PANTUN: TRANSFORMASI DARI TRADISI LISAN, TRADISI TULISAN HINGGA KE SENI PERTUNJUKAN 1 (STUDI PADA PANTUN MELAYU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU)

PANTUN: TRANSFORMASI DARI TRADISI LISAN, TRADISI TULISAN HINGGA KE SENI PERTUNJUKAN1 (STUDI PADA PANTUN MELAYU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU)

PANTUN: THE TRANSFORMATION FROM ORAL TRADITION, WRITING TRADITION INTO PERFORMING ART (STUDY ON MALAY PANTUNS AT RIAU ARCHIPELAGO PROVINCE Oleh: RENDRA SETYADIHARJA, S.Sos., M.IP2

ABSTRACT Pantun is a most phenomenal literary treasures. A literature as a old poetry began as an oral tradition of the Malays who later developed as a literary tradition which later became the writing tradition, and until now pantun not only evolved as a literary tradition that is often arranged in the Malay Peninsula, or not only growing as a literary tradition then became a book, but now pantun in demand in various regions in Indonesia as the performing arts in certain forms. This paper presented aims to want to give a description of the transformation of the pantun until today pantun become into a performing art, Bebalas Pantun, Dondang Sayang, Opera Pantun, Tarung Pantun and Monologue Pantun. This paper contains the explanation of the development of the pantun from the Oral Tradition, writing tradition and also as a Performing Art with various forms of performing arts are all using pantun in it. Keywords: Pantun, Oral Tradition, Writing Tradition, Performing Arts ABSTRAK Pantun merupakan sebuah khazanah kesustaraan yang paling fenomenal. Sebuah karya sastra golongan puisi lama yang bermula sebagai tradisi lisan bangsa Melayu yang kemudian berkembang sebagai karya sastra yang kemudian menjadi tulisan, dan hingga kini pantun tak hanya berkembang sebagai karya sastra yang sering diucap di semenanjung Melayu, atau tidak hanya berkembang sebagai sebagai karya sastra yang kemudian dibukukan, namun kini pantun diminati diberbagai daerah di Nusantara ini sebagai seni pertunjukkan dalam bentuk-bentuk tertentu. Makalah ini disajikan bertujuan hendak memberikan sebuah deskripsi tentang transformasi pantun hingga sampai saat ini pantun menjadi sebuah seni pertunjukan yang berbentuk, Berbalas Pantun, Dondang Sayang, Opera Pantun, Tarung Pantun dan Monolog Pantun Makalah ini akan berisikan penjelasan perkembangan pantun mulai dari Tradisi Lisan, Tradisi Tulisan dan juga sebagai Seni Pertunjukan dengan berbagai bentuk seni pertunjukan yang semuanya menggunakan pantun di dalamnya. Kata Kunci: Pantun, Tradisi Lisan, Tradisi Tulisan, Seni Pertunjukan.

1

Disampaikan pada Pekan Sastra Wilayah Sumatera Tahun 2016, Bengkulu Tanggal 7 September 2016 Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang/Penyair/Pemecah Rekor MURI Berbalas Pantun Terlama Selama 6 Jam Tanpa Henti di Taman Ismail Marzuki pada 28 April 2008. 2

1|Pekan Sastra Wilayah Sumater a Tahun 2016, Bengkulu 5 -9 Septemeber 2016

A. PENDAHULUAN Pada masyarakat semenanjung Melayu yang di dalamnya terdapat Negara Indonesia, Negara Malaysia, Brunei Darussalam pasti mengenal sebuah tradisi lisan yang disebut dengan pantun. Dahulu pantun menjadi bagian dari proses komunikasi masyarakat dalam menyampaikan hajat atau maksudnya kepada orang lain. Termasuk di dalamnya digunakan dalam istiadat perkawinan yang selalu kita dengar. Namun penggunaan pantun dalam kehidupan sehari-hari ternyata lebih luas lagi, bahkan di zaman dahulu ketika ingin mendekati seorang gadis, maka seorang pria akan mengutarakannya lewat pantun, atau bahkan perkelahian seseorang dengan seseorang masih terdengar susunan pantun di dalamnya. Sehingga pantun menjadi sangat dikenal oleh masyarakat di semenanjung Melayu atau Nusantara. Pantun juga sebenarnya tidak hanya ada di wilayah bersuku bangsa Melayu seperti di sekitar Pulau Sumatera, menurut Sunar (Maulina, 2015) menjelaskan bahwa pantun di dalam masyarakat Jawa disebut dengan Parikan, orang Sunda menyebutnya sebagai Sisindiran, orang Mandailing menyebutnya Ende-Ende, orang Aceh menyebutnya Rejong atau Boligoni, sementara Melayu, Minang dan Banjar menyebutnya dengan Pantun. Sementara di Gorontalo dikenal dengan sebutan pa’iyo. Di Maluku, Ambon dan Papua mereka tetap menyebutnya sebagai pantun dan selalu juga digunakan dalam beberapa komunikasi mereka. Namun pantun sebagai karya sastra yang tergolong dalam jenis puisi lama masih dapat diterima dan populer di tengah masyarakat. Tentunya ini sebuah tantangan tersendiri bagi pantun, atau generasi yang mengenal pantun tersebut. Keberadaan pantun ditengah popularitas novel yang muncul disaat ini seperti Negeri Lima Menara, Laskar Pelangi atau novel lainnya, kemudian diikuti dengan adanya karya seperti Komik yang sangat dikenal dan digandrungi oleh kaum muda saat ini. Maka pantun akan menjadi suatu kekayaan sastra lama yang berhadapan dengan popularitas karya-karya sastra lainnya. Maka akan timbul sebuah pertanyaan, bagaimana eksistensi pantun di tengah masyarakat saat ini, lalu bagaimana pantun menghadapi tantangan karya sastra populis lainnya di era globalisasi ini. Selain itu kekhawatiran pantun yang saat ini terjadi adalah terjadinya batasan kreativitas pada pantun itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Sayekti (2012) menjelaskan bahwa diantara perkembangan pantun modern saat ini pada sebagian pantun tampak kecenderungan menyimpang bahkan meninggalkan sama sekali ciri-ciri pantun yang asli. Penyimpangan ini Sayekti (2012) kembali menjelaskan menyangkut jumlah larik dalam bait serta jumlah kata dalam larik yang tidak menentu, tidak adanya sampiran yang mengantarkan sisi pantun, tidak memperhatikan rumusan rima pantun sebagaimana contoh pantun yang buruk dibawah ini: Beli nasi di Narogong Mukamu mirip Bagong Jangan Marah Dong,, (Sumber: Sayekti, 2012). Pantun di era ini hanya menjadi bahan bergurau tanpa nilai etika sebagaimana filosofis pantun yang memiliki nilai kesopanan dan kesantunan. Dari problematika ini, bagaimana kondisi pantun saat ini, apakah pantun hanya dikenal di dalam buku-buku yang sarat dengan 2|Pekan Sastra Wilayah Sumater a Tahun 2016, Bengkulu 5 -9 Septemeber 2016

