TEORI PUBLIC RELATION ANALISIS DAMPAK LEDAKAN GAS LPG 3 KG Oleh : Nama : Harris Syahjohan Nim : 08220258 Ilmu Komunikasi / PR / V A FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2010 A. Gambaran Kasus Kenaikan harga minyak mentah dunia pada tahun 2008 silam yang menembus angka hingga US$ 100 per barel(1), telah membuat Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Pemerintah beralasan program ini dimaksudkan untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna meringankan beban keuangan negara hingga 15-20 triliun rupiah per tahun. Bagi jangka panjang, program ini lebih menjamin ketersediaan pasokan kebutuhan energy bagi dalam negeri. Keuntungan lainnya dari pemakaian elpiji bagi rumah tangga adalah lebih praktis, efisien, dan lebih bersih. Pada awalnya, Pemerintah menganggarkan dana sekitar 60 triliun rupiah untuk subsidi bahan bakar minyak yaitu, premium, solar, dan minyak tanah. Dari ketiga bahan bakar ini, minyak tanah mendapat porsi paling besar yaitu sekitar 50% dari anggaran. Karena itu harga minyak tanah menjadi paling murah, maka dari itu minyak tanah sering disalahgunakan seperti, diselundupkan, dijual pada industry serta dicampur dengan bahan bakar lain. Program yang mulai diterapkan pada tahun 2007 ini, diimplementasikan dengan membagikan paket tabung elpiji beserta isinya, kompor gas dan accessoriesnya kepada rumah tangga dan usaha mikro pengguna minyak tanah. Dalam melaksanakan program ini, setidaknya terdapat tiga pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan program konversi. Ketiga pihak tersebut antara lain :
(1) sumber http/international.okezone.com/ 3 Januari 2008 1. Kementrian Negara Koperasi dan UKM. Kementrian ini ditunjuk sebagai penyedia kompor dan accessorisnya (regulator dan selang) serta mendistribusikannya bersama tabung elpiji 3 kg dari Pertamina. 2. PT. Pertamina (Persero) yang bertugas sebagai : Menyediakan tabung elpiji 3 kg untuk perdana ditambah kebutuhan tabung untuk rolling. Mempersiapkan infrastruktur dan jalur distribusinya dan lain-lain. 3. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, ditunjuk untuk melakukan sosialisasi program peralihan penggunaan minyak tanah ke elpiji. Pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah dalam mengkonversi minyak tanah ke elpiji ini terus bergulir dari mulai kebijakan ini digulirkan hingga saat ini. Hal yang mengemuka dari pihak kontra adalah ketidaksiapan pemerintah
sebagai regulator dan juga kebanyakan masyarakat yang masih di dominasi lapisan menengah kebawah sebagai pengguna elpiji. Salah satu dampak negative yang dirasakan saat ini adalah banyaknya kasus ledakan tabung elpiji 3 kg. Adapun penyebab dari ledakan tersebut adalah ketidak pahaman masyarakat dalam menggunakan tabung elpiji yang benar, hingga adanya dugaan tabung gas illegal yang tidak sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) (2) ,sejak kebijakan ini diberlakukan pada tahun 2007, sedikitnya telah terjadi 97 kasus ledakan tabung gas.
