UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular
SKRIPSI
SIVIA NURULLIANA SEPTIANINGRUM 108102000025
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JANUARI 2013
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SIVIA NURULLIANA SEPTIANINGRUM 108102000025
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JANUARI 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Sivia Nurulliana Septianingrum
NIM
: 108102000025
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 21 Januari 2013
iii
HALAMAN PERSERUJUAN PEMBIMBING
Nama
: Sivia Nurulliana Septianingrum
NIM
: 108102000025
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat
(TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular
Disetujui oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Azifitria, M.Si., Apt. NIP. 197211272005012004
Yuni Anggraeni, M.farm., Apt. NIP. 198310282009012008
Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt.
iv
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum NIM : 108102000025 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. DEWAN PENGUJI Pembimbing I
: Dr. Azifitria, M.Si., Apt.
(
)
Pembimbing II
: Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt.
(
)
Penguji I
: Sabrina, M.Farm., Apt.
(
)
Penguji II
: Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt.
(
)
Penguji III
: Supandi, M.Si., Apt.
(
)
Ditetapkan di Tanggal
: Jakarta : 21 Januari 2013
Mengetahui, Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. Dr. dr. (hc). MK. Tadjudin, Sp.And.
v
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul Skripsi
: Sivia Nurulliana Septianingrum : Farmasi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular.
Mikroemulsi dipilih sebagai pembawa testosteron undekanoat dalam rangka mencari formula alternatif injeksi intramuskular TU. Pada penelitian ini perbandingan campuran minyak (isopropil miristat : minyak jarak : benzil bezoat) untuk meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat diinvestigasi. Selanjutnya, dibuat sediaan mikroemulsi dengan berbagai komposisi minyak, air dan surfaktan dengan perbandingan campuran minyak (20 : 8 : 41) lalu dimasukan ke dalam diagram fase pseudoterner. Formula yang paling stabil dievaluasi meliputi cycling test, uji sentrifugasi, uji pH dan uji ukuran partikel serta dilakukan uji difusi dan dibandingkan dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran. Uji difusi menggunakan sel difusi Franz dengan membran otot tikus galur Sprague dawley bagaian biceps femoris serta kompartemen reseptor berisi phosphate buffer saline pH 7,4. Hasil evaluasi menunjukan sediaan mikroemulsi terpilih adalah formula J yang terdiri dari fase air 3% air dan surfaktan (Tween 80) 28%, serta campuran fase minyak 69% memberikan stabilitas fisik yang baik dengan range pH 6-7 dan ukuran partikel 90,1 nm. Setelah 8 jam pengujian difusi didapatkan Persen TU terpenetrasi pada mikroemulsi dan kosolvensi yang beredar dipasaran secara berturut–turut adalah 1,026 % ; 2,698% dan fluks secara berturut-turut yaitu 63,95 μg/cm2.jam ; 170,476 μg/cm2.jam. Dari hasil uji difusi secara in vitro menunjukan mikroemulsi mempunyai penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
Kata kunci
: Testosteron Undekanoat, Mikroemulsi, Diagram fase pseudoterner, sel difusi Franz
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Nama Program Study Tittle
: Sivia Nurulliana Septianingrum : Pharmacy : Optimization and Preparation Testosterone Undecanoate (TU) Microemulsions with Optimum Strength Intramuscular Injection Administration
Microemulsion chosen as the carrier of undekanoat testosterone in order to find an alternative formula of TU intramuscular injection. In this study the mixing ratio of oil (isopropyl myristate: castor oil: benzyl bezoat) to increase solubilization undekanoat testosterone was investigated. Furthermore, microemulsions were made with various compositions of oil, water and surfactant with oil mixture ratio (20: 8: 41) and then inserted into the pseudoterner phase diagram. The most stable formula was evaluated include cycling test, centrifugation test, pH test, particle size test, and then difussion test and compared with cosolvensi preparations in the marketplace. Diffusion test using Franz diffusion cells with membrane strain of Sprague Dawley rat muscle biceps femoris and the receptor compartment is containing phosphate buffered saline pH 7.4. The result of evaluations shown formula J as the selected microemulsion preparation comprising water phase 3%, and surfactant (Tween 80) 28%, also 69% oil phase mixture gave good physical stability with pH range 6-7 and particle size 90.1 nm. After 8 hours of diffusion tested, percentation of TU in microemulsion and cosolvensi in the marketplace respectively were 1.026%, 2.698% and flux respectively were 63.95 μg/cm2.hour; 170.476 μg/cm2.hour. The result of in vitro diffusion test shown that microemulsion had a lower penetration than cosolvensi preparations in the marketplace.
Key Word
: Testosterone Undecanoate, Microemulsions, Pseudo-Ternary Phase Diagrams, Franz Diffusions Cell
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
يم ْ ِب ِ س ِم هللاِ ال َّر ْحم ِن ال َّر ِح Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat
dan karunia-Nya
yang
tidak
terhimgga
sehimgga
saya
dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari segala pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, kiranya sulit bagi saya untuk menyelesaikan penulisan ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati saya
menyampaikan terimakasih yang tulus kepada: 1) Ibu Dr. Azifitria, M.Si., Apt. selaku pembimbing pertama dan Yuni Anggraeni, M.farm, Apt. sebagai pembimbing kedua yang selalu sabar membimbing dan memberi saran dalam penyusunan skripsi dan teknis pengerjaan selama penelitian berlangsung sampai tersusunnya skripsi ini. 2) Bapak Prof. (hc) dr. MK. Tadjudin s.and., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3) Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4) Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5) Kedua orang tua saya tercinta Bapak Suroso dan Ibu Rosmalarita atas doa, nasehat, perhatian, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan baik moral maupun materil yang diberikan kepada saya. 6) Adik-adik tersayang Hafina Rehana Jannah dan Shalscha Fatimah Az Zahra yang
selalu
mendoakan
dan viii
menyemangati
selama
ini.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7) Seluruh karyawan dan laboran khususnya Eris Risenti Amd. yang telah membantu saya selama penelitian di dalam laboratorium. 8) Ilham Adraviatma S.Kom. atas segala bantuan, saran, semangat dan doa yang tiada henti kepada saya agar skripsi ini selesai tepat pada waktunya. 9) Teman-teman terbaik (Widya dwi arini, RR. Alvira Widjaya, Indah Prihandini, Amalia Khairunnisa, Ade Fithrotinnadhiroh, Septi Purnamasari, Yosseane Widia Kristi) yang tidak bosan untuk memberikan saran dan semangat dan selalu mendorong saya untuk cepat menyelesaikan skripsi ini. 10) Teman-teman satu perjuangan dalam labolatorium Dina Haryani, Dwi Nur Astria, dan Mahmudah yang selalu membuat suasana di labolatorium menjadi hangat seperti keluarga. 11) Teman-teman ALCOOLIQUE yang selalu mewarnai hari-hari selama masa kuliah (yuni, endah, sinthi, nia, dian, fitri, dewa, ikhsan) dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 12) Seluruh teman-teman farmasi 2008 yang banyak membantu selama masa perkuliahan maupun selama penelitian serta atas kebersamaan yang tidak akan terlupa. Saya berharap Allah SWT, berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta,
Januari 2013 Penulis
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi Fakultas Jenis Karya
: Sivia Nurulliana Septianiingrum : 108102000025 : Farmasi : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya yang berjudul : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum Pada Penggunaan Injeksi Intramuskular. untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan UndangUndang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 21 Januari 2013 Yang menyatakan,
(Sivia Nurulliana Septianingrum)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISININALITAS ........................................ HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ABSTRAK ....................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
ii iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................
1 1 3 3 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Testosteron Undekanoat .................................................................. 2.2 Mikroemulsi ................................................................................... 2.2.1 Tipe-Tipe Mikroemulsi .......................................................... 2.2.2 Surfaktan ............................................................................... 2.2.3 Ko-surfaktan .......................................................................... 2.2.4 Komponen Mikroemulsi ........................................................ 2.2.4.1 Benzil Benzoat ............................................................. 2.2.4.2 Isopropil miristat (IPM) ................................................ 2.2.4.3 Minyak Jarak ( Castrol Oil ) ......................................... 2.2.4.4 Tween 80 ...................................................................... 2.3 Kestabilan Mikroemulsi .................................................................. 2.4 Sediaan Parenteral Intramuskular .................................................... 2.5 Uji Difusi ........................................................................................ 2.6 Hukum Fick .................................................................................... 2.7 Sel Difusi Statis (Franz Cell) .......................................................... 2.8 Prosedur dan Alat Pengujian Difusi ................................................ 2.9 Solubilisasi .....................................................................................
5 5 7 8 9 11 11 11 12 13 13 13 14 15 15 16 17 19
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 3.1 Alur Penelitian ................................................................................ 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 3.3 Alat dan Bahan ............................................................................... 3.3.1 Alat .......................................................................................
22 22 23 23 23
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.2 Bahan .................................................................................... Prosedur Kerja ................................................................................ 3.4.1 Percobaan Pendahuluan ......................................................... 3.4.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi... 3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi ........................................................ 3.4.4 Evaluasi Mikroemulsi ............................................................ 3.4.4.1 Cycling Test ............................................................... 3.4.4.2 Uji Sentrifugasi .......................................................... 3.4.4.3 Uji pH ........................................................................ 3.4.4.4 Uji Ukuran Partikel .................................................... 3.4.5 Uji Difusi ............................................................................... 3.4.5.1 Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar Sampel Menggunakan KCKT ..................................... 3.4.5.2 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran .................... 3.4.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ........................................ 3.4.6 Analisis Data .........................................................................
23 23 23 24 26 26 26 26 26 27 27
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 4.1. HASIL ............................................................................................ 4.1.1 Percobaan Pendahuluan ......................................................... 4.1.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi .. 4.1.3 Pembuatan Mikroemulsi ........................................................ 4.1.4 Evaluasi Mikroemulsi Lanjutan ............................................. 4.1.4.1 Cycling Test ............................................................... 4.1.4.2 Uji Sentrifugasi .......................................................... 4.1.4.3 Uji pH ........................................................................ 4.1.4.4 Uji Ukuran Partikel .................................................... 4.1.5 Uji Difusi ............................................................................... 4.1.5.1 Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat untuk Cuplikan Uji Difusi .................................................... 4.1.5.2 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran .................... 4.1.5.3 Hasil Uji Difusi Sediaan Mikroemulsi dibandingkan Sediaan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran .............. 4.2. PEMBAHASAN .............................................................................
30 30 30 31 32 32 32 33 33 33 33
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 5.2 Saran ..............................................................................................
46 46 46
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
47
3.4
xii
28 28 28 29
33 34 34 36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut ................. Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik ..................................... Tabel 3.1 Perbandingan Campuarn Minyak ...................................................... Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi ........................................................ Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran Minyak ............................................................................................. Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan ............................................. Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Partikel Mikroemulsi ........................................... Tabel 4.4 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran .................................................................... Tabel 4.5 Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ........................................................................................ Tabel 4.6 Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan ......................................
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6 12 24 25 30 30 33 34
35 36
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5
Rumus Bangun Testosteron Undekanoat ....................................... Mekanisme Aksi Testosteron Undekanoat .................................... Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi ................................................ Molekul Surfaktan ........................................................................ Rumus Bangun Benzil Benzoat .................................................... Rumus Bangun Isopropil Miristat ................................................. Ketidakstabilan Emulsi ................................................................. Franz Diffusion Cell ..................................................................... Solubilisasi Sebagai Reaksi Permukaan ........................................ Diagram Fase pseudoterner .......................................................... Hasil Uji Cycling Test Mikroemulsi .............................................. Mikroemulsi Setelah Sentrifugasi ................................................. Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat ...................................... Grafik Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Bereadar di Pasaran ..................................................................... Gambar 4.6. Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Kosolvensi yang beredar di Pasaran Selama 8 jam ...........
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 6 9 9 11 12 14 17 21 31 32 33 34
35 36
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Konsentrasi dan AUC dari Kurva Kalibrasi .......................... Lampiran 2 Contoh Perhitungan Jumlah Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Komersil Jam ke-3 ............................... Lampiran 3 Contoh Perhitungan persen Zat Aktif yang Terpenetrasi dari Sediaan Kosolvensi Terhadap Kadar yang diaplikasikannya ......... Lampiran 4 Contoh Perhitungan Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi ................................................................................. Lampiran 5 Perhitungan Kadar testosteron Undekanoat Sebenarnya yang dimasukan ke Dalam Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi 1 .................................................................................... Lampiran 6 Hasil Uji Penetrasi Testosteron Undekanoat dalam Larutan Phosphate Buffer Saline pH 7,4 dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Komersi yang Beredar ..................................................... Lampiran 7 Gambar Hasil Optimasi Formula .................................................. Lampiran 8 Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan ..................................... Lampiran 9 Gambar Hasil Distribusi Ukuran Partikel Sediaan Sebelum Cycling Test ................................................................................ Lampiran 10 Kromatogram TU dalam Sediaan Mikroemulsi ............................. Lampiran 11 Kromatogram TU dalam Sediaan Kosolvensi yang Beredar .......... Lampiran 12 Kromatogram TU dalam PBS ....................................................... Lampiran 13 Kromatogram Blangko Medium PBS ........................................... Lampiran 14 Certificate of Analysis Testosteron Undekanoat ........................... Lampiran 15 Certificate of Analysis Benzil Benzoat ......................................... Lampiran 16 Certificate of Analysis Minyak Jarak ............................................
xv
51 52 52 53
54
55 56 57 58 59 59 60 60 61 62 63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kelarutan suatu zat berkhasiat memerankan peran penting dalam formulasi
suatu sediaan farmasi (Kim CK, & Park KM, 1999 dalam Rahmawati J., 2004). Rendahnya kelarutan suatu zat hidrofobik menyebabkan kecilnya penetrasi obat tersebut dalam tubuh sehingga kegunaan obat menjadi tidak efisien (Lawrence, & Ress, 2000). Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17β-yl undecanoate) bersifat hidrofobik dengan nilai kelarutan dalam air 0,00052 mg/ml (Saraswati A., 2012) dan nilai koefisien partisi [n-oktanol/air] (log P) sebesar 6,91+ 0,49 (Azifitria, 2012). Secara klinik testosteron undekanoat (TU) digunakan untuk pengobatan hypogonadism dan sedang dikembangkan sebagai kontrasepsi hormonal pada pria (Kamischke A., 2005 dalam Wistuba J., 2005). Sifat testosteron undekanoat yang sangat hidrofobik menyebabkan tantangan dalam memformulasikannya. Salah satu sediaan komersil TU yang beredar di pasaran adalah dalam bentuk kapsul lunak dengan dosis 40 mg tetapi dosis yang dibutuhkan 80 mg sehingga pasien harus meminum 2 kapsul. Setiap kapsul mempunyai berat sekitar 777 mg sehingga jika diminum 2 kapsul menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Muchow M., 2011). Pemberian secara oral mempunyai kelemahan dalam hal mempunyai waktu paruh yang pendek setelah dikonsumsi (Nieschlag E., 2006). Berdasarkan keterbatasan sediaan oral tersebut maka dikembangkan formula testosteron undekanoat dalam bentuk injeksi intramuskular. Pemberian Injeksi intramuskular testosteron undekanoat mempunyai waktu paruh yang panjang (+ 70 hari) sehingga pemberianya dapat dilakukan setiap 3 bulan (Zitzmann M., 2006). Pengembangan formulasi obat-obat hidrofobik yang ditujukan
untuk
penggunaan
parenteral
lebih
sulit
dibanding
dengan
pengembangan obat hidrofobik untuk penggunaan oral (Date, A.A. & Nagarsenker, M.S., 2008) karena keterbatasan kelarutannya.
