Model Pengajaran Bahasa dengan Pendidikan yang Memanusiakan
Rosida Tiurma Manurung Program Magister Psikologi Sains, Universitas Kristen Maranatha, Bandung
Abstract Modern, digitalized, high tech, global era characterized by the development of sciences has transformed human beings into heartless machines with no sense of humanity and no concerns of their environment. Therefore, education should be packed with the perspective of humanism. Education should not be interpreted as a mere class teaching-learning activity; however, it should refer to the various processes and activities that should be productive; creative; include skills development, personality, integration, and excellence; as well as moral and spiritual reinforcement. Education should be managed and directed with clear objectives in order to develop positive values in learners. Education should be able to create figures with solid and proven character and personality both in the field of science and humanity. Humanizing education is the capablity of producing humans with sense of "humanity", characterized by helpfullness; empathy; honesty; sharing with others; loyalty; the willingness to take valuable lessons; being persistent and tenacious,; having high-respect of pluralism; tolerance; respect to others; patience; replied good for evil; always putting the good rather than evil, having continuous efforts to improve the quality of charity and kindness; humility; and sincerity. Therefore, the teaching materials must also be interpreted, filled, and imbued with the messages of humanity. These entire facts mean that teaching materials are not mere “soulless and empty” materials since if it is, then the materials will be like an empty casket with no benefits to humanity. An approach of humanism in modern era education is considered the most appropriate solution since it does not work like a machines. This means the students, teachers, and teaching materials should also be “humanized” in order to achieve educational goals optimally and in accordance with the vision and mission of education. This research discusses model of language teaching with humanistic perspective. Through language teaching with humanism approach, it is expected that, students and teachers may rediscover the "human side" that might have been lost and undetected. Keywords: models of language teaching, humanism, teachers, students, the modern era.
I.
Pendahuluan
Era mutakhir telah mengubah pola pikir, pola hubungan sosial, pola konsumsi, dan pola pandang manusia terhadap kehidupannya. Pada satu sisi, ini adalah akibat dari pertumbuhan dan perkembangan era melalui gerakan mutakhirisme yang bersumber pada paradigma pemikiran Barat. Pada sisi lain, hal ini juga merupakan keterpaksaan yang mesti dialami ketika masyarakat tak ada pilihan lain kecuali mengikuti dominasi pemikiran Barat itu. Era mutakhir telah membawa perubahan sosial budaya manusia. Segala bidang kehidupan, dari ekonomi, politik, pendidikan, transportasi, informasi, hingga kesenian, menata kembali dengan cara pandang yang lebih mutakhir. Rasionalisasi ditegakkan sebagai sarana untuk mencapai cita-cita mutakhir yang bebas, kritis, dan universal. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan agen modernisasi yang akan mewujudkannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah membawa perubahan yang berarti bagi umat manusia. Sebagai agen mutakhirisasi, kedua bidang tersebut telah menjadikan hidup lebih mudah, efektif, dan serba cepat. Manusia berlomba memajukan teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai anak panah yang melesat menembus batas-batas yang sebelumnya terlalu kokoh untuk didobrak. Rasionalisasi, eksplorasi realitas, dan eksperimen tanpa batas, merupakan konsep dasar faham mutakhirisme ini. Industrialisasi, teknologi informasi dan komunikasi, dan transportasi merupakan instrumen untuk mewujudkannya.
