PANDUAN MOOT COURT DAN KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER (Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Proses Persidangan)
Sulistyowati Irianto
Komnas Perempuan - LBH APIK Jakarta – LBPP DERAP Warapsari – Convention Watch – PKWJ UI Didukung oleh: European Commission
Panduan Moot Court dan kompetisi Moot Court Berperspektif Keadilan Gender (Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dalam Proses Persidangan)
Penulis Sulistyowati Irianto
Penyelaras Akhir Asnifriyanti Damanik R. Valentina Sagala
Penyunting Arimbi Heroepoetri
Lay Out dan Cover Wahjoe, Ian dan Widi (paraGraph)
Dicetak oleh C.V. Kurnia Sejati untuk paraGraph
Cetakan Pertama : Maret 2005 ISBN 979-98223-5-7
Komnas Perempuan - LBH APIK Jakarta – LBPP DERAP Warapsari – Convention Watch – PKWJ UI Didukung oleh: European Commission
Kata Pengantar Civitas akademika pendidikan tinggi ilmu hukum di seluruh dunia pada umumnya telah mengenal istilah Moot Court maupun kompetisi Moot Court. Tidak terbilang banyaknya kompetisi Moot Court yang diselenggarakan oleh berbagai institusi pendidikan hukum maupun praktik umum. Kompetisi tersebut diselenggarakan untuk mengembangkan bidang-bidang hukum tertentu, memperingati berbagai peristiwa penting, atau pernghormatan terhadap tokoh-tokoh dalam berbagai bidang hukum. Kompetisi Moot Court juga diselenggarakan untuk tujuan tertentu, seperti membangun kesadaran sebagai warga internasional dan sosialisasi nilai-nilai hak asasi manusia. Panduan Moot Court yang ada dihadapan Anda ini bertujuan mensosialisasikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender melalui kegiatan Moot Court dan kompetisi Moot Court. Setelah melalui beberapa diskusi untuk mendapatkan masukan, Panduan ini mengalami beberapa kali revisi. Sebagian isinya mencerminkan berbagai masukan tersebut. Istilah Moot Court misalnnya, dibiarkan sebagaimana istilah aslinya, karena diskusi tidak berhasil mendapatkan terjemahan yang tepat, “peradilan semu” ataukah “pengadilan semu”. Demikian pula istilah “keberpihakan” terhadap perempuan, digunakan secara hati-hati, karena bagi para sarjana hukum dalam aliran pemikiran legalistis yang mainstream di Indonesia, tidak dibenarkan sikap untuk “berpihak” itu. Panduan Moot Court ini merupakan bagian dari suatu program kemitraan menuju Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Kemitraan tersebut melibatkan para aktivis perempuan dari Komnas Perempuan, LBH-APIK Jakarta, Derap Warapsari, dan Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia. Oleh karena itu, Panduan ini merupakan hasil karya kemitraan dari berbagai pihak, yang sudah seharusnya mendapat penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya. Mereka adalah Danielle Sjamsoeri, S.H., Ibu Deliana Sayuti Ismudjoko, S.H., Indri Oktaviani, S. Sos., Ibu KolPol (P) Dra. Irawati Harsono, M. Si., Jumi Rahayu, S.H., Ibu Kamala Chandrakirana, M.A., Magdalena Sigalingging, S.H., Qorihani, S.S., R. Valentina Sagala, S.E., S.H., Ratna Batara Munti S.Ag., M.Si., Sri Wiyanti Eddyono, S.H., Ibu AKBP (P) Titien Pamuji, S.Ip., dan Virlian Nurkristi, S.H., serta Arimbi Heroepoetri, S.H., LL. M yang telah menyunting Panduan ini.
i
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberi masukan terhadap revisi Panduan ini, khususnya kepada Ibu. Prof. Dr. Saparinah Sadli, Ibu Prof. Dr. Gandi Lapian, Ibu Achie Luhulima, M.A., Djunaidi, S.H., Ibu Katri Dharmabrata, S.H., Ibu Erna Sofwan Sjukrie, S.H., Bapak Djuhri Sugeha, S.H., Bapak Darwis Lubay, S.H., Ibu Indrihadi, M.Si, Bapak Toga Sihombing, S.H., M.H., Kunthi Tridewayanti, S.H., M.A., dan rekan-rekan dari Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Universitas Bhayangkara, Universitas Krisnadwipayana, dan Universitas Indonesia yang telah berkenan memberikan masukan pada berbagai kesempatan. Ucapan terima kasih juga tunjukan kepada Bapak Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., yang dengan pemikirannya yang terbuka dan keterlibatannya telah sangat mendorong dimungkinkan berkembangannya “persepektif baru” di lingkungan civitas akademika hukum, melalui tiga kali penyelenggaraan kompetisi Moot Court berperspektif keadilan gender di FH UI. Akhirnya, tanpa keterlibatan Ibu Poeerbatin Dharmabrata, S.H., dan Ibu Tien Handayani, S.H., M.Si., Ibu Liem Sing Meij, M. Hum., dan rekan-rekan dijurusan Hukum dan Masyarakat FH UI, Convention Watch-PKWJ UI, Panduan ini tidak akan ada artinya. Beliau-beliaulah yang telah mempraktekan panduan ini dalam beberapa kali penyelenggaraan Moot Court yang penuh uji coba. Semoga panduan ini ada manfaatnya bagi berbagai pihak yang memberi perhatian dan peduli kepada upaya pemajuan ilmu hukum agar lebih “berdimensi” humanis, khususnya berkenaan dengan sosialisasi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, melalui kegiatan Moot Court dan Kompetensi Moot Court. Mohon maaf atas berbagai kekurangan dan kecerobohan dalam pembuatan Panduan dengan “perspektif baru” yang juga masih dalam tarap uji coba ini. Jakarta, Maret 2005 Sulistyowati Irianto
ii
Halaman Pengantar
1 1 1 4 4
1. Mengapa Panduan ini Dibuat 2. Kelompok Target 3.Pengertian Moot Court Berperspektif Keadilan Gender 4. Kasus-Kasus yang Dipilih
Latar Belakang Pemikiran: Mengapa Moot Court Berperspektif Keadilan Gender
5
Landasan Hukum
7
Moot Court Berperspektif Keadilan Gender 1. Tujuan 2. Siapa yang diharapkan dapat melakukannya?
9 9 9
Kompetisi Moot Court Berperspektif Keadilan Gender A. Lokakarya 1. Menyiapkan dan Menyelenggarakan Lokakarya 2. Tujuan 3. Peserta 4. Acara B. Kompetisi Moot Court 1. Menyiapkan Peserta 2. Menyiapkan Juri 3. Menyiapkan Kasus yang Dikompetisikan 4. Menyiapkan dan Menyelenggarakan Kompetisi a. Tujuan b. Capaian c. Peserta d. Delegasi e. Sarana yang Dibutuhkan
10 10 10 10 10 10 11 12 12 12 12 12 13 13 13 13
Pengantar iii
f. Pertemuan Teknis (Technical Meeting) g. Sistem Kompetisi h. Acara i. Sistem Penilaian j. Melakukan Evaluasi k. Membuat Prosiding Lampiran 1. Contoh Lembar Penilaian (Score Sheet) Indiana University School of Law 2. Tabel Penilaian Juri Kompetisi Moot Court Berperspektif Keadilan Gender 3. Landasan Instrumen Hukum yang Menjamin Kesetaraan dan Keadilan Gender 4. Daftar Acuan Terbatas
iv
13 14 14 14 15 15
Mengapa Pengantar Mengapa Panduan ini dibuat ?
M
enggunakan media Moot Court sebagai sarana sosialisasi perspektif perempuan dan perspektif korban 1 dalam proses persidangan, merupakan sesuatu yang baru di kalangan civitas akademika hukum . Banyak Fakultas Hukum di Indonesia telah memiliki mata kuliah Hukum Acara yang menjadikan Moot Court sebagai materi penting di dalamnya. Kegiatan kompetisi Moot Court pun telah biasa dilakukan di kalangan mahasiswa Fakultas Hukum. Namun biasanya Moot Court maupun Kompetisi Moot Court yang diselenggarakan adalah dalam pengertian umum, yang tidak memuat perspektif gender (genderless perspective). Kompetisi Moot Court juga menjadi salah satu bagian dalam program yang bertujuan untuk mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Jender dalam penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Program ini diselenggarakan dalam suatu program kemitraan oleh Convention Watch-Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia bekerja sama dengan Komnas Perempuan, LBH APIK Jakarta, dan DERAP-Warapsari. Panduan ini dibuat dalam rangka menyediakan sarana ke arah semakin terbangunnya kesadaran di kalangan civitas akademika hukum, akan pentingnya memberi pemahaman kepada para mahasiswa calon Sarjana Hukum, tentang isu-isu perempuan dan hukum. Dengan demikian, panduan ini dibuat agar dapat digunakan oleh civitas akademika pendidikan tinggi hukum, untuk dapat melakukan kegiatan Moot Court dengan perspektif keadilan gender, khususnya dalam kuliah-kuliah Hukum Acara atau Praktek Persidangan, atau yang lebih jauh akan menyelenggarakan Kompetisi Moot Court. Bila kasus-kasus yang dimainkan dalam Moot Court pada umumnya adalah kasus-kasus hukum biasa, dalam Moot Court dengan perspektif keadilan gender ini, kasus-kasus yang dipilih untuk dimainkan adalah kasuskasus yang dapat menunjukkan kedudukan perempuan yang menjadi korban dalam sistem hukum yang tidak adil. Perempuan dalam hal ini bisa jadi merupakan korban tindak kekerasan, tetapi bisa juga merupakan pelaku tindak kekerasan, dalam arti dia yang melakukan tindak kekerasan akibat sebelumnya dia sendiri merupakan korban kekerasan. Apa yang dilakukannya semata-mata hanyalah agar kekerasan yang terus menerus berlangsung terhadapnya itu berhenti.
