PARADOKS By: Maitreya Cahaya Copyright © 2005 by Maitreya Cahaya Edited 2012 by Maitreya Cahaya
Publisher Self-published
Cover Design by Maitreya Cahaya
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
paradox /’paeredaks/ n [C] statement which seems to contain two opposite facts but is or may be true.
I hate you because you’re way too gorgeous!
3
Prolog Anak itu sempat ragu, namun ia memberanikan diri untuk menghampiri Raisa yang hanya berdiri diam menatap temanteman sekelasnya bermain ayunan, menunggu Ibunya datang menjemput. “Raisa...” anak itu menyentuh pelan lengan Raisa. Raisa tersentak dari lamunannya. Ia sangat kaget saat tahu bahwa anak itulah yang menyentuhnya. Sikap defensif yang luar biasa langsung muncul. Ia tidak mengacuhkan anak itu dan berjalan menjauhinya. Namun anak itu tidak menyerah dan mengikuti Raisa. Sampai akhirnya Raisa menatapnya penuh kebencian dan berkata ketus, “Jangan dekati aku!” Kesedihan terpancar dari mata anak itu. “Kenapa... selama 6 tahun... Raisa tidak pernah hadir di ulang tahun saya?” Raisa benci sorot mata itu. Seolah ia adalah malaikat dan Raisa iblisnya. Seolah selama ini Raisa lah yang berbuat kejahatan padanya dan menyakiti hatinya. Raisa memandang anak itu penuh amarah. Akhirnya semua beban di hati Raisa selama enam tahun tumpah di depan orang yang paling dibencinya itu. Ia berteriak dan menangis di depan anak itu, memuntahkan alasan kenapa selama ini ia hanya menangis sendirian di rumah ketika semua orang menikmati pesta ulang tahun anak itu. Raisa terus berbicara di sela-sela tangisnya. Anak itu berusaha semaksimal mungkin untuk mengerti apa maksud Raisa. Kemudian dia meraih tangan Raisa dan menggandengnya lembut naik ke dalam mobilnya. Raisa tidak menolak dan tidak berkata apa-apa, hanya berusaha mengatur nafasnya dan berhenti 4
menangis. Tidak sampai lima menit, mereka sudah sampai di sebuah rumah yang adalah rumah paling besar yang pernah Raisa lihat seumur hidupnya. Anak itu kembali menggandeng tangan Raisa, dan anehnya, Raisa membiarkan itu terjadi. Mereka masuk ke dalam rumah anak itu, Raisa melihat beberapa ruangan besar nan megah, melewati lorong-lorong panjang lukisan yang dipigura dan akhirnya sampai di kamar anak itu. Sebuah kamar besar yang penuh dengan berbagai macam mainan. “Raisa bisa ambil semua barang yang ada di sini. Semua barang yang Raisa suka.” Anak itu berkata tulus pada Raisa. Raisa menatap anak itu tidak percaya. “Jadi kamu pikir— kamu pikir...” Raisa marah sampai kehabisan nafas. Lalu Raisa beteriak marah pada anak itu, memakinya dengan kesal. Raisa benci sekali dengan anak itu dan benci dengan hari ini, tidak mau mengingatnya. Ia mendorong anak itu sekasar mungkin dan lari keluar dari rumahnya. Raisa bukan hanya lari dari rumah besar itu, tapi juga dari seluruh masa lalunya.
5
Satu “Kuas nomor enam… Kuas nomor enam…” Raisa tidak berhentiberhentinya menggumamkan nama barang yang sedang ia cari di laci empat tingkat miliknya. Ia yakin masih memiliki satu buah kuas nomor enam yang pernah dipakainya sebelum ia menggunakan kuas nomor enam barunya yang sekarang tertinggal di kost Selphie, teman dekatnya. Sekitar 10 menit kemudian, Raisa sudah menyerah dan meraih telepon genggamnya, menghubungi Selphie. “Halo?” Suara diujung sana menjawab. “Sel, lo dimana?” “Di kost. Kenapa?” “Jangan kemana-mana yah, gue kesana sekarang. Gue mau ambil kuas gue yang ketinggalan kemaren.” “Ya udah. Tumben lo nelpon. Lagi banyak pulsa yah non...” “Gue tau lo lagi nggak ada pulsa, jadi kalo gue sms pasti nggak lo bales. Lagipula emergency pangkat 23 nih!” “Besok harus deadline, yah?” “He-eh, ya udah yah, Sel. Udah 25 detik nih!” “Kopet!” “Hemat! 28... 29. Dah!” Raisa menekan tombol merah. Raisa memang selalu mematikan telepon satu detik sebelum pulsa bertambah. 29 detik, 59 detik, 1 menit 29 detik, dan seterusnya. Tidak sampai lima menit, Raisa sudah berada di kost Selphie. Seorang cowok yang sedang menonton TV di ruang tengah menyapa Raisa, “Eh, Sa!”
6
“Hey, Ri! Gue ke Sephie dulu yah...” Raisa berbasa-basi dan segera jalan ke kamar Selphie. Raisa mengetuk pintu sekali dan langsung masuk ke kamar Selphie. “Sel, gue...” Raisa berhenti berkata-kata saat dia membuka pintu dan ternyata tidak ada siapapun di kamar itu. Tasha, teman sekamar Selphie juga tidak ada. Kemana sih Selphie?! Udah emergency nih... Raisa menggerutu dalam hati. “Sel—” Raisa hendak berteriak dan berbalik keluar dari kamar Selphie. Belum sempat dia menyelesaikan teriakannya, seorang makhluk berwajah David Beckham dengan senyuman a’la Tom Cruise sudah memandangnya setengah tertawa. Siapa cowok ganteng ini? God, You never told me you’ve created such a man! “Hai.” Cowok itu menyapa Raisa ramah. “Hai...” Raisa membalas. “Um, lo...?” “Gue Karisfi. Panggil aja Karis.” Cowok bernama Karis itu menjabat hangat tangan Raisa. “Raisa. Tapi orang-orang lebih sering panggil gue Sasa...” katanya mengenalkan diri. “Lo sendiri...? Lebih suka dipanggil Sasa atau Raisa?” “Um... Raisa, Sasa... Terserah aja.” “Lo teman sekamar Selphie?” Karis bertanya ramah. “Bukan kok, gue nggak tinggal di sini, cuma sering maen di sini bareng Selphie dan anak-anak. Lo...?” “Gue baru pindah tadi siang ke sini.” Lagi-lagi cowok bernama Karis itu dengan sigap menjawab pertanyaan Raisa. “Oh ya? Nempatin kamar siapa? Bukannya penuh, ya?” “Tuh, kamar di sebelah Ari.” 7
“Oh...” Raisa mengangguk-angguk sambil matanya terus menelusuri badan Karis yang nggak kalah oke dari wajahnya. “Dulu kalo nggak salah itu kamarnya Kak Sita. Dia anak arsitek jadi dinding kamarnya suka digambarin sama dia. Nggak tahu deh, udah di-cat ulang atau belum.” “Oh, ya? Gue juga kuliah arsitek. Dia angkatan berapa?” “2001. Lo?” “2002. Lo sendiri angkatan berapa?” “2004. Masih freshman nih. Tapi gue bukan arsitek lho...” “Jurusan apa?” “Hubungan Internasional. Bareng Selphie dan Ari.” “Nggak bosen kuliah politik?” “Nggak kok! Menurut gue menarik. Lo yang harusnya bosen, kerjaannya ngukur ubin!” Canda Raisa. Mereka berdua pun tertawa renyah. “Lagian kan nggak hanya belajar politik aja, Ris…Belajar ekonomi, hukum, sosiologi juga.” Raisa menjelaskan. “Belajar hukum juga?” tanya Karis. “Iya, tapi nggak detail banget, kok! Belajar hukum internasional tuh, yang paling penting. Kita kan, negara maritim, jadi harus ngerti banget hukum supaya wilayah kita nggak diambilin orang lain terus.” Kini Raisa mengoceh panjang lebar. “Kalau soal itu mah, nggak hanya butuh wawasan hukum, Raisa…Harus kuat militernya juga dong. Angkatan laut kita harus banyak, kan perbatasan laut kita luas banget…” “Sasa!” Suara Selphie tiba-tiba membuat Raisa sedikit kecewa, karena Raisa harus mengakhiri percakapan serunya dengan cowok lucu ini. 8
“Lo dari mana sih, Sel!” Keluh Raisa pura-pura kesal. “Sori, baru dari WC. Biasa, panggilan alam... Lo udah kenalan sama Karis, Sa?” tanya Selphie. “Udah kok.” Karis dan Raisa menjawab hampir bersamaan. “Cieh... kompak amat.” Selphie tersenyum usil dan berjalan masuk ke kamarnya. “Ya udah, Raisa... Gue ke kamar dulu yah. Masih harus beresberes. Kapan-kapan kita ngobrol lagi yah...” Cowok hasil kreasi Tuhan disaat prime time-Nya itu melempar senyum simpul ala Tom Cruise, menunduk sedikit dan berjalan pergi. Detik itu, senyuman itu, pandangan mata itu, dan ion-ion yang ada di udara sekitarku telah membuka suatu kotak pandora. Mengenal Karis terasa seperti dapat hadiah. Raisa masuk dan menutup pintu kamar Selphie. Selphie sudah memegang kuas sambil tersenyum usil, “Rating satu sampai sepuluh, Karis...?” “Sepuluh! Eh, engga deh, dua puluh tiga!”
9
Dua “Warnanya tepat seperti yang saya harapkan. Nggak perlu terlalu mencolok, tapi bisa berkesan tegas. Dan seperti biasa, karakter gambar ini khas seorang Sasa.” Komentar Sandy, editor majalah politik-sosial-dan-kebudayaan, dimana Raisa bekerja sebagai salah satu ilustratornya. “Saya lega banget kalau anda puas. Saya sempat bingung dengan tema terorisme yang emang sensitif banget ini.” Jelas Raisa. “Ya sudah, saya ada kuliah jam satu. Saya pamit dulu, yah, Mas Sandy...” Raisa lalu berpamitan pada Sandy dan kru-kru lain yang ada di ruangan dan berjalan agak terburu-buru ke luar gedung untuk kemudian melakukan to-do-list lainnya hari ini, kuliah Pengantar Hubungan Internasional atau disingkat PIHI. Jika saja tidak ada mata kuliah sepenting PIHI, sebenarnya Raisa lebih memilih tinggal di kantornya yang homie itu dan berkonsentrasi mengerjakan ilustrasi untuk edisi selanjutnya. Tidak sampai semenit, angkot yang ditunggu Raisa pun datang dan lagi-lagi kepala Raisa hampir terbentur langit-langit angkot ketika masuk maupun keluar dari angkot. Untuk ukuran cewek, Raisa memang terbilang cukup tinggi. Ketika masih SMP, Ia sempat berpikir untuk menjadi pramugari dengan tingginya yang telah mencapai 150cm, namun Ia tidak pernah percaya diri jika mengenakan rok mini. Menurutnya, bekas luka di kakinya terlalu banyak untuk ditutupi. Hingga sekarang pun, Raisa tetap lebih nyaman memakai celana jeans belel yang jarang dicuci dan sepatu sneakers nya. Raisa sudah menjadi ilustrator sejak SMP. Bermulai dari majalah sekolah, Raisa lalu mulai mencoba menjual gambar-gambarnya ke majalah-majalah dan koran-koran lokal di Lampung, kota dimana ia tinggal sejak kecil. Saat SMU Raisa menjadi free-lancer di sebuah majalah anime. Tidak lama bekerja di sana, sebuah majalah yang 10
cukup kuat memintanya sebagai ilustrator bagian forum massa. Semenjak itu Raisa bisa menabung untuk membiayai kuliahnya. Saat pindah dari Lampung ke Bandung, Raisa khawatir akan kehilangan pekerjaannya, namun mereka malahan memperkenalkan Raisa pada redaksi bagian Bandung. Sekarang Raisa sudah merasa cukup. Raisa tidak perlu menyusahkan Ayahnya yang kini seorang pensiunan polisi. Raisa membiayai sendiri uang untuk kuliah, bayar kost dan kebutuhannya dari hasil kerjanya. Kadang Ia menyisakan sedikit untuk memberikan pada Pap, panggilan sayang untuk Ayahnya. Raisa memiliki satu kakak laki-laki bernama Restu dan satu adik laki-laki bernama Wilhaem. Restu pindah ke Padang setelah lulus SMU, kuliah di sana sambil bekerja di pabrik Pamannya. Belum sempat menyelesaikan kuliahnya, Restu sudah menikah dengan seorang gadis kaya raya bernama Delilah dan kini ia menjalankan perusahaan milik Ayah Delilah. Raisa tidak menyukai Delilah, Delilah terlalu posesif terhadap Restu. Sejak kecil Raisa dekat sekali dengan Restu yang hanya 4 tahun lebih tua darinya. Dan sejak Restu pacaran dengan Delilah, Delilah melarang Restu untuk terlalu sering menelepon Raisa. Dasar cewek psycho! Itu yang selalu Raisa bilang tentang Delilah. Kini Restu hanya mengirimkan uang untuk Pap dan Wil. Jangankan menengok, menelepon saja ia jarang sekali. Sudah satu setengah tahun sejak Raisa bertemu Restu yang terakhir kali. Apalagi kini ia kuliah di Bandung, dan tidak pernah pulang ke Lampung, ia makin kehilangan kontak dengan Restu. Wil masih kelas 6 SD dan sebenarnya memerlukan Raisa untuk melewati transisi masa remajanya karena Mama sudah meninggal sejak Wil kelas 2 SD. Pada awalnya Raisa merasa khawatir meninggalkan Wil, tapi Wil adalah seorang remaja luar biasa, yang dengan umurnya yang masih sangat muda, memiliki jalan pikiran yang dewasa. Mungkin karena sejak kecil ia sudah terbiasa 11
mengerjakan apa-apa sendiri. Aku bangga sekali pada Wil, Pikir Raisa. Angkot yang dinaiki Raisa berhenti tepat di depan sebuah Universitas Swasta unggulan yang memang menjadi tujuannya. Lamunan dan rasa kangen pada Wil segera ditepisnya dan berjalan menuju kampus untuk mengikuti kuliah siang itu. Sebuah mobil mewah BMW X3 berwarna hitam dalam keadaan menyala terparkir di depan gedung rektorat. Mobil itu sudah menjadi perhatian Raisa sejak ia memasuki gerbang Universitas. Pemborosan bahan bakar! Kalau hanya ingin duduk di ruangan berAC, kau bisa melakukannya di mal! Gerutu Raisa dalam hati. Raisa berjalan melewati mobil itu dan tiba-tiba kaca mobil kanan depan terbuka. “Raisa!” Sedikit kaget Raisa berhenti dan melihat sosok yang berada di dalam mobil itu, “Karis...?” Ia tidak menyangka Karis lah yang menyapanya. “Kuliah, Sa?” Karis bertanya ramah. “Iya. Lo?” “Lagi nunggu cewek gue, mau ke Istana Plasa.” “Emang cewek lo dimana?” “Masih kuliah deh kayaknya, bentar lagi juga beres.” “Oh...” Raisa tidak bisa menyembunyikan ke-sinis-annya. Benarbenar tipe cowok yang dibenci Raisa. Anak orang kaya yang seenaknya menggunakan fasilitas orang tuanya dan nggak peduli sama sekali dengan langkanya BBM atau lingkungan. Kerjanya hanya jalan-jalan di mal, menjalankan hidup hedonis-nya. Nggak nyangka gue sempat terpesona sama dia kemarin! Lagi-lagi Raisa menggerutu dalam hati. “Raisa?” Panggil Karis, membuyarkan lamunannya. 12
“Ya sudah, gue kuliah dulu ya, Ris. Have fun!” Lalu Raisa pergi begitu saja tanpa mempedulikan tanggapan Karis. *** Selphie mengaduk-aduk teh manis hangatnya sambil menunggu soto ayam pesanannya, sedang Raisa sudah makan duluan karena sejak pagi hingga jam 6 sore ini ia hanya minum segelas susu. Lea, yang juga teman baik Raisa, seharian ini menemani Raisa ke kantornya dan pergi belanja alat-alat baru. “Laen kali kita mesti lebih siapin list belanjaannya, Sa, jangan kayak tadi. Nggak akan keburu kalo berangkat dari kantor jam satu...” Lea masih terus membahas kejadian belanja alat kantor tadi yang memang agak di luar kendali. Raisa hanya mengangguk-angguk sambil terus menyeruput kuah soto ayamnya, tidak terlalu mempedulikan kata-kata Lea. “Eh, gue mau cerita hal yang serius nih...” Tiba-tiba Selphie berbicara dengan nada serius. Raisa dan Lea kontan menaruh perhatian pada Selphie. “Kayaknya akhir bulan ini Tasha bakal pindah kost deh. Kemaren dia udah ngomong ke gue. Katanya cowoknya ngeluh terus supaya Tasha keluar dari kost campur. Sekarang gue harus cari roommate baru, soalnya kalo sendirian, kemahalan! Nanti jatah bulanan gue berkurang buat bayar kostan.” Cerita Selphie. “Lo berdua, salah satu, pindah ke kost gue yah... Please?” mohonnya. Raisa dan Lea terlihat berpikir. Kost Selphie memang full fasilitas dan dekat dengan kampus. Dan jika bayar sewa berdua dengan Selphie, harganya tidak mahal-mahal amat. Sebenarnya Raisa tertarik untuk pindah, apalagi Selphie merupakan teman baiknya. Raisa merasa cukup mengenalnya selama hampir setahun sejak 13
mereka masuk kuliah. Tapi... di sana ada Karis. Entah kenapa keberadaan cowok itu akhir-akhir ini mengganggu Raisa. Sejak pertama berkenalan dan mengobrol singkat di depan kamar Selphie, Raisa tidak pernah mempedulikan Karis lagi setiap ia main ke kost Selphie. “Gue sih sebenarnya mau, Sel... Tapi kayaknya bokap nggak akan ngasih deh kalo kost campur...” Lea menjelaskan. “Lo gimana Sa? Please...” Selphie menunjukkan wajah memelas. “Um, gue sih mau-mau aja. Bokap juga nggak pernah ngelarang gue. Tapi...” Raisa sedikit ragu meneruskan kalimatnya. “Kenapa, Sa?” tanya Selphie. “Gue nggak gitu suka sama Karis...” Raisa berbicara pelan dan ragu-ragu. Selphie dan Lea kompak terbengong. “Hah?!” Lea yang pertama bersuara. “Lo sakit ya? Cowok gantengpinter-kaya-lucu-dan-baik-hati itu?” “Emang dia pernah bikin salah apa sama lo, Sa?” Selphie lebih tenang dari Lea. “Nggak pernah bikin salah apa-apa sih... Gue cuma nggak suka liat dia dan kelakuannya...” Raisa terdiam sebentar. “Gue agak... benci dia.” “Hah?!” Lagi-lagi Lea setengah berteriak. Lea nggak habis pikir orang aneh macam apa yang membenci seseorang tanpa alasan. Apalagi orang yang dibicarakan ini adalah Karis. Cowok yang memberikan first impression super hebat pada Lea. Selama Lea main di kost Selphie, Lea belum pernah menemukan keburukan pada diri Karis. Sebaliknya, jika Karis belum punya pacar, Lea pasti akan mati-matian mendapatkan cowok sempurna ini.
14
“Kalo nggak pernah bikin salah, kenapa lo benci dia?” Selphie benar-benar membutuhkan alasan. “Nggak tau, Sel... Pokoknya setiap gue ke sana, gue sebel banget liat dia! Mana mungkin sih ada orang yang begitu perfect! Pasti deh dia punya cacat, cuma dia sok muna aja...” Entah kenapa Raisa harus berbicara se-sinis itu tentang Karis. “Sa, lo nggak boleh nilai orang sembarangan kayak gitu.” Selphie menasehati pelan. Mereka bertiga tiba-tiba terdiam. Raisa terlihat sedikit salah tingkah. “Um… Iya, sori...” Raisa terlihat menyesal. “Mungkin gue bersikap unreasonable.” Jawab Raisa pelan. Lea hanya ikut mengangguk-angguk tanda menyetujui sikap Raisa. “Lo temenin Selphie aja, Sa…” Saran Lea. “Tega lo, dia kan pengecut. Nggak bisa tidur sendiri!” Raisa tertawa renyah sedangkan Selphie hendak protes namun Soto Ayamnya keburu datang. “Gue nggak mau makan selama-lamanya, kalau Sasa nggak mau pindah ke kost gue!” Selphie pura-pura merengek seraya menunjukkan wajah memelas. “Lo nggak usah sok drama queen, deh Sel! Iya, gue pindah deh ke situ!” Jawab Raisa pasrah. Malamnya, Raisa mengabari Ayahnya tentang hal ini, ia juga sempat mengobrol sebentar dengan Wil. Seperti yang Raisa duga, Pap tidak akan malarangnya, paling menasehatinya untuk berhatihati, dan jangan lupa makan. Ada sesuatu dalam diri Raisa yang mengatakan bahwa pindah ke sana adalah satu kesalahan. Tanpa memiliki alasan yang jelas, Raisa benar-benar tidak menyukai pria pemilik segala-galanya yang bernama Karis ini. Dan tinggal dibawah satu atap dengannya
15
berarti sebuah kesalahan. Well, setidaknya itu analisa kacangan Raisa.
16
Tiga Nyanyian lagu selamat ulang tahun tak henti-hentinya terdengar. Aku seperti bisa melihat dia tersenyum begitu senangnya. Tidak ada satupun temannya yang tidak datang ke pesta ulang tahunnya yang meriah itu. Tidak satupun kecuali aku. Aku tidak berada di sana, bagaimana mungkin aku bisa mendengar suara tawanya yang renyah, dan balon warna-warni yang berserakan di pinggir kolam renang? Mengapa aku bisa melihat kue ulang tahun megah bertemakan kebun binatang? Apa aku sedang bermimpi? Bangunkan aku! Dia sedang tertawa, berkelakar dengan teman-temannya. Memohon dengan wajah tak sabar pada orang tuanya untuk segera membuka kado-kado dari teman-temannya. Tumpukan kadonya begitu fantastis! Anak manapun tidak sabar ingin segera mengobrak-abrik kado-kado itu! Panggil aku! Guncang tubuhku! “Sasa...!” Pokoknya bangunkan aku! “SASA!” Raisa membuka mata perlahan. Terlihat Selphie melotot padanya. “Akhirnya lo bangun juga! Ayo...” Raisa menggosok-gosok matanya dan melirik jam dinding. Jam 12 malam. “Sel! Lo apa-apaan sih bangunin gue jam segini! Baru juga tidur sejam... Jangan bikin gue nggak betah dan pindah lagi nih!” Ancam Raisa. “Karis ultah, Sa. Kita mau bikin kejutan buat dia. Cepetan! Melissa lagi siapin kuenya, kita bagian bangunin anak-anak.” 17
Raisa menarik selimutnya lagi. “Gue mau tidur aja... Males banget.” “Apa? Nggak boleh dong, Sa... Melissa sekalian mau rapat kost! Ayo, bangun!” Akhirnya Raisa bangun dengan malasnya setelah Selphie menarik selimutnya dan membuangnya ke lantai. Tidur di Bandung tanpa selimut sama mustahilnya untuk Raisa seperti makan ayam penyet super pedas tanpa minum es teh tawar. “Lo bangunin Joseph dan Dio yah... Gue bangunin Ari dan Ben.” Selphie setengah berbisik dan berjalan pergi meninggalkan Raisa yang masih membasuh wajahnya di wastafel. 23... Tanggal yang bagus untuk ulang tahun... pikir Raisa sinis. Setelah Raisa selesai membasuh mukanya dan menggantung kembali handuknya, ia langsung menuju kamar Joseph dan Dio yang berada di samping dapur. Raisa sering sekali main di kost Selphie sehingga ia mengenal semua orang di sini, dan kini setelah pindah ke sini, ia tidak perlu sulit beradaptasi. Raisa mengetuk pintu kamar Dio dan Joseph perlahan, dan tidak lama kemudian Dio keluar. “Ada apa?” Dio bertanya dengan muka jutek. “Karis ultah.” Raisa menjawab singkat. “Oh ya?” Diluar dugaan, Dio terlihat antusias dan segera membangunkan Joseph. Raisa masuk ke kamar Dio dan duduk di ranjang Dio, menikmati adegan membangunkan Joseph yang susahnya bukan main, mirip film komedi. Dio bahkan juga menyukai Karis. Semua orang menyukai Karis. Tentu saja, dia sempurna. Setelah Joseph bangun, mereka bertiga menuju kamar Karis. Melissa, Selphie, Ari dan Ben sudah menunggu dengan sebuah kue yang dipenuhi 21 lilin. 18
Semua, kecuali Melissa yang memegang kue, mengetuk pintu Karis bersamaan sehingga menimbulkan suara bising. Kecuali Raisa yang hanya berdiri di samping Melissa, tentu saja, dengan muka dipaksakan excited. Pintu kemudian terbuka dan wajah Karis yang baru bangun tidur pun terlihat. “Wah...” Itulah kata-kata pertama yang diucapkannya saat melihat kue ulang tahunnya. “Kok kalian tahu…?” Ya ampun! Bahkan saat bangun tidurpun ia masih terlihat seperti David Beckham! Dunia tidak adil! “Ayo kita ke ruang tengah...” Ajak Melissa. Semua pun mengikuti Melissa ke ruangan besar yang terdapat sebuah meja makan cukup panjang dan TV 21 inch. Ruangan dimana anak-anak kost menghabiskan waktu paling banyak untuk nonton TV, makan, atau sekedar ngobrol. Setelah acara tiup lilin dan potong kue, Melissa memulai rapat kost yang memang sudah direncanakan. “Tradisi di kost ini, kita selalu menjunjung tinggi kekeluargaan. Dan nggak usah manggil gue ‘Kak Melissa’. Sejak dulu kita nggak pernah ada panggilan ‘kak’ atau ‘dik’, supaya nggak ada kesan senioritas, ok?” Jelas Melissa. “Karena semester ini kita kedatangan dua teman baru, kita perkenalkan diri masing-masing lagi yah... Pertama gue dulu deh, Gue Melissa, Jurusan Akuntansi 2000. Doain semester ini skripsi gue beres yah...” Melissa berkata ramah. “Gue Selphie, HI 2004. Ya udah pada tau kan... Sasa sekamar sama gue, Karis juga udah sering ngobrol. Kalian pasti bosen kan denger—” sebelum Selphie menyelesaikan kalimatnya, Ari, Joseph dan Dio berseru kompak, “Boseeeen.!” “Rese lo!” Selphie cemberut. “Ya sudah, lanjut...” Melissa mendorong pelan Ari. 19
“Gue Ari, HI 2004 juga. Udah bosen juga kan, Sa?” kata Ari. “Gue Joseph, jurusan Teknik Industri 2003. Udah deh, Mel... kita udah pada kenal kok!” Pinta Joseph. “Ini tradisi!” omel Melissa. “Lanjut!” “Dasar Mami tiri! Buruan lulus deh lo!” Gerutu Dio. “Amin...” Sebut Melissa. “Gue Dio, Teknik Kimia 2003. Hobby gue nonton F1, dan sejak kenal Sasa, acara nonton F1 gue udah nggak damai lagi. Selalu ditemani dengan teriak-teriakan nggak jelas dari cewek satu ini.” Raisa tertawa kecil. Raisa memang sangat menyukai balapan yang satu itu. Sejak Ibunya meninggal, Raisa sering menemani Ayahnya menonton F1. Karena sejak dulu Ibunya selalu menemani Ayahnya menonton F1, dan Raisa tidak ingin Ayahnya merasa sedih menonton sendirian. Semenjak itu Raisa malah ikut-ikutan menggemari olah raga satu itu. “Lo suka F1, Sa?” tanya Karis tiba-tiba. “He-eh.” Raisa menjawab singkat tanpa melihat ke arah Karis. “Bukan cuma suka, Ris! Dia nggak pernah mau nonton sendiri, jadi selalu nonton di sini bareng gue, dan bikin keributan. Mana sekarang dia bener-bener pindah ke sini...” keluh Dio “Lanjut aja, Mel...” Raisa pura-pura tidak menghiraukan Dio. “Oke, Lanjut!” Seru Melissa lagi. “Gue Ruben. Panggil aja Ben. Pembalap favorit gue Rubens Barrichello dong! Kadang-kadang nonton F1 bareng Dio dan Sasa juga kalo besoknya nggak ada tugas SPA.” Ben terkekeh-kekeh. “Gue arsitek 2004. Mohon bimbingannya yah, Karis...” Karis tertawa, “Ok. Tanya gue aja kalo butuh yah, Ben.”
20
“Sip! Sekarang lo berdua cerita masing-masing tentang diri lo. Harus yang panjang yah...” Pinta Melissa antusias. “Lo dulu, Raisa...” Karis berkata sopan. Raisa mengangguk cuek. “Oke... Gue Raisa. Jurusan HI 2004.” Lalu hening. “Udah? Masa gitu doang, Sa... Cerita dong! Kenapa masuk HI, asal lo dari mana, udah punya pacar apa belom, kenapa suka nonton F1, yah gitu deh...” pinta Melissa lagi. “Um, Gue masuk HI soalnya gue tertarik sama politik. Sejak kecil, bokap gue yang seorang polisi, udah sering ngomongin masalah politik sama gue. Gue benci perang, terorisme, money-politics, dan hal-hal nggak manusiawi yang biasanya di-identik-an dengan politik. Gue butuh pembuktian ke diri gue sendiri kalo politik sebenarnya bukan cuma hal-hal negatif yang tadi gue sebutin.” Semua kontan mengangguk-angguk setuju mendengar pernyataan Raisa. “Saat ini gue kerja jadi ilustrator di sebuah majalah politik-sosialdan-kebudayaan. Kerja yang fun dan nggak ganggu kuliah gue. Lucky banget lah, gue... Oh iya, asal gue dari Lampung, jadi jarang pulang soalnya jauh dan gue benci perjalanan luar kota. Gue suka F1 karena... seru! Lo coba sendiri aja deh nonton, pasti ketagihan! Um, saat ini gue jomblo. Gue baru putus sama cowok gue liburan kemaren karena ternyata kita nggak bisa pacaran jarak jauh,” cerita Raisa. “Sayang banget... padahal dia mirip Kimi Raikkonen!” Lanjutnya sambil bercanda. “Buat gue aja, Sa, kalau gitu.” Celetuk Selphie. “Oke, thanks, Sasa. Lo masih janji mau gambarin gue Josh Hartnett loh...” Kata Melissa serius. “Sekarang elo, Ris.” Karis menarik nafas berat, “Um... apa yah. Gue Karisfi. Panggil aja Karis. Jurusan Arsitek 2002. Gue seneng ketemu orang baru dan 21
punya teman sebanyak mungkin. Hobby gue makan dan berenang. Jadinya balance...” Karis tertawa, diikuti oleh semua. Kecuali Raisa yang tertawa sinis karena menganggap itu tidak lucu. “Oh ya, hari ini gue ulang tahun... Dan dirayain sama temanteman baru gue yang akan jadi bagian penting dari gue seterusnya. Thanks yah, guys.” Raisa memutarkan bola matanya, Yeah, sekarang aku tahu bagaimana cowok ini membuat semua orang menyukainya... Dia juga pintar bicara. “Gue bisa masak sedikit, soalnya dulu sering belajar sama koki gue di rumah...” Dan dia punya koki?! Tentu saja, dia punya BMW X3 yang tidak henti-hentinya membakar pertamax! “Tapi yah itu tadi... Setelah makan banyak, gue pasti berenang...” Apa lagi? Kolam renang? Lapangan golf? “Gue masuk arsitek karena... gue mau bangun rumah impian gue.” Rumah impian sebesar satu hektar yang berisi lapangan golf dan kolam renang? Tidakkah lebih baik kau membangun sekolah untuk anak-anak yang tidak mampu? Ayolah, Karis... Dunia ini bukan hanya kau dan uang ayahmu! “Um, cewek gue anak arsitek juga. Nanti gue ajak main ke sini deh.” Bukannya dia cuma bisa bertahan hidup di ruangan ber-AC seperti... Istana Plasa? “Yah... Segitu aja. Kita bakal sering ngobrol-ngobrol, kan... Atau kita bisa jalan bareng-bareng se-kost kapan-kapan?” Thanks God. Aku bisa ketiduran bosan mendengarkan cerita cowok ini! “Seru juga tuh, Ris! Kita bisa nonton bareng!” Usul Selphie. Usul yang buruk! 22
“Guys, gue ngantuk nih...” Alasan Raisa. “Sama. Gue juga...” Dukung Joseph. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun lagi untuk Karis, semua kembali ke kamar masing-masing. Tinggal lah Karis membereskan sisa kue yang ditinggalkan. Cowok ini juga mencuci gelas-gelas bekas minum anak-anak kost. Karis mematikan lampu ruang tengah dan menuju kamarnya.
23
Empat Hari minggu sore yang sibuk di kost Raisa. Joseph sedang menulis laporan praktikanya, Ben sedang memulai maket barunya, Ari masih sibuk memikirkan pengaturan jadwal kuliahnya yang serba bentrok dengan les Bahasa Perancis-nya, dan Dio dengan santainya mengganti-ganti saluran TV. Di saat semua teman-temannya sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Raisa hanya terpana takjub melihat Selphie memasukan lensa kontak ke matanya. Ia pun bergidik sendiri. “Aneh deh, lo, Sa! Gitu aja takut…” Cibir Selphie. “Mendingan gue, takut tidur sendiri. Daripada lo, takut sama lensa kontak dan salon.” Raisa merengut. Ia memang tidak pernah ke salon lagi sejak umur 10 tahun. Waktu itu rambutnya pernah dipotong terlalu pendek dan Raisa kesal sekali. Sejak itu Mamanya selalu memotong rambutnya. Ketika Mamanya sudah tidak ada, Raisa belajar memotong rambut sendiri dan kemudian belajar merapikan alis sendiri. Oleh karena itu model rambutnya selalu tidak pernah jelas. Rambutnya yang bergelombang selalu dicepol atau dikuncir buntut kuda, hanya digerai sehabis keramas. “Itu namanya gue praktis dan ekonomis, Sel!” Bela Raisa. Melissa yang mendengar pembelaan Raisa ikut tertawa. “Lo sebenarnya mau nonton apa sih, Di!” Omel Melissa yang kemudian sadar kelakuan aneh Dio. “Udah, lo belajar, belajar aja...” Dio berkata cuek sambil menunjuk diktat tebal yang ada di tangan Melissa. “Karis kemana sih? Dari pagi nggak keliatan...” Tanya Selphie.
24
Raisa yang duduk tepat di sebelah Melissa menggumam sinis, “Pasti sama ceweknya lah... Jalan-jalan di mal, atau makan di resto bintang lima...” Melissa dan Selphie kontan saling lirik-melirik curiga lalu kompak memandang Raisa, menunggu penjelasan. “Apa?” Raisa merasa tidak nyaman dipandangi. “Lo naksir Karis, ya?” Melissa menuduh usil. “Iya deh, pasti! Dari awal gue udah curiga lo suka banget sama Karis! Tapi sejak lo tau dia punya cewek, lo berkilah sebel sama dia!” Selphie mendukung Melissa. “Wah... menarik nih.” Ari ikutan nimbrung. “Apaan sih?! Gue emang sedikit nggak suka sama dia... Nggak masalah kan?” Raisa membela diri. “Kenapa? Lo nggak bisa kasih alasannya, kan?!” Selphie masih penasaran. “Karena lo suka dia, tapi dia udah punya cewek, jadi lo sebel. Iya, kan?!!” Melissa memojokkan Raisa. Terdengar suara mobil memasuki halaman. “Tuh, orangnya pulang. Panjang umur. Cieh...” Ari menggoda Raisa. “Ssst! Udah, diam semua! Jangan bikin gue tambah sebel sama dia, yah!” Seru Raisa salah tingkah. Melissa dan Selphie masih mendesak Raisa untuk mengaku sampai Karis masuk ke ruang tengah. “Hai, semua...!” Sapanya ramah. “Hari Selasa jangan pada bikin acara yah! Gue mau traktir kalian semua nonton.“ Karis berseru diikuti oleh ‘Horeee!’ dari Ari, Melissa dan Selphie. Sedang Raisa hanya tersenyum simpul saja. “Hari Selasa kayaknya gue mau pergi sama Lea, Ris.” Ucap Raisa. 25
“Hah?” Melissa dan Selphie kaget bersamaan. “Boong banget!” hardik Selphie. “Lea ajak nonton aja, Sa.” Pinta Karis. “Nggak tau deh dia mau apa—” “Pasti mau kok! Ntar gue yang ajak deh, Ris.” Selphie memotong omongan Raisa. “Thanks yah, Sel. Gue ke kamar dulu yah...” Karis pamit dan meninggalkan ruang tengah. “Lo kenapa sih, Sa? Emang lo sukanya serius ya?” Tanya Melissa. “Dibilang gue nggak suka! Gue bener-bener sebel lihat dia!” Raisa berkeras. Melissa berpikir sebentar. “Um... Menurut gue, lo nggak boleh bersikap begitu sama Karis. Dia nggak pernah salah sama lo, dia juga baik kok, ke elo. Yah, gue nggak bisa paksa lo untuk nggak sebel sama dia, tapi gue harap sih lo bisa kasih kesempatan dia untuk berbuat baik ke elo. Jangan jutek gitu... Gue nggak mau ada yang musuhan di kost ini.” Selphie mengangguk-angguk tanda setuju. “Udahlah, Sa... Lo jangan jutek lagi sama Karis. Mending lo bantuin nyusun jadwal gue. Besok gue mau ajukan perubahan jadwal ke Administrasi.” Ari ikut mendukung Melissa. “Iya deh... Gue usahain. Sorry ya...” Raisa bicara pelan. Tentu saja Raisa bisa melakukannya. Semua orang menyukai Karis. Berarti tidak sulit bagi Raisa untuk menyukai cowok ini. Lagipula kenapa aku mesti benci dia sih? Hanya karena dia buangbuang bensin? Nggak masuk akal banget! *** 26
“Ini apaan, Ris?” Melissa menunjuk medali kecil yang tergantung di dalam mobil Karis. “Itu medali pertama yang gue dapat waktu SD. Menang lomba baca puisi kemerdekaan.” Karis menjawab sambil menyalakan mobilnya. “Cieh, lo bisa baca puisi juga, Ris?!” Ari berkomentar. Dan kemudian berbagai macam komentar terdengar dari dalam mobil. Raisa sudah berusaha berhenti sinis pada Karis, tapi entah kenapa, dia memilih untuk sesedikit mungkin berinteraksi dengan Karis. Jadi ia tidak banyak bicara dalam perjalanan menuju Ciwalk malam itu yang sebenarnya sangat ramai dan seru. Bagaimana tidak, delapan orang berbeda kepribadian berkumpul dalam satu mobil dan saling berebut bicara. “Ngomong-ngomong ini premier kita jalan bareng loh!” Seru Melissa ketika turun dari mobil. Diikuti oleh Selphie, Ben, Ari, Joseph dan Dio, Melissa berjalan masuk ke mal. Raisa hendak berjalan bersama mereka sebelum Karis meminta untuk menunggunya memakai jam tangan. “Lo lama amat sih, Ris. Buruan!” Raisa tidak sabar. “Iya... Iya... Sorry, gue tadi lupa pakai jam tangan.” lalu Karis menutup pintu mobilnya. “Yuk.” Karis berjalan santai di sebelah Raisa. “Mau nonton apa nih, Sa?” tanya Karis ramah. “Terserah. Gue ikut aja.” Raisa menjawab singkat. Raisa mempercepat langkahnya sehingga mereka berjalan sejajar dengan Melissa dan yang lain. Mereka ber-delapan tidak perlu lama berdiskusi tentang film apa yang ingin ditonton. Hanya dengan melihat poster, mereka semua setuju akan menonton ‘Constantine’. 27
“Gue mau ke toilet nih. Ada yang mau ikut ga?” tawar Raisa. Melissa dan Selphie menggeleng. Jadilah Raisa pergi sendiri. “Ris, lo ngantri tiket yah. Kita mau ke supermarket dulu beli camilan.” Pinta Melissa. Karis yang sudah berdiri di antrian super panjang itu mengangguk setuju, “Ya udah, tapi ada satu orang yang temenin gue dong. Kan satu orang cuma boleh beli empat tiket.” “Kan nanti Sasa temenin elo.” Selphie tersenyum usil. “Oh, ya udah.” Karis membuka dompetnya dan menyerahkan dua lembar uang seratus ribu pada Melissa. “Habisin aja, Mel. Hari ini kan semua gue yang traktir.” “Wah, asyik banget nih! Lo mau apa, Ris?” tanya Melissa. “Apa aja, kan gue hobby makan. Jangan lupa beli air mineral. “ Mereka ber-enam mengangguk kompak dan pergi meninggalkan Karis. Lima menit kemudian Raisa yang baru keluar dari toilet menghampiri Karis, “Yang laen pada ke mana, Ris?” “Supermarket, beli camilan. Lo mau apa, Sa? Gue sms Melissa nih.” Tawar Karis. “Nggak usah. Gue makan yang ada aja.” Raisa berkata cuek, seperti biasa. Bagus banget! Aku ditinggal berdua sama Karis. Sabar, Raisa, sabar... Mungkin Karis nggak seburuk bayanganmu. “Lo orangnya felksibel banget yah, Sa...” komentar Karis. “Fleksibel? Selphie lebih sering nyebut gue nggak punya pendirian.” Raisa mencoba bercanda. Dan Karis tertawa. “Sa, gue mau nanya sama lo...” Karis berkata lebih serius. “Apa?” “Gue pernah buat salah sama lo yah?” 28
Raisa tersentak. Separah itukah sampai-sampai Karis tahu Raisa membencinya? “Enggak kok. Kenapa?” Raisa balik bertanya. “Nggak apa-apa kok. Berarti perasaan gue aja. Udah, ga usah dipikirin. Sorry ya, kalo gue pernah salah ngomong atau apa...” Mereka berdua terdiam cukup lama. “Karis...” Raisa memecah keheningan. Karis menaikan alisnya, tanda ‘ada apa?’ “Um, nggak jadi deh.” Karis tertawa kecil. “Ngomong aja, Sa. Nggak apa-apa. Lo benci, kan sama gue?” “Hate is a strong word, Ris,” jawab Raisa tanpa menjawab pertanyaan. “Kalau gitu mungkin, lo gak suka gue?” Karis mengulang pertanyaannya sembari menekankan kata-kata gak suka. Raisa menganggukan kepalanya pelan. Karis tersenyum kecut, “Kenapa, Sa?” Kini Raisa menggelengkan kepalanya. Dan Karis memandangnya bingung, menunggu jawaban keluar dari mulut Raisa. Namun cewek itu hanya terus-terusan merapikan rambutnya, yang malahan semakin acak-acakan. Karis mengehela nafas panjang. “Gini aja deh, Ris...” Raisa memandang tajam ke arah Karis, “Lupain yang barusan. Sorry ya, Ris... Kayaknya ada yang nggak beres sama diri gue deh. Lo nggak pernah salah sama gue... Gue cuma nggak gitu suka sama lo. Itu aja kok.” Karis mengerutkan alisnya. “Um... tapi pasti ada alasannya kan, kenapa lo bisa benci gue?” “Itulah. Nggak ada alasannya. Gue sendiri nggak tau.” 29
“Tapi gue nggak bisa terima!” “Hah?” “Gue nggak nyaman kalo ada orang yang benci sama gue.” “Ya ampun, Ris... Kita tuh kenal belum lama. Nggak akan ngaruh, lagi. Anggep aja lo nggak kenal gue. Beres kan...?” “Nggak bisa gitu dong, Sa... Kita teman se-kost, bakal tinggal bareng terus. Gue nggak mau kita musuhan.” “Kita nggak musuhan, emangnya anak kecil. Tenang aja lagi Ris, gue nggak akan bikin lo kesel, ok?” “Kenapa sih, Sa?” “Kenapa apa?” “Kenapa lo benci gue?” Karis menatap Raisa tajam ke dalam matanya, membuat Raisa salah tingkah. Tak terasa mereka berdua sudah sampai di barisan paling depan. Karis mengalihkan pandangannya dan membeli tiket. Raisa masih tidak menjawab sampai mereka berjalan keluar dari barisan. Raisa menyadari perubahan wajah Karis. Ia terlihat sedikit sedih. “Ris... Sorry ya.” Akhirnya salah satu dari mereka membongkar keheningan. “Buat apa...?” Karis tersenyum tipis kepada Raisa. “Gue yang harusnya minta maaf. Pasti gue pernah nyakitin elo. Tapi gue nggak bisa inget, Sa...” “Sumpah deh, Ris! Lo tuh nggak pernah berbuat salah apa-apa sama gue! Kalaupun ada yang salah, itu pasti gue!” Karis memandang Raisa bingung. “Gini deh, Ris... Kalo emang lo merasa nggak nyaman ada yang benci sama lo, gue akan coba untuk nggak benci sama lo, ok?”
30
Karis berpikir sebentar. “Kalo gitu sekarang lo jangan jutek lagi yah sama gue...” “Iya.” “Senyum dong!” Karis tersenyum usil pada Raisa. Membuat Raisa tidak bisa menahan tawanya. Orang jahat macam apa aku ini sampai bisa-bisanya membenci seseorang yang begitu sabar dan baik hati? Saat ini aku merasa malu sekali pada diriku sendiri. Kenapa masih ada bagian dari diriku yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa cowok baik dan tulus seperti Karis itu eksis di dunia?