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Injeksi intramuskular testosteron undekanoat yang beredar di pasaran diformulasi dalam bentuk kosolvensi minyak jarak. Formula testosteron undekanoat belum berkembang banyak, hanya sebatas penggantian minyak yang menjadi pembawanya. Di negara China minyak yang digunakan adalah minyak biji teh. Akan tetapi, penggunaan minyak biji teh mengharuskan penyuntikan dalam volume besar karena kelarutan testosteron undekanoat kecil pada minyak biji teh. Formulasi dengan pembawa minyak mempunyai kelemahan yaitu dapat menimbulkan nyeri saat disuntikan. Oleh karena itu, formula injeksi testosteron undekanoat perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menghasilkan sediaan yang dapat mengurangi rasa nyeri saat penyuntikan. Salah satu teknologi formulasi yang dapat dijadikan sebagai sediaan parenteral adalah mikroemulsi. Mikroemulsi mempunyai kelebihan yaitu dapat meningkatkan solubilisasi zat aktif lipofilik dan meningkatkan bioavailibilitas obat dalam sirkulasi sistemik. Mikroemulsi stabil secara termodinamika, transparan, viskositasnya rendah, preparasi mudah (Date, A.A. & Nagarsenker, M.S., 2008) serta mempunyai ukuran partikel yang kecil (10-100 nm) (Myers D., 2006). Selain itu, peningkatan profil farmakokinetik terlihat pada pengembangan formulasi paclitaxel yang dibuat dalam bentuk mikroemulsi dibandingkan dengan kosolven. Nilai Area Under Curve (AUC) mikroemulsi paclitaxel adalah 34,98 gmL-1.h sedangkan dalam kosolven 21,98 gmL-1.h (He L et al., 2003). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Retno Kemala Dewi (2010), testosteron undekanoat dapat dijadikan dalam bentuk mikroemulsi yang stabil selama 2 bulan penyimpanan. Namun, mikroemulsi yang dibuat menggunakan ko-surfaktan etanol. Azrifitria (2011) membuat mikroemulsi testosteron undekanoat dalam bentuk kombinasi dengan MPA. Namun dalam mikroemulsi tersebut belum diketahui kapasitas maksimal testosteron undekanoat yang dapat tersolubilisasi. Kemampuan mikroemulsi dalam mensolubilisasi zat aktif berhubungan dengan volume pemberian. Hal ini dikarenakan pemberian secara intramuskular harus memenuhi syarat pemberian maksimal untuk sediaan intramuskular yaitu 4 mL (TPC,92; Lachman 1992). Jika diberikan lebih dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
volume maksimal akan mengakibatkan nyeri bahkan dapat menyebabkan nekrosis. Penelitian yang dilakukan Afrini (2012) memperlihatkan kelarutan testosteron undekanoat pada beberapa pelarut antara lain isopropil miristat, minyak jarak, benzil benzoat, tween 80, dan air. Hasilnya menunjukan kelarutan testosteron undekanoat paling besar pada benzil benzoat dan peningkatan benzil benzoat dalam sediaan mikroemulsi dapat meningkatkan kelarutan testosteron undekanoat. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk membuat mikroemulsi TU sesuai dosis klinis 1000 mg dengan memperhatikan volume maksimal pemberian intramuskular (4 mL) mikroemulsi yang dibuat dengan komponen isopropil miristat, minyak jarak, benzil benzoat sebagai fase minyak, tween 80 sebagai surfaktan dan air sebagai fase airnya dengan variasi konsentrasi fase minyak dan surfaktan. Selanjutnya, mikroemulsi yang dibuat dievaluasi meliputi cycling test, uji pH, uji sentrifugasi, uji ukuran partikel serta dilakukan uji difusi secara in vitro yang dibandingkan dengan uji difusi sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
1.2
Rumusan Masalah 1. Apakah mikroemulsi yang dibuat dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat di dalamnya? 2. Bagaimanakah profil uji difusi testosteron undekanoat dalam sediaan mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran?
1.3
Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan formula mikroemulsi TU yang dapat meningkatkan solubilisasi TU. 2. Membandingkan laju difusi hormon testosteron undekanoat dari sediaan mikroemulsi yang dibuat dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mendapatkan formula mikroemulsi testosteron
undekanoat yang dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat sehingga dapat dibuat sesuai dosis klinis serta mengetahui profil difusi mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Testosteron Undekanoat
Gambar 2.1. Rumus Bangun Testosteron Undekanoat (H.M Behre et al., 2000)
Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17β-yl undecanoate; 17βHydroxyandrost-4-en-3-one undecanoate) mempunyai 30 atom C, 48 atom H dan 3 atom O (C30H48O3) serta mempunyai bobot molekul 456,7. Secara organoleptis testosteron undekanoat berbentuk kristal atau serbuk kristal tidak berbau dan tidak berwarna atau putih serta tidak berasa. Testosteron undekanoat merupakan derivat testosteron yang berbentuk ester yang dihasilkan melalui esterifikasi testosteron alami pada posisi 17β. Panjangnya rantai atom karbon yang dimiliki testosteron undekanoat menyebabkan hormon ini bersifat sangat hidrofobik. Estserifikasi mengurangi kepolaran suatu zat namun meningkatkan kelarutan terhadap minyak/lemak. Kelarutan testosteron undekanoat yaitu sangat mudah larut dalam metanol dan larut dalam minyak nabati dan etanol. Testosteron undecanoat stabil di bawah suhu dan temperatur normal. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Saraswati 2012 diketahui kelarutan tu pada beberapa komponen
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut
Pelarut Benzil Benzoat Isopropil Miristat Minyak jarak Tween 80 Air
TU (mg/mL)* 544,17096 ± 19,52971 289,59857 ± 16,90818 162,06436 ± 55,68066 37,95878 ± 4,72130 0,00052 ± 0,00012
Mekanisme kerja TU berawal dari hidrolisis terhadap gugus ester. Hasil hidrolisis kemudian berikatan dengan reseptor spesifik dari hormon testosteron membentuk kompleks. Kompleks hormon-resrptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA.
Gambar 2.2. Mekanisme Aksi Testosteron Undekanoat (Ilyas, 2008)
Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel (Ilyas, 2008). Spermatogenesis memerlukan kerja stimulasi dari kedua hormon gonadotropin di hipofisis yaitu LH dan FSH. LH berfungsi untuk menstimulasi sel leydig untuk memproduksi testosteron dan mempertahankan kadar testosteron
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
agar tetap tinggi di dalam testis yang dibutuhkan untuk spermatogenesis. Sedangkan FSH berfungsi untuk menginisiasi proses spermatogenesis. Kontrasepsi hormonal bekerja menghambat sekresi GnRH yang ada pada hipotalamus sehingga kadar testosteron intra-testikuler menjadi rendah yang mengakibatkan
mengurangi
atau
mencegah
spermatogenesis.
Pemberian
testosteron dari luar menyebabkan kadar testosteron dalam darah tetap tinggi menyebabkan reaksi umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga produksi FSH dan LH menurun sehingga proses spermatogenesis terhambat. Bioavailibilitas TU hanya sekitar 7% di dalam tubuh (Muchow, Maincent, Muller, & Keck 2011) Testosteron ester lambat diabsorbsi ke dalam peredaran darah dan secara cepat berubah menjadi metabolit aktif yang tidak teresterifikasi. Ekskresi testosteron 90% melalui urin, 6% melalui feses dalam bentuk asal, metabolit dan konjugat. Hanya 30% dari 17-ketosteroid yang diekskresi melalui urin, dengan demikian kadar 17-ketosteroid urin tidak menggambarkan jumlah sekresi androgen oleh testis tetapi terutama oleh korteks adrenal (Katzung, 2004; Ilyas, 2008).
2.2
Mikroemulsi Mikroemulsi adalah sistem dispersi minyak dan air yang secara
termodinamika stabil, transparan atau jernih yang distabilkan oleh lapisan antarmuka dari molekul surfaktan (El-Laithy, 2003). Mikroemulsi terdiri dari empat komponen yaitu minyak, air, surfaktan dan kosurfaktan. Hampir semua penggunaan tunggal surfaktan baik ionik maupun nonionik tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air yang mendekati nol. Oleh karena itu, kosurfaktan dibutuhkan dalam pembuatan mikroemulsi (Kim, & Cherng-ju, 2004). Dalam prakteknya, kunci perbedaan antara emulsi dan mikroemulsi adalah pembentukannya. Emulsi cenderung membentuk dua lapisan di fasa awal sedangkan
mikroemulsi
tidak
dan
mikroemulsi
bersifat
stabil
secara
termodinamik. Selain itu, secara penampilan emulsi terlihat keruh sedangkan mikroemulsi terlihat jernih dan transparan (Lawrence et al., 2000). Penggunaan surfaktan pada emulsi biasanya 0,1% sedangkan mikroemulsi sedikitnya 10%.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
Dari segi ukuran droplet (tetesan), emulsi memiliki ukuran diatas 103 nm sedangkan mikroemulsi memiliki ukuran 10 nm–100 nm (Myers D., 2006). Mikroemulsi terbentuk dari dua cairan tak tercampurkan yang saling menguntungkan dimana salah satunya secara spontan terdispersi ke dalam cairan lainnya dengan bantuan satu atau lebih surfaktan dan kosurfaktan (Rakshit dan Satya, 2008). Hubungan perilaku fase di dalam mikroemulsi dapat terlihat dengan bantuan diagram fase (Phase Diagram). Diagram fase ini berguna untuk menentukan komposisi yang tepat dari fase air, minyak dan surfaktan yang akan membentuk suatu sistem mikroemulsi. Perilaku fase sederhana sistem mikroemulsi dapat dipelajari dengan bantuan diagram tiga fase (pseudo-ternary phase diagram) yang setiap sudut diagram mewakili 100 % tiap komponen mikroemulsi (air, minyak,surfaktan) (Bakan, J.A., 1995). Mikroemulsi dapat diberikan secara parenteral. Kelebihan mikroemulsi jika digunakan untuk parenteral adalah sebagai berikut: a) ukuran droplet yang kecil sehingga jika masuk ke dalam sirkulasi darah tidak menghambat peredaran darah, b) stabil secara termodinamika, c) kemampuan mensolubilisasi yang besar, d) viskositas yang rendah, e) dapat disterilkan dengan filtrasi, f) mengurangi rasa sakit pada injeksi jika dibandingkan dengan sediaan pelarut campur, g) mikroemulsi air dalam minyak dapat digunakan untuk penghantaran obat terkontrol.
2.2.1 Tipe-Tipe Mikroemulsi Ada tiga tipe sistem dispersi yang dibentuk oleh mikroemulsi yaitu tipe minyak dalam air (M/A atau O/W), tipe air dalam minyak (A/M atau W/O) dan tipe kesetimbangan air dan minyak (bicountinous structure). Tipe sistem dispersi mikroemulsi tersebut terbentuk tergantung komposisi dari komponen mikroemulsi itu sendiri.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Gambar 2.3. Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi (Lawrence dan Rees, 2000)
Mikroemulsi tipe M/A atau O/W akan terbentuk jika volume fraksi minyak lebih sedikit dari volume fraksi air. Sebaliknya, mikroemulsi tipe A/M atau W/O akan terbentuk jika volume fraksi minyak lebih banyak dari volume fraksi air. Sedangkan mikroemulsi tipe kesetimbangan air dan minyak (bicountinous structure) akan terbentuk jika volume fraksi minyak sama banyak dengan volume fraksi air (Lawrence dan Rees, 2000).
2.2.2 Surfaktan Surfaktan atau zat aktif antarmuka adalah suatu zat yang dapat menurunkan tegangan antarmuka (Martin, 1993). Surfaktan mempunyai struktur bipolar yaitu bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Hal ini menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritasnya.
Gambar 2.4. Molekul Surfaktan (Gevarsio,1996)
Ada empat jenis surfaktan berdasarkan ionisasinya dalam larutan air yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Myers, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active), seperti gugus karboksilat sulfat atau sulfonat. Secara luas, surfaktan ini banyak digunakan karena harganya yang murah. Namun, surfaktan ini dapat menyebabkan iritasi dan toksik sehingga hanya digunakan untuk sediaan luar. Surfaktan ini hanya menghasilkan emulsi A/M. Contoh surfaktan ionik yaitu: Garam Na, K, atau ammonium dari asam lemak rantai panjang seperti sodium stearat, Sodium lauril sulfat dan sebagainya (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface active). Surfaktan ini memiliki sifat toksik sehingga cenderung digunakan untuk formula krim antiseptik. Contohnya
surfaktan
kationik
yaitu
cetrimide,
cetrimonium
bromide
benzalkonium klorida dan quarternery ammonium salt (QUAT) (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan nonionik mempunyai kemampuan melarutkan senyawa yang kurang larut dan memiliki toksisitas rendah. Contoh surfaktan nonionik yaitu: Glikol dan gliserol ester, Sorbitan ester, Polysorbate, PEG, Poloxalkol (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Surfaktan membantu pembentukan emulsi dengan mengabsorpsi pada antar muka, dengan menurunkan tegangan interfasial dan bekerja sebagai pelindung agar butir-butir tetesan tidak bersatu. Emulgator membantu terbentuknya emulsi dengan 3 jalan yaitu (Mayers D., 2006): 1) penurunan tegangan antar muka (stabilisasi termodinamik), 2) terbentuknya film antar muka yang kaku (pelindung mekanik terhadap koalesen), 3)Terbentuknya lapisan ganda listrik, merupakan pelindung listrik dari partikel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
2.2.3 Ko – Surfaktan Kosurfaktan merupakan molekul kecil bersifat amfifilik, sebuah alkohol rantai pendek hingga medium (C2-C10). Surfaktan dalam keadaan sendiri tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka air-minyak secara cukup untuk menghasilkan sebuah mikroemulsi. Penambahan kosurfaktan dapat membantu menghasilkan tegangan antarmuka mendekati nol. Tegangan antarmuka yang mendekati nol mengakibatkan diameter globul menjadi sangat kecil. Secara luas molekul yang dapat berfungsi sebagai kosurfaktan meliputi surfaktan nonionik, alkohol, asam alkanoat, alkanediol dan alkil amina (Lawrence, 2000).
