Risiko Ancaman Penyakit Berpotensi KLB/Wabah/ Pandemi April 2015
Kami sampaikan Analisis Risiko Ancaman Penyakit Berpotensi KLB/Wabah/ Pandemi, sebagai dasar langkah kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan. Informasi ini akan disampaikan sekali dalam sebulan, meliputi informasi situasi global/ nasional dan rekomendasi kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan atas penyakit: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penyakit Virus Ebola Penyakit Mers-Cov H5N1 H7N9 Polio Difteri Demam kuning (Yellow Fever) dan Meningitis Meningokokus.
1. Penyakit Virus Ebola (PVE) - PVE muncul pertama kali tahun 1976 di dua tempat yaitu Nzara (Sudan) dan Yambuku (DR.Congo) - Kemudian menyebar ke Afrika Selatan, Congo, Cote d’Ivoire, Zimbabwe, Uganda, Kenya, Angola, Gabon, Nigeria, Mali, Liberia, Sierra Leone, Guinea dan Senegal, termasuk Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat. - Jumlah kasus yang dilaporkan sejak merebaknya KLB tahun 2014 hingga saat ini (minggu ke 14 tahun 2015) sebanyak 25.550 kasus dengan 10.587 kematian. (WHO, 8 April 2015) - Negara yang sampai sekarang masih intensif penularannya adalah Guinea (3.515 kasus, 2.333 kematian), Liberia (9.862 kasus, 4.408 kematian) dan Sierra Leone (12.138 kasus, 3.831 kematian). - Kasus PVE menyerang pada semua umur. Di Siera Leone, Guinea dan Liberia terbanyak menyerang pada usia produktif (15-44 tahun), berkisar 32%-55%. - Kelompok yang berisiko tinggi tertular PVE yaitu tenaga medis, tenaga laboratorium, tenaga kesehatan lapangan, petugas pemakaman, dan petugas kebersihan rumah sakit, - Faktor risiko penularan dimungkinkan melalui kontak langsung dengan cairan tubuh, jaringan tubuh yang terluka dari manusia atau hewan yang terinfeksi. - Tipe Virus Ebola yang terdeteksi ada 5 yaitu: Bundibagyo, Reston, Tai Forest, Sudan, dan Zaire. Tipe Bundibagyo, Sudan dan Zaire merupakan tipe yang pada 2014 ini menimbulkan KLB di Afrika Barat. Sedangkan pada tipe Reston sampai saat ini belum diketahui dapat menimbulkan infeksi pada manusia artinya hanya menimbulkan infeksi pada hewan. - Sampai saat ini belum terdapat kasus konfirmasi PVE di Indonesia. Jumlah kasus supek PVE berjumlah 5 orang berasal dari Jatim (2), Sumut (1), Jateng (1), WNA berasal dari Ghana (1). Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil negative PVE. - Indonesia memiliki risiko tertular karena adanya pelaku perjalanan dari dan ke negara terjangkit, walaupun tidak ada penerbangan langsung dari dan ke Negara terjangkit. - Hasil penilaian yang dilakukan WHO terhadap kesiapsiagaan Indonesia menghadapi PVE menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kesiapan yang cukup baik (perencanaan
manajemen risiko kedaruratan, pelaksanaan penilaian risiko, koordinasi, surveilans, laboratorium, tim gerak cepat dan investigasi, pencegahan dan pengendalian infeksi, komunikasi dan surveilans di pintu masuk) Kesimpulan: -
Indonesia masih memiliki risiko tertular PVE dari negara lain Kesiapsiagaan perlu terus dilakukan Kewaspadaan dini perlu terus ditingkatkan.
