Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh Sri Hidayat1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel Email :
[email protected] Hp : 085255929708 Abstrak : Perencanaan ruang saat ini belum sepenuhnya melibatkan publik. Sementara teori perencanaan sebagai suatu perspektif, ternyata telah mengantarkan perlunya pelibatan publik dalam perencananaan melalui berbagai bentuk konsep baik teoritis maupun praktek. Perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif diharapkan dapat membuka kesempatan pelibatan publik pada proporsi yang lebih besar. Pada prakteknya perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif memerlukan ; (1) tenaga ahli yang memiliki kompentensi perencanaan partisipatif, (2) partisipatif aktif publik atau masyarakat, (3) keseteraan kekuasaan, (4) kepemimpinan yang memotivasi, (5) kesamaan pandangan makna dan implementasi partisipatif serta kolaborasi. Perencanaan ruang secara partisipatif dan kolaboratif merupakan hasil determinasi prinsip-prinsip moral. Hadirnya prinsip-prinsip moral pada proses perencanaan ruang merupakan implementasi dari etika spasial yang membuka nilai-nilai baru pada pengambilan keputusan yang lebih baik.
Abstrac : Spasial planning is not currently fully public. While the theory of planning as a perspective, it has led to the need for public engagement in the planning through various forms of both theoretical concepts and practices. Participatory and collaborative spatial planning is expected to open up opportunities for public engagement in larger proportions. In practice, participatory and collaborative spatial planning requires; (1) experts who have participatory planning competencies, (2) participatory active public or community, (3) power equality, (4) motivational leadership, (5) similar meaning of views and participatory implementation and collaboration. Participatory and collaborative spatial planning is the result of determining moral principles. The presence of moral principles in the space planning process is an implementation of spatial ethics that opens new values to better decision making.
PENDAHULUAN Perencanaan pembangunan saat ini belum sepenuhnya melibatkan publik, dan masih bersifat top down planning. Paradigma community driven yaitu penciptaan iklim untuk memberi penguatan peran masyarakat untuk ikut dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, ikut menggerakkan atau mensosialisasikan dan melakukan kontrol publik, belum signifikan. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil secara optimal. Pembangunan
hanya akan melahirkan produk-produk baru tak sesuai kebutuhan masyaratnya (Sofyan, 2007). Dimana proses perencanaan masih terkesan berjalan teknokratis tanpa melibatkan masyarakat di dalamnya. Termasuk juga perencanaan dalam pemanfaatan ruang. Penataan ruang khususnya kota-kota di Indonesia masih dilihat hanya sebatas untuk memenuhi pertumbuhan pembangunan dan cenderung berorientasi pada upaya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi,
ataupun untuk memenuhi kebutuhan pengembangan suatu kawasan tertentu yang tak bisa dihindari. Orientasi penataan kota yang demikian itu kurang mempertimbangkan tujuan penataan dan penggunaan ruang yang sesuai dengan peruntukannya (Lisdiyono,2008). Hal tersebut telah berakibat munculnya dualisme tradisi membangun atau pola memanfaatkan ruang di tanah air. Di satu sisi pemerintah terus berupaya untuk mengendalikan pembangunan kota secara lebih terencana namun disisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat yang begitu mendesak terutama terhadap rumah tinggal telah ”memaksa” mereka menempuh cara-cara ”informal” untuk memenuhinya. Data empirik menunjukkan bahwa rumah tinggal yang dibangun secara informal ini mencapai hampir 90% dari total jumlah rumah yang ada di Indonesia (Panudju, 1999). Bila dilihat secara positif, sesungguhnya kenyataan ini merupakan bentuk peran serta masyarakat untuk memenuhi kebutuhan huniannya secara mandiri. Namun demikian fenomena ini pada banyak kasus sering tidak selaras dengan kaidah-kaidah tata ruang. Fenomena ini tentu saja menjadi persoalan yang dilematis di tanah air. Kota berkembang tanpa arah (urban sprawl) dan segala aktifitas dan pemanfaatan sumber daya menjadi tidak efisien dan bahkan kontraproduktif (Asnawi, 2011). Idealnya, untuk menjaga keberlanjutan ruang untuk hidup (life space) bagi masyarakat suatu kota maka pola pemanfaatan ruang harus direncanakan dan dikelola secara sistemik, menyeluruh, hierarkis, dan organis (Ernawi, 2010). Namun demikian bila pemikiran normatif ini diterapkan maka pendekatan perencanaan yang bersifat terpusat (top down) akan lebih dikedepankan. Padahal telah banyak akademisi yang mengkritik pemikiran dan pendekatan perencanaan dari
