PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DARI BISA MENJADI MAU MELALUI KONSEP 3 M
Disusun Oleh : ASERANI, S.Pd NIP. 196302031994031005 Guru SMK Negeri 1 Tanjung
Diajukan dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala Sekolah dan Guru Se-Kabupaten Tabalong Tahun 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas izin Allah SWT. dapatlah kami menyusun karya tulis ini, dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala Sekolah dan Guru se-Kabupaten Tabalong tahun 2011. Harapan kami, kiranya karya tulis ini layak menjadi peserta dalam lomba tersebut. Kepada semua pihak yang cukup banyak membantu kami dalam proses penyusunan karya tulis ini, sebelum dan sesudahnya kami haturkan banyak terimakasih. Kiranya karya tulis yang sederhana ini dapat memberikan manfaat dan pencerahan, khususnya kami sendiri dan pihak praktisi pendidikan di Kabupaten Tabalong, ke arah penerapan Pendidikan Karakter Siswa di tingkat sekolah. Hanya kepada Allah-lah kita serahkan semua urusan. Semoga kita semua selalu dalam naungan ridha-Nya. Amin.
Tanjung, 14 September 2011
Penyusun,
iii
DAFTAR ISI
HAL :
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
iv
PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DARI BISA MENJADI MAU MELALUI KONSEP 3 M
1
A. Latar Belakang dan Masalah
1
B. Pemecahan Masalah
3
1. Konsep 3 M Sebuah Alternatif
3
2. Apa Itu 3 M
4
3. Penerapan 3 M dalam Pendidikan Karakter Siswa
5
C. Kesimpulan
9
Daftar Pustaka
9
IDENTITAS PESERTA LOMBA KARYA TULIS ILMIAH KEPALA SEKOLAH DAN GURU SE KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011
iv
PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DARI BISA MENJADI MAU MELALUI KONSEP 3 M
A. Latar Belakang dan Masalah Undang-undang Dasar 1945 (versi Amandemen), pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Kemudian, pada ayat 5 disebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Penjabaran UUD 1945 pasal 31, ayat 3 dan 5 di atas, dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 20, tahun 2003 tentang Pendidikan, dinyatakan bahwa : “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dari pernyataan di atas (UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang Pendidikan), jelaslah bahwa tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual dan skill, tetapi juga menjadikan manusia Indonesia yang bermartabat, berakhlak mulia dan berperadaban. Amanah dan harapan undang-undang inilah yang kemudian dikembangkan melalui konsep pendidikan karakter siswa dengan mengedepankan pendidikan nilai, budi pekerti, akhlak mulia, watak dan kepribadian sebagai landasan utama dan dasar garapannya, dengan tujuan agar peserta didik mampu memilih dan memilah mana yang baik, mana yang buruk, serta mengambil sikap dan keputusan yang lebih baik. 1
Memberikan layanan pendidikan di tingkat sekolah, dengan memadukan konsep intelektual, skill dan sentuhan-sentuhan moralitas ke dalam sebuah sajian pembelajaran yang menyatu, terpadu dan menyeluruh kepada peserta didik, bukanlah sesuatu yang mudah atau gampang. Walaupun sudah begitu banyak konsep, strategi dan upaya-upaya lainnya yang dilakukan oleh berbagai lembaga pendidikan, namun sejak dulu hingga hari ini, ada saja kendala yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya ini. Banyak faktor memang penyebabnya, antara lain munculnya degradasi moral yang tidak saja menimpa kalangan pelajar dan mahasiswa, bahkan nampaknya sudah mewabah dalam masyarakat sedemikian luas. Secara kasat mata degradasi moral itu tampak pada perilaku keseharian masyarakat, seperti diantaranya tergesernya nilai akhlak dan sopan santun. Berbagai kasus yang tidak sejalan dengan tuntunan agama, etika, moralitas, sopan santun atau perilaku yang menunjukkan rendahnya karakter telah sedemikian marak dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, justeru perilaku itu banyak dilakukan oleh orang-orang yang terdidik. Ini membuktikan bahwa peran pendidikan selama ini nampaknya kurang berhasil dalam mendidik watak (karakter) yang terpuji bagi peserta didiknya. Dalam kondisi yang demikian, kiranya cukup beralasan jika seluruh warga masyarakat, terlebih-lebih para praktisi pendidikan untuk turut ambil bagian dalam memikirkan