(2) sumber www.kabarinews.com/article 8/10/2010 Mayoritas terjadi pada tabung gas ukuran 3 kg. Dengan jumlah korban tewas puluhan orang dan korban luka lebih dari 100 orang, maka peristiwa ini tidak bias lagi dianggap remeh. Pemerintah harus bertanggung jawab penuh dalam menyediakan tabung gas yang aman dan nyaman bagi masyarakat. B. Analisis Kasus Terhadap Teori Niat pemerintah mendorong masyarakat, khususnya lapisan menengah kebawah untuk menggunakan elpiji dapat kita lihat sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat itu sendiri. Minyak tanah sebagai salah satu bahan bakar minyak yang telah lama digunakan oleh hampir sebagian besar masyarakat Indonesia telah menjadi suatu kebutuhan yang membudaya. Minyak tanah dengan segala kekurangannya dianggap oleh sebagian masyarakat lapisan menengah kebawah sebagai kebutuhan dasar yang sesuai dengan social ekonomi mereka. Mereka, masyarakat lapisan bawah tidak merasa sulit dengan ketidak praktisan minyak tanah dibandingkan dengan gas elpiji. Mereka juga tidak terlalu memikirkan berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan Negara untuk biaya subsidi minyak tanah. Yang mereka pikirkan hanya adalah suatu bahan bakar yang menurut mereka sesuai dengan kondisi social ekonomi mereka. Persoalan budaya seringkali menjadi batu sandungan ketika Pemerintah atau regulator mengeluarkan suatu kebijakan baru. Kebijakan yang dianggap asing bagi sebagian mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah energy. Keputusan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji pada 2007 silam, telah membawa dampak buruk bagi mereka para korban ledakan tabung gas elpiji 3 kg. Apapun factor dari ledakan tabung tersebut, Pemerintah sebagai regulator dan sebagai pelindung masyarakat harus bertanggung jawab penuh terhadap masalah ini. Masalah yang mengemuka setiap ledakan tabung terjadi adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap cara penggunaan tabung itu sendiri hingga dugaan kondisi tabung yang tidak sesuai standar. Pada masalah pertama, seperti kita ketahui bahwa sasaran pemerintah pada kebijakan ini adalah masyarakat lapisan menengah ke bawah yang secara garis besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Diperlukan waktu yang lama untuk merubah
pemahaman tentang penggunaan elpiji yang baik dan aman. Pemerintah telah melakukan berbagai macam sosialisasi penggunaan gas elpiji bagi masyarakat baik melalui media cetak, elektronik, hingga menerjunkan langsung tim sosialisasi yang langsung menuju pada masyarakat sasaran. Namun kembali lagi ketika sebuah kebijakan berhadapan dengan sebuah kebiasaan yang membudaya maka diperlukan suatu tekhnik khusus serta waktu yang tidak singkat dalam merubah pandangan mereka terhadap bahan bakar elpiji. Kita ketahui bahwa program konversi minyak tanah ke gas elpiji merupakan program pemerintah yang dilaksanakan dengan melibatkan Pertamina sebagai vendor produsen tabung gas, dan masyarakat tentu yang menjadi sasarang program tersebut. Pada kasus ledakan tabung gas, Pertamina sebagai produsen tabung menjadi tumpuan utama dalam menghadapi berbagai kasus ledakan tabung gas yang terjadi. Pertamina sering dianggap yang paling bertanggung jawab terhadap dampak negative dari kebijakan konversi. Di dalam pelakasanaan program konversi itu sendiri, setidaknya terdapat tiga subyek utama yang memiliki peran dalam keterkaitan erat pada pelakasanaannya. Pertamina sebagai korporasi, Pemerintah sebagai pencetus program dan pengambil kebijakan, serta masyarkat yang dalam hal ini menjadi sasaran dari program ini. Masing-masing dari subyek ini memiliki perannya masing-masing. Pertanyaannya adalah siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas kerugian yang muncul dilapangan. Pertamina sebagai produsen tabung yang digunakan dalam program ini berkaitan langsung terhadap masalah yang timbul dilapangan. Maka dari itu secara tidak langsung Pertamina turut bertanggung jawab terhadap masalah ini. Namun bukan berarti masalah ini menjadi tanggung jawab penuh oleh Pertamina, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama antara ketiga subyek tadi. Di tinjau dari teori komunikasi kebutuhan terhadap posisi Pertamina saat ini, pengaruh posisi Pertamina sebagai produsen dan penyedia tabung gas yang menjadi pokok permasalahan serta berbagai pemberitaan media terhadap kasus ini, maka Pertamina menjadi pihak paling depan yang dianggap harus bertanggung jawab terhadap akibat masalah ini. Pada teori kausalitas, dimana setiap perbuatan menimbulkan akibat, baik secara langsunng maupun tidak langsung. Namun, tidak semua akibat menimbulkan hukum tertentu atau dengan kata lain tidak semua perbuatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum bisa ditimbulkan oleh satu perbuatan atau satu delik dan bisa juga ditimbulkan oleh beberapa perbuatan atau serangkaian perbuatan yang saling berhubungan dan saling mendukung untuk terjadinya suatu akibat. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan seperti contoh tersebut, menuntut adanya sebab terdekat yang bisa dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hukum pidana, tentang hal tersebut memiliki suatu teori yang disebut teori sebab-akibat. Kaitannya dengan Pertamina sebagai korporasi dan produsen tabung elpiji adalah posisi Pertamina sendiri sebagai satu-satunya perusahaan energy minyak dalam negeri yang ditunjuk pemerintah sebagai penyedia pasokan energy
sehingga menjadikan Pertamina sebagai korporasi yang berkaitan erat dengan masyarakat sebagai penggunan bahan bakar dan pertamina sebagai penyedia bahan bakar, yang dihubungkan didalam program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Kerugian yang terjadi juga harus dianalisis dengan mempertimbangkan peran masing-masing pihak dalam melaksanakan program ini. Pada kasus ini Pertamina tidak dapat dikenakan tanggung jawab sendiri atas ledakan tabung gas yang terjadi. Sesuai dengan Perpres tentang penyediaan dan pendistribusia elpiji tabung 3 kg, (pasal 11) yaitu, Menteri melakukan pengawasan dan verifikasi terhadap pelaksanaan kegiatan penyediaan dan pendistribusian elpiji 3 kg. Maka dari pasal ini jelas bahwa seluruh proses penyediaan dan pendistribusian tabung elpiji 3 kg oleh Pertamina diawasi langsung oleh Pemerintah. Sehingga ketika terjadi sebuah kesalahan prosedur dilapangan yang menyebabkan terjadinya ledakan tabung, maka pihak pengawas turut serta bertanggung jawab dalam masalah yang terjadi. Pada kasus ledakan tabung gas elpiji, memang posisi Pertamina sebagai produsen tabung gas 3 kg. secara hukum, Pertamina sebagai korporasi tidak dapat dibebani tanggung jawab pidana. Hal ini sesuai dengan system pertanggung jawaban yang dianut oleh KUHP, pasal 59 KUHP yaitu bahwa korporasi tidak dapat dibebani pertanggung jawaban pidana dikarenakan korporasi tidak memiliki kalbu atau niat untuk berbuat jahat, namun yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah pengurus dari korporasi itu sendiri yang memiliki kalbu untuk melakukan kejahatan. Pertanggungjawaban pertamina sebagai korporasi dilihat hanya pada saat produksi tabung gas elpiji 3 kg serta pengisiannya. Apakah terdapat kesalahan dalam produksi yang menyebabkan cacat sehingga menyebabkan korban. Secara umum Pertamina hanyalah rekanan pemerintah dalam menjalankan program konversi pada bagian penyediaan tabung elpiji. Sehingga permasalahan yang muncul akibat dari ledakan tabung elpiji 3kg, bukan hanya menjadi tanggung jawab Pertamina selaku produsen tabung tetapi juga menjadi tanggung jawab Pemerintah yang merupakan program Pemerintah. C. Pendapat dan Saran Pada dasarnya Pemerintah memiliki suatu niat dari kebijakan yang dikeluarkannya. Salah satu niat Pemerintah terhadap kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji adalah untuk meningkatkan mutu dan taraf hidup masyarakat. Serta untuk menjamin ketersediaan energy gas bumi dibanding dengan energy minyak bumi yang semakin menipis. Sebuah kebijakan hendaknya dapat dilihat dari berbagai sisi. Dari sisi Pemerintah, adalah sebagai upaya penghematan energy dan juga pengeluaran subsidi minyak yang memakan biaya yang cukup besar. Sedangkan dari sisi masyarakat adalah perlunya bahan bakar yang aman, mudah digunakan dan terjangkau. Untuk mencapai suatu tujuan yang baik dari kebijakan konversi ini, hendaknya perlu dukungan dari seluruh pihak yang berkait baik Pemerintah, swasta, serta masyarakat sebagai konsumen. Tidak mudah memang untuk melepas sebuah subsidi seperti subsidi minyak. Tak hanya masalah ekonomi semata, namun juga