nasihat, kondisi itu pun jikalau memungkinkan masih adanya pantun yang baik kualitasnya. Bagaimana masyarakat hari ini dapat menikmati pantun, apakah pantun hanya sebuah tradisi lisan yang hanya bertahan pada sisi tradisionalistiknya, atau hanya pada buku-buku yang sangat jarang dibaca atau dibeli masyarakat dibanding buku-buku Novel Populer lainnya. Sementara di Negara Malaysia pantun sudah dikembangkan menjadi suatu seni pertunjukkan yang pada kesempatan apapun, masyarakat dapat menyaksikan dan menikmati. Lalu bagaimana dengan Indonesia. Akankah kita dengan ikhlasnya menyerahkan khazanah sastra ini kepada Negara Malaysia ? Di dalam penelitian ini menganalisis perkembangan pantun, mulai tradisi lisan, tradisi tulisan hingga pantun sebagai seni pertunjukkan yang mampu dinikmati oleh masyarakat dengan cara yang lebih luas dari hanya sekedar di pesta pernikahan suku bangsa yang masih menggunakan pantun seperti yang masih terjadi di Kepulauan Riau. Tujuan penelitian menemukan format terbaru dari pantun, sehingga pantun mampu menghadapi tantangan global dalam dunia sastra, kemudian pantun menjadi semakin mudah disaksikan dan dikonsumsi oleh masyarakat tidak hanya sekedar dari tulisan di buku-buku atau ditempat tertentu. Namun pantun juga mampu dinikmati oleh masyarakat dengan format dan bentuk yang lebih luas dan accessible. Penelitian ini dilakukan dengan metode partisipatory research dimana peneliti tidak hanya mempelajari pantun dengan cara mengobservasi namun juga terlibat di dalam pengembangan pantun khususnya di Kepulauan Riau. Selain itu penelitian ini juga dengan menggunakan tinjauan literatur yang terkait dengan perkembangan pantun itu sendiri. Hasil penelitian ini akan membahas pantun sebagai tradisi lisan, pantun sebagai tradisi tulisan dan pantun sebagai seni pertunjukkan. B. Kerangka Teoritis 1. Konsep Pantun a. Pengertian Pantun Menurut Renward Branstetter dalam Suseno (2006) mengemukakan bahwa kata “PANTUN” Berasal dari kata “PAN” yang berarti “Sopan/Beretika”, dan kata “TUN” yang berarti “Santun/Teratur”. Kata “TUN” pada bahasa Melayu berarti “Arah/Pelihara/Bimbingan” seperti kata yang ditunjukkan oleh kata “Tunjuk” dan “Tuntun”. Menurut UU Hamidy (Suseno: 2006) mengungkapkan bahwa pantun adalah Bahasa terikat yang dapat memberi arah, petunjuk, tuntunan, dan bimbingan. Pengertian pantun tersebut sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh seorang pengkaji Budaya Melayu bernama R. O. Winsted (www.ilmusiana.com diakses tanggal 14 Agustus 2016). Winsted berpendapat bahwa Pantun bukanlah sekedar gubahan kata-kata yang mempunyai rima dan irama, tetapi merupakan rangkaian kata yang indah untuk menggambarkan kehangatan seperti cinta, kasih sayang, dan rindu dendam penuturnya. Dengan kata lain, pantun mengandung ide yang kreatif dan kritis, serta pada kandungan maknanya. Menurut Mahayana (Suseno: 2006) adalah yang menunjukkan bahwa pantun merupakan identitas Melayu yang meliputi,  Merupakan karya asli bangsa Melayu,  Mencakup semua orang Melayu, 3|Pekan Sastra Wilayah Sumater a Tahun 2016, Bengkulu 5 -9 Septemeber 2016

 Digunakan dalam berbagai tempat dan kesempatan. Menyambung apa yang dikatakan oleh Mahayana (Suseno, 2006), maka pantun biasa digunakan dalam hal-hal sebagai berikut,  Sebagai bahasa tutur (alat komunikasi) masyarakat  Ritual adat seperti : o Adat istiadat perkawinan o Adat istiadat tepak sirih, dan lain-lain  Untuk menghibur anak dan menidurkan anak  Sebagai Nasehat. Pantun juga menurut Hamilton (1941) menyatakan bahwa terkadang pantun terkadang menjadi dendang atau nyanyian orang tua, khususnya kaum ibu untuk menghantarkan anaknya tidur, biasanya pantun berupa cerita atau nasihat. b. Perbedaan Pantun dengan Karya Sastra lainnya Pantun secara genrenya termasuk dalam karya sastra Melayu Klasik seperti Gurindam, Syair, Talibun, dan Karmina. Secara kasat mata, beberapa karya sastra ini terlihat sama namun sebenarnya karya sastra ini memiliki perbedaan. Perbedaan satu dan lainnya dapat kita lihat dari karakteristik dan rumusan persajakan pada tabel berikut ini.


Tabel. 1 Perbedaan Pantun dan Karya Sastra Lainnya PERBEDAAN Baris

PANTUN -

-

-

Terdiri dari dua baris

A, A, A, A

A, A

Antara sampiran dan isi tidak memiliki hubungan sebab akibat.

-

Keempat barisnya saling berhubung an dan merupaka n isi dan maksud syair

-

Baris pertama dan kedua merupakan sebab akibat yang saling memiliki keterkaitan dan menunjukkan isi gurindam

-

Memiliki banyak tema, seperti nasehat, jenaka, teka-teki, pantun muda-mudi, pantun bercintaan, dan sebagainya yang terkait masalah sosial dan budaya

-

Isinya biasanya merupaka n gambaran kisah sejarah

-

Biasanya berupa pepatah, petunjuk agama, dan bersifat didaktif

(Baris)

Tema

Terdiri dari empat baris

GURINDAM

-

Persajakan

Substansi

-

A, B, A, B

Sajak

Hubungan

Terdiri dari empat baris Baris pertama dan kedua disebut SAMPIRAN Baris ketiga dan keempat disebut ISI

SYAIR

TALIBUN

KARMINA

- Terdiri lebih dari empat baris, biasanya 6, 8, 10 hingga 20 baris - Baris pertama hingga ketiga disebut sampiran - Baris keempat hingga keenam disebut isi A, B, C, A, B, C, atau A, B, C, D, A, B, C, D dan seterusnya - Antara sampiran dan isi tidak memiliki hubungan sebab akibat

- Terdiri dari dua baris - Baris pertama disebut sampiran - Baris kedua disebut isi

- Memiliki banyak tema seperti pantun

Memiliki banyak tema seperti pantun

A, A

- Antara sampiran dan isi tidak memiliki hubungan sebab - Disebut juga pantun kilat

Sumber: Olahan Data Sekunder, 2015 Perbedaan juga dapat dilihat cari contoh berikut ini, 1. Pantun Jangan harap kepada padi Mari ditanam dalam gembia Jangan harap kepada mimpi Hari siang manalah dia (Sumber: Hamilton, 1941) 2. Syair Bismillah ini permulaan kata Dengan nama Tuhan alam semesta Akan tersebut Sultan Mahkota Di Negeri Barbari baginda bertahta 5|Pekan Sastra Wilayah Sumater a Tahun 2016, Bengkulu 5 -9 Septemeber 2016

Kata orang yang empunya peri Akan baginda Sultan Barbari Gagah berani bijak bestari Khabarnya mashur segenap negeri (Sumber: Syair Abdul Muluk dalam Akmal, 2015) 3. Gurindam Barangsiapa mengenal Allah Suruh dan tegahnya tiadalah ia menyalah (Sumber: Gurindam Dua Belas Gubahan Raja Ali Haji Pasal Pertama, 2005) 4. Talibun Kalau anak pergi ke pekan Hiu beli belanak beli Ikan panjang beli dahulu Kalau anak pergi berjalan Ibu cari sanakpun cari Induk semang3 cari dahulu (Sumber: Suseno, 2006) 5. Karmina Sudah garahu cendana pula Sudah tahu bertanya pula (Sumber: Suseno, 2006) c. Kaidah-Kaidah Menyusun Pantun Pantun sebagai tradisi lisan kemudian diperkuat dengan aturan-aturan ketika pantun itu menjadi sebuah karya sastra dalam bentuk tulisan. Sekali lagi pantun ditulis bukan dengan tanpa teknik. Untuk mampu menulis dan menyusun pantun dengan baik dan benar yang sesuai dengan kaedahnya haruslah memahami hal-hal sebagai berikut: 1. Memahami karakteristik dan struktur pantun, 2. Memahami jumlah kata dan suku kata dalam pantun, 3. Memahami pilihan kata (diksi) serta ejaan dalam pantun. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa karakteristik pantun memiliki 4 (empat) baris dimana struktur barisnya adalah baris pertama dan kedua disebut dengan “Sampiran” dan baris ketiga dan keempat disebut dengan “Isi”. Hal ini sebagaimana dijelaskan beberapa pendapat. Hamilton (1941) menjelaskan bahwa pantun sesungguhnya memiliki persajakan yang baris pertama dengan ketiga, baris kedua dan keempat memiliki rima dengan asonansi yang sama dan seimbang. Thomas (1985) menjelaskan bahwa pada pasangan baris pertama (baris pertama dan kedua) dikenal sebagai Pembayang Maksud (Sampiran), menjelaskan kearifan alam. Sementara pasangan baris kedua (baris ketiga dan keempat) yang biasa disebut dengan Maksud (isi) yang selalu berisikan perilaku sosial dan moralitas manusia. pada Maksud atau Isi. 3