Kelompok Target
K
elompok target yang diharapkan akan menggunakan panduan ini adalah civitas akademika yang berkaitan dengan bidang hukum, seperti Fakultas Hukum di berbagai Universitas, Fakultas Syariah di berbagai perguruan tinggi Islam, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum. Dengan demikian kelompok target adalah: dosen, mahasiswa, dan penyelenggara yang terkait dengan kompetisi Moot Court.
1
Sebelumnya, sosialisai perspektif keadilan gender di Fakultas-Fakultas Hukum telah dilakukan melalui diciptakannya mata kuliah mandiri” Wanita dan Hukum” atau diintegrasikannya berbagai instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai mata kuliah yang telah ada dalam kurikulum Fakultas Hukum.
PENGANTAR
1
Substansi panduan ini secara garis besar diharapkan akan dapat menjadi panduan bagi diselenggarakannya: (a) Moot Court Berperspektif keadilan gender dan (b) Kompetisi Moot Court berperspektif keadlian gender.
Pengertian Moot Court
S
ekilas tentang Kegiatan Moot Court yang dilakukan oleh Beberapa Institusi Pendidikan hukum 2.
Terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu institusi pendidikan hukum di dunia ini, terutama di Amerika dan Eropa yang menyelenggarakan kompetisi Moot Court. Kompetisi tersebut dibuat dalam rangka memperingati peristiwa hukum tertentu, atau untuk berbagai tujuan seperti mengembangkan bidang hukum tertentu, atau penghormatan terhadap tokoh-tokoh dalam bidang hukum tertentu. Berkenaan dengan pengembangan bidang hukum tertentu, berbagai kompetisi Moot Court dilaksanakan seperti dalam bidang hak asasi manusia, hak kekayaan intelektual, hukum luar angkasa internasional, hukum maritim, hukum yang berkaitan dengan teknologi, perdagangan dan kompetisi tidak sehat, dan banyak lagi. Sehubungan dengan Kompetisi Moot Court yang diselenggarakan untuk suatu tujuan tertentu, dapat dijumpai dalam bidang hak asai manusia atau seperti yang diselenggarakan di Uni Eropa, adalah untuk membangun kesadaran internasional dan solidaritas dikalangan masyarakat Eropa. Dengan demikian telah terdapat banyak sekali kejuaran kompetisi Moot Court. Dalam bagian ini dikemukakan beberapa penjelasan seputar Moot Court yang diselenggarakan oleh beberapa institusi pendidikan hukum. 1. Indiana University School of Law3 Indiana University School of Law di Indiana Polis-Amerika Serikat, mengadakan program Moot Court untuk merangsang pengembangan keterampilan mahasiswa dalam melakukan pembelaan baik secara tertulis maupun lisan. Program tersebut juga merupakan bentuk pengakuan bagi mahasiswa yang sungguhsungguh pandai dalam mengembangkan ketrampilan ini. Setiap semester Sekolah Hukum ini menyelenggarakan kompetisi program yang dinamakan The Intramural Moot Court, dengan mensyaratkan kriteria mahasiswa pesertannya adalah yang telah menempuh mata kuliah Analisis Hukum, Penelitian, dan Komunikasi I dan II. Mahasiswa dalam kompetisi ini mengajukan Surat Permohonan Gugutan dan melancarkan argumentasi lisan sebelum persidangan hipotetis (Moot Court) diselenggarakan. Semua mahasiswa yang berpartisipasi dalam The Intramural Competition menjadi anggota dari The Moot Court Society. Para mahasiswa ini yang pada umumnya berhasil dalam kompetisi, menjadi anggota dari The School’s Order of Barristers, dan dinilai mampu untuk berada dalam tim mewakili Universitas, untuk berkompetisi ditingkat regional, nasional dan international dalam semester berikutnya. Dewan dalam The Moot Court Society, yaitu dewan yang juga menyelenggarakan The Intramural Competition, akan menyediakan pelatih mahasiswa untuk tim nasional yang dipilih dari The Order of Barristers.
2 Berbagai Sumber, diambil dari internet 3
http://www.iulaw.indy.indiana.edu/career/csdir.htm
2
PENGANTAR
2. The European Law Moot Court Society4. Moor Court dapat diselenggarakan dalam rangka mensosialisasikan tujuan tertentu, seperti yang dilakukan oleh The European Law Moot Court Society. Institusi ini didirikan pada tahun 1998 sebagai suatu organisasi non-profit. Tujuan utama organisasi ini adalah membangun pemahaman, toleransi, dan kesadaran internasional dikalangan masyarakat dan orang-orang Eropa, khususnya di Uni Eropa. Presiden dari organisasi ini pada tahun 2002-2004 adalah Antonio Santos yang dipilih dalam pertemuan tahunan. Kantor eksekutifnya (The organizing Team) berkedudukan di Lisabon dan berpusat di The University of Lisbon. 3. The International Institute of Space Law5 Kompetisi Moot Court bisa juga diadakan dalam suatu bidang spesialisi hukum tertentu, seperti dalam bidang hukum angkasa internasional. Kompetisi Moot Court tingkat dunia ini, diadakan di Amerika dan dikenal sebagai The Lachs Moot. Sejak tahun 1992 The International Institute of Space Law mengundang The Georgetown University, George Washington University, dan The American University agar mengirimkan masing-masing dua tim untuk berpartisipasi dalam Kompetisi Moot Court, berkaitan dengan Kongres Dunia mengenai Angkasa (The World Space Congres). Setelah itu kompetisi Moot Court dalam lapangan hukum angkasa internasional ini berkembang sampai hari ini, dan telah diikuti oleh 30 Fakultas Hukum di Asia-Pasifik, Eropa, dan Amerika. Untuk tingkat Asia-Pasifik kejuaraan diadakan di Sydney, Australia; tingkat Eropa diadakan negara-negara Eropa secara bergantian, sedangkan di Amerika diadakan di Washington DC. Mereka memperebutkan The Manfred Lachs Trophy yang akan diberikan kepada kelompok pemenang. Penghargaan juga diberikan kepada kelompok yang menyampaikan berkas perkara terbaik dan kelompok yang mampu menampilkan argumentasi lisan terbaik. Bahasa yang digunakan dalam kompetisi tersebut adalah bahasa Inggris. Kekhususan lain dari kompetisi ini adalah hadirnya tiga anggota (Sitting Mambers) dari The International Court of Justice, yang menjadi bagian dalam panel juri yang independen. Dengan berpartisipasi pada The Lachs Moot ini, mahasiswa dari setiap tim mendapatkan pengalaman yang berharga dan menyenangkan di tingkat mooting internasional, sambil melakukan debat dan menganalisis isu-isu pening dalam lapangan hukum angkasa internasional. 4. Kompetisi Moot Court untuk Tujuan Pernghormatan terhadap Tokoh-Tokoh6. Beberapa kejuaraan dalam Kompetisi Moot Court juga diadakan sebagai penghormatan terhdap tokohtokoh yang dianggap berjasa dalam bidang hukum. Sangat banyak contohnya, dan dibawah ini akan diberikan beberapa, yaitu The Ladas Memorial Award, Pattishall Medal, dan Saul Lefkowtz Moot Court Competition. The Ladas Memorial Award didirikan pada Tahun 1976 oleh The New York, Chicago dan Los Angeles Law of Ladas and Parry, untuk mengenang Stephen P. Ladas. Penghargaan ini berikan kepada para mahasiswa dan para professional dalam bidang hukum. Di samping itu terdapat The Pattishall Medal for Teaching Excellence of Trademark and Trade Indentity. Program ini dibentuk dalam rangka menunjukan penghargaan kepada pengacara Chicago terkenal, Beverly. W. Pattishall, seorang pelapor dalam pengembangan merk dagang (Trademark) di Amerika. Program ini memberi pengakuan kepada para pendidik dalam bidang bisnis dan bidang-bidang hukum berkenaan dengan pemahaman dalam bidang merk dagang dan identitas perdagangan (Trade Identiy).
4
http://www.elmc.org/EuropeanMC
[email protected] 6 Dapat di-browsing melalui google dengan mencari mootcourt 5
PENGANTAR
3
Saul Lefkowitz Moot Court Competition.7 dibentuk untuk mengantarkan mahasiswa sekolah hukum kepada isu-isu yang menantang dan bervariasi berkenaan dengan bidang merk dagang dan hukum kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi ini diberi nama Saul Lefkowitz karena jasa beliau di The United States Patent and Trademark Office (USPTO) selama lebih dari 30 tahun. Jasannya terutama adalah dalam mengembangkan hukum dan praktek merk dagang. Ia selalu dikenang sebagai seorang mentor bagi praktisi-praktisi muda dan selalu mengembangkan pemahaman hukum dan prosedur merk dagang. Persidangan dilangsungkan di hadapan juru-juri dari The Trademark Trial and Appeal Board of The USPTO. Dalam bidang final kejuaran nasional ini berhadiah total lebih dari US $ 4.000.