31
Lima Lea dan Raisa melongo mendengar pengakuan Raisa siang itu, saat mereka makan bersama. Sudah hampir dua minggu sejak pengakuan Raisa di bioskop dan janjinya untuk mencoba menyukai Karis. Tapi kini Raisa malah mencoba menjelaskan kepada kedua teman baiknya kalau ia tidak bisa menepati janjinya. “Sorry. Gue tau lo pasti sebel banget sama gue. Tapi gue nggak bisa muna terus... Makin gue coba kenal Karis, gue makin nggak bisa terima dia. Kayaknya mindset gue memang dia tuh monster berkepala dua yang seram dan jahat banget!” “Iya. Iya. Itu yang dari tadi lo bilang! Yang gue masalahin cuma satu, KENAPA?” Lea tetap tidak bisa mengerti Raisa. “Mungkin...” Raisa berpikir, mencari kata-kata yang tepat untuk menyelesaikan kalimatnya. “Mungkin lo suka dia tapi nggak bisa dapetin dia.” Seru Lea. Raisa melirik jutek ke arah Lea. “Le, diam dulu dong! Biarin Sasa selesain omongannya.” Selphie menengahkan. “Mungkin... gue nggak bisa terima ada orang se-sempurna Karis. Pasti deh dia ada cacatnya! Kalo dia bukan gay, pasti pecinta berat boyband!” Raisa berkata sok yakin. Lea menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju, “Sudah deh, Sa, jangan bercanda. Engga mungkin lo benci seseorang tanpa alasan. Gue berani taruhan, lo sebenernya suka dia, tapi lo malu ngaku sama kita, kan?” “Kalo lo nggak mau ngaku di depan Lea, lo ngaku sama gue aja, Sa...” Bujuk Selphie.
32
Raisa menggaruk-garuk kepalanya, “Haah...” lalu ia menarik nafas. “Terserah lo pada deh, mau ngomong apa. Mending gue cabut ke kantor sekarang. Mau nyerahin ini...” Raisa mengangkat bazookanya. Bazooka adalah tabung yang sering dipakai arsitek untuk menyimpan gambar agar tidak lecek. Raisa menggunakannya untuk menyimpan gambar-gambar yang dibuatnya. Raisa menghabisi lemon tea-nya lalu pamit pada Lea dan Selphie. “Gue yakin seratus persen kalo Raisa suka Karis!” Ucap Lea yakin setelah Raisa pergi. “Ga tau juga yah, Le... Kayaknya dia bener-bener sebel deh sama Karis. Tapi yah... gue juga nggak habis pikir sih. Raisa kan orangnya fleksibel banget, nggak pernah terganggu sama apapun. Nggak pernah juga sensitif atau ngurusin masalah kecil nggak penting. Makanya gue bingung banget, dia bisa sebel sama orang tanpa alasan.” Jelas Selphie. “Tapi akhir-akhir ini dia nggak nunjukin banget ke Karis sih, Le... Dengan kata lain, dia nggak coba untuk cari perhatian sama Karis.” “Gue punya rencana Sel...” Lea tersenyum busuk. “Apaan sih?” Selphie memandangnya bingung. “Gue ceritain dalam perjalanan ke kost lo. Yuk!” Lea bangun dari duduknya. Ia menggandeng Selphie dan bercerita tentang rencananya sepanjang jalan menuju kost Selphie. *** Raisa membuka pintu pagar dan berjalan santai masuk ke kostnya. Sambil tersenyum ia berjalan ke ruang tengah dan membuka lemari es, mengambil yoghurt dan duduk di sebelah Karis yang sedang menonton TV.
33
“Nonton apa, Ris?” tanya Raisa ramah. Karis memandang takjub ke arah Raisa sebentar, nggak percaya bahwa dia baru saja disapa oleh cewek yang biasanya jutek padanya itu. “Nggak nonton apa-apa. Tumben lo ceria?” “Yee... Setiap hari juga ceria, lagi! Tapi hari ini ceria kuadrat. Ganti Spongebob Squarepants aja, Ris...” Karis mengganti channel TV sesuai permintaan Raisa, “Lo suka nonton kartun?” “Lumayan... tapi kalo Spongebob, gue seneng banget. Habis imajinatif dan ceritanya emang lucu.” jelas Raisa. “Ngomong-ngomong, lo kenapa ceria kuadrat?” tanya Karis. Raisa membuka tas-nya dan mengeluarkan dua buah kaos. Yang satu berwarna merah dengan tulisan ‘Burn in hell, terrorists!’ dan yang satu lagi berwarna biru dengan tulisan ‘Politic rocks!’. Karis tertawa kecil. “Kantor gue baru punya printer buat kaos, jadi tadi semua pada nyetak macam-macam. Gue ikutan aja. Lucu, ya?” Karis mengangguk. “Bukan cuma itu, Ris...” Raisa menambahi, “Hari ini, editor gue suka banget sama gambar gue! Dia nawarin gue untuk coba bikin cover special edition! Gimana gue nggak seneng?!” “Wah...! Selamat yah, Raisa!” “Thanks. Gue ke kamar dulu yah, Ris. Ini episode ulangan, gue udah pernah nonton.” Raisa menunjuk TV dan hendak bangun dari sofa sebelum Karis menahannya. “Sebentar deh, Sa. Gue mau ngomong.” Raisa berhenti menyedot yoghurt-nya dan menghadap ke Karis, “Ada apa?” “Gini, Sa... Um...” Karis gugup, lalu ia terdiam. 34
“Karis!” Raisa mendorong pelan bahu Karis. “Jadi ngomong nggak?” “Eh, iya. Jadi.” Lalu Karis terdiam lagi. Raisa menarik nafas bosan. “Raisa... Duh, gimana ngomongnya, yah... Um, kita pacaran yuk, Sa!” Raisa terbengong. Yoghurt-nya hampir jatuh. Ekspresi wajahnya tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Raisa terdiam hampir satu menit, Karis pun tidak berbicara apapun. “Hah?” Akhirnya Raisa bisa bersuara. “Um, ya... Lo mau nggak jadi cewek gue?” “Apa?” “Lo... Mau... Nggak... Jadi... Cewek... Gue?” Karis mengatakannya dengan pelan dan jelas. “Maksudnya?” “Kita pacaran...” “Lo sakit yah, Ris?” Raisa bertanya polos. Karis tertawa kecil, “Engga, gue serius.” Raisa menarik nafas dalam mencoba berkata sehalus mungkin, “Lo tau kan, Ris, gue nggak suka lo…” Sekarang gantian Karis yang terbengong. Ia tidak menyangka Raisa menjawab secepat itu, tanpa berpikir sedikitpun. Dalam sejarah hidupnya, inilah pertama kali ia merasa ditolak. “Sorry yah, Ris...” Raisa berbicara lebih halus dan lebih pelan lagi, seolah-olah jika ia bicara lebih keras sedikit, Karis akan berdarahdarah. Karis terlihat kecewa. Lalu ia menaruh yoghurt Raisa di meja dan menarik pelan tangan Raisa menuju kamar Raisa.
35
Selphie dan Lea sedang mengobrol ketika Karis membuka pintu kamar tiba-tiba. Raisa masih bingung dengan apa yang dilakukan Karis, namun ia tidak mencoba protes dan bertanya. “Gimana?” Pertanyaan Lea mengagetkan Raisa. “Lo berdua udah jadian?” Raisa memandang curiga ke arah Lea, “Ohh! Seharusnya gue tau pasti ada rencana busuk elo dibalik semua ini.” Tuduh raisa ke Lea “Tapi berhasil kan, Sa?” Balas Lea. “Berhasil apanya!” Karis berkata sedikit emosi. Lalu semua terdiam. Ini pertama kalinya Karis marah. “Lo berdua engga—” Omongan Lea dipotong oleh Karis, “Engga! Raisa nolak gue, dan teori lo salah besar!” “Ya ampun...” Lea bergumam menyesal. “Ada apa sih sebenarnya? Gue berhak tau dong!” Seru Raisa. “Tapi lo jangan marah ya, Sa...” Selphie mendekati Raisa. “Semua ada alasannya, kok! Lea dan gue pikir lo selalu bilang benci Karis karena sebenarnya lo suka Karis... Hal kayak gitu kan udah biasa.” “Selphie nggak ikut-ikutan, Sa... Ini semua ide gue.” Tambah Lea. “Terus?” Raisa menunggu kelanjutan. “Terus kita—” Selphie hendak melanjutkan, tapi lagi-lagi Lea memotong kata-katanya, “Bukan kita! Gue! Udah, gue aja yang jelasin, Sel. Sorry, Sa... Gue kesel banget sama lo. Gue pikir lo tuh munafik banget, lo nggak mau ngakuin kalo lo suka Karis. Jadi gue minta Karis untuk nembak elo. Pertama, Karis emang nggak mau, tapi gue paksa terus sampe dia bosen denger ocehan gue. Sorry, yah Sa... Lo kalo mau marah, marah sama gue aja.” “Lo gila yah, Lea?”
36
“Gue minta maaf udah salah mikir tentang elo. Teori gue salah, Sa. Lo bukan cewek munafik seperti yang gue pikir...” Lea berkata pelan. Raisa lalu memandang Karis yang sedang terlihat kesal. “Lo nggak pikir panjang apa, Ris?! Kalo gue sampe nerima elo, gimana?” Karis berpikir sebentar, “Ya, kita pacaran.” “Terus cewek lo?” Karis berpikir lagi, “Gue belum mikir sampe sana. Udahlah... Yang penting sekarang Lea udah tau kalo dia salah, dan kalian berdua nggak saling curiga lagi. Gue juga udah mengerti jelas kalo lo bener-bener benci sama gue.” Karis berkata datar. “Gue ke kamar, ya!” Lalu Karis keluar dari kamar Selphie dan Raisa. Raisa, Lea dan Selphie terdiam cukup lama sampai Lea menghampiri Raisa dan memeluknya, “Gue bener-bener minta maaf, Sa... Lo jangan marah sama gue ya...” “Iya, gue nggak marah kok. Jangan diulang lagi, ya!” Raisa membalas pelukan Lea. “Tapi lo masih harus minta maaf ke Karis!” Lea mengangguk, “Iya, gue tau.” “Lo juga, Sa!” Selphie berseru. “Kalo teori Lea salah, berarti Karis tau kalo lo bener-bener benci sama dia! Apa lo nggak mikirin perasaan dia?” “Udahlah, Sel! Menurut gue, dia nggak seharusnya permasalahin itu! Kalo ada orang yang benci sama dia, ya udah! Nggak usah dipikirin bisa, kan? Lagian kenapa juga sih, lo berharap semua orang suka sama lo. Kalau lo nggak punya musuh, namanya lo nggak punya karakter.” Raisa membela diri. “Sekarang lo pikir aja deh, gimana kalo ada orang yang benci sama lo, apa lo nggak merasa terganggu?” Selphie mendebat Raisa.
37
“Gue sih nggak masalah, selama dia nggak jelek-jelekin gue di depan orang lain. Gue nggak pernah ngajak lo untuk benci sama Karis juga, kan! Ini kan bukan jaman SD!” “Tapi masa sih lo nggak sedih? Kalo ada orang yang benci sama lo, berarti ada sesuatu yang salah sama diri lo, kan?! Lo nggak sakit hati?” “Karis tuh terlalu mellow! Kalo gue sih, biarin aja orang itu rugi nggak kenal gue! Biarin aja dia benci sama gue! Yang rugi kan dia!” “Nggak tau deh, Sa... Gue nggak bisa ngerti jalan pikiran lo.” Selphie kecewa. “Nah, gue nggak ngerti jalan pikiran Karis…” sambung Raisa. “Sssh! Ya udah, jangan ribut lagi.” Kata Lea pelan. “Gue samperin Karis dulu yah...” Lea pamit dan berjalan menuju kamar Karis. Lea mengetuk pelan pintu kamar Karis sesampainya di sana. “Siapa?” “Ini gue, Ris. Lea. Boleh masuk nggak?” Pintu terbuka dan terlihat wajah Karis yang dihiasi dengan senyum khas-nya. “Gue nggak apa-apa kok, Le...” “Tetep aja gue ngerasa nggak enak. Sorry banget yah, Ris.” Karis mengangguk. “Masuk aja.” Ia membiarkan Lea masuk ke kamarnya. “Rapi juga ya, kamar lo...” komentar Lea. “Lagi nggak bikin maket. Kalo lagi bikin maket, lantai nggak akan keliatan deh...” candanya. Lea tertawa kecil dan duduk di kursi belajar Karis. “Ris, lo... um, gimana yah... Lo jangan marah sama Sasa yah... Dia emang begitu. Dia selalu ngomong apa yang dia rasain, nggak
38
pernah disimpan di hati. Jadi kesannya dia nggak mikirin perasaan orang lain. Padahal sebenarnya dia baik.” “Gue tau. Sebenarnya tadi sebelum gue nembak dia, kita sempet ngobrol asyik. Itu pertama kalinya Raisa ngajak ngomong gue duluan. Dia cerita ke gue tentang hari dia di kantor, tanpa gue tanya duluan dan rasanya menyenangkan ngobrol sama dia, jadi inget pertama kali gue kenal dia...” Karis berkata datar. “Gue cuma bingung kenapa dia benci sama gue, Le. Rasanya tadi sakit banget saat tau kalo teori lo salah. Gue nggak berharap Raisa jatuh cinta sama gue, tapi gue juga nggak berharap dia benci gue. Kayaknya gue nggak pernah buat salah sama dia... Waktu pertama kali gue ketemu dia, gue pikir kita bisa berteman baik. Waktu itu Raisa benar-benar menyenangkan.” “Gue juga nggak ngerti kenapa dia bisa benci sama lo. Dia juga nggak mau benci sama lo lagi, Ris... Dia sendiri nggak tau kenapa.” Karis memandang Lea bingung, tidak mengerti. “Lo kasih dia waktu aja deh, Ris. Mungkin kalo dia udah kenal sama lo, dia bisa suka sama lo. Tadi aja dia udah mulai bisa ngobrol sama lo, kan?” Karis mengangguk pasti, “Iya, gue pikir juga begitu.” “Ya udah, gue balik ke kamar Sasa dulu yah...” pamit Lea. “Sekali lagi sorry yah, Ris.” “No hurts feeling kok.” Karis tersenyum. Lea kembali ke kamar Raisa dan Selphie. Mereka berdua sudah tertawa-tawa lagi, tanda semua sudah baik-baik saja. “Bagus deh, lo berdua udah baikan. Gue kan nggak enak kalo lo berdua sampe ribut karena gue...” “Lo kayak nggak tau Raisa aja, Le... Dia mana bisa marah sama gue sih, dia kan sayang gue.” canda Selphie. Raisa hanya tertawa. 39
“Ya udah, gue pulang dulu yah! Gue belom mandi nih, nanti kalo kemalaman airnya dingin.” Lea lalu pamit pulang. *** Malamnya, Selphie tidak bisa tidur. Walaupun saat itu jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, dan lampu sudah dimatikan setengah jam yang lalu. “Sa... Lo udah tidur yah?” Selphie bersuara. Tidak ada jawaban. “Sasa...!” Selphie memanggil dengan suara lebih kencang. Masih tidak ada jawaban. Lalu Selphie melemparkan boneka sapi-nya ke ranjang Raisa, dan mengenai Raisa tepat di kepalanya. “Aduh...” Raisa mengerang. “Sasa... Bangun dong! Gue nggak bisa tidur nih!” Selphie terus mengoceh. “Apaan sih...” Raisa menarik selimut hingga menutupi kepalanya. “Besok gue kuliah pagi nih, Sel!” “Sasa...” Rengek Selphie. “Katanya lo teman baik gue... Gue lagi bingung nih...” Raisa menurunkan selimutnya, “Ya udah. Gue temenin lo ngobrol sampe tidur. Bingung kenapa?” “Kok tadi lo nolak Karis sih?” “Ya ampun, gue pikir topik itu udah basi. Nanya begitu sekali lagi, dapat piring cantik.” Canda Raisa. “Berarti lo bener-bener benci dia dong?” “Jangan digituin terus, Sel. Gue lagi nyoba untuk berteman sama dia. Kalo terus-terusan di-sugesti-in gue benci dia, nanti gue malah benci lagi nih sama dia...” 40
“Ya udah, lo coba yah... untuk berteman sama dia.” “Iya... Iya... Emang kenapa sih, Sel?” “Yah... Nggak enak aja kalo lo musuhan sama Karis. Menurut gue jalan bareng dia tuh asyik! Dia lucu, baik, dan thoughtful banget! Kayak waktu itu gue lagi makan baso di ruang tengah, terus gue makan pangsit goreng nya pakai tangan. Tangan gue jadi berminyak semua, tiba-tiba dia masuk ke kamarnya dan balik lagi bawain gue tissue basah! Sweet banget, ya! ” Raisa tidak me-respon. “Sasa? Lo jangan tidur dong!” “Aduh... Lo tuh emang rese ya!” Protes Raisa lagi. “Sa, gimana kalo Karis beneran suka sama lo?” “Ya udah. Biarin aja...” “Kalo lo yang suka sama Karis?” “Pacaran lah... Kan dianya juga suka.” “Yee... Pengandaian-nya nggak nyambung, Sa! Kalo dianya nggak suka?” “Ya cari cowok lain...” “Lo tuh bener-bener fleksibel abis yah, Sa! Nggak semua hal itu semudah ngomong, lagi, Sa...” “Kalo bisa gampang kenapa harus dibuat susah sih, Sel?” “Lo nggak pernah jatuh cinta ya, Sa?” “Lo kenapa sih, Sel? Ngomongin cinta, ngomongin Karis... Lo naksir Karis yah?!” Selphie terdiam. Raisa langsung terduduk dan memandang Selphie. “Beneran lo naksir Karis, Sel?” “Apaan sih? Sembarangan lo!” 41
Raisa berbaring lagi dan menarik selimutnya. “Ya udah... Gue nggak akan maksa-maksa lo buat ngaku. Tapi lo tau kan, gue selalu siap untuk dengerin kalo lo mau cerita...” “Thanks yah, Sasa... Met malam...” “Akhirnya... gue bisa tidur.” “Sialan lo! Nggak jadi met malam deh!” “Nggak bisa! Met malam, Selphie...” “Nggak mau! Gue masih mau ngobrol!” Raisa hanya pura-pura tidur dan membuat suara mengorok yang keras sekali. Selphie mendengus kesal, “Rese lo, Sa!”
42
Enam Melissa, Selphie dan Raisa sedang bersiap-siap di ruang tengah, mengecek kembali daftar belanjaan yang harus dibeli mereka siang ini. Mereka bertiga mengajukan diri untuk menjadi panitia party kecil-kecilan dalam rangka Valentine senin nanti. Karena hari ini tanggal merah, mereka tidak perlu repot menyesuaikan jadwal. “Lo jadinya gimana, Ben?” Melissa meminta keputusan Ben. “Ikut nggak?” “Nggak tau nih. 80% nggak ikut, Mel. Kalo besok gue jadian sama Lenni, pasti pas Valentine gue berdua sama dia...” Jawab Ben. “Lo belum jadian sama Lenni? Gue pikir udah.” Selphie menanggapi hubungan Ben dengan Lenni yang merupakan teman sejurusan Selphie dan Raisa. “It’s complicated deh.” Jawab Ben singkat. “Jadi, nggak ikut nih?” tanya Raisa. Ben menggeleng yakin. “Karis gimana?” tanya Raisa ke Selphie. “Dia ikut kok. Tadi dia nitip duitnya nih, Mel...” Selphie menyerahkan selembar uang dua puluh ribu kepada Melissa yang berperan sebagai bendahara. “Tapi nggak bisa sampai malam, biasa... candle light dinner sama ceweknya.” “Ok. Jadi yang ikut...” Raisa membaca nama-nama yang ada di kertasnya, “Raisa, Selphie, Melissa, Dio, Joseph, Ari, dan Karis.” “Yup. Semua kecuali lo, Ben! Nggak asyik lo!” ucap Melissa. “Gue aja lebih pilih Valentine bareng di kost-an daripada sama Radith...” “Ya iyalah... Elo udah 4 tahun pacaran sama Radith! Gue kan baru kali ini akan ngerasain Valentine berdua sama Lenni.” Ben membela diri. 43
“Ya udah... Ayo jalan! Nanti keburu sore!” Ajak Selphie. Jadilah mereka bertiga pergi belanja makanan untuk party kecilkecilan mereka senin nanti. Masih lima hari lagi, jadi mereka punya banyak waktu untuk mempersiapkannya. *** Keesokan harinya, Ben pulang dari kampus dengan wajah lesu, ia tidak ingin bercerita jelas kenapa, tetapi tampaknya hal yang ia rencanakan dengan Lenni tidak berjalan dengan mulus, jadi kostan akan mengadakan party dengan formasi lengkap. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggupun datang. Sejak pukul 5 sore, semua sudah berkumpul di ruang tengah. Berbagai macam camilan dari yang sehat seperti blueberry dan potongan apel sampai yang sangat tidak sehat seperti keripik kentang sudah tersaji di meja. Melissa lalu mulai berbicara, “Guys, karena hari ini Valentine, masing-masing harus cerita tentang cerita cintanya yah... Ok?!” Terdengar suara keluhan dari Dio. “Yah... gue nggak pernah pacaran, Mel!” “Abis yang lo pikirin main aja sih!” Hardik Joseph. Dio memang gamer sejati. Sifatnya yang seperti anak kecil mendukung hobbynya itu. “Dimulai dari... Gue dulu yah. Seperti biasa.” Kata Melissa percaya diri. Terdengar koor suara “Booo...!!!” “Udah deh, jangan protes! Udah jelas kan... The love of my life adalah Radith. Kita udah jalan 4 tahun. Dan moga-moga kalo
44
skripsi gue beres tahun ini, gue mau nikah aja dan jadi istri bos!” ujar Melissa cuek diikuti dengan tawa anak-anak. “Ya gitu deh... Gue juga udah bosen ceritanya. Ayo, lo pada cerita dong! Kita maen tunjuk-tunjukan aja yah... Gue tunjuk Karis deh! Kan dia nggak bisa sampe malem.” Ujar Melissa lagi. “Hah? Cerita apa?” Karis bingung. “Yah cerita tentang cinta lah... Masa cerita hantu!” kata Melissa lagi. “Eh, seru juga tuh! Kita cerita hantu aja!” usul Ari yang diikuti oleh pelototan Melissa. “Um... Gue cerita tentang cewek gue aja yah. Namanya Yolla, dia arsitek juga, satu angkatan dibawah gue. Gue bisa kenal dia karena dikenalin sama teman gue. Dari pertama ngobrol, gue udah suka dia. Dia bisa ngebawa diri, orangnya baik dan nggak sombong. Ya udah, sejak itu gue PDKT. Terus jadian deh... Standar banget lah!” cerita Karis. “Udah berapa lama pacaran, Ris?” tanya Selphie. “Setahun kurang sebulan.” Jawab Karis singkat. “Lo ceritain rencana lo malam ini dong!” pinta Joseph. “Yah, gitu... Standar juga sih. Cuma makan malam biasa kok, nanti gue ajak dia ke The Valley. Tapi tiap minggu kita selalu pergi makan malam berdua kok, jadi kayaknya malam ini juga biasa banget. Cuma bedanya, gue siapin kado buat dia.” “Oh ya? Apa?” Melissa ingin tahu. “Kalung. Liontin-nya gambar lumba-lumba, soalnya dia suka lumba-lumba.” Jawab Karis. “Udah ah! Gantian dong!” “Ya udah, lo pilih!” seru Melissa semangat.
45
“Raisa.” Karis menjawab cepat. Raisa menarik nafas bosan, “Yah... gue nggak ada cerita apa-apa...” keluhnya. “Ceritain orang yang pernah lo sayang, atau lo sekarang lagi naksir siapa?” ujar Selphie. “Mantan lo juga boleh...” ledek Ari. “Um...” Raisa terlihat bingung. “Gue cuma pernah pacaran sekali. Dari gue kelas 2 SMU sampe Desember kemaren...” “Hah? Lama dong!” komentar Joseph. “Lumayan... Dua tahun. Tapi sebenarnya kita jadian bukan karena saling suka. Kita udah berteman sejak SD, dan sampe SMU kita berdua belum pernah jadian, jadi kita coba jadian deh!” cerita Raisa. Yang lain terbengong. “Hah? Serius lo?” Selphie tak percaya. “Kok lo nggak pernah cerita sih?” “Menurut gue nggak penting. Selama dua tahun, kita juga nggak pernah ngapa-ngapain. Yah, kayak status aja. Perjanjiannya sih, kalo suatu hari kita nemuin orang yang kita suka, kita bisa putus. Dan ternyata Daniel nemuin duluan. Makanya, akhirnya Desember kemarin kita putus. Long distance itu cuma alasan aja.” Raisa bercerita datar. “Lo nggak jatuh cinta sama dia selama dua tahun itu, Sa? Maksud gue, lo pacaran kan? Saling merhatiin, gitu?” tanya Melissa. “Waktu masih sekolah sih paling pergi nonton, terus jalan-jalan, biasalah. Waktu gue udah di Bandung, dia lebih perhatian, sering nelpon dan nanya macam-macam. Jadi gue sempet mikir akan terus sama Daniel. Tapi ternyata waktu gue balik ke Lampung liburan kemaren, dia cerita kalo dia udah pacaran lagi sama cewek lain. Ya udah...” Raisa melanjutkan, dengan ekspresi datar. “Hah? Kurang ajar amat! Selingkuh dong namanya!” Protes Ben.
46
“Nggak bisa dituduh selingkuh juga sih, Ben… Dari awal itu emang udah pacaran kontrak.” Raisa lalu tertawa kecil. “Sekarang gue yang tunjuk elo, Ben! Cerita tentang Lenni dong!” pinta Raisa. Ben terdiam sebentar, “Sebenarnya gue udah nggak mau ngebahas tentang Lenni lagi. Karena gue dan Lenni udah bikin keputusan, tapi intinya aja deh, ya?” Semua mengangguk tanda setuju. “Gue udah perhatiin Lenni sejak lama...” Ben mulai bercerita. “Kita dulu satu SMU, dan gue sering godain dia. Belum suka sih, tapi seneng aja berada di dekat dia. Sejak kuliah, gue jadi deket sama dia dan pastinya gue sayang dia. Tapi dia percaya kalo kita berdua nggak jodoh. Pokoknya aneh banget rasanya, tapi gue ngerti dan memang logical. Timing nya nggak pernah tepat antara gue dan dia deh, pokoknya!” “Ya ampun, Ben! Kalo emang lo suka dia, lo samperin aja sekarang dan bilang lo suka dia! Jodoh itu kan kita yang tentuin!” kata Melissa berapi-api. Ben tidak mengacuhkan komentar Melissa, “udah ya, jangan dibahas lagi...” Semua kompak meng-iya-kan. “Udah jam setengah 7 nih, gue harus jemput Yolla. Gue pergi yah...” Karis berpamitan. “Have fun yah, Ris...” ucap Melissa. Lalu Karis pergi diiringi oleh salam dari semua. “Ayo, lanjut... Gue pilih Ari!” seru Ben. “Sebelum gue cerita, gue mau kalian janji... Setelah dengar cerita ini, gue mau kalian terima cerita gue dengan pikiran terbuka, ok? Gue udah pernah cerita ke Selphie, Raisa dan Joseph. Dan gue mau hari ini lo semua juga tau. Ok?” pinta Ari. Melissa, Dio dan Ben mengangguk tanda setuju. “Saat ini gue jalan sama seseorang, udah dua setengah tahun.” Ari memulai ceritanya. 47
“Wah, lama juga... Sudah serius dong, nih!” celetuk Dio. “Yap! Hubungannya lumayan serius.” “Jangan sampai lu duluan nikah daripada gue yah, Ri!” Canda Melissa. “Tapi gue nggak akan nikah sama dia...” ujar Ari lesu. “Kenapa? Jangan bilang lo pacaran sama orang yang udah punya suami!” seru Melissa. “Bukan!” hardik Ari. “Masalahnya, dia itu... sejenis sama gue...” Ben, Melissa dan Dio terkesiap. Keripik Melissa sampai jatuh ke lantai. “Bohong!” tiba-tiba Dio tertawa, “Lo mau ngerjain kita kan?” “Serius, Di!” hardik Selphie. “Dengerin Ari dulu dong! Jangan dipotong kalo mau denger dia cerita...” “Dia di San Francisco. Gue baru 6 bulan long distance sama dia. Dan rasanya berat banget... Gue tau dia sayang gue, dan gue percaya sama dia. Masalahnya cuma satu, kadang gue kangen banget sama dia. Kangen sampe rasanya mau mati aja... Yah gitu deh... kalo gue lagi kangen, gue suka cerita sama Selphie, Raisa atau Joseph. Dan sekarang lo semua udah pada tau. Gue mohon supportnya. Gue percaya lo semua bukan orang-orang berpikiran sempit.” “Tenang aja, Ri... Lo bisa cerita sama gue juga kok...” Hibur Melissa. “Iya, gue nggak masalah kok.” Ben setuju dengan Melissa. “Jujur, Ri... Gue kaget banget! Tapi ya udah, so you’re gay? So what?” tambah Dio cuek. “Bagus deh... Udah, jangan ceritain Nicolas terus, nanti gue kangen lagi! Oh iya, namanya Nicolas. Ok, sekarang giliran Selphie!” seru Ari. 48
“Duh, cerita gue standar banget!” kata Selphie. “Gue pacaran dua kali. Sekali waktu SMP, cuma sebulan, cinta monyet gitu deh! Terus yang satu lagi waktu kelas 3 SMU. Itu juga nggak lama, cuma 3 bulan. Nggak ada yang spesial banget. Paling waktu SMU gue naksir satu orang cowok, senior gue, namanya Leo. Tapi dia lulus waktu gue naik kelas 3, pupus deh... Terus gue banyak banget ngecengin cowok, tapi yah, cuma suka-suka gitu aja.” cerita Selphie. “Nggak ada yang spesial! Udah, Joseph aja!” “Gue? Um... Lo semua udah pada tau kan!” seru Joseph. “Gue belom tau!” kata Raisa. “Oh iya, Sasa belum tau. Cewek gue di Jakarta, gue udah pacaran dari kelas satu SMU, terus gue kuliah di Bandung, jadinya long distance deh.” “Itu nggak long distance yah!” sela Ari berapi-api. Yang lain hanya tertawa. “Iya iya, middle distance deh! Tapi gue bersyukur banget sampe sekarang gue masih awet sama dia. Makanya gue sering banget pulang ke Jakarta. Habis kangen sih!” lanjut Joseph. “Sekarang elo, Di!” Dio tiba-tiba tertawa, “Sumpah, gue belom pernah naksir cewek! Gue juga bingung!” Lalu semuanya ikut tertawa mendengar banyolan Dio. Dio memang aneh, kerjaannya hanya main game atau bercanda, nggak pernah mikirin pacaran. Malam itu, mereka bertujuh bercerita banyak tentang diri masingmasing, membuat Raisa lega akan keputusannya untuk pindah ke kost itu. Ternyata tinggal satu atap dengan Karis tidak selalu menyebalkan, lagipula akhir-akhir ini Raisa sudah mulai melunak dengan Karis. Semenjak peristiwa waktu itu, Raisa merasa bersalah karena berkata frontal bahwa ia membenci Karis.
49
Tujuh Raisa sedang menyalin catatan Selphie sore itu untuk kuis ‘perekonomian Indonesia’ besok ketika Selphie dan Karis tiba-tiba masuk ke kamar dan berteriak kompak, “Selamat Hari Kebalikan, Raisa!!!” Catatan Raisa tercoret oleh pulpen yang dipegangnya karena kaget. “Selamat Hari apa?!” Raisa bingung. “Hari Kebalikan! Tadi Karis nonton Spongebob, episode waktu Spongebob ngerayain Hari Kebalikan...” Jelas Selphie. “Ooh... Iya yang itu lucu banget.” kata Raisa. “Tapi darimana lo tau kalo hari ini Hari Kebalikan?” “Ngarang aja...” jawab Selphie. “Dan karena hari ini hari Kebalikan, kita harus menghabiskan waktu dengan orang yang kita benci. Jadi, gue mau ngajak lo ngedate.” Ajak Karis. Raisa bengong dan berhenti menulis. Ia memandang Selphie, dan Selphie mengangguk-angguk antusias tanda setuju. “Nge-date? Lo sama gue?” Raisa masih kaget. “Aneh banget sih lo, Ris!” “Iya.” Jawab Karis. “Hari Kebalikan, Raisa... Lo harus menghabiskan waktu sama orang yang lo benci.” “Kalo gitu gue harus menghabiskan waktu sama Amrozi dong!” komentar Raisa cuek. Karis melongo. Selphie menghampiri Raisa dan menutup catatan Raisa, “Aduh... yang ada di kepala lo cuma politik ya? Ini nih efek sampingnya kalo kerja di majalah politik... Udah deh, Sa. Lo ngedate sama Karis aja... Lo kan janji sama gue mau mulai kasih kesempatan buat lebih kenal Karis.” 50
“Tapi hari ini gue mesti nyalin catatan lo. Banyak banget, Sel...” “Udah, nanti gue yang catatin.” Kata Selphie. “Thanks yah, Sel.” Karis berterima kasih. “Lo siap-siap sekarang yah, Sa. Jam 6 kita berangkat.” “Emang kita mau kemana? Gue mesti pakai baju apa?” tanya Raisa. “Valley. Kita candle light dinner ala Karis.” Jawab Karis. “Ah, nggak mau! Gue nggak suka fancy date. Buang-buang duit dan bikin gue nggak nyaman. Kalo lo mau, hari ini nge-date ala Raisa, gimana?” tawar Raisa. Karis berpikir sebentar, “Tapi... gue udah booking—” “Iya atau enggak sama sekali!” Karis menarik nafas, “Ya udah deh... mau kemana?” “Ke Ciwalk. Sekarang!” “Ya udah, gue ambil kunci mobil dulu...” “Nggak usah! Karena ini nge-date ala Raisa, kita naik angkot!” Ujar Raisa. Karis pun setuju dan kembali ke kamarnya untuk berganti baju. Raisa membuka lemari pakaiannya dan mengenakan kaos barunya yang bertuliskan, ‘Burn in hell, terrorists!’ Tidak sampai setengah jam, mereka berdua sudah berada di Ciwalk, salah satu mal di Bandung yang berjarak paling dekat dari kost mereka. Raisa mengajak Karis untuk main di Timezone. Hampir seluruh mainan dicoba oleh mereka berdua, kecuali mainan-mainan untuk anak kecil tentunya. Waktu paling banyak dihabiskan untuk bermain basket, sampai-sampai kaos Karis dan Raisa basah oleh keringat. Usaha mereka pun tidak sia-sia karena mereka dapat 50 tiket lebih hanya dengan bermain basket. Mereka juga bermain
51
balap mobil, motor, tembak-tembakan dan menyia-nyiakan 10 koin untuk mengambil boneka, dan tidak dapat sama sekali. Jam menunjukkan pukul 7, Raisa menukarkan tiket yang diperolehnya dengan dua buah gelang rajutan dan satu cup es krim. “Mau warna apa?” Raisa menunjukkan dua buah gelang rajutan berwarna biru dan merah. “Lo mau warna apa?” Karis balik bertanya. “Gue sih terserah.” “Typical Raisa...” gumam Karis. “Gue mohon kali ini aja, lo bikin keputusan sendiri. Ini cuma hal kecil, Sa. Cuma pilih gelang, gampang banget kan...” “Tapi gue emang nggak masalah warna apa aja, Ris...” “Tapi gue mau kali ini lo jangan terserah.” “Lo pilih duluan aja, Ris! Buruan, es-nya meleleh nih!” “Biarin aja. Gue nggak mau milih kalo nggak lo duluan.” “Ya ampun... Ya udah, gue yang merah.” Raisa menyerahkan gelang yang berwarna biru kepada Karis, dan Karis langsung mengenakannya. Raisa membuka es krim dan memberikan Karis sebuah sendok kecil. “Nih, tadi gue minta dua sendoknya.” Mereka lalu duduk di sebuah kursi panjang berbentuk hot-dog di dalam Timezone dan memakan es krim itu. “Gimana rasanya makan es krim yang lo perjuangin sendiri?” tanya Raisa. Karis memandangnya bingung. “Maksudnya?” “Lo harus ngumpulin tiket, main basket sampe keringatan hanya untuk dapetin satu cup kecil es krim... Rasanya beda dengan lo beli es krim langsung kan? Beberapa orang harus berjuang untuk dapetin apa yang diinginkan, Ris... Nggak seperti elo.”
52
“Maksud lo, gue selalu dapetin apa yang gue mau, gitu?” Raisa mengangguk tanpa melihat ke arah Karis. “Emangnya salah kalo gue selalu dapetin apa yang gue mau yah, Sa? Kalo emang gue mau dan gue bisa dapetin, kenapa enggak? Selama gue nggak ngerugiin orang lain, nggak masalah, kan?” “Gue nggak bilang itu salah kok. Gue hanya nunjukin lo sisi lain dari kehidupan... Es krim yang lo makan ini pasti rasanya beda kan?” “Semua es krim rasanya pasti beda, Sa... Menurut gue, semua benda yang ada di dunia ini nggak ada yang sama. Semuanya spesial... Sama halnya dengan manusia. Semua orang harus bersyukur dengan apa yang dia punya.” “Lo bisa ngomong begitu karena lo Karis. Karis yang punya semuanya...” “Menurut lo gue begitu...?” “Hah?” “Gue pikir cuma elo yang nggak mandang gue sebagai Karis yang punya semuanya... Gue pikir lo mandang gue beda.” “Maksudnya?” “Lo orang pertama yang benci sama gue, Raisa!” Lalu Karis tersenyum. “Menurut gue, lo lucu banget...” “Dasar makhluk aneh!” Raisa bisa merasakan wajahnya memerah. “Thanks yah, Sa...” “Buat apa?” “Thanks karena lo udah ngajak gue ke Timezone dan nunjukin gue sisi lain kehidupan... Ternyata seru banget main di Timezone, selama ini gue pikir cuma anak kecil yang bisa nikmatin permainan kayak begini...” 53
“Emangnya lo nggak pernah ke Timezone?” “Pernah sih... sekali. Itu juga cuma nonton aja, nggak main.” “Ya ampun... ternyata lo menyedihkan yah!” ejek Raisa. Karis menjitak kepala Raisa pelan. “Gue sih sering banget main ke Timezone. Dulu gue sampe punya kartu VIP loh! Waktu pertama kali gue dapet gaji, gue menghabiskan 400 ribu di Timezone!” “Hah? Ngapain aja?!” “Gue ngajak anak-anak kecil yang kurang mampu di deket rumah gue... Terus kita main di Timezone rame-rame. Seru banget!” Raisa bercerita antusias. Karis memandang Raisa yang bercerita dengan mimik excited-nya. “Perasaan yang didapetin saat melihat mereka bermain begitu senangnya nggak setimpal dengan 400 ribu. Mungkin buat lo duit segitu bukan apa-apa, tapi buat beberapa orang, bisa membuat mereka bahagia.” “Mulai lagi deh...” “Iya. Iya. Kita nonton yuk, Ris!” ajak Raisa. Karis mengangguk dan berjalan beriringan dengan Raisa ke bioskop. Setelah mereka membeli dua tiket untuk film ‘If Only’, Karis mengajak Raisa ke studio foto. “Masih ada 15 menit, masih sempat fotobox kan?” kata Karis. “Kok elo—” “Bisa tau? Selphie yang kasih tau gue. Kata dia, lo suka banget fotobox. Dan karena hari ini adalah Hari Kebalikan, lo harus fotobox dengan orang yang lo benci...” ujar Karis. Raisa tertawa kecil, “Udah deh, masih aja pake alasan Hari Kebalikan... Emang gue Squidward, bisa di-bego-bego-in...”
54
Tidak butuh waktu lama untuk memilih frame foto karena ternyata Raisa sudah terbiasa menghadapi fotobox, sedang Karis membiarkan Raisa mengontrol semuanya. Dari empat foto yang ada, Karis berfoto dengan ekspresi yang sama. Tersenyum kaku. Membuat kesal Raisa yang berfoto dengan penuh ekspresi. “Jangan bilang kalo ini juga pertama kalinya lo fotobox!” keluh Raisa ketika hasil foto itu keluar dari mesin. Karis tidak menjawabnya, hanya meringis memandang foto itu. “Kenapa gue jelek banget yah, disini?” “Ris! Ini pertama kalinya lo fotobox juga?” tanya Raisa lagi. “Iya...” Karis merasa bersalah. “Padahal lo udah lucu banget yah, Sa...” “Dasar cowok aneh! Ternyata setelah kenal sama lo, lo nggak perfect-perfect amat...” Raisa ngakak. “Emangnya lo pikir gue perfect? Wah... makasih banget Sa!” “Udah deh, nggak usah besar kepala! Pasti lo juga udah sering denger pujian kayak gitu kan? Pokoknya lain kali lo harus berekspresi kayak gue juga, ya! Nanti gue ajarin deh...” “Lain kali?” Karis tersenyum usil ke arah Raisa. “Iya, kalo ada Hari Kebalikan lagi!” Raisa merengut sebal. “Ke bioskop yuk! Nanti keburu mulai...” “Masih ada lima menit. Gue mau ke Timezone sebentar...” Karis menarik Raisa masuk ke Timezone yang memang berada di sebelah studio foto. “Mau ngapain lagi? Tinggal lima menit...” Karis tidak menghiraukan Raisa. Ia membeli satu buah koin dan mengajak Raisa menuju mesin pancapit boneka.
55
“Ya ampun, Ris... kita udah ngabisin 10 koin dan nggak dapetdapet!” omel Raisa. “Tadi gue nggak konsen... soalnya gue pikir, kalo lo mau boneka, lo bisa beli. Tapi setelah lo bilang bahwa benda yang didapetin dengan perjuangan akan terasa lebih nikmat, gue akan berjuang untuk dapetin boneka.” Karis berkata yakin. Raisa tidak berkata apa-apa. Ada perasaan aneh yang menjalari hatinya ketika melihat wajah Karis yang serius sekali. Karis yang punya segala-galanya ini sampai mengeluarkan urat dahinya karena terlalu serius. “Yes!!!!” Karis berteriak ketika sebuah boneka kelinci berhasil masuk ke dalam capitnya. “Dapat, Raisa!!! Dapat!!!” saking senangnya Karis melompat-lompat dan memeluk Raisa sekejap. Lalu ia mengambil boneka kelinci itu yang sudah keluar dari mesin. “Ini pertama kalinya gue ngedapetin sesuatu pake perjuangan!” pekik karis senang. Raisa ikut tersenyum lebar melihat reaksi Karis yang seperti anak kecil pertama kali melihat Nintendo. “Selamat yah, Ris! Gue seneng ngeliat lo kayak gini...” Karis membalas senyum Raisa, “Thanks yah, Raisa... Lo yang ngajarin gue kalo hal yang diperjuangin terasa lebih nikmat.” Karis memberikan boneka kelinci itu untuk Raisa. “Buat lo, Raisa...” Raisa tidak mengerti kenapa tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia memandang Karis dan bisa melihat ketulusan dalam matanya. Entah kenapa tiba-tiba Karis mempunyai arti yang lain untuk Raisa. Karis bukan lagi cowok punya segala-galanya yang membuang-buang bensin se-enaknya dengan uang orang tuanya. Karis lebih dari itu... “Thanks yah, Ris.” 56
Karis dan Raisa lalu segera ke bioskop. Satu setengah jam kemudian, setelah bubar dari bioskop, mereka memutuskan untuk makan. “Mau makan dimana Sa? Sekarang udah jam 10, food court udah tutup...” kata Karis. “Pulang aja yuk! Nanti kita makan nasi rawon di dekat kost. Enak banget loh! Pasti lo belum pernah coba.” Usul Raisa. “Emang masih buka jam segini?” tanya Karis. “Masih kok! Dia buka sampe pagi...” Karis setuju, mereka pun berjalan keluar dari Ciwalk. “Raisa, jam segini emang angkot masih ada?” “Nggak ada.” Jawab Raisa cuek. “Terus kita pulangnya gimana?” Karis agak panik. “Jalan kaki lah...” “APA?” Karis kaget. Raisa tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Karis. “Bercanda lah, Ris... Lo nggak tau ada yang namanya taksi yah?” Raisa tersenyum mengejek ke arah Karis. “Oh, iya... Kok gue bisa lupa yah...” Karis bergumam polos. Raisa berhenti ketika mereka sampai di pinggir jalan Cihampelas. Melihat Raisa yang agak bingung, Karis bertanya, “Lo nggak bisa menyeberang yah, Sa?” “Hah? Enak aja nggak bisa! Bisa kok!” sangkal Raisa. Tiba-tiba Karis menggandeng tangan Raisa. Raisa tidak berkata apa-apa dan tidak bertindak apa-apa. Wajahnya tertunduk malu. Lalu Karis menariknya pelan menyeberangi jalan. Sesampainya di seberang, Karis melepas genggaman tangannya. Raisa masih tidak berkata apa-apa.
57
“Kalo tau begitu, lo jangan pernah pulang malam-malam sendirian...” kata Karis. “Emang nggak pernah kok...” jawab Raisa, masih dengan wajahnya yang memanas. Sebuah taksi lewat dan mereka segera masuk ke dalamnya. Di dalam taksi Raisa tidak banyak bicara karena Karis terus-terusan ber-sms. Dia hanya memandangi boneka kelinci yang ada di pangkuannya. Dua puluh menit kemudian, mereka sudah masuk ke Jalan Bukit Jarian yang berada di sebelah Universitas. “Berhenti di sini saja, Mas!” pinta Raisa. Taksipun berhenti di depan sebuah tenda kaki lima. Karis langsung memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada supir taksi ketika Raisa mengeluarkan dompet. “Yah... kok lo lagi yang bayar sih, Ris...” keluh Raisa. “Udah, jangan banyak ngomong! Yang ngajak nge-date kan gue. Ayo buruan, gue laper nih.” Karis lalu turun dari mobil, diikuti oleh Raisa. “Tapi kalo makan, gue yang bayar yah! Kalo enggak, kita pulang aja deh, biarin gue mati kelaparan!” ancam Raisa. Karis hanya tertawa kecil, “Iya deh...” Mereka kemudian memesan dan duduk saling berhadapan. “Belum pernah makan di kaki lima yah, Ris?” tanya Raisa. “Kata siapa? Semenjak gue tinggal di Bandung, gue sering banget makan di kaki lima. Lo belum pernah makan es alpukat kelapa negro kan?” “Apaan tuh?” “Di deket Istana Plasa, ada gang kecil... Kalo malam banyak banget yang jualan di situ. Nasi gorengnya juga enak! Dulu gue 58
sering makan bareng temen-temen gue. Nanti deh kapan-kapan gue ajak.” Kata Karis. “Oh... gue pikir lo cuma makan di restoran se-tingkat Valley doang...” sindir Raisa. “Mulai lagi... Lo pernah ada masalah sama orang kaya yah, Sa? Kok kayaknya sinis amat. Jangan-jangan lo benci gue karena itu?” Karis memandang Raisa curiga. “Enak aja! Gue nggak se-dangkal itu! Pertama kali gue liat lo di depan kampus, gue udah terlanjur nge-doktrin diri gue kalo lo itu anak orang kaya nggak punya otak yang kerjaannya cuma buangbuang duit orang tuanya aja.” “Parah amat! Kenapa lo bisa mikir kayak gitu?” “Udahlah, nggak usah dibahas lagi...” “Tapi sekarang penilaian lo tentang gue udah berubah kan?” tanya Karis. Belum sempat Raisa menjawabnya, pesanan mereka sudah datang. Mereka langsung melahapnya karena hanya makan es krim sejak siang tadi. “Enak nggak, Ris?” tanya Raisa. “Enak! Kok gue nggak tau yah, ada nasi rawon enak di dekat kost kita...” “Lo keseringan makan di restoran sih...” canda Raisa. Karis tertawa, ia tahu kini Raisa hanya bercanda. “Raisa, gue mau nanya serius deh sama lo...” Karis memandang tajam ke arah Raisa. “Jangan serius gitu dong, Ris! Gue jadi gugup nih...” canda Raisa lagi. “Serius, Sa... Kalo seandainya waktu itu lo udah kenal gue kayak sekarang, lo akan tetap nolak gue?”