atas (top down) ini. Mereka menilai produkproduk perencanaan yang dihasilkan dengan pendekatan ini kurang relevan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya adalah para perencana sering kali kurang memperhatikan suatu kenyataan bahwa rencana yang disusun pada umumnya tidak berada di ruang yang kosong akan tetapi sebagian besar sudah terbangun dan memiliki karakteristik dan identitas lokal yang unik (Soerjodibroto, 2007). Sebagai antitesis dari pendekatan dari atas tersebut mereka menyarankan bahwa kegiatan perencanaan di era masyarakat yang semakin tersegregasi seperti saat ini perlu ditempuh pendekatan-pendekatan yang lebih dialogis, kolaboratif, partisipatif dan inklusif (Abbott, 1996; Day & Parnell, 2003; Healey, 2006; Sirianni, 2007). Menyadari akan kelemahan kebijakan penataan ruang selama ini yang cenderung mengalami pergeseran yang merugikan masyarakat dan kerusakan lingkungan, maka perlu dikembangkan model pembuatan kebijakan penataan ruang yang bersifat “relasional-kolektif” dan “partisipatoris responsif”. Relasional kolektif artinya dalam proses pembuatan kebijakan dimaknakan sebagai relasi antar manusia, yang berarti hubungan antara orang-orang atau pihakpihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan ada kompromi dalam keragaman yang akan tercapai keadilan dan kemanfaatan serta akan meminimalis terjadinya konflik. Prinsip kesamaan berdasarkan kesamaan martabat pribadi setiap orang yang terlibat dalam proses legislasi. Prinsip“ ketidaksamaan sosial dan ekonomis akan mengakibatkan ketimpangan dalam pengambilan kebijakan. Prinsip partisipatoris respons diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh kesadarannya tentang arti
keterlibatannya, namun apabila yang muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong oleh faktor penentu dan kesadaran maka hal tersebut tidak termasuk dalam kategori partisipasi melainkan adalah memobilisasi. Sedangkan responsif dimaknakan sebagai prinsip yang memungkinkan sebuah tatatan hukum dapat bertahan dan mampu menangkap tuntutan dan keinginan masyarakat dalam lingkup sebuah kehidupan sosial tertentu (Lisdiyono,2008). Pada prakteknya perencanaan yang melibatkan publik baik melalui tindakan partisipatif dan kolaboratif tidaklah mudah. Komunitas masyarakat dengan kapasitas yang rendah akan menjadi sulit diberdayakan atau diajak berkomunikasi, sharing atau bertukar pikiran untuk merencanaan penggunaan ruang. Sehingga pada prakteknya perencanaan cenderung disusun tidak prosedural dan tanpa pelibatan publik dalam pengambilan keputusan serta cenderung sifatnya teknokratik top down. Kalaupun ada pelibatan publik, hanyalah sebuah stempel partisipatif semu. Publik hanya dilibatkan untuk mendengar sosialisasi sebuah produk hasil perencanaan spasial. Keputusan akhir dibuat dibelakang meja oleh para elit yang umumnya cenderung menciptakan kolaborasi kepentingan antara pemerintah dan corporate atau market. Untuk itulah artikel akan ini menguraikan perubahan paradigma perencanaan dan nilainilai baru yang dapat dicapai dalam proses perencanaan ruang dengan melibatkan publik dalam pengambilan keputusan yang lebih baik melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif dengan lingkup permasalahannya serta urgensitasnya. PEMBAHASAN 1. Proses Perencanaan
Perencanaan pada hakekatnya adalah suatu proses terus menerus (continuous) dan berulang (cyclical) di dalam mengambil suatu keputusan yang terbaik. Dalam rangka mencapai keputusan yang ”terbaik” maka dia harus rasional yang tercermin dari rangkaian aktifitas-aktifitas yang dikelompokkan ke dalam tahapan-tahapan yang saling terkait, sistematis dan teratur (Conyers & Hills, 1984). Keputusan yang rasional tersebut baik ditinjau dari sisi ”proses” ataupun ”hasil” diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan sesuatu yang maksimum dengan usaha (in put) tertentu. Ditinjau dari sisi hasil rasionalitas diartikan dengan masukan (in put) usaha yang seminimal mungkin untuk mendapatkan keluaran (out put) semaksimal mungkin. Adapun dari sisi proses pendekatan rasionalitas di dalam pembuatan keputusan dijelaskan oleh Carley dalam Conyer dan Hills (1984) melalui serangkaian urutan tahapan kegiatan sebagai berikut: 1. Menemukenali dan merumuskan masalah (problem identification and definition) 2. Mengelompokkan dan mengorganisasikan tujuan-tujuan (goals), nilai-nilai (values), dan sasaran-sasaran (objectives) yang terkait dengan masalah 3. Menemukenali berbagai alternatif tindakan (alternative courses of action) untuk menjawab masalah atau mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan 4. Memperkirakan berbagai dampak sebagai akibat (consequencies) dari masing-masing alternative tindakan dan kemungkinan dari hal itu akan terjadi 5. Membandingkan dari akibat-akibat yang akan terjadi dari pilihan-pilihan tindakatan dalam kaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan 6. Memilih suatu tindakan yang berakibat paling dekat dengan tujuan dan sasaran atau yang paling dapat menjawab masalah.