2.2.4 Komponen Mikroemulsi 2.2.4.1 Benzil Benzoat Benzil benzoat adalah ester dari benzil alkohol dan asam benzoat, dengan rumus C14H12O2. Sinonim benzil benzoat adalah benzil ester, benzyl benzene carboxylate, benzylis benzoas, benzil phenylformate, phenylmethyl benzoate. Benzil benzoat adalah larutan yang jernih dengan bau yang khas. Untuk menjaga kejernihannya maka benzil benzoat disimpan pada suhu 17 oC. Benzil benzoat larut dalam aseton dan benzen, praktis tidak larut dalam gliserin dan air dan dapat bercampur dalam kloroform, etanol (95%), eter dan minyak esensial. Benzil Benzoat merupakan pelarut yang non polar dengan nilai logP 3.7. Benzil benzoat terutama digunakan sebagai pelarut yang banyak digunakan untuk sediaan intramuskular dengan kadar 0,01-46% v/v. Selain itu benzil benzoat digunakan juga pada berbagai macam produk kosmetik seperti sampo, kondisioner, parfum, pelembab dan cat kuku (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Penggunaan benzyl benzot tidak boleh terlalu tinggi karena akan menyebabkan reaksi anafilaksis.
Gambar 2.5. Rumus Bangun Benzil Benzoat (Rowe, Paul, & Marian, 2009)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
2.2.4.2 Isopropil Miristat (IPM)
Gambar 2.6. Rumus Bangun Isopropil Miristat (Rowe, Paul, & Marian, 2009)
Isopropil Miristat atau 1-Methylethyl tetradecanoate merupakan sebuah solven yang bersifat lipofilik dengan bobot jenis sama dengan 0,846 – 0,854 g/cm3. Isopropil miristat (IPM) berbentuk cairan bening atau jernih berbau lemah. IPM larut dalam aseton, kloroform, etanol, etil asetat, lemak, lemak alkohol, campuran minyak, larutan hidrokarbon, toluen dan lilin. Praktis tidak larut dalam gliserin, propilenglikol dan air (Rowe, Paul, & Marian, 2009).
Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik
Kegunaan IPM Deterjen
Konsentrasi (%) 0,003-0,03
Olic Suspension
0,024
Mikroemulsi
< 50
Krim dan Lotio Topikal
1,0 – 10,0
Isopropil miristat (IPM) merupakan pelarut non air pada sediaan parenteral yang memiliki toksisitas rendah (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Selain itu, IPM tidak menimbulkan aktivitas karsinogenik, mutagenik dan toksisitas akut rendah dari studi toksisitas secara oral, dermal, inhalasi atau parenteral. IPM tunggal dapat meningkatkan solubilisasi progesteron 3300 kali dibanding kelarutanya dalam air. Solubilisasi progesteron dalam IPM dan air berturut – turut adalah 17,0 mg/mL dan 0,007 mg/mL (Nandi, Bahri, Joshi, 2003).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
2.2.4.3 Minyak Jarak (Castrol Oil ) Minyak jarak adalah minyak kental yang berwarna kuning pucat dengan bau yang sedikit khas dan mempunyai rasa yang sedikit tajam. Minyak jarak sedikit larut di dalam kloroform, etanol, eter, metanol, sangat mudah larut dalam etanol (95%) dan petroleum eter, tidak larut dalam minyak mineral kecuali kalau dicampur dengan minyak nabati. Minyak jarak harus disimpan pada wadah kedap udara pada suhu tidak lebih dari 15º C (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Minyak jarak biasanya digunakan dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetik. Dalam formulasi farmasetik, minyak jarak umumnya digunakan untuk krim dan salep sediaan topical dengan konsentrasi 5-12,5%. Namun, minyak jarak juga digunakan pada tablet oral dan formulasi berbentuk kapsul serta digunakan juga sebagai pelarut pada sediaan injeksi intramuskular. Penggunaan minyak jarak dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi umumnya tidak toksik dan tidak mengiritasi jika digunakan sebagai zat tambahan.
2.2.4.4 Tween 80 Tween 80 atau polisorbat 80 merupakan surfaktan nonionik yang memiliki toksisitas rendah sehingga dapat digunakan untuk penggunaan oral dan parenteral. Tween 80 berbentuk cairan berwarna kuning dengan bau khas lemah. Tween 80 memiliki bobot jenis 1,08 g/cm3 dan nilai HLB 15 . Nilai HLBnya 14,9. Tween 80 larut dalam etanol dan air. Selain itu, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak nabati. Dalam sediaan farmasetik tween 80 digunakan sebagai agen pengemulsi, solubilisator, pembasah, dan agen pensuspensi atau pendispersi. Dosis tween 80 yang dapat digunakan di dalam tubuh selama sehari (acceptable daily intake) yaitu 25 mg/kgbb (Rowe, Paul, & Marian, 2009).
2.3
Kestabilan Mikroemulsi Ada empat fenomena yang terjadi jika sebuah emulsi tidak stabil yaitu
flokulasi, creaming, koalesen dan pemisahan sempurna (breaking). Hal tersebut pun bisa terjadi pada sebuah sediaan mikroemulsi (Im-Emsap, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
Flokulasi terjadi jika partikel-partikel terdispersi saling berikatan membentuk kelompok lebih besar, tapi jika dengan pengocokan yang cukup sediaan akan kembali terdispersi. Terjadinya flokulasi disebabkan oleh kurangnya jumlah surfaktan dan volume fase terdispersi yang terlalu tinggi. Creaming adalah pemisahan suatu emulsi ke dalam dua daerah yang berbeda dimana salah satunya lebih kaya dengan fase dispersi dibandingkan yang lain. Creaming ini tidak begitu serius karena mudah dihomogen lagi dengan pengocokan. Creaming mengindikasikan ketidakstabilan pada emulsi sehingga harus dicegah pembentukanya. Koalesen terjadi pada kelompok partikel terdispersi yang membentuk kelompok yang lebih besar lagi dan bersifat irreversibel, hal ini dapat terjadi akibat keringnya air yang terdapat pada lapisan tipis antarmuka atau pecahnya lapisan tipis antarmuka. Breaking adalah proses pemisahan sempurna dari emulsi menjadi masingmasing komponen cair. Proses pemisahan tersebut terjadi dalam 2 tahap yaitu flokulasi dan koalesen.
Gambar 2.7. Ketidakstabilan Emulsi (Im-Emsap W, 2002)
2.4
Sediaan Parenteral Intramuskular Injeksi intramuskular adalah injeksi volume kecil yang diinjeksikan ke
dalam otot rangka, biasanya pada otot deltoid di bahu atau otot gluteal di bokong. Suspensi dan larutan berminyak serta injeksi dengan pembawa air dapat diberikan melalui rute ini. Perbedaan tempat injeksi membuat menyebabkan perbedaan volume maksimal pemberian. Jika disuntikan pada otot .bagian deltoid maka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
volume pemberian maksimal 2ml sedangkan jika diberikan pada otot bagian gluteeal volume pemberian maksimal adalah 5ml (TPC,92; Lachman 1992) tetapi biasanya 4 ml. Persyaratan injeksi intramuskular yaitu dapat diberikan sediaan injeksi dengan pembawa air ataupun non-air yang dapat bercampur atau tidak dengan air, suspensi atau larutan koloid, dan emulsi. Tujuan suatu obat diberikan secara intramuskular adalah mendapatkan efek obat yang tidak terlalu cepat ataupun untuk sistem depo dimana obat dilepaskan secara lambat sehingga obat dapat bertahan lama di dalam tubuh seperti contohnya obat-obat KB.
2.5
Uji Difusi Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul
suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk menyelidiki proses difusi (Martin, 1983). Difusi adalah proses menjadi difus atau tersebar luas, gerakan molekul spontan atau partikel dalam larutan, disebabkan gerakan acak suhunya, sehingga kadarnya sama di seluruh larutan, proses itu tidak memerlukan penambahan energi terhadap sistem. Pada dasarnya difusi ada 2 macam yaitu difusi aktif dan difusi pasif. Perbedaan dari keduanya ada pada penggunaan energi. Difusi aktif memerlukan energy dalam perpindahanya sedangkan difusi pasif tidak memerlukan energi untuk perpindahan zat. Difusi bebas atau traspor pasif suatu zat melalui cairan, zat padat, atau melalui membran adalah suatu proses yang sangat penting dalam ilmu farmasi (Martin, 1983).
2.6
Hukum Fick Mengacu kepada hukum Fick tentang difusi, jumlah materi M (satuan =
gram atau mol) yang melintasi suatu unit area (satuan = cm2) per satuan waktu (satuan = detik) dikenal sebagai aliran J, digambarkan sebagai berikut :
𝐽=
𝑑𝑀 𝑆. 𝑑𝑡 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Pada gilirannya, aliran bersifat proposional terhadap gradien konsentrasi
𝐽=𝑎 −
𝑑𝐶 𝐷𝑥
Di mana dC/dx adalah perubahan konsentrasi dalam sebuah jarak kecil tak berhingga. Untuk merubah tanda proporsional menjadi tanda sama dengan maka sebuah konstanta ditambahkan
𝐽 = −𝐷
𝑑𝐶 𝑑𝑥
Yang mana D diketahui sebagai koefisien difusi atau difusifitas (satuan = cm2/det). Koefisien difusi adalah ukuran laju permeabilitas dari molekul melintasi suatu area. Tanda negatif menunjukkan bahwa konsentrasi berkurang sebagai fungsi dari jarak. Bagaimanapun, aliran selalu memiliki nilai positif (Amiji, M. M., 2003).
2.7
Sel Difusi Statis (Franz Cell) Franz Cell/ sel difusi statis dengan satu ruang (One Chambered Cell)
pertama kali dibuat oleh Franz. Difusi Franz Cell mungkin adalah sel difusi yang paling banyak digunakan dan telah tersedia secara komersil (Crown Glass company, Somerville, New Jersey) selama bertahun-tahun. Hal-hal yang perlu diperhatikan tentang Sel Difusi Franz adalah sebagai berikut (Bronaugh and Raymond, 1984): a) Volume Reseptor Volume reseptornya dapat dibuat bervariasi dengan diameter peletakan membran. Volume reseptor Sel Franz tidak harus dimodifikasi seperti pada Flow Through Cell karena volume reseptor yang relaitf besar (Bronaugh and Raymond, 1984). b) Pemeliharaan Suhu Air yang dipanaskan biasanya digunakan untuk mempertahankan suhu fisiologis, meskipun ada perdebatan mengenai suhu yang sesuai untuk studi difusi. Sel harus dipanaskan dengan air pada suhu yang diinginkan. Pada umumnya air dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
suhu 37oC disirkulasikan melalui sel Franz untuk menjaga suhu sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh (Bronaugh and Raymond, 1984). c) Tempat Peletakan Membran Membran diletakkan diantara pertemuan dua bagian gelas utama dan direkatkan dengan penjepit logam. Biasanya pada pertemuan kedua gelas utama ini terdapat karet O ring. Pada saat pengujian karet ini harus dilepas karena dapat mengabsorbsi bahan-bahan yang bersifat lipofil (Bronaugh and Raymond, 1984). d) Pencampuran Isi Reseptor Magnetic stirrer biasanya digunakan untuk mengaduk medium reseptor pada sel Franz. Magnetic stirrer ini digunakan agar senyawa yang ada dalam medium difusi tetap tercampur homogen (Bronaugh and Raymond, 1984).
Gambar 2.8. Franz Diffusion Cell (Pjanovic, Rada, 2009)
2.8
Prosedur dan Alat Pengujian Difusi Sel dengan konstruksi yang sederhana, seperti yang telah dilaporkan oleh
Aguiar dan Weiner, diduga paling baik untuk pekerjaan difusi. Sel tersebut dibuat dari gelas atau plastik terang, yang mudah untuk dirakit dan dibersihkan, dan memberikan kemudahan untuk melihat cairan dan pengaduk yang berputar. Alatalat seperti itu dilengkapi dengan alat untuk mengumpulkan sampel dan uji secara otomatis. Kompartemen sebelah atas atau kompartemen donor diisi dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
larutan obat. Larutan reseptor dipompa dari tempat yang lebih rendah. Sampel dikumpulkan dalam suatu tabung di dalam alat pengumpul fraksi otomatis, kemudian berturut-turut ditentukan kadarnya secara spektrofotometri. Percobaan bisa dilakukan selama berjam-jam pada kondisi yang terkontrol ini (Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983). Biber dan Rhodes membuat suatu konstruksi sel difusi tiga kompartemen dari pleksiglas untuk penggunaan baik dengan membran sintetis maupun membran biologis yang diisolasi. Obat tersebut dibiarkan berdifusi dari kedua kompartemen donor sebelah luar ke dalam suatu ruang reseptor pusat. Hasilnya dapat direproduksi dan dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Sel dengan desain tiga-kompartemen menciptakan pemukaan membran yang lebih besar dan memperbaiki sensitivitas analitik (Martin, 1983). Permeasi uap air dan senyawa organik aromatik dari larutan air melalui lapisan (film) plastik bisa diselidiki dalam sel gelas dengan dua-ruang serupa dengan desain yang digunakan untuk menyelidiki larutan obat pada umumnya. Nasim et al. melaporkan tentang permeasi senyawa 19 aromatik dari larutan dalam air melalui lapisan (film) polietilena. Higuchi dan Auguiar menyelidiki permeabilitas uap air melalui bahan yang bersalut enterik dengan menggunakan sel difusi gelas dan ukuran McLeod untuk mengukur perubahan tekanan melewati lapisan tersebut (Martin, 1983). Dalam menyelidiki absorpsi melalui kulit, yang biasanya diperoleh dengan cara autopsi, digunakan kulit manusia atau hewan. Scheuplein menerangkan suatu sel untuk percobaan penetrasi kulit, dibuat dari Pireks dan terdiri dari dua belahan. Ruang donor dan ruang reseptor dipisahkan oleh sampel kulit yang ditunjang pada piring berlubang-lubang dan disekrup kencang di tempatnya. Cairan dalam reseptor diaduk dengan batang magnet yang dilapis teflon. Alat ini direndam dalam bejana yang mempunyai temperatur konstan. Sampel diambil secara periodik dan diuji dengan cara yang sesuai. Untuk senyawa seperti steroida, penetrasinya lambat. Telah ditemukan metode radioaktif yang diperlukan untuk menentukan konsentrasi yang rendah tersebut (Martin, 1983). Wurster et al. mengembangkan suatu sel permeabilitas untuk menyelidiki difusi melalui lapisan kornea (lapisan kornea diambil dari manusia), dari berbagai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
zat yang berpermeasi, termasuk gas, cairan dan gel. Selama percobaan difusi alat tersebut dijaga pada temperatur konstan dan perlahan-lahan diaduk pada daerah sekitar membran. Sampel diambil dari ruang reseptor pada waktu-waktu tertentu dan dianalisis zat yang berpermeasi melalui mebran tersebut (Martin, 1983).