59
“Hah? Waktu itu kapan?” Raisa pura-pura bego. “Waktu gue nembak elo.” “Um... Mungkin.” “Mungkin? Berarti gue mungkin diterima dong?!” “Ris!” “Apa?” “Lo udah punya cewek! Lo sadar nggak sih?!” “Iya... gue juga tau. Gue kan cuma main pengandaian. Kalo lo nggak benci gue, lo akan terima gue?” “Penting yah?” “Penting.” “Enggak.” “Hah?” “Gue nggak terima juga.” Karis merengut manja, “Kenapa?” “Lo bukan tipe gue, Ris!” Raisa menjawab cuek. “Emang tipe cowok lo kayak apa?” “Um...” Raisa menopang dagunya. “Mukanya harus kayak David Beckham...” Beberapa orang bilang gue kayak David Beckham kok! Pikir Karis. “Badannya harus berotot kayak Cristiano Ronaldo...” Gue bisa fitness kok! “Harus bisa setidaknya lima bahasa.” Bisa belajar... “Matanya satu hijau, satu coklat...” 60
Hah? “Rambutnya... setidaknya dia punya lima warna rambut yang berbeda...” Lo cari pacar atau cari pegawai salon? “Terus, dia juga harus bisa mainin lagunya Andre Hehanusa yang ‘Karena ku tahu engkau begitu’ pakai gitar.” Les gitar aja... gampang! “Harus penyayang hewan...” Gue punya binatang peliharaan kok di rumah! “Harus bisa nyebutin setidaknya nama 5 bintang di tata surya.” Cari aja di ensiklopedi... “Harus bisa niruin suara Spongebob!” Yang benar saja...? “Dan tentu saja, harus suka nonton F1, biar bisa diajak nonton bareng! Selesai.” Raisa tersenyum dan meneruskan makannya. “Serius deh, Sa... cowok lo nanti pasti aneh banget ya? Gue nggak bisa ngebayangin cowok romantis yang mainin gitar buat lo bisa niruin suara Spongebob...” “Makanya... Sampe sekarang gue belum bisa nemuin cowok idaman gue... Tapi, kalo bener ada cowok kayak begitu, gue langsung nikah sama dia.” Raisa tertawa kecil. Setelah selesai makan, Raisa dan Karis berjalan santai menuju kost mereka. Malam itu cerah, dan terlihat banyak bintang di langit. Dalam hati, Raisa merasa malam ini sangat romantis. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan udara sudah sangat dingin menggigit, tapi hati Raisa terasa hangat dan nyaman. “Panas banget yah, Sa!” keluh Karis.
61
“Panas?” Raisa bingung. “Iya... Hari ini kan Hari Kebalikan, jadi gue ngomongnya juga kebolak-balik. Maksud gue, dingin banget.” “Oh... Gue pikir suhu tubuh lo nggak normal!” tanggap Raisa cuek. “Lo tau nggak, Sa... Tadi waktu di Ciwalk, banyak banget orang yang liatin kaos lo.” “Gue tau kok! Kaos ini emang keren banget. Gue mau bikin lagi, Ris... Menurut lo tulisan apa yah?” Karis berpikir. “Belum kepikiran apa-apa, Raisa...” “Ya udah, nggak apa-apa. Ngomong-ngomong lo bawa kunci pagar nggak, Ris? Gue nggak bawa kunci loh...” “Bawa kok, tenang aja.” Karis menjawab singkat. Akhirnya mereka sampai di kost. Karis membuka pintu pagar, mereka pun masuk. Raisa berjalan duluan ke ruang tengah dan membalik badannya, menghadap ke Karis, “Gue ke kamar yah, Ris... Thanks buat hari ini. Gue seneng banget.” Karis tersenyum, “Gue juga, Raisa. Met malam.” “Met malam.” Balas Raisa. Lalu ia berjalan menuju kamarnya. “Oh ya, Raisa!” Panggilan Karis menghentikan langkah Raisa. Ia berbalik melihat Karis lagi, “Apa?” “Selamat Hari Kebalikan! Gue benci elo...” Lalu Karis tersenyum simpul. Raisa hanya berdiri sambil memegang boneka kelinci dan membalas senyum Karis. Lalu ia masuk ke kamarnya.
62
Delapan Raisa sedang mengetik tugas ‘Politik Indonesia’-nya ketika lagi-lagi pintu terbuka tiba-tiba lalu Sephie dan Karis berteriak kompak, “Selamat Hari Kebalikan!!!” “Duh, deja-vu nih gue...” gumam Raisa. “Ada apaan lagi?” tanya Raisa. “Hari ini Hari Kebalikan, Raisa.” Kata Karis. “Kamis kemarin kan baru Hari Kebalikan, kok hari ini lagi?” tanya Raisa lagi. “Nggak tau. Tanya aja Spongebob.” Jawab Karis cuek. “Malam ini gue mau tunjukin lo kencan spesial ala Karis dengan budget terbatas.” “Duh, nggak tau deh, Ris... Gue lagi males kemana-mana.” Alasan Raisa. “Bagus kalo gitu, karena kencannya nggak jauh. Di halaman belakang, tempat jemuran.” “Apa?” Raisa bingung. “Iya, Sa! Hari ini kost-an resmi milik kalian berdua! Gue, Lea, Dio dan Ari mau jalan-jalan, Melissa pergi sama Radith, Joseph lagi bikin laporan dan dijamin nggak akan keluar kamar sampe besok pagi, Ben juga lagi bikin maket untuk lusa, jadi kalian bisa ngobrol banyak!” Kata Selphie antusias. “Gue yang masak, Raisa!” tambah Karis. Raisa tertawa melihat kesungguhan Karis dan Selphie. “Terserah deh. Kalian kompak banget ya...”
63
“Bagus kalo begitu! Plan A berhasil! Have fun ya, gue cabut dulu! Bye!” pamit Selphie. Raisa melambaikan tangan pelan pada Selphie. “Emang plan B apa?” tanya Raisa. “Nggak tau. Kayaknya nggak ada deh...” pikir Karis. “Ya udah, gue masak dulu yah! Nanti gue panggil lagi...” “Terserah.” Jawab Raisa cuek, dan ia melanjutkan mengetik. Sepuluh menit kemudian, Karis masuk ke kamar Raisa lagi. “Udah siap, Raisa.” “Udah? Cepat amat?” “Um, sebenarnya gue cuma manasin doang...” Karis berkata sambil terkekeh. “Jadi yang masak bukan elo?” “Gue! Tapi dibantuin sama Selphie tadi.” Raisa mematikan komputernya dan berjalan mengikuti Karis menuju halaman belakang kost. Senyum Raisa mengembang ketika melihat halaman belakang yang sudah disulap menjadi tempat dinner yang super romantis. Banyak lilin di lantai dan di meja. Pemandangannya pun ternyata cukup indah. “Ya ampun... Lo niat amat sih, Ris.” ujar Raisa. Karis memintanya duduk di salah satu kursi dan Karis duduk di hadapannya. “Ini ayam cah jamur, dan ini ikan gurame asam manis. Kalo ikan gurame-nya, gue yakin enak banget! Soalnya gue udah sering masak. Tapi nggak tau deh ayamnya...” jelas Karis. “Gue cobain yah, Ris...” Raisa pun mencicipi satu per satu makanan yang sudah tersaji di meja. “Enak banget kok...” puji Raisa. Karis tersenyum senang.
64
“Lo ngapain sih bikin kayak begini? Kalo ketahuan cewek lo bisa gawat! Nanti dia marah lagi...” kata Raisa. “Yolla udah tau kok. Gue, kan cerita semua sama Yolla. Kita saling terbuka...” “Hah? Yang bener lo?” Raisa kaget. “Oh iya, gue punya sesuatu buat lo.” Karis tidak menanggapi pertanyaan Raisa dan malah mengambil sebuah bingkisan plastik di dekat jemuran lalu memberikannya pada Raisa. “Apaan nih?” gumam Raisa. Ia membuka plastiknya dan mengeluarkan sebuah kaos pink bertuliskan ‘I hate Barbie coz she has everything!’ Raisa tertawa. “Gue liat kaos itu waktu kemarin jalan-jalan sama Yolla, gue jadi inget lo. Lo kan suka banget sama kaos-kaos bertulisan provokatif.” Kata Karis. “Thanks yah, Ris... Lucu banget! Gue suka kok.” Raisa tersenyum manis. “Sekali lagi thanks...” Raisa memasukan kembali kaos itu ke dalam plastik dan menaruhnya di meja. “Kenapa, Ris?” tanya Raisa pelan, hampir tidak terdengar. “Apa?” Karis mendekati wajahnya ke arah Raisa. “Kenapa lo ngelakuin semua ini?” Raisa berkata lebih keras. “Um... Gue mao bikin keadaan diantara kita berdua jadi lebih baik. Anak-anak kost juga mendukung kok.” Jawab Karis. “Mulai sekarang lo bisa tenang... Gue udah nggak benci lo lagi, Ris. Gue hargain kerja keras lo selama ini. Dan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, lo jangan terus-terusan begini sama gue, ok?” jelas Raisa. “Hal yang tidak diinginkan?”
65
“Iya, nanti keterusan lagi. Bukan hanya berhenti benci sama lo, gue malah jatuh cinta sama lo.” Raisa tertawa. “Bener juga...” gumam Karis. “Cewek kan sensitif.” “Iya. Lo juga! Buktinya lo risih banget waktu tau gue benci sama lo... Kayaknya nggak perlu sampe begitu deh.” “Yee! Jelas aja gue bingung! Gue nggak pernah bikin salah sama lo, tapi lo benci sama gue... Benci Barbie aja ada alasannya, masa benci gue nggak ada alasannya...” “Kan gue udah bilang, gue pikir elo tuh cowok manja yang kerjaannya cuma ngabisin duit orang tuanya doang! Punya mobil, dikasih ortu, kuliah dibayarin ortu, uang jajan ditransfer ortu, kalau kurang tinggal minta.” “Kayaknya orang yang masih bergantung sama orang tua bukan cuma gue doang deh, Sa? Kenapa lo cuma benci gue?” Di luar dugaan, kata-kata Karis yang terakhir membuat Raisa terdiam. Air muka Raisa berubah menjadi tegang. Karis jadi merasa bersalah karena Raisa tiba-tiba diam seribu kata. Ia kembali berpikir apa mengatakan sesuatu yang salah. “Um... Raisa...?” “Apa?” Raisa langsung menjawab sambil tersenyum. Karis lega sekaligus bingung. Cewek ini aneh sekali! Satu detik terlihat sedih, satu detik bisa tersenyum lagi... Benar-benar tidak bisa ditebak! “Sorry, gue pikir lo marah...” kata Karis pelan. “Enggak kok. Ris... lo bener lagi, nggak mungkin gue benci lo tanpa alasan...” Raisa menaruh sendok dan garpunya tertutup, tanda bahwa ia sudah selesai makan. “Iya... terus...?” Karis masih menunggu kelanjutannya.
66
Raisa menaruh gelasnya setelah airnya habis diminum. “Gue benci elo karena lo mirip Getssa.” Raisa berkata jelas sambil memandang Karis. “Gue mirip siapa?” Karis jadi tambah bingung. Wajahnya terlihat bodoh sekali. “Getssa. Gue nggak nyangka akan menyebut namanya lagi...” gumam Raisa. “Getssa, Ris! Getssa.” “Getssa...” Karis mengulangi nama itu. “Siapa Getssa?” “Getssa itu teman sekelas gue waktu SD. Selama enam tahun, nggak ada yang tau kapan ulang tahun gue... soalnya ulang tahun gue sama persis sama Getssa, tanggal 23 Agustus, dan semua orang selalu datang ke pesta ulang tahun Getssa. Yang paling parah waktu gue kelas satu. Gue bikin pesta kecil-kecilan di rumah gue. Gue nggak tau kalo hari itu Getssa juga ulang tahun, jadi saat gue ngundang teman-teman gue, semua bilang nggak bisa datang... karena mereka pergi ke ulang tahun Getssa.” Raisa menarik nafas panjang. Karis masih tidak tahu harus berkomentar apa. “Gue benci banget sama Getssa. Setiap tahun, semua orang datang ke pesta ulang tahunnya kecuali gue. Saat itu gue pasti lagi nangis sendirian di rumah...” Raisa bisa merasakan tubuhnya bergidik. Ia tidak mengira akan menceritakan kembali hal ini. “Gue hanya ingin pesta yang sederhana, Ris... Asal ada yang datang, gue udah senang. Tapi Getssa yang selalu tertawa saat ulang tahunnya. Semua orang ingin jadi teman Getssa. Dia pintar, pandai bergaul, dan semua guru menyukainya. Dan tentu saja, ia memiliki semua yang ia minta. Teman-teman mendekatinya saat istirahat karena Getssa akan membelikan semua temannya mie ayam, lalu mereka juga sering diundang main ke rumahnya yang full fasilitas. Seandainya saja kami tidak mempunyai hari ulang tahun yang sama, mungkin gue nggak akan membencinya.” Raisa terdiam sebentar. 67
“Seluruh dari diri lo mengingatkan gue sama Getssa, Ris. Bahkan cara ketawa lo mirip sama Getssa. Karena itu gue benci sama lo... Gue nggak mau sinis, tapi sejak itu gue benci sama orang kaya. Dan gue benci pada fakta bahwa gue menginginkannya. Gue pernah maksa Papa untuk ikut-ikutan korupsi. Menjadi polisi yang jujur nggak akan dapat apa-apa, Ris! Lihat, sekarang Papa juga nggak mendapatkan nobel kejujuran kan! Tapi Papa selalu bilang, jujur berarti sayang sama diri sendiri. Jadi sejak SMP, gue bercita-cita untuk kuliah politik. Gue mau bikin politik Indonesia lebih baik. Gue mau tunjukin ke orang-orang kalo Papa udah mengabdi 30 tahun lebih pada negara dan nggak ngambil se-sen pun duit haram! Gue mau seperti Papa...” Karis masih mencoba mencerna cerita yang tiba-tiba mengalir deras dari mulut cewek penuh kejutan di hadapannya itu. Ia menatap sejuk ke dalam mata Raisa. “Terus, si Getssa ini sekarang di mana?” “Gue nggak tau. Dan nggak mau tau. Waktu mau naik SMP, dia pindah ke luar negeri. Gue juga nggak berusaha nanya ke temanteman. Dan sejak SMP, gue lebih bisa bergaul. Gue ngerasa lepas dari Getssa. Tapi gue tetep nggak pernah bikin pesta ulang tahun lagi sejak itu.” “Kalo seandainya lo ketemu Getssa lagi, lo akan bilang ke dia apa, Raisa?” “Nggak tau. Gue udah nggak peduli. Sekarang ulang tahun udah nggak penting buat gue... Waktu itu kan gue masih kecil, Ris... jadi ingin ngerasain yang namanya pesta ulang tahun. Salahnya, gue harus bersaing sama Getssa. Sial banget deh gue! Jadinya hal ini udah ke-doktrin di otak gue, kalo gue nggak pernah mau berhubungan sama orang-orang kayak Getssa itu...” “Kayak Getssa? Kayak gue juga?” Raisa menghela nafas. “Kayak elo.” 68
“Sorry ya, Raisa... tapi menurut gue nggak adil kalo lo bilang begitu. Setelah lo kenal gue, lo bisa nggak benci gue lagi kan... Mungkin aja kalo waktu itu lo coba mengenal Getssa, elo—” “Gue cerita begini sama lo, bukan berarti lo bisa nasehatin gue!” Raisa berkata ketus. “Gue hanya bercerita! Dan elu hanya mendengarkan! Lo jangan pernah coba mengubah cara pandang gue, Ris!” Karis terdiam. “Lo nggak pernah melihat diri lo dari sudut pandang gue. Sudut pandang yang sama ketika gue liat Getssa.” “Tapi kalo lo belum bisa maafin Getssa, lo akan hidup dengan dendam selamanya, dan itu nggak baik...” “Ya... ya...” Raisa berbicara remeh. “Sekali lagi gue bilangin ke elo, lo selalu bisa ngomong begitu karena elo Karis! Elo adalah Karis! Bukan Raisa! Lo nggak bisa minta seorang Raisa untuk berpikir seperti Karis.” “Apa sih bedanya kita, Raisa... Kita sama-sama manusia. Semua manusia spesial...” “Elo bisa ngomong begitu karena elo terlahir sebagai—” “KARIS. Gue tau.” Karis memotong kata-kata Raisa dengan tegas. “Gue mungkin nggak bisa ngertiin elo... Gue nggak bisa menyelami masa lalu lo. Gue tahu semua orang pasti punya hal yang ingin dilupakan di masa lalu, itu manusiawi, Sa. Tapi kita hidup di masa serakang. Gue mau lo untuk lebih menghargai hidup lo yang sekarang. Gue mau lo buang rasa benci itu. Nggak baik punya rasa benci di hati, Raisa...” Raisa terdiam mendengar kata-kata Karis yang begitu lembut dan masuk akal. Raisa benci mengakuinya, tapi cowok ini berkata benar.
69
“Semua orang pasti punya masa lalu yang buruk, Raisa... Bahkan seorang Karis sekalipun. Sekarang tinggal kembali ke diri kita sendiri, bagaimana menghadapinya. Apa mau terus-terusan dibayang-bayangi masa lalu, atau terus maju.” “Masa lalu seperti apa yang dimiliki seorang Karis?” Raisa bertanya datar. “Gue punya saudara kembar.” Karis berkata pelan. Raisa memandang Karis. “Dia... udah...” “Ya. Dia udah meninggal. Gue bahkan nggak tau dia seperti apa. Namanya Clarissa dan Mama lebih suka menyebut nama sayangnya, Sasa.” Raisa terkesiap. “Itulah kenapa gue nggak pernah manggil lo Sasa. Gue nggak suka nama itu. Nama yang mengingatkan gue sama Clarissa. Gue heran gimana Mama bisa bilang kalau nama panggilan Sasa cocok buat dia, Mama bahkan belum pernah menggendongnya.” “Kok bisa?” “Sasa meninggal di hari lahir kami berdua. Karena keadaan Mama lemah, hanya satu yang bisa selamat. Dan Papa selalu bilang ke gue, kalo Papa sangat bersyukur bahwa gue-lah yang selamat. Hanya karena gue laki-laki, dan Sasa perempuan.” Raisa tidak tahu harus berkomentar apa ketika Karis berhenti bercerita. Dia tertunduk kaku menatap jari-jari tangannya. “Meskipun setiap kali Selphie manggil elo Sasa, gue teringat Clarissa lagi, bukan berarti gue harus benci elo, kan?” Ujar Karis lembut. “Semua orang spesial, Raisa... Lo harus mencintai diri lo sendiri.” “Gue nggak pernah bilang gue nggak mencintai diri gue!” tegas Raisa. 70
“Iya, tapi gimana lo bisa mencintai diri lo sendiri kalo lo belum bisa berhenti membenci orang lain.” “Gue udah nggak benci elo, Ris...” Raisa menyunggingkan sedikit senyum di ujung bibirnya. “Bukan gue, Raisa. Tapi Getssa.” “Karis, please! Bisa kan jangan sebut Getssa lagi...” mohon Raisa. Karis menghela nafas. Ia terdiam cukup lama, begitu juga dengan Raisa. Lalu Karis mendekatkan tubuhnya ke arah Raisa. “Tapi lo bisa janji sama gue kalo lo nggak akan teringat Getssa saat lo liat gue?” Raisa menatap tajam wajah Karis yang kini berada sangat dekat dengan wajahnya. Memandangnya dengan seksama. Gorgeous! Itu kata yang bisa ditemukan Raisa saat ia melihat Karis. Rambutnya yang sedikit acak-acakan membuat Karis berkesan cuek. Alisnya yang tegas, matanya yang bisa membuat hati semua orang lumer. Tulang pipinya yang terlihat kuat, menambah kesan maskulin pada wajahnya. “Bukan wajah lo yang membuat gue teringat Getssa. Tapi cara lo menghadapi semuanya. Cara lo berteman, cara lo berbicara, cara lo menatap, cara lo membuat lelucon. Bahkan cara lo... menggandeng tangan gue.” Raisa menarik nafas pendek. “Getssa pernah sekali menggandeng tangan gue. Waktu itu kelas 6 SD, Getssa tiba-tiba menghampiri gue saat bubaran sekolah dan bertanya kenapa gue nggak pernah ikut pesta ulang tahunnya selama 6 tahun. Gue udah nggak tahan lagi, jadi gue bilang ke dia sambil nangis... Karena hari ulang tahunnya sama persis dengan ulang tahun gue. Di luar dugaan, Getssa menggandeng tangan gue dan membawa gue ke rumahnya. Sesampainya di sana, Getssa bilang kalo gue boleh ngambil semua kado ulang tahunnya...”
71
Pundak Raisa bergetar. “Gue langsung marah. Gue bilang ke dia, ‘Lo nggak bisa membayar sakit hati gue selama 6 tahun dengan kado-kado itu!’ Gue benci Getssa, Ris... Gue benci...” “Gue ngerti, Raisa... setelah Hari Kebalikan, lo udah nggak perlu cerita tentang orang yang lo benci lagi...” hibur Karis. Raisa menatap mata Karis, “Makasih yah, Ris...” “Sama-sama, Raisa... Selamat Hari kebalikan! Gue benci elo.” Karis berkata lembut. Raisa menunduk malu. “Selamat Hari Kebalikan juga, Karis! Ayo, kita pecahin piring... dan acak-acak dapur.” “Hah?” Karis melongo. “Gue nggak tau kebalikannya. Maksud gue, ayo kita cuci piring dan beres-beres dapur!” Seru Raisa. Lalu Karis tertawa terbahakbahak.
72
Sembilan Hari kamis sore, Ben pulang ke kost dengan wajah kusut. Selphie dan Raisa yang sedang membaca diktat PIHI meringis khawatir. “Lo kenapa, Ben?” Raisa bertanya. Salah satu harus bertanya, kan? Ben menaruh map besarnya di meja dan duduk di sebelah Raisa. “Hari ini kelas Studio gue berantakan banget! Udah nggak beres, kerjainnya juga nggak rapi...” keluhnya. “Kenapa bisa begitu? Biasanya kan lo selalu bisa bagi waktu...” kata Selphie. “Gue capek banget. Kuliah semester 2 ini berat banget, gue ambil 24 sks. Udah gitu masih harus latihan rutin sama tim basket kampus... Kalo Lenni sampe denger gue ngeluh kayak gini, dia pasti nggak ngenalin gue. Karena saat sama Lenni, selalu ada energi ekstra yang masuk ke diri gue. Hanya dengan makan bareng dia dan dengerin ocehannya, gue bisa semangat lagi... Lenni pernah bilang kalo tanpa dia, gue bisa lebih fokus latihan basket. Emang bener sih, gue udah nggak pernah terlambat dan kata pelatih gue, gue maju pesat. Tapi... tetap aja aneh kalo itu semua tanpa Lenni.” Mata Ben menerawang tanpa arah. Raisa dan Selphie bertukar pandangan, tidak berkomentar apapun, hanya terdiam dan mendengarkan Ben mengerluh. “Beberapa hari lalu, gue liat Lenni di depan ATM. Dia nggak liat gue, tapi gue terus perhatiin dia. Dia bareng teman-temannya.” Raisa dan Selphie masih menyimak. “Lenni tertawa... Gue kangen banget liat dia. Dan gue seneng karena ketika gue ketemu dia lagi, dia sedang tertawa.” Lanjut Ben. “Sorry yah, gue melantur. Gue harus lebih rajin bikin maket, rajin bikin tugas, dan rajin latihan basket. Omelin gue kalo malas73
malasan lagi, Ok?” Ben kembali semangat. “Gue nggak mau ditinggalin Lenni terlalu jauh... Kalo dia udah berjalan ninggalin tempat dimana kita berdua pernah berdiri, gue mau ikut lari. Gue nggak mau diam aja.” “Bener, Ben!” Tegas Raisa dan Selphie kompak. “Kita pasti support lo!” Seru Selphie. “Ayo Ben! Semangat!” tambah Raisa. “Semangat apaan?” Suara Lea langsung terdengar ketika ia dan Ari berjalan masuk ke ruang tengah. “Dari mana lo berdua?” tanya Selphie tanpa menjawab pertanyaan Lea. “Kuliah. Gue baru tau kalo dosen gue dan Ari sama! Jadi gue ikut kelas Ari aja.” Jelas Lea yang kemudian duduk di kursi meja makan, sedang Ari langsung membuka kulkas dan mencari makanan. Tidak lama setelah Ari dan Lea datang, suara mobil Karis terdengar memasuki halaman. “Oh iya, lo udah nggak apa-apa kan sama Karis?” tanya Lea pada Raisa. “Nggak apa-apa kok. Tenang aja...” kata Raisa. “Gue benerin maket gue dulu, ya.” Kata Ben sambil ngeloyor ke kamarnya. “Hai semua...” Karis menyapa lesu dengan kalimat yang sama seperti biasa, dengan nada yang jauh berbeda. Wajahnya terlihat lebih parah dari Ben. “Lo kenapa, Ris?” Kali ini Selphie yang bertanya. “Duduk dulu, Ris...” Karis duduk di tempat Ben tadi. Ari menawarkan keripik kentang beku pada Karis. Penawaran basa-basi yang jelas-jelas akan ditolak semua orang. “Maket lo nggak berantakan juga kan?” tanya Selphie lagi. 74
“Hah?” Karis jadi bingung. “Never mind her!” seru Raisa. “Terus lo kenapa dong, Ris? Aduh, jangan semua orang pada bete dong...” keluh Selphie. “Gue... diputusin Yolla...” “HAH?!!!” Selphie, Raisa, Ari dan Lea kompak terkaget. “Kok bisa?” tanya Selphie “Alasannya apa?” Lea juga penasaran “Kok keripiknya asem yah? Jangan-jangan udah expired...” kata Ari. Raisa, Selphie dan Lea kontan memelototi Ari. “Ri, lo jangan bikin rese deh. Ini lagi keadaan gawat darurat!” seru Lea. “Kenapa, Ris?” tanya Raisa. “Kita sih putusnya baik-baik... Tapi gue tetep sedih lah... Gue udah sayang sama Yolla.” Cerita Karis. “Iya. Iya. Alasannya apa dia putusin elo?” tanya Lea lagi. “Soalnya gue nembak cewek laen, dan kencan sama cewek laen... dua kali.” Kata Karis polos. Semuanya melongo. Lalu Ari, Selphie dan Lea melirik Raisa. “Gue, Ris?” Raisa bertanya polos. Karis mengangguk. “HAH?! Lo putus sama Yolla karena gue?! Aduh, Karis!!! Lo bego amat sih! Hal yang kayak gituan nggak usah lo ceritain ke Yolla dong!” Raisa malah mengomeli Karis. “Tapi sejak awal pacaran, komitmen gue udah begitu. Gue nggak pernah bohong ke Yolla. Gue selalu cerita semuanya.” Jelas Karis. “Aduh, gue jadi nggak enak juga nih, Ris... yang kasih ide kan gue...” kata Selphie. 75
“Bukan salah lo kok, Sel. Gue emang mau ngelakuin itu semua.” Ucap Karis lembut. “Tapi menurut gue, yang bego disini emang Karis. Ya jelaslah Yolla bete! Mana ada cewek yang bisa terima kalo cowoknya nembak dan kencan sama cewek laen! Pake otak dikit dong, Ris...” Lea berkomentar. “Bener juga sih kata Lea...” tambah Ari. “Keputusan Yolla buat putus sama lo itu masuk akal banget. Please dong, Ris... Lo cakepcakep bego ya?” Karis menarik nafas panjang. “Gue lagi butuh dihibur nih... bukan dicaci-maki.” Karis memperlihatkan wajah memelas. “Gue bersedia ngomong ke Yolla kok, Ris! Gue bisa jelasin ke dia itu semua cuma bercandaan.” Raisa berkata tulus. “Nggak bisa, Sa. Waktu Yolla tanya apa itu semua cuma bercanda, gue bilang nggak, gue serius.” Karis berkata dengan polos. Raisa saling melempar pandangan bingung dengan ketiga temannya. “Maksudnya serius?” Akhirnya Lea berani bertanya. Karis tidak menjawab apa-apa. Semua memandang Karis, menunggu jawaban dan penjelasan keluar dari mulutnya, namun ia hanya terdiam dengan pandangan kosong. Ia lalu beranjak dari sofa di ruang tengah menuju kamarnya, meninggalkan keempat temannya yang semakin bingung. *** “Eksistensi hukum?” Karis, Dio, Selphie dan Raisa mengulangi kata-kata Lea.
76
“Iya. Daripada malam minggu pada garing di kost-an. Teman gue manggung loh!” promosi Lea pada Karis, Dio, Selphie dan Raisa untuk datang ke acara musik yang dibuat oleh mahasiswamahasiswi fakultas hukum. “Le!!! Gue pake kaos yang merah atau kemeja yang kemarin kita beli, ya?” Ari berteriak dari dalam kamar. “Yang kemarin kita beli aja, Ri! Biar warnanya matching sama baju gue!” Lea balas berteriak. “Gimana? Mau ikut ga?” tanya Lea lagi pada Karis, Dio, Selphie dan Raisa. “Ya udah... Gue ikut deh.” Kata Dio. “Gue juga deh.” Tambah Raisa. “Bagus. Ganti baju sana!” seru Lea. “Lo berdua?” Lea bertanya pada Karis dan Selphie. “Um... Gue enggak deh, Le. Lagi nggak mood untuk keluar dan bersosialisasi.” Kata Karis. “Sama. Gue lagi mau di kost aja, nonton TV dan bermalasmalsan.” dukung Selphie. “Ya udah. Jangan nyesel yah!” cibir Lea. Lea, Raisa, Ari dan Dio cukup menikmati malam itu. Apalagi ketika sebuah band bernama ‘Line One’ yang adalah teman-teman Lea manggung dan membawakan lagu-lagu Maroon 5. Mereka kompak ikut bernyanyi dan membuat suasana makin meriah. “Teman-teman lo asyik banget, Le!!” komentar Raisa dengan suara yang super kencang agar terdengar oleh Lea. “Iya. Nanti gue kenalin deh!” Balas Lea nggak kalah kencang. Setelah Line One selesai manggung, Lea mengajak Raisa menemui teman-temannya itu sedangkan Ari dan Dio memilih tetap di depan panggung.
77
“Keren banget!!!” Teriak Lea ketika bertemu para personil Line One di belakang panggung. “Nyesel deh waktu SMU gue nggak mau jadi manager kalian.” “Mereka teman SMU lo, Le?” tanya Raisa. Lea mengangguk. “Kok punya teman manis nggak dikenalin sih, Le?” Salah satu personil Line One yang adalah gitaris sekaligus vokalisnya tersenyum pada Raisa. “Dasar ganjen!” seru Lea. “Sasa, kenalin ini teman-teman gue... Ini David, drummernya. Ini Fikri, bassistnya. Ini Johan, gitarisnya. Dan yang paling ganjen ini Yksel. Semua, ini Raisa, teman baik gue. Panggil aja Sasa.” Semua kecuali Yksel kompak berkata “Hi Sasa!”, dan Yksel menjabat lembut tangan Raisa sambil berkata penuh pesona, “Senang banget bisa kenalan sama kamu, Sa.” “Kamu?!! Lo mau coba ngedeketin Sasa, Yksel?” goda Lea. Raisa hanya tertawa. “Emang kenapa? Nggak apa-apa kan, Sa? Kamu udah punya cowok belum?” Yksel tebar pesona lagi. “Belom kok.” Jawab Raisa singkat. “Kalo gitu aku boleh PDKT dong...” tawar Yksel. “Can’t see why not.” Raisa menjawab cuek. Lima belas menit kemudian, Raisa dan Yksel sudah bisa mengobrol dengan hangat dan seru. “Nama lo agak aneh yah...” komentar Raisa. “Itu nama kakek aku. Aneh tapi keren kan?” “Iya sih... Kakek lo orang mana?” “Swedia.” Yksel menjawab singkat dan di luar dugaan mengenyampingkan rambut Raisa yang turun di dahi. “Sorry,
78
rambut kamu nutupin mata kamu... Aku nggak suka. Aku mau liat mata kamu.” “Wah... Lo jago flirting yah?” ujar Raisa jujur. Yksel tertawa kecil. “Lumayan lah, Sa... Kamu tertarik?” Raisa mengangkat bahunya. “Sampe detik ini belum.” Yksel menirukan adegan orang tertembak di dada dan pura-pura mati. Raisa tertawa. “Sorry.” Kata Raisa. “It’s ok. Aku suka orang yang bicara apa adanya. Tapi tadi waktu aku bilang kamu manis, aku serius loh!” “Thanks.” “Kamu bener kan nggak punya cowok?” tanya Yksel lagi. “Orang jujur nggak bohong, Yksel...” “Bagus. Jadi aku boleh ngedeketin kamu, ya?” “Kalo gue bilang boleh, nggak berarti gue harus suka sama lo kan?” “Iya sih... Tapi aku bisa bikin kamu suka sama aku.” “Gue suka orang yang PD.” “See? Kamu udah mulai suka aku...” canda Yksel. Raisa tertawa kecil. Ternyata cowok yang pertama dipikirnya menyebalkan ini lucu juga. “Kamu juga belum deket sama siapa-siapa kan? Atau ada cowok yang kamu suka?” Yksel bertanya serius. “Lo kayak polisi yah... Dari tadi interogasi gue.” “Soalnya aku nggak suka yang ribet-ribet. Jadi kalo lo emang udah deket sama cowok lain, gue nggak mau bikin ribet.” “Kalo gue bilang ada, lo nggak jadi ngedeketin gue?”
79
Yksel mengerutkan dahinya, “Enggak juga sih...” lalu dia terkekeh. “Kamu bikin aku penasaran, Sa.” “Thanks. Gue menganggapnya sebagai pujian.” “Yah, anggap aja aku nanya sebagai teman... emang ada orang yang kamu suka saat ini?” Raisa terdiam, berpikir. “Sasa?” “Nggak tau deh, Yksel. Emang gimana lo bisa tau lo suka seseorang?” “Yah tau aja. You just know it dan semua love songs jadi terasa logis dan nggak kacangan.” Yksel tersenyum melihat Raisa. “Yang pasti, kamu ingin terus-terusan ngobrol sama orang itu, ingin tahu tentang dia, ingin spend waktu sebanyak-banyak nya sama dia. Kayaknya 24 jam sehari nggak cukup deh.” “Lo baru setengah jam kenal gue,” komentar Raisa. “Makanya gue mau punya 23 jam setengah lebih lama sama kamu.” “Tapi gue mau 24 jam itu sama orang itu.” “Orang itu?” “Iya. Kayaknya gue jadi ngerti love songs sejak kenal dia.”
80
Sepuluh Ari, Lea dan Dio nggak henti-hentinya menggoda Raisa tentang Yksel selama perjalanan dari kampus ke kost. Raisa tetap cuek saja dan nggak terlalu memikirkan hal itu. Ia lebih memilih berpikir tentang kata-katanya pada Yksel tadi. ‘Gue mau 24 jam gue sama orang itu? Kenapa aku bisa berkata seperti itu? Dan kenapa wajah Karis yang muncul di kepalaku saat aku bicara demikian? Lea langsung berteriak seru ketika mereka berempat sampai di ruang tengah kost, “Sel!!! Kayaknya Sasa bakal jadian duluan nih!!” Raisa melotot ke arah Lea namun Lea tidak menghiraukannya. Selphie diikuti Karis tiba-tiba keluar dari kamar Karis yang pintunya memang terbuka. “Emang ada apa, Le?” tanyanya penasaran. “Lo tau teman SMU gue, Yksel, kan?” tanya Lea. “Yang waktu itu lo kenalin di food district kan?” “Betul banget! Dia naksir Sasa!!! Tumben banget, kan, ada yang naksir Sasa!” Lea berkata antusias. “Eh! Maksudnya apa, tuh!” protes Raisa. “Hah? Beneran lo? Bener, Sa?!!” Selphie menarik tangan Raisa untuk duduk di sebelahnya. “Ayo cerita!” “Cerita apa?” Raisa bertanya polos. “Belum terjadi apa-apa, Sel... Kalo ada apa-apa gue pasti cerita kok.” “Menurut lo gimana, Raisa?” Karis bertanya datar. “Maksudnya?” Raisa balik bertanya. “Si Yksel ini. Lo naksir dia juga nggak?” Karis menunggu jawaban Raisa, begitu juga dengan Lea, Selphie, Dio dan Ari. 81
“Nggak tau juga... Baru kenal malam ini, mana bisa langsung suka. Mungkin kalo gue kenal dia lebih jauh—” “Maksud gue, dia sesuai dengan tipe cowok lo nggak? Bisa lima macam bahasa, tiruin suara Spongebob, berwajah mirip Beckham, punya lima warna rambut...” Karis meledek Raisa. Raisa tertawa kecil, “Menurut gue Yksel lumayan... Dia sweet, PD dan ngomong apa adanya. Cenderung mirip gue.” Papar Raisa. “Mirip elo? Sejak kapan elo sweet?” Lea memaparkan pertanyaan retoris yang diikuti tawa semua orang. Raisa tidak mengacuhkannya. Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Tanpa lihat nomornya Raisa langsung mengangkat telepon itu. “Halo?” Selphie, Lea, Karis dan Ari memperhatikan Raisa tanpa berkata apapun, sedang Dio sudah masuk ke kamarnya, kembali ke tumpukan gamenya. “Siapa nih?” tanya Raisa. Selphie, Lea, Karis dan Ari makin serius memperhatikan Raisa. “Oh elo, Yksel... Ada apa?” Senyum usil tergambar di bibir Selphie, Lea, Karis dan Ari. Raisa tersenyum tipis dan berkata lembut, “Iya... Lo juga.” Selphie, Lea, Karis dan Ari jadi penasaran. “He-eh... Good night juga. Dah...” Dan Raisa mematikan telepon. “Dia ngomong apa, Sa? Gimana? Yksel romantis juga kan? Bisa lo pertimbangkan kan, Sa? Dia bilang met bobo yah, Sa?” Lea langsung memberondong Raisa dengan banyak pertanyaan. “Se-romantis apapun, kalo nggak bisa suara Spongebob atau punya mata satu hijau-satu coklat, lo nggak akan mau kan, Sa?” Ledek Karis lagi.
82
“Udah yah, gue capek. Mau tidur dulu... Lo nginep sini, kan Le malam ini?” Raisa bangkit dari duduknya, diikuti oleh Selphie. Lea mengangguk. Akhirnya Lea, Selphie dan Raisa bergegas ke kamar meninggalkan Karis dan Ari, lalu bersiap-siap untuk tidur. “Eh, sebelum tidur, gue mau cerita dulu...” Selphie berbicara pelan dan malu-malu. Raisa dan Lea yang sudah di posisi siap ke alam mimpi, membatalkan niat mereka dan duduk menghadap Selphie yang tiba-tiba senyum-senyum sendiri. “Lo kenapa, Sel? Kesambet kuntilanak apa jatuh cinta?” tanya Lea. “Hus! Jangan ngomong sembarangan lo, Le!” Raisa merasa risih kalo sudah bawa-bawa nama setan. “Aduh, Lea... Lo tuh lama-lama mirip Sasa yah ngomongnya!” Selphie cemberut. “Apa maksudnya tuh mirip Sasa?” Raisa tersinggung. “Iya. Ngomongnya sarkastik dan nggak dipikir pake otak dulu.” Jelas Selphie. “Hah? Emang gue begitu?” Raisa nggak terima. “Udah deh, topiknya bukan itu, Sa!” kata Selphie. “Gue mau cerita serius nih...” Raisa dan Lea mengangguk mengerti dan duduk tegak. Sebenarnya sih duduk tegak nggak akan pengaruh apa-apa tapi kesannya mereka lebih serius mendengarkan Selphie. “Gini... tadi waktu lo berdua ke acara anak hukum, gue makan berdua sama Karis di nasi rawon belakang. Nggak nyangka yah cowok se-eksklusif Karis ternyata bisa down to earth juga... Udah gitu ternyata setelah ngobrol serius sama dia, dia tuh bener-bener smart!” cerita Selphie. Lea tersenyum, menahan tawa. “Intinya elo...?”
83
“Iya. Gue suka Karis!” Selphie terpekik pelan. Lea langsung memeluk Selphie, “Bagus! Karis emang cowok yang tepat buat lo! Wah, hari ini the best deh!” Tapi Raisa tidak se-senang Lea. Raisa melihat Selphie yang tersenyum bahagia memeluk Lea. Begitulah seharusnya orang yang sedang jatuh cinta. Bisa terbang ke langit ketujuh hanya dengan menceritakan orang yang dicintai. Aku juga menyukai Karis... aku rasa. Siapapun itu, seharusnya bahagia jika bisa jatuh cinta pada orang seperti Karis. Tapi aku tidak. Apa benar aku jatuh cinta pada Karis? Apa rasa nyaman dan ingin terus bersamanya sudah cukup sebagai bukti cinta? Sebenarnya aku ini kenapa? “Lo nggak apa-apa kan, Sa?” Selphie menggenggam lembut tangan Raisa. “Sasa... Gue tau lo nggak begitu suka sama Karis... Itulah kenapa gue selalu minta lo dan Karis saling mengenal. Gue nggak akan maju buat Karis kalo lo nggak setuju...” Raisa menarik nafas. “Ya ampun, Sel... Gue nggak akan ngelarang elo kok!” “Waktu itu lo marah sama gue karena gue deket sama Anton...” “Ya jelas lah... Dia playboy abis!” “Jadi kalo Karis...?” “Nggak apa-apa, Sel... Bener, kok!” yakin Raisa. Selphie tersenyum dan memeluk Raisa. “Lo udah nggak benci Karis kan, Sa?” tanya Selphie lagi. Raisa menggeleng yakin. “Sejak kapan lo suka Karis, Sel?” “Sejak awal juga udah suka... tapi sebatas suka fisik aja. Dia cakep, keren, kurang apa sih? Tapi kan dia udah punya cewek, jadi gue nggak berani pelihara perasaan gue. Tadinya gue berpikir cukup
84
hanya untuk jadi teman deketnya aja. Nggak nyangka Karis putus sama Yolla...” “Terima kasih sama Sasa dong, Sel.” Goda Lea. Selphie tertawa kecil, “Gue nggak mau jahat ah, Karis sedih banget waktu putus sama Yolla!” “Ya udah, you have my blessing, Sel...” kata Raisa tulus. “You too, Sa...” Selphie tersenyum nakal pada Raisa. “Sama siapa?” Tanya Raisa. “Sama Yksel, lah…” Jawab Selphie. “Gue juga setuju banget tuh, Sa!” tambah Lea. “Ya udah, tidur yuk!” Ajak Raisa. Semua mengambil posisi dan masuk ke selimut. “Met malam, Sasa... Met malam Lea...” ucap Selphie pelan. “Met malam juga, Selphie. Met malam, Lea...” ucap Raisa. “Met malam...” Lea berkata sangat pelan, dan mereka bertiga terlelap dalam tidur.
