Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
KONFERENSI ASOSIASI FILSAFAT HUKUM KE-5
“MENGGUGAT NORMATIVITAS DAN OTENTISITAS KEINDONESIAAN DALAM KEILMUAN HUKUM” SURAKARTA, 17-18 NOVEMBER 2015
NOVUS ACTUS INTERVENIENS DALAM KONTEKS HUKUM PIDANA DI INDONESIA Ahmad Sofian Staff Pengajar Jurusan Hukum Bisnis, BINUS University
Paper ini dipresentasikan dalam Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) ke-5 yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Solo yang berkolaborasi dengan AFHI pada tanggal 17-18 November 2015
1
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
NOVUS ACTUS INTERVENIENS DALAM KONTEKS HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : Ahmad Sofian 1 Abstract Doktrin novus actus interveniens digunakan dalam ajaran kausalitas untuk menentukan pertanggungjawaban principle offender atas akibat yang terlarang. Doktrin ini dapat dipergunakan dalam berbagai lapangan ilmu hukum baik perdata maupun pidana. Dalam doktrin ini, intervensi bisa dilakukan oleh pelaku lain, korban atau tenaga medis. Namun intervensi bisa juga dilakukan oleh bukan manusia seperti hewan, dan alam. Intervensi yang dilakukan oleh manusia (pelaku lain yang independen, korban atau tenaga medis), untuk mengukur pertanggungjawaban pelaku utama (principle offender) akan sangat ditentukan oleh moral obligation antara principle offender dan pihak yang mengintervensi. Disamping ukuran moral obligation, ukuran lain yang digunakan adalah seberapa jauh akibat dari perbuatan principle offender yang masih operative dan substantial. Sedangkan intervensi yang dilakukan oleh bukan manusia, menentukan apakah principle offender bertanggung jawab atas akibat tersebut atau tidak. Doktrin ini tidak begitu banyak dimanfaatkan oleh hakim, jaksa, pengacara, termasuk ilmuwan hukum Indonesia, padahal doktrin ini dapat dipergunakan ketika terjadi kebuntuan dalam menemukan kebenaran materiil.
1
Staff Pengajar Jurusan Hukum Bisnis, BINUS Unversity, dan sedang menyelesaikan disertasi untuk
2
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
Pendahuluan Ketika berbicara tentang doktrin novus actus interveniens maka tidak bisa dilepaskan dengan ajaran kausalitas dalam hukum. Doktrin novus actus interveniens merupakan salah satu teknik analisis yang digunakan untuk mengukur tanggung jawab dari perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang misalnya pencemaran lingkungan, kecelakaan lalu lintas, kerugian yang timbul akibat wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian dan resiko. Dalam hukum pidana kausalitas juga diperlukan dalam delik-delik yang menimbulkan kematian, gangguan kesehatan pada seseorang atau sekelompok orang, menimbulkan luka, kebakaran, kerusakan. Dalam hukum ekonomi, kausalitas juga dipergunakan ketika menilai kerugian-kerugian yang timbul dari pembatalan kontrak atau ketika seseorang gagal memenuhi klausula yang ada di dalam kontrak tersebut. Doktrin ini lebih banyak digunakan jaksa, pengacara, hakim di negara-negara common law, namun bukan berarti doktrin ini tidak bisa digunakan di negara-negara civil law. Langkah untuk menemukan novus actus interveniens adalah ketika sebuah peristiwa hukum telah terjadi, dan dalam peristiwa hukum tersebut ada perbuatan atau rangkaian perbuatan yang menjadi penyebab dan muncul akibat lalu ada pihak ketiga yang mengintervensi penyebab tersebut, sehingga menimbulkan akibat lain atau memperburuk akibat yang muncul. Meskipun doktrin ini berkembang pada Negara-negara yang menganut tradisi common law, namun dalam beberapa kasus di Indonesia, misalnya pembelaan yang dilakukan pengacara memasukkan doktrin ini, meskipun secara akademik tidak menyebutkan sebagai novus actus interveniens. Dalam kasus PT. DEI yang membuang limbah cair berbahaya ke tanah kosong di Cikarang Utara. Dalam kasus ini Jaksa menuntut terdakwa telah melakukan pencemaran lingkungan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan dan menimbulkan mual, pusing, tenggorokan kering kepada sebagian penduduk di wilayah tersebut. Dalam salah satu pledoi kuasa hukum mengatakan bahwa tidak bisa dibuktikan hubungan antara perbuatan terdakwa membuang limbah dengan timbulnya akibat mual, muntah, pusing pada sebagian penduduk. Mual, pusing dan muntah hanya dialami oleh belasan penduduk, sementara sebagian besar penduduk lainnya tidak mengalami hal seperti yang dituduhkan oleh
