SISTEM KEWARISAN MAYORAT LAKI-LAKI PADA MASYARAKAT ADAT DESA GUNUNG SUGIH BESAR KECAMATAN SEKAMPUNG UDIK KABUPATEN LAMPUNG TIMUR BERDASARKAN HUKUM ISLAM Oleh: Muhammad Sakban Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Metro Lampung Email:
[email protected] Abstrak
Hukum kewarisan menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam karena masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kenyataannya, hukum Islam berhadapan dengan hukum kewarisan adat. Masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur, mempunyai cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan harta seseorang yang meninggal dunia dengan anggota keluarga yang ditinggalkannya. Mereka menganut sistem mayorat laki-laki, yakni jika anak laki-laki tertua meninggal (keturunan laki-laki) menjadi ahli waris tunggal. Anak laki-laki tertua yang dewasa bisa menjadi pengganti orang tua yang telah meninggal dunia bukanlah pemilik harta peninggalan secara perorangan. Ia berkedudukan sebagai pemegang mandat orang tua yang mempunyai kewajiban mengurus anggota keluarga yang lain yang ditinggalkan termasuk harta warisan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karena mereka menganut sistem mayorat laki-laki, maka secara otomatis seluruh harta warisan jatuh kepada anak tertua laki-laki, hanya saja pada harta tertentu, seperti tanah, tetap diadakan pembagian kepada ahli waris lainnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan bekal bagi ahli waris tersebut. Kemudian, sistem dan praktik pembagian harta warisan pada masyarakat Desa Gunung Sugih Besar tidak sesuai dengan farâ’id. Namun berdasarkan tasâluh hal ini dibolehkan karena sesuai dengan konsep pembentukan hukum Islam, yaitu terwujudnya kemaslahatan umat. Kata kunci: warisan, masyarakat adat, hukum Islam
Abstract
Inheritance law takes a very important place in Islamic law because legacy issues must be experienced by everyone. In fact, Islamic law often deals with adat inheritance laws. Indigenous people of the District of the Village of Gunung Sugih Besar, District Sekampung Udik, Municipal Government of East Lampung, has their own way to solve the inheritance problems. They embraced patriarchy model. While the eldest son paseed away (his male descendants) became the sole heir. The eldest son
can substitute his father’s position as heir but he does not the individual owner of the inheritance property. He serves as a mandate holder and has the obligation to take care other family. This study was normative research. The results showed that as they embrace male majority system (patriarchy), automatically the entire estate was inherited to the eldest son, except certain assets, such as land. It could be divided to the other heirs. It aimed to provide supplies for the heirs. Actually, the practices of the division of inheritance in The Village of Gunung Sugih Besar is not shari’ah compliance in accordance with farâ'id. However, based on the concept of tasâluh, it may be permissible in accordance with the concept of the establishment of Islamic law, namely the realization of the people’s advantages. Keyword: inheritance, indigenous peoples, Islamic law Pendahuluan Hukum Islam mengatur hukum kewarisan dengan jelas dan terperinci yang menentukan bagaimana harta peninggalannya harus diberlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana caranya.1 Kesadaran nilai-nilai hukum adat terhadap penerimaan nilai-nilai hukum Islam berdampak terjadinya ragam pendapat dengan berbagai teori. Teori-teori itu muncul sebagai titik singgung hukum adat dan Islam terutama di bidang hukum perdata dalam hukum kewarisan.2 Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat dalam bentuk patrilineal murni, patrilineal beralih-alih (alternerend), matrilineal ataupun bilateral (walaupun sukar ditegaskan dimana berlakunya di Indonesia), ada pula prinsip unilateral berganda atau (dubbel-unilateral). Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang materiel maupun immaterial).3 Hukum kewarisan adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azasazas hukum kewarisan, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara pembagian harta warisan itu.4 Masyarakat Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur menganut sistem mayorat laki-laki, yakni anak lakilaki tertua dapat menjadi ahli waris tunggal pada saat pewaris meninggal.5 Anak laki-laki tertua berkedudukan sebagai pemegang mandat orang tua yang 1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Cetakan ke-14, (Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, 2001), hlm. 3. 2 Yahya Harahap, Praktik Hukum Waris Tidak Pantas Membuat Generalisasi, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed), Polemik Reaktulisasi Ajaran Islam, Cetakan ke-1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 125. 3 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 259. 4 Ibid., hlm. 260. 5 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 7.
mempunyai kewajiban mengurus anggota keluarga yang lain dalam keluarga itu, termasuk mengurus ibu apabila ayah yang meninggal dan begitu juga sebaliknya. Keistimewaan anak laki-laki tertua sejak anak laki-laki tersebut masih kecil, harta benda baik yang berupa rumah, ladang dan perabotan rumah tangga yang diwarisi secara turun temurun sudah diatasnamakan kepada anak laki-laki tertua. Proses pewarisan juga dilakukan sebelum pewaris wafat walaupun proses pewarisan tersebut hanyalah sebatas pada pengatasnamaan secara lisan terhadap barang-barang tertentu kepada anak laki-laki tertua. Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat terletak pada kepemimpinan anak tertua. Anak tertua yang penuh tanggung jawab akan dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah tangga sendiri. Sistem mayorat seringkali disalahtafsirkan oleh pihak waris anak tertua itu sendiri. Anak tertua bukanlah pemilik harta peninggalan secara perseorangan, ia hanya berkedudukan sebagai penguasa, sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus anggota keluarga lain yang ditinggalkan.6 Artikel ini menganalisis praktik pembagian harta warisan dalam perspektif hukum Islam pada masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Asas-asas dan Hajib Mahjûb dalam Hukum Waris Islam Asas hukum kewarisan Islam menurut al-Qur’an dan Hadis ialah asas ijbari, bilateral, individual, keadilan berimbang dan asas akibat kematian. Pertama, asas Ijbari. Asas ini berarti bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya tanpa persetujuan kehendak pewaris/ahli waris yang dalam hukum Islam berlaku ijbari.7 Dalam surat an-Nisa Ayat 7 menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat bagian (nasib) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. Pasal 188 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.8 Besarnya bagian bagi masing-masing ahli waris telah “ditentukan atau diperhitungkan” untuk melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Namun sifat memaksa ini dalam KHI diperlunak dengan ketentuan Pasal 183 yang menyebutkan bahwa kemungkinan pembagian harta warisan melalui perdamaian oleh para ahli waris setelah manyadari bagiannya. Ketentuan ahli
6
Ibid., hlm. 9. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 126. 8 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 134. 7