85
Sebelas Sudah lebih dari sebulan sejak Selphie mengakui bahwa ia jatuh cinta pada Karis, dan Raisa sudah bisa menerimanya dengan akal sehat. Raisa tidak perlu menjaga jarak dengan Karis seperti rencananya pertama kali, karena ternyata Karis tidak pernah lagi mengajak kencan Raisa atau memperlakukan Raisa dengan spesial. Selphie pun tidak memperlakukan Karis super spesial, ia hanya memberi perhatian lebih pada Karis dan lebih sering menghabiskan waktu mengobrol dengan Karis. Raisa tidak mengerti mengapa ketika ia semakin berusaha untuk melupakan Karis, ia makin sering memikirkannya. Mengapa setiap ia berusaha untuk mengingat hal-hal buruk tentang Karis, ia malah mengingat kembali saat-saat menyenangkan bersama Karis. Mengapa ia semakin cuek akan Karis, malah semakin berharap Karis menggodanya. Momen momen indah bersama Karis sering berputar-putar tanpa diundang di kepala Raisa. Semuanya begitu menyenangkan dan untuk sesaat Raisa bisa merasa cukup hanya dengan hidup dalam bayang-bayang momen itu. Saat dimana aku merasa sangat nyaman dan percaya bahwa jika waktu berhenti berputar, aku bisa berbaring di sana selamanya. “Udah, Sa?” tanya Yksel yang dari tadi menunggu Raisa melihat nilai di papan pengumuman. “Udah. Sorry yah bikin lo nunggu lama...” Raisa meminta maaf pada Yksel. “Nggak apa-apa. Gimana nilai UTS-nya?” “Lumayan. Tapi ada satu C.” “Ya udah, nggak apa-apa... Kita makan yuk! Kamu mau makan apa, Sa?” 86
“Terserah aja.” Lalu Raisa dan Yksel berjalan menyeberang menuju food district, tempat makan paling lengkap dan paling dekat dengan Universitas. Yksel langsung bicara serius pada Raisa setelah mereka pesan makan dan duduk. “Sa... ini mungkin pertanyaan yang udah ratusan kali aku tanyain ke kamu... mungkin kamu sendiri udah bosen dengernya. Tapi aku nggak pernah bosen untuk nanya ini. Selalu ada rasa deg-degan setiap kali aku nanya ini, siapa tahu inilah saatnya... Sasa, aku sayang kamu. Kamu mau nggak jadi cewekku?” “Aduh, Yksel... Lo baru tanya itu kemarin...” Raisa menaruh bazooka-nya di kursi sebelahnya. “It’s worth to try... Kapan sih kamu luluh, Sa? Kita kan udah deket...” Raisa mengangkat bahu. “Nggak tau juga, Yksel... Gue nggak mau gantungin elo kayak gini. Kesannya gue take advantage of you...” “Kalo gitu kamu kasih tau aku, apa selama ini ada kemajuan buat aku, atau aku tetap berdiri di tempat yang sama?” Raisa mengangguk pelan. “Tentu aja ada kemajuan. Sekarang gue udah mulai terbiasa terima ‘good morning’ dari lo tiap pagi dan ‘good night’ dari lo tiap malam. Semua itu berarti buat gue, Yksel...” Yksel tersenyum mendengar pernyataan Raisa. “Kamu dari tadi ngapain sih?” akhirnya Yksel bertanya melihat Raisa yang dari tadi mengutak-atik sebuah kertas. “Origami. Tadi baru diajarin Lenni, teman gue.” “Memangnya bikin apa?” “Bintang 12 sisi.” “Hah? Kayak apa tuh?” 87
“Udah deh, liat aja nanti kalo udah jadi.” “Kapan jadinya...? Dari tadi kamu utak-atik terus. Ada juga tambah ribet.” “Ini memang susah, Yksel. Waktu itu Lenni kasih bintang ini ke Ben, orang yang dia suka, terus minta Ben untuk bikin satu yang sama. Ternyata sampe sekarang Ben nggak bisa bikin, padahal dia arsitek. Payah deh...” Yksel terus mendengarkan cerita Raisa sambil memandanginya membuat origami. Hal yang takkan bosan dilakukan Yksel selamanya. Sedikit takjub, Yksel melihat bintang itu jadi. Benar-benar bintang yang memiliki 12 sisi. “Jadi juga, kan?” Kata Raisa bangga. “Itu cuma pakai satu kertas, Sa?” “Iya. Nih! Buat lo.” Raisa memberikan bintang itu pada Yksel. Yksel tersenyum senang dan menerima bintang 12 sisi itu. “Kalo aku bisa bikin satu yang seperti ini, kamu mau terima aku jadi pacar kamu?” Raisa tertawa renyah, “Lo pikir bikinnya gampang? Mungkin kalo lo bikin dengan kertas warna pelangi, gue bisa pertimbangin.” “Kertas warna pelangi? Beli di mana?” Raisa mengangkat bahunya cuek. “Ya sudah, Kalo aku belum bisa jadi pacar kamu, boleh nggak aku minta satu hal aja...?” “Apa?” “Bisa kan mulai sekarang kamu jangan ngomong ‘elo-gue’ sama aku?” “Aduh... Susah, Yksel... Udah kebiasaan manggil lo begitu, tuh kan!” 88
“Yah diusahain aja... Mau yah?” mohon Yksel. “Ya udah... Gue coba ya...” “Aku coba...” “Iya. Aku coba. Duh, aneh banget!” Lalu Raisa tertawa geli. Siang itu Raisa lagi-lagi makan bareng Yksel. Akhir-akhir ini ia memang sering menghabiskan waktu bersama Yksel. Raisa berasumsi bahwa ia bisa melupakan perasaan aneh yang muncul setiap ia melihat Karis itu. Bukan perasaan jatuh cinta, karena aku tidak bahagia. Perasaan bersama Yksel jauh lebih menyenangkan, Raisa bisa tertawa lepas dan banyak bercerita segala hal. Yksel bisa membuatnya merasakan bahagia. Mungkin tidak senyaman saat bersama Karis, tidak merasakan aman dan rela waktu berhenti seperti ketika dengan Karis. Tapi setidaknya aku tertawa bahagia. *** Raisa sedang berjalan santai sepanjang selasar kampusnya ketika Lea tiba-tiba menghampirinya dengan wajah penuh kepanikan. “Sasa! Sasa! Untung gue ketemu sama lo... Selphie... Selphie...” Lea berusaha berkata-kata disela-sela nafasnya yang masih tidak teratur. “Tarik nafas dulu, Le! Selphie kenapa?” Raisa berusaha menenangkan Lea walau dalam hatinya mulai dijalari rasa panik. “Selphie... Selphie ketabrak mobil, Sa!” Lea masih berusaha mengatur nafasnya. “HAH? Dimana? Gimana? Siapa?” Raisa menjadi panik tiba-tiba.
89
Lea tidak menjawab. Ia meringis dan menyeka keringat yang membasahi dahinya akibat berlarian mencari Raisa. “Lea! Lo jawab gue dong! Selphie gimana?” Raisa tiba-tiba ingin menangis. “Selphie... meninggal, Sa...” Lea berkata pelan lalu tertunduk. “APA??!” Raisa tak kuasa menahan rasa kagetnya. Ia bisa merasakan kakinya melemas dan perutnya sakit. “Lea, lo yang bener dong...” Raisa bertanya meringis sambil berharap ini semua tidak benar. “Le...! Sekarang Selphie dimana?” Lea memandang toilet yang ada di belakang Raisa dan menunjuknya. “Di sana! Di dalam toilet.” Raisa mengerutkan dahi dan berbalik badan menghadap toilet. Tiba-tiba sosok Selphie terlihat jelas berjalan keluar dari toilet dengan wajah yang memerah karena menahan tawa. Lalu ia berteriak senang berbarengan dengan Lea, “April Mop!” Selphie dan Lea tidak henti-hentinya tertawa sedangkan Raisa masih tidak percaya dia bisa dengan begitu bodohnya dikerjai oleh teman-temannya sendiri pada hari April Mop. Ia tidak marah, ia malah menganggapnya lucu. Itulah mengapa Lea dan Selphie berani mengerjai Raisa pada hari April Mop. Mereka yakin bahwa Raisa tidak akan marah, karena selera humor Raisa yang sarkas dan aneh. Saat mereka bertiga berjalan pulang menuju kost, Lea dan Selphie masih terus menertawakan wajah panik dan bodoh Raisa ketika dikerjai tadi. Tidak hanya di jalan, sesampainya di kost, Lea dan Selphie segera menceritakan kejadian itu kepada Melissa dan Joseph. Raisa tidak menghiraukan mereka berempat. Ia membuka kulkas dan mengambil segelas yoghurt. Raisa memang selalu membeli yoghurt bergelas-gelas dan menyimpanannya di lemari es. 90
“Raisa...” panggilan datar mengagetkan Raisa. Ia menutup kulkas dan kembali terkaget ketika ia mendapati tubuh Karis yang sudah berdiri di sampingnya. “Ya ampun, Ris... Lo ngagetin aja! Tiba-tiba dateng tanpa suara, kayak hantu...” gerutu Raisa. “Gue udah nggak bisa bohongin diri gue sendiri lagi, Sa...” Wajah Karis memelas. “Gue... bingung banget, Sa.” “Lo kenapa, Ris?” Raisa jadi khawatir melihat sikap Karis yang tidak seperti biasanya itu. “Duduk dulu deh, Ris...” Raisa mengajak Karis duduk di sofa ruang tengah. “Gue... aduh, gimana yah...” Karis gelisah. Raisa tidak bicara apa-apa. Ia hanya menunggu Karis menceritakan masalahnya. “Gue rasa, gue... suka sama lo.” Karis berkata pelan namun jelas. “Um, bukan. Bukan suka. Gue jatuh cinta sama lo.” Karis menunduk, tidak berani melihat mata Raisa. Raisa terbengong, ia sampai lupa bernafas saking kagetnya. Deja-vu nih... Dua bulan yang lalu ia juga berkata seperti ini di sofa yang sama. “Ris, lo nggak ngerjain gue lagi kan? Karena kalo lo ngerjain gue dua kali, itu udah nggak lucu lagi...” kata Raisa datar. “Gue tau gue nggak seharusnya ngomong ini ke elo... Gue udah susah payah bikin lo akhirnya nggak benci gue. Tapi gue nggak nyangka kalo ternyata semua hal yang kita lewatin membuat gue jatuh cinta sama lo!” Karis kini menatap tajam mata Raisa. “Sorry, Raisa... Jangan benci gue lagi yah...” “Karis! Serius nih!” Raisa jadi salah tingkah sendiri. “Kalo lo ngerjain gue lagi, gue akan marah besar! Karena gue juga—”
91
“Nggak boleh marah dong! Kan April Mop...” Karis berkata usil lalu tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba Lea dan Selphie keluar dari dapur dan ikut-ikutan tertawa, “Kok cepet banget, Ris?” tanya Lea. “Sorry... gue udah nggak bisa nahan ketawa.” Karis berkata-kata disela tawanya. “Sorry yah, Sa... April Mop! Inget nggak boleh marah...” kata Selphie. “Nggak nyangka lo ketipu dua kali...” tambah Lea. Raisa merengut kesal. “Gila aja! Untung gue baik hati... Lain kali nggak ada yah, jokes kayak gini lagi!” Dalam hati Raisa merasa kecewa. Ia tidak menyangka kata-kata Karis yang ternyata hanya gurauan itu bisa membuat perutnya mules setengah mati. “Nikmati kemenangan kalian deh, gue mau kerjain tugas dulu.” Raisa berkata cuek dan meninggalkan Karis, Lea dan Selphie yang masih tertawa-tawa. Benar-benar tidak lucu. Bermain-main dengan perasaan orang tidak pernah lucu! “Sa, lo nggak marah kan?” Selphie mengikuti Raisa ke kamar. “Enggak kok. Kan cuma jokes... Tapi nggak lagi-lagi ya, Sel...” Kata Raisa sabar. “Iya. Lo ngerjain tugas apa, Sa?” tanya Selphie. “Sosial Budaya Indonesia.” Jawab Raisa singkat. “Mau dibantuin ngetik, nggak?” tawar Selphie. Raisa tersenyum senang. “Wah... Boleh juga tuh. Thanks yah, Sel!” Ternyata tidak hanya Selphie yang membantu Raisa mengerjakan tugas, Lea pun ikut membantu dan mereka menghabiskan waktu sampai makan malam. Raisa yang berpikir akan mengerjakan tugas 92
sampai malam, menghela nafas lega karena ternyata tugasnya sudah selesai jam setengah 7 malam dan bisa pergi makan bersama Selphie dan Lea. Kebetulan sekali tukang nasi goreng langganan Selphie lewat. Akhirnya mereka memesan nasi goreng dan tidak perlu keluar mencari makan. “Sorry ya, malam ini gue nggak makan bareng lo berdua. Tadi udah janjian sama Karis mau makan bareng kalo dia pulang...” Selphie berkata sambil tersipu-sipu. “Cieh... Udah kayak suami-istri nih...” goda Lea. “Ya udah, nggak apa-apa. Lo pesenin gue ya, Sel! Ambil aja duitnya di dompet gue. Gue mau mandi dulu...” pinta Raisa. Selphie mengangguk dan mengambil dompet Raisa dari tangannya. “Pedes nggak, Sa?” tanya Selphie. “Terserah lo aja lah.” Jawab Raisa. Selphie menghela nafas. “Selalu deh. Nggak ada jawaban selain terserah, ya? Sekali-kali gue pedesin banget deh...” Gerutu Selphie. Setelah akhirnya nasi goreng sudah matang, Lea membawanya ke ruang tengah, Selphie membuka dompet Raisa untuk mengambil uang. Sebuah gelang rajutan berwarna merah membuatnya terpaku. “Mana duitnya, Sel? Gue yang bayar ke depan deh.” Kata Lea. Selphie masih terdiam dan mengeluarkan gelang itu dari selipan tempat foto. “Lo ngapain sih, Sel?” tanya Lea. “Abangnya nungguin tuh!” “Karis juga punya gelang ini...” gumam Selphie. “Dia gantung di lampu belajarnya. Karis bilang itu hadiah pertama dari Timezone. Gue baru inget kalo waktu mereka kencan dulu, mereka pergi ke 93
Timezone... Yang gue inget mereka cuma fotobox dan nonton doang...” Selphie dan Lea terdiam. “Udah nasi gorengnya?” suara Raisa mengagetkan Selphie dan Lea. Selphie terlihat salah tingkah dan mengeluarkan uang yang kemudian diberikan pada Lea, dan gelang itu masih digenggamnya. “U... udah kok. Ini Lea baru mau bayar.” Selphie sedikit gugup. “Nih dompet lo. Oh iya, ini tadi jatuh...” Selphie mengembalikan dompet Raisa dan gelang rajutan itu. Raisa memandang curiga ke arah Selphie. “Jatuh? Gue taruh di selipan tempat foto, Sel. Mana mungkin—” “Maksud lo gue bohong?” Nada bicara Selphie meninggi. Lalu ia berjalan meninggalkan Raisa dan duduk di meja makan. “Makan Sa, nanti keburu dingin...” katanya. Setelah Lea kembali dari membayar nasi goreng, mereka bertiga duduk di meja makan tanpa mengobrol. Lea menjadi orang pertama yang berbicara karena merasa risih. “Lo tau nggak apa yang aneh?” Raisa dan Selphie tidak menjawab, mereka menunggu Lea menyelesaikan ucapannya. “Lo taruh satu benda yang menurut lo nggak penting di tempat yang paling penting...” Raisa kontan menaruh sendoknya dan menatap Lea, “Maksud lo apa?” “Apa sih arti gelang itu, Sa? Penting banget, ya sampe lo taruh di dompet? Kenapa fotobox-nya nggak sekalian juga?!” “Lea!” Selphie menenangkan Lea yang sudah mulai emosi.
94
“Udah deh, nggak usah bertele-tele. Ngomong aja maksud lo apa?” Raisa ikut-ikutan emosi. “Gue nggak masalah kalo lo suka Karis. Nggak masalah juga kalo lo munafik dan masih sok support Selphie sama Karis, karena itu semua memang hak lo! Tapi lo anggep Yksel apa? Ban serep lo?” seru Lea. Raisa merasa risih dengan perkataan Lea dan memandang ke sekeliling ruang tengah. “Tenang aja, Karis tadi pergi. Dia nggak akan denger.” Lea menambahkan. “Lo tau sendiri kalo gue nggak pernah janjiin Yksel apa-apa. Gue udah bilang ke dia kalo gue nggak mau ngegantungin dia, jadi dia bisa pergi dari gue kapan aja. Gue juga nggak pernah kasih harapan ke dia! Gue nggak tau apa yang bisa terjadi besok kan, Le! Who knows besok gue bisa suka Yksel, atau besok gue nggak suka Karis lagi?!” Raisa berbicara dengan emosi. Selphie memandang Raisa tidak percaya dan bertanya pelan, “Jadi... lo bener suka Karis, Sa?” Raisa terdiam cukup lama. Lalu ia memandang Selphie, dengan menyesal ia berkata, “Iya...” Mata Selphie berkaca-kaca. “Sel, Sorry... Gue...” “Nggak apa-apa, Sasa... Gue nggak marah kok. Lagipula gue punya hak apa...? Gue cuma mau... Um, Lea, malam ini gue nginep tempat lo, ya...”
95
Dua Belas Aku lupa wajahnya, tapi ia terus-menerus memaki Papaku. Ia berteriak sehingga Restu pergi meninggalkanku. ‘Restu! Kamu mau kemana? Jangan tinggalin Sasa sendirian...’ aku memohon. ‘Sasa jangan jadi anak kecil bodoh yang bisanya hanya meringkuk di kamar!’ Restu marah padaku. Ia berteriak lagi ketika Restu keluar dari kamar, dan ia menggendongku menuju Papa. ‘Ulang tahun Sasa tahun ini harus melebihi Getssa!’ Aaah!!! Jangan sebut nama itu! ‘Jangan jadi malaikat, Indra! Kau tidak akan mendapatkan satu rupiah pun dengan menjadi malaikat! Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan! Jangan membuat Sasa menangis lagi di hari ulang tahunnya!’ ‘Tugasku melindungi masyarakat, bukan menggerogoti uang mereka...’ ‘Semua orang melakukannya!’ ‘Hal yang dilakukan orang banyak bukan berarti benar, Lilian.’ ‘Anakmu sudah melakukannya! Hari ini ia dihukum karena ia mencontek dan ia—’ ‘Aku sudah bicarakan hal ini padanya. Kau mengerti kan, Raisa?’ Aku mengangguk takut. ‘Tapi, Pap... Semua teman-temanku juga mencontek...’ ‘Pap sudah bilang! Jangan ikuti semua orang! Apa yang dilakukan orang banyak belum tentu benar! Kau harus punya pendirianmu sendiri!!’
96
Papa mengangkat tangannya namun aku dibawa oleh dia menjauhi Papa. ‘Jangan kau pukul lagi anakmu, Indra!’ teriaknya. ‘Kau benarbenar orang yang tidak berguna!’ Tidak!!! Papa tidak begitu! Papa tidak bermaksud memukulku! ‘Sebaiknya kau kumpulkan uang yang banyak karena ulang tahun Sasa kali ini akan berbeda! Anak itulah yang seharusnya menangis di hari ulang tahunnya! Getssa!!!’ Jangan sebut nama itu lagi! Jangan sebut lagi!!! “Raisa... Raisa?” Karis menyentuh lembut pundak Raisa. Raisa membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah pensil gambarnya. “Kalo lo ngantuk, lo tidur aja... Jangan gambar dulu, nanti hasilnya malah nggak maksimal.” Karis berkata khawatir. Raisa mengangkat tubuhnya dari meja belajarnya. Rupanya ia tertidur saat berpikir untuk membuat gambar. Karis tersentak ketika melihat wajah Raisa. “Raisa, lo nangis?” “Hah?” Raisa meraba wajahnya. Sekitar matanya basah oleh air mata. “Oh... Kadang-kadang kalo gue tidur suka keluar air mata...” Ia membuat alasan. “Oh... Selphie mana, Sa? Gue udah janjian makan sama dia, tapi sampe jam segini dia belum pulang. Tadi gue pikir dia pergi sama lo...” Raisa melirik jam dinding. Pukul 9 lewat 15 menit. Pantas lehernya sakit, ia sudah tertidur satu jam lebih di meja belajarnya. “Selphie nginep di tempat Lea, Ris... Lo makan sendiri aja. Dia pasti udah makan.” Raisa membereskan alat-alat gambarnya. “Tumben amat dia nginep? Lo berdua lagi ribut ya?” Karis duduk di ranjang Selphie.
97
Raisa mengangguk lemah. “Gue yang salah...” “Lo mau cerita?” Karis menepuk-nepuk kasur Selphie, tanda bahwa Raisa diminta duduk di sebelahnya. Raisa sempat ragu, namun ia berpikir tidak ada salahnya untuk ngobrol dengan Karis. “Gue ngerasa gue kayak anak kecil yang mainannya diambil...” “Maksudnya?” Karis tidak mengerti. “Maksudnya... saat gue punya kesempatan untuk memiliki mainan itu, gue malah menyia-nyiakannya. Tapi saat ada anak kecil lain yang menyukai mainan itu dan ingin memilikinya, gue malah nggak rela dan mau ngerebut kembali mainan itu...” “Ini yang terjadi antara lo dan Selphie?” Raisa mengangguk. “Gue nyesel banget... Mungkin suatu kesalahan besar ngakuin hal itu ke Selphie.” “Gue nggak ngerti ada apa antara lo dan Selphie, tapi... seperti yang lo bilang, segala hal yang diperjuangin akan terasa lebih nikmat. Jadi gue rasa, lo bukannya mau ngerebut, lo hanya ingin mencoba memperjuangkannya lagi. Begitu juga dengan Selphie...” “Lo selalu punya jawaban untuk semua hal yah, Ris... Thanks.” Ucap Raisa. “Gue seneng kalo bisa membantu lo...” “Lo pernah berbuat kesalahan besar nggak sih, Ris?” Raisa bertanya. “Um...” Karis berpikir. “Gue rasa semua orang pasti pernah berbuat salah. Tapi gue berusaha untuk nggak menyesalinya.” “Intinya aja, kesalahan terbesar lo?” “Nggak tau. Lo?” “Banyak.” Jawab Raisa singkat. 98
“Itu karena lo selalu ambil keputusan dengan emosi. Kadang sifat kayak lo ada bagusnya, jadi lo nggak bakat berbohong. Tapi kadang lo perlu mikir matang-matang sebelum bicara yang bisa bikin sakit hati orang lain...” “Gue pernah bikin sakit hati lo, Ris?” “Nggak kok... Kata-kata lo saat emosi nggak pernah gue masukin ke hati.” “Mungkin karena itu lo nggak pernah bikin kesalahan besar, dan gue banyak...” “Sebutin salah satu, Raisa...” pinta Karis. Raisa mengerutkan dahi, tanda bahwa ia sedang berpikir serius. “Um... Banyak. Gue nggak tau harus sebutin yang mana...” “Gue sebutin satu ya... Nggak pernah coba mengenal Getssa.” Raisa tersentak. Ia berdiri dari duduknya dan menghadap Karis. “Lo mau tau kesalahan terbesar gue apa? Cerita sama lo tentang Getssa!” “Kenapa sih, Raisa—” “Lo nggak tau seberapa sulitnya bagi gue buat coba lupain Getssa! Sekarang lo terus-menerus sebut namanya!!” Raisa marah. “Jangan lupain Getssa, Raisa! Maafin dia!” “Lo jangan bicara seolah-olah lo mengenal gue Ris...” “Setidaknya gue berusaha untuk mengenal elo. Dengan begitu gue bisa lebih memahami elo. Hal yang sama yang seharusnya lo lakuin sama Getssa...” “Jangan sebut namanya lagi! Gue benci Getssa! Gue benci dia sampai-sampai ketika denger namanya, gue mau muntah!!” Raisa berteriak marah.
99
Karis diam terpaku melihat emosi Raisa yang meluap. Dia tidak menyangka dibalik semua keceriaannya, Raisa bisa mengeluarkan amarah sebesar ini. “Maafin gue, Raisa...” Karis mendekati Raisa. “Iya... Nggak apa-apa. Gue juga minta maaf, teriak ke elo. Lo keluar aja yah, Ris...” “Ya udah, lo istirahat yah, Sa.” Raisa tetap menunduk dan tidak menghiraukan Karis. Setelah terdengar suara pintu ditutup, Raisa duduk di ranjangnya dan menangis. Aku benci menangis. Terasa lemah dan bodoh. Tapi hanya inilah yang kuinginkan saat ini. Aku hanya ingin menangis. Jangan anggap aku lemah dan bodoh... Aku hanya sakit. Setiap mendengar nama itu, semua hal buruk seolah kembali terlintas. Nama itulah kotak pandora dari masa laluku. Namanya seperti penyakit menular yang bisa mengantarku pada memorimemori yang sudah lama terhapus. Dan hanya dengan mengingat namanya di imajinasiku, keingingan hidupku mengecil. Nama itu membuatku kembali membenci apa yang kucintai. Setelah belajar di sekolah saat SMP, aku baru mengerti ada satu kata yang tepat untukku. Kata yang menjadi favorit-ku. Paradoks.
100
Tiga Belas Raisa berusaha untuk berkonsentrasi penuh untuk mewarnai gambarnya walau mood-nya sedang buruk dan kepalanya sakit sejak bangun tidur. Sore ini Sandy sudah membuat janji dengan Raisa untuk melihat rencana ilustrasi Raisa untuk cover special edition bulan Mei. Seharusnya aku tidak pernah menunda-nunda pekerjaan penting ini..., gerutunya. Tapi akhir-akhir ini Raisa selalu merasa tidak punya waktu luang. Sejak sekamar dengan Selphie, Raisa menjadi kurang berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Apalagi dengan pertengkaran mereka kemarin dan momen dengan Karis sesudahnya. Sudah lama sekali sejak Raisa terakhir kali marah seperti itu. Membuat kepalanya sakit karena menahan emosi yang keluar. Pintu kamar terbuka. Raisa tahu itu pasti Selphie. Ia membalik badannya dan melihat Selphie yang juga sedang memandangnya di depan pintu. Selphie berjalan menghampiri Raisa. Dan ia langsung memeluk Raisa. “Sasa... Maafin gue yah... Gue egois banget...” Selphie terisak-isak di bahu Raisa. “Selphie... Gue yang harusnya minta maaf...” “Gue bertingkah seolah-olah Karis milik gue, padahal... padahal...” “Ssh... Udah, Sel... Gue ngerti kok. Udah, jangan nangis lagi dong. Nanti mata lo bengkak kayak kodok, mau?” canda Raisa. Selphie tertawa kecil disela tangisnya. “Lo kok baik banget sih, Sa...? Lo nggak pernah marah sama gue...”
101
“Itu karena lo pantes disayang...” Raisa mengelus-elus punggung Selphie. “Jangan nangis lagi, yah... Lo bukannya kuliah pagi hari ini? Bolos ya?” “Iya...” Selphie tersenyum polos. “Sekali-kali nggak apa-apa...” “Ya udah, gue mau ngewarna dulu yah, Sel... Soal Karis, gue nggak mau kita ribut gara-gara cowok, ok?” “Ok.” Selphie setuju. “Gue mandi dulu yah, Sa...” “Belum mandi? Dasar jorok... Udah jam 11 nih!” omel Raisa. *** Sekitar jam 3 sore, setelah gambarnya rampung, Raisa berpakaian rapi dan siap-siap pergi ke kantor. Ia ke ruang tengah untuk berpamitan pada Selphie yang dari tadi nonton TV. Ternyata ada Melissa dan Karis di sana. “Doain gue yah... Moga-moga nanti Sandy suka gambar gue.” Kata Raisa sambil mengambil yoghurt di kulkas. Selphie, Karis dan Melissa menyerukan ‘semoga berhasil’ basa-basi pada Raisa. Raisa mencibir sambil membuka segel yoghurt-nya, “Bisa lebih tulus lagi nggak, sih?” “Gue suka banget deh sama rambut Jennifer Rosalina.” Melissa mengganti topik dan menunjuk seorang pemain sinetron dalam layar kaca. “Rambut model apa juga bagus buat cewek secantik dia...” setuju Selphie. “Tapi sifatnya buruk...” Gumam Karis. Raisa, Selphie dan Melissa kontan menatap bingung ke arah Karis. “Apaan, Ris?” Melissa tidak paham. 102
“Dia cantik, tapi sifatnya buruk...” “Lo kenal dia, Ris?” tanya Selphie. “Dia mantan gue sebelum Yolla.” Jawab Karis datar. “Hah?! Bohong lo!!” Selphie terpekik tidak percaya. “Jangan percaya, Sel! Paling-paling April Mop atau Hari Kebalikan.” Kata Raisa cuek. “Beneran lo, Ris?” tanya Melissa lagi. “Iya. Gue satu SMU sama dia di Jakarta. Dia itu terobsesi banget mau jadi selebritis. Setelah dia mulai jadi bintang iklan, kita putus. Gue nggak tahan sama sikap dia yang manja dan suka mandang rendah orang lain.” Karis berkata serius. Raisa, Selphie dan Melissa melongo. “Lo mutusin Jennifer Rosalina, Ris?! Wuih, TOP berat lo!” seru Melissa. “Buat apa wajah cantik tapi hati busuk.” Kata Karis lagi. Raisa tersenyum simpul. “Bener tuh! Mending juga Selphie... udah imut, manis, baik hati lagi, Ris...” “Apaan sih lo, Sa!” Selphie tersipu. “Ya udah, gue jalan dulu yah.” Pamit Raisa. “Gue anter aja, Sa.” Tawar Karis. “Nggak usah. Gue udah biasa naik angkot. Daripada buang-buang pertamax-lo.” canda Raisa, berharap cowok yang terus-terusan ada di otaknya itu membalas candaannya karena sebenarnya Raisa kangen sekali berdebat dengannya. Namun Karis hanya tersenyum. “Hati-hati yah, Sa!” Seru Melissa.
103
Raisa mengangguk, dan berjalan pergi. Jennifer Rosalina adalah mantannya Karis? Entah kenapa fakta tersebut membuat Raisa tidak bisa tenang. Meskipun begitu, Raisa menyukai kata-kata Karis yang terakhir, ‘Buat apa wajah cantik tapi hati busuk.’ Sangat berkarakter! Tapi hal ini juga membuat Raisa agak minder karena cewek yang begitu cantik dapat dengan mudah dicampakkan Karis. Tapi Aku kan tidak bisa mendengar cerita hanya dari satu sisi saja... Tentu saja ia menjelek-jelekan Jennifer Rosalina, kebanyakan mantan pacar kan begitu. Mungkin saja Karis yang dicampakan Jennifer dan ia sakit hati? Tapi Yolla beda. Karis sangat menyayanginya. Seperti apa Yolla? Seperti apa Karis sebenarnya? Sampai detik ini, aku belum mengerti dirinya. *** Sandy sudah memperhatikan gambar Raisa sekitar 15 menit, dan ia tidak berkomentar apa-apa, membuat Raisa berkeringat dingin karena gugup. Sekilas Sandy mengernyit, lalu meletakan gambar Raisa. “Hm... Kita udah lama kerja bareng kan, Raisa?” “Iya. Hampir satu tahun.” Jawab Raisa. “Kamu tahu saya selalu suka karya kamu. Saya merasa kamu semakin kreatif dan warna-warnanya selalu bisa nunjukin bahwa itu karya kamu. Saya berani bertaruh, di seluruh dunia, sayalah yang paling mengerti typical gambar kamu. Dan oleh karena itu, saya merasa gambar ini bukan yang terbaik yang bisa kamu berikan, Raisa... Maaf jika perkataan saya akan membuat kamu kecewa, tapi untuk sebuah cover, gambar ini belum mencukupi...”
104
Raisa menghela nafas. Lega tapi kecewa. “Saya mengerti. Saya akan anggap ini sebagai pengalaman. Semoga lain kali, jika saya mendapat kesempatan lagi, saya bisa berusaha lebih baik.” “Pasti. Saya yakin itu.” Sandy menepuk pundak Raisa. “Berusaha terus yah, Raisa!” “Terima kasih, Mas Sandy. Saya pamit dulu.” Raisa berjalan lunglai keluar dari kantor. Kesempatan emas untuk mendesain cover sudah diharapkannya sejak dulu, apalagi ini adalah special edition. Tapi mungkin ia belum pantas untuk mendapatkan posisi itu. Perjalanan pulang dari kantor sampai kost adalah waktu yang cukup untuk membuat Raisa merelakan cover special edition pada orang lain. Seperti kata pap, setelah hujan, pasti ada pelangi. Mata Raisa langsung mencari mobil BMW X3 Karis yang biasa terparkir di garasi ketika ia membuka pintu gerbang kost. Tapi garasi itu kosong. Sedikit rasa kecewa menjalari hati Raisa. Walau ia tahu tak akan ada bedanya dengan atau tanpa Karis, Raisa selalu merasa tenang jika Karis ada di rumah. Hanya dengan melihatnya sesudah hari yang paling melelahkan sekalipun, Raisa bisa tersenyum kembali. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi ia tahu itu benar. “Gimana, Sa?” Ternyata Selphie sudah menunggunya di ruang tengah. Melihat wajah Selphie yang sangat mengharap, Raisa jadi tidak tega memberitahukan kabar buruknya. “Yah... Sandy bilang sih, dia suka gambar gue, tapi...” “Tapi...” Selphie mengulangi kata terakhir Raisa dengan lemas. “Katanya itu bukan hasil maksimal gue.” “Yah... Sayang banget, Sa...”
105
“Nggak apa-apa, Sel. Kok jadi lo yang sedih? Gue bisa coba lain kali kok.” “Tapi lo nggak apa-apa kan, Sa?” Raisa menggeleng yakin. Ia membuka kulkas dan mengambil segelas yoghurt. “Ya ampun, Sa! Itu udah gelas ketiga hari ini, nanti lo diare lagi...” “Tenang aja, Sel. Perut gue udah kebal sama yoghurt. Gue udah sejak SMU makan ini tiap hari.” Raisa berkata cuek sambil duduk di sofa dan menyetel TV. “Oh ya, Sa... Gue mau curhat.” Selphie duduk tepat di samping Raisa. “Tentang apa?” “Tentang Karis.” “Hah?” Raisa kaget dan langsung salah tingkah. “Sorry yah, Sel... Tapi bukannya enggak banget yah kalo lo curhat tentang Karis sama gue? Lo tau kan gue...” “Ya ampun, Sasa! Gue juga ngerti soal itu, tapi soal ini lo harus tau!” Selphie berkeras. “Soal ini, soal itu, apaan sih maksud lo, Sel?” Raisa penasaran juga. “Lo tau nggak sekarang Karis lagi ke mana?!” Selphie mengajukan pertanyaan dengan nada pemberitaan. “Ke mana?” “Nganterin Yolla pulang! Tadi Yolla kesini!” Selphie terpekik dengan suara sekecil mungkin, supaya tidak ada yang dengar. “Hah? Ngapain?” “Nganterin tugas apaan, gue nggak ngerti. Tapi bukan itu yang penting Sa! Yang mau gue bilang ke elo, gue berhenti aja deh ngegebet Karis.” 106
“Hah? Kenapa?” Lagi-lagi Raisa bertanya dengan nada meninggi. “Lo kalem dikit dong, Sa! Nanti ada yang denger...” “Iya. Iya.” “Gila aja... Kayanya hari ini Tuhan mau kasih tau gue deh... Tadi Karis bilang Jennifer Rosalina mantannya. Terus Yolla dateng. Lo tau nggak dia kayak apa? Lebih cantik dari Jennifer! Udah gitu, dia sopan, pinter, baik, ibarat Miss Universe deh...” Raisa melongo mendengar cerita Selphie. “Mampus deh gue Sa, kalo dibandingin sama Yolla. Yang baru kita tau cuma dua, gimana mantan-mantan Karis yang laen? Karis pernah cerita kalo mantannya yang dulu pernah ada yang menang lomba modeling dan sekarang di Paris! Duh, gue nggak kuat deh, Sa.” Selphie meringis pasrah. “Selphie, kalo lo aja mundur, apalagi gue...” “Iya yah... Gue aja yang imut, manis, kayak Agnes Monica gini aja mundur, apalagi elo...” canda Selphie. “Yee! Ngaca lo!” Raisa menjitak kepala Selphie. “Kepala lo ada isinya nggak sih?” “Ada. Karis...” Selphie tertawa. “Kalo gitu, lo berjuang dong buat dia. Masa nyerah gitu aja? Menurut gue Karis bukan tipe orang yang terlalu mentingin fisik deh. Lo denger kan apa yang dia bilang soal Jennifer?” Selphie menghela nafas panjang. “Tadinya gue juga mikir begitu, Sa. Tapi masa sih semua mantannya wanita-wanita super cantik kayak gitu! Berarti dia juga mentingin fisik, Sa. Kalo bisa, yang cantik dan baik hati kayak Yolla itu, iya kan? Gue yakin banget deh kalo Karis itu cowok yang pemilih. Gue mungkin suka banget sama dia, Sa... Tapi gue rasa gue nggak se-sayang itu sama dia sampe mau berkorban mental buat dia.” 107
“Lo yakin, Sel? Bukannya selama ini lo udah deket sama dia?” “Deket, tapi cuma sebatas teman. Dia nggak pernah tebar pesona ke gue dan gue rasa dia juga nggak akan PDKT ke gue. Dia pernah bilang kan, kalo dia liat cewek yang dia suka, dia akan ngajak kenalan dan PDKT ke dia. See? Itu nandain bahwa hal pertama yang dia liat dari seorang cewek itu yah fisiknya...” “Tapi menurut gue lo manis, imut...” “Makasih, Sa. Tapi yang gue gebet tuh Karis, bukan elo! Lagian cantik versi Karis tuh standarnya tinggi banget! Lo liat aja Jennifer.” “Gue tetep nggak setuju ah kalo lo mundur hanya karena hipotesa kacangan lo.” “Enak aja! Gue udah mikirin seharian masalah ini...” “Seharian gimana? Ketemu Yolla baru tadi kan...” “Ah terserah lo deh, yang pasti mulai sekarang gue akan mulai cari gebetan baru! Selamat ber-karir sendirian yah, non. Gue pensiun!” Ledek Selphie. “Selphie! Lo serius?” “Ya iyalah. Kalo nggak ngapain dari tadi gue ngoceh panjang lebar...” “Lo nggak bikin alasan ini karena kemaren gue ngaku suka Karis kan?” “Sejak kapan sih gue bohong sama lo? Kalo emang gue mundur karena itu, gue pasti bilang jujur sama lo. Tapi barusan gue ngomong sebenernya sama lo.” Selphie meyakini Raisa sekali lagi. Raisa memandang curiga ke arah Selphie. “Aneh aja lo tiba-tiba begini...”
108
“Nggak aneh kalo lo udah ketemu Yolla! Udah ah, gue mau mandi dulu.” Kata Selphie. “Perasaan lo mandi melulu, Sel!” “Yang tadi pagi akhirnya gue nggak mandi karena ke-asyikan ngobrol sama Melissa.” Selphie nyengir. “Ya ampun! Jorok amat sih, lo! Sana mandi beneran, gih!” Usir Raisa. Selphie pun meninggalkan Raisa sendirian di ruang tengah sore itu. Pikirannya menerawang ke pertanyaan yang sudah duluan memenuhi benaknya beberapa jam lalu. Seperti apa Yolla? Seperti apa Karis sebenarnya? Kenapa aku mendapatkan cerita ini setelah aku mulai yakin bahwa ia adalah orang yang sempurna untukku?
109
Empat Belas Akhir-akhir ini kepala Raisa selalu dipenuhi dengan segala tentang Karis. Raisa merasa dirinya menjadi sangat rentan. Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh pada suatu hal, selalu saja ada bayangan Karis yang melewati otaknya. Dan kalau ini yang dinamakan jatuh cinta, aku tidak menyukainya. Sudah cukup baginya selama beberapa bulan terakhir ini Karis membuat perasaannya naik-turun ibarat roller coaster, bermainmain dengan emosinya dan membuat jantungnya bekerja lebih keras dari biasanya. Kini saatnya bagi Raisa untuk maju dan membuktikan perasaannya sendiri. Malam ini Raisa akan meyakinkan hatinya. Setelah aku yakin, dengan senang hati aku akan berjuang untuknya atau melupakannya sampai ke dasar hatiku. Raisa mengetuk pelan pintu kamar Karis, dan ternyata pintu itu langsung terbuka. Sang pemilik kamar muncul sambil tersenyum. Raisa bisa merasakan perutnya mules seketika hanya dengan melihat senyum itu. “Ada apa, Sa? Tumben amat. Gue pikir Selphie...” Karis melepaskan headset yang tadinya tergantung di lehernya. “Habis nelpon?” tanya Raisa basa-basi. “Iya, tadi nyokap telpon. Masuk, Sa...” Karis mempersilahkan Raisa masuk. “Ris, gue mau ngobrol sama lo...” Raisa berkata datar. “Oh... Tumben amat, Sa? Lo nggak lagi mabok, kan?” canda Karis. “Nggak boleh, ya?”
110
“Boleh kok. Sensi amat...” Karis mengambil sekotak biskuit coklat dan menawarkannya pada Raisa. “Cobain deh, Sa. Nyokap baru kirim tadi pagi. Paman gue baru pulang dari Swiss, oleh-olehnya ini. Lumayan buat nemenin gue bikin maket.” Coklat bernama Kagi Freteli itu sebenarnya cukup menggoda, namun dengan menyesal Raisa menolaknya, “Gue udah sikat gigi, Ris. Males sikat lagi kalo nanti makan coklat.” “Yah, sayang banget. Besok pagi kesini lagi aja.” Raisa tersenyum melihat Karis yang selalu baik hati. “Karis...” Karis menaruh kotak coklat di meja dan duduk berhadapan dengan Raisa. “Ada apa sih, Raisa? Dari tadi kayaknya lo nggak tenang amat. Kan gue udah bilang, kalo ada masalah, lo bisa cerita sama gue.” “Nggak ada masalah kok...” “Terus?” “Kok lo nggak pernah cerita soal Jennifer Rosalina sih?” “Oh... Dari tadi lo mau nanya itu?” “Um... Engga juga sih.” “Bukan cerita yang bagus, Sa. Jadi males ngomonginnya. Lagipula emangnya lo mau cerita soal mantan lo kalo nggak ditanya?” “Yah engga juga sih... Kalo Yolla, cerita yang bagus nggak?” Karis menggaruk-garuk kepalanya. “Biasa aja sih... Seenggaknya berakhir bagus dan baik-baik.” “Mantan-mantan lo yang lain?” Tuduh Raisa. Karis tertawa kecil, “Lo interogasi gue nih, ceritanya? Ada apa sih, Sa?” Raisa menggeleng pelan. “Engga apa-apa kok.”
111
“Lo sendiri nggak pernah cerita tentang mantan lo itu…” Tuntut Karis. “Daniel? Bukan cerita yang bagus juga, Ris…” “Lo terlihat sangat cuek saat ceritain tentang dia waktu itu. Padahal sebenarnya, lo sakit hati, kan?” Raisa memandang Karis tidak percaya, Bagaimana mungkin Karis bisa— “Dan lo pasti mikir, kok Karis bisa tahu, sih?” Raisa tertawa, “Parah! Kok lo bisa tahu sih, Ris? Gw beneran nih, nanyanya…” “Cinta itu ada karena terbiasa, Raisa… Nggak mungkin banget lo pacaran segitu lama sama cowok itu, tapi nggak jatuh cinta sama sekali. Gue nggak percaya jodoh, nggak percaya jatuh cinta pada pandangan pertama dan hal-hal romantis bikinan Hollywood lainnya. menurut gue cinta yah, apa yang kita perjuangin. Kita terbiasa, merasa nyaman, dan nggak mau keluar dari situ. Kita perjuangin mati-matian untuk tetap merasakan kenyamanan itu.” Jawab Karis bijak. “Tapi kalau memang cinta itu nyaman, kenapa rasanya deg-degan terus, Ris?” “Deg-degan kan bukan berarti nggak nyaman. Buktinya kalau lo ngobrol sama dia, rasanya nggak mau udahan. Padahal deg-degan terus… Iya, kan?” “Aneh, ya…” gumam Raisa. “Nggak aneh ah, Sa… Menyenangkan.” Karis tersenyum memandang Raisa, “kayak sekarang. Menyenangkan.” Raisa menundukan kepalanya, dia bisa mendengarkan bunyi degupan jantungnya yang makin hebat sekarang. Suasana canggung pun menjalari mereka. Karis dan Raisa sama-sama 112
terdiam, namun Karis mencoba mencairkan suasana lagi. “Coklatnya enak banget loh, Sa... Yakin lo nggak mau? Gue tarik tawaran gue yang tadi deh, besok coklatnya pasti udah abis...” “Dasar rakus! Nanti gendut baru tau rasa...” “Kan gue berenang, nanti lemaknya dibakar.” “Mana ngaruh kalo berenangnya cuma sebulan sekali dan ngemilnya tiap malam...” “Biarin. Selama masih bisa menikmati hidup, nggak usah ditahantahan. Lo rela kalo nggak boleh minum yoghurt lagi?” “Iya juga sih... Um, Ris... Ngomong-ngomong tipe cewek lo kayak apa sih?” Karis mengerutkan dahinya, “Tipe cewek? Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?” “Udah deh, jawab aja. Waktu itu lo pernah nanya juga ke gue, kan?” “Um... Nggak ada tuh, Sa.” “Nggak ada? Mana mungkin nggak ada. Syarat-syarat apa yang mesti dipunyain seorang cewek supaya lo bisa suka dia, gitu...” “Nggak ada. Kalo suka yah suka aja... Yang pasti cewek gue nggak perlu punya 5 warna rambut, atau bisa niruin suara Spongebob...” “Ya ampun, masih inget aja... Kalo sama Yolla, kenapa lo bisa suka dia Ris?” “Pertama kali gue suka Yolla itu karena dia enak diajak ngomong. Gue nyambung sama dia, dia smart dan penuh percaya diri. Tapi bukan berarti itu tipe cewek gue. Gue kan udah bilang, Sa... Semua orang spesial. Suka sama seseorang itu terjadi secara natural.” “Suka orang pasti ada alasannya, Ris...”
