PATOGEN Colletotrichum truncatum DAN SOYBEAN MOSAIC VIRUS TERBAWA BENIH KEDELAI DAN PENGENDALIANNYA Darniaty Danial1) , C. Sugihono 2), D. Sucahyono3) 1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur; Jl. P.M. Noor-Sempaja, Samarinda-Kalimantan Timur Telp. (0541) 220857 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara, Jl. Komplek Pertanian Kusu No. 1-Sofifi ,Telp (0921) 3317980; 3) Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Jl. Raya Kendalpayak km 8, Malang; *) e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ke tiga setelah padi dan jagung. Produktivitas kedelai nasional masih rendah, 1,3 t/ha, yang antara lain disebabkan oleh penggunaan benih bermutu rendah, cekaman biotik, dan abiotik. Patogen terbawa benih kedelai merupakan salah satu penyebab utama rendahnya Produktivitas. Jenis patogen terbawa benih kedelai yang banyak ditemui di Indonesia adalah cendawan Colletotrichum truncatum dan Soybean mosaic virus (SMV). C. truncatum dapat menyebabkan damping off hingga 48% dan menurunkan daya berkecambah hingga 46,4%. Pengendalian C. truncatum melalui biopriming dengan Pseudomonas aeruginosa paling efektif mengurangi kejadian penyakit sebesar 48,6–51,9% (pre emerge) dan 65,0–97,2% (post emerge). Selain itu P. aeruginosa juga meningkatkan daya berkecambah 32,4–60,0% dan kecambah sehat 56,0–73.9%. Transmisi SMV melalui benih kedelai pada kisaran 0–43% dapat menurunkan daya berkecambah hingga 20%, tergantung pada varietas kedelai dan strain virusnya. Pengendalian SMV hanya dapat dilakukan melalui penggunaan benih bebas virus. Kesehatan benih kedelai merupakan faktor kunci untuk menekan munculnya cekaman biotik yang disebabkan oleh virus dan cendawan terbawa benih. Melalui sertifikasi benih sehat diharapkan secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas kedelai nasional. Kata kunci: kedelai, Colletotrichum truncatum, soybean mosaic virus, biopriming
ABSTRACT Seed borne pathogens of Colletotrichum truncatum and soybean mosaic virus in soybean (Glycine max L.) and its control. Soybean is the third most important food crop after rice and maize. National soybean productivity is still low 1.3 t/ha due to use of low quality seeds, biotic and abiotic stresses. Seed borne pathogens is one of the main causes of low productivity. Seed borne pathogens mostly found in Indonesia are the fungus Colletotrichum truncatum and Soybean mosaic virus (SMV). C.truncatum can cause damping off by as much as 48% and lower germination up to 46,4%. Control of C. truncatum by Pseudomonas aeruginosa biopriming is the most effective in reducing the incidence of disease by 48,6–51,9% (pre emerge) and 65,0–97,2% (post-emerge). P. aeruginosa also enhance germination 32,4–60,0% and 56,0% of healthy sprouts -73.9%. While transmission of SMV through seed in the range of 0–43% and reduce germination to 20% depending on the strain of virus and soybean varieties. SMV control can only be done through the production of virus-free seed. The policy can be suggested is the seed of health is a key factor to suppress the emergence of viral biotic and seed borne fungi. Through healthy seed certification expected indirectly to increase the productivity of the national soybean. Keywords: soybean, Colletotrichum truncatum, soybean mosaic virus, biopriming
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
229
