\MODEL DESAIN DIDAKTIS PENGURANGAN PECAHAN BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR
Epon Nur’aeni L dan Dindin Abdul Muiz Lidinillah PGSD UPI Kampus Tasikmalaya E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK: Artikel ini menyajikan hasil penelitian pengembangan model desain didaktis pengurangan bilangan pecahan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya hambatan belajar (learning obstacle) siswa tentang konsep pengurangan bilangan pecahan di sekolah dasar. Banyak siswa masih keliru mengenai cara mengurangkan bilangan pecahan, khususnya mengurangkan bilangan pecahan berpenyebut tidak sama. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap learning obstacle pengurangan bilangan pecahan melalui studi pendahuluan yang dilakukan pada siswa kelas V dan kelas VI di SDN Cilangkap 2. Setelah studi pendahuluan dilaksanakan, kemudian disusunlah bahan ajar pengurangan pecahan dalam pembelajaran matematika yang diujicobakan pada siswa kelas V SDN Perumnas 2 Cisalak Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Desain Didaktis (Didactical Design Research) yang melibatkan dosen, mahasiswa, guru dan siswa sekolah dasar di wilayah Kota Tasikmalaya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui instrumen tes berupa soal, observasi partisipatif, wawancara, studi dokumentasi dan gabungan ketiganya atau trianggulasi. Hasil penelitian ini adalah menghasilkan suatu desain didaktis alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika sekolah dasar terkait konsep pengurangan bilangan pecahan.
Kata kunci: desain didaktis, pengurangan bilangan pecahan, learning obstacle Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks karena mengintegrasikan berbagai komponen pembelajaran yaitu guru, siswa dan bahan ajar. Dalam sistem pembelajaran, faktor guru terutama di Indonesia masih menjadi sumber pembelajaran yang memiliki peran sentral. Menurut Dunkin (Wadifah 2011:4) ada sejumlah aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru, yaitu (1) pengalaman hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka; (2) pengalamanpengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru; serta (3) segala sesuatu yang berhubungan dengan karakter yang dimiliki guru.
Guru memiliki tanggung jawab dalam menggunakan metode, media dan bahan ajar yang televan dengan tujuan pembelajaran. Guru harus mempersiapkan suatu perencanaan pembelajaran (desain pembelajaran) yang matang agar kegiatan pembelajaran berjalan secara sistematis. Pada kenyataannya, suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) belum dilengkapi dengan strategi alternatif untuk mengantisipasi permasalahan belajar siswa ketika proses pembelajaran berlangsung sehingga tidak berfungsi untuk mengembangkan pembelajaran. Padahal salah satu kedudukan perencanaan pembelajaran yang dikemukakan Reigeluth (Sukirman, 2006:39) adalah instructional development, bahwa perencanaan pembelajaran berfungsi untuk memberikan gambaran bentuk
537
Nur’aeni dan Lidinillah, Model Desain Didaktis, 538
atau model pengembangan pembelajaran yang akan dilakukan. Dalam hal ini, Guru membuat suatu pengembangan dalam merencanakan pembelajaran untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan respon siswa yang terjadi selama proses pembelajaran atau keragaman lintasan belajar (Hypothetical Learning Trajectory atau HLT). Hal tersebut oleh Suryadi (2010:4) dinamakan Antisipasi Didaktik Pedagogik (ADP) yang “... pada hakekatnya merupakan sintesis hasil pemikiran guru berdasarkan berbagai kemungkinan yang diprediksi akan terjadi pada peristiwa pembelajaran”. Pada pembelajaran matematika di Sekolah Dasar konsep pecahan dan operasinya merupakan konsep yang penting untuk dikuasai, sebagai bekal untuk mempelajari bahan matematika berikutnya dan bahan bukan matematika yang terkait. Pecahan merupakan salah satu topik yang sulit untuk diajarkan. Kesulitan itu terlihat dari kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru, dan sulitnya pengadaan media pembelajaran (Novarina dan Nuryani, 2011:3). Hal senada dikemukakan oleh Muhsetyo, dkk (2004:3.32) bahwa: kenyataan di Sekolah Dasar menunjukkan bahwa banyak siswa mengalami kesulitan memahami pecahan dan operasinya, dan banyak guru Sekolah Dasar menyatakan mengalami kesulitan untuk mengajarkan pecahan dan bilangan rasional. Para guru cenderung menggunakan cara yang mekanistik, yaitu memberikan aturan secara langsung untuk dihafal, diingat dan diterapkan. Pembelajaran mekanistik berdampak pada ketidakbermaknaan proses belajar siswa karena matematika disajikan terpisah dari konteks sehingga konsep