Pengertian Moot Court Berperspektif Keadilan Gender
Moot Court pada umumnya adalah persidangan hipotetis dalam arti aplikasi, proses persidangan yang nyata ke dalam bentuk permainan peran (role-playing) Moot Court Berperspektif Keadilan Gender adalah persidangan hipotetis atau aplikasi proses persidangan yang nyata dalam bentuk permainan peran (role-playing) dengan secara spesifik menunjukan kepekaan dan “keberpihakan” terhadap korban kekerasan (perempuan atau anak perempuan) dalam hal substansial, prosedural, maupun sikap aparat penegak hukum dalaam berinteraksi dengan korban selama dalam proses persidangan. Dalam permainan peran itu dihadirkan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, pengacara, polisi), terdakwa, korban, saksi, dan petugas yang terkait dalam persidangan.
Kasus-kasus yang dipilih Moot Court yang Bersperspektif Keadilan Gender khususnya proses peradilan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, memilih kasus-kasus yang menunjukan bahwa perempuan dan anak perempuan menjadi korban kekerasan. Kasus-kasus yang dipilih adalah rekonstruksi dari kasus-kasus yang benar-benar terjadi dalam persidangan yang nyata, yang menunjukan ciri-ciri: ••
•• •• •• ••
Perempuan yang sukar mendapat akses kepada keadilan ketika berhadapan dengan sistem hukum (substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum) yang memang tidak peka terhadap pengalaman dan kebutuahan perempuan korban. Perempuan yang menjadi korban kekerasan baik diranah publik maupun domestik. Perempuan korban memiliki pengetahuan hukum yang sangat minimal, bahkan tidak memiliki pengetahuan hukum sama sekali. Kekerasan yang diadalami bisa berbentuk fisik, psikologis, seksual, dan ketiadaan akses kepada sumber ekonomi. Perempuan korban berada dalam posisi yang rentan karena pendidikan yang rendah, miskin, di bawah umur, atau karena berasal dari kelompok minoritas.
Korban dalam pengertian ini lebih luas daripada yang biasa dikenal dalam pengertian hukum. Misalnya perempuan yang mengalami pelecehan seksual, ketika mengadukan perkarannya justru dituduh melakukan pencemaran nama baik dan diadili sebagai pelaku pencemaran nama baik. Atau perempuan yang membunuh suaminnya, karena menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga selama hidup perkawinannya. 7
hhtp:// www.bnef.org/events/lefkowtiz.html
4
PENGANTAR
Latar Belakang Latar Belakang Pemikiran:
Pemikiran:
Mengapa Moot Court Berperspektif Keadilan Gender? Arus globalisasi, Industrialisasi, dan perdagangan bebas membawa serta terjadinya interrelasi, interaksi, dan saling pengaruh diantara hukum internasional, nasional dan lokal (hukum adat, agama, kebiasaan). Dalam arus pertemuan berbagai sistem hukum itu, dibawa serta diantaranya, nilai-nilai hak asasi manusia, hak asasi perempuan, kesetaraan dan keadilan gender. Berbagai instrumen hukum internasional yang menjamin nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender sudah diratifiaksi, dan berbagai kebijakan internasional yang berkaitan dengan masalah perempuan, menjadi acuan bagi berbagai kebijakan didalam negeri. Bahkan sebenarnya aspek kesetaraan dan keadilan gender dapat ditemukan dalam pasal-pasal tertentu dalam konstitusi dapat ditemukan dalam konstitusi kita (pasal 27 UUD ‘45), berbagai peraturan perundang-undangan (Ratifikasi Konvensi Cedaw No 7/ 1984, UU No 23/ 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan berbagai Kebijakan Pembangunan (Kepres no 9/ 2000 tentang gender mainstreaming dan Kepres no 7/ 2005) Namun seberapa jauhkah perwujudan dari nilai-nilai kesetaraan dan keadilan bagi perempuan telah menjadi kepedulian kita bersama dalam praktek sehari-hari? Seberapa jauhkah para aparat dari institusi penegakan hukum khususnya, telah memberi perhatian pada masalah ini? Salah satu upaya yang dipikirkan dapat mengatasi persoalan ini adalah melakukan reformasi hukum dengan cara membangun suatu sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang berkeadilan gender dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam sistem yang terpadu itu, dilibatkan semua unsur dalam institusi penegakan hukum (hakim, jaksa, pengacara, dan polisi) dan civitas akademika hukum. Fakultas Hukum adalah tempat yang tepat untuk memperkenalkan dan membangun kepekaan terhadap isu-isu perempuan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di pengadilan kepada para mahasiswa, calon sarjana hukum, agar memahami masalah keadilan dan kesetaraan gender, khususnya dalam kasus dimana perempuan menjadi korban kekerasan. Di tangan para calon sarjana hukum inilah kelak akan diletakkan tanggung jawab sebagai insan penegak hukum yang dapat menciptakan peluang sejauh mungkin bagi terciptanya keadilan bagi setiap warga negara yang mencari keadilan. Perempuan sering menjadi korban kekerasan karena seksualitasnya sebagai perempuan. Banyak hasil penelitian dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang ditampilkan oleh media massa, menunjukkan bagaimana lemahnya posisi perempuan ketika mengalami kekerasan. Perempuan dan anak perempuan sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, di arena publik, tempat kerja, bahkan dirumahnya sendiri. Kerentanan ini semakin bertambah bila perempuan korban berada dalam status sosial ekonomi yang rendah, tidak memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan memadai, tidak memiliki akses kepada informasi, atau karena ia masih di bawah umur. Dalam praktek hukum, kondisi itu masih dapat ditambah lagi, dengan perempuan yang berasal dari kelompok rentan lain yaitu kelompok minoritas.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
5
Dalam banyak kasus, diketahui bahwa hukum pidana kita tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan bagi pembelaan terhadap perempun korban kekerasan. Sementara itu para penegak hukum sangatlah terikat pada azas legalitas, sehingga Undang-undang dibaca sebagaimana huruf-hurufnya berbunyi, dan sangat sulit untuk memberi ruang penafsiran yang berbeda, bahkan ketika dihadapkan pada nilai-nilai kemanusiaan sekalipun. Tidak jarang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan juga terimbas oleh sistem peradilan yang tidak netral, dalam arti terkait dengan persoalan politik dan uang. Dengan kondisi sistem hukum seperti inilah diharapkan, dari para sarjana hukum kelak akan lahir pemikiran baru dan terobosanterobosan yang dapat memberi perlindungan yang memadai bagi para pencari keadilan, khususnya perempuan. Upaya yang dirasa perlu untuk dapat mensosialisasi pemahaman ini, antara lain dilakukan melalui kegiatan Kompetisi Moot Court di kalangan mahasiswa Fakultas Hukum.
6
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Landasan Hukum Berbagai instrumen yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, dapat digunakan sebagai landasan hukum, sebagaimana yang dapat diidentifikasi di bawah ini8. 1. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Decralation of Human Rights/UDHR): Pasal 2, 5, 6, 8, 9, dan 11 ayat (2) 2. Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Decralation on the Elimination on Violence Againts Women): semua pasal 3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR): Pasal 2 ayat (3), 3, 9, 14, 15, dan 16 4. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Disrimination Againts Women/CEDAW): semua pasal 5. Konvensi hak Asasi (Convention on the Rights of the Child/CRC): Pasal 12 dan 40 6. United National Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Peraturan Standart Minimum PBB untuk Administrasi Peradilan Anak, Resolusi Majelis Umun 40/33 tanggal 29 November 1985): semua pasal 7. Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Resolusi Majelis Umum 40/34 tanggal 29 November 1985): Korban Kejahatan (angka 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12), Bantuan/Kompensasi (angka 14, 15, 16, 17) 8. Kode Etik untuk Aparatur Penegak Hukum: Pasal 2, 4, 5, 7 9. Prinsip-Prinsip Dasar Peranan Pengacara (Disahkan oleh Kongres PBB ke-8, tanggal 27 Agustus- 7 September 1990): Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengacara 10.Pedoman tentang Peranan Para Jaksa (Disahkan oleh Kongres PBB ke-8, tanggal 27 Agustus-7 September 1990): Peranan dalam Proses Pengadilan Pidana 11.UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Bagian keempat: Hak Memperoleh Keadilan, bagian kesembilan: Hak Wanita, bab V: Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah, bab VIII: Partisipasi Masyarakat 12.Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan agar sesuai dengan Berat dan Sifat Kejahatannya 13.Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (SEJAMPIDUM) No. B 63/E/2/1994 tanggal 4 Februari 1994 tentang Perlindungan Korban Kejahatan 14.Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (SEJAMPIDUM) No. B-409/ES/8/1996 tentang Perampokan Disertai Perkosaan 15.Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (SEJAMPIDUM) No. B-255/E/6/1995 tanggal 7 Juni 1995 tentang Pola Penanganan Penyelesaian Perkara Kejahatan dengan Kekerasan. 16.Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (SEJAMPIDUM) No. B-532/E/11/1995 tanggal 9 November 1995, petunjuk tentang Penuntutan Anak 17.UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: semua pasal, khususnya Pasal 16, 17, 18, 64 18.UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: semua pasal
8
Lihat lampiran, dibuat oleh LBH-APIK Jakarta dan MAPPI FH UI, Panduan Pemantauan Peradilan, 2004
LANDASAN HUKUM
7
Moot Court Berperspektif
8
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Moot Court Berperspektif Keadilan Gender Tujuan ujuan diselenggarakannya Moot Court berperspektif keadilan gender yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, adalah:
T
1. Memperkenalkan dan membangun kepekaan terhadap isu-isu perempuan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di pengadilan. 2. Melatih keterampilan mahasiswa Fakultas Hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam proses peradilan.
