OPTIMALISASI KATALOG BINTANG UNTUK NAVIGASI SIKAP SATELIT MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING BERBASIS DENSITAS
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015
Muhammad Arif Saifudin G651120684
RINGKASAN MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas. Dibimbing oleh BIB PARUHUM SILALAHI dan IMAS SUKAESIH SITANGGANG. Membuat katalog bintang yang optimal merupakan hal yang penting dalam aplikasi sensor bintang. Sensor bintang sebagai sensor navigasi sikap satelit membutuhkan akurasi serta kecepatan memberikan informasi sikap satelit yang tinggi. Ukuran katalog yang besar dapat memberikan akurasi yang tinggi namun kecepatan proses identifikasi bintang menjadi lebih lambat. Akibat kedua faktor tersebut, maka diperlukan suatu katalog bintang yang optimal. Pada prinsipnya, katalog baru dibuat dengan cara mengurangi jumlah bintang dari katalog dasar. Teknik sederhana yang umum digunakan untuk mengurangi jumlah bintang adalah menggunakan Magnitude Filtering Method (MFM) yaitu mengurangi jumlah bintang dengan caro menapis daftar bintang berdasarkan nilai magnitudo tertentu yang tergantung pada sensitivitas sensor. Namun, teknik ini mempunyai kekurangan yaitu bintang dalam katalog tidak terdistribusi secara merata yang bisa menggagalkan proses identifikasi bintang di setiap arah bore sight Field of View (FOV). Dalam penelitian ini, diusulkan metode baru untuk menghasilkan katalog bintang menggunakan metode clustering berbasis densitas yaitu DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise). Dengan menggunakan metode clustering berbasis densitas, bintang-bintang pada daerah dengan densitas tinggi akan teridentifikasi dalam cluster-cluster bintang. Reduksi jumlah bintang dilakukan dengan menyimpan bintang yang paling terang pada setiap cluster. Kandidat bintang navigasi dipilih semua bintang paling terang yang tersisa dari hasil reduksi ditambah dengan semua bintang yang bukan anggota cluster. Simulasi Monte Carlo dilakukan dengan membangkitkan FOV acak untuk melakukan pengujian keseragaman katalog baru. Proses identifikasi bintang menggunakan metode segitiga diterapkan untuk menghitung waktu proses identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode clustering menggunakan algoritme DBSCAN menghasilkan katalog bintang yang optimal yang menghasilkan 840 bintang dengan akurasi 96%. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa metode clustering berbasis densitas merupakan metode yang menjanjikan untuk digunakan dalam memilih bintang navigasi untuk bintang membuat katalog bintang. . Kata kunci: DBSCAN, clustering berbasis densitas, katalog bintang, navigasi sikap satelit, sensor bintang
SUMMARY MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Star Catalog Optimization for Satellite Attitude Navigation using Density-based Clustering Method. Supervised by BIB PARUHUM SILALAHI and IMAS SUKAESIH SITANGGANG. Generating an optimized star catalog are an essential part of the star sensor application. Star sensor as satellite attitude navigation sensor requires an high accuracy and high speed of updated information of satellite attitude. The number of stars of the catalog may affect to star identification process and accuracy of attitude determination of satellite. Less number of stars might speed up of the identification process, however the accuracy is getting low. As a result of these two factors, it requires an optimized star catalog. In principle, the new catalog is generated by reducing the number of stars from a base catalog. Common simple techniques to reduce the number of star is using Magnitude Filtering Method (MFM) which is cutting star list based on its particular magnitude with related to sensor sensitivity. However, the technique has disadvantaged that is, the stars are not uniformly distributed which could fail of star identification in any Field of View (FOV) bore sight direction. In this study, a new method to generate star catalog using density-based clustering namely DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise) is proposed. By using density-based clustering method, stars in regions with a high density will be identified in clusters of stars. Reduction of the number of stars is done by storing the brightest star in each cluster. Navigation star candidates selected all the brightest star was left out of the results coupled with the reduction of all the stars that are not members of the cluster. Monte Carlo simulation has performed to generate random FOV to check the uniformity of the new catalog. Star identification using triangle method has performed to calculate the time process. The result shows that proposed method produced an optimized star catalog that has 840 stars with an accuracy of 96%. It concluded that density-based clustering is a promising method to select navigation star for star catalog generation. Keywords: DBSCAN, density-based clustering, satellite attitude navigation, star catalog, star sensor
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
OPTIMALISASI KATALOG BINTANG UNTUK NAVIGASI SIKAP SATELIT MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING BERBASIS DENSITAS
MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN G651120684 Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Judul Tesis : Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas Nama : Muhammad Arif Saifudin NRP : G651120684
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom Ketua
Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Komputer
Dekan Sekolah Pascasarjana
DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 7 September 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Bismillaahirrahmaanirrahiim Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayahNya sehingga penulis dapat meyelesaikan karya tulis ilmiah dalam bentuk tesis ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘Alayhi wa sallam serta seluruh keluarganya, sahabatnya, dan para pengukutnya sampai akhir zaman. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom dan Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman Magister Ilmu Komputer kelas khusus angkatan XIV yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya dan juga kepada segenap keluarga besar Pusat Teknologi Satelit LAPAN atas dukungannya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka saran serta kritik dari semua pihak dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015 Muhammad Arif Saifudin
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Sensor Bintang Proses Identifikasi Bintang Katalog Bintang Algoritme DBSCAN 3 METODOLOGI Praproses Clustering Penetapan Katalog Bintang Pengurutan Berdasarkan Magnitudo Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo Reduksi Jumlah Bintang Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN Pembuatan Katalog dan Sub katalog Simulasi dan Evaluasi 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Praproses Clustering Pengurutan berdasarkan Magnitudo Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo Reduksi Jumlah Bintang Simulasi Monte Carlo 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
i ii ii ii 1 1 2 2 2 3 4 4 6 7 9 14 14 14 15 15 15 15 16 17 20 20 20 21 21 25 29 29 29 30 33 40
DAFTAR TABEL 1 Sensor sikap satelit (Bak 1999) 2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997) 3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv 4 Format katalog utama 5 Format sub katalog 6 Data bintang dalam katalog SAO 7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan 8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv 9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4 10 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, dan 1.0
1 8 15 16 16 20 20 21 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002) 2 Sensor bintang 3 Sensor bintang dengan FOV mo x no 4 Sensor bintang dengan FOV do 5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012) 6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0 7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang 8 Directly density-reachability (Ester et al. 1996) 9 Density-reachability (Ester et al. 1996) 10 Cluster DBSCAN (Andrade et al. 2013) 11 Posisi bintang dalam koordinat langit (Escobal 1976) 12 Sudut antara bintang A dan bintang B 13 Metodologi penelitian 14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang 15 Diagram alir simulasi 16 Diagram alir proses identifikasi bintang dengan metode poligon segitiga 17 Distribusi bintang dalam katalog awal 18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk 19 Bintang ID 669 dan semua noise sebagai kandidat bintang navigasi 20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta jumlah iterasi 21 Contoh katalog utama 22 Contoh katalog dan sub katalognya 23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan 24 Grafik akurasi dan waktu proses hasil simulasi 25 Distribusi Katalog dengan 840 Bintang
4 5 5 6 6 8 9 10 10 10 11 12 14 16 18 19 21 22 22 23 24 24 25 28 28
DAFTAR LAMPIRAN 1 Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal
34
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Satelit sebagai wahana antariksa secara alamiah akan mengalami dinamika sikap akibat adanya gangguan yang ada di lingkungan orbitnya yang disebut sebagai torsi gangguan. Torsi gangguan dapat berasal dari gradien gravitasi bumi dan medan magnet bumi untuk satelit orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO) dengan ketinggian < 1000 km. Torsi gangguan tersebut yang berinteraksi dengan properti massa atau inersia satelit dapat menganggu kestabilan sikap satelit. Pada umumnya satelit yang membawa misi tertentu membutuhkan pengendalian sikap agar misinya tercapai. Misalnya saja satelit dengan misi penginderaan jauh/observasi bumi (remote sensing) yang harus melakukan pengendalian ketika kamera mengambil citra bumi, satelit telekomunikasi yang harus menjaga pointing antena ke area layanannya, satelit navigasi yang harus mengirimkan sinyal navigasi ke bumi, maupun misi ilmiah. Misi satelit-satelit tersebut tidak akan terpenuhi jika tidak ada pengetahuan akan dinamika satelit. Penentuan sikap satelit menjadi salah satu komponen kunci pada hampir semua misi satelit terutama untuk satelit-satelit yang navigasi dan pengendalian sikapnya dilakukan secara otomatis di komputer satelit. Pengetahuan akan dinamika satelit membutuhkan komponen sensor yang berfungsi untuk memberikan informasi orientasi sikap satelit. Pada umumnya, beberapa sensor sikap satelit yang sering digunakan adalah sensor horizon, sensor matahari, sensor bintang dan magnetometer seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Sensor sikap satelit (Bak 1999) Sensor
Akurasi
Sensor horizon Sensor matahari Sensor bintang Magnetometer
0.05o - 1o (LEO) 0.005o – 4o 1 arc sec – 1 arc min 0.5o - 5o
Di antara sensor-sensor sikap satelit tersebut, sensor bintang merupakan sensor sikap satelit yang paling akurat (Liebe 1995; Li et al. 2005; Jiang et al. 2009; Fortescue et al. 2011; Mohammadnejad et al. 2012; Miri dan Shiri, 2012). Orientasi sikap satelit dinyatakan sebagai gerak rotasi satelit relatif dalam ruang tiga dimensi x, y, dan z terhadap kerangka acuan sumbu bendanya. Untuk mengetahui orientasi sikap satelit tersebut secara absolut, maka diperlukan sebuah referensi yang bersifat inersial atau tetap dan referensi ini mengacu pada tata acuan koordinat langit. Posisi bintang dalam sistem koordinat inersial adalah relatif tetap karena pergesarannya terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama sehingga posisi bintang dapat dijadikan sebagai referensi. Posisi bintang inilah yang akan ditransformasikan sebagai sikap satelit. Navigasi satelit dengan meggunakan referensi posisi bintang dilakukan dengan menggunakan sebuah sensor yang dikenal dengan sensor bintang (star sensor atau star tracker). Komponen utama sensor bintang adalah kamera optik yang berfungsi untuk menangkap citra bintang. Sensor bintang membutuhkan referensi sebagai acuan dalam menghitung posisi bintang. Referensi tersebut berupa basis data bintang atau disebut juga dengan katalog bintang.