dan mencari berbagai alternatif solusi agar eksistensi dan keberlangsungan pendidikan karakter siswa terus langgeng, meningkat dan membuahkan hasil yang sarat akan makna bagi peningkatan intelektual, skill dan moralitas peserta didik. Untuk itu, izinkanlah kami dalam kesempatan Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala Sekolah dan Guru se-Kabupaten Tabalong kali ini, memberikan sumbangan pemikiran yang kami kemas dalam simpulan judul “Paradigma Pendidikan Karakter Siswa Dari Bisa Menjadi Mau Melalui Konsep 3 M”. Judul di atas kami pilih karena pelaksanaan pendidikan di tingkat sekolah selama ini, kami nilai masih berkotak atau lebih dominan pada “konsep bisa” saja. Upaya-upaya sekolah dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya lebih diarahkan agar mereka “bisa”, belum menyentuh atau masih belum diupayakan secara maksimal bagaimana agar peserta didik “setelah mereka bisa, kemudian mau untuk menerapkannya sendiri dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab”. 2
Contoh kasus sederhana dapat kita tunjukkan sebagai berikut : Coba kita amati bersama bagaimana peserta didik kita mengamalkan dari apa yang sudah mereka ketahui. Apakah kesadaran dan jiwanya benar-benar sudah bangkit dengan ilmunya itu?. Misalnya, kalau kita ajukan pertanyaan kepada mereka, “Apa hukumnya shalat lima waktu?, serempak pasti mereka menjawab, “wajib!”. “Lalu, apa pengertian wajib itu?, mereka menjawab pula , “Kalau dikerjakan berpahala, ditinggalkan berdosa”. “Apa ganjaran orang-orang yang banyak pahalanya?”, tanpa ragu-ragu mereka jawab, “Masuk sorga”. “Lalu apa pula ganjaran bagi orang-orang yang banyak dosanya?”, dengan tanpa ragu-ragu pula mereka menjawab, “masuk neraka”. “Sekarang, kalian mau pilih yang mana? mau masuk sorga atau neraka?”, dengan antusias mereka pasti pilih, “Masuk sorga!”. Beberapa saat setelah dialog ini berlangsung, tiba-tiba terdengar kumandang adzan Dzuhur dari masjid atau mushalla sekolah. Coba kita amati lagi, seberapa banyak peserta didik kita yang bersegera masuk masjid atau mushalla untuk shalat dzuhur berjamaah, dengan kesadaran sendiri. Tidak perlu dijawab, sebab kenyataannya sudah dapat kita tebak sendiri.
B. Pemecahan Masalah
1. Konsep 3 M Sebuah Alternatif Mungkin mengajarkan shalat kepada peserta didik, bukan sesuatu hal yang sulit. Tinggal hafalkan bacaannya, lalu ajarkan bagaimana mempraktekkannya, selesai. Yang sulit adalah bagaimana caranya agar setelah peserta didik bisa shalat, lalu mau shalat sendiri, tanpa disuruh. Demikian juga, mengajarkan peserta didik baca Al-Qur’an, juga bukan sesuatu hal yang sulit, apalagi sekarang ini begitu banyak metode plus buku dan kaset atau CDnya tentang bagaimana mengajarkan Al-Qur’an dengan mudah dan praktis, mulai dari metode Iqra’, Al-Barqi, Al-Banjari, Tahsinul Qur’an, QRQ (Quantum Reading Qur’an), Ummi dan masih banyak lagi metode lain yang tentunya semakin 3
mempermudah dalam mengajarkan atau mempelajari bacaan Al-Qur’an. Yang sulit adalah, bagaimana mendidik peserta didik agar mau dan punya kesadaran untuk belajar Al-Qur’an, tanpa setiap saat harus disuruh dan diingatkan. Atau setelah peserta didik bisa membaca Al-Qur’an, lalu terbiasa membaca Al-Qur’an, tanpa disuruh oleh siapapun. Mengajarkan perbuatan baik pada peserta didik, juga bukan suatu hal yang sulit. Yang sulit adalah bagaimana agar peserta didik terbiasa dan mencintai perbuatan baik. Merubah perilaku dari bisa menjadi mau merupakan sebuah paradigma yang pelu kita pikirkan dan upayakan agar menjadi karakter yang mengkristal dalam diri peserta didik kita, sehingga kita tidak perlu susah-susah lagi mengarahkan, menyuruh bahkan memaksa mereka untuk melaksanakan apa yang sudah mereka ketahui, karena dengan kesadaran sendiri mereka mau dan ikhlas melaksanakannya. Untuk sampai dan mencapai kondisi ini tentu bukanlah hal yang mudah atau gampang. Ia memerlukan sebuah konsep yang matang dan strategi pembelajaran yang tepat dan akurat serta perlu rentang waktu yang tersedia dan relatif lama dalam memproses perubahan ini. Alternatif pilihan dalam merubah atau meningkatkan karakter siswa, dari bisa menjadi mau, kami memakai sebuah konsep sederhana yang kami rancang sendiri, yaitu “3 M”.
