MODIFIKASI FERMENTASI HIDROLISAT ASAM ENCER Euchema cottonii MENJADI BIOETANOL MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae DAN Pachysolen tannophilus
MUHAMMAD SYUKUR SARFAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Encer Euchema cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2013
Muhammad Syukur Sarfat NRP F351110121
RINGKASAN MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Encer Euchema cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus. Dibimbing oleh MULYORINI RAHAYUNINGSIH, ANI SURYANI, dan DWI SETYANINGSIH. Euchema cottonii adalah alga merah yang terdiri dari polisakarida linear yang biasa disebut “karagenan”. Karagenan merupakan galaktan (polisakarida sulfat) tersulfatasi linear hidrofilik yang merupakan polimer dari galaktosa. Tujuan dari penelitian ini adalah adalah modifikasi fermentasi secara curah bioetanol dari rumput laut (Euchema cottonii) sebagai substrat sehingga dihasilkan rendemen produk bioetanol yang tinggi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap pendahuluan yang meliputi pengecilan ukuran, pengeringan, karakterisasi E. cottonii dengan parameter yang diuji adalah kadar karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), protein, serat kasar, abu, dan kadar air. Tahap pendahuluan yang terakhir adalah hidrolisis E. cottonii menggunakan asam sulfat sehingga komponen selulosa dan hemiselulosa dari E. cottonii dapat terhidrolisis menjadi gula-gula penyusunnya (galaktosa) dan kemudian hasil hidrolisis disaring sehingga diperoleh padatan dan hidrolisat yang mengandung galaktosa. Tahap kedua merupakan tahap penelitian utama yang dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap adaptasi dan tahap fermentasi. Pada tahap adaptasi, khamir diadaptasi pada media yang mengandung galaktosa untuk mengkondisikan khamir tersebut pada media yang mengandung galaktosa. Tahap kedua adalah fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii yang mengandung galaktosa menjadi bioetanol dengan menggunakan dua jenis khamir yang telah teradaptasi (Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX). Untuk proses fermentasi, pada media hidrolisat asam encer E. cottonii ditambahkan vitamin, nitrogen, dan mineral-mineral (trace element) untuk memacu aktivitas pertumbuhan khamir dalam mengkonsumsi galaktosa menjadi bioetanol. Euchema cottonii memiliki kandungan polisakarida yang tinggi dan dapat dikonversi menjadi gula yang dapat difermentasi setelah dihidrolisis menggunakan enzim atau asam. Polisakarida Euchema cottonii terdiri dari 29.45% (bk) karbohidrat, 3.21% (bk) hemiselulosa, dan 11.30% (bk) selulosa. Jenis gula yang terdapat pada hidrolisat asam Euchema cottonii terdiri dari 4.95% galaktosa, 0.25% glukosa, 0.04% xilosa, dan 0.02% maltoheptaosa. Produksi etanol tertinggi dari Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX teradaptasi adalah 2.38% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 79.09% efisiensi penggunaan substrat, dan 56.30% efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 6 hari. Produksi etanol tertinggi dari Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX teradaptasi adalah 0.11% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 15.39% efisiensi penggunaan substrat, dan 2.60% efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 4 hari. Produksi etanol tertinggi dengan perlakuan refreshed culture menggunakan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX teradaptasi setelah fermentasi berlangsung 24 jam oleh Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX teradaptasi adalah 0.81% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 82.42% efisiensi penggunaan substrat,
iii dan 19.79% efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 6 hari. Produksi etanol tertinggi dengan perlakuan refreshed culture menggunakan Saccharomyces cerevisiae IPBCCA teradaptasi setelah fermentasi berlangsung 24 jam oleh Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX teradaptasi adalah 1.76% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 53.06% efisiensi penggunaan substrat, dan 43.53% efisiensi fermentasi yang difermentasi selama 6 hari. Produksi etanol tertinggi dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi setelah fermentasi selama 6 hari adalah 2.13% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 76.31% efisiensi penggunaan substrat, dan 50.97% efisiensi fermentasi dengan konsentrasi gula pereduksi pada media diawal fermentasi sebesar 6.57% (b/v). Keywords : bioetanol, adaptasi khamir, Euchema cottonii, Pachysolen tannophilus, Saccharomyces cerevisiae, refreshed culture, konsentrasi gula pereduksi
SUMMARY MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. Fermentation Modification of Acid Hydrolisates of Euchema cottonii to Produce Bioethanol Using Saccharomyces cerevisiae and Pachysolen tannophilus. Supervised By MULYORINI RAHAYUNINGSIH, ANI SURYANI, dan DWI SETYANINGSIH. Euchema cottonii is a red algae that is formed from linear polysaccharide commonly called "carrageenan". Carrageenan is galactan (polysaccharide sulfate linear hydrophilic) which is a polymer consists of galactose. The research objective is to modify bioethanol fermentation by batch condition from seaweed (Euchema cottonii) acid hydrolisates to produce a high yield of bioethanol. The study was conducted in two stages. The first stage is a preliminary phase which consists of size reduction, drying, characterization of E. cottonii with parameters tested were carbohydrates (cellulose and hemicellulose), protein, crude fiber, ash, and water content. The last stage is the preliminary were hydrolysis of E. cottonii using sulfuric acid so that the cellulose and hemicellulose components of E. cottonii can be hydrolyzed into constituent sugars (galactose) and then filtered the results so obtained solids hydrolysis and hydrolyzate containing galactose. The second stage is the stage of primary research which is divided into two stages, adaptation stages and fermentation stages. In the adaptation phase, yeast was adapted in media containing galactose to condition the yeast in media containing galactose. The second stage is the fermentation of acid hydrolisates of E. cottonii to produce bioethanol using two kinds of yeast that has been adapted (Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX and Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX). For the fermentation process, the medium of acid hydrolisates of E. cottonii added vitamins, nitrogen, and minerals (trace elements) to spur the growth of activity in the yeast consumes galactose to produce bioethanol. Euchema cottonii has high polysaccharides content and those can be converted into fermentable sugar through acid or enzymatic hydrolysis. Polysaccarides of red algae Euchema cottonii consists of 29.45% (db) carbohydrates, 3.21% (db) hemicelluloses, and 11.30% (db) celluloses. Type of sugar was obtained in acid hydrolisates of Euchema cottonii consists of 4.95% galactose, 0.25% glucose, 0.04% xylose, and 0.02% maltoheptaosa. The highest ethanol production from adapted Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX was 2.38% (v/v ethanol in fermentation broth), with 79.09% substrate efficiency and 56.30% fermentation efficiency for 6 days incubation. The highest ethanol production from adapted Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX was 0.11% (v/v ethanol in fermentation broth), with 15.39% substrate efficiency and 2.60% fermentation efficiency for 4 days incubation. The highest ethanol production with refreshed culture treatment using adapted Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX after fermentation lasts 24 hours by adapted Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX was 0.81% (v/v ethanol in fermentation broth), with 82.42% substrate efficiency and 19.79% fermentation efficiency for 6 days incubation. The highest ethanol production with refreshed culture treatment using adapted Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX after fermentation lasts 24 hours by adapted Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX was 1.76% (v/v ethanol in
v fermentation broth), with 53.06% substrate efficiency and 43.53% fermentation efficiency which fermented for 6 days. The highest ethanol production with different of reducing sugar concentration treatment on media of fermentation after 6 days incubation was 2.13% (v/v ethanol in fermentation broth), with 76.31% substrate efficiency and 50.97% fermentation efficiency with reducing sugar consentration on media in the start of fermentation was 6.57% (w/v). Keywords : bioethanol, yeast adaptation, Euchema cottonii, Pachysolen tannophilus, Saccharomyces cerevisiae, refreshed culture treatment, reducing sugar consentration treatment
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Judul Penelitian
Nama
NRP
: Modifikasi Fenn entasi Hidrolisat Asam Encer Euchema cottonii menj adi Bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus. : Muhammad Syukur Sarfat : F351110121
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Mul
\
.
Prof Dr Ir Ani u Anggo a \.
sih MSi
. DEA
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
1. 0/
Dr Ir Machfud, MS
Tangga] Ujian : 29 Juli 2013
-~--~-~ ~-----
Tanggal Lulus:
-- - - - -
.\
6 0CT 2013
~----
MODIFIKASI FERMENTASI HIDROLISAT ASAM ENCER Euchema cottonii MENJADI BIOETANOL MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae DAN Pachysolen tannophilus
MUHAMMAD SYUKUR SARFAT
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
viii
Penguji pada ujian tesis : Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS
Judul Penelitian
Nama NRP
: Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Encer Euchema cottonii menjadi Bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus. : Muhammad Syukur Sarfat : F351110121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi Ketua
Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA Anggota
Dr Dwi Setyaningsih, STP MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan sekolah Pascasarjana
Dr Ir Machfud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 29 Juli 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah bioetanol, dengan judul Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Encer Euchema cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mulyorini Rahayungingsih, MSi, Ibu Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA, dan Ibu Dr Dwi Setyaningsih, STP, MSi selaku pembimbing, serta Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Saudari Nely Muna dan Saudari Indah Khayati dari Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013
Muhammad Syukur Sarfat
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Ruang Lingkup 2 TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut (E. cottonii) Hidrolisis Asam Fermentasi Etanol Karakteristik Mikroba yang Mengkonversi Galaktosa Menjadi Bioetanol 3 METODOLOGI Tempat Pelaksanaan Alat dan Bahan Prosedur Kerja 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik E. cottonii dan Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Adaptasi Khamir Dalam Media Galaktosa Fermentasi Khamir Teradaptasi Pada Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan Refreshed Culture Berbeda Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan Refreshed Culture Yang Sama Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan Perbedaan Konsentrasi Gula Pereduksi Pada Media 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
ii iii iv 1 1 4 4 5 5 6 7 8 11 11 11 11 19 19 20 25 31 35 38 42 42 42 43
ii
DAFTAR TABEL 1. Komposisi kimia beberapa jenis rumput laut 2. Karakteristik hidrolisat untuk fermentasi 3. Gen dan Protein Penting dalam Metabolisme Galaktosa pada Saccharomyces cerevisiae 4. Klasifikasi dari Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus 5. Hasil analisis komposisi kimia E. cottonii kering 6. Karakterisasi komponen gula yang terdapat pada hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan HPLC 7. Hasil perhitungan viabilitas sel pada tiap tahapan adaptasi cepat P. tannophilus 8. Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi 9. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi 10. Hasil perhitungan presentase etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi 11. Konsentrasi etanol maksimum hasil fermentasi dari beberapa jenis gula menggunakan P. tannophilus dari beberapa jenis strain 12. Hasil Perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam 13. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi 24 jam 14. Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam 15. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi 24 jam 16. Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam E. cottonii
2 7 9 10 19 20 23
26
27
27 31
33
34
36
37
40
iii 17. Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam E. cottonii
40
DAFTAR GAMBAR 1. Skema struktur pengulangan disakarida pada karagenan 2. Jalur Leloir 3. Diagram alir penelitian modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus 4. Proses hidrolisis E. cottonii dengan menggunakan H2SO4 5. Proses penyiapan inokulum 6. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol menggunakan khamir teradaptasi 7. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam 8. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam 9. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi 10. Hubungan antara tahapan adaptasi lambat S. cerevisiae pada media 100% hidrolisat asam encer E. cottonii dengan log jumlah total sel, log jumlah sel hidup, dan gula pereduksi 11. Hubungan antara tahapan adaptasi cepat P. tannophilus pada media campuran antara YMP Galaktosa dengan hidrolisat asam encer E. cottonii (1:1) dengan log jumlah total sel, log jumlah sel hidup, dan gula pereduksi 12. Hasil pengamatan morfologi sel khamir yang telah teradaptasi 13. Hasil pengamatan gelembung udara yang terbentuk pada saat adaptasi 14. Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi dengan log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol 15. Jalur Metabolisme galaktosa menjadi bioetanol 16. Hasil pengamatan kondisi permukaan media pada tahap fermentasi menggunakan khamir teradaptasi 17. Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol
5 8
12 13 13 15 16 17 18
21
22 24 25
26 30 31
33
iv 18. Hasil pengamatan kondisi permukaan media yang dipenuhi oleh lapisan putih pada tahap fermentasi dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam 19. Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol 20. Hubungan antara perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan selama fermentasi.
35
36
39
DAFTAR LAMPIRAN 1. Prosedur Pengamatan 2. Perbandingan Beberapa Hasil Penelitian Sejenis Yang Telah Dilakukan 3. Riwayat Hidup Penulis
47 50 51
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar bahan bakar yang digunakan di Indonesia berasal dari bahan bakar fosil yang merupakan energi tidak terbarukan. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki beragam sumber daya alam hayati yang sangat potensial ketika digunakan sebagai bahan baku pembuatan energi terbarukan, khususnya bioetanol. Namun demikian, pengembangan bioetanol dianggap dapat membahayakan pasokan pangan pokok karena kebanyakan bahan baku yang digunakan berasal dari bahan-bahan pangan pokok yang merupakan bahan yang umum digunakan sebagai sumber energi bagi mahluk hidup yang ketersediaanya masih dianggap kurang karena disebabkan semakin berkurangnya ketersediaan lahan pertanian akibat alih fungsi. Oleh karena itu dicari alternatif dari beberapa sumber daya alam hayati yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol yang dianggap sangat potensial karena ketersediaannya yang melimpah serta terdapat lahan potensial yang dapat digunakan sebagai lahan budidaya. Salah satu sumber daya alam hayati tersebut yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol adalah rumput laut. Produksi rumput laut di Indonesia terus meningkat. Tercatat dari tahun 2009 sampai dengan 2012, produksi rumput laut Indonesia meningkat 90% dengan peningkatan disetiap tahunnya berturut-turut adalah 2.9, 3.9, 4.3, dan 5.2 juta ton. Pemerintah menargetkan produksi rumput laut tahun 2013 naik 30% menjadi 7.5 juta ton dibandingkan dengan tahun lalu 5.2 juta ton. Sedangkan ketersediaan lahan budidaya rumput laut masih sangat luas. Pada daerah pasang surut terdapat 1.1 juta hektar lahan yang dapat digunakan sebagai lahan budidaya dengan produkstivitas rata-rata 16 ton rumput laut kering/hektar/tahun dan yang baru termanfaatkan sebesar 380 ribu hektar. Rumput laut dapat dipanen 3-5 kali dalam setahun, tidak mengandung lignin, dan dapat menyerap CO2 sebanyak 36.7 ton/ha, atau 5-7 kali tanaman darat. Keunggulan lain dari rumput laut adalah tidak berkompetisi dengan lahan pertanian dan tidak membutuhkan pupuk kimia atau irigasi (Sakti, 2013). E. cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan dan dapat menghasilkan karaginan (Distantina et al., 2010). E. cottonii merupakan alga merah yang terbentuk dari polisakarida linear yang biasa disebut “karagenan”. Karagenan adalah galaktan tersulfatasi linear hidrofilik yang memiliki berat molekul berkisar 400.000 sampai 600.000 Da. Polimer ini merupakan pengulangan unit disakarida. Penyusun utama karagenan adalah galaktan (polisakarida sulfat) yang merupakan polimer dari galaktosa. Selain galaktosa dan sulfat, beberapa karbohidrat juga ditemui, seperti xilosa, glukosa, asam uronik dan substituen seperti metil ester dan grup piruvat. Galaktan tersulfatasi ini diklasifikasi menurut adanya unit 3.6-anhidro galaktosa (DA) dan posisi gugus sulfat (Van De Velde, 2002). Menurut Yunizal (2004) E. cottonii memiliki kandungan karbohidrat paling tinggi dibandingkan dengan jenis rumput laut yang lain yaitu mencapai 57.52% (basis basah) atau setara dengan 67.64% (basis kering) sehingga sangat menjanjikan ketika digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol.