Siapa yang Diharapkan Dapat Melakukannya?
P
ertama, terutama dosen-dosen yang mengajar mata kuliah Hukum Acara Pidana, atau Hukum Acara pada umumnya, dan dosen yang mengajar mata kuliah Praktek Hukum, serta pengajar pada kuliah lain dilingkungan pendidikan tinggi hukum. Kedua, mahasiswa peserta mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Hukum, serta peserta mata kuliah yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan hukum seperti mata kuliah “Wanita dan Hukum”.
isi Moot Court
Kompet
MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
9
Kompetisi Moot Court Berperspektif Keadilan Gender Berperspektif Keadilan Gender
K
ompetisi Moot Court ini akan terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu: (1) Lokakarya Hukum Berperspektif Keadilan Gender: dan (2) Kompetisi Moot Court itu sendiri. Lokakarya sebagai kegiatan pendahuluan merupakan ciri khas dari kompetisi ini dibandingkan dengan Moot Court lain.
Lokakarya. 1. Menyiapkan dan Menyelenggarakan Lokakarya Pada umumnya hanya sedikit para mahasiswa calon peserta Kompetisi Moot Court yang pernah mengikuti semacam pelatihan gender atau perkuliahan yang berisi tentang pengenalan masalah-masalah perempuan dan hukum, dan pendekatan hukum berperspektif perempuan dalam penanganan perkara. Oleh karena itu dianggap penting untuk memberi lokakarya sebagai bekal bagi para mahasiswa untuk mengenal dan memahami isu-isu perempuan dan hukum dan pendekatannya. 2. Tujuan 1. Memberi pemahaman tentang isu-isu perempuan dalam hukum berkeadilan gender dan pendekatan hukum berperspektif perempuan, kepada civitas akademika Fakultas Hukum, khususnya para mahasiswa 2. Menggugah kesadaran dikalangan para mahasiswa Fakultas Hukun akan perlunya seorang Sarjana Hukum memiliki wawasan yang lebih luas, tidak hanya juridis dogmatik saja, tetapi juga melihat bekerjanya hukum dalam setting sosial, politik, budaya, dimana hukum itu berada, sehingga dapat dipikirkan bagaimana carannya agar hukum dapat memberi keadilan kepada segenap warga masyarakat, termasuk perempuan. 3. Memberi pemahaman agar para mahasiswa hukum terampil dan mampu melakukan terobosan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di persidangan, khususnya mampu melakukan pembelaan terhadap perempuan korban kekerasan. 3. Peserta Mahasiswa Fakultas Hukum yang akan menjadi peserta Kompetisi Moot Court dan dosen pembimbingnnya. 4. Acara
10
KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
Lokakarya akan membutuhkan waktu selama dua hari dengan acara sebagai berikut:
Waktu Hari I
Program
Capaiaan
Pelatihan gender dan hukum
•• ••
Instrumen-instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan korban kekerasan Hari II
•• ••
Memahami adanya istrumen hukum acuan yang dapat digunakan untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
Ceramah
Mampu membuat berkas perkara dengan melakukan terobosan-terobosan melalui digunakannya perspektif keadilan gender
Mahasiswa membuat berkas perkara dan latihan peran
•• ••
Permainan Diskusi interaktif
Ceramah
Pendekatan hukum berperspektif Mengenal dan memahami perempuan (Feminist Legal pendekatan hukum berpersTheory) pektif perempuan secara konseptual dan praktis Teknik pembuatan berkas perkara dengan perspektif keadlian gender
Jeda waktu antara selesai Lokakarya dan Kompetisi
Metode
Terbangunnya sensitifitas gender Mengenali akar dasar permasalahan diskriminsi dan kekerasan melalui pengenalan konsep gender
Berkas perkara kasus kekerasan terhadap perempuan Kesiapan memainkan peran dalam Kompetisi Moot Court
•• ••
Ceramah Peragaan
••
Bimbingan dari dosen pembimbing
Moot Court ( 1 bulan )
Kompetisi Moot Court Berperspektif Keadilan Gender 9
Penyelenggaraan kompetisi dilakukan dengan mengacu kepada aturan-aturan yang baku, yang akan direvisi dari waktu ke waktu. Revisi tersebut akan didasarkan pada perkembangan kebutuhan yang diamati selama proses berlangsungnya kompetisi dari waktu ke waktu. 9
Sebagian besar komponen dalam kompetisi peradilan semu dimodifikasi dari aturan main kompetisi peradilan semu, yang disusun oleh Sdr. Djunaedi dari MAPPi FHUI dan Ibu Soekatri Dharmabrata, SH. Dosen Hukum Acara Pidana dari FH UI, dalam acara Kompetisi Peradilan Semu yang diselenggarakan oleh Jurusan Hukum dan Masyarakat, FHUI dan Convention Watch Ui pada tahun 2003 dan bekerjasama dengan mitra Komnas Perempuan, Derap Warapsari, dan LBH - APIK Jakarta, tahun 2004. KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
11
Petunjuk bagi panitia penyelenggara: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Menyiapkan peserta Menyiapkan juri Memilih kasus-kasus yang akan dikompetisikan Menyiapkan dan menyelenggarakan lokakarya Menyiapkan dan menyelenggarakan kompetisi Melakukan evaluasi Membuat prosiding Melakukan persiapan teknis: akomodasi bagi peserta
1. Menyiapkan Peserta Kriteria peserta: mahasiswa yang setidak-tidaknya pernah mengambil mata kuliah Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana, dan kuliah “Wanita dan Hukum”. Penyelenggara menentukan Fakultas Hukum mana saja yang akan diundang, membuat undangan, melakukan konfirmasi setiap kali akan dilakukan tahap-tahan kegiatan, dan melakukan korespondensi dalam rangka memberi informasi seluas-luasnnya mengenai penyelenggaraan Kompetisi Moot Court. Dalam hal ini penyelenggara menentukan kriteria peserta yang seyogyannya akan dipilih oleh Fakultasnya masing-masing untuk mengikuti kompetisi, sebagaimana yang ditetapkan dalam kriteria diatas. Penyelenggara juga melakukan persiapan teknis bagi kepentingan para peserta termasuk mengelola akomodasi, transportasi, menyiapkan ruangan Moot Court dan menghubungi berbagai pihak untuk dapat terselenggarannya kegiatan tersebut. 2. Meyiapkan Juri Kriteria juri: Dalam Kompetisi Moot Court yang umun, Dewan Juri adalah sedapat mungkin merupakan representasi dari Hakim, Pengacara, Jaksa, dan pihak Universitas. Namun dalam Kompetisi Moot Court Berpersepektif Keadilan Gender ini, tidak menutup kemungkinan bahwa warga masyarakat biasa, para aktivis perempuan, Survivor, atau pendamping korban, dapat menjadi Dewan Juri. Hal yang diutamakan adalah mereka yang memiliki perspektif perempuan dan perspektif korban memiliki pengetahuan mengenai isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan proses beracara di pengadilan. Penyelenggara menghubungi Dewan Juri dan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan juri untuk membicarakan hal-hal penting, terutama yang berkaitan dengan penilaian. 3. Menyiapkan Kasus-Kasus yang Akan Di Kompetisikan Panitia mencari dan memilih kasus-kasus yang akan dikompetisikan dengan mengacu kepada kriteria kasus sebagaimana telah diuraikan diatas. 4. Menyiapkan dan Menyelenggarakan Kompetisi Moot Court a. Tujuan 1. Memperkenalkan dan membangun kepekaan terhadap isu-isu perempuan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di pengadilan. 2. Melatih keterampilan mahasiswa Fakultas Hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam proses peradilan.