2. Apa Itu 3 M 3 M adalah singkatan dari Mata kepala, Mata hati dan Mata kaki, merupakan tiga komponen yang ada dalam diri manusia dan dapat dijadikan acuan didalam penerapan dan pengembangan pendidikan karakter siswa. Sebagai ilustrasi, misalnya suatu waktu kita melihat dengan mata kepala, seorang gadis kecil sedang meminta-minta di pinggir jalan. Meski berjilbab rapi, namun bajunya nampak kumal, kotor dan beberapa tambalan. Ia tidak bisa berjalan, karena kakinya buntung sampai lutut. Wajahnya yang memelas didukung dengan airmata berlinang, membuat semua orang merasa iba dan prihatin. Sikap apa yang 4
kita tunjukkan ketika melihat kondisi tersebut. Dari mata kepala turun ke mata hati, lalu muncullah tanggapan atau komentar di hati kita, “duh, kasihan sekali”. Dari rintihan hati yang kita rasakan ini, kemudian menjalar ke bawah, ke mata kaki kita, hingga dengan serta merta kita segera merogoh kantong baju atau kantong celana kita, untuk sedekar memberikan sedekah kepada pengemis gadis kecil tersebut. Ilustrasi di atas hanyalah sebuah kisah yang mungkin sering kali kita temui, namun sering pula tidak kita perhatikan dan tidak kita jadikan obyek pendidikan yang berharga buat peserta didik kita dalam rangka penanaman dan pembiasaan bersikap dan berbuat yang baik terhadap orang lain, terlebih-lebih terhadap mereka yang lemah, papa tak berdaya. Saat-saat kondisi seperti inilah merupakan kesempatan berharga bagi kita untuk melatih kepekaan mata kepala, mata hati dan mata kaki bagi peserta didik kita.
3. Penerapan 3 M dalam Pendidikan Karakter Siswa Setiap kita dalam diri ini pasti mempunyai “3 mata”, yaitu “mata kepala, mata hati dan mata kaki”. Ketiga mata tersebut memiliki tiga kecerdasan yang dapat kita kembangkan dalam pendidikan karakter siswa. Melalui mata kepala, peserta didik diajak, dibimbing dan diarahkan untuk banyak melihat kebaikan yang ada di lingkungan sekitar, dalam hal ini yang perlu ditunjukkan sekolah adalah menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif. Perubahan tingkah laku peserta didik sering tergantung dari informasi atau stimulus yang selama ini diperoleh dari lingkungannya, khususnya sekolah sebagai lingkungan tempat mereka belajar. Kalau selama berada di sekolah peserta didik melihat lingkungannya positif dan kondusif, dalam arti banyak kebaikan-kebaikan atau hal-hal yang positif ia lihat dan saksikan, seperti kondisi lingkungan yang rapi, bersih dan teratur, terjalinnya kerukunan dan kebersamaan seluruh warga sekolah, guru-gurunya selalu ramah dan bersahabat, para siswanya rukun, dan sebagainya, maka kondisi seperti ini sangat berpengaruh bagi pembentukan sikap dan prilaku peserta didik hingga mereka dewasa kelak. Menurut Cronbach dalam Rahayu (2010:36) menyatakan bahwa, “Belajar 5
yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami. Dan dalam mengalami ini peserta didik menggunakan panca inderanya”. Apa yang dikemukakan Cronbach ini dapat dipahami bahwa pengalaman yang dirasakan peserta didik dari apa yang mereka lihat setiap hari di lingkungan sekolah, dapat di-sharing-kan untuk memperkuat pengalaman belajarnya di kelas. Artinya, ketika Guru memberikan penjelasan tentang pentingnya kebersamaan pada mata pelajaran PKn di kelas misalnya, maka peserta didik akan dapat merasakan nilai kebersamaan itu, jika sikap kebersamaan ini memang telah terjalin begitu erat dan terrealisasi dalam kondisi lingkungan di sekolah. Lebih tegas lagi Megawangi (2003:56) mengatakan : “Anak-anak