Nasionalisme Budaya Bangsa Indonesia
Disusun oleh: Andila Fury Hastiningsih 11.11.5049 Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Matakuliah Pendidikan Pancasila
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
ABSTRAK
Globalisasi sekarang ini sudah sangat mempengaruhi masyarakat Indonesia, yang mulai terlihat dengan meniru kebudayaan asing untuk dapat dijadikan trend dalam lingkungan pergaulan. Ini dapat telihat jelas pada generasi muda sekarang, yang sebagian orang menganggap kebudayaan dalam negeri sudah tertinggal dengan negara maju. Semakin terbukanya arus informasi dan jalur perdagangan yang bebas, semakin cepat pula kebudayaan asing berkembang di Negara Indonesia. Lambang bukan hanya sekedar simbol tanpa arti. Semua symbol memiliki arti tersendiri yang dicetuskan oleh para pemikir-pemikir Negara. Semua itu bukan untuk sekedar hiasan semata. Masyarakat selama ini hanya mengetahui dengan melihat langsung bentuk lambang dan hanya mengetahui arti saja tanpa dapat mengimplementasikan pada
kehidupan
yang nyata.
Makna
disini
yang
dimaksudkan yaitu mampu menerapkannya dalam lingkungan sosial dan bernegara. Karna makna-makna yang begitu penting jangan hanya sekedar mengetahui, karena dengan menerapkannya maka dapat mencapai tujuan bersama.
BAB I
A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil akal budi manusia dalam interaksinya, baik dengan alam maupun manusia lainnya. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Manusia adalah pencipta kebudayaan. Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda-bedamenghasilkan keanekaragaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup manusia (masyarakat, suku atau bangsa) memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk cirri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian, kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia. Dalam rangka pemenuhan hidupnya, manusia akan berinteraksi dengan manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi hubungan antarpersekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan. Isu tentang keterbukaan budaya telah menjadi pembicaraan utama diberbagai negara. Isu ini diperkirakan akan menciptakan blok-blok kebudayaan, klaster perdagangan, globalisasi modal, kebebasan pasar yang juga memajukan budaya, pembauran budaya, maupun perlawanan budaya, baik dalam setiap negara
kawasan regional, maupun di dunia internasional. Kondisi tersebut diduga diakibatkan oleh terciptanya situasi globalisasi, yang diakibatkan oleh kebebasan arus informasi dari satu negara ke negara lain. Semua hal itu berawal sejak Revolusi Transportasi, Revolusi Industri (abad ke-18) dan memuncak dalam Revolusi Komunikasi diparuh kedua abad ke-20 (Toffler, 1980:23-28). Keadaan tersebut menyebabkan negara-negara berkembang mengalami pergeseran posisi yang sudah terbebas dari masa kolonialisasi yang panjang, kini terjebak kembali menjadi bagian dari system kolonialisasi baru yang dicangkan oleh negara-negara adidaya. Teknologi informasi yang semakin canggih dan terbuka di akhir abad ke-20 dan merupakan suatu model dunia baru yang berkembang di berbagai negara. Budaya yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya teknologi dan tata ekonomi dunia baru itu yang berdampak demikian meluas, diantaranya ideologi liberal yang amat mengandalkan kecepatan pembangunan, pelipatan modal yang besar, permainan mata uang, ekonomi digital, jaringan kerja yang luas, peningkatan spionase ekonomi, dan penguasaan informasi. Keadaan tersebut mau tidak mau juga masuk ke wilayah geografis Indonesia pada dekade akhir