Model Kontrol Fiskal Daerah Dalam Hukum Keuangan Negara dan Beberapa Permasalahannya Oleh Rum Riyanto.S. 1. Keuangan Negara Pertama- tama perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa persepektif yang digunakan dalam uraian ini adalah persepektif Hukum Keuangan Negara. Dalam tulisan ini Hukum Keuangan Negara dimaknai sebagai sekumpulan aturan perundang-undangan yang yang berkaitan langsung maupun tidak langsung yang mengatur tentang pengelolaan keuangan negara dan membentuk suatu sistim pengelolan keungan negara. Pengetian hukum disini lebih mengarah pada hukum negara atau aturan tertulis. Explorasi yang dilakukan terhadap pengaturan keuangan negara, ditemukan berbagai perundang-undangan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan keungan negara, yaitu : 1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 3. UU Nomor 15Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Sementara itu keuangan negara sendiri, dirumusan dalam berbagi sudut pandang. Dalam pengertian yuridis,rumusan keuangan negara telah di konstruksikan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, tentang keuangan negara, dirumusan sebagai berikut : Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Selain pengertian tersebut, ditemukan pula berbagai definsi tentang keuangan negara. Tjandra 1menghimpun berbagai definsi tentang keuangan negara, sebagai berikut : Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka – angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya 1 tahun mendatang (M. Ichwan) Keuangan negara merupakan keseluruhan undang – undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut (Geodhart). Unsur – unsur keuangan negara meliputi : a. Periodik b. Pemerintah sebagai pelaksana anggaran c. Pelaksanaan anggaran mencakup 2 wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber – sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran – pengeluaran yang bersangkutan, dan d. Bentuk anggaran negara adalah berupa suatu undang – undang. Budget adalah suatu bentuk statement dari rencana dan kebijaksanaan manajemen yang dipakai dalam satu periode tertentu sebagai petunjuk atau blue print dalam periode itu (Glenn A. Welsch) Budget adalah suatu rencana keuangan untuk suatu periode waktu tertentu. Government budget (anggaran belanja pemerintah) adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode mendatang dan periode yang telah lampau. (John F. Due). Unsur – unsur ini mencakup : a. Anggaran belanja yang memuat data keuangan mengenai pengeluaran dan penerimaan dari tahun – tahun yang sudah lalu. 1
W. Riawan Tjandra” Hukum Keuangan Negara” Grisindo Jakrta 2006,hal 1-2
b. Jumlah yang diusulkan untuk tahun yang akan datang. c. Jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan. d. Rencana keuangan tersebut untuk suatu periode tertentu. Anggaran belanja adalah suatu pernyataan rinci tentang pengeluaran dan penerimaan pemerintah untuk waktu satu tahun (Otto Ekstein) Keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang ataupun barang) yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak – hak tersebut (Van Der Kemp) Dalam tulisan ini, tidak dibahas status keilmuan dari hukum keuangan negara. Dengan pertimbangan bahwa pembahaan status keilmuan hukum keuangan negara atau bahkan ilmu hukum secara general, lebih banyak menjadi domeinnya para ilmuwan hukum dan dikalangan para ahli hukum sendiri masih terdapat silang pendapat 2. 2. Otomomi Derah dan Desentarilisasi Fiskal 2.1. Perkembangan penyelengaran otonomi daerah Setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru tahun 1998, pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengalami perubahan yang sangat besar. Hal ini ditandai dengan terjadinya pergesaran dalam penyelengaraan otonomi daerah, dari semangat yang sentralistik kepada semangat desenstralistik. Perubahan ini terjadi, setidak-tidaknya didorong oleh dua faktor penting, yaitu : Pertama terjadinya ketimpangan kemajuan pembangunan antar daerah, terutama antara daerah di pulau Jawa dengan daerah-daerah diluar Pulau Jawa. Ketimpangan ini menimbulkan ketidak puasan daerah-daerah terutama daerah2
Firdaus dalam salah satu tulisannya menyatakan Apakah ilmu hukum merupakan suatu ilmu, masih banyak silang pendapat. Lihat Firdaus dalam “ otonomi keilmuan dan kebebasan Akademik “ 2003, paper