67
Zenit Volume 1 Nomor 1 April 2012
Kebebasan dan kemerdekaan universal umat manusia harus ditegakkan melalui penggunaan rasio tanpa batas. Keyakinan inilah yang kemudian menandai munculnya semangat dan gairah yang luar biasa untuk menerapkan mutakhirisasi sebagai satu-satunya gerakan yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Masa depan manusia terletak pada sebuah mutakhiritas kehidupan dan kesadasaran. Tanpa itu, betapa lambatnya sebuah kemajuan dan pertumbuhan umat manusia. Betapa tertinggalnya sebuah bangsa menolak paradigma pembangunan semacam itu. Alhasil, di belahan bumi manapun, gerakan modernisme menjadi satu-satunya pilihan yang tak terelakkan. Era mutakhir ditandai dengan adanya globalisasi, kemajuan teknologi informasi, modernisasi, dan berkembangnya ilmu pengetahuan yang membawa berbagai dampak pada masyarakat Indonesia. Era mutakhir yang modern, era global, berteknologi tinggi, serba digital, yang ditandai dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan telah mendorong manusia seperti mesin yang tidak punya hati, tidak memiliki rasa kemanusiaan, dan tidak memedulikan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, pendidikan harus dikemas dengan muatan yang berperspektif humanisme. Pada hakikatnya, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai aktivitas atau kegiatan belajarmengajar di kelas saja. Pendidikan haruslah mengacu kepada berbagai proses dan aktivitas yang harus bersifat produktif, kreatif, pengembang skill, kepribadian, integrasi, keprimaan, sampai pengokoh moral dan spiritual. Pendidikan harus diarahkan dan dikelola dengan tujuan yang jelas, yaitu mampu mengembangkan nilai-nilai positif pada peserta didik. Melalui pendidikan, harus dapat memunculkan sosok-sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kokoh dan teruji, baik dalam bidang keilmuan maupun dalam bidang kemanusiaan.
II. Kajian Teori Pendidikan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Oleh sebab melalui media pendidikan diharapkan lahir manusia paripurna dan berakhlak mulia. Diharapkan pula melalui pendidikan, dapat dihasilkan manusia yang akan membawa cahaya dan pencerahan bagi orang lain, masyarakat, dan kehidupan sekitarnya. Pendidikan pun harus dimaknai sebagai kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang sedang berproses menjadi manusia yang utuh, manusia yang sepenuhnya atau manusia utama. Itulah hakikat pendidikan, yang dianggap sebagai sumber mata air kehidupan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur. Jika kita membicarakan pendidikan, berarti kita memperbincangkan persoalan yang mendasar, hakiki, dan menyangkut manusia serta kehidupan manusia itu sendiri. Segala persoalan pendidikan pastilah akan menyangkut manusia. Oleh karena, selama ada kehidupan, selama manusia masih ada di muka bumi, dan selama manusia masih bernafas, selama itu juga pendidikan tetap ada. Pendidikan bukan sekadar aktivitas yang di dalamnya terjadi transfer ilmu, tetapi lebih dari itu, pendidikan harus dapat membuat peserta didik mampu mengembangkan dan mengeksplorasi potensi diri, kecerdasan emosi, dan makna eksistensi mereka dalam masyarakat. Menurut Zuchdi (2008), pendidikan yang memanusiakan (humanisasi pendidikan) mengandung pengertian, “ pendidikan yang mampu mewujudkan bangsa yang cerdas. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan iptek, model atau sistem pendidikan sudah mulai bergeser menjadi pendidikan yang tanpa”roh”, pendidikan yang “tidak memanusiakan”. Atmosfer pendidikan di negeri ini memang telah mengalami pergeseran makna. Semakin menjamurnya sekolah yang menganut sistem pengelolaan ala perusahaan; meskipun para pelakunya mengaku semua itu bermotif mulia untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan terjadinya pergeseran makna ini, bergeser pula orientasi dan urgensi pendidikan dari pembangunan karakter manusia Indonesia, ke arah pendidikan yang mengikuti selera pasar saja. Mudah dipahami kalau kemudian sekolah pun menjadi bagian dari ajang bisnis. Belum lagi kasus-kasus seperti jual beli gelar (ijazah palsu), kasus plagiatisme, praktik UN yang diwarnai kecurangan dan praktik kekerasan dalam dunia pendidikan, tanpa kita sadari, akan membunuh “kemanusiaan” dalam pendidikan.