Tentu saja pilihan tersebut juga yang paling menguntungkan: yang bisa dilihat dari sisi hasil yang lebih baik dari keluaran biaya yang sama atau dari sisi hasil yang sama dari pengeluaran biaya yang paling ringan (kecil). Dalam kaitan dengan perencanaan ruang Burkholder, Chupp, & Star (2003) menekankan sisi lain dari proses rasional di atas bahwa perencanaan ruang merupakan sebuah proses pembelajaran sosial (social learning process) dimana warga (penduduk) dan pemangku kepentingan lainnya belajar bersama tentang ruang mereka, merumuskan visi bersama, dan mengembangkan strategistrategi untuk mewujudkan hal itu dan menjaga keberlanjutannya dalam waktu yang lama atau jangka panjang (long term strategic planning). Adapun secara fisik, produk dari kegiatan perencanaan tersebut adalah pada akhirnya menghasilkan sebuah Dokumen Rencana (plan) yang selanjutnya menjadi acuan bersama dalam mendorong dan mengarahkan investasi sosial dan ekonomi di masa yang akan datang. Tentu saja secara umum tujuan yang diharapkan adalah menuju pembangunan ruang yang lebih sehat, asri, serasi, produktif, berkelanjutan dan sebagainya. Perkembangan perencanaan ini menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi semakin penting peranannya dalam perencanaan, dimana pada era dibawah paradigma modernisasi, aspek sosial dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang dapat berlaku disemua lokasi (bersumber rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid dalam perencanaan), maka pada era post-modern, kehidupan kemasyarakatan
tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang homogen, dimana kehidupan masyarakat terikat pada konteks dimana mereka melakukan interaksi sosial. Karenanya perencana harus memahami bagaimana interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini perencanaan akan sulit untuk berhasil. Karena kehidupan kemasyarakatan tidak dapat dipandang homogen, maka pengertian publik pun tidak dapat dianggap tunggal yang diwakili oleh perencana (yang umumnya bekerja pada pemerintah), yang dapat menentukan apa yang terbaik bagi masyarakat. Makna publik tentunya harus dipahami sebagai sesuatu yang plural, beraneka ragam, apa yang disebutkan oleh Sandercock (1998) sebagai multiple publik. Menyadari keberagaman masyarakat, maka pengetahuan bagaimana public yang beragam tersebut berinteraksi (interaksi sosial), memberi ruang bagi diskusi tentang arti penting modal sosial (social capital, sebagai produk dari interaksi sosial) dalam perencanaan. 2.
Perkembangan Prespektif Perencanaan Berdasarkan sejarah, pengenalan teori perencanaan berkembang pada saat terjadinya perencanaan kota modern dalam konsep: Garden City, City Beautiful, dan Public Health Reforms (Allmendinger, 2001). Teori perencanaan itu sendiri merupakan subjek studi yang sulit difahami, Karena di dalamnya akan menggambarkan berbagai disiplin ilmu yang semakin dibahas akan memberi peluang pengembangan yang semakin terbuka lebar. Ada pertanyaan utama dalam teori perencanaan yaitu: aturan apa yang dapat diterapkan dalam perencanaan untuk mengembangkan kota atau wilayah di antara hambatan politik, sosial, dan ekonomi?
Jawabannya bukan pada membangun sebuah model perencanaan, tapi lebih pada bagaimana praktek perencanaan yang berbasis pada karakteristik masyarakat di mana perencanaan itu akan diterima dan dilaksanakan (Saraswati, 2006). Selama dekade 1970 hingga 1980an, muncul keprihatinan terhadap keterbatasan dan validitas informasi, data serta metode kuantitaf yang sering dihubungkan dengan positivisme sebagai paradigma yang berlaku saat itu. Paradigma positivisme yang menurunkan pemahaman kebenaran ilmiah melalui proses penelitian kuantitatif memang telah berlaku sejak abad ke-19, sehingga metode ilmiah menjadi berkonotasi positivis. Positivisme mengangap adanya dunia obyektif, yang kurang lebih dapat segera digambarkan dan diukur oleh metode ilmiah, serta berupaya untuk memprediksikan dan menjelaskan hubungan sebab-akibat di antara variable-variable utamanya secara kuantitatif. Metode positivistik ini dikritik sebagai menghilangkan konteks dari pemaknaan dalam proses pengembangan ukuran kuantitif terhadap fenomena faktual yang diteliti (Lincoln dan Guba, 2000). Oleh sebab itu, muncul pemikiranpemikiran baru dalam teori perencanaan yang mengarah pada komunikatif rasionalitas yang dituangkan dalam berbagai konsep yang salah satunya digagas oleh Habermas dengan Communicative Rationality, Forester melalui Communicative Planning Theory. Healey dengan Collaborative Planning, dan Allmendinger dengan Postmodern Planning nya (Almendinger, 2002). Jika dilakukan periodesasi mengenai perjalanan teori perencanaan, maka ada dua alur besar teori perencnaan, yaitu instrumental rasionalitas dan komunikatif rasionalitas. Instrumental rasionalitas merupakan konsepkonsep pemikiran pada era Pra Modern
Planning dan Modern Planning Theory, sedangkan komunikasi rasionalitas berada pada era Post Modern Planning Theory. Dalam typologinya, teori perencanaan ini berada pada filisofi Positivist dan Postpositivist (Almendinger, 2002). Konsep perencanaan komunikatif dan kolaboratif yang dituangkan dalam tipologi postmoderen tersebut, telah banyak membicarakan tentang bagaiman melakukan kolaborasi antara “knowledge of science” dengan “practical reasoning” dalam suatu perencanaan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat banyak, tidak hanya berpihak pada kelompok yang mampu melakukan ‘lobby’ dengan pihak pengambil keputusan saja. Perencanaan komunikatif dan perencanaan kolaboratif merupakan kritik terhadap Pemerintah dan Group Pelobi Bisnis dalam kapasitas dan kompetensi pemerintah lokal, melalui keadilan alokasi ruang, pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, outcome dalam perbaikan lingkungan hidup, keberpihakan, dan perhatian terhadap perilaku masyarakat dalam suatu lingkungan perumahan. Konsep komunikatif, khususnya perencanaan kolaboratif yang digagas oleh Haley (1987) berawal dari pengalamannya dalam pengendalian pembangunan ruang kota dalam bidang property dengan konsern utama pada land-use dan land development. 3.
