mempunyai anak (laki-laki atau perempuan). Apabila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian seperempat harta yang mereka tinggalkan, setelah dipenuhinya wasiat atau dibayarnya hutang mereka. Dan bagi kalian (istri-istri) seperempat dari harta yang ditinggalkan oleh suami-suami kalian apabila mereka tidak mempunyai anak (laki-laki atau perempuan). Apabila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian seperdelapan harta yang mereka tinggalkan, setelah dipenuhinya wasiat atau dibayarnya hutang mereka. Apabila ada seseorang yang meninggal (laki-laki atau perempuan) dan dia tidak memiliki ayah (ke atas) atau anak (ke bawah), tetapi memiliki satu orang saudara lelaki atau perempuan (seibu), maka masing-masing mendapatkan seperenam dari harta (orang yang meninggal). Tetapi apabila saudara-saudara seibu itu lebih dari satu
40
orang, maka mereka bersama-sama mendapatkan sepertiga bagian harta mayyit setelah dipenuhinya wasiat atau dibayarnya hutang mereka, dengan tanpa memberi madharat. (Allah mewasiati kalian dengan) sebenar-benar wasiat. Dan Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Surat Annisa‟ ayat 11 diatas mengatur tentang pembagian warisan bagi anak-anak dan orang tua pewaris. Sedangkan ayat 12 menjelaskan tentang pembagian warisan bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya, pembagian warisan istri dan atau para istri yang ditinggal mati oleh suami, serta pembagian warisan bagi saudara-saudara pewaris dalam hal kalalah.1 Pembagian warisan tersebut dilakukan setelah menyelesaikan seluruh hutang-hutang pewaris atau wasiat yang dibuat oleh pewaris.
B.
Ahli Waris Ahli waris ialah orangyang berhak mendapat harta bagian dari harta peninggalan.2 Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan3
1
Kalalah adalah seseorang yang meninggal tidak meninggalkan keturunan.
2
Sajuti Tholib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia , (Jakarta : Sinar Grafika, 2004) h. 72
3
Eman Suparman, Hukum Waris di Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan Bw (Bandung: PT. Reflika Aditama 2007), h. 17
41
Ahli waris (warits) adalah orang atau orang-orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Dengan demikian, seseorang dinyatakan sebagai ahli waris, jika ia: (1) masih hidup, (2) tidak ada penghalang bagi dirinya sebagai ahli waris, dan (3) tidak tertutup oleh ahli waris utama.4 Setelah mengetahui pengertian ahli waris, langkah selanjutnya adalah mengetahui siapa saja yang disebut dengan ahli waris, dan bagian bagiannya.ada tiga golonggan ahli waris menurut ajaran kewarisan bilateral. 1). Dzul faraa-idh. 2). Dzul qarabat 3). Mawali Berikut ini penjelasan masing-masing golongan tersebut: 1. Dzul faraa-idh. Dzul faraa-idh ialah ahli waris yang mendapat bagian warisan tertentu dalam keadaan tertentu.Al-Qur‟an menjelaskan mereka yang menjadi Dzul faraa-idh adalah : a. Anak perempuan yang tidak didampinggi oleh anak laki-laki. b. Ibu. c. Bapak dalam hal ada anak.
4
Hassan Sholeh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh komtemporer, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Perseda). h. 348
42
d. Duda. e. Janda. f. Saudara laki-laki dalam hal kalalah. g. Saudara laki-laki dan saudara perempuan bergabung bersyikah dalam hal kalalah. h. Saudara perempuan dalam hal kalalah 2. Dzaw Al-furudh Al-Muqaddarah Dilihat dari bagian yang diperolehnya, hukum Islam membedakan dua macam ahli waris, yaitu: (1) ahli waris yang ditentukan secara pasti (dzaw alfurudh al-muqaddarah), dan (2) ahlli waris yang tidak ditentukan bagianya secara pasti (ashabah). Mereka yang tergolong dzaw al-furudh al-muqaddarah adalah: (a) anak perempuan, (b) cucu perempuan, (c) ibu, (d) nenek, (e)saudara perempuan sekandung, (f) saudara perempuan seayah, (g) saudara perempuan seibu, (h) istri, (h) istri, (i) ayah, (j) kakek, (k)saudara laki-laki seibu, dan (l) suami.5 3. Ashabah Selebihnya dari orang-orang yang termasuk dzaw al-furudh almuqaddarah (ahli waris yang ditentukan bagiannya) ini adalah ahli waris yang disebut „ashabah (sisa), yaitu ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, yang
5
Hassan Sholeh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh komtemporer, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Perseda). h. 349
43