Induk yang utama


Perhatikan contoh pantun berikut beserta baris dan sampirannya. Banyak orang bergelang tangan SAMPIRAN/PEMBAYANG MAKSUD Sahaya seorang bergelang kaki Banyak orang larang jangan MAKSUD/ISI Sahaya seorang turut hati (Sumber: Lewis dalam Shanmugam, 2010) Sampiran dan isi pantun biasanya tidak memiliki hubungan sebab akibat yang saling berkaitan (lihat pada contoh). Dimana sampiran biasanya bukan merupakan susunan kalimat formal yang menuangkan isi pantun, namun lebih sekedar bahasa pengantar dengan pilihan kata yang sifatnya tentang alam, prilaku manusia, nama buah-buahan, nama pulau, hewan dan sebagainya, dimana yang menurut Hamilton (1941) baris pertama dan kedua biasanya terdiri dari penyataan yang puitik. Sementara isi pantun adalah kalimat yang menggambarkan maksud pantun tersebut, yang biasanya merupakan kalimat yang formal yang mendeskripsikan apa yang ingin disampaikan oleh pemantun. Sebagaimana pendapat Thomas (1985) yang menjelaskan bahwa mayoritas pantun tidak ada hubungan yang sangat penting antara kedua pasangan baris tersebut, hanya rima akhirnya dan pilihan asonansi dan konsonan yang tertera pada Pembayang Maksud atau Sampiran dan bersambung. Namun ada juga pendapat bahwa antara sampiran dan isi sebagaimana disampaikan oleh Borhan (2001) menjelaskan bahwa pantun dalam strukturnya mengandung pembayang dan maksud yang merupakan pasangan (binary) yang saling melengkapi, mengungkapkan yang lahir (pembayang/sampiran) dan yang batin (maksud/isi). Selanjutnya setelah kita memahami baris pantun, maka yang perlu kita ketahui lagi adalah persajakan pantun. Menurut Thomas (1985) bahwa pantun dimungkinkan memiliki dua rima bentuk atau persajakan yaitu A,B,A,B dan A,A,A,A. Pantun yang baik adalah memiliki sajak A, B, A, B, karena Thomas (1985) menjelaskan bahwa dalam persajakn AB merupakan tanda pasangan pada setiap barisnya. Selama ini banyak yang membuat pantun dengan bersajak, A, A, A, A, pantun yang demikian itu memiliki persajakan yang sangat lemah karena menurut Thomas (1985) persajakan A,A,A,A tidak jelas memisahkan antara Pembayang Maksud atau Sampiran dan Maksud atau Isi dan itu lebih condong kepada persajakan Syair. Perhatikan persajakan pantun “Pisang Emas” yang benar berikut ini. Pisang emas bawa berlayar  A Masak sebiji di atas peti  B Hutang emas dapat dibayar  A Hutang budi dibawa mati  B Persajakan ini bermaksud membedakan lafaz akhir pantun, dimana baris pertama haruslah sama dengan baris ketiga, dan baris kedua haruslah sama dengan baris keempat. Persamaan persajakan ini kemudian akan pilihan kata (diksi) yang diambil dalam membuat akhiran pada baris pada pantun. 7|Pekan Sastra Wilayah Sumater a Tahun 2016, Bengkulu 5 -9 Septemeber 2016

Dalam membuat pantun, kita juga harus memperhatikan jumlah kata dan suku kata yang akan kita susun dalam baris kalimat pantun. Jumlah kata dan suku kata tidaklah boleh melebihi dari yang telah ditentukan yang akan berimbas pada buruknya kualitas pantun yang kita buat. Mengenai jumlah kata, dalam sebuah kalimat baris pantun haruslah terdiri dari 4 (empat) sampai (6) lima kata saja, dan tidak boleh lebih dari jumlah itu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Elmustian (Andriani, 2012) yang menjelaskan bahwa ciri-ciri fisikal pantun diantaranta rata-rata satu baris pantun dalam buku pantun-pantun Melayu biasanya terdiri dari 4 (empat) sampai 6 (enam) kata atau dengan bilangan 8 (delapan) hingga 12 (duabelas) suku kata. Perhatikan contoh pantun dengan suku kata yang benar berikut ini. Bila siang orang berkebung (1) (2) (3) (4) Hari gelap naik kerumah (1) (2) (3) (4) Bila hilang tukang pantun (1) (2) (3) (4) Habis lesap petuah amanah (1) (2) (3) (4) (Sumber Pantun: Effendi dalam Andriani, 2012) Selain memahami jumlah kata dalam setiap kalimat baris pantun dengan benar, dalam pemilihan kata nantinya haruslah mematuhi jumlah suku kata yang diinginkan dalam rumus pantun. Sebuah kalimat baris pantun sebagaimana pendapat Elmustian (Andriani, 2012) terdiri dari 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) suku kata. Perhatikan contoh pantun dengan jumlah suku kata yang benar berikut. Ka-lau pe-da-da ti-dak ber-da-un  10 (sepuluh) suku kata Tan-da-nya u-lat me-ma-kan a-kar  10 (sepuluh) suku kata Ka-lau tak a-da tu-kang pan-tun  9 (sembilan) suku kata Du-duk mu-sya-wa-rah te-ra-sa ham-bar  11 (sebelah suku kata) Dalam membuat pantun pilihan kata juga sangat menentukan sebuah pantun itu memiliki kualitas yang baik atau tidak. Secara filosofisnya pantun memiliki makna yang menunjuk dan sesuatu bahasa tutur yang sopan, sehingga itu harus mampu memilih kata yang juga baik dan tentunya sopan sesuai dengan karakteristik pantun. Untuk memilih kata, maka kita harus menguasai terlebih dahulu 2 (dua) tahap cara menulis pantun di atas, yaitu memahami karakteristik pantun, struktur pantun, dan memahami jumlah kata dan suku kata pantun, karena diksi yang telah dipilih harus disusun sesuai dengan rumusan pantun yang tepat. Hal yang paling mudah dan sederhana adalah menyusun pantun dengan melihat akhiran dari barisan pantun, yaitu baris pertama harus sama dengan baris ketiga, dan baris kedua harus sama dengan baris keempat. Tentunya tidak melupakan jumlah kata dan suku kata pada pantun. Maka dari itu seorang pemantun, harus terus berlatih untuk 8|Pekan Sastra Wilayah Sumater a Tahun 2016, Bengkulu 5 -9 Septemeber 2016

mencari kata-kata atau kosa kata yang sama akhiran penyebutannya (bukan akhiran hurufnya). Perhatikan contoh kosa kata berikut.

Tabel 2. Beberapa Contoh Persamaan Diksi Dalam Membuat Pantun Kata pada baris isi Tahu Baik Cinta Datang Tanya Suka Gembira, Keluarga Jauh Mata Pandai Ilmu Kenang Kasih Sekolah Pendidikan Buku Hati Orang

Kata pada baris sampiran

Perahu, bahu, dan lainnya Gunung Daik, naik, dan lainnya Pelita, jelita, dan lainnya Petang, batang, dan lainnya Rupanya, baunya, paya, dan lainnya Cuka, cempaka, Malaka, dan lainnya Bahtera, mutiara, pokok ara, dan lainnya Buah saga, telaga, dan lainnya Pucuk pauh, sauh, suluh, dan lainnya Permata, kota, dan lainnya Keledai,cindai, tuai, kecai, dan lainnya Kemumu, tamu, jamu, dan lainnya Benang, kunang-kunang, dan lainnya Selasih, bersih, dan lainnya Belah, sebelah, merbah, dan lainnya Ikan, pekan, lokan, dan lainnya Duku, liku, kuku, dan lainnya Melati, mati, kati, peti, dan lainnya Parang, perang, terang, kerang, dan lainnya Sumber: Olahan Data Sekunder, 2015

d. Ragam Pantun Nusantara Pantun memiliki banyak jenis yang bisa diklasifikasikan, berdasarkan penelitian Andriani (2012) klasifikasi pantun dapat berupa sebagai berikut: 1. Pantun Anak-Anak 2. Pantun Muda-Mudi a. Pantun Perkenalan b. Pantun Berkasih-kasihan c. Pantun Perceraian d. Pantun Beriba Hati 9|Pekan Sastra Wilayah Sumater a Tahun 2016, Bengkulu 5 -9 Septemeber 2016