12
KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
b. Capaian 1. Terbangunnya pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana memperlakukan korban dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. 2. Dimilikinnya keterampilan dalam berargumentasi dengan mencari peluang-peluang dalam hukum positif dan menciptakan terobosan-terobosan baru sehubungan dengan tidak memadainnya hukum positif dalam mengakomodasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. c. Peserta Peserta Moot Court adalah satu tim perwakilan resmi dari masing-masing perguruan tinggi hukum dan setiap perguruan tinggi hanya diperkenankan mengirim satu tim. d. Delegasi 1. Delegasi adalah tim Moot Court yang terdiri dari sebanyak-banyaknya 15 orang peserta, termasuk Ketua Delegasi yang susunannya ditentukan oleh perguruan tinggi masing-masing berdasarkan komposisi yang telah disusun untuk ditampilkan dalam Moot Court 2. Setiap delegasi didampingi oleh Dosen Pembimbing e. Sarana yang dibutuhkan Sarana yang dibutuhkan terutama adalah Moot Court Hall atau suatu ruangan yang memang dibangun atau ditata untuk keperluan Moot Court, yang berisi mebel untuk tempat duduk aparat penegak hukum dipersidangan, di satu sisi, dan sisi lain adalah tempat duduk bagi terdakwa dan saksi. Peralatan lain adalah palu, jubah/ toga bagi aparat penegak hukum, bendera kuning dan hijau. Kompetisi Moot Court akan didahului oleh pertemuan teknis (tecnikal meating), yang dilakukan dua minggu sebelum kompetisi dilakukan: 1. Wajib dihadiri oleh setiap peserta. 2. Setiap tim mengirim dua orang anggota tim-nya untuk hadir dalam pertemuan teknis. 3. Pertemuan teknis akan dilakukan satu minggu sebelum pertandingan. 4. Wakil dari setiap tim wajib hadir 15 menit sebelum dimulainnya pertemuan teknis. f. Pertemuan Teknis (technical meeting) Hal-hal yang dilakukan dalam pertemuan teknis itu adalah: a. Para peserta diundang untuk diberikan penjelasan yang menyangkut teknis penyelenggaraan Kompetisi Moot Court seperti aturan main dan tata cara penyelenggaraan. b. Memantau sampai sejauh mana peserta telah menyiapkan berkas. c. Mengemukakan berbagai informasi penting yang ditanyakan oleh para peserta. Dalam pertemuan teknis itu juga dijelaskan mengenai batas waktu akhir (deadline) penyerahan berkas, yaitu selambat-lambatnya seminggu sebelum kompetisi diadakan. Berkas yang telah dikumpulkan kepada penyelenggara akan diserahkan kepada Juri Berkas untuk dinilai.
KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
13
g. Sistem kompetisi Kompetisi ini akan terdiri dari dua babak yaitu: (1) Babak Penyisihan: a. Akan diikuti oleh seluruh peserta Kompetisi Moot Court b. Seluruh tim akan dinilai oleh Dewan Juri berdasarkan sistem penilaian yang telah ditetapkan panitia. c. Hanya tiga kelompok peserta yang akan dinyatakan layak untuk mengikuti babak final berdasarkan penilaian Dewan Juri. (2) Babak Final: a. Akan diikuti oleh peserta yang dalam Babak Penyisihan dinyatakan oleh Dewan Juri sebagai peserta yang layak untuk mengikuti Babak Final. b. Tim yang menjadi juara akan ditetapkan oleh Dewan Juri berdasarkan akumulasi nilai tertinggi diantara peserta Babak Final h. acara
Waktu
Program
Hari I
Babak Pentisihan
Hari II
Babak Pentisihan
Hari III
Babak final
Capaian
Kegiatan
Peserta
Pementasan Moot Court
Kelompok peserta, yang masing-masing terdiri dari 15 orang mahasiswa
Mendapatkan kelompok finalis
Pementasan Moot Court
Kelompok peserta, yang masing-masing terdiri dari 15 orang mahasiswa
Mendapatkan juara I, II, dan III
Pementasan Moot Court
3 kelompok peserta, yang dinyatakan layak oleh dewan juri, untuk mengikuti babak final
i. Tata Tertib Kompetisi10 1. Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat 2. Peserta wajib menginguti ketentuan kompetisi yang telah dibuat oleh panitia. 3. Peserta wajib hadir dalam Ruang Sidang yang menjadi tempat kompetisi, yaitu 15 menit sebelum kompetisi dimulai 4. Peserta wajib menggunakan pakaian yang rapih dan sopan 5. Penampilan peran Moot Court akan dimulai pada saat bendera Hijau diangkat oleh panitia. 6. Panitia akan mengangkat bendera kuning pada lima menit sebelum berakhirnya batas waktu maksimal yang telah ditetapkan. 7. Panitia akan membacakan waktu yang dihabiskan peserta Moot Court 8. Waktu yang dihabiskan peserta akan menjadi bagian penilaian sebagaimana rentang waktu yang telah ditetapkan oleh panitia, yaitu: nilai untuk tepat waktu adalah 100, nilai untuk tidak tepat adalah 75, dan nilai untuk sangat tidak tepat waktu adalah 50.
10
ibid
14
KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
Diskualifikasi: Pelenggaran terhadap tata tertib diatas dapat didiskualifikasi. j. Melakukan Evaluasi Setelah kompetisi usai, penyelenggara akan melakukan evaluasi berdasarkan panduan ini, untuk dapat menemukan hal-hal yang dapat menjadi pembelajaran perbaikan dimasa akan datang (lesson learned) dari kegiatan ini. k. Membuat Prosiding Prosiding kegiatan akan dibuat oleh penyelenggara, termasuk notulensi dan dokumentasi. 5. Sistem Penilaian Karena sifatnya yang khas, sistem penilaian dalam kompetisi Moot Court berperspektif keadilan gender ini juga berbeda dengan Kompetisi Moot Court pada umumnya. Argumentasi yang menunjukan adannya “keberpihakan” terhadap perempuan korban yang tidak mendapatkan akses kepada keadilan, dan ditempatkan pada posisi yang dirugikan dalam sistem hukum, menjadi sangat dipentingkan. Keahlian dalam upaya menghasilkan temuan-temuan hukum baru dan berbagai terobosan dalam penanganan perkara sudah seharusnya mendapat nilai yang baik. Kemampuan untuk berargumentasi secara tertulis maupun lisan di persidangan seharusnya mendapatkan penilaian yang baik. Dalam setiap babak, masing-masing kelompok akan dinilai oleh Dewan Juri yang telah ditetapkan oleh panitia, sedapat mungkin meliputi unsur institusi penegak hukum (hakim, jaksa, pengacara, dan polisi) dosen yang dianggap memilik perspektif keadilan gender atau perspektif perempuan, atau aktivis perempuan. Kriteria penilain adalah: 1.
Penilaian terhadap Berkas: 25% Pada umumnya penilaian terhadap berkas ini adalah penilai terhadap persiapan dan pengorganisasian, termasuk penelitian yang dilakukan untuk dapat menghasilkan penyusunan yang baik. Kelengkapan berkas meliputi Berita Acara Persidangan, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana, Pembelaan, dan Putusan. Berkas perkara diserahkan tujuh hari sebelum kompetisi, pelanggaran ini akan berakibat kepada hilangnya berkas kelompok yang bersangkutan.
Penilaian terhadap berkas meliputi: a. Mengidentifikasi posisi dari korban, statement of issues, pengetahuan hukum dan pencantuman yang efektif dari aliran pemikiran atau pandangan pakar hukum yang digunakan, prinsipprinsip hukum bagi perkara yang ditangani, dan penulisan daftar pustaka yang tepat. b. Adannya penemuan hukum, khususnya yang berperspektif keadilan gender atau yang memberi perhatian kepada perempuan korban kekerasan. c. Argumentasi yang secara substansial memberi perlindungan kepada perempuan korban (berperspektif korban/ perempuan) yang tergambar dalam Surat Dakwaan Tuntutan Pidana, Pembelaan dan Putusan. Catatan: dalam hal ini diasumsikan bahwa apa yang tertulis dalam berkas adalah rumusan pemikiran bersama di antara para mahasiswa peserta Moot Court, dosen pembimbing, dan kemungkinan adannya masukan dari para ahli hukum dan para prktisi Fakultas Hukum se-
tempat atau tempat lain.
KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
15
2. Penerapan Hukum Acara dalam Persidangan: 20%
Penerapan Hukum Acara yang tidak saja didasarkan pada KUHAP tetapi juga HIR, UU Pengadilan Anak, UU Pengadilan HAM, atau kebiasaan-kebiasaan internasioanl atau nasional yang memberi peluang keadilan kepda korban. Dalam hal ini diperhatikan juga digunakannya analisis hukun dan analisis fakta.
3. Penemuan Hukum yang Berkeadilan Gender dalam Persidangan: 40% a. Penerapan pasal-pasal yang memperhitungkan rasa keadilan korban b. Argumentasi yang mempertimbangkan rasa keadilan korban c. Pemilihan saksi yang tepat, dipandang dari sudut keadilan bagi korban d. Pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada saksi, yang memperhitungkan rasa keadilan korban e. Sikap aparat penegak hukum, terutama ketika berinteraksi dengan korban, apakah mempertimbangkan aspek psikologis korban f. Apakah ada pendamping untuk korban (khususnya dalam kasus kesusilaan, dimana kehadiran pendamping sangat penting, karena dalam banyak kasus emipirik ditunjukan bahwa Jaksa tidak mewakili kepentingan korban. Pendamping dalam hal ini adalah pengacara, psikolog, atau pekerja sosial) g. Peka terhadap argumentasi dipersidangan yang menyudutkan korban dan melakukan couter terhadap pertanyaan-pertanyaan yang merugikan korban yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa. h. Putusan yang diajukan berkeadilan gender (berperspektif perempuan) 4. Penampilan dalam role playing: 10% Kejelasan presentasi kasus yang tercermin dalam ekspresi, gerak gerik, suara, apakah menampilkan tokoh-tokoh yang tepat, apakah terdapat interupsi yang tidak perlu dalam proses sidang, apakah menciptakan keakraban dan humor dalam persidangan. 5. Ketepatan Waktu: 5% Apakah peserta menempati waktu yang telah ditetapkan untuk dapat memainkan peran. Catatan: Dissenting Opinion Bila ada di antara Mejelis Hakim yang memiliki pendapat berbeda, dimungkinkan untuk membuat Dissenting Opinion Ketentuan Diskualifikasi Diskualifikas adalah suatu keputusan dari panitia bahwa peserta tidak dapat mengikuti Kompetisi Moot Court. Diskualifikasi akan dilakukan oleh panitia apabila pelanggaran yang dilakukan peserta terjadi bukan atas kesalahan panitia.