3
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
Jaksa.2 Dapat ditafsirkan bahwa pembelaan pengacara ini sedang berupaya mencari novus actus interveniens, atau pemutus peristiwa yang megakibatkan sebagian penduduk mual-mual, pusing dan tenggorokan gatal. Namun peristiwa atau perbuatan yang mengintervensi tersebut tidak disebutkan dalam pembelaan sehingga Mahkamah Agung tetap menghukum PT. DEI yang diwakili oleh Direkturnya dengan denda Rp. 650 juta atau jika tidak membayar denda diganti dengan pidana 6 bulan kurungan. 3 Konsepsi Novus Actus Interveniens
Novus actus interveniens
atau
nova causa interveniens merupakan
terminologi dalam Bahasa Latin yang diartikan sebagai intervensi dari pihak ketiga yang berdiri sendiri. Dalam Black Law Dictionary, novus actus interveniens (nova causa interveneniens) diterjemahkan dengan intervening cause yang diartikan sebagai “an event that comes between the initial event in a sequence and the end result, thereby altering the natural course of events that might have connected a wrongful act to an injury”.4 Novus actus interveniens ini kemudian berkembang menjadi salah satu doktrin dalam ajaran kausalitas yang dipopulerkan oleh H.L.A. Hart dan A.M. Honore dalam bukunya yang berjudul “Causation in Law” yang pertama kali terbit pada tahun 1959. Baik Hart maupun Honore merupakan Guru Besar dalam ilmu hukum dari Oxford University.5 Penulis Inggris lain, Williams mengatakan “the new intervening act (novus actus interveniens) of a responsible actor, who has full knowledge of what he is doing, and is not subject to pressure, intimidation or mistake, 2
Putusan Mahkamah Agung No. 862 K/Pid.Sus/2010, hlm. 92 Ibid, hlm. 95 4 Bryan A. Gerner, “Black’s Law Dictionary”, Eight Edition, (USA : Thomson Business, 2004), hlm. 234 5 H.L.A. Hart and A.M. Honore, “Causation in the Law”, First Edition (Oxford : Oxford University Press, 1959), hlm. 69 3
4
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
will normally operate to relieve the defendant of liability for a further consequence. It makes the consequence ‘too remote’”. 6 Novus actus dalam keluarga common law dapat dipersamakan maknanya dengan “new actions” atau “new causes”, “superseding”, “extraneous”, “intervening forces”, intervening act, intervening agency, independent intervening cause yang digambarkan sebagai dimulainya sebuah perbuatan atau tindakan yang dapat memutuskan sebuah rangkaian perbuatan yang memiliki hubungan sebab akibat, sehingga novus actus ini membuat sebuah hubungan sebab akibat berhenti atau tidak lama kemudian akan berhenti bergerak atau kehabisan tenaga untuk meneruskan perjalanan rantai tersebut. Jika saja rantai ini tidak ada yang memutuskan maka rantai tersebut akan berpotensi untuk “melanjutkan”, “memberikan kontribusi”, “berjalan” yang akan menimbulkan konsekuensi tertentu.7 Sebuah intervensi ada diantara atau ditengah-tengah dalam sebuah peristiwa. Jika sebuah intervensi cukup kuat maka dapat mengurangi pertanggungjawaban pelaku, dan pihak yang melakukan intervensi dapat menggantikan pertanggungjawaban namun perlu dicatat bahwa yang melakukan intervensi tersebut benar-benar pihak yang independen bukan pihak yang dipaksa atau turut serta melakukan sehingga dapat menggantikan pertanggungjawaban tersebut.8 Novus actus interveniens diartikan oleh kedua ilmuwan tersebut sebagai “superseding cause” atau “penyebab yang intervensi” yang dapat memutuskan rantai kausalitas sehingga dapat menghilangkan
pertanggungjawaban atau mengurangi
kadar tanggung jawab dari pelaku utama (principle offender). Dengan demikian ada “pihak ketiga” yang mengintervensi yang memutus rantai kausalitas tersebut. Jika intervensi pihak ketiga tersebut dilakukan oleh pelaku lain maka intervensi tersebut dilakukan secara sadar, bebas dan tanpa paksaan. Contohnya adalah A membuang puntung rokok ke semak-semak di pinggir hutan. Tanpa diketahui A,
lalu B
menuangkan bensin ke semak-semak tersebut mengakibatkan terbakarnya hutan. Apakah perbuatan A yang menyebabkan terbakarnya hutan padahal dia tidak bermaksud membakar hutan ? Tentu saja yang bertanggung jawab atas terbakarnya hutan tersebut bukanlah A, B mengintervensi mengakibatkan terbakarnya hutan tersebut.9 Dalam contoh kasus ini B, bukanlah instrumen dari A, atau A menyuruh 6