2.9
Solubilisasi Istilah 'solubilisasi' diperkenalkan oleh McBain untuk menunjukkan
peningkatan kelarutan dari senyawa tertentu, terkait dengan kehadiran surfaktan misel atau kebalikannya misel dalam larutan. Proses solubilisasi yang paling populer adalah transfer molekul minyak ke dalam inti surfaktan misel. Dengan demikian, minyak yang tidak memiliki kelarutan (atau kelarutan terbatas) dalam fasa air menjadi larut dalam air dalam bentuk tersolubilisasi di dalam misel. Proses ini memiliki kepentingan khusus
untuk menghilangkan
kumpulan
minyak dari permukaan padat dan media berpori, dan untuk menghilangkan campuran minyak yang tersebar di air. Praktik paling penting dari solubilisasi berkaitan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari: detergen dalam merawat diri dan rumah tangga, juga sama pentingnya dalam berbagai proses industri (Christian DD., Scamehorn, 1995 dalam Kralchevsk, Peter A., 2005). Pelaku utama dalam proses solubilisasi yaitu misel dari surfaktan ataupun kopolimer. Kemampuan mereka untuk menyelimuti minyak adalah hal yang sangat penting. Penambahan kopolimer yang membentuk campuran misel dengan surfaktan, adalah cara untuk mengontrol dan meningkatkan kinerja solubilisasi oleh misel. Mekanisme utama kinetik dari solubilisasi telah dibangun, dengan keefektifan yang tergantung pada sistem tertentu (Kralchevsk, Peter A., 2005). Solubilisasi sebagai reaksi massal: disolusi molekul dan difusi minyak ke dalam fasa air terjadi, dengan penyerapan molekul minyak oleh surfaktan dan selanjutnya menjadi misel. Mekanisme ini Operatif untuk minyak (seperti benzena, heksana, dll), yang menunjukkan kelarutan cukup tinggi
dalam air
murni. Pertama, molekul minyak larut dari permukaan tetesan minyak ke dalam air. Kinetika, proses ini dapat ditandai dengan koefisien perpindahan massa. Berikutnya, oleh difusi, molekul minyak menembus dalam fasa air, yang mana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
mereka bereaksi dengan misel. Dengan demikian, konsentrasi molekul minyak bebas berkurang dengan jarak dari antarmuka minyak-air. Dengan kata lain, solubilisasi terjadi dalam zona terbatas di sekitar tetesan (Kralchevsk, Peter A., 2005). Solubilisasi sebagai reaksi permukaan. Ini adalah mekanisme utama solubilisasi untuk minyak yang tidak larut dalam air. Pengambilan minyak tersebut tidak dapat terjadi dalam sebagian besar fasa air. Solubilisasi dapat terjadi hanya pada antarmuka minyak-air. Mekanisme yang mungkin terjadi termasuk (i) misel adsorpsi, (ii) minyak yang terselimuti, dan (iii) desorption dari misel yang mengembang. Sejalan dengan itu, secara teoritis proses ini dapat digambarkan dengan 3 langkah berturut-turut. Jika misel kosong agregat seperti batang panjang, di atas solubilisasi mereka biasanya berhenti sejenak untuk agreagat lebih kecil bulat. Untuk beberapa sistem (terutama solubilizates padat), tahap menengah di solubilisasi proses mungkin melibatkan penetrasi surfaktan solusi ke fase berminyak dan pembentukan kristal fase cair pada antarmuka. Untuk beberapa sistem (kebanyakan solubilisasi padat), tahap menengah dari proses solubilisasi mungkin melibatkan penetrasi larutan surfaktan ke fase berminyak dan pembentukan fase kristal cair pada antarmuka (Kralchevsk, Peter A., 2005). Dalam kasus solubilisasi sebagai reaksi permukaan, mekanisme kinetik rinci bisa menjadi beraneka ragam. Beberapa penulis mengharapkan bahwa surfaktan berada di antarmuka sebagai bentuk monomernya. Kemudian, pada fase pengikatan campuran (atau menggembang) agregat misel terbentuk, akhirnya terjadi desorbsi. Model ini tampaknya cocok untuk solubilisasi padat, karena hemimisel dapat terbentuk pada permukanya, bahkan pada konsentrasi surfaktan di bawah konsentrasi misel kritis (cmc). Konsep lainnya disajikan oleh Plucinski dan Nitsch, termasuk langkah parsial fusi misel dengan antarmuka dari minyakair, diikuti oleh langkah pemisahan. Mekanisme tersebut bisa berlangsung pada kasus droplet microemulsion, bukan misel, yang bertanggung jawab untuk terjadinya solubilisasi (Kralchevsk, Peter A., 2005).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Gambar 2.9. Solubilisasi Sebagai Reaksi Permukaan: Proses dapat dimodelkan Sebagai Urutan Tiga Langkah: (A) Adsorpsi Misel Kosong Pada Antarmuka Minyak-Air; (B) Pengambilan Minyak dicapai Sebagai Reaksi Permukaan: Misel Kosong Mengambil Minyak dan Terbagi Menjadi Beberapa Gembung Misel; (C) Desorption Misel Gembung. Molekul Dengan Tiga Ekor (Solubilizate) Menurut Gambar Mewakili Trigliserida.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alur Penelitian Formulasi Mikroemulsi Testosteron Undekanoat. 1. Variasi Konsentrasi Pelarut 2. Diagram fase pseudoterner Evaluasi Sediaan Mikroemulsi
Uji Cyling Test
Uji pH
Uji Sentrifugasi
Uji Ukuran Partikel
Pengujian Laju Difusi dengan Franz Diffusion Cell dengan Medium Posphate Buffer Saline
Kosolvensi (Produk Pasaran)
Mikroemulsi TU
Dianalisis dengan KCKT
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioavailability Bioequivalence
(PBB), dan Laboratorium Medical Research, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Balai Inkubator Teknologi (BIT) kawasan PUSPIPTEK Serpong. Penelitian berlangsung selama 8 bulan, terhitung dari bulan Mei 2012 sampai dengan Desember 2012.
3.3
Alat dan Bahan
3.3.1 Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Ultimate 3000 Dionex ®) yang terdiri dari pompa, kolom (Dionex®), injektor dan ultraviolet detektor, penyaring membran 0,45 µm (Filtrex®), alat-alat gelas (Iwaki Pyrex®), timbangan analitik (AND GH-202®), pipet
mikro (Eppendorf®), lemari pendingin (Sanyo
Medicool®), Oven (France Etuves C 3000®), pengaduk magnetik (Nuova Stirrer®), hot plate (Advantec SRS710HA), Centrifuge (Eppendrof SH7R), perangkat alat uji difusi Franz, potongan melintang otot tikus.
3.3.2 Bahan Testosteron Undekanoat (Jinan Yunxiang Co. Ltd), Benzil Benzoat (Aldrich Chemistry), Isopropil Miristat (Merck), Castor Oil (Aldrich Chemistry), Tween 80 (Merck), Aquabidestilata (PT. Ikapharmindo Putramas), Aquadest for HPLC (Merck), Asetonitril (Merck), Methanol (Merck), Posphate Buffer Saline (PBS).
3.4
Prosedur Kerja
3.4.1 Percobaan Pendahuluan Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat sesuai kekuatan yang paling besar. Selain itu, dilakukan optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi yaitu kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Pencarian konsentrasi campuran minyak dilakukan dengan mencampurkan semua komponen minyak hingga tercampur homogen. Setelah itu ke dalam campuran minyak ditambahkan zat aktif sedikit demi sedikit hingga jenuh. Setiap penambahan zat aktif dilakukan pencatatan jumlah yang ditambahkan. Jumlah zat aktif yang dapat tersolubilisasi oleh perbandingan campuran minyak adalah jumlah zat aktif hingga sebelum jenuh. Perbandingan campuran minyak yang dipilih adalah yang dapat mensolubilisasi zat aktif paling besar. Perbandingan campuran minyak dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Perbandingan Campuran Minyak
No
IPM
Minyak Jarak
BB
1
20
8
43
2
20
8
41
3
22
5
44
4
25
5
41
Perbandingan campuran minyak ini didapatkan dari hasil optimasi formula yang akan jadi mikroemulsi. Formula pada tabel 3.1 merupakan formula yang dapat membentuk mikroemulsi sehingga selanjutnya ditentukan formula mana yang dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat paling besar. Optimasi kondisi yang dilakukan yaitu kecepatan penggadukan dilakukan pada kecepatan yaitu 100-200rpm, 750 rpm dan 1000-1500rpm. Waktu percobaan dihitung setelah penambahan air lalu terbentuk mikroemulsi dan dilanjutkan hingga terlihat adanya kabut-kabut putih yang menandakan pada waktu tersebut mikroemulsi sudah tidak stabil. Waktu yang terpilih adalah waktu yang dapat menghasilkan mikroemulsi yang jernih, transparan dan stabil.
3.4.2 Optimasi FormulaMikroemulsi dengan Variasi Kosentrasi Setelah mendapatkan persentase fase minyak maka dilakukan optimasi dan digambarkan dengan diagram fase pseudoterner. Diagram fase pseudoterner membantu mendapatkan konsentrasi optimum fase minyak, surfaktan, kosurfaktan dan air daerah yang menghasilkan mikroemulsi yang jernih, transparan dan tetap
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
stabil. Diagram Fase dibuat dengan variasi konsentrasi minyak dan surfaktan. Persamaan yang digunakan untuk komposisi diagram fase adalah : % A (Tween 80)+% B (minyak jarak + IPM + benzil benzoat)+% C (Air) = 100% % A = Surfaktan
%B = Fase minyak
%C = Air
Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi
Nama Formula
Tween 80
Benzil Benzoat
Isopropil Miristat
Minyak Jarak
Air
A
3
55,46
27,26
11,48
3
B
10
51,33
25,23
10,44
3
C
15
48,38
23,78
9,48
3
D
20
45,43
22,33
9,24
3
E
22
44,25
21,75
9
3
F
23
43,66
24,46
8,88
3
G
24
43,07
21,17
8,76
3
H
25
42,48
20,88
8,64
3
I
27
41,3
20,3
8,4
3
J
28
41
20
8
3
K
29
40,12
19,72
7,806
3
L
30
39,53
19,43
7,68
3
M
33
37,46
18,56
7,68
3
N
37
35,76
17,4
7,2
3
O
45
21,32
10,4
4,16
3
P
30
36,58
17,96
7,44
5
Q
30
36,84
17,97
7,19
8
R
25
35,4
17,4
4,8
15
S
20
17,7
8,7
3,6
50
T
30
11,8
5,8
2,4
50
U
40
11,8
5,8
2,4
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi Prosedur pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan cara benzil benzoat dimasukan ke dalam gelas piala, kemudian ke dalamnya ditambahkan IPM dan minyak jarak. Campuran tersebut diaduk hingga homogen (+ 2 menit). Lalu ditambahkan komponen lain (Tween 80) sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik hingga homogen. Aqua bidestilata kemudian ditambahkan ke dalam campuran sedikit demi sedikit hingga didapatkan larutan yang jernih dan transparan. Awal penambahan air akan terbentuk gumpalan-gumpalan putih yang lama kelamaan akan menghilang dan terbentuk mikroemulsi yang jernih. Penambahan zat aktif dilakukan sebelum penambahan surfaktan. Mikroemulsi dibuat dengan kekuatan sediaan Testosteron Undekanoat 250 mg/ml.
3.4.4 Evaluasi Mikroemulsi 3.4.4.1 Cycling Test Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu dingin 4°C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40°C selama 24 jam (1 siklus). Percobaan ini dilakukan sebanyak 6 siklus. Kejernihan dan kekeruhan mikroemulsi selama percobaan dibandingkan dengan sediaan sebelumnya (Azrifitria, 2012).
3.4.4.2 Uji Sentrifugasi Sediaan mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 9000 rpm selama 20 menit (Moreno, MA., 2001).