terdri dari: (1) anak laki-laki, dan (2) cucu laki-laki dari anak laki-laki, yang memperoleh bagiannya ditentukan oleh ada atau tidak adanya ahli waris. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang berhak mendapat harta pembagian harta warisan berdasarkan sisa bagian untuk dzaw al-furudh. Jika dari hasil pembagian itu sama sekali tidak bersisa, maka ia tidak memperolehnya namun, sebaliknya ia berhak memperoleh seluruh harta warisan, jika sama sekali tidakada bersamamanya ahli waris dzaw al-furudh.6 Penamaan dzul faraa-idh untuk golongan ahli waris pertama ini dipergunakan oleh semua pihak yang mengemukakan ajaran mengenai kewarisan dalam Islam.Dzul artinya mempunyai. Adakalanya disebut dzawu atau dzawu.Al-faraa-idh kata jamak dari farii-dha artinya bagian.Dengan demikian dua al faraa-idh atau dzul faraa-idh berarti orang yang mempunyai bagian tertentu. Arti kata-katanya ini sangat mendekati arti dan maksudnya dalam istilah hukum kewarisan yang berbunyi :dzul faraa-idh ialah ahli waris yang memperoleh bagian warisan tertentu, dalam keadaan tertentu. Di antara dzul faraa-idh tersebut di atas itu ada yang selalu menjadi dzul faraa-idh saja. Dan ada pula yang sesekali menjadi dzul faraa-idh dan dalam
6
Hassan Sholeh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh komtemporer, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Perseda), h. 351
44
kesempatan yang lain menjadi ahli waris yang bukan dzul faraa-idh.7Mereka yang menjadi dzul faraa-idh saja itu ialah : a. Ibu. b. Duda c. Janda Dan ahli waris yang sesekali menjadi dzul faraa-idh dan pada kesempatan lain menjadi ahli waris yang bukan dzul faraa-idh adalah : a. Anak perempuan. b. Bapak. c. Saudara laki-laki. d. Saudara perempuan. Mereka ini adalah ahli waris yang pada suatu kesempatan menjadi dzul faraa-idh dan dalam kesempatan yang lain menjadi ahli waris yang bukan dzul faraa-idh. Dapat juga diterangkan disini, bahwa semua pihak dalam ajaran kewarisan mengenal dan mengakui adanya golongan ahli waris dzul faraa-idh ini, baik mereka dalam ajaran Syafi‟I (golongan ahli sunnah wal jama‟ah menurut sebutan Prof. Hazairin) baik ada dari ajaran kewarisan bilateral Hazairin, maupun dari ajaran kewarisan Syi;ah) 4. Dzul qarabat
7
h. 97
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),
45
Dzul qarabat ialah ahli waris yang mendapat bagian warisan uang tidak tertentu jumlahnya atau disebut juga memperoleh bagian terbuka atau disebut juga mendapat bagian sisa. Hal itu kalau dilihat dari segi jumlah perolehannya dalam warisan. Seluruh ahli waris ini mewarisi harta peninggalan hanya dengan jalan ta’shib dan tidak dapat mewarisi secara fardh
selama-lamanya. Sehingga
ketika salah satu dari mereka sendirian dalam mewarisi harta waris maka akan mewarisi seluruh harta tersebut.8 Kalau dilihat dari segi hubungannya dengan si pewaris, maka dzul qarabat itu adalah orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan si pewaris dapat melalui garis laki-laki dan juga dapat melalui garis wanita secara serentak tidak terpisah. Hubungan garis keturunan sedemikian itu disebut hubungan garis keturunan baliteral, sebagai bentuk hubungan garis keturunan yang lain terbanding dengan hubungan garis hubungan sepihak saja yang disebut garis keturunan unilateral baik garis keturunan patrilinial (kebapaan saja) atau garis keturunan matrilinial (garis keturunan keibuan saja). Adapun rincian ahli waris, sebagian besar telah dijelaskan Allah SWT. Dalam al-Qur‟an atau melalui penjelasan Nabi dalam Hadist serta yang dipahami melalui perluasan pengertian ahli waris yang terdapat dalam al-
8
h. 98
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),
46
Qur‟an tersebut. Atas dasar ketentuan yang disebutkan diatas, maka keseluruhan ahli yang berhak menerima warisan adalah sebagai berikut:9 - Anak laki-laki dan anak perempuan - Cucu, baik laki-laki maupun perempuan - Ayah - Ibu - Kakek - Nenek - saudara 5. Mawali Mawali ialah ahli waris pengganti. Yang dimaksud ialah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Sebabnya ialah karena orang yang digantikan itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal lebih dahulu dari si perawis. Orang yang digantikan ini hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Mereka yang menjadi mawali ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mawaris (bentuknya dapat saja dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris. 9
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 211
47
C. Pembagian Waris Sesuai Dengan Ketentuan (Furud) Asbabul furud (ahli waris yang mendapatkan bagian warisan yang telah ditentukan) adalah merka yang mendapatkan bagian dari harta waris yang telah ditetapkan bagi mereka dalam Al-qur‟an dan Al-Sunnah, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6.10 Asbabul furud ini ada 12 orang. Empat dari kaum laki-laki, yaitu: ayah, kakek dan terus lurus ke atas, saudara laki-laki dari ibu, dan suami. Sedangkan delapan lainnya adalah dari kaum perempuan, yaitu: istri, anak perempuan, saudara perempuan kandung, saudara permpuan seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek. a. Yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta warisan adalah:11 - Suami, yaitu apabila istri yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. - Anak perempuan tunggal, atau tidak mempunyai saudara yang lain.