waris sudah ditetapka secara pasti, yakni mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan, seperti dalam surat an-Nisa (4) Ayat 11, 12 dan 176. Kedua, asas bilateral. Asasi ini berarti seorang ahli waris berhak menerima bagian warisan dari kedua belah pihak baik dari pihak keturunan kerabat laki-laki maupun dari pihak perempuan.9 Asas ini berdasarkan surat anNisa Ayat 7, 11, 12 dan 176. Ayat-ayat itu menegaskan bahwa ahli waris laki-laki maupun perempuan berhak mendapat warisan dari kedua orang tuanya, dengan perbandingan seorang anak laki-laki sebanyak 2 bagian anak perempuan dan ayah berhak menerima warisan dari anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Ketiga, asas individual. Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu dan dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan kadar bagian masingmasing.10 Keempat, asas keadilan berimbang. Asas ini berarti bahwa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban dan antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan, misalnya mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta yang diterima ahli waris pada hakekatnya kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.11 Kelima, asas sebab kematian yang berarti bahwa kewarisan akan terjadi semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa Ayat 11, 12 dan 176. Peralihan harta seseorang kepada orang lain dapat disebut sebagai kewarisan apabila orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kelak setelah kematiannya tidak dapat dikatakan sebagai kewarisan menurut hukum Islam. Selain asas di atas, dalam hukum Islam dikenal hijab. Hajib Mahjub berarti tidak semua ahli waris dapat menerima harta warisan. Dalam istilah fara’id, hijab adalah halangan kepada bagian ahli waris untuk mendapatkan warisan atau bagian karena terdinding oleh ahli waris lain.12 Hijab dibagi menjadi dua golongan. Pertama, Hijâb Nuqsân, yakni halangan yang dapat mengurangi bagian ahli waris yang telah tertentu. Contohnya suami bila tidak ada anak mendapat ½ tetapi bila ada anak mendapat ¼. Kedua, Hijâb Hirmân, yakni halangan yang dapat menghalangi ahli waris untuk menerima bagiannya. Hijab hirman dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Hijâb hirmân bi al-wasfi, yang menghalang-halangi ahli waris karena adanya suatu sebab seperti karena membunuh, perbedaan agama dan lain-lain; (2) Hijâb hirmân bi as-syakhsi, yakni yang menghalang-halangi ahli waris untuk menerima 9
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ..... Op. Cit., hlm. 127. Ibid.. 11 Ibid., hlm. 128. 12 Mohammad Anwar, Fara’id Hukum Waris dalam Islam dan MasalahMasalahnya, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hlm. 84. 10
bagian karena adanya ahli waris yang lain. Contohnya cucu atau saudara si mati tidak dapat menerima warisan kalau si mati mempunyai anak.13 Sistem Kewarisan Masyarakat Gunung Sugih Besar Tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa hukum kewarisan itu peraturan-peraturan mengenai proses berpindahnya harta seseorang baik ia masih hidup maupun telah meninggal untuk diteruskan kepada sanak keluarga atau keturunannya.14 Pandangan menjadi pendapat yang ikuti secara turun menurun bagi masyarakat Gunung Sugih Besar. Pakar hukum Adat Indonesia, Soerjono Soekanto dalam bukunya Hukum Adat Indonesia menyatakan bahwa memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua meninggal dunia.15 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karangan W.J.S Poerwadarminta dijelaskan bahwa ahli waris berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal, mewarisi berarti mendapat pusaka. Sedangkan warisan adalah harta peninggalan pusaka.16 Sistem keturunan yang berbeda-beda di Indonesia berpengaruh kedalam sistem kewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak. Pertama, Sistem Patrilineal yang ditarik menurut garis bapak. Kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian). Kedua, Sistem Matrilineal yang ditarik menurut garis ibu. Kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, dan Timor). Ketiga, Sistem Parental atau Bilateral yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu). Kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain).17 Dalam sistem kewarisan adat dikenal adanya tiga sistem kewarisan. Pertama, sistem kewarisan individual merupakan sistem kewarisan para ahli waris mewarisi perorangan (Batak, Jawa, Sulawesi, dan lain-lain). Kedua, Sistem Kewarisan Kolektif, para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masingmasing ahli waris (Minangkabau). Ketiga, Sistem Kewarisan Mayorat terdiri atas: mayorat laki-laki, yakni apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal seperti di Lampung, kemudian mayorat perempuan, yakni apabila anak 13
Maryati Bachtiar, Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 1, 2013, hlm. 173. 14
Wawancara dengan Bapak M. Yusuf/Raja Niti di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 15 Soerjono Soekanto, Hukum Adat ..... Op. Cit., hlm. 262. 16 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 1148. 17 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris ..... Op.Cit., hlm. 23.
perempuan tertua saat pewaris meninggal sebagai ahli waris tunggal, misalnya pada masyarakat di tanah Semendo.18 Berdasarkan penelitian di Desa Gunung Sugih Besar, sistem kewarisan yang dipakai ialah sistem kewarisan mayorat laki-laki yang menempatkan kedudukan anak tertua laki-laki sebagai pewaris orang tuanya. Masyarakat menganut sistem keturunan patrilineal yang keturunannya ditarik menurut garis bapak yang memberikan laki-laki lebih berperan dari pada perempuan.19 Kedudukan anak tertua (sulung) dalam keluarga adalah pemimpin rumah tangga menggantikan ayah atau ibunya sebagai penerus tanggung jawab orang tuanya yang telah wafat. Ia berkewajiban mengurus dan memelihara saudarasaudaranya yang lain terutama tanggung jawab terhadap harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka berumah tangga sendiri dalam wadah kekerabatan mereka yang turun-temurun. Sistem mayorat yang ada di Desa Gunung Sugih Besar bersifat mutlak terbatas. Artinya, harta warisan yang diberikan orang tua kepada anak laki-laki tertua, bukan berarti tidak dapat dibagi sama sekali dengan anggota keluarga yang lain (adik-adiknya). Terhadap harta-harta tertentu bisa dilakukan pembagian kepada anggota keluarga yang lain (adik-adiknya) untuk bekal hidup mereka nantinya.20 Anak tertua laki-laki (sulung) sebagai pewaris orang tuanya harus dapat mengatur harta yang diberikan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan keluarga. Apabila tidak bisa melaksanakan amanat yang dibebankan di pundaknya, maka ia harus rela diambil alih dan diatur oleh para pemangku adat untuk ditetapkan pembagiannya berdasarkan ketentuan adat yang berlaku di Desa Gunung Sugih Besar. Di dalam sebuah keluarga terdapat anak pertama, kedua dan ketiga adalah perempuan, sedangkan anak yang keempat laki-laki (bungsu) tetap anak laki-laki bungsu tersebut didudukkan sebagai anak tertua. Namun demikian, apabila dalam sebuah keluarga tidak terdapat anak laki-laki, maka anak pertama perempuan tersebut diumpakan sebagai laki-laki. Sedangkan apabila dalam sebuah keluarga tidak terdapat anak laki-laki yang akan dijadikan ahli waris, maka mereka bisa mengangkat seorang anak secara adat melalui musyawarah adat.21 Pakar hukum Adat, Hazairin mengatakan bahwa dalam sistem mayorat itu dibutuhkan ialah ketentuan tentang cara melanjutkan hak mayorat itu jika pada saat matinya si pewaris tidak ada baginya seorang anak. Anak laki-laki bagi mayorat laki-laki, dan anak perempuan bagi anak perempuan. Mungkin dalam sistem serupa itu orang menempuh jalan yang dapat diumpamakan dengan menukar kelamin, yakni apabila dalam sistem mayorat laki-laki tidak ada sama 18
Lastati Abubakar, Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 2, Mei 2013. hlm. 230. 19
Wawancara dengan Bapak Rifin di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 20 Wawancara dengan Bapak M. Yusuf/Raja Niti di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 21 Wawancara dengan Bapak Kariyo Hasan di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.
