11
BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN PECAHAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIK
A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Siswa Sekolah Dasar pada umumnya berusia 7 sampai 12 tahun atau13 tahun. Menurut Piaget (Heruman, 2007), pada usia tersebut siswa berada pada fase operasional kongkret. Pada fase ini kemampuan siswa dapat berfikir untuk mengoperasikan kaidah logika. Berdasarkan usia perkembangannya, siswa masih terikat dengan objek-objek yang kongkret sehingga dalam pembelajarannya perlu menggunakan alat peraga untuk membantu siswa memahami materi matematika yang disampaikan. Dalam matematika, setiap konsep abstrak yang diajarkan kepada siswa harus diberi penguatan agar siswa selalu ingat dan menanam konsp abstrak tersebut. Bukan hanya menghafal tapi memahami makna dan maksud setiap konsep matematika tersebut. Diungkapkan dalam Garis-Garis Besar Proghram Pengajaran (GBPP) matematika dalam (Suherman dkk., 2001: 56) bahwa tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dua hal, yaitu: 1. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan
12
bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien. 2. Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematikan dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajariberbagai ilmu pengetahuan. Langkah-langkah pembelajaran matematika di Sekolah Dasar menurut Heruman (2007) adalah: 1.
Penanaman konsep dasar (penanaman konsep) Penanaman konsep adalah pembelajaran suatu konsep baru
matematika yang belum pernah diajarkan. Pembelajaran penanaman konsep penghubungkan antara kemampuan kognitif siswa yang konkret menuju konsep matematika yang abstrak. Dalam kegiatan penanaman konsep biasanya menggunakan media pembelajaran untuk menunjang tercapainya pola berfikir siswa yang abstrak. 2.
Pemahaman konsep Pemahaman konsep adalah lanjutan dari tahap penanaman konsep
dasar yang bertujuan agar siswa dapat lebih memahami konsep dalam matematika. Pemahaman konsep biasanya dilakukan pada pertemuan yang berbeda dengan tahap penanaman konsep dasar. Pada tahap pemahaman konsep, siswa dianggap sudah melewati tahap penanaman konsep sehingga guru langsung beralih pada tahap pemahaman konsep. 3.
Pembinaan keterampilan Pembinaan keterampilan adalah lanjutan dari tahap pamahaman
konsep. Setelah siswa mengenal dan memahami suatu konsep dalam matematika, siswa terampil mempelajari berbagai bentuk menggunakan
13
konsep matematika misalnya siswa sudah terampil dalam menerapkan rumus-rumus yang ada pada pembelajaran matematika. Karena pada dasarnya rumus-rumus yang dipelajari dalam matematika akan sangat bermanfaat dalam pembelajaran-pembelajaran selanjutnya. Biasanya tahap pembinaan keterampilan ini dilakukan pada tingkatan kelas atau semester yang berbeda dengan tahap sebelumnya.
B. Hasil Belajar S. Nasution (Kunandar, 2008: 276) berpendapat bahwa ”hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai
pengetahuan,
tetapi
juga
membentuk
kecakapan
dan
penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar”. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Sedangan dari sisi siswa hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Hasil belajar, untuk sebagian adalah berkat tindak guru suatu pencapaian tujuan pembelajaran. Pada bagian lain, merupakan peningkatan kemampuan mental siswa. Hasil belajar tersebut dibedakan menjadi dampak pengajaran dan dampak pengiring (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 3-4).
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan yang terjadi pada seseorang yang melakukan kegiatan belajar. Belajar dalam hal ini tidak hanya dalam hal menambah pengetahuan saja, namun menambah kecakapan, intelektual
14
dan mental seseorang yang belajar. Hasil belajar siswa dapat menjadi tolak ukur pencapaian tujuan pembelajaran. Benyamin Bloom (Nana Sudjana, 1989) mengklasifikasi hasil belajar kedalam tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek diantaranya: 1.
Pengetahuan atau Ingatan
Pengetahuan merupakan hal yang tidak asing lagi karena merupakan tingkatan paling rendah pada ranah kognitif. Pengetahuan manusia akan mudah terhapus jika manusia tersebut hanya mengandalkan ingatan. Karena ingatan manusia terus bertambah dan dapat menghapus ingatan lain. 2.
Pemahaman
Ingatan manusia sangat terbatas, oleh karena itu manusia tidak dapat mengingat segala sesuatu yang ada. Namun apabila manusia telah paham, ia akan mudah untuk menjelaskan segala sesuatu yang telah ia pahami. Karena itu, memahami sesuatu lebih sulit daripada mengingat sesuatu. Namun, dengan memahami sesuatu, manusia akan mudah mengingat dan menjelaskannya. Apabila telah memahami sesuatu, siswa dapat dengan mudah mengungkapkan sesuatu yang telah dipahami. 3.