2 Sedangkan menurut Devis (2008) E. cottonii memiliki kandungan karbohidrat sebesar 41.43% (basis basah). Tabel 1 Komposisi kimia beberapa jenis rumput laut Jenis Rumput Laut Komposisi Kimia E. cottonii E. cottonii Sargassum sp Turbinaria sp Padina sp Gracilaria sp a b a a a a Karbohidrat (%) 57.52 41.43 19.06 44.90 39.12 41.68 Protein (%) 3.46 1.86 5.53 4.79 4.74 6.59 Lemak (%) 0.93 0.35 0.74 1.66 0.96 0.68 Air (%) 14.96 11.28 11.71 9.73 10.74 9.38 Abu (%) 16.05 36.05 34.57 22.54 41.50 32.76 Serat kasar (%) 7.08 8.96 28.39 16.38 3.04 8.92 a
Yunizal (2004) ; b Devis (2008)
Selain itu, berdasarkan hasil hidrolisis menggunakan asam sulfat, dengan otoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1,5 bar yang dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012) E.cottonii dipilih sebagai bahan baku bioetanol untuk proses selanjutnya karena perolehan gula pereduksi yang tertinggi dan total padatan (ampas) sisa proses hidrolisis yang rendah. Perolehan gula pereduksi tertinggi adalah 3.28% (b/v) untuk hidrolisat asam E.cottoni, 3.22 (b/v) untuk hidrolisat asam Sargassum sp., dan 0.52% (b/v) untuk hidrolisat asam limbah agar. Sedangkan total padatan menunjukkan secara keseluruhan total padatan hasil hidrolisis E. cottonii lebih rendah (18-37%) dibandingkan Sargassum sp. (47.5-55.3%) dan limbah agar (64.5-76.5%). Hal ini dapat disebabkan karena padatan E. cottonii lebih mudah dan lebih banyak terhidrolisis dibandingkan Sargassum sp. dan limbah agar. Khamir yang umum digunakan untuk memproduksi bioetanol seperti Saccharomyces cerevisiae adalah khamir yang hanya optimal jika mengkonsumsi gula dalam bentuk glukosa, sedangkan untuk memproduksi bioetanol dari gula galaktosa mendapatkan kendala karena khamir ini belum dapat mengkonsumsi gula galaktosa secara optimal hingga menjadi bioetanol. Adam dan Gallagher (2008) melakukan penelitian mengenai produksi bioetanol menggunakan rumput laut jenis Laminarin sp. 0.1 U sebagai bahan baku dan mikroba yang digunakan adalah Saccharina latissima 0.5% (v/v) diperoleh bahwa pada kondisi pH 6 dan suhu 230C merupakan kondisi optimum proses produksi bioetanol dengan rendemen bioetanol yang dihasilkan sebesar 0.45% (v/v). Devis (2008) melakukan penelitian mengenai produksi bioetanol berbahan dasar ampas rumput laut (Kappaphycus alvarezii) yang telah dihidrolisis sebanyak 200 ml dan 10% (v/v) starter Saccharomyces cerevisiae diperoleh rendemen bioetanol sebesar 4.5% (v/v) pada kondisi pH 4.5-5,0 dan suhu kamar (25-300C). Selain itu, Candra et al. (2011) mempelajari produksi bioetanol menggunakan rumpul laut (E. cottonii) dari Laut Bontang dan Saccharomyces cerevisiae 10% (v/v) diperoleh rendemen bioetanol sebesar 4.6% setelah difermentasi 5-6 hari pada suhu ruang. Rumput laut (E. cottonii) dihidrolisis dengan H2SO4 5% selama 2 jam pada suhu 1000C sebanyak 25 g E. cottonii dilarutkan dalan aquades hingga beratnya 100 g merupakan kondisi optimal proses hidrolisis komponen galaktan pada E. cottonii menjadi gula galaktosa dengan rendemen gula yang dihasilkan sebesar 15.8 mg/ml. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meinita, et al. (2012) yang memproduksi bioetanol dari hidrolisat asam karagenan Kappaphycus alvarezii (E. cottonii) menghasilkan etanol dengan yeald 0.21 g/g galaktosa. Penelitian terakhir dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012) yang memproduksi
3 bioetanol dari E. cottonii menggunakan Saccharomyces cerevisiae teradaptasi dengan waktu fermentasi 72-144 jam pada suhu ruang (300C) menghasilkan 2.20% (v/v) etanol pada fermentasi cair dengan efisiensi penggunaan substrat sebesar 80.3% dan efisiensi fermentasi sebesar 48.9%. Kedua jenis khamir di atas masih menghasilkan bioetanol dengan rendemen yang sangat sedikit pada kondisi yang sudah dianggap optimum. Hasil identifikasi dari beberapa jenis khamir liar yang dilakukan oleh Inggit (2013), diperoleh hasil bahwasanya Pachysolen tannophilus dan Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang dapat mengkonversi galaktosa yang terdapat pada hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai modifikasi proses produksi bioetanol dari galaktosa oleh Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus yang merupakan khamir yang dianggap dapat mengkonversi galaktosa menjadi bioetanol. Penelitian mengenai modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol menggunakan perpaduan antara dua jenis khamir yang berbeda yaitu Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX diawali dengan pengeringan dan pengecilan ukuran dari bahan baku E. cottonii. Kemudian dilakukan karakterisasi dari E. cottonii. Tahap selanjutnya merupakan tahap hidrolisis dari E. cottonii sehingga komponen galaktan (polisakarida sulfat) dapat diubah menjadi galaktosa yang tidak lain merupakan gula penyusun polimer galaktan tersebut. Hidrolisis dilakukan dengan menggunakan asam. Menurut Tahezadeh dan Karimi (2007), hidrolisis asam dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida menjadi monomermonomernya. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan asam yang digunakan sebagai katalis dalam proses hidrolisis. Hidrolisis menggunakan H2SO4 menghasilkan total gula sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan HCl pada konsentrasi, waktu, dan suhu yang sama karena sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4. Hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan hidrolisis dengan konsentrasi rendah. Penentuan konsentrasi asam tergantung pada ukuran, bentuk, dan kadar air pada partikel lignoselulosa. Asam sulfat biasanya digunakan pada larutan terlarut dengan konsentrasi tidak melebihi 10% berat (asam sulfat umum digunakan tidak lebih dari 5%). Penggunaan asam dengan konsentrasi rendah selalu terjadi penambahan air yang banyak pada bahan lignoselulosa dan hal itu membutuhkan energi panas yang lebih banyak selama proses pemanasan. Tahap terakhir adalah tahap fermentasi yaitu hidrolisat asam encer E. cottonii yang dihasilkan dari proses hidrolisis menggunakan asam sulfat akan digunakan sebagai sumber karbon dalam memproduksi bioetanol. Proses fermentasi menggunakan dua jenis khamir, yaitu Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX. Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX merupakan khamir teradaptasi dengan metode adaptasi lambat pada media hidrolisat asam E. cottonii. Menurut Timsson (2007), Saccharomyces cerevisiae dapat memetabolisme galaktosa menjadi glukosa 6phosphate dengan menggunakan 5 (lima) enzim pada jalur metabolisme galaktosa. Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX merupakan khamir yang teradaptasi dengan metode adaptasi cepat pada media yang mengandung galaktosa. Hasil uji
4 laboratorium yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi tahun 2012, menjelaskan bahwa Pachysolen tannophilus IPBCC y 11.1149 yang diperoleh dari IPB Culture Collection (IPBCC) yang merupakan khamir yang belum teradaptasi pada media yang mengandung galaktosa dapat memproduksi bioetanol dari hidrolisat asam encer E. cottonii dengan rendemen yang masih sangat kecil yaitu sekitar 1,3% (v/v) dengan waktu fermentasi selama 5 hari. Oleh karena itu, dengan proses adaptasi yang dilakukan terhadap Pachysolen tannophilus IPBCC pada media yang mengandung galaktosa, diharapkan akan menghasilkan bioethanol dengan rendemen yang lebih tinggi dari yang dihasilkan oleh Pachysolen tannophilus IPBCC y 11.1149 yang belum teradaptasi ketika digunakan sebagai inokulum pada proses fermentasi dengan menggunakan hidrolisat asam encer E. cottonii sebagai sumber karbon. Tahap fermentasi diawali dengan adaptasi kedua jenis khamir tersebut pada media yang mengandung galaktosa. Selanjutnya kedua jenis khamir yang telah teradaptasi masing-masing akan ditumbuhkan pada media hidrolisat asam E.cottonii untuk mengetahui kemampuan khamir tersebut dalam mengkonversi galaktosa menjadi bioetanol. Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui modifikasi fermentasi secara curah bioetanol dari rumput laut (E. cottonii) sebagai substrat sehingga dihasilkan rendemen produk bioetanol yang tinggi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1. Mendapatkan informasi kemampuan fermentatif khamir teradaptasi terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan 2. Mendapatkan informasi pengaruh penambahan kultur berbeda setelah fermentasi 24 jam terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan 3. Mendapatkan informasi pengaruh penambahan kultur yang sama setelah fermentasi 24 jam terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan 4. Mendapatkan informasi pengaruh konsentrasi gula pereduksi pada media terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan Ruang Lingkup Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam menghasilkan produk bioetanol diantaranya, pH (Sassner et al., 2008), suhu (Sassner, 2008), oksigen (Barnett et al., 2000 ; Trust, 2008), waktu fermentasi (Prescot dan Dunn, 1981), konsentrasi gula dalam media (Wignyanto et al., 2001 ; Gaur, 2006), serta konsentrasi dan kondisi kultur yang digunakan (Wignyanto et al., 2001). Namun dalam penelitian ini, yang menjadi faktor utama yang ingin dikaji adalah kemampuan fermentatif khamir teradaptasi terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan, pengaruh refreshed culture setelah fermentasi 24 jam, serta pengaruh konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi terhadap rendemen bioetanol yang dihasilkan.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut (E. cottonii) E. cottonii merupakan alga merah yang terbentuk dari polisakarida linear yang biasa disebut “karagenan”. Karagenan adalah polisakarida yang diekstraksi dari beberapa spesies rumput laut atau alga merah (rhodophyceae) (Gambar 1). Karagenan adalah galaktan tersulfatasi linear hidrofilik. Polimer ini merupakan pengulangan unit disakarida. Galaktan tersulfatasi ini diklasifikasi menurut adanya unit 3.6-anhydro galactose (DA) dan posisi gugus sulfat (Campo et al., 2009). Selain galaktosa dan sulfat, beberapa karbohidrat juga ditemui, seperti xilosa, glukosa, uronic acids, dan substituen seperti metil ester dan grup pyruvate. Tiga jenis karagenan komersial yang paling penting adalah karagenan iota, kappa dan lambda. Sedangkan karagenan mu adalah prekursor karagenan kappa, karagenan nu adalah prekursor iota. Jenis karagenan yang berbeda ini diperoleh dari spesies rhodophyta yang berbeda. Secara alami, jenis iota dan kappa dibentuk secara enzimatis dari prekursornya oleh sulfohydrolase. Sedangkan secara komersial, jenis ini diproduksi menggunakan perlakuan alkali atau ekstraksi dengan alkali (Van De Velde et al., 2002).
Gambar 1 Skema struktur pengulangan disakarida pada karagenan (Campo et al., 2009)
6 Saat ini jenis karagenan kappa didominasi dipungut dari rumput laut tropis Kappaphycus alvarezii, yang di dunia perdagangan dikenal sebagai Euchema cottonii. Euchema denticulatum (dengan nama dagang Euchema spinosum) adalah spesies utama untuk menghasilkan jenis karagenan iota. Karagenan lamda diproduksi dari spesies Gigartina dan Condrus (Van de Velde et al., 2002). Menurut Doty (1985) Eucheuma cottonii sp. merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan dikenal dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional sesuai dengan nama daerahnya yaitu „cottonii’ padahal nama ilmiah sebenarnya adalah Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Klasifikasi Eucheuma cottonii sp. adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma : Euchema alvarezii Doty Species Kappaphycus alvarezii Doty Hidrolisis Asam Hidrolisis asam dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida menjadi monomer-monomernya. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan asam yang digunakan sebagai katalis dalam proses hidrolisis. Hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan hidrolisis dengan konsentrasi rendah (Tahezadeh dan Karimin, 2007). Keuntungan hidrolisis dengan konsentrasi tinggi adalah proses hidrolisis dapat dilakukan pada suhu yang rendah. Namun penggunaan asam konsentrasi tinggi mempunyai kelemahan antara lain jumlah asam yang digunakan sangat banyak, potensi korosi pada peralatan produksi, penggunaan energi yang cukup tinggi untuk proses daur ulang asam, dan terbentuk produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan hidroksimetil furfural (HMF). Hindrolisis menggunakan asam dengan konsentrasi rendah mempunyai keuntungan yaitu jumlah asam yang digunakan sedikit. Namun kerugian dalam penggunaan asam dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu tinggi dalam proses operasinya, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang dibuat dari besi, dan terbentuk produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan hidroksimetil furfural (HMF). Komponen furfural dan hidroksimetil furfural merupakan produk yang nantinya dapat menghambat proses fermentasi (Tahezadeh dan Karimin, 2007). Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama menggunakan asam dengan konsentrasi rendah untuk menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi hemiselulosa. Tahap ini biasanya menggunakan H2SO4 1 M pada suhu 80-1200C selama 30-240 menit. Tahap kedua menggunakan asam dengan konsentrasi lebih
7 tinggi untuk menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa, biasanya dilakukan dengan konsentrasi asam H2SO4 5-20 M dengan suhu 180 0C. Proses hidrolisis bertahap ini dapat memaksimalkan glukosa yang dihasilkan dan meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi, 2006). Penentuan konsentrasi asam tergantung pada ukuran, bentuk, dan kadar air pada partikel lignoselulosa. Asam sulfat biasanya digunakan pada larutan terlarut dengan konsentrasi tidak melebihi 10% berat (asam sulfat umum digunakan tidak lebih dari 5%). Penggunaan asam dengan konsentrasi rendah selalu terjadi penambahan air yang banyak pada bahan lignoselulosa dan hal itu membutuhkan energi panas yang lebih banyak selama proses pemanasan (Tahezadeh dan Karimin, 2007). Hidrolisis asam pada bahan lignoselulosa dan hemiselulosa merupakan komponen yang paling gampang terhidrolisis menjadi xilosa, manosa, asam asetat, galaktosa, dan sejumlah kecil ramnosa. Selulosa akan terdegradasi menjadi glukosa. Pada suhu dan tekanan yang tinggi, komponen glukosa, galaktosa, dan manosa terdegradasi menjadi hidroksimetil furfural (HMF) dan xilosa menjadi furfural. Komponen fenol terbentuk dari lignin yang terpecah sebahagian dan juga selama proses degradasi karbohidrat. Lignin merupakan komponen komplek yang tersusun oleh fenilpropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Ikatan kimia terjadi diantara lignin dan hemiselulosa bahkan terkadang juga dengan selulosa. Lignin sangat tahan terhadap reaksi kimia dan enzimatik (Palmqvist dan Hagerdal, 2000). Karakteristik hidrolisat untuk fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2 No 1 2 3 4 5
Tabel 2 Karakteristik hidrolisat untuk fermentasi Senyawa Konsentrasi Sumber HMF < 1 g/l Alvest et al. (1998) Furfural < 1.5 g/l Nigam (2001) Total Gula 10 – 18 % Frazier dnWeshoff (1978) Gula Pereduksi < 30 % Mungunwidjaj dan Suryani (1994) Total Asam < 20 (ml NaOH/g Van Zyl et al. (1998) bahan) Fermentasi Etanol
Bioetanol merupakan senyawa alkohol yang diperoleh melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang biasa digunakan dalam fermentasi glukosa menjadi etanol, adalah khamir dari spesies Saccharomyces cerevisiae. Pada umumnya fermentasi etanol dilakukan pada kondisi anaerob, karena adanya cukup oksigen (aerob) akan menjadikan Saccharomyces cerevisiae berkembang bagus tetapi pembentukan etanol sebagai salah satu produk metabolismenya hanya sedikit (Prescott dan Dunn, 1981). Menurut Oura (1983), secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku yangg mengandung gula (glukosa) terlihat pada reaksi berikut : Glukosa 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 ATP + 2 Kkal Dari reaksi di atas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas. Secara teoritis, 51.5% karbohidrat diubah menjadi etanol dan 48.9% menjjadi CO2.
