ORIENTASI RASA Oleh Maria Dorotea
BULAN DAN MATAHARI Aku menantinya. Merindu saat bersama. Siang,
aku
mohonkan
untuk
enggan
menenggelamkan diriku, wahai Matahari, biar tercipta lukisan warna jingga di langit-langit angkasa di ufuk barat. Senja. Berharap detikdetik pergantian hari adalah momen perjumpaan denganmu, duhai Bulan. Apakah kita ini memang Matahari dan Bulan yang saling berpaling hadir di antah berantah bumi manusia? Ketika aku muncul, tiadalah
engkau.
Dan
ketika
engkau
mengangkasa, giliran aku yang entah kemana.
Kita
sama
sebagai
penghuni
yang
mengangkasa. Berada di langit yang sama. Nampaknya dekat. Tapi tidak pernah berujung putaran bumi ini, demikian juga tidak pernah kita tahu kapan kita akan bersua. Kita dekat, tapi jauh. Beruntung ada senja. Aku berjumpa denganmu dalam waktu itu, Bulan. Bersama senja aku kirim asa. Ketika senja, aku cecap saja segala rasa yang hadir itu. Dalam senja, aku terjemahkan rasa yang hadir saat mata kita beradu. Rindu ini pun berujung kala senja. Aku, Matahari. Sepanjang hari tidak pernah ku lalui terlambat menyinari bumi. Demikian aku diciptakan. Tidak ada yang mampu menggantikan aku, karena demikianlah tujuan khusus Ilahi untukku. Sinar ini bukan untukku tapi seluruh makhluk di bumi. Aku berikan secara maksimal agar mereka mengerti makna
siang
hari.
Waktu-waktu
mereka
berjuang menemukan tujuan hidup lewat segala aktivitas mereka berbaur dengan sinarku yang sengat itu. Siang dalam perjuangan. Agar mereka mengerti makna setiap keringat yang mengucur,
letih
yang
menemani
dan
kebersamaan dengan orang lain yang tidak pernah letih mencipta rindu. Sengat sinarku sering menjengkelkan mereka, itu dengan tujuan mereka mengerti apa makna malam hari. Supaya mereka pun menggunakan malam hari sebagai waktu perenungan yang indah dengan menyaksikan terang yang menggantung dalam gelap angkasa. Waktu istirahat yang begitu indah dan lelap, di bawah benderang sinarmu, Bulan.
Kamu, adalah pesona malam yang
begitu dikagumi oleh banyak orang. Ini aku. Matahari. Bumi mungkin akan marah karena sinarku tampak lebih menyegat bagi mereka. Apa salahku. Mereka yang
melubangi sendiri Ozon itu. Bukanlah semua ulah
mereka
sebagai
citraan
Ilahi
yang
mengemban tugas atas alam ini. Tidak banyak yang aku bisa lakukan untuk bumi. Tolonglah engkau tetap mendingingkan malam dalam lelap dan menghiasi syahdu langit dengan sinarmu. Kamu akan menjadi pesona malam yang begitu dinantikan. Bahkan banyak diingini. Demikianlah engkau, Bulan tercipta. Untuk tujuan khusus yang tidak akan pernah diambil oleh siapapun. Bayangkan bagaimana jika ada dua matahari. Bulan juga ada dua. Aku tidak tahu akan seperti apa bumi ini. Bisa-bisa bencana yang terjadi. Kita tercipta untuk menjadi kita. Bagaimanapun usaha kita menjadi dia. Hanya akan menyisakan letih dan putus asa. Kita hanya perlu tahu saja, tujuan istimewa apa yang Tuhan sudah tetapkan bagi kita.
Bila pun Matahari dan Bulan telah mengetahui tujuan istimewa masing-masing. Apakah adanya mereka memang tercipta untuk bersama? Mereka selalu dekat karena berada di langit yang sama. Tetapi saling menjauh. Dan saat mereka menjauh pun, tanpa pernah menyadarinya
mereka
begitu
dekat.
Demikianlah Bulan dan Matahari. Bulan dan Matahari. Tercipta untuk tujuan yang satu. Aku dan Bulan tercipta untuk bersama. Kemanakah kita sejauh ini sampai tak pernah kita sadari bahwa tanpamu dan tanpaku tujuan
agung
itu
tidak
pernah
terwujud
sempurna. Ada apakah dengan kita? Mengapa perpindahan sore menuju malam tak pernah kita bisa terjemahkan rasanya. Hanya habis kita lalui. Satu siang penuh Matahari, senja datang, dan saat malam muncullah Bulan. Bulan berganti, matahari menyapa pagi. Begitu saja.
Dan terus begitu. Tanpa kita coba kenali rasa apa yang sempat datang di antara detik pergantian waktu itu. Segalanya terasa tanpa kita duduk untuk berbicara bagaimana ini terasa diantara kita. Tanpa pernah terungkap, rasa ini mendorong kita saling memperhatikan, peduli, tanpa pernah merasa kehilangan. Tanpa pernah menuntut. Tidak pernah kita tahu kenapa kita rela menjadi
pemilik kasih
pribadi lain,
sementara rasa diantara kita belum selesai diterjemahkan kata. Aku tetap ingin menjadi Matahari. Menjadi satu-satunya Matahari bagi bumi ini. Satu-satunya pula yang bisa menikmati satu perpindahan yang indah menuju malam. Karena di titik itu ku jumpai Bulan. Aku hanya ingin terus menjadi Matahari, agar tetap terus bersama Bulan. Aku pikir ini pun sudah menjadi ketetapan untukku dan Bulan.
Haruskah
Matahari
melewati
sepanjang
hari
untuk
selamanya bertanya akan hal yang sama? Rasa apakah yang hadir antara aku dan Bulan? ***