MUQADIMAH Buku karya Dr. H. Muslich Shabir, MA, tentang Pemikiran Syekh M Arsyad Al Banjari tentang Zakat Suntingan Teks dan Analisis Intertekstual (selanjutnya disebut sebagai Syekh Al Banjari), memiliki arti sangat penting dalam keseluruhan kehidupan berislam kita saat ini, meski dengan fokus pembahasan pada soal zakat saja. Dr Shabir dalam disertasinya ini membawa kembali kepada kita ajaran fikih, yang berarti ketentuan hukum – dalam hal ini dari Jalan Syafi’i -‐ bukan pendapat atau opini hasil rekaan sang periwayatnya, yakni Syekh Al Banjari, yang barangkali telah seabad lebih kita abaikan. Meski topik utamanya adalah soal zakat pengembalian fiqih secara benar akan memberikan implikasi sangat mendasar pada kehidupan sosial politik umat Islam. Sebab terkait dengan zakat adalah masalah amr, dan ini terkait langsung dengan masalah Sultaniyya, sebagai prasyarat dapat ditegakkannya amr tersebut. Kembalinya zakat harus didahului oleh kembalinya Sultaniyya. Syekh al-‐Banjari adalah ulama besar yang lahir pada 15 Shafar 1122 H (1719 M) di masa Sultan Tahlilillah, di Kampung Kalampayan, Martapura, Kalimantan Selatan, dan wafat pada 6 Syawwal 1227 h (13 Oktober 1812). Usianya mencapai 105 tahun. Saat ia wafat Kesultanan Banjar ada di bawah pimpinan Sultan Tahmidullah. Kitab yang ditulisnya lebih dari sepuluh kitab, di berbagai bidang seperti tauhid, fikih, ilmu falaq, dan tasauf. Salah satunya Sabil al-‐Muhtadinli at-‐Tafaqquh fi Amr ad-‐Din (selanjutnya Sabil al-‐Muhtadin), yang ditelaah oleh Dr Shabir. Maka, tugas kita dalam menyikapi karya Syekh Al Banjari, yakni kitab Sabil al-‐Muhtadin, yang berisikan ketentuan-‐ketentuan hukum (dalam hal ini soal zakat), adalah mengamalkannya. Bukan mengurangi, menambahi, atau mengubah-‐ubahnya, sesuai keinginan (nafs) atau keadaan kita saat ini. Sebaliknya, keinginan (nafs) dan keadaan kitalah yang harus kita ubah, disesuikan dengan ketentuan hukumnya. Perspektif ini sangat relevan dan penting untuk dikemukakan di sini sebab bercermin pada karya Syekh Al Banjari (dan kitab-‐kitab fikih zakat dari tiga maddhah utama lainnya), kita melihat pelaksanaan zakat di seluruh dunia saat ini telah menyimpang dari rukun dan syaratnya. Sedangkan zakat adalah salah satu Rukun Islam, yang berarti tanpanya tidak ada Islam. Penyimpangan pelaksanaan zakat itu berimplikasi lebih jauh, sebagaimana akan kita bahas di bawah nanti, bukan saja telah menghilangkan Islam, tapi juga menundukkan Islam ke dalam sistem riba. Ini berarti kita telah menjadikan zakat yang halal menjadi bagian dari riba yang haram. Naudzubillahi min dalik. Tulisan ini untuk selanjutnya akan menjabarkan, mempertanggungjawabkan, pernyataan-‐pernyataan di atas.
Insya
Allah
sekaligus
ROBOHNYA ZAKAT SEBAGAI RUKUN ISLAM Dr Muslich telah menunjukkan kepada kita bahwa kitab Sabil al-‐Muhtadin, merupakan kelanjutan, dengan unsur-‐unsur kelengkapan dan kecermatan, dari kitab-‐kitab fikih zakat dalam tradisi Imam Syafi’i yang ada sebelumnya. Tidak ada unsur baru di dalamnya, termasuk hal yang oleh sebagian orang dipandang sebagai upaya ijtihad Syekh al-‐Banjari, yakni pemanfaatan zakat oleh mustahik secara produktif. Di masa lampau hal ini sudah
2
menjadi amal umat Islam, tercatat misalnya, pernyataan dari Khalifah Umar Ibn Khattab, yang dengan sendirinya menjadikannya bagian dari ‘amal – dan karenanya, mengikuti pendapat Imam Malik r.a -‐ hal ini merupakan sunnah. Karena itu, dalam menilik Sabil al-‐Muhtadin, kita perlu melihat beberapa hal yang lebih mendasar dan elementer dalam ketentuan tentang zakat ini. •
Pertama, tentang kekayaan (mal) yang terkenai zakat itu sendiri.
•
Kedua, tata cara dan prosedur memobilisasinya.