10
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),
11
Addys Aldizar dan Fathurrahman, h. 110
h. 110
48
- Anak perempuan dari anak laki-laki, yaitu jika tidak memiliki anak perempuan, serta tiadak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan (mahjub) - Saudara perempuan kandung, yaitu ketika dia seorang diri serta tidak ada orang yang menghalanginya. b. Yang berhak mendapatkan bagian seperempat (1/4) dari harta warisan adalah:12 - Suami, jika istri yang meninggal dunia meninggalkan anak laki-laki atau perempuan dan atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. - Istri atau beberapa istri (tidak lebih dari empat orang), jika suami yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau tidak juga anak dari anak laki-laki (baik laki-laki atau perempuan). c. Yang berhak mendapatkan bagian seperdelapan (1/8) dari harta warisan adalah:13 - Istri atau beberapa istri (tidak lebih dari empat orang), jika suami yang meninggal dunia itu meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau anak dari anak laki-laki (laki-laki atau perempuan).
12
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)
13
Addys Aldizar dan Fathurrahman,), h.125
h. 121
49
d. Yang berhak mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) dari harta warisan adalah:14 - Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat tidak anak laki-laki. - Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuanserta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang dari perolehan warisan (mahjub). - Dua orang saudara perempuan kandung (seibu sebapak) atau lebih, yaitu ketika tidak ada saudara perempuan kandung serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan (mahjub). e. Yang berhak mendapatkan bagian sepertiga (1/3) dari harta warisan adalah:15 - Ibu, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak atau anak dari anak laki-laki (cucu laki-laki atau perempuan), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki ataupun perempuan - Dua saudara atau lebih yang seibu, baik laki-laki maupun perenpuan, jika tidak ada orang lain yang berhak menerima. f. Yang berhak menerima bagian seperenam (1/6) dari harta warisan adalah:16 - Ayah si mayit, jika yang meninggal tersebut mempunyai anak atau anak dari anak laki-lakinya.
14
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)
15
Addys Aldizar dan Fathurrahman, h. 152 Addys Aldizar dan Fathurrahman, h. 166
h. 129 16
50
- Ibu, jika dia mempunyai anakatau anak dari anak laki-laki, atau beserta dua dua saudara kandung atau lebih, baik saudara laki-laki maupun perempuan yang seibu seayah, seayah saja, atau seibu saja. - Kakek (ayah dari ayah), yaitu jika beserta anak atau anak dari anak lakilaki, dan tidak ada ayah. - Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah), jika tidak ada ibu. - Satu orang anak perempuan dari anak laki-laki (Cucu) atau lebih, yaitu ketika bersama-sama dengan seorang anak perempuan, serta tidak ada ahli waris lain yang menghalanginya (mahjub). - Saudara perempuan sebapak. Yaitu, ketika bersama-sama dengan saudara perempuan yang seibu seayah (kandung), serta tidak ahli waris lain yang menghalanginhya. - Saudara laki-laki atau perempuan seibu, yaitu jika tidak ada hajib (yang menghalanginya).17 Seseorang dinyatakan sebagai ahli waris, jika ia mempunyai hubungan darah (nasabiyyah) atau hubungan perkawinan (sababiyyah).Orang-orang yang termasuk ahli waris karena hubungan darah (nasabiyyah) adalah terdiri dari: (1) anak laki-laki dan anak perempuan, (2) cucu, baik laki-laki maupun perempuan, (3) ayah, (4) ibu, (5) kakek, (6) nenek, (7) saudara laki-laki dan perempuan,
17
509
Syaikh Kamil Muhammad „uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2007). h.
51
sekandung, seayah, atau seibu, (8) anak saudara, (9) paman, dan (10) anak-anak paman.sedangkan orang-orang yang termasuk ahli waris karena perkawinan (sababiyyah) hanyalah suami, atau istri saja (QS Al-Nisa‟ [4]: 12). Dengan demikian, hubungan perkawinan ini tidak memberikan hak kewarisan apa pun bagi kerabat suami atau kerabat istri.18Dalam hal ini pewaris melakukan poligami dan meninggalkan anak sah dari tiap perkawinan itu, maka harta peninggalan campur kaya yang dikuasai oleh janda yang masih hidup terakhir tidak dibagikan kepada semua anak dari setiap istri (sehingga hanyalah anak yang sah daripada janda yang bersangkutan, yang menjadi ahli waris harta campur kaya yang ditinggalkan itu). (PN Indramayu tanggal 15 september 1969 Nomor 23/1969/pdt., PT Bandung tanggal 29 januari 1971, No. 218/1969 perd/PTB).19
D.