2
Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi adalah terdapat berbagai versi katalog bintang seperti Tycho-2, SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory), USNO (US Naval Observatory), Hipparchos, Yale, dan lain-lain. Katalog dasar tersebut memuat ribuan bahkan jutaan data bintang. Untuk tujuan pengenalan pola bintang, katalog dasar tersebut tidak dapat digunakan secara langsung dan harus dilakukan modifikasi agar bisa digunakan dalam algoritme pengenalan bintang. Ukuran katalog yang besar menjadi permasalahan dalam proses pengenalan pola karena proses akan membutuhkan waktu yang relatif lama sementara kebutuhan penentuan sikap satelit membutuhkan waktu yang sangat cepat. Terutama jika proses identifikasi bintang dilakukan secara onboard di satelit, maka membutuhkan memori yang besar dan kecepatan komputasi yang tinggi di unit elektronik sensor bintang. Sementara memori pada perangkat keras sensor bintang umumnya memiliki kapasitas yang terbatas serta mikroprosesor yang sederhana. Jika jumlah bintang dalam katalog dikurangi secara drastis, maka akan timbul masalah yaitu seberapa akurat proses pengenalan pola bintang yang dihasilkan, artinya dalam setiap kondisi “lost in space” atau tidak memperoleh informasi sikap satelit, sensor bintang selalu dapat menemukan pola antara di sensor dengan data di katalog. Distribusi bintang yang tidak seragam (uniform) menjadi kendala dalam menentukan daftar bintang dalam katalog. Kepadatan bintang tinggi pada gugus Bima Sakti sementara rendah pada daerah kutub. Maka dibutuhkan suatu katalog bintang yang optimal dengan criteria akurasi navigasi satelit tinggi dan waktu proses identifikasi bintang cepat. Metode yang umum digunakan adalah dengan melakukan penapisan data bintang berdasarkan nilai magnitudonya. Sebagai contoh, sensor dengan sensitivitas cahaya bintang dengan nilai magnitudo 6.0, maka katalog yang digunakan hanya akan memuat data bintang dengan nilai magnitudo maksimal 6.0. Namun metode ini terkendala dalam distribusi bintang yang tidak merata yang memungkinkan munculnya “lubang” dalam kondisi FOV tertentu. Akibatnya pada kondisi tersebut, sensor bintang gagal dalam menemukan pola bintang. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membuat katalog bintang yang optimal, dengan kriteria akurasi proses identifikasi bintang tinggi dan waktu proses untuk identifikasi bintang singkat. Kedua hal tersebut akan diperoleh jika distribusi bintang yang dihasilkan mendekati seragam.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh adalah mengurangi kemungkinan “blind” dari sensor bintang atau tidak mendapat informasi sikap satelit sehingga meningkatkan probabilitas proses pengenalan pola serta mempercepat proses pengenalan pola dalam algoritme identifikasi bintang sehingga jika katalog bintang optimal, maka pengendalian sikap satelit dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
3
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah mereduksi jumlah bintang dalam katalog bintang dasar menjadi katalog bintang baru yang optimal dengan metode clustering berbasis densitas, yaitu DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise. Katalog baru yang dibuat menggunakan salah satu katalog dasar yang sering digunakan dalam astronomi, yaitu SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory) dengan waktu epoch J2000 (1 Januari 2000). Nilai FOV yang akan digunakan sebesar 23o lingkaran. Evaluasi dilakukan dengan simulasi Monte Carlo untuk membangkitkan FOV acak dengan sudut jangkauan 23o lingkaran dan metode identifikasi bintang menggunakan poligon segitiga dengan minimal tiga bintang terdapat dalam FOV.
2 TINJAUAN PUSTAKA Sensor Bintang Bintang merupakan referensi optik yang paling akurat untuk menentukan sikap satelit dengan alasan (1) bintang merupakan acuan yang tetap secara inersial dan (2) bintang merupakan obyek yang sangat kecil dilihat dari tata surya (Sidi 1997). Sensor bintang adalah sebuah sensor berupa kamera optik (lensa, sensor deteksi dan baffle) yang digunakan untuk menangkap citra bintang dan selanjutnya diproses dengan hasil keluaran posisi bintang. Sensor bintang terdiri atas sebuah fungsi pencitraan, fungsi deteksi, dan fungsi pemrosesan data Electronic Data Processing Unit (EDPU). Model skema sensor bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Bintang Cahaya dari Bintang
Optik
Prosesor
Detektor
Keluaran Proses
Gambar 1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002) Fungsi pencitraan berfungsi untuk menangkap foton dari sebuah obyek dalam jangkauan Field of View (FOV) sensor dan memusatkannya pada elemen detektor. Elemen tersebut akan mengubah foton menjadi sinyal listrik untuk selanjutnya diproses untuk menghasilkan keluaran sensor. Fungsi pemrosesan akan memproses output dari sensor menjadi parameter yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang. Tipe detektor yang digunakan umumnya adalah CCD (Couple Charge Device) dan CMOS (Complementary Metal-Oxide Semiconductor) yang banyak digunakan pada kamera digital. Contoh sensor bintang yang digunakan dalam satelit LAPAN-TUBSAT menggunakan sensor dengan detektor CMOS sedangkan dalam satelit LAPAN-A2 menggunakan dua buah sensor bintang dengan detektor CMOS dan CCD. Gambar 2 menunjukkan berbagai sensor bintang yang digunakan untuk satelit. Setiap sensor bintang mempunyai karakteristik tertentu terutama adalah Field of View (FOV) yaitu luasan atau cakupan bidang yang dapat dijangkau oleh sensor yang dipengaruhi oleh ukuran sensor dan panjang fokal (focal length, f) dari lensa. Semakin besar/luas FOV sensor bintang, maka semakin banyak citra bintang yang ditangkap. Bentuk FOV dapat berupa kotak persegi yang dinyatakan dalam (Error! eference source not found.) dengan m adalah lebar cakupan horizontal dan n adalah lebar
5
cakupan vertikal. Sedangkan FOV dengan cakupan lingkaran sebesar dengan d adalah diameter cakupan.
Sensor bintang satelit LAPAN-TUBSAT
Sensor bintang satelit LAPANA2
(Gambar 4)
Sensor bintang buatan LAPAN
Gambar 2 Sensor bintang mo
no
Sensor Bintang
Gambar 3 Sensor bintang dengan FOV mo x no
6
do
Sensor Bintang
Gambar 4 Sensor bintang dengan FOV do
Proses Identifikasi Bintang Pengenalan pola bintang atau biasa disebut juga dengan proses identifikasi bintang adalah proses bagaimana mengenali citra yang ditangkap oleh sensor tersebut apakah obyek bintang atau bukan karena di antariksa terdapat berbagai obyek benda langit yang bertebaran dan mempunyai tampilan visual seperti halnya bintang seperti planet, meteor dan benda langit lainnya. Untuk mengetahui suatu obyek itu merupakan bintang atau bukan, maka digunakan sebuah referensi berupa basis data bintang atau disebut juga katalog bintang. Dalam proses pengenalan pola bintang, terdapat proses pembandingan antara citra yang ditangkap sensor dengan katalog. Proses inilah yang sangat menentukan dalam menentukan keberhasilan menentukan posisi bintang.