PENDAHULUAN Kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ke tiga setelah padi dan jagung. Komoditas ini kaya protein nabati yang diperlukan untuk meningkatkan gizi masyarakat, aman dikonsumsi, dan harganya murah. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, dan snack. Kebutuhan kedelai pada tahun 2009 telah mencapai 2,2 juta ton sementara produksi dalam negeri baru mencapai 924 ribu ton dengan produktivitas 1,32 t/ha dan luas areal 701 ribu ha. Rendahnya produktivitas kedelai nasional antara lain disebabkan oleh penggunaan benih yang kurang bermutu. Benih merupakan modal utama dalam usahatani kedelai. Oleh karena itu, benih harus bebas dari infeksi dan kontaminasi patogen, termasuk patogen terbawa benih, seperti cendawan dan virus. Dari benih yang sehat diharapkan akan tumbuh tanaman yang sehat, sehingg adapat berproduksi optimal. Hingga saat ini uji kesehatan benih belum merupakan bagian integral dari proses sertifikasi benih kedelai. Mengingat patogen terbawa benih berperan penting dalam penyebaran dan perkembangan epidemi penyakit kedelai, maka uji kesehatan benih perlu dimasukkan ke dalam proses sertifikasi benih. Zainun (1980) mengatakan bahwa lebih dari 30 cendawan adalah seed borne pada kedelai, seperti Phomopsis spp. Cercospora kikuchii, Sclerotinia sclerotum, dan Colletotrichum truncatum. Menurut Begum et al. (2009), penurunan hasil panen kedelai yang tertular penyakit anthracnose yang disebabkan oleh C. truncatum menurunkan produksi 77.500 ton di Brazil, 71.400 ton di Amerika Serikat, 36.700 ton di Argentina, 35.000 ton di India, 12.200 ton di Paraguay dan 3000 ton di Bolivia. Oleh karena itu, teknik pengendalian C. truncatum perlu dipelajari mengingat cendawan ini termasuk kategori seed borne. Virus terbawa benih kedelai yang paling banyak adalah soybean mosaic virus (SMV), yang berasal dari benih kedelai (seed transmitted) dan dapat menurunkan hasil kedelai 50–90 %, bergantung saat terjadi infeksi dan varietas (Roy et al. 1994). Menurut Domier (2007), SMV merupakan penyakit penting kedelai di dunia. Banyak penelitian membuktikan infeksi virus SMV menurunkan hasil tanaman dan penularan virus lewat benih memegang peranan penting dalam perkembangan epidemi penyakit di lapang. Makalah ini membahas patogen C. truncatum dan Soybean mosaic virus terbawa benih, upaya pengendalian yang diperlukan dan teknik menghasilkan benih kedelai bebas patogen.
DAMPAK C. truncatum DAN SOYBEAN MOSAIC VIRUS TERBAWA BENIH KEDELAI Anthracnose yang disebabkan oleh C. truncatum merupakan cendawan patogen utama pada kedelai. Infeksi pathogen ini menyebabkan penurunan tajam perkecambahan, mutu benih, dan hasil panen pada iklim subtropis yang hangat dan lembab. Hasil panen kedelai menurun hingga 50% di Thailand dan 100% di India disebabkan oleh anthracnose (Johansen dan Pookpakdi 1992). Menurut Almeida et al. (2001), persentase survival tertinggi patogen C. truncatum pada residu kedelai berada pada polong, mencapai 16,21%, di batang 13,6%, dan di akar 0,17%. Hal ini mengindikasikan bahwa C.truncatum memang termasuk seed borne patogen. Penelitian Begum et al. (2008), menemukan C.truncatum pada benih kedelai sebagai infeksi laten (tak terlihat) dan menyebabkan penurunan mutu fisiologis seperti perkecambahan dan keberhasilan berkecambah (Tabel 1 & 2). Cendawan ini mampu menginfeksi 230
Danial et al.: Patogen C. truncatum, SMV terbawa benih kedelai dan pengendaliannya
seluruh komponen benih sehingga menurunkan mutu benih. Infeksi C. truncatum cenderung terjadi pada selubung benih, keping benih, dan inti embirogenik tanpa menunjukkan gejala eksternal selama inkubasi. C. truncatum menghambat perkecambahan dan mengurangi keberhasilan perkecambahan karena rusaknya jaringan. Tabel 1. Pengaruh C. truncatum terhadap mutu benih kedelai di laboratorium Perlakuan Benih diinokulasi Benih tidak diinokulasi
Daya berkecambah (%)
Uji tetrazolium (%)
Electrical Conductivity (EC) (μS/cm/g)
68,0 b (29,2) 96,0 a (0,0)
69,5 b (26,8) 95,0 a (0,0)
79,2 a 58,6 b
Sumber: Begum et a.l (2008). Data dalam kurung menunjukkan persen penurunan. Angka sejajar yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P Studentized Range (HSD).