113
“Nggak juga, kadang gue suka orang tanpa alasan... kayak gue suka elo.” “Apa?” Dalam waktu yang singkat, detak jantung Raisa menjadi tambah cepat. Raisa bahkan berpikir kalau sebentar lagi jantung itu akan meloncat keluar. “Iya... Aneh banget. Padahal gue tau lo benci sama gue. Aneh, gue menyukai orang yang membenci gue. Makanya gue berusaha matimatian supaya lo nggak benci gue lagi..” “Kalo lo suka gue, kenapa nggak berusaha jadiin gue sebagai cewek lo...” Raisa tidak habis pikir bagaimana ia bisa berani mengatakannya. “Udah, Raisa. Dua kali! Kan lo nggak mau sama gue...” Karis tertawa kecil. Wajah Raisa memanas. “Itu semua kan jokes, Ris! Yang pertama, karena disuruh Lea. Yang kedua, April Mop.” “Tetap aja intinya lo nolak gue. Kalo seandainya lo terima, gue nggak akan bilang itu semua cuma jokes. Emangnya gue cowok nggak punya perasaan...” Raisa bengong, tidak tahu harus menyesal atau lega atau pura-pura tidak pernah mendengar pernyataan Karis ini. “Nggak apa-apa kok, Sa...” Lanjut Karis. “Gue ngerti banget kenapa lo nolak gue. Sampe kapan pun lo nggak akan bisa suka gue dengan tulus...” bicara Karis mulai serius. “Hah? Maksud lo?” “Enggak kok. Nggak apa-apa. Kayaknya tadi kita lagi ngomongin tipe cewek gue, ya?” “Karis. Jangan mengalihkan pembicaraan dong. Gue serius nih! Gue lagi butuh jawaban dari sebuah pertanyaan konyol di otak
114
gue. Gue nggak ngerti kenapa harus malam ini, nggak ngerti juga kenapa...” “Gue suka elo, Raisa...” Kata-kata Karis menghentikan bicara Raisa seketika. Mungkin juga memberhentikan waktu, memberhentikan rotasi bumi. Raisa tidak berani melihat mata Karis, pandangannya hanya tertuju pada jari-jemarinya yang kini saling meremas karena gugup. Raisa bisa merasakan tubuh Karis mendekat. Ia bisa merasakan hangatnya hembusan nafas Karis di dekatnya. Raisa semakin menundukkan kepalanya karena takut, gugup, khawatir, excited, atau apalah itu, dia sendiri tidak tahu. Wajah Karis benar-benar sudah tinggal beberapa senti dari wajahnya. Raisa menutup matanya, rasanya seperti naik roller coaster! Dengan lembut Karis menempelkan bibirnya di pelipis Raisa. Tidak mengecup, hanya menempelkan bibirnya di pelipis Raisa yang ditutupi rambut acak-acakannya. Ia membenamkan hidungnya, mengirup wangi khas rambur Raisa. Untuk beberapa detik, mereka terpatung seperti itu. Dan kalau bisa, Raisa ingin sampai mati begitu. Karis menjauhkan wajahnya dari wajah Raisa, lalu tertawa kecil. “Tapi...” lanjut Karis pelan. Tapi...? Keduanya terdiam. Karis tidak melanjutkan kata-katanya, sedang Raisa masih terus menunggu. Karis tidak tahu apa melanjutkan kata-katanya adalah benar. Karena yang ia hadapi adalah Raisa. Jika aku melanjutkannya, kau akan berteriak marah padaku. Jadi sebaiknya kau tunggu sampai aku bisa membuktikan padamu bahwa apa yang kukatakan adalah benar. Karis bergumul dengan pikirannya sendiri. Ia menghela nafas panjang. 115
“Tapi lagi-lagi lo ngerjain gue dan habis ini lo akan bilang, ‘Selamat Hari Kebalikan, Raisa!’ Dasar cowok nyebelin!” Raisa meniru gaya bicara Karis lalu memukul pelan tangannya. Karis tertawa terbahak-bahak, “Peniruan Karis versi lo lucu juga, Sa.” “Ya udah ah, ngobrol sama lo nggak berkualitas! Gue tidur aja deh...” Raisa bangun dari duduknya. “Yakin nggak mau coklat?” tawar Karis untuk yang kesekian kali. “Engga! Iman gue kuat tau!” Raisa berdiri di depan pintu dan melihat Karis lagi, “Met malam, Karis.” “Met malam, Raisa. Selamat Hari Kebalikan! Gue benci elo...” Raisa tersenyum simpul. Dalam hatinya bergejolak, apakah benar jika ia mengakuinya? Sejenak ia ragu, namun akhirnya ia mengatakannya juga, “Gue juga, Karis...” “Gue lebih.” Balas Karis lagi.
116
Lima Belas Yksel melihat jam tangannya lagi untuk yang kesekian kalinya. Sudah setengah jam ia menunggu Raisa di ‘food district’ ini. Bukan karena Raisa yang terlambat, tapi karena ia terlalu cepat datang. Sudah setengah bulan lebih ia tidak bertemu Raisa, rasa rindu tidak bisa ditahan lagi. Selama dua minggu ujian akhir, dan seminggu sebelumnya, Raisa tidak pernah bertemu dengan Yksel lagi karena alasan persiapan untuk ujian. Namun Yksel ingat kata-kata terakhir Raisa ketika mereka makan bersama sebulan yang lalu. “Di hari terakhir UAS, aku mau ngomong sesuatu yang penting banget buat kamu dan aku.” Ini dia saatnya! Inilah saat bagi Yksel untuk menuai apa yang sudah ia perjuangkan selama ini. “Hei... Udah lama nunggu?” suara Raisa mengagetkan Yksel dari lamunannya. “Eh, Engga kok. Duduk, Sa...” Yksel menarik kursi disebelahnya untuk Raisa. “Thanks. Gimana ujian terakhir-nya, Yksel?” tanya Raisa. “Lumayan. Kamu sendiri?” Raisa hanya tersenyum kecil. “Yksel, gue... um, ada yang mau diomongin serius.” “Iya, aku tahu. Kamu pernah bilang mau ngomong serius di hari terkahir UAS.” Yksel menahan tawa bahagianya. Ini dia! Raisa pasti mau bilang kalau akhirnya perjuanganku berhasil! “Kita kan udah lama deket. Selama ini gue masih bimbang sama perasaan gue. Lo selalu muncul di waktu yang tepat, seolah-olah Tuhan nunjukin kalo lo ada buat gue.” 117
Yksel masih terus mendengarkan Raisa dengan serius. “Gue cuma jujur terhadap perasaan gue dan gue rasa ini yang paling fair buat elo.” Yksel langsung lemas. Ia tahu ini bukan kabar baik. “Iya, Sa… Udah nggak usah dilanjutin. Aku sudah tahu.” “Maaf… Gue pasti orang yang bodoh banget karena udah bikin lo sedih. Percaya deh, Yksel... Lo adalah orang terakhir di dunia yang ingin gue sakitin.” Yksel hanya menarik nafas panjang. Sepertinya dunia akan runtuh, hatinya sakit sekali sampai susah untuk bernafas. Ia masih sempat berharap Raisa akan tertawa dan berkata, ‘Gue cuma bercanda!’ “Gue nggak mau terus-terusan membiarkan lo berjuang buat gue, padahal gue tahu itu nggak mungkin...” “Nggak mungkin? Nggak mungkin apanya, Sasa?!” “Saat kita menyukai seseorang, kita selalu menginginkannya untuk juga menyukai kita. Dan saat kita tahu bahwa orang itu nggak lebih mencintai kita atau bahkan nggak bisa mencintai seperti kita mencintainya, kita akan sakit... Dan gue nggak mau lo terusterusan sakit.” “Sasa—” “Gue sengaja ngomong ini di hari terakhir UAS. Supaya konsentrasi lo nggak terganggu. Dan supaya lo punya waktu tiga bulan untuk lupain gue.” “Apa?” “Sore ini gue pulang ke Lampung, Yksel. Dan baru balik bulan Agustus nanti. Lo punya waktu sekitar tiga bulan untuk lupain gue. Bukan karena lo nggak bisa memperjuangkan gue, tapi karena lo pantas ngedapetin orang yang lebih baik untuk lo perjuangin.” “Tapi aku mau kamu, Sasa...” 118
“Yksel... Jangan bikin ini tambah sulit buat gue. Gue tahu—” “Kenapa, Sa?” “Apa?” “Kenapa kamu bilang ini semua ke aku? Kenapa kamu nggak bisa mencintai aku? Apa aku nggak cukup baik untuk kamu?” “Engga, Yksel! Lo tahu bukan itu alasannya.” “Lalu?” “Gue udah yakin dengan apa yang gue mau, yang gue sukai, seseorang yang ingin gue perjuangkan dengan sepenuh hati. Gue nggak tahu seberapa besar pengorbanan yang harus gue lakukan buat dia, seberapa banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti, gue nggak tahu banyak tentang cinta yang kayak gini, Yksel. Tapi gue tahu gue suka dia. Dan jika dia bisa merubah rasa benci gue yang luar biasa ke dia dulu menjadi cinta, maka gue yakin dia bisa berbuat banyak keajaiban lagi.” “Ini masih orang yang sama?” “Iya.” Yksel terdiam cukup lama sampai ia merasa sanggup bersuara lagi. Pelan, seperti rintihan hati, “Naik apa pulang ke Lampung, Sa?” “Naik bus.” “Hati-hati yah, Sa. Jangan keluarin HP di bus kalo nggak penting, ya...” “Iya. Thanks yah, Yksel.” Raisa beranjak bangun dari kursinya. “Gue pamit yah...” Ia menyentuh lembut pundak Yksel. Yksel hanya mengangguk, tak berhenti memandangi Raisa. Menangkap sisa-sisa kenangannya terakhir kali. Membingkai wajah Raisa dalam hatinya, bekal untuk tiga bulan kedepan.
119
Yksel menunduk, menatap meja kosong di depannya, mendengarkan langkah kaki Raisa yang mulai berjalan menjauhinya. Berpikir bahwa ia sudah jatuh cinta pada seorang gadis dan juga patah hati karenanya. Terlalu sulit dicerna dengan pikirannya saat ini bahwa ia yang begitu tulus mencintai Raisa harus menerima kenyataan pahit seperti ini. Dimana salahku? Aku mencintainya tanpa cacat sedikitpun. Aku memberikan seluruh jiwaku untuk digenggamnya. Aku rela menangis jika dia bisa tertawa. Apa cinta seperti itu tidak cukup? Kenapa aku harus jatuh cinta pada Raisa jika ia bisa jatuh cinta pada orang lain selain diriku? Dengan dunia yang sudah terlalu kompleks, kenapa Tuhan tidak menciptakan cerita cinta yang lebih sederhana? “Yksel...” Suara Raisa dengan lembut menyadarkannya dan membuatnya berbalik menatap gadis yang dicintainya itu. “Gue sedikit takut dengan kenyataan bahwa mungkin suatu hari nanti gue akan sangat menyesalkan hari ini. Tapi...” “Aku mengerti, Sasa.” Yksel tidak membiarkan Raisa melanjutkan kata-katanya. “Saat itu aku sudah memenangkan grammy awards 3 tahun berturut-turut dan menikah dengan Megan Fox. Aku akan pura-pura tidak mengenalmu saat kamu menangis memohonmohon padaku.” Raisa tertawa mendengar candaan Yksel. “Huh, sombong sekali!” “Oke, mungkin aku akan membiarkan kamu menjadi wanita simpananku, bagaimana?” Raisa tertawa lagi, “Ok! Deal!” Raisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan meninggalkan Yksel yang masih terus memandangnya sampai sosok Raisa benar-benar hilang di tengah kerumunan.
120
Kau tahu itu tidak benar, Sasa. Kapanpun kau kembali padaku, aku akan menganggap hari ini tidak pernah terjadi. *** “Kejutan!!!!” Selphie, Lea, Karis dan Dio berteriak di sekeliling mobil Karis sambil berpose taa-daa ke arah mobil Karis ketika Raisa pulang ke kost. Raisa tersenyum bingung. “BMW X3?” tanyanya polos. “Buat gue, Ris?” Selphie, Lea, Karis dan Dio tertawa terbahak-bahak melihat wajah Raisa yang polos dan terlihat bodoh. “Bukan, Sasa... Kita berempat akan ikut lo ke Lampung!” Seru Lea. “Iya! Seru kan!” tambah Selphie tak kalah antusias. “Hah? Serius lo?” Raisa tidak percaya. “Serius! Kita udah masukin semua barang bawaan lo ke mobil. Abis gue mandi kita berangkat ya!” kata Karis. “Boleh kan, Sa? Kita ngerepotin nggak?” Tanya Lea. “Enggak kok. Pap pasti seneng banget ketemu teman-teman gue. Lo serius mau nyetir sampai Lampung, Ris?” Raisa belum percaya seratus persen. “Ya ampun, Raisa... Semua barang lo dan barang kita udah di mobil, masa sih bohong. Lagian nanti bisa istirahat di dalam ferry, kan. Udah ah, gue siap-siap dulu yah.” Karis mengelus pelan kepala Raisa dan masuk ke dalam rumah. Lea dan Selphie menghampiri Raisa, dan Lea berbisik pada Raisa, “Lo ada apa sih sama Karis? Kok akhir-akhir ini dia perhatian dan sweet banget sama lo?”
121
“Iya. Jangan-jangan lo udah jadian, yah sama Karis? Yang ngasih ide ke Lampung juga Karis. Dia mau ketemu calon mertua kali...” goda Selphie. “Apaan sih lo berdua? Nggak ada apa-apa kok.” Raisa salah tingkah. “Ada apa sih? Kok ngomongnya bisik-bisik?” tanya Dio dari dalam mobil. “Mau tau aja lo! Urusan cewek tau! Udah lo panasin mobil aja. Karis nggak lama kok. Abis ini kita road trip ke Lampung!” seru Lea antusias. Setelah semua siap, Karis menjalankan mobil keluar dari kost. Dan perjalanan jauh semalaman itu dimulai.
122
Enam Belas Raisa langsung berteriak senang ketika mereka akhirnya sampai di depan rumah Raisa. “PAP!!! Sasa pulang!” Pintu terbuka dan seorang bocah laki-laki dengan tawa yang sangat lebar berteriak tidak kalah senang dengan Raisa. “Kak Sasa!!!” “Wil!!! Aduh, kakak kangen banget!” Raisa membuka pintu pagar yang memang tidak terkunci dan memeluk Wil yang langsung berlari menghampirinya. “Wil kangen Kak Sasa... Wil kangen Kak Sasa...” kata Wil terus menerus di pelukan Raisa. “Kakak juga, Wil... Maaf yah, kakak nggak bisa sering pulang. Pap mana?” “Disini, Sasa.” Seorang pria bertubuh agak gemuk berseru pada Raisa dari depan pintu rumah. Seketika air mata Raisa mengucur saat ia menghampiri Ayahnya itu dan memeluknya erat, melepas rindu. Sudah begitu lama, hampir setengah tahun. Pap terasa lebih lemah. Bukan lagi sosok Ayah gagah yang selalu pakai seragam polisi. Raisa selalu tidak bisa membayangkan Ayahnya yang sekarang. Gambaran seorang Ayah yang selama bertahun-tahun menduduki benaknya adalah seorang polisi gagah. Jadi selalu terasa aneh jika membayangkan Pap yang seperti ini. “Kau datang bersama teman-temanmu, Sasa? Kenalkan pada Pap dong, Sasa...” ujar Ayah Raisa lembut. “Oh ya, aku lupa karena terlalu kangen sama Pap. Masuk aja, guys.” Raisa meminta teman-temannya masuk.
123
“Pap, ini Selphie, teman sekamar Sasa. Ini Lea dan Dio. Itu yang masih buka bagasi namanya Karis.” Kata Raisa. “Pagi, Om!” sapa Selphie, Lea dan Dio kompak. Sedang Karis hanya tersenyum dari depan pagar. “Kita turunin barang dulu yah, Pap. Wil, kamu bikinin Kakak dan teman-teman kakak minum yah.” Kata Raisa. “Oke bos!” jawab Wil ceria. Ia dan Pap berjalan masuk meninggalkan Raisa dan teman-temannya yang membongkar bagasi. “Lo bawa apaan aja sih, Sel! Nginep sehari aja kayak mau pindahan.” komentar Lea ketika melihat tas Selphie. “Yee... biarin aja. Daripada lo, kalo nginep di kost nggak bawa apa-apa, nggak modal banget.” balas Selphie. “Udah ah! Lo berdua jangan banyak ngomong, bawa aja ke dalam.” Potong Raisa. “Oh ya, Sa, ngomong-ngomong nyokap lo mana?” tanya Dio. Raisa seketika terdiam. Begitu juga dengan Selphie dan Lea. Keadaan menjadi sedikit kaku namun Karis bertanya dengan polosnya, “Kenapa sih? Kok pada diem?” “Sorry, Sa... Gue lupa bilang ke Dio dan Karis.” Ucap Selphie pelan. “Nggak apa-apa kok, Sel. Mama sudah meninggal, Di, waktu gue kelas 3 SMP.” Raisa mencoba berkata se-normal mungkin. “Oh. Sorry, Sa...” Dio merasa tidak enak. “Nggak apa-apa kok. Semua orang pasti meninggal kan? Hanya masalah waktu aja. Udah belum, Le? Ayo kita masuk dulu...” Ajak Raisa.
124
Setelah Raisa, Selphie dan Lea masuk, dan semua barang sudah diturunkan, Karis menutup bagasinya. Pikirannya masih menerawang jauh, memikirkan kata-kata Raisa tadi. Semua orang pasti meninggal, hanya masalah waktu saja. Mengapa ia tak pernah bercerita tantang Ibunya? Benarkah seorang Raisa bisa menerimanya segampang itu? Tidak, kalau dia adalah Raisa yang aku kenal. “Lo udah tau, Ris?” tanya Dio singkat. “Apa?” “Tentang nyokap Raisa.” “Enggak. Baru tau tadi.” “Gue pikir lo tau. Gue nggak enak banget...” “Nggak apa-apa, Di. Raisa orangnya fleksibel kok. Masuk yuk!” ajak Karis. *** Matahari sedang terbenam ketika Raisa, Selphie, dan Lea sedang memasak di dapur untuk makan malam sementara Dio dan Wil seru bermain playstation. Karis, yang baru bangun tidur akibat menyetir semalaman itu, menghampiri Ayah Raisa yang sedang duduk di teras sambil menghisap sebatang rokok. Lalu Karis duduk di kursi sebelah Ayah Raisa. Ayah Raisa menawarkan rokok pada Karis, namun dengan sopan Karis menolaknya. “Bagus. Sasa tidak suka orang yang merokok. Makanya setiap kali ingin merokok, saya pasti keluar dan merokok di teras. Kalau tidak ia pasti mengomel.” Karis tersenyum geli membayangkan Raisa mengomeli Ayahnya. “Namamu Karis, kan?” tanya Ayah Raisa.
125
“Iya. Saya teman satu kost Raisa.” Jawab Karis sopan. “Bagaimana dia di sana, Karis? Tidak kebanyakan makan yoghurt sampai maag-nya kambuh kan? Yang paling Om khawatirkan saat ia ingin tinggal sendiri di Bandung adalah pola makan Sasa yang berantakan. Dia bisa tidak makan seharian dan hanya makan yoghurt.” cerita Ayah Raisa. “Sampai sekarang juga masih makan yoghurt, Om. Tapi tetap makan nasi kok.” “Baguslah. Om sebenarnya percaya-percaya saja sama Sasa. Dia sudah mandiri sejak Mamanya pergi.” “Um, kalau saya boleh tau, apa penyebab Mama Raisa meninggal, Om?” “Waktu itu ada kerusuhan di pasar dan Mama Sasa menjadi salah satu korbannya. Lilian sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit, tapi...” Ayah Raisa tidak meneruskan kalimatnya dan menerawang jauh, mengingat kembali hari menyedihkan itu. “Sejak itu Sasa selalu bilang ingin belajar politik. Dia tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang tidak berdosa menjadi korban dalam suatu kerusuhan seperti itu. Negara ini seperti tidak punya hukum saja... Kasihan Sasa, sebenarnya ia tidak ingin masuk HI, tapi ia mengesampingkan cita-citanya untuk ini.” “Memangnya apa cita-cita Raisa, Om?” Ayah Raisa tersenyum tipis, “Ia ingin jadi arsitek, Karis.” Karis tercengang. “Sejak kecil ia suka menggambar. Menggambar segala macam. Yah rumah, yah manusia, yah karikatur. Dan ia selalu bilang jika ia sudah besar, mau menjadi arsitek. Lalu ia juga ingin membuat gallery untuk pameran lukisannya. Dasar Sasa... anak itu memang suka berkhayal.”
126
Aku pernah menduganya! Dengan gambar sebagus itu, seharusnya ia menjadi seorang arsitek atau designer. Bukan politikus banyak bicara. Itu bukan Raisa. “Kamu dekat dengan Sasa, Karis?” tanya Ayah Raisa dengan nada serius. “Um... lumayan. Saya tidak tahu bagaimana Raisa melihat saya.” “Dia memang anak yang sedikit keras.” “Boleh saya bertanya sesuatu, Om?” Karis bertanya agak ragu. “Tentu. Ada apa, Karis?” “Um... Ini tentang seorang teman SD Raisa yang bernama Getssa.” Ayah Raisa terkejut dengan perkataan Karis. Bagaimana anak ini bisa tahu nama itu? “Dari mana kamu tahu soal Getssa, Karis?” Ayah Raisa memandang Karis curiga. “Raisa yang menceritakannya...” “Tidak mungkin! Sasa tidak akan pernah bercerita tentang Getssa.” “Tapi saya benar-benar tahu dari Raisa.” Karis berusaha meyakinkan Ayah Raisa. “Oh, elo disini Ris!” Raisa tiba-tiba muncul dari dalam. “Pap merokok lagi yah? Sasa pikir udah tobat... Makanan udah siap tuh!” “Iya, sebentar lagi Pap masuk dengan Karis. Pap masih ngobrol sama dia.” Ujar Ayah Raisa. “Ngobrolin apa, Ris?” tanya Raisa ingin tahu. “Ada aja... Nanti bentar lagi gue masuk, Sa.” Jawab Karis.
127
“Ya udah, jangan lama-lama yah!” Lalu Raisa meninggalkan mereka lagi. Ayah Raisa mematikan rokoknya dan berdiri dari duduknya. “Ayo kita masuk, Karis.” “Um, soal Getssa...” “Om tidak tahu begitu banyak soal anak bernama Getssa itu, karena ketika SD, Sasa lebih dekat dengan Mamanya. Tapi kalau Om boleh memberi nasehat padamu, lebih baik jangan menyinggung nama Getssa lagi, Karis... Sasa selalu marah ketika Mamanya menyebut nama Getssa.” *** Setelah selesai makan dan cuci piring, Raisa, Selphie dan Lea bergabung dengan Dio, Karis dan Wil yang lagi-lagi sedang main playstation. Sekitar jam setengah sepuluh Pap pamit untuk tidur. Setelah Raisa mengantar Pap tidur, ia kembali bergabung dengan adiknya dan teman-temannya. “Wil, nanti kamu tidur sama Pap yah! Biar Kak Karis dan Kak Dio tidur di kamar kamu.” Kata Raisa pada Wil. “Oke, Bos!” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV. “Mobil lo masukin ke garasi aja, Ris.” Usul Raisa. Karis mengangguk setuju. Ditemani Raisa, ia lalu berjalan keluar. Raisa menggembok pintu pagar setelah mobil Karis masuk ke dalam garasi. Rasanya seperti saat-saat dulu ketika Restu pertama kali pindah ke Padang. Raisa selalu mengurus rumah setiap hari. “Lo canggih yah, Sa...” Karis berkata pelan.
128
“Canggih?” “Iya. Lo ngurus adik dan Papa lo sendirian.” Karis menatap mata Raisa. Raisa sedikit salah tingkah, namun ia hanya tersenyum. “Apa lo nggak ngerasa capek?” tanya Karis. Raisa duduk di tangga teras. “Dulu iya. Kalo capek sama hidup gue, gue sering duduk-duduk di tangga kecil ini. Mikirin besok bikinin bekal apa buat Wil, masak apa buat Pap, udah kayak presiden mikirin negara aja...” Karis duduk di sebelah Raisa, mendorong pelan pundaknya terhadap pundak Raisa yang tersenyum simpul. “Gue juga selalu berharap ada yang nemenin gue duduk di sini...” Raisa memandang sejuk mata Karis. “Thanks yah, Ris.” “Buat apa?” “Akhirnya ada orang yang nemenin gue duduk di sini. Walaupun lo telat lima tahun.” Raisa tersenyum tipis. Karis baru saja akan menanggapinya, namun Raisa berbicara lagi, “Makasih juga lo nggak pernah bosen dengerin cerita-cerita gue yang membosankan.” “Kata siapa membosankan? Setiap kali denger cerita lo, gue kayak belajar. Banyak banget yang gue pelajari dari lo, Raisa.” “Masa sih?” “Iya. Lo ngajarin gue kalo hasil perjuangan selalu terasa lebih nikmat,” Raisa tertawa kecil. “Semua orang tahu itu, Ris... Lo aja yang terlalu naif. Sejak kecil selalu dapetin—” “Apa yang gue inginkan? Iya. Iya. Lo kayaknya sinis banget yah setiap ngomong itu.” Karis terkekeh.
129
“Sejujurnya, gue emang sering nggak mau ngaku, tapi kayaknya bener deh, gue sinis begitu karena dulu gue selalu mengingingkannya, tapi gue nggak punya.” Kata Raisa datar. “Dulu gue nyebelin banget, Ris. Apalagi waktu awal-awal Mama nggak ada, rasanya gue jadi anak paling...” Raisa mencari kata yang tepat. “...jahat.” “Gue suka marah-marah sama Wil, bosen ngurusin dia yang bawel, memojokkan Pap untuk ikut-ikutan korupsi dan gue selalu sinis sama teman-teman gue. Mungkin gue ngiri... Begonya, gue selalu ngeluh kalo gue ini orang yang paling menyedihkan di dunia. Gue ngasianin diri gue sendiri, sampe suatu hari... gue ketemu seorang anak kecil yang merubah semuanya. Merubah cara berpikir gue, dan merubah hidup gue pada akhirnya.” “Anak kecil? Siapa?” Karis penasaran dengan cerita Raisa. “Gue bahkan nggak tau namanya, Ris! Ironis banget kan?” “Kok bisa? Gimana ceritanya?” “Gue ketemu dia di halte bus. Waktu itu gue baru pulang sekolah dan duduk melamun mengasihani diri sendiri. Perut gue laper banget sampe bunyi.” Kakak lapar? Ini buat kakak... “Dia ngasih gue risoles dagangannya. Terus gue bilang gue nggak punya duit.” Nggak usah dibayar. Kan aku kasih kakak. Hari ini dagangan aku laku banyak. Aku sedang senang. “Karena gue lapar, akhirnya gue ambil dan gue makan. Tau nggak Ris, itu risoles paling enak yang pernah gue makan... Terus gue tanya lagi, apa dia sekolah, dimana rumahnya, orang tuanya...” Aku kelas 2 SD. “Seumur dengan Wil.” 130
Rumahku di dekat rel kereta. Ibu ada di penampungan orang sakit jiwa. Aku tinggal sama Nenek. “Ibunya kenapa, Raisa?” tanya Karis penasaran. “Gue juga langsung tanya, ada apa dengan Ibunya...” Ibu sakit jiwa setelah diperkosa belasan orang saat kerusuhan 13 Mei 1998. “Anak itu meneteskan air mata saat bicara begitu, Ris.” Dan Bapak dibunuh saat berusaha menyelamatkan Ibu. Karis tercengang. Saat kerusuhan itu terjadi, ia dan keluarganya melarikan diri ke Singapore. “Dan dengan senyum yang paling manis yang pernah aku lihat di muka bumi ini, anak itu bilang...” Tapi Tuhan baik banget sama aku. Aku masih bisa jualan risoles, jadi bisa bantu nenek bayar biaya sekolah aku. “Itulah titik balik dalam hidup gue, Ris.” Kakak jangan sedih ya... Nenek pernah bilang kalau aku punya senyum paling manis di seluruh dunia, jadi aku nggak akan pernah berhenti tersenyum supaya orang yang liat senyum aku juga bisa ikutan senyum. “Lalu ia pamit ke gue saat bus yang ia tunggu datang. Waktu ia berjalan masuk ke dalam bus, gue baca sablonan yang ada di belakang kaos anak itu, yang udah kucel dan tulisannya hampir hilang. Lo tau tulisannya apa, Ris?” “Apa?” “Angel.” Lagi-lagi Karis tercengang. Ia merinding seketika mendengar cerita Raisa. “Ternyata... banyak hal di dunia ini yang...” Karis berkata pelan. 131
“Iya. Saat itu gue juga berpikir kayak gitu. Ternyata banyak banget hal di dunia ini yang belum gue mengerti dan gue sudah tenggelam dengan kesedihan gue sendiri. Gue seharusnya sangat grateful dengan apa yang gue punya, dengan begitu gue bisa merasa lebih bahagia. Gue terlalu egois dan selalu merasa hidup gue yang paling susah, sampe harus dikirimin Tuhan malaikat yang jualan risoles buat nyadarin gue. Ironis, ya?” Raisa bisa merasakan air matanya menetes ke pipinya. Karis menggenggam tangan Raisa. “Saat anak itu bilang ke gue untuk jangan sedih, gue merasa jadi orang paling beruntung di dunia, Ris. Sejak saat itu, gue sangat menghargai hidup gue.”
132
Tujuh Belas Jam digital di dashboard mobil Karis sudah menujukkan pukul 23:45, dan tenaga dalam tubuh Karis sudah terkuras habis untuk menyetir seharian dari Lampung ke Bandung, mengantar Dio kembali ke kost untuk Semester Pendek, lalu langsung lanjut ke Jakarta. Setelah mengantar Selphie dan Lea ke rumahnya masingmasing yang sama-sama di Jakarta, akhirnya Karis sampai juga di rumahnya. Teringat bayangan terakhir Raisa di teras pagi tadi saat Karis akhirnya berbaring nyaman malam itu. Sampai jumpa Agustus nanti, Karis... Drive safely. Lalu ia memelukku. Erat sekali. Seperti takut aku takkan pernah kembali. Tak bisa kutahan diriku untuk tidak mengecup dahinya. Dan berjanji padanya untuk sering menelponnya. Jangan. Ia berkata. Biarin gue kangen banget sama lo. Jangan telpon gue. Tapi bagaimana jika aku yang merindukannya? Bagaimana jika aku ingin melihat wajah ceria yang selama ini selalu kulihat setiap hari. Dua bulan lebih tanpa Raisa? Dan Karis menyalakan lampu di samping tempat tidurnya. Membuka laci meja dan mengambil dompetnya. Dikeluarkannya fotobox yang ternyata kini terasa begitu berarti baginya. Sekarang saja sudah kangen lo, Raisa… *** “Akhirnya kamu bangun juga, Karis.” Helena, Ibunda Karis yang bertubuh langsing dan rambut tertata rapi dengan wajah cantik 133
yang selalu tersenyum memeluk anak semata wayangnya itu. “Kenapa pulangnya malam sekali?” “Karis langsung dari Lampung.” Jawab Karis sambil duduk di meja makan dan menyantap roti isi yang sudah tersedia untuknya. “Dari Lampung? Ngapain, Ris?” Helena sedikit terkejut. “Main ke rumah teman.” “Aduh anak Mama... Sekarang main ke rumah teman sampai Lampung.” Helena bergeleng-geleng. “Papa mana, Ma?” Tanya Karis. “Membantu Mamanya Maira mengurus green card. Sepertinya mereka akan pindah ke Amerika, for good.” “Sekeluarga? Kakaknya Maira juga?” “Eh, kamu belum tahu kalau kakaknya Maira sudah meninggal?” Helena berkata serius. “Masa? Kapan?” Sebenarnya Karis tidak begitu kaget. Maira sudah menjadi tetangganya sejak mereka SMP. Kakak Maira tidak pernah tinggal bersama Maira. Ia berobat keliling dunia untuk menyembuhkan penyakitnya yang disebut Cystic Fibrosis, penyakit sejak lahir yang membuat paru-paru sang penderita mengeluarkan lebih banyak lendir dari manusia normal. Penyakit mematikan ini menggerogoti penderita seperti halnya gagal ginjal dan kanker. Doktor telah memvonis bahwa kakak Maira akan meninggal pada usia 22 tahun. “Beberapa minggu yang lalu. Kasihan sekali Tante Anna...” “Umur berapa dia, Ma? Kata Maira ia divonis meninggalnya pada umur 22?” “Baru umur 20, Ris. Kasihan sekali... Mama tidak tega melihat Tante Anna yang terus-menerus menangis di pemakamannya. Karena tidak punya teman, pemakamannya hanya dihadiri 134
keluarga dekat dan Mama. Paling hanya sekitar 30 orang. Benarbenar menyedihkan.” “Kasihan sekali. Tapi bukankah lebih baik begitu, Ma? Kakak Maira sudah menderita sejak kecil, dia bahkan tidak pernah hidup tanpa obat. Dari cerita Maira saja, Karis sudah kasihan sekali padanya...” “Tapi Tante Anna sayang sekali sama dia, Ris. Mama kasihan sama dia. Sudah begitu lama keluar-masuk rumah sakit di seluruh dunia, tapi hasilnya malah begini.” “Iya sih... Tapi Karis yakin ia pasti menderita. Bayangkan saja, sejak Maira pindah kesini, ia tidak pernah tinggal bersama kakaknya. Kakaknya terus berobat di luar negeri. Daripada terusterusan begitu, kan lebih baik ia beristirahat tenang.” Ujar Karis. “Sayang sekali yah, Ris... Dia masih muda, tampan lagi. Mama sempat lihat wajahnya sebelum tutup peti. Yang lebih kasihan lagi, ia tidak punya teman sama sekali! Pemakamannya tidak banyak dihadiri orang... Kasihan Getssa...” Getssa? “Apa? Namanya Getssa?” Karis bangun dari tempat duduk saking kagetnya. “Ia. Namanya bagus sekali. Getssemani apa yah... Mama lupa.” Seberapa banyak nama Getssa di dunia ini? “Di mana dia dimakamkan, Ma?” tanya Karis cepat. ***
135
Karis berjalan pelan menyusuri makam-makam yang berjajaran. Getssemani... Getssemani... Matanya terus mencari nama itu di deretan nisan. Dan akhirnya Karis berhenti di depan sebuah makam. Ia membaca dengan seksama tulisan yang terukir di nisan. In Loving Memory Getssemani Filipi Eden 23-08-1985
27-04-2005
“Dua puluh tiga Agustus...” Gumam Karis pelan. “Ulang tahun Raisa.” Karis terkaget setengah mati ketika ia merasakan ada tangan yang menepuk pundaknya. Ia segera berbalik dan melihat Tante Anna, Ibu dari Maira dan Getssa, yang sedang berdiri di hadapannya. “Tante Anna...” “Maaf, Karis. Tapi sedang apa kamu di sini?” “Mama cerita soal Kakak Maira, um, Getssa. Jadi saya ingin menengoknya.” Tante Anna tersenyum tipis. “Terima kasih, Karis. Kamu baik sekali.” Lalu ia berjongkok dan menaruh sebuah buket bunga krisan putih di atas makam Getssa. “Tidak banyak orang yang mendatangi makam Getssa. Jadi Tante sebenarnya senang sekali melihatmu di sini. Bahkan Maira tidak pernah lagi kesini. Wajar saja, Ia tidak pernah benar-benar mengenal kakaknya.” Tante Anna bercerita tanpa Karis minta. “Kadang Tante berpikir, apa keputusan Tante untuk membawa Getssa ke luar negeri adalah benar. Toh pada akhirnya tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakit itu. Tante telah menukar indahnya masa remaja Getssa dengan obat, terapi, dan alat getar.”
136
“Maaf Tante, bukankah Getssa pernah menjalani pendidikan formal sewaktu SD?” tanya Karis. “Benar. Waktu itu penyakitnya belum begitu parah. Tapi ia sering tertular batuk dari teman-temannya, dan sejak itu dokter menyarankan agar Getssa segera diberi perawatan intensif.” Tante Anna menjawab pertanyaan Karis sekaligus melanjutkan ceritanya. “Sebenarnya saat itu Getssa tidak mau pergi dari Lampung, Ris. Dia bilang, dia akhirnya tau kenapa selama 6 tahun gadis yang disukainya tidak pernah datang ke ulang tahunnya. Dan ia minta Tante untuk memberinya waktu satu tahun lagi agar ia bisa merayakan satu ulang tahun terakhirnya.” Karis tercengang mendengar cerita Tante Anna. “Tante marah sekali saat itu. Sepertinya Getssa pasrah pada nasib dan tidak mau berjuang untuk hidup. Jadi, Tante bilang padanya, jika Getssa ingin terus merayakan ulang tahunnya, ia harus pergi berobat. Tante menjanjikan padanya bahwa ia akan kembali ke Lampung dengan sehat dan bisa bertemu dengan gadis itu lagi.” Karis merasakan bulu kuduknya berdiri. Satu lagi cerita mencengangkan yang ia dengar dengan kedua daun telinganya sendiri. “Gadis itu... Apa tante tau namanya?” Tante Anna tidak menjawab, ia berpikir. “Sa... Risa... Tante tidak begitu ingat.” “Raisa?” “Benar. Itu dia! Raisa! Bagaimana kamu bisa tahu, Karis?” Terlalu kebetulan. Semuanya terlalu kebetulan. Aku bisa melihat suatu cerita dari dua sudut pandang. “Kebetulan. Hanya menebak, Tante.”
137
Delapan Belas Raisa sedang mencuci piring ketika siang itu terdengar ketukan dari pintu depan. Raisa mengecilkan suara air dari keran dan berteriak, “Wil! Tolong lihat siapa yang datang!” Setelah Raisa mencuci piring, ia berteriak lagi, “Siapa, Wil?!” Namun tidak ada jawaban dari arah depan. Raisa segera berjalan keluar dari dapur menuju ruang tamu. Dan betapa kagetnya ia ketika melihat sesosok pemuda yang sangat ia rindukan kini telah berdiri di depannya. “Restu...” Gumam Raisa masih tidak percaya bahwa yang dilihatnya nyata. “Iya, Restu pulang, Sa...” jawab Restu. Raisa tidak bisa menahan air mata bahagia yang kini sudah membasahi pipinya. Restu tahu ia harus memeluk erat adiknya itu agar ia berhenti menangis. Restu tidak suka melihat Raisa menangis. “Kenapa harus tunggu begitu lama buat pulang...?” Tanya Raisa sambil terisak. “Maaf yah, Sasa...” Hanya itu jawaban Restu. Pap keluar dari kamar bersama Wil yang memang sengaja menghampirinya. Sejujurnya, Wil tidak terlalu mengingat Restu. Sejak kecil ia memang tidak pernah bermain dengan Restu, dan jarang sekali berbicara dengan Restu. Wil merasa Restu membencinya. “Kau benar-benar datang...” Kata Pap pelan. Raisa melepas pelukan Restu dan berbalik menatap Pap. “Pap tahu Restu mau datang?” “Pap yang menelponnya.” Jawab Pap. “Pap ada perlu sama Restu.” 138
Tiba-tiba mood Raisa berubah. Dengan nada curiga ia bertanya pada Pap, “Ada perlu apa?” “Sudahlah, Sasa.” Restu menghampiri Pap dan memeluknya juga. Restu rindu semuanya. Kecuali Wil. “Memangnya Pap ada perlu apa sama Restu?” tanya Raisa lagi. “Wil, kamu tidur siang yah... Pap, Kak Sasa dan Kak Restu mau bicara.” Pinta Pap halus pada Wil. Wil menurut saja walaupun ia merasa sebal karena ia merasa sudah cukup dewasa untuk diajak bicara. Setelah Wil masuk ke kamar, Raisa bertanya lagi untuk yang kesekian kali. “Ada perlu apaan sih? Kok Pap nggak bilang kalau Restu mau datang?” “Pap sendiri tidak yakin Restu akan datang. Pap pikir ia sibuk.” Jawab Pap. “Tadinya Restu memang tidak yakin mau kesini. Restu pikir uangnya di-transfer lewat bank saja. Tapi Restu kangen juga sama rumah.” Tambah Restu. “Uang apa?” tanya Raisa. “Sasa, Wil butuh uang untuk masuk SMP.” Jawab Pap pelan, hampir tidak terdengar. “Jadi Pap telepon Restu untuk itu? Pap bisa minta sama Sasa kan? Lagipula uang itu bukan uang Restu!” Raisa berkata keras. “Sasa! Kamu bisa pelan sedikit tidak?! Jangan seperti itu! Nanti adikmu dengar!” tegas Pap. “Apa sih maksud Sasa?” Restu bertanya pada Raisa. “Restu, Sasa nggak mau Restu minta uang sama Delilah buat kami lagi! Sasa tahu Delilah nggak suka sama Sasa. Lagian sejak kapan sih Restu sok perhatian sama Wil? Restu nggak usah sok jadi
139
pahlawan, Sasa tahu Delilah akan marah sekali kalau tahu hal ini. Sasa juga bisa cari uang untuk sekolah Wil! Lagipula Pap ngapain sih minta sama Restu?” Raisa berkata penuh emosi. “Sasa! Restu tulus membantu Pap. Restu tahu Sasa udah kerja dan punya uang sendiri, tapi Restu nggak mau Sasa punya beban. Biar uang itu untuk kuliah Sasa aja. Biar Restu yang bantu uang sekolah Wil.” Restu mencoba menjelaskan. “Sejak kapan Restu peduli sama Wil?” “Sejak sekarang!” Restu memotong pertanyaan Raisa dengan tegas. “Restu juga nggak mau terus-terusan begitu, Sasa... Sasa harus dukung Restu dong!” Raisa sebenarnya tidak mau mengingat semuanya, tapi Restu memaksanya untuk itu. Inilah kenapa Raisa benci pulang ke rumah. Di rumah, ia tidak bisa lari dari masa lalunya. Kenapa wajah Wil berbeda? Kenapa Wil tidak boleh tidur sama Pap? Kenapa Kak Restu tidak mau bicara dengan Wil? Kenapa begini, kenapa begitu... Wil selalu bertanya banyak hal padaku. Aku benci Wil yang cerewet dan menyebalkan. Sampai suatu saat kutampar wajahnya dan berkata bahwa ia tidak boleh mengajukan pertanyaan lagi padaku. Setelah itu Wil diam seribu bahasa. Sampai Pap dipanggil ke sekolah karena ia bahkan tidak berbicara sedikitpun di sekolah. Dan Pap malah memarahiku karena hal itu. Aku selalu salah. Apa yang kuputuskan tidak pernah benar. Semua membenci Wil, dan hanya aku yang diminta menjaganya. Kenapa? Karena setelah Mama tidak ada, akulah yang mengurus semuanya. Begitu juga dengan Wil. Hanya karena aku perempuan? Aku depresi. Aku baru berumur 14 tahun! Aku butuh bersgosip tentang cowok dan mengerjakan tugas sekolahku! Jadi bukan salahku 140
saat kupaksa Wil untuk berbicara lagi. Dan karena ia tetap tidak mau bicara, aku mengatakan padanya bahwa aku tahu kenapa semua orang membencinya. ‘Kenapa?’ Akhirnya ia mengeluarkan suara lagi dari mulutnya. Kata pertamanya yang memang kata kesukaannya. Kenapa. Karena hidupnya memang penuh dengan tanda tanya. Karena kaulah penyebab Pap dan Mama bertengkar. Karena kau bukan anak Pap! Karena itu Restu membencimu! Dan aku pun membencimu karena sejak aku mengurusmu, Restu tidak pernah lagi bermain denganku! “Restu menyesal dengan semua yang Restu lakukan dulu. Restu tahu Restu bersikap tidak adil pada Sasa dan Wil. Kalau Pap bisa menerima Wil, kenapa Restu tidak bisa? Restu tidak mau terusterusan begini, Sasa. Beri Restu kesempatan untuk membayar dosa Restu pada Wil dengan cara ini.” Raisa bisa melihat ketulusan yang memancar dari hati Restu. Raisa ingin percaya, namun sejak dulu ia memang sudah belajar untuk tidak dengan mudah mempercayai orang. Khususnya Restu, seseorang yang pernah sangat disayanginya, lalu pergi meninggalkannya begitu saja. “Nggak ada salahnya kan, Sa?” Pinta Restu lagi. Benar. Tidak ada salahnya. I have nothing to lose. Raisa mengangguk dan berbicara pelan, hampir tidak terdengar. “Makasih udah pulang, Restu...” Malam itu Restu menginap di rumah. Rasanya seperti saat-saat dulu. Raisa mengobrol dan bercanda bersama Restu. Restu bercerita tentang ia dan Delilah, dan bahwa kini Delilah tengah mengandung tiga bulan. Dan ia ingin anak itu boleh datang ke rumah kakeknya kapanpun ia mau. Restu ingin semuanya kembali baik-baik saja.
141
Bagi Raisa, ini berarti satu lagi titik balik dalam hidupnya. Saat ia berpikir untuk mengeluarkan Restu dari bingkai memorinya, Restu malah kembali dan menawarkan untuk membuat permulaan baru yang menyenangkan. Akhirnya, Keluarga yang normal. Benarkah begitu? Raisa tidak mau terlalu memikirkannya. Masih ada beberapa hal yang ia sudah lupakan dan tidak mau dikoreknya lagi. Dia yang selalu menyebut nama Getssa. Dia, yang dengan ambisinya, membuatku lemah. Raisa tidak mau mengingatnya. Setelah Restu pulang kembali ke Padang, Wil secara diam-diam selalu berusaha untuk bertanya pada Raisa suatu pertanyaan. Ia ragu apakah Raisa akan menjawabnya atau tidak, atau malah Raisa akan marah padanya. Seperti dulu. “Ada apa, Wil? Kenapa kau diam saja dari tadi?” Akhirnya Raisa menyadari perbedaan dalam diri Wil. Ia hanya memandang diam layar TV. “Wil ingin tanya sesuatu sama Kak Sasa...” Kata Wil pelan masih ragu-ragu. Raisa menghampiri Wil dan duduk di karpet, tepat di hadapan Wil. “Tanya apa, Wil?” “Apa Kak Restu masih membenci Wil? Apa kemarin Kak Sasa bertengkar dengan Kak Restu karena Wil?” “Kenapa kamu bilang begitu, Wil?” “Wil takut... Wil sudah jadi anak baik selama ini. Wil tidak ingin buat Pap dan Kak Sasa sedih...”
142
Raisa langsung memeluk Wil. “Kak Restu tidak membenci kamu, Wil. Nggak ada yang benci sama Wil. Sekarang Kak Sasa yang tanya, yah. Wil sayang Kak Sasa, nggak?” “Sayang...” “Kalo sayang Kak sasa, Wil harus belajar yang baik, biar nilainya bagus. Jadi Pap bisa bangga saat ambil raport kamu. Dengan begitu, Kak Sasa dan Kak Restu akan senang.” “Kak Restu juga?” “Iya. Kak Restu kan juga sayang kamu. Dia sampai bela-belain ke sini untuk melihat kamu masuk SMP.” “Walaupun Wil bukan anak Pap?” Raisa tersentak. “Iya. Tapi bagi Kak Sasa, Wil tetap adik yang paling Kak Sasa sayang.” Lalu Raisa memeluk Wil lagi, membiarkan adiknya itu merasakan nyaman yang jarang ia dapatkan waktu kecil dulu. Aku tak akan membiarkan Wil merasakan yang aku rasakan dulu. Aku tak akan menjadi dia!