Gambar 5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012)
7
Metode mendapatkan posisi bintang dari sebuah sensor bintang dijelaskan secara sederhana adalah sebagai berikut. Sensor menangkap citra yang masuk dalam FOV. Kemudian citra tersebut diekstraksi menjadi data bintang. Langkah berikutnya adalah melakukan proses identifikasi bintang dari citra kamera dengan cara membandingkan dengan data dalam katalog bintang. Proses identifikasi bintang berhasil jika citra bintang identik dengan identitas (ID) bintang tertentu dalam katalog. Jika citra bintang berhasil diidentifikasi, maka selanjutnya adalah melakukan perhitungan posisinya berdasarkan data posisi bintang dalam katalog. Posisi bintang yang dihasilkan diterjemahkan sebagai arah sikap satelit seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Untuk mengidentifikasi atau mengenali pola bintang, maka diperlukan suatu metode atau algoritme tertentu. Berbagai algoritme identifikasi bintang telah banyak dikembangkan dan bervariasi dalam hal kompleksitas, waktu identifikasi, basis data atau ukuran katalog, akurasi pengenalan, dan robustness (Pham et al. 2012). Algoritme yang paling banyak digunakan adalah menggunakan pendekatan geometri kelompok bintang dalam FOV atau cakupan sensor bintang. Metode yang umum digunakan adalah mengukur jarak angular atau sudut masing-masing bintang dengan bintang lainnya. Algoritme yang menggunakan metode ini antara lain: Oriented Triangle (Rousseau et al. 2005), Planar Triangle (Cole dan Crassidis, 2006), dan Geometric Voting (Kolomenkin et al. 2008). Selain itu juga dikembangkan metode pengenalan pola bintang dengan berbasis kecerdasan seperti Neural Network (Li et al. 2003), Fuzzy (Sohrabi dan Shirazi 2010), dan Algoritme Genetika (Paladugu et al. 2003). Metode dengan mengukur jarak angular paling sederhana adalah dengan metode poligon segitiga dengan minimal terdapat tiga buah bintang dalam FOV (Ho 2012). Proses identifikasi bintang untuk pengenalan pola membutuhkan referensi dari bintang navigasi yang terdapat dalam katalog bintang. Katalog Bintang Katalog bintang berisi data bintang yang terdeteksi oleh instrumen ekplorasi seperti teleskop resolusi tinggi maupun satelit dengan misi khusus untuk mengeksplorasi obyek-obyek ruang angkasa. Katalog bintang sederhana telah disusun sejak jaman peradaban kuno seperti Babylonia, Yunani, China, Persia, dan Arab meskipun dengan metode dan alat yang sederhana. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan data obyek benda langit khususnya bintang menjadi lebih banyak dan lebih presisi. Berbagai katalog bintang telah dibuat untuk tujuan riset dalam astronomi dan astrofisika maupun untuk keperluan praktis misalnya dalam hal penanggalan dan penentuan waktu. Dalam dunia astronautika khususnya operasi dan pengendalian satelit, katalog bintang digunakan sebagai referensi dalam navigasi sikap satelit dengan menggunakan sensor bintang. Berbagai versi katalog bintang yang telah dibuat berisi data bintang yang sangat banyak dengan berbagai atributnya sementara data bintang yang digunakan harus dipilih secara selektif untuk menghindari proses pengenalan pola bintang yang lama serta besarnya file katalog. Umumnya data atau atribut bintang yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang adalah ID bintang (Star ID), posisi bintang yaitu Asensio Rekta (Right Ascension, RA), deklinasi (DE), dan magnitudo (Mv). Sebagai contoh jika sebuah bintang mempunyai posisi RA, DE = (0, 0), maka bintang tersebut terletak pada titik perpotongan antara vernal equinox dengan bidang ekuator bola langit. Sedangkan parameter magnitudo (Mv) menyatakan tingkat kecerahanan atau level terang dari suatu bintang. Indeks Mv dinyatakan dalam besaran angka dimulai dari angka terkecil. Jika ada dua bintang dengan nilai magnitudo
8
masing-masing -1.6 dan 1.0, maka bintang dengan nilai mag -1.6 lebih terang dari bintang dengan nilai magnitudo 1.0. Tabel 2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997) Magnitudo, Mv
Nama Bintang
0 Vega -1.6 Sirius -26.8 Matahari
Nama Konstelasi Alfa Lyrae ( Lyr) Alfa Canis Majoris ( CMa) -
Katalog bintang yang ada umumnya memuat data bintang sampai ratusan ribu atau lebih dengan atribut lebih dari empat. Untuk keperluan praktis dalam pengenalan pola bintang, maka diperlukan suatu teknik ekstraksi yang hanya mengambil sebagian isi dan atribut dari katalog bintang. Teknik sederhana yang mudah untuk diimplementasikan adalah dengan Magnitude Filtering Method (MFM) yaitu melakukan seleksi data bintang hanya berdasarkan nilai magnitudonya (Kim dan Junkins 2002). Dengan teknik MFM, bintang dengan batasan nilai magnitudo tertentu yang akan digunakan dalam katalog. Sebagai contoh, katalog SAO memuat data 258997 bintang, jika menggunakan teknik MFM dengan batasan nilai magnitudo atau Visual Magnitude Threshold (VMT) = 6.0 maka katalog bintang akan berisi 5000 bintang. Dengan teknik MFM data katalog telah tereduksi sekitar 98% dan secara kuantitatif cukup baik dalam mereduksi jumlah bintang. Namun teknik ini mempunyai masalah lain dikarenakan distribusi bintang yang diekstraksi tidak merata (Gambar 6) sehingga dikhawatirkan sensor bintang tidak mempunyai referensi yang cukup ketika menghadap pada berbagai kemungkinan FOV. 90
Deklinasi (o)
60 30 0 -30 -60 -90 0
60
120
180
Asensio Rekta
240
300
360
(o)
Gambar 6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0 Jika masih terdapat adanya “lubang” pada katalog bintang dengan teknik MFM, cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan nilai VMT. Namun dengan
9
bertambahnya VMT, jumlah bintang panduan akan meningkat secara eksponensial. Contohnya dengan menentukan VMT = 6.0 yang terdiri atas 5000 bintang dengan menaikkan VMT menjadi 9 maka jumlah bintang menjadi 15000 bintang, meningkat 3 kali lipat seperti ditunjukkan pada Gambar 7. 30000
Jumlah Bintang
25000 20000 15000 10000 5000 0 1
3
5
6
7
8
9
Visual Magnitude Threshold (VMT) Gambar 7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang Untuk mengatasi hal tersebut, metode pembuatan katalog bintang juga telah dikembangkan diantaranya metode Thinning Method (Kim dan Junkins 2002), metode Spherical-Patches, Charged Particles, dan Fixed-Slope Spiral (Samaan et al. 2003), modifikasi Thinning Method menggunakan Minimum Boltzmann Entropy (MBE) (Zhang et al. 2004), dan metode klasifikasi Support Vector Machine (SVM) (Rui dan Ting 2008). Pada semua metode tersebut tidak dilakukan simulasi atau evaluasi identifikasi bintang sehingga tidak diketahui waktu proses identifikasi bintangnya.
Algoritme DBSCAN Algoritme clustering yang digunakan dalam penelitian ini adalah DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise) (Ester et al. 1996). DBSCAN adalah clustering tipe partisional dimana daerah dengan kepadatan tinggi dianggap sebagai cluster dan daerah dengan kepadatan rendah disebut sebagai noise. (Nagpal dan Mann 2011). Parameter utama DBSCAN adalah cluster memiliki setidaknya jumlah obyek minimum (MinPts) dalam radius lingkungan (Eps). Kriteria cluster di DBSCAN adalah (Ester et al. 1996): Core, inti adalah titik sebagai pusat cluster, yang memiliki sejumlah tetangga obyek lebih atau sama dengan nilai yang ditentukan MinPts dalam Eps jangkauan. Border, perbatasan adalah titik dari sejumlah MinPts lebih sedikit namun memiliki hubungan kedekatan dengan titik inti (core). Noise, yang tidak terklasifikasi baik titik inti dan titik perbatasan. Directly Density-Reachable, sebuah titik p adalah directly density-reachable dari titik q terhadap Eps dan MinPts jika dan .
10
Ilustrasi Diretly Density-Reachable ditunjukkan pada Gambar 8. p directly densityreachable dari q q tidak directly densityreachable dari p
p
q
Gambar 8 Directly density-reachability (Ester et al. 1996) Density Reachable, sebuah titik p adalah density-reachable dari titik p terhadap Eps and MinPts jika terdapat rantai titik-titik p1,…, pn, p1 = q, pn = p sehingga pi+1 adalah directly-reachable dari p. Ilustrasi Density-Reachable ditunjukkan pada Gambar 9. p densityreachable dari q q tidak densityreachable dari p
p
q
Gambar 9 Density-reachability (Ester et al. 1996) Gambar 10 menggambarkan kriteria dari DBSCAN.
Border point B Eps
A Core point
Border point B Eps
A
Noise point
Core point
Cluster 1 Cluster 2
Eps = 3 MinPts = 4
Gambar 10 Cluster DBSCAN (Andrade et al. 2013)
11
Algoritme DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996): 1. Menetapkan dataset (setpoints), nilai Eps, dan MinPts 2. Tentukan titik p dalam setpoints 3. Jika titik p belum teridentifikasi (core/border/noise), maka: 4. Cari semua titik (region p) dalam jangkauan Eps dan memenuhi MinPts 5. Jika setpoint dalam region p tidak memenuhi MinPts, maka p adalah noise 6. Jika setpoint dari p memenuhi MinPts, maka p adalah titik inti (core point) dan cluster terbentuk 7. Ulangi langkah 3 untuk semua setpoint Posisi bintang dinyatakan dalam Asensio Rekta (RA) dan Deklinasi (DE) dalam sistem acuan koordinat langit. RA adalah sudut bintang terhadap vernal equinox ke arah timur sepanjang bidang ekuator langit dan DE adalah sudut bintang yang diukur ke utara atau ke selatan terhadap bidang ekuator langit seperti ditunjukkan pada Gambar 11 dengan, Asensio Rekta (RA) Deklinasi (DE)
Gambar 11 Posisi bintang dalam koordinat langit (Escobal 1976) Transformasi dari koordinat langit ke koordinat kartesian adalah sebagai berikut (Montenbruck dan Gill, 2000): x cos cos y cos sin z sin
(1)
Jika posisi dua buah bintang A dan bintang B direpresentasikan sebagai vektor, yaitu vektor a dan b dengan a x1 , y1 , z1 dan b x2 , y2 , z2 dan jika sudut antara dua bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 12 adalah nilai Eps dalam algoritme DBSCAN, maka Eps () dihitung dengan persamaan (Anton 2010) : cos
ab a b
(2)
12
Jika a dan b dinormalisasi, maka a b 1 Sehingga, nilai Eps diperoleh dari persamaan : cos a b
(3)
Maka diperoleh nilai Eps: cos x1 x2 y1 y2 z1 z2
(4)
cos 1 ( x1 x2 y1 y2 z1 z2 )
Jika parameter Eps dalam DBSCAN menggunakan jarak euclidean antar titik-titik dalam dataset, maka dalam penelitian ini nilai Eps merupakan jarak angular (sudut) antar bintang dalam katalog seperti yang telah diuraikan di atas. A
a
B b
o
Gambar 12 Sudut antara bintang A dan bintang B Pada umumnya, setelah melakukan proses clustering maka dilakukan evaluasi terhadap hasil clustering untuk melihat kualitas dari cluster, seberapa baik sebuah obyek dimasukkan dalam cluster. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan evaluasi cluster karena clustering yang dilakukan adalah sebagai alat bantu dalam mereduksi jumlah bintang dari setiap cluster yang terbentuk. Setiap algoritme memiliki kompleksitas masing-masing. Demikian juga dengan algoritme DBSCAN. Kompleksitas dari algoritme DBSCAN adalah O(n2) untuk worst case (Akbar dan Khan 2014). Untuk setiap n titik dari dataset, maka paling tidak terdapat satu region query sehingga kompleksitas rata-rata adalah O(n log n)(Ester et al. 1996). Kelemahan dari algoritme DBSCAN di antaranya adalah kompleksitasnya tinggi dan tidak dapat digunakan untuk dataset dengan perbedaan densitas yang sangat besar (Maitry dan Vaghela 2014).