J. Remmelink, “Pengantar Hukum Pidana Material 1 (Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht), (Yogyakarta, Maharsa Publishing, 2014), hlm. 162 7 Ibid 8 Bryan A. Gerner, op.cit. 9 H.L.A. Hart and A.M. Honore, op.cit
5
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
atau menganjurkan B untuk menyiramkan puntung rokok dengan bensin sehingga membakar hutan tersebut, ini merupakan murni perbuatan B dan atas inisiatif dari B sendiri. Dia “mengeksploitasi” keadaan dan menimbulkan kebakaran tanpa adanya elemen kerjasama dengan A. Beda halnya jika A dan B bermaksud untuk membakar hutan, niat keduanya sama yaitu ingin membakar hutan, dengan demikian niat yang sama mewujudkan sebuah akibat terbakarnya hutan. Sementara itu, dalam kasus yang dipaparkan dalam paragraph ini, A sama sekali tidak punya niat membakar hutan, sementara B sengaja menyiramkan bensin ke puntungan rokok yang menimbulkan kebakaran, jadi sebuah elemen niat jahat (mens rea) hanya ada pada B dan tidak ada pada A. Dengan demikian pertimbangan moral jadi penting dalam menentukan ada tidaknya intervensi dari aktor lain yang mengurangi atau menghapustkan pertanggungjawaban.10 Contoh lain sebagai perbandingan, A memukul B, sehingga B sempoyongan. Dalam keadaan sempoyongan B menabrak sebuah kaca jendela hingga pecah. Dalam kasus kita bisa mengatakan bahwa pukulan A
membuat B sempoyongan dan
memecahkan kaca jendela dan kita tidak bisa mengatakan A yang membuat kaca jendela pecah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bahwa perbuatan A memberikan atribusi atau kontribusi yang menyebabkan pecahnya kaca jendela. Dalam kasus yang terakhir ini, B sama sekali tidak punya niat untuk memecahkan kaca jendela, namun karena perbuatan A menyebabkan pecahnya kaca jendela tersebut. Demikian juga dengan A, tidak punya niat untuk memecahkan kaca jendela tersebut. Namun A, tetap dapat dipertanggungjawabkan karena seharusnya A dapat memprediksikan akibat dari perbuatan tersebut, meksipun kadar pertanggungjawabannya atas pecahnya kaca jendela tersebut tidak bisa ditimpakan 100 persen kepada A. sementara itu perbuatan B memecahkan kaca jendela tersebut dilakukan disamping tidak punya niat untuk memecahkan kaca jendela tersebut, pecahnya kaca jendela tersebut adalah sebuah perbuatan yang dalam keadaan terpaksa dan bukan perbuatan yang sukarela (voluntary). 11 Konsepsi berikut ini juga memberikan pamaknaan yang hampir sama dengan konsepsi yang dikemukakan oleh Hart and Honore, hanya saja konsepsi ini lebih menekankan pada “munculnya dampak atau akibat lain” yang tidak bisa kendalikan oleh pelaku sebelumnya. Pelaku sebelumnya telah melakukan suatu perbuatan atau 10 11
Ibid, hlm. 70 Ibid, hlm. 72
6
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
omissi yang mengandung elemen sengaja atau lalai. Dalam konsepsi ini, novus actus interveniens diartikan sebagai perbuatan pelaku yang jelas-jelas sengaja atau lalai, lalu kemudian ada perbuatan lain yang mengintervensi yang menimbulkan dampak atau efek atau kerusakaan yang tidak bisa dikontrol oleh pelaku terdahulu.12 Phrase novus actus interveniens dalam American Restatemen of
the Law of Torts
diterjemahkan dengan “intervening force” yang diartikan sebagai sesuatu yang secara aktif menghasilkan bahaya/kerusakan terhadap lainnya lalu setelah itu ada perbuatan atau omisi dari pelaku lain yang menimbulkan dampak.13 Karena adanya novus actus interveniens ini maka pertanyaan yang sering muncul adalah apakah pelaku yang pertama merasa bertanggung jawab sebab beberapa keadaan baru secara aktif beroperasi menghasilkan kerusakan atau bahaya.14 Novus actus interveniens dalam literatur keluarga di Jerman dikenal dengan istilah Überholende kausalität yang diartikan sebagai sebab yang kedua menyusul sebab yang pertama. Dalam hal ini kita berhadapan dengan persoalan terputusnya sebab pertama oleh sebab yang kedua. Munculnya sebab kedua bisa ada dua kemungkinan, yang pertama adalah sudah dapat adalah sebab kedua ini
diduga sebelumnya dan kedua
malah tidak bisa diduga sebelumnya. 15 Selanjutnya