Berikut kita akan membahasnya mulai dari masalah yang kedua yang di sebutkan di atas. Tentang Tata Cara Mobilisasi Zakat Syekh al Banjari, menukil ayat Al Qur’an surat At Taubah ayat 103 yang lengkapnya berbunyi: ”Ambillah zakat dari kekayaan mereka untuk membersihkan dan mensucikan mereka dengannya. Dan berdoalah untuk mereka, sungguh doamu mendatangkan ketentraman bagi mereka. Allah Maha mendengar, Maha mengetahui”, sebagai dasar perintah zakat. Awal ayat ini disebutkan dalam bentuk fi’il amr (Khud) yang menunjukkan bahwa zakat harus diambil dari, dan bukan diserahkan oleh, muzakki. Ini mensyaratkan adanya otoritas yang melakukannya, baik secara langsung, atau dengan cara menunjuk seseorang lain sebagai petugas amil. Dengan kata lain seorang amil hanya sah sebagai amil kalau dia memiliki, atau menerima delegasi, atas otoritas untuk itu, yaitu dari seorang amir atau sultan. Penyandingan zakat dan salat dalam satu kesatuan dan perintah pengambilannya oleh suatu otoritas menunjukkan bahwa zakat, berbeda dari salat yang merupakan urusan privat, adalah urusan publik. Zakat, selain merupakan ibadah wajib, adalah institusi politik dalam Islam. Tegaknya zakat sebagai rukun Islam mensyaratkan, dan menunjukkan, tegaknya tata pemerintahan dalam Islam. Sejak Rasulullah s.a.w, kemudian diteruskan oleh Khulafaurrasidin, terus sampai ke sultan-‐sultan sepanjang ada pemerintahan Islam, zakat dilaksanakan sesuai dengan rukunnya. Sebagaimana juga terjadi di Kesultanan Banjar, sebagaimana digambarkan dalam Sabil al-‐Muhtadin. Fikih empat madhhab besar pun menegaskan soal ini. Bewley (2005) menunjukkan hal ini dalam kutipan berikuti: Imam al-‐Sarakhsi, ulama terkemuka dari madhab Hanafi, dalam kitabnya al-‐Mabsut menyatakan, “Zakat merupakan hak Allah dan untuk dikumpulkan dan dibagikan oleh seorang pemimpin Muslim atau pihak yang ditunjuknya. Kalau seseorang membayarkan zakatnya kepada orang lain, hal ini tidak menggugurkan kewajibannya membayar zakat.” Imam Malik dalam kitabnya Muwatta menyatakan “Pembagian zakat terserah menurut penilaian individual orang yang memegang otoritas…Tidak ada ketentuan pasti tentang porsi bagi amil zakat kecuali sesuai dengan yang dianggap tepat oleh pemimpin kaum Muslim”. Imam ash-‐Shafi’i dalam kitab al-‐Um menyatakan tentang kategorisasi dari Al Qur’an soal “mereka yang mengumpulkannya” sebagai mereka yang ditunjuk oleh khalifah kaum Muslim untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
3
Imam Ahmad dikutip dalam kitab as-‐Sharih ar-‐Rabbani li Musnad Ahmad menyatakan, “Hanya khalifah saja yang mengemban otoritas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, apakah dilakukannya sendiri atau melalui orang yang ditunjuknya, dan dia juga berhak dan bertanggungjawab untuk memerangi mereka yang menolak membayarkannya.” Syekh al Banjari dengan jelas juga menyebutkan peran seorang Sultan dalam penetapan alat tukar, yaitu dinar dan dirham, serta penarikan dan pembagian zakat atas keduanya. Menjadi kewajiban Sultan untuk menjaga kemurnian kadar dan timbangannya, demi memenuhi ketetapan pembayaran zakat. Sebaliknya makruh atau haram hukumnya bagi selain sultan untuk mencetak dan mengedarkan dinar dan dirham. Dalam kitabnya Syekh al-‐ Banjari menyatakan: Dan makruh bagi sultan memperbuat dinar dan dirham atau barang yang sebagainya yang bercampur dengan tembaga atau lainnya dan jikalau ada ia sekalipun tetapi sah jual beli dengan dia. Dan demikian makruh bagi yang lain daripada sultan berbuat dinar atau dirham atau barang sebagainya sama ada perbuatannya itu bercampur atau tiada bercampur. Tetapi jika ada perbuatannya itu bercampur dan adalah campurannya itu terbanyak daripada campuran perbuatan sultan maka yaitu haram jua. Pernyataan ini juga dapat kita pahami sesuai konteks pada waktu itu, karena koin emas yang beredar di Nusantara, semisal yang berasal dari Kesultanan Aceh dan yang sebelumnya yaitu dari Kesultanan Gowa, tidak memenuhi standar syar’inya. Yakni beratnya hanya sekitar 3 gr dan dengan kandungan kemurnian hanya 18 karat. Sebagai alat tukar dalam jual beli koin emas berkadar rendah ini sah dan diterima sebagai alat tukar, tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat perhitungan dan pembayaran zakat. Itu sebabnya pula Ibn Khaldun membedakan antara koin emas dan perak yang syar’i (yaitu dinar dan dirham) dan koin emas dan perak yang tidak syar’i, yaitu selain dinar dan dirham. Mengenai amil, atau petugas pengelola zakat, Syekh al-‐Banjari membaginya menjadi sembilan kelompok. Kesembilan kelompok amil ini, sebagaimana dirinci oleh Syekh al Banjari dalam Sabil al Muhtadin, adalah petugas di bawah penunjukkan seorang Sultan. Yang bertindak sebagai amil bukanlah seseorang yang menunjuk dirinya sendiri, sebagaimana semua Lazis dan Bazis, yang beroperasi saat ini. Syekh al-‐Banjari menulis: Bermula ’amil atas zakat itu sembilan bagian.Pertama, sa’i namanya, yaitu yang disuruhkan sultan atau na’ibnya pada mengambil zakat, maka menyuruhkan dia wajib. Dan disyaratkan pada sa’i itu bahwa dia adalah ia faqih dengan barang yang disuruhkan kepadanya daripada segala zakat lagi Islam lagi akil baligh lagi merdeka lagi adil lagi mendengar lagi melihat. Jadi, penarik zakat adalah seseorang yang berpengetahuan fikih zakat yang dipercaya oleh sultan. Adapaun petugas yang lain, sekurang-‐kurangnya, ada delapan lainnya – dan dapat ditambah sesuai keperluan -‐ adalah: Kedua, katib namanya, yaitu yang menyurat arta zakat yang diterimanya akan dia daripada segala mereka yang empunya arta dan barang yang atas mereka itu. Ketiga, qasim namanya, yaitu yang membahagikan zakat. Keempat, hasyir namanya, yaitu yang menghimpunkan sekalian orang yang mempunyai zakat.