daerah luar pulau Jawa yang merasa mereka tidak mendapat perhatian yang memadai dalam pembangunanan selama masa pemerintahan orde baru. Akibatnya timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang menghendaki perubahan pada pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam kerangka federalisme. Pemikiran-pemikiran ini muncul sebagai reakasi untuk mengatasi kesenjangan pembangungan antara daerah yang dekat dengan pusat pemerintah dengan daerah-daerah yang berda diluar pusat pemerintahan. Kedua terjadinya kecemburuan dari daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam yang berlimpah, terhadap hasil pengelolaan sumber daya alam tersebut, yang selama orde baru berkuasa diatur dan dikuasai pemerintah pusat. Kedua faktor tersebut lahir sebagai bagian dari arus besar demokratisi yang melanda kehidupan politik global. Sebagai titik kompromi dari berbagai tuntutan perubahan pola penyelengaraan pemerintahan daerah, maka otonomi daerah merupakan suatu kata kunci yang memberikan harapan yang besar bagi daerah untuk melaksanakan pembangunan dan mensejahterakan rakyat Indonesia di daerah. Acuan normatif pertama yang berkaitan dengan penyelengaraan pemerintahan daerah atau otonomi daerah pasaca pemerintahan orde baru adalah Ketetapan Majelis Permusyawarat Rakyat RI nomor XV tahun 1998, yang ditetapkan dalam Sidang Istimewa Majelis Permusywaratan Rakyat pada bulan November 1998. Ketetapan MPR nomor xv tahun 1998 memuat enam (6) point dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu ; Penyelengaraan otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah. Pengaturan,pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara keseluruhan. Pengelolaan sumberdaya alam
dilakukan secara efektif dn efisien, bertanggungjawab, transparan, terbuka dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil,menengah dan koperasi. Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah,luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Pemerintahan daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan. Penyelengaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka mempertahankan dan memperkokoh Negara Kesatuan RI dilaksankan berdasarkan azas kerakyatan dan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan masyarakat. Ketetapan MPR nomor XV tahun 1998, dinyatakan masih tetap berlaku,sampai waktu yang tidak ditentukan. Dari ketetapan MPR/XV/1998 tsb, kemudian mengalir berbagai perundangan-undangan yang berkaitan dengan penyelengaraan pemerintahan daerah. Mulai dengan UU/22/99, tentang Pemerintahan Daerah; UU/34/2000, tentang Pajak dan Retribusi Daerah; UU/32/2004,tentang pemerintahan Daerah; UU/33/20004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Kelahiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, merupakan tonggak awal terjadi perubahan pola penyelanggaraan pemerintah daerah di Indonesia, pasca orde baru. Undang-undang ini, mendapat sambutan yang gegap gempita, baik oleh para ilmuwan maupun komponen masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan prinsip pengaturan penyelenggaran pemerintahan daerah dengan konsep otonomi yang luas , menjungkirbalikan model penyelengaraan pemerintahan daerah yang bersifat sentralistik, yang mulai dibangun Bung Karno dibawah rezim demokrasi terpimpin , hingga masa pemerintahan orde baru dengan undangundang nomor 5 tahun 1974.
Dari sudut pandang teoritik, konsep otonomi daerah yang dilandasi azas desentaralisai sebagai yang dianut dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999, dimaknai sebagai pembagian kewenangan antarpemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Timbulnya pemaknaan baru ini memutar balikan pemahaman yang selama ini kita pahami terhadap konsep otonomi. Berbagai literatur baik yang berasal dari ilmu politik maupun hukum tatanegara, selalu memaknai otonomi daerah beserta azas desentralisasi sebagai penyerahan urusan dari pemerintahan tingkat atas kepada pemerintahan tingkat bawah. Perbedaan pemaknaan terhadap konsep otonomi dan azas desentralisasi menimbulkan persepsi yang keliru terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Akibatnya timbul anggapan bahwa negara Indonesia, telah beralih menjadi negara federal. Dari sisi politik, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dengan sendirinya mengubah pola dan budaya politik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sejak era orde lama hingga orde baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat kental dengan semangat sentralistik. Peranan pemerintah pusat sangat dominan dalam penyelengaraan pemerintahan derah. Kehadiran pemerintah pusat lewat instansi vertikalnya di setiap daerah, lebih mendominasi kegiatan pembangunan di daerah. Dengan lahirnya UU/22/99, hampir semua urusan pemerintah diserahkan kepada pemerintah daerah, kecuali dalam urusan pertahanan dan keamanan, moneter, diplomatik,dan keagamaan. Besarnya urusan yang diserahakan kepada pemerintah daerah, dengan sendirinya akan mengurangi kewenangan pemerintah pusat, khususnya kewenangan departemen teknis. Pemilu tahun 1999, melahirkan pemerintahan baru. Pemerintah Habibie yang merupakan konseptor dan inisiator lahirnya UU/22/99 digantikan oleh pemerintahan Abdurahman Wahid. Pergantian anggota kabinet dengan sendirinya akan mengikuti pergantian pimpinan nasional. Undang-undang 22/99 yang dinyatakan mulai berlaku pada tahun 2000, akan mendapat jiwa dan ruh yang baru.
