Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 136 - 155 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri Oleh: Said Ali Setiyawan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract This article talks on interpretation methodologhy of tarti>b nuzu>li used by alJabiri for understanding al-Qur’an. Al-Jabiri offers new interpretation methodology, tarti>b nuzu>li , for criticizing, completing, and developing previous interpretations which are considered having political, ideoligical motivation, and many importances; and unable to answer many developing modern problems. There are two steps done; He reconstructs definition of alQur’an by self referencial and constructs sistematicly methodologycal of alQur’an interpretation. They are fas}l al-maqru>’ ‘an al-Qa>ri’ and was}l al-qa>ri’ bi al-maqru>’ whose purposes make al-Qur’an modern for its self (mu’a>s}ra>n li nafsihi> ) and modern for us (mu’a>s}ira>n lana> ). So, the jargon of “s}a>lih} li kulli zama>n wa al-maka>n” can be really applicated without forgetting the authentication of al-Qur’an. Artikel ini berbicara tentang metodologi penafsiran tarti>b nuzu>li yang digunakan oleh al-Jabiri untuk memahami al-Qur’an. Al-Jabiri menawarkan metodologi interpretasi baru, tarti>b nuzu>li, untuk mengkritisi, melengkapi, dan membangun penafsiran sebelumnya yang dianggap memiliki motivasi politik dan ideologi, serta hal-hal penting lain; dan bisa untuk menjawab perkembangan masalah-masalah modern. Ada dua tahapan yang dilakukan; Dia merekonstruksi definisi al-Qur’an dengan merujuk ke al-Qur’an itu sendiri dan membangun metodologi yang sistematik untuk tafsir al-Qur’an, yaitu: fas}l almaqru>’ ‘an al-Qa>ri’ dan was}l al-qa>ri’ bi al-maqru>’ yang memiliki tujuan memodernkan al-Qur’an itu sendiri (mu’a>s}ra>n li nafsihi> ) dan modern juga bagi kita (mu’a>s}ira>n lana> ). Dengan itu jargon “s}a>lih} li kulli zama>n wa al-maka>n” dapat benar-benar diaplikasikan tanpa melupakan otentisitas al-Qur’an itu sendiri. Keywords:
136
Said Ali Setiyawan
Al-Jabiri; Tafsser Qur’an; redefinition of al-Qur’an; interpretation methodology of tarti>b nuzu>li. Pendahuluan Para ulama sepakat bahwa al-Qur’an diturukan ke bumi sebagai wahyu Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia, dan diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Proses graduasi ini bertujuan agar umat manusia bisa mempelajarinya dengan mudah dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya sebuah ayat tertentu, di antaranya sebagai jawaban atas problematika yang sedang terjadi.1 Pada realitanya, sistematika al-Qur’an yang ada di tangan umat muslim dunia sekarang ini mengikuti susunan resmi Mushaf Usmani atau disebut dengan tarti>b mush}afi, lawan dari tarti>b nuzu>li. Meskipun secara teoritis, tarti>b mush}afi, sampai saat ini masih dalam perdebatan, apakah bersifat tauqi>fi, ijtiha>di>, atau sebagaian tauqi>fi dan bagian lainnya ijtiha>di>.2
Model sistematika al-Qur’an sebagaimana di atas, tarti>b mush}afi, meniscayakan munculnya metode tafsir tahlili dengan berbagai jenisnya.3 Sebagaimana perkembangan realitas yang melahirkan metode tahlili, Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i>, Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A
t wa al-Suwar jilid I (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2006), h. 6. 1
Tawqifi adalah segala sesuatu, dalam hal ini adalah sistematika al-Qur’an, bersumber atau berdasarkan instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad. Ijtihadi, bahwa sistematika al-Qur’an berdasarkan tartib mushafi merupakan upaya Nabi dan para sahabatnya dalam menyusun ulang sistematika al-Qur’an berdasarkan tartib mushafi, dan yang terakhir; tawqifi dan ijtihadi, bahwa sistematika al-Qur’an berdasarkan tartib mushafi, sebagian berdasarkan pada ijtihad Nabi dan para sahabatnya dan sebagian yang lain berdasar pada tawqifi. 2
3
Seorang penafsir dalam menafsir al-Qur’an mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Ia memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penejelasan mengenai arti global ayat. Juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari rasul, sahabat atau para tabi’in yang terkadang bercampur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya; dan sering pula bercampur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an. lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i, terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Jakarta, 1994), h. 12.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
137
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
metode tafsir ini mulai dinilai tidak lagi memadai untuk menjawab pelbagai persoalan kehidupan umat Islam belakangan yang senatiasa berkembang. Keadaan ini membuat para pemikir muslim gelisah dan mulai mencari model tafsir baru yang secara praksis dinilai mampu menjawab pelbagai permasalahan yang berkembang.4 Oleh karena itu, muncullah model tafsir baru, yang disebut tafsir maudhu’i, sebagaimana yang digagas oleh al-Farmawi. Tafsir maudhu’i pada dasarnya masih mengikuti tarti>b mush}afi al-Qur’an, hanya saja secara praksis ketika menafsirkan, ayat-ayat al-Qur’an disusun secara tematik, sesuai tema yang menjadi persoalan kehidupan umat Islam dan akan dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an. Kemunculan model tafsir maudhu’i dinilai mampu menjawab permasalah umat Islam terkini dan menjadi model tafsir yang tren pada waktu itu, bahkan sampai saat ini. Keadaan ini tidak lantas menjadikan pemikir Islam puas dan tinggal diam untuk selalu menggali tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan tujuan utama al-Qur’an diturunkan yakni sebagai petunjuk dan rahmat bagi umat manusia. Muhammad Abid al-jabiri adalah salah satu tokoh muslim yang menawarkan model baru dalam menafsirkan alQur’an yakni dengan model penafsiran al-Qur’an berdasarkan urutan kronologis turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang disebut tarti>b nuzu>li.5 Hal tersebut merupakan upaya “Rekonstruksi Tafsir Jabiri” yang merupakan kegelisahannya atas penafsiran-penafsiran sebelumnya yang cenderung bias ideologis dan kepentingan.