masalah social, budaya hingga politik. Untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dari ledakan tabung gas elpiji 3 kg, pemerintah beserta pihak-pihak terkait harus lebih aktif dalam mensosialisasikan penggunaan elpiji yang baik dan benar sehingga aman untuk digunakan. Pemerintah juga harus mengawasi secara ketat peredaran tabung elpiji 3 kg agar tidak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Memang bagi sebagian besar masyarakat, berpindah kebiasaan menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar merupaka sesuatu yang memerlukan perubahan social, budaya dan ekonomi. Karna kita ketahui secara ekonomi masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu untuk menyesuaikan dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah. Dan ini semua merupakan tanggung jawab bersama guna mencapai suatu tujuan bersama. D. Daftar Pustaka http://www.tambangnews.com/regulasi/277-uu-no-22-tahun-2001-tentangminyak-dan-gas-bumi.html http://blog.unila.ac.id/redha/2009/11/19/program-nasional-konversi-minyaktanah-ke-lpg/ http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/260-agen-dan-pengkalan-minyaktanah-dilibatkan-dalam-konversi-elpiji.html http://www.kabarinews.com/article/Berita_Indonesia/Jakarta/JUMLAH_KORBAN_LE DAKAN_TABUNG_GAS_TAK_BISA_DIANGGAP_SEPELE/35338 http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/09/11/212/144884/men gevaluasi-konversi-gas http://setyopamungkas.wordpress.com/2010/08/19/tanggung-jawab-korporasiterhadap-kerugian-dalam-program-konversi-gas-lpg/ http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/08/26/brk,20100826274107,id.html http://setia-ceritahati.blogspot.com/2009/04/tentang-teori-kausalitas.html http://www.jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm http://www.serambinews.com/news/view/35410/warga-ikut-sosialisasi-tabunggas-elpiji http://linbud.wordpress.com/2009/06/30/perubahan-budaya-dari-minyak-tanahke-gas-elpiji/ http://www.panazaba.org/dl.php?folder=Perundangan&download_file=Buku%20I %20Aturan%20Umum%20KUHP.rtf http://international.okezone.com/read/2008/01/03/18/72371/akhirnya-hargaminyak-dunia-tembus-100-dolar-as
Konversi Energi Berbasis Masyarakat 23 Jun 2010 • •
Opini Suara Karya
Oleh Solemanto Secara ekonomis, tak perlu diragukan keberhasilan program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg. Dari 44,6 juta paket konversi yang didistribusikan hingga pertengahan 2010, setidaknya telah menghemat minyak tanah sebanyak 7,584 juta kiloliter (kl) dan pengeluaran negaja hingga Rp 12,29 triliun. Program konversi ini juga mampu menghemat pengeluaran rumah tangga sekitar Rp 27.000 per bulan (36 persen) dengan pasokan harga minyak tanah Rp 2.000 per liter atau Rp 324.000 per tahun. Masalahnya sekarang, program konversi minyak tanah ke LPG dihadapkan pada berbagai insiden yang menyebabkan jatuhnya korban dan kerugian materi. Insiden ini bisa dipicu oleh aspek teknis, aspek sosial budaya (perubahan kultur), dan masih terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam menggunakan LPG.Dari aspek teknis, hingga kini belum ditemukan insiden di berbagai daerah tentang tabung LPG yang meledak. Tentu saja, karena tabung LPG dirancang dengan tekanan 120 bar, sedangkan tekanan LPG yang ada di dalam tabung hanya sekitar 7 hingga 10 bar. Insiden lebih banyak karena kerusakan aksesori mulai dari kebocoran regulator, selang, kompor, sampai karet. Identifikasi penyebab insiden ini sangat penting supaya lebih fokus pada penanganan insiden LPG 3 kg.Pertamina-sebagai operator dalam program konversiakan melakukan segala hal yang berkaitan dengan LPG 3 kg yang menjamin kualitas dan pengamanan distribusinya. Mulai dari pengecekan sebelum tabung diisi LPG hingga setelah tabung diisi di stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE). Pertamina juga akan mengecek seluruh tabung dengan menenggelamkan di air supaya kebocoran tabung terdeteksi. Pengecekan tidak memakai random, tapi seluruh tabung dalam program konversi. Masyarakat pengguna kini lega karena Pertamina telah memutuskan untuk menarik seluruh karet [rubber seal) diganti dengan rubber seal yang baru. Karet baru itu nantinya berwarna khusus, berbeda dengan seals yang dijual di pasaran yang tak dijamin kualitasnya.Secara sosial dan budaya, konversi membutuhkan sebuah transformasi. Program ini tak sekadar membagikan paket konversi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai baru penggunaan energi secara hemat dan aman, karena LPG termasuk jenis bahan bakar high explosive. Perubahan ini tentu membutuhkan edukasi, mulai dari bagaimana . memperlakukan dan menggunakan LPG secara aman, mendeteksi, hingga menangani bila terjadi kebocoran. Edukasi telah dilakukan, yaitu sosialisasi melalui media. Namun, secara motorik, sosialisasi melalui media harus dilengkapi dengan sosialisasi secara langsung kepada masyarakat untuk mendidik bagaimana menggunakan LPG 3 kg secara aman. Di sinilah dibutuhkan partisipasi publik, khususnya di tataran akar rumput.Adanya prakarsa masyarakat Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara, untuk membentuk Komunitas Pengguna LPG 3 Kg kiranya perlu terus didorong. Partisipasi masyarakat Rawa Badak ini bisa menjadi model untuk membangkitkan
partisipasi publik dalam menyosialisasikan penggunaan LPG 3 kg secara langsung oleh masyarakat itu sendiri. Mengawal Program Dalam proses transformasi, program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg membutuhkan dukungan stakeholder yang lebih luas. Program ini harus dikawal bersama oleh semua departemen, institusi, dan masyarakat melalui peran dan tugas masing-masing. Semua perlu bersinergi untuk ikut mengedukasi, mengawasi, dan mengawal masyarakat agar bisa menggunakan LPG 3 kg secara aman. Pertamina, sebagai operator, bertanggungjawab atas pengisian tabung LPG dan distribusinya kepada masyarakat melalui agen. Sementara, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk memastikan tabung LPG dan aksesorinya sudah terpasang dengan baik dan tidak bocor. Bila mencium bau khas LPG, mereka tidak diperkenankan menyalakan api, baik api kompor, korek api, maupun listrik. Untuk masyarakat, perlu ditumbuhkan budaya safety. Bila karet selang LPG bocor, harus diganti. Begitu juga dapur penempatan LPG 3 kg. Masyarakat harus mampu memperlakukan LPG secara aman. Misalnya, memberikan lubang ventilasi di dapur serta meletakkan kompor tidak berdekatan dengan tabung.Sementara itu, pihak perindustrian bertugas mengawasi pabrikan LPG 3 kg dan memastikan barang-barang tersebut telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI). Perindustrian akan menghadapi banyak masalah. Misalnya, hingga kini terdapat 70 pabrikan produksi tabung LPG 3 kg. Jika diasumsikan setiap pabrikan menghasilkan 1 juta tabung per tahun, setiap tahun akan diproduksi 70 juta tabung. Sementara, kebutuhan Pertamina untuk mengganti tabung yang rusak hanya berkisar 10 juta tabung Dari gambaran tersebut, terdapat over supply tabung sebesar 60 juta tabung per tahun. Pemerintah perlu mengawasi over supply tersebut karena tabung LPG 3 kg ada regulasinya. Tidak bisa diperjual belikan secara bebas, tetapi diatur, mulai bahannya, bentuknya, besarnya, sampai standar keselamatannya.Kewenangan mengelola tabung ada pada Pertamina karena tabung itu bukan milik masyarakat. Kalau masyarakat membeli tabung, tak perlu memikirkan bagaimana reparasi-nya bila terjadi kerusakan. Selama ini yang mereparasi tabung adalah Pertamina. Di sinilah dibutuhkan peran institusi perdagangan. Mereka bisa melakukan pengawasan terhadap peredaran tabung LPG di pasaran apakah barang-barangyang berkait dengan LPG 3 kg sudah sesuai dengan SNI atau tidak. Bila ada penyimpangan, mereka harus berani melarang dan menghentikannya.Diduga, kini banyak barang impor berkait dengan LPG 3 kg.Misalnya, ada impor selang