0.05 berdasarkan uji Tukey’s
Perkembangan benih yang diinokulasi juga dapat dilihat dengan uji EC. Nilai EC pada benih terinokulasi lebih tinggi daripada benih tidak terinokulasi. Pada saat benih direndam dalam air terjadi peretakan elektrolit lebih besar (asam amino dan asam organik) selama proses imbibisi dan konduktivitas air meningkat. Konduktivitas yang lebih besar menandakan derajat perkembangan benih lebih rendah, yang menyebabkan integritas membran sel melemah. Tabel 2. Pengaruh C. truncatum terhadap mutu benih kedelai di rumah kaca Perlakuan Benih diinokulasi Benih tidak diinokulasi
Daya berkecambah (%)
Pre-emergence damping off (%)
Post-emergence damping off (%)
52,0 b (46.4) 97,0 a (0.0)
48,0 a 3,0 b
28,5 a 0,0 b
Sumber : Begum et al (2008). Data dalam kurung menunjukkan persen penurunan. Angka sejajar yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P Studentized Range (HSD).
0.05 berdasarkan uji Tukey’s
Kadar protein terlarut pada benih yang diinokulasi cendawan lebih tinggi dari benih yang tidak terinokulasi. Protein merupakan sumber C dan N utama bagi pertumbuhan dan metabolisme cendawan yang menginfeksi benih kedelai. Peningkatan aktivitas enzimatik setelah penularan cendawan dapat meningkatkan kandungan protein total. Protein dihidrolisis dari polipeptida menjadi rantai peptida pendek dan selanjutnya dipecah menjadi asam amino dengan meningkatnya aktivitas enzim protease, yang meningkatkan kandungan nitrogen terlarut pada benih yang terinfeksi. Degradasi protein dipercepat dengan hidrolisis untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan patogen. Metode deteksi cepat yang sesuai untuk cendawan C. truncatum adalah dengan menggunakan blotter test (Dennis dan Robert 2008; dan Johansen dan Pookpakdi 1992). Pengukuran tingkat penularan patogen bisa dengan pendekatan seed health rating (SHR), yaitu persentase kecambah yang tidak sehat (unhealthy) dibanding total kecambah yang ditumbuhkan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
231
Tabel 3. Pengaruh C. truncatum terhadap perubahan biokimia benih kedelai di laboratorium Protein (%)
minyak (%)
Asam palmitic
40,6±0,28 a
19,3±1,47 a
15,9±0.53 a
Komposisi asam lemak (% dari total asam lemak) Asam Asam Asam stearic oleic linoleic 3,0±0,05 a 26,3±0,71 a 49,3±0,45b
38,2±0,34 b
19,0±1,63 a
16,1±0,70a
3,0±0,12 a
a
Perlakuan Benih diinokulasi Benih tidak diinokulasi
a
24,7±0,53 b
50,7±0,26 a
Nilai rata-rata ± mengindikasikan standar deviasi Angka sejajar yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P<0.05 berdasarkan uji Tukey’s Studentized Range (HSD). Sumber: Begum et al. (2008). a Nilai dalam persen (g 100g-1 berat kering).