sekali anak laki-laki dan hanya ada anak perempuan maka anak perempuan itu mungkin “dijadikan serupa” dengan anak laki-laki seperti di Bali (ngentanayang), atau mereka menempuh jalan lain umpamanya adopsi.22 Praktik Pembagian Harta Warisan Masyarakat Gunung Sugih Besar Praktik pembagian warisan di Desa Gunung Sugih Besar hampir sama sebagaimana umumnya pewarisan adat di daerah lain. Gambaran praktik pembagian warisan tidak terlepas dari tiga hal pokok, yaitu ahli waris yang akan menerima harta warisan, harta peninggalan yang akan dibagi sebagai warisan, dan ketentuan yang akan diterima oleh ahli waris. Secara umum praktik pembagian harta warisan di Desa Gunung Sugih Besar dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, pembagian harta warisan terjadi pada saat pewaris masih hidup biasanya berkenaan dengan harta berupa rumah yang meliputi pekarangan dan seluruh isinya. Jika dalam sebuah keluarga lahir seorang anak laki-laki maka secara otomatis harta yang berupa rumah tadi secara turun-temurun akan menjadi haknya. Walaupun hanya sebatas pengatasnamaan saja, namun sudah dapat dipastikan nantinya akan jatuh kepada anak tertua laki-laki (sulung) tadi. Rumah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar, sehingga dianggap sebagai “jimat” yang penguasaan dan pemeliharaan diberikan kepada anak tertua. Apabila suatu hari nanti adik-adiknya ada yang terlantar atau putus hubungan dengan suaminya, maka mereka berhak kembali ke rumah itu lagi, dan adat menetapkan rumah tidak boleh dijual. Namun, apabila dijual, maka hasilnya harus dibagi kepada keluarga yang lain tidak lagi mutlak milik anak tertua tersebut. Orang Lampung berkata “melap nuwou tuhou melap pok mulang” hilang rumah tua hilang pula tempat kembali. Kedua, pembagian harta warisan terjadi pada saat orang tua sudah meninggal dunia atau bisa juga orang tua sudah berumur lanjut dan anak tertua (sulung) sudah diaggap mampu untuk mengatur harta warisan. Biasanya yang berkaitan dengan harta berupa tanah dan sebagainya selain rumah. Masyarakat menganut sistem kewarisan mayorat, namun mayorat yang terbatas karena harta yang diberikan kepada anak tertua (sulung) tidak mutlak menjadi miliknya, ia berkewajiban dari harta tersebut memberikan kepada adik-adiknya untuk bekal mereka nantinya.23 Berdasarkan kedua praktik di atas, sesunguhnya pembagian warisan di Desa Gunung Sugih Besar menghendaki adanya pembagian kepada ahli waris lain, bahkan ahli waris perempuan juga berhak mewarisi. Adat yang dianut masyarakat Desa Gunung Sugih Besar masuk ke dalam adat Lampung Peminggir yang sudah dipengaruhi oleh agama Islam. Pada tahap ini theori recertie yang diciptakan oleh C. Snouck Hurgronje tidak berlaku, melainkan teori receptie a contrario. Mereka percaya bahwa adat dapat dijalankan dengan baik bila dilindungi agama. Adat ini berbeda dengan adat Lampung Pepadun yang
22
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 20. 23 Wawancara dengan Bapak M. Yusuf/Raja Niti di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.
menempatkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris yang berhak mewarisi harta orang tuanya.24 Sebetulnya sistem kewarisan adat masyarakat desa Gunung Sugih Besar sudah banyak dipengaruh ajaran Islam, namun pada praktiknya sistem kewarisan adat masih sangat kuat dominasinya. Menurut Hazairin, dominasi adat itu karena beberapa factor. Pertama, praktik tersebut merupakan warisan dari nenek moyang yang sudah mendarah daging. Adanya adat lebih dahulu dari pada datangnya Islam, meskipun pada kenyataan masyarakatnya menganut agama Islam. Kedua, keberadaan farâ’id kurang mendapat perhatian, mungkin disebabkan sulit dipelajari dan rumit sehingga lama-kelamaan keberadaannya punah. Hazairin mengatakan: “mengapa hukum farâ’id sulit dijalankan oleh rakyat kecil di desa-desa? jawabnya ialah karena hukum farâ’id membutuhkan kecerdasan, membutuhkan ilmu, membutuhkan studi yang memakan tempo yang agak lama untuk menguasainya.25 Ketiga, adanya anggapan bahwa anak bungsu selalu takluk dan patuh kepada anak tertua. Mereka percaya bahwa anak tertua yang berhak untuk mengatur semuanya menggantikan kedudukan kedua orang tuanya. Masyarakat sangat tunduk kepada ketentuan adat sehingga tidak pernah diperoleh kasus yang mengenai pembagian warisan sampai ke pengadilan. Biasanya sengketa pembagian kewarisan diserahkan kepada para pemangku adat untuk diputuskan dalam musyawarah adat. Dahulu terdapat beberapa cara adat dalam memutuskan masalah warisan yang masuk ke pemangku adat, yaitu: jika ada keluarga yang mengalami masalah kewarisan mereka melakukan pengaduan/memasukkan perkara ke pemangku adat dengan membayar biaya yang disebut dengan galang silo kepada pemangku adat. Selanjutnya, jika masalah tersebut telah diselesaikan dan menemukan jalan keluar maka diambil 10% untuk pemangku adat.26 Berdasarkan uraian di atas, praktik pembagian warisan di Desa Gunung Sugih Besar terdapat pembagian terhadap harta warisan kepada ahli waris lain selain dari pada anak tertua (sulung), walaupun pembagian tersebut hanya bisa dilakukan pada harta-harta tertentu. Masing-masing ahli waris mendapat bagian berbeda antara keluarga yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari hasil musyawarah keluarga, dan melihat kondisi ahli waris dan harta warisan itu sendiri apakah masih memungkinkan untuk dibagi atau tidak. Analisis Sistem dan Praktik Pembagian Harta Warisan Adat Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Berdasarkan Hukum Islam Hukum adat di Indonesia mengenal berbagai sistem kewarisan, yakni sistem individual, kolektif dan mayorat. Namun ketiga sistem individual, kolektif ataupun mayorat dalam suatu hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjuk 24
Wawancara dengan Bapak Nurlani di Desa Gunung Ratu Lampung Barat Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Sebagai perbandingan di daerah ini termasuk marga Lampung Pepadun dimana anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan apabila pada saat menikah keluar dari clan keluarganya dan masuk ke dalam clan suaminya. 25 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas, 1968), hlm. 6. 26 Wawancara dengan Bapak M. Yusuf/Raja Niti di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.