matematika yang diterima akan cepat dilupakan oleh siswa dan siswa pun akan sulit menerapkan konsep tersebut. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan, ditemukan beberapa learning obstacle atau kesulitan belajar siswa dalam memahami pecahan khususnya dalam konsep pengurangan pecahan. Salah satu learning obstacle tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 1 Learning obstacle pengurangan pecahan
Learning obstacle pada gambar 1 tersebut terkait dengan pemahaman prosedural operasi pengurangan pecahan. Dalam mengerjakan operasi pengurangan pecahan secara mekanistik, siswa kurang memahami proseduralnya. Proses pengerjaan pengurangan pecahan pada gambar 1 adalah siswa mengurangkan pecahan tersebut dengan cara menemukan selisih pembilang dan untuk menyamakan penyebutnya siswa malah mengambil penyebut yang terbesar dari kedua pecahan tersebut, seperti pada soal nomor 2a yaitu , beberapa siswa menjawab sebagai
berikut: =
.
Siswa tersebut mengurangkan pembilang dengan pembilang dan membandingkan penyebut yang paling besar. Ada juga beberapa siswa yang menyamakan penyebut dengan menggu-
539, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
nakan KPK seperti yang terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2 Learning obstacle pengurangan pecahan
Dari kedua bilangan penyebut yang terdapat pada soal (a,b,c,d) membuktikan bahwa beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menentukan pecahan senilai. Siswa hanya mengingat “samakan penyebut lalu kurangkan” untuk mengoperasikan pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama tanpa memperhatikan pecahan senilai dari kedua bilangan pecahan yang dikurangkan tersebut. “Perubahan cara mengajar tidak banyak dilakukan oleh para guru karena secara empirik mereka selalu menggunakan cara yang sama dari waktu ke waktu” (Muhsetyo, dkk., 2004:3.32). Dengan demikian, perlu adanya suatu proses perencanaan pembelajaran (Desain Didaktis) yang merupakan langkah awal sebelum adanya pembelajaran, untuk mengatasi hambatan belajar yang muncul pada proses pembelajaran sehingga diharapkan mampu mengarahkan siswa pada pembentukan pemahaman yang utuh baik secara prosedural (know how) maupun secara konseptual (know why).
Untuk mendukung perencanaan dan proses pembelajaran diperlukan suatu bahan ajar yang mampu mendorong aktivitas siswa baik hand-on activity maupun mind-on activity. Artikel ini akan menyajikan hasil penelitian pengembangan model desain didaktis pengurangan pecahan di kelas V. METODE Penelitian ini dilaksanakan di kelas V SD Perumnas 2 Kota Tasikmalaya. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian yaitu mengkaji kesulitan belajar siswa dalam konsep operasi pengurangan pecahan sehingga menjadi suatu dasar untuk merancang suatu desain didaktis dan bahan ajar agar dapat mengantisipasi kesulitan belajar tersebut serta dapat mengembangkan kemampuan matematika siswa. Pendekatan penelitian yang dilakukan mengacu pada rangkaian aktivitas dalam kerangka berpikir metapedadidaktik meliputi sebelum, selama, dan sesudah pembelajaran. Tiga rangkaian aktivitas tersebut dapat diformulasikan sebagai langkah-langkah untuk menghasilkan situasi didaktis baru, yang dinamakan Penelitian Disain Didaktis atau Didactical Desaign Research. Menurut Suryadi (2010), Penelitian Disain Didaktis atau Didactical Desaign Research pada dasrnya terdiri dari tiga tahapan/langkah yaitu : (1)Analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran (prospective analysis) yang wujudnya berupa Disain Didaktis Hipotesis termasuk ADP, (2) analisis metapedadidaktik, dan (3) analisis restrosfektif (restrospective analysis) yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil analisis metapedadidaktik. Dari ketiga tahapan ini akan diperoleh Desain Didaktis Empirik yang tidak tertutup kemungkinan untuk terus disempurnakan