Tabel 4. Persentase transmisi isolasi SMV melalui benih dan perkecambahan benih Strain SMV G2 G5 G7 G7F 413 746 1083 88799
Trial 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Perkecambahan yang terinfeksi SMV (%) PI 68522
PI 68671
PI 84657
PI 86449
PI 88799
PI 229324
0 x (86) y 0 (74) 0 (92) 0 (85) 1 (54) 0 (80) 0 (44) 0 (80) 8 (71) 13(81) 0(79) 0(96) 10(30) 5(64) 0(93) 0(89)
0 (70) 0(48) 0(70) 1(88) 0 (38) 0(33) 0 (37) 0(39) 32(78) 24(75) 6(72) 0(92) 20(66) 0(50) 0(65) 0(93)
1 (10) 1(97) 4(44) 1(100) 0 (8) 1(86) 0(12) 0(85) 19(20) 29(98) 0(62) 0(96) 13(74) 0(73) 7(82) 0(96)
0 (70) 0(90) 0(92) 0(93) 0(58) 1(91) 0(48) 0(100) 6(78) 5(66) 0(100) 0(95) 0(92) 5(78) 0(97) 0(68)
1 (69) 4 (74) 2(98) 2(96) 0(24) 5(98) 0(34) 0(67) 17(60) 32(84) 28(80) 37(100) 16(71) 12(73) 29(94) 20(92)
0 (48) 0(80) 19(90) 13(72) 8(59) 0(100) 0(71) 0(43) 31(77) 24(96) 43(90) 32(100) 33(83) NS(NS) 40(92) 22(99)
Sumber: Domier (2007) w) Trial 1 tahun 2003; trial 2 tahun 2004. x) Persen kecambah yang terinfeksi SMV. y) Persen benih yang berkecambah. z) Tidak ada benih.
Soybean mosaic virus menginfeksi tanaman kedelai di berbagai wilayah di dunia dan menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan dan penurunan kualitas benih. Virus ini ditransmisikan benih (seed transmitted) dan juga melalui vektor aphid. Beberapa isolat SMV memberikan efek patogenisitas dan gejala yang berbeda pada tanaman kedelai, bergantung pada strain dan kultivar. Demier et al. (2007), membandingkan kemampuan dari 8 strain SMV untuk menginduksi benih loreng dan penularannya oleh aphid. Sesuai dengan yang dideskripsikan Pacumbaba bahwa benih loreng bukan indikasi yang pasti adanya isolat SMV. Meskipun demikian, kedelai yang diinokulasi dengan SMV, transmisi dan benih loreng memiliki korelasi yang positif. Artinya, SMV pasti menyebabkan benih loreng/mottling tetapi loreng bukan berarti benih terinfeksi SMV. Roy et al. (1994) juga melakukan penelitian terhadap benih kedelai berkulit keras (hardseeded) dan pengaruhnya terhadap infeksi SMV di lapangan. Ternyata pengaruh permeabilitas kulit benih tidak nyata terhadap infeksi SMV. Artinya, infeksi SMV akan
232
Danial et al.: Patogen C. truncatum, SMV terbawa benih kedelai dan pengendaliannya
tetap terjadi pada benih kedelai yang mempunyai kulit keras, tetapi kulit yang keras berpengaruh nyata terhadap infeksi cendawan Phompsis sp (Tabel 5). Tabel 5.
Perbandingan reaksi benih kedelai dengan kulit permeabel (Forrest) dan tiga galur benih yang impermeabel (seri D86) terhadap infeksi patogen
Galur kedelai Forrest D86-4629 D86-4565 D86-4669
Benih terinfeksi (%) Phomposis sp
SMV
55 a 44 b 28 c 13,7 d
16,7 a 19,7 a 9,7 b 8,3 b
Sumber: Roy et al. (1994)
Selain itu hasil penelitian Saleh (2007) menunjukkan bahwa penularan SMV lewat benih mempunyai arti penting dalam penyebaran dan perkembangan epidemi penyakit virus di lapang. Di Indonesia, dampak penularan SMV lewat benih kedelai adalah: Infeksi SMV pada benih akan menyebabkan penurunan kualitas benih. Sebagian benih yang dihasilkan dari tanaman kedelai yang terinfeksi SMV mempunyai kulit belang (lorek) berwarna coklat. Meskipun daya berkecambah benih yang berasal dari benih belang coklat tidak berbeda atau sedikit berkurang, namun vigor dan pertumbuhannya