Rekomendasi: - Pelaksanaan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini dapat dilakukan dengan merujuk pada pedoman kesiapsiagaan menghadapi penyakit virus Ebola yang telah tersedia di website infopenyakit.org - Bentuk kesiapsiagaan meliputi : a. Peningkatan kapasitas rumah sakit rujukan regional dan rujukan nasional untuk dapat melakukan tatalaksana kasus PVE sesuai standar b. Peningkatan kapasitas laboratorium untuk penegakan diagnosa PVE. Saat ini Laboratorium Balitbangkes merupakan satu-satunya laboratorium yang memiliki kemampuan tersebut c. Optimalisasi fungsi Posko termasuk operasional (penyediaan sarana dan prasarana yang memadai) d. Peningkatan kapasitas SDM (tenaga medis, pekerja di rumah sakit, tenaga kesehatan lapangan, dan tenaga laboratorium) untuk menangani kasus PVE termasuk melakukan penelusuran kontak dan pengolahan limbah dari kasus PVE. e. Penyediaan alat pelindung diri di pintu masuk negara, rumah sakit, laboratorium dan juga bagi tenaga kesehatan lapangan yang melakukan respon penanggulangan kasus PVE. f. Penyediaan dana untuk melakukan respon penanggulangan kasus PVE. - Bentuk kewaspadaan dini, meliputi: a. Pemutakhiran informasi melalui website who.int ataupun infopenyakit.org b. Kewaspadaan dini perlu dilakukan di beberapa area, yaitu pintu masuk negara, di masyarakat, dan di sarana pelayanan kesehatan. c. Dibangun sistem mendeteksi pelaku perjalanan dari negara terjangkit untuk selanjutnya dilakukan penilaian risiko kesehatan. Deteksi bisa dilakukan dengan self declare, disampaikan lewat pengumuman di pesawat menjelang mendarat di bandara internasional Indonesia dan himbauan tulisan di bandara kedatangan. Selanjutnya akan dilakukan penilaian risiko kesehatan terhadap pelaku perjalanan ini. d. Kewaspadaan dini di masyarakat dilakukan dengan peningkatan surveilans dan komunikasi risiko pada kelompok berisiko yang dilakukan oleh dinas kesehatan setempat. e. Kewaspadaan dini di sarana pelayanan kesehatan dilakukan dengan penekanan identifikasi riwayat perjalanan pada kasus yang memiliki gejala mengarah pada PVE f. Pertukaran informasi dengan lintas sektor terutama dengan Kemenlu, Kementan, Kemendagri, Kemenkumham, dll terkait kewaspadaan terhadap PVE.
2. Middle East Respiratory Syndrom Corona Virus (MERS-CoV) - MERS-CoV pertama kali dilaporkan pada September 2012 di Saudi Arabia. - Sampai dengan saat ini dilaporkan sebanyak 24 negara yang pernah memiliki kasus import MERS-CoV, yaitu Saudi Arabia, Jordania, Kuwait, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, Mesir, Perancis, Jerman, Belanda, Italia, Inggris (UK), Yunani, Austria, Turki, Amerika Serikat, Tunisia, Philipina, Malaysia, Libanon, Iran, Yaman, Aljazair, dan Tunisia. - Sampai dengan saat ini jumlah kasus global yang dilaporkan sebanyak 1.102 kasus dengan 416 kematian, dengan CFR 37,75%. (Data WHO per 5 April 2015). - Di Indonesia, pada tahun 2014 dilaporkan sebanyak 199 kasus dalam investigasi (person under investigation) yang tersebar di 22 Propinsi. Hasil pemeriksaan lab: 196 negatif, 2 tidak diambil spesimen, 1 tidak dapat diperiksa. - Pada tahun 2015 s.d Minggu ke 14 ini dilaporkan sebanyak 28 kasus dalam investigasi yang tersebar