Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
PANDANGAN MAHASISWA CALON GURU BIOLOGI DAN GURU IPA PESERTA PELATIHAN PENGEMBANGAN PROFESI TENTANG HAKIKAT SAINS Yusuf Hilmi Adisendjaja1), Nuryani Rustaman2), Djam’an Satori2), Sri Redjeki2) 1) 2)
Departemen Pendidikan Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Setiabudi 229 Bandung, 40154. Program Studi Pendidikan IPA, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Setiabudi 229, Bandung 40154
[email protected] ABSTRACT This study assessed biology students’ and science teachers’ views on the nature of science (NOS). Aspects of NOS included science definition, empiric, experiment, experiment in scientific knowledge development, tentative, scientific theories and laws, subjective (theory-laden), social and culture embededness, creative and imaginative. Participants were 34 undergraduate preservice biology teachers at seventh semester and 23 science teachers enrolled in the training. An open-ended questionaire of NOS (VNOS-C) adapt from Lederman, et al., (2002) coupled with some individuals interviews was used to assess participants’ NOS views before and after training. All answers were categorized based on Abd-El-Khalick & Akerson (2009): informed, partially informed, and naive Before training, the majority of participants held naive views of the target NOS except subjective. During the training explisit reflective approaches were used with inquiry teaching. Post-training assessment indicated that there were improvement of participants’ views on NOS. Nearly all aspects were improve with varied percentage of improvement, the range were 10%-55%, except social and culture embededness decreased. The result of the present study suggested the teaching method in preservice and inservice teacher education should more intensively use inquiry teaching and emphasize on nature of science. Keywords: biology preservice teacher, Nature of Science (NOS), science teachers. ABSTRAK Studi ini mengases pandangan mahasiswa calon guru biologi dan guru IPA peserta pelatihan pengembangan profesi tentang hakikat sains. Aspek-aspek hakikat sains yang diases adalah pengertian sains, empirik, eksperimen, eksperimen dalam pengembangan pengetahuan, tentatif, teori ilmiah dan hukum ilmiah, subyektif (theory-laden), kemelekatan aspek sosial budaya, kreativitas dan imajinasi. Partisipan terdiri atas 34 orang mahasiswa akhir semester tujuh dan 23 orang guru IPA SMP. Kuesioner open-ended hakikat sains tipe C (VNOS-C) dari Lederman, et al. (2002) digunakan untuk mengases pandangan tentang hakikat sains diikuti dengan wawancara sebagian responden. Asesmen diberikan sebelum dan setelah pelatihan. Pelatihan diadakan seminggu sekali dengan jumlah jam pelatihan sebanyak kurang lebih 32 jam tatap muka ditambah tugas-tugas mandiri sehingga berjumlah keseluruhan 40 jam. Pandangan responden dikelompokkan menjadi tiga kategori mengadopsi dari Abd-El-Khalick & Akerson (2009) yaitu: informed, partially informed, dan naive. Sebelum pelatihan sebagian besar responden memiliki pandangan tergolong kedalam kategori naive kecuali untuk aspek subyektivitas. Setelah pelatihan terjadi peningkatan pandangan menjadi kategori informed dengan besarnya persentase peningkatan bervariasi mulai dari 10% sampai 55% kecuali untuk aspek kemelekatan sosial budaya pada mahasiswa yang mengalami penurunan. Kata kunci: mahasiswa pendidikan biologi, guru IPA, hakikat sains.
sebagai proses dan hakikat sains. Dalam
PENDAHULUAN Pendidikan sains meliputi tiga aspek, yaitu
sains
sebagai
produk,
sains
kurikulum sains di Indonesia, hakikat sains sedikit sekali bahkan hampir tidak
1
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
disinggung
tentang
hakikat
sains,
pendidikan
sains
untuk
mencapai
demikian juga halnya pada buku-buku
literasi ilmiah. Hakikat sains dan inkuiri
sains (Adisendjaja & Aulia, 2013).
ilmiah dipandang sebagai hal mendasar
Hakikat sains jarang dicantumkan di
untuk literasi ilmiah (Roberts, 2007).
rencana
pengajaran
diperhatikan
atau
karena
hakikat
dianggap
kurang
dibandingkan
hasil
(Abd-El-Khalick,
kurang
Penelitian
tentang
hakikat
sains
sains
menunjukkan bahwa pandangan guru
signifikan
dan siswa adalah tidak konsisten dengan
belajar
lainnya
konsepsi kegiatan sains masa kini
al.,
1998).
(Duschl, 1990; Lederman, 1992; Abd-
et
Penelitian tentang hakikat sains baik
El-Khalick
yang terkait dengan pemahaman guru
Sebagian besar guru dan siswa kurang
dan siswa serta cara mengajarkannya di
memahami
Indonesia masih sulit ditemukan.
(Lederman, 1992; Pomeroy, 1993; Ryan
&
Lederman,
tentang
hakikat
2000).
sains
Dalam kurikulum 2013 bidang IPA
& Aikenhead, 1992). Guru Sekolah
dinyatakan bahwa sains merupakan
Dasar memiliki pandangan hakikat sains
proses untuk mendapatkan pengetahuan,
yang kurang terutama aspek subyektif
sains sebagai produk: konsep-konsep,
dan sosial budaya (Akerson, et al.,
prinsip-prinsip, teori-teori, dan hukum-
2000; Nehm, et. al., 2009; Yalcinoglu &
hukum; dan sains cara untuk mencari
Anaglu, 2012; Sevim & Pekbay, 2012;
tahu. Untuk hal cara mencari tahu
Dudu, 2014). Bahkan
kebanyakan
tidak
sarjana dan pasca sarjana memiliki
proses
pandangan yang tidak tepat termasuk
guru
melaksanakannya
dalam
mahasiswa
pembelajaran. Sains sebagai cara untuk
diantaranya
mencari tahu melekat nilai-nilai dan
Khalick & Lederman, 2000; Koksal dan
kepercayaan-kepercayaan
termasuk
Sahin, 2013). Berdasarkan hal yang
dalam pengembangan pengetahuannya
telah dijelaskan, bagaimana pemahaman
(Lederman,
mahasiswa
1998).