8 Fermentasi dapat dilakukan dengan menggunakan media padat atau media cair. Menurut Rahman (1992), fermentai menggunakan media padat dan media cair mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Media padat mempunyai kelebihan karena cara pengoperasiannya yang sederhana, kontaminasi bukan merupakan masalah penting, bahan untuk media atau substrat mudah diperoleh, dan relatif murah harganya. Kekurangannya adalah memerlukan ruang yang luas, membutuhkan banyak tenaga kerja, sulit mengatur komposisi komponen-komponen media dan meniadakan komponen yang berpengaruh negatif terhadap proses fermentasi, dan sulit mengatir kondisi lingkungan fermentasi. Media cair mempunya kelebihan karena jenis dan konsentrasi media dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan, dapat memberi kondisi yang optimum bagi pertumbuhan, dan pemakaian medium lebih efisien. Untuk media fermentasi dapat digunakan bioreaktor yaitu setiap jenis wadah seperti tabung labu, labu erlenmeyer, dan fermentor yang digunakan untuk melangsungkan proses fermentasi yang dilakukan. Menurut Paturau (1981), fermentasi etanol membutuhkan waktu 30-72 jam. Menurut Prescott dan Dunn (1981), waktu fermentasi etanol yang diperlukan adalah 3 sampai 7 hari. Karakteristik Mikroba yang Mengkonversi Galaktosa Menjadi Bioetanol Kandungan gula dalam bentuk gula galaktosa pada E. cottonii membuat mikroba yang selama ini digunakan dalam memproduksi bioetanol kesulitan dalam mengkonversi gula galaktosa tersebut menjadi bioetanol karena gula yang selama ini dikonversi merupakan gula glukosa. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi yang dapat mengubah gula galaktosa menjadi gula glukosa. Menurut Timsson (2007) khamir dapat memetabolisme galaktosa menjadi α-D-glukosa-6fosfat melalui jalur Leloir (Gambar 2).
Gambar 2 Jalur Leloir (Timsson, 2007)
9 Gen dan protein penting yang dibutuhkan oleh Saccharomyces cerevisiae dalam metabolisme galaktosa dapat dilihat pada Tabel 3. Enzim yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae selama pertumbuhannya dalam memetabolisme galaktosa menjadi glukosa 6-phosphate adalah : 1. Galaktosa mutarotase dan UDP-galaktosa-4-epimerase (Gal10p) yang dapat mengubah (fosforilasi) β-D-galaktosa menjadi α-D-galaktosa 2. Galaktokinase (Gal1p) yang berfungsi mengubah α-D-galaktosa menjadi α-Dgalaktosa-1-fosfat. 3. Galaktosa-1-fosfat uridiltransferase (Gal7p) yang berfungsi mengubah α-Dgalaktosa-1-fosfat menjadi α-D-glukosa-1-fosfat. 4. Fosfoglukomutase (Pgm1p/Pgm2p) yang merupakan enzim terakhir yang digunakan dalam jalur Leloirsebagai katalis yang mengisomerisasi α-Dglukosa-1-fosfat menjadi α-D-glukosa-6-fosfat. Tabel 3 Gen dan Protein Penting Saccharomyces cerevisiae Protein
Function
Gal1p
Galactokinase, Can olso substitute for Gal3p Galactose permease Ligand sensor in the GAL genetic switch. No kinase activity Transcription factor (activator) in the GAL genetic switch
Gal2p Gal3p Gal4p
Lap3p Gal7p Gal10p Gal80p Mig1p
Pgm1p Pgm2p Cyc8p Tup1p Snf1p
dalam
Metabolisme
pada
Gene (common aliases) GAL1
YBR020W
Enzyme commission (EC) number 2.7.1.6
GAL2 GAL3
YLR081W YDR009W
* *
GAL4 (GAL81)
YPL248C
*
Aminopeptidase; Bloomycin hydrolase Galactose 1-phosphate uridyltransferase Galactose mutarotase and UDPgalactose 4-epimerase Transcription factor (repressor) in the GAL genetic switch Transcription factor which represses numerous system including the GAL genes in the presence of glucose Phosphoglukomutase (minor isoform) Phosphoglukomutase (major isoform)
LAP3 (GAL6) GAL7
YNL239W
3.4.22.40
YBR018C
2.7.7.12
GAL10
YBR019C
GAL80
YML051W
5.1.3.2 and 5.2.3.3 *
MIG1
YGL035C
*
PGM1 PGM2 (GAL5)
YKL127W YMR105C
5.4.2.2 5.4.2.2
Transcriptional co-repressor; acts in complex with Tup1p General transcriptional repressor; acts with Cyc8p
CYC8 (SNN6) TUP1
YBR112C
*
YCR084C
*
1ERJ (WD40 domain)
Protein kinase, phosphorylates Mig1p
SNF1
YDR477W
2.7.11.1
2EUE (kinase domain); 2FH9 (kinase domain dimer)
*Tidak sebagai enzim Timsson (2007)
Systematic gene name
Galaktosa
Protein databank accession number 2AJ4
1D66(DNA binding domain plus DNA; 1AW6 (DNA binding domain); 1HBW (Dimerisation domain 1IGCB
1Z45 2NVW
10 Berdasarkan laporan dari GB-Analyst report dikatakan bahwa mikroba yang efektif dalam memfermentasi glukosa akan bisa melakukan fermentasi terhadap galaktosa, contohnya adalah S.cerevisiae (Goh dan Lee, 2010). Hal ini didukung dengan hasil identifikasi dari beberapa jenis khamir liar yang dilakukan oleh Inggit (2013), diperoleh hasil bahwasanya Pachysolen tannophilus dan Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang dapat mengkonversi galaktosa yang terdapat pada hidrolisat asam E. cottonii menjadi bioetanol. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai modifikasi proses produksi bioetanol dari galaktosa oleh Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus yang merupakan khamir yang dianggap dapat mengkonversi galaktosa menjadi bioetanol. Klasifikasi dari Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi dari Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus Klasifikasi Spesifik Saccharomyces cerevisiae Pachysolen tannophilus Gambar
Kingdom Khamir Filum Ascomycota Subfilum Saccharomycotina Kelas Saccharomycetes Ordo Saccharomycetales Famili Saccharomycetaceae Genus Saccharomyces Spesies S. cerevisiae Sumber : Wikipedia.org (2013)
Khamir Ascomycota Saccharomycetes Saccharomycetales Saccharomycetaceae Pachysolen P. tannophilus
11
3 METODOLOGI Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC). Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut (E. cottonii) yang diperoleh dari Banten, kultur khamir (Saccharomyces cerevisiae IPBCC05.548 dan Pachysolen tannophilus IPBCC y 11.1149), asam sulfat, pepton, PDA (Potato Dextrose Agar), PDB (Potato Dextrose Broth), pupuk urea, pupuk NPK (Nitrogen, Posfor, Kalium), fenol, DNS, NaOH, HCl, etanol, aquadest, spiritus, heksana, desinsektan, kapur tohor, urea, NPK, vitamin B, mineral (MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, MnSO4.6H2O, CuSO4.5H2O dan CaCl). Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoclave, pH-meter, oven, lemari es, inkubator, neraca analitik, hemasitometer, spektrofotometer, freezer, alat destilasi, termometer, saringan, sarung tangan, tanur, kompor listrik, alat pengaduk, pemanas, plastik, piknometer, loop inokulasi, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, gelas piala, tabung Kjeldahl, tabung Soxhlet, buret, dan lain-lain. Prosedur Kerja Penelitian modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX dilaksanakan dalam dua tahap. Diagram penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Tahap pertama merupakan tahap pendahuluan yang meliputi pengecilan ukuran, pengeringan, karakterisasi E. cottonii dengan parameter yang diuji adalah kadar karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), protein, serat kasar, abu, dan kadar air. Tahap pendahuluan yang terakhir adalah hidrolisis E. cottonii menggunakan asam sulfat sehingga komponen selulosa dan hemiselulosa dari E. cottonii dapat terhidrolisis menjadi gula-gula penyusunnya (galaktosa) dan kemudian hasil hidrolisis disaring sehingga diperoleh padatan dan hidrolisat yang mengandung galaktosa. Tahap kedua merupakan tahap penelitian utama yang dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap adaptasi dan tahap fermentasi. Pada tahap adaptasi, khamir diadaptasi pada media yang mengandung galaktosa untuk mengkondisikan khamir tersebut pada media yang mengandung galaktosa. Tahap kedua adalah fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii yang mengandung galaktosa menjadi bioetanol dengan menggunakan dua jenis khamir yang telah teradaptasi (Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX). Untuk proses fermentasi, pada media hidrolisat asam encer E. cottonii ditambahkan trace element (Kofli et al., 2006) yaitu MgSO4.7H2O (2.4 g/L), FeSO4.7H2O (0.01 g/L), ZnSO4.7H2O (0.12 g/L), MnSO4.6H2O (0.024 g/L), CuSO4.5H2O (0.006 g/L) and
12 CaCl (0.12 g/L) serta Vitamin B (1 g/L), Urea (0.5% dari 0Brix), dan NPK (0.06% dari 0Brix) untuk memacu aktivitas pertumbuhan khamir dalam mengkonsumsi galaktosa menjadi bioetanol.
Gambar 3 Diagram alir penelitian modifikasi fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus Tahap Pendahuluan 1. Pengecilan ukuran E. cottonii Pengecilan ukuran E. cottonii dilakukan dengan menggunakan mesin pemotong hingga diperoleh E. cottonii dengan ukuran kecil berkisar ± 1 cm. 2. Pengeringan E. cottonii Pengeringan E. cottonii dilakukan dengan menggunakan sinar matahari dan oven (suhu ± 500C). 3. Karakterisasi E. cottonii Karakterisasi E. cottonii meliputi analisis terhadap kadar karbohidrat (SNI 01-2891-1992), protein (AOAC, 1995), serat kasar (AOAC, 1995), abu (AOAC, 1995), dan kadar air (AOAC, 1995) (Lampiran 1). 4. Hidrolisis E. cottonii dengan Menggunakan H2SO4 Hidrolisis E. cottonii menggunakan H2SO4 mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012). E. cottonii yang menggandung Total Dissolved Solid (TDS) berada pada kisaran 14-17.5 0Brix dari 10-15% (b/v) konsentrasi padatan dalam bentuk serbuk rumput laut kering dihidrolisis dengan H2SO4 3% selama dua kali 30 menit pada suhu 1210C, tekanan 1.5 bar menghasilkan gula dengan rendemen 32.8% (b/v) dengan 19.21% residu padatan. Perlakuan ini merupakan perlakuan terbaik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012). Proses
13 hidrolisis E. cottonii dengan menggunakan H2SO4 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Proses hidrolisis E. cottonii dengan menggunakan H2SO4 Hidrolisat yang diperoleh kemudian dianalisis kadar gula pereduksi (Miller, 1959) dan total padatan terlarut menggunakan brixmeter serta komponen gula sederhana (monosakarida) menggunakan High Performance Liquid Chromatogtaphy (HPLC) dengan Spesifikasi pengukuran : Fase gerak: H2SO40.008 N; Kolom: Aminex®HPX-87H; 300 mm x 7.8 mm; Detector: Reactive Index; Flow rate: 1 ml/min; Volume injeksi: 20 µl; Suhu kolom: 350C; Back Pressure: 1247 psi. Penelitian Utama 1. Penyiapan Inokulum Sel khamir yang berasal dari agar miring disegarkan pada media Potato Galactose Agar (PGA). Khamir yang telah disegarkan kemudian diinokulasikan pada media YMP Galaktosa untuk penyiapan inokulum yang akan digunakan pada tahap fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioethanol (Gambar 5).
Gambar 5 Proses penyiapan inokulum
14 2. Adaptasi Khamir dalam Media Galaktosa Khamir diadaptasikan dalam media yang mengandung galaktosa baik melalui cara adaptasi cepat maupun adaptasi lambat. Pada adaptasi cepat, sebanyak 10% (v/v) atau 1 ml kultur khamir dimasukkan ke dalam media yang mengandung galaktosa (YMP Galaktosa dan hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perbandingan 1:1) sebanyak 9 ml, yang kemudian diinkubasi selama 3 hari. Kultur kemudian dipanen dan dilakukan perhitungan jumlah total sel menggunakan hemasitometer, jumlah koloni sel yang tumbuh dengan metode plating, dan gula pereduksi. Pada waktu yang sama, sebanyak 10% cairan hasil fermentasi dimasukkan ke dalam media fermentasi baru, kemudian diinkubasi kembali pada media baru yang mengandung galaktosa, dan dilakukan pemanenan. Kegiatan ini akan diulang-ulang minimal 9 kali. Adapun pada adaptasi lambat, sebanyak 10% (v/v) atau 1 ml kultur khamir dimasukkan ke dalam media yang mengandung galaktosa (100% hidrolisat asam E. cottonii) sebanyak 9 ml, yang kemudian diinkubasi selama 3 hari. Kultur kemudian dipanen dan dilakukan perhitungan jumlah total sel menggunakan hemasitometer, jumlah koloni sel yang tumbuh dengan metode plating, dan gula pereduksi. Pada waktu yang bersamaan kultur khamir yang telah diinkubasi selama 3 hari disegarkan kembali pada media standar dan diinkubasi untuk penyegaran. Biakan segar kemudian diinokulasikan sebanyak 10% (v/v) pada media baru yang mengandung galaktosa dan diinkubasi kembali selama 3 hari. Kegiatan ini juga diulang hingga 9 kali. Penetapan waktu adaptasi selama 3 hari untuk tiap tahapan adaptasi didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih, et al. (2012) bahwasanya pertumbuhan optimal S. cerevisiae pada media galaktosa terjadi pada jam ke-48. Pada hidrolisat asam E. cottonii, selain mengandung galaktosa juga mengandung xilosa dan glukosa (Van De Velde, 2002). Oleh karena itu, pada tahapan adaptasi menggunakan hidrolisat asam E. cottonii, khamir dihadapkan pada kondisi pertumbuhan diauxic, yaitu terdapat lebih dari satu sumber karbon pada media hidrolisat asam encer E. cottonii sehingga khamir tersebut terlebihdahulu mengkonsumsi sumber karbon yang umum digunakan oleh khamir tersebut (glukosa dan xilosa) hingga berkurang dan kemudian mengkonsumsi sumber karbon yang belum umum digunakan oleh khamir tersebut (galaktosa). 3. Fermentasi Khamir Teradaptasi pada Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Fermentasi dilakukan dengan menumbuhkan masing-masing kultur khamir (S. cerevisiae IPBCC AL IX dan P. tannophilus IPBCC AC IX) pada media hidrolisat asam encer E. cottonii yang telah diberi trace element. Sebanyak 10% (v/v) kultur dimasukkan ke dalam media fermentasi, kemudian diinkubasi selama 4-6 hari secara anaerobik fakultatif pada suhu ruang dan pH 4.5-5. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali ulangan dengan parameter yang diuji selama fermentasi meliputi kadar gula pereduksi (Miller, 1959), kadar etanol menggunakan densitometer, dan jumlah total sel menggunakan hemasitometer sehingga diperoleh informasi mengenai efisiensi penggunaan substrat serta efisiensi fermentasi. Tahapan fermentasi hidrolisat
15 asam encer E. cottonii menjadi bioetanol menggunakan S. cerevisiae dan P. tannophylus dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi bioetanol menggunakan khamir teradaptasi. a)S. cerevisiae; b)P. tannophylus 4. Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii dengan Perlakuan Refreshed Culture Berbeda Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Fermentasi dilakukan dengan cara refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung selama 24 jam. Awal fermentasi, pada media hidrolisat asam encer E. cottonii yang telah diberi trace kemudian ditambahkan 10% (v/v) kultur S. cerevisiae IPBCC AL IX dan diinkubasi selama 24 jam secara anaerobik fakultatif pada suhu ruang dan pH 4.5-5. Setelah fermentasi berlangsung selama 24 jam oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX, pada media ditambahkan 10% (v/v) kultur P. tannophilus IPBCC AC IX, kemudian fermentasi diteruskan selama 4-6 hari secara anaerobik fakultatif. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali ulangan dengan parameter yang diuji selama fermentasi meliputi kadar gula pereduksi (Miller, 1959), kadar etanol menggunakan densitometer, dan jumlah total sel menggunakan hemasitometer sehingga diperoleh informasi mengenai efisiensi penggunaan substrat serta efisiensi fermentasi. Tahapan fermentasi hidrolisat asam E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam dapat dilihat pada Gambar 7.