kepada bentuk masyarakat tempat berlakunya hukum itu.27 Adapun hukum Islam hanya mengenal satu sistem kekeluargaan, yakni individual. Dalam hukum kewarisan Islam, pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu terjadi pada saat pewaris wafat. Seseorang yang meninggalkan harta kekayaan maka ada harta warisan yang harus dibagi-bagikan kepada para ahli waris pria atau wanita yang masih hidup dan juga memberikan bagian kepada anak-anak yatim dan fakir miskin. Di beberapa daerah telah mendarah daging sistem kewarisan Islam ini berlaku. Sistem ini menurut Hazairin merupakan sistem individual bilateral.28 Dasar berlakunya sistem individual bilateral ialah alQur’an surat an-Nisa: ﻟﻠﺮﺟﺎﻝ ﻧﺼﻴﺐ ﻣﻤﺎ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﺍﻥ ﻭﺍﻷﻗﺮﺑﻮﻥ ﻭﻟﻠﻨﺴﺎء ﻧﺼﻴﺐ ﻣﻤﺎ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﺍﻥ ﻭﺍﻷﻗﺮﺑﻮﻥ ﻣﻤﺎ ﻗﻞ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻛﺜﺮ ﻧﺼﻴﺒﺎ ﻣﻔﺮﻭﺿﺎ 29 ﻭﺇﺫﺍ ﺣﻀﺮ ﺍﻟﻘﺴﻤﺔ ﺃﻭﻟﻮ ﺍﻟﻘﺮﺑﻰ ﻭﺍﻟﻴﺘﺎﻣﻰ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻛﻴﻦ ﻓﺎﺭﺯﻗﻮﻫﻢ ﻣﻨﻪ ﻭﻗﻮﻟﻮﺍ ﻟﻬﻢ ﻗﻮﻻ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ﻭﻟﻜﻞ ﺟﻌﻠﻨﺎ ﻣﻮﺍﻟﻲ ﻣﻤﺎ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﺍﻥ ﻭﺍﻷﻗﺮﺑﻮﻥ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﻋﻘﺪﺕ ﺃﻳﻤﺎﻧﻜﻢ ﻓﺂﺗﻮﻫﻢ ﻧﺼﻴﺒﻬﻢ ﺇﻥ ﷲ 30 ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺷﻬﻴﺪﺍ Sistem kewarisan mayorat yang ada dalam masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar, pada dasarnya sama dengan sistem kewarisan kolektif yang menempatkan posisi setiap anggota ahli waris dari harta bersama mempunyai hak memakai dan menikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai atau memilikinya secara perseorangan. Pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat terletak pada kepemimpinan anak tertua. Anak tertua yang penuh tanggung jawab akan dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua ahli waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah tangga sendiri. Tetapi anak tertua yang tidak bertanggung jawab, yang tidak dapat mengendalikan diri terhadap kebendaan, pemboros dan lain sebagainya tidak dapat mengurus harta peninggalan dan saudara-saudaranya, malah sebaliknya ia yang diurus oleh anggota keluarga yang lain. Sistem mayorat seringkali disalahtafsirkan tidak saja oleh orang yang tidak memahaminya, tetapi juga oleh pihak ahli waris anak tertua itu sendiri. Anak tertua sebagai pengganti orang tua yang telah meninggal bukanlah pemilik harta peninggalan secara perseorangan, ia hanya berkedudukan sebagai penguasa, sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus anggota keluarga lain yang ditinggalkan. Antisipasi kemungkinan munculnya perselisihan di antara para ahli waris dikemudian hari, pewaris seringkali telah menunjukkan cara mengatur harta kekayaan keluarganya. Sebelum pewaris meninggal ia telah berpesan yang 27 28 29 30
Hazairin, Hukum Kewarisan ..... Op. Cit., hlm. 15-16. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris ..... Op. Cit., hlm. 31. An-Nisa (4): 7-8. An-Nisa (4): 33.
disampaikannya dengan terang kepada isteri dan anak-anaknya tentang kedudukan harta kekayaannya kelak apabila ia telah wafat. Sistem kewarisan individual yang dikenal dalam hukum Islam sejalan benar dengan pembawaan fitrah manusia.31 Sistem ini mengambil pendirian bahwa dengan matinya si pewaris dengan sendirinya hak milik atas hartahartanya itu berpindah kepada ahli waris-ahli warisnya, setelah berlalu beberapa waktu ahli waris itu membagi-bagikan harta antara mereka untuk dijadikan milik bersama semenjak matinya si pewaris menjadi milik perseorangan dengan jalan berbagi. Sistem ini menghendaki bahwa pada saat matinya si pewaris itu telah dapat diketahui dengan pasti siapa ahli-ahli waris itu, setidak-tidaknya telah wajib diketahui pada saat berbagi itu. Praktik Pembagian Harta Warisan Dalam hukum kewarisan istilah harta warisan biasa disebut dengan tarikah atau tirkah, dalam pengertian bahasa sama dengan miras atau harta yang ditinggalkan. Karenanya, harta yang ditinggalkan oleh seseorang pemilik harta, untuk ahli warisnya dinamakan tarikah si mati (tarikatul maiyiti).32 Menurut Ahmad Azhar Basyir, dalam bukunya Hukum Waris Islam, yang dimaksud dengan harta warisan itu adalah benda berwujud atau hak kebendaan yang ditinggalkan pewaris. Namun, pada harta peninggalan itu terlekat hak yang harus ditunaikan, yaitu hak si pewaris sendiri yang berupa biaya penyelenggaraan jenazahnya, sejak dimandikan sampai dimakamkan; kemudian hak para kreditur; kemudian orang atau badan yang menerima wasiat pewaris. Setelah tiga macam hal itu ditunaikan, barulah para ahli waris berhak atas harta peninggalan itu.33 Idris Ramulyo dalam bukunya Perbandingan Hukum Kewarisan Islam menegaskan bahwa harta warisan atau harta peninggalan ialah harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia dapat berupa: harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih (activa), harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang harus dibayar pada saat meninggal dunia atau passiva, dan harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing suami isteri.34 Menurut masyarakat adat di Desa Gunung Sugih Besar menyatakan bahwa harta warisan adalah segala harta benda yang ditinggalkan karena matinya seseorang akan beralih kepada orang lain dan disebut sebagai ahli waris setelah harta itu disisihkan untuk segala yang menyangkut dengan si mayit, seperti biaya pemakamannya (pelaksanaan fardu kifayahnya), hutang piutang dan sebagainya.35
31
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris ….. Op. Cit., hlm. 144. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 9. 33 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris ..... Op. Cit., hlm. 135. 34 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama 32
dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 106. 35 Wawancara dengan Bapak Dalam Rifin di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.
Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan diuraikan oleh Ahmad Azhar Basyir secara berurutan, yakni: hak yang menyangkut kepentingan si mayit (pewaris) sendiri mulai dari biaya penyelenggaraan jenazahnya sejak dimandikan sampai dimakamkan, hak yang menyangkut kepentingan para kreditur, hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat, dan hak ahli waris.36 Pada dasarnya harta warisan masyarakat Desa Gunung Sugih Besar dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, harta peninggalan tidak terbagi dan harta peninggalan terbagi. Harta peninggalan tidak terbagi berupa rumah dan termasuk di dalamnya. Rumah secara otomatis akan menjadi milik anak tertua laki-laki yang tidak dibagi kepada ahli waris lain. Rumah ini nantinya berfungsi sebagai harta kerabat yang pengurusannya dipegang oleh anak tertua laki-laki. Rumah bukan saja tidak dapat dibagi tetapi juga tidak boleh dijual, konsekuensinya apabila rumah itu dijual harus sepengetahuan keluarga dan hasil dari penjualan nantinya dilakukan pembagian, tidak menjadi milik anak tertua laki-laki lagi. Harta peninggalan terbagi biasanya berbentuk tanah dan sebagainya selain rumah. Tujuannya untuk memberikan bekal kehidupan bagi adik-adiknya dalam berusaha sendiri atau untuk membentuk rumah tangga baru, berpisah dari rumah tempat anak tertua, namun penguasaan dan pembagian terhadap harta peninggalan terbagi ini masih di bawah kendali anak tertua laki-laki. Kebiasaan yang terjadi di masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar sebelum harta peninggalan itu siap untuk dibagi-bagi kepada ahli waris, harus terlebih dahulu disisihkan atau diselesaikan segala yang berhubungan dengan si mayit, berupa hak dan kewajibannya dari harta peninggalan itu. Mereka melakukan itu berdasarkan dengan firman Allah: 37 ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻭﺻﻴﺔ ﻳﻮﺻﻲ ﺑﻬﺎ ﺃﻭ ﺩﻳﻦ Praktik pembagian waris di Desa Gunung Sugih Besar dalam ikhwal harta warisan sebelum dibagi oleh para ahli waris bila ditinjau menurut hukum Islam tidaklah bertentangan. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya Dalam hukum kewarisan Islam dikenal tiga golongan ahli waris yang mendapat bagian bagian dengan jumlah yang berbeda-beda, yaitu: (1) ahli waris yang memperoleh bagian tertentu menurut al-Qur’an dan sunah Rasul, disebut ahli waris zawî al-furûd; (2) ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan dalam alQur’an maupun sunah Rasul, disebut ahli waris ‘asaabah; (3) ahli waris yang tidak mempunyai hubungan famili dengan pewaris, tetapi tidak termasuk dua golongan waris zawî al-furûd dan ‘asabah, disebut ahli waris zawî al-arhâm.38 Dalam pada itu, menurut hukum kewarisan adat Desa Gunung Sugih Besar menentukan bahwa yang disebut dengan ahli waris adalah pihak-pihak yang mempunyai hubungan tertentu dengan pewaris dan tidak terhalang karena
36 37 38
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris ..... Op. Cit., hlm. 12. An-Nisa (4): 11. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris ..... Op. Cit., hlm. 137-138.
hukum adat untuk mewarisi.39 Para ahli waris tersebut dapat diuraikan berikut ini. Anak Kandung Anak kandung adalah semua anak yang dilahirkan oleh ayah dan ibunya dalam perkawinan yang sah, baik ia laki-laki maupun perempuan. Dalam kewarisan adat di Desa Gunung Sugih Besar pihak perempuan sudah termasuk ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Dalam hal pembagian warisan dari harta peninggalan anak tertualah yang berhak menerimanya, hanya saja kedudukan anak tertua bukanlah mutlak tak terbatas, tetapi ia mempunyai kewajiban untuk dapat membagi harta peninggalan tersebut kepada ahli waris lain (adik-adiknya), hanya saja yang bisa dibagi selain dari rumah. Biasanya pembagian dilakukan dalam sebuah musyawarah keluarga dipimpin oleh anak tertua sebagai pengganti orang tuanya. Jika masih ada maka tetap dipimpin oleh orang tua sebagai pewaris disaksikan oleh para pemangku (ketua) adat. Dalam musyawarah Bagian masing-masing ditentukan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku, seperti dicontohkan oleh Bapak Yahya Agung Kesuma bahwa ia mempunyai tiga orang adik satu perempuan dan dua orang laki-laki dengan harta warisan satu buah rumah dan lima hektar tanah maka ia mendapatkan rumah dan dua hektar tanah sedangkan sisanya dibagikan kepada ketiga adiknya masing-masing mendapat satu hektar tanah.40 Fakta ini menunjukkan bahwa anak tertua mendapat porsi yang lebih besar karena tanggung jawab yang dipikulnyapun sulit. Tidak selalu benar bahwa anak yang tertua mendapat porsi yang lebih besar karena bisa saja mendapatkan harta yang lebih sedikit dengan melihat keadaan harta peninggalan dan keadaan pewaris, sebagaimana disampaikan Raja Niti ”adiknya mengundurkan diri untuk meminta harta warisan karena harta tersebut sudah habis untuk digunakan biaya berobat kedua orang tuanya dan yang tersisa hanya rumah saja”.41 Anak tertua laki-laki mendapatkan porsi yang lebih besar dalam pembagian harta warisan karena beberapa. Pertama, rumah yang ia miliki bukan hanya semata miliknya tetapi tetap merupakan milik bersama, hal ini dilakukan apabila disuatu hari ada anggota keluarga yang lain mendapat musibah maka ia berhak kembali ke rumah tersebut. Kedua, ia bertanggung jawab atas pengurusan kedua orang tuanya sampai mereka meninggal nantinya. Ketiga, ia bertanggung jawab untuk memperhatikan dan mengurus adik-adiknya sampai mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri. Apabila dalam sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki sama sekali melainkan perempuan semua, maka anak perempuan yang paling tua diumpamakan sebagai anak laki-laki, sedangkan apabila anak laki-lakinya masih kecil maka tetap orang tua yang mengatur 39
Wawancara dengan Bapak M. Yusuf/Raja Niti di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 40 Wawancara dengan Bapak Yahya Agung Kusuma di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 41 Wawancara dengan Bapak M. Yusuf/Raja Niti di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.