Hakikat
sains
definisi
calon
sains (Abd-El-
guru
(Pendidikan
diterima secara luas dan menjadi target
Biologi) dan guru IPA tentang hakikat
dalam pendidikan sains yang tidak
sains.
dapat
dihindarkan
untuk
mencapai
Istilah hakikat sains diartikan sebagai
literasi sains. Hakikat sains dipandang
nilai-nilai,
sebagai
dan asumsi asumsi yang melekat pada
salah
satu
komponen
kepercayaan-kepercayaan
2
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
sains
dan
pengembangannya
populasinya adalah mahasiswa calon
(Lederman, 1998; Abd-El-Khalick &
guru biologi/IPA yang selesai semester
Lederman, 2000). Hakikat sains tidak
tujuh dan guru IPA yang
didefinisikan
mengajar
sederhana
dalam tetapi
bahasa
yang
didasarkan
di
sekolah
sudah dengan
atas
pengalaman antara 5-30 tahun. Sesuai
karakteristiknya karena tidak disepakati
dengan tujuan di atas maka asesmen
oleh
dilakukan pada
komunitas
(Crowther,
et
pendidik
al.,
2005).
sains Namun
pelatihan.
awal
dan
Kedua
akhir kelompok
demikian ada kesepakatan diantara para
mendapatkan perlakuan yang sama,
ahli filsafat sains, ahli sejarah sains,
yaitu mengikuti pelatihan. Instrumen
sosiologi sains, para ilmuwan dan para
yang
pendidik sains bahwa ada beberapa
pemahaman
aspek
dapat
adalah kuesioner pandangan tentang
diberikan kepada siswa K-12. Aspek
hakikat sains yang dimodifikasi dari
hakikat sains tersebut adalah sebagai
Views of the Nature of Science (VNOS)-
berikut: subyek terhadap perubahan;
C yang tersusun atas 10 pertanyaan
tentatif; dihasilkan dari dunia fisik;
yang dikembangkan dan divalidasi oleh
subyektif; sebagian didasarkan atas
(Lederman, et al., 2002) diikuti dengan
inferensi, kreativitas dan imajinasi;
wawancara beberapa responden. Alasan
melekat aspek-aspek sosial dan budaya.
digunakannya
Tambahan lainnya adalah perbedaan
pertama
antara observasi dan inferensi serta
merupakan hasil pengembangan dari
hubungan antara teori-teori dan hukum-
instrumen
hukum
dikembangkan oleh Lederman
hakikat
ilmiah
sains
yang
(Abd-El-Khalick
&
Lederman, 2000).
digunakan
untuk
tentang
mengetahui
hakikat
instrumen ini
bahwa
instrumen
VNOS-form
A
sains
adalah ini
yang &
Malley pada tahun 1990, kemudian dikembangkan menjadi VNOS-form B oleh Abd-El-Khalick, et al., (1998) dan
METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengungkap
selanjutnya
dimodifikasi
dan
pandangan mahasiswa calon guru dan
dikembangkan sehingga menjadi VNOS-
guru
pelatihan
form C (Lederman, et al., 2002). Ketiga
pengembangan profesi tentang hakikat
bentuk VNOS telah diujicobakan kepada
sains.
2000 orang mulai dari
IPA
Dengan
peserta
demikian
subyek
siswa
3
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
sekolah, mahasiswa tingkat sarjana,
dianggap
pasca sarjana, mahasiswa calon guru SD
pengetahuan tentang sains dan semua
dan sekolah lanjutan di empat benua
mata kuliah yang memiliki praktikum
dengan
sudah selesai ditempuh sehingga ada
disertai
500
orang
yang
telah
memiliki
diwawancarai. Panel ahli yang terdiri
asumsi
atas tiga ahli pendidikan sains, seorang
memiliki bekal yang cukup tentang
ahli sejarah sains, dan seorang ilmuwan
sains.
telah menguji validitas isi dari VNOS-C
kelompok guru IPA sebanyak 23 orang
(Lederman, et al., 2002). Menurut
yang berasal dari tiga kecamatan dan
Michael, R. Mathews dalam wawancara
tergabung dalam kelompok
dengan Yalaki dan Cakmakci (2010)
yang sama. Guru terdiri 21 perempuan
VNOS telah digunakan paling sedikit
dan hanya dua orang guru laki-laki
dalam
yang
dengan pengalaman antara 5-30 tahun.
diterbitkan untuk mengukur ke-efektif-
Kebanyakan guru mendapat pendidikan
an pengajaran hakikat sains (Lederman,
dalam
et al., 2002) dan tingkat pemahaman
sudah lulus S1 namun pendidikan
hakikat sains (Schwartz & Lederman,
mereka
2008).
terhadap
berjenjang ada yang dari Diploma 1,
instrumen ini hanya dilakukan uji coba
Diploma 2, dan Diploma 3. Ada empat
keterbacaan dan ada pertanyaan yang
orang guru yang lulus S2 pendidikan
dihilangkan karena tidak seorang pun
dan dua orang lulus S2 bidang murni,
dari hasil uji coba yang menjawab
bahkan seorang lagi lulus S2 tetapi tidak
sejalan dengan pandangan konstruktivis,
sebidang.
50
hasil
Oleh
penelitian
karena
itu
yaitu tentang atom dan species, juga observasi
dan
digantikan
dengan
eksperimen. Sampel
bahwa
banyak
mahasiswa
Kelompok
jabatan
tidak
lainnya
walaupun
sudah
adalah
MGMP
semuanya
sinambung
tetapi
Pada akhir pelatihan, instrumen yang sama diberikan kepada seluruh peserta untuk dijawab dengan ketentuan
terdiri
atas
34
orang
yang sama seperti pada awal pelatihan
mahasiswa Program Studi Pendidikan
dan cara pengisian kuesioner mengikuti
Biologi semester tujuh yang akan segera
cara yang disarankan oleh Lederman, et
mengikuti
Praktek
al., (2002). Semua jawaban pada saat
Lapangan.
Dipilihnya
Pengalaman kelompok
mahasiswa ini dengan pertimbangan
sebelum
dan
sesudah
pelatihan
dilakukan analisis data sebagai berikut:
4
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
pertama,
semua
jawaban
aspek
eksperimen
dalam
ditranskripsikan, selanjutnya mencari
pengembangan
pengetahuan,
teori
kata kunci dari setiap jawaban dan
ilmiah dan hukum ilmiah, serta aspek
jawaban yang memiliki kata kunci yang
sosial budaya. Untuk kelompok guru
sama
kedalam
IPA ditambah dengan aspek empirik.
kelompok yang sama. Tiap kelompok
sedangkan mahasiswa ditambah dengan
jawaban dihitung persentasenya. Hasil
aspek subyektif. Pandangan mahasiswa
pengelompokan
tentang hakikat sains yang tergolong
dikelompokkan
dianalisis
kembali
untuk
berdasarkan pandangan konstruktivis
kedalam
dan menjadi tiga kategori mengadopsi
rendah kecuali untuk aspek eksperimen
dari Abd-El-Khalick & Akerson (2009)
dan subyektivitas. Aspek lainnya berada
yaitu: informed, partially informed, dan
dibawah 25% bahkan untuk aspek
naive. Kategori informed jika jawaban
hukum ilmiah tidak seorang responden
sejalan dengan pandangan konstruktivis
pun yang termasuk kategori informed
tentang sains; partially informed jika
kecuali untuk aspek tentatif yang tepat
sebagian sejalan dengan pandangan
mencapai
konstruktivis
masih
Temuan penelitian ini sejalan dengan
mengandung beberapa hal yang tidak
temuan sebelumnya bahwa pandangan
sejalan dengan pandangan sains masa
mahasiswa calon guru SD di Turki
kini, naive jika pandangannya tidak
memiliki
sejalan dengan pandangan tentang sains
(Yalcinoglu
masa kini. Masing-masing kategori juga
Demikian juga dengan mahasiswa calon
dihitung
guru sains di Turki (Sevim & Pekbay,
namun
persentasenya
termasuk
kategori
50,0%
informed
(Lihat
pandangan &
masih
Tabel
yang
Anagul,
1).
naive 2012).
jawaban yang miskonsepsi.