3.4.4.3 Uji pH pH diukur dengan menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir cycling test.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
3.4.4.4 Uji Ukuran Partikel Ukuran partikel diukur dengan alat DelsaTMNano C (Particle Analyzer). Sampel yang akan diukur adalah sediaan mikroemulsi suhu ruang dan sediaan yang telah diuji cycling test. Mikroemulsi didilusi 1:100 dengan aquades sebelum pengukuran
3.4.5 Uji Difusi Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat uji difusi statis Franz Cell. Sebanyak 0,5 mL sampel ditempatkan pada kompartemen donor. Temperatur pada saat pengujian diatur konstan pada suhu 37 + 0,5oC dengan menggunakan thermostat. Sebagai barier digunakan potongan melintang otot bagian Biceps Femoris tikus jantan Sprague-Dawley dengan berat + 380 gram dengan ketebalan otot yang digunakan 2mm + 0,3 mm dan luas membran 2,46 cm2. Untuk mendapatkan otot tikus terlebih dahulu tikus dilakukan anestesi menggunakan eter. Selanjutnya kulit yang melapisi otot dipisahkan dengan perlahan agar otot tidak terluka karena ditakutkan akan berpengaruh kepada penetrasi zat aktif. Lemak dan pembuluh darah yang ada pada bagian dalam ataupun luar otot dibersihkan agar tidak mengganggu penetrasi obat melalui otot. Otot disimpan di dalam lemari pendingin sebelum digunakan tetapi sebaiknya digunakan otot yang masih segar, otot dapat digunakan dalam rentan waktu kurang dari 24 jam agar otot masih segar dan tidak mempengaruhi penetrasi obat Untuk menciptakan kondisi sink, digunakan medium difusi Phosphate Buffer Saline sebanyak 21 mL dan diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 1500 rpm. Pada interval waktu yang telah ditentukan (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 jam) diambil cuplikan sebanyak 2 ml dengan menggunakan syringe dan segera digantikan dengan larutan Phosphate Buffer Saline sejumlah volume yang sama. Uji difusi dilakukan terhadap mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran. Penentuan kadar TU pada sampel dilakukan dengan menggunakan metode KCKT.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
3.4.5.1 Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar Sampel Menggunakan KCKT Preparasi sampel cuplikan uji difusi dan penetapan kadar sampel dilakukan menggunakan KCKT. Cuplikan dari medium uji difusi diambil sebanyak 100 μL, dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase gerak hingga 5 ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu dimasukkan ke dalam vial HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak (Metanol dan Acetonitril (90:10) waktu alir 1,2 mL/menit. Temperatur kolom ± 25oC. Volume injeksi 20 µL. Detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).
3.4.5.2 Penetapan Kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran Penetapan kadar zat aktif dilakukan menggunakan KCKT. Sampel diambil sebanyak 5 µL dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase gerak hingga 5 ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu dimasukkan ke dalam vial HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak (Metanol dan Acetonitril (90:10) waktu alir 1,2 mL/menit. Temperatur kolom ± 25oC. Volume injeksi 20 µL. Detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).
3.4.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan induk standar testosteron undekanoat dibuat dengan konsentrasi 50 ppm yang dilarutkan di dalam fase gerak Metanol dan Asetonitril (90:10). Larutan induk dibuat dalam volume 25 mL. Ditimbang 1,25 mg testosteron undekanoat dan dilarutkan dalam larutan fase gerak metanol dan asetonitril (90:10) digenapkan hingga 25 mL. Kurva kalibrasi testosteron undekanoat dibuat dengan mengencerkan larutan induk testosteron undekanoat 50 ppm menjadi 8 seri konsentrasi yaitu 0,3 – 2,4 ppm lalu diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak Metanol : Asetonitril (90:10), laju alir 1,2 mL/menit, temperatur kolom 25oC, volume injeksi 20 µL. detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
3.4.6 Analisis Data Data yang dianalisis pada penelitian ini yaitu persentase testosteron undekanoat yang terakumulasi dan Fluks laju difusi (J). Persen testosteron undekanoat yang terpenetrasi didapatkan dari jumlah akumulasi testosteron undekanoat yang terpenetrasi dibagi dengan dosis yang diplikasikan (125mg) dikali 100%. Jumlah testosteron undekanoat yang terpenetrasi dihitung dengan rumus: 𝑄 = { 𝐶𝑛. 𝑉 +
𝑛 −1 𝑖=1 𝐶 . 𝑆}
(Raditya, Iswandana., 2012)
Q Cn
= Jumlah akumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi = Konsentrasi TU(μg/ml) pada sampling Jam ke-n
V
= Volume sel difusi Franz = 21 ml
𝑛 −1 𝑖=1 𝐶
= Jumlah konsentrasi testosteron undekanoat (μg/ml) pada sampling pertama (jam ke-1) hingga sebelum jam ke-n
S
= Volume sampling 2 ml Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi obat tiap
satuan waktu) dengan rumus : 𝐽=
𝑀 𝑆 ×𝑡 (Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983)
Dimana: J
= Fluks (μg cm-2 jam-1)
M
= Jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang melalui membran (μg)
S
= Luas area difusi (cm2)
t
= Waktu (jam)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
HASIL
4.1.1 Percobaan Pendahuluan Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat sesuai kekuatan sediaan yang paling besar. Selain itu, optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi yaitu suhu, kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan. Hasil percobaan pendahuluan kali ini didapatkan perbandingan konsentrasi campuran minyak yang mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar yaitu formula 2 dengan perbandingan 20:8:41 (IPM : Minyak Jarak : BB).
Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran Minyak
Formula
IPM
Minyak Jarak
BB
TU yang dapat terlarut (mg)
1
20
8
43
310
2
20
8
41
340
3
22
5
44
331
4
25
5
41
330
Berdasarkan optimasi kondisi pembuatan didapatkan kondisi optimal pembuatan mikroemulsi yang jernih dan stabil adalah, kecepatan pengadukan + 750 rpm, dengan lama pengadukan + 30 menit.
Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan
Kecepatan (Rpm)
Hasil
100-200
Tidak terbentuk mikroemulsi
750 1000-1500
Mikroemulsi yang terbentuk jenih dan transparan Mikroemulsi berbusa dan tidak stabil
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
4.1.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi Optimasi formula mikroemulsi dilakukan dengan variasi konsentrasi tetapi persen fase minyak dihitung berdasarkan perbandingan campuran minyak yang paling besar kemampuan mensolubilisasi testosteron undekanoat yaitu formula 2 (20 : 8 : 41). Besarnya perbandingan lalu dijadikan dalam bentuk 100% sehingga didapatkan pesentase masing-masing yaitu 12% untuk minyak jarak, 29% untuk isopropil miristat dan 59% untuk benzil benzoat. Persentase ini digunakan untuk menghitung jumlah masing-masing minyak dari jumlah minyak yang dibutuhkan dalam pembuatan mikroemulsi. Hasil optimasi formula digambarkan dengan digram fase pseudoterner. Diagram fase pseudoterner dibaut dengan komposisi: A. Surfaktan; Tween 80, B. Fase minyak; minyak jarak, IPM, benzil benzoat, dan C. air. Diagram fase pseudoterner dapat dilihat pada Gambar 4.1. SURFAKTAN 0
100
10
90
20
80
30
70
40
60 50
50 60
40 30
70 80
20
90
10
100
AIR
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
MINYAK
Keterangan: Surfaktan (Tween 80) + Minyak (benzil benzoat + IPM + minyak jarak) + Air dengan perbandingan konsentrasi benzil benzoate : IPM : minyak jarak = 41:20:8 Krim;
Emulsi;
Mikroemulsi;
2 Lapisan
Gambar 4.1. Diagram fase pseudoterner
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
Pembuatan diagram fase membantu mendapatkan konsentrasi optimum fase minyak, surfaktan dan air. Berdasarkan diagram fase pseudoterner didapatkan rentan pembuatan mikroemulsi yaitu konsentrasi dari surfaktan; 28-30%, fase minyak 67-69%, dan fase air 3%. Pada diagram terlihat mikroemulsi terdapat di daerah sebelah kanan diantara fase surfaktan dan minyak. Hal ini menunjukan mikroemulsi yang terbentuk tipe a/m (air dalam minyak).
4.1.3 Pembuatan Mikroemulsi Formula J, K, dan L ,meghasilkan mikroemulsi yang jernih, stabil dan transparan. Akan tetapi, hanya formula J yang akan digunakan untuk evaluasi selanjutnya dan uji difusi. Formula J mengandung surfaktan paling kecil yaitu 28% dan viskositasnya tidak terlalu kental serta dalam penyimpanan selama 1 bulan mikroemulsi tetap stabil. Selanjutnya formula ini dibuat untuk dosis manusia (250 mg/mL) dan dilakukan evaluasi serta uji difusi. Kondisi pembutan dilakukan dengan kecepatan pengadukan 750rpm dengan lama pengadukan + 30menit dan pada temperatur ruang yaitu 27oC.
4.1.4 Evaluasi Mikroemulsi 4.1.4.1 Cycling Test Hasil cycling test mikroemulsi tetap stabil, warna yang sama dengan warna mikroemulsi sebelum cycling test, tidak ditemukan adanya pertumbuhan kristal, kejernihan yang sama dengan sebelum perlakuan dan tidak terjadi pemisahan fase yang menunjukan sediaan tetap stabil. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.2. Hasil Uji Cycling Test Mikroemulsi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
4.1.4.2 Uji Sentrifugasi Setelah disentrifugasi mikroemulsi tetap stabil, jernih dan tidak terjadi pemisahan fase (creaming). Hasil terlihat pada gambar 4.2.
Gambar 4.3. Mikroemulsi Setelah Sentrifugasi
4.1.4.3 Uji pH Hasil pengukuran pH setelah pembuatan 6,240; sebelum cycling test 6,357; setelah cycling test 6,368 dan sesudah penyimpanan selama 2 bulan 6,403.
4.1.4.4 Uji Ukuran Partikel Hasil pengukuran dapat dilihat pada table 4.2.
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Partikel Mikroemulsi
Formula Terpilih
Ukuran (nm)
Sebelum cycling test
91,4 + 26,2
Sesudah cycling test
86,8 + 24,2
4.1.5 Uji Difusi 4.1.5.1 Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat untuk Cuplikan Uji Difusi Pembuatan kurva kalibrasi diperoleh dari seri konsentrasi dan data luas area. Luas area tiap konsentrasi testosteron undekanoat setelah diukur menggunakan KCKT dapat dilihat pada lampiran 2 serta
kurva kalibrasi
testosteron undekanoat pada gambar 4.4. Dari tabel kurva kalibrasi testosteron undekanoat (Lampiran 2) dimasukan ke dalam perhitungan statistik (intersep, slope dan pearson) pada Microsoft exel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
hingga diperoleh variable a, b dan r yaitu, a = 0,010763, b = 0,721795 dan r2= 0,999766 sehingga diperoleh persamaan 𝑦 = 0,010763 + 0,721795. 𝑥
AUC (mAU*min)
2.0000 1.5000 1.0000
AUC
y = 0,721795x - 0,010763 R² = 0,999766
0.5000 0.0000 0.3
0.9
1.5
2.1
Linear (AUC)
2.4
Konsetrasi (ppm)
Gambar 4.4. Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat (TU)
4.1.5.2 Hasil Penetapan Kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran Perhitungan konsentrasi sebenarnya didapat dari konsentrasi sediaan dikalikan dengan faktor pengenceran yaitu 1000x (5µL sediaan diencerkan menjadi 5 mL). Tabel 4.4 Kadar Zat Aktif dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
143,751 + 0,803
248,654 + 1.3321
Konsentraasi sebenarnya mg/mL 248,654 + 1,3321
141,708 + 0,476
245,267 + 0,7889
245,267 + 0,7889
AUC Sediaan yang beredar mikroemulsi
Konsentrasi sediaan (ppm)
4.1.5.3 Hasil Uji Difusi Sediaan Mikroemulsi dibandingkan Sediaan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran Profil difusi testosteron undekanoat per satuan waktu dalam sediaan mikroemulsi dan kosolvensi yang beredar di pasaran.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Tabel 4.5 Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran Mikroemulsi Sediaan yang beredar (%) Zat yang (%) Zat yang Terakumulasi Terakumulasi Jam Jumlah Jumlah dari dosis dari dosis terakumulasi(µg) terakumulasi(µg) yang yang diaplikasikan diaplikasikan 1 64,911 0,053 392,067 0,315 175,783
0,143
512,286
0,412
3
274,815
0,224
739,273
0,595
4
425,361
0,347
1386,334
1,115
5
528,340
0,431
1837,518
1,478
6
801,994
0,654
2273,700
1,829
7
962,441
0,785
2823,872
2,271
8
1258,528
1,026
3354,958
2,698
(%) Persen testosteron undekanoat yang terpenetrasi
2
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Jam Mikroemulsi
Kosolvensi di Pasaran
Gambar 4.5. Grafik Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
Fluks mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar.
