MENELISIK ASAS KEADILAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA; PERSPEKTIF ISLAM Oleh: Ikhwanuddin Harahap Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan Abstract Ideally, family should be be “ the safetyhome” for all members of the family. But in fact, there are many violence cases happened in Indonesia families. So that is why the Government respons the cases by Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. There are many kinds of violence in family, namely physical violence such as beating, slaping, kick, biting, marital rape, etc., and nonphysical violence such as intimidation, threat, terror, etc. This article tries to analysis one of the principles in the Undang-Undang namely justice and gender equalities on Islam perspective. Kata Kunci : keadilan, kesetaraan gender oleh suami; suami terhadap isteri maupun ayah
A. Pendahuluan Budaya
patriarkhi
yang
dianut
terhadap anak-anaknya. 1
oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia menempatkan
Kondisi ini disebabkan karena adanya
laki-laki/suami sebagai sosok “the superbody” yang
ketimpangan dalam struktur sosial budaya yang
memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh dalam
tumbuh
mengatur
lain
masyarakat. Struktur sosial budaya patriarkis yang
perempuan/isteri sering diposisikan sebagai “the
bersifat dominatif dan hegemonik cenderung
second class” dalam kehidupan masyarakat serta
menempatkan perempuan selalu berada dalam
kehidupan keluarga yang memiliki kekuasaan dan
posisi subordinatif, berada di bawah bawah bayang-
kewenangan yang jauh di bawah laki-laki/suami,
bayang kaum laki-laki.
rumah
tangga.
Di
sisi
bahkan dengan posisi ini mereka rentan terhadap
dan
berkembang
Superioritas
berbagai bentuk kekerasan.
ini
dalam
cenderung
kehidupan
melahirkan
sikap arogan dan tidak mustahil pula melahirkan
Sesungguhnya, masalah kekerasan dalam
kekerasan dalam berbagai bentuk baik kekerasan
kehidupan umat manusia merupakan hal yang
fisik, non-fisik, atau verbal dan kekerasan seksual,
universal. Ia bisa terjadi di mana-mana dan dapat
atau sejenisnya seperti perkosaan, penganiayaan,
menimpa
pembunuhan
siapa
saja,
baik laki-laki
maupun
atau
kombinasi
dari
ketiganya,
perempuan. Namun, dalam kenyatannya kaum
ataupun seperti pelakunya seperti orang-orang
perempuan lebih sering menjadi korban. Sebab
dengan hubungan dekat atau orang asing, ataupun
pelaku kekerasan dalam rumah tangga didominasi 1
Hadijah dan La Jamaa, Hukum Islam dan UndangUndang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Banten : STAIN Ambon Press, 2007), hlm. 1.
34
Menelisik Asas Keadilan .....Ikhwanuddin Harahap | 35 tempat terjadinya seperti di tempat umum dan di 2
keseteraan
gender
mendasari
tersebut
dalam rumah tangga. Peristiwa kekerasan yang
undang-undang
dilakukan oleh kaum laki-laki/suami ini sering
panggang dari api”.
menghiasi kolom-kolom pada media cetak dan
yang
Seyogyanya,
seolah
semua
keadilan
semangat
masih
anggota
dalam
rumah
“jauh
keluarga
bahkan menjadi salah satu faktor penyebab
mendapatkan
tangga
perceraian di pengadilan.
sebagaimana diinginkan oleh undang-undang ini
Melihat fenomena yang terjadi, pemerintah
dan semestinya pula kaum perempuan tidak
Indonesia memberikan respon positif terhadap
mengalami ketidakdilan gender dalam rumah
berbagai kejadian dan peristiwa yang menyangkut
tangga
kehidupan keluarga. Hal ini didasarkan pada
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:
kesadaran bahwa keluarga adalah unit terkecil dari
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam
sebuah negara. Jika keluarga hidup dengan rukun
sebagainana
b. melindungi
pula, tetapi sebaliknya apabila keluarga “broken”
tangga;
lain, keluarga adalah cerminan sebuah negara.