lebih rendah dibanding benih yang berasal dari benih kedelai yang kulit benihnya bersih. Penelitian lebih lanjut terhadap komposisi benih menunjukkan infeksi SMV pada benih kedelai meningkatkan asam amino bebas dan menurunkan kadar minyak. Aktivitas enzim lipoxigenase pada benih kedelai yang belang juga lebih rendah dibandingkan dengan benih tidak belang. Infeksi SMV dalam benih akan membantu penyebaran virus antardaerah seiring dengan makin pesatnya transportasi benih. Penyakit virus mosaik kedelai (SMV) di lahan bukaan baru diduga berasal dari benih kacang tanah dan kedelai yang dibawa oleh para transmigran atau kegiatan proyek yang mendatangkan benih dari daerah lain. Benih memberi jaminan kehidupan bagi virus sehingga memungkinkan virus bertahan dari satu musim ke musim berikutnya. Virus mampu bertahan hidup sejalan dengan viabilitas benih. SMV masih mampu menginfeksi benih kedelai setelah disimpan pada suhu kamar selama tiga bulan. Benih yang terinfeksi virus akan menghasilkan kecambah yang sakit dan tersebar secara acak di lapang. Kecambah yang terinfeksi menjadi sumber infeksi utama (primary source of infection) yang selanjutnya disebarluaskan oleh serangga penular kutu daun (aphids) yang ada di lapang. Selain sebagai sumber infeksi di lapang, infeksi virus pada stadia kecambah atau pada saat tanaman masih muda manurunkan hasil yang lebih tinggi dibanding apabila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua. Kedelai yang terinfeksi SMV pada umur 10 HST mengakibatkan penurunan hasil 29–41%, lebih tinggi dibandingkan dengan apabila tanaman terinfeksi pada umur 50 HST yang hanya menurunkan hasil 2,5–4,5%.
STRATEGI PENGENDALIAN Fungisida masih intensif digunakan untuk mengendalikan cendawan terbawa benih kedelai ini. Hasil penelitian Oh dan Kang (2002) yang menunjukkan fungisida Benomyl
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
233
paling efektif (EC90), atau dengan dosis paling rendahpun dapat menghambat 90% pertumbuhan C. truncatum dibandingkan dengan fungisida lainnya seperti fluanizam, iprodione, thiopanante, carbendazim, dan triflumizole. Bagaimanapun juga penggunaan pestisida yang berlebihan memberikan dampak negatif seperti berkembangnya patogen yang resisten, racun bagi manusia, merusak organisme yang menguntunngkan dan mencemari lingkungan. Masalah lainnya adalah penggunaan fungisida mengurangi secara drastis daya hidup rhizobium dan konsekuensinya mengurangi pertumbuhan kedelai. Adanya dampak negatif ini membuat beberapa penelitian fokus pada metode alternatif untuk mengatasi cendawan terbawa benih ini yang tidak berbahaya bagi kesehatan. Bio-priming menggunakan agen pengendali hayati merupakan salah satu cara yang cocok untuk mengatasi seed borne fungi. Bio priming adalah perlakuan benih dimana agen hayati ditambahkan sebagai langkah awal dalam melindungi benih dan perkecambahan dari patogen. Penelitian Bankole dan Adebanjo (1996) menunjukkan biopriming dengan Trichoderma viride efektif menurunkan infeksi cendawan sampai 27,6% dan meningkatkan daya berkecambah hingga 94,2% pada benih kacang panjang yang terinfeksi brown blotch disease. Pengaruh biopriming dalam mengurangi damping off sebelum dan sesudah punikula menembus kulit benih dapat dilihat pada Tabel 6. Agen hayati P. aeruginosa merupakan pengendali paling efektif. Tabel 6. Pengaruh biopriming dalam mengendalikan damping off yang disebabkan oleh C. truncatum yang menginfeksi kedelai pada kondisi lapang
