Media Konservasi Vol. 19, No. 3 Desember 2014: 154 – 160
NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN KAWASAN KARST GUA GUDAWANG Economic Value of Environmental Service in Gudawang Cave Karst Area JOKO MIJIARTO1), SAMBAS BASUNI2), TUTUT SUNARMINTO3) 1)
2) 3)
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Diterima 01 September 2014 / Disetujui 28 November 2014 ABSTRACT
The economic value of Gudawang Cave are still limestone product (goods) which gotten from mining activities and environtment product (service) that has been used as new area of tourism development. Other environmental services such as source of water and fauna habitat have not been used optimally and provide economic value to society yet. The research question is how is the utilization of Gudawang Cave area as economical-ecology can be optimal and sustainable. It is necessary to determine of the economic value of environmental services as the basis for its management and utilization. The economic value of Cave Gudawang environmental services which was calculated in this study was the economic value of the Cave Gudawang as a source of water, as bat habitat (as pest control and fertilizer guano) based Market Based Approach; and tourism economic value by using the Individual Travel Cost Method approach. Result of the study showed that the economic value of Gudawang Cave karst area environmental services was Rp. 1.222.673.877,00/year. This value were from the value of benefits water Rp. 1.060.680.000,00, the value of bats as pest control was Rp. 10.800.000,00, economic value of guano Rp. 2.403.744,00 and economic value of tourism Rp. 148.790.133,00. Keywords: Economic valuation, Eeconomic value, Eenvironmental services, Gudawang Cave, Karst area.
ABSTRAK Nilai ekonomi Kawasan Gua Gudawang masih berupa produk (barang) batu kapur yang diperoleh melalui kegiatan penambangan saja, sementara produk (jasa) lingkungan kawasan baru terbatas pada pengembangan wisata. Jasa lingkungan lainnya seperti sebagai sumber air dan habitat fauna belum dimanfaatkan secara optimal dan belum memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat sekitar. Pertanyaan penelitian yang kemudian muncul adalah bagaimana pemanfaatan kawasan Gua Gudawang secara ekonomi-ekologi dapat optimal dan berkelanjutan. Oleh sebab itu perlu diadakan penentuan nilai ekonomi jasa lingkungan karst Gua Gudawang yang nantinya akan menjadi dasar bagi pengelolaan dan pemanfaatannya. Nilai ekonomi jasa lingkungan Gua Gudawang yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi Gua Gudawang sebagai sumber air, sebagai habitat kelelawar (sebagai pengendali hama dan penghasil pupuk guano) berdasarkan Market Based Approach; dan nilai ekonomi wisata dengan menggunakan pendekatan Individual Travel Cost Method. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang sebesar Rp. 1.222.673.877,00/tahun. Nilai tersebut berasal dari nilai jasa lingkungan gua sebagai sumber air sebesar Rp. 1.060.680.000,00, nilai kelelawar sebagai pengendali hama sebesar Rp. 10.800.00000,, nilai ekonomi guano sebesar Rp. 2.403.744 dan nilai ekonomi wisata sebesar Rp.148.790.133,00 Kata kunci: Gua Gudawang, Jasa lingkungan, Kawasan karst, Nilai ekonomi, Valuasi ekonomi.