16
Gambar 7 Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam 5. Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii dengan Perlakuan Refreshed Culture yang Sama Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Fermentasi dilakukan dengan cara refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung selama 24 jam. Awal fermentasi, pada media hidrolisat asam encer E. cottonii yang telah diberi trace element kemudian ditambahkan 10% (v/v) kultur S. cerevisiae IPBCC AL IX dan diinkubasi selama 24 jam secara anaerobik fakultatif pada suhu ruang dan pH 4.5-5. Setelah fermentasi berlangsung selama 24 jam oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX, pada media ditambahkan 10% (v/v) kultur S. cerevisiae IPBCC AL IX, kemudian fermentasi diteruskan selama 3-6 hari secara anaerobik fakultatif. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali ulangan dengan parameter yang diuji selama fermentasi meliputi kadar gula pereduksi (Miller, 1959), kadar etanol menggunakan densitometer, dan jumlah total sel menggunakan hemasitometer sehingga diperoleh informasi mengenai efisiensi penggunaan substrat serta efisiensi fermentasi. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam dapat dilihat pada Gambar 8.
17
Gambar 8 Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam 6. Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii dengan Perlakuan Perbedaan Konsentrasi Gula Pereduksi Berbeda dengan perlakukan pada fermentasi bioetanol tahap I, II, dan III, pada tahap IV, fermentasi dilakukan selama 6 hari dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi di awal fermentasi, yaitu 6% (b/v), 9% (b/v), 12% (b/v), dan 15% (b/v). Penambahan inokulum S. cerevisiae IPBCC AL IX dilakukan diawal fermentasi sebanyak 10 % (v/v). Pengamatan dilakukan terhadap kadar gula pereduksi (Miller, 1959), kadar etanol menggunakan densitometer, dan jumlah total sel menggunakan hemasitometer yang dilakukan pada awal dan akhir fermentasi sehingga diperoleh informasi efisiensi penggunaan substrat dan efisiensi fermentasi. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali ulangan. Fermentasi dilakukan secara anaerobik fakultatif pada suhu ruang dengan pH cairan 4.5-5. Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan H2SO4 hingga mencapai pH yang diinginkan. Nutrient yang ditambahkan berupa trace element. Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 9.
18
Gambar 9 Tahapan fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik E. cottonii dan Hidrolisat Asam Encer E. cottonii E. cottonii kering yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi bioetanol dengan menggunakan dua jenis khamir (S. cerevisiae IPBCC AL IX dan P. tannophilus IPBCC AC IX) terlebih dahulu dikarakterisasi untuk mengetahui komposisi kimia yang terdapat pada E. cottonii. E. cottonii yang dianalisis merupakan E. cottonii yang telah dikeringkan hingga kadar airnya di bawah 10%. Hasil analisis komposisi kimia E. cottonii (Tabel 5) memberikan informasi bahwa E. cottonii yang telah dikeringkan mengandung air sebesar 8.75% basis basah atau terdapat 0.0959 g air per g E. cottonii yang telah dikeringkan. Menurut Karunakara dan Gurusamy (2011) berat kering dari Euchema sp. sebesar 13.9 g yang diperoleh dari 20 g Euchema sp. dalam kondisi segar. Kadar abu yang terdapat pada E. cottonii sebesar 18.66% basis kering, nilai yang sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunizal (2004) yaitu sebesar 18.87% basis kering. Mineral yang terkandung dalam E. cottonii meliputi Na, K, Ca, Mg, Fe, Zn, Cu, dan iodium. Kadar protein yang terdapat pada E. cottonii sebesar 5.50% basis kering, nilai yang sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Yunizal (2004) yaitu sebesar 4.07% basis kering. Kadar karbohidrat yang terdapat pada E. cottonii yang telah dikeringkan adalah sebesar 29.45% basis kering yang terdiri dari 3.21% basis kering hemiselulosa dan 11.30% basis kering selulosa. Kadar karbohidrat pada E. cottonii yang digunakan sebagai bahan baku pada penelitian ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Yunizal (2004) yaitu sebesar 67.64% basis kering. Tabel 5 Hasil analisis komposisi kimia E. cottonii kering E. cottonii kering Komposisi kimia (% basis kering) Air 8.75 Abu 18.66 Protein 5.50 Karbohidrat 29.45 - Selulosa 11.30 - Hemiselulosa 3.21 Hemiselulosa adalah rantai polimer bercabang dari berbagai jenis monomer (monosakarida) yang berbeda atau sering disebut heteropolimer. Monomer hemiselulosa terdiri atas D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, Larabinosa, dan sedikit L-ramnosa. Selama hidrolisis berlangsung, hemiselulosa akan terdegradasi menjadi monomer-monomer penyusunnya. Selulosa merupakan senyawa organik dengan rumus (C6H10O5)n, sebuah polisakarida yang terdiri dari rantai linier dari beberapa ratus hingga lebih dari sepuluh ribu ikatan β(1→4) unit D-glukosa (Updegraff, 1969). Selama hidrolisis berlangsung, selulosa akan
20 terdegradasi menjadi monomer-monomer penyusunnya yaitu golongan monosakarida dan oligosakarida. Menurut Tong et al. (2007) Euchema mengandung karbohidrat yang merupakan komponen utamanya sebesar 70% basis kering. Rumput laut jenis ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan karagenan yang merupakan polisakarida linear yang sekitar 55% dari berat keringnya adalah D-galaktosa dan 3-6-anhidro-galaktosa. Menurut Lin et al. (2000) pada karagenan mengandung sebanyak 56.2% D-galaktosa dan 43.8% 3-6-anhidro-galaktosa. Hidrolisat asam encer E. cottonii diperoleh dengan cara dihidrolisis menggunakan asam H2SO4 3% yang dilakukan sebanyak 2 tahap. Hidrolisis dengan cara ini menghasilkan hidrolisat asam encer E. cottonii dengan rendemen ± 57.31% dengan total padatan terlarut sebesar ± 12.5 0Brix dan gula pereduksi sebesar ± 100 g/L atau ± 10% (b/v). Total gula pereduksi bisa lebih besar atau lebih kecil dari 10% (b/v) tergantung pada kesempurnaan proses hidrolisis. Hasil pengukuran komponen gula yang terdapat pada hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan High Performance Liquid Chromatogtaphy (HPLC) memberikan informasi bahwasanya komponen gula tertinggi yang terdapat pada hidrolisat asam encer E. cottonii yang diperoleh dari hasil hidrolisis 30 gram E. cottonii kering pada 100 ml larutan asam sulfat 3% (30 g/100 ml) adalah galaktosa yaitu 4.95% (Tabel 6). Selain galaktosa, pada hidrolisat asam encer E. cottonii juga terdapat glukosa, xilosa, dan maltoheptaosa dengan konsentrasi masing-masing secara berurutan adalah 0.25%, 0.04%, dan 0.02% (Tabel 6). Tabel 6 Karakterisasi komponen gula yang terdapat pada hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan HPLC Jenis Gula Konsentrasi (%) Galaktosa 4.95 Glukosa 0.25 Xilosa 0.04 Maltoheptaosa 0.02 Menurut hasi penelitian yang dilakukan oleh Karunakara dan Gurusamy (2011) pada Euchema sp terdapat beberapa jenis gula setelah dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatogtaphy (HPLC), yaitu DGalaktosa 3.6-anhidro-D-galaktosa, sulfat, D-galaktosa, dan glukosa. Dari keempat jenis gula yang terdapat pada Euchema sp, komponen gula tertinggi adalah D-galaktosa, sedangkan komponen gula terendah adalah glukosa. Adaptasi Khamir Dalam Media Galaktosa Adaptasi diperlukan untuk mengkondisikan khamir pada media yang mengandung galaktosa yang merupakan komponen terbesar dalam hidrolisat asam encer E. cottonii. Menurut Eddy (1954), adaptasi khamir diploid seperti Saccharomyces cerevisiae pada media galaktosa sebagai sumber karbon memberikan bukti bahwasanya terlibatnya pertumbuhan selektif dari beberapa sel yang telah bermutasi ke kondisi yang memungkinkan galaktosa mudah dimanfaatkan. Menurut Sheffner dan McClary (1954), percobaan adaptasi Saccharomyces cerevisiae pada galaktosa konvensional, telah menjadi kebiasaan untuk mengukur tingkat adaptasi dalam hal produksi karbondioksida dan
21 konsumsi oksigen dengan asumsi dasar bahwasanya kedua parameter tersebut dapat menjadi indikator adanya kegiatan galaktokinase dan fosfogalaktoisomerase yang merupakan enzim yang dapat memetabolisme galaktosa. Metabolisme galaktosa membutuhkan energi intensif, proses induktif oleh Saccharomyces cerevisiae, serta membutuhkan berbagai enzim yang harus disintesis, diantaranya galaktosa permease (GAL2), galaktokinase, heksosa-1fosfat uridiltransferase, dan UDP-glukosa-4-epimerase (Nevado et al., 1993; Lohr et al., 1995; Ostergaard et al., 2001). Hasil pengamatan jumlah total sel pada adaptasi lambat (AL) yang dilakukan pada S. cerevisiae IPBCC05.548 sehingga diperoleh strain yang diberi nama S. cerevisiae IPBCC AL terlihat bahwa jumlah total sel dan total sel hidup yang diperoleh cenderung memberikan data yang fluktuatif dari masing-masing tahapan adaptasi (Gambar 10). Hal ini dapat disebabkan karena kondisi lingkungan yang berbeda pada tiap tahapan adaptasi seperti konsentrasi gula pereduksi (Wignyanto et al., 2001 ; Gaur, 2006), ketersediaan oksigen (Barnett et al., 2000 ; Trust, 2008), pH (Sassner et al., 2008), serta konsentrasi dan kondisi kultur yang digunakan (Wignyanto et al., 2001).
Gambar 10 Hubungan antara tahapan adaptasi lambat S. cerevisiae pada media 100% hidrolisat asam encer E. cottonii dengan log jumlah total sel, log jumlah sel hidup, dan gula pereduksi. (♦) jumlah total sel; (■) jumlah sel hidup; (▲) gula pereduksi. (Setyaningsih et al., 2012) Hasil pengukuran kadar etanol yang dihasilkan setelah fermentasi menggunakan S. cerevisiae IPBCC yang telah teradaptasi, diperoleh informasi
22 bahwasanya konsentrasi etanol tertinggi dihasilkan oleh S. cerevisiae IPBCC yang telah teradaptasi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii sebanyak 9 kali, yaitu sebesar 0.268 % (v/v) (Setyaningsih et al., 2012). Hal ini yang mendasari pada tahap fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi etanol menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX yang merupakan khamir yang telah teradaptasi pada hidrolisat asam encer E. cottonii sebanyak 9 kali. Hasil pengamatan jumlah total sel pada adaptasi cepat (AC) yang dilakukan pada P. tannophilus IPBCC y 11.1149 sehingga diperoleh strain yang diberi nama P. tannophilus IPBCC AC terlihat bahwa jumlah total sel dan total sel hidup yang diperoleh semakin meningkat diakhir inkubasi untuk tiap tahapan adaptasi dengan data peningkatan yang begitu fluktuatif dari tiap tahapan adaptasi (Gambar 11). Hal ini dapat disebabkan karena kondisi lingkungan yang berbeda pada tiap tahapan adaptasi seperti konsentrasi gula pereduksi (Wignyanto et al., 2001 ; Gaur, 2006), ketersediaan oksigen (Barnett et al., 2000 ; Trust, 2008), pH (Sassner et al., 2008), serta konsentrasi dan kondisi kultur yang digunakan (Wignyanto et al., 2001).
Gambar 11 Hubungan antara tahapan adaptasi cepat P. tannophilus pada media campuran antara YMP Galaktosa dengan hidrolisat asam encer E. cottonii (1:1) dengan log jumlah total sel, log jumlah sel hidup, dan gula pereduksi. (♦) jumlah total sel; (■) jumlah sel hidup; (▲) gula pereduksi.