e. Pantun Nasib 3. Pantun Nasehat 4. Pantun Teka-Teki 5. Pantun Jenaka Adapun ragam ini juga mampu menjadi tema bagi pantun itu sendiri. Tema pantun juga akan ditentukan berdasarkan tempat, kondisi dan perasaan di penutur pantun. C. PEMBAHASAN 1. Pantun sebagai Tradisi Lisan Pantun lahir dari sebuah bentuk pengungkapan rasa hati dan pemikiran yang khas bangsa Melayu dan mempunyai sifat multi budaya, multi bahasa, multi agama, dan multi ras (Andriani, 2012). Sehingga dengan demikian pantun merupakan suatu bagian yang memang tidak pernah terlepaskan dari karakter pemikiran orang Melayu yang kemudian menghasilkan sebuah pengucapan yang mentradisi. Hal ini dibuktikan bahwa pantun sebagai tradisi pengucapan yang lahir dari pemikiran bangsa Melayu tidak terikat oleh batasan usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Pantun merupakan hasil karya lisan bangsa Melayu baik great tradition atau pun little tradition (Andriani, 2012). Poedjawijatna (Andriani, 2012) mengatakan bahwa pantun banyak digunakan sebagai tradisi pengucapan yang digunakan untuk menyatakan rasa kasih sayang, benci atau tidak suka. Dengan menggunakan pantun, pengucapan, pengungkapan rasa dan menyampaikan sindirian akan lebih mudah karena pantun dapat “mencubit tanpa menimbulkan rasa sakit”. Muhammad Haji Salleh (Andriani, 2012) mengungkapkan bahwa pantun hadir sebagai taman bahasa terindah, bunga-bunganya berwarna warni dan wangiannya tanpa bandingan. Bunga-bunga ini disimpan dibibir, dalam ingatan, dalam tulisan, dalam harian. Tanpa pantun manusia nusantara ini menjadi lebih miskin, lebih kaku, dan bisu. Dengan pantun dapat meningkat menjadi ahli falsafah, perenung alam raya, penggubah hukum, ahli agama dan kekasih yang sedang asyik bercumbu, penyanyi yang menarik nasib dan anak yang sedang bermain di padang. Pantun sebagai tradisi lisan misalnya dijadikan nyanyian atau pantun lagu, tidak lagi disebut Pantun Tunjuk Ajar, tetapi disebut dengan nyanyian atau pantun lagu. Biasanya nyanyian pantun ini digunakan untuk menidurkan anak yang disebut dengan “Pantun Menidurkan Budak” atau “Senandung Budak” (Andriani, 2012) Fungsi pantun sebagai tradisi lisan sebagaimana dijelaskan oleh Tenas Effendi (Andriani, 2012) dalam pantun berikut: Apa guna orang bertenun Untuk membuat pakaian adat Apa guna orang berpantun Untuk memberi petuah dan amanat

10 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

Apa guna orang bertenun Untuk membuat pakaian nikah Apa guna orang berpantun Untuk menyampaikan petuah amanah (Sumber Pantun: Tenas Effendi dalam Andriani, 2012) Asmah (Sew, 2007) menjelaskan bahwa pantun Melayu adalah sebuah mikrokosmos dari sebuah bentuk pola komunikasi yang khas dari bangsa Melayu dimana dua baris pertama merupakan sebuah bentuk yang puitik dan dia baris kedua merupakan percakapan yang aktual. Setyadiharja (2016) dalam esainya menjelaskan bahwa pantun merupakan suatu pola komunikasi dalam kebudayaan, dimana pantun sejatinya merupakan sebuah tradisi lisan yang berkembang sebagai suatu pola komunikasi. Pada tataran ini, mengapa pantun menggunakan sampiran dan isi, jika dikaitkan dengan apa yang dikatakan Hall (Setyadiharja, 2016), maka pantun merupakan sebuah pola komunikasi yang berada pada kategori komunikasi konteks tinggi. Mengapa demikian ?, hal itu karena orang Melayu atau orang yang menggunakan pantun sebagai tradisi lisan atau tulisan, ia berkomunikasi dalam sebuah kebudayaan dengan pesan yang implisit, tidak langsung dan tidak terus terang. Di dalam tubuh pantun, terdapat sampiran yang berfungsi sebagai pembayang. Pembayang atau dengan kata lain kiasan kata merupakan suatu bentuk pola komunikasi tingkat tinggi karena tidak langsung pada maksud pembicaraan, namun melalui sebuah kias yang dikiaskan dalam bentuk sampiran. Setelah kiasan kata disampaikan dalam bentuk sampiran, barulah maksud pembicaraan disampaikan kepada komunikan atau lawan bicara. Inilah yang dimaksud oleh Hasan Junus (Setyadiharja, 2016), bahwa Pantun termasuk bagian dari homo ludens, dimana orang Melayu atau orang yang menyusun pantun, menciptakan suatu permainan kata atau rima kata dengan kiasan yang sifatnya implisit dan tidak langsung pada isinya, dan permainan kata atau rima kata ini disampaikan dalam suatu pola komunikasi kebudayaan sehingga dinilai lebih beradab, memiliki etika dan estetika yang tinggi pula. Pantun sebagai hasil kerja lisan mengutamakan pengolahan rima, pengolahan isi atau maksud yang memancarkan nilai indah. Olahan rima diutamakan karena bunyi yang berirama indah didengar di samping pilihan kata memaparkan makna serta tepat dengan maksud yang disampaikan (Borhan, 2001). Selanjutnya Borhan (2001) menjelaskan bahwa pantun juga dinyanyikan atau dilagukan, disampaikan oleh para biduan dalam senandung, rampai-rampai, dondang sayang, inang, gazal, dan lagu melayu lainnya. 2. Pantun sebagai Tradisi Tulisan Pantun dibangun atas dua wacana yaitu wacana lisan yang direpsentasikan pada sampiran dan juga wacana tulisan yang termaktub dalam isi, dan pantun juga merupakan simbolisasi kehidupan manusia yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kedua wacana tersebut (Mahayana, 2016). Pantun selain telah dijelaskan sebagai tradisi lisan yang merupakan kekhasan pemikiran orang Melayu pada bahasan sebelumnya. Maka pantun juga tak luput juga menjadi sebuah karya yang kemudian ditulis, baik memang dalam buku yang berisikan pantun secara keseluruhan atau hanya bagian dari buku yang ditulis. Pantun muncul menjadi bagian dari sebuah tulisan adalah ketika Tun Sri Lanang menulis buku Sulalatus Salatin atau lebih dikenal dengan Sejarah Melayu menuliskan pantun terkait 11 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

peristiwa terbunuhnya Tun Jana Khatib yang dihukum bunuh oleh Paduka Sri Maharaja penguasa Kerajaan Tumasik di kurun tahun 1375-1389. Sementara buku Sulalatus Salatin yang ditulis oleh Tun Sri Lanang itu sekitar kurun abad ke 13. Berikut adalah bunyi pantun yang ditulis Tun Sri Lanang dalam buku Sulalatus Salatin (Ahmad, 1979 dan Hashim, 2015): Telur itik dari Senggora Pandan tersandar di batang tui Darahnya titik di Singapura Badan terhantar di Langkawi (Sumber Pantun: Tun Sri Lanang dalam Sulalatus Salatin yang diselenggarakan oleh A.Samad Ahmad, 1979) Telur itik dari Senggora Pandan tersandar di batang hari Darahnya titik di Singapura Badan terhantar di Langkawi (Sumber Pantun: Tun Sri Lanang dalam Sulalatus Salatin yang diselenggarakan oleh Muhammad Yusoff Hashim, 2015) Itu artinya bahwa pantun sebagai tradisi tulisan sudah ada dan dikenal serta pernah tertulis kurun abad ke 13 pada saat Tun Sri Lanang, Sang Bendahara Kerajaan Johor itu berkuasa di bawah kekuasaan Sultan Alaudin Riayat Syah III (berkuasa kurun 1597-1615). Namun Bendahara Johor yang juga penulis histografi yang sangat fenomenal ini akhirnya meninggal di Aceh setelah ditawan oleh Sultan Aceh yaitu Sultan Iskandar Muda (Liamsi, 2016). Selain itu, Abdul Kadir Munsyi yang hidup dan berkarya kurun abad ke 19 juga pernah menulis pantun dalam Kisah Perjalanan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, “Dari Singapura sampai Kelantan” yang salah satu yang ditulisnya adalah sebagai berikut: Pulau tinggi, terendak Cina Tampak dari Pasar Sibu Tuan pergi janganlah lama Tidak kuasa menganggung rindu (Sumber pantun: Sweneey, 2005 dan Mahayana, 2016). Pantun sebagai tradisi tulisan pernah dibukukan beberapa kali. Seperti pantun Melayu yang pernah dibukukan oleh Haji Ibrahim yang merupakan sahabat Raja Ali Haji dengan judul buku yaitu Pantun-Pantun Melayu Kuno yang diterbitkan pada tahun 1877 sebagaimana ditampakkan pada gambar berikut ini.