Perencanaan Partisipatif Sebagai suatu proses pembelajaran bersama (social learning process) maka dia harus dilakukan secara partisipatif. Pengertian partisipasi sendiri memiliki banyak perspektif. Partisipasi masyarakat dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Abers, 2000) pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dan dari sudut pandang instrumen (instrumental participation). Dari sudut pandang
pemberdayaan masyarakat partisipasi dilihat sebagai proses politik yang pada akhirnya dapat membuka akses masyarakat dalam pengambilan keputusan atau memperkuat posisi masyarakat agar dapat memiliki kekuatan (borgeinig power) yang seimbang dengan pemangku kepentingan yang lain untuk ikut serta di dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan sudut pandang instrument pemahaman partisipasi diletakkan pada pelibatan masyarakat sebagai pengguna akhir (end user) untuk ikut berkontribusi dalam proses pembangunan artinya masyarakat pengguna akhir yang berkepentingan akan bahu membahu menggali dan memobilisasi segala sumber daya yang dimilikinya untuk membantu mewujudkan tujuan pembangunan atau memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya. Dari uraian dua pandangan di atas Manaf (2007) berpendapat bahwa salah satu ciri atau prinsip pokok dari pendekatan partisipatif adalah pemberian wewenang yang lebih besar kepada masyarakat sebagai pengguna akhir (end user) untuk mengelola sumber daya (resources) pembangunan yang tersedia secara lebih mandiri (autonomous). Adapun untuk mengukur partisipasi atau pemberian wewenang kepada di dalam mengelola sumberdaya pembangunan tersebut banyak peneliti hingga kini masih menggunakan tangga partisipasi yang diusulkan Arnstein (1969) sebagai kerangka untuk melakukan analisis. Bagi Arnstein partisipasi berkaitan dengan konsep relasi kekuasaan antara satu aktor dengan aktor yang lain dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses partisipasi tidak cukup hanya menjelaskan mengapa keputusan itu dibuat (tanpa melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan itu sendiri) apalagi hanya menginformasikan keputusan tersebut saja kepada penerima manfaat. Kekuasan di
dalam pengambilan keputusan di antara aktor– aktor ini harus didasari atas adanya persetujuan atau kesepakan dari semua aktor tersebut. Sehingga secara umum dia membagi tiga tingkatan partisipasi: pertama, tingkatan tertinggi dia sebut dengan tingkatan kekuasaan penuh di tangan rakyat (degree of citizen power); kedua tingkatan partisipasi simbolik (degree of tokenism), dan ketiga tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada partisipasi (degree of manipulation or nonparticipation). Pada tingkatan kekuasaan penuh di tangan rakyat (degree of citizen power) Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori tingkatan: Pertama, masyarakat yang selama ini terabaikan (the have-not) mendapatkan kedaulatan penuh dalam penyusunan perencanaan, mengabil keputusan atau membuat kebijakan dan mengelola program (citizen control). Kedua, masyarakat memiliki otoritas yang lebih besar karena mereka mayoritas dalam sebuah komite pengambilan keputusan utama (delegated power). Mereka memiliki delegasi (suara) mayoritas dan mampu menjamin akuntabilitas pelaksanaan keputusan. Ketiga kekuasaan terdistribusi sebagai hasil negosiasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (partnership). Tanggungjawab perencanaan dan pembuatan keputusan dibagi secara sederajat berdasarkan hasil negosiasi di dalam komite bersama (community stakeholder council). Sementara pada kategori kedua tingkatan partisipasi simbolik (degree of tokenism) Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori tingkatan: pertama tingkatan kooptasi dimana posisi masyarakat lebih lemah di dalam pengambilan keputusan. Hanya orang-orang yang terpandang (tokoh masyarakat) yang bisa diajak bicara dilibatkan di dalam komite. Disini masyarakat seolah-oleh dilibatkan dalam perencanaan akan tetapi mereka pada
hakekatknya tidak punya hak suara dalam mengambil keputusan. Sifatnya sebagai “Stempel Karet” saja (placation). Kedua, masyarakat mulai tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan akan tetapi mereka hanya diposisikan sebagai teman untuk diajak bicara atau memberikan masukan. Biasaya masyarakat dilibatkan secara fisik seperti di dalam mengumpulkan data dan iformasi pembangunan, mengawasi pelaksanaan dari segala kegiatan yang telah ditetapkan oleh pihak luar. Partisipasi masyarakat hanya sebatas mengahdiri pertemuan-pertemuan dengar pendapat akan tetapi pertemuan ini biasanya hanya bersifat seremonial saja (consultation). Ketiga tingkat partisipasi yang paling rendah. Masyarakat tidak lagi diajak berdialog dua arah akan tetapi mereka hanya diberikan berbagai sosialisasi dan atau informasi dari satu arah saja (informing). Selanjutnya pada kategori ketiga tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada partisipasi (degree of non-participation). Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengobati (therapy) karena masyarakat dianggap lemah, tidak berdaya, sebagai sumber masalah. Pada tingkatan ini masyarakat dianggap objek bukan subjek pembangunan. Dan subkategori terakhir adalah tidak hanya tergolong non partisipasi bahkan bisa disebut penyalahgunaan makna partisipasi. Pada tingkatan ini semua usulan perencanaan dibuat dan ditentukan dari atas (top down). Dalam hal ini penentu kebijakan melakukan berbagai bentuk kegiatan dengan tujuan seolah-olah keputusan diambil sudah melalui proses pelibatan masyarakat secara demokratis sehingga keputusan tersebut sah dan legitimate (manipulation). 4.