kecuali jika orang tuanya sudah meninggal sedangkan ahli waris masih kecil maka para pemangku adat yang mengambil alih. Anak tertua tidak dapat semena-mena terhadap ahli waris lain karena ada di bawah pengawasan para pemangku adat. Anak Angkat Apabila anak kandung yang berkedudukan sebagai ahli waris tidak ada, maka dapat dilakukan pengangkatan anak melalui pemangku adat. Menurut Mahmud Syaltut, ada dua macam pengertian anak angkat. Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak keluarga orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri. Oleh karena itu, ia bukan anak pribadi menurut syari’at dan tidak ada ketetapan sedikitpun dari syari’at yang membenarkan arti yang demikian ini. Pengambilan anak angkat seperti ini merupakan satu amal baik yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu lagi baik hati yang tidak dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka memateri-kannya di dalam satu jenis pendekatan diri kepada Allah dengan mendidik anak-anak si fakir yang terbengkalai dari kecintaan ayahnya atau ketidak mampuan orang tuanya. Tidak diragukan lagi bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan suatu amal yang amat disukai, dipuji dan dipahalai oleh syara’. Syari’at Islam membuka kesempatan kepada si kaya untuk mencapai amal itu lewat washiyyat dan memberikan hak kepadanya untuk mewasiyyatkan sebagian dari peninggalannya kepada anak angkat untuk menutup kebutuhan hidupnya di masa depan, sehingga anak tersebut tak kacau penghidupannya dan tidak terlantar pendidikannya. Kedua, yang difahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat anak) secara mutlak. Menurut syariat dan adat kebiasaan yang berlaku pada manusia, tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sah tapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak, seperti hak menerima warisan sepeninggalnya dan larangan kawin dengan keluarganya.42 Dalam kewarisan Islam anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung, berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi: 43
ﻭﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﺃﺩﻋﻴﺎءﻛﻢ ﺃﺑﻨﺎءﻛﻢ ﺫﻟﻜﻢ ﻗﻮﻟﻜﻢ ﺑﺄﻓﻮﺍﻫﻜﻢ ﻭﷲ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻫﻮ ﻳﻬﺪﻱ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ Selanjutnya Allah berfirman:
ﺍﺩﻋﻮﻫﻢ ﻵﺑﺎﺋﻬﻢ ﻫﻮ ﺃﻗﺴﻂ ﻋﻨﺪ ﷲ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﺗﻌﻠﻤﻮﺍ ءﺍﺑﺎءﻫﻢ ﻓﺈﺧﻮﺍﻧﻜﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻣﻮﺍﻟﻴﻜﻢ 44 ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺟﻨﺎﺡ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﺧﻄﺄﺗﻢ ﺑﻪ ﻭﻟﻜﻦ ﻣﺎ ﺗﻌﻤﺪﺕ ﻗﻠﻮﺑﻜﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﷲ ﻏﻔﻮﺭﺍ ﺭﺣﻴﻤﺎ
42 43 44
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 228-229. Al-Ahzab (33): 4. Al-Ahzab (33): 5.
Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa anak angkat itu tidak dapat dianggap sebagai anak sendiri dan tetap dihukumkan orang asing, tidak menjadi muhrim dan tidak menjadi ahli waris. Pengertian anak angkat menurut masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar adalah mengambil anak orang lain untuk dijadikan atau disahkan sebagai anak angkat. Tata cara pengangkatan harus dilakukan secara terang dengan melalui pemangku adat dalam musyawarah adat, setelah itu baru dibuatkan surat pengangkatan resmi.45 Pada dasarnya pengangkatan anak angkat yang dilakukan masyarakat Desa Gunung Sugih Besar dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, anak angkat utama (tegak tegi), yakni pengangkatannya dilakukan apabila dalam sebuah keluarga tidak terdapat anak kandung sama sekali untuk dijadikan ahli waris. Dalam hal mewarisi maka ia mempunyai kedudukan sama halnya dengan anak kandung, yakni berhak mewarisi seluruh harta orang tua angkatnya. Kedua, anak angkat biasa biasanya dilakukan karena rasa kekeluargaan dan perikemanusiaan, biasanya yang diangkat dari anak orang yang tidak mampu dan hidup dalam kesusahan maka si anak diurus dan dipelihara, disekolahkan dan sebagainya. Pada posisinya bukan anak angkat utama maka dalam kewarisan berbeda dengan anak kandung sebagai ahli waris yang lebih berhak. Hanya saja sebagai kebijaksanaan tetap diberi harta warisan namun terbatas, anak angkat biasa sifatnya hanya bisa menerima berapapun yang diberikan tanpa berhak mengajukan untuk menerima harta warisan. Pengangkatan anak menurut masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar berbeda dengan hukum Islam, namun pada dasarnya pengangkatan anak semata-mata karena adanya rasa ingin tolong menolong dengan sesama. Allah pun sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berbuat kebajikan dan tolong menolong berdasarkan firman-Nya: 46
ﻭﺗﻌﺎﻭﻧﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺮ ﻭﺍﻟﺘﻘﻮﻯ ﻭﻻ ﺗﻌﺎﻭﻧﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺛﻢ ﻭﺍﻟﻌﺪﻭﺍﻥ ﻭﺍﺗﻘﻮﺍ ﷲ ﺇﻥ ﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
Ayah dan Ibu, Saudara-Saudara Seayah Seibu dari Pewaris Apabila anak kandung dan anak angkat tidak ada, maka yang mewarisi secara bersama-sama adalah ayah, ibu dan saudara-saudara seayah seibu dari si pewaris. Keluarga Terdekat dalam Derajat yang Tidak Tertentu Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu mewarisi apabila anak kandung, anak angkat, ayah, ibu dan saudara-saudara seayah seibu tidak ada. Penjabaran tentang ahli waris dan bagiannya di atas pada dasarnya harta warisan dikuasai oleh anak tertua laki-laki dalam keluarga tersebut, meskipun nantinya tidak semua harta menjadi miliknya seorang, terhadap harta tertentu diadakan pembagian. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penelitian ini merumuskan 2 (dua) hal yang dapat dijadikan gambaran dalam memandang segi positif terhadap 45
Wawancara dengan Bapak M. Yusuf/Raja Niti di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 46 Al-Ma’idah (6): 2.