Nur’aeni dan Lidinillah, Model Desain Didaktis, 540
melalui tiga tahapan Didactical Design Research. Teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian kualitatif adalah observasi partisipatif, wawancara mendalam, studi dokumentasi dan gabungan ketiganya atau trianggulasi. Dalam observasi partisipatif, peneliti terlibat dengan kegiatan orang yang sedang diamati, dalam hal ini peneliti berperan sebagai guru yang dapat mengamati bagaimana hubungan guru-murid dalam pembelajaran, bagaimana proses belajar murid dalam konsep operasi pengurangan pecahan, dan sebagainya. Wawancara mendalam dapat dilakukan bersamaan dengan observasi partisipatif yang telah dikemukakan tadi. Ketika proses pembelajaran guru sekaligus peneliti dapat mewawancarai siswa yang akan diambil datanya. Juga peneliti dapat melakukan studi dokumentasi seperti mengumpulkan respon atau jawaban siswa mengenai konsep operasi pengurangan pecahan. Jadi, penelitian kualitatif ini menggunakan teknik trianggulasi yakni menggabungkan ketiga teknik pengumpulan data tersebut. Adapun tahapan yang peneliti lakukan antara lain: 1. Menentukan bahasan matematika yang akan dijadikan objek penelitian; 2. Menganalisis materi; 3. Membuat instrumen awal dengan tujuan untuk menganalisis kesulitan belajar siswa pada materi tersebut; 4. Mengujikan instrumen yang telah dibuat di beberapa jenjang ditambahkan dengan wawancara pada beberapa responden; 5. Menganalisis hasil pengujian dan wawancara; 6. Membuat kesimpulan mengenai kesulitan belajar berdasarkan pengujian;
7. 8.
Menyusun desain didaktik awal; Melakukan pengujian terhadap desain didaktik awal yang sudah dibuat; 9. Menganalisis hasil pengujian; 10. Mengembangkan bahan ajar dalam bentuk buku ajar 11. Menyusun laporan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang akan disajikan dintaranya mencakup learning obstacle pengurangan pecahan, desain didaktis awal, implementasi desain, desain didaktis revisi. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti sebelumnya dapat diketahui learning obstacle pada konsep operasi pengurangan pecahan pada siswa sekolah dasar sebagai berikut: 1. Learning obstacle terkait pemahaman prosedural operasi pengurangan pecahan (tipe 1) 2. Learning obstacle terkait pemahaman konteks dalam soal cerita (tipe 2) 3. Learning obstacle terkait konteks pemodelan (tipe 3) Learning obstacle tipe 1 Learning obstacle tipe 1 yang muncul yakni terkait pemahaman prosedural operasi pengurangan pecahan. Dalam mengerjakan operasi pengurangan pecahan secara mekanistik, siswa kurang memahami proseduralnya. Hambatan belajar yang sering terjadi di kalangan siswa SD adalah siswa nampak kesulitan menyamakan penyebut. apalagi jika siswa menyelesaikan soal yang berhubungan dengan konsep perkalian dan pembagian yang memang pada dasarnya konsep ini belum terkuasai dengan benar. Berikut ini adalah sajian beberapa contoh hambatan belajar siswa pada konsep pengurangan pecahan:
541, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
obstacle) dalam menyelsaikan soal pengurangan pecahan yang berpenyebut tidak sama. Learning obstacle tipe 2 Learning obstacle tipe 2 yang muncul pada konsep operasi pengurangan pecahan yakni terkait konteks dalam soal cerita. Siswa tidak mampu mengoperasikan pengurangan pecahan dengan benar. Hal ini terkait dengan konsep perkalian dan pembagian yang kurang dikuasai oleh siswa. Hambatan belajar siswa dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 3 Learning obstacle tipe 1
Pada soal nomor 2a yaitu , beberapa siswa menjawab seperti berikut ini: =
.