Perencanaan Kolaboratif Beberapa pendekatan perencanaan, yaitu perencanaan transaktif (Friedman, 1973),
perencanaan kolaboratif (Healey, 1996), perencanaan komunikatif (Sager, 1994; Innes, 1997), perencanaan deliberatif partisipatif (Forester, 2000), dan perencanaan konsensus (Woltjer,2000), memiliki karakteristik yang relatif sama dalam hal menekankan pentingnya kerjasama dengan didasari komunikasi antarpemangku kepentingan. Proses kerjasama tersebut akan berlangsung dengan baik jika terdapat komunikasi dalam bentuk dialog didalamnya. Dalam perencanaan transaktif, dialog yang terjadi adalah life dialogue, yang dipertegas oleh Innes dan Booher (1997) sebagai authentic dialogue. Dalam hal ini, setiap aktor yang duduk bersama saling menghargai, empati, terjadi hubungan timbal balik dan saling menguntungkan. Dengan demikian, dialog hanya akan terjadi jika para pemangku kepentingan berpartisipasi dan duduk bersama dalam memecahkan permasalahan. Partisipasi sendiri hanya akan terjadi jika mereka memiliki kepentingan dan memiliki kesempatan untuk menyuarakan kepentingannya, dan partisipasi tersebut hanya akan terjadi jika ada saling ketergantungan dan kepercayaan. Kerjasama melalui dialog dan partisipasi diarahkan pada pembentukan konsensus (Woltjer, 2000; Innes, 1996). Proses yang memuat aktivitas dialog, partisipasi, dan berorientasi kepada keputusan bersama, terangkum dalam suatu proses kolaboratif. Dengan demikian, dalam suatu pendekatan perencanaan berbasis komunikasi, terjadi proses kolaboratif (Gambar Perencanaan kolaboratif (Healey, 1997; Innes, 1998). Proses kolaboratif merupakan suatu proses adaptive system dimana pendapatpendapat yang berbeda dari berbagai pihak yang akhirnya menghasilkan suatu konsensus. Anshell dan Gash (2008) berupaya memetakan suatu model yang
menggambarkan bagaimana proses kolaboratif terjadi. Proses kolaboratif menurut model ini terdiri dari berbagai tahapan yaitu dimulai dari adanya dialog secara tatap muka (face-to-face dialogue), membangun kepercayaan (trust building), membangun komitmen terhadap proses (commitment to the process), berbagi pemahaman (shared understanding), dan kemudian terbentuknya hasil sementara (intermediate outcome). Tahapan ini merupakan suatu siklus sehingga terjadi proses pembelajaran didalamnya. Innes dan Booher (2010) mengembangkan model DIAD Network Dynamic untuk memerlihatkan bahwa proses kolaborasi menggambarkan jejaring kolaboratif dimana terdapat keragaman, saling ketergantungan dan dialog otentik didalamnya. Hal ini berarti bahwa: pertama, jejaring kolaboratif memiliki keragaman agen-agen, kedua, agen-agen berada dalam situasi mampu untuk saling memenuhi kepentingan masing-masing dan menyadari adanya saling ketergantungan diantara mereka, dan ketiga, terdapat dialog otentik (authentic dialogue) dimana komunikasi mengalirmelalui jejaring secara akurat dan dapat dipercaya diantara para peserta. Dalam dialog otentik, terdapat timbal balik (reciprocity), hubungan (relationship), pembelajaran (learning), kreatifitas (creativity), dan menghasilkan adaptasi dari sistem yang ada. Hal ini berarti bahwa para peserta (aktor) berbicara mewakili kepentingan kelompoknya, saling menghormati, dan berbicara dengan akurat. Tentu saja hal ini membutuhkan kepercayaan, komitmen, dan pemahaman diantara para aktor. Dengan memperhatikan bagaimana proses kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses kolaboratif terjadi jika terdapat
beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan (Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer,2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen power seperti dikekukakan dalam tangga partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam masyarakat yang sudah menjalankan sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008; Dengan memerhatikan bagaimana proses kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan (Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer, 2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen power seperti dikekukakan dalam tangga partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam masyarakat yang sudah menjalankan sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008). Proses kolaboratif akan dapat berjalan dengan baik dengan partisipasi aktif masyarakatnya diwakili oleh aktor-aktor yang memiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya dapat terjadi di negara-negara maju dan sudah demokratik. Dengan melihat prasyarat di atas, maka proses kolaboratif tidak dapat dengan mudah terwujud pada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang rendah, serta kepemimpinan yang tidak mendukung. Kondisi seperti ini masih mudah dijumpai pada masyarakat tertentu, umumnya di negara-negara berkembang. Hal ini umumnya terjadi karena berkaitan dengan
masalah budaya dan tingkat Pendidikan masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses perencanaan pembangunan masih terdapat banyak kelemahan terutama melalui jalur musrenbang (Akadun, 2011), dan konsep pembangunan yang partisipatif perlu dirumuskan dalam suatu strategi yang menyeluruh (Djoeffan, 2002). Inti kegiatan pada tahap ini adalah membangun kolaborasi perencanaan, dimana antar berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha/swasta) dapat saling terbuka berbagi informasi, melakukan dialog dan konsultasi, dan bersepakat terhadap aturan bangunan setempat dan pokok-pokok perencanaan dan pembangunan. Para pemangku kepentingan tersebut kemudian berupaya menyusun berbagai pengaturan yang diperlukan, dan melembagakannya melalui organisasi masing-masing untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governace). Dasar pijakannya tetap konsisten pada pelembagaan nilai-nilai luhur (value based development), prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Manaf, 2011). 5.