di 10 Propinsi. Hasil pemeriksaan lab semua negatif MERS-CoV. - Penularan terjadi antar manusia secara terbatas. Kemungkinan penularan dapat melalui kontak langsung dengan percikan dahak, dan kontak tidak langsung denga benda yang terkontaminasi virus. - Virus korona penyebab Mers CoV menginfeksi hanya 20% epitel sel pernapasan sehingga dibutuhkan virus dalam jumlah besar yang diinhalasi untuk menyebabkan infeksi. - Risiko Indonesia untuk tertular MERS-CoV cukup besar mengingat sepanjang tahun banyak jamaah umroh dari Indonesia. Selain itu pada musim haji jamaah haji dari Indonesia merupakan jamaah terbanyak. Kesimpulan: - Indonesia masih memiliki risiko yang cukup besar tertular MERS-CoV dari negara lain - Kesiapsiagaan perlu terus dilakukan - Kewaspadaan dini perlu terus ditingkatkan. Rekomendasi: - Pelaksanaan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini dapat dilakukan dengan merujuk pada pedoman kesiapsiagaan menghadapi penyakit MERS-CoV yang telah tersedia di website infopenyakit.org - Bentuk kesiapsagaan meliputi: a. Peningkatan kapasitas rumah sakit rujukan regional dan rujukan nasional untuk dapat melakukan tatalaksana kasus MERS-CoV sesuai standar b. Peningkatan kapasitas laboratorium untuk penegakan diagnosa MERS-CoV. Saat ini Laboratorium Balitbangkes merupakan satu-satunya laboratorium yang memiliki kemampuan tersebut c. Optimalisasi fungsi Posko termasuk operasional (penyediaan sarana dan prasarana yang memadai) d. Peningkatan kapasitas SDM (tenaga medis, pekerja di rumah sakit, tenaga kesehatan lapangan, dan tenaga laboratorium) untuk menangani kasus MERS-CoV termasuk melakukan penelusuran kontak dan pengolahan limbah dari kasus MERSCoV. e. Penyediaan alat pelindung diri di pintu masuk negara, rumah sakit, laboratorium dan juga bagi tenaga kesehatan lapangan yang melakukan respon penanggulangan kasus MERS-CoV. f. Penyediaan logistik laboratorium di setiap provinsi terutama logistik untuk pengambilan dan pengiriman spesimen. g. Penyediaan dana untuk melakukan respon penanggulangan kasus MERS-CoV.
-
Bentuk kewaspadaan meliputi: a. Pemutakhiran informasi melalui website who.int ataupun infopenyakit.org b. Kewaspadaan dini perlu dilakukan di beberapa area, yaitu pintu masuk negara, di masyarakat, dan di sarana pelayanan kesehatan. c. Kewaspadaan di pintu masuk negara dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku perjalanan dari negara terjangkit. d. Kewaspadaan dini di masyarakat dilakukan dengan peningkatan surveilans/pemantauan di wilayah khususnya pada pelaku perjalanan yang datang dari negara terjangkit selama 14 hari sejak kedatangan. e. Sustainibilitas pemberian informasi dan edukasi sepanjang tahun kepada para calon jamaah haji atau jamaah umroh melalui agen penyelenggara haji atau umroh dan kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) melalui agen penyalur TKI tentang faktor risiko penularan MERS-CoV dan upaya pencegahannya sebelum keberangkatan dan sesudah kedatangan ke negara terjangkit. f. Kewaspadaan dini di sarana pelayanan kesehatan dilakukan dengan penekanan kepatuhan terhadap SOP termasuk juga pemakaian APD yang standar pada saat melakukan perawatan kasus suspek MERS-CoV.