karet. Awalnya, izin impor itu untuk peralatan kimia. Namun, di pasar diduga selang tersebut dipotong-potong menjadi selang LPG Terhadap barang seperti itu, pihak perindustrian dan perdagangan memiliki peran penting untuk memastikan apakah barang tersebut sesuai dengan SNI dan sah-tidaknya diperdagangkan di masyarakat. Dirjen Migas ESDM juga harus bertanggung jawab terhadap implementasi aturan siapa yang boleh menggunakan LPG 3 kg, spesifikasi barang gas, maupun aspek pengamanan. Dirjen Migas bisa melarang penjualan LPG 3 kg yang tak sesuai sistem pergudangannya.Sementara untuk menjamin terjadinya perubahan budaya dari minyak tanah ke LPG yang aman. Kementerian Sosial, Ke- menterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), serta pemerintah daerah-dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota-turut memikul
tanggung jawab. Mereka bisa menjadi ujung tombak untuk menggerakkan seluruh elemen masyarakat dan aparat paling bawah untuk aktif melakukan sosialisasi penggunaan LPG 3 kg secara aman.Melalui pendekatan lintas sektoral inilah diharapkan akan mampu mengawal program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg. ***Penulis adalah peneliti dari
Elpiji, Mudah, Murah, Ramah Lingkungan HAMPIR tiga tahun program konversi minyak tanah ke elpiji berlangsung. Beragam problem atau kendala mewarnai prosesnya. Bahkan beberapa musibah, meledaknya tabung elpiji 3 kilogram, juga sempat menghambat proses sosialisasi program pemerintah ini. Kendala adalah hal biasa mengingat yang penting adalah solusi penyelesaiannya segera muncul dan bisa mengatasi. Akhirnya, memang pemanfaatan elpiji sebagai bahan bakar konsumen rumah tangga bisa diterapkan. Sementara di sisi lain sosialisasi kepada masyarakat juga masih berlangsung, seiring perluasan wilayah konversi. Jika selama ini ada musibah seperti ledakan tabung gas, pasti hal itu terkait dengan faktor kualitas tabung berikut peralatan pendukungnya. Harus diakui, sebagian besar rumah tangga belum terbiasa memanfaatkan elpiji sebagai bahan bakar, di samping sikap apatis masyarakat terhadap persoalan tata laksana kebijakan program konversi minyak tanah ke elpiji. Kasus atau persoalan musibah menyangkut pemanfaatan elpiji sebagai bahan bakar bagi konsumen rumah tangga, kini berangsur terus berkurang dan jarang terdengar lagi. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak sebanding dengan tambahan jumlah konsumen baru pengguna elpiji. Keberhasilan Hal itu berkaitan langsung dengan keberhasilan sosialisasi yang dilakukan pihak terkait, sehingga mampu menggaet dan menyadarkan masyarakat awam akan pentingnya elpiji sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan bahan bakar elpiji dibanding minyak tanah, antara lain karena didukung dua hal. Pertama; konsumen yang notabene ibu-ibu rumah tangga makin mengetahui tata cara yang aman dalam menggunakan elpiji. Kontroversi dan musibah karena ledakan tabung yang pernah terjadi, ditambah pengalaman pemanfaatan elpiji sebagai bahan bakar, secara sosial-edukatif terus disikapi konsumen sebagai proses pembelajaran. Sebab dari proses itulah masyarakat akhirnya menguasai penggunaan teknis elpiji, yang memang merupakan sesuatu yang baru bagi sebagian besar masyarakat kita, secara aman dan tidak mengkhawatirkan. Faktor pendukung kedua, adalah meningkatnya kualitas kinerja pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses tata laksana program konversi minyak tanah
ke elpiji di berbagai tempat atau lapangan, serta peran serta masyarakat yang bisa menerima dengan tangan terbuka kehadiran para petugas tadi. Dua faktor pendukung itu secara langsung menjadi motivator bagi terus berlangsungnya program konversi. Maka pemerintah pun akan terus melaksanakan program konversi minyak tanah ke elpiji bagi konsumen rumah tangga, yaitu konsumen yang mempunyai legalitas penduduk, yang menggunakan minyak tanah untuk memasak dalam lingkup rumah tangga dan yang tidak mempunyai kompor gas. Lebih Bersih Kenapa ‘’keharusan’’ pemakaian elpiji terus didengung-dengungkan? Tentu karena beragam manfaat yang ada dibanding jika menggunakan