hanya akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, jika lingkungannya memang berkarakter”. Disamping menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif, memberikan keteladanan yang baik kepada peserta didik juga sangat berpengaruh bagi keberhasilan pendidikan karakter siswa. Al-Qur’an telah memberi contoh bagaimana manusia belajar lewat meniru (keteladanan). Kisah tentang Qabil yang dapat mengetahui bagaimana menguburkan mayat saudaranya, Habil, yang telah dibunuhnya itu, terilhami dengan seekor burung gagak yang sedang mengali-gali tanah guna menguburkan bangkai seekor gagak yang lain (Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 31). Kecenderungan manusia untuk meniru atau belajar lewat peniruan, menyebabkan keteladanan menjadi sangat penting artinya dalam proses pembelajaran, terlebih-lebih pembelajaran karakter siswa. Menurut Sunardi dalam makalahnya Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan (http: //www.pendidikankarakter.org/) menyebutkan bahwa pendidikan karakter bukanlah pendidikan yang penuh indoktrinasi melainkan penuh dengan keteladanan dan kebebasan untuk memilih nilai-nilai yang baik. Menurut Edi Suardi dalam Fathurrohman (2007:140) menyebutkan bahwa keteladanan itu ada dua macam, yaitu : (1) sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh anak didik; (2) berprilaku sesuai dengan nilai dan norma yang akan kita tanamkan pada para anak didik sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi anak didik. Guru di sekolah adalah sumber keteladanan bagi peserta didik. Sosok guru 6
tidak hanya tercermin dalam kesederhanaan berpakaian, bergaul dan bertutur kata, tapi juga tercermin dalam perilaku sehari-hari, tidak saja di sekolah, di rumah bahkan di pasar sekalipun. Oleh sebab itu, guru yang digugu dan ditiru haruslah memberikan makna sebagai panutan atau teladan bagi peserta didiknya dan warga sekolah lainnya. Peserta didik tidak hanya butuh kepada teori dan nasehat saja, tapi pada dasarnya mereka lebih butuh kepada sosok yang sikap dan perilakunya dapat diteladani. Sesungguhnya mereka lebih butuh kepada figur yang mampu memberikan bimbingan moral, karena keteladanan guru merupakan faktor signifikan dalam rangka membentuk peserta didik yang unggul dan berkarakter. Jully Cheung dalam Fathurrohman (2007:7) menyatakan, “Mendidik bukan hanya dengan nasehat saja. Sebab yang menjadi sukses adalah memberikan contoh dengan perbuatan yang baik, sesuai dengan apa yang dikatakannya. Jangan lain dikata, lain di perbuatan”. Dari mata kepala turun ke mata hati, seiring dengan ungkapan, “dari mata turun ke hati”. Mata merupakan jendela hati yang dapat mengirimkan kesan secara langsung ke otak, kemudian diteruskan ke hati dan ke seluruh tubuh. Nabi Musa a.s dalam episode mencari Tuhan, ketika diperintahkan oleh Allah untuk melihat dan memperhatikan sebuah gunung yang dijadikan-Nya obyek untuk menampakkan diri, maka seketika gunung itu hancur lebur karena tidak sanggup melihat sosok Allah, nabi Musa pun langsung pingsan tak sadarkan diri, karena tidak kuat mengendalikan emosi seketika menyaksikan betapa kebesaran Allah SWT. Demikian juga, ketika Nabiullah Muhammad SAW. melihat sosok malaikat Jibril di goa Hira’ dalam bentuknya yang asli pada saat wahyu pertama turun, sekujur tubuh beliau menggigil seperti orang kedinginan, karena apa yang beliau lihat langsung menembus hatinya dengan tikamannya yang begitu dahsyat dan begitu dalam, sehingga membuat raga beliau seolah tak mampu menahannya. Begitulah kesan yang ditimbulkan oleh pandangan mata dapat langsung berreaksi ke hati, sehingga tidak menutup kemungkinan peserta didik akan tergugah, termotovasi dan terdorong hasrat keinginannya untuk mau mengikuti dan melaksanakan apa yang selalu mereka lihat dari orang-orang di sekitarnya telah atau sedang melaksanakan, karena salah satu potensi karakter secara fitrah yang pasti ada dalam diri manusia adalah, “suka meniru”. Dari hasrat dan keinginan 7