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara umum kawasan karst dapat dibagi menjadi dua ekosistem yang berbeda yaitu eksokarst dan endokarst. Eksokarst adalah kawasan yang berada di atas permukaan tanah sedangkan endokarst adalah kawasan karst yang berada di dalam tanah atau yang dikenal dengan sebutan gua. Gua adalah lorong dibawah tanah yag terbentuk dari retakan-reakan sebagai akibat pelarutan batu gamping (Samodra 2001). Gua memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia baik yang dapat dirasakan langsung maupun secara tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang berasal dari keberadaan gua setelah adanya proses pengelolaan, sedangkan manfaat tidak langsung adalah manfaat turunan yang muncul karena adanya gua (Sunarminto T 16 Juli 2014, komunikasi pribadi). Manfaat langsung gua diantaranya sebagai penyerap karbondioksida (Sihombing 2011) dan objek wisata
154
(Purnomo 2009). Manfaat tidak langsung diantaranya sebagai sumber air (Samodra 2001) dan habitat fauna gua (Rahmadi 2004). Salah satu fauna gua yang memiliki peran penting adalah kelelawar yang berfungsi sebagai pengendalai hama, penyebar biji dan menghasilkan kotoran (guano) yang dapat digunakan sebagai pupuk (Suyanto 2001). Pemanfaatan gua sebagai sebuah ekosistem belum dimanfaatkan secara optimal, termasuk pemanfaatan jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang (Mijiarto 2013). Pemanfaatan yang telah dilakukan sampai saat ini terbatas pada pengembangan gua sebagai objek wisata yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, namun pemanfaatan tersebut belum memberikan masukan (sumber PAD) bagi Pemerintah maupun manfaat ekonomi secara nyata bagi masyarakat. Sementara itu, pemanfaatan jasa lingkungan lainnya seperti manfaat gua sebagai sumber air, guano, dan sarang walet telah ditinggalkan oleh masyarakat. Pemanfaatan lain yang mulai dilakukan masyarakat adalah penambangan batu kapur secara tradisional dan
Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang
pemanfaatan lahan untuk tempat tinggal. Penambangan batu kapur harus dilakukan secara tepat pada daerahdaerah yang telah ditetapkan sebagai daerah tambang dikarenakan penambangan batu kapur akan menghilangkan manfaat lain dari kawasan karst (Rahman 2006). Lebih lanjut Prawitosari (2011) menyatakan bahwa penambangan batu kapur dapat menimbulkan dampak negatif, diantaranya: kerusakan habitat, erosi, penurunan kualitas air sungai, penurunan debit air, terjadinya banjir, polusi udara dan suara, perubahan bentang alam, gangguan kesehatan masyarakat, berkurangnya pendapatan masyarakat dari kegiatan budidaya dan timbulnya persepsi negatif pada masyarakat. Kondisi pemanfaatan kawasan karst yang masih terbatas seperti diuraikan di atas perlu mendapat perhatian baik dalam hal pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal tersebut dikarenakan kawasan karst merupakan ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan apabila telah rusak sulit untuk diperbaiki. Pengambilan keputusan yang tepat perlu dilakukan sehingga pemanfaatan kawasan karst Gua Gudawang dapat optimal dan kelestarian kawasan tersebut tetap terjaga. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai data potensi jasa lingkungan dan nilai ekonomi jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang. Data tersebut bermanfaat sebagai dasar pengambilan keputusan pengelolaan dan pemanfaatan Gua Gudawang sehingga dapat optimal dan berkelanjutan. Tujuan Tujuan dilaksanakan penelitian ini untuk menghitung nilai ekonomi jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang.
Eksokarst
Penambangan batu kapur
Gua Gudawang Sumberdaya Wisata
METODE PENELITIAN Kerangka Pikir Penelitian Mijiarto (2013) menyatakan adanya gap antara nilai ekonomi potensial dan aktual jasa lingkungan (sebagai objek wisata, sumber air, penyerap karbondioksida dan habitat satwa) kawasan karst Gua Gudawang. Gap tersebut muncul karena keterbatasan pengetahuan pengelola mengenai potensi jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang. Keterbatasan tersebut berakibat pada ketidakoptimalan pengelolaan yang pada akhirnya tidak adanya manfaat secara ekonomi yang didapatkan oleh masyarakat. Sementara itu, saat ini kawasan karst Gua Gudawang mulai dijadikan sebagai tempat penambangan batu gamping dan tapak pembangunan rumah. Berdasarkan keberlangsungan pemanfaatannya, pemanfaatan kawasan karst Gua Gudawang dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, pemanfaatan Gua Gudawang sebagai bahan galian dan tapak untuk pembangunan yang merupakan pemanfaatan tunggal dan dapat merusak kawasan. Kedua, pemanfaatan gua sebagai objek wisata, sumber air dan habitat satwa merupakan pemanfatan yang dapat berlangsung secara berkelanjutan melalui pengelolaan dan pemanfaatan secara tepat. Peran pengelola menjadi penting untuk menentukan arah pengelolaan kawasan karst Gua Gudawang guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan, dimana kelestarian aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya menjadi sasarannya. Untuk itu perlu adanya penilaian mengenai potensi jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang. Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan bermanfaat sebagai dasar pengambilan keputusan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Karst Gua Gudawang. Alur kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 1.
Endokarst
Sumber Air
Habitat fauna gua
Kelelawar
Pengendali hama
Guano
Nilai ekonomi Gambar 1. Kerangka pikir penelitian.