peraturan
perundang-undangan,
tujuan
korban kekerasan dalam rumah
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
Respon tersebut diejawantahkan dalam bentuk
dengan
rumah tangga;
dan damai, maka negara akan rukun dan damai
maka negara juga akan hancur. Dengan ungkapan
sejalan
yaitu
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.4 Tentu
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun
dibutuhkan
peranserta
seluruh
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Rumah
elemen bangsa ini dalam mewujudkan cita-cita
Tangga, di mana salah satu asas dalam upaya
undnag-undang tersebut, sebab jika semuanya harus
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah
dilakukan oleh pemerintah saja maka hasilnya
asas keadilan dan kesetaraan gender.
barangkali tidak akan maksimal. Tulisan ini mencoba melihat dan mengurai
Seiring berjalannya waktu, tepatnya 11 (sebelas) tahun setelah lahirnya undang-undang ini,
salah
satu
asas
dalam
upaya
penghapusan
kita masih sering mendengar dan membaca
kekerasan dalam rumah tangga yang diusung oleh
informasi mengenai kasus-kasus kekerasan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
rumah tangga yang dilakukan oleh salah seorang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
dari anggota keluarga terhadap anggota keluarga
yaitu asas keadilan dan kesetaraan gender.
lainnya, terutama oleh laki-laki/suami terhadap isteri dan atau anak-anak.3 Bahkan keadilan dan
B. Trend Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Perspektif Undang-Undang.
2 Sulistywati Irianto, “Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu Tinjauan Hukum Berspektif Feminis)”, dalam Jurnal Perempuan, Edisi 10 Februari-April, 1999, hlm. 8 3 Sebagaimana disebutkan dalam bagian Pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada poin c, yaitu bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan
dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan 4 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
36 | Vol. 2 No. 1 Januari 2016 Apabila
ditinjau
secara
terminologi,
Paradigma tentang kekerasan sebagaimana
kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan
dikonsepsikan
oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi
banyak orang dalam institusi yang bernama
kuat (atau tengah merasa kuat) terhadap seseorang
keluarga. Tentu hal ini adalah sebuah ironi, di mana
atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah
keluarga yang seharusnya sebagai safetyhome
(atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan
(tempat aman) bagi seluruh anggota keluarga tiba-
lemah),
bersaranakan
fisik
tiba berubah menjadi ”neraka” yang menakutkan.
maupun
non
dengan
Bahkan, sebagian kalangan menyebutkan bahwa
kesengajaan untuk dapat menimbulkan rasa derita
laki-laki yang memukul isteri dan atau anak-anak
di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan
ternyata dianggap sesuatu yang wajar.7 Bahkan
tersebut.5
dalam banyak kasus, menempleng atau menampar
Dengan
fisik-
kekuatannya-baik yang
demikian,
superior,
ternyata
dialami
oleh
bisa
isteri tentulah bukan berita yang mengejutkan
dilakukan oleh siapa saja dan terhadap siapa saja
dalam masyarakat. Perlakuan tindak kekerasan
sebagai akibat dari adanya superioritas dan
seperti ini masih dipandang wajar dan biasa terjadi.
inferioritas dalam pola hubungan dan struktur sosial
Masyarakat
masyarakat. Pada umumnya, kekerasan yang
penganiayaan suami terhadap isteri, baik secara
bersifat fisik bisa berbentuk pemerkosaan terhadap
langsung maupun melalui pemberitaan di media
perempuan baik di luar mapun di dalam rumah
massa seperti koran, majalah dan televisi. Kita baru
(marital rape), pemukulan yang terarjadi di dalam
akan terkejut bila ada suami yang tega menyerang
rumah tangga (domestic violence), penyiksaan
isterinya dengan senjata tajam yang mematikan
terhadap anak-anak (child abuse), penyiksaan yang
atau ada suami yang memaksa isterinya untuk
mengarah
menjadi pekerja seks.
pada organ alat
kekerasan
tersebut
kelamin (genital
mutilation) dan sebagainya. Sedangkan kekerasan
kita
Dalam
telah
terbiasa
perspektif
menyaksikan
undang-undang,
yang besifat non-fisik atau mental psikologis bisa
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
berbentuk prostitusi, pornografi, eksploitasi wanita
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
dan lain-lain.
yang
Dalam
perspektif
Mansour
Fakih,
berakibat
penderitaan
timbulnya
secara
fisik,
kesengsaraan seksual,
atau
psikologis,
kekerasan adalah serangan atau invasi (assault)
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
seseorang.6 Dengan kata lain, sasaran kekerasan
atau perampasan kemerdekaan secara melawan
tidak hanya fisik atau biologis semata namun
hukum dalam lingkup rumah tangga.8
mental psikologis juga menjadi sasarannya.