143
Sembilan Belas Bulan Agustus akhirnya datang. Raisa sudah tidak sabar menunggu untuk kembali ke Bandung. Mungkin saja semester ini ia mendapat kembali kesempatan untuk men-desain cover. Dan yang pasti, Raisa akan bertemu Karis lagi. Rasa rindu yang sudah menumpuk tidak bisa lagi dibendung. Inilah saatnya untuk melepas rindu. Raisa masih berpikir-pikir apa yang akan dikatakannya pada Karis saat bertemu nanti. Ia membuka pintu pagar dan melihat mobil Karis terparkir di garasi. Rasa lega yang amat sangat menjalari perasaan Raisa. Ia lalu berjalan masuk ke dalam rumah sambil bisa merasakan hatinya yang berdebar kencang. Tampaklah Karis dengan kemeja merahnya berdiri di depan TV sambil tertawa. Pemandangan yang melegakan hati Raisa. Dan di depannya berdiri seorang wanita cantik yang juga sedang tertawa dan menyentuh pelan lengan Karis. “Raisa?” Wajah Karis langsung sumringah melihat Raisa yang sudah ada di depannya. Ia menghampiri Raisa dan menatap matanya dalam. Karis tidak bisa mengucapkan kalimat apapun. Ia tahu ia sudah berusaha untuk berkata ‘kangen’, tapi kata-kata itu tidak bisa keluar dari bibirnya. Ia terlalu senang. Akhirnya ia memeluk Raisa. Jantung Raisa rasanya hendak meloncat keluar saat Karis menarik tubuh Raisa dan mendekapnya. Rasanya dunia runtuhpun aku rela. “Kenapa nggak bilang balik hari ini? Kan gue bisa jemput elo.” Kata Karis begitu melepas pelukannya. Raisa hanya tersenyum simpul. 144
“Oh iya, kenalin Sa, ini Yolla.” Karis memperkenalkan Raisa kepada wanita yang ternyata adalah mantan pacarnya itu. “Hallo.” Sapa Yolla ramah. Raisa membalasnya singkat, “Hai!’ “Selphie ada, Ris?” tanya Raisa. “Ada kok, di kamar. Lo beres-beres dulu deh. Gue anter Yolla pulang dulu yah.” Raisa mengangguk dan berjalan menuju Kamarnya. Ia membuka pintu dan berteriak senang begitu melihat Selphie. “Sel!!!” Selphie tidak kalah senangnya. “Ya ampun, Sasaaa!!!” Dan mereka saling berpelukan melepas rindu. “Lo udah ketemu Karis belum?” Itu kalimat pertama yang ditanyakan Selphie. “Udah sih, barusan.” Jawab Raisa. Ia menghempaskan dirinya ke tempat tidur. “Ketemu Yolla, ya?” “He-eh. Karis lagi anter dia pulang.” “Elo nggak apa-apa, Sa?” “Yah, sebenarnya bukan pemandangan seperti itu yang gue harapkan saat ketemu Karis. Tapi ya nggak apa-apa sih.” “Tapi emang udah dua hari ini Karis jalan sama Yolla terus.” kata Selphie kecewa. Tak disangka, hati Raisa lumayan sakit hanya dengan mendengar berita itu dari Selphie. Aku tidak suka saat-saat seperti ini. Aku tidak suka perasaan yang kurasakan saat ini. “Oh, ya?” Hanya itu tanggapan Raisa. “Sasa...” Selphie merangkul pundak Raisa dan mengajaknya duduk di ranjang. “Lo sebenernya gimana sih? Lo suka Karis, kan?” Raisa memandang ragu pada Selphie. 145
“Udah, jujur aja sama gue. Sebenernya perasaan lo gimana? Seberapa penting Karis buat lo?” “Penting...” Akhirnya Raisa bersuara, “...banget.” Mereka berdua terdiam. Tenggelam dalam pikirannya masingmasing. 16 Agustus 2005 Hari ini Sasa balik. Ada sesuatu yang ngeganjel di hati gue... Setelah kemaren gue ketemu Karis lagi setelah lama banget nggak ketemu, ternyata perasaan itu masih ada. Rasa deg-degan, ketawa-ketawa sendiri saat ingat dia, kayak orang gila. Excited yang amat sangat saat hanya melihat mobil dia terparkir di garasi. Gila yah? Ternyata Karis udah masuk ke hati gue sesignifikan itu. Karisfi Arditian... Salah nggak sih gue kalo suka sama lo doang? Gue nggak akan ganggu elo kok, gue menghargai elo sepatutnya gue menghargai Sasa. Itulah kenapa gue mau lo berdua bahagia. Walau gue harus nahan sakit. But this feeling is just too hard to fade away. Inget nggak sih? Falling in love with you was the most beautiful feeling I had and I enjoyed it. Sekarang, gue nggak tau lagi apa itu masih boleh? Gue mikir, mau sampai kapan gue begini? Lagipula, gue nggak mau Sasa merasa berdosa kalau tahu gue masih suka elo. Aduh!!! Gue jadi mikirin elo trus nih, Ris!!!
146
Raisa membuka pintu kulkas dan mengambil segelas yoghurt. Ia keluar dari kamar saat melihat Selphie membuka lemari dan duduk serius menulis buku hariannya. Raisa tahu Selphie suka menulis buku harian, dan ia tidak mau mengganggu Selphie. Tidak lama setelah Raisa menonton berita di TV, suara mobil Karis terdengar memasuki halaman. “Yoghurt lagi...” katanya begitu masuk dan melihat Raisa di ruang tengah. Raisa hanya tersenyum menanggapi komentar Karis. “Udah makan nasi belum, Sa?” tanya Karis. “Belum sih, tapi nggak gitu laper kok.” Jawab Raisa. “Tapi kata Papa lo, lo nggak boleh hanya minum yoghurt aja tiap hari. Mau gue temanin cari makan nggak?” tawar Karis. “Tapi gue emang nggak lapar...” kata Raisa. “Lo susah dibilangin, yah. Ya udah deh, terserah.” Akhirnya Karis menyerah. Diam-diam Raisa tersenyum. Menurutnya Karis lucu sekali saat bertanya penuh perhatian begitu. Sebenarnya Raisa menyayangkan kesempatan pergi makan dengan Karis hilang begitu saja. Seharusnya aku pura-pura lapar walaupun aku memang tidak lapar, pikirnya lugu. “Oh ya, Sa... hari selasa minggu depan gue mau ajak lo pergi. Lo bolos kuliah aja, yah. Sehari aja nggak apa-apa, kan?” pinta Karis. “Selasa depan?” Raisa berpikir sebentar. “Tapi itu tanggal 23, Ris.” “Iya, gue tau. Ulang tahun lo kan? Lo pasti mau ngerayain bareng Selphie dan yang lain, makanya gue ajak lo pergi dari pagi. Soalnya agak jauh.” “Agak jauh? Emangnya mau kemana?” Tanya Raisa penasaran. “Jakarta.”
147
“Hah? Ngapain?” “Udah deh, lo ikut aja yah...” “Ya udah, terserah.” Lalu Karis masuk ke kamarnya. Dan jantung Raisa pun kembali berdetak normal. Pergi lagi dengan Karis! Di hari ulang tahunku! Raisa tidak ingin terlalu berharap, tapi ia tahu pasti bahwa dirinya tidak bisa menahan untuk tidak mengira-ngira apa yang akan dilakukan Karis di hari ulang tahunnya.
148
Dua Puluh Hari itu pun datang. Tanggal 23 Agustus. Hari dimana Raisa selalu menangis. Tidak kali ini! Yang kuinginkan hanya sesuatu yang menyenangkan dengan Karis. Hanya duduk bersamanya seharian, mengobrol segala hal. Tidak perlu berpikir banyak, hanya bersamanya. Itu saja. Seperti yang sudah direncanakan sehari sebelumnya, Raisa dan Karis sudah berangkat pukul setengah enam pagi, bahkan sebelum seluruh anak kost bangun. Raisa sangat menikmati pagi hari yang cerah itu. Senyum ceria sudah tergambar sejak awal dan gambaran indah yang akan terjadi hari ini terbentang di garis khayalnya. Sekitar tiga jam setelah itu, Raisa berdiri kaku di depan sebuah makam. Pikirannya melayang jauh ke hari-hari yang hampir dibuang dari otaknya ketika membaca nama yang tertulis di atas batu nisan. Getssemani Filipi Eden. Perasaan Raisa bercampur aduk. Ia bahkan tidak bisa menunjukkannya lewat ekspresi wajah. Semuanya serba tidak jelas. Raisa benar-benar terdiam kaku. Semua memanggilnya Getssa. Aku masih bisa mendengar seluruh anak di kelas menyerukan namanya ketika Ibu Tari bertanya, siapakah yang ingin membacakan karangannya di depan kelas. Karangan tentang ‘Cita-citaku’. Air mata jatuh di pipi Raisa. Walau ia tahu Karis berdiri di sampingnya, ia merasa takut. Takut sampai menggigil, seolah-olah Raisa jatuh ke dalam suatu sumur yang dalam sekali dan tidak ada yang bisa mendengarnya berteriak minta tolong. 149
Getssa maju ke depan sambil melemparkan senyum khasnya. Dan ia membacakan karangannya, ‘Cita-citaku. Setiap malam, sebelum tidur, aku selalu membayangkan bahwa suatu hari aku bisa berlari di padang rumput yang luas, berlarian bersama teman-teman. Setelah itu aku akan tidur memandang matahari tenggelam. Aku tidak pernah melihatnya, tapi seorang teman berkata bahwa matahari tenggelam adalah pemandangan yang indah. Sebenarnya cita-citaku sederhana. Aku hanya ingin bebas, melihat matahari tenggelam dan bertemu malaikat.’ Karis meraih tangan Raisa dan menggenggamnya kuat. Semua orang terkesima mendengar karangan Getssa. Umumnya anak kecil tidak membuat karangan seperti itu. Walau aku membencinya, aku mengakui kalau karangan Getssa sangat indah. Datang dari hati. “Bagai... Bagaimana lo bisa...” Raisa mencoba berkata walau terbata-bata. “Ceritanya panjang. Anggap saja gue kebetulan kenal dengan Mamanya.” “Ke... Kenapa...” “Sejak kecil Getssa sudah punya penyakit—“ “Bukan itu! Soal itu gue nggak mau tahu! Kenapa lo bawa gue ke sini, Ris? KENAPA? Hari ini ulang tahun pertama gue setelah kenal elo! Gue mau kali ini aja nggak ada nama Getssa! Hari ini aja, Ris! Nggak bisa yah, lo liat gue happy?!” Raisa berteriak penuh emosi. Karis membiarkan Raisa mengatur nafasnya sebelum Karis akhirnya memeluk Raisa. Raisa hendak melepaskannya, namun Karis mendekapnya erat. Tidak ingin melepaskannya. Dan mereka membisu cukup lama.
150
Air mata Raisa membasahi kemeja Karis. Perasaannya bercampur aduk. Antara takut, tidak percaya, bersalah, sedih, marah, semuanya. “Lo tanya kenapa kan, Sa?” Karis berbicara pelan. “Apa alasan gue bawa lo ke sini?” Raisa melepas pelukan Karis dan memandangnya bingung. “Karena gue mau lo sadar kalo selama ini lo udah terperangkap dalam kebencian. Lo benci Getssa sampai lo nggak mau kenal dia. Lo egois, Raisa! Lo nggak kasih Getssa kesempatan buat memperkenalkan dirinya ke elo!” “Tahu apa lo tentang itu? Lo nggak ngerti, Karis! Lo nggak ngerti!” Raisa menutup kedua telinganya dengan tangannya. “Apanya yang gue nggak ngerti?” Karis melepaskan tangan Raisa dari kedua telinganya. “Gimana gue mau ngerti kalo lo nggak pernah mau dengar nama Getssa? Dengerin gue dulu!” “Nggak semua hal harus gue ceritain ke elo, kan? Lo bahkan nggak bisa panggil gue Sasa! Kenapa, Ris? Mengingatkan lo sama dosa karena udah hidup di dunia ini dan saudara lo engga?” “Raisa! Masalah lo apa sih?” “Nggak semua hal di dunia ini bisa lo selesaikan, Karis... Nggak semua...” Raisa mulai terisak. “Memangnya lo sangat terganggu dengan kenyataan bahwa gue membenci Getssa? Kenapa sih, Ris? Kenapa lo selalu mau rubah gue? Ada hal-hal di dunia ini yang nggak bisa diselesaikan manusia, yang hanya bisa diselesaikan oleh waktu.” Karis melepaskan genggamannya pada tangan Raisa. Ia kasihan melihat Raisa menangis terisak-isak. “Tapi sampai kapan...” gumamnya. “Raisa, Getssa suka sama lo.” Karis berkata dengan jelas. Raisa terkesiap, sejenak ia mencerna arti kata-kata itu. 151
“Dia berharap bisa kembali ke Indonesia, dan merayakan ulang tahunnya bareng lo. Tapi yang di atas berkehendak beda.” Kini Raisa merasa sangat amat bersalah. Apa maksud Karis? “Sebenarnya gue nggak mau cerita hal ini ke elo, karena gue nggak mau bikin lo sedih dan feel guilty seumur hidup lo. Tapi sekarang, gue mau lo tahu kalo selama ini lo membenci orang ini.” Karis menunjuk foto Getssa yang terpampang di batu nisannya. “Seorang Getssa yang semasa kecilnya sangat menyukai elo, dan hanya 30 orang yang datang ke pemakamannya. Apa lo nggak kasihan sama dia? Bisa nggak sih lo berhenti bersikap difensif dan buka mata lo, Sa? Bisa nggak, lo berhenti egois? Apakah orang ini nggak boleh punya 6 ulang tahun yang sempurna, mengingat setelah itu ia hanya bergaul dengan obat, terapi dan semacamnya? Lo masih punya banyak ulang tahun ke depan, Raisa. Setidaknya hari ini lo masih berdiri di sini... bernafas.” Raisa menunduk dalam-dalam. Tenggorokannya sakit karena menahan tangis. Seiring tumbuhnya kehangatan yang menjalari hatinya, ia berlutut dengan kedua kakinya, menatap batu nisan Getssa samar-samar, karena air mata menutupi pandangannya. Benarkah itu? Apa selama ini aku begitu membencinya? Getssa yang menyedihkan ini? Dan aku tidak pernah memberikan kesempatan pada diriku sendiri untuk mengenalnya. Aku selalu benci ketika Karis benar. “Maafin gue... Maafin gue...” Raisa terus menangis di depan nisan Getssa. “Maafin gue, Getssa... Gue... Gue bahkan nggak datang ke pesta ulang tahun lo... Gue jahat banget yah, Ris? Gue benci... benci...” “Nggak boleh gitu, Raisa!” Karis berlutut di sebelah Raisa. Ini semua karena dia! Lagi-lagi dia membuatku membenci diriku sendiri.
152
Nggak boleh... Nggak boleh... Mana boleh aku menyalahkannya atas kebodohanku sendiri! “Namanya juga Raisa... Nggak pernah ada ulang tahun tanpa air mata...” Kata Raisa pelan, hampir tidak terdengar. “Raisa, lo jangan benci gue lagi ya. Maksud gue ajak lo ke sini, cuma supaya lo bisa mengerti posisi Getssa dan nggak terusterusan membenci dia. Gue ingin lo bisa maafin dia. Dan kalo lo mau tanya kenapa, gue cuma bisa bilang ini semua penting artinya buat gue.” Karis berkata lembut pada Raisa. “Bisakah kali ini lo jangan terlalu keras kepala, Raisa?” pinta Karis lagi. Raisa diam saja, tidak bersuara sedikitpun. Air mata masih mengalir di pipinya. Karis membiarkan Raisa tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia hanya merangkul Raisa hangat, mengingatkan gadis itu bahwa ia ada di sisinya. Apakah ini akhirnya? Beginikah akhirnya? Benarkah aku memaafkan Getssa? Setelah sekian lama nama itu menusuk-nusuk hatiku, meninggalkan banyak bekas luka yang bisa kembali berdarah kapanpun. Apakah aku bisa menerima bahwa bukan Getssalah yang selama ini membuatku terluka. Bukan Getssa. Seharusnya sejak lama aku tahu kalau memang bukan Getssa. “Memang bukan Getssa. Tapi Mama...” Akhirnya Raisa berkata yakin, walaupun pelan sekali. “Apa?” Karis bertanya lembut. “Selama ini bukan Getssa. Tapi Mama. Gue cuma nggak mau mengakuinya.” Karis tidak berkata apa-apa, masih menunggu Raisa terus bercerita. 153
“Selama ini Mama selalu membuat gambaran seolah-olah Getssalah yang membuat hidup gue penuh trauma, padahal bukan. Seharusnya gue mengakuinya sejak lama. Sekarang gue cuma bisa menyesal di depan makam Getssa. Sekarang siapa yang menyedihkan? Gue atau Getssa? Getssa hidup hanya sebentar, tapi at least dia nggak hidup dengan kebohongan seperti gue. Gue pathetic...” Sudah lama aku mencoba melupakan wajah Mama. Ia terus-menerus memaki Pap. Ia berteriak sehingga Restu pergi meninggalkanku. ‘Restu! Kamu mau kemana? Jangan tinggalin Sasa sendirian...’ aku memohon. ‘Sasa jangan jadi anak kecil bodoh yang bisanya hanya meringkuk di kamar!’ Restu marah padaku. Mama berteriak lagi ketika Restu keluar dari kamar, dan ia menggendongku menuju Pap. ‘Ulang tahun Sasa tahun ini harus melebihi Getssa!’ Aaah!!! Jangan sebut nama itu! Jangan bodoh, Raisa! Getssa sudah pergi setahun yang lalu! ‘Getssa sudah tidak ada lagi! Getssa sudah ke luar negeri! Jangan sebut namanya lagi!’ Aku berteriak. Mama terkaget, begitu juga Pap. Lalu mama berbisik tegas di telingaku, ‘Kau PANTAS mendapatkan ulang tahun yang meriah seperti Getssa. Kalau Pap menyayangimu, ia pasti bekerja keras demi kamu.’ ‘Jangan jadi malaikat, Indra! Kau tidak akan mendapatkan satu rupiah pun dengan menjadi malaikat! Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan! Jangan membuat Sasa menangis lagi di hari ulang tahunnya!’ Mama kembali berteriak pada Pap. ‘Tugasku melindungi masyarakat, bukan menggerogoti uang mereka...’ 154
‘Semua orang melakukannya!’ ‘Hal yang dilakukan orang banyak bukan berarti benar, Lilian.’ ‘Anakmu sudah melakukannya! Hari ini ia dihukum karena ia mencontek dan ia...’ ‘Aku sudah bicarakan hal ini padanya. Kau mengerti kan, Raisa?’ Aku mengangguk takut. ‘Tapi, Pap... Semua teman-temanku juga mencontek...’ ‘Pap sudah bilang! Jangan ikuti semua orang! Apa yang dilakukan orang banyak belum tentu benar! Kau harus punya pendirianmu sendiri!!’ Pap mengangkat tangannya namun aku dibawa oleh Mama menjauhi Pap. ‘Jangan kau pukul lagi anakmu, Indra!’ teriaknya. ‘Kau benar-benar orang yang tidak berguna!’ Tidak!!! Papa tidak begitu! Papa tidak bermaksud memukulku! Jangan hanya diam, Raisa! Katakan itu! Katakan! ‘Pap tidak bermaksud memukulku...’ jelasku diantara tangis. Dan Mama tidak menghiraukan aku. Ia masih terus berkata kasar pada Pap. ‘Sebaiknya kau kumpulkan uang yang banyak karena ulang tahun Sasa kali ini akan berbeda! Anak itulah yang seharusnya menangis di hari ulang tahunnya! Getssa!!!’ Jangan sebut nama itu lagi! Jangan sebut lagi!!! “BUKAN SALAH GETSSA! Sasa tidak mau apa-apa di hari ulang tahun Sasa! Sasa tidak pernah menginginkan apa-apa! Mama-lah yang menginginkannya!” Karis tersentak. “Raisa, lo nggak apa-apa kan? Raisa...?”
155
“Bukan salah Getssa, Ris. Kalo lo kenal gue, seharusnya lo tahu kalo gue nggak pernah menginginkan itu semua. Gue bukan orang seperti itu. Gue nggak mau jadi seperti Mama...” “Iya. Iya. Gue ngerti...” Karis menghibur Raisa walau sebenarnya ia tidak mengerti semua yang dikatakan Raisa. “Kalau lo nggak suka, kita bisa pulang sekarang.” Raisa menarik nafas dalam dan menenangkan dirinya. “Bodohnya gue selama ini mencoba hidup dalam kebohongan gue. Bodoh...” Raisa tersenyum tipis. “Ternyata itu semua nggak membantu gue bahagia.” Karis melihat perbedaan dalam sorot mata Raisa. Begitu sejuk dan teduh. Dan kini mata itu memandangnya tulus seperti berkata, ‘terima kasih.’ “Gue nggak mengerti semua tentang lo, Raisa... Tapi gue ikut senang kalo lo bisa jujur sama diri lo sendiri.” Kata Karis tulus. “Makasih yah, Ris...” “Buat?” “Makasih karena sekarang gue ngerti satu hal penting lagi tentang hidup.” “Apa?” “Jangan minta waktu untuk membantu lo melupakan sesuatu. Karena waktu nggak akan mau. Tapi minta waktu untuk membantu lo memaafkan, maka waktu pasti membantu lo dengan tulus.” ***
156
Akhirnya ulang tahun Raisa yang pada awalnya cukup menguras emosi itu berakhir dengan manis ketika sore itu Raisa pulang ke kost dan mendapat kejutan menyenangkan dari teman-temannya. Seloyang kue buatan Selphie, Lea dan Melissa yang dipasangi 19 lilin telah disiapkan di meja ruang tengah. “Ini bukan whipped-cream loh, Sa. Ini yoghurt.” Jelas Melissa. “Hah? Yang bener? Kok bisa?” tanya Raisa senang. “Bisa dong. Gue sengaja nanya ke tante gue gimana cara bikin krim yoghurt.” Kata Lea sombong. “Buruan tiup lilinnya, Sa! Nanti keburu meleleh.” Pinta Selphie. Raisa segera menutup matanya, membuat permohonan dan meniup lilinnya. Aku ingin Getssa beristirahat dengan tenang. “Permohonan lo apa, Sa?” tanya Ari ingin tahu. “Mau tau aja, lo! Kalo gue kasih tahu nanti nggak terkabul,” alasan Raisa. Mel memotong kue dan membagi-bagikannya kepada anak-anak kost. Lea menarik Raisa pelan ke dapur dan memberikan sebuah kotak kado kecil. “Ya ampun, Le... nggak nyangka lo se-sayang ini sama gue!” goda Raisa. “Ini bukan dari gue.” Kata Lea. “Dari siapa?” “Yksel.” Raisa terdiam. Ada sedikit perasaan senang, mungkin karena Yksel masih peduli padanya. “Tadi dia minta gue ketemuan sama dia, terus dia nitipin itu.” 157
Raisa masih memandangi kotak kecil itu ketika Lea berkata penasaran, “Buka dong, Sa! Gue penasaran nih! Jangan-jangan cincin tunangan lagi.” “Sembarangan lo!” Omel Raisa. Lalu ia membuka kotak itu perlahan. Raisa tercengang ketika melihat isinya. Yksel berhasil melakukannya. “Apaan tuh, Sa?” tanya Lea bingung. “Bintang 12 sisi warna pelangi.” Jawab Raisa pelan. Raisa memeriksa dengan seksama bintang itu. Yksel mewarnai sendiri kertas putih dengan spidol warna-warni sehingga menghasilkan warna pelangi yang indah. Dan walaupun bintang itu agak berantakan, ia berhasil membuatnya. Apa yang dirasakan Yksel saat membuat bintang ini? Apakah ia terluka? Atau sangat merindukanku? Atau bintang ini adalah tanda bahwa ia melepaskanku? Ternyata dalam satu hari bisa terjadi begitu banyak hal, bisa merubah banyak hal, dan mengukuhkan hari itu sebagai hari yang akan diingat di masa mendatang. Dan ternyata sebuah bintang kecil penuh warna dari Yksel bisa membuat Raisa sangat tersentuh. Apakah salah jika aku tidak pernah memberikan Yksel kesempatan? Tapi Karis-lah yang kini bertahta di hatinya. Raisa yakin itu. Tapi mengapa ia rindu pada Yksel sekarang? Tapi. Tapi Tapi. Kenapa. Kenapa. Kenapa. Banyak sekali kata-kata itu! Kenapa dunia dirancang begitu rumit? Kenapa aku menggunakan kata ‘kenapa’ lagi?
158
23 Agustus 2005 Gue udah nggak bisa muna lagi, It has always been Karis. Semua tentang Karis selalu spesial. Bahkan nulis namanya saja bisa menjadi hal yang begitu menyenangkan. Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Karis Hari ini ulang tahun Sasa. Karis dan Sasa pergi dari pagi nggak tahu ke mana. Gue nggak bisa bohongin diri gue sendiri untuk nggak bertanya-tanya mereka pergi ke mana. Tapi lagi-lagi gue memaksa diri gue untuk cukup puas hanya untuk menjadi teman Karis. Jadilah hari ini, saat ultah Raisa tadi, gue bisa becanda sama Karis. Setelah begitu lama usaha gue untuk bisa nerima dia dengan status ‘Dia-suka-teman-baik-gue-so-gue-nggakbisa-ngecengin-dia-lagi’, finally gue bisa mencintai Karis dengan tulus. Fase-tahap-bagian dimana gue bisa mencintai dia tanpa mengharapkan apa-apa. Ada tiga hal dari sekian banyak hal yang gue suka hari ini... Pertama, Karis ternyata bisa menjadi sangat menyenangkan. Dia terus-terusan cerita lucu dan membuat semua orang tertawa, dan gue suka itu... (Oops, bukannya semua yang ada dalam diri dia selalu gue suka ya?) Kedua, pertama kali gue makan dari sendok yang sama bareng dia dan itu pas makan kue ultah Sasa. Dia bilang, “Sel... Mau krim-nya nggak?” Seneng banget! Padahal kalo mau jujur, gue nggak suka krim-nya, rasanya aneh, tapi gue bela-belain makan aja. Trus waktu gue makan kue dia, kita difoto gitu. Gue bilang, “Ris, lo senyum dong ke kamera!” eh, dia bilang, “Nggak donk, gue mesti jutek. Kan ceritanya gue bete makanan gue diminta.” 159
Dan yang ketiga... Gue selalu suka saat Karis sebut nama gue. “Sel...”, “Sel...”, “Sel...” “Sel...” Dia selalu panggil gue “Sel...” Gue suka Karis.... Gue cinta Karis.... Selphie bodoh...!
160
Dua Puluh Satu “Kok Eksistensi hukum lagi?” tanya Karis ketika lagi-lagi Lea mengajak Raisa, Selphie, dan teman-teman kostnya ke acara kampus mahasiswa hukum. “Katanya sih kali ini yang bikin beda angkatan. Ayo dong, lo harus dateng yah, Sa!” Lea menatap Raisa penuh arti. “Hah? Kenapa?” tanya Raisa. “Please Sa... Yksel bilang ini terakhir kalinya dia minta sesuatu sama lo. Setelah itu, dia nggak akan ganggu elo.” Raisa merasakan ketulusan Lea saat mengatakannya, dan Raisa pun setuju. Karis dan Ben tidak bisa ikut karena harus mengerjakan tugas, sedangkan Mel sedang pergi dengan Radith, dan Joseph sedang pulang ke Jakarta. Jadilah Raisa, Lea, Selphie, Dio dan Ari pergi ke acara kampus tersebut. Dalam hati Raisa merasa lega akan bertemu Yksel, karena sejujurnya ia sangat merindukan wajahnya yang ceria. Namun di sisi lain, Raisa takut dengan kemungkinan apa yang akan terjadi bila ia bertemu Yksel lagi. Raisa tepat berada di barisan paling depan panggung ketika ia akhirnya melihat sosok Yksel yang berjalan menaiki panggung dari sisi kiri. Yksel memotong rambutnya, terlihat lebih fresh dan rapi. “Hai semua! Saya Yksel dari ‘Line One’. Sebelum membawakan lagu-lagu bersama teman-teman saya, saya ingin membawakan sebuah lagu dari ‘Maliq and the essentials’ yang sengaja saya persiapkan untuk seseorang.” Teriakan riuh rendah dari penonton langsung terdengar ramai.
161
“Kamu tahu ini untuk kamu, Sa. Dengarkan lirik ini baik-baik.” Lalu suara gitarnya yang lembut terdengar. Saat itu Raisa menatap Yksel dalam-dalam, merasakan getaran dari lagu itu yang coba disampaikan oleh Yksel. Raisa tidak mendengar teriakan penonton yang begitu ramai. Sepertinya saat ini hanya ada dia dan Yksel di dunia. “Ketika kurasakan sudah... ada ruang di hatiku, yang kau sentuh. Dan ketika kusadari sudah... tak selalu indah cinta yang ada. Getaran itu benar-benar membuat hati Raisa bergejolak. Mungkin memang ku yang harus mengerti. Bila ku bukan yang ingin kau miliki. Salahkah ku bila..” Dan Yksel memandang tajam ke dalam mata Raisa, “Kau lah yang ada di hatiku.” Yksel kembali menunduk dan memainkan gitarnya dengan begitu indah. “Adakah ku singgah di hatimu? Mungkinkah kau rindukan adaku? Adakah ku sedikit di hatimu? Bilakah ku mengganggu harimu? Mungkin kau tak inginkan adaku? Akankah ku sedikit di hatimu?” Raisa tidak bisa bergerak. Tubuhnya seolah-olah tersihir oleh petikan gitar Yksel. Inilah lagu paling indah yang pernah ia dengar. Karena Yksel memainkannya begitu indah dan tulus untuknya. “Bila memang ku yang harus mengerti, Mengapa cintamu tak dapat ku miliki? 162
Salahkah ku bila...” Lagi-lagi Yksel menatap Raisa dengan pandangan sejuk itu. “Kau lah yang ada di hatiku.” Air mata jatuh begitu saja di pipi Raisa. Lagu ini menembus hati Raisa terlalu jauh. “Bila cinta kita takkan tercipta, ku hanya sekedar ingin tuk mengerti. Adakah diriku, oh, singgah di hatimu? Dan bilakah kau tahu...” Sepintas Yksel tersenyum pada Raisa yang terus memandangnya dari depan panggung. “Kau lah yang ada di hatiku.” *** Raisa berjalan pulang tanpa bicara sama sekali malam itu walaupun Lea, Selphie, Ari dan Dio terus-terusan mengoceh tentang acara malam itu yang lumayan seru. Pikiran Raisa masih terbang ke dalam moment saat Yksel menyanyikan lagu yang begitu indah untuknya. Sayang sekali Yksel tidak bisa menemui Raisa dan Lea. Tapi sejujurnya Raisa mengerti arti semua ini. Mungkin Yksel ingin membuat Raisa menyesal dengan keputusannya tiga bulan lalu. Mungkin Yksel hanya ingin menunjukkan kepada Raisa betapa berartinya gadis itu untuknya. Dan kini semuanya sudah selesai. Raisa menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam rumah, dan ia mengunci pintu depan masih dengan ekspresi diam seribu bahasa. Dan tiba-tiba Raisa membuka kembali pintu yang tadinya sudah
163
terkunci ketika ia mendengar suara motor Yksel yang sangat khas di depan pintu gerbang. Terdengar konyol memang, tapi Raisa yakin itu memang Yksel. Ia tidak tahu kenapa ia harus se-gembira itu, tapi ia berlari keluar. Dan ternyata memang Yksel, duduk di atas motornya, memandangi pintu gerbang. Dan ia sangat terkejut saat pintu itu tiba-tiba terbuka. “Sasa?” “Yksel?” mereka berkata bersamaan. Lalu suasana canggung meliputi seiring dengan diamnya mereka berdua. Yksel hanya tertunduk diam, sedang Raisa diam-diam memandang sosok Yksel yang ternyata cukup ia rindukan. “Makasih.” Akhirnya Raisa memecahkan keheningan. “Buat apa?” Yksel pura-pura tidak peduli. “Aku hanya suka menyanyikan lagu itu. Lagipula aku sudah melupakanmu sejak tiga bulan lalu.” “Bukan hanya itu. Tapi juga untuk bintangnya.” Yksel turun dari motornya dan mendekati Raisa. “Jadi bagaimana?” “Bagaimana apa?” tanya Raisa bingung. “Aku sudah berhasil buat bintang 12 sisi warna pelangi sesuai permintaan kamu. Tidak bisakah kamu mempertimbangkan lagi?” “Mempertimbangkan apa?” “Aku.” Raisa terdiam sejenak. “Maksud lo?” “Aku bukannya tidak berusaha melupakan kamu, Sasa... Aku bersumpah aku terus-terusan mencoba. Tapi... tapi rasanya tidak
164
adil kalau kamu tidak pernah memberiku kesempatan.” Yksel menarik nafas panjang. “Aku tidak peduli jika ini terdengar desperate, tapi... aku tidak bisa hidup tanpamu.” Raisa tercengang. Kata-kata yang tadinya ia pikir akan terdengar konyol jika dikatakan di luar televisi ini ternyata bisa menembus hatinya jika disampaikan dengan tulus. Yksel terdengar ragu untuk mengatakannya tapi ia memberanikan dirinya untuk menggunakan peluru terakhirnya. “Um...” Raisa tidak tahu harus bicara apa, ia hanya terus-terusan bergumam hal-hal yang tidak jelas. “Aku egois, ya?” Yksel bertanya. “Apa?” “Iya. Aku sangat egois. Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu padamu, Sasa. Aku hanya akan membuatmu semakin merasa bersalah. Tadinya aku pikir jika kamu merasa bersalah, kamu akan menerimaku. Tapi setelah kini kupikir, aku tidak mau kamu menerimaku karena kasihan. Aduh, aku sendiri tidak mengerti mengapa hal ini membuatku seperti ini. Aah... Aku benar-benar aneh, ya? Maafkan aku ya, Sa.” Yksel terus berbicara. Raisa tersenyum melihat Yksel bicara tanpa henti. “Tarik nafas dulu, Yksel.” Yksel tertawa kecil. “Sa... Kamu masih suka cowok itu?” “Hah?” “Orang yang pernah kamu ceritakan.” “Oh.” Raisa tersenyum tipis. “Iya.” Yksel menghela nafas kecewa.
165
“Satu hal yang ingin aku tahu, Sasa...” Yksel menggenggam tangan Raisa hangat. “Pernahkah aku terlintas di benakmu? Pernahkah kamu terpikir, walau sebentar saja, saat-saat bersamaku? Apa kamu kangen sama aku?” Raisa kembali tersenyum menatap Yksel dan mengangguk pelan. “Jadi, kalau seandainya kamu bertemu aku sebelum bertemu cowok itu, kamu mungkin suka sama aku?” Raisa mengangguk lagi. “Tapi masalahnya, kamu bertemu dia duluan...” Yksel berkata pelan. “Lea memang nyebelin! Bukannya dari pertama aja kenalin kamu ke aku!” canda Yksel. Yksel berdeham pelan dan melepas genggaman tangannya pada Raisa. “Ini yang terakhir, Sa. Aku nggak akan membuat diriku terlihat bodoh lagi.” Raisa yang memang tidak banyak bicara malam itu, hanya memandang Yksel. “Saat itu, tiga bulan yang lalu di ‘food district’, kamulah yang membuat keputusan. Malam ini, aku yang membuat keputusan. Jangan minta aku jadi teman kamu, karena aku nggak akan bisa. Aku cuma mau kamu mengerti perasaanku, dan aku rasa kamu sudah mengerti. Dan kamu tetap dengan pendirian kamu. Aku hargai itu.” “Maaf, Yksel...” Raisa berkata pelan. “Kamu nggak salah, Sasa. Kita anggap aja ini salah Lea, karena dia nggak kenalin kamu sejak awal. “ Yksel tertawa. “Oh iya, boleh pinjam HP kamu sebentar?” pinta Yksel. Walaupun Raisa bingung, dia merogoh kantung celana jeans-nya dan menyerahkan HP-nya pada Yksel.
166
Raisa bertanya saat melihat Yksel mengutak-atik HP-nya. “Mau apa, Yksel?” Yksel menyerahkah kembali Hp itu pada Raisa. “Sudah kuhapus.” “Apa?” “Nomorku. Aku tidak mau kamu menghubungiku saat kamu sedih karena cowok itu. Aku tidak suka cinta segitiga.” Kata Yksel tegas. “Maaf. Tapi ini benar-benar yang terakhir, Sasa. Aku tidak mau terus-menerus mengharapkanmu.” Raisa menatap Yksel datar. Dalam hati ia merasa takut. Apakah keputusannya sudah benar? Mereka terdiam sejenak, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. “Dah, Sasa!” Yksel memandang Raisa sambil tersenyum. Senyum terakhir untuk Raisa. “Masuklah. Ini sudah malam sekali.” Raisa ragu. Keputusan masih bisa dirubah. “Yksel...” Raisa berkata sangat pelan. Yksel memandang penuh harap, kemungkinan selalu ada untuk saat-saat terakhir. “Ya?” “Senang bisa kenal lo.” Raisa berkata tulus, memandang Yksel untuk dipigura dalam bingkai kenangannya. Lalu ia masuk ke rumah, meninggalkan Yksel di depan pagar yang kini terdiam sendirian. Jadi beginilah rasanya. Melepaskan Raisa dalam makna yang sebenarnya. Akhirnya aku bisa membiarkan Raisa bahagia tanpaku. Mungkin hal ini akan menjadi sesuatu yang baik untukku, jadi aku tidak perlu hidup mengharapkan seseorang yang tidak pernah mengharapkanku. Dan sekarang aku harus benar-benar melupakanmu, Raisa. Well, it can be easy or it can be hard.
167
Mudah karena aku sudah belajar untuk melupakanmu sejak lama, jadi ini bukanlah hal baru untukku. Tapi juga sulit karena sebenarnya hati kecilku masih tidak rela untuk melepas dirimu. Tapi keputusan sudah dibuat, dan ratapan dalam hati ini tidak akan berpengaruh apa-apa bagimu.
168
Dua Puluh Dua Raisa mendengarkan suara motor Yksel yang pergi menjauh lalu menghilang. Lalu Raisa berjalan sangat pelan menyusuri lorong menuju kamarnya yang sebenarnya tidak begitu panjang, tapi ia rasakan begitu jauh malam itu. Aku pasti sudah gila. Aku benarbenar sudah gila. Karis membuatku menjadi gila! Dan aku membiarkan diriku menjadi gila! Raisa tidak sadar kini pandangannya sudah kabur karena air mata yang sudah menumpuk di matanya. Pintu kamarnya terlihat samar-samar. Ia menghapus air matanya dan meraih kenob pintu, membukanya perlahan. Lampu masih menyala dan terlihat Selphie yang tertidur di meja belajarnya, dengan sebuah buku yang agak tebal terbuka di depannya. Raisa menghampiri Selphie, hendak membangunkannya. Tapi sebuah kalimat yang terbaca jelas oleh Raisa membuat dirinya tersentak. Senang kenal elo, Karis. Yang dibaca ini adalah buku harian Selphie. Raisa tahu tidak seharusnya ia membaca buku harian seseorang. Tapi nama Karis membuatnya penasaran. Dengan perlahan Raisa menarik buku itu dari tangan Selphie. Dan Raisa membaca apa yang Selphie tulis hari itu. Kertas ini basah. Selphie menangis saat menulis ini. 10 September 2005 Saat ini, gue deklarasikan: Gw jatuh cinta sama Karis. Judge me whatever, gue memang sangat amat menyedihkan. Akhirnya, gue menemukan orang yang bisa bikin gw berpikir “Oke, 169
dunia gue bukan cuma kuliah, have fun, belanja, dan ngecengin cowok.” Gue menemukan hal baru. Gue bisa mencintai orang dengan tulus. Akhirnya, ada yang bisa bikin gue berani berkhayal dan memimpikan untuk menikah dan hidup bahagia dengan seorang cowok yang gue cintai. Akhirnya, gue merasakan juga yang namanya jatuh cinta. Tapi kali ini, gue punya cukup waktu untuk nyingkirin dia dari hidup gue, untuk melupakan bahwa gue pernah ngerasain apa yang gue rasain sekarang, untuk bisa kembali tersenyum dengan tulus saat melihat dia bahagia, bukan dengan gue. Dan untuk bisa menerima kenyataan kalau teman baik gue jauh lebih mencintai dia daripada gue. Karis, saat ini kepala gue sesak dengan berbagai macam pertanyaan. Kenapa Sasa juga harus jatuh cinta sama lo, padahal Yksel begitu care sama dia? Kenapa Sasa nggak jatuh cinta sama Yksel aja? Dengan begitu semua akan lebih sederhana, kan? Karis, jangan hanya diam dan tersenyum, karena dada gue selalu sesak setiap melihat senyuman itu. Karis, gue jatuh cinta sama lo... Maafin gue yah, Karis... Tapi gue bener-bener jatuh cinta, dan gue cuma bisa bilang, Senang kenal elo, Karis. Selphie. Raisa menaruh buku itu kembali ke meja belajar Selphie. Terlalu banyak hal yang terjadi hari ini. Terlalu banyak kenyataankenyataan yang tidak sesuai dengan jalan pikir Raisa. Aku benar-benar bisa gila.
170
Raisa mematikan lampu kamar dan kembali keluar kamar. Ia berjalan menuju ruang tengah, mengambil segelas yoghurt dan duduk di sofa ruang tengah yang kini sudah gelap. Sekarang hampir jam dua pagi, aku masih mengenakan jeans yang sama sejak pagi tadi, merasa gerah dan aku malah memakan yoghurt di tengah-tengah kegelapan. Aku memang sudah gila. Akan lebih mudah bagi Raisa jika ia tidak melihat isi buku harian Selphie, akan lebih mudah bagi Raisa jika tidak mendengarkan Yksel bernyanyi. Tapi kenyataannya adalah Raisa melihatnya. Dan kini semuanya tidak akan sama lagi. Raisa merasa sangat lelah, dan tanpa sadar ia memejamkan matanya perlahan dan tertidur di sofa. *** “Sa...?” Karis mengguncang pelan tubuh Raisa untuk yang kesekian kali. Raisa menggeliat dan membuka matanya. Ia terkejut ketika melihat wajah Karis yang sudah ada di depannya. “Karis?! Ngapain lo?” “Lo yang ngapain tidur di depan? Masih pegangin gelas yoghurt pula!” Raisa tersadar kalau tangan kanannya masih memegangi gelas yoghurt yang sudah hampir kosong. “Jam berapa sekarang?” “Setengah enam.” “Ngapain lo pagi-pagi gini udah bangun, Ris? Kan hari minggu.” Karis duduk di sebelah Raisa. “Tiba-tiba aja kebangun. Pas keluar, gue liat lo tidur di sini. Masuk kamar dong, Sa!”
171
Raisa tidak menanggapi Karis, ia langsung beranjak menuju kamarnya. Selphie sudah tertidur di ranjang, buku hariannya sudah tidak ada di meja. Raisa tidak ambil pusing soal itu lagi. Ia langsung naik ke ranjangnya dan melanjutkan tidurnya.
172
Dua Puluh Tiga Raisa tidak akan melupakan hari itu, tepat seminggu setelah ia membiarkan Yksel benar-benar pergi dari kehidupannya. Karis berjalan masuk ke ruang tengah dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dimengerti. Saat itu ada Selphie, Ari dan Joseph bersama Raisa. Joseph bertanya basa-basi pada Karis, “Dari mana, Ris?” Tidak disangka jawaban Karis bisa sangat mengejutkan Raisa dan Selphie. “Gue jadian lagi sama Yolla.” Karis berkata datar, cenderung seperti orang sedang bingung. Joseph dan Ari langsung menggoda Karis sambil tertawa-tawa. Raisa tidak ingat apa yang dilakukan Selphie saat itu, tapi ia ingat bagaimana dengan bodohnya ia langsung berdiri dan meninggalkan ruang tengah begitu saja. Berjalan sangat cepat untuk masuk ke kamarnya dan membanting pintu sekencangkencangnya. Rasa kesal luar biasa muncul dalam hati Raisa. Kesal sampai dada terasa sesak. Ia tidak berusaha mencari tahu bagaimana Karis bisa sampai kembali pada Yolla, Raisa sudah terlalu kesal dengan kenyataan bahwa Karis tidak pernah menyukai Raisa. Dan bahwa pengorbanannya untuk melepaskan orang sebaik Yksel tidak berarti apa-apa. Raisa tahu tidak seharusnya dia menggunakan Yksel sebagai kekesalan egoisnya, tapi saat itu memang ia hanya ingin menyalahkan semua hal di dunia. “Sa...?” Suara Karis terdengar dari balik pintu kamar. Raisa tidak menjawabnya, berharap Karis pergi saja dan jangan coba mengganggunya. 173
“Raisa, buka pintu dong... Gue mau bicara.” Gue enggak!!! “Sa... Raisa...?” Suara Karis yang begitu khas saat menyebut nama Raisa itu kembali terdengar. Raisa tetap diam seribu kata. Ia tahu ia bertingkah tidak beralasan dan seperti anak kecil, tapi saat ia mendengar kalimat tadi yang keluar dari mulut Karis, akal sehatnya sudah tidak lagi bekerja. “Gue tau apa yang lo pikirin...” Elo nggak tau apa-apa tentang gue! “Tapi kadang, manusia nggak bisa seenaknya aja melakukan apa yang diinginkannya.” Apa maksudnya? “Gue yang minta Yolla untuk kasih gue kesempatan lagi. Gue udah bersalah sama dia. Ini saatnya buat gue untuk nebus kesalahan gue.” Gue nggak peduli. Gue nggak mau dengar! Lalu suasana menjadi sunyi. Raisa berpikir apakah Karis sudah pergi. Ia terus menatap pintu tanpa berkata apapun. “Sa...” Suara Karis kembali terdengar. Kali ini lebih sendu. “Gue nggak percaya ada hal di muka bumi ini yang nggak bisa dipelajari. Bahkan mencintai dan melupakan.” Kata Karis sangat pelan. Apa maksudnya? Entah kenapa hati Raisa terasa sakit. “Raisa, gue... belajar banyak hal dari lo. Termasuk mencintai.” Setelah itu suasana kembali sunyi. Raisa menunggu satu menit, lima menit, sepuluh menit, tapi Karis kini benar-benar sudah tidak berbicara lagi.