155
Media Konservasi Vol. 19, No. 3 Desember 2014: 154 – 160
Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan karst Gua Gudawang, Kampung Cipinang, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg. Penelitian dilakukan selama bulan Maret - April 2014. Penentuan waktu penelitian pada bulan Maret dikarenakan pada bulan tersebut merupakan awal musim kemarau sehingga tingkat keamanan bagi peneliti lebih tinggi pada saat penelusuran gua. Alat dan Objek Alat yang digunakan dalam pengambilan data yaitu kuesioner sebagai alat bantu penentuan faktor penentu pemanfaatan dan biaya perjalanan pengunjung; meteran gulung digunakan untuk menentukan panjang, lebar dan kedalaman aliran air dalam gua; bola pingpong sebagai objek yang dihanyutkan untuk penentuan debit air; software Expert Choice 2000 untuk mengolah data faktor penentu pemanfaatan. Objek yang diteliti adalah 10 gua yang berada di kawasan karst Gua Gudawang. Jenis Data Jenis data yang akan diambil dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu data utama terdiri dari tiga variabel (Tabel 1) dan data penunjang penelitian berupa kondisi umum penelitian yang meliputi kondisi masyarakat dan kondisi Gua Gudawang. Teknik Pengumpulan Data 1. Populasi Kelelawar Data populasi kelelawar diperoleh dengan kombinasi antara penghitungan secara langsung dan penghitungan melalui foto. Penghitungan secara langsung dilakukan satu persatu terhadap seluruh kelelawar yang sedang beristirahat dengan jumlah terbatas (<20 individu). Lokasi yang dipilih adalah lorong gua yang dijadikan tempat bersarang oleh
kelelawar. Penghitungan dilakukan pada saat kelelawar beristirahat yaitu antara pukul 10.00 - 15.00 WIB. 2. Debit Air Data debit air dihitung menggunakan Velocity area technique dan volumetric gauging. Cara kerja Velocity area technique adalah dengan menghanyutkan benda ringan pada suatu areal yang telah terlebih dahulu diketahui panjang, lebar dan kedalaman airnya. Kemudian dicatat waktu yang dibutuhkan benda untuk melalui areal tersebut. Sementara, volumetric gauging adalah dengan mencatat waktu yang dibutuhkan oleh debit air memenuhi wadah yang telah diketahui volumenya. 3. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang Nilai ekonomi jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Market based approach untuk nilai ekonomi Gua Gudawang sebagai sumber air dan kelelawar (sebagai sumber pupuk guano dan pengendali hama). Nilai ekonomi wisata selama di lokasi dilakukan dengan menggunakan pendekaan Individual Travel Cost Method (ITCM). Penentuan responden dilakukan dengan metode convenience sampling yang artinya responden yang ditemui yang akan diwawancara. Jumlah pengunjung yang diwawancara berjumlah 30 orang (Altinay dan Paraskevas 2008). 4. Kondisi Umum Kawasan Kawasan Karst Gua Gudawang Data kondisi umum dikumpulkan melalui studi literatur. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data tambahan yang berhubungan dengan kawasan karst Gua Gudawang yang dapat mendukung data-data penelitian. Data tersebut diperoleh dari jurnal, laporan, buku ataupun sumber informasi lainnya.