abad ke-20 diakibatkan oleh masuknya permainan mata uang diwilayah Asia Tenggara. Kelemahan pembangunan yang selama ini dijalankan menyebabkan lambatnya berbagai program pemulihan ekonomi di Indonesia. Demikian pula kinerja industry nasional dan lembaga-lembaga usaha di tanah airpun mengalami guncangan yang hebat karena kalah cepat untuk bersaing dengan naegara lain. Dari sisi budaya, kebudayaan nasional hampir-hampir tidak memiliki daya tahan yang kuat menghadapi fenomena kebudayaan-kebudayaan itu, bahkan beberapa kebudayaan daerah telah mengalami kemerosotan, lantaran dijauhi oleh generasi muda dan lemahnya pewarisan. Di samping point-point di
atas, para pelaku ekonomi pasar di tanah air juga tidak memiliki jaringan spionase yang dapat secara dini mendeteksi arah perubahan pasar modal dan strategi pembangunan ekonomi negara-negara maju, sehingga Indonesia seperti negara yang buta-tuli menghadapi setiap langkah-langkah yang dilakukan oleh negaranegara maju. Tawaran kebudayaan dan produk negara lain yang menggiurkan itu menyebabkan generasi muda dengan mudah menerima dan mengadopsinya. Pelaksanaan pahan neoliberalis yang tidak lagi profesional dengan budaya bangsa yang masih berada dalam fase transisi tersebut tentu saja menghadapi kendala yang lebih kompleks dibanding dengan negara sumbernya, yang telah mengalami masa pengeraman dan seleksi yang panjang dari masyarakatnya. Sejalan dengan meluasnya penyerapan paham neolibaralisme tersebut, diadopsilah budaya dan pikiran-pikiran postmodern yang menjadi wacana di negara-negara maju sejak tahun 1970-an sebagai bagian kajian-kajian intelektual yang meluas. Paham-paham budaya postmodern kini secara amat fasih dikemukakan oleh para budayawan tanah air dalam berbagai seminar. Kondisi tersebut dirasakan paling genting adalah liwacana di negara-negara maju sejak tahun 1970-an sebagai bagian kajian-kajian intelektual yang meluas. Paham-paham budaya postmodern kini secara amat fasih dikemukakan oleh para budayawan tanah air dalam berbagai seminar. Kondisi tersebut dirasakan paling genting adalah lunturnya jiwa Nasionalisme yang sebenarnya merupakan dasar mentalitas dari rasa kepemilikan bangsa Indonesia akan negaranya dan tumbuhnya rasa percaya diri. Selanjutnya dengan dicanangkannya program otonomi daerah di awal abad ke-21, kondisikondisi daerah bukannya semakin membaik, tetapi justru tercipta jiwa kedaerahan yang sempit yang diikuti oleh fanatisme kesukuan serta tumbuhnya masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan golongan.
Memudarnya jiwa Nasionalisme semakin dirasakan. Hal ini dicirikan dengan semakin lunturnya penhargaan terhadap karya bangsa Indonesia sendiri. Sejak penggunaan produk dalam negeri dicanangkan semasa pemerintahan Orde Baru, pelaksanaannya di masyarakat kerap justru ambivalen dengan kebijkan pemerintah sendiri, yang membuka impor untuk berbagai komoditas strategis dengan alasan harga yang lebih murah atau kualitas yang lebih unggul. Kondisi tersebut semakin memburuk sejak industri nasional mengalami kemunduran akibat kalah bersaing dengan produk sejenis buatan negara lain. Padahal, dengan jaringan informasi yang semakin luas, semakin banyak pula tawaran-tawaran produk asing dan gaya hidup masyarakat barat yang memasuki wilayah tanah air tanpa halangan. Apalagi dengan adanya kesepakatan APEC dan perdagangan bebas yang semakin mempercepat rapuhnya pilar-pilar kebudayaan nasional yang telah mengalami pelapukan sebelumnya. Nilai-nilai yang telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia selama
bertahun-tahun
mengalami
kegoncangan.