16
KOMPETISI MOOT COURT BERPERSPEKTIF KEADILAN GENDER
Lampiran 1. Contoh Score Sheet dari The Indiana University Scholl of Law dalam Intramural Moot Court Competition, suatu Kompetisi Moot Court yang umum. Sample Intramural Competition Score Sheet Here is a sample summary score sheet ( Similar to the ones judges in the intramural competition will complete ). Indiana University Scholl of Law-Indianapolis Moot Court Society Intramural Moot Court Score Sheet Competitor Judge Circle one: Petitioner Respodent Circle one: Issue 1 Issue 2
CATEGORY
FACTORS (Illustrative, not Comprehenshive)
Research, Preparation, and Identifying Self and Co-Counsel, Identifiying Client and Client’s Position, Statement of Issues, “Road Map”, Prayer Organization for Relief, Knowledge of Record, Effective Citation to 25% of total score Authority Grasp of Legal Principles at Issue, Appropriate Amount of Reference to Notes Answering Questions
Responsiveness, Ability to Think on Feet, Flexibility, Creativity, Listening, Not Interrupting Bench, Candor About Ignorance, Necessary Concessions, Ability to Weave Questions into Argument, Engaging Entire Bench, Welcoming of Question, Using Questions to Advantage, Transition Following Response
Persuasiveness, Regardless Use of Facts Legally Emotionally, Persuasive Context, Use of Policy, Effectiveness of Rebuttal, Sense of Convicof Merits tion, Advocacy Tone
30% of total score 20 of total score
Forensic Performance
Eye Contact, Unnecessary Reading, Effektive Use of Notes, Clarity of Presentation, Issue Transition, Proper and Effektive Case Citation, Effektive Use of Time Deference Toward Bench, Argumentative vs. Informative Attitude, Nervousness, Gestures, Mannerisms, Postures, Impression, Voice, Audibility, Tone, Rate of Speech, Pronunciation, Grammar
10% of total score
Judge’s Intuition
Presence and Potential, Overall Impression
5% of total score
LAMPIRAN 1
17
Lampiran 2: Table Penilaian Juri Kompetisi Moor Court Berperspektif Keadilan Gender Kompetisi Moot Court Berperspektif Keadilan Gender Tanggal : Penampilan ke : Waktu dimulai* : Waktu selesai* : Juri : Ketua : 1. 2. No
Kriteria penilaian
Nilai (Skala 100)
Bobot
1
Berkas
25 %
2
Persidangan:
20 %
Hukum Acara dan penerapannya 3
Persidangan:
40 %
Penemuan hukum berkeadilan gender 5
Representasi kasus melalui penampilan dan acting
10 %
6
Ketepatan waktu
5%
Total
100 %
Catatan : *diisi oleh panitia 11
Lampiran 3 : Instrument Hukum
18
LAMPIRAN 2
Jumlah
Keterangan
Lampiran 3 11: Instrumen Hukum Instrumen Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Pasal yang Mendasari Kompetisi Moot Court Pasal 2 Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan yang lain. Pasal 5 Tidak seorang pun boleh dikenai penganiayaan atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pasal 6. Setiap orang berhak atas pengakuan yang sama sebagai seorang manusia di muka hukum dimana pun ia berada Pasal 8. Semua orang berhak atas ganti rugi yang efektif dari sidang pengadilan nasional yang kompeten yang dijamin oleh konstitusi atau hukum yang dikenakan pada tindakan-tindakan yang melangar hak asasi manusia. Pasal 9. Tidak seorang pun boleh dikenai penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang. Pasal 11 ayat (2) Tak seorang pun dapat dianggap bersalah melakukan suatu pelanggaran pidana berdasarkan suatu tindakan atau kelalaian yang tidak tergolong pelanggaran pidana, menurut hukum nasional atau internasional, pada saat ia melakukannya. Juga tidak boleh dijatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang dapat dijatuhkan pada saat pelanggaran pidana tersebut dilakukan.
Deklarasi Anti Semua pasal Kekerasan terhadap Perempuan International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR)
11
Pasal 2 ayat (3) Negara Peserta Konvenan juga Berjanji untuk: a). Menjamin setiap orang yang haknya diakui dalam konvenan ini mendapatkan pemulihan yang efektif apabila terjadi pelanggaran atas haknya tersebut, walaupun pelanggaran itu dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi. b). Menjamin bahwa setiap orang tersebut berhak menuntut upaya pemulihan atas haknya dalam suatu lembaga peradilan, administratif atau legislatif atau lembaga berwenang lainnya. c). Menjamin lembaga tersebut akan melaksanakan penyelesaian.
LBH-APIK Jakarta dan MAPPI FH UI, Panduan Pemantauan Peradilan, 2004
LAMPIRAN 3
19
Pasal 3. Negara Peserta Konvenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari lakilaki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Konvenan ini.
Pasal 9 1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan kemauan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. 2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus sesegara mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya. 3) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberikan kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. 4) Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum. 5) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus dilaksanakannya.
Pasal 14
1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan pengadilan dan badan peradilan lainnya. Dalam penentuan tuduhan kejahatan terhadapanya, atau penentuan tentang hak dan kewajiban dalam suatu gugatan hukum, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak memihak, yang ditetapkan hukum. Media dan khalayak ramai dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat demokratis, atau apabila dituntut oleh kepentingan kehidupan pribadi pihak yang bersangkutan atau apabilan benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang dijatuhkan dalam kasus pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bila kepentingtan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak. 2) Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
20
LAMPIRAN 3
3) Dalam penentuan tuduhan atas kejahatan terhadap dirinnya, setiap orang berhak kesetaraan penuh atas jaminan-jaminan minimal di bawah ini, yakni (a) Diberitahu secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengerti tentang sifat dan alasan tuduhan yang diajukan terhadapnnya; (b) Diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan pembelaannya dan untuk menghubungi pengacara yang dipilihnya sendiri; (c) Diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) Diadili dengan kehadirannya, dan membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri; diberitahu akan hak ini jika ia tidak mempunyai pembela; diberikan pembela demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membayarnya; (e) Memeriksa atau meminta agar diperiksanya saksi-saksi yang memberatkan, dan meminta untuk dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankan dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi yang memberatkan . (f) Mendapatkan bantuan cuma-cuma dari seorang penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dengan bahasa yang digunakan dalam pengadilan; (g) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri ataupun mengaku bersalah. 4). Dalam kasus anak dibawah umur, prosedurnya harus sedemikian rupa sehingga mempertimbangkan usia dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. 5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak meminta peninjauan kembali atas keputusan dan hukumannyaoleh suatu badan peradilan yang lebih tinggi menurut hukum. 6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap ternyata kemudian diputuskan sebaliknya atau diberi ampun atas dasar suatu fakta baru atau fakta yang barusaja ditemukan yang menunjukan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan, maka orang yang menderita hukuman sebagai akibat keputusan tersebut harus diberi kompensasi menurut hukum. Kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta tersebut itu sepenuhnya atau sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. 7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali karena suatu tindak kejahatan yang pernah dilakukan, apabila ia untuk tindak kejahatan yang sama telah dihukum atau dibebaskan sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana masing-masing Negara.
LAMPIRAN 3
21
Pasal 15 1) Tidak seorang pun dapat ditangkap bersalah melakukan tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik menurut hukum nasional maupun hukum internsional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada ketentuan yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Jika setelah suatu kejahatan dilakukan kemudian muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, pelaku pelanggaran harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan ini. 2) Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang dapat menunda persidangan dan hukuman terhadap seorang karena tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan, yang pada saat tindakan itu dilakukan masih merupakan suatu kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 16
Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai pribadi di depan hukum dimana pun ia berada. Konvensi mengenai Pada prinsipnya, semua pasal dalam CEDAW menjadi instrumen dapat digunakan untuk Penghapusan Segala melakukan pemantauan dan analisa kasus kekerasan terhadap perempuan, namun ada Bentuk Diskriminasi beberapa pasal yang mendasari Konvensi ini. terhadap Perempuan (CEDAW)
Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 2 Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditundatunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap peempuan, dan untuk tujuan ini berusaha: a) Memasukan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang-undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila belum dimasukan ke dalamnnya, dan untuk menjamin realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat. b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan dimana perlu termsuk saksi-saksi, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan. c) Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya;
22
LAMPIRAN 3
d) Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini; e) Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi, atau lembaga apapun; f) Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasukk upaya legislatif, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebijakankebijakan dan praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan; g) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan CRC (Convention on the Right of The Child) Konvensi Hak Anak
Pasal 12 1. Negara-negara Peserta harus menjamin bahwa anak-anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri, mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak-anak tersebut, dan pendapat anak-anak dipertimbangkan sesuai dnegan usia dan kematangan mereka. 2. Untuk tujuan ini anak tersebut secara khusus diberi kesempatan untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan administratif yang mempengaruhi dirinya, baik secara langsung maupun melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dengan cara yangs sesuai dengan hukum acara nasional.