Tabel 1. Jenis data dan metode yang digunakan No 1
Variabel Potensi jasa lingkungan Gua Gudawang
Elemen Potensi sebagai habitat kelelawar (kelelawar sebagai pengendali hama dan sumber pupuk guano), sumber air dan objek wisata
Sumber Data primer
Metode a. Kombinasi penghitungan langsung di dalam gua dan foto b. Velocity area technique dan volumetric gauging c. Kuesioner d. Studi literatur
2
Nilai ekonomi Gua Gudawang
Nilai ekonomi kelelawar, nilai ekonomi air, nilai ekonomi wisata
Data primer
a. Market based approach b. ITCM
156
Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang
Analisis 1. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang Nilai ekonomi jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang dilakukan terhadap fungsi Gua Gudawang sebagai habitat kelelawar (kelelawar sebagai penghasil guano dan pengendali hama), sumber air dan obJek wisata. Nilai Ekonomi Guano= 0.3 x Pk x Hg Ket: Pk = populasi kelelawar (individu) Hg = harga guano (Rp/kg) 0,3 = nilai rata-rata kotoran kelelawar/individu/hari Nilai Ekonomi Kelelawar sebagai Pengendali Hama = Jp x Hp Ket: Ls = Jumlah pestisida Hp = Harga pestisida (Rp) Nilai Ekonomi Wisata = Rt x Bl Ket: Rt = Rata-rata jumlah pengunjung Bl = Biaya yang dikeluarkan pengunjung di lokasi (Rp) Nilai Ekonomi Air = JK x Ha Ket: JK = jumlah potensial keluarga pengguna air H = Harga (Rp) HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kawasan Karst Gua Gudawang Nama Gudawang berasal dari kata “kuda lawang” yang artinya buntut atau ekor kuda yang dikepang atau “Gugudawang” yang artinya kosong. Kawasan karst Gua Gudawang yang telah dikelola menjadi daerah wisata memiliki luas 2,7 ha. Pengelolaan dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor. Kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.20 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat serta berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.2 Tahun 2006 Tentang Kawasan Lindung. Kawasan karst Gua Gudawang memiliki 24 gua yang tersebar di tanah milik Pemerintah, masyarakat dan perusahaan. Gua-gua tersebut merupakan gua alami dengan karakteristik yang berbeda baik fisik, mikroklimat maupun biotiknya (Mijiarto 2013). Tiga gua telah dikembangkan menjadi objek wisata dan telah dilakukan beberapa perubahan. Beberapa perubahan tersebut yaitu: pembuatan mulut gua menyerupai harimau, penambahan lampu, pembuatan tangga dan jalan setapak.
2. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk pemanfaatan kawasan karst yang berkelanjutan dan bernilai ekonomi. Potensi jasa lingkungan yang dapat dikembangkan di Gua Gudawang, diantaranya potensi kelelawar sebagai pengendali hama, kotoran kelelawar sebagai pupuk, gua sebagai sumber air dan objek wisata. a. Nilai Ekonomi Kelelawar Sebagai Sumber Pupuk Guano Kelelawar menghasilkan kotoran yang disebut guano. Di beberapa daerah guano telah dimanfaatkan sebagai pupuk, baik pada skala masyarakat maupun telah menjadi indusri. Pemanfaatan guano menjadi pupuk tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Pertama pupuk guano mengandung unsur-unsur utama penyusun pupuk yaitu N (4,89%), P (1,65%) dan K (1,89%) (Hayati et .al. 2014). Kedua, selain berfungsi sebagai pupuk, guano juga berfungsi sebagai fungisida dan nematocida (Sikazawe and de Waele 2004). Ketiga, pupuk guano dapat meningkatkan mikrob antagonis dipermukaan tanah sehingga dapat melindungi bagian tanaman (aerial) dan dapat melindungi bagian tanaman di permukaan dari serangan patogen (Tondok 2006). Jumlah kelelawar di Gua Gudawang adalah 5.488 ekor (Tabel 2). Secara umum kelelawar dapat menghasilkan kotoran 0,3 gr perharinya (Tuttle and Moreno 2005). Sehingga total guano yang dihasilkan Gua Gudawang perhari adalah 1646,4 gram dan dalam setahun total guano yang dihasilkan 600,936 kg/tahun. Harga guano yang berlaku di daerah Argapura Rp. 4.000,00/kg, sehingga nilai ekonomi kelelawar sebagai penghasil guano adalah 600,936 x 4000 = Rp 2.403.744,00/tahun. Nilai ekonomi guano tersebut masih dapat ditingkatkan. Nilai guano sebesar Rp. 4.000,00 merupakan harga guano apabila dijual sebagai bahan mentah. Peningkatan nilai guano dapat terjadi apabila guano tersebut telah diolah menjadi pupuk dengan penambahan jenis bahan pembuat pupuk lainnya. Peningkatan nilai ekonomi juga dapat dilakukan dengan pembuatan kemasan yang lebih menarik pada pupuk guano yang siap untuk dipasarkan. Sebagai contoh, harga pupuk guano di daerah Nusakambangan yang telah siap jual adalah Rp 6.500,00. Tabel 2. Jumlah kelelawar setiap gua No Nama Gua 1 Simenteng 2 Simasigit 3 Sipahang 4 Sipatahunan 5 Sibulan 6 Siparat 7 Siaul 1 8 Siaul 2 9 Sigaraan 10 Sinampol Gudawang
Jumlah Kelelawar 2.100 65 302 0 7 382 456 8 1.820 348 5.488
157
Media Konservasi Vol. 19, No. 3 Desember 2014: 154 – 160
Nilai ekonomi tersebut belum dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi sebuah industri maupun untuk digunakan secara pribadi. Masyarakat lebih memilih menggunakan pupuk yang berasal dari hewan ternak yang dipelihara atau pupuk buatan. Faktor yang menyebabkan masyarakat memilih pupuk kandang atau pupuk buatan yaitu cara mendapatkan pupuk guano yang lebih sulit dan tidak tersedianya pupuk guano pada musim penghujan.