Siswa tersebut mengurangkan pembilang dengan pembilang dan membandingkan penyebut yang paling besar. Ada juga siswa yang menyamakan penyebut dengan menggunakan KPK dari kedua bilangan penyebut tersebut tetapi cara menentukan nilai pembilangnya kurang tepat sehingga dapat dibuktikan bahwa beberapa siswa memang kesulitan dalam menentukan pecahan senilai. Dalam operasi pengurangan pecahan, kemampuan prasyarat yang harus dimiliki oleh siswa adalah harus menguasai konsep nilai pecahan. Kemampuan penguasaan pecahan senilai lebih ditekankan terutama dalam pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama. Apabila konsep pecahan senilai belum terkuasai oleh siswa, maka siswa akan mengalami hambatan beajar (learning
Gambar 4 Learning tipe 2
Beberapa siswa masih kurang tepat dalam menjawab soal tersebut yakni dengan menjawab
-
=
dengan cara
mengurangkan pembilang dengan pembilang dan menggunakan penyebut yang bilangannya lebih kecil dari kedua bilangan penyebut. Bahkan ada juga jawaban lain yakni
-
=
-
=
.
Meskipun beberapa siswa mampu menyamakan penyebut tetapi siswa kurang tepat dalam menentukan pembilang. Sehingga kemampuan prasyarat dalam menentukan pecahan senilai sangatlah penting. Learning obstacle tipe 3 Learning obstacle tipe 3 yakni terkait pemodelan pada konsep operasi pengurangan pecahan. Siswa nampak
Nur’aeni dan Lidinillah, Model Desain Didaktis, 542
kebingungan dalam mengerkakan soal nomor 4 untuk mengurangkan 1 -
pada
gambar daerah lingkaran berikut:
Gambar 5 Learning obstacle tipe 3 Berdasarkan jawaban siswa tersebut menyatakan bahwa siswa kurang mendapatkan pembelajaran realistik sehingga ketika siswa dihadapkan pada soal di atas siswa mengalami keterbatasan dalam mengerjakannya karena konsep yang sudah diterima tidak mampu bertahan lama dalam memori mereka. Untuk mengatasi beberapa learning obstacle di atas, maka didesainlah suatu desain didaktis. Urutan desain didaktis yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut: Prospective Analysis Jika mengacu pada kurikulum Tahun 2006 matematika Sekolah Dasar, maka konsep operasi pengurangan bilangan pecahan terdapat di kelas V (lima) semester 2 dengan Standar Kompetensi (SK) menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah. Sedangkan Kompetensi Dasar (KD)nya adalah menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan. Berdasarkan SK dan KD tersebut, indikator yang dapat disusun untuk desain didaktis pada penelitian ini adalah: 1. Memahami makna pengurangan pecahan; 2. Memahami dan mampu melakukan pemodelan pengurangan pecahan.
3. Memahami prosedural operasi pengurangan pecahan; 4. Memahami pengurangan pecahan dalam konteks soal cerita; Berdasarkan beberapa indikator yang telah disusun, maka tujuan pembelajaran untuk mengatasi learning obstacle pada konsep operasi pengurangan pecahan kelas V (lima) Sekolah Dasar adalah sebagai berikut: 1. melalui kegiatan manipulatif benda konkret siswa mampu memahami konsep makna pengurangan pecahan secara teliti; 2. melalui penemuan pola dan latihan soal siswa mampu memahami prosedural operasi pengurangan pecahan secara tepat; 3. melalui membaca intensif dan latihan soal siswa mampu memahami pengurangan pecahan dalam konteks soal cerita; Tujuan pembelajaran tersebut dirancang untuk dua kali pembelajaran masing-masing 2 x 35 menit. Tujuan pembelajaran tersebut dirancang untuk mengatasi learning obstacle yang muncul pada konsep operasi pengurangan pecahan berdasarkan studi pendahuluan yang selanjutnya disusun bahan ajar berdasarkan tujuan-tujuan tersebut untuk dimplementasikan. Experiment 1) Menanamkan konsep makna pengurangan pecahan berpenyebut sama Sebelum siswa belajar tentang operasi pengurangan pecahan, terlebih dahulu siswa harus memahami dengan baik makna pecahan itu sendiri. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengingat kembali dalam menentukan nilai pecahan berdasar gambar berikut:
543, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Setelah aku gunting
bagian,berapa
bagian sisa kertas itu? digunting bagian
Gambar 6 media pembelajaran pengurangan pecahan Langkah selanjutnya guru melakukan praktik dengan mengambil dua bagian warna hijau pada Gambar 5 (daerah persegipanjang). Melalui kegiatan tersebut perlahan demi perlahan siswa mulai dikenalkan tentang konsep operasi pengurangan pecahan berpenyebut sama. Pada kegiatan 1 dalam mengurangkan pecahan, setiap siswa diberi kertas yang berbentuk lingkaran untuk membuktikan konsep operasi pengurangan pecahan berpenyebut sama. Siswa diberi kesempatan untuk menggunting satu bagian daerah lingkaran dari 4 bagian daerah lingkaran. Melalui praktik ini, siswa memahami operasi pengurangan pecahan berpenyebut sama dengan baik. Berikut adalah sajian bahan ajar konsep operasi pengurangan pecahan berpenyebut sama:
.........