Aplikasi
15
Aplikasi dilakukan dengan menerapkan ide-ide, teori dan petunjuk yang telah dipahami ke dalam situasi baru yang akan berubah menjadi keterampilan. 4.
Analisis
Analisis merupakan pemanfaatan kecakapan yang diperoleh dari tiga tipe sebelumnya. Jika seseorang telah memiliki kecakapan dalam menganalisis, maka ia akan dapat mengaplikasikannya dengan kreatif pada situasi yang berbeda. 5.
Sintesis
Berfikir sintesis merupakan hal yang ingin dicapai dalam pendidikan. Berfikir berdasarkan pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis dipandang sebagai berfikir sintesis. 6.
Evaluasi
Evaluasi merupakan keputusan dari nilai yang dilihat berdasarkan tujuan, gagasan,
pemecahan,
pengetahuan,
dll.
pemahaman,
Pengembangan aplikasi,
analisis
evaluasi dan
berdasarkan sintesis
akan
mempertinggi kualitas evaluasi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni: 1.
Penerimaan
16
Penerimaan merupakan tipe yang paling rendah pada aspek afektif. Penerimaan
termasuk
kinginan
atau
kesadaran
dalam
menerima
rangsangan yang datang. 2.
Jawaban atau Reaksi
Reaksi yang diberikan merupakan ketepatan dalam menjawab rangsangan yang diberikan. 3.
Penilaian
Penilaian dalam hal ini merupakan kepercayaan ataupun kesediaan terhadap rangsangan yang diberikan. 4.
Organisasi
Salah satu contoh organisasi adalah hubungan sebuah nilai dengan nilai lainnya. 5.
Internalisasi
Kesatuan dari sistem nilai yang dimiliki seseorang, yang mempengaruhi kepribadian/karakteristik dan tingkah laku orang tersebut. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada 6 aspek ranah psikomotoris diantaranya: 1.
Gerakan refleks
2.
Keterampilan Gerakan Dasar
3.
Kemampuan Perseptual (membedakan visual, motoris, dll)
4.
Keharmonisan atau Ketepatan
5.
Gerakan Keterampilan Kompleks
6.
Gerakan Ekspresif
17
C. Pendekatan Realistik Realistic Mathematics Education (RME) atau pendekatan realistik dikembangkan oleh Institute Freudenthal di Belanda. Traffers (Sutarto Hadi, 2005 dalam Supinah dan Agus, 2009) membedakan dua macam process of mathematization yaitu matematika horizontal dan vertikal. Dalam matematisasi horizontal, siswa mulai mengerjakan soal-soal kontekstual, mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini setiap orang dapat menggunakan cara mereka sendiri yang berbeda dengan orang lain. Sedangkan dalam matematisasi vertikal juga mulai dari pengerjaan soal-soal konteksual, tetapi dalam jangka panjang selanjutnya dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung. Terdapat empat jenis pendekatan pembelajaran matematika menurut Traffers (Suherman dkk., 2001: 127), yaitu mechanistic, empiristic, strukturalistic, dan realistic. Pendekatan mechanistic adalah pendekatan yang menganggap bahwa manusia dapat diprogram untuk menghitung dan menyelesaikan masalah secara sederhana. Pendekatan emperistic adalah suatu pendekatan dimana konsepkonsep matematika tidak diajarkan, dan siswa diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang berguna.