Pembagian Waris Dalam Perkawinan Poligami Dari perkawinan poligami apabila memiliki keturunan dan salah satu anggota keluarga meninggal dunia, maka akan terjadi pewarisan. Firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an An-Nisa‟ ayat 7:
18
Hassan Sholeh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Komtemporer. h. 348
19
Eman Suparman, Hukum Waris DI Indonesia dalam perspektif Islam, Adat dan BW, h. 63
52
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Pada ayat tersebut, Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan yang kecil maupun yang besar, antara lakilaki maupun wanita juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab.20 Demikian juga apabila dalam perkawinan poligami istri meninggal, maka suami berhak mewarisinya atau sebaliknya apabila suami meninggal, maka istri-istri berhak mewarisinya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
20
Muhammad Ali As-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, terjemah. Addys Aldizar, (Jakarta: Gema Insani Press, I996), h. I8.
53
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”
54
Waris Islam dirumuskan sebagai perangkat ketentuan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal dunia. Sumber pokok hukum waris Islam adalah Al-Qur‟an dan Hadis Nabi, kemudian ijma‟ (kesamaan pendapat) dan Qias (analogi). Akibat hukum suami menikah dengan lebih dari satu istri (poligami). Secara legal, dan meninggal dunia, maka terdapat perhitungan harta besrsama. Separuh harta bersama yang diperoleh dengan istri pertama dan separuh harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya, dan masing-masing terpisah dan tidak ada pencampuran harta. Pembagian harta waris tersebut yaitu sama besarnya antara istri pertama dengan istri kedua, ketiga dan seterusnya terhadap bagian masing-masing. Apabila suami mempunyai anak, maka bagian istri atau istri-istri 1/8. Apabila istri ada dua, maka 1/8 dibagi menjadi 1/16. Jika suami tidak mempunyai anak maka bagian istri adalah 1/4. Selanjutnya bagian I/4 tersebut dibagi kepada beberapa orang istri sama banyaknya. Furudh bagi istri sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur‟an adalah ¼ jika suaminya tidak meninggalkan anak dan 1/8 jika suaminya meninggalkan anak. Furudh untuk 4 orang istri secara jelas tidak dinyatakan dalam al-Qur‟an, namun para ulama sepakat bahwa furudh istri hanya ¼ atau 1/8, baik untuk seorang istri atau beberapa orang istri. Alasannya adalah jika setiap istri
55
mendapatkan 1/4 bagian maka seluruh harta kekayaan akan habis oleh istri saja dan dzul furudh lainya tidak mendapatkan bagian.21
21
Amir Syariffudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 79
BAB IV PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS PERKAWINAN POLIGAMI TIDAK TERCATAT DI KELURAHAM CIPETE SELATAN DAN ANALISA
A.
Sekilas Tentang Kelurahan Cipete Selatan 1. Letak Geografis Kelurahan Cipete selatan adalah salah satu dari 5 (lima) kelrahan di wilayah Kecamatan Cilandak. Perkembangan pembangunan yang sedemikian pesatnya, terutama pembangunan fisik menjadi wilayah kelurahan Cipete selatan memiliki arti strategis bagi pertumbuhan sektor perdagangan, jasa dan pemukiman. Berdasarkan SK Gubernur KDKI Jakarta Nomer 2151 Tahun 1989 tentang pemecahan, peraturan, penetapan batas, perubahan nama kelurahan yang kembar/sama dan penetapan luas wilayah KDKI Jakarta serta SK Gubernur KDKI Jakarta Nomo9/r 1227 Tahun 1989 tentang penyempurnaan lampiran SK Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251 tahun 1986. Maka luas wilayah Kelurahan Cipete Selatan adalah 232,23 Ha. Terbagi menjadi 7 RW, berikut batasa-batas wilayah : a. Sebelah Utara : Jl. H. Abdul Majid Kelurahan Cipete Utara Kebayoran Baru b. Sebelah Timur : Jl. Gaharu Kelurahan Cilandak Barat Kecamatan Cilandak c. Sebelah Selatan : Jl. Rs. Fatmawati Kelurahan Gandaria selatan Kecamatan Cilandak. 56
57
d. Sebelah barat : Kali Krukut Kelurahan Cilandak Timur Kecamatan pasar minggu. 2. Luas Wilayah Berdasarkan keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1227 tahun 1989, Kelurahan Cipete Selatan memiliki luas : 604, 60 Ha. Jumlah penduduk
: 30.540 jiwa
Laki-laki
:15.447
Perempuan
: 14.993 jiwa
Jumlah Kepala Keluarga
:10.018
Jumlah RW
: 7 RW
Jumlah RT
: 75 RT
Wilayah Kelurahan Cipete Selatan yang sangat luas disatu sisi menguntungkan terutama dalam kaitannya dengan pemasukan pendapatan asli daerah
(PAD),
namun
disisi
lain
luas
wilayahnya
juga
menuntut
profesionalisme yang tinggi di bidang pelayanan, mengingat jumlah penduduk yang dilayani tentunya lebih banyak dengan latar belakang yang beragam. Secara historis penduduk Kelurahan Cipete Selatan memeluk Agama Islam yang sampai saat ini masih dipegang teguh. Hasil presentase pemeluk agama Islam 28.842 orang, Kristen 1.227 orang, Budha 45 orang, Aliran kepercayaan 180 orang. Sejalan dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, demikian halnya ketersedian fasilitas peribadatan didominasi oleh masjid
58
dan musholla, dengan jumlah keseluruhan mencapai 45 Masjid dan Mushola. Fasilitas peribadatan lainnya ialah 4 Gereja. 3. Pendidikan Untuk bidang pendidikan di Kelurahan Cipete Selatan cukup memadai dengan berkembangnya beberapa pusat pendidikan, diantaranya terdapat 11 sekolah dasar, 6 SLTP swasta atau negri, 2 SMTA swasta atau negri dan 2 perguruaan tinggi.