Kegoncangan
tersebut
diakibatkan oleh masuknya kebudayaan asing yang kemudian mendominasi kebudayaan lokal. Dalam hubungan kekerabatan yang dianggap sebagai sistem nilai paling mendasar saja terjadi reorientasi baru bentuk masyarakat ke arah individual dan mementingkan kehidupan material. Hal itu tercermin dalam masyarakat perkotaan di Indonesia, yang mulai menjadi amat individual dengan mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya. Selain itu, juga telah menggejala diberbagai kalangan, bahwa mengejar kekayaan dan meteri menjadi tujuan yang penting dalam kehidupan sosial. Dalam hubungan kemasyarakatan dan pranata sosial, bangsa Indonesia juga mengalami suatu fase pergeseran yang penting, dimana telihat jelas bahwa upaya pemaksaan iklim demoratis dan kritik-kritik yang menghujat pemegang kekuasaan
terbuka. Tiada lagi hormat pada atasan, kepada pemimpin bangsa, atau bahkan kepada orang tua sendiri. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah dan mura senyum, kini telah berubah menjadi bangsa yang suka kekerasan dan mudah tersinggung. Ini tentu tidak tejadi pada satu sektor kehidupan sosial saja, tapi merambah ke tatanan-tatanan yang lebih luas termasuk sistem nasional, bahasa nasional, hingga perilaku kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang mengalami pergeseran ini memicu persoalan lainnya yang lebih kompleks, antara lain tumbuhnya rasa kurang percaya diri dan kehilangan jatidiri yang sesungguhnya mulai dibangun pada saat bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan. Penggunaan bahasa asing yang berlebihan hampir disemua papan nama pertokoan, demikian pula dalam berbagai tayangan media dan percakapan sehari-hari, menunjukkan adanya reorientasi baru dalam penghargaan kepada jatidiri yang selama ini diyakini
sebagai fondasi negara telah mengalami
pelunturan makna akibat trauma politik yang berkembang sebelum masa reformasi tahun 1998. Dalam lingkup budaya yang lebih luas, telah tampak tanda-tanda terkoyaknya simbol-simbol yang membentuk jatidiri bangsa Indonesia. Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya program pewarisan nilai, sehingga terdapat proses pengeroposan nilai-nilai dikalangan generasi muda. Hal ini diperparah lagi oleh para kaum cerdik pandai dari para pelaku media yang konon selalu mengagung-agungkan kebudayaan asing secara berlebihan. Selain itu, dalam beberapa kegiatan intelektual, seperti penulisan, penelitian dan bahkan belajar mengajar, buah karya pemikir-pemikir baratlah yang menjadi rujukan utama. Tampak bahwa masyarakat akademis meninggalkan sejarah intelektual bangsanya sendiri, yang sebenarnya padat dan bermutu.
Hal itu mempengaruhi pandangan dan penghargaan masyarakat tehadap karya-karya budaya visual bangsa sendiri, yang kurang mendapat tempat secara proporsional, terutama sejak dibukanya produk impor dan gencarnya iklan gaya hidup masyarakat negara maju. Lambat laun, artifak dan karya pemikir bangsa Indonesia menjadi semakin asing di negerinya sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah globalisasi dapat mempengaruhi kebudayaan sehingga memudarkan nasionalisme bangsa Indonesia? 2. Apakah budaya dapat dijadikan sebagai dasar jatidiri bangsa Indonesia? 3. Apakah warga negara Indonesia perlu mengetahui makna lambang negara Indonesia?
BAB II
A. Pendekatan
1. Pendekatan Historis Secara historis tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak arsitek, pelukis, pematung, pendidik seni rupa dan perupa lain yang terlibat langsung membangun tradisi akademik dalam kehidupan di Indonesia. Selama pemerintahan orde baru kepala negara, Soeharto biasa memberi pengarahan ide-ide dasar desain yang nantinya diimplementasikan dalam bentuk garis besar rancangan.
Soeharto
sebagai orang Jawa kerap mengusulkan desain dan nama-nama yang bernuansa kejawaan untuk karya-karya yang bersifat monumental. Dalam merancang kerajinan dan buku-buku bertema budaya Indonesia, peranan istri presiden atau istri menteri dan pejabat yang merangkap dewan penasehat atau ketua Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional) dalam memberi pengarahan-pengarahan ataupun kata pengantar buku itu cukup besar. Segala kegiatan desain yang berlangsung sejalan dengan program modernisasi tersebut, sejak masa kolonial masa pemerintahan Soekarno, sampai dimasa pemerintahan Soeharto hingga akhir abad 20, dapat ditempatkan sebagai bagian dari proses peningkatan peradaban budaya benda dan memiliki makna dalam proses transformasi budaya bansa Indonesia secara keseluruhan. Ada tiga objek esensial untuk membaca perkembangan desain di Indonesia. Ketiga objek tersebut adalah desain lambang Garuda Pancasila, desain pesawat N250 buatan IPTN (PT.DI) dan desain busana batik. Ketiga objek, di samping memiliki keunikan historis, juga merupakan wujud sebuah proses transformasi