2012). Penelitian Abd-El-Khalick &
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lederman (2000) menemukan bahwa
Seluruh hasil jawaban responden
mahasiswa sarjana, pasca sarjana dan
dari penelitian ini ditunjukkan oleh
mahasiswa calon guru sains (SMP)
Tabel 1. Sebelum pelatihan, sebagian
memiliki pandangan hakikat sains yang
peserta pelatihan yaitu mahasiswa calon
tidak tepat.
guru biologi/IPA dan guru IPA tentang
Seperti halnya mahasiswa calon
aspek hakikat sains memiliki pandangan
guru, guru IPA pun memiliki pandangan
yang tergolong kategori naive terutama
hakikat sains yang tergolong
naive
5
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
terutama untuk aspek hukum ilmiah,
pelatihan
aspek sosial budaya, peran eksperimen
derajat
dalam pengembangan pengetahuan dan
Temuan sebelumnya oleh Akerson, et
empirik. Aspek lainnya yaitu kreativitas
al., (2000) bahwa para guru masih
dan
dan
kurang pada aspek kemelekatan sosial
pengertian sains sedikit lebih dari
budaya dalam sains dan subyektif. Dudu
setengahnya tergolong kedalam kategori
(2014) menemukan juga bahwa setelah
partially informed artinya ada hal yang
pelatihan aspek yang tetap tergolong
sejalan dengan pandangan sains masa
naive adalah aspek sosial budaya dan
kini tapi masih ada hal yang tidak
kreativitas dan imajinasi dalam sains.
sejalannya
pandangan
Faikhamta (2013) menuliskan bahwa
konstruktivis. Temuan penelitian ini
guru memiliki pandangan naive dalam
sama halnya dengan temuan Leden, et
definisi sains, hukum dan teori, serta
al., (tanpa tahun) di Swedia bahwa guru
inkuiri ilmiah.
imajinasi,
subyektivitas,
dengan
ada
peningkatan
peningkatan
yang
dengan berbeda.
SD dan guru sains SMP memiliki
Sebaliknya untuk kategori naive
jawaban yang tidak tentu (uncertainty)
kedua kelompok mengalami penurunan.
tentang hakikat sains. Thye & Kwen
Perbedaan selanjutnya adalah dalam hal
(2004) menemukan bahwa guru sains di
besaran peningkatan. Setelah pelatihan,
Singapura memiliki pandangan hakikat
mahasiswa unggul dari guru IPA dalam
sains
aspek eksperimen, eksperimen dalam
yang
Ranikmae
tergolong et
al.,
uninformed.
(tanpa
tahun)
pengembangan pengetahuan,
tentatif
menuliskan dalam hasil penelitiannya
dan subyektivitas Sebaliknya guru IPA
bahwa guru sains di Estonia memegang
unggul dari mahasiswa dalam aspek
paham positivist.
empirik, teori ilmiah dan hukum ilmiah.
Setelah pelatihan, kedua kelompok
Bila dilihat dari besarnya persentase
menunjukkan peningkatan untuk semua
peningkatan, mahasiswa hanya unggul
aspek hakikat sains dengan besaran
di dua aspek yaitu aspek eksperimen
peningkatan yang beragam antara 10-
dan eksperimen dalam pengembangan
55%, kecuali untuk aspek sosial budaya
pengetahuan dengan 55,0% dan aspek
mahasiswa
menurun.
tentatif dengan peningkatan sebesar
Temuan ini sejalan dengan temuan
30,0%. Sebaliknya guru IPA lebih
Ozgelen, et al., (2013) bahwa setelah
unggul
calon
guru
daripada
mahasiswa
dalam
6
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
aspek
yang
lebih
peningkatan
banyak,
aspek
yaitu:
subyektivitas,
Temuan
penelitian
tentang
pengertian
sains
empirik, teori ilmiah, hukum ilmiah dan
kebanyakan
responden
aspek sosial budaya. Hal yang sama
pernyataan
baik dilihat dari hasil akhir maupun
miskonsepsi. Sebagian besar responden
peningkatan adalah aspek pengertian
menjawab bahwa sains
sains, eksperimen dan hukum ilmiah.
melalui metode ilmiah. Istilah metode
yang
adalah
bahwa
menyertakan
berkaitan
dengan
diperoleh
kelompok
ilmiah ini menyesatkan karena menduga
mahasiswa tidak memiliki pandangan
ada satu perangkat prosedur yang telah
naive untuk aspek pengertian sains,
dirumuskan secara tepat yang diikuti
pengertian
secara
Setelah
pelatihan
eksperimen,
empirik,
otomatis
dan
membawanya
tentatif, subyektivitas, dan aspek kreatif
kepada
dan
untuk
(Goldstein & Goldstein, 1980). Sains
kelompok guru hanya untuk dua aspek,
tidak harus mengikuti satu urutan
yaitu
dan
prosedur yang sudah ditentukan, sains
pengertian eksperimen. Untuk kategori
merupakan kegiatan kehidupan manusia
naive setelah pelatihan aspek yang
yang kreatif dan imajinatif (Goldstein &
masih tinggi adalah aspek teori ilmiah,
Goldstein, 1980). Miskonsepsi metode
hukum ilmiah, dan aspek sosial budaya,
ilmiah
kecuali
Faikhamta
imajinasi,
aspek
sedangkan
pengertian
aspek
teori
sains
ilmiah
untuk
penemuan-penemuan
ini
juga
ditemukan
(2013)
dan
ilmiah
oleh bahkan
kelompok guru. Temuan penelitian
mahasiswa pasca sarjana pun memiliki
terkait aspek sosial budaya dalam sains
pandangan yang naive tentang definisi
dan teori dan hukum merupakan aspek
sains
yang sulit diubah. Temuan ini sejalan
Kesalahan umum dalam memahami
dengan
bahwa
hakikat sains adalah fokus pada metode
walaupun sudah mengikuti pelatihan,
ilmiah (Crowther, et al., 2005). Tidak
aspek sosial budaya dan teori dan
ada
hukum ilmiah masih tetap ada pada para
universal, selangkah demi selangkah
partisipan (Akerson, et al.,
yang
temuan
sebelumnya
2000;
(Koksal
metode
mampu
&
ilmiah
sahin,
tunggal
menangkap
2013).
yang
semua
Koksal & Sahin, 2013; Faikhamta, 2013
kompleksitas dalam mengerjakan sains
dan Dudu, 2014).