68
Model Pengajaran Bahasa dengan Pendidikan yang Memanusiakan (Rosida Tiurma Manurung)
III.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan metode analisis deskriptif, yaitu masalah dibahas dengan berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan. Zulnaidi (2007) mengatakan bahwa metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur atau cara pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaaan objek penelitian (person, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada masa kini dengan mengacu kepada fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan karakteristik metode deskriptif dalam penelitian ini. 1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (pada saat sekarang) dan masalah-masalah yang aktual. 2. Menggambarkan fakta-fakta yang memiliki relevansi yang erat dengan permasalahan yang diselidiki sebagaimana adanya, konkret, faktual, tanpa diintervensi oleh pendapat pribadi. Agar penggunaan metode dalam penelitian ini dapat mencapai sasaran dan berhasil guna, metode deskriptif diaplikasikan dengan teknik pengumpulan data berdasarkan survei, studi hubungan, dan studi perkembangan.
IV. 4.1
Pembahasan Model Pendidikan yang Memanusiakan
Pada kenyataannya, guru kurang kreatif memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengoptimalkan media pembelajaran. Kedua, aktivitas belajar masih didominasi oleh metode ceramah dan proses pembelajaran kurang variatif sehingga kurang mengakomodir perbedaan gaya belajar siswa. Ketiga, penanaman nilai-nilai religius tidak menjadi bagian penting dalam pembelajaran bahasa. Keempat, kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan aktivitas komunikatif, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kelima, tidak adanya usaha menciptakan lingkungan berbahasa yang kondusif agar dapat meningkatkan motivasi para siswa untuk mempraktekkan bahasa yang mereka pelajari. Aplikasi pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa di sekolah dimulai dari perumusan rencana-rencana program pembelajaran, pelaksanaannya dalam metode serta teknik pembelajaran, hingga evaluasi. Pelaksanaan pembelajaran tentu tidak terlepas dari kurikulum yang berlaku saat ini. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2007 merupakan kurikulum yang mempunyai karakteristik pendekatan humanistik, karena tidak hanya berorientasi pada pencapaian materi semata, tetapi juga berpihak pada kebutuhan dasar siswa. Akan tetapi, tentu saja upaya humanisasi dalam pembelajaran bahasa tidak cukup hanya diwujudkan dalam perumusan kurikulum saja, melainkan perlu adanya dukungan dan konsistensi penuh dari seluruh stakeholder pendidikan, dan terutama usaha yang sungguh-sungguh dari guru untuk dapat mengimplementasikannya dalam pembelajaran di kelas. Dengan pendekatan humanistik ini, guru-guru bahasa dapat menciptakan suatu proses pembelajaran yang memberikan andil yang besar terhadap pembentukan karakter para siswa, dan membantu mereka untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal. Di samping itu, pendekatan humanistik yang diterapkan dapat melatih siswa untuk mampu belajar secara mandiri, terlatih untuk berpikir kritis dan kreatif, serta menimbulkan kepercayaan diri yang cukup besar untuk berbicara.
4.2
Model Pengajaran Bahasa yang Humanistik
Salah satu dampak bahasa adalah mengukuhkan nilai-nilai positif dalam dalam pikiran dan persaan manusia. Manusia bisa kreatif, bias berwawasan luas, bahkan bias menjadi pemimpin yang baik apabila ia menimba nilai-nilai yang dituangkan oleh pengarang dalam karya bahasa.