Remmelink mengatakan : “Jika sebab yang kedua memang dapat diduga sebelumnya, maka pada prinsipnya sebab tersebut ditempatkan dalam rangkaian sebab dan sekaligus dalam dirinya sendiri memunculkan akibat serta perbuatan salah dari orang kedua, yang diperhitungan pada orang pertama, harus dimasukkan ke dalam rangkaian sebab. Dalam hal ini tidak dapat dikatakan adanya Überholende kausalität . Dalam hal ini penerapan pengujian kenalaran/kemasuk-akalan juga menjadi penting sebagai koreksi. Jadi, dalam delik-delik culpa, keterdugaan akan cepat diandaikan ada, bahkan delik dolus dapat dikatakan kemunculan akibat dapat diduga sebelumnya, dan bisa menjadi awal munculnya delik culpa bagi orang pertama.”16 Menurutnya jika delik kedua yang mengintervensi ternyata merupakan delik dolus yang berdiri sendiri, maka persoalan menjadi lebih pelik, disinilah doktrin novus actus interveniens diperlukan. Ajaran ini diperkenalkan oleh ilmuwan hukum Jerman yang terkenal yaitu Frank. Dia mencontohkan sebuah kasus yang pernah diputus oleh
Bundesgerichtschof (BGH) pada tahun 1954. Dalam kasus ini A
12
P.Q.R. Boberg, “Reflections on the Novus Actus Interveniens”, The South African Journal, 76 S African L.J. 280, 1959, hlm. 280 13 Ibid, hlm. 280-281 14 Ibid, hlm. 281 15 J. Remmelink, op.cit., hlm. 162 16 Ibid
7
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
meracuni B, harusnya dalam waktu 1 jam B meninggal, namun sebelum satu jam C menembak B hingga mati. Penembakan yang dilakukan oleh C adalah perbuatan yang berdiri sendiri. Dengan demikian, maka perbuatan C adalah penyebab kematian dari B dan bukan perbuatan A. Namun demikian A tetap dapat dihukum karena melakukan percobaan pembunuhan.17 Intervensi juga bisa dilakukan oleh korban, artinya korban memberikan kontribusi atas munculnya akibat yang dilarang. Ketika korban melakukan intervensi, maka tindakan korban tidak dapat diprediksi oleh pelaku, sehingga menimbulkan akibat lain dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Misalnya pencopet mengambil dompet seorang gadis di dalam sebuah kereta yang sedang berjalan, karena terkejut gadis tersebut tiba-tiba saja melompat dari kereta yang sedang berjalan kencang yang mengakibatkan dia terhempas di peron kereta dan meninggal dunia. Matinya si gadis tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pencopet, karena tindakan yang dilakukan korban berlebihan sehingga dapat memutus tanggung jawabnya. Contoh menarik juga disampaikan Hart dan Honore dalam sebuah kasus hipotesis dimana akibat tersebut tidak akan muncul jika tidak dilakukan oleh korban. Misalnya A bermaksud membunuh B dengan cara memasukkan racun ke dalam makanan B. Dan ternyata B mengetahui bahwa di dalam makanan tersebut ada racun dan mengetahui konsekwensi jika dia memakan makanan tersebut akan berakibat fatal hingga kematian. B tetap memakannya yang menimbulkan kematian.
Dalam kasus ini
menurut Hart dan Honore, perbuatan A tidak dapat dikatakan sebagai penyebab matinya B. Pertimbangan moral menjadi salah satu jusifikasi ini, B mengetahui danya racun di dalam makanan tersebut, B memakan makanan tersebut tanpa ada tekanan dan sengaja mengambil makan dan memakannya lalu mati. Namun jika B tidak mengetahui adanya racun di dalam makanan tersebut lalu memakannya dan mati maka, perbuatan A dapat dijadikan penyebab matinya B. Dalam kasus ini, B telah memberikan kontribusi atas matinya dirinya sendiri, perbuatan dan kesalahan B yang menjadi penyebab, sehingga memutus tanggung jawab dari A.18 Dalam beberapa kasus, intervensi juga dapat dilakukan oleh tenaga medis yang dikaitkan dengan tindakan medis untuk melakukan penyembuhan kepada pasien yang menjadi korban tindak pidana. Ketika dokter atau para medis lainnya seperti perawat berusaha untuk menyembuhkan pasien tersebut, ternyata tindakan untuk 17 18
Ibid Ibid
8
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