(National Science Teacher Association,
Sains
NSTA,
2000).
Sains bukan hanya
7
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
merupakan tersusun
kumpulan rapi
fakta
tetapi
yang
sains
adalah
bahwa
sains
kebenarannya
dalam
bersifat absolut karena sudah melalui
pengertian yang paling mendasar adalah
berbagai uji eksperimen. Tidak sedikit
mencari
teori
penjelasan atau eksplanasi
yang
gagal
melewati
uji
tentang dunia alami. Sains sebagai cara
eksperimen tetapi tidak dikesampingkan
untuk mencari tahu (a way of knowing)
atau sebaliknya sebuah teori yang lolos
(Lederman, et al., 2002), satu cara
beberapa uji eksperimen belum tentu
berpikir atau a way of
benar. Goldstein & Goldstein (1980)
thinking
(Lawson, 1995).
menuliskan bahwa tidak masalah berapa dan
banyak uji eksperimen yang sudah
siswa tentang sains diperoleh tidak
dilewati oleh suatu teori, selalu ada
hanya dari pengalaman pembelajaran di
kemungkinan
kelas tetapi juga oleh media yang
eksperimen membuka satu kelemahan.
Gagasan mahasiswa, guru
hal-hal
baru
dari
memberikan penjelasan tentang sains dan ilmuwan. Pengalaman-pengalaman ini
dapat
miskonsepsi
membentuk tentang
mitos
hakikat
dan sains
(Hanuscin & Lee, 2009; Akerson & Abd-El-Khalick, 2005; Conley, et al., 2004; Driver et al., 1996). Miskonsepsi eksperimen,
lainnya
dimana
adalah
eksperimen
merupakan salah satu langkah dari metode ilmiah. Sebagian responden menyebutkan bahwa sains didapatkan melalui eksperimen atau percobaan atau pembuktian
kebenarannya
dilakukan
melalui eksperimen. Istilah ilmu pasti, eksak dan kebenarannya bersifat absolut juga merupakan jawaban yang muncul dari sebagian responden. Alasan yang dikemukakan dengan miskonsepsi ini
8
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Perbedaan sains dengan inkuiri lain
serta sangat sulit pembuktiannya untuk
(filsafat dan agama) atau empirik
diperlihatkan,
sedangkan
agama
Pertanyaan yang terkait dengan
bersifat mendasar dan tidak bisa diubah
perbedaan antara sains dengan inkuiri
ketentuannya. Guru IPA tidak ada yang
lain
memberikan jawaban terkait filsafat.
(agama
dan
filsafat)
hanya
kelompok mahasiswa (44,1%) yang
Hal ini kemungkinan disebabkan para
secara eksplisit menuliskan bahwa sains
guru
memerlukan pembuktian dan filsafat
mendapatkan
memerlukan pemikiran yang mendalam
sedangkan mahasiswa mendapatkannya.
selama
pendidikannya perkuliahan
tidak filsafat,
Tabel 1. Perbandingan Pandangan Mahasiswa S1 dan Guru IPA tentang Aspek Hakikat Sains Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kategori (%)
Aspek No.
Hakikat
Informed
Sains
1.
Pengertian
S1
Partially Informed Guru
S1
Naive
Guru
S1
Guru
Pre-
Post-
Pre-
Post-
Pre-
Post-
Pre-
Post-
Pre-
Post-
Pre-
Post-
8,3
50,0
8,0
52,0
75,0
50,0
56,0
48,0
16,7
0,0
36,0
0,0
8,3
20
28,0
68,0
58,3
80,0
4,0
8,0
33,4
0,0
68,0
24, 0
83,7
100,0
56,0
68,0
16,7
0,0
0,0
32,0
0,0
0,0
44,0
0,0
25,0
80,0
8,0
56,0
25,0
10,0
8,0
16,0
50,0
10,0
84,0
28,0
50,0
80,0
52,0
56,0
41,7
20,0
20,0
20,0
8,3
0,0
28,0
24,0
16,7
30,0
16,0
68,0
0,0
0,0
28,0
16,0
83,3
70,0
56,0
16,0
0,0
10,0
0,0
32,0
8,3
20,0
0,0
0,0
91,7
70,0
66,7
90,0
20,0
56,0
25,0
10,0
52,0
40,0
8,3
0,0
28,0
4,0
8,3
0,0
0,0
8,0
0,0
10,0
8,0
24,0
91,7
90,0
92,0
68,0
16,7
50,0
16,0
52,0
66,6
50,0
40,0
16,7
0,0
32,0
8,0
sains 2. 3.
Empirik Pengertian Eksp. Eksp. &
4.
pengemb. Penget.
5. 6.
7.
8.
9.
10.
Tentatif Teori ilmiah Hukum ilmiah Subyektivi tas Aspek sosbud Kreativ imajinasi
52,0
100, 0
9
68,0
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Dengan demikian perlu pemberian
Miskonsepsi metode ilmiah sebagai satu-
materi filsafat dalam pendidikan dalam
satunya metode merupakan miskonsepsi
jabatan (inservice) bagi para guru dan
utama dalam hakikat sains (McComas, et
perlunya penataan ulang dalam materi
al.,1998).
filsafat bagi para mahasiswa calon guru
Eksperimen
sehingga para mahasiswa dan guru lebih memahami
pentingnya
filsafat
dalam
pendidikan khususnya pendidikan sains.
Aspek eksperimen merupakan aspek hakikat sains yang termasuk kategori informed dengan
persentase
terbesar
Pentingnya filsafat bagi para guru
untuk kedua kelompok baik sebelum
dikemukakan oleh Michael R. Matthews
maupun sesudah pelatihan. Hal ini terjadi
dalam wawancaranya dengan Yalaki dan
karena
Cakmakci
yang
mahasiswa sering melakukannya dalam
memiliki landasan filsafat yang baik akan
kegiatan perkuliahan dan guru dalam
mampu memberi arah tentang hal yang
membimbing siswanya. Dengan demikian
dikerjakannya
siswanya;
dapat diduga bahwa kegiatan keseharian
memberikan kejelasan tentang dirinya
yang sering dilakukan akan memengaruhi
sebagai pendidik; dan memenuhi syarat
pandangannya. Kebanyakan jawaban dari
intelektual dan moral untuk menjadi
responden
pendidik; serta akan memberikan gagasan
diperlukan untuk menguji hipotesis atau
tentang personal dan sosial sebagai tujuan
kebenaran sebuah teori. Jawaban tersebut
pendidikan.
tidak
(2010)
bahwa
untuk
guru
kedua
adalah
sepenuhnya
kelompok
bahwa
tepat.