18
Pendekatan
strukturalistic
merupakan
pendekatan
yang
menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat. Pendekatan realistic adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Pendekatan realistik dikhususkan untuk pembelajaran matematika. Konsep pembelajaran realistik ini sejalan dengan kebutuhan akan perbaikan pembelajaran matematika di Indonesia yang didominasi oleh pengembangan daya nalar tentang matematika. Suyanto dan Sugiman menjabarkan ciri-ciri pendekatan realistik sebagai berikut: 1. Menggunakan masalah kontekstual (the use of context), yaitu matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari sehingga dapat memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi atau dialami oleh siswa (masalah kontekstual yang realistik bagi siswa) merupakan bagian yang sangat penting. 2. Menggunakan model (use models), yaitu belajar matematika berarti bekerja dengan alat matematis yang digunakan dalam rangka menunjang pembelajaran. 3. Menggunakan
hasil
dan
konstruksi
siswa
sendiri
(students
constribution), yaitu siswa memberikan kontribusi yang besar, siswa
19
diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematis di bawah bimbingan guru walaupun setiap siswa mempunyai kata-kata sendiri untuk mengungkapkannya. 4. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (intertwining), materi yang diajarkan memiliki kaitan dengan materi yang telah diajarkan maupun matri yang akan/belum diajarkan. 5. Terjadi interaksi antara murid dan guru (interactivity), yaitu aktivitas belajar meliputi kegiatan memecahkan masalah kontekstual yang realistik,
mengorganisasikan
pengalaman
matematis,
dan
mendiskusikan hasil-hasil pemecahan masalah tersebut. (Supinah dan Agus, 2009). Dalam pembelajaran matematika realistik terdapat tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (Supinah dan Agus, 2009) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu: 1. Guided re-invention atau menemukan kembali secara seimbang. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan
20
masalah kontekstual atau nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat, definisi, teorema ataupun aturan oleh siswa sendiri. Contoh dari prinsip guided re-invention yang terjadi di Sekolah Dasar adalah guru memberikan sebuah masalah kepada siswa, siswa diminta untuk menemukan konsep pecahan berdasarkan masalah yang diberikan oleh guru. Guru memberikan 3 kertas warna kepada siswa kemudian guru meminta siswa membagi kertas tersebut menjadi 4 bagian pada kertas 1, 3 bagian pada kertas 2 dan 2 bagian pada kertas 3. Siswa mengarsir salah satu bagian dari 3 kertas tersebut. Guru meminta siswa untuk mengamati kertas tersebut dan menyatakan bagian kertas yang diarsir dalam sebuah bilangan. Kemudian siswa diminta untuk membuat kesimpulan dari kegiatan tersebut. Setiap siswa akan memberikan pernyataan yang berbeda-beda dalam menyimpulkan kegiatan tersebut.
2. Didactical phenomenology atau fenomena didaktik. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pencapaian matematisasi horisontal ini sangat mungkin dilakukan
21
melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal. Dalam hal ini siswa diharapkan dalam memecahkan masalah dapat melangkah ke arah pikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi matematika tertentu, kemudian ditingkatkan aspek metematisasinya. Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika yang berobyek abstrak. Dengan demikian siswa mulai dibiasakan untuk bebas berfikir dan berani berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan guru tetapi cara intu benar dan hasilnyapun benar. Dengan adanya fenomena didaktik, maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa. 3.
Self-developed models atau model dibangun sendiri oleh siswa. Berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa
diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada yang dimiliki siswa.
22
Tahapan pemodelan
dalam pembelajaran
matematika menurut
Gravemeijer (Cahya, 2010: 19) terdiri atas: 1.
Situations; dimana domain spesifik, pengetahuan situasi dan strategis digunakan dalam situasi yang kontekstual.
2.
Model of; dimana model dan strategi mengacu terhadap situasi yang digambarkan dalam permasalahan realistik.
3.
Model for; dimana fokus matematis terhadap penguasaan strategi mendominasi konteksnya.
4.
Format mathematics; pada tahap ini penuh dengan prosedur konvensional dan konvensi-konvensi. Kekuatan dan keunggulan yang dimiliki oleh pendekatan realistik
(Asikin: 41) diantaranya: 1.
Pendekatan
realistik
memberikan
pengertian
yang
jelas
dan
operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia. Melalui masalah yang diberikan guru kepada siswa menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga siswa mengalami pencarian konsep sendiri dengan bimbingan guru. 2.
Pendekatan
realistik
memberikan
pengertian
yang
jelas
dan
operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa. Siswa mengungkapkan segala yang diamati dan dikembangkan dengan baik
23
berdasarkan pengalamannya. Dengan pengalaman yang berkesan akan menimbulkan rasa kebanggan pada diri siswa. 3.
Pendekatan
realistik
memberikan
pengertian
yang
jelas
dan
operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian sesuatu masalah tidak harus tunggal, dan tidak perlu sama antara sesama siswa bahkan dengan gurunya. Setiap siswa mengungkapkan pendapatnya dalam menyelesaikan suatu masalah dan akan menjadi sebuah alternatif pemecahan masalah. 4.
Pendekatan
realistik
memberikan
pengertian
yang
jelas
dan
operasional kepada siswa bahwa proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama. Tanpa kemauan menjalani proses tersebut, pembelajaran tidak akan bermakna. Seluruh siswa terlibat dalam pembelajaran dan siswa dituntut untuk aktif sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan pendapatnya masing-masing. 5.
Pendekatan realistik memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai
pendekatan pembelajaran yang lain yang dianggap “unggul” seperti pendekatan pemecahan masalah, dll. Karena pendekatan realistic memadukan beberapa kelebihan pada beberapa pendekatan pembelajaran sehingga dapat menjadi alternatif untuk diterapkan pada pembelajaran matematika.
24
6.