Bentuk-bentuk
kekerasan
tersebut
sebagaimana dituangkan dalam undang-undang ini 5 Soetandyo Wignjosoebroto, “Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan” Makalah dalam Seminar Nasional “Islam, Seksualitas dan kekerasan terhadap Perempuan” Yogyakarta, 27-29 Juli 2000, tt. hlm. 1. 6 Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Jender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 12.
adalah sebagai berikut: 7 Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta, tnp, 1999), hl. 28. 8 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menelisik Asas Keadilan .....Ikhwanuddin Harahap | 37 Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
korban berada di bawah kendali orang tersebut.
rumah tangganya, dengan cara :
Memang kekerasan dalam rumah tangga
a. kekerasan fisik;
bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak,
b. kekerasan psikis;
suami, isteri, anak atau pembantu rumah tangga.
c. kekerasan seksual; atau
Namun secara umum pengertian kekerasan dalam
d. penelantaran rumah tangga.
rumah tangga mengalami penyempitan makna yaitu
Pasal 6 : Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
penganiayaan suami terhadap isteri. Hal ini bisa
dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
dimengerti karena kebanyakan korban kekerasan
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
dalam rumah tangga adalah isteri dan pelakunnya
berat.
tidak
Pasal 7 : Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud
lovedhusband.9
dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang
lain
adalah
suami
”tercinta”/the
Kekerasan dalam rumah tangga dapat
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
berbentuk:
1)
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
menampar,
pukulan,
tidak berdaya, dan/atau penderitaanpsikis berat
membenturkan kepala isteri ke tembok, sundutan
pada seseorang.
rokok, penyiraman dengan cairan seperti air keras,
Pasal 8 : Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
air cucian dan lain-lain, cambukan, diinjak-injak,
dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
dibakar, diiris, dicubiti, dicekik, diseret); 2)
a. pemaksaan
hubungan
seksual
yang
penganiayaan
penganiayaan
psikis
tendangan,
atau
(seperti melempar,
emosional
intimidasi,
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
mengecilkan hati isteri, membatasi ruang gerak
pemaksaan hubungan seksual terhadap
isteri, suami menikah lagi tanpa sepengetahuan
salah seorang dalam lingkup
isteri, suami mempunyai wanita idaman lain (WIL),
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
hinaan,
seperti
dilakukan terhadap orang yang menetap
b. rumah tangganya dengan orang lain untuk
ancaman,
fisik
cemoohan,
meninggalkan isteri tanpa izin, otoriter, berjudi dan mabuk-mabukan, ancaman dengan benda atau
Pasal 9 :
senjata api, keluarga suami melakukan teror; 3)
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang
penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
penjatahan uang belanja secara paksa dari suami;
hukum
dan 4) penganiayaan seksual, dibagi kepada tiga
yang
berlaku
baginya
atau
karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
bentuk pertama kekerasan seksual berat berupa : a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik,
orang tersebut.
seperti meraba,
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat
mencium secara paksa, merangkul serta
(1)
juga
berlaku
bagi
setiap
orang
menyentuh organ seksual,
yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
9
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : The Asia Foundation, 1999), hl. 2122
38 | Vol. 2 No. 1 Januari 2016 perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dikendalikan,
Menurut perspektif Farha Ciciek, terjadinya
b. Pemaksaan
hubungan
seksual
tanpa
kekerasan
dalam
rumah
tangga
disebabkan
persetujuan isteri atau pada saat isteri tidak
beberapa faktor :
menghendaki,
a. Nilai-nilai budaya. Fakta menunjukkan bahwa
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
disukai,
atau
setara dalam masyarakat. Munculnya anggapan
hubungan
bahwa posisi perempuan lebih rendah daripada
seksual dengan orang lain untuk tujuan
laki-laki atau berada di bawah otoritas dan
pelacuran dan atau tujuan tertentu,
kendali laki-laki. Hubungan perempuan dan
menyakitkan,
merendahkan
laki-laki dan perempuan tidak diposisikan
d.