Implementasi Praktek Perencaan Partisipatif dan Kolaboratif Pada implementasinya praktek perencanaan partisipatif dan kolaboratif berhadapat dengan tantangan kondisi masyarakat atau komunitas dimana praktek perencanaan ruang akan dilaksanakan. Beberapa penelitian membicarakan tantangan ini. Penelitian yang dilakukan Manaf, 2011, pada Studi Kasus Pelaksanaan Program Pengembangan Lingkungan Berbasis Komunitas (PLP-BK) di Kelurahan Prigapus Kabupaten Semarang menyimpulkan bahwa
pendekatan partisipatif yang diterapkan pada pelaksanaan PLP-BK di wilayah studi telah memberikan wewenang yang besar bagi masyarakat di dalam mengambil keputusan perencanaan akan tetapi semua itu masih berada dalam koridor kaidah-kaidah penataan ruang. Selanjutnya penelitian ini mengelompokkan 2 (dua) issue penting yang masih harus diperhatikan untuk memperbaiki kinerja program di masa yang akan datang: pertama, kejelasan tentang ruang lingkup permasalahan program PLP-BK yang hendaknya lebih mengarah pada permasalahan skala lingkungan; kedua, karena perencanaan partisipatif sarat dengan konflik antar pihak maka kebutuhan akan Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif (TAPP) yang memiliki kompetensi tidak hanya pada bidang tata ruang akan tetapi juga pada metode dan teknik perencanaan partisipatif menjadi mendesak. Praktek lain yang dilakukan oleh Sufianti,E. dkk, 2013, pada Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Non Kolaboratif di Kota Surakarta. Disimpulkan bahwa proses kolaboratif merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan berbasis komunikasi, yang terdiri dari beberapa tahap dan terdapat dialog otentik didalamnya. Proses ini memerlukan partisipasi tinggi, kesetaraan kekuasaaan, dan para aktor yang kompeten. Kondisi ideal ini terlihat sulit terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah, ketidaksetaraan kekuasaan, dan kompetensi yang rendah. Namun proses kolaboratif dapat terjadi pada masyarakat dengan tingkat partisipasi rendah, adanya ketidaksetaraan kekuasaan, kompetensi rendah. Proses ini dimulai dengan membangun kepercayaan melalui hubungan, membangun pemahaman bersama melalui timbal balik, memecahkan masalah melalui pembelajaran, dan
membangun komitmen untuk mengimplementasikan pemecahan masalah melalui adaptasi terhadap sistem. Serangkaian tahapan tersebut terjadi melalui suatu proses dialog tatap muka. Dengan demikian, dialog tatap muka bukan merupakan bagian dari tahapan, tetapi terjadi pada semua tahapan. Proses kolaboratif juga tetap dapat terjadi karena adanya peran kepemimpinan. Kepemimpinan tersebut mampu memotivasi dan membawa mereka kedalam proses kolaboratif, membuat mereka terlibataktif, meningkatkan tingkat partisipasi, serta meningkatkan kemampuan komunikasi dan substansi dengan cara memotivasi mereka untuk membicarakan apa yang mereka butuhkan. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Saragih, T., 2011, menyimpulkan bahwa proses partisipasi masyarakat dalam pembentukan perda RDTR dan Kawasan dapat dilakukan melalui ; (1) lokakarya atau konsultasi publik untuk menjaring aspirasi masyarakat yang dilakukan secara bertahap kewajibannya sebagai pelaku pembangunan wilayah dengan difasilitasi oleh pemerintah, (2) proses dialog yang terus menerus sepanjang keseluruhan proses penataan ruang, sehingga terjadi proses pembelajaran bersama dan pemahaman bersama (mutual understanding) berbagai pihak tentang penataan ruang. Penelitian presepsi stakeholder atas perencanaan partisipatif dalam penyusunan RDTR Kota Semarang yang dilakukan oleh Farchan, M, 2005 menunjukkan bahwa masyarakt masih cenderung menganggap proses penyusunan RDTR selama ini belum partisipatif sementara pemerintah cenderung menganggap proses penyusunan RDTR Kota Semarang sudah partisipatif. Hal ini terjadi Karena adanya ketidaksamaan presepsi masyarakat dengan pemerintah tentang makna
dan proses partisipatif, demikian halnya dalam implementasinya. Menurut Saraswati, 2006, dalam alur komuniatif rasionalitas tersebut, konsep dasar mengenai komunikasi dan kolaborasi antara budaya lokal atau kearifan lokal dengan perencanaan masih belum secara eksplisit dibicarakan, karena selama ini komunikatif rasionalitas lebih banyak membicarakan hubungan antar individu, kelompok masyarakat, pemerintah, pelaku bisnis, dan stakeholder perencanaan lainnya. Budaya atau kearifan budaya lokal sebagai bagian dari “practical reasoning” sesungguhnya ada dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, terutama di negara-negara sedang berkembang bukan barat (non western culture) seperti Indonesia, di samping perencanaan normatif sebagai hasil penalaran “knowledge of science” dalam perencanaan. 6.