3. H5N1 (Flu Burung) - Di dunia kasus flu burung mulai dilaporkan pada tahun 2003 dan kasus tersebut terus ada sampai sekarang tahun 2015. Secara global pada tahun 2014 kasus H5N1 tersebar di 6 negara yaitu Kamboja, Cina, Vietnam, Indonesia, Mesir dan Iraq sebanyak 46 kasus dengan 18 kematian. - Pada tahun 2015 kasus H5N1 tersebar di 3 negara yaitu Cina, Mesir dan Indonesia sebanyak 91 kasus dengan 28 kematian (Data WHO per 3 Maret 2015). Di Mesir jumlah kasus dan kematian meningkat tajam dan saat ini masih terus dilakukan penelitian. Sejauh ini yang masih ditemukan adalah clade 2.3.2 dan 2.1.2. - Di Indonesia kasus flu burung dilaporkan sejak tahun 2005, puncak kasus terjadi pada tahun 2006 yaitu sebanyak 55 kasus dengan 45 kematian, CFR 81,82%. Kasus FB di Indonesia terus menurun sejak tahun 2006 sampai 2015 ini, namun demikian CFR sebesar 100% sejak tahun 2012-2015. - Pada tahun 2014 terdapat 2 kasus konfirmasi dengan 2 kematian yang berasal dari propinsi DKI Jakarta dan Jawa tengah. Sedangkan pada tahun 2015 s.d minggu 14 terdapat 2 kasus konfirmasi dengan 2 kematian, kasus tersebut merupakan kasus kluster yang berasal dari Propinsi Banten. - Penularan Flu burung terjadi karena adanya kontak dengan hewan unggas yang sakit/mati atau lingkungan yang terinfeksi virus H5N1. Sebagian besar propinsi yang ada di Indonesia berpotensi menularkan virus H5N1 karena virus tersebut masih terdeteksi positif pada peternakan maupun lingkungan. - Angka CFR 100% menunjukkan kemungkinan kelambatan deteksi dan diagnosa kasus flu burung. Kesimpulan: - Indonesia masih memiliki risiko cukup besar untuk terjadi peningkatan kasus akibat dari penularan hewan maupun lingkungan. - Kesiapsiagaan perlu terus dilakukan - Kewaspadaan dini perlu terus ditingkatkan.
Rekomendasi: - Indonesia perlu terus mengamati virus H5 yang bersirkulasi di Indonesia, baik jenis (clade) maupun virulensinya. - Indonesia perlu terus mengamati penularan H5N1, apakah tetap dari unggas ke manusia atau telah terjadi penularan antar manusia. - Bentuk kesiapsiagaan meliputi: a. Penyegaran pelatihan kepada para tenaga kesehatan agar kembali mewaspadai kasus flu burung, walaupun jumlah kasusnya sedikit, namun kefatalannya tetap tinggi. b. Penguatan kembali kapasitas RS Rujukan flu burung yang pernah ditetapkan untuk dapat disiapkan sebagai RS rujukan penyakit emerging lainnya. c. Pemastian ketersediaan oseltamivir untuk respon cepat tatalaksana kasus suspek H5N1. - Bentuk kewaspadaan meliputi: a. Penguatan konsep One Health, dengan meningkatkan koordinasi antara Kemenkes dan Kementan untuk kegiatan surveilans integrasi pengendalian AI dan sharing informasi terutama peta wilayah unggas yang terinfeksi H5N1 dan kasus AI pada manusia. b. Peningkatan surveilans ILI di wilayah untuk mendeteksi sedini mungkin kemungkinan kasus mengarah pada flu burung dengan memperhatikan riwayat kontak dengan hewan unggas yang sakit/mati. c. Sustainibilitas promosi PHBS kepada masyarakat agar dapat terhidar dari berbagai ancaman penyakit yang dapat diakibatkan dari pola hidup yang tidak higienis. 4.
H7N9 - H7N9 pertama kali dilaporkan pada Maret 2013 di China. Puncak kasus tahun 2013 terjadi pada Minggu ke-13, sedangkan pada tahun 2014 terjadi pada minggu ke-5. - Situasi global kasus H7N9 sampai saat ini sebanyak 571 kasus dengan 212 kematian. 96,67% (552 kasus) dari total kasus global yang ada berasal dari China, selebihnya berasal dari Hongkong, Taipe, Malaysia dan Kanada. - Situasi di Indonesia sampai saat ini belum pernah ada dilaporkan kasus H7N9. Namun demikian, Indonesia masih memiliki risiko terkena kasus H7N9 karena banyaknya pelaku perjalanan yang datang atau pergi ke negara terjangkit. - Sampai saat ini belum terdapat bukti yang menunjukkan dapat terjadi penularan yang berkelanjutan antar manusia. Selain itu penularan dari peternakan dan lingkungan kepada manusia tidak mudah terjadi, walaupun kemampuan penularan virus ini lebih tinggi daripada virus H5N1. Walaupun demikian banyak kasus ditemukan setelah terpapar dengan peternakan atau lingkungan pasar yang menjual unggas hidup (WHO). - Keberadaan kasus di Malaysia dan Kanada menunjukkan bahwa penyakit ini dapat ditularkan pada kelompok berisiko pada saat mengunjungi daerah terjangkit (china). Namun kedua kasus tersebut tidak menunjukkan penularan yang berkelanjutan di negaranya.