Pemaksaan
d. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan
atau
tanpa
bantuan
alat
yang
menimbulkan sakit, luka atau cedera, e. Memaksa
isteri
melakukan
laki-laki seperti ini telah dilembagakan di dalam
struktur
keluarga
patriarkhal
dan
didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi dan
anal
seks
politik dan oleh sistem keyakinan, termasuk
(memasukkan penis ke dalam anus),
oral
sistem religius, yang membuat hubungan
seks (memasukkan penis ke dalam mulut), f. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali
semacam itu tampak alamiah, adil secara moral, dan
suci.
Lemahnya
posisi
perempuan
dalam satu waktu yang sama sementara isteri
merupakan konsekuensi dari adanya nilai-nilai
tidak menyanggupinya,
patriarki yang dilestarikan melalui proses
g. Penggunaan
obat
memperpanjang
perangsang
hubungan
intim
untuk
sosialisasi dan reproduksi dalam berbagai
tanpa
bentuk oleh masyarakat maupun negara. Nilai-
persetujuan isteri,
nilai yang membenarkan laki-laki memiliki
h. Pemaksaan hubungan seksual pada saat isteri
kekuasaan
dan
kemampuan
untuk
sedang haid/menstruasi; kedua kekerasan
mempertahankan diri. Perempuan di dalam
seksual ringan berupa pelecehan seksual
kebudayaan patriarkal dihantui oleh pesan-
secara
verbal,
pesan yang menegatifkan atau meremehkan
gurauan porno, siulan, ejekan (pemaksaan
keberadaan mereka. Budaya patriarkhi telah
hubungan seksual ketika isteri tidak siap,
menempatkan
penyiksaan
sehingga
verbal
seperti
atau
komentar
pemaksaan
hubungan
seksual dengan cara yang tidak dikehendaki 10
isteri).
isteri
senantiasa
sebagai harus
milik
suami
berada
dalam
pengawasan suami. Jika isteri keliru/salah menurut cara pandang suami, maka mereka bisa berbuat apa saja agar sang isteri ”kembali ke jalan yang benar”, termasuk di dalamnya melakukan tindakan kekerasan.
10
Hadijah dan La Jamaa, Op. Cit. hlm. 54-55.
Menelisik Asas Keadilan .....Ikhwanuddin Harahap | 39 b. Tatanan hukum yang belum memadai. Aspekaspek hukum, berupa substansi hukum (content of law), aparat penegak hukum (structure of
kekerasan, dan budaya otoritas atau pengambil keputusan di tangan suami. d. Persepsi
yang
keliru.
Masyarakat
tidak
law), maupun budaya hukum dalam masyarakat
memandang kekerasan dalam rumah tangga
(culture of law) ternyata tidak memihak
sebagai masalah sosial, tetapi persoalan pribadi
terhadap kepentingan perempuan, terutama
suami isteri. Kekerasan dalam rumah tangga
dalam masalah kekerasan. KUHP yang menjadi
adalah aib keluarga yang harus dibungkus rapi.
acuan pengambilan keputusan hukum dirasakan
Isteri
sudah tidak memadai lagi untuk mencover
menceritakan/melaporkan
berbagai realitas kekerasan yang terjadi di
suaminya kepada pihak berwenang karena
masyarakat.
yang
berbagai alasan dan pertimbangan. Seperti isteri
membenarkan posisi subordinat perempuan
takut pembalasan suami, tidak ada tempat
malah dikukuhkan dalam berbagai perundang-
berlindung, takut dicemooh masyarakat, rasa
undangan, misalnya dalam UU Perkawinan
percaya diri yang rendah, kepentingan anak,
tahun 1974 yang membedakan dengan tegas
dan karena alasan mempertahankan lembaga
peran dan kedudukan antara suami dan istri.
perkawinan.
Nilai-nilai
budaya
tidak
memiliki
keberanian tindak
untuk
kekerasan
Pasal 31 ayat 3 UU: "Suami adalah kepala
e. Mitos. Persoalan kekerasan dalam rumah
keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga".
tangga menjadi semakin parah karena hadirnya
Pasal 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: "Suami wajib
mitos. Di antara mitos yang berkembang di
melindungi istrinya dan memberikan segala
masyarakat bahwa suami memukul isteri hanya
sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai
karena kekhilafan sesaat lantaran isterinya itu
dengan kemampuannya" dan "Istri wajib
dianggap terlalu rewel, tidak setia, dan berani
mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-
membangkang. Padahal, isteri yang datang
baiknya". Terlihat secara jelas bahwa undang-
melapor pada umumnya telah mengalami
undang tersebut menempatkan istri secara
kekerasan dalam kurun waktu yang cukup
ekonomi menjadi sangat tergantung kepada
lama. Hampir-hampir tidak ditemukan istri
suami.