4
Kelima, arif namanya, yaitu yang mengenal akan segala bagian mustahiq yang menerima zakat. Keenam, hasib namanya, yaitu yang membilang arta zakat. Ketujuh, hafizh namanya, yaitu yang memeliharakan arta zakat. Kedelapan, jundi namanya, yaitu askar yang mengawal arta zakat. Kesembilan, jabi namanya, yaitu yang , menggagahi pada mengeluarkan zakat. Adapun tentang posisi sultan sendiri, bersama dengan posisi wali dan qadhi, Syekh al-‐ Banjari menyatakan: Dan tiada masuk di dalam jumlah segala amil itu sultan dan wali dan qadhi. Tetapi adalah belanja wali dan qadhi itu diberi oleh sultan daripada khumus al-‐khumus arta baitul al-‐mal yang disediakan bagi segala mashlahah, tiada daripada arta zakat. Tetapi harus bagi qadhi ,mengambil zakat dengan sifat faqir atau berhutang jika tiada diberi belanja akan dia daripada bait al-‐mal. Tentu, tugas dan kewenangan seorang sultan tentu tidak terbatas hanya pada kewenangan penarikan dan pembagian zakat. Telah disebutkan sebelumny abahwa tugas dan kewenangan pertama sultan adalah mencetak dan mengedarkan koin dinar emas dan dirham perak. Adapun tugas dan kewenangan para sultan, secara lebih spesifik, serta kewajiban umat Islam untuk mentaatinya dalam urusan-‐urusantersebut, kewenangan dapat dirujuk kepada al Qur’an. Dalam Surat An Nisa ayat 59 Allah SWT berfirman:
”Hai orang-‐orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan mereka yang memegang otoritas di antara kamu. Bila kamu menghadapi perselisihan tentang sesuatu kembalikan perkara tersebut kepada Allah dan Rasul, bila kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itulah yang terbaik yang kamu lakukan dan mendapatkan hasil yang terbaik.” Kita dapat memahami ayat ini dari salah satu Mufassir besar, yaitu Imam Qurtubi. Haji Abdassamad Clarke, Imam Masjid Norwich, Inggris, menjelaskan bahwa ketika Imam Qurtubi merujuk kepada Surat an Nisa’ ayat 59, yaitu “Atiullah wa atiurrasul wa ulil amri minkum” di atas, mufasir ini menjelaskan beberapa hal:
5
•
Pertama, ketika Allah Yang Maha Agung dan Tinggi, merujuk kepada “mereka yang memegang otoritas”, dalam ayat sebelumnya Allah memerintahkan mereka untuk menjaga kepercayaan dan memutuskan perkara di kalangan rakyat secara adil.
•
Kedua, dalam ayat selanjutnya, Allah yang Maha Kuasa, memerintahkan kepada hamba-‐Nya, pertama-‐tama untuk mentaati-‐Nya, yang berarti mengerjakan perintah-‐ Nya dan meninggalkan larangan-‐Nya, kemudian kedua untuk mentaati Rasul-‐Nya atas segala yang diperintahkan dan dilarangnya, dan ketiga untuk mentaati para Amirnya, sebagaimana penjelasan yang dipegang oleh mayoritas ulama.
•
Ketiga, Imam Qurtubi mengacu kepada Sahl ibn ‘Abdullah at-‐Tustari, yang mengatakan makna ‘’taat kepada para amir”, yaitu ketaatan kepada para sultan, adalah dalam tujuh perkara: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pencetakan dinar dan dirham, Penetapan takaran dan timbangan, Penetapan hukum, Perjalanan haji, Salat Jumat, Penetapan dua Id (idul fitri dan idul adha), Serta berjihad.
Tentang Harta yang Terkenai Zakat Mengenai harta yang terkenai ketentuan zakat itu sendiri, posisi Syekh Al Banjari, tidak berbeda dari posisi faqih keempat madhhab. Dalam hal monetery wealth (naqd), ketetapan zakat hanya dikenakan pada emas dan perak. Ini juga berlaku untuk barang niaga atau komoditi perdagangan. Takaran dan timbangannya, yaitu nisabnya, hanya dilakukan dalam Dinar dan Dirham. Syekh Al Banjari bahkan menegaskannya dengan menyatakan benda mulia lain, seperti zamrud, berlian, tidak terkenai ketentuan zakat. Posisi Imam Syafi’i sendiri, tidak menyebutkan logam mulia selain emas dan perak, hanya logam-‐logam lain yang bersifat biasa seperti kuningan, besi dan timbal. Kita dapat melihat pendapatnya dalam kitabnya, Risalah (1987:165). Ia mengatakan: Rasulullah memerintahkan pembayaran zakat dalam perak, dan kaum Muslim mengikuti presedennya dalam emas, baik berdasarkan [kekuatan] hadis yang diriwayatkan kepada kita atau berdasarkan [kekuatan] analogi bahwa emas dan perak adalah penakar harga yang digunakan manusia untuk menimbun atau membayar komoditas di berbagai negeri sebelum kebangkitan Islam dan sesudahnya. Manusia memiliki berbagai [jenis] logam lain seperti kuningan, besi, timbal yang tidak pernah dibebani zakat baik oleh Rasulallah maupun para penerusnya. Logam-‐ logam ini dibebaskan dengan dasar [pada kekuatan] preseden dan kepada mereka, dengan analogi pada emas dan perak, tidak seharusnya dibebani zakat, karena emas dan perak digunakan sebagai standar harga di semua negeri, dan semua logam lainnya dapat dibeli dengan keduanya dengan dasar kadar berat tertentu dalam waktu tertentu pula.