Kesimpulan: - Risiko penularan H7N9 di Indonesia ada, namun kecil, dibuktikan dengan tidak adanya laporan kasus H7N9 baik pada unggas maupun manusia. - Kesiapsiagaan perlu terus dilakukan - Kewaspadaan dini perlu terus ditingkatkan.
Rekomendasi: - Bentuk kesiapsiagaan meliputi: a. Penguatan kapasitas RS rujukan untuk melakukan tatalaksana kasus H7N9 sesuai standar b. Penguatan kapasitas laboratorium untuk penegakan diagnisa kasus H7N9 c. Peningkatan kapasitas SDM (tenaga medis, pekerja di rumah sakit, tenaga kesehatan lapangan, dan tenaga laboratorium) untuk menangani kasus H7N9 termasuk melakukan penelusuran kontak. d. Penyediaan alat pelindung diri di pintu masuk negara, rumah sakit, laboratorium dan juga bagi tenaga kesehatan lapangan yang melakukan respon penanggulangan kasus H7N9. - Bentuk kewaspadaan meliputi: - Peningkatan surveilans ILI diwilayah dengan memperhatikan riwayat perjalanan dari negara terjangkit (China) dan riwayat kontak dengan peternakan atau lingkungan pasar yang menjual unggas hidup. 5.
Difteri - Pada tahun 2014 kasus difteri di Indonesia berjumlah 536 kasus dengan 17 Kematian (CFR=3,17%) yang terjadi di 11 Provinsi dan penyebarannya meluas menjadi 14 Provinsi di tahun 2015. - Pada tahun 2015 (sampai minggu ke 14) kasus difteri berjumlah 195 kasus dengan 8 kematian (CFR=4,10%). - Jumlah kasus terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur (81 kasus, 3 kematian), Sumbar (70 kasus, 1 kematian), Jabar (12 kasus, 2 kematian), Kalbar (10 kasus, 1 kematian). - Berdasarkan data Posko KLB bahwa Kabupaten/Kota yang selalu terdapat kasus difteri dalam 3 tahun terakhir yaitu Kota Jakarta Utara, Kab. Serang, Kab. Lebak, Kota Tangerang, Kota Serang, Kab. Purwakarta, Kab. Tasikmalaya, Kota Bekasi, Kab. Grobogan, Kab. Gresik, Kab. Sidoarjo, Kab. Mojokerto, Kab. Jombang, Kab. Bojonegoro, Kab. Tuban, Kab. Lamongan, Kab. Ngawi, Kab. Madiun, Kab. Magetan, Kab. Pacitan, Kab. Kediri, Kab. Nganjuk, Kab. Blitar, Kab. Tulung agung, Kab. Trenggalek, Kab. Malang, Kab. Probolinggo, Kab. Lumajang, Kab. Bondowoso, Kab. Situbondo, Kab. Jember, Kab. Banyuwangi, kab. Pamekasan, Kab. Sampang, Kab. Bangkalan, Kota Surabaya, Kota Madiun, Kota Probolinggo, Kota Blitar, Kota. Kediri, Kota. Mojokerto, Kota Malang, Kota Batu, Kota Pontianak, Kab. Pontianak, Kab. Ketapang, Kab. Kubu Raya, Kab. Banjar, Kota Balikpapan, Kota Makasar, Kab. Gowa, Kab. Tabanan. - Kasus difteri menyerang semua kelompok umur. Kasus terbanyak terdapat pada kelompok umur 5-9 tahun. - Faktor risiko difteri adalah status/cakupan imunisasi. - Provinsi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah tahun 2014 yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, NTB, Maluku, Papua.