23 Hasil perhitungan viabilitas sel pada tiap tahapan adaptasi P. tannophilus IPBCC y 11.1149, diperoleh bahwasanya viabilitas sel tertinggi terdapat pada P. tannophilus IPBCC AC yang telah teradaptasi sebanyak 9 kali, yaitu sebesar 61.97% (Tabel 7). Hal ini memberikan informasi bahwasanya diakhir waktu untuk tiap tahapan adaptasi masih terdapat sel hidup dalam jumlah yang masih banyak. Semakin banyak jumlah sel yang hidup diakhir waktu inkubasi untuk tiap tahapan adaptasi, menandakan bahwasanya sel tersebut semakin teradaptasi dengan tingkat kejenuhan yang tidak begitu cepat. Tingginya viabilitas sel pada akhir adaptasi cepat P. tannophilus IPBCC yang telah teradaptasi pada media yang mengandung galaktosa sebanyak 9 kali, menjadi dasar penggunaan P. tannophilus IPBCC AC IX untuk digunakan pada tahap fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi etanol. Tabel 7 Hasil perhitungan viabilitas sel pada tiap tahapan adaptasi cepat P. tannophilus Jumlah total sel dan Jumlah Sel Hidup P. tannophilus IPBCC AC* Viabilitas Sel Jumlah Adaptasi (%) Jumlah total sel Jumlah Sel Hidup (sel/ml) (sel/ml) 7 I 2.92 x 10 7.77 x 106 26.63 II 2.33 x 107 8.93 x 106 38.29 III 2.13 x 107 7.23 x 106 34.04 7 6 IV 2.47 x 10 9.67 x 10 39.19 V 1.30 x 107 3.87 x 106 29.74 7 6 VI 1.77 x 10 5.13 x 10 29.06 VII 2.76 x 107 8.67 x 106 31.42 7 6 VIII 1.96 x 10 3.60 x 10 18.38 IX 2.03 x 107 1.26 x 107 61.97 * Adaptasi cepat pada campuran hidrolisat asam encer E. cottonii dengan YMP Galaktosa (1 : 1)
Ditinjau dari sisa gula pereduksi (Gambar 10 dan Gambar 11) yang terdapat dalam media di akhir waktu inkubasi untuk tiap tahapan adaptasi, sisa gula pereduksi cenderung menurun yang menunjukkan kemampuan S. cerevisiae IPBCC AL dan P. tannophilus IPBCC AC untuk mengkonsumsi gula yang ada selama adaptasi. Semakin tinggi sisa gula pereduksi, maka kemampuan S. cerevisiae IPBCC AL dan P. tannophilus IPBCC AC untuk melakukan metabolisme semakin rendah dan semakin rendah sisa gula pereduksi, maka kemampuan S. cerevisiae IPBCC AL dan P. tannophilus IPBCC AC untuk melakukan metabolisme semakin tinggi. Aktivitas S. cerevisiae IPBCC AL dan P. tannophilus IPBCC AC dalam mensintesis galaktokinase dan fosfogalaktoisomerase yang merupakan enzim yang dapat memetabolisme galaktosa terlihat dari adanya gelembung CO2 pada tabung durham yang diletakkan dalam tabung adaptasi (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sheffner dan McClary (1954), yaitu terbentuknya karbondioksida dari hasil respirasi menjadi indikator adanya kegiatan galaktokinase dan fosfogalaktoisomerase yang merupakan enzim yang dapat memetabolisme galaktosa. Selain itu, terciumnya aroma etanol yang berasal dari tabung adaptasi setelah ditumbuhi oleh S. cerevisiae IPBCC AL dan P. tannophilus IPBCC AC selama 3 (tiga) hari mengindikasikan adanya kegiatan galaktokinase dan
24 fosfogalaktoisomerase. Terbentuknya karbon dioksida pada tabung durham yang diletakkan pada tabung adaptasi dapat juga mengindikasikan terbentuknya etanol selama adaptasi. hal ini mengacu pada persamaan Gay Lussac yang menyatakan bahwa secara teoritis, konversi 1 molekul gula dapat menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul karbon dioksida. Hasil pengamatan morfologi sel S. cerevisiae IPBCC AL IX dan sel P. tannophilus IPBCC AC IX menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 kali dapat dilihat bahwasanya ukuran sel S. cerevisiae IPBCC AL IX berkisar antara 4.64-7.50 µm (Gambar 12-a) sedangkan ukuran sel P. tannophilus IPBCC AC IX berkisar antara 3.80-4.88 µm (Gambar 12-b). Data yang diperoleh memberikan informasi bahwasanya ukuran sel S. cerevisiae IPBCC AL IX lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran sel P. tannophilus IPBCC AC IX.
Gambar 12 Hasil pengamatan morfologi sel khamir yang telah teradaptasi. a) Morfologi S. cerevisiae IPBCC AL IX pada perbesaran 400x ; b) Morfologi P. tannophilus IPBCC AC IX pada perbesaran 400x Menurut Pelczar dan Chan (1986), pada umumnya sel khamir lebih besar dari pada kebanyakan bakteri, tetapi khamir yang paling kecil tidak sebesar bakteri yang terbesar. Khamir sangat beragam ukurannya, berkisar antara 1-5 µm lebarnya dan panjangnya dari 5-30 µm, biasanya berbentuk tunas, tatapi ada beberapa yang memanjang atau berbentuk bola. Setiap spesies mempunyai bentuk yang khas, namun sekalipun dalam biakan murni terdapat variasi yang luas dalam hal ukuran dan bentuk sel-sel individu, tergantung kepada umur dan lingkungannya. Khamir tidak dilengkapi flagellum atau organ pergerakan lainnya.
25
Gambar 13 Hasil pengamatan gelembung udara yang terbentuk pada saat adaptasi. a)Adaptasi lambat S. cerevisiae IPBCC05.548; b)Adaptasi cepat P. tannophilus IPBCC y 11.1149 Fermentasi Khamir Teradaptasi Pada Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Hasil pengamatan jumlah total sel selama fermentasi diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi maka jumlah total sel semakin meningkat (Gambar 14-A). Hal ini menandakan bahwasanya selama fermentasi berlangsung, sel khamir mengkonsumsi gula untuk tumbuh dan memperbanyak sel. Jumlah total sel S. cerevisiae IPBCC AL IX lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah total sel P. tannophilus IPBCC AC IX pada akhir fermentasi selama 6 hari. Namun, peningkatan jumlah total sel pada fermentasi yang berlangsung selama 6 hari untuk kedua jenis khamir relatif sama yaitu 13.67 kali lipat untuk sel S. cerevisiae IPBCC AL IX dan 13.37 kali lipat untuk P. tannophilus IPBCC AC IX. Rendahnya jumlah total sel S. cerevisiae IPBCC AL IX di akhir masa fermentasi didukung juga dengan jumlah penambahan total sel diawal fermentasi yang lebih sedikit jika bandingkan dengan jumlah total sel P. tannophilus IPBCC AC IX. Demikian halnya dengan tingginya jumlah total sel P. tannophilus IPBCC AC IX diakhir masa fermentasi didukung dengan jumlah penambahan total sel yang lebih banyak jika dibandingkan dengan total sel S. cerevisiae IPBCC AL IX. Semakin tinggi peningkatan jumlah total sel selama fermentasi sampai pada konsentrasi optimum, maka pertumbuhan sel semakin baik selama fermentasi. Hasil pengamatan sisa gula pereduksi selama fermentasi (Gambar 14-B) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX, sisa gula pereduksi semakin sedikit. Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan fermentasi menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX yang semakin lama waktu fermentasi, sisa gula pereduksi semakin tinggi. S. cerevisiae IPBCC AL IX mengkonsumsi galaktosa lebih baik jika dibandingkan dengan P. tannophilus IPBCC AC IX dengan efisiensi penggunaan substrat tertinggi sebesar 79.09% setelah fermentasi berlangsung selama 6 hari (Tabel 8). Efisiensi penggunaan substrat tertinggi pada fermentasi menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX adalah sebesar 15.39% setelah fermentasi berlangsung 4 hari (Tabel 8).
26
Gambar 14 Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi dengan log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol. ALog jumlah total sel; Bgula pereduksi dan konsentrasi etanol. (◊) log jumlah total sel S. cerevisiae IPBCC AL IX; (□) log jumlah total sel P. tannophilus IPBCC AC IX; (▲) gula pereduksi S. cerevisiae IPBCC AL IX; (x) gula pereduksi P. tannophilus IPBCC AC IX; (♦) konsentrasi etanol S. cerevisiae IPBCC AL IX; (■) konsentrasi etanol P. tannophilus IPBCC AC IX. Hasil perhitungan yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) selama fermentasi (Tabel 8) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX, yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) semakin tinggi. Sedangkan yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) selama fermentasi menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) semakin tinggi, kecuali fermentasi hari ke-5 yang menurun sehingga lebih rendah jika dibandingkan dengan fermentasi hari ke-4. Tabel 8 Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi Efisiensi Efisiensi Etanol Yp/s Waktu Fermentasi substrat (%) fermentasi (%) (% v/v) (b/b) S. cerevisiae IPBCC AL IX Hari ke-4 53.62±4.448 31.02±1.853 1.32±0.085 0.37±0.034 Hari ke-5 75.33±7.264 46.70±2.961 2.01±0.132 0.39±0.083 Hari ke-6 79.09±1.791 56.30±5.177 2.38±0.182 0.45±0.053 P. tannophilus IPBCC AC IX Hari ke-4 15.39±7.698 2.60±0.293 0.11±0.014 0.11±0.082 Hari ke-5 11.60±0.940 1.23±0.895 0.05±0.038 0.07±0.045 Hari ke-6 7.05±7.745 1.44±0.836 0.06±0.035 0.13±1.155 Hasil pengamatan konsentrasi etanol selama fermentasi (Gambar 14-B dan Tabel 8) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan fermentasi
27 menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX yang semakin lama waktu fermentasi, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin rendah. S. cerevisiae IPBCC AL IX mengkonsumsi galaktosa menjadi etanol lebih baik jika dibandingkan dengan P. tannophilus IPBCC AC IX dengan konsentrasi etanol yang dihasilkan sebanyak 2.38% (v/v) dengan efisiensi fermentasi tertinggi sebesar 56.39% setelah fermentasi berlangsung selama 6 hari. Konsentrasi etanol tertinggi pada fermentasi menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX adalah sebanyak 0.11% (v/v) dengan efisiensi fermentasi sebesar 2.60% setelah fermentasi berlangsung selama 4 hari. Tabel 9 Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi Khamir Waktu Konsumsi gula Etanol Sel fermentasi (% b/v) (% b/v) (% b/v) Hari ke-4 3.40±0.119 1.25±0.075 2.14±0.187 S. cerevisiae Hari ke-5 4.77±0.626 1.88±0.119 2.89±0.744 IPBCC AL IX Hari ke-6 5.05±0.373 2.27±0.209 2.74±0.474 Hari ke-4 0.95±0.484 0.10±0.012 0.85±0.494 P. tannophilus Hari ke-5 0.72±0.070 0.05±0.036 0.67±0.060 IPBCC AC IX Hari ke-6 0.44±0.480 0.06±0.034 0.38±0.406 Hasil terbaik konversi gula menjadi etanol dan sel pada tahap ini jika menggunakan persamaan Gay Lussac terjadi pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX selama 6 hari yaitu dari total gula yang terkonsumsi, sebanyak 45.34% gula terkonversi menjadi etanol dan sisanya 54.66% digunakan oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX untuk tumbuh dan memperbanyak sel serta menghasilkan produk lain seperti piruvat (Tabel 10). Proporsi gula yang terkonversi menjadi etanol dan sel mendekati persamaan Gay Lussac. Tabel 10 Hasil perhitungan presentase etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan khamir teradaptasi S. cerevisiae IPBCC AL IX P. tannophilus IPBCC AC IX Waktu Konsumsi gula Konsumsi gula Konsumsi gula Konsumsi gula Fermentasi menjadi etanol menjadi sel menjadi etanol menjadi sel (%) (%) (%) (%) Hari ke-4 36.86 63.14 11.05 88.95 Hari ke-5 39.49 60.51 6.91 93.09 Hari ke-6 45.34 54.66 13.32 86.68 Data yang diperoleh dari hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX memberikan informasi bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, maka jumlah gula yang terkonsumsi semakin tinggi, efisiensi penggunaan substrat semakin tinggi, jumlah total sel semakin banyak, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi, dan efisiensi fermentasi semakin tinggi. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX memberikan informasi bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, maka jumlah
28 gula yang terkonsumsi semakin rendah, efisiensi penggunaan substrat semakin rendah, jumlah total sel semakin banyak, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin rendah, dan efisiensi fermentasi semakin rendah. Konsentrasi etanol tertinggi hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX adalah sebesar 2.38% (v/v), efisiensi fermentasi sebesar 79.02%, dan yield etanol yang dihasilkan sebesar 0.45 g/g substrat yang difermentasi selama 6 hari. Konsentrasi etanol yang diperoleh sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2012) yang memproduksi bioetanol dari E. cottonii menggunakan Saccharomyces cerevisiae teradaptasi dengan waktu fermentasi 72-144 jam pada suhu ruang (300C) menghasilkan 2.20% (v/v) etanol pada fermentasi cair dengan efisiensi penggunaan substrat sebesar 80.3% dan efisiensi fermentasi sebesar 48.9%. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meinita, et al. (2012) yang memproduksi bioetanol dari hidrolisat asam karagenan Kappaphycus alvarezii (E. cottonii) menghasilkan etanol dengan yeald 0.21 g/g galaktosa. Konsentrasi etanol tertinggi hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX adalah sebesar 0.11% (v/v) dengan efisiensi fermentasi sebesar 2.60% yang difermentasi selama 4 hari. Konsentrasi etanol yang diperoleh pada penelitian ini relatif sama dengan konsentrasi etanol yang diperoleh pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Maleszka et al. (1982) yang menggunakan 2% D-galaktosa + 0.1% D-glukosa sebagai substrat dan P. tannophilus sebagai inokulum yang difermentasi pada kondisi aerob selama 7 hari pada suhu 30 0C menghasilkan etanol sebesar ± 0.1% (b/v), sedangkan perlakuan tanpa penambahan D-glukosa menghasilkan etanol < 0.05% (v/v) setelah fermentasi selama 9 hari pada kondisi yang sama dengan perlakuan penambahan 0.1% D-glukosa. Rendahnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dari hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX dapat disebabkan karena P. tannophilus IPBCC AC IX kurang maksimal dalam mengkonversi galaktosa menjadi etanol. Beberapa literatur menjelaskan bahwasanya P. tannophilus lebih familiar dalam mengkonversi gula xilosa menjadi etanol. Penelitian yang dilakukan oleh Sancheza et al. (2003) memproduksi etanol dari D-xilosa menggunakan P. tannophilus. Sebanyak 25 kg/m3 D-xilosa difermentasi selama 60 jam pada kondisi aerob dengan kecepatan agitasi 500 rpm, pH 4.5, dan suhu 303 K diperoleh etanol dengan yield etanol per substrat (Yp/s) sebesar 0.35 kg/kg dengan rata-rata produksi etanol spesifik (qE) sebesar 0.06 kg/kg jam. Selama fermentasi berlangsung, S. cerevisiae IPBCC AL IX menghasilkan etanol dengan konsentrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan etanol yang dihasilkan oleh P. tannophilus IPBCC AC IX selama fermentasi. Menurut Timsson (2007), S. cerevisiae dapat menghasilkan enzim yang dapat memetabolisme galaktosa menjadi glukosa pada jalur Leloir-nya. Enzim tersebut adalah galaktosa mutarotase dan UDP-galaktosa-4-epimerase (Gal10p) yang dapat mengubah (fosforilasi) β-D-galaktosa menjadi α-D-galaktosa, galaktokinase (Gal1p) yang berfungsi mengubah α-D-galaktosa menjadi α-D-galaktosa-1-fosfat, galaktosa-1-fosfat uridiltransferase (Gal7p) yang berfungsi mengubah α-Dgalaktosa-1-fosfat menjadi α-D-glukosa-1-fosfat, dan fosfoglukomutase (Pgm1p/Pgm2p) yang merupakan enzim terakhir yang digunakan dalam jalur Leloir sebagai katalis yang mengisomerisasi α-D-glukosa-1-fosfat menjadi α-D-
29 glukosa-6-fosfat. Glukosa yang dihasilkan dari proses metabolisme kemudian didegradasi menjadi etanol dan CO2 melalui satu jalur metabolisme yang biasa disebut glikolisis. Secara teoritis konversi 1 molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussac: C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 (gula) (etanol) (karbondioksida) Sedangkan P. tannophilus belum ditemukan literatur yang menjelaskan bahwasanya P. tannophilus dapat menghasilkan enzim yang dapat memetabolisme galaktosa menjadi glukosa pada siklus pertumbuhannya. Berdasarkan persamaan Gay Lussac dapat dijelaskan bahwasanya 51.1% gula diubah menjadi etanol dan 49.9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi hasil ini kebanyakan tidak dapat dicapai karena adanya hasil samping. Pada kenyataanya hanya 90-95% dari nilai ini yang dapat dicapai. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan dalam fermentasi tergantung pada jenis khamir yang dipakai dan kadar gula. Sedangkan konsentrasi produk samping dipengaruhi oleh suhu, aerasi, kadar gula, dan keasaman (Underkofler dan Hickey, 1954). Produk samping yang dihasilkan antara lain asam piruvat dan asam laktat. Berdasarkan persamaan Gay Lussac tersebut dapat diilustrasikan 100 g gula dapat terkonversi menjadi etanol sebanyak 51.14 g sedangkan sisanya 48.86 g menjadi karbondioksida. Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden Meyerhoff-Parnas (Gambar 15) yang merupakan reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor aseptor fosfat, reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi, reaksi oksidasireduksi, dan reaksi dekarboksilasi. Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat dan fruktosa-6-fosfat dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-fosfat kemudian dirubah menjadi fruktosa-1.6-di-fosfat kemudian dipecah mencadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat dan gliseraldehida-3-fosfat. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserol fosfat kemudian diubah menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehid-3-fosfat tereduksi membentuk 1.3difosfogliserat kemudian mengalami difosforilasi menjadi 3-fosfat-gliserat dengan melepaskan fosfat dan akseptor fosfat ADP membentuk ATP. Selanjutnya 3-fosfat-gliserat membentuk 2-fosfat-gliserat kemudian terbentuk asam fosfoenol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi dekarboksilasi, asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 yang kemudian akan mengalami reaksi oksidasi membentuk etanol.