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 171. 4
Tokoh lain yang juga menggunakan model tafsir berdasarkan tartib nuzuli adalah Theodor Noldeke dengan karyanya Geschichte yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab Tarikh al-Qur’an. dalam karyanya ia membagi al-Qur’an menajdi dua kategori: Pertama, Kategori Makkiyyah, yang dibagi lagi menajdi tiga fase. Fase pertama meliputi 48 surat yang dibagi lagi menjadi 4 kelompok. Kelompok 1: surat ke-1 s/d 8. Kelompok 2: surat ke-9 s/d 31. Kelompok 3: surat ke-32 s/d 43. Kelompok 4: surat ke44 s/d 48. 2. Kategori Madinah, yang hanya dibagi menjadi satu fase saja. Fase Makkah kedua memuat 22 surat, dari surat ke 49 s/d 70. Fase Makkah ketiga memuat 22 surat, dari surat ke 71 s/d 92. Kedua, Kategori Madinah yang terdiri dari 24 surat, dari surat ke-39 s/d 116. Lih.Theodor Noldeke, Tarikh al-Qur’an, ta’dil. Fari>d Yari>sy syafa>li. alih bahasa arab. ( تامد جورجNew York: أملز جورج, 2000). 5
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
138
Said Ali Setiyawan
Dari Nalar Arab ke Tafsir al-Qur’an Al-Jabiri adalah salah seorang tokoh spesialis epistemologi Bangsa Arab asal Maroko Tenggara kelahiran 27 Desember 1935. Pada masa kehidupannya ia sempat intens terlibat dalam dunia politik di negaranya sampai dijebloskan ke dalam penjara pada bulan Juli 1964 karena dituduh berkonspirasi melawan negara melalui Partai Istiqlal. Pada tahun yang sama al-Jabiri dikeluarkan dari penjara dan mulai aktif dalam dunia akademik secara lebih serius. Pada tahun sebelum dipenjara, tahun 1959 ia memulai studi filsafat di Universitas Damaskus, Syiria. Saat sedang bergulat dengan dinamika pemikiran intelektual, dunia Arab sedang mengalami goncangan-goncangan identitas atas pelbagai persoalan-persoaln yang dimunculkan oleh kaum modernis. Dengan latar belakang inilah al-Jabiri hadir dengan membawa pemikirannya untuk memberikan solusi atas kesenjangan antara tradisi dan modernitas. Karya-karya awal al-Jabiri belum menyentuh pada pembahasan al-Qur’an melainkan lebih difokuskan pada kritik nalar Arab sebagai upayanya untuk mencari titik terang kesenjangan antara tradisi Bangsa Arab dan modernitas. Istilah “nalar” merupakan terjemahan dari kata al-‘aql yang dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu kumpulan aturan-aturan dan hukum-hukum berfikir yang terbentuk dalam suatu kultur tertentu dalam sebuah masyarakat sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan.6 Menurut al-Jabiri, akal dibagi menjadi dua. Pertama nalar pembentuk (al-‘aql al-mukawwin). Yakni, nalar alami yang dimiliki semua manusia dan yang membedakan antara manusia dan hewan. Kedua, nalar yang terbentuk (al-‘aql al-mukawwan) atau yang disebut nalar budaya, yaitu suatu nalar yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu dimana orang tersebut hidup.7
Muhammad Abid al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arab (Beirut: Markaz Dirasah alWahdah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 15. 6
Ibid. lihat juga Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 185. 7
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
139
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Kritik formasi nalar Arab al-Jabiri dapat disimpulkan pada tiga klasifikasi epistemologi: bayani, burhani, dan ‘irfani.8 Adapun kritik struktur nalar Arab diarahkan pada tiga unsur: kritik nalar epistemologi, kritik nalar politik, dan kritik nalar akhlak.9 Proyek kritik nalar Arabnya tertuang dalam beberap karyanya. Karya pertama berjudul Takwi>n al-‘Aql al-Arabi> (Formasi Nalar Arab) mulai terbit tahun 1984 M. Kedua, berjudul Bunyah al-‘Aql al-Arabî: Dirâsah
Tah}lîliyah Naqdiyah li Nuz}um al-Ma’rifah fi Al-S|aqa>fah Al-Arabiyah (Struktur Nalar Arab: Studi Analisis Kritis Terhadap Sistem Pengetahuan dalam Budaya Arab) mulai terbit tahun 1986 M. Ketiga, berjudul Al-‘Aql al-Siya>sî al-Arabî: Muh}addada>tuhu wa Tajliyyya>tuhu (Nalar Politik Arab: Batasan dan Manifestasinya) terbit tahun 1990 M. Keempat, berjudul Al-‘Aql al-Akhla>qî al-‘Arabî: Dirâsah tah}li>liyyah Naqdiyyah li Nuz}u>m Al-Qiya>m fi Al-S|aqa>fah al-‘Arabiyah (Nalar Aksiologi Arab: Studi Analisis Kritis terhadap Strukur Nilai dalam Budaya Arab) terbit tahun 2001 M.10 Perhatian kajian al-Jabiri tidak berhenti pada krtitik nalar Arab dengan menjadikan Tradisi Arab sebagai objek utamanya11. Selanjutnya, Ia mulai merambah pada kajian tentang al-Qur’an dan menjadikanya sebagai objek kajian utama. Hal ini sangat menarik, melihat al-Jabiri menggunakan metode yang sama ke dalam kajian alQur’an yang notabene berbeda dengan objek kajian sebelumnya, yakni turats atau tradisi. Untuk melihat bagaimana metode ini bekerja terhadap al-Qur’an dalam bagian ini akan dibahas dua unsur utama: Pertama, Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab (Beirut: Markaz Dira>sah alWah}dah al-‘Arabiyyah, 2009), h. 9. 8