Tabel 4.6 Fluks TU dari sediaan mikroemulsi dan sediaan komersial Sediaan Fluks (μg cm-2 jam-1) 63,950 170,476
Mikroemulsi Sediaan kosolvensi 170.476
180 160
Fluks (μg cm-2 jam-1)
140 120 100 80
Mikroemulsi 63.95
Sediaan kosolvensi
60 40 20 0 Sediaan
Gambar 4.6. Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran Selama 8 Jam
4.2 PEMBAHASAN Mikroemulsi adalah suatu sistem dispersi antara 2 carian yang tidak tercampurkan yang stabil secara termodinamika, jernih, transparan dan terbentuk secara sepontan (El-Laithy, 2003). Mikroemulsi dipilih sebagai pembawa karena keuntungan pembuatan mikroemulsi
yaitu
stabil
secara termodinamika,
pembentukan yang mudah (tegangan antarmuka yang kecil dan terbentuk secara spontan), serta dapat distrerilisasi dengan filtrasi,(Talegaonkar, Sushama et al., 2008). Percobaan pendahuluan kali ini dilakukan optimasi campuran minyak dengan tujuan mencari perbandingan komposisi minyak yang dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat di dalam mikroemulsi. Hal ini diperlukan karena testosteron undekanoat mempunyai kelarutan yang sangat kecil di dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
air (0,00052 mg/ml)
(Saraswati A., 2012) tetapi kelarutanya besar di dalam
pelarut minyak. Selain itu, pemberian testosteron undekanoat ditujukan untuk efek depo maka pemberian testosteron undekanoat dilakukan melalu injeksi intramuskular. Injeksi intramuskular adalah injeksi yang disuntikan ke dalam lapisan otot di bawah jaringan subkutan dan tidak langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Pemberian injeksi intramuskular dapat diberikan pada otot bagian deltoid ataupun bagian gluteus. Perbedaan tempat injeksi menyebabkan perbedaan volume maksimal pemberian. Injeksi testosteron undekanoat diberikan melalui otot bagian gluteus. Pemberian pada otot gluteus mempunyai volume maksimal pemberian yaitu 4ml. Pemberian dengan volume melebihi volume maksimal akan menyebabkan nyeri dan terkadang bisa menyebabkan nekrosis. Perlu dicari perbandingan campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undeknoat yang paling besar sehingga dapat memenuhi syarat volume pemberian melalui otot gluteus. Perbandingan campuran minyak yang digunakan mempertimbangkan keamanan zat tersebut dalam penggunaan injeksi intramuskular dan kelarutan testosteron undekanoat pada masing-masing komponen. Dari penelitian yang sudah dilakukan Saraswati, 2012 menunjukan kelarutan testosteron undekanoat pada komponen mikroemulsi paling besar pada benzil benzoat selanjutnya isopropil miristat lalu pada minyak jarak. Sehingga benzil benzoat mempunyai bagian yang lebih besar dalam campuran. Berdasarkan hasil penelitian ini perbandingan campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar yaitu 41:20:8 ( benzil benzoat : ipm : minyak jarak) dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat mencapai 340 mg/ml. Meskipun demikian ke 4 formula tersebut sudah mampu meningkatkan solubilisasi testostern undekanoat dan dapat dibuat sesuai dosis (250 mg/mL). Pada penggunaan injeksi intramuskular minyak yang digunakan harus memenuhi syarat yang berada pada Farmakope Indonesia. Syaratnya adalah Bilangan asam tidak kurang dari 0,2 dan tidak lebih dari 0,9. Bilangan iodium. tidak kurang dari 79 dan tidak lebih dari 128. Bilangan penyabunan tidak kurang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
dari 185 dan tidak lebih dari 200. Pada penelitian kali ini belum diketahui nilai bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan dari masing-masing komponen minyak yang digunakan. Akan tetapi, berdasarkan studi literatur komponen tersebut merupakan komponen yang biasa digunakan untuk penggunaan intramuskular. Selain optimasi perbandingan campuran fase minyak dilakukan optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi agar dihasilkan mikroemulsi yang jernih dan stabil. Kondisi yang penting untuk diperhatikan adalah kecepatan pengadukan dan waktu. Pengadukan konstan dalam pembuatan mikroemulsi kali ini dilakukan menggunakan pengaduk magnet. Awalnya pengadukan dilakukan dengan kecepatan 100-200 rpm tetapi bahan yang ada tidak dapat bercampur sehingga mikroemulsi tidak dapat terbentuk (2 lapisan). Selanjutnya, kecepatan pengadukan ditingkatkan antara 1000-1500 rpm menghasilkan mikroemulsi yang berbusa dan setelah didiamkan 3 jam membentuk 2 lapisan. Mikroemulsi yang jernih dan stabil dapat terbentuk ketika kecepatan pengadukan diturunkan menjadi + 750 rpm. Dengan demikian, kecepatan + 750 rpm merupakan kecepatan yang optimum untuk pembentukan mikroemulsi dan selanjutnya mikroemulsi dibuat dengan kecepatan + 750 rpm. Pembuatan mikroemulsi kali ini dilakukan dengan teknik titrasi dimana salah satu fase ditambahkan secara perlahan ke dalam fase yang lain dengan adanya pengadukan yang konstan. Pengadukan bertujuan untuk mendispersikan fase terdispersi ke dalam medium pendispersi. Proses pengadukan tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lambat. Jika terlalu cepat, akan terjadi turbulensi dimana tetesan-tetesan mikroemulsi semakin mudah berbenturan dan mengakibatkan ukuran partikel mikroemulsi yang dihasilkan menjadi lebih besar (Lachman et al., 1994). Selain itu, karena adanya surfaktan pengadukan yang terlalu cepat dapat menghasilkan busa yang lebih banyak. Sedangkan pengadukan yang terlalu lambat akan menyebabkan bahan yang ada sulit untuk menjadi homogen sehingga mikroemulsi sulit terbentuk (Jufri, M, 2009). Pengadukan dilakukan selama 30 menit dengan kecepatan + 750 rpm. Dengan waktu kurang dari 25 menit masih terdapat butiran-butiran fase terdispersi. Jika pengadukan dilakukan lebih dari 30 menit mikroemulsi yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
tadinya jernih menjadi keruh. Lamanya waktu pengadukan juga mempengaruhi pembentukan mikroemulsi. Jika terlalu lama pengadukan yang dilakukan maka mikroemulsi yang tadinya jernih akan menjadi keruh akibat adanya kabut-kabut halus karena penggumpalan partikel-partikel terdispersi (Lachman et al., 1994). Jika pengadukan terlalu lama maka globul-globul yang ada mudah bergabung dan terjadi koalesensi karena perubahan diameter yang semakin kecil akan menghasilkan energi bebas permukaan yang tinggi sehingga sistem menjadi tidak stabil. Komposisi komponen pembentuk mikroemulsi juga merupakan hal penting dalam pembuatan mikroemulsi. Umumnya mikroemulsi terdiri dari fase minyak, air, surfaktan, dan kosurfaktan/kosolven (Bakan, J.A., 1995). Pada penelitian ini hanya menggunakan air, surfaktan dan minyak. Surfaktan yang digunakan adalah tween 80, sedangkan minyak yang digunakan adalah campuran dari benzil benzoat, isopropil miristat dan minyak jarak. Benzil benzoat mempunyai fungsi tambah yaitu dapat menurunkan tegangan permukaan. Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan Saraswati, 2012
yaitu tegangan
antarmuka benzil benzoat terhadap air lebih rendah dibandingkan dengan komponen minyak yang lain. Sehingga jumlah benzil benzoat membantu menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air. Pada optimasi formula mikroemulsi dibuat dengan variasi konsentrasi minyak dan surfaktan. Perbandingan minyak yang digunakan adalah hasil dari optimasi campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar. Formula A, B,C, D dan T sejak awal pembuatan terbentuk 2 fase yang tidak tercampur. Hal ini diduga karena fase minyak yang ada masih terlalu besar mengakibatkan surfaktan yang ada belum mampu menurunkan tegangan antarmuka antara fase terdispersi dan pendispersi. Formula E sampai O saat pembuatan mikroemulsi terbentuk mikroemulsi yang jernih. Sedangkan formula P dan S sejak awal terbentuk emulsi serta formula Q, R dan U terbentuk krim. Pembentukan krim disebabkan terlalu banyaknya fase air yang digunakan. Formula E-O dilakukan pengamatan stabilitas penyimpanan pada suhu normal selama satu bulan. Hasilnya formula E, F, G, H, N, dan O terjadi breaking yaitu pemisahan sempurna dari mikroemulsi menjadi 2 lapisan yang benar-benar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
terpisah. Pada pemisahan ini Formula M bebeda dengan formula sebelumnya, meskipun saat pembuatan terbentuk mikroemulsi yang jernih tetapi setelah penyimpanan 1 bulan mikroemulsi tidak terlihat jernih (translucent). Terjadinya translucent akibat adanya penggabungan partikel kecil mejadi partikel yang lebih besar tetapi tidak sampai terjadi pemisahan adanya pengocokan tidak mengembalikan mikroemulsi. Ketidakstabilan mikroemulsi ini biasa disebut koalesen. Sedangkan formula yang tetap stabil selama penyimpanan 1 bulan adalah formula J, K dan L. Diagram fase pseudoternar mempermudah untuk menemukan kisaran konsentrasi dari setiap komponen untuk pembentukan mikroemulsi (Mei Piao et al., 2010 p.312).Tipe mikroemulsi tergantung kepada persentase komposisi fase minyak dan air. Dari diagram fase yang dibuat terlihat pembentukan mikroemulsi berada disisi kanan dimana tipe mikroemulsi adalah a/m (water/oil). Informasi yang diperoleh dari pembuatan diagram fase pseudoterner didapatkan range pembentukan mikroemulsi yang sempit yaitu konsentrasi dari surfaktan; 28-30% , fase minyak 67-69%, dan fase air 3%. Formula J selanjutnya dipreparasi sesuai dosis klinis yaitu (250 mg/mL) dan pada formula tersebut dilakukan evaluasi serta uji difusi. Formula ini dipilih karena formula ini selama pengamatan satu bulan tetap stabil, tidak terjadi pemisahan,tidak terlalu kental dan mempunyai persentase surfaktan paling kecil. Penggunaan surfaktan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas. Penggunaan tween 80 pada formula ini masih berada dibawah nilai ADI (Acceptable Daily Intake) (ADI tween 25mg/kg berat badan) (Rowe et al., 2009). Konsentrasi yang dipilih harus memperhatikan konsentrasi yang diperbolehkan untuk penggunaan injeksi intramuskular. Pada pembuatan mikroemulsi zat aktif ditambahkan ke dalam campuran minyak. Pengadukan zat aktif ke dalam campuran minyak dapat menigkatkan solubilisasi dibandingkan dengan pelarutan zat aktif pada satu-satu komponen. Saat penambahan air, campuran akan berwarna putih tetapi dengan pengadukan konstan lama kelamaan akan terbentuk mikroemulsi yang bening dan transparan. Pembentukan mikroemulsi ini terjadi secara spontan (phase titration method) (Mandal, S., 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
Evaluasi yang dilakukan diantaranya adalah uji stabilitas dipercepat yaitu uji cycling test dan uji sentrifugasi. Selain itu dilakukan pula pegukuran partikel mikroemulsi dan uji pH sediaan. Uji dipercepat dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan pada waktu sesingkat mungkin dengan cara memperlakukan sampel pada kondisi yang dirancang untuk mempercepat terjadinya perubahan yang biasa terjadi pada kondisi normal. Cycling test atau uji shock bertujuan untuk melihat kestabilan pada sediaan emulsi, krim, dan larutan, apakah akan terjadi kristalisasi dan pengendapan. Reaksi yang terjadi bersifat reversibel atau sebaliknya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sediaan dapat melewati minimal 6 siklus dengan baik. Pada suhu 4oC mikroemulsi tetap jernih, transparan dan tidak terjadi pembentukan krital setelah ditempatkan pada suhu 40 oC formula mikroemulsi tetep jernih dan transparan. Hal ini menunjukan reaksi yang terjadi reversible dan jika dibandingan dengan sediaan mikroemulsi yang disimpan pada suhu ruang 27oC sifat makroskopiknya tidak terlihatan jauh berbeda. Mikroemulsi terdiri dari beberapa komponen yang mempunyai bobot jenis yang berbeda dan menjadi suatu campuran utuh. Kecendrungan setiap fase untuk bergabung sesamanya sangat besar. Komponen yang mempunyai bj lebih kecil mempunyai kecendrungan unruk memisah atau menggumpal ke ata permukaan dan pristiwa ini biasa disebut creaming. Creaming merupakan salah satu tanda ketidakstabilan mikroemulsi maka untuk menguji stabilitas fisik yang biasanya terbentuknya creaming dilakukan uji sentrifugasi. Dengan pengujian sentrifugasi pada kecepatan 9000 rpm selama 20 menit mikroemulsi tetap stabil dan tidak terjadi creaming. Hal ini menunjukan mikroemulsi tetap terdispersi sempurna, tetap mengalir dengan baik dan stabil. Pengamatan pH mikroemulsi dilakukan saat setelah dibuat, sebelum cycling test, sesudah cycling test dan setelah pengamatan selama 2 bulan. Hasil pengamatan menunjukan adanya penaikan pH yang tidak terlalu besar. Sehingga dapat dikatakan sediaan mikroemulsi tetap stabil secara kimia dan fisika. Terlihat mikroemulsi mempunyai pH berkisan antara 6-7 sehingga memenuhi syarat pH untuk penggunaan injeksi intramuskular.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Pada pemberian melalui intramuskular ada persyaratan pH sediaan. Syarat pH sediaan yang diberikan secara intramuskular adalah 4-12 (Strickley, Robert G., 2004). Jika pH terlalu asam akan menyebabkan nyeri pada saat pemberian sehingga pH sediaan tidak boleh kurang dari 4. Hal ini menunjukan pH sediaan mikroemulsi yang dibuat
masih diperbolehkan sebagai sediaan injeksi
intramuskular. Pengukuran
ukuran
partikel
suatu
mikroemulsi
bertujuan
untuk
mengetahui karakteristik sediaan tersebut. Mikroemulsi yang diukur adalah sampel sebelum uji cycling test dan setelah cycling test.