Pasal 40
1. Negara-negara Peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan perasaan anak akan martabat dan harga dirinnya, yang memperkuat penghargaan anak pada Hak-hak Asasi Manusia dan kebebesannya dasar orang lain, dan yang mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk meningkatkan reintegritasi anak dan menciptakan anak yang berperan konstruktif dalam masyarakat. 2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-Negara Pihak, terutama, harus menjami bahwa: a) Tak seorang anak pun dapat disangka dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat tindakan itu dilakukan; b) Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan-jaminan sebagai berikut: (i) Untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya menurut hukum; (ii) Untuk secepatnya dan secara langsung diberi tahu mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan jika dipandang layak, melalui orangtua atau wali anak yang sah, dan untuk memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain dalam mempersiapkan dan mengajukan pembelaannya.
LAMPIRAN 3
23
(iii) Untuk memperoleh keputusan atas masalah tersebut tanpa ditunda-tunda oleh pejabat atau lembaga peradilan yang berwenang, independen, dan tidak memihak dalam suatu pemeriksaan yang adil sesuai dengan hukum, dengan kehadiran penasihat hukum atau bantuan lain yang layak, kecuali jika dianggap hal itu bukan untuk kepentingan terbaik si anak, khususnya dengan memperhatikan usia atau situasi anak, orangtua dan wali hukumnya yang sah; (iv) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi-saksi yang memberatkan, dan untuk memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan dalam kondisi kesetaraan; (v) Jika dianggap telah melanggar hukum pidana, anak berhak agar keputusan dan setiap tindakan yang dikenakans sebagai akibatnya ditinjau kembali oleh pejabat yang lebih tinggi yang berwenang, independen, dan tidak memihak atau oleh badan peradilan sesuai dengan hukum yang berlaku; (vi) Untuk memperoleh bantuan secara cuma-cuma dari seorang penerjemah apabila anak tidak dapat memahami atau tidak dapat berbicara dala bahasa yang digunakana; (vii)Untuk dihormati sepenuhnya kehidupan pribadinnya dalam semua tahap proses pengadilan. 3. Negara- Negara Peserta harus berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana, dan khususnya; a) Menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia dibawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; b) Bila mana layak dan diinginkan melakukan langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa Hak-Hak Asasi Manusi dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati; 4. Berbagai penyelesaian perkara seperti pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan; pemberian nasihat, masa percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidian dan pelatihan kejuruan, dan alternatifalternatif lain diluar memasukan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan guna menjamin anak-anak ditangani dengan cara yang layak bagi kesejahteraan mereka, dan sebanding baik dengan keadaan mereka, maupun dengan pelanggaran yang dilakukan.
24
LAMPIRAN 3
United Nation Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile Justice/ Peraturan Standar Minumum PBB untuk Administrasi Peradilan Anak Resolusi Majelis Umum 40/33 tanggal 29 November 1985.
Semua pasal Prinsip dasar (terjemahan bebas dari penyusun): i. ii. iii. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X.
Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Perlakuan adil dan manusiawi pada anak yang berkonflik dengan hukum Pengalihan dari persidangan formal ke program komunitas yang layak dimana persetujuan anak tersebut diutamakan Ketika pengalihan dianggap tidak layak, penahanan terhadap anak harus menjadi upaya terakhir, dalam waktu sesingkat mungkin dan dipisahkan dari tahanan dewasa Pemrosesan perkara dalam tingkat apapun harus dilakukan untuk kepentingan terbaik dari anak tersebut dan dalam hal dimana ia diizinkan untuk berpartisipasi dan mengekspresikan diri secara bebas. Perampasan kemerdekaan baru dapat dilakukan setelah dipertimbangkan secara hati-hati untuk periode yang minimum dan hanya untuk pelanggaran serius Pidana mati dan pemidanaan terhadap tubuh harus diabolisi untuk kejahatan apapun. Institusionalisasi terhadap anak hanya dapat dilakukan setelah mempertimbangkan ukuran-ukuran disposisi alternatif Petugas kepolisian dan orang-orang yang menangani kasus anak harus mendapatkan pelatihan khusus yang berkelanjutan. Setelah menjalani perlakuan institusional, pelayan pendidikan yang layak harus tersedia bagi anak sekembalinnya ia ke masyarakat. Pembebasan harus dipertimbangkan saat penangkapan dan kejadian terdekat setelahnya
Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Resolusi Majelis Umum 40/34 tertanggal 29 November 1985) A. Korban Kejahatan Angka 1 Korban berarti orang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita
tertanggal 29
kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di Negara-negara anggota termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan wewenang yang dapat dikenai sanksi pidana.
November 1985)
Angka 2
(Resolusi Majelis Umum 40/34
Seseorang dapat dianggap sebagai korban melalui deklarasi ini tanpa menghiraukan apakah pelaku kejahatannya dikenali, ditahan, diajukan ke pengadilan atau dihukum tanpa menghiraukan hubungan kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah “korban” apabila sesuai juga termasuk pada orang-orang yang termasuk keluarga dekat atau orang-orang yang secara langsung menderita kerugian apabila ikut memberikan bantuan pada korban.
LAMPIRAN 3
25
Kesempatan memperoleh keadilan dan perlakuan adil Angka 4 Korban harus diperlakukan dengan rasa kasih dan dihormati martabatnya. Korban berhak mendapat kesempatan untuk menggunakan mekanisme keadilan dan memperoleh ganti rugi dengan segera, sebagaimana ditetapkan oleh perundang-undangan nasional atas kerugian yang dideritanya.
Angka 5 Mekanisme pengadilan dan administrasi ditegakkan dan diperkuat dimana perlu untuk memungkinkan korban untuk memperoleh ganti rugi melalui prosedur formal atau informal yang tepat guan, adil dan tidak mahal serta terjangkau. Korban harus diberitahu mengenai hak-haknya dalam mengupayakan ganti rugi lewat mekanisme tersebut.
Angka 6 Kesediaan proses pengadilan dan administrative dalam rangka memenuhi korban harus dipermudah dengan: a. Memberikan informasi pada korban mengenai peran dan lingkupnya, perkembangan kasusnya, terutama apabila menyangkut kejahatan yang serius b. Memberikan peluang untuk dikemukakannya pandangan serta kekuatiran korban pada tahapan yang tepat c. Memberikan bantuan secukupanya kepada para korban selama proses hukuman dijalankan d. Mengambil tindakan untuk mengurangi ganguan terhadap korban, melindungi kebebasan pribadinnya, apabila perlu mejamin keselamatannya mapun keselamatan keluarganya dan saksi-saksi yang memberikan kesaksian, dari tindakan intimidasi balasan. e. Menghindari penundaan yang tidak perlu dalam penempatan kasusnya, serta pelaksanaan perintah atau keputusan pemberian ganti rugi kepada para korban
Angka 7.
Mekanisme informal untuk penyelesaian perselisihan termasuk perantaraan arbitrase dan pengadilan adat atau kebiasaan-kebiasaan pribumi harus digunakan apabila tepat untuk memudahkan perujukan dan pemberian ganti rugi kepada para korban. Restitusi
Angka 8. Pelaku atau pihak ketiga yang bertangung jawab harus memberikan retitusi yang adil kepada korban, keluarga atau tanggungannya. Restitusi itu mencakup pengembalian harta milik/pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul dengan jatuhnya korban, penyediaan jasa dan pemulihan hak.
Angka 9. Pemerintah harus meninjau kembali kebiasaan atau peraturan dan undang-undang untuk mempertimbangkan restitusi sebagai suatu pilihan hukum dalam kasus-kasus pidana disamping saksi pidana lainnya.
26
LAMPIRAN 3
Angka 11 Apabila pejabat pemerintahan atau wakil-wakil lain yang bertindak untuk kapasitas resmi atau setengah resmi melanggar hukum pidana nasional, para korban harus menerima restitusi dari Negara atau wakilnya yang bertanggung jawab atas kerusakan yang timbul.
Imbalan Angka 12 Apabila imbalan tidak sepenuhnya tersedia dari pelaku atau sumber-sumber lain, Negara harus berusaha member imbalan keungan kepada: a. Para korban yang menderita luka jasmani berat atau kemerosotan kesehatan fisiknya atau mental sebagai akibat kejahatan yang serius. b. Keluarga, terutama tanggungan dari orang yang meningggal atau menjadi lumpuh secara fisik atau mental sebagai akibat kejahatan tersebut.
Bantuan/ Kompensasi Angka 14. Para korban harus menerima bantuan material, media psikologis dan social yang perlu lewat sarana pemerintah, sarana-sarana sukarela.
Angka 15 Para korban harus diberitahu tersediannya pelayanan kesehatan dan social yang perlu lewat sarana pemerintah sarana-sarana sukarela.