69
Zenit Volume 1 Nomor 1 April 2012
Bahasa dapat dikatakan selalu merupakan bagian yang amat penting dari peradaban mana pun di dunia ini. Masyarakat yang beradab dapat diartikan sebagai masyarakat yang yang mempunyai sopan santun dan kebaikan budi pekerti atau dapat pula diartikan sebagai masyarakat yang santun dan telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Peran lain dari bahasa adalah penyebaran ilmu pengetahuan. Bahasa diciptakan dengan memanfaatkan nuansa ilmu pengetahuan serta pola kehidupan masyarakat dan bangsa. Di dalam karya bahasa sering ditemukan ulasan-ulasan tentang iptek yamg dikembangkan oleh tokohnya, ataupun penemuan baru. Dalam era mutakhir, pengajaran bahasa di sekolah-sekolah dapat menggunakan perspektif humanistik, yaitu: 1. mengembangkan dan menumbuhkan nilai-nilai positif manusia, seperti suka menolong, berbuat baik, beriman, dan bertaqwa; 2. mengajarkan pesan moral kepada manusia, terutama pemimpin, agar berbuat yang sesuai dengan harapan masyarakat, mencintai keadilan, kebenaran, dan kejujuran; 3. mendorong orang untuk bekerja keras demi kepentingan dirinya dan kepentingan bersama; 4. memperkukuh dan menumbuhkembangkan karakter pribadi, identitas dan ketahanan bangsa yang positif, tangguh, dan kuat, demi mencapai cita-cita bangsa dan negara. Upaya untuk memperkukuh identitas dan ketahanan bangsa sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yaitu sejak masih anak-anak. Anak-anak sudah harus disuguhi bacaan bahasa yang mengandung plot dan karakter yang positif, menampilkan keragaman nilai budaya, dan disertai dengan ilustrasi yang menarik dan menawan tentang khazanah budaya lokal yang bercirikan Indonesia. Dalam dunia pendidikan, guru harus jeli memilih bahan ajar yang sarat dengan nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Dalam proses pembelajaran bahasa, guru mestilah menggunakan metode pembelajaran bahasa yang multikultural, melatih peserta didik untuk mengapresiasi nilai-nilai lokal yang mendidik, positif, dan luhur. Sudah tentu, dalam pemilihan karya bahasa yang akan diapresiasi haruslah disesuaikan dengan kemampuan kognitif dan psikologis peserta didik. Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, harus berani memasukkan pembelajaran bahasa multikultural dengan warna lokal dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, atau bahkan pendidikan tinggi. Dengan demikian, pengajaran nilai lokal dalam bahasa menjadi terwadahi. Dari sisi guru sendiri, guru harus mau mengajarkan bahasa di kelas, jangan hanya mau mengajarkan bahasa saja. Mengajarkan bahasa memang menuntut keahlian yang khusus. Guru pun harus merekonstruksi pola pikir mereka dalam perpspektif multikultural. Buku-buku bahasa merupakan sumber pembelajaran bahasa, tetapi yang tersimpan di perpustakaan sekolah masih sedikit dan terbatas. Oleh sebab itu, pemerintah dan masyarakat secara bahu-membahu diimbau untuk mengadakan program penggalangan dana untuk menambah koleksi buku bahasa di perpustakaan-perpustakaan sekolah baik di kota besar maupun sekolah terpencil. Masyarakat harus diberi penyuluhan dan pencerahan bahwa perbedaan itu indah, harus dihargai, dan diterima. Masyarakat Indonesia harus diajari dan diberi contoh mengenai sikap toleransi, setia kawan, tidak memaksakan kehendak, tidak main hakim sendiri, serta tidak memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Departemen Informasi dan Komunikasi harus secara tegas menyaring/menapis tayangantayangan yang kurang mendidik, main hakim sendiri, sarat dengan tindakan kekerasan, memojokkan salah satu etnis, dan pornografi di televisi. Di samping itu, secara tegas situs-situs porno harus diblokir dan ditutup. Lewat tayangan televisi dan berita di media cetak, dapat disisipi dengan ajaran tentang toleransi, pengendalian diri, moralitas, kesantunan, dan nasionalisme dalam masyarakat. Bahasawan diimbau untuk terus melahirkan karya-karya bahasa yang mencerminkan keindonesiaan dan lokalitas yang kental. Bahasawan sudah seharusnya mengangkat tema-tema yang menyoroti khazanah kekayaan budaya, kearifan lokal, moralitas, budi pekerti, agama, perbedaan kelas sosial, perbedaan etnis dan budaya, perbedaan gender, dan kecintaan terhadap bangsa. Bahasawan secara sadar atau tidak telah menjadi pemeran utama dalam upaya memperkukuh identitas dan ketahanan bangsa sehingga terwujud humanisasi dalam pendidikan. Dengan demikian, pada masa mendatang insan Indonesia semakin berkualitas baik secara intelektual, moral, maupun akhlak.