174
Lalu Raisa keluar kamar dan langsung berjalan ke kamar Karis dan mengetuk pintunya. Tidak lama kemudian pintu pun terbuka dan wajah Karis yang sedikit kaget melihat Raisa muncul. “Raisa...?” “Ada satu hal yang belum lo pelajari.” Raisa berkata jelas. “Apa?” “Hidup itu selalu penuh dengan pilihan. Kadang lo nggak sadar, tapi pilihan selalu ada. Masalahnya, nggak banyak orang yang mengerti bagaimana menentukan sebuah pilihan.” “Lo sendiri? Ngerti?” “Dulu enggak. Tapi setelah kenal lo, gue ngerti.” Karis diam, tidak bisa berkata apa-apa. “Gue ngerti kalo dalam menentukan pilihan, lo butuh bantuan waktu. Ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan manusia, dan hanya bisa dilakukan oleh waktu. Yah inilah salah satunya.” Raisa tersenyum tipis, “Menurut gue keputusan lo dan pilihan lo bukan yang paling bijaksana, tapi yah, itu menurut pendapat gue, so maybe it doesn’t count. Tapi, Karis...” Raisa menghela nafas. “Lo baru aja membuat suatu keputusan, dan gue menghargai itu. Selamat yah...” Karis ikut tersenyum, walaupun sejujurnya ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. “Makasih, Raisa.”
175
Dua Puluh Empat Hari itu berlalu begitu saja, juga hari-hari selanjutnya. Raisa dan Selphie tidak pernah lagi membicarakan Karis. Karis sendiri terlalu sibuk dengan Studio Akhir Arsitektur-nya. Kadang ia bahkan tidak keluar kamar seharian. Raisa kini menikmati saat-saat kompak bersama Selphie dan Lea. Pekerjaannya sebagai ilustrator terus berjalan walau ia tetap belum bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk mendesain cover. Seperti katanya dulu, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh manusia, yang hanya bisa dilakukan waktu. Termasuk melepaskan Karis. Sejak hari itu, Raisa berpikir banyak soal hubungannya dengan Karis. Jika ia memang benar-benar menyukai Karis, seharusnya ia sudah mempersiapkan diri untuk patah hati oleh si tuan sempurna ini. Membiarkan Yksel pergi darinya juga bukan sesuatu yang patut disesali. Raisa tidak akan membiarkan Yksel menjadi tempat pelariannya. Biar semua kembali berjalan dari awal lagi. Satu semester berlalu begitu saja, saat pulang kembali ke Lampung sudah tiba lagi. Perasaan lega dan sedih bergumul di hati Raisa. Lega karena akan bertemu Pap dan Wil lagi, tapi sedih karena tidak akan melihat Karis selama sebulan. Walaupun sudah lama sekali ia tidak ngobrol dengan Karis, kadang Raisa bisa mendapatkan spirit baru hanya dengan melihat wajahnya saja. Raisa tahu Karis sangat bersusah payah untuk membuat tugas akhirnya. Karis menawarkan diri untuk mengantar Raisa ke terminal saat Raisa berpamitan dengan anak-anak kost di ruang tengah. Setelah begitu lama tidak ngobrol banyak dengan Karis, Raisa merasa 176
sangat lega karena di hari kepulangannya ke Lampung, ia bisa menyimpan kenangan menyenangkan bersama Karis lagi. “Udah lama yah kita nggak ngobrol, Sa.” Karis memulai suatu pembicaraan di perjalanan menuju terminal. “Lo sibuk sih.” Raisa menanggapi singkat. “Iya. Gue capek banget.” “Semangat yah, Ris!” Raisa berkata tulus. “Makasih yah, Sa.” “Lo nggak pulang ke Jakarta liburan ini?” tanya Raisa. “Enggak. Gue masih harus terusin skripsi gue biar bisa sidang Januari nanti. Setelah itu baru kerjain maket buat studio akhir gue.” Jelas Karis. “Berarti semester depan lo udah lulus dong, Ris?” “Semoga yah, Sa... Gue berharap bisa dapet beasiswa S2.” “Beasiswa apa?” tanya Raisa lagi. “Ada penawaran beasiswa S2 di Atlanta untuk yang lulus tahun ini, tapi ada perlombaan maket yang nantinya akan dinilai sama sebuah tim. Gue emang udah rencana mau S2 ke Atlanta, kebetulan banget kan.” “Lo mau langsung S2, Ris?” “He-eh.” “Di Atlanta?” “Yep.” Jawab Karis cuek. “Kan jauh, Ris...” Raisa bergumam pelan. “Apa?” Karis tidak mendengar perkataan Raisa. “Enggak. Nggak apa-apa.”
177
“Gue belum kasih tahu siapa-siapa sih. Ini juga baru rencana. Soalnya Papa gue pengen banget gue S2 di Atlanta. Tapi gue sendiri belum yakin.” “Yolla udah tau?” Karis tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Raisa terdiam sepanjang sisa perjalanan menuju terminal. Waktu yang ia miliki bersama Karis semakin pendek saja, kini sudah kurang dari enam bulan, dan ia malah merasa semakin menjauh dari Karis. Raisa selalu berpikir, jika ia memang tidak ditakdirkan bersama Karis, ia akan merasa puas hanya menjadi teman Karis. Kini harapan Raisa hanya untuk melihat Karis lulus, seperti harapan Karis sendiri. Yang penting melihat Karis bahagia. Karis mengantar Raisa hingga Raisa naik ke bus sesampainya mereka di terminal. Raisa melambaikan tangan melalui jendela saat Karis berdiri di bawah jendela bus. Karis tidak beranjak ke mana-mana, hanya berdiri memandangi Raisa sampai bus itu menyalakan mesinnya dan bersiap berangkat. Karis merasakan kehangatan itu lagi yang memenuhi hatinya seketika. Perasaan yang berusaha diusirnya namun tak pernah nurut untuk pergi. Ia sangat rindu berdebat dan bergurau dengan gadis penuh kejutan itu. Misinya bukanlah untuk mengobati luka masa lalu di hati Raisa, misinya adalah untuk mendapatkan hatinya. Kenapa Karis harus takut dengan kemungkinan itu? Sekali lagi Raisa melambaikan tangannya. Ia melihat Karis membalas lambaian tangannya seiring berjalannya bus. Karis berusaha mengatakan sesuatu tapi Raisa tidak bisa mendengar apaapa, dan ia berusaha membaca gerak bibir Karis. Tapi lagi-lagi ia tidak yakin apa itu. Lalu HP Raisa berbunyi, nama Karis-lah yang muncul di layarnya.
178
“Halo?” Raisa langsung mengangkat telepon itu. “Sa...” Suara Karis yang lembut terdengar. “Kenapa, Ris? Lo mau ngomong apa sih?” Karis terdiam. “Ris?” “Gue sayang elo, Raisa. Banget.” Kini gantian Raisa yang terdiam. Mulutnya menganga kaku seperti orang yang melihat hantu. “Raisa?” Tet... “Aduh! Gue HP guelow-bat! Shit!” umpat Karis. “Tadi... tadi lo bilang apa? Ulangi!” tanya Raisa berapi-api. “Gue sayang elo, Raisa. Lo mau turun dari bus sekarang nggak? Lo sekarang dimana?” “Belum keluar dari terminal. Eh, ini baru keluar dari terminal.” “Turun sekarang yah, Sa...” pinta Karis. “Lo gila yah?” Tet...! “Aduh, bentar lagi mati nih Sa. Gue tunggu di depan gerbang terminal.” “Hah? Yang bener aja, Ris!” “Turun yah, Sa...” “Turun gimana? Karis, lo gila—“ Dan telepon itu mati.
179
Karis segera berlari ke pintu gerbang depan terminal, mencari sosok Raisa. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, setengah jam... Raisa tidak muncul. Dan tentu saja ia tidak akan muncul. Aku memintanya turun dari bus seperti orang gila. Dengan lunglai, Karis berjalan menuju mobilnya. Lalu ia menyetir pulang ke kost. Menyesali kebodohan yang baru dibuatnya. Pernyataan seperti itu tidak seharusnya dikatakan lewat telepon saat Raisa hendak melakukan perjalanan jauh. Karis sendiri tidak mengerti kenapa ia melakukan itu. Ia sangat merindukan Raisa selama ini dan baru menyadarinya tadi saat ia kembali ngobrol dengan Raisa. Obrolan se-sederhana apapun selalu terasa menyenangkan jika bersama Raisa. Mungkin karena itu aku sangat menyayanginya. Dan ingin selalu berada di dekatnya. Bukankah ada hal-hal di dunia ini yang hanya bisa dibuktikan oleh waktu? Raisa sendiri yang mengatakannya. Apakah waktu sudah berhasil membuka mataku? *** Sekitar pukul 11, ketika Karis sedang terbengong menatap layar monitor, memaksakan diri untuk melanjutkan skripsinya, telepon genggamnya berdering. “Halo?” jawab Karis malas.
180
“RIS!!! Lain kali kalo mau bercanda tentang hari kebalikan, jangan saat gue mau pulang dong! Bikin panik orang aja! Gimana kalo tadi gue benar-benar turun dari bus? Kan bikin repot aja!” Bercanda? Menurutmu aku akan bercanda untuk hal seperti itu? “Hah? Lo pikir gue bercanda?” “Ya pasti bercanda, kan? Lo udah punya Yolla.” Mereka berdua terdiam sebentar. “Kalo serius, lo akan turun dari bus?” tanya Karis. “Emang serius?” tanya Raisa balik. Karis tidak menjawab. “Gue nggak mungkin turunlah, Ris.” Jawab Raisa cuek. “Yah, lo nggak bisa romantis ya, Sa?!” Karis tertawa kecil. “Ya udah, lo udah sampe rumah dengan selamat kan? Lo istirahat aja. Pasti capek, kan?” “Lumayan. Lo lagi ngapain, Ris?” “Ngetik skripsi gue.” “Oh. Ya udah, semangat yah. Sampai jumpa Januari ya, Ris...” “He-eh. Met malam, Raisa.” “Met malam Karis.” Lalu telepon dimatikan oleh Raisa. Karis masih menggenggam teleponnya, dan samar-samar ia berkata, “Selamat hari kebalikan Raisa, gue benar-benar benci elo.”
181
Dua Puluh Lima Selphie membuka pintu gerbang dan masuk ke ruang tengah. Tempat yang sangat dirindukannya selama sebulan ini. Lalu seseorang keluar dari dapur dan sedikit kaget menyapa Selphie. “Selphie...? Lo udah balik?” Karis. Orang yang sangat dirindukannya. “Iya. Siapa aja yang udah balik, Ris?” “Semua udah balik kok, kecuali lo, Raisa dan Mel. Tapi kayaknya Mel baliknya masih lama deh. Dia tinggal tunggu sidang.” “Lo sendiri kapan sidang, Ris?” “Doain aja secepatnya yah, Sel. Raisa balik hari ini juga kan, Sel?” “Um, nggak yakin juga. Dia kan suka males balik kalo udah liburan.” Jawab Selphie datar. “Sel, gue mau nanya sama lo.” Karis mengajak Selphie duduk di sofa. “Ada apaan sih, Ris?” tanya Selphie penasaran. Karis terlihat ragu sebentar namun akhirnya ia mulai bercerita. “Waktu gue nganterin Raisa balik, gue sebenarnya udah nembak dia, Sel.” “Hah?” Selphie kaget. “Gue udah bilang ke Raisa kalo gue sayang dia—“ “Karis! Lo kan udah punya Yolla!” “Iya, Raisa juga bilang begitu.” “Ya, iyalah!” “Tapi gue udah putus sama Yolla, Sel.”
182
“Kapan?” “Malam itu. Hari dimana gue nembak Raisa. Malamnya, setelah Raisa telpon gue, gue putus sama Yolla.” “Lo itu...” Selphie tidak bisa menemukan kata yang cocok untuk melanjutkan kalimatnya. “Lo itu... aneh!” Karis menatap Selphie bingung. “Aneh? Pujian apa ledekan tuh?” “Ris, serius deh. Lo jangan mainin perasaan Sasa terus.” “Mainin? Enggak kok.” “Lo udah berapa kali nembak dia? Semuanya ternyata cuma candaan. Cewek kan sakit hati digituin, Ris!” “Tapi kali ini gue serius, Sel!” Karis berkata tegas dan serius. Selphie kaget melihat perubahan air muka Karis. “Lo... serius suka sama Sasa?” Karis menarik nafas panjang. “Iya. Emang kurang jelas apa lagi sih, Sel?” Selphie menatap cowok yang duduk tepat di sebelahnya itu. Ia lega namun entah kenapa hatinya terasa sangat sakit. “Ris, gue ke kamar dulu yah... Tenang aja, kalo lo berusaha lagi, lo pasti dapetin Sasa kok.” Lalu Selphie meninggalkan Karis begitu saja. Selphie membuka lemari meja belajarnya dan langsung meraih buku hariannya. Berbeda dengan biasanya, kali ini Selphie tidak tahu akan menulis apa. Ia hanya memandangi buku itu dengan mata yang penuh dengan air mata. Seharusnya aku sudah tahu sejak lama! Bukankah aku memang sudah tahu sejak lama? Tapi kenapa rasanya sakit sekali ketika hal itu benar-benar terjadi.
183
Tapi... kalaupun aku tidak bisa mendapatkan Karis, hanya Sasa yang paling pantas memilikinya. Selphie terduduk kaku lama sekali menghadap meja belajarnya. Inilah saat dimana ia benar-benar harus melupakan Karis jika tidak mau sakit terus-menerus. Ia tidak ingin perasaan ini membuat dirinya tidak rela kehilangan Karis untuk Raisa, sahabat baiknya sendiri. Ia tidak peduli berapa banyak nama Karis yang tertulis di buku hariannya, Selphie terus merobek halaman-halaman buku itu. Tangannya terasa sakit setelah merobek halaman terkahir buku itu. Ratusan kertas kini berserakan di lantai kamar. Selphie masih menangis tanpa suara. Tidak ada lagi Karis! Setiap halaman yang dirobeknya melegakan hatinya sedikit demi sedikit. Tiba-tiba pintu terbuka. Selphie terkejut setengah mati saat melihat Raisalah yang ada di depan pintu. “Surprise! Gue balik—“ Raisa tidak melanjutkan kata-katanya begitu melihat wajah Selphie yang penuh air mata dan lantai kamar yang sudah ditutupi kertaskertas. “Sel, lo... kenapa...?” Raisa menaruh ranselnya, menutup pintu dan langsung memeluk Selphie. Raisa tidak bertanya apa-apa. Selphie juga tidak berniat berbicara sepatah kata pun. Ia hanya terus menangis di bahu Raisa. Terasa lega dan tenang. Sepintas Raisa membaca satu persatu kertas-kertas berserakan yang bisa dibaca. Ia langsung bisa menebak bahwa Selphie baru saja merobek-robek buku hariannya. Rasa bersalah menjalari Raisa saat ia mengingat kembali isi buku harian Selphie yang pernah dibacanya. Semua tentang Karis. 184
“Sel, maafin gue, yah...” Raisa berkata pelan. Selphie melepas pelukan Raisa dan memandangnya. “Kenapa?” “Gue tau.” Raisa berkata sehalus mungkin. “Tau apa?” Selphie berusaha terlihat sewajar mungkin. “Udahlah, Sel. Lo nggak usah terus berusaha nutup-nutupin. Gue tau kalo lo masih suka Karis.” “Gimana... lo bisa tau?” “Nggak penting gimana gue bisa tau. Yang penting sekarang, lo mau jujur sama gue. Gue nggak mau persahabatan kita berantakan gara-gara cowok. Lagipula Karisnya juga udah jadi milik Yolla. Dan gue nggak se-suka itu—“ “Nggak se-suka itu? Se-suka apa maksud lo?” “Gue... Gue nggak yakin dengan semuanya. Buat gue, semua hal yang berhubungan dengan Karis itu selalu abu-abu. Nggak ada yang hitam, nggak ada yang putih. Gue selalu takut untuk menebak-nebak apa yang akan terjadi besok dengan Karis. Buat gue, Karis itu...” Raisa terdiam sebentar. “Cerminan nyata sebuah paradoks.” lanjutnya Selphie berpikir untuk mencerna kata-kata Raisa. “Gue sendiri nggak ngerti kenapa...” Raisa bergumam sangat pelan. “Lo udah ketemu Karis, Sa?” tanya Selphie. Raisa menggeleng. “Waktu gue masuk, mobilnya nggak ada.” “Lo harus ketemu dia. Dia mau bilang...” Selphie tidak jadi melanjutkan kalimatnya. “Bilang apa, Sel?” Raisa penasaran. “Bilang kalau dia sayang sama lo.”
185
Aku pasti akan masuk surga! Aku membiarkan hatiku sakit sampai rasanya ingin mati saja, dan masih bisa tersenyum untuk Sasa. Raisa menunduk, berjalan pelan ke arah jendela sebelah tempat tidurnya. Sekarang Raisa bisa merasakan getaran-getaran aneh itu muncul lagi. Semua tentang Karis selalu berbeda. “Karis udah putus sama Yolla di hari kepergian lo ke Lampung waktu itu. Sepertinya dia akhirnya sadar. Rasanya aneh untuk ngomong kayak gini, tapi... Gue hanya bisa relain Karis untuk lo.” Selphie tersenyum tipis pada Raisa. “Sel...” Raisa bingung harus bicara apa. “Lo nggak perlu bilang apa-apa. Gue nggak bilang ini gratis, lho!” “Hah?” “Bersihin kamar selama setahun!” “Apa?!” Selphie tertawa melihat Raisa yang terkejut sehingga nampak bodoh itu. “Bercanda, Sasa...” Raisa menghela nafas lega. “Gue pikir lo se-kejam itu sama gue! Brad Pitt juga ogah deh kalo mesti beresin kamar setahun!” candanya. “Sa...?” Suara yang sudah dikenal baik oleh Raisa dan Selphie terdengar dari depan pintu kamar. Lalu pintu kamar pun di ketuk. Raisa pun membuka pintu. “Gue denger suara lo... Akhirnya lo balik.” Karis tersenyum lega melihat Raisa yang kini berdiri di depannya. Raisa mengangguk. Dalam hati ia berteriak senang bisa melihat Karis lagi. “Um... Gue mau ajak lo ke suatu tempat, kalau lo nggak sibuk.” Karis berkata malu-malu. Raisa terlihat sedikit salah tingkah. 186
“Nggak kok. Sasa nggak sibuk. Tapi jangan lupa oleh-oleh buat gue yah, Ris.” Selphie yang langsung sibuk memberesi kertaskertas di lantai karena mendengar suara Karis tadi, berkata lepas pada Karis. Seolah tidak ada apa-apa. “Mau kemana, Ris? Gue perlu ganti baju nggak?” tanya Raisa. “Nggak perlu. Kita mau ke Dago kok.” Karis melambaikan tangan singkat pada Selphie dan berjalan ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil. Setengah jam kemudian, mobil Karis sudah terparkir di simpang Dago. Raisa yang belum diberitahu tujuan sebenarnya sore itu, semakin penasaran melihat Karis turun dari mobil sambil membawa-bawa gitar. “Ris! Serius deh. Mau ngapain sih?” Raisa mengikuti langkah Karis menyusuri trotoar jalan Dago sore itu. “Mau ngamen.” Karis menjawab cuek. “Hah?” Raisa kontan tidak percaya. “Ngapain?” “Cari dana untuk acara kampus.” “Acara kampus apa?” “Udah, pokoknya lo nyanyi yah. Gue nggak bisa nyanyi.” “Gue juga.” Tolak Raisa. Karis masuk ke salah satu tenda-tenda makanan dan berbicara dengan tenang. “Selamat sore, kami dari Universitas. Kami sedang mencari tambahan dana untuk acara kampus kami. Mohon kemurahan hatinya.” Lalu Karis mulai memainkan gitar. “Lo tau lagu ini. Nyanyi yah.” Raisa mengerutkan dahinya pada Karis, tanda bahwa dia marah. Tapi Karis malah tersenyum usil sehingga Raisa sudah tidak bisa mundur lagi dari tanggung jawab ini.
187
Petikan gitar terdengar. Raisa langsung mengenal lagu ini. Lagu kesukaannya sejak dulu. Dia masih takjub bagaimana Karis bisa memainkan lagu ini, tapi Raisa harus mulai menyanyikan lagu ini. Lagu yang sudah ratusan kali dinyanyikannya di kamar mandi. Ku yakin dalam hatiku, kau satu yang ku perlu Ku rasa hanya dirimu, yang membuatku rindu Bila saat nanti kau miliku, ku yakin cintamu Takkan terbagi, takkan berpaling Karena ku tahu engkau begitu Karena ku tahu engkau begitu Hingga ku pasti menunggu, selama apapun itu Demi cinta yang ku rasakan, yang hanyalah kepadamu Percayalah ku sungguh-sungguh, mengatakan semua Yakinkan hatimu kau miliku Karena ku tahu engkau begitu Karena ku tahu engkau begitu Ooh... na na na na... Bila saat nanti kau miliku, ku yakin cintamu Takkan terbagi, takkan berpaling Karena ku tahu engkau begitu Karena ku tahu engkau begitu Percayalah ku sungguh-sungguh, mengatakan semua Yakinkan hatimu kau miliku Karena ku tahu engkau begitu Karena ku tahu engkau begitu
188
“Terima kasih.” Ucap Raisa malu-malu saat beberapa orang bertepuk tangan. Karis berjalan mengelilingi meja untuk meminta uang di topi yang sudah disiapkannya. “Lo niat banget yah, Ris? Sampe siapin topi segala.” Komentar Raisa ketika mereka keluar dari tenda. Karis cuma cekikikan kesenangan. Karis tidak menjawab dan menghitung jumlah uang dalam topi. “Wah! Kita dapet sembilan ribu, Sa!” “Hah? Yang benar?” Raisa tidak percaya. “Hebat banget yah, kita!” komentar Karis. Matanya berbinarbinar. Langit sudah mulai gelap, tanda bergantinya sore ke malam. Raisa berjalan pelan di samping Karis. “Buat apa sih lo ngamen, Ris?” Karis terlihat sibuk melihat kanan-kiri, mencari-cari sesuatu. “Cari apaan sih, Ris?” tanya Raisa lagi. “Seru yah Dago malam-malam gini. Rame.” Komentar Karis tanpa menjawab pertanyaan Raisa. “Ris! Dari tadi gue tanyain, lo ngapain ngamen?” tanya Raisa lagi. “Gue mau beliin lo sesuatu pake duit yang gue perjuangin sendiri, Sa.” Akhirnya Karis menjawab. “Eh, ada tukang es krim tuh. Mau nggak?” Belum sempat Raisa menjawab, Karis sudah memanggil tukang es krim itu. Raisa tersenyum sendiri melihat Karis yang sangat senang selayaknya anak kecil yang baru dapat mainan. Karis berjalan menghampiri tukang es krim. Raisa hanya memandangi sosok Karis dari belakang yang sedang tertawa ketika berbicara dengan seorang pedagang es krim. Si tuan muda ini sudah mulai mengerti arti hidup.
189
“Nih, rasa strawberry.” Karis memberikan es krim itu pada Raisa. “Kok lo nggak beli?” tanya Raisa. Karis hanya menggeleng. Raisa mencicipi es krim itu. “Enak loh Ris... Kok lo nggak beli sih?” “Cobain aja. Boleh minta, kan?” Raisa membiarkan Karis mencicipi es krim itu. “Kenapa nggak beli sih, Ris?” lagi-lagi Raisa bertanya hal yang sama. “Nggak suka makanan pinggir jalan yah?” “Kata Selphie lo orangnya nggak sensitif, tapi masalah itu selalu sensitif!” oceh Karis. “Uangnya hanya sembilan ribu, Raisa... Es krim ini harganya dua ribu. Nanti gue nggak bisa beliin lo apa-apa lagi.” Untung sekarang sudah gelap, kalau tidak, Karis pasti bisa melihat wajah Raisa memerah. Perkataanya yang simple itu ternyata bisa menyentuh hati Raisa. “Makasih yah, Ris...” kata Raisa. “Sama-sama.” Jawab Karis sambil mengulum senyumnya. Mereka masih berdiri di pinggir jalan Dago yang semakin ramai saja, menunggu Raisa menghabiskan es krimnya, ketika tiba-tiba Karis berjalan pelan ke arah seorang anak kecil yang membawa banyak bunga di tangannya. Setelah berbicara dengan Karis, anak itu menghampiri Raisa dan memberikan setangkai bunga mawar berwarna merah pada Raisa. “Ini dari kakak yang pakai baju biru itu. Katanya, mau nggak kakak jadi pacarnya?” Anak kecil itu berbicara sambil tersenyum jahil. Raisa hanya terbengong tanpa bisa berkata-kata.
190
“Tapi kakak itu pelit, masa saya cuma dikasih tujuh ribu. Harga mawar ini kan sepuluh ribu. Masa sih orang keren begitu bilang nggak punya duit lagi.” Anak kecil itu menggerutu. Raisa tertawa kecil mendengarnya. Raisa mengambil mawar merah itu dan berkata lembut, “Maaf yah, dik. Kamu boleh pergi, kakak sudah terima mawarnya.” Anak kecil itu menurut dan meninggalkan Raisa. Raisa memandang Karis yang juga sedang memandang dirinya. Sejenak Raisa membayangkan kalau dunia berhenti berputar dan ia bisa berdiri di situ selamanya, hanya memandang Karis. Lalu Karis berjalan menghampiri Raisa. “Gimana?” tanya Karis begitu ia berdiri tepat di depan Raisa. “Gimana apanya?” Raisa pura-pura bego. Karis tersenyum malu. “Um... Lo mau nggak jadi... pacar gue?” Raisa tidak bisa berhenti tersenyum lebar, hingga giginya terasa kering. “Gue emang belum bisa tiruin suara Spongebob, belum bisa 5 bahasa, belum ngecat rambut gue, tapi gue udah mati-matian belajar gitarnya lagu ‘Karena ku tahu engkau begitu’ selama liburan ini.” “Bukannya lo ngetik skripsi?” “Iya. Itu juga... Makanya lo adalah oknum yang bertanggung jawab kalo amit-amit skripsi gue nggak selesai!” Raisa tertawa renyah, “tenang Ris, gue temenin elo ngulang satu semester lagi!” “Jadi jawabannya gimana dong, Sa?” Karis tidak sabar. “Lo nggak lagi kerjain gue kan, Ris?” “Nope. Gue serius.” 191
Raisa terdiam sebentar, walau senyumnya tidak bisa hilang sedetikpun dari wajahnya. Lalu ia mengangguk pelan. “Iya.” “Iya apa?” Kini Karis tersenyum tidak kalah lebar. “’Iya, gue mau.” Karis tersenyum senang, masih sambil terus memandangi Raisa. Jadi beginilah yang namanya cerita cinta. Semua rasa bercampur aduk untuk menentukan jalan ceritanya, memperjuangkan cinta yang terasa jauh lebih nikmat saat akhirnya mendapatkannya dengan cara yang sempurna. Karis tidak berbicara apa-apa sepanjang jalan pulang malam itu. Begitu juga dengan Raisa. Mereka menikmati masa-masa sunyi ini, masing-masing terbang ke alam pikirnya sendiri. Entah kenapa tiba-tiba Raisa mengingat cerita yang pernah ada sekitar 3 tahun lalu. Aku tidak mudah jatuh cinta, tapi ia bisa membuatku jatuh cinta dengan mudahnya. Aku juga tidak mudah melupakan, tapi ia lagilagi bisa membuatku melupakannya hanya karena rela melihatnya bahagia. Ia menghampiriku suatu sore saat aku sedang duduk di tangga teras rumahku. “Kamu selalu duduk di situ setiap sore.” Ia berkata. Dalam hati aku berharap ia menawarkan diri untuk menemaniku duduk. Tapi ia tidak. Ia mengajakku pergi ke taman dan aku menurut saja. “Bagaimana kalau kita pacaran saja?” Saat itu aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku terlalu kaget. “Ayolah, Sasa... Aku malu sampai kini belum pacaran. Kita pacaran saja, yah? Kalau kamu menemukan cowok yang kamu sukai, kamu boleh meninggalkanku.” Tidak mungkin! Aku tidak mungkin meninggalkannya. 192
“Sasa! Mau tidak?” Ia merasa kesal karena aku diam saja. Lalu aku menganggukan kepalaku dan tersenyum padanya. Senang rasanya bahwa akhirnya aku punya pacar. Pacar pertamaku. Sampai usia 18 tahun, aku selalu berpikir bahwa aku akan menghabiskan hari tuaku dengannya, mengalami ciuman pertama dengannya, kehilangan keperawananku dengannya, dan dialah juga yang akan menemaniku memlilih gigi palsu.. Aku begitu mencintainya. Begitu mencintainya sampai rela hanya menjadi status untuknya. Dan begitu mencintainya sampai aku pun ikut bahagia untuknya saat ia meninggalkanku untuk orang lain. Sampai hari ini aku tidak pernah bisa membencinya. Aku terlalu menyukainya, mencintainya, dan menyayanginya untuk bisa membencinya. “Ris...” Raisa memanggil Karis pelan saat mobil masuk ke dalam garasi kost. “Apa?” “Jangan pernah ninggalin gue tiba-tiba tanpa alasan yah.” Raisa berkata pelan dan polos. Karis tersenyum memandang Raisa. Ia mengelus rambut Raisa. “Nggak akan. Lo bisa pegang janji gue.” Karis menggandeng tangan Raisa begitu turun dari mobil dan mengajaknya berjalan bersamanya sampai ke ruang tengah. Selphie, Joseph, Dio, Ari dan Ben berhenti mengobrol begitu Karis dan Raisa datang. Mereka terpana melihat Karis menggandeng tangan Raisa dengan mesranya. “Gue mau umumin sesuatu nih!” Karis berseru dengan wajah berseri-seri. “Gue dan Raisa sekarang udah pacaran!” Semua yang ada di ruang tengah ternganga seketika, lalu mereka dulu-duluan mengucapkan selamat serta menggoda Raisa dan 193
Karis hingga suara TV tertutup oleh suara mereka. Selphie menghampiri Raisa dan memeluknya. “Selamat yah, Sa.” Selphie melepas pelukannya dan memandang Raisa tulus. “Gue nggak tau mau bilang apa lagi, gue bener-bener lega.” Raisa membalas senyum Selphie. “Makasih yah, Sel...” Raisa berpikir keras kata-kata apa yang cocok untuk menyatakan perasaannya pada Selphie, tapi ia tidak bisa menemukannya. “...pokoknya terima kasih.”
194
Dua Puluh Enam Karis menggeliat-geliat sebelum akhirnya membuka mata pagi itu. Raisa sudah disampingnya menunggunya bangun. “Happy birthday!” serunya begitu Karis membuka matanya. Karis tersenyum. “Hanya itu saja?” “Aku nggak kasih kamu apa-apa, Ris. Karena aku tahu kamu udah punya semuanya. Aku cuma berusaha membuat hari ini menjadi your best birthday ever! Dan ini...” Raisa mendekati Karis dan mencium bibirnya. Lama, lembut dan manis. Karis tersenyum tambah lebar. “Aku mau kado yang banyak. Bisa diulangi?” “Dengan senang hati,” Raisa pun tidak keberatan harus kembali mencium Karis, lagi dan lagi. “Kamu sadar aku belum sikat gigi kan, Raisa?” Tanya Karis di selasela ciuman mereka. Raisa berpura-pura terkejut dan akting muntah-muntah. Karis menggodanya dengan terus menciumi muka Raisa dengan kecupan basahnya. Raisa berteriak kecil, “Jorok abis!!! Aku mesti cuci muka lagi! Ayo cepat mandi sana, sarapan, terus ke kampus. Hari ini kamu sidang!” “Nanti dulu, dong, Raisa… Please?” Karis menarik Raisa lagi ke pelukannya, bermanja-manja dengannya. Raisa hanya tersenyum melihat Karis seperti ini. Benar-benar di luar dugaannya bahwa seorang Karis bisa menjadi sangat kekanak-kanakan dan menggemaskan sekaligus. Sekitar lima belas kemudian, setelah kata-kata ‘nanti dulu’ yang kesekian kali, akhirnya Raisa berhasil membuat Karis pergi ke kamar mandi. Tidak lama setelah Karis bersiap-siap dengan jas 195
almamater-nya dan sarapan roti isi tuna buatan Raisa, ia bergegas ke kampus masih ditemani oleh Raisa. “Ris! Tunggu!” Tahan Raisa ketika Karis hendak masuk ke ruangan sidang. “Apa?” Karis terburu-buru. Raisa meraih tangan Karis, dan membuka telapak tangannya. Raisa mengambil sesuatu dari kantung jaketnya dan menaruhnya di atas telapak tangan Karis, lalu menutup tangan Karis. Dahi Karis mengerut karena ia tidak merasakan apa-apa di tangannya. Lalu ia membuka tangannya, dan ternyata memang tidak ada apa-apa. “Eh! Jangan dibuka!” Raisa menutup kembali tangan Karis. “Nanti pergi.” “Apa?” Karis bingung. “Semangatnya! Aku memberi kamu semangat.” Karis tertawa akan lelucon tolol Raisa, yang membuat dia sedikit lebih rileks. “Makasih, Raisa.” Lalu ia masuk ke ruang sidang. Raisa mengetuk-ngetuk ujung sepatunya untuk kesekian kalinya. Ia sudah lupa berapa kali ia menatap pintu itu dan berharap Karis keluar. Raisa menolak untuk hadir di sidang Karis, ia hanya ingin menunggunya di luar. Dan kini ia menyesal. Rasanya membosanka, dan aku tidak khawatir karena ini adalah Karis. Benar saja, ketika pintu itu terbuka dan Karis muncul dengan wajah penuh senyum, Raisa tahu bahwa sidangnya pasti sukses. Malam harinya, Karis merayakan nilai A itu dengan mengajak Raisa dan anak-anak kost lainnya makan-makan di sebuah kafe di salah satu sudut kota Bandung. Rangkap dua dengan perayaan hari ulang tahunnya. 196
Iringan musik yang familiar dan easy-listening mengiringi langkah mereka menelusuri ruangan yang berkesan futuristik itu. Semua membolak-balik menu yang disampul oleh kotak kayu, sangat unik. Satu-persatu mulai menyebutkan pesanannya. Raisa tidak bisa berhenti menatap seseorang yang berdiri di atas panggung dan memainkan gitar dengan lembut dan indahnya. Ia tidak bisa mengenali orang itu dari jarak sejauh ini, tapi ia bisa menebak dari gerak tubuhnya bahwa itu adalah orang yang pernah sedikit menggoda hatinya. “Raisa, mau makan apa?” Raisa tersentak dari keasyikannya sendiri dan segera membaca menu. Ia menyebut nama makanan yang paling pertama dilihatnya. “Fettucini,” “Minumnya?” “Samain aja deh sama kamu, Ris.” Raisa malas lagi membuka menu. “Ya udah, kalo gitu thai coffee-nya satu lagi yah, Mas.” Pinta Karis sopan pada waiter yang menurut Selphie lumayan ganteng itu. “Siapa sih, Sa?” Karis mengikuti arah pandangan Raisa saat sadar Raisa terus-menerus memandang ke arah band yang sedang melakukan pertunjukan di atas panggung. “Kayaknya itu Yksel deh. Iya bukan sih, Sel?” Raisa penasaran. Selphie mengernyit untuk mamksimalkan penglihatannya ke panggung, diikuti oleh Ari dan Dio. “Iya! Itu Yksel!” seru Ari antusias, lupa bahwa Raisa pernah memliliki cerita dengan Yksel. “Lo masih kontek nggak, sih sama dia?” tiba-tiba Ari sadar. “Udah enggak sih, tapi nggak apa-apa kalo kalian mau sapa.” Kata Raisa datar. 197
“Biarin aja lah, kita juga nggak gitu kenal dia, kan.” Dio berkata cuek. Tidak lama setelah itu, makanan mereka datang, seiringan dengan bunyi mikrofon yang diketuk-ketuk oleh jari. Test... Test... Selamat malam semua. Suara Yksel yang agak berat dan serak-serak basah bergema di ruangan. Kami dari ‘Line One’. Setelah ini satu lagu lagi dari salah satu lagu favorit pribadi saya. Raisa berhenti makan dan mendengarkan dengan seksama. Lagu yang selalu saya nyanyikan untuk dia. Dia yang sempat menduduki hati ini, tapi memutuskan untuk pergi. Karis pun meletakkan garpunya, dan ikut mendengarkan suara Yksel. Petikkan gitar mulai terdengar, diiringi oleh lembutnya tabuhan drum. Melodi-melodi tercipta penuh harmoni, merangkai suatu lagu. Lagu itu lagi, yang pernah dinyanyikan Yksel untuk Raisa. *** Alunan melodi lagu dan suara Yksel masih terngiang-ngiang di rongga hati Raisa saat ia berjalan pelan menuju kamarnya. Lamunan itu bubar saat Karis menyentuh tangan Raisa dan menggenggamnya lembut. “Raisa...” Karis menatap mata Raisa lekat-lekat, menyadarkan Raisa dari pesona lagu indah itu.
198
“Aku mungkin nggak bisa membuat lagu romantis seperti Yksel, tapi...” Karis terlihat salah tingkah. Ia menggaruk-garuk tengkuknya sendiri. Raisa menahan tawa melihat Karis yang bersikap bodoh. “Ada apa sih, Ris?” “Um, aku sayang kamu.” Karis menarik tubuh Raisa lembut ke arahnya dan memeluknya erat. “Banget, Sa. Sayang banget.” Perasaan hangat hinggap di sekujur tubuh Raisa. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Karis lalu memandangnya hangat sambil menebar senyum super manis ala Tom Cruise itu. Raisa berkata pelan, “Aku juga.” “Walaupun aku nggak bisa buat lagu untuk kamu?” tanya Karis. Raisa mengangguk. “Iya.” “Walaupun aku nggak bisa nyanyi?” “Iya.” “Walaupun aku nggak doyan yoghurt?” Raisa tertawa. “Iya.” “Walaupun—“ “Walaupun kamu cerewet, nyebelin, terus-terusan nanya hal yang nggak penting, dan sebentar lagi lulus terus ninggalin aku, aku tetap sayang kamu.” Raisa berkata datar sambil melihat tangannya sendiri, menunduk. Tidak berani melihat Karis. Karis terhentak dengan kata-kata Raisa. Ia terdiam sebentar dan meraih tangan Raisa untuk digenggamnya. “Sa...” “Nggak apa-apa. Aku lebih sayang kamu dari pada diriku sendiri. Jadi... Aku pasti tunggu kamu.” Karis memandang Raisa masih dengan dahi berkerut. “Kamu nggak percaya?” tanya Raisa. 199
“Bukannya aku nggak percaya... Tapi...” “Kamu itu paradoks hidupku. Jadi nggak perlu khawatir.” Karis mengernyit tanda tidak mengerti. “Paradoks. Majas favoritku. Setelah bertemu kamu, aku baru mengerti apa yang dirasakan Pap pada Mamaku. Banyak sifat Mam yang sangat dibenci oleh Pap, tapi ia terus mencintainya. Dulu aku tidak mengerti kenapa, tapi sekarang aku mengerti, karena Mama adalah paradoks untuk Pap.” Karis tersenyum. “Ya udah, kamu masuk kamar sana. Yang lain sudah pada tidur. Kamu juga tidur yah...” Raisa membalas senyum Karis yang terakhir malam itu dan berbalik masuk ke kamarnya. “Raisa!” panggil Karis lagi. Raisa berbalik lagi dan menatap Karis, “Apa?” “Selamat hari kebalikan! Aku benci kamu.” “Aku lebih benci kamu...” “Nggak mungkin.” Karis mengulum senyumnya. Ia tidak bisa menahan untuk tidak menghampiri Raisa lagi dan menciumnya lembut. “Met malam, Raisa.” Karis berkata pelan. Lalu Raisa berjalan masuk ke kamarnya dengan hati berbunga-bunga. Semua karena Karis... Aku akhirnya mengerti mengapa Pap bisa begitu mencintai dan menerima Mama dengan tulus. Karena Mama adalah paradoks. Bukan hanya paradoks milik Pap, tapi juga milikku.
200
Dua Puluh Tujuh Sandy menatap Raisa lagi, “Kamu yakin tidak ingin jawab telepon itu dulu?” Raisa menggelengkan kepalanya. Ia terus merasakan HP-nya bergetar dalam tasnya. “Paling teman saya.” Sandy kembali memandangi hasil kerja Raisa sambil menganggukanggukan kepalanya sambil sesekali bergumam “Oke...” atau “Good...” Dan akhirnya Raisa bisa menghela nafas lega saat Sandy menatapnya sambil tersenyum. “Bagus. Kamu semakin matang saja. Mudah-mudahan kamu bisa coba lagi untuk ikut mendesain cover special edition nanti.” “Kapan, Mas?” “Masih bulan Mei. Kamu persiapkan dulu saja.” Raisa mengangguk senang. Dan akhirnya HP-nya berhenti bergetar. “Oh iya, Sa. Saya dan teman saya sedang coba membuat majalah remaja, kamu ada kenalan orang yang bisa bikin artikel, Sa?” “Artikel apa, Mas?” “Yah... artikel seputar remaja sampai mahasiswa juga boleh. Teman saya sih lebih ingin mempekerjakan mahasiswa, supaya lebih kena kesan remaja-nya.” “Nanti saya tanyakan teman saja dulu deh, Mas. Ada sih, teman saya yang suka nulis, namanya Lenni. Nanti saya tanyakan apa dia tertarik.” “Kalau dia tertarik, coba bikin satu artikel, lalu kamu bisa berikan pada saya. Biar nanti saya bisa lihat bersama teman saya.”
201
Raisa terhentak lagi karena HP-nya kembali bergetar. “Ya sudah, sepertinya kamu sibuk sekali hari ini.” Sandy tertawa ramah. “Kamu boleh pulang kok, Sa.” “Oke. Makasih yah, Mas. Saya permisi dulu.” Pamit Raisa. Begitu keluar dari ruangan Sandy, Raisa langsung mengangkat telepon yang dari tadi tidak berhenti menghubunginya. “Halo?” “Raisa? Bisa kita ketemuan sekarang?” Sambar orang itu. “Siapa nih?” Raisa tidak mengenali suara wanita di ujung sana. “Yolla.” Raisa terdiam kaget. “Bisa nggak, Raisa?” “Um, ada perlu apa ya?” “Maaf ya, tapi batere telponku sudah low sekali, bisa ya ketemuan sekarang? Saya tunggu di Pisa Cafe bagaimana?” Raisa sedikit lega karena nada bicara Yolla mulai lebih bersahabat. “Um, oke. Sekarang saya ke sana.” Jarak dari kantor Raisa ke Pisa Cafe sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi karena jalanan yang agak macet Raisa baru bisa sampai di Pisa Cafe setengah jam kemudian. “Maaf yah. Jalanan macet.” Itu kalimat pertama yang Raisa katakan begitu menemui Yolla yang sedang duduk santai. “Tidak apa-apa. Duduklah.” Kata Yolla ramah. “Kita pernah bertemu sekali kan, Raisa? Tapi kita belum pernah benar-benar berkenalan.” Yolla menyodorkan tangannya. Raisa menjabat tangannya, “Raisa.”
202
“Yolla.” Entah kenapa ada aura keangkuhan ketika Yolla menyebut namanya sendiri. “Kamu pasti bingung kenapa Saya tiba-tiba minta ketemuan sama kamu.” “Eh, iya. Saya pesan minum dulu yah.” Sela Raisa. “Nggak usah, Raisa. Ini tidak akan lama. Lagipula apa yang membuat kamu berpikir kalau saya akan makan siang dengamu?” Raisa melongo tidak percaya. “Saya hanya ingin kamu tahu, buat Karis, kamu bukan apa-apa. Dia bisa dapatkan orang yang seribu kali lebih baik dari kamu. Apa yang membuat kamu berpikir kamu spesial? You’re kidding me...” Yolla tertawa sinis. “Dan apa yang membuat kamu berpikir kalau saya percaya dengan kata-kata kamu? Saya pikir orang-orang seperti kamu hanya ada di sinetron saja. Ternyata ada bentuk 3 dimensinya juga.” Raisa berkata tak kalah ketus. “Whatever... Sebaiknya kamu jaga pacar kamu baik-baik, Cinderella. Karena cerita dongeng ini akan jauh berbeda.” Yolla mencemooh. “Aku akan ikut Karis ke Atlanta.” Raisa tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. “Aku. Akan. Ke. At-lan-ta!” Yolla berkata sangat jelas. Raisa masih tidak berkata apa-apa. “Selamat siang, Raisa.” Seru Yolla angkuh. Ia berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan Raisa yang masih terbengong-bengong. ***
203
Ben melongo melihat Raisa cemberut. Gadis itu masuk ke dalam rumah dan membanting pintu depan. Membuka kulkas, mengambil segelas yoghurt lalu duduk di sofa. “Sa...?” Ben menyapa sehalus mungkin. Raisa menghela nafas super panjang. “Lo pernah kesel sampe ubun-ubun nggak, Ben? Rasanya mau nonjok orang! Gue kesel banget sampe nggak bisa ngomong apa-apa lagi!” “Sasa... Sabar...” Ben duduk di sebelah Raisa. “Karis ada?” “Kayaknya ada deh, di kamar.” Raisa langsung bangun dari duduknya. Gelas yoghurtnya diserahkan pada Ben dan ia berjalan menuju kamar Karis. “Ris...?” Raisa mengetuk pintu kamar Karis. “Iya! Masuk aja, Sa.” Jawab Karis dari dalam. Raisa membuka kamar Karis dan langsung menganga takjub melihat kamar Karis yang sudah berantakan seperti kapal pecah. Raisa mengambil sebagian karton-karton dan sterofom untuk diletakan di meja, “Ya ampun—“ “Jangan dipindah!” seru Karis. “Nanti aku nggak tahu letaknya di mana. Biarin aja berantakan gini. Yah, untuk sementara kamu nggak bisa main di kamarku.” Raisa yang tadinya sedang kesal, tersenyum juga melihat Karis yang panik dengan wajah super berantakan. “Untuk sementara juga aku nggak bisa ada buat kamu. Aku harus lulus Mei ini kalau mau ikut beasiswa ke Atlanta.” “Sementara? Sementara-nya sampai kapan?”