30
Gambar 15 Jalur Metabolisme galaktosa menjadi bioetanol (Timson, 2007 dan Diwan, 2007) Selama fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan P. Tannophilus IPBCC AC IX berlangsung, terbentuk lapisan berwarna putih pada permukaan media fermentasi (Gambar 16-b) namun belum dapat dipastikan secara teoritis bahwasanya lapisan tersebut yang menyebabkan konsentrasi etanol yang
31 dihasilkan menjadi rendah meskipun sebahagian dari para peneliti menyimpulkan demikian. Sedangkan selama fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX berlangsung tidak terbentuk lapisan yang berwarna putih (Gambar 16-a).
Gambar 16 Hasil pengamatan kondisi permukaan media pada tahap fermentasi menggunakan khamir teradaptasi. a)S. cerevisiae IPBCC AL IX ; b)P. tannophilus IPBCC AC IX Lee et al. (1986) melakukan fermentasi dari beberapa jenis gula menjadi etanol menggunakan P. tannophilus dari beberapa jenis strain. Konsentasi gula diawal fermentasi untuk masing-masing jenis gula sebanyak 4% (b/v) kemudian difermentasi selama 72 jam pada suhu 300C dan pH 4.5. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee et al. (1986) dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Konsentrasi etanol maksimum hasil fermentasi dari beberapa jenis gula menggunakan P. tannophilus dari beberapa jenis strain Konsentrasi Etanol (% v/v) Strain D-Galaktosa D-Glukosa D-Manosa D-Arabinosa D-Xilosa NRRL Y2460 0.16 1.64 1.72 OR 0.67 eth1-I 0.05 1.56 1.54 OR 0.77 eth2-I 0.10 1.72 1.50 0.06 1.00 eth11 0.30 1.64 1.57 OR 0.99 Sumber : Lee et al. (1986) OR : Out of Range Dari semua jenis gula yang telah diujikan oleh Lee et al. (1986) menginformasikan bahwasanya fermentasi dengan menggunakan galaktosa sebagai sumber karbon menghasilkan etanol dengan konsentrasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan konsetrasi etanol yang dihasikan dari hasil fermentasi menggunakan glukosa, manosa, dan xilosa sebagai sumber karbon. Berdasarkan hasil penelitian ini dan didukung dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu, P. tannophilus kurang tepat jika digunakan sebagai inokulum dalam memetabolisme atau mengkonversi galaktosa menjadi etanol. Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan Refreshed Culture Berbeda Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam dilakukan dengan tujuan untuk mepercepat proses fermentasi. Fermentasi 24 jam pertama oleh S.
32 cerevisiae IPBCC AL IX dimaksudkan dengan tujuan agar S. cerevisiae IPBCC AL IX telah memetabolisme galaktosa menjadi glukosa sehingga ketika dilakukan refreshed culture menggunakan P tannophilus IPBCC AC IX, kedua jenis khamir tersebut dapat dengan cepat mengkonversi glukosa menjadi etanol secara bersamaan serta konversi xilosa yang terdapat pada hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi etanol oleh P tannophilus IPBCC AC IX (Lee et al., 1986; Sanchez et al., 1999; Sanchez et al., 2003). Perlakuan mix culture dalam sebuah proses konversi substrat menjadi produk tertentu telah banyak dilakukan oleh para peneliti-peneliti sebelumnya, bahkan telah diaplikasikan dalam sebuah industri, misalnya PT. Rajawali II Unit PSA Palimanan, Cirebon, Jawa Barat yang menggunakan jasa khamir jenis Saccharomyces sereviseae dan Saccharomyces ellypsoideous untuk memproduksi etanol dari molases (tetes tebu). Kedua jenis khamir ini dapat mengkonversi tetes tebu menjadi etanol meskipun ada beberapa perbedaan antara kedua jenis khamir ini, yaitu Saccharomyces sereviseae pada umumnya lebih baik tingkat ketahanannya terhadap perlakuan suhu dan tumbuh baik pada kondisi yang asam dibandingkan dengan Saccharomyces ellypsoideous. Saccharomyces serevisiae dan Saccharomices ellypsoideous dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar dan mempunya toleransi terhadap kadar etanol yang tinggi. Pencampuran kedua jenis khamir ini bertujuan untuk menciptakan saling melengkapi jika ada bahan dalam tetes tebu yang tidak dapat difermentasi oleh salah satu jenis khamir tersebut. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Collins (1951) yang melakukan mix culture antara Streptococcus lactis W2 dan Streptococcus cremoris HP dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan culture tersebut dalam memproduksi asam. Penelitian lain dilakukan oleh Tanaka et al. (1986) yang memproduksi etanol dari pati dengan sistem kultur campuran terimobilisasi oleh mikroorganisme aerobik dan anaerobik. Aspergillus awamori digunakan sebagai mikroorganisme amilolitik aerobik dan Zymomonas mobilis digunakan sebagai mikroorganisme penghasil etanol pada kondisi anaerobik. Pada kasus ini, konsentrasi etanol yang dihasilkan dari 100 g/L pati adalah sebesar 25 g/L dengan koefisien yield etanol per substrat (Yp/s) adalah 0.38 g etanol per gram substrat. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Felice et al. (2012) yang memproduksi etanol dari limbah industry keju (whey). Felice et al. (2012) melaporkan campuran mikroba Candida zeylanoides dengan Kluyveromyces marxianus mampu menghasilkan etanol sebagai produk fermentasi utama dari fermentasi whey. Konsentrasi etanol maksimum yang dicapai diperoleh dengan menggunakan kultur campuran pada kondisi hipoksia, tumbuh pada pH 4 dan suhu 300C, dengan rendemen etanol yang dihasilkan sebesar 60 g/L. K. marxianus merupakan mikroba penghasil etanol, sedangkan C. zeylanoides merupakan mikroba yang dapat mendegradasi limbah perairan oleh aktivitas proteolitik, lipolitik, dan reduktif (Ramalho et al., 2002). Hasil pengamatan jumlah total sel selama fermentasi diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi jumlah total sel semakin meningkat (Gambar 17-A). Hal ini menandakan bahwasanya selama fermentasi berlangsung, sel mengkonsumsi gula untuk tumbuh dan memperbanyak sel.
33
Gambar 17 Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol. ALog jumlah total sel; BGula pereduksi dan konsentrasi etanol. (♦) log jumlah total sel; (□) gula pereduksi; (◊) konsentrasi etanol. Hasil pengamatan sisa gula pereduksi dan konsumsi gula selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi 24 jam (Gambar 17-B) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, sisa gula pereduksi semakin rendah serta efisiensi penggunaan substrat yang semakin tinggi. Efisiensi penggunaan substrat tertinggi sebesar 82.42% setelah fermentasi selama 6 hari (Tabel 12). Hasil perhitungan yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) selama fermentasi (Tabel 12) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) cenderung fluktuatif dimana yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) pada fermentasi selama 5 hari menurun dari fermentasi selama 4 hari dan kembali naik pada fermentasi selama 6 hari. Hasil pengamatan konsentrasi etanol selama fermentasi (Gambar 17-B dan Tabel 12) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi serta efisiensi fermentasi yang tinggi. Konsentrasi etanol tertinggi pada fermentasi dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi 24 jam adalah sebesar 0.81% (v/v) dengan efisiensi fermentasi sebesar 19.78% setelah fermentasi berlangsung selama 6 hari. Tabel 12 Hasil Perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam Waktu Efisiensi Efisiensi Etanol Yp/s Fermentasi substrat (%) fermentasi (%) (% v/v) (b/b) 4 hari 61.19±9.148 14.04±0.591 0.57±0.022 0.16±0.021 5 hari 78.68±1.664 15.87±4.963 0.65±0.204 0.14±0.047 6 hari 82.42±0.736 19.78±5.557 0.81±0.228 0.16±0.044 Rendahnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dapat disebabkan karena adanya penambahan inokulum P. tannophilus IPBCC AC IX sehingga terjadi kompetisi antara S. cerevisiae IPBCC AL IX dan P. tannophilus IPBCC AC IX
34 yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan konversi galaktosa menjadi etanol oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX yang merupakan inokulum terbaik dalam mengkonversi galaktosa menjadi etanol jika ditinjau dari kemampuan masingmasing inokulum dalam mengkonversi galaktosa menjadi etanol pada tahap fermentasi dengan menggunakan hidrolisat asam encer E. cottonii sebelumnya. Hasil terbaik konversi gula menjadi etanol dan sel pada tahap ini jika menggunakan persamaan Gay Lussac terjadi pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii selama 6 hari yaitu dari total gula yang terkonsumsi, sebanyak 16.31% gula terkonversi menjadi etanol dan sisanya 83.69% digunakan oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX dan P. tannophilus IPBCC AC IX untuk tumbuh dan memperbanyak sel serta menghasilkan produk lain seperti piruvat (Tabel 13). Proporsi gula yang terkonversi menjadi etanol dan sel sangat jauh dari yang seharusnya jika menggunakan pendekatan persamaan Gay Lussac yaitu sebanyak 51.1% gula diubah menjadi etanol dan sisanya 49.9% diubah menjadi karbondioksida. Tabel 13 Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi 24 jam Waktu Konsumsi gula Etanol Persentase Sel Persentase Fermentasi (% b/v) (% b/v) Etanol (%) (% b/v) Sel (%) Hari ke-4 3.63±0.488 0.57±0.022 15.61 3.06±0.483 84.39 Hari ke-5 4.67±0.169 0.64±0.200 13.71 4.03±0.343 86.29 Hari ke-6 4.89±0.088 0.80±0.224 16.31 4.09±0.192 83.69 Data yang diperoleh dari hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam memberikan informasi bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, maka jumlah gula yang terkonsumsi semakin tinggi, efisiensi penggunaan substrat semakin tinggi, jumlah total sel semakin banyak, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi, dan efisiensi fermentasi semakin tinggi. Namun yang terjadi pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam diperoleh informasi yang sangat berbeda dengan tanpa dilakukannya refreshed culture berbeda, yaitu konsentrasi etanol yang dihasilkan sangat rendah jika dibandingkan dengan tanpa refreshed culture pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX meskipun sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi etanol yang dihasilkan pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan menggunakan P. tannophilus IPBCC AC IX. Rendahnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dapat disebabkan karena adanya penambahan inokulum P. tannophilus IPBCC AC IX sehingga terjadi kompetisi antara S. cerevisiae IPBCC AL IX dan P. tannophilus IPBCC AC IX yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan konversi galaktosa menjadi etanol oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX yang merupakan inokulum terbaik dalam mengkonversi galaktosa menjadi etanol jika ditinjau dari kemampuan masing-masing inokulum dalam mengkonversi galaktosa menjadi etanol pada tahap fermentasi dengan menggunakan hidrolisat asam encer E. cottonii sebelumnya. Selain itu, terbentuknya lapisan pada permukaan media fermentasi (Gambar 18) juga diduga sebagai salah satu faktor penghambat
35 pertumbuhan bagi S. cerevisiae IPBCC AL IX dan P. tannophilus IPBCC AC IX. Dalam kasus ini, P. tannophilus IPBCC AC IX dapat menjadi inhibitor bagi S. cerevisiae IPBCC AL IX dalam pertumbuhannya untuk memperbanyak sel dan mengkonversi galaktosa menjadi etanol.
Gambar 18 Hasil pengamatan kondisi permukaan media yang dipenuhi oleh lapisan putih pada tahap fermentasi dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan Refreshed Culture Yang Sama Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Hasil pengamatan jumlah total sel selama fermentasi diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi jumlah total sel semakin meningkat (Gambar 19-A). Hal ini menandakan bahwasanya selama fermentasi berlangsung, sel mengkonsumsi gula untuk tumbuh dan memperbanyak sel. Hasil pengamatan sisa gula pereduksi selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi 24 jam (Gambar 19-B) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, sisa gula pereduksi semakin rendah serta efisiensi penggunaan substrat yang semakin tinggi. Efisiensi penggunaan substrat tertinggi sebesar 53.06% setelah fermentasi selama 6 hari (Tabel 14). Hasil perhitungan yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) selama fermentasi (Tabel 14) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) semakin menurun.
36
Gambar 19 Hubungan antara waktu fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol. ALog jumlah total sel ; BGula pereduksi dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam. (♦) log jumlah total sel; (▲) gula pereduksi; (■) konsentrasi etanol. Hasil pengamatan konsentrasi etanol selama fermentasi (Gambar 19-B dan Tabel 14) diperoleh hasil bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi serta efisiensi fermentasi yang tinggi. Konsentrasi etanol tertinggi pada fermentasi ini adalah sebesar 1.76% (v/v) dengan efisiensi fermentasi sebesar 19.78% setelah fermentasi berlangsung selama 6 hari. Rendahnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dapat disebabkan karena adanya penambahan inokulum S. cerevisiae IPBCC AL IX yang mengganggu aktivitas dari sel S. cerevisiae IPBCC AL IX yang sudah mulai tumbuh pada media fermentasi. Tabel 14 Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam Waktu Efisiensi Efisiensi Etanol Yp/s Fermentasi substrat (%) fermentasi (%) (% v/v) (b/b) Hari Ke-3 19.73±2.354 23.36±1.799 0.94±0.073 0.84±0.172 Hari ke-4 29.26±1.564 28.75±1.941 1.16±0.078 0.69±0.092 Hari ke-5 43.35±5.711 39.10±1.575 1.58±0.064 0.65±0.138 Hari ke-6 0.57±0.053 53.06±1.726 43.53±3.905 1.76±0.158 Penambahan inokulum S. cerevisiae IPBCC AL IX setelah fermentasi berlangsung 24 jam dapat menyuplai oksigen berlebih pada media sehingga sel lebih cenderung memperbanyak sel dan sedikit memproduksi etanol. Hal ini didukung dengan data yang diperoleh yang memberikan informasi bahwasanya dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi berlangsung, sebahagian besar gula tersebut digunakan oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX untuk tumbuh dan memperbanyak sel dan sedikit yang digunakan sebagai etanol (Tabel 15).