menyembuhkan tersebut berbuntut pada makin buruknya kondisi si korban sehingga berujung kepada kematian. Atau ada kemungkinan pasien telah memiliki penyakit bawaan ketika dirinya menjadi korban tindak pidana, dan ketika tenaga medis menyembuhkan luka yang memiliki hubungan dengan tindak pidana, penyakit bawaan tersebutlah yang menyebabkan kematian. Beberapa persoalan lain adalah ketika pasien yang menjadi korban tindak pidana tersebut menolak untuk mendapatkan tindakan medis, sehingga luka yang dideritanya membuat kondisinya semakin parah yang dapat menyebabkan kematian. Dalam kasus tindak pidana pembunuhan misalnya luka asal yang diderita oleh korban tindak pidana tersebut tidak langsung seketika menyebabkan korban meninggal dunia, korban lalu dirawat di rumah sakit, ketika dirawat di rumah sakit ternyata kesalahan dalam tindakan medis. Kesalahan dalam tindakan medis inilah menyebabkan kematian pada korban bukan luka yang diderita oleh perbuatan pelaku. Dalam hal ini tentu saja kematian korban tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban pada pelaku, sehingga harusnya tindak pidana yang dituduhkan kepada pelaku bukan tindak pidana pembunuhan tetapi penganiayaan, karena jika tidak terjadi kesalahan dalam perawatan tindakan medis, mungkin saja si korban masih hidup. Tenaga medis yang salah melakukan tindakan medis tersebut sudah melakukan “intervensi” yang memutus rantai kausalitas.19 Dalam Konteks Hukum di Indonesia Dalam hukum Indonesia, doktrin novus actus interveniens tidak begitu popular dikalangan ilmuwan hukum Indonesia, bahkan dalam jurisprudensi doktrin ini tidak digunakan. Hal ini dapat dimengerti karena doktrin ini berasal dari tradisi common law.20 Dalam literatur hukum yang dikembangkan oleh ilmuwan hukum Indonesia,
doktrin ini bisa ditemukan
dalam ajaran kausalitas yaitu dalam
menentukan sebab yang menimbulkan akibat. Salah satu teori yang digunakan adalah teori mengindividualisir objektif. Dalam teori ini untuk
menentukan
penyebab
maka ditentukan oleh satu faktor yang paling banyak membantu atau memberikan
19
Ibid, hlm. 314 Johannes Keiler and David Roef, “Comparative Concepts of Criminal Law”, (Cambridge : Intersentia, 2015), hlm. 91 20
9
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
konstribusi. 21 Dalam menentukan satu faktor yang paling berpengaruh atau yang paling membantu ternyata para ahli hukum pidana memiliki pendapat yang berbedabeda misalnya Birkmeyer menentukannya dari sisi kuantitas yang dihasilkan, dicontohkannya jika sebuah kereta tidak bisa ditarik oleh satu ekor kuda, dan baru bisa ditarik oleh dua ekor kuda, maka kedua ekor kuda tersebutlah yang menjadi penyebab bukan salah satunya. Berbeda halnya dengan Kohler, beliau mendalilkan bahwa faktor penyebab timbulnya akibat adalah jika menurut sifatnya yang paling banyak membantu. Jadi bukan akumulasi dari berbagai sebab seperti yang didalilkan oleh Birkmeyer. 22 Teori
Birkmeyer ini
tidak mendalilkan adanya novus actus
interveniens, karena salah satu faktor tidak bisa menghilangkan faktor lain. Dalam teorinya Kohler jelas, doktrin novus actus interveniens diterima, karena salah satu faktor
dapat
“mengalahkan” atau “mengintervensi” faktor lainnya, jika faktor
tersebut menurut sifatnya lebih kuat daripada faktor lainnya. Jadi jika dicontohkan dengan dua ekor kuda yang menarik kereta, maka bukan akumulasi dari kedua ekor kuda tersebut yang menyebabkan kereta bisa ditarik, tetapi kuda manakah yang paling kuat tenaganya. Lalu bagaimana dengan pandangan Moeljatno terkait dengan perbuatan yang mengintervensi ini ? Untuk menentukan faktor yang paling berpengaruh ini maka, pertama-tama harus didasarkan pada ukuran dari perbuatan bukan pada ukuran kesalahan dan tidak mencampuradukkan keduanya. Dicontohkannya : A menganiaya B, lalu ditengah jalan sewaktu hendak dibawa ke dokter, B mendapat kecelakaan sehingga meninggal dunia. Jika matinya B disebabkan oleh kecelakaan maka, tidak ada hubungan kausal antara perbuatan A dengan matinya B.23 Dalam kaitan ini, dapat ditafsirkan bahwa kecelakaan yang dilami oleh B memutuskan mata rantai dari perbuatan A, sehingga hubungan kausalitas terputus dan menghilangkan tanggung jawab A atas matinya B. Contoh lain, adalah pemalsuan, A hendak menghapuskan satu perkataan dalam sebuah surat, namun ternyata perkataan tersebut tidak hilang. Lalu B juga hendak menghapuskan perkataan tersebut dan menggunakan cairan yang lain untuk menghapusnya. Ternyata kombinasi dari penggunaan cairan tersebut membuat perkataan tersebut hapus. Perbuatan A tidak dapat dikatakan sebagai penyebab
21
Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta : Rineke Citpa, 2002), hlm. 100 Ibid, hlm. 100-101 23 Ibid, hlm. 102 22
10
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