Kesimpulan: - Kab/kota yang memiliki kasus dalam 3 tahun terakhir merupakan daerah endemis yaitu sebanyak 52 Kab/Kota - Propinsi yang cakupan imunisasinya rendah atau daerah endemis difteri merupakan propinsi yang berisiko yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalteng, Papua, Maluku. Rekomendasi: - Bentuk kesiapsiagaan khususnya di Propinsi yang berisiko tinggi meliputi: a. Penyediaan logistik obat dan alkes: eritromisin, Anti Difteri Serum (ADS), media pemeriksaan spesimen (media AMIES). b. Peningkatan kapasitas SDM (tenaga medis, pekerja di rumah sakit, tenaga kesehatan lapangan, dan tenaga laboratorium) untuk menangani kasus difteri termasuk melakukan penelusuran kontak. - Bentuk kewaspadaan meliputi: a. Peningkatan kinerja surveilans difteri melalui deteksi dini dan pelaporan. b. Peningkatkan cakupan Imunisasi rutin dan tambahan. c. Peningkatkan kualitas manajemen rantai vaksin. d. Pelaporan kasus melibatkan masyarakat sehingga penanganan dapat dilakukan sedini mungkin. e. Peningkatkan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi. f. Pertukaran informasi cepat dari provinsi yang mempunyai kasus difteri dengan provinsi lainnya yang berbatasan. 6.
Polio - Pada tahun 2014 jumlah kasus Polio di Negara endemis sebanyak 340 kasus yang tersebar di Pakistan (306 kasus), Afganistan (28 kasus), Nigeria (6 kasus). Sedangkan di Negara non endemis sebanyak 19 kasus tersebar di 6 negara yaitu equatorial guinea, Irak, Kamerun, Siria, Somalia, Etiopia. - Pada tahun 2015 jumlah kasus Polio di Negara endemis sebanyak 22 kasus yang tersebar di Pakistan (21 kasus) dan Afganistan (1 kasus), dan belum ditemukan kasus di Negara non endemis. - Indonesia sudah dinyatakan bebas Polio sejak Maret 2014. Namun untuk membuktikan Indonesia bebas polio maka dilakukan surveilans AFP pada masing-masing kabupaten yang dilaporkan melalui FP1 - Sejak dinyatakan bebas sampai dengan saat ini belum ada kasus polio positif yang terlaporkan
Kesimpulan - Indonesia memiliki risiko tinggi mendapat VPL impor dari negara endemis. - Kesiapsiagaan perlu terus dilakukan - Kewaspadaan dini perlu terus ditingkatkan. Rekomendasi - Bentuk kesiapsiagaan meliputi: a. Penyediaan logistik laboratorium oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Dinkes Kabupaten/Kota. b. Peningkatan kapasitas SDM (tenaga medis, pekerja di rumah sakit, tenaga kesehatan lapangan, dan tenaga laboratorium) untuk menangani kasus polio termasuk melakukan penelusuran kontak. - Bentuk kewaspadaan meliputi: a. Peningkatan kewaspadaan dan surveilans di pintu masuk negara terutama untuk yang berasal dari 3 negara endemis polio yaitu Pakistan, Afganistan, dan Nigeria
b. c. d. e. 7.
Peningkatan surveilans AFP di masyarakat Peningkatan cakupan imunisasi rutin dan tambahan. Peningkatan promosi kesehatan lingkungan dan PHBS Melakukan surveilans lingkungan.