37 Tabel 15 Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi 24 jam Waktu Konsumsi gula Etanol Persentase Sel Persentase Fermentasi (% b/v) (% b/v) Etanol (%) (% b/v) Sel (%) Hari ke-3 1.13±0.169 0.93±0.071 82.82 0.19±0.202 17.18 Hari ke-4 1.67±0.120 1.15±0.078 68.89 0.52±0.194 31.11 Hari ke-5 2.47±0.406 1.56±0.062 63.04 0.91±0.463 36.96 Hari ke-6 3.02±0.138 1.73±0.154 57.24 1.29±0.184 42.76 Hasil terbaik konversi gula menjadi etanol dan sel pada tahap ini jika menggunakan persamaan Gay Lussac terjadi pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii selama 3 hari yaitu dari total gula yang terkonsumsi, sebanyak 82.82% gula terkonversi menjadi etanol dan sisanya 17.18% digunakan oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX untuk tumbuh dan memperbanyak sel serta menghasilkan produk lain seperti piruvat (Tabel 15). Semakin lama waktu fermentasi dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi 24 jam tidak membuat presentasi gula yang terkonversi menjadi etanol semakin tinggi, melainkan presentasi gula yang terkonversi menjadi etanol semakin rendah. Data yang diperoleh dari hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam memberikan informasi bahwasanya semakin lama waktu fermentasi, maka jumlah gula yang terkonsumsi semakin tinggi, efisiensi penggunaan substrat semakin tinggi, jumlah total sel semakin banyak, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi, dan efisiensi fermentasi semakin tinggi. Namun yang terjadi pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture yang sama setelah fermentasi berlangsung 24 jam diperoleh konsentrasi etanol yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa refreshed culture pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan menggunakan S. cerevisiae IPBCC AL IX. Rendahnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dapat disebabkan karena adanya penambahan inokulum S. cerevisiae IPBCC AL IX yang mengganggu aktivitas dari sel S. cerevisiae IPBCC AL IX yang sudah mulai tumbuh pada media fermentasi. Dengan penambahan inokolum S. cerevisiae IPBCC AL IX setelah fermentasi berlangsung 24 jam dapat menyuplai oksigen berlebih pada media sehingga sel lebih cenderung memperbanyak sel dan sedikit memproduksi etanol. Menurut Prescot dan Dunn (1981), pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi berlangsung secara aerob. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Alkohol yang terbentuk akan menekan fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15% volume. Hal yang sama dikemukakan oleh Barnett et al. (2000), khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik selanjutnya digantikan proses fermentasi pada kondisi anaerobik karena tidak tersedia lagi oksigen. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada resprasi jauh lebih besar dibandingkan pada proses fermentasi. Bila terdapat udara pada proses fermentasi maka etanol yang
38 dihasilkan lebih sedikit karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula menjadi sel, karbondioksida, dan air. Selama fermentasi berlangsung tidak terbentuk lapisan pada permukaan media fermentasi seperti yang terbentuk pada permukaan media fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan refreshed culture berbeda setelah fermentasi berlangsung 24 jam. Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan Perbedaan Konsentrasi Gula Pereduksi Pada Media Hasil pengamatan jumlah total sel selama fermentasi diperoleh hasil bahwasanya jumlah total sel di akhir fermentasi lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah total sel diawal fermentasi (Gambar 20). Perbedaan konsentrasi gula pada media fermentasi menjadi hambatan bagi sel untuk tumbuh dan memperbanyak sel. Semakin tinggi konsentrasi gula pada media, pertumbuhan sel semakin terhambat sehingga jumlah total sel yang dihasilkan di akhir fermentasi semakin sedikit. Penelitian mengenai fermentasi dengan perlakuan konsentrasi gula yang meningkat dari 120-180 g/L, dapat menyebabkan terjadinya laju pertumbuhan yang menurun dan kelangsungan hidup khamir juga menurun (Bafrnacová et al., 1999;. Casey dan Ingledew, 1986; Ivorra et al., 1999;. Xu et al., 1996). Hal ini disebabkan karena khamir mengalami stres osmotik (Ivorra et al., 1999). Jumlah total sel tertinggi di akhir fermentasi tedapat pada fermentasi dengan konsentrasi gula pereduksi sebesar 9.10% (b/v) dengan jumlah peningkatan sebanyak 3.30 kali lipat dari jumlah total sel di awal fermentasi. Gaur (2006) mengatakan bahwasanya konsentrasi gula dalam substrat yang umum digunakan di dalam industri adalah sebesar 16-18%. Apabila konsentrasi gula lebih tinggi dari 18% akan menyebabkan tekanan osmottik yang mengurangi efisiensi proses fermentasi. Hasil pengamatan sisa gula pereduksi selama fermentasi dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi (Gambar 20) diperoleh hasil bahwasanya semakin tinggi konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi, sisa gula pereduksi semakin tinggi serta efisiensi penggunaan substrat yang semakin rendah. Efisiensi penggunaan substrat tertinggi sebesar 76.31% dengan konsentrasi gula pada media diawal fermentasi sebesar 6.57% (b/v) (Tabel 16). Rendahnya konsumsi gula selama fermentasi dapat disebabkan karena S. cerevisiae IPBCC AL IX yang digunakan saat fermentasi belum teradaptasi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii dengan konsentrasi gula pereduksi yang tinggi. Selain itu, konsentrasi gula pereduksi yang tinggi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii menyebabkan tingginya komponen toksik (HMF, Furfural, dan garam) yang terbentuk selama proses hidrolisis dengan menggunakan asam, sehingga pertumbuhan S. cerevisiae IPBCC AL IX menjadi terhambat (Tahezadeh dan Karimi, 2007). Hasil perhitungan yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) selama fermentasi (Tabel 16) diperoleh hasil bahwasanya semakin tinggi konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi, yield etanol yang dihasilkan per substrat yang terkonsumsi (Yp/s) semakin menurun dan kembali meningkat pada konsentrasi gula pereduksi sebesar 14.33% (b/b) pada media fermentasi.
39
Gambar 20 Hubungan antara perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii terhadap log jumlah total sel, gula pereduksi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan selama fermentasi. Pengamatan konsentrasi etanol selama fermentasi (Gambar 20 dan Tabel 16) diperoleh hasil bahwasanya semakin tinggi konsentrasi gula pada media diawal fermentasi, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin rendah serta efisiensi fermentasi yang rendah. Konsentrasi etanol tertinggi pada tahap fermentasi ini adalah sebesar 2.13% (v/v) dengan efisiensi fermentasi sebesar 76.31% yang terjadi pada perlakuan konsentrasi gula pada media diawal fermentasi sebesar 6.57% (b/v). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arrizon and Gschaedler (2002), semakin tinggi konsentrasi gula pada media, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi meskipun laju pertumbuhan maksimumnya (µmax) semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya stress osmotic yang dialami oleh S. cerevisiae (Ivorra et al., 1999).
40 Tabel 16 Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat, efisiensi fermentasi, dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam E. cottonii Konsentrasi 0Brix Efisiensi Efisiensi Etanol Yp/s gula pereduksi substrat fermentasi (% v/v) (b/b) (% b/v) (%) (%) 6.57 10.2 76.31±0.213 50.97±1.664 2.13±0.064 0.41±0.005 9.10 14.0 40.63±5.203 29.79±3.080 1.23±0.134 0.33±0.024 12.06 17.5 27.29±8.898 16.28±3.058 0.67±0.123 0.21±0.046 14.33 21.0 4.10±2.985 1.26±1.027 0.05±0.042 0.27±0.402 Konsentrasi gula yang semakin tinggi pada media fermentasi sampai konsentrasi maksimal yang dianggap sebagai konsentrasi optimum dapat meningkatkan perolehan etanol selama fermentasi. Konsentrasi gula yang terlalu berlebih dapat menghambat pembentukan etanol karena akan mengurangi jumlah oksigen terlarut pada media sehingga sel tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Roukas, 1996). Dalam proses fermentasi, oksigen tetap dibutuhkan walaupun dalam jumlah yang sedikit. S. cerevisiae membutuhkan oksigen untuk tetap tumbuh dan menjaga jumlah total sel tetap tinggi pada media fermentasi (Hepworth, 2005). Selain itu, peningkatan konsentrasi gula pada hidrolisat asam encer E. cottonii dengan cara pemekatan hidrolisat dapat meningkatkan komposisi inhibitor pada hidrolisat. Adanya inhibitor seperti hidroksimetilfurfural (HMF), furfural, asam asetat, dan asam levulinat yang terbentuk selama hidrolisis asam encer serta garam CaSO4 yang terbentuk setelah proses netralisasi dapat menghambat metabolisme S. cerevisiae sehingga mengakibatkan penurunan biomassa dan produksi bioetanol. S. cerevisiae yang tahan terhadap inhibitor bisa didapatkan dengan proses adaptasi. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dengan proses adaptasi S. cerevisiae pada media hidrolisat asam akan meningkatkan kemampuan S. cerevisiae dalam memfermentasi substrat yang mengandung inhibitor (Meinita et al., 2011; Hawkins & Peterson, 2011). Tabel 17 Hasil perhitungan jumlah etanol dan sel yang dihasilkan dari total gula yang terkonsumsi selama fermentasi dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam E. cottonii Konsentrasi 0Brix Konsumsi Etanol Persentase Sel Persentase gula pereduksi gula (% b/v) Etanol (%) (% b/v) Sel (%) (% b/v) (% b/v) 6.57 10.2 4.99±0.097 2.06±0.067 41.25 2.93±0.030 58.75 9.10 14.0 3.70±0.535 1.20±0.124 32.84 2.50±0.428 67.52 12.06 17.5 3.28±1.030 0.66±0.123 20.00 2.63±0.932 80.00 14.33 21.0 0.59±0.426 0.05±0.041 8.68 0.54±0.442 91.32 Hasil terbaik konversi gula menjadi etanol dan sel pada tahap ini jika menggunakan persamaan Gay Lussac terjadi pada fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan konsentrasi gula pada media diawal fermentasi sebanyak 6.57% (b/v) yaitu dari total gula yang terkonsumsi. sebanyak 41.25% gula terkonversi menjadi etanol dan sisanya 58.75% digunakan oleh S. cerevisiae IPBCC AL IX untuk tumbuh dan memperbanyak sel serta menghasilkan produk lain seperti piruvat (Tabel 17). Semakin tinggi konsentrasi gula pada media diawal
41 fermentasi tidak membuat presentasi gula yang terkonversi menjadi etanol semakin tinggi. melainkan presentasi gula yang terkonversi menjadi etanol semakin rendah. Data yang diperoleh dari hasil fermentasi hidrolisat asam encer E. cottonii dengan perlakuan perbedaan konsentrasi gula pereduksi pada media memberikan informasi bahwasanya semakin tinggi konsentrasi gula pereduksi pada media fermentasi. maka jumlah gula yang terkonsumsi semakin rendah. efisiensi penggunaan substrat semakin rendah. jumlah total sel semakin sedikit. konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin rendah. dan efisiensi fermentasi semakin rendah.
42
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwasanya kemampuan produksi etanol tertinggi dari khamir teradaptasi adalah 2.38% (v/v etanol pada fermentasi cair), dengan 79.09% efisiensi penggunaan substrat, dan 56.30% efisiensi fermentasi yang difermentasi selam 6 hari menggunakan Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX. Perlakuan penambahan kultur berbeda setelah fermentasi 24 jam tidak menghasilkan etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa dilakukannya penambahan kultur berbeda setelah fermentasi 24 jam. Perlakuan penambahan kultur yang sama setelah fermentasi 24 jam tidak menghasilkan etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa dilakukannya penambahan kultur yang sama setelah fermentasi 24 jam. Peningkatan konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii tidak menyebabkan konsentrasi etanol yang dihasilkan menjadi tinggi. melainkan semakin tinggi konsentrasi gula pereduksi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii, maka konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin rendah, efisiensi penggunaan substrat semakin rendah, dan efisiensi fermentasi semakin rendah. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai adaptasi khamir pada media galaktosa dengan konsentrasi gula pereduksi yang tinggi dengan tujuan agar khamir menjadi teradaptasi pada media yang konsentrasi gula pereduksinya tinggi, perlu dilakukan detoksifikasi pada media hidrolisat asam encer E. cottonii terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai media untuk fermentasi dengan tujuan meminimalkan komposisi toksik pada hidrolisat asam E.cottonii, perlu dilakukan modifikasi fermentasi lebih lanjut mengenai perpaduan dua kultur berbeda dalam mengkonversi hidrolisat asam encer E. cottonii menjadi etanol, perlu dilakukan optimasi proses hidrolisis rumput laut dengan tujuan untuk meningkatkan kadar gula pereduksi pada hidrolisat rumput laut yang dihasilkan, perlu dilakukan isolasi dan karakterisasi mikroba hidrolitik yang dapat mengkonversi rumput laut menjadi etanol dengan kemampuan konversi yang tinggi, serta perlu dilakukan rekayasa genetik pada S. cerevisiae dengan tujuan untuk menambahkan gen tertentu yang dapat mempercepat metabolisme galaktosa menjadi etanol.
43
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu HR. 2013. Evaluasi Saccharomyces cerevisiae Teradaptasi Hidrolisat Kappaphycus alvarezii Dalam Kemampuan Mengonversi Hidrolisat Menjadi Bioetanol. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pr. Adams JM and AJ Gallagher. 2008. Fermentation Study on Saccharina latissima for Production Considering Variable Pre-Treatments. J Appl Phycol. 21: 569-574. Arrizon J and Gschaedler A. 2002. Increasing Fermentation Efficiency At High Sugar Concentrations By Supplementing An Additional Source Of Nitrogen During The Exponential Phase Of The Tequila Fermentation Process. J Microbiol. 48: 965-970. Atmadja WS. Kadi A. Sulistijo. Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. PUSLITBANG Oseanologi. Jakarta (ID): LIPI. Bafrnacová P, Smogrovicova D, Slavikova I, Patkova J, Domeny Z. 1999. Improvement of Very High Gravity Ethanol Fermentation by Media Supplementation Using Saccharomyces cerevisiae. Biotec. 21: 337-341. Barnett JA, RW Payne, and D Yarrow. 2000. Yeast Characteristic and Identification. New York (US): Cambridge University Pr. Borine MG, RL de Leon, and MP Henry. 2011. Bioethanol Production From Farming Non-Food Macroalgae in Pacific Island Nations: Chemical Constituents. Bioethanol Yields and Prospective Species in The Philippines. Renewable and Sustainable Energy Rev. 15: 4432-4435. Campo VL. Kawano DF. Junior DBS. Carvalho II. 2009. Carrageenans. Biological Properties, Chemical Modifications and Structural Analysis, Carbohydrate Polymers. 77: 167-180. Candra KP, Sarwono, dan Sarinah. 2011. Study on Bioethanol Production Using Red Seaweed Euchema cottonii from Bontang Sea Water. J Coastal Dev. 15(1): 45-50. Casey GP and Ingledew WM. 1986. Ethanol tolerance in yeast. Crit Rev Microbiol. 13 : 219 – 280. Collins EB. 1951. Action of Bacteriophage on Mixed Strain Starter Cultures. I. Nature and Characteristics of the “Nascent Phenomenon”. J Dairy Science. 35(5): 371-380. Devis FH. 2008. Bioetanol Berbahan Dasar Ampas Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pr. Distantina S, Fadilah, Rochmadi, Fahrurrozi M, Wiratni. 2010. Proses ekstraksi karagenan dari Euchema cottonii. Naskah Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses. 4-5 Agustus 2010. Semarang. Dubois MK, Agilles, JK Hamilton, DA Rebers, and F Smith. 1956. Colorimetric Methods for Determination of Sugar and Related Substances. J Analitical Chemist. 28: 350-356.