yang telah tertanam di dalam hati peserta didik inilah yang berpotensi melahirkan sebuah aktivitas nyata, yakni melaksanakan dengan penuh kesadaran. Dari mata hati turun lagi ke mata kaki. Kaki adalah salah satu organ tubuh yang berfungsi sebagai penopang berat tubuh dan sebagai alat transportasi untuk membawa ke mana pergi tubuh. Seluruh bobot tubuh seseorang ditumpukkan ke kaki. Dengan demikian, kaki paling berat menerima dan melaksanakan tugas harian yang diperintahkan oleh otak dan hati. Kaki, adalah lambang pekerja berat dan kaki adalah simbol pelaksanaan atau pengamalan. Kalau kita telusuri bagaimana proses kehidupan yang dialami setiap manusia sejak ia lahir hingga bisa berjalan, sungguh sesuatu yang cukup melelahkan dan perlu proses waktu yang relatif panjang. Proses perkembangan fisik manusia sampai mampu berjalan, diperlukan beberapa tangga dan tahapan. Awalnya ia hanya mampu berbaring, lalu tiarap, tengkurap, duduk, merangkak, berdiri dan akhirnya mampu berjalan. Berpindah dari tahap ke tahap ini, tidak jarang dihiasi dengan jatuh bangun. Begitulah gambaran bagaimana susahnya perjuangan manusia menjalani hidup ini, ia harus sabar, ia harus terus mencoba dan mencoba lagi, tidak ada kata putus asa, walaupun harus melewati duka derita, terus dan terus, akhirnya mampulah kaki berdiri dengan tegak dan mampu berjalan dengan lancar hingga ia dewasa dan tua renta. Kalau kemampuan kaki untuk bisa berjalan, diperlukan waktu dan sebuah proses yang relatif panjang, maka demikian juga dengan pelaksanaan atau pengamalan sebuah nilai karakter bagi peserta didik, diperlukan waktu dan sebuah proses yang relatif lama, disamping adanya bimbingan dan pengarahan yang terus menerus hingga sampai pada satu kondisi dimana peserta didik sudah terbiasa melakukan atau mengamalkan hal-hal yang baik dan positif tersebut secara mandiri dan penuh kesadaran. Nah pada kondisi terakhir inilah baru sebuah karakter tercipta, artinya, kalau peserta didik masih disuruh-suruh bahkan dibentak-bendak, baru mereka mau melakukan hal-hal yang baik dan positif, kondisi seperti ini masih belum menunjukkan adanya karakter. Indra dalam Zuchdi (2007:27) menjelaskan bahwa, “Pendidikan karakter merupakan investasi nilai kultural yang membangun watak, moralitas dan kepribadian siswa yang dilakukan dalam waktu panjang, 8
kontinyu, intens, konstan dan konsisten. Dengan demikian pendidikan karakter memberikan kepada siswa ilmu, pengetahuan, praktik-praktik budaya perilaku yang berorientasi pada nilai-nilai ideal kehidupan, baik yang bersumber dari budaya lokal (kearifan lokal) maupun budaya luar”. “Ditinjau secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour” (Lickona dalam Zucdi:2007:34). Dengan demikian, pendidikan karakter dinilai berhasil apabila peserta didik menunjukkan kebiasaan berperilaku baik dan berlangsung secara terus menerus. Perilaku baik ini akan muncul dan berkembang secara terus menerus pada diri peserta didik apabila mereka memiliki sikap positif terhadap konsep karakter yang baik tersebut dan mereka terbiasa melakukannya. Menurut Mochtar Buchori dalam Salimin (2011:6), “Pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik pada pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata”. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dikemas dalam wadah yang komprehensif dan sarat akan makna. Pendidikan karakter perlu diformulasikan dan dioperasionalkan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Melalui konsep 3 M yang kami rancang ini, pendidikan karakter siswa insyaAllah dapat dikembangkan melalui budaya melihat dalam arti mengamati lewat mata kepala, merasakan dalan arti menghayati lewat mata hati, dan mengamalkannya secara kontinue lewat pemaknaan mata kaki. Semoga tulisan ini cukup memberikan makna dan pencerahan bagi kita semua didalam upaya meningkatkan keberhasilan pendidikan karakter siswa di lingkungan sekolah di Kabupaten Tabalong. InsyaAllah. C. Kesimpulan Dari uraian yang telah kami kemukakan di atas, dapatlah ditarik beberapa 9
kesimpulan sebagai berikut : 1. Pendidikan karakter siswa merupakan sebuah amanah undang-undang yang harus kita dukung dan sikapi dengan positif; 2. Penerapan pendidikan karakter siswa merupakan sebuah keharusan, apabila kita ingin menjadikan negeri ini menjadi negeri yang berkarakter; 3. Dengan pendidikan karakter siswa, berarti kita berupaya mempersiapkan generasi penerus yang siap dalam arti yang seluas-luasnya, tidak saja siap ilmu pengetahuan, terampil, terlebih-lebih siap moral dan mental spiritual; 4. Merubah perilaku dari bisa menjadi mau merupakan sebuah paradigma yang pelu dipikirkan dan diupayakan agar menjadi karakter yang mengkristal dalam diri peserta didik; 5. Melalui konsep 3 M siswa diajak untuk banyak melihat berbagai kebaikan dan hal-hal yang positif yang ada di lingkungannya, dengan harapan dapat menggugah hatinya untuk bisa menerima dan ikut melaksanakan atau mengamalkannya secara terus menerus, hingga menjadi sebuah kebiasaan yang mengkarakter pada diri peserta didik.
Daftar Pustaka Azis, Abdul, Hamka. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati. Jakarta: AlMawardi. Fathurrohman, Pupuh, dkk. 2007. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islam. Bandung: Refika Aditama. Megawangi, Ratna. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masya-rakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation. Rahayu, Sadbudhy, Endang, dkk. 2010. Pembelajaran Masa Kini. Jakarta: Sekarmita. Salimin, Sarini. 2011. Membentuk KarakterYang Cerdas. Tulungagung: Cahaya Abadi. Tolkhah, Imam. 2008. Profil Ideal Guru Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Titian Pena. Zuchdi, Darmiyati. (2009). Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press. 10
IDENTITAS PESERTA LOMBA KARYA TULIS ILMIAH KEPALA SEKOLAH DAN GURU SE KABUPATEN TABALONG TAHUN 20011
1. Nama Peserta 2. NIP 3. Tempat dan tanggal lahir 4. Jenis Kelamin 5. A g a m a 6. Jabatan 7. Nama Sekolah 8. Alamat Sekolah
9. Alamat Rumah 10. Telepon/HP
: ASERANI, S.Pd : 196302031994031005 : Barabai-HST. 03 Februari 1963 : Laki-laki : Islam : PNS / Guru mata pelajaran : SMK Negeri 1 Tanjung : Jalan Ir.P.H.M.Noor Tanjung Tabalong Telepon/Pax (0526) 21874 e.mail : SMKN Tjg @ Telkomnet.instan Kode Pos 71571. : Jalan Ir. P. H. Noor Pembataan Tanjung : 081348840437
Mengetahui : Kepala SMK Negeri 1 Tanjung,
Peserta Lomba Karya Tulis Ilmiah
Drs. BAMBANG WAHONO, MM NIP. 195703131987101001
ASERANI, S.Pd NIP. 196302031994031005