yang panjang dan memiliki peran penting dalam membangun budaya visual di tanah air. Desain lambang Garuda Pancasila memiliki peranan yang tinggi dalam proses penyadaran masyarakat, baik sebagai lambang negara, maupun tatanan budaya simbolistis sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia menguasai wilayah Nusantara. Desain lambang garuda pancasila dimasa kemerdekaan, selain merupakan ikon ideologis yang disepakati secara politis, juga berfungsi sebagai penyadar agar pentingnya identitas nasional bangsa Indonesia di tengah bangsabangsa di dunia. Dipihak lain, desain pesawat N-250 yang dilbuat oleh putra-putri bangsa Indonesia, dianggap sebagai puncak prestasi bangsa Indonesia di abad ke-20, serta merupakan objek yang memiliki peran dalam peningkatan proses pembelajaran masyarakat terhadap nilai-nilai inovatif, baik sebagai suatu ketrampilan yang berkesinambungan sejak mas pemerintahan kolonial maupun pendorog tumbuhnya rasa percaya diri bangsa akan kemampuan mengembangkan teknologi tinggi setelah kemerdekaan. Terakhir busana batik merupakan objek desain yang memiliki peran yang mendukung proses pembudayaan luas, baik dalam mendukung pembentukan jati diri masyarakat melalui busana maupun sebagai revitalisasi nilai tradisi khas bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, terjadi upaya-upaya pemberdayaan dengan gaya visual modern, meskipun nilai-nilai estetik dan proses pembuatannya tetap mempertahankan ketradisionalnya. Kita dapat membaca peran dan makna batik yang lebih luas daripada sekedar komoditi sehari-hari. Lambang negara Pancasila yang dirancang oleh para pemimpin nasional tersebut merupakan pilihan nilai yang dilakukan secara kolektif dan diyakini dapat mendukung terselenggaranya sebuah negara secar mantap. Burung garuada merupakan burung mitologis kebudayaan Hindu-Jawa yang distilasi secara
simbolik menyatakan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada dada burung diletakkan temeng yang menggambarkan setiap unsur dalam Pancasila, yaitu bintang bersudut lima (Ketuhanan Yang Maha Esa), rantai dengan mata buulat dan persegi (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), pohin beringin (Persatuan Indonesia), kepala
Banteng (Kerakyuatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan), dan padi dan kapas (Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia). Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, yang bermaksud mengubah falsafah negara Pancasila dengan ideologi komunisme, dinilai masyarakat sebagai bentuk ujian atas keperkasaan pancasila. Semasa pemerintahan Soeharto, kedudukan pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia semakin menguat, terutama dengan penyelenggaraan P-4 dan diterimanya pancasila sebagai azaz tunggal oleh 3 partai politik di Indonesia. Dalam program pemasyarakatan pancasila, peranan lambang geruda adalah bagian penting untuk mendukung proses pendalaman. Upaya formal pemberdayaan desain lambang negara dilakukan melalui surat keputusan pemerintah dan kemudian diterapkan pada berbagai dokumen kenegaraan. Proses itu secara bertahap telah mendukung penyadaran akan pentingnya pemasyarakatan pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Karakter nilai-nilai estetik modern yang menyertai lambang tersebut secara keseluruhan telah membangun citra keperkasaan burung garuda yang telah dimitoskan selama berabad-abad. Melalui lambang garuda, pewarisan nilai antargenerasi maupun pewarisan kepada masyarakat luas tampak semakin formal. Seperti terlihat pada atribut kenegaraan maupun surat keputusan presiden, lambang garuda selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keabsahan dari sebuah keputusan. Untuk gedunggedung pemerintahan, lambang garuda pancasila dibuat lebih besar, bahkan