B.
Jumlah Kepala Keluarga yang Berpoligami di Kelurahan Cipete Selatan Jumlah keseluruhan kepala keluarga yang melakukan poligami sebanyak 8 kepala keluarga dengan rincian: 1. H. Tabroni a. Hj. Rohaniah b. Hj. Aminah 2. H. Muhammad Said a. Hj. Nunung b. Ibu Titi 3. H. Sahlanih a. Iim Rahmawati b. Rosa 4. H. Syaikhu
59
a. Hj. Ida b. Halimah 5. H. Muhiddin a. Ibu Cicih b. Ibu tinah 6. H. Syakur a. Hj. Mareti b. Hj. Nuriyah 7. H. Madalih a. Hj. Siti b. Ibu Inap 8. H. Djaelani a. Hj. Masronih b. Hj. Samiah c. Hj. Mardiah d. Hj. Sa‟diah 9. H. Muhsyim a. Hj. Halimah b. Hj. Ni‟mah
60
C.
Praktik Pembagian Waris Perkawinan Poligami Tidak Tercatat di Kelurahan Cipete Selatan 1. Pembagian Waris pada Keluarga Almarhum Bapak H. Muhasyim Keluarga ini memiliki kecendrungan dalam pembagian warisan pada istriistri poligaminya yaitu secara merata dengan memperhatikan hukum Islam dan tanpa memperhatikan hukum positif di Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: Meninggalkan ahli waris 4 anak laki-laki ( kandung) dan 3 anak perempuan (kandung) dari istri pertama dan 2 anak laki-laki( tiri) 2 anak perempuan (tiri) dari istri kedua. Harta yang ditinggalkan Rp. 11. 200. 000.000,- (sebelas miliar dua ratus puluh juta rupiah). Dengan pembagian untuk anak kandung 2:1. Untuk pembagian anak tiri dibagi sama rata. Pembagian di peroleh dengan kesepakatan musyawarah keluarga dengan pihak istri pertama dan pihak istri kedua serta dihadiri oleh para tokoh agama atau ahli agama. Namun pembagian ini tidak menggunakan hukum positif maupun hukum adat. Dengan pembagian seperti ini para ahli waris merasa cukup adil.1 Harta Peninggalan = Rp. 11.200.000.000,Ahli waris: 4 anak laki-laki kandung 8 milyar. masing-masing mendapat 2 miliar
1
Wawancara Keluarga Poligami Bapak H.Ahmad Junaidi sebagai ahli waris, Tanggal 27 Oktober 2015 Jam: 17.31 WIB
61
3 anak perempuan kandung 3 milyar, masing-masing mendapat 1 milyar 2 anak laki-laki (tiri) dan 2 anak perempuan (tiri) Rp. 2.000.000.000,di bagi sama rata, masing-masing mendapat Rp. 50.000.000,2. Pembagian Waris Pada Keluarga Bapak Muhammad Tabroni. Keluarga ini
terdapat perbedaan dengan keluarga Bapak H. Hasyim
bahwa istri pertama dan kedua masih hidup sampai sekarang, dan mempunyai 2 orang anak laki-laki dan perempuan dari istri pertama sedangkan dari istri kedua mempunyai 1 orang anak laki-laki. Dalam pembagian waris istri mendapat 1/8 baik istri pertama maupun istri kedua, sedangkan untuk anakanaknya mendapatkan bagian yang sama setelah dibagikan harta untuk para istrinya, akan tetapi ada perbedaan dengan keluarga Bapak H. Hasyim bahwa ahli waris anak laki-laki mendapat harta tambahan benda tidak bergerak yaitu rumah, dengan alasan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungan lebih terhadap istri dan anak-anaknya. Pembagian ini tidak dilakukan di Pengadilan Agama disebabkan pernikahannya tidak tercatat dan hanya menggunakan ahli agama hukum Islam. Harta yang ditinggalkan oleh ahli waris berjumlah Rp. 90.000.000, - dan berupa benda tidak bergerak yang berupa rumah.2 Harta Peninggalan = Rp. 90.000.000. 2
Wawancara Keluarga Poligami Bapak Almarhum H. Tabroni, oleh Ibu Hj. Masronihsebagai ahli waris,Tanggal 14 Oktober 2015 Jam: 17.04 WIB
62
Ahli Waris: 2 orang istri masing-masing mendapatkan 1/8. 1/8 x Rp. 90.000.000= Rp. 5.625.000+ Rp. 5.625.000= Rp. 11.250.000, 2 orang anak perempuan masing-masing mendapatkan Rp. 26. 250.000 26.250.000 x 2 = 52.500.000 1 anak laki-laki mendapatkan rp. 26.250.000 dan sebuah rumah. 3. Pembagian Waris dalam Keluarga Bapak H. Jaelani Keluarga Bapak H. Jaelani berbeda dengan keluarga sebelumnya, letak perbedaanya adalah Bapak H. Jaelani ini mempunyai 4 istri dan 13 orang anak dari istri-istrinya. Dari istri pertama mempunyai 4 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Istri kedua mempunyai 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Istri ketiga mempunyai 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Sedangkan untuk istri yang terakhir tidak mempunyai anak. Dan dalam praktek pembagian waris kepada istri-istri dan anak-anaknya sepenuhnya hak progratif pewaris tanpa ada interpensi dari istri dan anakanaknya. Dalam hal pembagiannya pewaris tidak menyamakan pembagian kepada istri-istrinya dan untuk anak-anaknya 2:1.3 Harta Peninggalan = 3. 800 M 3
Wawancara Keluarga Poligami Bapak Almarhum H. Jailani, oleh Bapak Mustofasebagai ahli waris,Tanggal 24 Oktober 2015 Jam: 21.35 WIB
63