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 186. 9
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 13-14. 10
11 Sebelumnya kata tradisi yang diambil dari terjemahan bahasa Arab turas tidak dikenal dalam pengertiannya di masa Arab klasik. Begitu juga dalam al-Qur’an kata turas tidak dikenal kecuali dalam artian harta warisan peninggalan orang yang sudah meninggal. Dalam hal ini, turas dimaknai “tradisi” muncul belakangan setelah bangsa Arab berhadapan secara problematis dengan modernitas.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
140
Said Ali Setiyawan
bagaimana al-Jabiri memandang al-Qur’an, atau yang disebut Dwi Haryono dengan istilah redefinisi al-Qur’an.12 Kedua, metode yang digunakan al-Jabiri dalam menafsirkan al-Qur’an, dan Ketiga, tema-tema penafsiran al-Jabiri terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Semua unsur ini tertuang dalam dua karya master piece-nya dalam bidang al-Qur’an:
Madkhal ila> al-Qur’a>n al-kari>m al-Juz al-Awwal fi al-Ta’ri>f bi al-Qur’a>n dan Fahm al-Qur’a>n al-kari>m: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>l. Redefinisi al-Qur’an: al-Zahiriyyah al-Qur’aniyyah Secara garis besar pembahasan seputar asal kata al-Qur’an dibagi dua. Pertama adalah kelompok yang berpendapat bahwa kata al-Qur’an berasal dari kata qarana, tanpa hamzah. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa kata al-Qur’an berasal dari kata qur’un yang memiliki arti al-jam’u (mengumpulkan) atau qara’a yang memiliki arti membaca (tala>). Kata alQur’an merupakan masdar dari kata qara’a, mengikuti wazan fu’la>n. Masdar Qur’a>n boleh juga dikatakan Qira’a>t yang juga berarti bacaan.13 Al-Jabiri menilai penting untuk dilakukan kembali penyegaran terhadap definisi al-Qur’an, meskipun sudah banyak dirumuskan oleh ulama-ulama klasik. Dalam mendefinisikan ulang al-Qur’an, al-Jabiri mengungkapkan poin-poin definisi al-Qur’an yang telah ada sebelumnya, seperti: alQur’an adalah hal yang dibaca kaum muslim dan ditulis dalam mushaf, Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, tertulis dalam mushaf, diawali dengan surat alfatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, dan al-Qur’an adalah firman dan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi penutup para nabi, Nabi Muhammad, tertulis dalam mushaf, yang dinukil secara mutawatir, yang melemahkan bagi yang menentangnya karena ke-mu’jizatan-nya. Bagi al-
12
Dwi Haryono, “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Abid al-Jabir” Sahiron Syamsuddin (ed), dalam Hermeneutika al-Qur’an dan al-Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), h. 92. Subhi al-Shalih, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayin, 1988), h. 18. Lihat juga Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), h. 14. 13
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
141
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Jabiri berbagai definisi tersebut memuat tujuan-tujuan yang bersifat ideologis atau dogmatis. Al-Jabiri mencoba mendefinisikan ulang al-Qur’an dengan merujuk pada al-Qur’an sendiri, karena al-Qur’an menurutnya saling menafsiri satu sama lain.14 Ada tiga surat yang dinukil Jabiri dalam pembahasan ini: a)
QS. al-Syu’ara’ [26]: 192-196,
َْ ََ َ َْ َ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ َل ُّ ُاْل ِمين ب ل َتن ِزيلُ َوِإ َّن ُه ُ ِ ين ر ُ الروحُ ِب ُِه نز ُ الع ِامل ن ِلتكو ُن قل ِبكُ على ُ ين ِم ُ ِب ِل َسانُ املن ِذ ِر َْ َ ُين زب ُِر ل ِفي َوِإ َّن ُه م ِبينُ َع َرِبي ُ َ اْل َّوِل Artinya:
“Dan Sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas. Dan Sesungguhnya al-Quran itu benarbenar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu.” b) QS. al-Isra’ [17]: 106, َ ً َْ ْ َ َ َّ يل َو َن َّ ْزل َناهُ م ْكثُ َع َلى اس َعلى ِل َت ْق َرأهُ ف َرق َناهُ َوق ْر ًآنا ُ ِ الن ُ تن ِز Artinya:
“Dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” c)
QS. Ali Imran [3]: 3-4
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 19. 14
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
142
Said Ali Setiyawan
َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ ً َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ْ ْ َ َّ ْ َر َ َ َ ْ َ َل ُك ن َّز َل ُ اب علي ُ ق ال ِكت ُ اة وأنز ُ يدي ُِه بي ُن ملا مص ِدقا بالح ُ يل التو ُ اْلن ِج ُ قبلُ ِم ِ نو َ َ ِ َ َ ْ ِ ْ َّ َ ِ َّ َ َ َّ ْ َ َ َ َ َّ ْ َ ً َّ َ َ اس هدى ُ ِ ان وأنز ُل ِللن ُ ين ِإ ُن الفرق ُ ات كفروا ال ِذ ُ ِ اّلل ِبآي ُِ َواّللُ ش ِديدُ عذابُ له ُم َ ْ ُان ِتقامُ ذو َع ِزيز Artinya:
“Dia menurunkan al-kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (alQuran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqaan [al-Furqaan ialah kitab yang membedakan antara yang benar dan yang salah.]. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan (siksa).” Ayat-ayat di atas memberikan penjelasan al-Qur’an secara holistik tentang dirinya sendiri. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, al-Jabiri mendefinisikan al-Qur’an melalui metode self referensial sebagai z}a>hiriyyah qur’a>ni, Aksin wijaya mengartikannya sebagai fenomena Qur’ani, yang di dalamnya termuat dua elemen: elemen historis/ keberlanjutan dan aspek a-historis, keazalian. Elemen yang pertama, yakni elemen historis ditunjukkan oleh ayat ke-195 dari surat al-Syu’ara’ “bi lisa>nin ‘arabiyyin mubi>n”. Elemen yang kedua yang disebut elemen azaliyyah atau a-historis, ditunjukkan oleh ayat ke-196 dari surat alSyu’ara’ ‘wa innahu lafi> zubur al-awwali>n’. Dengan demikian, dua ayat tersebut menunjukkan adanya persentuhan atau hubungan bagian eksternal al-Qur’an dengan waktu (historis dan a-historis). Tiga ayat sebelumnya dari surat al-Syu’ara memberikan penjelasan tambahan. Ayat ke-192 “Tanzi>lun min rabb al-‘a>lami>n” menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks ilahiyyah. Ayat ke-193 “nazzala bihi al-ru>h} al-ami>n” menjelaskan keberadaan Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah sang penerima wahyu sekaligus sebagai pembawa peringatan. Dua elemen al-Qur’an yang disimpulkan al-Jabiri dari ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah wahyu dari Allah yang dibawa malaikat Jibril http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
143
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab dan termasuk dalam jenis wahyu yang termaktub dalam kitab-kitab para rasul terdahulu.15 Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa al-Qur’an terdiri dari tiga unsur: 1). tidak terkait waktu (bu’dun la> zama>niyyun), ini tergambar dalam hubungan eksternal al-Qur’an dengan risalah-risalah samawiyyah, 2). Unsur ruhani (bu’dun ruh}iyyun) yang tercermin dalam pengalaman Nabi Muhammad ketika menerima wahyu, dan 3). Unsur sosial (bu’dun ijtima>’iyyun) yang tercermin dalam perjalanan dakwah Nabi berikut pelbagai respon terhadap dakwahya.16 Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah bahwa kita harus mampu melihat dan memahami al-Qur’an tidak hanya semata-mata sebagai nash yang tersusun dari beberapa halaman dalam sebuah mushaf yang telah menjadi “korpus resmi”, melainkan juga harus dilihat sebagai nash yang mengalami beberapa fase yang terbentuk pada masa dakwah Nabi selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, sejak pertama kali Nabi menerima wahyu dan menyampaikannya kepada umat manusia hingga Nabi meninggal.17 Kesadaran dengan adanya hubungan logis antara masa dakwah Nabi dengan al-Qur’an mendorong al-Jabiri untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan logis tersebut. Bagi al-Jabiri, hal ini bisa dicapai dengan menggunakan susunan al-Qur’an berdasarkan tartib nuzuli. Hal ini kemudian direalisasikan dalam karyanya yang berjudul Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>li. Tujuannya adalah, pertama supaya al-Qur’an kontemporer pada masanya ()معاصرالنفسه. Kedua, sekaligus agar al-Qur’an kontemporer untuk kekinian kita ( )معاصرالنا.18
15 16
Ibid., h. 24. Ibid.
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 189. 17
18
Dua hal ini merupakan metodologi yang digunakan al-Jabiri dalam memahami
turas (tradisi), yang kemudian diaplikasikan ke dalam kajian al-Qur’an. Jabiri Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
144
Said Ali Setiyawan
Metodologi al-Jabiri dalam menafsirkan al-Qur’an Untuk mewujudkan tujuan al-Qur’an agar kontemporer untuk dirinya sendiri dan untuk kekinian kita sekarang, perlu dirumuskan langahlangkah metodologis yang serius. Dalam bukunya Nah}nu wa al-Tura>s\, alJabiri menjelaskan step by step yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yang juga telah diaplikasikan pada kajiannya terhadap tura>as. Ada tiga langkah yang harus dilalui: a. membersihkan al-Qur’an dari selubung ideologi ( ) اْليبستيمولوجية القطيعةkeagamaan yang masuk melalui tafsir dan ta’wil.19 b. pembacaan yang objektif ()املوضوعية مشكلة20, dan c. pembacaan yang berkelanjutan ()اْلستمرارية مشكلة.21 a.
Membersihkan atau memutuskan al-Qur’an dari selubung epistemologi ( ) اْليبستيمولوجية القطيعةkeagamaan yang masuk melalui tafsir dan ta’wil.