Hasil pengukuran
partikel menunjukan ukuran partikel sebelum cycling test adalah 91,4 + 26,2 nm dan setelah cycling test adalah 86,8 + 24,4 nm. Hasil tersebut tidak menunjukan perbedaan yang jauh, sehingga dikatakan stabil. Walaupun demikian, ukuran tersebut masih masuk dalam kriteria mikroemulsi yang mempunyai ukuran partikel 10-100 nm (Myers D., 2006). Pengukuran partikel dilakukan dengan mendispersikan mikroemulsi ke dalam air. Sehingga yang terukur adalah partikel minyaknya. Hal ini beranggapan bahwa, di dalam tubuh setelah disuntikan akan terjadi pengenceran dengan cairan fisiologis tubuh sehingga minyak akan menjadi droplet-droplet yang kecil. Ukuran partikel ini mempengaruhi laju pelepasan obat dan bioavailibilitas. Dengan ukuran yang kecil diharapkan obat lebih mudah melintasi barier sehingga mudah masuk dalam sistem sirkulasi untuk mencapai reseptor. Uji difusi dapat dilakukan secara in vivo ataupun secara in vitro. Dalam penelitian ini, dilakukan uji difusi atau penetrasi zat aktif secara in vitro menggunakan sel difusi Franz. Pengujian dilakukan untuk mengetahui jumlah testosteron undekanoat yang dapat berdifusi melalui membran selama interval waktu tertentu. Kompartemen reseptor yang digunakan adalah larutan Phosphate Buffer Saline dengan pH 7,4. Larutan ini dipilih sebagai simulasi kondisi pH cairan tubuh manusia. Pada kompartemen reseptor dilakukan pengadukan yang berfungsi sebagai homogenisasi zat yang sudah terpenetrasi. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan pengaduk magnet dengan kecepatan konstan yaitu 1500 rpm. Suhu yang digunakan harus sama dengan kondisi suhu tubuh (37 oC). Suhu uji difusi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
harus dijaga karena suhu berpengaruh terhadap penetrasi obat. Semakin tinggi suhu maka obat yang berdifusi dalam kompartemen reseptor akan semakin banyak (Ansel, 1989). Suhu dijaga 37 + 1oC karena harus sesuai dengan suhu tubuh. Membran yang digunakan harus kontak dengan larutan reseptor agar sediaan yang diberikan pada membran (barier) dapat berpenetrasi langsung menembus otot menuju cairan reseptor dalam hal ini tidak diperbolehkan adanya gelembung antara reseptor dan membran. Adanya gelembung dapat menyebabkan penetrasi yang tidak stabil. Berdasarkan uji pendahuluan diketahui Phosphate Buffer Saline dapat melarutkan testosteron undekanoat hingga 4 ppm dan diketahui pada jam ke-8 cuplikan mengandung sekitar 2,4 ppm testosteron undekanoat. Dalam menciptakan sink condition digunakan volume reseptor 21 ml Phosphate Buffer Saline. Pemilihan 8 jam ditujukan agar tidak terjadi penjenuhan pada cairan reseptor sehingga tidak mempengaruhi penetrasi zat aktif pada cairan reseptor. Perbedaan perlakuan dapat memberikan hasil yang berbeda. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diusahakan untuk mengkondisikan perlakuan yang sama kepada kedua sediaan tersebut. Hal yang diperhatikan adalah seperti ketebalan otot, kecepatan pengadukan dan titik pengambilan cuplikan. Semakin tebal otot maka akan semakin sulit obat yang terpenetrasi mencapai cairan reseptor maka ketebalan otot yang digunakan hampir sama yaitu sekitar 2mm. Kecepatan pengadukan berpengaruh kepada homogenitas dari cairan reseptor sehingga kecepatan pengaukan diatur konstan yaitu 1500 rpm. Hasil uji penetrasi juga dipengaruhi tempat pengambilan sampel maka titik pengambilan sampel diusahakan hampir sama pada setiap jam dalam semua perlakuan. Perhitungan kadar zat aktif dilakukan menggunakan KCKT. Sebelum pengujian kadar zat aktif dilakukan preparasi sampel cuplikan hasil difusi. Sampel dilakukan pengenceran menggunakan fase gerak.Pengukuran kadar zat aktif yang terpermeasi ke dalam medium diukur menggunakan instrument KCKT dengan fase gerak metanol:asetonitril (90:10), laju alir 1,2 mL/menit, volume injeksi 20 µL dan pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010). Pengukuran dilakukan menggunakan KCKT karena KCKT mempunyai selektifitas yang tinggi dan KCKT dapat menghitung kadar suatu zat yang sangat kecil.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Kadar dalam sediaan mikroemulsi dan sediaan yang beredar secara berturut-turut adalah 245,267 + 0,7889 mg/mL dan 248,654 + 1,3321 mg/mL. Pengujian kadar dilakukan menggunakan KCKT. Dalam uji difusi, konsentrasi zat aktif mempengaruhi penetrasi suatu obat. Semakin tinggi kadar zat aktif maka penetrasinya akan semakin besar. Sehingga kadar yang tidak terlalu jauh masih dapat digunakan dalam uji difusi kali ini. Hasil pengujian jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi melalui membran otot tikus untuk sediaan mikroemulsi dan sediaan kosolvensi berturut turut
adalah 1258,528 μg dan 3354,958 μg. Berdasarkan jumlah
testosteron undekanoat yang terpenetrasi dapat dihitung persentase jumlah testosteron undekanoat dari dosis yang diaplikasikan. Persen testosteron undekanoat yang terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran secara berturut-turut yaitu 1,026% dan 2,698%. Adapun fluks dari kedua sediaan, yaitu mikroemulsi dan sediaan kosolvensi secara berturut-turut adalah 50,101 μg/cm2.jam dan 133,557 μg/cm2.jam. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa dari sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran memiliki kecepatan penetrasi obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan mikroemulsi. Hasil jumlah akumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi dapat dilihat pada gambar 4.4. serta fluks dari kedua sediaan dapat dilihat pada gambar 4.5. Dari hasil pengujian tersebut ternyata sediaan kosolvensi memiliki kecepatan penetrasi testosteron undekanoat yang lebih besar jika dibandingkan dengan sediaan mikroemulsi. Dalam pemberian mikroemulsi diharapkan terjadinya inversi fasa setelah mikroemulsi bercampur dengan cairan intersitial. Sehingga diharapkan luas permukaannya semakin besar agar penetrasinnya semakin besar. Metode yang digunakan ini mempunyai kelemahan yaitu tidak adanya kontak mikroemulsi dengan cairan intersitial sehingga inversi fasa yang diharapkan terjadi tidak terbentuk. Sehingga penenetrasi mikroemulsi masih rendah. Jumlah obat yang melintasi otot dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu partisi obat terhadap pembawa dan cairan fisologi yang terdapat di jaringan, penyebaran obat pada area pemberian dan volume pemberian. Pelepasan obat dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
pembawanya. Bergantung pada aktivitas termodinamik obat terkait formulasi. Kecepatan pelepasan obat
yang kecil
berhubungan dengan rendahnya
biovailabilitas dari formula yang digunakan. Umumnya, konsentrasi formula obat yang kecil dengan kelarutan obat yang besar akan menahan obat pada permukaan otot dan memiliki kecepatan pelepasan obat yang kecil. Oleh karena itu, karakterisasi dari pelepasan obat dari suatu formulasi akan memberikan informasi berharga mengenai strategi dan pemilihan formula (Krista dan Bucks, 2003). Luas area penetrasi obat berbanding lurus dengan jumlah obat yang terpenetrasi sehingga semakin luas daerah penyebaran maka akan semakin banyak obat yang terpenetrasi. Volume pemberian mempengaruhi absorbs obat karena volume pemberian berpengaruh kepada luas area penyebaran obat (Susan Weng Larsen and Claus Larsen1, 2009). Terapi menggunakan testosteron termasuk terapi pengganti androgen. Terapi pengganti androgen harus sama dengan produksi fisologis normal testosteron yaitu 3-10 mg/hari (Leichtnam et al., 2006 dalam Rania M. Hathout et al., 2010). Kadar testosteron normal dalam darah berfungsi memelihara dan mempertahankan spermatogenesis untuk menghambat spermatogenesis kadar testosteron harus diatas kadar fisiologis tubuh (kadar testosteron normal tubuh 300-900 ng/dL). Sehingga formulasi sediaan yang ditujukan sebagai terapi pengganti androgen seperti contoh kontrasepsi hormonal testosteron harus dapat mempertahankan kadar testosteron sesuai produksi normal fisiologis tubuh.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Formula mikroemulsi dengan komposisi BB 41%; IPM 20%; minyak jarak 8%; tween 80 20%; dan Air 3% menghasilkan ukuran partikel minyak 91,4 + 26,2 dan dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat hingga sesuai dosis injeksi intramuskular. 2. Pada uji in vitro, persentase jumlah akumulatif testosteron undekanoat terpenetrasi pada mikroemulsi dan pada sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran berturut turut sebesar 1,026% dan 2,698% dengan fluks sebesar 50,101 (μg cm-2 jam-1) dan 133,557 (μg cm-2 jam-1 ). 5.2 Saran Perlu dicari metode lain yang lebih tepat untuk uji in vitro penetrasi obat dalam otot dan untuk mendapatkan gambaran kondisi di dalam tubuh dan melihat efek pemberian mikroemulsi testosteron undekanoat perlu dilakukan uji secara in vivo
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA Anderson RA, Baird DT. 2002. Male Contraception.Endocrine Reviews 23(6):735–762 Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi keempat. Terjemahan dari Introduction to Pharmaceutical Dosage Form, oleh Ibrahim, Farida. UI-Press. Jakarta: 143;376-390 Azrifitria. 2012. Formula Mikroemulsi Kombinasi Testosteron Undekanoat dan Medroksiprogesteron Asetat serta Profil Farmakokinetik dan Farmakodinamik pada Tikus Jantan Sprague-Dawley. Disertasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bakan, J.A. 1995. Microemulsion. Dalam. Swarbrick, J., J.C. Boylan (eds.). 1995. Encyclopedia of pharmaceutical technology. Volume Marcel Dekker Inc, New York: 335-369. Behre H M, K. Abshagen, M. Oettel, D. Hübler and E. Nieschlag. Intramuscular Injection of Testosterone Undecanoate for the Treatment of Male Hypogonadism : Phase I Studies. European Journal of Endocrinology 140, 414-419, 1999. Germany Bronaugh, Robert L and Raymond F Stewart. 1984. Methods for In Vitro Percutaneous Absorption Studies IV : The Flow Through Diffusion Cell. Journal of Pharmaceutical Sciences Vol. 74 No 1. January 1985 Date, A.A., Nagarsenker, M.S. 2008. Parenteral Microemulsion: An Overview. International Journal of Pharmaceutics. 355: 19–30 Depkes RI.1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta El-Laithy, H.M. 2003. Preparation and physicochemical characteristic of dioctyl sodium sulfosuccinate (aerosol OT) microemulsion for oral drug delivery. AAPS Pharmscitech. 4(1) Article 11 Gandjar, I. G dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Relajar. Yogyakarta Gervasio, G.C. 1996. Detergwncy. Di dalam Baileys’ Industrial Oils and Fats Product, Wiley Interscience Publisher, New York-USA Gu YQ, Tong JS, Wang XH, Tang WH, Bremner WJ. 2004 . Male Hormonal Contraception : Effect of Injection of Testosterone Undecanoate and Depot Medroxyprogesterone Acetate at Eight-Week Intervals in Chinese Men: The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 89(5):2254–2262 He L, Wang G, Zhang Q. 2003. An alternative paclitaxel microemulion formulation: hypersensitivity evaluation and pharmacokinetic profile. International Journal Pharmacy 250 : 45-50
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Ilyas, S. 2008 Efektivitas kontrasepsi hormonal pria yang menggunakan kombinasi testosteron undekanoat dan noretisteron enantat. Jurnal Biologi Sumatera. 3 (1) : 23-28.. Im-Emsap Wandee, et al. Disperse system. Dalam: Banker G.S., Rhodes C.T.. 2002. Modern Pharmaceutis Fourth Edition, revised and expanded. Marcel Dekker Inc, New York. Iswandana, Raditya. 2012. Tesis : Preparasi Nanogel Verapamil Hidroklorida Menggunakan Metode Gelasi Ionik Antara Kitosan – Natrium Tripolifosfat Sebagai Sediaan Antihipertensi. Depok. FMIPA Universitas Indonesia J. T. Watson . 2007. Introduction to Mass Spectrometry, 4th ed. Philadelphia, PA: Lippincott-Raven. Jufri M., Binu A., Rahmawati J. 2004. Formulasi gameksan dalam bentuk mikroemulsi. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1 (3): 160 – 174. Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI . EGC. Jakarta. Kemala Dewi, Retno. 2010. Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Kim, Cherng-ju. 2004. Advaced Pharmaceutics Phsicochemical Principles. CRC Press LLC. Wshington DC. Krakhvsky, Peter A,. Denkov, Nikolai D., 2005. Molecular Interfacial Phenomena of Polymers and Biopolymer. Compatible oodhead Publishing Kyung-Mi Park, Chong-Kook Kim. 1999. Preparation and evaluation of flurbiprofen-loaded microemulsion for parenteral delivery. International Journal of Pharmaceutics. 181: 173–179. Lawrence M.J., Rees G.D. 2000. Microemulsion-based media as novel drug delivery systems. advanced drug delivery reviews. Adv. Drug Del. Rev. 45: 89121. Lachman, L., Lieberman, Herbert A., Kanig, Joseph L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri 1 dan 2 Edisi III. Terjemahan dari The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, oleh Suyatmi, Siti. UI-Press. Jakarta. Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik Jilid 2 Edisi III. Terjemahan dari Physical Pharmacy, Physical Chemical Principles in the Pharmaceutical Sciences, oleh Yoshita, UI-Press. Jakarta: 940-1010. Matheson. K.L. 1996. Surfactan Raw Material. Clasification, Synthesis, uses. In Soap and Detergent, A Theoritical and Practical Review. USA; AOCS Press Meriggiola, M.C., Cerpolini, S., Bremner, W.J., Mbizvo, M.T., Vogelsong, K.M., Martorana, G., Pelusi , G. 2006. Acceptability of an injectable male contraceptive regimen of norethisterone enanthate and testosterone undecanoate for men. Human Reproduction Vol.21, No.8 pp. 2033–2040
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Meriggiola MC, Constantino A, Saad F, D’Emidio L, Morsselli AM, Bertacini. Norethisterone Enanthate Plus Testosterone Undecanoate for Male Contraception: Effect of Various Injection Intervals on Spermatogenesis, Reproductive Hormones, Testis and Prostate. J. Clin Endocrinol Metabolisme. 2005; 90:200514 M. Muchow, P. Maincent, R.H. Muller and C.M. Keck. 2011. Production and characterization of testosteron undecanoate-loaded NLC for oral bioavailibility enhancement. USA : Informal Healthcare. Moelok N, Asmarinah, Nuryati Chairani Siregar and Syafruddin Ilyas. Testosterone Undecanoate and Depo Medroxyprogesterone Acetate Induced Azoospermia Through Increased Expression of Spermatogenic Cell Caspade 3. Medical Journal Indonesia, hal 149-156, Vol. 7, No. 3 July-September 2008, Jakarta. Myers D. 2006. Surfactant science and technology (3th). John Wiley & Sons Inc, New Jersey. 186-189 Nandi, I., M. Bari, H. Joshi. 2003. Synergistic Effect of PEG-400 and Cyclodextrin to Enhance Solubility of Progesterone. AAPS PharmSciTech. 4 (1): artikel 5. Nieschlag E., 2006. Testosterone treatment comes of age: new options for hypogonadal men. Journal Compilation Clinical Endocrinology. 65: 275–281. Blackwell Publishing Ltd Park KM., Kim CK., Preparation and Evaluation of Flurbifropen-Loaded Microemlsions For Parenteral Delivery. International Journal Pharm. 1999 ; 181 ; 173-179 Paul, B.K., S.P. Moulik. 2001. Uses and applications of microemulsions. Current Science. 80 (8): 990-1001. Putra, Efendy D. 2004. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dalam Bidang Farmasi. USU Digital Library. Medan. Rahmawati, J. 2003. Percobaan Pendahuluan Pembuatan Sedian Mikroemulsi dengan Gameksan sebagai Model Obal. Skripsi Program Sarjana Farmasi, FMIPA-UI. Depok. Rakshit AK, Satya PM. 2008. Physicochemistry of o/w microemulsion : formation, stability and droplet clustering. Journal of Microemulsions Properties and Application. 144. Reynolds, James E.F. 1982. Martindale The Extra Pharmacopeia 21th edition. The Pharmaceutical Press. London: 1416-1417 Ritonga, Muhardi. 2012. Optimasi Uji Difusi Kombinasi Testosteron Undekanoat (Tu) Dan Medroksi Progesteron Asetat (Mpa) Dalam Sediaan Mikroemulsi. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Rohman, Abdul. 2009. Kromatografi untuk Analisa Obat. Graha Ilmu. Yogyakarta. Roselina P dan Eko Suhartono. 2005. Pengaruh Kontrasepsi Hormonal Pria Kombinasi Testosterone Enantat (TE) dan Medroksiprogesteron Asetat Terhadap Pembentukan Radikal Bebas. Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Kalimantan Selatan. Saraswati, Afrini. 2011. Evaluasi Pengaruh Benzil Benzoat Pada Mikroemulsi Kombinasi Testosteron Undekanoat Dan Medroksiprogesteron Asetat. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta Stickley, Robert G., 2004. Solubilizing Excipients In Oral and Injectable Formulation. Review Article Pharmaceutical Research Vol 21, No 2 Februari 2004. Suherman S.K. 2008. Estrogen dan Progestin, Agonis dan Antagonisnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5 FKUI. Gaya Baru. Jakarta: 455-467 Surjyanarayan Mandal dan Snigtha S. Mandao. 2011. Microemulsions Drug Delivery System : A Platform for Improving Dissolution Rate of Poorly Water Soluble Drug. Vandodera. Intearnational Journal of Pharmaceutical Sciences Nanotechnology Susan Weng Larsen, and Claus Larsen. 2009. Critical Faktor Influencing The in Vitro Perfoemance of Long-Acting Lipophilic Solution – Impact on In Vitro Release Method Design. The AAPS Jurnal Vol.11 Rowe Raymond C., Paul J., Marian E Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition. The Pharmaceutical Press. London: 82-83; 204-205; 243244; 267-268; 355-361; 375-378; 473-476 Wisatuba J, Luetjens CM, Kamischke A, GU Y-Q, Schlatt S, Simoni M, Nielschlag E. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of injectable testosterone udecanoate in castrated cynomolgus monkey (Macaca fascicularis) are independent of different oil vehicles. J Med Primatol. 2005. Zitzmann M, Nieschlag E. Long term experience of more than 8 years with a novel formulation of testosterone undecanoate (nebido) in substitution therapy of hypogonadal men. Aging Male. 2006; 9; 5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
LAMPIRAN 1 Data Konsentrasi dan AUC dari Kurva Kalibrasi Data Konsentrasi dan Luas Area Testosteron Undekanoat untuk sampel uji difusi. Konsentrasi
AUC 0 0,249 0,643 1,106 1,517 1,748
0 0,300 0,900 1,500 2.100 2,400
Dibuat pula kurva kalibrasi testosteron undekanoat untuk mengetahui kadar zat aktif dalam sediaan. Dari tabel kurva kalibrasi testosteron undekanoat 2 dimasukan ke dalam perhitungan statistik (intersep, slope dan pearson) pada Microsoft exel hingga diperoleh variable a, b dan r yaitu, a = -6,0750 , b = 0,6026 dan r2 = 0,9994 sehingga diperoleh persamaan 𝑦 = 0,6026𝑥 − 6,0750
Data Konsentrasi dan Luas Area Testosteron Undekanoat untuk kadar sediaan. Konsentrasi
AUC
0 50,000 100,000 200,000 400,000 800,000
0 29,061 50,974 104,134 234,490 478,880
Setelah didapatkan AUC dari hasil analisis lalu dimasukan kepersamaan 𝑦 = 0,6026𝑥 − 6,0750
sehingga
didapatkan
konsentrasi
sediaan
(ppm).