Ahli Waris: 4 orang istri masing-masing mendapatkan: istri pertama mendapatkan : 100 meter tanah Istri kedua mendapatkan
: 150 meter tanah
Istri ketiga mendapatkan
: 150 meter tanah
Istri keempat mendapatkan : 100 meter tanah 13 anak laki-laki dan perempuan 2:1 9 anak laki-laki mendapatkan 2.700 meter tanah. masing-masing mendapatkan 300 meter tanah. 4 anak perempuan mendapatkan 600 meter tanah. masing-masing mendapatkan 150 meter tanah.
D.
Interpretasi dan Pembahasan Hukum Islam telah mengatur pembagian waris dalam perkawinan poligami, bahwa untuk pembagian waris istri pertama dan istri kedua 1/8 dibagi 2 dan anak-anaknya sama halnya dengan pembagian dengan ibunya. Firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an An-Nisa‟ ayat 7:
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
64
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Pada ayat tersebut, Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan yang kecil maupun yang besar, antara lakilaki maupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab.4 Demikian juga apabila dalam perkawinan poligami istri meninggal, maka suami berhak mewarisinya atau sebaliknya apabila suami meninggal, maka istri-istri berhak mewarisinya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
4
Muhammad Ali As-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, terjemah. Addys Aldizar, (Jakarta: Gema Insani Press, I996), h. I8
65
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” Waris Islam dirumuskan sebagai perangkat ketentuan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal dunia. Sumber pokok hukum waris Islam adalah Al-Qur‟an dan Hadis Nabi, kemudian ijma‟ (kesamaan pendapat) dan qias (analogi). Akibat hukum suami menikah dengan lebih dari satu istri (poligami). Secara legal, dan meninggal dunia, maka terdapat perhitungan harta besrsama. Separuh harta bersama yang diperoleh dengan istri pertama dan separuh harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya, dan masing-masing terpisah dan tidak ada pencampuran harta. Pembagian harta waris tersebut yaitu sama besarnya antara istri pertama dengan istri kedua, ketiga dan seterusnya terhadap bagian masing-masing.
66
Apabila suami mempunyai anak, maka bagian istri atau istri-istri 1/8. Apabila istri ada dua, maka 1/8 dibagi untuk 2 orang istri, masing-masing menjadi 1/I6. Jika suami tidak mempunyai anak maka bagian istri adalah I/4. Selanjutnya bagian I/4 tersebut dibagi kepada beberapa orang istri sama banyaknya.5 Akan tetapi pada praktiknya di Kelurahan Cipete Selatan tidak melaksanakan ketentuan tersebut terbukti pada keluarga Bapak H. Hasyim, H. Tabroni dan H. Jaelani yang telah melaksanakan pembagian harta warisnya tanpa membagikan pembagian istri 1/8 dibagi 2, seharusnya mereka mengikuti ketentuan pembagian dalam hukum Islamakan tetapi istri-istri mendapatkan masing-masing 1/8. Sedangkan untuk praktik pembagian harta warisan pada masyarakat Cipete Selatan untuk anak laki-laki dan perempuan menggunakan 2:1 dan ini sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, akan tetapi terkadang masih ada praktik pembagiannya sama rata tanpa menggunakan 2:1 bahkan ada penambahan harta warisan untuk anak laki-laki dengan berdalil anak laki-laki mempunyai tanggungan yang lebih besar dari pada anak perempuan. Harta peninggalan tidak semua berwujud nominal uang melainkan dengan benda yang tidak bergerak seperti: rumah, tanah, sawah dan lain-lainnya. Terbukti dengan pembagian harta waris pada keluarga bapak H. Jaelani. Hal ini disebabkan karena kekuasaan penuh rumah tangga dipundak pewaris sehingga istri-istri dan anak-anaknya tidak bisa menolak keputusan tersebut dan pengetahuan agama
5
Amir Syariffudin, Hukum Kwewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 79
67
yang minim serta kuranganya sosialisasi akan perkawinan dan kewarisan dari pemerintahan. Menurut penulis, hal ini kurang bagus sebab tidak menggunakan hukum Islam secara penuh, dan masih setengah setengah para praktiknya serta keegoisan dari pewaris dalam pembagian harta warisan, sehingga penulis merasa tidak adil dalam pembagiannya. Terlihat pada saat pembagian harta waris untuk istri dari bapak H. Jaelani yaitu pembagian istri dalam hal tanah tidak sama rata, melainkan ada perbedaan, istri pertama dan terakhir mendapat 100 meter tanah dan istri kedua, ketiga mendapatkan 150 meter tanah, ini menunjukan ketidakseimbangan dalam pembagian harta warisan. Dengan adanya tambahan harta waris untuk anak laki-laki, alasan yang kemukakan dihadapan penulis tidaklah menjadi alasan yang kuat. Bahwa anak laki-laki lebih banyak tanggungan sebagai kepala rumah tangga. Perempuan pun sama mempunyai tanggungan, bukan berarti ada perbedaan dalam harta waris. Terbukti juga perkawinan yang tidak tercatat, jika merujuk kepada hukum positif maka pembagian harta warisan perkawianan yang tidak tercatat, istri yang dinikahi dan tidak tercatat (dibawah tangan) tidak dianggap sebagai istri yang sah. Berdasarkan Undang-undang pasal 2 ayat 2, perkawinan harus dicatat menurut Peraturan
Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak
dicatatnya perkawinan berarti menyalahi ketentuan ini, sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan legal.
68
Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian.Istri dalam pernikahan tidak tercatat (dibawah tangan) tidak berhak atas nafkah, dan jika suami meninggal dunia, maka dia juga tidak berhak mendapatkan warisan dari peninggalan suaminya itu.Anak tidak berhak atas nafkah dan warisan dari ayahnya. Dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan disebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat yang sah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak hasil perkawinan tidak tercatat (dibawah tangan) dianggap anak yang tidak sah.Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, tetapi hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini berdasarkan pada pasal 43 Undang-undang perkawinan yang menyebutkan. “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.6 Ketentuan tesebut di dukung oleh KHI pasal 100 yang menyebutkan, “ anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dibanding dengan KHI, Undang-undang Perkawinan lebih tegas dalam menyebutkan hubungan anak dengan ibunya sebagai hubungan perdata.7
6
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya? h.86
7
Happy Susanto, h.86
69
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Setelah penulis menjelaskan dan menguraikan mengenai praktek pembagian waris dalam perkawinan poligami di Kelurahan Cipete Selatan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Praktiknya pembagian harta waris pada perkawinan poligami tidak tercatat di Kelurahan Cipete Selatan tidak melaksanakan hukum Islam seluruhnya, terlihat pada keluarga Bapak H. Hasyim, H. Tabroni dan H. Jaelani yang telah melaksanakan pembagian harta warisnya tanpa membagikan pembagian istri 1/8 dibagi 2, seharusnya mereka mengikuti ketentuan pembagian dalam hukum Islamnamun setiap istri tetap mendapatkan masing-masing 1/8 bagian.
Sedangkan untuk praktik
pembagian harta
warisan pada masyarakat Cipete Selatanuntuk anak laki-laki dan perempuan menggunakan 2:1 dan ini sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, akan tetapi terkadang masih ada praktek pembagiannya sama rata tanpa menggunakan 2:1 bahkan ada penambahan harta warisan untuk anak lakilaki baik berupa tanah, sawah ataupun yang lain. Harta peninggalan tidak semua berwujud nominal uang melainkan dengan benda yang tidak bergerak seperti: rumah, tanah, sawah dan lain-lainnya. Terbukti dengan pembagian harta waris pada keluarga bapak H. Jaelani.
70
2. Alasan yang mendasar atas pembagian harta warisan di Kelurahan Cipete Selatan adalah kekuasaan penuh rumah tangga dipundak pewaris sehingga istri-istri dan anak-anaknya tidak bisa menolak keputusan tersebut. Mereka hanya dapat menerima keputusan dari pewaris tanpa ada interpensi dari istriistri dan anaknya. Alasan adanya tambahan pembagian harta waris untuk anak laki-laki adalah dengan berdalil anak laki-laki mempunyai tanggungan yang lebih besar daripada anak perempuan. B.
Saran-Saran Akhirnya sebagai penutup rangkaian penelitian ini, perlu kiranya peneliti memberikan saran-saran yang mungkin berguna bagi semuanya. Tentunya tidak terlepas dari permasalahan yang ada. Saran-saran penulis terserbut antara lain: 1. Untuk masyarakat di Kelurahan Cipete Selatan khususnya yang melakukan poligami dan yang berniat untuk berpoligami hendaknya mengetahui hukum Islam terutama dalam pembagian harta waris. Dengan harapan dalam pembagian waris tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. 2. Untuk pemerintah agar dapat
mencatat warga masyarakat yang
melaksanakan perkawinan poligamidibawah tanganagar mendapatkan perlindungan hukum serta mensosialisasikan hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan melalui khutbah jum‟at, pengajian agama di masjid-masjid, seminar-seminar maupun diskusi umum agar masyarakat memahami.