sistem kewarisan adat Desa Gunung Sugih Besar. Pertama, anak tertua laki-laki dijadikan pewaris utama dalam keluarga bukanlah semata-mata karena ia anak tertua yang harus selalu dihormati, dan didahulukan segala macam kebutuhannya. Sebenarnya ada beban berat yang harus dipikul di pundaknya. Anak tertua memiliki hak mutlak yang terbatas. Terbatasi oleh musyawarah keluarga, terbatasi kewajiban mengurus anggota keluarga yang ditinggalkan oleh orang tuanya, tidak semata-mata berdasarkan harta warisan, tetapi juga berdasarkan asas tolong-menolong oleh bersama untuk bersama. Kewajiban mengurus orang tuanya apabila orang tuanya sudah tua dan tidak mampu lagi untuk mengurus anak-anak yang lain, bahkan kewajiban mengurus orang tua bukan saja ketika mereka masih hidup melainkan sampai mereka meninggal. Di sinilah dapat ditemukan alasan rumah merupakan benda yang pantang dibagikan kepada ahli waris lain apalagi dijual. Masyarakat adat Desa Gunung Sugih Besar sangat memperhatikan orang tua mereka. Berdasarkan dengan firman Allah: ﻭﻗﻀﻰ ﺭﺑﻚ ﺃﻻ ﺗﻌﺒﺪﻭﺍ ﺇﻻ ﺇﻳﺎﻩ ﻭﺑﺎﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺇﺣﺴﺎﻧﺎ ﺇﻣﺎ ﻳﺒﻠﻐﻦ ﻋﻨﺪﻙ ﺍﻟﻜﺒﺮ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺃﻭ ﻛﻼﻫﻤﺎ ﻓﻼ 47 ﺗﻘﻞ ﻟﻬﻤﺎ ﺃﻑ ﻭﻻ ﺗﻨﻬﺮﻫﻤﺎ ﻭﻗﻞ ﻟﻬﻤﺎ ﻗﻮﻻ ﻛﺮﻳﻤﺎ Ayat di atas menggambarkan menjadi keharusan bagi anak mengurus orang tua saat mereka berusia lanjut. Kedua, kedudukan perempuan sudah mendapat tempat sebagaimana mestinya. Biasanya dalam sebuah keluarga anak kandungnya perempuan semua tidak langsung mengangkat anak angkat sebagai pengganti laki-laki tetapi cukup mendudukkan anak perempuan tertua menggantikan anak laki-laki yang tidak ada tersebut, dan apabila di antara anak kandung terdapat perempuan maka ia tetap sebagai ahli waris yang berhak mendapat bagian juga. Dalam analisis atas para ahli waris serta bagiannya yang terdapat dalam sistem kewarisan adat Desa Gunung Sugih Besar tidak sesuai dengan hukum kewarisan Islam yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Menurut Yahya Agung Kusuma, tidak dipakainya hukum kewarisan Islam (farâ’id) dalam pembagian harta warisan karena masyarakat menganggap bahwa hukum kewarisan adat sudah menyamai hukum kewarisan Islam. Dalam hal ini, terdapat kewajiban untuk membagikan harta warisan kesemua ahli waris, hanya saja rincian pembagiannya belum secara fara’id keseluruhan.48 M. Nuh menilai tidak dipakainya hukum kewarisan Islam karena hukum kewarisan adat lebih dahulu muncul keberadaannya sebelum agama Islam, serta penggunaannya terasa berbelit-belit dan sulit menyebabkan hukum farâ’id dianggap punah.49 Sedangkan Kariyo Hasan, berpendapat tidak dipakainya hukum Kewarisan Islam (farâ’id) karena tidak adanya kewajiban bagi manusia untuk melaksanakannya, penggunaan farâ’id dianggap sebagai alternatif terakhir untuk menyelesaikan perkara warisan. Masyarakat lebih mementingkan masalah ibadah saja, persoalan muamalat kurang mendapatkan perhatian dalam pelaksanaannya, sebab yang terpenting bagi masyarakat bagaimana caranya 47
Al-Isra’ (17): 23. Wawancara dengan Bapak Yahya Agung Kusuma di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 49 Wawancara dengan Bapak M. Nuh di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 48
pembagian harta warisan berjalan damai tanpa konflik, sehingga yang diutamakan adalah rasa persatuan keluarga, rasa saling rela dan rasa saling menerima. Alasannya untuk menjaga keutuhan dan kerukunan keluarga.50 Fenomena yang terjadi pada masyarakat Desa Gunung Sugih Besar dalam pembagian harta warisan yang tidak menggunakan hukum kewarisan Islam terkesan mendua. Di satu sisi merupakan muslim taat beragama, tetapi di sisi lain tidak menjalankan syari’at secara utuh. Peneliti menengarai kurang kuatnya peran ulama dalam mensosialisasikan hukum farâ’id, sehingga mereka lebih tahu masalah kewarisan adat yang sudah turun-temurun dipraktikkan. Dalam konteks ini tidak dapat divonis bahwa praktik masyarakat Desa Gunung Sugih Besar adalah haram, karena bila diperhatian lebih lanjut terhadap praktik pembagian harta warisan pada masyarakat Desa Gunung Sugih Besar dengan cara musyawarah atau perdamaian tidaklah merugikan pihak lain. Sebab ahli waris menggunakan hak mereka sesuai dengan kehendak mereka bersama dan di dalam pembagiannya, yaitu tentang jumlah dan besarnya bagian masingmasing ditentukan atas dasar persetujuan bersama. Para ahli waris jika atas kehendaknya sendiri telah bersepakat ingin membagi harta warisan mereka secara berdamai atau musyawarah adalah tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 183 menyebutkan bahwa Para ahli waris dapat bersepakat, melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.51 Cara perdamaian atau musyawarah merupakan jalan pintas untuk membagi harta warisan bila satu sama lain saling rela dan sepakat dengan bagian yang telah ditentukan bersama, dalam ilmu fara’id hal ini disebut dengan tasaluh. Tasâluh dalam pembagian harta warisan merupakan salah satu upaya dalam rangka menjaga kemaslahatan umum. Lebih khusus lagi terhadap keutuhan kerukunan hubungan persaudaraan dalam sebuah keluarga. Tasâluh seperti ini diperbolehkan, selama tasâluh tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam al-Qur’an dan hadis. Jadi sebetulnya praktik yang ditempuh masyarakat Desa Gunung Sugih Besar dengan cara musyawarah dan merelakan bagian yang diterima sesuai dengan kesepakatan bersama itu dapat disandarkan pada kaedah fikih: 52 ﺍﻟﺮﺿﺎء ﺳﻴﺪ ﺍ ﻻﺣﻜﺎﻡ Kaedah tersebut sesuai dengan prinsip tasâluh, yaitu kerelaan dalam menerima bagian harta warisan. Praktik tasaluh dalam pembagian harta warisan, pada dasarnya merupakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan nash. Namun demikian, hal tersebut dapat dibenarkan jika tetap sesuai dengan kerangka tujuan pembentukan hukum Islam, sebagaimana yang dikemukakan 50
Wawancara dengan Bapak Kariyo Hasan di Desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. 51 Kompilasi Hukum Islam Pasal 183, (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1996), hlm. 76. 52 Jalaluddin As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Naza’ir, (t.t.p., Maktabah Dar Ihya alKutub al-Arabiyah, t.t.,) hlm. 74. Tetapi kaidah ini tidak berlaku bagi perbuatan yang mendatangkan mafsadat, misalnya sepasang muda-mudi saling rela untuk berbuat zina. Hal ini diharamkan. Lihat surat An-Nur (24): 3.