Pendekatan realistik yang dikembangkan oleh tim Freundenthal
Institute di Belanda bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional. Ismunandar (2010: 29) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran yang berorientasi pendekatan realistik, diantaranya: 1.
Pemberian perhatian yang cukup besar pada ”reinvention” yakni siswa diharapkan mengembangkan konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masing-masing. Siswa dberikan motivasi untuk mengerjakan permasalahan yang diberikan guru dengan baik.
2.
Pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang kongkret. Diawali dari pengalaman siswa diharapkan siswa tertarik terhadap pembelajaran matematika kemudian siswa belajar dari pengalamannya sendiri dan bukan pengalaman dari guru karena siswa yang akan merasakan pembelajaran itu.
3.
Pembelajaran di desain dan diawali dari pemecahan masalah yang diawali dari masalah kontekstual yang ada disekitar siswa. Hal tersebut dilakukan agar siswa tertarik dan untuk mempermudah siswa memecahkan masalah.
4.
Selama proses matematisasi, diharapkan siswa mengkonstruksi gagasannya sendiri, menemukan solusi dari suatu masalah dan dapat memperoleh suatu konsep secara mandiri sehingga pembelajaran akan berkesan bagi siswa. Siswa akan merasa bangga terhadap dirinya sendiri karena dapat menemukan sebuah konsepnya sendiri.
25
5.
Pembelajaran matematika tidak hanya memberi penekanan pada komputasi serta mementingkan langkah prosedural dan drill. Namun, pembelajaran menekankan pada penemuan siswa terhadap suatu konsep atau pemecahan masalah oleh siswa.
6.
Menekankan lebih pada pemahaman yang mendalam pada konsep dan pemecahan masalah dengan penyelesaian masalah yang jawabannya tidak tunggal. Sehingga siswa tidak akan merasa terhakimi oleh jawaban yang salah.
7.
Siswa belajar matematika dengan pemahaman, membangun secara aktif pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan awal. Dengan begitu, siswa tidak hanya mengingat namun siswa akan paham karena siswa membangun sendiri pengetahuannya.
8.
Terdapat interaksi yang kuat antara siswa dengan siswa lainnya menyangkut hasil pemikiran pada siswa. Jawaban-jawaban siswa akan dikemukakan dan siswa yang lain menanggapi jawaban tersebut sehingga akan timbul pengalaman belajar yang berbeda, karena tiap siswa dapat mengoreksi/memberikan pendapat mengenai jawaban siswa lainnya.
D. Pengertian Penjumlahan Pecahan 1.
Pengertian Penjumlahan Penjumlahan berasal dari kata ”jumlah” yang berarti hasil dari sesuatu
yang disatukan/dikumpulkan jadi menyatu. Penjumlahan merupakan suatu
26
cara menghitung dengan dijumlahkan atau suatu cara menghitung sesuatu dengan menambahkan/disatukan/dikumpulkan jadi satu. Menurut Wikipedia Indonesia penjumlahan adalah salah satu operasi aritmetika dasar. Penjumlahan merupakan penambahan sekelompok bilangan atau lebih menjadi suatu bilangan yang merupakan jumlah.
2.
Pengertian Pecahan Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari suatu
keseluruhan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, atau bagian dari suatu himpunan. Menurut Heruman (2007; 43) pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Pecahan maksudnya adalah pecahan biasa yaitu pecahan yang di lambangkan sebagai
dengan a dan b bilangan bulat, b ≠ 0 dan (a)<||
(Karso, 2008:7.17) (a)<|| maksudnya adalah bahwa nilai a sebagai pembilang lebih kecil dari nilai || sebagai penyebut. Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa pecahan yang dimaksud adalah pecahan murni. Macam-macam pecahan: a. Pecahan murni/sejati
27
Pecahan murni/sejati adalah pecahan yang pembilanganya lebih kecil dari penyebutnya dan pecahan itu tidak dapat di sederhanakan lagi. b. Pecahan campuran Pecahan campuran adalah pecahan yang terdiri dari campuran bilangan bulat dengan bilangan pecahan murni/sejati. (Karso, 2008: 7.7) 3.
Pengertian Penjumlahan Pecahan Penjumlahan pecahan adalah suatu cara menghitung dengan
menambahkan suatu bilangan yang menggambarkan suatu bagian dari suatu keseluruhan yang biasa dinyatakan dalam bulat,
dengan a dan b bilangan
b ≠ 0. Penjumlahan pecahan tersebut biasanya dinyatakan dalam
+ = atau + = dengan a, b, c, d, e, f ≠ 0. Contoh: a.
b.
+ = + =
(berpenyebut sama)
(berpenyebut beda/tidak sama)