ekonomi kelelawar sebagai pengendali hama di Gua Gudawang lebih besar apabila dibandingkan dengan pemanfaatan langsung kelelawar seperti yang terjadi di kawasan karst Cibodas. Selain itu, nilai ekonomi kelelawar sebagai pengendali hama memiliki kelebihan apabila dibandingkan dengan pemanfaatan kelelawar secara langsung. Kelebihan tersebut adalah nilai ekonomi sebagai pengendali hama merupakan pemanfaatan secara berkelanjutan.
b. Nilai ekonomi sebagai Pengendali Hama Kelelawar yang terdapat di kawasan karst Gua Gudawang termasuk kedalam famili microcyroptera (pemakan serangga). Serangga yang menjadi pakan dari kelelawar ini umumnya adalah serangga yang menjadi hama bagi pertanian. Jumlah kelelawar yang ditemukan dari gua-gua yang diidentifikasi berjumlah 5.488 individu (Tabel 3). Gua Simenteng memiliki jumlah kelelawar terbanyak dengan total 2.100 individu sedangkan Gua Sipatahunan tidak dihuni oleh kelelawar. Perbedaan jumlah kelelawar tersebut dikarenakan kondisi fisik antar kedua gua yang berbeda (Mijiarto 2013). Hal ini sesuai dengan pernyataan Wijayanti (2011) yang menyatakan bahwa panjang, lebar dan tinggi gua akan mempengaruhi jumlah kelelawar. Kelelawar mampu memakan serangga rata-rata sebanyak 1.045 individu serangga dalam semalam (Prakarsa 2013). Dengan total 5.488 individu kelelawar, maka total serangga yang dimakan oleh kelelawar yang berada di Gua Gudawang adalah 5.734.960 individu serangga dalam semalam. Manfaat kelelawar sebagai pengendali hama merupakan manfaat secara tidak langsung, sehingga manfaat ekonomi tersebut tidak dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal tersebut membuat masyarakat di daerah lain memanfaatkan kelelawar secara langsung dengan menangkapnya. Penangkapan kelelawar tersebut bertujuan untuk konsumsi secara langsung maupun untuk dijual sebagai makanan. Hal ini dikarenakan kelelawar merupakan makanan yang memiliki protein yang cukup tinggi dan dapat mengobati penyakit khususnya pernapasan (Wheindrata 2012). Salah satu masyarakat yang memanfaatkan kelelawar secara langsung adalah masyarakat yang tinggal di kawasan karst Cibodas, Ciampea. Nilai ekonomi dari pemanfaatan langsung tersebut sebesar Rp. 1.260.000,00 (Ayatusurur 2011). Petani menggunakan pestisida kimia sebanyak 720 botol selama setahun. Harga pestisida di Desa Argapura adalah Rp 15.000,00 maka biaya yang dikeluarkan petani untuk mengendalikan hama adalah Rp. 10.800.000,00/tahun. Fungsi kelelawar sebagai pengendali hama mampu menghemat penggunaan pestisida sebanyak 50% (Hakim 2011). Artinya,apabila tidak ada kelelawar, biaya yang dikeluarkan petani untuk mengendalikan hama meningkat menjadi 2x lipat (menjadi Rp 21.600.00,00). Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan kelelawar sebagai pengendali hama memiliki nilai ekonomi Rp. 10.800.000,00. Nilai
c. Nilai ekonomi gua sebagai sumber air Pada kawasan karst, air permukaan lebih sulit ditemui karena yang lebih berkembang adalah air bawah permukaan. Hal tersebut terjadi karena sifat batuan karst yang memiliki porositas sekunder yang lebih besar. Sifat batuan karst tersebut membuat air pada kawasan karst di imbuh melalui dua aliran yaitu aliran diffuse dan conduit (Haryono dan Adji 2001). Adanya kedua aliran tersebut membuat air pada kawasan karst dapat dimanfaatkan pada musim penghujan maupun kemarau, sehingga tidak mengherankan apabila kawasan karst dapat meghidupi sekitar 25% masyarakat dunia. Pengukuran debit air bawah tanah dilakukan hanya pada 4 dari 10 gua yang dijadikan sebagai objek penelitian. Hal ini dikarenakan 2 gua yaitu Gua Sibulan dan Simenteng tidak memiliki aliran air bawah tanah sedangkan 4 gua lain yaitu Gua Sipatahunan, Siaul 2, Sigaraan dan Gua Sinampol memiliki aliran air bawah tanah namun tidak dilakukan penghitungan karena debitnya sangat kecil dan ada yang hanya berupa genangan air. Hasil pengukurang debit air pada masingmasing gua berbeda-beda dimana debit terbesar dimiliki oleh Gua Sipahang (Tabel 3).