terutama
eksperimen
Suatu
hasil
Terkait dengan aspek empirik, lagi-
eksperimen atau sebuah teori yang lolos uji
lagi istilah metode ilmiah, prosedur yang
eksperimen tidak secara otomatis bisa
teratur dan bersistem muncul lagi sebagai
diterima oleh masyarakat berkaitan dengan
ciri dari sains. Hal ini tidak terlepas dari
penerimaan atau penolakan teori atau
sumber yang digunakan yaitu buku sumber
kebenaran. Sains tidak berkaitan dengan
yang digunakan sejak SMP sampai SMA
fakta-fakta dan pengalaman pribadi tetapi
yang menuliskan langkah metode ilmiah
dengan masyarakat khususnya komunitas
secara berurutan (Adisendjaja & Aulia,
ilmiah, sehingga diperlukan kesepakatan
2013). Pengaruh dari miskonsepsi buku
atau konsensus ilmiah (Goldstein &
teks siswa juga memberi imbas pada
Goldstein, 1980). Namun demikian tidak
miskonsepsi siswa tentang metode ilmiah.
berarti penerimaan atau penolakan suatu
10
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
gagasan atau teori ditentukan oleh suara
menyandarkan pada bukti yang ada di
terbanyak. Ilmuwan memiliki kepercayaan
sekelilingnya
yang melekat dalam waktu lama yang akan
Berdasarkan
mempertimbangkan kesepakatan ilmiah,
dilanjutkan dengan deduksi konsekuensi-
juga penerapan kriteria kebenaran dan
konsekuensi dari hipotesis yang langsung
nilai-nilai yang tidak mudah diterjemahkan
dapat diobservasi. Teori hanya didukung
dalam
keputusan
oleh bukti tidak langsung atau teori tidak
1980).
dapat diuji (Abd-El-Khalick & Lederman,
Eksperimen yang bertentangan dengan
2000). Sebenarnya teori hanya untuk
teori
meningkatkan kepercayaan.
mengambil
(Goldstein
suatu
&
tidak
Goldstein,
selalu
membawa
kepada
(circumstantial). bukti
penolakan, demikian sebaliknya suatu teori
Eksperimen
yang lolos uji eksperimen akhirnya tidak
pengetahuan.
diterima atau ditolak. Bahkan Abd-El-
yang
dan
didapat
pengembangan
Pertanyaan berikutnya adalah apakah
Khalick & Lederman (2000) menuliskan
pengembangan
bahwa teori adalah sesuatu yang tidak
memerlukan eskperimen? Jawaban kedua
dapat
kelompok masih sangat rendah yang
diuji.
pengujian Goldstein
Demikian kebenaran,
(1980)
juga
dengan
Goldstein
menuliskan
&
bahwa
pengetahuan
selalu
termasuk kategori informed, dan setengah mahaiswa
dan
sebagian
besar
guru
membuktikan sebuah kebenaran adalah
tergolong kategori naive. Kebanyakan
tidak
hanya
responden menjawab bahwa pengetahuan
dan
berkembang karena eksperimen dan hanya
merupakan salah satu uji empirik yaitu
sebagian kecil mahasiswa yang menjawab
untuk
dapat
bahwa perkembangan pengetahuan bukan
dijadikan bukti. Berdasarkan bukti yang
hanya karena eksperimen. Banyak ilmu
ada maka dapat dibuat eksplanasi alternatif
yang berkembang bukan hanya karena
sehingga fakta baru harus dapat mengubah
eksperimen
derajat kepercayaan.
kepada observasi yang sistematik termasuk
mungkin.
mengonfirmasi
Eksperimen sebuah
mendapatkan
data
teori
agar
Selain hal di atas, Goldstein & Goldtesin
(1980)
sebagian
besar
menuliskan hipotesis
biologi.
menekankan
ilmuwan
yang
bahwa
menggunakan teknik non-eksperimental
ilmiah
untuk
mengembangkan
(McComas,
membolehkan mengujinya secara langsung
menuliskan
dan
sebenarnya
pengujian
lebih
Banyak
dirumuskan dalam cara-cara yang tidak
sederhana,
tetapi
hanya
1998). bahwa (true
pengetahuan
Selanjutnya eksperimen
ia yang
experiment) tidaklah
11
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
mungkin
karena
ketidakmampuan
yang responden maksudkan adalah tersirat dalam arti lebih bisa diterima dan tidak ada
mengendalikan variabel-variabel. Jawaban dan alasan yang diberikan
bukti yang bertentangan. Temuan ini
para responden memiliki arti bahwa
sejalan dengan pendapat bahwa ilmuwan
pemahaman responden tentang hakikat
mengembangkan
eksperimen
dalam
gagasannya manakala ada bukti baru atau
pengembangan pengetahuan masih sangat
bukti lama yang dipandang dengan cara
rendah. Hanya sepertiga dari kelompok
berbeda (Crowther, et al., 2005). Temuan
mahasiswa yang memberikan
alasan
ini sejalan dengan temuan Akerson et al.,
akan
(2000) bahwa mahasiswa calon guru
memperkuat dan menambah bukti yang
Sekolah Dasar juga pada awal perkuliahan
membuat pengetahuan ilmiah bisa diterima
memiliki pemahaman yang kurang dalam
dan
aspek empirik, tentatif, perbedaan antara
bahwa
dan
adanya
lebih
perannya
eksperimen
akurat.
Benar
bahwa
keberhasilan eksperimen adalah untuk meningkatkan kepercayaan. Jika ada satu
dan
mengubah
teori dan hukum serta kreativitas. Alasan lain adalah bahwa
teori
uji sebuah teori yang berhasil maka
berubah seiring dengan perkembangan
hasilnya harus membuat satu perbedaan
jaman, waktu, kemajuan teknologi dan
dan
derajat
perubahan alam, dan pemikiran. Sains dan
kepercayaan yang lebih besar (Goldstein &
teknologi saling memberikan pengaruh,
Goldstein, 1980).
temuan
Perubahan teori ilmiah.
inspirasi bagi teknologi untuk menciptakan
harus
membawa
kepada
dalam
sains
akan
memberi
Aspek tentatif merupakan jawaban
sesuatu yang memiliki manfaat bagi
dengan kategori informed yang paling
manusia dan sebaliknya temuan atau hasil
tinggi dari semua aspek hakikat sains.
teknologi
Alasan yang dikemukakan adalah bahwa
kepada sains terutama dalam bentuk
perubahan terjadi jika ditemukan fakta
peralatan untuk melakukan penelitian lebih
atau bukti baru atau adanya penemuan
lanjut. Dengan penelitian lebih lanjut dan
baru yang memang lebih bisa diterima.
bantuan teknologi maka sains pun dapat
Dari hasil penelitian ini memang tidak
berubah, berkembang dan lebih maju. Dari
secara eksplisit menuliskan ada penafsiran
alasan
ulang (reinterpretation) seperti dinyatakan
tergolong naive yaitu perubahan teori
oleh Lederman et al., (2002) namun
karena alam selalu berubah.
setelah
ditanyakan
akan memberikan pengaruh
yang
dikemukakan
ada
yang
melalui wawancara
12
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Miskonsepsi masih terjadi pada guru
Temuan
ini
sejalan
dengan
temuan
yang menuliskan bahwa suatu teori tidak
(Akerson, et al., 2000; Koksal & Sahin
pernah berubah karena teori merupakan
2013;
pendapat atau ketentuan yang sudah dibuat
pemahaman mahasiswa dan calon guru
berdasarkan eksperimen dan pengamatan
tentang aspek teori dan hukum tergolong
yang dilakukan dalam waktu yang cukup
kategori naive.