yang melapor karena baru sekali mengalami
c. Kebudayaan
mendorong
supaya
perlakuan kekerasan. Mitos lainnya, selama ini
bergantung kepada suami secara ekonomi.
diyakini bahwa isteri yang disiksa adalah tipe
Kondisi ini membuat isteri hampir sepenuhnya
istri yang pembangkang. Demikian juga korban
berada di bawah kuasa isteri. Termasuk di
dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga
dalamnya ketimpangan ekonomi antara suami
adalah
dan isteri turut menjadi pemicu terjadinya
terdidik.
kekerasan dalam rumah tangga, di mana lebih
pelakunya
banyak para suami yang bekerja dibanding
kalangan; status sosial, tingkat pendidikan, dan
isteri,
jenis profesi, bahkan tidak jarang pelaku
kebudayaan
isteri
menyelesaikan
konflik/pertengkaran rumah tangga dengan cara
kelompok Faktanya, ternyata
masyarakat baik
yang
korban
berasal
dari
tidak
maupun berbagai
40 | Vol. 2 No. 1 Januari 2016 tokoh
kalangan perempuan muslim.13 Malahan ironisnya
masyarakat dan pemuka agama yang terdidik.11
superioritas ini lantas dikristalkan dalam kitab-kitab
D. Asas Keadilan dan Kesetaraan Gender;
fiqih yang menjadi sandaran bagi umat islam.14 Hal
kekerasan
justru
dari
kalangan
senada juga dikemukakan oleh Masdar F. Mas’udi
Perspektif Islam Asas keadilan dan kesetaraan gender adalah
bahwa dalam kitab-kitab kuning pada umumnya
merupakan asas kedua dalam Undang-Undang
menempatkan laki-laki di atas kaum perempuan.15
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Dalam shalat misalnya, laki-laki hanya menutup
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Asas ini akan
aurat antara pusar dan lutut sementara perempuan
ditinjau dari perspektif Islam.
menutup seluruhnya kecuali muka dan tangan, laki-
Diantara core yang dibawa oleh islam adalah ide tentang keadilan, ide kesetaraan dan
laki
sebaiknya
shalat
di
masjid
sementara
perempuan sebaiknya di rumah saja.
persamaan di antara semua manusia. Islam juga
Riffat Hasan menyebutkan bahwa agama
menempatkan perempuan pada posisi terhormat, di
telah digunakan sebagai alat penindasan ketimbang
mana dalam masyarakat jahiliyah posisi kaum
sebagai
perempuan sangat rendah. banyak ayat al-quran dan
merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki
hadis nabi yang menunjukkan kesamaan dan
dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan. Salah
maupun kultural seperti laki-laki dikenal kuat dan
satu di antaranya adalah firman allah swt:
rasional sementara perempuan dikenal lemah dan
irrasional, sebenarnya tidak mempersoalkan jenis
sarana
pembebasan.
gender,
yang
kelamin (sex) yang merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
13. Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha mengenal.12 Namun kalangan fundamentalis, dengan
tertentu,
seperti
laki-laki
memiliki
sperma
sementara perempuan memiliki rahim, melahirkan dan lain-lain. Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). namun yang menjadi persoalan
ternyata
perbedaan
gender
telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi lakilaki dan terutama kepada kaum perempuan.16
mengabaikan konteks sosial ayat-ayat al-qur`an, menggambarkan laki-laki sebagai makhluk superior atas perempuan-suatu pandangan yang kemudian telah menimbulkan begitu banyak penderitaan di
11 12
Farha Ciciek, Op.Cit. hlm. 25-28. Q.S. Al-Hujarat: 13
13
Huzaemah Tahido Yanggo, “Pandangan Islam Tentang Jender”, dalam Mansour Faqih (et al.), Membincang Feminisme : Diskursus Jender Perspektif Islam,: Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hlm. 151-152. 14 Mai Yamani (ed.), Feminisme dan Islam, terj. Purwanto, (Jakarta : IKAPI, 2000), hlm. 37. 15 Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di antara Kitab Kuning”, dalam Mansour Faqih (et all.), Op. Cit., hlm. 167180. 16 Mansour Faqih, Op. Cit., hlm. 12.