6
Yang perlu digarisbawahi dari pendapat Imam Syafi’i adalah pernyatannya bahwa ”emas dan perak sebagai standar harga dan alat takar”, yang berarti fungsinya sebagai alat tukar. Sama halnya dengan soal otoritas, posisi keempat madhhab, dalam hal ini tidak berbeda. Sebuah kutipan fatwa dari Syekh Muhammad Illysh, Mufti Al Azharii, yang secara tegas mengharamkan pemakaian uang kertas sebagai alat pembayar zakat, mewakili posisi Madhhab Maliki. Ia mengatakan alasannya sebagai berikutiii: Kalau zakat menjadi wajib karena pertimbangan substansinya sebagai barang berharga (merchandise), maka nisabnya tidak ditetapkan berdasarkan nilai [nominal] nya melainkan atas dasar substansi dan jumlahnya, sebagaimana pada perak, emas, biji-‐bijian atau buah-‐buahan. Karena substansi [uang kertas] tidak relevan [dalam nilai] dalam hal zakat, maka ia harus diperlakukan sebagaimana tembaga, besi atau substansi sejenis lainnyaiv. Posisi yang sama juga diberikan oleh ulama dari madhhab Hanafi, sebagaimana bisa kita lihat dalam buku Seadet-‐i Ebediyye (Kebahagiaan Tanpa Akhir), Waqf Ikhlas (1993: 22-‐30), pada bagian yang membicarakan zakat uang kertas. Di sini disebutkan bahwa seseorang yang memiliki harta (mal) yang bukan berbentuk aset dagangan, dangan kata lain berupa uang kertas dan sejenisnya, dan memenuhi ketentuan nisab (dihitung dengan perak atau emas), harus membayarkan zakatnya dalam bentuk emas atau perak. Dasarnya adalah bahwa uang kertas, yang hanya memiliki nilai nominal, adalah dayn, sedangkan nilainya sebagai aset (’ayn) tidaklah berarti. Waqf Ikhlas (1993: 23) mengatakan: Tidak dapat dibenarkan membayarkan zakat dengan dayn untuk harta [berupa] ’ayn atau dayn [janji utang] yang masih harus dikembalikan. Merupakan keharusan untuk memberikannya dalam bentuk aset yakni ’ayn. Dalam salah satu catatan sejarah awal Islam dapat dinukilkan pendapat Imam Abu Yusuf, seorang faqih dan satu di antara dua murid utama Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai pendiri Madhhab Hanafi, tentang haramnya fulus sebagai alat pembayar zakat. Ketika menjabat sebagai Hakim Agung (Qadi) di zaman Sultan Harun Al Rashid, khalifah kelima (memerintah 170H/786M-‐193H/809M) Dinasti Abbassiyah, ia menulis surat kepadanya. Imam Abu Yusuf menegaskan keharaman menggunakan uang selain emas dan perak sebagai alat pembayaran: Haram hukumnya bagi seorang Khalifah untuk mengambil uang selain emas dan perak, yakni koin yang disebut Sutuqa, dari para pemilik tanah sebagai alat pembayaran kharaj dan ushr mereka. Sebab walaupun koin-‐koin ini merupakan koin resmi dan semua orang menerimanya, ia tidak terbuat dari emas melainkan tembaga. Haram hukumnya menerima uang yang bukan emas dan perak sebagai zakat atau kharaj. (Surat Imam Abu Yusuf kepada Khalifah Harun Al Rashid)
MODERNISASI PENGELOLAAN ZAKAT Sejak berakhirnya Daulah Utsmani pada tahun 1924, sebagai bentuk nomokrasi Islam terakhir, sampai saat ini, penarikan zakat praktis telah berakhir pula. Bekas wilayah Utsmani sendiri telah terpecah-‐pecah menjadi satuan-‐satuan negara nasional sekuler, dan
7
tidak satupun di antaranya yang menegakkan rukun zakat. Sebagian umat Muslim di berbagai negeri berpenduduk Muslim ini, termasuk di Indonesia (yang semula yang merupakan himpunan kesultanan-‐kesultanan di Nusantara), kemudian mengambil inisiatif untuk mengangkat dirinya sebagai ’amil zakat’. Para amil ini kemudian mengumpulkan ’zakat’ atas dasar kesukarelaan, dalam bentuk uang kertas dan melalui institusi perbankan. ‘Amil-‐amil’ zakat ini umumnya berbentuk organisasi-‐organisasi sedekah (charity organizations). Hal tersebut mengakibatkan zakat, yang semula merupakan bagian dari urusan publik, telah berubah menjadi sedekah privat. Pengelolannya melalui organisasi-‐organisasi modern, yang tunduk dalam hukum positif nasional, mengakibatkan zakat terserap ke dalam otoritas dan sistem fiskal yang tidak relevan dengan otoritas sebagaimana ditentukan oleh syariah. Pengumpulan ’zakat’ dalam sistem ini, berujung pada aturan sebagai insentif pengurangan pajak negara, Ini adalah ironi tersendiri, sebab zakat sejatinya adalah pajak – dan satu-‐ satunya pajak personal yang dibenarkan oleh Islam. Tetapi, berbeda dari pajak dalam negara fiskal, ketentuan penarikan dan pemerataannya telah secara jelas diatur dalam syariah. Kegiatan ’amil-‐amil’ partikelir yang membenarkan