hapusnya perkataan tersebut, karena perbuatan A sudah diintervensi oleh perbuatan B.24 Teori yang mengindividualisir, membatasi peristiwa yang dianggap sebagai sebab didasarkan kepada fakta setelah delik terjadi (post factum). Peristiwa manakah diantara serangkaian peristiwa yang secara khusus lebih cenderung menimbulkan akibat. Teori ini juga dikenal dengan teori khusus atau individualiserende theorie. Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka di antara rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab. Dalam hal ini, setiap faktor akan dinilai, dan faktor yang paling kuatlah yang dipilih sebagai penyebab yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian faktor-faktor lain dieliminasi dan tidak dijadikan sebagai faktor penyebab yang menimbulkan akibat. Meski demikian, tidaklah mudah untuk menentukan faktor yang paling berpengaruh, dan faktor yang tidak berpengaruh, karena ukuran yang dipergunakan dalam menentukan kekuatan faktor yang berpengaruh ini tidak mudah, sehingga tetap saja menjadi kendala dalam menentukan kadar dari faktor tersebut. Sehingga diperlukan formula khusus dalam menentukan kekuatan sebuah faktor yang menimbulkan akibat yang dilarang, dan para pendukung teori yang mengindivualisir masih belum menemukan formula tersebut. Dengan demikian ada perbedaan yang signifikan dalam menentukan faktor penyebab, dalam doktrin yang mengindivualisir caranya adalah menakar faktor yang paling berpengaruh, sehingga faktor yang tidak berpengaruh dieliminasi. Sedangkan dalam doktrin novus actus interveniens malah sebaliknya mengeliminasi faktor yang dinilai mengintervensi. Faktor yang mengintervensi ini dinilai sebagai faktor yang memutus rantai faktor yang paling berpengaruh. Meski demikian menurut Boberg faktor yang paling berpengaruh ini dalam beberapa kasus dapat disamakan dengan novus actus interveniens.25 Dalam sebuah putusan pengadilan menggambarkan bagaimana doktrin novus actus interveniens ini digunakan meskipun pengadilan tidak menyebutkan secara harpiah terminologi ini. Kasus tersebut bermula dari seorang pegawai di sebuah 24 25
Ibid, hlm. 88-89 P.Q.R. Boberg, op.cit, hlm. 285
11
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
showroom mobil menerima pembayaran uang muka untuk pembelian mobil dari salah seorang pelanggan. Namun uang muka tersebut tidak pernah disetorkan ke rekening resmi perusahaan namun dimasukkannya ke rekeningnya. Ternyata perbuatan pegawai showroom tidak dilakukan satu kali tetapi sudah kejadian yang kedua kali. Perbuatan ini diketahui oleh manager showroom mobil tersebut karena pelanggan melakukan complaint karena mobilnya yang dipesannya sudah melampaui batas waktu yang diperjanjikan untuk segera diproses. Karena itu, manager showroom menanyakan kepada pegawai tersebut, dan memintanya untuk segera mengembalikan dan menyetorkan uang tersebut ke perusahaan showroom tersebut. Setelah dalam jangka yang ditentukan pegawai tersebut tidak juga mengembalikan uangnya, namun hanya memberikan jaminan BPKP kendaraan bermotornya yang nilainya masih jauh dibawa dari uang yang diterimanya dari pelanggan. Karena khawatir pegawai ini melarikan diri, lalu manager showroom tersebut melarang pulang pegawai tersebut dan mengurungnya
di ruang tamu showroom dan diawasi oleh security. Pada esok
harinya pegawai tersebut ditemukan gantung diri, dan berdasarkan hasil pemeriksaan visum ditemukan luka lecet yang melingkar dileher dan berdasarkan hasil pemeriksaan medis merupakan tanda mati lemas. Dalam kasus ini jaksa menuntut manager hotel tersebut dengan tuntutan alternatif yaitu dituntut tuduhan merampas kemerdekaan seseorang yang mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam pasal 333 ayat (3) KUHP atau merampas kemerdeaan seseorang sebagaimana diatur 333 ayat (1) KUHP.26 Atas tuntutan itu,
hakim berpendapat bahwa matinya korban bukan
disebabkan oleh perbuatan terdakwa tetapi akibat dari perbuatan korban itu sendiri.27 Artinya, tidak ada hubungan kausal antara merampas kemerdekaan korban dengan matinya korban. Perbuatan menggantung diri dilakukan oleh korban yang menyebabkan kematiannya. Dengan kata lain, korban telah melakukan intervensi yang memutus rantai kausalitas. Karena ada intervensi yang dilakukan oleh korban, maka pelaku tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya atas tuduhan menyebabkan kematian. Putusan pengadilan lain yang menggambarkan adanya intervensi dari korban adalah kasus yang menimpa seorang korban wanita yang terjadi di Bandung. Dua orang pelaku yaitu Wawan dan Awing melihat seorang wanita sedang membuka pintu 26 27