13
Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo adalah suatu model pengambilan data sampling statistik yang telah diketahui distribusinya yang seolah-olah merepresentasikan data faktual. Salah satu metode Monte Carlo yang dapat digunakan adalah membangkitkan obyek acak dan memprosesnya untuk mengetahui perilakunya (Kroese dan Rubinstein 2012). Karena simulasi ini membutuhkan perhitungan yang kompleks, maka bilangan-bilangan acak dibangkitkan dengan bantuan komputer. Bilangan acak yang dibangkitkan tidak benar-benar acak melainkan bilangan acak semu (pseudorandom number). Disebut bilangan acak semu karena bilangan acak tersebut diperoleh melalui suatu algoritme yang menggunakan rumus matematik atau secara sederhana merupakan tabel yang berisi urutan angka yang telah dihitung sebelumnya dan akan muncul secara acak (Haahr 2010). Algoritme pembangkit bilangan acak semu tersebut dinamakan Pseudorandom Number Generator (PRNG). Pada beberapa bahasa pemrograman komputer, PRNG telah disediakan dalam bentuk sebuah fungsi, misalnya rand() dalam bahasa C/C++ dan matlab dan rnd() dalam Visual Basic. Fungsi tersebut akan membangkitkan bilangan acak semu antara 0 dan 1. Simulasi Monte Carlo digunakan pertama kali pada tahun 1940-an dalam proyek senjata nuklir atau Manhattan Project oleh fisikawan Stanislaw Ulam di Laboratorium Nasional Los Alamos, Amerika Serikat. Nama Monte Carlo sendiri merupakan kode proyek tersebut yang diambil dari nama sebuah kasino dan tempat judi yang terkenal di Monako tempat paman dari Stanislaw Ulam menghabiskan uang untuk berjudi. Pada awalnya simulasi Monte Carlo digunakan oleh para fisikawan untuk membuat model difusi neutron yang saat itu sangat kompleks dalam memperoleh solusi analitiknya, maka mereka menggunakan solusi numerik untuk memecahkannya melalui simulasi Monte Carlo. Saat ini simulasi Monte Carlo sudah banyak digunakan dalam bidang sains, teknik, dan keuangan. Dalam penelitian yang berkaitan dengan bidang penelitan tesis ini, metode Monte Carlo juga digunakan untuk mensimulasikan citra bintang/posisi pada penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Samaan et al. (2003 dan 2005), Lee dan Bang (2007), dan Hua et al. (2014). Kelebihan pengujian menggunakan simulasi Monte Carlo adalah tidak membutuhkan pengujian dengan data faktual dalam hal ini tidak perlu harus menerbangkan sensor bintang ke antariksa untuk mendapatkan data citra bintang secara aktual sehingga evaluasi metode dapat dilakukan secara lebih cepat.
3 METODOLOGI Praproses Clustering Metodologi penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga tahapan utama. Pertama, praproses katalog meliputi pengurutan berdasarkan magnitudo kemudian penapisan berdasarkan batasan magnitudo. Kedua, reduksi jumlah bintang dengan DBSCAN Clustering. Ketiga adalah tahap evaluasi meliputi pengujian identifikasi bintang dengan data simulasi Monte Carlo, dan menganalisis data statistik hasil simulasi. Alur metodologi penelitian ini secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 13. Praproses Pengurutan berdasarkan Magnitudo
Penetapan Katalog Dasar
Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo
Reduksi Jumlah Bintang
Katalog Baru Nilai Eps
Katalog Awal
Baru
Ya
Set nilai MinPts dan Eps
Terbentuk Cluster Baru?
DBSCAN Clustering Tidak
Evaluasi Proses Identifikasi Bintang
Data Akurasi dan Waktu Proses
Data Uji (Simulasi Monte Carlo)
Analisis Data Statistik
Katalog Optimal
Gambar 13 Metodologi penelitian
Penetapan Katalog Bintang Katalog dasar yang akan digunakan adalah SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory) yang memuat data 258997 bintang. Data yang diambil dari katalog SAO meliputi Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), Magntitudo (Mv). Tabel 3 adalah contoh informasi dari katalog SAO.
15
Tabel 3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Asensio Rekta (RA) 00:00:00.031 00:00:00.212 00:00:00.862 00:00:01.184 00:00:01.200 00:00:01.640 00:00:02.230 00:00:02.759 00:00:02.985 00:00:03.266
Deklinasi Magnitudo (DE) (Mv) -05:29:39.85 8.8 +01:05:19.83 9.0 +31:31:55.77 8.4 +38:51:34.10 6.6 -19:29:57.80 8.8 -14:48:54.92 9.4 -40:35:26.91 8.5 +17:26:50.90 9.1 +44:25:12.48 8.9 -20:54:51.31 9.1
Dalam katalog dasar, RA dan DE dinyatakan dalam satuan sudut jam dan akan dikonversi ke dalam satuan sudut (derajat). Pengurutan Berdasarkan Magnitudo Pengurutan data katalog dilakukan berdasarkan nilai magnitudonya dari yang paling kecil (paling terang) ke yang paling besar (paling redup). Tujuan dari pengurutan data katalog ini adalah untuk melakukan proses penyaringan data bintang tahap pertama berdasarkan nilai magnitudonya menggunakan teknik MFM. Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo Setelah dilakukan proses pengurutan data bintang berdasarkan nilai magnitudonya, selanjutnya dilakukan proses penyaringan dengan MFM. Kriteria yang ditetapkan dalam dalam MFM ini adalah menentukan nilai VMT. Dalam penelitian ini, nilai VMT yang ditetapkan adalah 6.0 (VMT 6.0). Nilai ini digunakan berdasarkan batas sensitivitas sensor yang hanya mampu mendeteksi cahaya bintang sampai dengan nilai magnitudo 6.0. Reduksi Jumlah Bintang Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN Tahap pertama dalam DBSCAN adalah menentukan nilai MinPts dan Eps. Nilai MinPts yang ditetapkan adalah 3 (tiga) sedangkan nilai awal Eps ditetapkan dari 0.1 sampai dengan 1.0 dengan masing-masing nilai Eps meningkat setiap kelipatan dari nilai awal. Misalnya nilai awal Eps adalah 0.1, maka clustering berikutnya nilai Eps adalah 0.2, 0.3 dan seterusnya. Proses clustering berhenti jika tidak terbentuk lagi cluster baru. Gambar 14 adalah ilustrasi penerapan algoritme DBSCAN untuk obyek bintang.