Gambar 1. Buku Pantun-Pantun Melayu Kuno Karya Haji Ibrahim merupakan bentuk Pantun sebagai Tradisi Tulisan

Selain itu juga ada beberapa buku pantun sebagai sebuah bukti bahwa pantun pernah bertranformasi menjadi tradisi tulisan, seperti buku-buku sebagaimana gambar dibawah ini. Gambar 2. Buku Pantun-Pantun Melayu lainnya yang Pernah dibukukan sebagai Bentuk Pantun sebagai Tradisi Tulisan

Pantun sebagai tradisi tulisan juga masih berkembang hingga sekarang. Di Kepulauan Riau pantun juga masih kerap ditulis oleh beberapa penulis. Sebagaimana ditulis oleh Pemantun dan Penulis Muda yang bernama YS. Nugraha dalam bukunya “Kumpulan Pantun Negeri Pantun” (2011). Beberapa pantun yang ditulis oleh YS. Nugraha (2011) adalah sebagai berikut:


Kota gurindam negeri pantun Tiada terdapat penjahat preman Jalan yang salah jangan dituntun Marilah kembali ke jalur iman (Sumber Pantun: Kumpulan Pantun Negeri Pantun, Jabaran Penuntun Hidup, YS. Nughara, 2011) Kota gurindam negeri pantun Bawa bekalan berpeti-peti Membangun negeri hendaklah tekun Sabar dan ikhlas patri di hati (Sumber Pantun: Kumpulan Pantun Negeri Pantun, Jabaran Membangun Negeri, YS. Nughara, 2011) Tamrin Dahlan dalam bukunya “Pantun Dalam Perkawinan Melayu” juga telah menempatkan pantun sebagai tradisi tulisan yang pantun-pantun yang disusun dirangkum dalam sebuah buku. Berikut beberapa contoh pantun yang ditulis oleh Tamrin Dahlan dalam bukunya “Pantun Dalam Perkawinan Melayu” (2005): Dari Kijang ke Sungai Lekop Kampungnya elok ramah orangnya Sirih jantan sirih telungkop Pedas dirasa liat uratnya Pauh di dahan batang embacang Dekat kuala ditanam kuini Jauh berjalan banyak dipandang Ternampak bunga di taman ini Rida K.Liamsi (2016) dalam bukunya “Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Maharajaan Melayu 1160-1946” juga menulis beberapa pantun dalam buku tersebut yang berbunyi: Dari Bintan ke Semenanjung Membangun negeri mewariskan budaya Adat resam harusnya dijunjung Jika tak hendak ditimpa bala Kemudian Rida K.Liamsi (2016) juga melakukan pengubahsuaian pantun pusaka yang kemudian berbunyi demikian:


Karena roboh kota Melaka Papan di Bintan Tuan tegakkan Karena tidak seperti di kata Nyawa dan tahta jadi taruhan Begitulah temuan-temuan terhadap dokumentasi pantun yang bertransformasi dari tradisi lisan yang tidak tercatat atau terbukukan, menjadi pantun yang dibukukan, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat lebih lama dan akses yang lebih luas dibanding hanya sebagai tradisi lisan di kalangan masyarakat Melayu. Dengan menjadi tradisi tulisan, pantun tak hanya sebagai oral tradition yang turun temurun diucapkan, namun pantun menjadi suatu catatan sejarah yang dalam ratusan tahun masih dapat ditemukan oleh masyarakat. 3. Pantun sebagai Seni Pertunjukan a. Berbalas Pantun Tradisi berbalas pantun merupakan tradisi yang paling sering kita lihat. Pada awalnya tradisi ini merupakan tradisi yang berkembang di dalam adat perkawinan di beberapa daerah di Indonesia. Di Kepulauan Riau tradisi berbalas pantun di dalam sebuah perhelatan perkawinan masih sering kita lihat dan dengar. Begitu juga di beberapa daerah lainnya di Sumatera. Di Betawi sendiri pun, masih sering kita dengar tradisi berbalas pantun dalam adat perkawinan. Pada perhelatan adat perkawinan biasa berbalas pantun diadakan pada saat menghantarkan pengantin pria kepada pengantin wanita. Atau ada beberapa adat dimana pengantin pria ingin melihat pengantin wanita ketika hendak bersanding. Adat berbalas pantun ini kemudian berkembang menjadi sebuah seni pertunjukkan yang mampu dilihat dan dinikmati banyak orang. Di Kota Tanjungpinang Kota Gurindam Negeri Pantun sendiri berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti dan juga beberapa penelitian lainnya di temukan sekitar tahun 2005 hingga sekarang, tradisi berbalas pantun sudah dikembangkan dan digalakkan di sekolah-sekolah dan bahkan dijadikan sebagai sebuah ajang perlombaan berbalas pantun. Selain perlombaan berbalas pantun juga sebagai acara pertunjukkan komedi dalam beberapa acara tertentu. Dalam seni pertunjukkan berbalas pantun ini biasanya pemantun terdiri dari beberapa orang dengan jumlah genap, biasa dimulai dari minimal 2 orang, 4 orang, atau 6 hingga mencapai 10 orang, tergantung waktu untuk pertunjukkan yang disediakan. Dalam berbalas pantun, pemantun menjual pantun dengan berbagai tema mulai dari tema yang serius hingga kepada tema yang jenaka hingga penonton dapat menikmati kelucuan yang disajikan. Hal yang paling unik adalah spontanitas dari pemantun yang menjawab dan saling berbalas pantun tanpa menggunakan teks sama sekali. Para pemantun menjawab atau membalas pantun dengan durasi waktu yang sangat cepat tanpa menggunaan teks atau catatan sama sekali. Hal inilah yang membuat seni pertunjukkan ini menjadi sangat menarik, terlebih jika tema yang diucapkan menjadi pantun mengandung unsur jenaka. Maka penonton dibuat tidak bosan dan penonton dibuat ikut menikmati canda dan tawa yang disajikan oleh para pemantun. Berdasarkan catatan penelitian Long (2013) bahwa di tahun 2006 pada sebuah Festival Internasional Budaya Melayu yang diselenggarakan di Kota Tanjungpinang dilaksanakan sebuah Festival Pantun yang diikuti oleh beberapa daerah seperti Provinsi Kepulauan Riau, 15 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan juga Kalimantan Barat. Dalam lomba berbalas pantun ini, Long (2013) menceritakan bahwa ada dua kelompok yang saling “menjual”, dimana pantun yang diberikan adalah berupa pantun pertanyaan yang berkaitan dengan budaya Melayu, dan satu kelompok lainnya “membeli” pantun, dimana pantun “membeli” ini adalah jawaban pantun dari pantun yang dijual oleh kelompok lawan. Dua kelompok saling berbalas pantun dengan spontan. Berikut adalah catatan pantun kelompok Kota Tanjungpinang yang “dijualkan” kepada kelompok Kalimantan Barat berdasarkan catatan Long (2013): Pergi ke hutan mencari kayu Pergi bersama dengan cik nyonya Kalau tua dan puan orang Melayu Bubur pusat apa maknanya ? Selain itu juga ada contoh lain pantun yang dijualkan oleh kelompok Batam yang pantun ini dijual kepada kelompok Indragiri Hulu sebagaimana dicatat oleh Long (2013) yang berbunyi: Dayung perahu ke Pulau Asam Perahu kecil tidak beratap Katanya pun Melayu identik Islam Kepada cik tak pakai jilbab ? Dari pantun-pantun yang dijual menurut catatan penelitian Long (2013) ada juga pantun yang disebut dengan jawaban pantun “berkelit” atau pantun yang dijawab tidak sesuai dengan pertanyaan, namun digunakan agar pantun tetap terbeli atau terjawab. Biasanya kelompok yang menjawab terjebak pada pertanyaan pantun yang menjebak seperti pantun yang dicatat oleh Long (2013) berikut: Melur tumbuh di dalam taman Petik sekuntum dikerat-kerat Heranlah sungguh melihat zaman Kepada perempuan berpakaian ketat Jika kelompok lawan tidak dapat menjawab atau bingung hendak menjawab, maka kelompok lawan yang akan menjawab dengan pantun berikut:

Terbang berkawan si burung merbah Hinggap di pokok membuat sangkar Jika berpakaian sudahpun berubah Mari membahasnya dalam seminar (Sumber: Long, 2013) 16 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