uang kertas dan perbankan dalam urusan zakat ini juga dapat mengakibatkan penyesatan umat, mengesankan seolah kewajiban zakat hanya pada harta harta uang. Harta-‐harta lain, yang boleh jadi nilainya lebih besar, seperti tetanaman, peternakan, hasil tambang, dan mata dagangan terabaikan, dan seolah tidak lagi memiliki kewajiban untuk dibayarkan zakatnya, setidaknya membuat umat melupakan tentangnya. Pemakaian perantaraan pembayaran melalui institusi perbankan juga menjadikan dana ’zakat’ mengalami penimbunan dalam rekening-‐rekening bank, dan niscaya bercampuraduk dengan riba yang diharamkan. Ringkasnya, implikasi dari pengelolaan zakat oleh organisasi yang tunduk dengan sistem kapitalis, dengan tidak mengikuti syariat, meruntuhkan rukun zakat yang telah ditetapkan secara pasti. Zakat telah berubah, diasimilasikan menjadi bagian dari instrumen negara fiskal. Dalam hal ini, setidaknya, tersangkut empat hal berikut: •
Pertama, zakat yang merupakan ibadah wajib dan bagian dari institusi publik dalam tata pemerintahan Islam, telah berubah menjadi sedekah privat dan sukarela.
•
Kedua, pengelolaannya tidak dilakukan oleh sebuah otoritas yang sah menurut ketentuan syariah – yaitu para Amir dan Sultan -‐ melainkan oleh para ‘amil partikelir’, yakni orang-‐orang yang mengangkat dan menunjuk dirinya sendiri sebagai amil; dan bukan yang ditunjuk oleh otoritas tersebut.
•
Ketiga, zakat mal (naqd) yang seharusnya hanya dibayarkan dalam bentuk ’ayn (aset, emas dan perak) digantikan dengan dayn, atau surat utang atau janji pembayaran, berupa uang kertas.
Satu hal pokok yang masih perlu dijabarkan di sini adalah soal posisi uang kertas yang dipakai sebagai di satu-‐satunya alat tukar di ’alam modern’ saat ini. Pembahasan tentang uang kertas pada dasarnya menyangkut perubahan makna dan simbol harta itu sendiri, yang dalam konteks syariat, menyangkut implikasi halal-‐haramnya. Ini memerlukan tempat yang
8
lebih luas1. Secara eksplisit dan jelas, di atas, telah dikutipkan sejumlah pendapat ulama tentang haramnya uang kertas sebagai alat pembayaran zakat. Yang perlu ditambahkan, untuk mempertegas alasan pengharaman uang kertas sebagai alat bayar zakat, adalah keharamannya sebagai alat tukar, karena uang kertas membawa dua jenis riba sekaligus, yakni riba al-‐fadl dan riba an-‐nasiah. Penjelasannya adalan sebagai berikut: Uang kertas pada dasarnya dapat dilihat baik sebagai aset (’ayn) maupun sebagai janji utang (dayn). Pilihan posisinya adalah sebagai berikut: A. Kalau fakta bahwa uang kertas adalah dayn diterima, yang berarti ia merupakan janji pembayaran atas sejumlah ’ayn (aset), maka uang kertas tidak dapat dipakai dalam pertukaran dan larangan ini berdasarkan pada dua alasan: 1. Dayn tidak dapat dipertukarkan dengan dayn. Uang kertas ditukar dengan uang kertas adalah ’utang dibayar utang’, yang haram hukumnya. 2. Dayn atas emas dan perak tidak dapat dipertukarkan dengan emas dan perak. Ini sangat jelas, benda tak bernilai tidak dapat ditukarkan dengan benda bernilai. B. Kalau posisi uang kertas sebagai ’ayn diterima maka nilainya adalah seberat kertasnya, bukan sebesar angka nominal yang dituliskan di atasnya. Kalau nilainya ditambahkan, sebagai nilai nominal, melalui paksaan hukum, maka nilainya telah dikacaukan dan transaksinya, menurut syariah, adalah batil. Uang kertas, menurut syariah, tidak dapat digunakan sebagai alat tukar/pembayaran. Dalam pertukaran barang sejenis, dalam konteks ini uang atau alat pembayaran lainnya, berlaku ketentuan yang padanya dilarang adanya dua unsur riba, baik karena penundaan (selisih waktu) maupun penambahanan (selisih nilai). Imam Malik dalam Muwatta, Buku 31 tentang Transaksi Bisnis, butir 34, meriwayatkan Sunnah berikut: Yahya meriwayatkan kepada saya dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn Khattab berkata, ’Jangan menjual emas dengan emas kecuali setara dengan yang setara dan jangan menaambahkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual perak dengan perak kecuali setara dengan yang setara dan jangan menambahkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual emas dengan perak, yang salah satu darinya ada di tangan dan yang lainnya dibayarkan kemudian. Bila seseorang meminta kamu untuk menunggu pembayaran sampai ia pulang kerumahnya, jangan tinggalkan dia. Saya takutkan rama’ padamu’. Rama’ adalah riba’.