44 Eddy AA. 1954. The Role of Mutation in the Adaptation of a Yeast to Galactose. Biol Sci. 142(907): 267-287. Felice BD, Blasi VO, Castro OD, Cennamo P, Martino L, Trifuoggi M, Condorelli V, Onofrio VD, Guida M. 2012. Genetic structure of a novel biofuel-producing microorganism community. J Genet. 91: 183-191. Gaur K. 2006. Process Optimatization for the Production of Ethanol via Fermentation. [dissertation]. Punjab: Thapar Intitute of Engineering & Technology Pr. Goh CS and Lee KT. 2010. A Visionary and Conceptual Macroalgae-based Third Generation Bioethanol (TGB) Biorefinery in Sabah. Malaysia as an Underlay for Renewable and Sustainable Development. Renewable and Sustainable Energy Rev. 14: 842-848. Hawkins MG and Peterson DJ. 2011. A strain of Saccharomyces cerevisiae evolved for fermentation of lignocellulosic biomass displays improved growth and fermentative ability in high solids concentration and in the presence of inhibitory compound. Biotec for Biofuels. 4: 49-62. Hepworth M. 2005. Technical. Environmental and Economic Aspects of Unit Operation for The production of Bioethanol From Sugar Beet in the United Kingdom. CET IIA Exercise 5. Corpus Christi College. http://rpi.edu/dept/bcbp/molbiochem/MBWeb/mb1/part2/glycolysis.htm [Internet]. 12 Februari 2013; [Diunduh 2013 Mei 3]. Inggit R. 2013. Potensi Khamir dalam Fermentasi Hidrolisat Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Menjadi Bioetanol. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pr. Ivorra C, Pérez-Ortin J, and Del Olmo M. 1999. An Inverse Correlation Between Stress Resistance and Stuck Fermentation in Wine Yeast. A Molecular Study. Biotec Bioeng. 64 (6) : 698 – 708. Karunakara S and Gurusamy R. 2011. Bioethanol production as Renewable Biofuel from Rhodopyhtes Feedstock. International J Biol Technol. 2(2): 94-99. Kofli NT, Keisuke N, Hiroshi S, Suteaki S. 2006. Responses of Different Strains of Saccharomyces cerevisiae to Osmotic Stress. Sains Malaysiana 35(2): 9-15. Lee H, James AP, Zahab DM, Mahmourides G, Maleszka R, Schneider H. 1986. Mutants of Pachysolen tannophilus with Improved Production of Ethanol from D-XylOse. J App Environ Microbiol. 51(6): 1252-1258. Lin L, Tako M, and Hongo F. 2000. Isolation and Characterization of Lcarrageenan from Euchema serra (Togekirinsai). J App Glycos. 47: 303310. Liu Y, Ray WJJ, and Baranidharan S. 1997. Structure of rabbit Muscle Prosphoglucomutes Refines at 2.4 A Resolution. Acta Cryst D. 53: 392450. Lohr D, Venkov P, and Zlatanova J. Transcriptional regulation in the yeast GAL gene family: a complex genetic network. FASEB J. 9: 777-787. Maleszka R, Wang PY, and Schneider H. 1982. Ethanol Production From DGalactose and Glycerol by Pachysolen tannophilus. J Enzyme Microbial Technol. 4: 349-352.
45 Martini A. 2003. Biotechnology of natural and winery associated strains of Saccharomyces cerevisiae. Intern Microbiol. 6: 207-209. Meinita MDN, Kang JY, Jeong GT, Koo HM, Park SM. 2012. Bioethanol Production From The Acid Hydrolysate Of The Carrageenophyte Kappaphycus alvarezii (cottonii). J App Phycol. 24 (4) : 857-862. Montgomery DC. 1997. Design and Analysis Experiment. 4 tn edition. New York (US): John Wiley and Sons. Nevado J, Navarro MA, and Heredia CF. 1993. Galactose inhibition of the constitutive transport of hexoses in Saccharomyces cerevisiae. Yeast. 9:111-119. Ostergaard S, Olsson L, and Nielsen J. 2001. In vivo dynamics of galactose metabolism in Saccharomyces cerevisiae: metabolic fluxes and metabolite levels. Biotec Bioeng.73: 412-425. Oura E. 1983. Reaction Products of Yeast Fermentations. Di dalam H. Dellweg. 1983. (ed). Biotechnology Vol III. New York (US): Academic Pr. Palmqvist E and Hargedal BH. 2000. Fermentation of Lignocellulosic Hydrolisates. I : Inhibition and Detoxification. J Bioresour Technol. 74: 17-24. Paturau JM. 1981. By Product of the Cane Sugar Industry : An Introduction to Their Industrial Utilization. Amsterdam: Elsevier Scientific Publ. Co. Pelczar MJ and Chan ES. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi 1. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Pr. Prescott SC and CG Dunn. 1981. Industrial Microbiology. New York (US): McGraw – Hill Book Co. Ltd. Purwadi R. 2006. Continue Ethanol Production from Diluted-Acid Hidrolizates ; Detoxification and Fermentation Strategy. [Thesis of Doctoral]. Chalmers: Chalmers University of Technology Pr. Rahman A. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta (ID): Arcan. Ramalho PA, Scholze H, Cardoso MH, Ramalho MT, Oliveira-Campos AM. 2002. Improved conditions for the aerobic reductive decolorisation of azo dyes by Candida zeylanoides. Enzyme Microb. Technol. 31: 848-854. Roukas T. 1996. Continuous Ethanol Production fromNonsterilized Carob Pod Extract by Immobilized Saccharomyces cerevisiae on Mineral Kissiris Using A Two-reactor System. J App Biochem and Biotec. Vol.59 No.3. Sakti I. 2013. Pacu Ekspor Rumput Laut Olahan. KPP Dorong Hilirisasi. http://www.antaranews.com/berita/353371/pacu-ekspor-rumput-lautolahan-kkp-dorong-hilirisasi [Internet]. Rabu. 16 Januari 2013 15:46 WIB; [Diunduh 2013 April 20]. Sanchez S, Bravo V, Castro E, Moya AJ, Camacho F. 1999. Compara- tive study of the fermentation of d-glucose/d-xylose mixtures with Pachysolen tannophilus and Candida shehatae. J Bioprocess Eng. 21: 525-532. Sanchez S, Bravob V, Moyaa AJ, Castroa E, Camachob F. 2003. Influence of Temperature on the Fermentation of D-Xylose by Pachysolen tannophilus to Produce Ethanol and Xylitol. J Process Biochem. 39: 673-679. Sassner P, Martensson CG, Galbe M, Zacchi G. 2008. Steam Pretreatment of H2SO4-Impregnated Salix for Production of Bioethanol. J Bioresour Technol. 99: 137-145.
46 Setyaningsih D, Sri W, Indah K, Nely M, Pandit H. 2012. Acid Hydrolysis Technique and Yeast Adaptation to Increase Red Macroalgae Bioethanol Production. The 2nd Korea - Indonesia Workshop & International Symposium on Bioenergy from Biomass. Serpong. Indonesia. 13-15 Juni 2012. Taherzadeh MJ and Karimi K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for Etanol from Lignocellulosic Material. J BioResour. 2: 472-499. Tanaka H, Kurosawa H, and Murakami H. 1986. Ethanol production from starch by a coimmobilized mixed culture system of Aspergillus awamori and Zymomonas mobilis. Biotec and Bioeng. 28(12): 1761-1768. Thoden JB, Sellick CA, Timson DJ, Reece RJ, Holden HM. 2005. Molecular Structure of Saccharomyces cerevisiae Ga11p. a Bifunctional Galactokinase and Trancriptional Inducer. J Biol Chem 282: 1534-1538. Timsson DJ. 2007. Galactose metabolism in Saccharomyces cerevisiae. Dynamic Biochemistry. Process Biotec and Molecular Biol (1):1 63-73. Tong HK, Lee KH, and Wong HA. 2007. Study of the Water ExtracTabel Components of the Red Seaweed Euchema spinosum. J Food Sci and Technol. 14: 265-275. Trust N. 2008. Ethanol Fermentation Batch Reactor Design Basics. Team Analysts. GB Analysts Reports. New Jersey (US): Hackensack Pr. Underkofler LA and RJ Hickey. 1954. Industrial Fermentation. New York (US): Chemical Publishing Co. Updegraff DM. 1969. Semimicro Determination Of Cellulose In Biological Materials. J Analytical Biochem. 32 (3): 420-424. Van de Velde F, Knutsen SH, Usov AI, Romella HS, Cerezo AS. 2002. 1H and 13 C High Resolution NMR Spectoscopy of Carrageenans: Aplication in Research and Industry. J Trends in Food Sci Technol. 13: 73-92. Wang DIC, CL Conney, AL Demain, P Dunhil, AE Humprey, MD Lily. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. New York (US): John Wiley and Sons Inc. Wignyanto, Suharjono, dan Novita. 2001. Pengaruh Konsentrasi Gula Reduksi Sari Hati Nanas Dan Inokulum Saccharomyces cerevisiae Pada Fermentasi Etanol. J Teknol Pert. 2 (1): 68-77. Winarno FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Xu P, Thomas A, and Gilson CD. 1996. Combined use of three methods for high concentration ethanol production by Saccharomyces cerevisiae. Biotec. 18 (12): 1439-1440. Yunizal. 2004. Teknologi Pengolahan Alginat. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan.
47 Lampiran 1 Prosedur Pengamatan a. Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Cawan alumenium kosong dipanaskan dengan oven 1050C selama 15 menit. kemudian didinginkan menggunakan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan diulang sampai didapatkan bobot tetap. Sampel sebanyak 4-5 g ditimbang dalam cawan alumenium yang telah dikeringkan, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C selama 3-5 jam. Setelah itu, cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, kemudian ditimbang. Prosedur pengeringan bahan diulang sampai didapatkan bobot tetap. Presentase kadar air dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan : A : Bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g) B : Bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g) C : Bobot sampel basa (g) b. Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 4-5 g ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tidak berasap menggunakan bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 6000C sampai menjadi abu. Cawan didinginkan menggunakan desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 6000C selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan : A : Bobot cawan berisi abu sampel (g) B : Bobot cawan (g) C : Bobot sampel basa (g) c. Penetapan Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal Sampel sebayak 0.2 g ditambahkan dengan 1 g CuSO4, 1.2 g Na2SO4, dan 2.5 larutan H2SO4 pekat dan didestruksi dalam labu Kjedhal selama 1 jam. Setelah dingin ditambahkan larutan NaOH 50% sebanyak 15 ml dan didestilasi. Destilat ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi larutan HCl 0.02 N. Destilat dititrasi dengan larutan HaOH 0.02 N yang sebelumnya telah ditambahkan indikator mensel. Penentuan kadar nitrogen berdasarkan volume larutan NaOH 0.02 N yang digunakan untuk titrasi. Blangko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode Kjedhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikur : (
Keterangan : FP : Faktor Pengencer
)
( ) FK : Faktor Konversi (6.25)
48
d. Penetapan Kadar Serat Kasar (AOAC. 1984) Sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N. Kemudian dihidrolisis menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1050C. Setelah dihidrolisis, kemudian sampel didinginkan. Setelah dingin, kemudian ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml untuk dihidrolisis kembali menggunakan autoklaf selama 15 menit. Setelah dihidrolisis kemudian sampel disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya. Sampel dibilas menggunakan air panas dan kemudian dibilas dengan 25 ml H2SO4 0.325 N. Setelah itu, sampel dibilas dengan air panas dan kemudian dibilas dengan 25 ml alkohol. Kertas saring dikeringkan menggunakan oven pada suhu 1050C sampai bobotnya tetap. Penentuan kadar serat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikur:
e. Penetapan Gula Pereduksi dengan Metode DNS (Miller. 1959) Prinsip metode ini adalah dalam suasana akali gula pereduksi mereduksi asam 3.5-dinitrolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Pereaksi: 1. Pereaksi DNS Dilarutkan 10.6 g asam 3.5-dinitrolisilat dan 19.8 g NaOH ke dalam 1416 ml air. Kemudian ditambahkan ke dalam larutan tersebut 306 g NaK-Tartat, 7.6 ml fenol, dan 8.3 g Na-metabi-sulfit. Diaduk hingga merata. 2. Pembuatan Kurva Standar Larutan glukosa standar 0.2-0.5 mg/l digunakan untuk mengetahui nilai gula pereduksinya dengan metode DNS. Hasil yang diperoleh diplotkan dalam grafik secara linear. 3. Penentuan gula pereduksi Cara kerja : Dimasukkan 1 ml sample ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian dibiarkan dingin sampai suhu ruang. Sampel diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Digunakan aquadest sebagai blanko. f. Uji kadar etanol (densitometer) Penetapan kadar etanol dilakukan secara tidak langsung dengan penetapan berat jenis hasil destilasi. Hasil fermentasi dimasukkan ke dalam tabung penyuling. Lalu panas diatur pada 78OC dan dibiarkan sampai tidak ada lagi hasil destilasi yang menetes pada botol penampung. Setelah itu. hasil destilasi kemudian diukur kadar alkoholnya dengan menggunakan densitometer sehingga diperoleh persentase alkohol pada destilat.
49 g. Uji rendemen etanol Perhitungan rendemem etanol (%b/b) dapat menggunakan persamaan sebagai berikut: ( ) Vol. Filtrat = 50 ml (Vol. Piknometer)
50 Lampiran 2 Perbandingan Beberapa Hasil Penelitian Sejenis Yang Telah Dilakukan No 1
2
3
4
Penulis & Judul
Etanol (% v/v)
Efisiensi Substrat (%)
Efisiensi Fermentasi (%)
Candra et al., 2008 Study on Bioethanol Production Using Red Seaweed Euchema cottonii from 4.6 Bontang Sea Water Setyaningsih et al., 2012 Acid Hydrolysis Technique and Yeast Adaptation to Increase Red Macroalgae 2.20 80.30 48.90 Bioethanol Production Abimanyu, 2013 Evaluasi Saccharomyces cerevisiae Teradaptasi Hidrolisat Kappaphycus alvarezii Dalam Kemampuan 1.94 59.85 36.57 Mengonversi Hidrolisat Menjadi Bioetanol Hasil Penelitian Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Euchema cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pachysolen tannophilus. Fermentasi Khamir Teradaptasi Pada 2.38 79.09 56.30 Hidrolisat Asam E. cottonii Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan refreshed 0.81 82.42 19.79 culture Berbeda Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Fermentasi HidrolisatAasam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan refreshed 1.76 53.06 43.53 culture Yang Sama Setelah Fermentasi Berlangsung 24 Jam Fermentasi Hidrolisat Asam Encer E. cottonii Dengan Perlakuan Perbedaan 2.13 76.31 50.97 Konsentrasi Gula Pereduksi Pada Media
51 Lampiran 3 Riwayat Hidup Penulis Muhammad Syukur Sarfat dilahirkan di Kendari pada tanggal 20 Oktober 1987. Putra pertama dari Sarimun Temi dan Wa Ode Latifa ini menyelesaikan pendidikan dasar di SD Lahontohe tahun 1994-2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP N 1 Tongkuno tahun 2000-2003, dan Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Tongkuno tahun 2003-2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada Bulan Agustus 2010, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang berjudul “Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat”. Pada tahun 2011, penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Program Magister. Institut Pertanian Bogor dan pada Bulan Juli 2013, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah menyelesaikan tugas akhir (tesis) yang berjudul “Modifikasi Fermentasi Hidrolisat Asam Encer Euchema cottonii Menjadi Bioetanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae IPBCC AL IX dan Pachysolen tannophilus IPBCC AC IX”.