Adapun pantun-pantun yang dijual oleh satu kelompok ke kelompok lawannya harus dijawab atau dibalas dalam waktu 60 (enampuluh) detik atau 1 (satu) menit (Long, 2013). Dalam lomba berbalas pantun ini, maka hal yang dinilai terdiri dari tiga materi yang sebagaimana dijelaskan oleh Long (2013) yaitu pertama, Kelengkapan Pantun yang terdiri dari rima pantun, jumlah kata dan suku kata pantun, keterkaitan rima antara sampiran dan isi, kedua, Isi Pantun yang terdiri hubungan dengan tema, keterkaitan jawaban dan pertanyaan, kcepatan menjawab pantun, ketiga, Penampilan yang terdiri dari akting dan pakaian. Kota Tanjungpinang sendiri telah berhasil menyajikan seni pertunjukkan ini menjadi suatu hal yang menarik sehingga mendapatkan anugerah Rekor MURI dalam berbalas pantun terlama selama 6 jam tanpa berhenti di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 28 April 2008. Pada perhelatan ini, 7 orang pemantun saling berbalas pantun selama 6 jam tanpa ada satu pemantun pun yang berhenti saling berbalas pantun dengan berbagai tema dan berbagai macam kejenakaan yang ditampilkan. Berikut adalah piagam Rekor MURI yang berhasil diraih oleh pemantun Kota Tanjungpinang pada tahun 2008. Gambar 5. Piagam Rekor MURI Berbalas Pantun Terlama

Sumber: Dokumentasi Pribadi Peneliti yang terlibat dalam Berbalas Pantun tahun 2008 Selain diperlombakan terkadang Berbalas Pantun juga sering menjadi sebuah seni pertunjukkan pada acara pembuka atau selingan acara hiburan dalam perhelatan tertentu di Provinsi Kepulauan Riau. Dengan adanya Berbalas Pantun acara yang diselenggarakan menjadi santai, penuh hiburan namun tidak menghilangkan substansi kebudayaan di dalamnya.


Gambar 4. Seni Pertunjukkan Berbalas Pantun di Kota Tanjungpinang

Sumber: Dokumentasi Pribadi Peneliti dalam Pertunjukkan Berbalas Pantun tahun 2010 b. Dondang Sayang / Dendang Pantun Dondang Sayang pada awalnya sebagaimana dijelaskan oleh Dahlan (2014) dalam bukunya Sejarah Melayu merupakan pola komunikasi bangsa China yang ada di Melaka, sejarah menjelaskan bahwa bangsa Cina ini berasal dari keturunan Puteri Hang Li Po yang dinikahi oleh Sultan Mansyur Shah. Puteri Hang Li Po pada masa kurun tahun 1458 membawa 500 rombongan orang Cina. Kemudian dengan adanya orang Cina atau dengan kata lain disebut dengan “China-Baba” ini pola komunikasi antara orang Cina dengan Melayu selalu menggunakan orang pantun, yang kemudian disebut dengan Dondang Sayang yang hingga saat ini dikenal sebagai sebuah seni pertunjukkan. Menurut Dollah dan Kob (2015) menjelaskan bahwa Dondang Sayang adalah acara berbalas pantun yang diucapkan dalam bentuk berlagu atau berdendang dengan iringan musik. Dondang sayang boleh juga dikatakan persembangan lagu dan musik yang didendangkan itu boleh mengikut rentak inang, joget atau lagu Melayu lainnya, kemudian alat musik yang mengiringi Dondang Sayang adalah biola, rebana, gong, dan harmonium (Dollah dan Kob, 2015). Menurut Pijnapel (Borhan, 2001) menjelaskan bahwa pantun Dondang Sayang merupakan ibu pantun manakala pantun cinta pula merupakan pusat pantun, pantun-pantun yang dilagukan atau didendangkan dengan asyik sesuai dengan fitrah Melayu, maka pantun Dondang Sayang digambarkan dengan pantun berikut oleh Pijnapel (Borhan, 2001): Dondang sayang ibunya lagu Lagu terkarang zaman dahulu Dondang sayang lagu Melayu Bila terkenang bertambah pilu Matrusky, Ann dan Beng (2014) menjelaskan bahwa Dongdang Sayang bermakna “Lagu Cinta”, dalam pertunjukkan Dondang Sayang, seorang penyanyi atau biduan menyanyikan sebuah pantun dalam empat baris, kemudian penyanyi atau biduan lainnya menjawab pantun 18 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

yang telah “dijual” oleh penyanyi tersebut dengan pantun yang terdiri dari empat baris juga. Alat musik yang biasa mengiringi Dondang Sayang adalah biola, dua rebana dan disaat ini biasanya ditambah dengan harmonium atau akordion, gitar dan tamborin (Matrusky, Ann dan Beng, 2004). Dollah dan Kob (2015) menjelaskan bahwa Dondang Sayang dimainkan harus dengan dua orang pemantun atau pendendang. Pemantun pertama akan mengemukankan pantun yang disebut dengan Menjual Pantun, kemudian pemantun kedua akan Membeli Pantun. Dalam proses menjual dan membeli pantun, maka pemantun atau pendendang akan diringi lagu Melayu dengan irama joget atau inang. Berikut salah satu contoh pantun yang dicatat dalam penelitian Dollah dan Kob (2015): Ikan sepat dalam pergi 2x Lipat kajang berulang mandi 2x Kalau bukan tempat menanam padi….dondang sayang Habis baja benih tak jadi Jika kita melihat pantun di atas, maka ada baris pantun yang diulang dua kali, hal itu dilakukan karena mengikuti irama lagu yang mengiringi Dondang Sayang. Pantun-pantun yang disajikan dalam petunjukkan Dondang Sayang adalah pantun adalah pantun kasih sayang, kiasan, budi, jenaka, serta tentang alam seperti bunga, laut, dan juga buah-buahan (Dollah dan Kob, 2015). Dondang Sayang khususnya di Melaka Malaysia menurut Dollah dan Kob, 2015) memang tidak penah terlepas dari pengaruh Cina Baba, berdasarkan sejarah yang dijelaskan di atas. Bahasa Melayu yang digunakan juga adalah khas dialeg Cina Baba. Di Provinsi Kepulauan Riau, berdasarkan penelusan peneliti, Dondang Sayang ini kemudian dikembangkan lagi dengan lagu Melayu dengan irama yang lainnya, dan disebut dengan Dendang Pantun yaitu sebuah tradisi berbalas pantun diucapkan dalam sebuah lagu dengan irama Melayu. Adapun lagu yang digunakan dalam Dendang Pantun adalah Pak Ngah Balik, Ala Emak Kawinkan Aku, Zapin Kasih dan Budi, Pucuk Pisang. Di Gorontalo sendiri seni pertunjukkan berbalas pantun seperti, berdasarkan penelusuran peneliti ini disebut dengan Paiyo Hungi Ilo Poli, dimana terdapat berbalas pantun dengan bahasa Gorontalo kemudian didendangkan dengan lagu atau irama khas Gorontalo. Gambar 4. Seni Pertunjukkan Dondang Sayang/Dendang Pantun

(Sumber: http://d044714.blogspot.co.id, 2016) 19 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

c. Opera Pantun / Drama Pantun / Teaterikal Pantun Opera adalah sebuah bentuk seni, dari pentasan panggung dramatis sampai pentasan musik. Dalam mementaskan sandiwara, opera memakai elemen khas teater seperti pemandangan, pakaian, dan akting. (www.wikipedia.com diakses, 4 November 2016). Berdasarkan pendapat di atas, unsur opera salah satunya adalah adanya sandiwara yang bisa dikaitkan dengan jenis teater, karena di dalam unsur lainnya yaitu adanya akting. Untuk menunjang sebuah akting maka dalam sebuah teater membutuhkan dialog, dan dalam teater dialog dan penghayatan adalah yang penting (Rambet, 2013). Penggalian tradisi dalam sebuah teater/drama/opera sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk dalam mengambil unsur-unsur Pantun Melayu (Raman, 2001). Raman (2001) menjelaskan bahwa di sepanjang pertumbuhan dan perkembangan drama Melayu modern, pantun terus mengisi berbagai ruang dan fungsi dalam drama. Daya guna dalam sebuah drama dapat dilihat sebagai sebuah dialog, lagu, bentuk dan jenis drama, pertukaran waktu, nostalgia masa lalu, identitas Melayu, dan lain-lain. Raman (2001) selanjutnya menjelaskan bahwa sesuai hakikat sebuah drama yang sering kali didefinisikan sebagai kumpulan dialog dan arahan pentas, fungsi pantun sangat besar peranannya. Pantun bukan saja membina sebuah sequence tetapi juga berfungsi sebagai pembina emosi watak yang melahirkan komplikasi, konflik, dan penyelesaian masalah dalam berbagai aksi dan peristiwa dari setiap babak pada drama tersebut. Dialog adalah unsur terpenting dalam sebuah drama. Tanpa dialog ianya bukanlah sebuah drama (Raman, 2001). Raman (2001) menjelaskan bahwa dalam drama bercorak Bangsawan, pantun memberikan ruang dramatik. Sebagai contoh dialog dalam bentuk pantun dalam Megat Trawis yang diselenggarakan oleh Rahmah Bujang (Raman, 2001): Megat Sari: Cis..! Tan tikuk tan tilan Terbang sekawan di Inderagiri Siakap melintang boleh kutelan Inikan pula membujur diri Megat Terawis Tan tikuk tan tilan Terbang sekawan boleh kutelan Ini dia pancang berduri (Sumber Pantun: Rahmah Bujang dalam Raman, 2001) Transformasi pantun ini memang disengajakan oleh penulis untuk memperlihatkan ciriciri perbedaan watak dalam drama atau opera tersebut, selain itu pantun digunakan untuk memperlihat ciri-ciri tradisional drama bangsawan. Tanpa pantun, ciri khas sebuah drama bangsawan tidak akan terlihat (Raman, 2001). Umar Junus (Raman, 2001) menyatakan 20 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