158
Tabel 3. Debit air pada setiap gua No Nama Gua 1 Simenteng 2 Sipahang 3 Siparat 4 Siaul 1 Gudawang
Liter/detik 0,033 12,8 3,27 8,45
Liter/hari 2.851,20 1.105.920 282.528 730.080 2.121.379,2
Kebutuhan air masyarakat pedesaan adalah 60 liter/hari/kapita (BSN 2002). Total air di Gua Gudawang adalah 2.121.379,2 liter/hari, maka air tersebut berpotensi memenuhi kebutuhan 35.256 individu atau 8.839 keluarga. Saat ini, kebutuhan air masyarakat dipenuhi dari air pegunungan dengan membayar Rp. 10.000/kk/bulan. Apabila seluruh masyarakat memanfaatkan air yang berasal dari Gua Gudawang dan membayar Rp 10.000/kk/bulan, maka nilai ekonomi Gua Gudawang sebagai sumber air dalam satu bulan adalah Rp. 88.390.000,00 dan dalam setahun sebesar Rp. 1.060.680,00. Nilai potensial tersebut belum menjadi nilai ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini
Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang
dikarenakan masyarakat sudah tidak lagi memanfaatkan air dari dalam gua. d. Nilai ekonomi sebagai objek Wisata Gua Gudawang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata. Pertama, Gua Gudawang memiliki 24 gua yang seluruhnya merupakan gua alami dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Mijiarto 2013). Kondisi tersebut akan membuat setiap gua memberikan nilai petualangan yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purnomo (2009) yang menyatakan bahwa daya tarik wisata gua adalah adanya perbedaan pada setiap gua. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk, jenis, dan persebaran gua itu sendiri. Kedua, setiap gua memiliki ornamen gua yang unik seperti stalaktit, stalagmit, gourdam, atau pilar yang menambah indah kondisi dalam gua. Ketiga, Gua Gudawang memiliki nilai mistis yang dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk pengembangan wisata rohani atau spiritual. Hal ini dikarenakan bagi beberapa orang, gua dianggap memiliki sesuatu yang memiliki nilai spiritual. Ketiga potensi diatas dapat dikembangkan sehingga dapat menjadi daya tarik wisata Gua Gudawang yang ditawarkan kepada pengunjug. Ketiga potensi tersebut belum dikelola secara optimal. Hal ini dikarenakan masih rendahnya jumlah wisatawan Gua Gudawang apabila dibandingkan dengan pengunjung di wisata Gua di daerah lain ataupun objek wisata lain yang berada di daerah Kabupaten Bogor. Rata-rata jumlah kunjungan selama tiga tahun terakhir hanya 5.782 orang. Jumlah pengunjung tersebut, sebagian besar tercapai ketika hari libur besar seperti Idul Fitri dan Tahun Baru sedangkan pada hari-hari biasa pengunjung yang datang tidak terlalu banyak. Nilai ekonomi Gua Gudawang sebagai objek wisata berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan ITCM adalah Rp. 148.790.133,00/tahun. Nilai ekonomi tersebut dapat dikatakan masih bernilai rendah, hal ini dikarenakan rendahnya biaya wisata yang dikeluarkan oleh pengunjung di lokasi yang hanya sebatas untuk konsumsi, tiket dan parkir. Rendahnya biaya konsumsi pengunjung di Gua Gudawang dipengaruhi oleh rendahnya waktu yang dihabiskan pengunjung di lokasi yang hanya tiga jam akibat tidak adanya atraksi selain penelusuran gua. Purnomo (2009) menyatakan bahwa tidak adanya atraksi menyebabkan lama tinggal dan belanja pengunjung ditempat wisata menjadi rendah. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Ismanto (2009) yang menyatakan bahwa wisatawan hanya singgah beberapa jam tanpa mendapatkan atraksi lain selain keindahan alam. KESIMPULAN Nilai ekonomi total jasa lingkungan kawasan karst Gua Gudawang adalah Rp. 1.222.673.877,00/tahun. Nilai ekonomi tersebut berasal dari nilai ekonomi gua sebagai