Urgensitas Praktek Perencanaan Partisipatif dan Kolaboratif.
Kecenderungan yang selama ini ditampilkan oleh para penentu kebijakan penataan ruang adalah kurang menumbuhkan semangat partisipasi masyarakat. Partisipasi dan kolaborasi masyarakat terkadang hanya sekedar dipolitisir untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan lain yang justru semakin jauh dari harapan masyarakat. Oleh karena partisipasi masyarakat tidak terlalu diperdulikan, maka tidaklah mengherankan kalau keputusan-keputusan yang dihasilkan secara “top down” tersebut kemudian mendapat perlawanan dari masyarakat. Masyarakat memberontak, karena mereka menilai bahwa kepentingan mereka sungguh terabaikan. Sebuah proses pembuatan kebijakan yang baik sangat diperlukan adanya partisipasi masyarakat, dan oleh karena itu masyarakat harus dilibatkan sejak awal proses,
mereka perlu didengar dan diajak bicara dalam suasana tanpa tekanan. Pada prinsipnya kebijakan (Peraturan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah termasuk menyangkut pembangunan harus bermanfaat untuk masyarakat. Proses pembuatan kebijakan penataan ruang yang baik sangat dianjurkan untuk menumbuhkan prinsip partisipatorisresponsif, terutama partisipasi masyarakat dalam proses legislasi. Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Apabila yang muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong oleh determinasi dan kesadaran, maka hal tersebut tidak termasuk dalam kategori partisipasi melainkan lebih tepat disebut sebagai mobilisasi (Soetomo, 2006). Sedangkan prinsip “responsif” sebagaimana untuk pertama kali digagas oleh Nonet & Selznick dimaknakan sebagai prinsip yang memungkinkan sebuah tatanan hukum dapat bertahan dan mampu menangkap tuntutan dan keinginan masyarakat yang terlingkup dalam sebuah kehidupan sosial tertentu. Kebijakan penataan ruang ideal, proses pembuatan dan perumusan kebijakan ideal penataan ruang haruslah menerapkan prinsip partisipatoris-responsif. Prinsip ini menuntut adanya partisipasi aktif dari masyarakat, dan dengan demikian kebijakan penataan ruang yang dihasilkan benar-benar merespon sekalian kepentingan/kebutuhan masyarakat di mana kebijakan penataan ruang itu diadakan atau dibuat. Keterlibatan masyarakat ini menjadi sangat penting untuk ikut memberi arah dari kebijakan penataan ruang tersebut, dan sekaligus untuk menghindari adanya protes dari warga masyarakat di kemudian hari ketika kebijakan penataan ruang menjadi final (Lisdiyono, 2008).
Semangat perencanaan partisipatif dan kolaboratif juga sejalan dengan prinsip moralitas. Prinsip-prinsip moralitas sangat diperlukan dalam proses pembuatan kebijakan hukum tata ruang yang ideal diperlukan untuk mewarnai pola pikir dan pola tingkah laku para pengambil kebijakan dalam merumuskan dan merencanakan kebijakan hukum tata ruang. Prinsip ini menjadi sangat penting sebagai penyaring seluruh substansi kebijakan penataan ruang yang tidak berpihak pada kepentingan yang lebih besar. Oleh karena pertimbanganpertimbangan moral kurang mendapatkan perhatian yang semestinya, sehingga banyak kebijakan penataan ruang yang secara moral sangat merugikan masyarakat tapi tetap disahkan untuk diberlakukan. Pertimbangan moral ini menjadi sangat penting dalam setiap pembuatan kebijakan, karena harus disadari sungguh-sungguh bahwa setiap kebijakan yang dibuat selalu terkait erat dengan aspek manusia yang dalam hal ini tergabung dalam sebuah kelompok masyarakat. Pandangan yang demikian mengisyaratkan, bahwa legislasi atau proses pembuatan hukum itu dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran, kebahagiaan, kemaslahatan, dan kebahagiaan umat manusia (Lisdiyono, 2008). Mengintegrasikan prinsip-prinsip moral dalam perencanaan ruang merupakan fokus pembahasan etika spasial. Secara teoretis etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik yang melekat pada diri seseorang atau masyarakat, yang dianut dan diwariskan dari satu generasi kegenerasi lain. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah, norma atau aturan itu pada dasarnya menyangkut baikburuk perilaku manusia. Dengan kata lain, kaidah ini
menentukan apa yang baik harus dilakukan dan apa yang buruk harus dihindari. Oleh karena itu, etika sering dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia hidup baik sebatai manusia, atau sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia (Keraf, 2002). Konsep etika yang demikian itu dapatlah dipahami secara lebih luas sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup, dan bertindak sebagai orang yang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, dan arah tentang bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia. Konsep etika ini jangan lalu dipahami sebagai sesuatu yang berada jauh di awang-awang, melainkan sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret. Etika adalah filsafat moral atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret (Keraf, 2002). Pada akhirnya praktek perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif akan menghasilkan proses perumusan kebijakan hukum tata ruang dengan mempertimbangkan sekalian aspek dalam tuntunan prinsip partisipatoris responsif tersebut, maka secara ideal dapat dihasilkan sebuah produk hukum (produk kebijakan) tata ruang yang baik. Produk hukum penataan ruang yang dihasilkan tersebut jelas tidak akan mengabaikan keberadaan manusia yang terlingkup dalam sebuah masyarakat, aspek ketahanan lingkungan ekologis maupun aspek keteraturan dan estetika. Dengan demikian, sebuah ruang sosial diperbolehkan untuk ditata, dikelola, dan dimanfaatkan, namun segala hal yang dilakukan itu tidak boleh meninggalkan sekalian aspek yang terdapat dalam ruang sosial tersebut.