beberapa diantaranya ada yang berbentuk tiga dimensi, seperti yang terlihat di dalam gedung MPR/DPR Senayan-Jakarta. Melalui nilai, melalui perlambangan Garuda Pancasila merupakan bentuk penyadaran yang dilakukan melalui kekuasaan. Nilai-nilai estetik yang menjadi bagian dari lambang negara tersebut seringkali disesuaikan dengan lokasi atau media peletakan lambang. Meskipun demikian desain lambang burung garuda tersebut tidak mengalami perubahan selain format dan ukurannya. Namun penerapan yang bersifat tiga dimensi, unsur warna yang telah menjadi Peraturan Pemerintah kerap tidak ditaati secara konsisten. Hal ini dapat kita lihat pada kop surat kenegaraan dan lambang burung garuda yang tergantung di dinding gedung MPR-DPR. Bentuk pewarisan lambang negara tersebut juga didukung oleh beragam penafsiran untuk meletakkan lambang itu dalam berbagai aktivitas, baik aktivitas kenegaraan maupun aktivitas kehidupan sehari-hari. Seperti terlihat pada kebiasaan meletakkan lambang negara bersama pidato kepala negara, peletakkan lambang negara pada janji prestasi atau mengambil beberapa unsur lambang menjadi simbol organisasi dan simbol partai politik. Dalam rangkaian pewarisan nilai, selain menjadi tanda berdaulatnya kekuasaan pemerintah Republik Indonesia, lambang garuda pancasila juga menjadi simbol budaya masyarakat. Garuda ditempatkan pada sejumlah peringatan mengenang Hari Lahirnya Pancasila, Hari Kesaktian Pancasila dan menjadi mata ajar wajib di lingkungan pendidikan. Proses penyadaran yang tumbuh dalam masyarakat, tidak selamanya dipaksakan, namun dapat pula terjadi secara alamiah akibat munculnya kebutuhan akan simbol-simbol sosial yang teraga. Lambang garuda pancasila adalah fakta adanya kebutuhan tersebut dan hal itu merupakan salah satu bentuk
kebudayaan desainn selama beberapa periode kekuasaan yang berlangsung di Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam upaya menemukan jatidiri dalam karya desain di Indonesia, tidak tertutup kemungkinan terbentuknya proses pembibitan nilai-nilai estetik baru yang diakibatkan oleh komunikasi antarbudaya terutama kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Dalam menafsirkan pancasila sebagai falsafah bangsa, apresiasi masyarakat pun mengalami berbagai pengembangan, seperti terlihat pada tugu pancasila yang terletak di kawasan Taman Mini Indonesia Indah dimana tidak lagi terdapat karakter visual yang berasal dari lambang garuda pancasila. Berdasarkan uraian di atas, desain lambang garuda pancasila merupakan fakta kebudayaan nila-nilai estetik modern dalam membangun pernyataan masyarakat, baik terhadap segala sesuatu yang bersifat historis maupun yang berkaitan dengan pewarisan dengan nilai-nilai antagenerasi. Makna dapat ditafsirkan secara beragam oleh masyarakat, baik sebagai simbol yang mendukung falsafah bernegara, citra partai politik, tanda monumental, maupun sebagai sumber desain baru yang menekankan pada idiom untuk membangun jati diri bangsa. Peran yang lebih luas diperoleh dalam pergaulan antarbangsa, baik sebagai simbol utama bangunan kedutaan Indonesia di berbagai negara, sebagai elemen estetik gedung-gedung pemerintahan dan gedung wakil rakyat, hingga dokumen-dokumen kenegaraan. Kewajiban menyertakan lambang garuda pancasila dalam mata uang dan sejumlah surat berharga meningkatkan makna desain lambang negara sebagai bagian dari sistem kekuasaan.
2. Pendekatan Yuridis Dalam proses pemantapan negara merdeka, sejak Soekarno mengemukakan unsure-unsur sila dalam Pancasila yang diusulkan menjadi pilar ideologis negara dalam siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian diakui sebagai hari kelahiran Pancasila, hingga terbitnya naskah UUD 1945 yang dirumuskan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak dijumpai pasal-pasal yang mengatur tentang lambang negara. Baru pada tanggal 27 Desember 1949, ketika pemerintah Belanda memaksakan Indonesia untuk menerima KRIS (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketentuan tentang lambang negara dicantumkan pada bagian III KRIS 1949, yaitu pada pasal 3 ayat 3 tentang lambang negara. Sejak itu, baru pada bulan Januari 1950, pemerintah membentuk suatu panitia lencana negara lencana Negara yang diserahi secara khusus untuk merancang lambang negara. Panitia lencana Negara ini diketuai oleh Muhammad Yamin. Dari sejumlah alternatif dipilihlah lambang stilasi burung garuda dengan sayap yang membentang yang berkalungan perisai berisi symbol sila-sila dalam pancasila. Kakinya mencengkeram pita bersemboyan Bhineka Tunggal Ika. Setelah mengalami proses penyempurnaan, lambang burung garuda tersebut secara resmi dijadikan lambang Negara dan ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Ketika RIS dibatalkan menjadi bentuk Negara, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 itu diberlakukan UUDS. Dasar hukum lambang negara di atur dalam UUDS tahun 1950 pasal 3 ayat 3 yang berbunyi : (3) “meterai dan lambang negara ditetapkan oleh pemerintah”. Namun setelah dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 dan Indonesia kembali pada UUD 1945, tidak ada pasal yang mencantumkan penggunaan lambang negara, sehingga peraturan yang melandasi penggunaan lambang Garuda Pancasila yang lebih mantap akhirnya tertera pada pasal 36a pada UUD 1945 pada tahun 1999.