Faikhamta,
2013)
bahwa
lama dan berulang-ulang serta sudah
Teori dan hukum merupakan dua jenis
dipatenkan dengan memberi contoh teori
pengetahuan ilmiah yang berbeda. Hukum
evolusi yang sejak mereka di bangku
mendeskripsikan hubungan, observasi atau
sekolah dahulu tidak berubah sampai
kesan untuk fenomena di alam. Teori
sekarang. Hal ini sebenarnya bukan tidak
merupakan eksplanasi untuk fenomena
berubah dan memiliki kebenaran absolut
alam dan mekanisme untuk hubungan
tetapi hukum dan teori ilmiah mampu
diantara
bertahan
tidak
membawa kepada teori-teori atau hukum-
mengetahui bahwa teori evolusi yang
hukum dengan akumulasi bukti yang
mereka pahami sekarang bukan seperti
mendukung
teori evolusi yang seperti yang sekarang
komunitas ilmiah. Teori dan hukum tidak
tetapi
yang
menjadi satu ke yang lainnya dalam artian
sebelumnya. Bahkan Darwin pun sebagai
hirarki, keduanya jenis pengetahuan yang
“pemilik” teori evolusi yang sekarang pada
berbeda
mulanya
(Lederman, et al., 2002). Hukum adalah
lama.
Mereka
berkembang
tidak
juga
dari
teori
memegang
keyakinan
fenomena
dan
dan
alam.
Hipotesis
penerimaan
berbeda
dalam
fungsinya.
seperti itu, pada awalnya Darwin adalah
generalisasi-generalisasi,
seorang Creationist (Lawson, 1995).
atau pola-pola di alam dan teori adalah
Teori dan Hukum ilmiah.
eksplanasi
dari
prinsip-prinsip
generalisasi
tersebut
Salah satu aspek yang paling banyak
(Rhodes & Schaible, 1989; Horner &
miskonsepsi selain perubahan teori ilmiah
Rubba, 1979) dalam McComas, et al.,
adalah aspek teori dan hukum ilmiah.
(1998). Jawaban lainnya adalah jawaban
Temuan penelitian menunjukkan bahwa
yang miskonsepsi bahwa hukum tidak
aspek hukum merupakan salah satu aspek
dapat diubah. Hal ini bertentangan dengan
hakikat sains yang cukup tinggi tergolong
pendapat bahwa hukum seperti teori ilmiah
kepada kategori naive disamping aspek
dan semua pengetahuan dalam sains tetap
sosial budaya, dan peran eksperimen
dapat berubah (McComas et al., 1998).
dalam
pengembangan
pengetahuan.
13
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Miskonsepsi lain yang muncul adalah
memberi sumbangan perubahan manakala
kebenarannya mutlak atau absolut, hukum
bukti yang sebelumnya ada dan tetap
lebih
konsisten,
kuat
dari
teori,
dan
hukum
juga
diuji
dari
merupakan bagian dari teori. Miskonsepsi
pengetahuan
ini juga ditemukan dalam penelitian yang
perorangan juga tidak dapat dihindarkan.
dilakukan oleh Akerson, et al., (2000) dan
Nilai-nilai,
McComas et al., (1998). Calon Guru IPA
pengalaman sebelumnya dari individu
di Turki juga memiliki miskonsepsi yang
memberi pengaruh terhadap apa dan
sama bahwa hukum tidak berubah karena
bagaimana
sudah melewati berbagai uji eksperimen
pekerjaannya (Lederman, et al., 2002).
atau hukum berasal dari teori setelah
Tingkat obyektivitasnya ilmuwan tidak
melewati pengujian berulang (Ozgelen, et
berbeda daripada
al., 2013; Hanuscin et al., 2006; McComas
Ilmuwan berhati-hati dalam menganalisis
&
bukti dan prosedur yang diterapkan untuk
Olson, 1998). Teori
dan hukum
baru.
perspektif
Subyektivitas
agenda-agenda,
ilmuwan
melakukan
profesional
mencapai
berbeda,
terdapat
menurut pandangan dan kontribusi dari
hubungan, tetapi bukan kasus sederhana
filsafat sains dan psikologi menampakkan
bahwa teori dapat menjadi hukum, tidak
bahwa obyektivitas yang sempurna adalah
peduli
tidak
berapa
keduanya
banyak
bukti
empirik
kesimpulan.
lain.
merupakan jenis pengetahuan yang sangat diantara
suatu
dan
mungkin
sehingga
Namun
pandangan
dikumpulkan (McComas, 1998).
ilmuwan adalah obyektif hanya merupakan
Subyektivitas.
mitos (McComas, 1998).
Aspek urutan
kedua
subyektivitas tertinggi
menempati
persentasenya
Aspek ilmuwan
lain
dari
untuk
ketidakmampuan obyektif
adalah
theory-laden
dalam
setelah aspek tentatif. Persentase kategori
ditemukannya
informed untuk kelompok mahasiswa dan
observasi. Ilmuwan seperti para pengamat
guru mencapai sedikit di atas 50%. Sains
lainnya, banyak memegang prakonsepsi
dipengaruhi dan dikendalikan oleh teori-
dan bias tentang cara alam beroperasi.
teori dan hukum-hukum yang diterima
Gagasan-gagasan seperti ini memengaruhi
pada
kemampuan setiap orang untuk melakukan
masa
sekarang.
Pengembangan
pertanyaan, penyelidikan, dan interpretasi
observasi.
Tidaklah
disaring melalui teori yang ada. Hal ini
mengumpulkan
merupakan subyektivitas yang tidak dapat
menginterpretasikan fakta-fakta tanpa satu
dihindari yang memungkinkan sains terus
pun bias (McComas, 1998).
dan
mungkin menafsirkan
untuk atau
14
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Ilmuwan bekerja dalam satu tradisi penelitian
yang
paradigma
dengan kondisi lokal, dan dalam setiap
(Thomas Kuhn, 1970). Tradisi penelitian
pembelajaran ada nilai-nilai sosial dan
seperti ini dan bekerja sama dalam satu
budaya yang dapat diambil. Hal ini sejalan
disiplin tertentu, memberikan petunjuk
dengan temuan penelitian di Turki yang
kepada pertanyaan penyelidikan, mendikte
menemukan bahwa mahasiswa calon Guru
bukti
dan
IPA tidak menunjukkan pemahaman yang
mendeskripsikan pengujian dan teknik
termasuk kategori informed tentang aspek
yang masuk akal. Paradigma memberikan
sosial dan budaya dalam pengetahuan
arahan penelitian dan mungkin juga
ilmiah (Erdogan, et al., 2006; Liang, et al.,
membatasi penelitian. Segala sesuatu yang
2009).
yang
membatasi
disebut
budaya masyarakat, harus disesuaikan
dapat
kegiatan
diterima
penelitian
akan
Ilmuwan
dalam
bekerjanya
tidak
membatasi obyektivitas (McComas, 1998).
pernah sendirian tetapi melibatkan orang
Oleh
lain
karena
sempurna sehingga
itu
tidak
obyektivitas mungkin
mengakibatkan
yang
dengan
berbagai
pengalaman,
diperoleh
pendidikan dan latar belakang sosial dan
ilmuwan
budaya yang berbeda bahkan hal lainnya.
memiliki subyektivitas.