1 Uraian detil tentang hal ini dapat dilihat pada buku penulis Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik
Islam (Publika, 2007), yang sedang dalam persiapan terbit. Makalah ini pun ditulis sebagian besar berdasarkan naskah buku ini.
9
Sampai di sini penting untuk dimengerti bahwa dayn atau promissory note, atau janji pembayaran, itu sendiri halal hukumnya. Tetapi pemakaiannya terbatas hanya secara privat, antara dua pihak, yang dalam ikatan kontrak utang-‐piutang. Seseorang yang menitipkan uang (emas), ’ayn, pada pihak kedua, dan menerima secarik kertas kuitansi atau janji pembayaran, dayn, untuk kemudian ditebuskan kembali dengan uang (emas) semula saat dibutuhkan pada suatu waktu, tidak melanggar hukum syariah. Tetapi ia, ataupun orang lain, tidak dibolehkan menggunakan secarik kertas (dayn) tersebut untuk bertransaksi dengan pihak ketiga. Bila ia akan bertransaksi dengan pihak ketiga maka ia harus menebuskan kertas (dayn) tersebut kepada pihak kedua, dan dengan uang (emas, ’ayn) miliknya yang telah berada di tangannya kembali, ia boleh menggunakannya sebagai alat pembayarannya. Dalam riwayat yang lain, dalam buku yang sama, butir 44, Imam Malik menyampaikan sebagai berikut: Yahya meriwayatkan kepada saya dari Malik bahwa ia mendengar tentang kuitansi yang diberikan kepada orang-‐orang di masa Marwan ibn al-‐Hakam untuk produk-‐produk di pasar al-‐Jar. Orang-‐orang memperjualbelikan kuitansi sesama mereka sebelum mereka menyerahkan barang. Zayd ibn Thabit dan seorang Sahabat rasulallah saw, pergi kepada Marwan ibn al-‐ Hakam dan berkata, ’Marwan! Apakah kamu telah menghalalkan riba?’ Ia berkata, ’Saya mohon perlindungan kepada Allah! Apakah itu?’ Ia berkata, ’Kuitansi ini yang diperjualbelikan orang sebelum mereka menyerahkan barang.’ Marwan kemudian mengirim para petugas untuk mengikuti mereka dan merampas kuitansi-‐kuitansi itu dari tangan mereka dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Uang kertas adalah secarik kuitansi yang dipaksakan sebagai alat pembayaran publik. Praktek pertukarannya adalah yang disebut oleh Umar ibn Khatab sebagai rama’, yang termasuk riba. Dalam transaksi jual beli pemakaian uang kertas mengandung dua jenis riba sekaligus, yakni an nasi’ah karena unsur penundaan, dan al fadl karena unsur ketidaksetaraan nilai. Uang kertas, karena itu, tidak sah digunakan sebagai alat pembayaran zakat mal. Ketetapan zakat mal hanya dikenakan pada emas dan perak, perhitungan nisabnya juga ditentutkan dengan emas dan perak, dan pembayarannya pun hanya sah dengan emas (dinar) dan perak (dirham). Dalam konteks ini perlu disebutkan bahwa Syekh al-‐Banjari hidup di abad ke 17 dan ke 18, ketika uang kertas juga telah mulai lazim beredar dan dipakai dalam masyarakat. Akan tetapi dalam kitabnya Syekh al-‐Banjari tetap menyatakan bahwa zakat hanya dapat dibayarkan dengan ’ayn, dan bukan dengan dayn. Adapun yang dimaksud ’ayn di dalam harta moneter tiada lain adalah nuqud, yaitu dinar emas dan dirham perak. Syekh al-‐Banjari menyatakan: Ketahui olehmu bahwa zakat itu ada dua bahagian: pertama zakat badan yaitu zakat fithrah dan zakat al-‐mal yakni zakat arta. Maka zakat arta itu ada kalanya ta’alluq [tergantung] pada ’ainnya yakni pada diri arta, maka yaitu lima perkara: pertama zakat hewan, kedua zakat nabat yakni tumbuh-‐tumuhan, ketiga zakat naqd yakni emas dan perak, keempat zakat rikaz yakni emas atau perak
10
simpanan kafir pada masa Jahiliyah pada bumi yang mati atau yang dihidupinya akan dia, kelima zakat ma’din yaitu emas dan perak perolehan mendulang pada tempat pendulangannya. Demikian juga untuk kmoditi-‐komoditi yang tidak terkena zakat pada ’ayn-‐nya sendiri, yaitu harta yang zakatnya ditetapkan atas dasar nilainya, yaitu pada barang atau komoditi yang diperdagangkan. Ini disebut sebagai zakat perniagaan atau zakat tijarah. Cara menetapkan nilainya, atau qimah-‐nya, dan alat untuk membayarkannya adalah nuqud, yaitu dinar emas atau dirham perak. Tentang ketentuan standar nuqud dan nisab zakat, dan haul-‐nya, Syekh al-‐Banjari mengatakan: Bermula nishab emas itu dua puluh mithqal dan nishab perak itu dua ratus dirham dengan timbangan Makkah karena sabda Nabi s.a.w., : ”Gantang zakat itu gantang Madinah