bahwa perubahan atau tranformasi ini bersifat fisik dimana pantun menjadi fisik dialog dalam sebuah drama. Opera Pantun ini pernah dimainkan dalam sebuah perhelatan di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 29 April 2008, dimana pemainnya merupakan gabungan dari seluruh pemantun dari Kepulauan Riau dan beberapa tokoh teater di Jakarta, yang memainkan cerita tentang kehidupan sehari-hari bangsa Melayu mulai dari lahir, masa anak-anak, remaja hingga dewasa, dengan berbagai tema diperankan seperti cinta, nasehat agama, perkelahian, sampai ke pernikahan, dan pantun menjadi dialog pada setiap adegan cerita pada opera pantun tersebut. Opera Pantun ini juga didukung dengan nyanyian Melayu dan Tarian Melayu yang menjadikan seni pertunjukkan ini lebih nikmat untuk dinikmati oleh penonton. Disinilah pantun menjadi lebih dinamis dan atraktif. Opera Pantun yang diselenggarakan di Jakarta merupakan acara yang digagas oleh Yayasan Panggung Melayu, dimana skenario dari Opera Pantun itu ditulis Tusiran Seseno (seorang pakar pantun di Kota Tanjungpinang, dan disutradarai oleh Asrizal Nur yang merupakan penyair yang mengembangkan sastra khususnya Melayu di Jakarta. Gambar di bawah ini merupakan sebuah adegan perkelahian antara dua orang pemuda dimana dialog yang diucapkan adalah bentuk pantun. Gambar 5. Salah Satu Adegan Perkelahian dalam Opera Pantun yang diliput TV Swasta pada acara Opera Pantun di Jakarta yang ditaja oleh Yayasan Panggung Melayu

(Sumber: www.youtube.com diakses pada Tahun 2008) Di dalam adegan yang terlihat pada gambar di atas, atau yang terlihat di Youtube, dalam opera pantun ini, maka pantun menjadi Dialog setiap adegan atau babaknya. Salah satu adegan perkelahian dalam Opera Pantun ini adalah yang terjadi antara Kapau dan Sarman yang diambil Naskah Skenario Opera Pantun (Nur, 2008) berikut: Kapau: Dari Muntok ke Batu Ampar Tidak hamba ke Jawa lagi Bumi bertepuk langit kutampar Tidak hamba ke percaya lagi


Sahar: Pantang duri di bawa ke Daik Pantang tuan ke Pulau Mepar Pantang diri berundur balik Siapkan badan supaya berpagar Kedua pantun yang menjadi dialog dari Opera Pantun yang naskah skenarionya disusun oleh Asrizal Nur dan Tusiran Suseno (Nur, 2008) menyajikan suatu adegan perkelahian sebagaimana yang tertera pada Gambar 5 di atas. Kedua pantun tersebut, maka merupakan suatu bentuk perubahan fisik jika kita berkaca pada apa yang dijelaskan oleh Raman (2001) modifikasi pantun dalam teks drama seperti ini merupakan keinginan pengarang untuk menempatkan sebuah teks yang sesuai teksnya. Pantun yang dihadirkan di atas, merupakan pantun dengan kategori yang sempurna, karena rima, persajakan, jumlah kata dan suku kata sesuai dengan kaidah pantun yang ideal. Selain itu, kelebihan Asrizal Nur dan Tusiran Suseno mampu menyajikan sebuah emosi pada pantun tersebut. Meski pantun yang diucapkan dalam keadaan marah namun filosofi pantun yang sopan dan santun itu tetap terjaga. Pantun yang disajikan dalam bahasa dialog memberi ruang dan suasan libinal dimana penonton opera pantun/drama pantun/teaterikal pantun akan diberikan sebuah perjalanan imajinasi akan adat dan resam dimana pantun itu berasal, sehingga disitulah pantun menjadi sebuah karakter (Raman, 2001). Dalam konteks ini, pantun tidak lagi menjadi karya sastra yang hanya ditulis sebagai dialog, namun pantun dalam konteks ini telah menjadi suatu bagian yang tak bisa dipisahkan dari sebuah jalan cerita opera/drama/teaterikal pantun itu sendiri. Pantun akan menjadi penentu perubahan emosional pemain, kisah pada setiap babaknya dan amanat yang terkandung di dalam cerita tersebut. Disinilah pantun menjadi bagian penting dalam sebuah seni pertunjukan. d. Monolog Pantun Monolog Pantun sesungguhnya merupakan seni pertunjukkan yang berakar dari Monolog sebagaimana kita kenal selama ini. Monolog adalah istilah keilmuan yang diambil dari kata mono yang artinya satu dan log dari kata logi yang artinya ilmu. Secara harfiah monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan/sketsanya (www.wikipedia.com, diakses pada tanggal 4 November 2016). Pada seni pertunjukkan Monolog Pantun, ucapan dan percakapan seorang pemain pada dirinya sendiri adalah dalam bentuk pantun. Meski memiliki jalan cerita tertentu akan tetapi dalam Monolog Pantun, pantun harus mendominasi dalam ucapan-ucapan orang yang memainkan Monolog Pantun. Monolog Pantun ini pernah ditampilkan dan dilombakan pada acara Festival Pantun Melayu Berwawasan Lingkungan Hidup Se-Sumatera pada 20-22 Juni 2007 di Pekanbaru, Riau. Gambar di bawah ini merupakan salah seorang peserta yang menampilkan seni pertunjukkan Monolog Pantun pada ajang Festival Pantun Melayu tersebut.


Gambar 7. Seni Pertunjukkan Monolog Pantun dalam Festival Pantun Melayu Berwawasan Lingkungan Hidup Se Sumatera pada 20-22 Juni 2007 di Pekanbaru, Riau

Sumber: Dokumentasi Peneliti Tahun 2007 Berikut adalah beberapa dialog Monolog Pantun yang pernah ditampilkan peneliti pada acara Seni Pertunjukkan Monolog Pantun dalam Festival Pantun Melayu Berwawasan Lingkungan Hidup Se Sumatera pada 20-22 Juni 2007 di Pekanbaru, Riau yang berjudul “Pemanasan Global” (Setyadiharja, 2007) Bunga sekuntum tumbuh dilaman Daun salam tumbuh di kota Assalamu’alaikum kami ucapkan Sebagai salam pembuka kata Sirih disusun tepilah peti Ke teluk sasah mudiknya kita Inilah kami Hang Rabun sedang berdiri Hendak berkisah tentang dunia kita Sayang dijaja buah delima Daun jelatang di Tanjung Palas Ada kisah raja dan panglima Bertutur tentang zaman yang panas