Sains merupakan kegiatan manusia dengan
Kemelekatan aspek sosial budaya dalam
tingkatan umur, ras, jenis kelamin bahkan
sains
bangsa yang berbeda (Weinburgh, 2003).
Pertanyaan selanjutnya yang diajukan
Aspek manusia merupakan aspek yang
adalah: apakah sains bersifat universal atau
sering
sains
dan
(Crowther, et al., 2005). Tidak seorang
responden
pun responden yang menyinggung bahwa
berpendapat bahwa sains lebih bersifat
sains berkembang juga untuk memenuhi
universal dan tentu hal ini tergolong
kebutuhan manusia agar hidup lebih baik.
kedalam
yang
Dengan kata lain bahwa sains tumbuh dan
dikemukakan adalah bahwa sains universal
berkembang didorong oleh kebutuhan
karena
dimanapun,
manusia. Sains merupakan usaha kegiatan
dan
tidak
manusia dan dipengaruhi oleh masyarakat
dipengaruhi nilai-nilai sosial dan budaya.
dan budaya pada mana sains dipraktikan.
Adapun alasan sains memiliki nilai-nilai
Nilai-nilai budaya menentukan apa dan
sosial dan budaya dikarenakan sains
bagaimana
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan
diinterpretasikan, diterima, dan digunakan
memiliki
budaya?
nilai-nilai
Sebagian
kategori
dapat
melampaui
besar
naive.Alasan
diterapkan
batas
sosial
negara
diabaikan
dari
sains
hakikat
sains
dilaksanakan,
15
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
(Schwartz, et al., 2004). Tidak ada seorang
melibatkan kreativitas dan subyekivitas
responden pun yang menyinggung bahwa
(Crowther, et al., 2005).
setiap kelompok masyarakat memiliki nilai-nilai, bahkan
kepercayaan-kepercayaan keyakinan
yang
Sebagian kecil mahasiswa menuliskan bahwa
ilmuwan
tidak
memerlukan
sudah
kreativitas dan imajinasi dalam bekerjanya
dipegangnya secara turun temurun dan
karena akan mengurangi tingkat validitas
belum tentu mau menerima semua hasil
eksperimen;
dari sains. Jadi ada saling memengaruhi
penyelidikannya;
antara aspek sosial budaya masyarakat
ilmuwan
dengan kemajuan sains. Dengan demikian
ketelitian, dan kejujuran. Alasan lain
dalam sains melekat nilai-nilai sosial dan
adalah ilmuwan akan menemukan jawaban
budaya.
berdasarkan prosedur ilmiah yang telah
Kreativitas dan imajinasi
disusun dan bukan berdasarkan imajinasi;
Untuk aspek kreativitas dan imajinasi
akan
sulit yang
adalah
dalam dibutuhkan
keseriusan,
disiplin,
dan ilmuwan memeroleh jawaban dari
dalam sains, pandangan mahasiswa dan
pertanyaan
yang
diajukannya
guru termasuk kategori naive. Temuan ini
semuanya berdasarkan data yang berhasil
konsisten dengan temuan sebelumnya
dikumpulkan
bahwa mahasiswa calon guru memiliki
kreativitas dan imajinasi dari ilmuwan
pandangan naive tentang peran kreativitas
tersebut.
dan imajinasi dalam sains (Akerson, et al.,
memberikan jawaban terhadap aspek ini.
bukan
Sebagian
dan
berdasarkan
kecil
guru
tidak
2000; Sevim & Pekbay, 2012; Dudu, 2014). Namun sebaliknya dengan temuan
SIMPULAN
Koksal & Sahin (2013) bahwa mahasiswa
Sebelum pelatihan, mahasiswa calon
pasca sarjana termasuk kategori ahli
guru biologi/IPA dan guru IPA memiliki
(expert) dalam aspek kreativitas dan sosial
pandangan yang tergolong kategori naive
budaya dalam sains. Pengetahuan ilmiah
terutama untuk aspek eksperimen dalam
diciptakan dari imajinasi manusia dan
pengembangan pengetahuan, teori ilmiah
penalaran logis (logical reasoning) dan
dan hukum ilmiah, serta aspek sosial
penciptaan ini didasarkan atas observasi
budaya, ditambah aspek empirik untuk
dan inferensi dunia alami (Schwartz, et al.,
guru
2004).
Dalam
berdasarkan
hasil
IPA.
Setelah
pelatihan,
kedua
membuat
inferensi
kelompok
observasi,
ilmuwan
untuk semua aspek hakikat sains dengan
menunjukkan
peningkatan
besaran peningkatan yang beragam antara
16
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
10-55%, kecuali untuk aspek sosial budaya mahasiswa
calon
guru
menurun.
Sebaliknya untuk kategori naive kedua kelompok mengalami penurunan. Setelah pelatihan kelompok mahasiswa calon guru tidak memiliki pandangan naive untuk aspek
pengertian
sains,
eksperimen,
empirik, tentatif, subyektivitas, dan aspek
of science and instructional practice: making the unnatural natural. Science Education, 82(4): 417-436. Abd-El-Khalick, F. & Akerson, V. (2009). The influence of metacognitif training on preservice elementary teachers’ conceptionsof nature of science. International Journal of Science Education 31(16):21612184.
kreatif dan imajinasi, sedangkan kelompok guru hanya aspek pengertian sains dan eksperimen. Kategori naive yang masih tinggi adalah aspek hukum ilmiah dan aspek sosial budaya sedangkan untuk ditambah teori ilmiah untuk mahasiswa. Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa pelatihan memberikan dampak positif terhadap pemahaman para calon guru dan guru IPA walaupun masih ada beberapa aspek yang masih termasuk kategori naive. Oleh karena itu diperlukan pelatihan sejenis yang lebih intensif dan efektif. Mengingat pentingnya hakikat sains
dalam
pendidikan
sains,
hasil
Abd-El-Khalick, F. & Lederman, N. G. (2000). The Influence of History of Science Course on Students’ Views of Nature of Science. Journal of Research in Science Teaching, 37(10): 1057-1095. Adisendjaja, Y. H. & Aulia, A. N. (2013). Analysis of Biology textbooks Based on the Nature of Science. Paper Presented at International Seminar on Mathematics and Science Education (MSCEIS), at Bandung, Indonesia. Akerson, V. L., Abd-El-Khalick, F. & Lederman, N.G. (2000). Influence of a reflective explicit activitybased approach on elementary teachers’ conceptions of nature of science. Journal of Research in Science Teaching 37(4): 295-317.