Perlakuan
Priming dg Benlate® Biopriming dg P. aeruginosa Biopriming dg T. harzianum Bioprimed dg T. virens Bioprimed dg kombinasi T. virens and T. harzianum Hidropriming Nonpriming
Pre-emergence damping-off Percobaan I Percobaan II Pengurangan Kejadian Pengurangan Kejadian kejadian penyakit kejadian penyakit penyakit (%) (%) penyakit (%) (%) 40,0d 43,4ab 29,0d 44,1ab 39,0d 43,5cd 50,5c 44,0cd
48,6a 42,8ab 33,5b 42,1ab
25,0d 27,5d 34,5c 27,5d
51,9a 46,8a 33,4b 46,9a
76,0b 84,0a
0,0c –
52,0b 59,5a
0,0c –
Sumber: Begum et al (2009). Nilai yang sama dalam satu kolom dengan notasi yang berbeda menunjukkan 0.05 dengan uji tukey’s tudentized range (HSD). signifikansi P
Selain itu diketahui pula bahwa semua perlakuan biopriming relatif meningkatkan perkecambahan benih dibanding kontrol. Dari semua biopriming, P. Aeruginosa meningkatkan kecambah paling tinggi yaitu 60,7%. Semua perlakuan biopriming juga meningkatkan jumlah kecambah sehat dibanding kontrol. P. aeruginosa yang memiliki tingkat paling tinggi yaitu antara 58–70%. Tingkat kerusakan setelah perkecambahan juga lebih rendah pada perlakuan P. aeruginosa (Tabel 7). Semua biopriming menyebabkan perkecambahan meningkat relatif tajam terhadap kontrol hidropriming. Pada percobaan pertama, P.aeruginosa meningkatkan perkecambahan tertinggi hingga 60,7%. Pada percobaan kedua, peningkatan perkecambahan 32,4– 36%, pada perlakuan P. aeruginosa, T. harzianum dan campuran T. harzianum dan 234
Danial et al.: Patogen C. truncatum, SMV terbawa benih kedelai dan pengendaliannya
T.virens. Semua biopriming meningkatkan kemungkinan kecambah sehat jika dibandingkan dengan kontrol hidropriming, P. aeruginosa menghasilkan persentase peningkatan kecambah sehat, berkisar antara 58–74% dari hasil percobaan kedua. Trichoderma virens adalah yang menghasilkan persentasi paling rendah namun tetap meningkatkan perkecambahan dari 27% menjadi 52% dan pertumbuhan kecambah 65–66% (relatif terhadap hidropriming). Menurut penelitian Tripathi et al. (2006), bahwa Pseudomonas spp selain menghambat C. truncatum juga berperan sebagai plant growth promote rhizobacteria (PGPR) karena mampu menghasilkan asam indol asetat (IAA). Kemampuan Pseudomonas spp memproduksi HCN dapat menghambat patogen C.truncatum. Tabel 7.
Peranan biopriming dalam mengendalikan post emerge damping off yang disebabkan oleh C. truncatum yang menginfeksi kedelai pada kondisi lapang. Post-emergence damping-off
Treatment
Percobaan I
Percobaan II
Kejadian penyakit (%)
Pengurangan kejadian penyakit (%)
Kejadian penyakit (%)
Pengurangan kejadian penyakit (%)
Priming dg Benlate®
2,5c
65,0a
0,5c
96,9ab
Biopriming dg P. aeruginosa Biopriming dg T. harzianum Bioprimed dg T. virens Bioprimed dg kombinasi T. virens and T. harzianum Hidropriming Nonpriming
2,5c 5,5b 5,5b
65,0a 35,0b 35,0b
0,5c 2,5b 0,5c
97,2a 85,1b 96,9ab
6,0b
30,0b
2,5b
85,1b
9,0a 10,0a
0,0c –
17,0a 14,0a
0,0c –
Sumber: Begum et al (2009). Nilai yang sama dalam satu kolom dengan notasi yang berbeda menunjukkan signifikansi P <0.05 dengan uji tukey’s tudentized range (HSD).