70
Model Pengajaran Bahasa dengan Pendidikan yang Memanusiakan (Rosida Tiurma Manurung)
Berikut ini akan dipaparkan pengajaran bahasa yang dapat “memanusiakan” peserta didik, guru, maupun materi ajar. 1. Pemberian materi ajar kebahasaan yang dapat menghubungkan guru, peserta didik, dan lingkungan, misalnya peserta didik harus membuat laporan hasil wawancara terhadap guru, teman, dan masyarakat sekitar sekolah tentang “semangat kebersamaan”. Dengan tema “semangat kebersamaan” dapat menumbuhkembangkan rasa kesatuan antaretnis, kepedulian, dan cinta tanah air. Para siswa dapat dipacu untuk menumbuhkembangkan rasa kemanusiaannya. 2. Pemberian tugas penganalisisan dan pengapresiasian karya sastra lokal yang mengandung keberagaman budaya, misalnya Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis yang mengemukakan latar dan kekayaan budaya Minangkabau, Para Priyayi karya Umar Khayam yang mengungkapkan nuansa dan ideologi Jawa, Antologi Puisi yang ditulis oleh D. Zawawi Imron yang menyoroti kultur Madura, Upacara karya Korrie Layun Rampan yang mengungkapkan eksistensi suku Dayak, Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang mengekspos kekayaan budaya Bali, dan Dim Sum Terakhir karya Clara Ng yang mendeskripsikan kehidupan di permukiman etnis China. 3. Dalam pembelajaran bahasa di kelas, harus terjadi interaksi antara guru dan siswa. Interaksi ialah hal saling melakukan aksi, ada hubungan timbal balik, ada komunikasi dua arah. Interaksi tentu saja bersifat dinamis, tidak statis. Dalam pembelajaran bahasa, interaksi secara verbal memang paling menonjol dan dominan. 4. Perlu adanya perancangan tugas-tugas yang memberdayakan karakter dan humanistik kepada peserta didik. Misalnya, memberikan tugas kelompok berupa laporan analisis hasil wawancara kepada pedagang kecil yang berjualan di dekat kampus. Selain peserta didik menerapkan teori teknik wawancara dan tata tulis laporan, mereka pun disentuh untuk mewujudkan care atau kepedulian kepada ”wong cilik”. Di samping itu, pemberian tugas berupa diskusi kelompok dengan cara role play, memaksa peserta didik untuk memberdayakan karakter kebangsaan mereka. Dengan role play, mereka dapat berkreasi dalam memainkan watak, bersinergi dengan yang lain, melatih penghayatan peran, melatih daya kepekaan, dan melatih untuk mengaktualisasikan diri. Role play dalam pembelajaran bahasa, misalnya, memainkan peran sebagai siswa perantauan yang berkuliah di kota besar yang diperolok-olokkan oleh teman-temannya karena menggunakan bahasa Indonesia yang berdialek daerah dang diinterferensi oleh percampuran bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Selain tercapainya materi ajar yaitu interferensi bahasa, juga kegiatan role play dapat menumbuhkan nilai moral yaitu menghargai sesama, kemajemukan, dan setiap pribadi memiliki keunikan. Pemberian tugas dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komputer, misalnya membuat power point yang kreatif, inovatif, dan penuh dengan visualisasi dan animasi ketika peserta didik mempresentasi tugas mereka. 