penelitian ini mengusulkan agar penyiapan calon guru dan pelatihan dalam jabatan bagi para guru perlu berorientasi pada hakikat sains dengan pendekatan inkuiri ilmiah yang lebih tepat (eksplisit-reflektif) agar dapat memenuhi tujuan pendidikan sains. DAFTAR PUSTAKA Abd-El-Khalick, F. Bell, R. L. & Lederman, N.G. (1997). The nature
Akerson, V. L. & Abd-El-Khalick. (2005). How should I know What Scientist do-I’m just a kid: Fourth-grade students’ conceptions of nature of science. Journal of Elementary Science Education, 17: 1-11. Conley, A. M., Printich, P. R., Vekiri, I., and Harrison, D. (2004). Changes in epistemological beliefs in elementary science students. Contemporary Educational Psychology, 29 (2): 186-204.
17
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Crowther, D. T., Lederman, N. G., & Lederman, J. S. (2005). Understanding the true meaning of nature of science. Science & Children, October 2005, 50-52. Driver, R., Leach, J., Millar, R. & Scott, P. (1996). Young People’s Image of Science. Buckingham: Open University Press. Dudu, W. T. (2014). Exploring South African high school teachers, conceptions of the nature of scientific inquiry: a case study. South African Journal of Education, 34(1): 782-800. http://www.sajournalofeducation.c o.za. Erdogan, R., Cakiroglu, G. & Tekkaya, C. (2006). Investigating Turkish preservice science teachers’ views of the nature of science. In C.V. Sunal & K. Mutua (Eds), Research on Education in Africa, the Carribean and the Middle East (pp. 273-285). Greenwich: Information Age. Faikhamta, C. (2013). The development of Inservice science teachers’ understandings of and orientatioms to teaching the nature of science within a PCK-Based NOS Course. Research in Science Education 43: 847-869. Goldstein, M & Goldstein, I.F. 1980. How We Know, New York: Plenum Press. Hanuscin, D. L. & Lee, E. J. (2009). Helping students understand the Nature of science. Science and Children: 64-65. Koksal, M. S. & Sahin, C. T. (2013). Understanding of Graduate Students on Nature of Science. International Journal Modern
Education and Computer Science, 4: 43-48. Kuhn, T. S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press. Lawson, A. E. (1995). Science Teaching and the Development of Thinking. Belmont California: Wadsworth Publishing Company Lederman, N.G. (1992). Students’ and teachers’ conceptions about the nature of science: A review of the research. Journal of Research in Science Teaching, 29: 331-359. Lederman, N.G. 1998. The State of Science Education: Subject Matter Without Context. Electronic Journal of Science Education (3)2. http://unr.edu/homepage/jcannon/ej se/ejsev3n2.html Lederman, N. G., Abd-El-Khalick, F., Bell, R.L. & Schwartz, R.S. (2002). Views of Nature of Science Questionnaire (VNOS): Toward valid and meaningful assessment of learners’ conceptions of nature of science. Journal of Research in Science Teaching, 39 (6), 497-521. Leden, L, Hansson, L., Redfors, A., & Ideland, M. (...). Why, when and how to teach nature of science in compulsory school-teachers’ views. http://hkr.divaportal.org/smash/get/diva2:662526/FU LLTEXT01.pdf
Lederman, N.G. (1999). Teachers’ understanding of the nature of science and classroom practice: factors that facilitate or impede the relationship. Journal of Research in Science Teaching 36 (8): 916929.
18
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Liang, L., L., Chen, S., Chen, X. Kaya, O. N., et al., (2009). Preservice teachers’ views about nature of scientific knowledge development: an international collaborative study: International Journal of Science and Mathematics Education, 7: 987-1002. McComas, W. F. & Olson, J. K. (1998). The nature of science in international science education standards documents. In McComas (Ed.). The nature of science in science education: rationales and strategies (pp. 41-52). The Netherlands: Kluwer Academic. McComas, W., M. Clough, and Almazroa, H. (1998). The Nature of Science in Science Education: Rationales and strategies. W.F. McComas (Ed.) Boston: Kluwer Academic Publisher. Nehm, R. H., Kim, S. Y., Sheppard, K. (2009). Academic preparation in biology and advocacy for teaching evolution: biology versus nonbiology teachers. Science Teacher Education. Willey InterScience (www.interscience.wiley.com). National Science Teacher Association (NSTA). (2000). Position Statement: The Nature os Science. www.nsta.org/positionstatement&p sid Ozgelen, S., Yilmaz-Tuzun, O., Hanuscin, D. L., (2013). Exploring the development of preservice science teachers’ views on the nature of science in Inquiry-based laboratory instruction. Research in Science Education 43:1551-1570. Pomeroy, D. (1993). Implications of teachers’ beliefs about the nature of science: Comparison of the beliefs of scientists, secondary science
teachers, and elementary teachers. Science Education, 77 (3), 261278. Rannikmae, M., Rannikmae, A. & Holbrook, J. (tanpa tahun). Science Teachers’ understanding of the nature of science educationImplications for teaching. http://cms.ua.pt/eustdweb/files/Proc08RannikmaeredIng o.pdf Roberts, D. A. (2007). Scientific literacy/science literacy. In S. K. Abell & N. G. Lederman (Eds), Handbook of research on science education (pp 729-780). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Ryan, A. G. & Aikenhead, G. S. (1992). Students’ preconceptions about the epistemology of science. Science Education, 559-580. Schwartz, R. S., Lederman, N. G. & Crawford, (2004). Developing views of nature of science in an authentic context: An explicit approach to bridging the gap between nature of science and scientific inquiry. Science Education 88(4):610-645. Sevim, S. & Pekbay, C. A. (2012). A study toward teaching the nature of science to pre-service teachers. Turkish Science Education 9 (3): 207-227. Thye, T. L. & Kwen, B. H. (2004). Assessing the Nature of Science Views of Singaporean Pre-Service Teachers. Australian Journal of Teacher Education, 29(2): Weinburgh, M., (2003). A leg (or three) to stand on. Science and Children 40(6): 28-30.
19
Biodidaktika, Volume 11 No 2, Juli 2016 ISSN: 1907-087X
Yalaki, Y. & Cakmaci, G. (2010). A conversation with Michael R. Matthews: The contribution of history and Philosophy of science to science teaching and research. Eurasi Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 6 (4): 287-309. Yalcinoglu, P. & Anagul, S. S. (2012). Teaching nature of science by explicit approach to the preservice elementary science teachers. Elementary education Online 11(1): 118-136. http://ilkogretimonline.org.tr
20