Putusan No. 782/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst, hlm. 3-8 Ibid, hlm. 20 dan 26
12
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
pagar rumah, dan pintu mobil depan dalam keadaan terbuka. Kedua pelaku ini turun dari sepeda motor dan mengambil satu tas milik korban dari dalam mobil tersebut. Korban mengetahui dan berusaha mengambil kembali tas miliknya dan sebelum mengejar lalu merangkul leher pelaku yang dibonceng, dan motor tetap melajut dalam kecepatan tinggi sehingga korban terseret. Untuk melepaskan rangkulan tersebut pelaku menyikut, namun korban tetap tidak melepaskan rangkulan tersebut akhirnya pelaku mengeluarkan golok dan membacok ke arah korban sebanyak 3 kali. Akibat bacokan ini rangkulan korban mulai melemah dan kemudian jatuh, namun saat jatuh rambut korban tersangkut dirantai dan terseret beberapa meter ke depan, akibatnya korban meninggal dunia. Berdasarkan hasil visum meninggalnya korban disebabkan oleh pendarahan yang banyak pada otak yang diakibatkan oleh benda tumpul. Atas kasus ini jaksa menuntut pelaku dengan tuntutan pencurian yang disertai kekerasan yang mengakibatkan kematian (pasal 365 ayat 4 KUHP) atau pembunuhan yang disertai dengan perbuatan pidana lainnya (pasal 339 KUHP). 28 Atas tuntutan ini penasehat hukum terdakwa menyatakan pembelaannya yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa seharus dipertimbangkan sebagai alasan pembenar atau pemaaf, karena korban bertindak sendiri dan membahayakan dirinya sendiri, seharusnya jika korban tidak bertindak melampaui batas maka korban tidak akan mengalami kematian. 29 Pengadilan berkesimpulan bahwa perbuatan terdakwa telah mengakibatkan kematian pada korban dan tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan tindakan para terdakwa. 30 Dalam kasus ini, pengacara telah memasukkan doktrin novus actus interveniens, yang dikemas dengan “alasan pembenar atau pemaaf”. Terlepas dari benar tidaknya penempatan alasan “pembenar dan pemaaf”,
atau tidak tepatnya
menyamakan antara “novus actus interveniens” dengan “alasan pemaaf atau pembenar”, namun pengacara telah menempatkan logika berfikir tentang adanya intervensi dari korban yang dapat memutus rantai kausalitas dan menghapuskan atau mengurangi atribusi pertanggungjawaban pidana pelaku. Putusan pengadilan berikut ini menampilkan tentang sebuah tindak pidana penganiyaan yang menyebabkan kematian, namun kematian yang menimpa korban bukan dilakukan oleh pelaku tetapi ada intervensi dari korban. Perbuatan dimulai dari 28
Putusan No. 124/Pid/2014/PT.Bdg, hlm. 3-6 Ibid, hlm. 14 30 Ibid, hlm. 15 29
13
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
kasus pencurian kotak amal masjid. Pencurian kotak amal ini sudah berulang kali terjadi dan diketahui yang melakukan itu adalah Faisal Akbar (FA). Ketika di kantor polisi FA diinterogasi ditemukan barang bukti lain berupa kunci T, ketika ditanyakan FA tidak mengakui tentang kunci T, lalu seorang penyidik yang bernama AL emosi dan menendang dan memukulnya. Setelah mendapat berbagai tindak kekerasan dari penyidik, akhirnya FA mengakui bahwa kunci T tersebut digunakan untuk melakukan pencurian kendaraan bermotor. Setelah kasus dikembangkan ditangkap pelaku lain yaitu Budri Zen (BZ) oleh Al Indra (AI) dan salah satu anak buahnya yaitu Randi Agusta (RA). Setelah diintrogasi, karena BZ tidak mengakui perbuatannya, kedua penyidik ini memukul BZ dengan tongkat, lalu menendang korban, setelah dipukuli dan ditendangi berkali-kali akhirnya korban mengakui perbuatannya. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan kondisi korban melemah, daya tubuhnya menurun dan sakit. Setelah dua korban ini mengalami penganiayaan, esok keduanya ditemukan meninggal dunia di kamar mandi dalam keadaan leher tergantung dengan menggunakan baju kaos. Kesimpulan dari Visum et Revertum : pada pemeriksaan tubuh korban terdapat luka dileher melingkar sepanjang dan terdapat luka lebam di punggung, bokong serta lengan. Pemeriksaan luar ditemukan luka lecet tekan dan melingkar di leher, pada tungkai lengan, bokong, resapan darah pada kuku kaki kiri akibat kekerasan tumpul serta tanda-tanda mati lemas pada beberapa organ dalam.31 Atas perbuatan terdakwa ini, Jaksa menuntut pelaku dengan pasal 351 ayat 3 KUHP, yaitu penganiayaan yang berakibat kematian, atau pasal 351 ayat 2 KUHP atau pasal 351 ayat 1 KUHP.32 Dalam salah satu pertimbangan Majelis Hakim berpandangan bahwa kematian kedua korban bukan disebabkan karena perbuatan kedua para terdakwa tetapi karena luka melinggar di leher yang menyebabkan mati lemas. Berikut ini kutipan dari pertimbangan putusan tersebut : “Menimbang, bahwa berdasarkan hasil kesimpulan dari hasil otopsi Visum Et Repertum Nomor : 01/OTP/IPJ/XII/2011 tanggl 04 Januari 2012 atas nama Budri M. Zen yang dilakukan oleh Dr Rika Susanti, Sp.F Dokter pada RSUD M Djamil Padang menyatakan bahwa Penyebab kematian pada organ ini adalah akibat kekerasan tumpul pada leher yang menyebabkkan mati lemas. Perkiraan saat kematian antara 24 jam sampai dengan 48 jam sebelum pemeriksaan atau kurang dari 6 jam setelah makan terakhir” 31 32
Putusan Nomor : 135/Pid.B/2012/PN.MR, hlm. 5-7 Ibid, hlm. 7-12
14
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
Pengadilan juga meminta keterangan ahli untuk mengetahui penyebab kematian korban, berikut ini petikannya : “Menimbang, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa tersebut tidak dilakukan di daerah leher sehingga menyebabkan mati lemas, dan menurut keterangan ahli Rika Susanti perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa tidak pada darah yang menyebabkan kematian……..” Pengadilan dalam hal ini menggunakan teori adekuat yang objektif, yaitu menemukan penyebab kematian berdasarkan pada ilmu pengetahuan.
Kematian
korban tidak ada hubungannya dengan perbuatan para terdakwa. Perbuatan korban yang menggantung dirinya adalah penyebab yang paling kuat yang menimbulkan kematian korban, dengan kata lain perbuatan para terdakwa yang menyiksa korban, yang kemudian korban mati, tidak ada hubungan kausalitasnya. Terdakwa sudah memutus rantai kausalitas tersebut dengan melakukan gantung diri. Kesimpulan Novus actus interveniens sebuah doktrin yang memberikan kontribusi dalam menentukan perbuatan yang dapat memutus rantai atribusi pertanggungjawaban pidana. Novus actus interveniens sebagai sebuah doktrin, dipergunakan dan berkembang di negara-negara common law sebagai sebuah doktrin yang dipergunakan dalam pertimbangan putusan pengadilan. Putusnya atribusi pertanggungjawaban pidana bisa disebabkan oleh pelaku lain yang mengintervensi, oleh korban, tenaga medis dan juga oleh faktor alam. Secara doktrinal, novus actus interveniens dimaknai sebagai doktrin penyebab yang satu dapat mengenyampingkan atau mengeliminasi penyebab yang lain, dalam arti bahwa penyebab yang paling kuat atau yang paling berpengaruh yang dapat dinilai sebagai penyebab yang menimbulkan akibat yang dilarang. Sementara itu dalam praktek putusan pengadilan di Indonesia, doktrin novus actus interveniens tidak diterapkan sebagaimana konsepsi ini muncul di common law, pertimbangan putusan pengadilan hanya sebatas pada dalil-dalil yang mengemuka pada ajaran kausalitas. Model hukum yang dibangun dalam doktrin novus actus interveniens adalah model hukum dengan pendekatan penalaran hukum untuk memastikan adanya intervensi dari pihak ketiga yang dapat memutuskan atribusi pertangggungjawaban pelaku pertama, meskipun tidak menghilangkan seluruh atribusi pertanggungjawaban tersebut
15
Prosiding Konferensi Asosiasi Filfasat Hukum Indonesia (AFHI) Ke-‐5, Surakarta 17-‐18 November 2015
Daftar Pustaka Bryan A. Gerner, “Black’s Law Dictionary”, Eight Edition, (USA : Thomson Business, 2004). H.L.A. Hart and A.M. Honore, “Causation in the Law”, First Edition (Oxford : Oxford University Press, 1959). J. Remmelink, “Pengantar Hukum Pidana Material 1 (Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht), (Yogyakarta, Maharsa Publishing, 2014). Johannes Keiler and David Roef, “Comparative Concepts of Criminal Law”, (Cambridge : Intersentia, 2015), Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta : Rineke Citpa, 2002) P.Q.R. Boberg, “Reflections on the Novus Actus Interveniens”, The South African Journal, 76 S African L.J. 280, 1959. Sidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogyakarta :Genta Publishing, 2013.
16