dan timbangan itu timbangan Makkah.” Maka wajib zakat yang dua puluh mitsqal emas dan dua ratus dirham perak kemudian daripada sempurna tahunnya rubu’ ’usyur. Maka ’usyur yang dua puluh mitsqal itu dua mithqal dan rubu’ yang du amithqal setengah mithqal. Itulah zakatnya. Dan ’usyur yang dua ratus dirham itu dua puluh dirham dan rubu’ yang dua puluh itu lima dirham itulah zakatnya. Dalam istilah kita saat ini rubu’ ’usyur adalah seperempatpuluh atau 2.5%. Syekh al-‐Banjari juga menjelaskan tentang standar mithqal dan dirham, dengan menyatakan: Bermula yang semitsqal Makkah itu tiada berubah pada masa Jahiliyah dan masa Islam yaitu berat tujuh puluh dua biji sya’ir yang pertengahan kulitnya dan dibuang kedua ujungnya yang halus lagi panjang. Adapun dirham Makkah pada masa Islam maka yaitu berubah daripada dirham pada masa Jahiliyah. Maka yang dikehendaki dengan dirham zakat arta yaitu dirham yang pada masa Islam jua. Maka yang satu dirham itu berat lima puluh biji syair dan dua khumus biji sya’ir. Keterangan tentang perbedaan dinar dan dirham sebelum dan sesudah Islam itu penting dipahami, karena ini merujuk pada saat sebelum dan sesudah Nabi s.a.w menetapkan standar keduanya, yakni dalam hadis tentang timbangan yang telah dikutip di atas, sebagai timbangan Makkah. Sebagaimana kita ketahui dinar dan dirham yang beredar di Madinah waktu itu adalah dinar dari Romawi dan dirham dari Persia yang bermacam-‐macam ukuran dan beratnya. Nabi s.a.w menetapkan satu ketentuan dengan perbandingan setiap 7 dinar setara dengan 10 dirham. Tentang hal ini Syekh al-‐Banjari menulis: Syahdan manakala ditambahi atas yang satu dirham itu tiga subu’nya jadilah ia mithqal. Dan manakala dikurangi daripada semitsqal tiga ’usyurnya jadilah ia dirham. Maka tiap-‐tiap sepuluh dirham itu tujuh mithqal dan tiap-‐tiap yang sepuluh mitsqal itu empat belas dirham dan dua subu’ dirham.
KONSEKUENSI DITINGGALKANNYA RUKUN ZAKAT Telah disinggung sekilas di atas bahwa penyimpangan pelaksanaan zakat dari fikihnya telah menghilangkan zakat itu sendiri sebagai rukun Islam. Artinya Islam itu sendiri telah
11
dihilangkan. ”Modernisasi”, dalam ujud penyelenggaraan zakat saat ini, telah menjadikannya justru sebagai bagian dari sistem kapitalisme yang menindas. Kapitalisme adalah sistem kehidupan, satu-‐satunya yang saat ini dominan, yang juga kita anut dengan tanpa reserve. Uang kertas adalah riba, tapi baru pada titik awalnya, karena ia berulah titik masuk bagi sistem kapitalisme. Dalam kehidupan modern riba ini telah dimapankan sebagai sebuah sistem kehidupan dalam konstruksi negara fiskal. Dalam sistem ini negara memberikan hak monopoli kepada para bankir untuk mencetak uang kertas, lewat izin membentuk Bank Sentral. Sebagai imbalan mereka menyediakan kredit (utang) untuk keperluan ’pembiayaan negara’. Tiap-‐ tiap tahun birokrasi negara menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan klaim untuk pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, pertahanan, dan sebagainya), dengan sejumlah tertentu untuk dibayarkan kepada ’kekuatan penyandang dana’. Negara menjamin kepada para bankir atas utang ini dari pembebanan pajak kepada warga negara. Para bankir, tentu saja, dengan sangat mudah memenuhi kebutuhan biaya tersebut, berapa pun nilainya, dengan cara mencetak kredit ex nihilo: mencetak angka-‐angka dalam buku atau sebagai byte dalam layar komputer. Dari sinilah kita disodori suatu trick yang dikenal sebagai ’Utang Negara’. Utang negara memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk memajaki rakyat. Mekanisme ini merupakan modus yang inherent di dalam negara konstitusional. Fungsi utama konstitusi adalah memastikan tiap-‐tiap warga negara ini sebagai pembayar pajak. Di sini bercokol kepentingan-‐kepentingan oligarki bankir yang mengendalikan keberlangsungan sistem riba ini. APBN semata-‐mata menjadi wadah penyaluran utang ribawi para bankir ini, dengan rakyat yang dipaksa membayarnya melalui pajak. Pajak itu sendiri ada dua jenis yaitu pajak langsung yang ditarik tunai dari warga negara (PBB, PPh, PPn, cukai, materai, retribusi, dst) dan pajak tidak langsung (inflasi dan seignorage) yang dirasakan sebagai terus-‐menerus turunnya nilai tukar mata uang kertas.
PENUTUP DAN KESIMPULAN 1. Dicerminkan pada Sabil al-‐Muhtadin, maka semua praktek pengelolaan zakat saat ini merupakan penyimpangan. Pada hal-‐hal mendasar kita melihat terjadinya penyimpangan-‐penyimpangan,yang berarti telah berubahnya zakat, menjadi sesuatu-‐yang-‐bukan-‐zakat, melainkan sedekah biasa. Lebih jauh lagi, modernisasi pengelolaan sedekah ini melalui instrumen-‐instrumen yang tersedia kini, telah menjadikannya sebagai bagian dari sistem riba. Dalam konteks ini, yang terutama adalah pada zakat kekayaan moneter (naqd), meskipun implikasi dan akibatnya juga telah merembet pada penyimpangan pelaksanaan zakat fitrah (qut). Bahkan, bagi sebagian telah membawa kepada justifikasi pada penghalalan perampasan harta secara tidak sah, melalui de facto pajak pendapatan, yang dinamai sebagai zakat profesi! Sesuatu inovasi baru yang tidak akan dapat ditemukan di dalam kitab-‐kitab fikih dalam maddhah (yang empat) mana pun. Telah disebutkan di atas, pengelolaan ’zakat’ sebagai insentif perpajakan, bukan saja melegitimasi sistem menindas ini, tapi bahkan ikut memperkuatnya! Modernisme zakat telah mengubah sumber kekuatan umat ini menjadi sumber penindasan umat. Nauzubillahi mindalik.
12
2. Dari uraian di atas cukup jelas bahwa Sabil al-‐Muhtadin merupakan buku fikih yang penting, bukan sekadar ‘naskah sastra kuno’ yang layak ditelaah dan dikritisi, melainkan harus diamalkan sebagai ketetapan hukum (zakat). Ini memberikan beberapa implikasi praktis sebagai berikut: o
Kevakuman otoritas di kalangan umat tidak bisa terus dibiarkan, dan menjadi kewajiban setiap muslim, untuk mengisinya sejauh yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi masing-‐masing. Pembentukan jamaah dengan pola kepemimpinan dan tata kelola yang mengikuti hukum syariah, sebagaiman diteladankan oleh umat Islam di berbagai tempat, juga bisa – dan telah – dilakukan. Umat Islam harus berhimpun dalam Amirat-‐Amirat, dengan seorang Amir yang menjalankan tugas-‐tugas keamiran.
o
Pada tahun 2013 telah ada empat Dirham dan Dinar yang menuruti otoritas pencetak dan pengedarnya, yaitu dari Kesultanan Sulu (Filipina), Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Ternate (Indonesia), serta Pemerintah Negara Bagian Kelantan (Malaysia), dibawah otorisasi World Islamic Mint (WIM) yang beredar. Selain Dirham dan Dinar dari Amirat Indonesia, jug adi bawah WIM, yang telah beredar sebelumnya.
o
Tugas keamiran atau Sultaniya adalah2: §
Menetapkan dan mengotorisasi dua salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan salat Jum’at
§
Menjamin pencetakan dan peredaran dinar dan dirham
§
Menjamin dan menjaga kebenaran takaran, ukuran, dan timbangan di pasar
§
Menunjuk petugas zakat, menarik, dan mendistribusikannya menurut ketentuan yang ada
§
Menyiapkan diri untuk memimpin jihad, dan bila berhasil, mengumpulkan dan membagikan harta pampasan (ghanimah)
o
Seorang muzaki yang memiliki harta uang kertas atau turunannya, sebagai kelaziman zaman sekarang, terlebih dahulu harus menukarkan uangnya tersebut dengan emas atau perak, Dinar dan Dirham, sebelum membayarkan zakatnya. Satu-‐satunya argumen yang mungkin diterima bagi pemakaian uang kertas sebagai alat pembayaran zakat adalah dalil darurah. Tetapi dalil ini tidak menggugurkan ketetapannya, hanya bersifat sementara, dan hanya boleh digunakan – sesuai namanya – dalam keadaan terpaksa ketika segala upaya telah dilakukan dengan sungguh-‐sungguh dan tidak membuahkan hasil. Dalam hal keharusan adanya Dinar dan Dirham, emas dan perak, sebagai alat pembayar zakat.
o
Saat ini Dinar dan Dirham telah beredar maka dalil darurah di atas menjadi sangat lemah, dan praktis telah gugur. Sebab Dinar dan Dirham dengan
2 Menurut tafsir dari Imam Qurtubi atas Surat Ali Imaran ayat 62.
13
mudah bisa – dan telah -‐ dicetak dan disediakan di berbagai tempat di dunia, termasuk di kota-‐kota di Indonesia, dengan standar sesuai dengan ketentuan dari Khalifah Umar ibn Khattab.
(Sebelumnya naskah ini, sebelum di-‐up date disampaikan pada acara bedah buku Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-‐Banjari tentang Zakat oleh Dr. H. Muslich Shabir, MA, di Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama RI, 14 Agustus 2007.)
iCetak tebal dari saya. ii Syekh Muhammad Illysh digantikan oleh Muhammad Abduh yang diangkat menjadi Mufti Al
Azhar oleh Lord Cromer (1899). Beberapa saat kemudian Abduh mengeluarkan fatwa tentang halalnya bunga tabungan. Lihat Ilusi Demokrasi (Saidi, 200,7) bab Pendahuluan. iii Sebagaimana dikutip dalam Postcript buku Shaykh Abdalqadir As Sufi (2002). Letter to An Arab
Muslim. Madinah Press. Halaman 116. iv
Dengan ’memperlakukan uang kertas sebagaimana tembaga atau besi’ berarti yang harus dihitung sebagai nilai uang kertas adalah harga kuantitasnya (lazimnya dalam ukuran berat), bukan nilai nominalnya.
14