Menelisik Asas Keadilan .....Ikhwanuddin Harahap | 41 Dalam
bahasa
Nasaruddin
Umar,
Dengan mengacu pada paradigma gender,
sebenarnya al-qur`an mengakui adanya perbedaan
ketidakadilan gender bisa diidentifikasi melalui
(distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi
berbagai
perbedaan
marjinalisasi
tersebut
bukanlah
pembedaan
manifestasi
ketidakadilan,
(proses
pemiskinan
yakni:
ekonomi),
(discrimination) yang menguntungkan satu pihak
subordinasi (anggapan tidak penting), pelabelan
17
negatif (stereotype), kekerasan (violence), dan
dan merugikan yang lain.
Lebih jauh, Elaine Showalter sebagaimana
beban kerja ganda (double burden). Inilah kriteria
dikutip oleh Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa
yang menjadi acuan kaum feminis dalam melihat
gender tidak hanya sekedar pembedaan laki-laki
secara kritis setiap aturan sosial tentang relasi laki-
dan perempuan dari konstruksi sosial-budaya akan
laki dengan perempuan, termasuk yang lahir dari
tetapi gender merupakan konsep analisis (an
doktrin agama.
analytic concept) yang dapat menjelaskan sesuatu.18
Pertama,
terjadi
marginalisasi
Mainstream gender sesungguhnya secara
(peminggiran/proses pemiskinan ekonomi) terhadap
empiris bergaung pada abad ke-18, bersamaan
kaum perempuan. Dalam banyak kasus rumah
dengan semakin populernya arus pemikiran baru
tangga, bentuk kekerasan yang dialami oleh kaum
jaman pencerahan (enlighment).19 Di mata kaum
perempuan atau isteri adalah membatasi ruang
pemerhati gender salah satu penyebab munculnya
gerak isteri, menghina/mencemooh, mengecilkan
ketidakadilan terhadap perempuan adalah karena
peran isteri dan sebagainya. Bentuk marginalisasi
masyarakat tidak membedakan antara seks dan
lainnya adalah adanya suami yang melarang
gender. akibat penyamaan ini, sebagaimana telah
isterinya untuk membantu beban keluarga dengan
disebutkan di awal, maka perbedaan gender (gender
bekerja di luar rumah padahal isteri memiliki
differentiation) dan peran gender (gender role) pun
kapasitas dan potensi untuk itu, baik dari segi skill
sering dianggap sebagai sesuatu yang kodrat dan
maupun pendidikannya. Atau suami melakukan
tidak bisa dirubah. Padahal, perbedaan dan peran
penjatahan biaya atau belanja keluarga secara ketat.
gender tersebut, sebagai hasil konstruksi sosial dan
Hal seperti ini termasuk penganiayaan finansial,
kultural, sering menimbulkan ketidakadilan gender
misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja
(gender inequalities) yang termanifestasi dalam
secara paksa dari suami,21.
bentuk
marginalisasi,
kekerasan
dan
beban
subordinasi, kerja
ganda
stereotipe, terhadap
perempuan.20
Kedua, terjadi subordinasi (anggapan tidak penting).
Subordinasi
pada
dasarnya
adalah
keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis
17
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur`an, (Jakarta : Paramadina, 1999), 33-35. 18 Nasaruddin Umar, op.cit hlm. 18-19. 19 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Relasi Jender, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 118. 20 Mansour Faqih, Op. Cit, hlm. 13-21. Syamsiah Ahmad, “Keperluan Untuk Mengadakan Analisa Secara Spesifik Menurut Jender” dalam T. O. Ihrami, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 171.
kelamin
lainnya.
Sudah
sejak
dahulu
ada
pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Atau adanya anggapan bahwa isteri sering diidentikkan
21
Farha Ciciek, Op.cit.. hlm. 23-24.