sumber air sebesar Rp. 1.060.680.000,00, nilai kelelawar sebagai pengendali hama sebesar Rp. 10.800.000,00 nilai ekonomi guano sebesar Rp. 2.403.744,00 dan nilai ekonomi wisata sebesar Rp. 148.790.133,00. Nilai ekonomi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, hal ini dikarenakan nilai riil Gua Gudawang saat ini hanya berasal dari wisata sebesar Rp. 25.000.000,00. DAFTAR PUSTAKA Altinay L dan Paraskevas A. 2008. Planning research in hospitality and tourism. Oxpord: Elsevier Ltd. Ayatussurur M. 2011. Nilai Guna Langsung Ekosistem Karst Gunung Cibodas Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standar Indonesia. 2002. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-6728.1-2002 tentang Penyusunan Neraca Sumberdaya Air. Hakim L. 2011. Opening Remarks The Indonesian Institute of Scienceon The Second International South-East Asian Bat Conference.Bogor 6-9 Juni 2011. Haryono E, Adji TN. 2001. Geomorfologi dan hidrologi karst. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hayati EDN, Yuliani, Fithridayati. 2014. Penggunaan kompos kotoran kelelawar (guano) untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman kacang tanah (Arachis hypogea). LenteraBio III (1) Hal. 7-11 Ismanto W. 2009. Model pengembangan kawasan ekowisata karst berkelanjutan Wediombo Kabupaten Gunung Kidul daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Mijiarto J. 2013. Potensi dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Prakasa TBP. 2013. Diversitas, karakteristik habitat roosting, dan analisis mangsa alami kelelawar subordo Microchiroptera Penghuni Gua Di Kawasan Karst Tuban dan Karst Menoreh. [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Prawitosari T. 2011. Dampak penambangan kawasan karst Maros terhadap lingkungan. Workshop Lembaga Karst Indonesia; 2011 Oktober 19; Bogor, Indonesia. Purnomo. 2009. Strategi Pemasaran Produk Wisata Minat Khusus Goa Cerme, Imogiri, Bantul. Karisma. Volume III: 99-112. 2. Rahmadi C. 2004. Koleksi dan pengenalan biota gua: arthropoda gua. Seminar sehari: biospeleologi dan peranannya dalam konservasi karst; 2004 September 25 ; Yogyakarta, Indonesia.
159
Media Konservasi Vol. 19, No. 3 Desember 2014: 154 – 160
Rahman F. 2006. Ancaman Hilangnya Nilai Strategis dan Poin-Poin Ketertarikan (Interest Poin) Kawasan Karst Gunung Kapur Ciampea, Bogor. Seminar nasional i biospeleologi dan ekosistem karst; 2006 Desember 5-6; Yogyakarta, Indonesia. Samodra H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst Di Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Sihombing BH. 2011. Dampak kerusakan ekosistem karst terhadap perubahan iklim Kalimantan Timur [tesis]. Samarinda: Universitas Mulawarman. Sikizawe O and de Waele B. 2004. Assesment of the quality and resrves of bat guano at Chipongwe and Kapongo caves near Lusaka as fertilizer material. Journal of Science and Technology (special edition) hal. 32-24.
160
Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI Tondok ET. 2006. Pemanfaatan Agen Biokontrol dan Filtrat Guano Untuk Menekan Penyakit Busuk Phomopsis pada Terong. Laporan Kegiatan LPPM, Institut Pertanian Bogor Tuttle M and Moreno A. 2005. Cave-dwelling bats of Northern Mexico “ Their value and conservations need”. Mexico: Bat Conservation International. Wheindrata. 2012. Rahasia Satwa Berkhasiat Obat Untuk Penyakit Ringan Hingga Berat. Yogyakarta: Raphe publishing Wijayanti F. 2011. Ekologi, relung ekologi, dan strategi adaptasi kelelawar penghuni gua di Kawasan Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.