minyak tanah. Dilihat dari pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar, misalnya, pembakaran elpiji ternyata lebih bersih dibandingkan minyak tanah. Pembakaran minyak tanah menghasilkan uap hidrokarbon. Bahkan karena terlalu pekatnya, uap dari pembakaran itu bisa dikenali warnanya yang hitam meski halus dan ringan, dan baunya menusuk penciuman. Dampak lain, sisa pembakarannya bisa menempel di dinding ruang pembakaran atau biasanya di ruang dapur. Bukan itu saja, sisa pembakaran juga bisa mengotori benda-benda lain yang ada di sekitarnya. Berbeda dari pembakaran elpiji. Dalam keadaan tidak bocor, gas elpiji tidak mengeluarkan bau, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan bakar memiliki risiko kesehatan yang lebih kecil dibandingkan minyak tanah. Dalam keadaan selang pembakarannya terkontrol, elpiji hanya akan habis dimakan api. Pemanfaatan elpiji lebih praktis. Jika kita atau masyarakat menemukan proses pembakaran elpiji yang mengeluarkan bau gas maka hal itu artinya ada selang atau tabung yang bocor. Sebagai tuntutan yang alamiah maka sepatutnyalah konsumen berhati-hati dalam menggunakan elpiji sebagai bahan bakar. Di sinilah pentingnya faktor sosialisasi. Seringkali pemerintah menyerukan, bahwa pada saatnya persediaan minyak tanah akan menipis, bahkan habis, sehingga perlu kesadaran masyarakat untuk hemat memakainya. Dari sisi itu, program konversi minyak tanah ke elpiji bukan saja merupakan alternatif untuk menyiasati krisis bahan bakar minyak tanah melainkan secara ekologis juga diharapkan dalam skala terbatas turut mendukung proses pengurangan deforestasi dan degradasi lingkungan. Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji dalam skala terbatas dapat mengurangi pemanfaatan kayu bakar yang diambil dari kawasan lingkungan sekitar.
Ramah Lingkungan Penegasan dari manfaat penggunaan elpiji sebagai bahan bakar adalah, penggunaan elpiji jauh lebih bersih dan ramah lingkungan dibandingkan minyak tanah. Elpiji merupakan senyawa hidrokarbon yang dikenal sebagai butana, propana, isobutana atau campuran butana dengan propana, yang secara umum bersifat bersih, tidak beracun, tidak berwarna, tingkat polusi udara dari gas buang rendah, dan tidak meninggalkan residu apabila menguap, serta tidak menyebabkan karat pada besi dan tabung kemasan. Bandingkan dengan minyak tanah. Kompor tempat memasak terkadang penuh kotoran hitam hasil dari sisa pembakaran. Itu terjadi karena minyak tanah menghasilkan uap hidrokarbon yang sangat pekat. Belum lagi polusi yang ditimbulkan, serta kondisi ruangan yang ikut kotor. Minyak tanah menghasilkan gas hidrokarbon dan gas karsinogenik yang bisa memicu sel penyakit kanker atau penyakit lainnya. Sedangkan pembakaran dengan menggunakan gas elpiji tidak akan meninggalkan sisa pembakaran seperti bahan bakar lain. Ruangan dapur akan terjamin kebersihannya. Kepuasan memasak yang optimal dan cepat bisa diperoleh. Bahan bakar elpiji menjanjikan banyak kemudahan dan kenyamanan dibanding bahan bakar lain. Daya pemanas elpiji mampu menghasilkan 60 persen, artinya memasak dengan elpiji membutuhkan waktu lebih sedikit dibanding dengan bahan bakar lain. Konsumsi pemakaian bahan bakar gas untuk keperluan rumah tangga, menurut perhitungan sekitar 150-200 gram gas elpiji setiap jamnya. Kelebihan dan segala kemudahan itu akhirnya menyadarkan masyarakat akan penting dan perlunya beralih ke bahan bakar elpiji. Tidak hanya ibu-ibu rumah tangga, masyarakat dari kalangan usaha kecil pun banyak yang beralih menggunakan elpiji. Melihat dampak positif tersebut, tidak ada alasan untuk menghentikan program sosialisasi. Justru sebaliknya program sosialisasi dan konversi itu bisa terus dilakukan, dan masyarakat harus mendukung. Sebab program konversi minyak tanah ke elpiji itu tidak hanya menolong masyarakat dari ancaman kelangkaan minyak tanah, tetapi juga sebagai upaya menyelamatkan lingkungan. Untuk mendukung keberhasilan semua program itu, diperlukan kualitas kinerja para pihak yang bertanggung jawab dalam program konversi. (Doktor Abu Rokhmad, dosen IAIN Walisongo Semarang-12)