Tingkat ambang batas merugikan (level treshold) penularan C. truncatum juga telah diteliti oleh Johansen dan Pookpakdi (1992), yang paling tinggi adalah 50%. Artinya, jika infeksi pada benih kedelai masih di bawah 50% maka pertanaman di lapangan dapat ditoleransi, tetapi jika lebih dari 50% akan terjadi kerugian secara ekonomis. Untuk pengendalian Soybean mosaic virus, saat ini belum ada perlakuan yang mampu menghambat virus tersebut, baik fisik maupun kimia, tanpa mengurangi viabilitas benih. Virus terdapat di dalam jaringan kulit benih dan embrio (kotiledon dan sumbu embrio). Penularan virus ke kecambah berasal dari infeksi virus pada embrio. Dalam embrio benih, virus akan tetap hidup selama benih masih hidup. Oleh karena itu, memproduksi benih bebas virus menjadi sangat penting. Untuk menghasilkan benih kedelai yang relatif sehat dari infeksi virus, maka lima hal berikut perlu dipertimbangkan. 1. Menggunakan benih yang sehat SMV diketahui dapat ditularkan melalui benih kedelai. Benih yang terinfeksi terbukti dapat menjadi sumber utama penularan virus oleh vektor di lapang. Oleh karena itu benih yang digunakan harus diketahui secara pasti identitas dan kesehatannya. Meskipun benih kedelai loreng bukan merupakan petunjuk adanya infeksi SMV, namun untuk pencegahan disarankan untuk tidak menggunakan benih loreng.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
235
2. Melakukan roguing dengan menghilangkan tanaman terinfeksi Di lapang, sumber infeksi atau sumber inokulum virus selain berasal dari benih yang terinfeksi juga dapat berupa tanaman budidaya sejenis, lain jenis, maupun tumbuhan liar. Oleh karena itu, untuk memutus daur dan mengurangi sumber inokulum pada areal kedelai harus dilakukan rotasi dengan tanaman serealia/umbi-umbian yang bukan inang virus kedelai. Pemantauan secara rutin dan mencabut tanaman sakit terutama pada saat masih muda hingga mendekati masa berbunga dapat mengeliminasi kemungkinan penularan virus melalui benih yang akan dihasilkan dari pertanaman tersebut. 3. Mencegah masuk dan menyebarnya virus Mengusahakan pertanaman benih kedelai di lokasi dan waktu yang bebas vektor dan virus sangat dianjurkan, namun sulit dilaksanakan karena SMV mempunyai kisaran tanaman inang yang luas dan juga dapat ditularkan oleh banyak jenis kutu daun (aphid), termasuk aphid yang berkoloni pada tanaman sereal, rumput, atau pohon. Untuk mengurangi dan memutus daur hidup virus dan vektor, maka perlu dilakukan rotasi tanaman secara ketat serta eradikasi tanaman dan gulma yang terinfeksi virus di sekitar kebun. 4. Mengendalikan vektor (Aphid glycine) SMV termasuk kedalam kelompok virus nonpersisten. Terhadap virus-virus nonpersisten, pengendalian vektor secara kimiawi dengan fungisida sering tidak memberi hasil yang memuaskan dalam menekan intensitas penularan penyakit virus. Diduga fungsisida tersebut tidak dapat mematikan aphid dalam waktu yang cepat sebelum vektor menularkan virus ke tanaman lain. Beberapa penelitian lain menunjukkan penyemprotan fungisida cypermethrin, deltamethrin, permethrin, fanfalerate, disulfoton, dan acephate dapat menekan kolonisasi aphid dan mengurangi atau memperlambat penyebaran virus nonpersisten (Domier 2007). Penyemprotan minyak mineral (mineral oil) secara kontinu dengan selang lima hari dapat menghambat proses infeksi dan penyebaran SMV 27% dibanding perlakuan kontrol yang tidak disemprot (Saleh 2007). Namun karena harus disemprotkan beberapa kali, maka penggunaan fungisida menjadi lebih banyak sehingga tidak efisien. 5. Menanam varietas tahan SMV Menanam varietas kedelai yang tahan virus merupakan cara yang efektif, murah, mudah diterima petani, kompatibel dengan cara pengendalian lain, dan aman terhadap lingkungan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Patogen terbawa benih kedelai seperti C. truncatum dan Soybean mosaic virus berdampak negatif terhadap usahatani kedelai seperti mengurangi daya berkecambah, kehilangan hasil, dan menurunkan kualitas biji kedelai. Cendawan C. truncatum bisa terbawa benih melalui infeksi dan kontaminasi, sedangkan virus SMV melalui benih yang terinfeksi. Strategi pengendalian C. truncatum adalah dengan seed treatment menggunakan biopriming, sedangkan untuk virus SMV tidak ada jalan lain kecuali menggunakan benih bebas virus. Mengingat krusialnya patogen terbawa benih kedelai maka ke depan sertifikasi kesehatan benih kedelai sudah saatnya diberlakukan. Metode yang digunakan 236
Danial et al.: Patogen C. truncatum, SMV terbawa benih kedelai dan pengendaliannya
bisa menggunakan blotter test untuk menguji cendawan, sedangkan virus bisa dilihat dari penampakan visualnya mengingat mahalnya tes virus.