Namun demikian menurut Mohamad Hatta, garuda sebagai lambang negara sudah terpampang pada sidang perdana DPR-RIS sejak tanggal 20 Februari 1950, atau satu tahun sebelum penggunaannya secara resmi. Dalam PP No.66 tahun 1951, simbol Garuda Pancasila terdiri atas seekor burung Garuda yang terdiri tegak dengan mulut sedikit terbuka, mengembangkan kedua sayapnya dengan kepala menengok lurus ke sebelah kanan, pada dada burung Garuda terdapat perisai berbentuk jantung yang terbagi atas lima ruang, satu ditengah dan empat ditepi, sebuah pita putih yang sedikit melengkung ke atas, bertuliskan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dicengkeram oleh kaki Garuda. Arti burung Garuda yang digantungi perisai adalah tenaga pembangunan, warna kuning emas menunjukkan kebesaran bangsa dan keluhuran negara, bulu-bulu yang ada pada tubuh Garuda menggambarkan sendra sengkala hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (bulu sayap berjumlah 17 helai melambangkan tanggal 17, bulu ekor berjumlah 8 melambangkan bulan Agustus, bulu di bawah perisai berjumlah 19 melambangkan 2 angkaawal tahun masehi, bulu kecil di bawah leher berjumlah 45 melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia.
B. Pembahasan Globalisasi sekarang ini sudah sangat mempengaruhi masyarakat Indonesia, yang mulai terlihat dengan meniru kebudayaan asing untuk dapat dijadikan trend dalam lingkungan pergaulan. Ini dapat telihat jelas pada generasi muda sekarang, yang sebagian orang menganggap kebudayaan dalam negeri sudah tertinggal dengan negara maju. Semakin terbukanya arus informasi dan jalur perdagangan
yang bebas, semakin cepat pula kebudayaan asing berkembang di Negara Indonesia. Apabila warga Negara Indonesia tidak mampu menyikapi persoalaan globalisasi tersebut dapat mengakibatkan lunturnya jiwa nasionalisme. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi tentang kebudayaan-kebudayaan yang bangsa Indonesia miliki, sehingga masyarakat mengetahui betapa pentingnya cinta budaya sendiri dan patut di lestarikan. Jadi dengan demikian dapat dikatakan dengan keanekaragaman budaya kita semua harus mempunyai rasa satu untuk memajukan bangsa Indonesia agar tidak mudah terpengaruh kebudayaan bangsa lain. Walaupun bangsa Indonesia mempunyai rasa cinta bangsa dan tanah air yang kuat, bukan berarti menekankan keegoisan atau meninggikan bangsa sendiri, dengan meremehkan bangsa lain. Jika demikian, maka bertentangan dengan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Indonesia memiliki suatu budaya yang khas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan lingkungan. Kebudayaan bangsa Indonesia yang tentunya hanya dimiliki bangsa Indonesia menjadikan semua itu jatidiri bangsa Indonesia agar dapat dikenal dalam lingkup internasional. Lambang bukan hanya sekedar simbol tanpa arti. Semua symbol memiliki arti tersendiri yang dicetuskan oleh para pemikir-pemikir Negara. Semua itu bukan untuk sekedar hiasan semata. Masyarakat selama ini hanya mengetahui dengan melihat langsung bentuk lambang dan hanya mengetahui arti saja tanpa dapat mengimplementasikan pada
kehidupan
yang nyata.
Makna
disini
yang
dimaksudkan yaitu mampu menerapkannya dalam lingkungan sosial dan bernegara. Karna makna-makna yang begitu penting jangan hanya sekedar mengetahui, karena dengan menerapkannya maka dapat mencapai tujuan bersama.
BAB III
A. Kesimpulan Nasionalisme dapat berupa cinta budaya dan mengetahui makna dan mampu menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. B. Saran Pemerintah dan warga Negara Indonesia harus bekerjasama dalam melestarikan budaya bangsa Indonesia.
C. Referensi Sachari, Agus, Budaya Visual Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2007.