71
DAFTAR PUSTAKA Abbas Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Cv Akademik Pressindo, 2010) -----------------, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perseda, 2003) Aldizar Addys dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004) Ali As-Sabuni Muhammad, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, Terjemah. Addys Aldizar, (Jakarta: Gema Insani Press, I996) Al-Jurjawi Ali Ahmad, Hikmah Dan Falsafah Syari’at Islam, (Jakarta: Gema Insani Darmawan Hendro, Dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap Dengan Eyd Dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Bintang Cermelang, 2010) Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Penyelengara Penerjemah Al-Qur‟an, 1984
(Jakarta:
Yayasan
Ghozali Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003) Hatta, Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata Ddilengkapi Dengan Asbabul Nuzul Dan Terjemah, Maghfirah Pustaka Hk Auryato, Makna Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: Balai Pustaka Cet.I, 1971) Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer Indonesia, 2010)
(Jakarta: Ghalia
Kharlie Ahmad Tholabi dan Syarifudin Hidayat Asep, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian, 2011) Manan Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana,2008) Muhammad Syaikh Kamil „Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2007)
72
Mujib A. Abdul Thalhah, Mabrur, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) Prodjohamidjojo Mr. Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Cv. Karya Gemilang, 2015). Rahayu Lin Tri, Tristiadi Ardini, Observasi Dan Wawancara, Ed-1, Cet-1. (Malang: Bayu Media Publishing, 2004) Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perseda, 2003) Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 2, Penerjemah, Asep Sobari, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008) Sarosa Samiaji, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, Cet-1 (Jakarta: Permata Puti Media. 2012). Sholeh Hassan, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Komtemporer, (Jakarta Grafindo Perseda
: Pt Raja
Sopyan Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, 2012) Sujatna Nana, Tuntunan Penelitian Karya Ilmiah, Makalah-Skripsi-Tensis-Disertasi. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1999) Suparman Eman, Hukum Waris Di Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw (Bandung, Pt Reflika Aditama 2007) Syariffudin Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) Tholib Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia , (Jakarta : Sinar Grafika, 2004) Tihami H.M.A. dan Sahrani Sohari, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nkah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
73
PEDOMAN WAWANCARA 1.
Tuliskan biodata responden (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan).
2.
Apakah keluarga Ibu melakukan Poligami secara sirri?
3.
Kapan perkawinan poligami dilakukan?
4.
Apa tujuan keluarga Ibu melakukan poligami?
5.
Apa alasan keluarga Ibu melakukan perkawinan poligami secara sirri?
6.
Apa dampak yangkeluarga Ibu rasakan atas perkawinan sirri yang dilakukan?
7.
Apa pandangan keluarga Bapak ketika melakukan poligami secara sirri?
8.
Apakah keluarga ibu mempertimbangkan perihal warisan setelah melakukan poligami secara sirri?
9.
Apa yang Bapak ketahui mengenal hukum waris?
10.
Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut Agama?
11.
Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut hukum positif?
12.
Apakah Bapak mengetahui hukum waris menurut adat?
13.
Dari ketiga jenis hukum waris, apa yang keluarga Bapak gunakan?
14.
Kenapa keluarga bapak menggunakan hukum waris tersebut? Apakah atas hasil musyawarah seluruh ahli waris atau pemilik harta waris?
15.
Kapan pembagian warisan diberikan kepada ahli waris?
16.
Bagaimana cara pembagian waris terhadap ahli waris?
17.
Jika keluarga Bapak melakukan pembagian waris menurut hukum positif, apakah mengikutsertakan ahli hukum (pengacara, atau notaris) dalam pembagian waris?
18.
Jika keluarga Bapak melakukan pembagian waris menurut hukum Agama, apakah mengikutsertakan ahli agama dalam pembagian waris?
19.
Jika keluarga Bapak melakukan pembagian waris menurut adat, apakah mengikutsertakan pendapat ahli agama atau ahli hukum?
74
20.
Apa alasan keluarga Bapak bapak mengikutsertakan ahli hukum atau ahli agama dalam pembagian waris?
21.
Kesulitan dan kemudahan yang keluarga bapak ketika melakukan hukum waris tersebut?
22.
Adakah perbedaan antara pembagian waris pada masing-masing ahli waris?
23.
Jika ada perbedaan, apakah ahli waris merasa adil dan menerima bagian dari pembagian warisan?
24.
Bagaimana pendapat keluarga Bapak atas praktek pembagian waris yang dilakukan tanpa mengikuti hukum agama dan hukum positif yang berlaku?
25.
Bagaimana
cara
yang ditempuh
menyelesaikan permasalahan tersebut?
para
ahli
waris untuk
dapat