42 | Vol. 2 No. 1 Januari 2016 dengan konco wingking atau pelengkap dari 22
kepentingan laik-laki. . Ketiga,
mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja,
pelabelan
negatif
(stereotype).
selain bekerja di tempat kerja juga masih harus
Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.23 Perempuan
individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan
pekerja selain dituntut untuk mampu menyelesaikan
kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif
pekerjaan-pekerjaan
secara umum selalu melahirkan ketidakadilan.
masyarakat selalu dipersepsikan sebagai kewajiban
Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan
isteri-mereka juga harus menunjukkan prestasi
pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu
kerja yang baik di tempat kerja. Timbullah istilah
jenis kelamin, yaitu kaum perempuan. Hal ini
”beban ganda” bagi perempuan pekerja dan tidak
mengakibatkan
dan
demikian dengan laki-laki. Sebab laki-laki pada
berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum
umumnya tidak bekerja ganda, tidak dituntut
perempuan.
menyelesaikan
terjadinya
Misalnya
diskriminasi
pandangan
terhadap
perempuan yang tugas dan fungsinya hanya
rumah
tugas-tugas
tangga-yang
di
rumah
di
tangga
24
sebagaimana perempuan.
melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan E. Penutup
pekerjaan domestik. Keempat, kekerasan (violence). Berbagai
Semangat keadilan dan kesetaraan gender
bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai
yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 23
akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk.
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Kata
Dalam
kekerasan
merupakan
terjemahkan
dari
Rumah
Tangga
seyogyanya
mampu
violence, artinya suatu serangan terhadap fisik
menciptakan rumah tangga yang aman dan nyaman
maupun integritas mental psikologis seseorang.
bagi semua anggota keluarga. Keadilan dan
Penganiayaan fisik seperti menampar, pukulan,
kesetaraan gender bukan berarti bahwa kaum
tendangan, melempar, membenturkan ke tembok;
perempuan/isteri berkeinginan sama dan setara
penganiayaan
dalam fungsi, kekuasaan dan kewenangannya
intimidasi,
psikis
atau
ancaman,
emosional
hinaan,
seperti
cemoohan,
dalam
rumah
tangga,
namun
lebih
kepada
keinginan untuk menghapuskan segala bentuk
mengecilkan hati isteri. Kelima, beban kerja ganda (double burden).
kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan
tersebut. Namun dalam faktanya, kekerasan masih
gender adalah beban ganda yang harus dilakukan
sering terjadi dalam rumah tangga yang berupa
oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara
marjinalisasi,
berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada
(stereotype), kekerasan (violence), dan beban ganda
umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-
(double burden). Islam menekankan kesetaraan dan
subordinasi,
pelabelan
negatif
laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai
observasi
menunjukkan
perempuan
22 Siti Mufidah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta : Kibar Press, 2007), hlm. 58.
23 Mansour Fakih, Posisi kaum Perempuan Dlam Islam; Tinjauan dari Analisis Gender, dalam dalam Mansour Faqih (et al.), Op.Cit. hlm. 46 – 49. 24 Siti Mufidah Mulia, Op. Cit., hlm. 57.
Menelisik Asas Keadilan .....Ikhwanuddin Harahap | 43 kesamaan fungsi dan peran antara laki-laki dan
Daftar Pustaka
perempuan. Ciciek, Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta : The Asia Foundation, 1999 Fakih, Mansour, Menggeser Konsepsi Jender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 Hadijah dan La Jamaa, Hukum Islam dan UndangUndang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Banten : STAIN Ambon Press, 2007 Irianto, Sulistywati, “Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu Tinjauan Hukum Berspektif Feminis)”, dalam Jurnal Perempuan, Edisi 10 Februari-April, 1999 Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, tnp, 1999 Mas’udi, Masdar F., “Perempuan di antara Kitab Kuning”, dalam Mansour Faqih (et al.), Membincang Feminisme : Diskursus Jender Perspektif Islam,: Risalah Gusti, Surabaya, 1996. Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Relasi Jender, Bandung : Mizan, 1999 Mulia, Siti Mufidah, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta : Kibar Press, 2007 Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur`an, Jakarta : Paramadina, 1999 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Wignjosoebroto, Soetandyo, “Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan” Makalah dalam Seminar Nasional “Islam, Seksualitas dan kekerasan terhadap Perempuan” Yogyakarta, 27-29 Juli 2000, tt. Yamani, Mai (ed.), Feminisme dan Islam, terj. Purwanto, Jakarta : IKAPI, 2000 Yanggo, Huzaemah Tahido, “Pandangan Islam Tentang Jender”, dalam Mansour Faqih (et al.), Membincang Feminisme : Diskursus Jender Perspektif Islam,: Risalah Gusti, Surabaya, 1996 .