Angka 16 Anggota polisi, pengadilan, kesehatan, pelayanan social, dan personil lain yang terkait harus mendapatkan pelatihan agar peka terhadap kebutuhan korban dan dapat memberikan bantuan dengan tepat dan segera
Angka 17 Dalam memberikan pelayanan dan bantuan kepada korban, perhatian harus diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kebutuhan khusus berdasarkan kerugian yang ditimbulkan atau karena faktor-faktor yang disebutkan dalam ayat di atas. Kode etik untuk Aparatur Penegak Hukum Resolusi Majelis Umum 34/169 tanggal 17 Desember 1979
Pasal 2 Dalam melaksanakan tugasnya, aparatur penegak hukum akan menghormati dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dari semua orang.
Pasal 4 Persoalan-persoalan yang bersifat rahasia dalam aparatur penegak hukum harus tetap dirahasiakan dalam penguasaan aparatur penegak hukum, kecuali kalau pelaksanan tugas atau kebutuhan akan keadilan sangat membutuhkan sebaliknya.
LAMPIRAN 3
27
Pasal 5 Aparatur hukum tidak boleh melakukan, menghasut, atau mentolerir setiap tindakan penyiksaan atau perlakuan hukum lain yang kejam, tidak menusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Pasal 7 Penegak hukum harus tidak melakukan suatu tindakan korupsi, mereka juga harus dengan keras melawan dan memerangi semua tindakan semacam itu. Prinsip Dasar Kewajiban dan tanggung jawab pengacara peranan Pengacara i. Semua orang berhak untuk meminta bantuan seorang pengacara mengenai pilihan Disahkanoleh Kengres mereka untuk melindungi dan menetapkan hak-hak mereka pada semua PBB ke-8, 27 Agustus-7 tahapan proses pengadilan pidana. September 1990. ii. Para pengacara dalam melindungi hak klien-klien mereka dan dalam memajukan kepentingan keadilan, akan berusaha untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internsioanl dan setiap saat akan bertindak bebas dan tekun sesuai dengan hukum dan standard serta etika profesi hukum yang diakui.
Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa para pengacara
a. Dapat melaksanakan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, hambatan, gangguan, atau campur tangan yang tidak selayaknya. b. Dapat berpergian dan berkonsultasi dengan klien mereka secara bebas di negara mereka sendiri dan di luar Negara. c. Tidak akan mengalami, atau diancam dengan penuntutan atau saksi administratif, ekonomi, atau lainnya untuk setiap tindakan yang diambil sesuai dengan kewajiban, standard dan etika profesi. Pedoman tentang Peranan dalam proses pengadilan pidana Peranan Para Jaksa 1. Para jaksa harus menjalankan suatu peran aktif dalam proses persidangan Disahkan oleh pidana, termasuk lembaga kejaksaan, dan apabila diberi wewenang oleh Kongres PBB ke-8, hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, dalam menyelidiki kejahatan, 27 Agustuspengawasan atau legalitas dari penyelidikan ini, penyelidikan atas pelaksanaan keputusan pengadilan serta pelaksanaan fungsi-fungsi lain sebagai wakil dari 7 September 1990 kepentingan umum. 2. Para jaksa sesuai dengan hukum, akan melaksanakan kewajiban mereka secara jujur konsisten dan cepat dan menghormati serta melindungi mertabat kemanusiaan dan menjunjung tinggi hak asasi mansuia, dan dengan demikian memastikan proses dengan semestinya dan berfungsinya system peradilan pidana dengan lancar. 3. Dalam melaksanakan tugasnya, para jaksa akan: a. Melakukan fungsi-fungsi mereka tanpa memihak dan menghindari segala macam bentuk diskriminasi politik, sosial, agama, ras, budaya, jenis kelamin atau jenis-jenis diskriminasi lainnya; b. Melindungi kepentingan umum, bertindak dengan objektif, memperhitungkan dengan seksama posisi dari tertuduh dan korban, dan menaruh perhatian pada semua keadaan terkait tanpa memandang apakah keadaan itu menguntungkan atau merugikan orang yang tertuduh;
28
LAMPIRAN 3
c. Menjaga hal-hal yang mereka kuasi sebagai rahasia, kecuali kalau pelaksanaan kewajiban atau kebutuhan akan keadilan masyarakat sebaliknya; d. Mempertimbangkan pandangan dan kekuatiran korban ketika kepentingan pribadi mereka tertekan, dan memastikan bahwa para korban mendapat informasi mengenai hak-hak mereka sesuai dengan Deklarasi mengenai Keadilan untuk Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan. 19……..dalam rangka penuntutan terhadap seoorang anak, maak pertimbangan khusus harus diberikan kepada sifat dan beratnya pelanggaran, perlindungan terhadap masyarakat dan pribadi serta latar belakang dari anak tersebut. Para jaksa khususnya harus mempertimbangkan alternatif yang tersedia terhadap penuntutan berdasarkan undang-undang dan prosedur pengadilan anak yang terkait. Para jaksa akan menggunakan usaha-usaha terbaiknya untuk mengambil tindakan penuntutan terhadap anak-anak sejauh bahwa hal tersebut sangat perlu.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Bagian Keempat Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17 Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18 1.
2. 3.
Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahanya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perudang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adannya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bagian Kesembilan Hak Wanita Pasal 45 Hak wanita dalam undnag-undang ini adalah hak asasi manusia.
LAMPIRAN 3
29
Bab V Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 71 Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menengakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undnag-undang ini, peraturan perundangundangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusi yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.
Pasal 72 Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan, keamanan negara, dan bidang lain.
Bab VIII. Partisipasi Masyarakat
Pasal 100 Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101. Setiap orang kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinnya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas Ham atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan penegakan, dan kemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102 Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lainnya.
Pasal 103 Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri, maupun bekerjasama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi, mengenai hak asasi manusia.
30
LAMPIRAN 3
SEMA No. 1/2000 tentang Pemidanaan agar Sesuai dengan Berat dan Sifat Kejahatannya
Paragraph 2: ……terhadap tindak pidana antara lain ekonomi, korupsi, narkoba, perkosaan, pelanggaran HAM berat, lingkungan hidup, Mahkamah Agung, mengharapkan Supaya Pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-gungguh setimpal dengan beratnya dan sifatnya tindak pidana tersebut dan jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan didalam masyarakat.
Surat Edaran Jaksa Materi undang-undnag No, 8 tahun 1981 lebih memberikan perlindungan pada pelaku Agung Muda kejahatan baik dalam status tersangka, terdakwa ataupun narapidana. Perlindungan yang diberikan terhadap korban kejahatan diatur dalam Pasal 98 ayat (1) dan (2) KUHAP. Tindak Pidana Umum No. B-63/E/2/1994 tanggal 4 Februari 1994 tentang
Dalam penjelasan pasal tersebut pengertian “kerugian bagi orang lain adalah termasuk kerugian pihak korban. Dalam berpedomana pada asas keseimbangan dalam perlakuan terhadap para pencari keadilan maka perlu diperhatikan: a.
Perlindungan Korban Kejahatan b. c. d.
Agar (pihak kejaksaan) memanfaatkan pasal 98 KUHAP dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban kejahatan dengan berusaha menggabungkan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban kejahatan dalam perkara pidanannya. Kepada korban kejahatan atau keluargannya sejak dini diberikan informasi mengenai haknya untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelaku kejahatan. Dilakukan pendekatan kepada hakim agar diperoleh persepsi yang sama Ditempuh usaha lain yang pada prinsipnya dapat membantu korban kejahatan yang diharapkan dapat berdampak positif pada meningkatnya peran serta msyarakat (khususnya korban kekerasan) dalam proses penegakan hukum misalnya terdorong untuk melaporkan tindak pidana yang terjadi atau berperan serta mencegah terjadinnya kejahatan
SEJAMPIDUM No. Paragraph 1: B-409/ES/8/1996 …………. Hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana kekerasan dan tentang perampokan perkosaan terhadap wanita msih sangat ringan, bersama ini diminta perhatian Saudara disertai perkosaan supaya memberikan petunjuk kepada Kajari dan Kacabjari agar menuntut hukuman yang tinggi danmemenuhi rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat terhadap setiap pelakuk kekeasan dan pekosaan terhadap wanita. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pada prinsipnya semua pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini dapat digunakan sebagai dasar dalammelakukan pemantauan peradilan, namun kami mencoba mengambil beberapa pasal yang terkait langsung dengan anak dan hukum, antara lain: Pasal 16 1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
LAMPIRAN 3
31
Pasal 17 1)
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. 2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiskan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Bagian Kelima, Pelindungan Khusus Pasal 59.
Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dnegan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi/seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan jat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik/ atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakukan salah dan penelantaran.
Pasal 64. 1)
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. 2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui; a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hakhak anak; b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. Penjatuhan sangsi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatattan terus-menerus kepada anak yang berhadapa dengan hukum; f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
32
LAMPIRAN 3
3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga. maupun diluar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberitaan melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik mental maupun sosial; d. Pemberian aksesbilitasi untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. UU No. 3 Tahun Semua pasal 1997 tentang Peradilan Anak.
LAMPIRAN 3
33
DAFTAR ACUAN TERBATAS
1. http://www.iulaw.indy.indianan.edu/career/csdir.htm 2. http:/ www/elmc.org/EuropeanMC 3.
[email protected] 4. http:/www.bnef.org/events/lefkowtiz.html 5. LBH-APIK Jakarta dan MaPPI FK UI, Panduan Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, draf, 2004.
34
LAMPIRAN 3