Memutuskan di sini jangan dipahami secara bahasa yakni menjadikan keberadaan al-Qur’an sama persis sebagaimana ketika pertama kali diturunkan kepada Nabi. Melainkan dipahami sebagai kemandirian alQur’an dari segala bentuk pemahaman atasnya22 yang terkodifikasi dalam membahasakannya dengan “ja’l al-maqruu’ mu’aashiran linafsihi” (menjadikan teks kontemporer untuk dirinya sendiri) dan “ja’l al-maqruu’ mu’aashiran la naa” (menjadikan teks kontemporer untuk kekinian kita). Lih. Muhammad Abid al-Jabiri, Nah}n wa al-Tura>s\: Qira>’ah Mu’a>shirah fi> Tura>s\ina> al-Falsafi (Beirut: al-Markaz alS|aqafi al-Arabi, 1993), h. 12.
Ibid., 20. Lihat juga Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: alTafsi>r al-Wa>d}ih} Hasba Tartiib al-Nuzuuli (Beirut: Markaz Dirassaat al-Wahdah al19
‘Arabiyyah, 2008), h. 86 20
Muhammad Abid al-Jabiri, Nah}n wa al-Tura>s\: Qira>’ah Mu’a>shirah fii
Turaatsina al-Falsafi, h. 21. 21 22
Ibid., hlm. 25. Jabiri menjelaskannya sebagai berikut:
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
145
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
berbagai kitab tafsir yang disusun oleh ulama-ulama terdahulu dengan beragam metode, pendekatan dan corak. Pemahaman al-Qur’an yang yang lahir dari tafsir-tafsir atau hal-hal lainnya tentu saja dipengaruhi oleh ruang dan waktu mufassir yang sarat dengan selubung ideologis, sosiologis bahkan psikologis mufassir. Di sinilah arti penting melepaskan al-Qur’an dari muatan-muatan epistemologis agar nash al-Qur’an yang akan dipahami lebih lanjut adalah nash yang otentik. Hasil langkah ini membantu kita yang hidup pada masa jauh setelah alQur’an sempurna diwahyukan bisa berinteraksi langsung dengan teks alQur’an yang masih murni dan tidak tercemari oleh muatan-muatan epistemologi yang dipenuhi dengan selubung ideologis dan dogmatis. Setelah langkah ini berhasil, selanjutnya dilakukan pembacaan secara objektif terhadap nash al-Qur’an yang murni ()النص اصالة.23 b.
Pembacaan yang objektif ()املوضوعية مشكلة
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara kita untuk memperoleh pembacaan yang objektif? Pembacaan yang objektif dapat dicapai dengan cara yang disebut oleh al-Jabiri sebagai ()القارئُ عن املقرؤُ فصل, yang artinya seorang pembaca harus melepaskan diri dari pengaruh objek-terbaca. Proses pembacaan yang objektif ini meniscayakan tiga langkah yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya: 1) pendekatan struktural ()البنيوية املعالجة Pendekatan ini menegaskan bahwa dalam mengkaji sebuah teks (tradisi atau al-Qur’an), harus didasarkan pada teks-teks sebagaimana adanya. Pendekatan ini bertujuan membatasi yang mempunyai teks ( )النص صاحبpada persoalan tertentu saja terkait Secara bebas dapat diterjemahkan, bahwa yang dimaksud dengan memutus dari selubung epistemologi bukan dalam pengertiannya secara bahasa. Yang dimaksud adalah, sebuah kemandirian turas I (dalam hal ini al-Qur’an) selubung pemahaman yang bersifat tradisiuntuk tradisi. Yakni terbebas dari pemahaman-pemahaman seperti fiqih, nahwu, dan kalam. Lih. Ibid,. h. 20-21. 23
Aksin Wijaya menerjemahkan dengan al-Qur’an yang otentik. Lih. Wijaya,
Nalar Kritis..., h. 190. Lih. juga Haryono, “Hermeneutika al-Qur’an...” h. 102.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
146
Said Ali Setiyawan
masalah teks dan relasinya secara linguistik. Salah satu doktrin pendekatan struktural adalah keharusan menghindari pembacaan makna sebelum membaca ungkapan lafdziahnya. Hal ini sangat ditekankan agar pembaca mampu membaca teks dengan menanggalkan terlebih dahulu berbagai jenis pemahaman tentang teks yang dimiliki. 2) analisis historis ()التاريخي التحليل Analisis ini dilakukan untuk menemukan keterkaitan antara pemikiran pemilik teks dengan lingkup historisnya dengan berbagai aspeknya, baik budaya, ideologi, politik, maupun sosial. Selain untuk mendapatkan pemahaman historis teks yang sedang dikaji, analisis ini juga untuk menguji validitas kesimpulan yang diperoleh dari langkah sebelumnya, pedekatan struktural. Maksud dari validitas ( )الصحةdalam hal ini tentu bukan “argumen logisnya”, melainkan “kemungkinan historis” yang memberikan kepada kita jaminan atas berbagai makna yang termuat dalam teks dan yang tidak termuat dalam teks. Melalui analisis ini, upaya memahami makna yang dimaksudkan teks akan sangat terbantu, meskipun makna tersebut tidak terkatakan secara eksplisit. 3) Kritik ideologi ()اْليدييولوجية الطرح Analisis historis tidak akan sempurna selama belum diungkap fungsi ideologinya. Kritik ideologi ini berupaya untuk mengungkap fungsi ideologi (sosial-politik) yang dilahirkan oleh sebuah pemikiran. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa setiap pemikiran adalah anak zamannya, sehingga kritik ini harus dilakukan agar menghasilkan pembacaan yang obyektif terhadap sebuah teks. Dalam langkah yang ketiga ini kita sudah diperbolehkan untuk menggabungkan pemahaman-pemahman kita tentang teks yang pada langkah awal, pendekatan struktural, harus dikesampingkan terlebih dahulu. Terungkapnya fungsi ideologis yang terkandung dalam sebuah pemikiran merupakan salah satu cara menjadikan sebuah teks yang melahirkan
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
147
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
pemahaman tersebut hidup kembali sesuai masa kehadirannya ()لنفسه معاصرا.24 c.
Pembacaan yang berkelanjutan ()اْلستمرارية مشكلة
Pembacaan ini bertujuan untuk merealisasikan tujuan sebelumnya, yakni agar al-Qur’an kontomporer untuk kekinian kita. Cara yang ditawarkan al-Jabiri adalah dengan “”باملقرؤُ القارئُ وصل, bahwa seorang pembaca harus mampu mengaitkan teks dengan kondisi kekinian kita, setelah sebelumnya melalui langkah-langkah validitasi otentisitas teks al-Qur’an dan objektivisasi pembacaan. Melaui langkah ini diharapkan teks menjadi kontemporer untuk pembaca. Disinilah diperlukan pembacaan yang berkelanjutan ()اْلستمرارية, di mana seorang pembaca harus berhubungan secara berkelanjutan dengan makna obyektif dengan menjadikan kekinian kita sebagai pijakan.25 Melalui langkah-langkah metodologis di atas, ketika membaca dan membahami al-Qur’an, al-Jabiri mengharapkan agar al-Qur’an menjadi otentik dan kontemporer pada masanya. Pada saat yang bersamaan, sebagai pembaca harus mampu mempertemukan teks al-Qur’an yang otentik dan obyektif dengan kekinian kita, sehingga terjadi dialektika dan pamaknaan yang berkelanjutan. Ketiga langkah di atas harus disinergikan secara seimbang agar pembacaan terhadap teks al-Qur’an mendapatkan pemahaman dan manfaat yang berarti untuk kehidupan sekarang, tanpa harus melemparkan teks tersebut jauh dari dirinya ( )لنفسه معاصراdan tidak “terpengaruh” oleh ideologi para mufassir masa lalu. Aplikasi Metode Tafsir al-Jabiri Al-Jabiri memiliki dua karya yang khusus membahas tentang al-Qur’an. Pertama berjudul Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m al-Juz al-Awwal fi> Ta’ri>f al-Qur’a>n yang terbit pertama kali tahun 2006. Karya ini membahas
24
al-Jabiri, Nah}n wa al-Tura>s... h. 24.
Ibid., h. 25. Aksin Wijaya menerjemahkan dengan al-Qur’an yang otentik. Lih. Wijaya, Nalar Kritis... h. 192. 25
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
148
Said Ali Setiyawan
pengertian atau pengenalan (al-ta’ri>f) al-Qur’an.26 Kedua berjudul Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>l. Karya ini berisi metode memahami al-Qur’an atau yang disebut tafsir al-Qur’an dengan menggunakan tarti>b al-nuzu>li yang merupakan aplikasi dari tawaran metodologis dalam bidang tafsir al-Qur’an yang al-Jabiri tawarkan. Karya tafsirnya terdiri dari 3 jilid yang membahas tema berbeda yang disusun sesuai klasifikasinya terhadap kategorisasi Makkiyyah dan Madaniyyah. Jilid pertama dan kedua berisi surat-surat ketogori Makiyah, kategori Makkiyyah ini dibagi menjadi enam tema pokok yang mengacu pada tema akidah dan akhlak, dan jilid ketiga berisi kategori surat Madaniyyah yang mengacu pada tema hukum dan penerapannya dalam konteks bernegara.27 Dalam kitab tafsirnya yang disusun berdasarkan tartib nuzuli, mula-mula al-Jabiri memberikan pendahuluan yang berisi pengantar singkat, taqdim. Selanjutnya, ditampilkan ayat secara keseluruhan dengan cara mengelompokkannya menjadi beberapa bagian tergantung pada cakupan pembahasan. Pada bagian ini dibubuhi sedikit penjelasan-penejelasan secara singkat. Langkah ketiga, al-Jabiri memberikan hawa>misy atau yang biasa disebut catatan kaki terhadap ayat al-Qur’an yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Terakhir al-Jabiri memberikan catatan (ta’li>q) yang berisi kesimpulan dan beberapa penafsirannya sendiri. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan sebuah contoh beberapa ayat yang sekiranya dapat memberikan gambaran secara lebih jelas model penafsiran al-Jabiri.
26 Karya ini memuat tiga tema utama: kesatuan rujukan dalam ketiga agama samawi, fase keberadaan dan formasi al-Qur’an (masaar al-kaun wa al-takwi>n), dan kisah-kisah dalam al-Qur’an. sebenarnya karya ini terdidri dari dua juz, namun juz ke duanya tidak sempat al-Jabiri tulis. Lih. Ibid., 187. Dan Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2006). h. daftar isi.
Al-Jabiri, Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m...: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b alNuzu>li Jilid I (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2008), h.. 10. 27
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
149
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Dalam karya al-Jabiri, Surat al-Hijr [15]: 94-95 berada pada urutan ke-53 dan termasuk dalam kategori surat Makkiyyah yang juga termasuk pada salah satu surat-surat28 yang membahas pada tema keempat atau yang disebut al-marhalah al-raabi’ah ‘tahap keempat’ dari dakwah Nabi, yakni yang berisi perintah untuk berdakwah secara terang-terangan dan menjalin hubungan dengan kabilah-kabilah ()بالقبائل واْلتصال باْلمر الصدع. َ َ َ ْ ْ ْ ض ت ْؤ َمرُ ب َما َف Al-Jabiri memiliki pandangan lain terkait اص َد ُْع ُ ْ ن َوأ ْع ِر ُ ِ ين ع ُ املش ِر ِك ِ yang secara masif difahami oleh mayoritas ulama sebagai perintah kepada Nabi untuk beralih pada cara dakwah Nabi yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi kepada berdakwah secara terang-terangan. Bagi alJabiri ayat ini tidak menunjukkan arti demikian. Ayat ini memerintahkan kepada Nabi untuk berpindah pada model dakwah yang baru dalam perjalanan dakwah Nabi, bukan diartikan hanya berdakwah secara terangterangan. Untuk menguatkan pendapatnya ini, ia memberikan penjelasan secara struktural (siya>q al-kha>s}, yakni siya>q al-nas}) dan historis (siya>q al‘a>m, yakni al-ta>rik>hiy). Secara struktural dapat dilihat dari rangkain kata yang ada dalam ayat itu ْ َف sendiri dan ayat setelahnya. Dalam dua ayat ini ada tiga ungkapan: اص َد ُْع َ َ َ ْ ْ َ َ َْ ْ ْ ت ْؤ َمرُ ِب َما, ض ُ ْ ن َوأ ْع ِر ُ ِ ين ع ُ املش ِر ِك, dan اك ِإ َّنا ُ َ ين ك َف ْي َن ُ املسته ِزِئ. Sebagai satu kesatuan firman Allah, secara struktural tiga ungkapan ini tidak akan terjadi kontradiksi makna. Namun, hal ini akan terjadi jika yang dipahami dari ungkapan ْ ت ْؤ َمر ب َما َفadalah berdakwah secara terang-terangan. Karena dua اص َد ُْع ِ ungkapan yang lain secara jelas menunjukkan bahwa Nabi diperintahkan untuk berpaling dari perkara-perkara orang musyrik dan Allah telah menjamin keselamatn Nabi dari orang-orang yang menertawakannya. Dua ungkapan ini mengindikasikan bahwa Nabi sebelumnya sudah melakukan dakwah secara terang-terangan kepada orang-orang Makkah sampai dakwah Nabi diolok-olok mereka. Kemudian setelah itu Allah menjamin keselamatannya dari hinaan orang-orang yang menertawakan dakwahnya. Alhasil, bagi al-Jabiri pemahaman yang tepat untuk
28
Surat-surat yang lainnya adalah QS. al-An’am [6], al-Shaffat [37], Luqman [31], dan Saba’ [34]
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
150
Said Ali Setiyawan
ْ ت ْؤ َمرُ ب َما َفadalah perintah untuk dakwah dengan cara ungkapan ayat اص َد ُْع ِ yang baru. Secara historis dakwah secara terang-terangan (al-jahr) mulai dilakukan oleh Nabi dengan cara membacakan al-Qur’an ketika sedang sholat di dalam masjid dan di luar waktu shalat. Sejarah juga merekam apa yang dilakukan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud ketika membaca surat alRahman secara terang-terang hingga terdengar oleh kelompok Quraisy dan ia mendapat cemoohan dari mereka. Inilah beberapa bukti dakwah Nabi dan para pengikutnya secara terang-terangan. Penolakan orangorang Quraisy semakin keras ketika ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan mulai fokus pada tema tentang hari kebangkitan, perhitungan amal, dan pembalasan di hari kelak. Tahap selanjutnya, kandungan ayat-ayat al-Qur’an berisi tentang penolakan terhadap perbuatan syirik dan menilai salah jika menyembah berhala. Puncak penolakan orang-orang Quraisy semakin keras dalam menyakiti orang-orang muslim yang lemah dengan penyiksaan yang pedih terhadap mereka. Sampai pada akhirnya Allah memerintahkan kepada Nabi dan umatnya untuk melakukan hijrah yang pertama kali ke negeri Habasyah yang dipimpin seorang raja yang adil dan tidak dzalim. Inilah analisis sejarah yang menjelaskan bagaimana mungkin ayat di atas dipahami sebagai ajakan kepada Nabi untuk berdakwah secara terangterang, sementara hal itu sudah dilakukannya jauh sebelumnya oleh Nabi.29 Pemaparan ini menunjukkan bahwa maksud dari ungkapan di atas adalah perintah kepada Nabi untuk melakukan dakwah secara lebih menyeluruh ke semua individu Bangsa Arab pada waktu itu. Selain itu, melalui dialektika teks ungkapan yang otentik-obyektif dengan pembacaan berkelanjutan mengharuskan untuk membuka diri kepada alam atau ke kedunia ini secara menyeluruh.30
29
Ibid juz 2., h. 13.
30
Ibid,. h. 41.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
151
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Ringkasan rekonstruksi tafsir al-Jabiri 1
2
Metodologi menafsirkan alQur’an
Redeifinisi alQur’an
Langkah-langkah 1. اإليبستيمولوجية القطيعة
Bentuk:
z\a>hiriyyah qur’ani
)(أصالة النص
2. املوضوعية مشكلة 3. اْلستمرارية مشكلة
Elemen-elemen dalam bentuk: historis dan ahistoris (azaliyyah)
Cara
1. )املوضوعية مشكلة( القارئُ املقرؤعن فصل Aspek-aspek dalam elemen: bu’dun laa zamaniyyun, bu’dun ruhiyyun, dan bu’dun ijtima’iyyun
a. b. c.
Pendekatan struktural
Analisis historis Kritik ideologis
2. (اْلستمرارية مشكلة )باملقرؤُ القارئُ وصل Pemahaman yang muncul: Kesadaran adanya sebuah hubungan yang logis antara masa dakwah nabi dan al-Qur’an
3 Tujuan
معاصرا معاصرالنا
و لنفسه القرأن
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
152
Said Ali Setiyawan
Upaya yang dilakukan al-Jabiri dalam menyegarkan kembali cara memahami al-Qur’an bukanlah hal baru sama sekali. Meskipun demikian, upaya ini memberikan tawaran variasi metode penafsiran al-Qur’an dalam rangka merealisasikan tujuan diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dan pedoman kehidupan umat manusia. Kelebihan dari penafsiran al-Jabiri adalah upaya penggabungan secara proposional metode-metode memahami al-Qur’an yang telah ada sebelumnya. Pendekatan kritik ideologis sangat membantu dalam memahami alQur’an agar tidak terjebak dan terpengaruh pada bias-bias ideologis yang ada. Ide Jabiri tentang kesadaran adanya dialektika antara teks al-Qur’an dengan proses dakwah Nabi yang dilakukan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun sehingga melahirkan ide penafsiran al-Qur’an berdasarkan tartib nuzuli pada dasarnya telah disadari dan dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Hanya saja, porsi yang ditawarkan ulama-ulama klasik masih terlalu sedikit dan terkadang terlupakan. Dampaknya menjadikan pemahaman terhadap al-Qur’an berdasarkan pada pertimbangan yang kurang komprehensip karena kurang dalam pertimbangan aspek historisnya. Penulis melihat ada beberapa hal yang harus ditindaklanjuti dalam proyek tafsir al-Qur’an al-Jabiri, yakni terkait upayanya menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk kekinian kita. Karena dalam tafsirnya, penulis belum begitu melihat perhatian al-Jabiri yang memadai terhadap hal tersebut. Penting juga ditegaskan di sini, bahwa tafsir yang digagas al-Jabiri adalah salah satu cara untuk memahami al-Qur’an berdasrkan tarti>b nuzu>li. Sebagaimana cara yang lainnya, yakni tahlili, maudhu’i dan ijmali, ini adalah usaha yang memberikan kontribusi besar dalam kajian Ulumul Qur’an yang akan memudahkan umat yang ingin memahami al-Qur’an secara benar. Hal ini juga tidak berarti bahwa metodologi tafsir al-Jabiri adalah yang paling sempurna. Karena kesempurnaan sebuah disiplin ilmu pengetahuan justru ketika senantiasa dikritisi dan dikembangkan.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
153
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Penutup Bagi al-Jabiri, seorang mufassir harus mampu mengembalikan al-Qur’an pada keotentikan teksnya. Kemudian dilakukan pembacaan objektif terhadap teks al-Qur’an yang otentik. Dua hal ini dalam rangka menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk dirinya sendiri. Langkah berikutnya dilakukan pembacaan yang berkelanjutan dengan selalu mengadakan korespondensi pada dua langkah sebelumnya. Dengan langkah ketiga ini, pembacaan yang berkelanjutan, jargon al-Qur’an sebagai “Shalih li Kulli zaman wa makan” yang senatiasa diyakini umat muslim benar-benar bisa terealisasi. Al-Jabiri menawarkan metode tafsir berdasarkan tarti>b nuzu>li sebagai alternatif untuk mewujudkan pemikirannya terkait pemahamannya terhadap al-Qur’an. Rumusan-rumusan metodologis yang dirumuskan alJabiri terbuka lebar untuk dikembangkan dan dikritisi oleh siapa saja yang berminat dalam kajian ini. DAFTAR PUSTAKA Afandi, Abdullah. “Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri”. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. 2009. Al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. t.kt: Maktabah Mush’ab Ibn ‘Umair al-Islamiyyah. 2004. Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdhu’i, terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Jakarta. 1994. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwi>n al-‘Aql al-‘Arab. Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah. 2006. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arab. Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah. 2009. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m. Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah. 2006. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: al-Tafsi>r alWa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>l Jilid I. Beirut: Markaz Dira>sah alWah}dah al-‘Arabiyyah. 2008.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
154
Said Ali Setiyawan
Al-Shalih, Subhi. Maba>his\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-‘Ilmi alMalayin, 1988. Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azim. Mana>hil al-‘Irfa>n. Beirut: Da>r alKutub al-‘Ilmiyyah. 2010. Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azim Nah}n wa al-Tura>s\: Qira>’ah Mu’a>s}irah fi> Tura>s\ina> al-Falsafi. Beirut: al-Markaz al-S|aqafi alArabi. 1993. Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i>. Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-At wa al-Suwar jilid I. Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2006. Haryono, Dwi. “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Abid al-Jabiri.” Dalam Syamsuddin, Sahiron (ed). Hermeneutika al-Qur’an dan alHadis Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010. Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologo Penafsiran alQur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta. 2003. Noldeke, Theodor. Tarikh al-Qur’an, ta’dil. Fari>d Yari>sy syafa>li. alih bahasa arab. تامد جورج. New York: أملز جورج. 2000.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
155