Demam kuning (Yellow Fever) - Secara global di dunia jumlah kumulatif kasus 849 kasus dengan 171 kematian; total kematian/kasus 20,14% (Data WHO,26 November 2013) - Sejak abad ke-17, beberapa epidemi besar penyakit ini tercatat muncul di Amerika, Afrika dan Eropa. - Penularan dari gigitan nyamuk Aedes Agypty - Kasus ditemukan setiap tahun, dan paling sering menyerang usia dewasa muda yaitu mereka yang bekerja di hutan atau daerah perbatasan di Bolivia, Brasil, Columbia, Ekuador dan Peru (70% – 90% kasus dilaporkan dari Peru dan Bolivia). Secara historis, demam kuning urban muncul dikota-kota dibenua Amerika dengan pengecualian hanyaditemukan beberapa kasus di Trinidad pada tahun 1954 dan tidak ada wabah demam kuning yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti di Amerika sejak tahun 1942. - Pada beberapa dekade sebelumnya demam kuning yang disebabkan oleh Aedes aegypti hanya dilaporkan terjadi di Nigeria dengan ditemukan sekitar 20.000 penderita dan 4.000 kematian pada tahun 1986 hingga 1991. Tidak ada bukti bahwa demam kuning pernah terjadi di Asia atau didaerah pantai timur Afrika. - Negara endemis Yellow Fever menurut WHO yaitu Angola, Benin, Burkina Faso, Burundi, Cameroon, Republic Central Africa, Chad, Congo, Republik Cote d’lvoire, Equatorial, Guinea, Guinea Bissau, Etiopia, Gabon, Gambia, Ghana, Kenya, Liberia, Mali, Mauritania, Nigeria, Rwanda, Senegal, Sierra Leone, Sudan, Sudan Selatan, Togo, Uganda, Argentina, Bolivia, Brazil, Colombia, Ecuador, French Guiana, Guyana, Panama, Paraguay, Peru, Suriname, Trinidad dan Tobago, Venezuela.
Kesimpulan: - Belum pernah dilaporkan adanya kasus Yellow Fever di Indonesia. - Indonesia masih memiliki risiko penularan, namun rendah. Rekomendasi: - Memberikan perlindungan kpd masy Indonesia dari penularan YF melalui: a. Pemberian vaksinasi YF kepada WNI yg melakukan perjalanan ke negara endemis YF. - Ketentuan memiliki ICV YF yg masih berlaku sebagai syarat penerbitan visa masuk ke Indonesia bagi pelaku perjalanan dari negara endemis.
8
Meningitis Meningokokus - Wabah Meningitis Serebrospinal di Nigeria pada tahun 2015 total 652 kasus dengan 50 kematian (CFR 8%) (Data WHO s.d 5 Maret 2015 - Sampai saat ini belum ada laporan kasus konfirmasi meningitis meningococcus di Indonesia. - Sampai saat ini tidak ada laporan kasus konfirmasi meningitis meningokokus di Indonesia
-
-
Faktor resiko yang rentan untuk terkena meningitis yaitu usia 15 bulan sampai 25 tahun, orang yang berkumpul/tinggal di hunian padat penduduk, ibu hamil, Orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah, Penularan meningitis melalui droplet
Kesimpulan: - Belum ada laporan kasus konfirmasi meningitis meningokokus di Indonesia. - Indonesia masih memiliki risiko untuk tertular dari negara lain. Rekomendasi: - Memberikan perlindungan kepada masyarakat Indonesia dari penularan MM melalui: a. Pemberian vaksinasi MM kepada WNI yang melakukan perjalanan ke negara endemis MM atau ke negara berisiko tinggi terjadi penularan MM seperti Saudi Arabia. b. Ketentuan memiliki ICV MM yang masih berlaku sebagai syarat penerbitan visa masuk ke Indonesia bagi pelaku perjalanan dari negara endemis MM. - Melakukan surveilans sentinel di daerah yang dilaporkan memiliki kasus konfirmasi MM.
Subdit Surveilans dan Respon KLB