5. Dengan pendekatan humanistik, kita dapat mendesain aturan di kelas. Misalnya, aturan tidak boleh mencontek, aturan tidak boleh terlambat, aturan berpakaian rapi, aturan memakai sepatu, aturan tidak mengaktifkan handphone, tidak makan atau minum di kelas, berdoa sebelum dan sesudah pembelajaran, dan aturan lain yang dapat memberdayakan keterampilan karakter kebangsaan. Dalam pembelajaran bahasa, kita dapat menerapkan aturan ”zona penggunaan bahasa baku, baik, dan benar” di dalam kelas jika ada yang melanggarnya boleh saja yang bersangkutan didenda (misalnya Rp5000,00 per pelanggaran dan hasilnya dapat disumbangkan untuk program adik asuh). 6. Peserta didik pun dapat mengembangkan diri dengan aktif dalam kegiatan teater, unit kesenian, olah raga, kelompok belajar, dan kelompok penelitian untuk meningkatkan karakter kebangsaan dan rasa kemanusiaan. 7. Untuk mendukung pembelajaran bahasa dengan pendekatan humanistik, diadakan kegiatankegiatan seperti debat antarkelas, presentasi hasil temuan penelitian oleh peserta didik di muka umum, lomba baca puisi dengan musikalisasi, penggunaan teknologi komputer dalam pembuatan poster tentang jargon/ ungkapan politik yang membangun dan mendidik bangsa, dan sebagainya. 8. Sebagai bentuk pembelajaran bahasa yang bertolok ukur humanistik secara bergilir setiap kelas paralel satu minggu sekali mengajar di sekolah dasar yang mayoritas siswanya anak dari orang tua yang berekonomi lemah Para siswa dilatih menjadi volunteer/sukarelawan untuk membantu adikadik mereka belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, belajar menulis, dan belajar membaca. 71
Zenit Volume 1 Nomor 1 April 2012
Kepekaan peserta didik untuk berempati, merasakan kondisi yang memprihatinkan, menyaksikan secara langsung penderitaan hidup, dan mengetahui bahwa di sekitarnya ternyata ada komunitas atau kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi akhirnya membuat peserta didik mau menghargai hidup dan kehidupan. Perlatihan menjadi volunteer dapat mengembangkan karakter kebangsaan dan pemahaman multibudaya peserta didik.
V. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, hal-hal yang ditemukan adalah sebagai berikut. 1. Bahasa mampu mengukuhkan nilai-nilai lokal yang positif dalam pikiran dan perasaan bangsa Indonesia. 2. Bahasa mampu menjadi alat penapis atau penyaring pengaruh dari luar. 3. Bahasa merupakan bagian yang sangat penting dan memegang peranan dalam peradaban bangsa apa pun di mana pun di dunia ini. 4. Pengajaran bahasa dapat dijadikan alat untuk menumbuhkembangkan karakter kebangsaan. 5. Pengajaran bahasa dapat dijadikan sarana untuk “memanusiakan” peserta didik, guru, maupun bahan ajar. 6. Anak-anak sudah harus disuguhi bacaan bahasa yang mengandung plot dan karakter yang positif, menampilkan keragaman nilai budaya, dan disertai dengan ilustrasi yang menarik dan menawan tentang khazanah budaya lokal yang bercirikan Indonesia sehingga mereka dapat menjadi insan yang berkarakter dan menjadi “manusia yang seutuhnya”, yang cinta kepada bangsa dan negara, peduli kepada sesama, dan berakhlak luhur.
Daftar Pustaka Alwi, Hasan. 1999. Telaah Bahasa dan Bahasa. Depdiknas: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Cultural Studies. 2000. Teori Bahasa Pengantar Komprehensif. Jakarta: Jalasutra Egleton Terry. Gulo, W. 2002. Strategi Belajar-mengajar. Jakarta: Gramedia. Masrukhi. 2009. Revitalisasi Pendidikan IPS sebagai Instrumen Integrasi Nasional. Dalam Integrasi Sosial dalam Bermasyarakat majemuk pada Era Global. Universitas Negeri Semarang: Fakultas Ilmu Sosial. Zulnaidi. 2007. Metode Penelitian. Medan: Universitas Sumatera Utara.
72