Bersaman dengan itu pemerintahan yang otokratis semasa orde baru digantikan oleh pemerintahan partai politik. Para politikus di daerah ini yang memberikan jiwa dan ruh terhadap kehidupan UU/22/99. Setelah memerintah selama dua tahun, kemelut politik nasional kembali memuncak yakni antara Presiden dengan DPR dan MPR. Walhasil dari kemelut tersebut adalah jatuhnya Presiden Abdurahman Wahid dan digantikan oleh Megawati. Semangat penolakan terhadap UU/22/99, yang telah muncul sejak pergantian pemerintah Habibie, yang digantikan Abdurahman Wahid, semakin mengkristal di bawah pemerintahan Megawati. Isu tentang negara kesatuan diangkat lagi ke permukaan, model penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti yang tertuang dalam UU/22/99, dicurigai sebagai bentuk awal terjadinya negara federal. Hal itu diperparah lagi dengan eforia reformasi dan eforia otonomi daerah yang lebih dimaknai sebagai ketidakterikatan yang hirarkis daerah dengan pemerintah pusat. Selain itu berbagai deviasi penyelenggaraan otonomi daerah, semakin memperparah kepercayaan masyarakat terhadap model penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diatur dalam UU/22/99. Dalam tahun 2004, pemerintahan Megawati, mencabut UU/22/99, dan mengantinya dengan UU/32/2004. Apabila UU/22/99, mengurangi kontrol pemerintah pusat terhadap jalannya pemerintahan daerah, maka UU/32/2004, kembali memberikan kontrol yang ketat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama pada sisi kontrol fiskal. 2.2.Perkembangan pengaturan keuangan daerah Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa pasca runtuhnya pemerintahan orde baru, menimbulkan gejolak di daerah, terutama daerah-daerah luar pulau Jawa . Pada sisi ekonomi daerah-daerah luar pulau jawa menuntut adanya keadilan dalam pembagian dana pembangunan antara Pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Demikian pula dengan daerah-derah penghasil sumber kekayaan alam yang berlimpah. Mereka menuntut adanya pembagian yang adil dari hasil pengelolaan sumber daya alam di daerahnya, yang selama ini hanya
dinikmati oleh pemerintah pusat, tanpa sedikitpun menetes ke daerah mereka. Situasi politik yang demikian ini kemudian mengubah dengan drastis sistim keuangan daerah yang selama ini dipraktekan oleh pemerintahan orde baru, dengan yang dianut dalam UU/22/99. Dengan terjadinya proses desentralisasi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dengan sendirinya akan di ikuti dengan transfer fiscal dan desentralisasi fiskal kepada pemerintahan daerah. Disain tranfer fiskal yang di gunakan setidak-tidaknya dengan menggunakan kriteria sebagai berikut; 1) Otonomi, yakni pemerintah daerah harus memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh ada pembatasan-pembatasan yang ketat sehingga sebagaian besar keputusan di daerah harus mengikuti dan mengacu pada keputusan pusat. 2) Penerimaan yang memadai (revenue adequancy). Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang diembannya. 3) Keadilan. Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah ini sebaiknya berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah, yang dan berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. 4) Transparan dan stabil. Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa setiap daerah dapat memperkirakan beberapa penerimaan totalnya (termasuk transfer) sehingga memudahkan penyusunan anggaran. Formula tersebut juga sebaiknya dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3 sampai 5 tahun) agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah.