DAFTAR PUSTAKA Almeida, AMR. O.F. Saraiva, J.R.B. Farias, C.A. Gaudencio. 2001. Survival of pathogens of soybean debris under no-tillage and conventional tillage system. Pequisa Agropeuaria Brasileira 36(10). Bankole, SA. and A. Adebanjo. 1996. Biocontrol of brown blotch of cowpea caused by Colletotrichum truncatum with Trichoderma viride. Crop Protection Journal 1996; 15(7): 633–636. Begum, M., M. Sariah, A.B. Puteh, M.A.Z. Abidin, 2008. Pathogenicity of Colletotrichum truncatum and its influence on soybean seed quality. International Journal of Agriculture & Biology 2008; vol. 10:393–398. Begum, M.,M. Sariah, A.B. Puteh, M.A.Z. Abidin, M.A. Rahman and Y. Siddiqui. 2009. Field performance of bio-primed seeds to suppress Colletotrichum truncatum causing dampingoff and seedling stand of soybean. Biological Control Journal 200. Dennis C. McGee and Robert F. Nyvall. 2008. Soybean Seed Health. Iowa State University of Science and Technology, Ames, Iowa. Domier, LL. and H. Rodriuez. 2007. Similarities in seed and aphid transmission among Soybean mosaic virus isolates. Plant Disease 2007; vol. 91 (5): 546–550. Johansen, O and A. Pookpakdi. 1992. Tolerance studies of seed borne soybean anthracnose related to soybean seed production in Thailand. Field Crop Research Centre. Chiang Mai. Ndimande B.N. , H.C. Wien, E.A. Kueneman. 1981. Soybean seed deterioration in the tropics. I. The role of physiological factors and fungal pathogens. Field Crops Research 1981; 4: 113–121. Oh, JH. dan N.W. Kang. 2002. Efficacy of fluazinam and iprodine+propineb in the supression of Diaporthe phaseolorum, Colletotrichum truncatum and Cercospora kikuchii, the causal agents of seed decay in soybean. The Plant Pathology Journal 18(4): 216–220. Pengyin C, GR Buss, SA Tolin. 2004. Reaction of soybean to single and double inoculation with different Soybean mosaic virus strains. Crop Protection 2004; 23(10): 965–971. Roy, KW. B.C. Keith, CH Andrews. 1994. Resistance of hardseeded soybean line to seed infection by Phomopsis, other fungi and soybean mosaic virus. Canadian Journal 1994; 16:122–1. Saleh N. 2007. Sistem produksi kacang-kacangan untuk menghasilkan benih bebas virus. Iptek Tanaman Pangan 2007; vol 2: 66–78. Sij, JW. F.T. Turner and N.G. Whitney. 1985. Supression of Anthracnose and Phomopsis seed rot on soybean with potassium fertilizer and Benomyl. Agron J 1985; vol 77:639–642 Tripathi, M. B.N. Johri, A. Sharma. 2006. Plant growth promoting Pseudomonas sp. Starins Reduce Natural Occurence of Anthracnose in Soybean (Glycine max L.) in Central Himalayan Region. Journal if Current Microbiology 2006; Vol. 52: 390–394. Zainun Wan. 1980. Seed-borne Fungi of Soybean (Glycine max (L.) Merril) and their control. Pertanika 3(2):125–132.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
237