204
“April.” Jawab Karis singkat masih tidak mengalihkan pandangannya dari maket besar yang masih berupa kerangka di depannya. “April? Dua bulan, Ris.” “Maaf yah, Raisa. Aku benar-benar nggak punya waktu untuk ngapa-ngapain. Aku kerjain maket studio akhirku sambil kuliah, Sa!” seru Karis. “Iya, aku ngerti kok. Semangat yah, Ris!” Kata Raisa basa-basi. Karis tersenyum pada Raisa sambil mengacungkan genggaman tangannya. “Semangat dari kamu ada di sini.” Raisa membalas senyum Karis. “Aku keluar dulu yah, Ris...” Pintu kamar Karis ditutup pelan oleh Raisa. Ia mengambil gelas yoghurt yang sudah diletakan Ben di atas meja makan. Ben sendiri sudah kembali mengerjakan tugas di meja makan. “Tugas lagi, Ben?” tanya Raisa basa-basi. “He-eh. Gue mulai takut nggak bisa ikut basket... Tugasnya makin menyiksa!” keluh Ben. Pelan, namun dari hati, Raisa bergumam, “Dasar arsitek-arsitek gila kerja...”
205
Dua Puluh Delapan Waktu berlalu seperti angin berhembus. Raisa mulai menikmati kegiatan berorganisasi di Himpunan Mahasiswa dan menggambar ilustrasi untuk pekerjaannya. Dua bulan tidak dilewati begitu saja, terkadang Raisa berusaha untuk mengajak Karis makan di luar walau hanya sebentar. Dan karena Raisa mengerti pekerjaan maket Karis yang super wah, ia tidak mengeluh apa-apa. Raisa membolak-balik hands out di tempat foto kopi-an depan kampus. “Dari sini sampai sini, dua kali ya, Mas.” “Mas! Jilid dong!” Seseorang berdiri di sebelah Raisa. Suara yang begitu khas dan mengingatkan Raisa pada alunan melodi indah yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Raisa menatapnya. “Yksel...” Yksel tak kalah kagetnya dengan Raisa. Ia sempat ternganga sebentar melihat Raisa. “Sasa? Hai!” Yksel salah tingkah. “Udah lama yah? Nggak pernah kelihatan.” Kata Raisa basa-basi. “Kan beda gedung.” alasan Yksel. “Kamu gimana sekarang?” tanya Raisa. “Um... Yah gitu... Masih manggung dan masih berdoa supaya dilirik perusahaan rekaman. Kamu?” “Biasa aja. Kuliah, gambar. Gitu aja.” Lalu mereka sama-sama terdiam. “Kamu kangen aku?” tanya Yksel. Raisa diam sejenak, dan kemudian menganggukan kepalanya. “Sama.” Kata Yksel singkat. 206
Foto-kopian Raisa selesai. “Berapa, Mbak?” tanya Raisa. “2400.” Jawab Mbak itu. Raisa membuka tasnya dan mencari dompetnya. Tanpa ia sadari, Yksel menuliskan sesuatu di balik fotokopian Raisa. Setelah menemukan dompetnya dan membayar foto-kopian, Raisa berpamitan pada Yksel. “Aku duluan yah, Yksel.” “Hati-hati, Sa.” Dan Raisa berjalan pergi dari tempat foto-kopian. Ketika memberikan hands out itu pada Selphie, ia baru sadar ada sebuah tulisan di balik hand out itu. Aku nyesel hapus nomorku. Yksel: 08562003344 *** Gue nggak percaya ada hal di muka bumi ini yang nggak bisa dipelajari. Begitu juga dengan mencintai. Dan melupakan. Malam itu, Raisa melamunkan kata-kata yang pernah Karis katakan. Entah kenapa kata-kata yang sudah lama dilupakan oleh Karis sendiri itu menyelam dalam ke sel-sel otak Raisa, menelusuri akal sehat Raisa. Jika memang benar begitu, tidak ada yang namanya takdir. Jika begitu, kita bisa memilih siapapun untuk dicintai. Iya, bukan? “Raisa?” Karis memanggil namanya. “Hah?” Raisa terkaget sehingga garpunya jatuh ke atas piring. Karis mendengus dan melanjutkan melahap chicken cordon bleu yang ada di hadapannya. “Akhir-akhir ini kamu sering begitu...” kalimat Karis melayang. 207
“Hah?” Raisa masih belum seratus persen kembali dari lamunannya. “Aku lega banget setelah maketku selesai. Tapi kita jadi kayak orang asing.” “Maaf.” Kata Raisa pelan. “Aku yang minta maaf. Aku mau nebus dua bulan itu.” “Terserah.” “Sudah lama aku nggak dengar kata ‘terserah’ dari mulut kamu. Yah... sekarang terdengar lagi.” “Emangnya kenapa? Kamu nggak suka, ya?” “Mengingatkan aku sama Raisa yang nggak bisa ambil keputusan.” Raisa terdiam, tidak menyimak kata-kata Karis. “Sa...? Kamu bengong?” “Hah? Enggak. Aku cuma... mikirin sebentar lagi ujian.” Raisa membuat alasan. Sepanjang sisa malam itu, mereka berdua tidak banyak bicara. Ada kehampaan dalam hati masing-masing. Raisa merasa bersalah karena walau sepintas, ia mengingat wajah Yksel saat makan malam bersama Karis. Ternyata waktu dua bulan bisa membuat Raisa menyangsikan perasaannya sendiri. Bagaimana jika Karis ke Atlanta selama tiga tahun? ***
208
“Surprise!!!” Teriak Karis ketika Raisa akhirnya diizinkan pulang dan melihat kamarnya. Sebelumnya Raisa diminta untuk pergi dari kost dalam rangka Karis ingin membuat kejutan untuknya. Ada berbagai macam boneka bertebaran di ranjang Raisa. Sebuah buket bunga mawar yang sangat mewah tergeletak di atas meja belajar Raisa. Di sebelah ranjang terlihat karpet bergambar Spongebob menghiasi. Sederet barang-barang baru berserakan di meja Raisa. Dengan lembut Karis melingkarkan kalung di leher Raisa. Raisa menunduk dan bisa melihat liontin berkilauan berlian yang tertulis namanya, Raisa. “Apa-apaan, Ris? Ini semua untuk apa?” Raisa bertanya bingung. “Ini semua untuk menebus dosaku selama dua bulan menyianyiakanmu. Dan lagi, aku ingin setiap kali kamu melangkah, ada barang yang mengingatkanmu padaku, jadi kamu tidak akan terlalu merindukanku nanti.” Raisa memandang Karis tidak percaya. “Kamu...” Raisa kehabisan kata-kata. “Kenapa, Sa?” “Terus sekarang, apa bedanya kamu sama Getssa?!” Karis terkejut mendengar Raisa menyebut nama itu lagi, dengan emosi. “Kamu belum kenal aku ya, Ris? Kalau kamu kenal aku, kamu akan tahu kalau aku benci sama orang-orang yang menyalurkan hidup hedonisnya kayak gini.” Raisa melepas kalung yang baru saja melingkar di lehernya dan menaruhnya di mejanya. “Kamu pikir dua bulan itu bisa dibayar dengan ini semua? Kalau kamu berpikir kayak gitu, terus apa bedanya kamu sama Getssa?” “Aku hanya ingin... melihat kamu tertawa lagi. Akhir-akhir ini langka sekali melihat tawa kamu.” 209
“Dengan cara seperti ini?” “Lalu?” Karis serba salah. “Kamu bisa bilang, kamu sayang aku, nggak akan tinggalin aku untuk orang lain, atau kamu bisa janji saat kembali dari Atlanta, aku masih ada di hati kamu. Nggak perlu ini semua, Ris...” Karis terpaku melihat Raisa yang bicara begitu jujur. “Lebih baik kamu keluar yah, Ris. Lusa sudah mulai ujian akhir, dan aku nggak mau masalah ini mempengaruhi mood belajarku. Bukan hanya kamu yang sedang meniti masa depan. Aku juga.”
210
Dua Puluh Sembilan Karis menunggu Raisa di teras depan. Ini adalah hari terkahir ujian Raisa. Ia merasa telah memberikan waktu selama hampir dua minggu ini, bukan hanya untuk Raisa, tapi juga untuk dirinya sendiri. Untuk berpikir apa hubungan ini bisa dibawa ke jenjang yang lebih tinggi. Pertama kali dalam hidupnya, Karis memikirkan hal seperti ini. Pintu gerbang terbuka, Raisa muncul dengan senyum. Karis menghela nafas lega, alangkah baiknya bila mood Raisa sedang bagus. “Kamu ngapain di luar, Ris?” tanya Raisa santai begitu sampai di teras. “Nunggu kamu pulang.” Raisa tersenyum lagi. “Ternyata bosan yah...” kata Karis. “Apa?” “Menunggu. Kamu sering banget nungguin aku pulang, apalagi waktu aku lagi sibuk-sibuknya kuliah studio. Kamu sabar banget.” Raisa tidak menanggapi kata-kata Karis, ia hanya tersenyum. “Kamu ganti baju yah. Aku mau ajak kamu pergi.” Pinta Karis. “Kemana?” “Rumahku.” “APA?” Raisa kaget seketika. “Ngapain?” “Makan siang bareng orang tuaku. Aku sudah susah payah buat janji sama Papa. Kebetulan Papa ada di sini.” “Di sini? Di mana?” 211
“Di Indonesia.” “Memang biasanya di mana?” “Kadang Singapore, kadang Amerika, tergantung juga.” Raisa berusaha untuk tidak terlihat sinis, “Sibuk juga yah...” “Mau yah, Sa?” Raisa terdiam, sedang berpikir. “Aku sudah bilang sama Mamaku kalau kita akan datang.” “Kamu akan memperkenalkanku sebagai apa? Teman atau pacar?” “Ya, pacar lah! Itu intinya aku bawa kamu ke orang tuaku, bukan?” “Berarti orang tua kamu sudah tahu tentang aku?” Raisa terbengong. “Kamu nggak gugup, Ris?” Karis tersenyum geli, “Kamu gugup ya, Sa?” “Sedikit. “ Jawab Raisa pelan. “Sudah, tenang aja... Kan ada aku.” Karis merangkulnya dan mengecup dahinya. Raisa suka sekali saat Karis mengecup dahinya, terasa hangat dan damai. Saat itulah saat dimana ia merasa rela jika waktu berhenti dan bumi tidak lagi berputar. Saat ia merasa bahwa ia sudah merengkuh seluruh jagad raya dalam dekapannya. Perjalanan Raisa dan Karis dari Bandung ke Jakarta dipenuhi dengan canda dan gelak tawa. Saat berada di samping Karis seperti inilah yang membuat Raisa yakin bahwa Karis lah orang yang diciptakan untuknya, bahwa semua kebetulan yang terjadi antara mereka berdua adalah rencana besar alam semesta. Walau getaran di dalam dada itu muncul, Raisa tidak menjadi takut, tapi malah merasa nyaman dan kegugupan itu terasa
212
menyenangkan. Dan segala hal ini akan terasa beda tanpa Karis. Ia yakin itu. Sederet rumah mewah berjajar teratur dan terlihat elit ketika mereka sudah memasuki perumahan Karis di kawasan Jakarta Selatan. Raisa menyadari kalau syndrome Raisa sudah mulai muncul, rasa takut dan tidak nyaman luar biasa mulai menjalari dirinya. Ia bahkan mulai merasa tangannya menjadi dingin. “Sa...?” Karis menyadari situasi yang mulai hening. “Apa?” Tanggap Raisa singkat. “Kamu kok diam?” “Nggak apa-apa... Um, kamu udah siap buat perlombaan beasiswa Atlanta, Ris?” Raisa mencoba mengangkat suatu topik. “Udah kok. Semua udah fixed. Kamu harus datang yah, Sa! Lusa, hari minggu. Aku optimis.” “Di Sabuga kan?” “Iya.” Jawab Karis singkat. Mobil Karis berhenti di depan sebuah gerbang tinggi. Karis membunyikan klakson, dan pintu pun terbuka. Setelah melewati pos satpam dan air mancur berbentuk malaikat-malaikat yang sedang bermain harpa, mobil Karis berhenti di halaman sebuah rumah tingkat tiga yang beridiri megah. Raisa terpana, tidak bisa berkata apa-apa. Selama ini ia pikir rumah Getssa lah rumah yang paling besar yang pernah ia kunjungi. Tapi kini di depannya ada sebuah rumah yang ia pikir lebih cocok disebut istana. Karis membukakan pintu untuk Raisa. “Sudah sampai, tuan puteri.” Raisa tersenyum geli melihat Karis yang begitu manis. “Makasih. Ris, kalo aku boleh tanya, Papa kamu sebenarnya keja apa sih?”
213
Karis tertawa karena Raisa terlihat sangat dungu dengan wajah polosnya. “Papa punya perusahaan obat multinasional.” “Dan kalau boleh tahu, profit sebulan perusahaan kayak gitu...?” “Sekitar 50 sampai 100.” “100 juta?!” Raisa terpekik. Karis lagi-lagi tertawa. “Bukan. 100 Milyar, Raisa...” “HAH?” Kini Raisa benar-benar terlihat dungu. 100 Milyar per bulan???!!! “Lalu apa yang kamu lakukan dengan kuliah Arsitektur? Pada akhirnya kamu akan mewarisi perusahaan itu, kan?” “Udah, ngobrolnya nanti saja, aku sudah lapar. Ayo, masuk.” Karis menggandeng tangan Raisa menuju rumah super megah itu. Lagi-lagi Raisa tercengang saat Karis membawanya memasuki ruangan-ruangan di dalam rumah itu. Deretan lukisan-lukisan berukuran besar dan yang pasti hasil karya seniman top, guci-guci dan berbagai macam keramik antik serta permadani yang terhampar menutupi sebagian lantai marmer membawa aura kemewahan yang luar biasa. Sampailah mereka di ruang makan yang menurut Raisa lebih luas dari rumahnya. Mejanya saja panjang bukan main. Peralatan makan yang ditata elegan di atas meja pasti bukan sekedar terbuat dari stainless. Sepasang suami-isteri sudah memperhatikan Raisa sejak ia memasuki ruangan itu. “Ma, Pa, kenalkan, ini Raisa.” Karis langsung memperkenalkan Raisa begitu mereka sampai di meja makan, di mana orang tua Karis berdiri di sebelahnya. Ibu Karis menjabat hangat tangan Raisa. “Apa kabar, Raisa?”
214
“Baik, Tante.” Jawab Raisa, berusaha terlihat sesopan mungkin. Ayah Raisa hanya menjabat tangan Raisa sambil tersenyum tipis. “Duduklah, Ris, Raisa.” kata Ibu Karis. Lalu mereka berempat duduk di tempat yang sudah disediakan, dan makan siang pun dimulai. Hidangan pembuka pun datang, sup cream yang pastinya dibuat oleh seorang koki. “Mama dan Papa nunggu lama, ya? Tadi agak macet.” Karis memulai obrolan. “Nggak juga kok.” Kata Ibu Karis ramah. Raisa langsung menyukai Ibu Karis sejak pertama melihatnya. Raisa merasa ia sangat ramah dan hangat. Raisa sangat kagum bagaimana mungkin wanita ini masih terlihat sangat muda dan sangat sangat cantik! Nyamuk saja bisa terpeleset kalo nangkring di kulitnya yang super mulus itu! Raisa berusaha memikirkan hal-hal lucu di dalam otaknya agar ia tak merasa terintimidasi. “Jadi, Raisa... Kamu kuliah di Universitas yang sama dengan Karis, ambil jurusan apa?” Ibu Karis berusaha untuk lebih mengenal Raisa. “Hubungan Internasional.” Jawab Raisa singkat. “Sudah semester berapa?” tanya Ibu Karis lagi. “Semester 4.” “Hm... Karis pernah bercerita, katanya kamu pintar menggambar dan bekerja menjadi Ilustrator. Bagus sekali!” Puji Ibu Karis. “Terima kasih, Tante.” “Rumahmu di Lampung, Raisa? Bagaimana kota Lampung? Tante belum pernah ke sana.” “Yah begitulah. Tidak sebesar Jakarta atau Bandung, tapi lumayan enak untuk tinggal.” 215
“Kamu berapa bersaudara, Raisa?” “Tiga. Saya punya satu kakak laki-laki dan satu adik laki-laki. Kakak saya sudah menikah, baru saja dikaruniai bayi perempuan yang lucu.” “Oh ya? Karis waktu bayi juga lucu sekali. Nanti akan saya tunjukkan fotonya kalau kamu ingin lihat.” “Na, kamu cerewet sekali. Biarkan Raisa makan dulu.” Akhirnya Ayah Karis angkat bicara. “Oh, ya ampun... Maaf ya, Raisa. Tante keterusan ngobrol. Gimana sup-nya? Enak, tidak?” Raisa mengangguk. “Enak kok, Tante.” “Dulu Karis sering minta diajarkan masak sama Pak Adi, koki kami. Dia selalu bilang mau mandiri kalau sudah besar. Lihat saja nanti.” “Tapi Karis memang bisa masak, Tante. Waktu itu pernah masak di kost.” Cerita Raisa. “Oh ya? Enak tidak, Raisa?” Raisa tertawa kecil. “Lumayan lah.” “Lumayan? Maksud kamu, enak sekali?” Canda Karis. Raisa mulai merasa nyaman. “Oh ya, Karis. Kamu jadi kan ambil S2 di Atlanta? Om harap Raisa tidak keberatan jika Karis pergi ke luar negeri. Dia bisa pulang setahun dua kali.” Kata Ayah Karis penuh wibawa. “Oh, saya tidak keberatan, Om. Lagipula Karis memang sudah merencanakannya sejak lama.” Kata Raisa. “Oh ya, Pa. Soal ke Atlanta... Karis memasukkan maket tugas akhir Karis untuk ikut perlombaan di Sabuga. Dan kalau menang, dapat beasiswa ke Atlanta itu!” Cerita Karis semangat. 216
“Kamu, kalau punya waktu luang, bukannya pulang saja temani Mama-mu, malah ikut-ikutan lomba. Kalau mau ke Atlanta, ya berangkat saja. Papa kan masih mampu membiayai kamu.” Ujar Ayah Karis. “Karis tahu. Tapi Karis sudah belajar kalau hasil perjuangan itu akan terasa lebih nikmat.” Karis berkata bangga. “Ya sudahlah... terserah kamu.” Diam-diam Raisa merasa terharu. Karis benar-benar mengingat ucapannya. Bukan hanya mengingat, tapi juga menyerapnya dalam hatinya. Makan siang berjalan cukup baik. Ia bisa merasa nyaman mengobrol dengan Ibu Karis, meskipun Ayah Karis terbilang cuek dan tidak terlalu perduli bahwa Karis punya pacar. Setelah makan siang, Ibu Karis mengajak Raisa berkeliling rumah sambil mengobrol. Tampaknya wanita ini sangat suka mengobrol. Sedang Karis pergi ke ruang kerja dengan Ayahnya. “Sudah berapa lama kamu dekat dengan Karis, Raisa?” tanya Ibu Karis. “Um... Saya baru mengenalnya satu setengah tahun lalu, setelah itu kami bersahabat, tapi baru dekat sekitar empat bulan yang lalu.” “Baru empat bulan? Pasti kamu spesial sekali untuknya sampai dibawa ke sini. Tante saja sampai kaget waktu dia bilang ingin memperkenalkan pacarnya sebelum berangat ke Atlanta.” Raisa terdiam. Atlanta... perlu membolongi bumi untuk bertemu Karis nanti. “Saat Karis memutuskan untuk kuliah di Bandung, Tante sedih sekali. Tapi Tante yakin, Karis selalu punya caranya sendiri untuk tetap ada di dekat kita walau ia jauh. Percayalah, Raisa.” Ibu Karis berkata lembut. 217
Raisa mengangguk pelan, walau sebenarnya hatinya ragu. *** Setelah berpamitan pada kedua orang tua Karis, Raisa mengikuti Karis keluar dari rumah megah itu. Sekali lagi ia membukakan pintu mobil untuk Raisa. Lalu mobil Karis keluar dari gerbang depan dan kembali menuju Bandung. “Sa...” Karis memanggil Raisa dengan nada serius saat mereka memasuki jalan tol. “Hm?” Raisa menanggapi cuek. “Tadi Papa tanya aku, apa aku mau jadi Vice President perusahaannya setelah aku lulus S2. Dan itu di Amerika. Dia bilang, aku bisa ajak kamu...” Karis berkata pelan. “Jadi setelah lulus kamu langsung kerja di sana?” “Iya. Dan aku bisa ajak kamu ke sana—“ “Terus, kamu kuliah Arsitektur buat apa?” Karis diam. “Formalitas? Sekedar dapat gelar doktor? Kalau ujung-ujungnya juga nepotisme, ngapain kamu kuliah, Ris?” “Raisa, jangan mulai deh...” “Baru aja aku pikir kamu sudah mengerti aku. Kalau kamu pikir aku mau ikut kamu ke Amerika, berarti kamu gila!” “Raisa! Bisa kan, kamu nggak usah sinis kayak gitu? Aku mau berdiskusi, bukan bertengkar.” “Seharusnya aku tahu...” Gumam Raisa. “Apa?” Karis tidak mendengar kata-kata Raisa. 218
“Seharusnya aku tahu!” Ulang Raisa dengan keras. “Tahu apa?” “Kalau orang seperti kamu nggak akan bisa merubah cara pandang kamu—“ “Orang seperti aku! Orang seperti aku! Kamu selalu sebut aku begitu! Aku ini cowok kamu, Ra—“ “Orang seperti kamu sudah mempunyai masa depan yang dirancang sejak kecil. Nggak pernah berjuang, nggak ada resiko, nggak pernah bikin keputusan dari hati kamu, nggak ada kejutan dalam hidup kamu!” “Aku berjuang untuk kamu, Raisa! Sangat keras malah. Dan kamu kejutan paling parah yang pernah aku dapetin dalam hidupku!” Raisa terdiam cukup lama, cukup untuk membuat keduanya kembali tenang. Dan akhirnya dengan sangat pelan dan lembut, Raisa berkata, “Maaf... Nggak ada yang salah dengan hidup kamu. Hanya cara pandang aku saja yang berbeda. Kalau aku jadi kamu, aku juga ingin balas budi ke orang tua. Apa yang kamu lakukan nggak salah, Ris. Good luck.” “Good luck? Maksud kamu?” “Aku hanya ingin menikmati saat-saat kamu di sini. Bisa, kan?” “Raisa! Aku akan pulang ke Indonesia setelah kuliah dan aku akan jemput kamu.” “Tapi pikiran kita nggak sejalan, Ris...” ucap Raisa sedih. “Maksud kamu?” “Aku pasti akan sangat kangen kamu, Karis.” Karis mengerti maksud ucapan Raisa walau sebenarnya ia tidak menginginkannya. Tapi ia memilih diam, membiarkan Raisa
219
berpikir jernih. Ia menggenggamnya.
hanya
meraih
“Nanti kita omongin lagi yah, Raisa…”
220
tangan
Raisa
dan
Tiga Puluh Raisa datang ke gedung tempat diberlangsungkannya kompetisi beasiswa Atlanta itu tepat pukul 10 pagi bersama Lea dan Dio. Raisa segera mencari sosok Karis di tengah-tengah kerumunan itu. Seseorang dengan tidak sengaja menubruk Raisa. Dengan kesal Raisa berbalik. “Sasa? Sasa kan?” cowok berambut ikal dan berkaca mata tebal yang menubruk Raisa malah menyapanya. Raisa mengkerutkan dahinya tanda tidak mengenal orang itu. “Ini gue! Bintang!” cowok itu memperkenalkan diri. “Bintang, teman SMP lo!” Raisa hampir berteriak saking kagetnya, “BINTANG! Ya ampun! Kok kaca mata lo jadi tebel kayak gini sih?” “Iya, kebanyakan baca buku.” Cowok bernama Bintang itu terkekeh-kekeh. “Apa kabar lo sekarang, Bin?” Raisa menepuk bahu Bintang. “Baik. Lo sendiri?” “Baik juga kok. Nenek sehat, Bin?” “Udah pergi dua tahun lalu...” Raisa merasa tidak enak. “Sorry, Bin. Gue nggak tahu...” “Nggak apa-apa. Papa lo gimana, Sa?” “Baik kok.” “Masih di Lampung?” “Iya.” “Kok lo bisa di sini, Sa?” tanya Bintang penasaran. “Gue kuliah di sini, Bin. Lo sendiri?”
221
“Gue juga kuliah di Bandung. Acara ini kan yang selenggarain Universitas gue. Gue baru lulus kemarin ini, jadi gue coba ikutan kompetisi beasiswa ini. Siapa tahu bisa tembus ke US.” “Oh ya? Lo ambil Arsitektur juga?” “Iya. Lo juga?” “Enggak. Gue ambil HI. Teman gue yang ikutan kompetisi ini.” “Oh ya? Siapa namanya?” “Karis.” Bintang terkejut. “Kenapa, Bin?” tanya Raisa. “Kemarin dosen gue bilang dia rival terberat gue.” Kata Bintang. Seseorang menghampiri Bintang dan memintanya untuk ikut dengannya. “Sorry yah, Sa, gue ke sana dulu. Seneng banget ketemu lo lagi. Nanti kita ngobrol lagi yah, Sa!” kata Bintang ramah. Raisa mengangguk. “Dah, Bintang!” Setelah Bintang pergi, Raisa kembali mencari Karis. Akhirnya Raisa berhasil menemukannya di sekitar maket buatannya. “Akhirnya kamu datang juga.” Karis berkata pada Raisa. “Nggak telat, kan? Masih pada liat-liat...” ujar Raisa cuek. “Sa, Aku mau cerita nih.” Karis menarik Raisa menuju tempat yang lebih sepi. Karis masih tersenyum-senyum saat Raisa berkata tidak sabar, “Ada apaan sih? Bikin penasaran aja!” “Kemarin salah satu juri bilang peluangku besar!” seru Karis tertahan. “Oh, ya?” 222
“Emang ada seseorang yang namanya Bintang yang juga bagus. Tapi mereka bilang kemungkinan besar aku yang akan dapet!” Di luar dugaan, Raisa tidak berekspresi se-antusias Karis. Karis memandang Raisa bingung, “Kenapa, Sa?” Raisa menggeleng pelan. “Nggak apa-apa.” “Nggak mungkin. Kamu kayak nggak senang...” kata Karis kecewa. “Kenapa aku nggak senang?” Raisa membalikan kalimat itu pada Karis. “Mana aku tahu... Habis muka kamu begitu.” Raisa terdiam sejenak. “Nggak mau cerita?” tanya Karis lagi. Raisa menghela nafas pendek. “Bintang itu teman SMP aku, Ris.” “Oh, ya? Kebetulan ya, bisa ketemu di sini.” Tanggap Karis. “Dan dia baik banget. Hidupnya sederhana, dan selalu mau bantu aku kerjain PR matematika.” Cerita Raisa. “Bagus dong, kamu ketemu dia lagi.” “Kamu nggak bisa mundur ya, Ris?” Tanya Raisa tiba-tiba. Karis memandang Raisa bingung. “Maksud kamu?” “Ris... Bintang itu selalu dapat beasiswa di SMU, dan aku dengar dia pun bisa kuliah karena beasiswa. Dia memang pintar banget. Dan kalo dia nggak menang ini, dia nggak akan bisa S2.” Jelas Raisa. Karis tertawa kecil. “Terus? Karena itu kamu minta aku mundur? Yang benar aja, Raisa.” Raisa mendengus. “Aku sudah tahu orang seperti kamu nggak akan ngerti.” 223
“Orang seperti aku...” Karis mengulangi kata-kata Raisa dengan kesal. “Maaf, tapi semua yang kamu lakukan selalu kamu lakukan tanpa beban. Kamu nggak pernah merasakan yang namanya resiko, Ris! Kalo kamu nggak menang kompetisi ini, kamu masih tetap bisa S2 ke US dengan uang Papa kamu, kan? Bintang nggak se-beruntung kamu, Ris! Kamu nggak bisa yah, ngalah untuk orang lain?!” Karis ternganga memandang Raisa, ia sudah kehabisan kata-kata. “Jadi... jadi kamu mau aku mundur? Hanya karena alasan itu?” tanya Karis nggak percaya. “Iya.” Jawab Raisa cepat. Karis tertawa sinis. “Raisa... Raisa... You’re unbelievable!” lalu Karis meninggalkan Raisa begitu saja. Tidak lama kemudian, diumumkan bahwa peserta atas nama Karisfi Arditian mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas, dan pemenang beasiswa jatuh pada Bintang Nugraha. Raisa berjalan cepat menuju mobil Karis yang terparkir di tenpat parkir. Sesampainya di sana, mobil Karis baru saja berjalan pergi. Akhirnya Raisa, Lea dan Dio segera pulang ke kost naik taksi. Di dalam taksi, Raisa tidak berbicara satu patah kata pun. Lea dan Dio yang biasanya cerewet, kali ini tidak menanyakan apa-apa. Setelah turun dari taksi, Raisa berjalan cepat masuk ke dalam kost. Ia bisa melihat mobil Karis sudah terparkir di dalam garasi. Raisa segera membuka pintu kamar Karis dan melihat Karis yang sedang terduduk diam di depan meja belajarnya. “Puas, Raisa?” Karis berkata datar tanpa membalikan tubuhnya. “Kamu sudah mengendalikan hidupku.” Karis berbicara lagi sebelum Raisa berkata apa-apa. “Aku merasa bodoh sekali.” “Kamu memang bodoh.” Kata Raisa pelan. 224
Karis berbalik dan menatap Raisa marah. “Apa?” “Sekarang siapa yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri?” “Maksud kamu?” tanya Karis. “Kamu selalu bilang aku nggak bisa bikin keputusan. Sekarang liat apa yang kamu lakukan.” Kata Raisa datar. “Kamu nge-tes aku untuk hal sepenting ini?” tanya Karis emosi. “Justru karena hal ini penting, seharusnya kamu bisa membuat keputusan yang menurut kamu benar!” “Aku memilih keputusan yang menurut kamu benar, Raisa! Aku menekan perasaanku demi kamu!” “Itulah bodohnya kamu, Karis! Kalau aku harus pilih antara kamu dan beasiswa S2, aku pasti akan pilih S2!” Raisa berkata tidak kalah emosi. Karis memandang Raisa bingung, marah, tidak percaya, semuanya bercampur aduk. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. “Kalau begitu... Selamat, Raisa!” Nada bicara Karis memelan. “Kamu sudah meyakinkan aku kalau aku ternyata nggak sepenting itu buat kamu.” Raisa terdiam, tidak berani memandang Karis. Karis membuka lemari dan memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas ranselnya. “Mau ke mana?” tanya Raisa pelan. “Masih peduli?” tanggap Karis. Setelah ia siap dengan tasnya, Karis menarik Raisa keluar dari kamarnya dan mengunci pintu kamarnya. Raisa tidak berani bertanya lagi. Ia tidak pernah melihat Karis semarah itu.
225
“Asal tahu aja, Raisa... Kamu salah satu hal. Aku bukannya tidak pernah menanggung resiko. Banyak sekali resiko yang harus aku terima saat aku mencintai kamu. Sejak pertama kali aku bertemu kamu di depan kamar Selphie, aku sudah mulai mengambil resiko. Dan aku menerimanya dengan tulus. Karena aku sayang kamu, Raisa.” Karis berkata datar dan berjalan keluar. Raisa mengejarnya, menarik tangan Karis. “Apa?!” tanyanya masih dengan amarah. Namun Raisa tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya tidak ingin Karis pergi. Semua selalu menyenangkan dan nyaman bersamanya, bahkan ketika dia sedang marah sekalipun. Yang penting hanya berada di dekat Karis. “Kamu nggak bisa bilang maaf, kan, Sa?” hardik Karis. Raisa tetap hanya diam. “Sejak kecil aku memang sudah bisa mendapatkan semua hal yang aku mau, terus memang kenapa, Sa? Apa itu salah? Sekarang ketika aku ingin mendapatkan sesuatu dari hasil perjuanganku, kamu suruh aku mundur! Mau kamu apa sih, Sa? Aku harus jadi pria seperti apa untuk kamu?!” “Aku nggak—“ “Aku cuma mau kamu bangga sama aku, Sa ! Cuma itu!” Lalu Karis berjalan meninggalkan Raisa, masuk ke mobilnya dan benarbenar pergi. Suara mesin mobil Karis terdengar dan menghilang perlahanlahan. Dan Raisa hanya berdiri diam terpaku. Kalau aku tahu bahwa saat itulah terakhir kalinya aku melihat Karis, aku pasti akan memandangnya, melihat punggungnya berjalan menjauh dariku. Tapi aku tidak tahu. Dan hal-hal seperti itu tidak bisa dipelajari.
226
Karis salah. Ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa dipelajari.
227
Tiga Puluh Satu “Kalau saat itu aku tahu bahwa itu terkahir kalinya aku melihat Karis, aku pasti akan memandangnya, melihat punggungnya berjalan menjauh dariku.” Entah kenapa Raisa masih mengingat hari itu, padahal sudah lewat enam tahun lalu. Enam tahun itu juga Raisa benar-benar berusaha melupakan Karis, paradoksnya yang sudah memutar-balikan hidupnya. Lenni mengaduk-aduk segelas Vanilla Latte yang ada di depannya. Ini cerita tentang Karis yang ke-berapa-puluh kali didengarnya. “Kalau memang lo nggak bisa lupain Karis, kenapa lo biarin pergi?” Dan itu pertanyaan Lenni yang juga ke-berapa-puluh kali. Lenni, yang dulu adalah teman seperjuangan dengan Raisa ketika kuliah, kini sering menghabisakan waktu dengan Raisa karena tempat kerja mereka bersebelahan. Ia menatap Raisa bingung. Biasanya Raisa akan menjawab, ‘Karena itu yang terbaik bagi Karis’, tapi tidak kali ini. Ia terdiam. “Sa?” panggil Lenni. “Hari ini tanggal 15 Januari.” Gumam Raisa. “Tujuh tahun yang lalu, Karis ajak gue ke Dago dan ngamen. Saat itu gue merasa dia bisa melepas status pangeran kerajaan-nya dan jadi rakyat biasa. Dan kami hidup bahagia selamanya. Tapi ternyata memang nggak ada dongeng kayak gitu yah, Len?” Lenni terus mendengarkan. Kali ini cerita Raisa berbeda. “Yang ada selalu pangeran dengan istana dan kereta kudanya. Gue denger Yolla juga ke Atlanta. Mungkin mereka bertemu lagi di sana, dan dongeng itu menjadi milik mereka...” Gue nggak percaya ada hal di muka bumi ini yang nggak bisa dipelajari. Begitu juga dengan mencintai. Dan melupakan. 228
Raisa berjalan keluar dari kantin bersama Lenni. Kalimat Karis sering berdengung di telinganya. Raisa selalu berharap itu benar, dengan begitu ia bisa bahagia dengan hidupnya sendiri. “Sa, gue duluan yah. Josh udah jemput.” Lenni menujuk pria yang sedang menunggu di dalam mobil, yang adalah suaminya. “Thanks yah, Len. Udah nemenin makan.” Seru Raisa. “Sama-sama! Gue juga. Gue jalan duluan yah, Sa.” Pamit Lenni. Karis sudah pergi enam tahun lalu, anak SD juga sudah lulus dalam enam tahun, internet sudah ada di handphone dan Raisa sudah tidak lagi melukis untuk majalah kertas. Kini ia ilustrator tetap untuk majalah digital. Sudah begitu banyak hal yang berevolusi, tapi mengapa Raisa masih terus berharap Karis kembali. Nggak tahu Karis masih hidup atau enggak, juga! Gerutunya dalam hati. Lalu Raisa berbalik, melihat orang itu. Sebenarnya kejadian itu hanya sekita dua-tiga detik. Tapi Raisa yakin bahwa pemandangan visual ini akan terekam di dalam memori seumur hidupnya. Dan sekejap hormon adrenalinnya berkerja. Raisa memandang pria yang berdiri di hadapannya, nyata, bukan hologram atau bukan hanya cerita dan khayalan yang muncul setiap malam sebelum ia tidur. Aku pikir waktu itulah saat terakhir kali melihatmu. “Raisa...” seru Karis sambil melemparkan senyumnya. Senyum yang sangat dirindukan Raisa. Raisa tertawa renyah, tertawa sampai meneteskan air mata karena bahagia. Tawa yang juga dirindukan Karis. Dia tidak percaya manusia ini muncul dengan tiba-tiba di hadapannya, persis seperti sihir.
229
“Karis.” Kata Raisa. “Karis.” Ia ulangi lagi sekali lagi. Karis tersenyum memandang Raisa, “Raisa.” “Darimana kamu tahu aku di sini? Kapan kembali dari US? Kamu... apa kabar?” tanya Raisa penuh excitement. “Tidak kapan pun. Aku tidak pernah ke sana.” Raisa menatap Karis bingung. “Aku nggak pernah ke US, karena aku memang nggak dapet beasiswanya.” Jawab Karis “Kamu nggak perlu beasiswa untuk ke Atlanta—“ “Yap, tapi aku tetap memutuskan untuk tidak pergi.” Potong Karis. “Aku di Jakarta enam tahun terakhir ini. Buka studio arsitektur bareng teman kuliahku.” Raisa tak percaya, “kamu di Jakarta, all along? Cuma tiga jam dari aku tinggal? Dan kamu butuh enam tahun untuk jalan kaki kesini nemuin aku, Ris?” “Maaf, Sa. Aku tahu kita sudah cerita lama. Dalam enam tahun, kamu pasti udah punya ratusan pacar lagi, dan mungkin sekarang suami kamu nunggu kamu di rumah. But, I’ll take a risk. Aku kesini untuk kasih kamu sesuatu.” “Apa?” tanya Raisa. “Ikut aku.” Pinta Karis. “Ke mana?” “Kejutan. Kali ini kamu pasti suka kejutannya.” Kata Karis, lalu menggandeng tangan Raisa. Raisa melongo saat Karis berjalan mendekati sebuah motor berwarna merah dan mengambil helm. Lalu ia menyerahkan helm itu pada Raisa, “Ini, pakai.” “Kamu naik ini, Ris?” tanya Raisa. 230
“Iya. Memang kenapa?” “X3 kesayangan kamu itu kemana?” “Aku jual.” “Hah?” “Raisa, ayo cepat naik. Udah mau hujan...” Pinta Karis. Raisa pun menurut. *** Karis segera menggandeng tangan Raisa lagi begitu ia selesai mengunci ban motornya. Raisa bisa merasakan wajahnya memanas. Sudah begitu lama, tapi ia masih merasakannya. Mereka berjalan masuk ke dalam sebuah rumah yang tidak luas, namun terkesan megah. Rumah ini baru dibangun, belum ada apapun di dalamnya. Hanya sebuah aula besar dengan langit-langit yang tinggi. “Bagaimana menurutmu?” tanya Karis. Raisa bingung. “Apa?” “Tempat ini.” “Bagus. Rasanya seperti...” Raisa diam dan memandang langitlangit. “Seperti mau terbang.” Karis tertawa kecil. “Ini untukmu.” “Hah?” “Tempat ini aku bangun untukmu. Agar kamu bisa membuat pameran lukisanmu, seperti bayanganmu saat kamu kecil.” Raisa terpana, terus memandang wajah Karis tidak percaya.
231
Bagaimana dia tahu impian itu? “Dan karena kamu adalah Raisa, aku membuatnya dengan uangku sendiri. Aku menjual mobilku, membuka studio dengan uang itu, bekerja mati-matian untuk hari ini, hari dimana aku kasih tempat ini untuk kamu.” Raisa masih terpana. Karis sangat menyayangi mobil itu. Mobil yang tidak pernah ia ganti sejak ia SMU. Hal yang sebenarnya bisa ia lakukam, tapi ia tidak lakukan. Ia bisa membeli 20 mobil mewah berbeda setiap bulan, tapi ia malah menjual mobil itu. “Aku sudah pernah bilang, aku belajar banyak dari kamu, Raisa... Ada hal-hal di dunia ini yang hanya bisa dilakukan oleh waktu. Aku menggunakan waktuku dengan baik, kan?” “Karis...” “Terima kasih kembali, Raisa.” Ia tersenyum memandang Raisa. “Kalau kamu bisa merasakan setengah saja, atau seperempat saja kebahagiaan yang aku rasakan sekarang, kamu pasti akan sangat mencintai dirimu sendiri. Karena aku bisa sangat bahagia hanya melihatmu seperti ini.” Raisa tersenyum. “Dan juga senyum itu.” Tambah Karis. Raisa tersenyum lebih lebar. “Aku nggak minta apapun in returns. Ini hanya untuk memuaskan ego besar seorang Karis aja untuk membuktikan ke kamu kalau aku bukanlah orang seperti itu.” “Ris... I was young and stupid, ok? Aku terlalu cinta kamu dan aku nggak ngerti gimana bisa mengontrol perasaan itu untuk nggak bersikap difensif.” Bela Raisa.
232
“So? Nggak ada suami yang nunggu kamu di rumah?” Tanya Karis sambil tersenyum simpul. Raisa menggeleng yakin, “nggak ada pacar posesif juga atau tunangan atau siapa pun.” “Kalau begitu, tunggu di sini.” Pinta Karis, lalu ia berlari masuk ke sebuah ruangan kecil di sayap kiri gedung itu. Karis selalu membuatku gila. Karena dia juga gila. Orang gila inilah yang tiba-tiba datang kepadaku setelah pergi begitu lama, membiarkanku berpikir bahwa aku sudah waras, dan memberikan impianku kembali, yang bahkan sudah kulupakan. Dan aku mencintai orang gila ini. “Taa-daa!” Teriak Karis begitu keluar dari ruangan itu. Raisa langsung tertawa melihat Karis. Pria itu memakai wig warna pelangi. “Kamu ngapain sih, Ris?” “Lihat lebih dekat, Raisa.” Karis mendekati Raisa, dan kini terlihat jelas bahwa ia mengenakan lensa kontak berwarna hijau pada mata sebelah kiri dan coklat di sebelah kanan. Karis berdeham dan mulai menirukan suara Spongebob, “Hai, Raisa! Sedang apa? Ayo kita pergi menangkap ubur-ubur bersama Patrick!” Raisa tertawa terbahak-bahak. “Aku sudah lupa kalau dulu aku suka sekali menonton Spongebob. Tapi, kenapa kamu melakukan ini semua?” “Jangan bilang kamu lupa, Raisa! Aku sudah latihan banyak untuk ini.” Raisa berpikir, mengingat-ngingat. 233
“Ya ampun, Karis... Aku sudah bilang kan, kalau aku cuma bercanda. Dan kamu masih ingat semuanya?” Karis mengangguk. “Je pense sans cesse à toi. Je veux passer le reste de ma vie avec toi. Je t'aime comme un fou.” Raisa mengernyit. “Aku nggak ngerti.” “Dengarkan bahasa kedua. Ich muß immerzu an dich denken. Ich möchte den Rest meines Lebens mit dir verbringen. Ich brauche dich wie die Luft zum Atmen.” Raisa meringis. “Aku minta berapa? Lima yah, Ris?” “Iya. Ini yang ketiga. Non riesco a smettere di pensare a te. Voglio passare il resto della mia vita insieme a te. Ti amo così tanto che mi manca il respiro.” “Kamu niat banget yah, Ris… Makasih.” “Ini yang keempat. No puedo dejar de pensar en ti. Quiero pasar el resto de mi vida contigo. Mi amor por ti es tan grande que me deja sin respiración.” “Aku harap aku ngerti yang kelima…” Pinta Raisa. “I can’t stop thinking about you. I want to spend the rest of my life with you. I love you so much, that you take my breath away.” Karis berkata lembut. Kini Raisa terdiam, ia sangat terharu hingga menangis. Menangis sambil tertawa, paradoks lain dalam hidupnya. Dan lagi-lagi, Karis lah yang membuatnya. Karis melepas wig dan kontak lensnya, dan meraih kedua tangan Raisa. “Uangku sudah habis untuk renovasi rumah ini. Kalau aku masih harus menabung untuk beli cincin, aku harus tunggu berapa lama lagi untuk ketemu kamu.”
234
Raisa memandang Karis dengan mata penuh air mata, “ini lebih berarti dari jutaan cincin berlian, Karis. Kamu kembali cari aku sudah sungguh bikin aku senang.” “Aku hanya seorang arsitek yang sedang mati-matian meniti karir. Aku harap kamu mengerti dan menerimaku apa adanya.” Karis tersenyum simpul memandang Raisa. “Aku mencintaimu sampai begitu.” Karis berkata pelan. “Kamulah paradoks hidupku. Aku mencintaimu sampai begitu membencimu karena kamu tidak bisa keluar dari hatiku. Kamu menyebalkan, keras kepala, dan memiliki pola pikir yang aneh. Tapi aku mencintaimu dengan segala ke-walaupun-an dirimu. Kamu lah paradoks-ku. So, will you marry—“ “YES!” Raisa nggak perlu mendengar kalimat lengkap itu. Ia langsung mencium bibir Karis yang sudah sangat ia rindukan. Karis membalas ciuman itu dan mendekap erat tubuh Raisa seolah-olah jumlah oksigen akan menurun jika ia mengendurkan sedikit saja pelukan itu. Right in the middle of a sucky boring life, true love gives you a fairy tale. You are my gorgeous paradoks. And I’m yours.
235