Raja berkata… Buah delima tumbuh di laman Buah berangan di Tanjung Palas Wahai panglima ku bijak budiman Apa gerangan semakin panas Panglima menjawab… Mudik ke kota membeli belibis Belilah pula si buah nanas Langit kita kian menipis Itulah punca udara memanas Begitulah cerita yang terdiri dari dialog-dialog yang berupa pantun-pantun tersebut hanya sebagian dari dialog dalam Monolog Pantun yang berjudul “Pemanasan Global”. Jika dikaji dengan konsep monolog berdasarkan apa yang disampaikan oleh Purnomo (2013) yang menjelaskan bahwa monolog merupakan pembicaraan yang dilakukan sendiri adegan pelaku tunggal yang membawa percakapan seorang diri. Maka Monolog berjudul “Pemanasan Global” tersebut merupakan sebuah cerita tentang percakapan seorang raja dan panglimanya tentang zaman yang semakin memanas. Namun dalam hal ini dilakukan oleh seorang diri yang harus memerankan dua sosok sekaligus. Purnomo (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Monolog merupakan salah satu bentuk percakapan dalam sebuah drama yang terdiri dari Prolog, epilog, dialog, monolog. Artinya ketika seseorang melakukan Monolog berarti orang itu sebenarnya sedang mendramatisasi sesuatu cerita kehadapan penonton namun disampaikan secara sendiri. Unsur lakon drama menurut Purnomo (2013) menjelaskan terdiri dari beberapa hal seperti Tema, Alur atau Plot atau Jalan Cerita, Bahasa, Setting, dan amanat. Jika dianalisis dengan konsep ini maka naskah Monolog Pantun berjudul “Pemanasan Global” adalah suatu bentuk drama monolog yang memiliki tema tentang lingkungan, dengan jalan cerita adanya jalan cerita diskusinya sang raja dengan panglimanya tentang pemanasan global hingga solusinya, kemudian setting yang digunakan adalah lingkungan kerajaan, dan bahasa yang digunakan adalah dengan perantaraan pantun. maka ketika pantun menjadi dialog sebuah pementasan baik itu drama pada umumnya atau monolog, maka sebagaimana dijelaskan oleh Raman (2001) masuk ke wilayah libinal, yaitu sebuah wilayah dimana penonton dibawa ke zaman lampau dengan setting kerajaan Melayu dengan percakapan yang masih kental dengan pantun. Dengan demikian maka pantun di dalam naskah Monolog Pantun berjudul “Pemanasan Global” ini sengaja diciptakan oleh penulis pantun untuk membawa penonton pada situasi zaman kerajaan Melayu kuno dengan kebiasan berpantunnya. Dengan adanya monolog pantun ini maka penonton akan lebih mengenal bahwa seperti itulah dahulu orang berkomunikasi dengan penuh estetika dan etika. Dengan ini, maka pantun disajikan tidak hanya sekedar dengan fisik pantun, namun pantun menjadi substansi dinamis dalam sebuah cerita yang akan menentukan alur atau jalan cerita tersebut. Sehingga pantun dapat dinikmati dengan cara yang lebih meriah dan mudah dipahamim. Pantun dalam konteks ini menjadi substansi yang penting dalam menentukan 24 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

sebuah seni pertunjukkan monolog sebagai pengganti substansi cerita yang biasa diucapkan dengan kata-kata. D. KESIMPULAN Makalah ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa pantun saat ini tidak hanya dapat dinikmati dalam bentuk tradisi lisan yang menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat seNusantara, namun pantun menjadi sebuah tradisi tulisan yang mampu menjadi sebuah khazanah karya sastra tulis yang akan menjadi catatan sejarah sepanjang masa, namun kini pantun sudah dapat dinikmati dalam bentuk yang lebih atraktif, sehingga masyarakat luas dapat menikmati pantun tak hanya lagi sebagai teks sastra namun sebagai sebuah pertunjukkan yang mampu menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat. Dengan bertransformasinya pantun menjadi sebuah seni pertunjukkan, maka pantun mampu menjadi sebuah potensi ekonomi yang mampu menjadi daya tarik, khususnya bagi daerah yang masih menjadikan kearifan lokal ini sebagai budaya yang masih mudah ditemukan dan terus dilestarikan. Dengan pantun sebagai seni pertunjukkan maka mampu menjadi sebuah instrumen untuk menarik para wisatawan asing untuk dapat menikmati pantun dengan sajian yang berbeda, dan masyarakat luar tahu bahwa pantun tak hanya dikenal sebagai tradisi lisan bangsa Melayu atau sebuah karya sastra, namun ianya menjadi media hiburan yang mampu menjadi hiburan yang menarik dan memiliki nilai ekonomis jika dikelola dan dioptimalkan. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Ahmad, A. Samad. (1979). Sulalatus Salatin Sejarah Melayu Edisi Pelajar. Dewan Bahasa dan Pustaka. Malaysia Dahlan, Ahmad. (2014). Sejarah Melayu. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta Dahlan, Tamrin. (2005). Pantun Dalam Perkawinan Melayu. Pemerintah Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang Haji, Raja Ali. (2002). Gurindam Dua Belas. Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau dengan Yayasan Khazanah Melayu. Tanjungpinang Hamilton. A.W. (1941). Malay Pantuns. Australian Publishing. Sydney Hashim, Muhammad Yusoff. (2015). Sulalatus Salatin Sejarah Melayu Versi Siak. KUIM. Melaka Malaysia Liamsi, Rida.K. (2016). Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu 1160-1946. Sagang Intermedia. Pekanbaru Long, Nicholas J. (2013). Being Malay in Indonesia Histories, Hopes and Citizenship in The Riau Archipelago. Asian Studies Association of Australia, Nus Press and Nias Press. Singapore Mahayana, Maman S. (2016). Jalan Puisi Dari Nusantara ke Negeri Poci. Kompas. Jakarta Matusky, Patricia Ann and Tan Sooi Beng (2004): Music of Malaysia. Aldershot. Ashgate Nugraha, Yoan Sutrisna. (2011). Kumpulan Pantun Negeri Pantun. Yayasan Panggung Melayu. Jakarta 25 | P e k a n S a s t r a W i l a y a h S u m a t e r a T a h u n 2 0 1 6 , B e n g k u l u 5 - 9 Septemeber 2016

Suseno, Tusiran. (2006). Mari Berpantun.Yayasan Panggung Melayu. Jakarta Sweeney, Amin. (2005). Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Jakarta Thomas, Philip L. (1985). Phonology and Semantic Suppression in Malay Pantun. Moution Publisher. Amsterdam Jurnal: Akmal. (2015). “Kebudayaan Melayu Riau (Pantun, Syair, Gurindam)”. Jurnal Risalah. Vol.26 No.4. Hal. 159-165 Andriani, Tuti. (2012). “Pantun Dalam Kehidupan Melayu (Pendekatan Historis dan Antropologis). Jurnal Sosial Budaya. Vol. 9 No.2. Hal. 195-211 Dollah, Hanafi. Kob, Ajid Che. (2015). “Nyonya Melaka: Pelancongan dan Tranformasi Budaya Baba”. Jurnal Melayu. Vol.1 Maulina, Dinni Eka. (2015). “Keanekaragaman Pantun di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Semantik. Hal. 107-121 Sayekti. (2012). “Pantun Modern: Kreativitas yang Hilang Batas ?”. Jurnal Universitas Katolik Widya Mandala Sew, Jyh Wee. (2007). “Symbolism In Malay. Evidence in Genre and Lexion”. Journal Departement of Malay Studies National University of Singapore. Shanmugam, Krishnavanie. (2010). “Pantun Translation into English in Women’s Writings in Twentieth Century British Malaya”. Journal of Modern Language. Vol. 20. Hal.80-92 Makalah: Borhan, Zainal Abidin. (2001). Pengungkapan Kosmologikal dalam Pantun Melayu. Makalah diseminarkan pada acara Seminar Pantun Melayu “Pantun Warisan Rakyat” Tanggal 28-30 Juni 2001. Johor. Malaysia Raman, Ramli. (2001). Pantun: “Nyawa Melayu” Dalam Seni Kepanggungan Melayu, Tumpuan Khusus Kepada Genre Drama Melayu Modern. Makalah diseminarkan pada acara Seminar Pantun Melayu “Pantun Warisan Rakyat” Tanggal 28-30 Juni 2001. Johor. Malaysia Rambet, Mutiara Mcmoran. (2013). Makalah Seni Teater. Makalah belum diterbitkan dan dipresentasikan Artikel: Setyadiharja, Rendra. (2016). “Pantun dan Homo Ludens”. Jembia Batam Pos. Edisi 23 Oktober 2016. Dokumen:


Nur, Asrizal. (2008). “Naskah Skenario Opera Pantun”. Ditampilkan pada Festival Pantun Serumpun di Taman Ismail Marzuki Jakarta 28-30 April 2008 Setyadiharja, Rendra. (2007). “Naskah Monolog Pantun berjudul Pemanasan Global”. Ditampilkan pada Festival Pantun Melayu Berwawasan Lingkungan Hidup Se Sumatera pada 20-22 Juni 2007 di Pekanbaru, Riau Website: http://d044714.blogspot.co.id diakses tanggal 14 Agustus 2016 Purnomo, Dwi. 2013. Diakses dari digilib.unila.ac.id tanggal 5 November 2016 www.ilmusiana.com diakses tanggal 14 Agustus 2016 www.wikipedia.com diakses tanggal 4 November 2016 www.youtube.com


28

PANTUN: TRANSFORMASI DARI TRADISI LISAN, TRADISI TULISAN HINGGA KE SENI PERTUNJUKAN 1 (STUDI PADA PANTUN MELAYU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU)

Recommend Documents