KESIMPULAN Perkembangan teori perencanaan telah mengarah dari alur instrumental rasionalitas ke alur komunikatif rasionalitas, yaitu suatu pemahaman bahwa perencanaan perlu melibatkan berbagai aspek yang terlibat di dalam perencanaan, termasuk di dalamnya adalah masyarakat sebagai bagian penting dalam proses perencanaan. Teori perencanaan sebagai suatu perspektif, ternyata telah mengantarkan perlunya pelibatan masyarakat dalam perencananaan melalui berbagai bentuk konsep baik teoritis maupun praktek, seperti partisipatif dan colaboratif . Pada prakteknya perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif memerlukan ; (1) tenaga ahli yang memiliki kompentensi perencanaan partisipatif, (2) partisipatif aktif publik atau masyarakat, (3) keseteraan kekuasaan, (4) kepemimpinan yang memotivasi, (5) kesamaan pandangan makna dan implementasi partisipatif serta kolaborasi. Perencanaan ruang dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif diperlukan agar kepentingan publik tidak terabaikan. Integrasi prinsip-prinsip moral pada proses perencanaan ruang merupakan implementasi dari etika spasial yang membuka nilai-nilai baru pada pengambilan keputusan yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Abbott, J.,1996. Sharing the city: community participation in urban management (1sted.). London: Earthscan Publication Ltd. Akadun., 2011. “Revitalisasi Forum Musrenbang sebagai Wahana Parttisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan”, MIMBAR, Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. XXVII,No.2
(Desember 2011): hal. 183-191 ‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/ 2010. http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/ mimbar/article/view/327. Diunduh pada tanggal 8 September 2013 Allmendinger, Philip, 2002, Toward PostPositivist Typology of Planning Theory, SAGE Publication, 1 (1). 77-99. Burkholder, S. H., Chupp, M., & Star, P.(2003). Principles of spasial planning for community development. Cleve and: Maxine Goodman Levin College of Urban Affairs. Conyers, D., 1984. “Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar” (Susetiawan, Trans.). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Conyers, D., & Hills, P., 1984. An introductionto development planning in the Third Wolrd. New York: John Wiley & Sons Ltd. Day, C., & Parnell, R., 2003. Consensus Design: Socially inclusive process. Oxford: Architectural Press. Djoeffan, S., 2002. “Strategi Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia”. MIMBAR, Jurnal Sosial dan Pembangunan, 18, mar.http://ejournal.unisba.ac.id/index .php/mimbar/article/view/63>. Diunduh pada tanggal 18 Januari 2014. Ernawi, I. S., 2010. Morphology – Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan. Paper presented at the Seminar Nasional “Morfologi –
Transformasi Dalam Ruang Perkotaan Yang Berkelanjutan”. Farchan, M., 2005. “Presepsi Stakeholder Atas Perencanaan Partisipatif Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota Semarang”. Tesis tidak dipublikasikan. Program Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro Semarang. Healey, P., 2006. Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societies. New York: Palgrave Macmillan. Keraf, A., Sonny. “Etika Lingkungan”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002. Lisdiyono, E., 2008. Legislasi Penataan Ruang Studi Tentang Pergeseran Kebijakan Hukum Tata Ruang Dalam Regulasi Daerah Di Kota Semarang. Disertasi tidak dipublikasi. Program Doktor Ilmu Hukum, Univeritas Diponegoro, Semarang. Lincoln, Y. S. & Guba, E. G., 2000. “Paradigmatic controversies, contradictions, and emerging confluences”. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (2nd ed., pp. 163188). London: Sage Publications. Manaf, A., 2011. ”Menuju Pembangunan Berbasis Tata Ruang Melalui Perencanaan Lingkungan Bertetangga Secara Partisipatif”, Jurnal Tata Loka. Volume 13, Nomor 3, Agustus 2011, hal. 152-166. Panudju, B., 1999. “Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Jakarta:
Yayasan Adikarya Ikapi & The Ford Foundation. Saraswati, 2006. “Kearifan Budaya Lokal Dalam Prespektif Teori Perencanaan”, Jurnal PWK Unisba. Soerjodibroto, G., 2007. Upaya menuju tata ruang yang efektiv: masalah dan tantangan. Paper presented at the Seminar Tata Ruang UNDIP Semarang. Sufianti, E., dkk, 2012. “Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi Pada Masyarakat Non Kolaboratif”. Mimbar. Volume 29, Nomor 2, Desember 2013, hal. 133144. Saragih, T.M, 2011. ”Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan”. Jurnal Sasi. Volume 17, Nomor 3, Juli-September 2011, 11-20. Sofyan, A., 2007. Mengkritisi Perencanaan Pembangunan, Online: (https://khazanaharham. wordpress.com/2007/09/04/menkritisi -perencanaan-pembangunan), diakses 27 Juli 2017. Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.