+/ -
......... = .....
Pada akhir kegiatan, siswa diarahkan untuk membentuk pola umum (kesimpulan) yang memberlakukan bahwa:
Berdasarkan pola umum di atas, melalui tanya jawab bersama guru, siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan bahwa cara mengurangkan pecahan berpenyebut sama adalah penyebutnya tetap sedangkan pembilangnya dijumlahkan. Hasil tes siswa menunjukkan bahwa melalui peragaan benda konkret, siswa mampu memahami dan menjawab dengan benar soal pengurangan pecahan berpenyebut sama.
Nur’aeni dan Lidinillah, Model Desain Didaktis, 544
Contoh hasil tes siswa dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 7 Hasil jawaban siswa no 1.
2) Meningkatkan pemahaman konteks soal cerita Siswa harus dapat menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam konteks soal cerita, yang sangat berkaitan dengan permasalahan yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga langkah selanjutnya dapat diarahkan untuk memahami pengurangan pecahan dalam bentuk soal cerita: “ Di dalam bak mandi terdapat air sebanyak untuk mandi
senilai yang merupakan materi prasyarat dalam mempelajari pengurangan pecahan khususnya pengurangan pecahan yang berpenyebut tidak sama. Langkah selanjutnya, guru menyajikan soal cerita untuk membangkitkan motivasi belajar siswa. Dengan bimbingan guru, siswa mencoba membuktikan konsep pengurangan pecahan dengan menggunakan kertas lipat. Sajian bahan ajar yang ditampilkan adalah sebagai berikut: Langkah 1 Ambil 2 kertas yang mempunyai panjang sama, dan warna berbeda. Kertas pertama bentuklah menjadi pecahan
dengan cara
melipat menjadi 2 bagian yang sama, diberi garis pada lipatannya, dan kemudian 1 bagian diberi warna. Selanjutnya kertas kedua dilipat menjadi 3 bagian sama, diberi garis pada setiap lipatan dan 1 bagian diberi warna untuk menggambarkan nilai pecahan .
bagian. Air itu digunakan bagian. Berapa bagian
air yang ada di dalam bak mandi sekarang?” Dalam hal ini, melalui bimbingan guru siswa dibiasakan untuk membaca intensif sehingga paham terhadap konteks soal cerita. Guru berperan dalam menegaskan masalah yang dapat dilakukan dengan cara membacakan soal cerita tersebut dengan intonasi yang benar. 3) Menanamkan kemampuan pemodelan pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama Agar siswa lebih memahami konsep ini, maka guru harus menanamkan konsep pemodelan pengurangan berpenyebut tidak sama. Pada awal pembelajaran, guru menampilkan alat peraga yang terdiri dari beberapa pecahan senilai. Hal ini disajikan untuk mengingatkan siswa tentang pecahan
Langkah 2 Setelah masing-masing pecahan terbentuk, maka gabungkan bagian-bagian yang diarsir dengan cara kertas kedua dilipat dan hanya diperlihatkan pecahan -an saja, kemudian tempelkan pada kertas pertama seperti berikut ini.