16
C
B
A = Bintang sebagai Core B = Bintang sebagai Border C = Bintang sebagai Noise
Ep
s
A MinPts = 3
Gambar 14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang Dari hasil clustering, cluster yang padat akan dikurangi jumlah bintangnya hingga diperoleh tersisa satu bintang dalam satu cluster. Reduksi akan dilakukan dengan mengambil satu bintang yang paling terang dan menghapus bintang yang lainnya. Iterasi clustering akan terus dilakukan sampai tidak lagi terbentuk cluster baru. Pembuatan Katalog dan Sub katalog Katalog utama merupakan katalog yang berisi data bintang hasil reduksi. Informasi yang diperlukan adalah ID dan posisi bintang dalam vektor satuan (vx, vy, vz). Format katalog utama ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Format katalog utama ID i … n
vx vxi … vxn
vy vyi … vyn
vz vzi … vzn
Sub katalog adalah katalog bintang yang diturunkan dari katalog utama hasil clustering. Sub katalog berisi informasi jarak angular dari setiap bintang dalam katalog utama yang dinamakan sebagai bintang poros terhadap bintang-bintang tetangganya. Karena bintang poros sebagai titik pusat dari FOV, maka kategori bintang tetangga adalah semua bintang dalam radius FOV/2. Format sub katalog ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Format sub katalog NBi
ID bintang terdekat j … k
Jarak dij … dik
dengan, NBi : Jumlah bintang terdekat dari bintang ke-i dalam radius FOV/2 derajat j : ID bintang terkecil (paling terang) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang ke-i k : ID bintang terbesar (paling redup) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang ke-i dij : Jarak bintang ke-i dengan bintang dengan ID j dalam derajat dik : Jarak bintang ke-i dengan bintang dengan ID k dalam derajat
17
Simulasi dan Evaluasi Pada tahap ini, simulasi dilakukan untuk memberikan data uji dengan membangkitkan FOV secara acak yang merepresentasikan berbagai arah FOV dengan metode Monte Carlo. FOV yang dibangkitkan adalah koordinat Asensio Rekta (RA) dan Deklinasi (DE) dalam sistem koordinat langit sebagai titik pusat FOV yang selanjutnya ditransformasikan ke dalam koordinat kartesian. Dari titik pusat FOV tersebut kemudian mencari semua bintang dalam radius FOV/2 dari katalog awal. Evaluasi katalog dilakukan dengan memproses data bintang dari setiap FOV acak melalui algoritme identifikasi pola bintang menggunakan metode poligon segitiga. Dari proses evaluasi akan diperoleh data persentase keberhasilan (tingkat akurasi) identifikasi bintang serta waktu rata-rata yang dibutuhkan dalam proses identifikasi tersebut. Simulasi data bintang yang akan dibangkitkan menggunakan distribusi seragam kontinu (continuous uniform distribution) dengan membangkitkan nilai RA dan DE secara acak dengan menggunakan fungsi: r = a + (b - a)*RAND()
(5)
dengan, r = bilangan acak yang dibangkitkan a = nilai minimum b = nilai maksimum RAND() = fungsi acak Dari fungsi pada persamaan (5) di atas, maka: r = Asensio Rekta (RA) atau Deklinasi (DE) a = 0 untuk RA dan -90 untuk DE b = 360 untuk RA dan 90 untuk DE Nilai RA dan DE yang telah dibangkitkan selanjutnya akan ditransformasikan ke koordinat kartesian (x, y, z), melalui persamaan (1). Diagram alir simulasi Monte Carlo ditunjukkan pada Gambar 15.
18
Diberikan : -Nilai batas RA dan DE -Katalog awal
Mulai
Bangkitkan RA, DE acak
Transformasi ke Sistem Koordinat Kartesian (x, y, z) Periksa semua bintang dalam katalog
untuk semua bintang i dalam katalog i++
Periksa jarak RA, DE yang dibangkitkan dengan bintang i dalam katalog
D < FOV/2 ?
i++
tidak
ya Simpan Informasi bintang i dalam FOV
Periksa jumlah bintang
tidak jika jumlah bintang = NSTAR ?
ya akhir loop i
Selesai
Gambar 15 Diagram alir simulasi Simulasi data tiga buah bintang yang telah diperoleh selanjutnya akan dijadikan sebagai input proses identifikasi pola bintang dengan menggunakan algoritme yang ditunjukkan pada Gambar 16.
19
Diberikan : -Data bintang hasil simulasi -Katalog bintang
Mulai
3 bintang pada daftar bintang
Pilih 3 bintang hasil simulasi
Hitung jarak ketiga bintang
Hitung jarak antar bintang
Periksa semua bintang dalam katalog
untuk semua bintang i dalam katalog
Periksa semua bintang j dalam sub katalog
untuk semua bintang j dalam sub katalog
da adalah kosinus jarak bintang 1 Dan bintang 2 th adalah nilai toleransi atau koreksi maksimum jarak
Abs(jarak(j) – da)< th ?
tidak
ya
Ditemukan kecocokan pertama
untuk semua bintang k dalam sub katalog
db adalah kosinus jarak bintang 1 dan bintang 3
i++ Abs(jarak(k) – db)< th ?
tidak
Ditemukan kecocokan kedua ya Hitung jarak bintang j dan bintang k
dc adalah kosinus jarak bintang 2 dan bintang 3
tidak
Ditemukan kecocokan ketiga
k++
j++
Abs(jarak(j,k) – dc)< th ?
ya Akhir dari loop k
Simpan Informasi bintang i cocok dengan bintang j dan k dalam katalog
Akhir dari loop j
Akhir dari loop i
Identifikasi bintang berhasil Selesai
Gambar 16 Diagram alir proses identifikasi bintang dengan metode poligon segitiga
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Praproses Clustering Katalog dasar yang digunakan, yaitu SAO dengan epoch J2000 (1 Januari 2000) yang memuat 258997 bintang. Informasi yang diperlukan dari katalog dasar adalah Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), dan Magnitudo (Mv) karena ketiga informasi tersebut yang diperlukan dalam menyusun katalog baru seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Data bintang dalam katalog SAO Asensio Rekta (o) 0.0212 0.0401 0.1616 … 359.9458 0.0229 0.0470 … 358.7037 358.7151 359.7189
Deklinasi (o)
Magnitudo (Mv)
82.6950 80.0038 82.3782 … -13.6971 -25.3969 -22.1683 … -84.6115 -82.4481 -83.8014
7.2 7.7 9.2 … 9.1 9.3 8.6 … 9.4 5.7 8.9
Pengurutan berdasarkan Magnitudo Tahap pertama praproses clustering adalah mengurutkan data bintang berdasarkan magnitudo dari yang paling terang ke yang paling redup kemudian setiap bintang diberi nomor ID berdasarkan urutan tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan ID Bintang 1 2 3 4 5 6 .. 258995 258996 258997
Asensio Rekta (o) Deklinasi (o) 100.7363 -16.6461 95.7103 -52.6674 278.8110 38.7360 219.0469 -60.6304 78.2477 45.9495 213.3448 19.4422 … .. 178.0335 -82.9947 208.8059 -84.5502 344.4571 -80.1551
Magnitudo (Mv) -1.6 -0.9 0.1 0.1 0.2 0.2 … 99.9 99.9 99.9
21
Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo Tahap kedua dalam praposes adalah melakukan penapisan katalog SAO berdasarkan nilai magnitudo tertentu. Dalam penelitian ini penapisan dilakukan dengan mengambil data bintang menggunakan Magnitude Filtering Method (MFM) dengan magnitudo 6.0 Mv dan diperoleh sebanyak 5103 bintang seperti ditunjukkan Tabel 8. Tabel 8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv ID Bintang
Asensio Rekta (o)
Deklinasi (o)
Magnitudo (Mv)
1 2 3 … 5102 5103
100.7363 95.7103 278.8110 … 335.3253 353.8330
-16.6461 -52.6674 38.7360 … -70.6847 -77.1465
-1.6 -0.9 0.1 … 6.0 6.0
Proses MFM dengan magnitudo 6.0 Mv menghasilkan data katalog dengan distribusi bintang yang tidak merata dengan populasi dominan pada gugus Bima Sakti seperti ditunjukkan pada Gambar 17. 90
Deklinasi (o)
60 30 0 -30 -60 -90 0
60
120 180 240 o Asensio Rekta ( )
300
360
Gambar 17 Distribusi bintang dalam katalog awal
Reduksi Jumlah Bintang Tahap pertama dalam DBSCAN adalah menentukan nilai MinPts dan Eps. Nilai MinPts yang ditetapkan adalah 3 (tiga) sedangkan nilai awal Eps ditetapkan dari 0.1 sampai dengan 1.0 dengan masing-masing nilai Eps meningkat setiap kelipatan dari nilai awal. Misalnya nilai awal Eps adalah 0.1, maka clustering berikutnya nilai Eps adalah 0.2, 0.3 dan seterusnya. Proses clustering berhenti jika tidak terbentuk lagi
22
Deklinasi (o)
cluster baru. Dari setiap hasil clustering terbentuk beberapa cluster dan noise seperti contoh yang ditunjukkan pada Gambar 18, dan dari setiap cluster diambil satu bintang yang paling terang yang ditandai dengan ID yang paling kecil sebagai kandidat bintang navigasi termasuk semua noise (Gambar 19). Dari contoh Gambar 18, satu cluster terbentuk dengan anggota bintang ID 669, 970, 2185, dan 4986. Sedangkan bintang ID 374, 1730, dan 4985 sebagai noise. Hasil clustering tersebut menjadikan bintang ID 669 sebagai bintang paling terang dan seluruh noise (ID 374, 1730, dan 4985) sebagai kandidat bintang navigasi. Proses clustering pertama dengan nilai awal Eps = 0,1 menghasilkan katalog baru dengan jumlah 5095 bintang. Katalog baru tersebut kemudian dijadikan sebagai dataset baru pada clustering berikutnya dengan nilai Eps = 0.2 dan seterusnya.
Asensio Rekta (o)
Deklinasi (o)
Gambar 18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk
Asensio Rekta (o)
Gambar 19 Bintang ID 669 dan semua noise sebagai kandidat bintang navigasi
23
Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari hasil clustering yang dilakukan, nilai awal Eps berpengaruh terhadap jumlah iterasi clustering yang dilakukan. Ditunjukkan pada Gambar 20 bahwa semakin besar nilai awal Eps, maka jumlah bintang yang direduksi dalam setiap iterasi clustering juga semakin banyak. Dengan semakin cepatnya jumlah bintang yang berkurang maka jumlah iterasi clustering juga akan semakin sedikit.
Jumlah Bintang
5000
Eps = 0.1 Eps = 0.2
4000
Eps = 0.3 Eps = 0.4
3000
Eps = 0.5
2000
Eps = 0.6 Eps = 0.7
1000
Eps = 0.8 Eps = 0.9
0 0
20
40
60
80
100
Eps = 1.0
Iterasi ke-i Gambar 20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta jumlah iterasi Pembuatan Katalog dan Sub Katalog Katalog bintang dibuat berdasarkan jumlah bintang dari setiap iterasi. File katalog yang dibuat berektensi .bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama SAO_LIST1_xxxx.bin, xxxx adalah jumlah bintang. Contoh katalog utama ditunjukkan pada Gambar 21. Vektor (x, y, z) bintang dalam katalog utama dituliskan dalam bilangan integer tidak bertanda (unsigned integer) masing-masing 2 byte sehingga setiap satu bintang terdiri atas 6 byte. File sub katalog yang dibuat berektensi .bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama SAO_LIST2_xxxx.bin, xxxx adalah jumlah bintang. Contoh sub katalog ditunjukkan pada Gambar 22 pada panel sebelah kanan. ID dan jarak pada sub katalog dituliskan dalam bilangan integer tidak bertanda (unsigned integer) masing-masing 2 byte. Jarak dituliskan dalam miliderajat. Setiap satu ID bintang dalam sub katalog terdiri atas 4 byte kali dikali jumlah seluruh tetangga dalam jarak < 23o. Pada contoh Gambar 22, bintang dengan ID 1 pada katalog utama mempunyai bintang tetangga dengan ID 22 dengan jarak 12.641 o, ID 30 dengan jarak 22.99o, ID 39 dengan jarak 21.657o dan seterusnya. Proses identifikasi bintang akan menggunakan sub katalog sedangkan perhitungan posisi bintang menggunakan katalog utama.
24
Gambar 21 Contoh katalog utama
Gambar 22 Contoh katalog dan sub katalognya
25
Simulasi Monte Carlo Program simulasi Monte Carlo dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 2010 Express, dijalankan pada PC Intel Core i5-3470 CPU, 3.20 GHz; 4 GB RAM; sistem operasi Windows 7 64-bit Professional Service Pack 1. Simulasi dilakukan dengan membangkitkan nilai koordinat inersial yaitu RA dan DE dalam satuan derajat (o) sebagai titik pusat FOV secara acak sebanyak 1000 kali. Contoh koordinat RA dan DE yang dibangkitkan adalah : 1) (87.49o, 22.86o) 2) (241.61o, 65.77o) 3) (127.31o, -51.22o) 4) (18.39o, 4.93o) 5) dan seterusnya sampai 1000 kali Nilai 1000 FOV acak yang dibangkitkan dari simulasi Monte Carlo ditunjukkan pada Gambar 23. 90
Deklinasi (o)
60 30 0 -30 -60
-90 0
60
120
180 240 o Asensio Rekta ( )
300
360
Gambar 23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan Terlihat dari Gambar 23 bahwa distribusi FOV acak yang dibangkitkan mendekati seragam. Dari titik pusat FOV tersebut selanjutnya akan dicari semua bintang pada katalog awal (Gambar 17) dengan jumlah 5103 bintang yang radiusnya sebesar 11.5o sebagai bintang kandidat pengujian katalog yang dihasilkan dari proses clustering. Untuk setiap katalog bintang yang dihasilkan dari proses clustering, data simulasi Monte Carlo yang digunakan adalah sama. Dari hasil simulasi diperoleh akurasi dan waktu proses dari setiap nilai Eps awal yang ditunjukkan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
26
Tabel 9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4 Jumlah Bintang 5095 4142 3123 2109 1189 1131 1069 1032 989 930 890 862 840 797 771 743 717 674 Jumlah Bintang 5065 4281 3243 2757 2330 1903 1622 1386 1175 1009 881 790 708
Eps awal = 0.1 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100.00 121.773 100.00 83.101 99.90 53.872 99.90 33.926 99.40 20.413 98.90 19.339 98.80 18.895 98.20 17.879 98.10 17.374 97.80 16.406 97.00 17.342 96.40 17.253 96.00 16.253 95.00 17.356 94.40 16.860 93.80 16.209 93.10 15.860 88.90 17.566 Eps awal = 0.3 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100.00 100.00 99.90 99.90 99.90 99.70 99.60 98.90 98.90 97.60 96.00 94.40 87.90
126.325 92.164 60.567 49.217 40.077 31.079 26.268 23.130 22.255 21.317 19.217 19.010 17.652
Jumlah Bintang 5079 4298 3282 2055 1363 1203 1095 998 887 821 761 717 663
Jumlah Bintang 5013 4262 3570 2271 1763 1431 1145 965 808 693
Eps awal = 0.2 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100.00 100.00 99.90 99.70 99.10 98.80 98.50 97.90 96.20 95.00 93.70 92.30 87.40
124.364 90.499 61.632 34.124 20.893 20.964 19.524 18.781 16.525 17.559 17.324 16.056 17.431
Eps awal = 0.4 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100 100 100 99.7 99.4 99.1 98.3 97.5 94.6 87.8
122.569 90.116 70.796 39.907 28.232 23.654 21.162 20.137 18.662 18.552
27
Tabel 10 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, dan 1.0 Jumlah Bintang 4965 4535 3708 2807 1559 1186 925 722 620 Jumlah Bintang 4831 3821 2580 1602 1163 824 640 Jumlah Bintang 4639 3012 1620 1020 644
Eps awal = 0.5 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100 116.51 100 98.05 100 71.86 99.9 47.65 99.5 27.85 98.5 21.14 95.6 19.80 90.9 17.70 76.6 16.01 Eps awal = 0.7 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100 110.197 100 74.391 99.9 45.912 98.9 30.517 97.9 23.671 94.4 19.028 84.2 16.67 Eps awal = 0.9 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100 99.9 98.8 95.1 85.6
103.147 67.002 42.698 31.801 21.845
Jumlah Bintang 4895 4245 3135 2171 1480 1090 807 658
Jumlah Bintang 4740 3436 2084 1300 857 616
Jumlah Bintang 4499 2562 1328 803
Eps awal = 0.6 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100 100 99.9 99.6 98.6 96.2 92.4 83.7
113.651 87.127 57.318 38.108 28.962 25.336 19.007 15.729
Eps awal = 0.8 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100 100 99.7 97.4 93.7 80.1
106.845 65.932 43.212 29.236 22.635 19.054
Eps awal = 1.0 Akurasi Waktu Proses (%) (milidetik) 100 99.8 96.7 89
96.101 58.764 36.379 21.399
Tabel 9 adalah statistik akurasi dan waktu proses simulasi identifikasi bintang untuk nilai Eps awal masing-masing adalah 0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4 dan Tabel 10 adalah statistik akurasi dan waktu proses simulasi identifikasi bintang untuk nilai Eps awal masingmasing adalah 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, dan 1.0. Secara umum, akurasi akan berkurang secara perlahan seiring dengan berkurangnya jumlah bintang, namun waktu proses berkurang secara cepat sampai dengan jumlah bintang 2000-an. Ketika jumlah bintang turun ke-1000 dan ratusan, maka waktu proses tidak mengalami penurunan secara drastis. Waktu proses tidak mengalami penurunan yang signifikan dibawah 20 milidetik.
28
40
95
35
90
30
85
25
80
20
75 70
Akurasi Waktu Proses
15
1763 (4) 1622 (3) 1559 (5) 1480 (6) 1431 (4) 1386 (3) 1363 (2) 1328 (10) 1300 (8) 1203 (2) 1189 (1) 1186 (5) 1175 (3) 1163 (7) 1145 (4) 1131 (1) 1095 (2) 1090 (6) 1069 (1) 1032 (1) 1020 (9) 1009 (3) 998 (2) 989 (1) 965 (4) 930 (1) 925 (5) 890 (1) 887 (2) 881 (3) 862 (1) 840 (1) 821 (2) 797 (1)
Akurasi (%)
100
Waktu Proses (milidetik)
Dari hasil simulasi yang disajikan dalam Tabel 9 dan Tabel 10 untuk setiap nilai awal Eps, diambil jumlah bintang dengan akurasi yang masih dapat diterima adalah > 95% (Pham et al. 2013) dan rata-rata waktu proses identifikasi < 20 milidetik. Secara teoretik, semakin sedikit jumlah bintang maka akurasi akan semakin berkurang dan waktu proses identifikasi akan semakin cepat. Akan tetapi, dari hasil simulasi menunjukkan hal yang berbeda karena penetapan nilai awal Eps yang besar kemungkinan menghilangkan bintang-bintang yang cerah secara drastis. Dari Gambar 24 di atas terlihat bahwa waktu proses paling cepat dihasilkan oleh katalog dengan jumlah bintang 840 dengan nilai awal Eps = 0.1, yaitu 16 milidetik dengan akurasi 96%.
10
Jumlah Bintang (Eps awal*10)
Gambar 24 Grafik akurasi dan waktu proses hasil simulasi Jika distribusi jumlah 840 bintang hasil reduksi dengan nilai Eps awal = 0.1 disajikan dalam plot dua dimensi, maka terlihat seperti pada Gambar 25. 90
DE (deg)
60 30 0 -30 -60 -90 0
60
120
180 RA (deg)
240
300
360
Gambar 25 Distribusi Katalog dengan 840 Bintang Dari plot dua dimensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25, katalog bintang yang diperoleh dengan jumlah bintang 840 menunjukkan distribusi yang mendekati seragam
29
dibandingkan dengan distribusi bintang pada katalog awal yang ditunjukkan pada Gambar 17. Terlihat bahwa daerah pada gugus Bima Sakti sudah tidak lagi mempunyai kepadatan bintang yang tinggi dibandingkan dengan daerah kutub. Dari plot 2 dimensi di atas dapat dilihat reduksi bintang yang dilakukan melalui metode clustering cukup berhasil.
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Metode clustering berbasis densitas menggunakan algoritme DBSCAN dapat digunakan untuk membuat katalog bintang yang optimal. Dengan menggunakan metode reduksi bintang berbasis densitas diperoleh katalog bintang dengan distribusi yang hampir seragam sehingga meminimalkan terjadinya kegagalan identifikasi bintang pada berbagai arah. Penetapan nilai Eps awal menentukan reduksi jumlah bintang, semakin besar nilai Eps, maka reduksi bintang akan semakin cepat. Dengan penetapan nilai Eps yang kecil, maka diperoleh pemilihan kandidat bintang navigasi dengan distribusi bintang yang lebih seragam. Metode yang digunakan menghasilkan katalog bintang dengan jumlah bintang 840 dan hasil simulasi Monte Carlo diperoleh akurasi sebesar 96% dan waktu proses 16 milidetik sehingga memenuhi kriteria untuk diimplementasikan dalam sensor bintang. Saran Pada penelitian yang dilakukan, nilai FOV yang digunakan adalah nilai FOV menengah. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan untuk nilai FOV yang berbeda, misalnya nilai FOV yang lebih sempit maupun yang lebih lebar dengan cakupan FOV segiempat atau bujursangkar. Kemudian dicoba untuk konfigurasi multi FOV, karena umumnya satelit membawa lebih dari satu sensor bintang. Saran berikutnya adalah terkait metode reduksi yang digunakan, yaitu memodifikasinya dengan memilih kandidat bintang navigasi dari bintang yang posisinya secara geometri paling dekat dengan pusat cluster agar kandidat bintang lebih representatif berdasarkan posisi. Untuk menguji waktu proses identifikasi dapat menggunakan metode identifikasi bintang lain yang lebih kompleks selain metode poligon segitiga.
DAFTAR PUSTAKA Akbar S, Khan MNA. 2014. Critical Analysis of Density-based Spatial Clustering of Applications with Noise (DBSCAN) Techniques. International Journal of Database Theory and Application. 7(5): 17-28. doi: 10.14257/ijdta.2014.7.5.02. Analyticon. 2002. Space Engineering: Star Sensor Specification Standar. Hertfordshire Andrade G, Ramos G, Madeira D, Sachetto R, Ferreira R, Rocha L. 2013. GDBSCAN: A GPU Accelerated Algorithm for Density-based Clustering. Procedia Computer Science. 18: 369-378. doi:10.1016/j.procs.2013.05.200. Anton H. 2010. Elementary Linear Algebra: Application Version. 10th ed. John Wiley & Sons (US) [Internet].[diunduh 2015 Sep 10]. Tersedia pada http://www2.warwick.ac.uk/fac/sci/maths/undergrad/ughandbook/content/ma106/ elementary_linear_algebra_10th_edition.pdf. Bak T. 1999. Spacecraft Attitude Determination: A Magnetometer Approach.2nd ed. Aalborg (DK). Aalborg University. ISBN: 8790664035. hlm 16. Cole CL, Crassidis JL, 2006. Fast Star Pattern Recognition Using Planar Triangles. J Guid Control Dynam. 29(1): 64-71. doi: 10.2514/1.13314. Escobal PR. 1976. Method of Orbit Determination. 2nd ed. Krieger Pub Co. ISBN 088275-319-3. hlm 134. Ester M, Kriegel HP, Sander J, Xu X. 1996. A Density-Based Algorithm for Discovering Clusters in Large Spatial Databases with Noise. Di dalam: Simoudis E, Han J, Fayyad U. editor. KDD-96: Proceedings : Second International Conference on Knowledge Discovery & Data Mining; 1996 Agu 2-4; Portland, Oregon, Amerika Serikat. Palo Alto (US): AAAI Press. hlm 226-231. Fortescue P, Swinerd G, Stark J. 2011. Spacecraft System Engineering. 4th ed. Wiley. ISBN: 9781119971016. hlm 316. Haahr, M., 2010. random.org. [Online] Tersedia di: httt://random.org/randomness [diakses 17 Februari 2014]. Ho K. 2012. A Survey of Algorithms for Star Identification with Low-Cost Star Tracker. Acta Astronaut. 73: 156-163. doi:10.1016/j.actaastro.2011.10.017. Hua J, Zhang T, Zhu H, Liang B, Liu B, Ling J. A New Method of Star Catalog Optimization for Multi-FOV Star Sensor.[Editor tidak diketahui]. Proceeding of 11th World Congress on Intelligent Control and Automation; 2014 Jun 29 - Jul 4; Shenyang. China. IEEE. hlm 3529-3533. doi: 10.1109/WCICA.2014.7053302. Jiang J, Zhang G, Wei X, Li X. 2009. Rapid Star Tracking Algorithm for Star Sensor. IEEE Aerosp. Electron. Syst. Mag. 24(9): 23-33. doi: 10.1109/MAES.2009.5282286. Kim HY, Junkins JL. 2002. Self-Organizing Guide Star Selection Algorithm for Star Tracker: Thinning Method. [Editor tidak diketahui]. 2002 IEEE Aerospace Conference Proceedings. 2002 Mar 9-16;. Big Sky, Amerika Serikat. New Jersey (US): IEEE. hlm 5-2275 – 5-2283; doi: 10.1109/AERO.2002.1035394. Kolomenkin M, Polak S, Shimsoni I. 2008. A Geometric Voting Algorithm for Star Trackers. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 44(2): 441-456. doi: 10.1109/TAES.2008.4560198. Kroese DP, Rubinstein RY. 2012. Monte Carlo Methods. WIREs Comp Stat, 4(1): 4858. doi: 10.1002/wics.194
31
Lee HJ, Bang HC. 2007. Star Pattern Identification Techniques by Modified Grid Algorithm. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 43(3): 1112-1116. doi: 10.1109/TAES.2007.4383600. Li BH, Zhang YC, Li HY, Xu SW. 2005. An Autonomus Star Pattern Recognition Algorithm Using Bit Match. [Editor tidak diketahui]. Proceeding of 4th International Conference on Machine Learning and Cybernetics; 2002 Agu 1821; Guangzhou. China. IEEE. hlm 4818-4823. doi: 10.1109/ICMLC.2005.1527791. Li C, Li K, Zhang L, Jin S, Zu S. 2003. Star Pattern Recognition Method based on Neural Network. Chinese Sci Bull. 48(18): 1927-1930. doi: 10.1007/BF03183979 Liebe CC. 1995. Star Tracker for Attitude Determination. IEEE Aerosp. Electron. Syst. Mag. 10(6): 10-16. doi: 10.1109/62.387971. Maitry N., Vaghela D. 2014. Survey on Different Density Based Algorithms on Spatial Dataset. International Journal of Advance Research in Computer Science and Management Studies. 2(2): 362-366. ISSN: 2321-7782 (online). Miri SS, Shiri ME. 2012. Star Identification Using Delaunay Triangulation and Distributed Neural Network. International Journal of Modeling and Optimization. 2(3): 234-238. doi: 10.7763/IJMO.2012.V2.118. Mohammnejad S, Rostami A, Sarvi MN. 2012. A Practical View to Database Generation of Star Identification Algorithm for Space Applications. [Editor tidak diketahui]. 2012 8th International Symposium on Communication Systems, Networks & Digital Signal Processing (CSNDSP); Poznan, Polandia. New Jersey (US): IEEE. hlm 1-4. Montenbruck O, Gill E, 2000. Satellite Orbits: Models, Methods and Applications. 1st Ed. Springer Heidelberg. New York. ISBN: 978-3-540-67280-7. hlm 25. Nagpal PB, Mann AP. 2011. Comparative Study of Density based Clustering Algorithms. International Journal of Computer Applications. 27(11): 44-47. doi: 10.5120/3341-4600. Paladugu L, Williams BG, Schoen MP. 2003. Star Pattern Recognition for Attitude Determination Using Genetic Algorithm. [Editor tidak diketahui]. Proceedings of the 17th AIAA/USU Conference on Small Satellites, The Technology Frontier II, SSC03-XI-2; 2003 Agu 11-14. Utah (US): USU. Pham MD, Low KS, Shoushun C. 2013. An Autonomous Star Recognition Algorithm with Optimized Database. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 49(3): 1467-1475. doi: 10.1109/TAES.2013.6557999. Pham MD, Low KS, Shoushun C, Xing YT. 2012. A Star Pattern Recognition Algorithm for Satellite Attitude Determination. [Editor tidak diketahui]. IEEE Symposium on Industrial Electronics and Applications (ISIEA); 2012 Sep 23-26; Bandung. Indonesia. IEEE. hlm 236-241. doi: 10.1109/ISIEA.2012.6496636. Rousseau GL a, Bostel J, Mazari B. 2005. New Star Pattern Recognition Algorithm for APS Star Tracker Application: "Oriented Triangles". IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 20(2): 27-31. doi: 10.1109/MAES.2005.1397146. Rui Z, Ting J. 2008. Construction of Star Catalogue Based on SVM. Di dalam Jun C, Jie J, Baudoin A, editor. International Archieves of Photogrammetry Remote Sensing and Spatial Information Sciences. 21st International Society for Photogrammetry and Remote Sensing; 2008 Jul 3-11; Beijing, Cina. Göttingen (DE): Copernicus Publications. hlm 945-948.
32
Samaan MA, Bruccoleri C, Mortari D, Junkins JL. 2003. Novel Techniques for Creating Nearly Uniform Star Catalog. [Editor tidak diketahui]. Proc. 2003 AAS/AIAA Astrodynamics Specialist Conference; 3-7 Agu 2003. Big Sky, Montana (US): AAS/AIAA. No.03-609. Samaan MA, Mortari D, Junkins JL. 2005. Recursive Mode Star Identification Algorithms. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 41(4): 1246-1254. doi: 10.1109/TAES.2005.1561885. Sidi MJ, 1997. Spacecraft Dynamics and Control: A Practical Engineering Approach. 1st ed. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN: 9780521787802. Sohrabi S, Shirazi AAB. 2010. A New Star Identification Algorithm Based on Fuzzy Line Pattern Matching. [Editor tidak diketahui]. 2010 25th International Conference of Image and Vision Computing New Zealand (IVCNZ 2010); 2010 Nop 8-9. Queenstown, Selandia Baru. New Jersey (US): IEEE. hlm 1-7. Zhang C, Chen C, Shen X. 2004. A New Guide Star Selection Algorithm for Star Tracker. [Editor tidak diketahui]. Fifth World Congress on Intelligent Control and Automation (WCICA 2004); 2004 Jun 15-19. Hangzhou, Cina. New Jersey (US): IEEE. hlm 5444-5449. doi: 10.1109/WCICA.2004.1343772.
LAMPIRAN
34
Lampiran 1 Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal Iterasi ke-i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Eps 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3.0 3.1
Jumlah bintang 5095 5079 5065 5019 4972 4909 4862 4781 4696 4568 4452 4310 4142 3969 3813 3649 3493 3308 3123 2984 2837 2693 2547 2397 2258 2109 1983 1881 1800 1718 1623
Eps awal = 0.1 Iterasi Jumlah Eps ke-i bintang 32 3.2 1546 33 3.3 1445 34 3.4 1385 35 3.5 1319 36 3.6 1243 37 3.7 1189 38 3.8 1131 39 3.9 1069 40 4.0 1032 41 4.1 989 42 4.2 930 43 4.3 890 44 4.4 862 45 4.5 840 46 4.6 797 47 4.7 771 48 4.8 743 49 4.9 717 50 5.0 674 51 5.1 641 52 5.2 625 53 5.3 604 54 5.4 578 55 5.5 559 56 5.6 531 57 5.7 498 58 5.8 485 59 5.9 472 60 6.0 449 61 6.1 428 62 6.2 410
Iterasi ke-i 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
Eps 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7.0 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9 8.0 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7 8.8 8.9 9.0 9.1 9.2 9.3
Jumlah bintang 402 392 387 379 371 362 356 351 331 327 315 313 295 289 281 270 267 262 254 247 241 233 229 227 224 222 216 211 207 204 199
35
Iterasi ke-i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Eps 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4 3.6 3.8 4.0 4.2 4.4 4.6 4.8 5.0 5.2 5.4 5.6 5.8 6.0 6.2 6.4 6.6
Eps awal = 0.2 Jumlah Iterasi bintang ke-i 5079 34 5019 35 4902 36 4772 37 4557 38 4298 39 3955 40 3628 41 3282 42 2948 43 2651 44 2336 45 2055 46 1839 47 1681 48 1520 49 1363 50 1203 51 1095 52 998 53 887 54 821 55 761 56 717 57 663 58 626 59 565 60 523 61 483 62 456 63 428 64 399 65 381
Eps 6.8 7.0 7.2 7.4 7.6 7.8 8.0 8.2 8.4 8.6 8.8 9.0 9.2 9.4 9.6 9.8 10.0 10.2 10.4 10.6 10.8 11.0 11.2 11.4 11.6 11.8 12.0 12.2 12.4 12.6 12.8 13.0
Jumlah bintang 364 352 324 306 274 259 254 236 227 217 213 206 196 188 184 175 164 155 153 143 138 133 127 123 117 112 105 103 99 97 95 91
36
Eps awal = 0.3 Iterasi Jumlah Eps ke-i bintang 1 0.3 5065 2 0.6 4899 3 0.9 4683 4 1.2 4281 5 1.5 3766 6 1.8 3243 7 2.1 2757 8 2.4 2330 9 2.7 1903 10 3.0 1622 11 3.3 1386 12 3.6 1175 13 3.9 1009 14 4.2 881 15 4.5 790 16 4.8 708 17 5.1 609 18 5.4 555 19 5.7 505 20 6.0 463 21 6.3 416 22 6.6 381 23 6.9 335 24 7.2 302 25 7.5 280 26 7.8 268 27 8.1 247 28 8.4 232 29 8.7 227 30 9.0 217 31 9.3 199 32 9.6 184 33 9.9 171 34 10.2 153 35 10.5 148 36 10.8 141 37 11.1 129 38 11.4 122 39 11.7 113
Eps awal = 0.4 Iterasi ke-i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Eps 0.4 0.8 1.2 1.6 2.0 2.4 2.8 3.2 3.6 4.0 4.4 4.8 5.2 5.6 6.0 6.4 6.8 7.2 7.6 8.0 8.4 8.8 9.2 9.6 10.0 10.4 10.8 11.2 11.6 12.0 12.4 12.8 13.2 13.6 14.0 14.4 14.8 15.2 15.6
Jumlah bintang 5013 4752 4262 3570 2855 2271 1763 1431 1145 965 808 693 593 497 431 366 344 309 274 251 233 217 193 177 161 148 142 128 114 108 97 92 87 85 80 75 72 68 63
37
Iterasi Eps ke-i 1 0.5 2 1.0 3 1.5 4 2.0 5 2.5 6 3.0 7 3.5 8 4.0 9 4.5 10 5.0 11 5.5 12 6.0 13 6.5 14 7.0 15 7.5 16 8.0 17 8.5 18 9.0 19 9.5 20 10.0 21 10.5
Eps awal = 0.5 Jumlah Iterasi bintang ke-i 4965 22 4535 23 3708 24 2807 25 2085 26 1559 27 1186 28 925 29 722 30 620 31 510 32 421 33 357 34 316 35 271 36 253 37 230 38 217 39 185 40 156 41 146
Eps 11.0 11.5 12.0 12.5 13.0 13.5 14.0 14.5 15.0 15.5 16.0 16.5 17.0 17.5 18.0 18.5 19.0 19.5 20.0 20.5
Jumlah bintang 132 125 114 100 98 92 85 76 70 62 58 54 51 49 47 45 39 37 33 31
Eps awal = 0.6 Iterasi Jumlah Eps ke-i bintang 1 0.6 4895 2 1.2 4245 3 1.8 3135 4 2.4 2171 5 3.0 1480 6 3.6 1090 7 4.2 807 8 4.8 658 9 5.4 495 10 6.0 409 11 6.6 344 12 7.2 293 13 7.8 238 14 8.4 203 15 9.0 193 16 9.6 168 17 10.2 155 18 10.8 138 19 11.4 124 20 12.0 112 21 12.6 96 22 13.2 85 23 13.8 75 24 14.4 73
38
Eps awal = 0.7 Iterasi Jumlah Eps ke-i bintang 1 0.7 4831 2 1.4 3821 3 2.1 2580 4 2.8 1602 5 3.5 1163 6 4.2 824 7 4.9 640 8 5.6 477 9 6.3 352 10 7.0 309 11 7.7 245 12 8.4 203 13 9.1 177 14 9.8 158 15 10.5 142 16 11.2 124 17 11.9 115 18 12.6 106 19 13.3 99 20 14.0 87 21 14.7 79 22 15.4 76 23 16.1 69 24 16.8 67 25 17.5 56 26 18.2 54 27 18.9 49 28 19.6 47 29 20.3 39
Eps awal = 0.8 Iterasi Jumlah Eps ke-i bintang 1 0.8 4740 2 1.6 3436 3 2.4 2084 4 3.2 1300 5 4 857 6 4.8 616 7 5.6 439 8 6.4 343 9 7.2 257 10 8 224 11 8.8 188 12 9.6 166 13 10.4 130 14 11.2 117 15 12 100 16 12.8 95 17 13.6 88 18 14.4 78 19 15.2 74 20 16 68 21 16.8 65 22 17.6 55 23 18.4 50 24 19.2 40
39
Eps awal = 0.9 Iterasi ke-i Eps Jumlah bintang 1 0.9 4639 2 1.8 3012 2.7 3 1620 4 3.6 1020 5 4.5 644 6 5.4 463 6.3 7 362 8 7.2 295 9 8.1 228 10 9.0 181 9.9 11 160 12 10.8 128 13 11.7 103 14 12.6 96 13.5 15 88 16 14.4 76 17 15.3 68 18 16.2 57 17.1 19 53 20 18.0 48 21 18.9 40
Iterasi ke-i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Eps = 1.0 Eps Jumlah bintang 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 21.0 22.0 23.0 24.0 25.0
4499 2562 1328 803 524 353 287 220 176 137 126 96 89 76 73 62 57 51 43 39 34 31 29 27 25
40
RIWAYAT HIDUP Muhammad Arif Saifudin, atau lebih sering dipanggil dengan Didin lahir di kota Bangil, Pasuruan pada tanggal 13 September 1977 dari pasangan Bapak Saiful Anwar dan Ibu Lilik Matho’anah. Muhammad Arif Saifudin adalah adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMAN Bangil, Pasuruan dan lulus pada tahun 1996 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Institut Teknologi Bandung di jurusan Teknik Penerbangan, Fakultas Teknologi Industri dan mendapatkan gelar Sarjana Teknik pada tahun 2002. Pada tahun 2003 sampai dengan 2006 penulis bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi di Jakarta. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Magister Ilmu Komputer Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis penulis bekerja sebagai Perekayasa di Pusat Teknologi Satelit, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).