Konsentrasi sebenarnya didapatkan dari konsentrasi sediaan dikalikan dengan factor pengenceran yaitu 1000x (5µL sediaan diencerkan menjadi 5 mL).
52
Tabel Perhitungan Kadar Testosteron Undekanoat dalam Sediaan
143,751 + 0,803
248,654 + 1.3321
Konsentraasi sebenarnya mg/mL 248,654 + 1,3321
141,708 + 0,476
245,267 + 0,7889
245,267 + 0,7889
Konsentrasi sediaan (ppm)
AUC Sediaan yang beredar mikroemulsi
LAMPIRAN 2 Contoh Perhitungan Jumlah Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Komersil Jam ke-3 𝐴𝑈𝐶 (𝑦) = 0,462 𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥 𝑦 = 0,010763 + 0,721794𝑥 𝑥 = 0,625 Faktor pengenceran (FP) Konsentrasi terpenetrasi
= Volume labu terukur : Volume sampling (100 μL) = 5ml : 0,1mL = 50x = 𝑥 × 𝐹𝑃 = 0,625 × 50 = 31,237 𝜇𝑔/𝑚𝐿
Rumus jumlah kumulatif yang terpenetrasi 𝑛−1
𝑄 = { 𝐶𝑛. 𝑉 +
𝐶 . 𝑆} 𝑖=1
= Konsentrasi TU(μg/ml) pada sampling Jam ke-3= 31,237 μg/ml = Volume sel difusi Franz = 21 ml 𝑛 −1 𝐶 = Konsentrasi terpenetrasi pada sampling jam sebelumnya yaitu Jam ke𝑖=1 1dan ke-2 secara berturut-turut adalah 18,6718,67 μg/ml dan 22,617 μg/ml S = Volume sampling 2 ml 𝜇𝑔 μg 𝑄 = 31,237 × 21𝑚𝑙 + 18,6718,67 × 2𝑚𝑙 + 22,617 × 2𝑚𝑙 𝑚𝑙 ml = 739,273 𝜇𝑔 Cn V
∴ Jadi jumlah testosteon undekanoat yang terpenetrasi dari sediaan komersial pada jam ke-3 adalah 739,273 μg
LAMPIRAN 3 Contoh Perhitungan Persen Zat Aktif yang Terpenetrasi dari Sediaan Kosolvensi Terhadap Kadar yang Diaplikasikan Persentase kadar yang terpenetrasi dihitung dengan rumus : % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = Dimana :
𝑄 × 100% 𝑃
53
Q = Jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi P = Kadar sediaa zat aktif yang diaplikasikan untuk sediaan yang beredar = (0,5 x 248,654 mg/m =124,327 mg) Persentase kadar yang terpeetrasi pada sediaan kosolvensi jam ke 3: Diketahui Q = 739, 273 μg
P = 124,327 mg = 124327 μg 739,273 % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 100% = 0.595 % 124327 ∴ 𝐽𝑎𝑑𝑖 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑧𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑗𝑎𝑚 𝑘𝑒 3 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑙𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 0,595% LAMPIRAN 4 Contoh Perhitungan Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi Kecepatan penetrasi testosteron undekanoat (fluks; J, μg cm-2 jam-1) dihitung dengan rumus: 𝑀 𝐽= 𝑆 ×𝑡 Dimana: J = Fluks (μg cm-2 jam-1) M = Jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang melalui membran (μg) S = Luas area difusi (cm2) t = Waktu (jam) Diketahui : M = 1258,528 μg S = 2,46 cm2 t = 8 jam 𝑀 𝐽= 𝑆 ×𝑡 1258,528 µ𝑔 = = 63,95 µ𝑔𝑐𝑚−2 𝑗𝑎𝑚−1 2,46 𝑐𝑚2 × 8 𝑗𝑎𝑚 ∴ 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑙𝑢𝑘𝑠 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑒𝑚𝑢𝑙𝑠𝑖 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 50,101 µ𝑔𝑐𝑚−2 𝑗𝑎𝑚−1
54
LAMPIRAN 5 Perhitungan Kadar Tesosteron Undekanoat Sebenarnya yang dimasukan ke dalam Persaam Regresi Linear Kurva Kalibrasi 1. 𝑦 = 0,010763 + 0,721794𝑥 A. Dalam Sediaan Komersil Waktu Sampling
AUC (mAU*min) A
1 2 3 4 5 6 7 8
B 0,269 0,366 0,489 0,846 0,938 1,03 1,517 1,639
rata-rata AUC
0,291 0,308 0,434 0,882 1,247 1,449 1,575 1,891
C cuplikan (ppm)
C sebenarnya (ppm)**
0,373 0,452 0,625 1,182 1,499 1,777 2,127 2,43
18,67 22,617 31,237 59,106 74,927 88,844 106,327 121,49
C cuplikan (ppm)
C sebenarnya (ppm)*
0,28 0,337 0,462 0,864 1,093 1,294 1,546 1,765
B. Dalam Mikroemulsi Waktu Sampling
AUC (mAU*min) A
B
rata-rata AUC
1
0,042
0,068
0,055
0,062
3,091
2
0,107
0,147
0,127
0,162
8,076
3
0,163
0,205
0,184
0,24
12,023
4
0,296
0,245
0,271
0,361
18,047
5
0,308
0,325
0,317
0,425
21,232
6
0,42
0,531
0,476
0,645
32,241
7
0,54
0,544
0,542
0,736
36,811
8
0,728
0,662
0,695
0,948
47,404
Ket : ** Kadar sebenarnya yatiu C cuplikan X fp (50x)
55
LAMPIRAN 6 Hasil Uji Penetrasi Testosteron Undekanoat dalam Larutan Phosphate Buffer Saline pH 7,4 dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Komersi yang Beredar Tabel jumlah akumulatif zat yang terpenetrasi Jumlah Testosteron Undekanoat yang terpenetrasi (µg) mikroemulsi Sediaan komersil 64,911 392,067 175,783 512,286 274,815 739,273 425,361 1386,334 528,340 1837,518 801,994 2273,700 962,441 2823,872 1258,528 3354,958
Waktu (Jam) 1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah Zat terpenetrasi (µg)
4000 3500 3000 2500 2000
Sediaan Komersil
1500 1000
Mikroemul si
500 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jam
Grafik jumlah kumulatif tesosteron undekanoat yang terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar
56
LAMPIRAN 7 Gambar Hasil Optimasi Formula Mikroemulsi
Hasil optimasi formula A-H
Hasil optimasi formula I-O
Formula yang tetaep stabil
Formula J dibuat dalam jumlah banyak
57
LAMPIRAN 8 Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan
Refrigerator (Sanyo Medicool®)
Hot Plate Stirrer (Advantec SRS710HA)
Bagian Otot tiku yang digunakan
Oven (France Etuves C 3000®)
Timbangan analitik (AND GH-202®)
Centrifuge (Eppendrof SH7R)
Psa Analyser
Minor set bedah
Alat Difusi Franz Cell
Keterangan Gambar A= Wadah Fase Gerak B = Pompa C = Injektor D = Kolom E = Detektor UV F = Monitor
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Ultimate 3000 Dionex®)
58
LAMPIRAN 9 Hasil Distribusi Ukuran Partikel Sediaan Sebelum Cycling Test
59
LAMPIRAN 10 Kromatogram TU dalam Sediaan Mikremulsi 1,600
STANDAR TU BESAR #15 m AU
m e 5m ikro 1
UV_VIS_1 WVL:240 nm
8 - 1.913
1,400
1,200
1,000
800
600 17 - Testosteron undekanoat - 5.653
400
200 16 - 5.287
9 - 2.553
-0.853 0.913 - 1.020 56-7 12 3---0.233 0.273 0.307 4 - 0.573
0
-200 0.00
15 - 4.920 11 -12 3.613 10 - 3.307 14 - 4.493 13 - 4.173 - 3.867
m in 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
LAMPIRAN 11 Kromatogram TU dalam Sediaan Kosolvensi yang Beredar 1,600
STANDAR TU BESAR #23 m AU
nebido 5 m ikro
UV_VIS_1 WVL:240 nm
1,400 10 - 1.920
1,200
1,000
800
600 19 - Testosteron undekanoat - 5.707
400
200 18 - 5.340
0
-200 0.00
9 - 1.433 1 2-34 0.233 -5 -0.320 6 7 -0.373 -0.433 --0.480 0.527 0.5478 - 1.080
11 - 2.573
17 - 4.940 13 -14 3.647 12 - 3.327 16 - 4.527 15 - 4.207 - 3.887
m in 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
60
LAMPIRAN 12 Kromatogram TU dalam PBS 8.00
FIX STANDAR TU #74 mAU
Kelarutan tu pbs
UV_VIS_1 WVL:245 nm
5 - 1.927
6.25 12 - TU - 5.713
5.00
3.75
3 - 1.280
2.50
1.25
11 - 5.353
6 - 2.333 4 - 1.433
9 - 3.527 7 - 2.973 8 - 3.280
10 - 4.973 13 - 6.607
1 - 0.0332 - 0.593
-1.00 0.00
min 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
LAMPIRAN 13 Kromatogram Blangko Medium PBS 9.0 PENDAHULUAN DIFUSI #21 mAU
PBS BLANK 3
UV_VIS_1 WVL:245 nm
11 - 1.767
6.0
4.0
2.0
10 - 1.620 9 - 1.473 5 - 60.973 81.207 - 1.360 7- -1.147 4 -0.540 0.607 --0.493 1 2-30.393
-1.0 0.00
12 - 3.113 - 5.30716 1314 - 15 5.040 - 5.200 - 6.120 1718 6.000 - -5.920
min 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
61
LAMPIRAN 14 Certificate of Analysis Testosteron Undecanoat
JINAN YUNXIANG CHEMICAL CO., LTD. RM 2401, BUILDING A,NO.1825 HUALONG ROAD LICHENG AREA,JINAN,SHANGDONG PROVICE,CHINA TEL: 0086-531-82375937
FAX:0086-531-88775825
CERTIFICATE OF ANALYSIS Product Name MFG. Date Test Items Appearance L oss on drying Optical rotation Melting Point HPLC)Assay Free acid Conclusion
Tesosteron Undecanate
L ot no
2010.12.22 Specification White or almost white crystalline powder ≦0.5% +68° ~+72° 60~65°C 97-103.0% 0.5%max The aboye product conforms analysis standard
(Director):余毅
(tester):肖华
011222 2010.12.23 Test Results 符合 0.24% 70.3° 61-63°C 98.81% 0.35%
(Retester):李传宏
62
LAMPIRAN 15 Certificate of Analysis Benzil Benzoat
63
LAMPIRAN 16 Certificate of Analysis Minyak Jarak