oleh Ali Darokah bahwa ketentuan hukum dapat berubah atau beralih apabila syarat dan tujuan dari ketentuan hukum sebuah nash tidak terpenuhi.53 Sebab dalam memakai ketentuan nas dalam al-Qur’an maupun hadis untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat, perlu diketahui terlebih dahulu secara umum tujuan Allah dalam menentukan ketentuanketentuan hukum. Hal ini penting dilakukan karena ungkapan-ungkapan lafaz nash kadang dapat mengandung pengertian yang berbeda-beda, sehingga untuk meluruskan pengertian yang dimaksud dari nas tersebut salah satunya adalah dengan mengetahui tujuan pembentukan ketentuan hukum syara.54 Di dalam mereka bermusyawarah tidak ada pihak yang merasa haknya diambil atau dirugikan dan juga tidak terdapat unsur memakan harta orang lain secara bathil atau tidak hak. Memakan harta bathil itu dapat kita pahami sebagai memakan harta atau menggunakan hak orang lain yang tidak merelakannya. Dengan begitu, batas antara memakan harta orang lain secara hak dan memakan harta orang secara bathil terletak pada kerelaan yang punya hak itu, bila yang punya hak merelakannya maka tindakan tersebut adalah hak dan terhindar dari memakan hak orang lain secara bathil sebagaiman yang dilarang dalam al-Qur'an yang berbunyi: 55 ﻳﺎﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ءﺍﻣﻨﻮﺍ ﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮﺍ ﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﺑﺎﻟﺒﺎﻁﻞ 56 ﻭﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮﺍ ﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﺑﺎﻟﺒﺎﻁﻞ Penyelesaian pembagian harta warisan di Desa Gunung Sugih Besar mengutamakan rasa saling rela dan saling menerima dari para ahli waris pada hakekatnya tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, memakan harta dengan jalan yang bukan haknya dilarang dalam al-Qur’an. Penutup Berdasarkan analisis dalam pembahasan di atas, dapat diambil disimpulkan bahwa sistem kewarisan yang dipakai masayarakat di Desa Gunung Sugih Besar adalah sistem kewarisan mayorat laki-laki yang menjadi ahli waris utama adalah anak tertua laki-laki. Ia berkedudukan menggantikan kedua orang tuanya dalam mengatur harta warisan, mengatur adik-adiknya sampai mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri. Meskipun menganut sistem mayorat laki-laki, dalam masyarakat Desa Gunung Sugih Besar sudah dikenal adanya pembagian harta warisan kepada ahli waris lain. Pembagian biasanya dilakukan berdasarkan musyawarah keluarga yang dihadiri pewaris, ahli waris, dan para pemangku adat. Misalnya, dalam sebuah keluarga pewaris mempunyai empat orang anak dengan harta berupa sebuah rumah, dan lima hektar tanah maka anak tertua mendapat sebuah rumah dan dua hektar tanah, sedangkan ketiga ahli waris lainnya masing-masing diberi satu hektar tanah. 53 Ali Darokah, Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Ikhtiar Yang Wajar Dalam Polemik Reaktualisasi Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 83. 54 Wery Gusmansyah, Pluralisme Hukum Waris di Indonesia, Manhaj: Jurnal
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Vol. 1, No. 2, Mei-Agustus 2013, hlm. 206. 55 An-Nisa (4): 29. 56 Al-Baqarah (2): 188.
Ada beberapa alasan mengapa anak tertua mendapat porsi yang lebih besar. Pertama, rumah nantinya tidak hanya milik anak tertua semata, karena apabila suatu hari terjadi sesuatu pada anak yang lainnya, maka mereka berhak kembali ke rumah tersebut. Kedua, anak tertua bertanggung jawab atas kedua orang tuanya sampai mereka meninggal nantiya. Ketiga, anak tertua bertanggung jawab untuk memperhatikan dan mengurus adik-adiknya sampai mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri. Sistem dan Praktik pembagian harta warisan pada masyarakat Desa Gunung Sugih Besar tidak sesuai dengan farâ’id. Namun berdasarkan tasâluh hal ini dibolehkan karena sesuai dengan tujuan pembentukan hukum Islam yaitu terwujudnya kemaslahatan ummat.
Daftar Pustaka Abdul Gani Abdullah. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. Ahmad Azhar Basyir. 2001. Hukum Waris. Cetakan ke-14. Yogyakarta: UII Press. Ali Darokah. 1986. Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Ikhtiar Yang Wajar Dalam Polemik Reaktualisasi Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. Fathur Rahman. 1981. Ilmu Waris. Bandung: al-Ma’arif. Hazairin. 1968. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas. Hazairin. 1982. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Tintamas. Hilman Hadikusuma. 2003. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti. Idris Ramulyo. 1992. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan
Agama dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Jalaluddin As-Suyuti. tt. Al-Asybah wa an-Naza’ir. t.t.p., Maktabah Dar Ihya alKutub al-Arabiyah. Kompilasi Hukum Islam Pasal 183. 1996. Bandar Lampung: Gunung Pesagi. Lastati Abubakar. 2013. Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 2, Mei. Maryati Bachtiar. 2013. Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 1. Mohammad Anwar. 1981. Fara’id Hukum Waris Dalam Islam dan MasalahMasalahnya. Surabaya: Al-Ikhlas. Muhammad Daud Ali. 1993. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Soerjono Soekanto. 2002. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy. 1997. Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka Rizki Putra. W.J.S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wery Gusmansyah. 2013. Pluralisme Hukum Waris di Indonesia, Manhaj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Vol. 1, No. 2, Mei-Agustus. Yahya Harahap. 1988. Praktik Hukum Waris Tidak Pantas Membuat Generalisasi, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed), Polemik Reaktulisasi Ajaran Islam. Cetakan ke-1. Jakarta: Pustaka Panjimas.