5) Sederhana. Alokasi dana kepada pemerintah daerah semestinya didasarkan pada faktor – faktor objektif yang unit – unit individual tidak memiliki kontrol atau tidak dapat mempengaruhinya. Disamping itu, juga formula yang dipakai sebaiknya relatif mudah untuk dipahami. 6) Insentif. Desain dari transfer ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik dan sebaliknya menangkal praktik – praktik yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak perlu ada transfer khusus / spesifik untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah3. Sumber keuangan daerah atu sumber pendapat pendapatan Daerah sebagai mana
yang tercantum dalam UU/22/99, UU/34/2000, diikuti pula dalam
UU/32/2004, tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU/22/99, serta dalam UU/33/2004, dengan beberapa penambahan dan perincian sebagai berikut :
Sumber pendapatan keuangan daerah : a.Pendapatan asli daerah a. Hasil pajak daerah, yang terdiri dari : (1) Jenis pajak propinsi terdiri dari : a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
3
Sidik dalam Tjandra loc-cit hal112.
(2) Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; g. Pajak Parkir. b. Hasil Retribusi Daerah i. Retribusi Jasa Umum; ii. Retribusi Jasa Usaha; iii. Retribusi Perizinan Tertentu. c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah. Dalam UU/33/2004, pendapat asli daerah yang syah dirinci sebagai berikut : 1) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; 2) jasa giro; 3) pendapatan bunga; 4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan 5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah b.Dana Perimbangan a Dana bagi hasil 1. Bersumber dari pajak : a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. 2. Bersumber dari sumber alam a. b. c. d. e. f.
kehutanan; pertambangan umum; perikanan; pertambangan minyak bumi; pertambangan gas bumi; dan pertambangan panas bumi.
b .Dana alokasai umum c.Dana alokasi khusus Keseluruhan-dana-dana yang diperoleh , dimasukan sebagai bagian dari keuangan daerah yang berpuncak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD. Selain dana-dana tersebut, Gubenur masih memperoleh dana dekonsentrasi dan dana ini tidak masuk sebagai bagian penerimaan daerah dalam APBD. 2.3. Pengawasan (control) terhadap keuangan atau Fiskal Daerah. Pada sisi lain juga dapat dilihat, bahwa sebagai besar dana derah masih bersumber pada APBN, yaitu pada dana perimbangan. Hal ini menunjukan terdapatnya hubungan yang erat antara keuangan daerah dengan keuangan negara. Adanya hubungan yang erat antara keuangan daerah dengan keuangan negara, agaknya yang menjadi alasan mengapa pemerintah , memiiki kewenangan untuk melakukan kontrol fiskal daerah. Seperti telah dikemukan, bahwa UU/32/2004, dan peraturan pelaksanaan lainnya, khususnya Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 13 Tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, memberikan kewenangan
kepada pemerintah pusat untuk melakukan kontrol atau pengawasan terhadap keuangan daerah. Kontrol fiskal dilakukan dengan dua model, yaitu terhadap APBD, kontrol dilakukan dengan adanya kewenangan Mendagri untuk melakukan pengendalian atas defisit APBD, dan adanya kewajiban bagi pemerintah daerah untuk melaporkan posisi keuangannya menyangkut surplus dan difisit anggaran. Untuk memperkuat pengendalian tersebut Pemerintah dapat menunda pencairan dana perimbangan. Model ini tercermin dalam pasal 175, UU/32/2004. Model kontrol yang lain, adanya kewajiban daerah untuk melakukan evaluasi terlebih dahulu, sebelum peraturan daerah tentang APBD diundangkan. Pemerintah dalam hal ini Mendagri mempunyai kewenangan membatalkan perturan daerah tersebut dengan perturan menteri dalam negeri. Model kontrol yang tertuang dalam Permendagri tersebut, mengadung permasalahan, yaitu berkaitan dengan kewenangan menteri membatalkan peraturan daerah dengan menggunakan peraturan menteri. UU/32/2004, pasal 145 ayat 5. menyatakan bahwa peraturan daerah dibatalkan dengan peraturan Presiden. Jika Pemerintah daerah tidak dapat menerima keputusan pembatalan tersebut, maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Yang menjadi pertanyaan kita apakah pembatalan perda APBN oleh Menteri Dalam Negeri, dengan Permendagri, tidak bertentangan dengan pasal 145, UU/32/2004, diatas. Atau pasal 145, tersebut tidak termasuk pembatalan perda APBN. Terlepas dari persoalan hukum tersebut diatas, disinilah sebenarnya Kementerian Keuangan, dapat berperan aktif, dalam pembinaan penyusunan APBD. Peran itu dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan, dan konsultansi kepada pemerintah daerah, utamanya melalui instasi vertikal Kementerian Keuangan yang ada di daerah.