Langkah 3 Lipatlah sisa atau bagian yang tidak diarsir ke belakang dan ke depan dengan ukuran sama dengan sisa yang telah ada,
545, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
baik untuk kertas pertama maupun kertas ke dua. Lipatan diteruskan sampai semua kertas terlipat habis dengan ukuran yang sama. Maka akan terlihat lipatan-lipatan yang menunjukkan penyebut persekutuan seperti berikut ini.
Dilipat ke belakang
Dilipat ke depan dengan ukuran sama dengan sisa, Langkah 4 dst
Bukalah lipatan-lipatan dari 2 kertas yang ada. Maka akan terlihat bahwa pecahan menjadi
dan pecahan yang
menjadi
. Dari kegiatan ini siswa mendapat pengalaman 2 pecahan menjadi sama penyebutnya dan hasil dari penjumlahan dapat ditemukan.
Langkah 5 Lipatlah kertas pertama sebanyak lipatan kertas ke dua yang diarsir. Maka akan terlihat hasilnya seperti gambar di bawah ini:
Ketika siswa melakukan praktik tersebut dengan menggunakan kertas lipat, mereka nampak terlihat merasa kesulitan ketika harus melipat kertas menjadi beberapa bagian yang berukuran sama, khususnya melipat kertas menjadi tiga bagian yang berukuran sama. Karena hal ini telah diprediksi sebelumnya, maka guru hanya cukup membimbing mereka saja sehingga pada akhirnya mereka memahami konsep operasi pengurangan pecahan dengan menggunakan benda konkret, khususnya pengurangan pecahan yang berpenyebut tidak sama. Di bawah ini adalah hasil tes siswa yang menunjukkan bahwa siswa memahami konsep pengurangan pecahan:
Nur’aeni dan Lidinillah, Model Desain Didaktis, 546
kemudian dilanjutkan di kelas V. Walaupun di kelas IV sudah ditanamkan konsep pengurangan berpenyebut sama, tetapi di kelas V pembelajaran diulang kembali dan mempelajari pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama. Bahan ajar yang dikembangkan telah mempertimbangkan urutan materi pengurangan pecahan. Namun ada hal yang perlu diperbaiki berkaitan dengan proses pemodelan yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan operasi pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama.
Gambar 12 contoh hasil jawaban siswa soal pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama
Berdasarkan gambar tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan pembelajaran realistik siswa lebih mampu memahami konsep pengurangan pecahan, khususnya dalam pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama sehingga siswa mampu menyimpulkan pembelajaran dengan benar. Restrospective analysis Pembelajaran operasi pengurangan pecahan merupakah operasi pecahan yang pertama dikenalkan kepada siswa di kelas IV, akan tetapi pembelajaran tersebut
PENUTUPAN Kesimpulan Artikel ini telah menyajikan bagian dari hasil penelitian model desain didaktis konsep pengurangan pecahan yang dapat diimplementasikan untuk siswa kelas IV dan kelas V SD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain didaktis ini dapat dipandang untuk memperkaya variasi pembelajaran. Tidak menutup kemungkinan bagi peneliti lain untuk lebih mengembangkan desain didaktis yang telah disusun pada penelitian ini. Oleh karena itu, di dunia ini tidak ada desain didaktis yang sempurna, yang ada hanyalah desain didaktis yang memerlukan pengembangan demi perbaikan di masa yang akandatang, yang dapat mengantisipasi munculnya hambatan belajar (learning obstacle) siswa.
DAFTAR RUJUKAN Muhsetyo, Gatot, dkk. (2004). Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Novarina, Eka., Sri Nuryani, Eka. (2011). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia(PMRI) (Sub-bab Mem-
bandingkan Pecahan pada Kelas III SD Negeri Purwo-rejoTahun Pelajaran 2010/ 2011). Makalah pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas
547, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Muhammadiyah Purworejo, Purworejo.
Matematik Tingkat Tinggi. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Sukirman, Dadang, dkk. (2006). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: UPI PRESS.
Wadifah. (2011). Desain Didaktik Konsep Luas Daerah Segitiga Pada Pembelajaran Matematika SMP. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/operator/u pload/s_mtk_0700179_chapter1.pd f [15 September 2011]
Suryadi, Didi. (2005). Disertasi Pengggunaan Pendekatan Pembelajaran tidak langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan tidak Langsugn dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir