MODAL SOSIAL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2012
Agus Wibowo Dwi Saputro NRP E151100081
ABSTRACT AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO. Social Capital and Perception of the Community in the Development of Community Plantation Forest (HTR) in Ogan Komering Ilir Regency. Supervised by LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT. A successful of community plantation forest development needs to include a social capital as readiness factors of the people to accept a development program from the government and community perception on the program regulation. The research objectives were (1) to assess the individual characteristics, social capital and community perception on HTR regulation, (2) to analyze the relationship between the individual characteristics and the constituent elements of social capital and perception on HTR regulation, between social capital and its constituent elements as well as between social capital and community perception on HTR regulation (3) to obtain the most appropriate HTR development strategy. The study was conducted at the Terusan Sialang State Forest Area in Ogan Komering Ilir Regency from Maret to Mei 2012. Data were analyzed using a descriptive analysis, Rank Spearman correlation , SWOT and QSPM. The individual characteristics based on the assesment of age categories, education (formal dan non formal), income, size of land ownership, level of health, length of stay, social status, ethnics, and domicile of origin were in medium category. The social capital of community is in the high category with the identified elements of social capital involving trust, social networks, social norms, proactive actions and caring. The individual characteristics significantly related to the constituent elements of social capital are age, formal and non-formal education, income, wide of land ownership, health level, social status and ethnic. The individual characteristic significantly related to perception of HTR regulation are formal education, income, land area, social status and ethnic. The social capital was significantly corelated with the perception of HTR regulation. The selected and prioritized strategy was to build multi stakeholders forum to strengthten coordination, communication, information services, searching solution on HTR development problem, partnership and marketing development, and as center of excelent for HTR development program in Ogan Komering Ilir regency. Keywords: social capital, perception, individual characteristic, community plantation forest
RINGKASAN AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO. Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) belum memberikan hasil yang memuaskan. Keberhasilan program pembangunan kehutanan tidak saja ditentukan oleh aspek biofisik dan finansial saja tetapi memerlukan collective action yang tinggi dari masyarakat. Oleh karena itu unsur modal sosial dan persepsi masyarakat sebagai salah satu faktor pendorong munculnya collective action perlu dimasukkan dalam pertimbangan pembangunan HTR di Kabupaten OKI. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat; mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan persepsi masyarakat dan unsurunsur modal sosial pada masyarakat; dan mendapatkan strategi yang paling sesuai dalam rangka pembangunan HTR di lokasi pencadangan HTR di kawasan hutan produksi Terusan Sialang. Karakteristik individu pada masyarakat di areal pencadangan HTR Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagai komponen modal sosial berada pada kategori sedang. Umur masyarakat didominasi oleh masyarakat usia produktif dengan kategori rendah untuk tingkat pendidikan non formal, kategori sedang untuk tingkat pendidikan formal, pendapatan, luas lahan, lama tinggal, status sosial dan asal domisili, serta kategori tinggi untuk tingkat kesehatan dan asal suku bangsa. Unsur-unsur modal sosial yang diidentifikasi adalah kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian dengan tingkat modal sosial yang tinggi/sangat kuat. Modal sosial pada taraf ini akan sangat membantu untuk keberhasilan pembangunan HTR. Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR secara umum berada pada pada kategori sedang kecuali persepsi pada pemanfatan HTR, proses perijinan HTR, Jenis tanaman HTR, Pewarisan ijin HTR dan Kegiatan sosialisasi HTR yang berada pada kategori rendah. Berdasarkan korelasi spearman maka karakteristik individu yang berhubungan nyata dengan unsur modal sosial adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan, tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, status sosial dan suku bangsa. Karakteristik individu yang berhubungan nyata dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR adalah tingkat pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas lahan status sosial dan suku bangsa. Unsurunsur modal sosial yang berhubungan dengan modal sosial adalah kepercayaan, jaringan, norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian. Karakteristik individu dan modal sosial juga berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di Kabupaten OKI. Berdasarkan analisis SWOT terhadap evaluasi faktor internal dan eksternal, maka direkomendasikan untuk melaksanakan strategi kompetitif yang didasarkan pada pemanfaatan kekuatan untuk menanggulangi ancamanancaman yang ada. Hasil analis matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi terpilih adalah membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR. Kata kunci: modal sosial, persepsi masyarakat, karakteristik individu, Hutan Tanaman Rakyat
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODAL SOSIAL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yulius Hero M.Sc
Judul : Nama : NIM :
Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir Agus Wibowo Dwi Saputro E151100081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop. Ketua
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 30 Agustus 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini banyak bantuan yang telah penulis terima. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada: Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini; Bapak Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc. selaku penguji luar komisi dan Bapak Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo, M.S selaku pimpinan sidang pada ujian tesis; Kementerian kehutanan yang telah memberikan bantuan biaya pendidikan; Aparat pemerintahan di Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, BPPHP Wilayah V Palembang; Aparat dan masyarakat Desa Lubuk Makmur, Muara Burnai II dan Lubuk Seberuk yang telah memberikan bantuan; Bapak Rico, Bapak Sarimo dan Bapak Nyoman Sunatra atas bantuannya selama penelitian dilapangan; Teman-teman IPH khususnya angkatan 2010 serta keluarga atas segenap dukungan dan doanya. Semoga karya ilmiah dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2012
Agus Wibowo Dwi Saputro
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blora pada tanggal 28 Januari 1977 sebagai putera kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Heri Sukiyana dan Ibu Suwarsi. Penulis menikah dengan Zaraqo S.Hut pada tanggal 16 April 2006 dan telah dikaruniai tiga orang anak yaitu Farah Adiba, Farah Aqila dan Hanif Zahran. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Jepon III, SMP Negeri Jepon I dan SMA Negeri I Blora. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2001. Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan sebagai Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan sejak tahun 2003. Pada Tahun 2010 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
xi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xix DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxi 1 PENDAHULUAN1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 5 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 5 1.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 6 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 9 2.1 Modal Sosial ......................................................................................... 9 2.1.1 Konsep Modal Sosial .................................................................... 9 2.1.2 Tipologi dan tingkatan Modal Sosial ............................................. 11 2.1.3 Unsur-Unsur Modal Sosial............................................................ 14 2.2 Persepsi 2.2.1 Pengertian Persepsi ...................................................................... 18 2.2.2 Mekanisme Pembentukan Persepsi .............................................. 19 2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ................................ 20 2.3 Hutan Tanaman Rakyat ....................................................................... 21 2.3.1 Definisi dan pola Pembangunan HTR .......................................... 21 2.3.2 Lokasi dan Proses Perijinan HTR................................................. 22 2.3.3 Jenis Tanaman dan Tahapan Pembangunan HTR ...................... 24 2.3.4 Hambatan-Hambatan Pembangunan HTR .................................. 26 3 METODE PENELITIAN .............................................................................. 27 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 27 3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................... 27 3.3 Jenis Data dan Instrumen Penelitian .................................................... 28 3.4 Penentuan Responden ......................................................................... 31 3.5 Variabel Pengamatan dan Definisi Operasional ................................... 32 3.6 Metode Pengolahan Data dan Analisi Data.......................................... 36 3.6.1 Analisis Deskriptif Kualitatif .......................................................... 36 3.6.2 Analisis Kuantitatif ........................................................................ 36 3.6.3 Analisis Strategi Dalam Pengembangan Hutan Rakyat ............... 39
xii 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .................................................... 37 4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ....... 37 4.2 Kondisi Biofisik Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ................ 38 4.2.1 Letak dan Luas........................................................................... 38 4.2.2 Penggunaan Lahan Kawasan .................................................... 38 4.2.3 Iklim ............................................................................................ 39 4.2.4 Topografi .................................................................................... 39 4.2.4 Jenis Tanah................................................................................ 39 4.3 Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat .................................................... 40 4.3.1 Kependudukan ............................................................................. 40 4.3.2 Pendidikan, Agama dan Asal Penduduk ...................................... 40 4.3.3 Sarana dan Prasarana ................................................................. 41 5
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 43 5.1 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Komunitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ..................................... 43 5.2 Karakteristik Individu Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang .................................................................................. 48 5.2.1 Umur ........................................................................................ 48 5.2.2 Tingkat Pendidikan Formal ...................................................... 48 5.2.3 Tingkat Pendidikan Non Formal ............................................... 49 5.2.4 Tingkat Pendapatan ................................................................. 50 5.2.5 Tingkat Kesehatan ................................................................... 51 5.2.6 Luas Lahan Garapan ............................................................... 52 5.2.7 Lama Tinggal ........................................................................... 53 5.2.8 Status Sosial ............................................................................ 53 5.2.9 Suku Bangsa ............................................................................ 55 5.2.10 Asal Domisili............................................................................. 55 5.3 Penilaian Karakteristik Individu ............................................................ 55 5.4 Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial ................................................ 57 5.4.1 Kepercayaan ............................................................................ 57 5.4.2 Jaringan Sosial......................................................................... 60 5.4.3 Norma Sosial............................................................................ 63 5.4.4 Tindakan Yang Proaktif ............................................................ 65 5.5.5 Kepedulian ............................................................................... 66
xiii 5.5 Modal Sosial Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang .................................................................................... 67 5.6 Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR .............................................................. 69 5.6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Alokasi Lahan HTR ................. 69 5.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Pembangunan HTR ........ 70 5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR .... 71 5.6.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman HTR ............... 72 5.6.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Persyaratan Perijinan HTR...... 73 5.6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Perijinan HTR .............. 73 5.6.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jangka Waktu dan Luasan Ijin Usaha HTR ........................................................................... 75 5.6.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Pewarisan Ijin HTR ................. 76 5.6.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Hak dan Kewajiban HTR ......... 78 5.6.10 Persepsi Masyarakat Terhadap Pasar Kayu Hasil HTR ............ 77 5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kelembagaan HTR .................. 78 5.6.12 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosialisasi HTR ........ 79 5.6.13 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penyuluhan dan Pendampingan HTR .................................................................... 80 5.6.14 Penilaian Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR ........................................................................................... 82 5.7 Hubungan Karakteristik Individu dengan Unsur-Unsur Modal Sosial Masyarakat........................................................................................... 84 5.8 Hubungan Modal Sosial Dengan Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat ................................................................................. 87 5.9 Hubungan Karakteristik Individu Dengan Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR ............................................................. 88 5.10 Hubungan antara Modal Sosial Masyarakat Terhadap Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR ....................................... 90 5.11 Dukungan Infrastruktur ...................................................................... 92 5.12 Strategi Pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ................................................................................... 94 5.12.1 Faktor SWOT ............................................................................. 95 5.12.2 Tahap Analisis Data .................................................................. 100 5.12.3 tahap Pengambilan Keputusan .................................................. 104
xiv 6 KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 107 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 107 6.2 Saran ................................................................................................... 107 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 109 LAMPIRAN
xv DAFTAR TABEL Halaman 1
Definisi, maksud/tujuan dan analisis modal sosial .................................. 10
2
Kategori modal sosial .............................................................................. 13
3
Tingkatan modal sosial ............................................................................ 13
4
Tahapan dan tata waktu kegiatan HTR ................................................... 26
5
Penggunaan lahan di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang .......... 38
6
Tingkat pendidikan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ...................................................................................... 39
7
Asal domisili masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. 40
8
Perubahan penggunaan lahan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ...................................................................................... 46
9
Sebaran kelompok umur responden ....................................................... 48
10 Sebaran tingkat pendidikan formal responden ........................................ 49 11 Tingkat pendidikan formal masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang tahun 2001 ................................................................... 49 12 Sebaran tingkat pendidikan non formal responden ................................. 50 13 Sebaran tingkat pendapatan responden ................................................. 50 14 Sebaran tingkat kesehatan responden .................................................... 51 15 Sebaran luas lahan garapan responden ................................................. 52 16 Sebaran lama tinggal responden............................................................. 53 17 Sebaran status sosial responden ............................................................ 54 18 Sebaran suku bangsa responden............................................................ 54 19 Sebaran asal domisili responden ............................................................ 55 20 Penilaian karakteristik individu responden ............................................. 56 21 Sebaran karakteristik individu responden................................................ 57 22 Tingkat kepercayaan masyarakat............................................................ 59 23 Sebaran tingkat kepercayaan responden ................................................ 60 24 Tingkat jaringan sosial responden ........................................................... 61 25 Sebaran tingkat jaringan sosial responden ............................................. 61 26 Tingkatan norma sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ...................................................................................... 63 27 Sebaran tingkatan norma sosial responden ............................................ 64 28 Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi
xvi Terusan Sialang....................................................................................... 65 29 Sebaran tingkat tindakan proaktif responden .......................................... 66 30 Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang....................................................................................... 66 31 Sebaran tingkat kepedulian responden ................................................... 67 32 Skor modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi terusan Sialang ........................................................................................ 67 33 Sebaran tingkat modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan produksi Terusan Sialang....................................................................................... 68 34 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap alokasi lahan HTR ......... 70 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR ......................................................................................................... 71 36 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan pemanfaatan HTR ................................................................................... 72 37 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap jenis tanaman HTR ........ 73 38 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap persyaratan perijinan HTR ......................................................................................................... 73 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR ... 74 40 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin HTR ........................................................................................ 75 41 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pewarisan ijin HTR ......... 76 42 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap hak dan kewajiban ......... 77 43 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pasar kayu hasil HTR .... 78 44 Sebaran tingkat perepsi responden terhadap kelembagaan HTR ........... 78 45 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan sosialisasi HTR ........................................................................................ 79 46 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR.......................................................................... 81 47 Skor persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR ........................ 82 48 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap HTR ............................... 83 49 Hubungan antar komponen pada karakteristik individu ........................... 84 50 Hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial........................................................................................................ 85 51 korelasi antara modal sosial dengan unsur-unsur modal sosial .............. 88 52 Korelasi karakteristik individu dengan persepsi masyarakat terhadap
xvii pembangunan HTR ................................................................................. 90 53 Hubungan antara karakteristik individu, modal sosial dan persepsi responden terhadap pembangunan HTR ................................................ 91 54 Ketersediaan dan pelayanan infrastruktur pendukung pembangunan .... 93 55 Matrik IFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI........................ 97 56 Matrik EFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ...................... 99 57 Matrik SWOT Pembangunan HTR di Kabupaten OKI ............................. 103 58 Rekapitulasi matriks QSPM pada pembangunan HTR di Kabupaten OKI .................................................................................... 105
xviii
xix DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Kerangka pemikiran................................................................................. 7
2
Kerangka Konseptual Modal Sosial......................................................... 12
3
Bagan alir proses pencadangan HTR ..................................................... 23
4
Kerangka formulasi strategis ................................................................... 38
5
Perbandingan nilai TAS stakeholders terhadap alternatif kebijakan dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ......................................... 105
xx
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Pokok penelitian, jenis data, sumberdata dan metode pengumpulan data ......................................................................................................... 117
2.
Variabel dan definisi operasional ............................................................ 119
3.
Data responden, karakteristik individu, modal sosial dan persepsi masyarakat dalam pembangunan HTR di Terusan Sialang .................... 122
4.
Korelasi rank spearman antara karakteristik individu dengan modal sosial............................................................................................. 126
5.
korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu dengan persepsi masysrakat terhadap pembangunan HTR............................................... 127
6.
Korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu, modal sosial dan persepsi masyarakat terhadap Pembangunan HTR ........................ 128
7.
Nilai rata-rata bobot dan rata rating pada faktor strategis analisis SWOT ...................................................................................................... 129
8.
Prioritas alternatif strategi terpilih berdasarkan QSPM............................ 131
9.
Dokumentasi penelitian ........................................................................... 133
10. Peta lokasi penelitian............................................................................... 137
1 I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial sampai dengan Orde Baru masih menempatkan para pengusaha dengan modal besar sebagai pemain utama dan membatasi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan. Akibatnya masyarakat di sekitar hutan tetap berada dibawah garis kemiskinan (Awang 2003). Selain itu, sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia telah menyebabkan terjadinya alienasi masyarakat terhadap sumber daya alam yang akhirnya menimbulkan berbagai macam konflik dalam pengelolaan sumber daya alam (Kartodihardjo 2006a). Kegiatan eksploitasi hutan juga menyebabkan terjadinya peningkatan laju deforestrasi hutan di Indonesia. Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan rata-rata laju deforestrasi hutan di Indonesia tahun 2000 ― 2005 mencapai 1,174 juta hektar (Dephut 2009). Selain disebabkan oleh eksplotasi hutan, deforestrasi hutan di Indonesia juga disebabkan oleh kegiatan illegal logging, pembukaan hutan untuk pertanian/perkebunan rakyat dan perkebunan swasta, kebakaran hutan, perebutan kekuasaan atas lahan hutan antara HPH dan masyarakat adat (Awang 2003). Darusman (2002) menyatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia bukanlah semata-mata disebabkan oleh kelemahan manajemen tetapi juga karena ketidakpuasan sosial, ekonomi dan politik masyarakat di sekitar hutan. Dalam
beberapa
tahun
terakhir
terjadi
pergeseran
paradigma
pembangunan kehutanan di Indonesia dari State Based Forest Management (SBFM) menjadi Community Based Forest Management (CBFM). Pergeseran paradigma pembangunan kehutanan ini ditandai dengan munculnya programprogram pembangunan kehutanan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Roslinda 2008), salah satunya adalah program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 telah memberikan masyarakat kesempatan untuk dapat mengelola kawasan hutan produksi melalui skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
2 Tanaman
Rakyat
(IUPHHK-HTR).
Dalam
IUPHHK-HTR
ini
pemerintah
memberikan akses hukum, kelembagaan, modal dan pasar kepada masyarakat dalam mengelola kawasan hutan produksi
dengan kerangka kesejahteraan
masyarakat dan pengelolaan hutan lestari (Emilia & Suwito 2007). Kementerian kehutanan sudah menetapkan target alokasi lahan untuk pembangunan IUPHHK-HTR sampai dengan tahun 2010 sebesar 5,4 juta hektar dengan melibatkan 360.000 kepala keluarga (Emilia & Suwito 2007). Namun realisasi pencadangan lahan IUPHHK-HTR sampai dengan bulan Juli 2009 baru mencapai 310.542,73 hektar atau 5,75% dari target sampai dengan tahun 2010, sedangkan perizinan IUPHHK-HTR yang sudah dikeluarkan baru 8 izin pada 8 kabupaten/kota yang tersebar pada 5 Provinsi dengan luas total ijin 155.305,95 ha atau sekitar 4,9% dari total areal pencadangan IUPHHK-HTR (BPK 2009). Rendahnya realisasi baik pencadangan maupun perizinan IUPHHK-HTR yang telah dikeluarkan mengindikasikan adanya permasalahan baik dari pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan pembangunan IUPHHKHTR tersebut. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya: status kawasan dan masalah tenurial masyarakat, terbatasnya akses masyarakat untuk mendapatkan faktor-faktor produksi, terbatasnya akses masyarakat terhadap pasar dan informasi, regulasi pemasaran hasil hutan yang terlalu ketat, kurangnya penghargaan terhadap jasa-jasa lingkungan, kurang memadainya institusi HTR (Noordwijk et al. 2007). Berbagai permasalahan di atas menyebabkan hasil program pembangunan HTR tidak sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum Kartodiharjo (2006a) menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia ditentukan oleh dua hal yaitu kepastian hak tenurial dan keputusan-keputusan kolektif (collective action) yang tinggi. Salah satu faktor yang menentukan munculnya collective action yang positif dalam masyarakat adalah tingkat modal sosial yang terdapat dalam masyarakat (Hasbullah 2006). Perbedaan tingkat unsur modal sosial seperti kepercayaan dan posisi dalam jaringan/organisasi akan menimbulkan tingkat collective action yang berbeda (Fukuyama 2001). Hasbullah (2006) menyatakan bahwa ketidakberhasilan pembangunan di Indonesia selama ini dikarenakan hilangnya energi tidak tampak yaitu kebersamaan dalam mengatasi masalah yang dibangun oleh modal sosial yang kuat.
3 Uraian diatas memberikan gambaran bahwa keberhasilan program pembangunan kehutanan juga ditentukan oleh faktor kultural masyarakat yang bermanifestasi dalam bentuk modal sosial. Pembangunan di Indonesia selama ini telah mengabaikan unsur modal sosial tersebut, bahkan telah terjadi penghancuran modal sosial akibat program-program pembangunan yang tidak tepat dan mengesampingkan aspek pembangunan kultural. Padahal modal sosial merupakan sine qua non1 bagi pembangunan manusia, ekonomi, sosial, politik dan demokrasi (Hasbullah 2006). Oleh karena itu, pembangunan HTR sebagai salah satu terobosan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada rakyat dalam mengelola hutan negara perlu memasukkan pertimbangan unsur modal sosial. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengetahui tingkat modal sosial masyarakat yang akan ikut dalam pembangunan HTR. Hasil kajian tersebut dapat menjadi acuan bagi pemegang kebijakan untuk melakukan langkah-langkah pembangunan HTR sesuai dengan tingkat modal sosial yang ada pada masyarakat. Keberadaan modal sosial yang kuat diharapkan akan menimbulkan collective action yang positif. Adanya collective action yang tinggi dari masyarakat akan memperbesar tingkat keberhasilan pembangunan HTR di wilayah tersebut.
1.2 Perumusan masalah Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor
SK 357/Menhut-
II/2009 tanggal 8 Juni 2009 di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) telah dicadangkan areal untuk pembangunan HTR seluas 8.000 ha pada Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. Sampai tahun 2010 izin IUPHHK-HTR yang telah dikeluarkan oleh Bupati OKI baru seluas 301,5 ha atau 3,8% dari luas areal pencadangan. Kondisi areal pencadangan HTR tersebut merupakan kawasan yang sudah dijarah oleh masyarakat. Sampai dengan tahun 2010 telah terdapat 2.837 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami kawasan tersebut (Dishut OKI 2010). Penunjukan
Kawasan
Hutan
Produksi
Terusan
Sialang
sebagai
areal
pencadangan HTR diharapkan mampu mengatasi permasalahan penjarahan di kawasan tersebut dan mengembalikan potensi serta fungsi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataannya program HTR di kawasan tersebut belum memberikan hasil yang positif.
1
Mengacu pada suatu tindakan yang sangat diperlukan dan penting, kondisi, atau rumusan. Awalnya istilah hukum bahasa Latin untuk "[kondisi] yang tanpanya tidak bisa," atau "tetapi untuk ..." atau “yang tanpanya tidak akan ada apa-apa."
4 Kegagalan implementasi program pembangunan oleh pemerintah dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah paradigma perencanaan pembangunan yang masih sentralistik dan kurang melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan.
Padahal keberhasilan program pembangunan
memerlukan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan program pembangunan kurang mendapat respon masyarakat karena kurang sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Untuk menyiapkan
menyukseskan infrastruktur
pembangunan
penunjang
dari
HTR
segi
ini,
pemerintah
permodalan,
teknis,
telah dan
pendampingan yang secara umum masuk dalam kategori modal ekonomi (economic capital) dan modal sumber daya manusia (human capital). Namun sekali lagi aspek kultural berupa modal sosial masyarakat setempat kurang mendapat perhatian. Padahal pengalaman pembangunan di berbagai negara telah memberikan gambaran yang jelas bahwa dengan economic capital dan human capital yang sama ternyata memberikan hasil pembangunan yang berbeda apabila diterapkan pada negara atau masyarakat yang berbeda, dan yang membedakannya adalah modal sosial (Hasbullah 2006). Penelitian tentang program pengelolaan hutan serupa yang melibatkan masyarakat menyebutkan perlunya mengetahui pandangan masyarakat terhadap program yang akan dilaksanakan terutama jika program tersebut merupakan program baru (Mehta & Kellert 1998). Penelitian Robertson dan Lawes (2005) menyimpulkan bahwa sikap dan pandangan masyarakat sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut serta dalam beberapa skema pengelolaan hutan yang ditawarkan di Afrika Selatan. Dengan demikian untuk mengetahui kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka diperlukan pandangan atau kajian
terhadap
ketentuan-ketentuan
pelaksanaan
HTR
dari
perspektif
masyarakat sebagai pelaku utama. Untuk
menunjang
keberhasilan
pembangunan
HTR
diperlukan
pengetahuan yang jelas tentang karakteristik sosial budaya individu dan masyarakat setempat, persepsi masyarakat serta tingkatan modal sosial masyarakat
setempat
untuk
menyusun
rencana
strategi
pelaksanaan
pembangunan HTR. Diharapkan dengan strategi pelaksanaan HTR yang mempertimbangkan karakteristik masyarakat, persepsi masyarakat dan juga tingkatan modal sosial masyarakat akan dapat meningkatkan keberhasilan program pembangunan HTR di Kabupaten OKI.
5 Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana
karakteristik
sosial,
ekonomi
dan
budaya
komunitas
masyarakat dan individu di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang? 2. Seberapa
besar
tingkatan
modal
sosial
masyarakat
di
lokasi
pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang? 3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap program pembangunan HTR? 4. Apakah ada hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat dan persepsi masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang? 5. Apakah strategi pembangunan HTR yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat lokal di area pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang; 2. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang; 3. Mendapatkan strategi yang paling sesuai dalam rangka pembangunan HTR di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang persepsi masyarakat serta tingkatan modal sosial masyarakat sebagai informasi penunjang dalam merumuskan strategi pelaksanaan pembangunan HTR di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan.
6 1.5 Kerangka Pemikiran Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang yang terletak di Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan merupakan kawasan hutan produksi yang telah dirambah seluruhnya oleh masyarakat. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengatasi perambahan tersebut dan yang terakhir adalah dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai lokasi pencadangan pembangunan HTR. Tujuan pembangunan HTR di lokasi tersebut adalah untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk menyukseskan program pembangunan HTR tersebut diperlukan adanya collective action
yang tinggi dari masyarakat. Sedangkan untuk
membangun collective action ini diperlukan tingkatan modal sosial yang cukup dari masyarakat. Selain itu, keberhasilan program pembangunan juga ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat diperlukan pengetahuan yang cukup tentang karakteristik ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat, karakteristik individu dalam masyarakat dan unsur-unsur modal sosial yang ada dalam masyarakat. Tingkatan modal sosial dalam masyarakat dapat ditentukan
dengan
melakukan penilaian terhadap unsur-unsur modal sosial yang terdapat dalam masyarakat. Setelah itu dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat dengan karakteristik individu yang ada dalam masyarakat. Karakteristik individu yang diduga berhubungan dengan modal sosial adalah umur, pendidikan formal dan non-formal, pendapatan, luas lahan garapan, kesehatan, lama tinggal dan status sosial.
Karakteristik sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat, serta bentuk-bentuk dukungan baik dari pemerintah desa, tokoh masyarakat/adat dan LSM pada kegiatan pembangunan HTR dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Selain modal sosial, tingkat partisipasi masyarakat juga ditentukan oleh persepsi masyarakat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa persepsi seseorang akan mempengaruhi perilaku dan partisipasinya. Jika persepsi seseorang terhadap program HTR positif maka ia akan bersedia berpartisipasi dalam program tersebut dan sebaliknya. Berdasarkan karakteristik masyarakat, karakteristik individu, persepsi masyarakat dan hasil analisis modal sosial kemudian dilakukan analisis strength, weakness; opportunity and threat (SWOT) untuk mengetahui faktor-faktor internal
7 dan eksternal yang berpengaruh pada pembangunan HTR. Untuk menentukan strategi pilihan dalam pembangunan HTR digunakan metode Quantitave Strategic Planning Matrix (QSPM). Skema kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Kegiatan Pembangunan HTR
Komunitas masyarakat dengan karakteristik sosekbud
• • • • • • • • • •
• • • • •
Karakteristik individu (X) Umur (X1) Pendidikan formal (X2) Pendidikan non-formal (X3) Pendapatan (X4) Kesehatan (X5) Luas lahan (X6) Lama tinggal (X7) Status sosial (X8) Asal suku bangsa (X9) Asal domisili (X10)
Persepsi Masyarakat terhadap HTR • Alokasi lahan (Y 2.1) • Pola HTR (Y 2.2) • Manfaat HTR (Y 2.3) • Jenis tanaman (Y 2.4) • Persyaratan Perijinan (Y 2.5) • Proses perijinan (Y 2.6) • Jangka waktu dan luas pengusahaan (Y 2.7) • Pewarisan ijin (Y 2.8) • Hak dan kewajiban (Y 2.9) • Pasar (Y 2.10) • Kelembagaan (Y 2.11) • Sosialisasi (Y 2.12) • Pendampingan dan Penyuluhan (Y 2.13)
Modal sosial masyarakat Unsur modal sosial (Y 1): Kepercayaan (Y 1.1) Norma (Y 1.2) Jaringan (Y 1.3) Tindakan Proaktif (Y 1. 4) Kepedulian (Y 1.5)
Tingkatan modal sosial: • minimum, • rendah, • sedang, • tinggi Kebijakan dan dukungan pembangunan HTR
SWOT dan QSPM
Skenario prioritas strategi dalam pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
Rekomendasi strategi pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
Gambar 1 Kerangka pemikiran
8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial 2.1.1 Konsep Modal Sosial Kohen dan Prusak (2002) yang diacu dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa konsep modal sosial pertama kali dikembangkan oleh Hanifan sejak tahun 1916 di daerah bagian Barat Virginia. Beberapa konsep modal sosial muncul pada periode berikutnya dengan berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan oleh ahli-ahli sosial diantaranya Bourdieu, Coleman, Putnam dan Fukuyama. Namun demikian Boudieu dan Coleman yang dianggap menjadi pencetus dari teori modal sosial ini karena mereka yang pertama kali secara sistematis memperkenalkan istilah modal sosial walaupun diantara keduanya memiliki konsep yang berbeda (Häuberer 2011). Bourdieu (1986) menyatakan bahwa modal sosial merupakan wujud nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial merupakan jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan antar famili. Lebih lanjut Bourdieu (1983) menggambarkan bahwa modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, ketersediaan jaringan sosial dalam masyarakat dapat membantu peningkatkan produksi dan ekonomi anggota melalui pemanfaatan koneksi sosial (pemasaran hasil). Menurut Bourdieu, modal ekonomi merupakan sumberdaya dasar, namun modal sosial berperan besar dalam meningkatkan modal ekonomi seseorang (individu). Coleman (1988) menyatakan bahwa modal sosial didefinisikan oleh fungsinya. Modal sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi terdiri dari berbagai entitas dengan dua karakteristik umum yaitu terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memfasilitasi tindakan tertentu dari individu yang berada dalam struktur. Definisi diatas menunjukkan bahwa modal sosial merupakan bagian dari struktur sosial yang membantu tindakan anggota dari struktur sosial tersebut. Menurut Häuberer (2011) Coleman menekankan konsep modal sosial dalam konteks teori pilihan rasional. Ketergantungan sosial muncul karena
10 adanya ketertarikan
seseorang untuk ikut memanfaatkan
sumberdaya yang
dikontrol oleh orang lain sehingga pilihan-pilihan rasional muncul untuk memaksimalkan manfaat bagi semua pihak. Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai “fitur dari organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama”. Menurut Häuberer (2011) Putnam mengembangkan konsep modal sosial mengikuti konsep Coleman. Ide utamanya adalah bahwa jaringan sosial mengandung nilai bagi individu. Seperti modal fisik dan manusia, modal kontrak sosial juga mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok. Modal fisik tetap dalam benda fisik, modal manusia adalah properti individu dan modal sosial melekat dalam hubungan antar individu. Fukuyama (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai “kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam masyarakat atau bagian-bagain tertentu darinya”. Konsep ini melihat modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok yang memfasilitasi kerjasama diantara mereka. Norma-norma dan hubunganhubungan tersebut berfungsi sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama. Berbagai definisi tentang modal sosial yang disampaikan oleh beberapa ahli dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Definisi, Maksud/tujuan dan Analisis Modal Sosial Definisi Sumberdaya sosial yang Bourdieu menyediakan akses untuk kepentingan kelompok Melihat aspek struktur Coleman sosial , setiap aktor dapat Memanfaatkan sumber daya tersebut untuk mencapai kepentingan bersama Jaringan/hubungan, Putnam kepercayaan, dan norma norma merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan bersama Sumber: Winter (2000).
Maksud Untuk menjamin tercapainya modal ekonomi
tujuan Analysis Individual dalam kelompok
Untuk menjamin tercapainya sumberdaya manusia yang berkualitas
Individual dalam keluarga dan masyarakat
Untuk menjamin tercapainya sistem ekonomi dan demokrasi yang efektif
Region dan negara
11 2.1.2 Tipologi dan Tingkatan Modal Sosial Woolcock (1998) yang diacu dalam LP UNPAD (2008) menyatakan bahwa modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan lebih renggang lagi dibandingkan kedua ikatan hubungan diatas. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal (formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas. Berkenaan dengan itu, Edward (2004) dalam Suandi (2007)
menyatakan bahwa modal sosial dapat berkontribusi
dalam meningkatkan keakraban dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi seorang individu atau kelompok masyarakat dalam menjalinkan interaksi sosial dapat mengembangkan nilai-nilai atau norma-norma yang mereka miliki di masyarakat baik antar sistem jaringan bonding, bridging maupun sistem jaringan linking dengan struktur yang terbuka dan komunikatif. Namun demikian, Edward menambahkan bahwa keefektifan proses komunikasi antar individu atau kelompok masyarakat harus didukung oleh kondisi politik yang kondusif, menegakkan supremasi hukum, adanya kelembagaan yang good governance dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Kerangka konseptual modal sosial tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Uphoff (2000) menyebutkan bahwa unsur modal sosial terbagi dalam dua kategori yaitu modal sosial struktural yang merupakan hubungan sosial yang mengakibatkan tindakan bersama saling menguntungkan dan kategori modal sosial kognitif yang merupakan proses-proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideologi dan budaya dengan unsur-unsur norma, nilai, sikap, keyakinan, kepercayaan solidaritas, kerjasama dan kedermawanan. Unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
12
Kebudayaan - Bahasa, - Sejarah, - Gender, - Agama, - Seni, dan - sport
Politik: - Peran UU, - Transparansi proses politik, - Good governance
Modal sosial
Tipe jaringan: Bonding, Bridging dan linking Komposisi jaringan:
Transaksi jaringan:
keluarga, teman, tetangga, kolega, organisasi/ kelompok.
- Memperkuat dukungan, - Meningkat pengetahuan,
- negosiasi, -penerapan sanksi
Kualitas jaringan: - Norma-norma: # kepercayaan, # imbalan, # efikasi
# kebersamaan, - partisipasi sosial - partisispasi
Struktur jaringan:
Supremasi Hukum: - Independensi pengadilan, - Transparansi proses hukum, - Kebebasan
- jumlah, - keterbukaan, - komunikasi, - mobilitas,dan
Kelembagaan: - Implementasi kebijakan, - Stabilitas ekonomi
- tingkat hubungan.
berpendapat.
Dampak Negatif: - Adanya hubungan tidak seimbang (unbalance bonding), - Menurunkan fungsi keluarga (unbalance bridging), - Korupsi (unbalance linking) - Kekacauan dalam masyarakat
Dampak Positif: - Pengembangan jaringan kerja, - Peningkatan pengetahuan, - Peningkatan kepercayan masyarakat, - Kebahagiaan masyarakat, - Kepuasan mengontrol diri, - transaction cost, - Pemecahan masalah.
Gambar 2 Kerangka Konseptual Modal Sosial (Edwards 2004 diacu dalam Suandi 2007)
13 Tabel 2 Kategori modal sosial Kategori
Struktural
Sumber dan manifestasi
Domain
Peranan dan aturan jaringan dan hubungan interpersonal lainnya Prosedur dan preseden Organisasi sosial
Kognitif Norma, nilai, sikap dan keyakinan
Budaya sipil
Faktor dinamis
Hubungan/keterkaitan horizontal dan vertikal
Kepercayaan, solidaritas, kerjasama dan kedermawanan
Unsur-unsur umum
Ekspektasi yang mengarah pada perilaku kooperatif dan memberi manfaat untuk semua
Sumber: Uphoff (2000)
Uphoff (2000) membagi modal sosial dalam empat tingkatan (kontinuum) yaitu
minimum, rendah, sedang dan tinggi sebagaimana dapat dilihat dalam
Tabel 3. Tabel 3 Tingkatan modal sosial Minimum Tidak mementingkan kesejahteraan orang lain; memaksimalkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain Nilai-nilai: Hanya menghargai kebesaran diri sendiri Isu-isu pokok: Selfisness: Bagaimana sifat seperti ini bisa dicegah agar tidak merusak masyarakat secara keseluruhan Strategi: Jalan sendiri
Kepentingan bersama: Tidak jadi pertimbangan
Tingkatan modal sosial Rendah Sedang Hanya Komitmen terhadap mengutamakan upaya bersama; kesejahteraan sendiri; kerjasama terjadi bila Kerjasama terjadi memberi keuntungan sejauh kepada orang lain menguntungkan sendiri Nilai-nilai: Efisiensi kerjasama
Nilai-nilai: Efektifitas kerjasama
Isu-isu pokok: Biaya transaksi: Bagaimana biaya ini bisa dikurangi untuk meningkatkan manfaat bersih bagi masing-masing orang Strategi: Kerjasama teknis
Isu-isu pokok: Tindakan kolektif: Bagaimana kerjasama (penghimpunan sumberdaya) bisa berhasil berkelanjutan Strategi: Kerjasama Strategis
Kepentingan bersama: Instrumental
Kepentingan bersama: Intitusional
Tinggi Komitmen terhadap kesejahteraan oranglain;Kerjasama tidak terbatas pada kemanfaatan sendiri tetapi juga untuk kebaikan bersama Nilai-nilai: Altruism dipandang sebagai hal yang baik Isu-isu pokok: Pengorbanan diri: Sejauh mana hal-hal seperti patriotisme dan pengorbanan demi fanatisme agama perlu dilakukan Strategi: Bergabung atau melarutkan kepentingan individu Kepentingan bersama: Transedental
14 Lanjutan Minimum Pilihan: Keluar: bila tidak puas
Tingkatan modal sosial Rendah Sedang Pilihan: Pilihan: Bersuara: berusaha Bersuara: mencoba untuk memperbaiki memperbaiki syarat pertukaran keseluruhan produktifitas
Teori permainan: Zero-sum kompetisi tanpa adanya hambatan pilihan akan menghasilkan negative-sum
Teori permainan: Zero-sum Pertukaran yang memaksimalkan keuntungan sendiri bisa menghasilkan positive-sum
Fungsi utilitas: Independent Pendekatan diberikan bagi utilitas sendiri
Fungsi utilitas: Independent Dengan utilitas bagi diri sendiri diperbesar melalui kerjasama
Teori permainan: Positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan sendiri dan kepentingan untuk mendapatkan manfaat bersama Fungsi utilitas: Interdependent positive Dengan sebagaian penekanan diberikan bagi kemanfaatan orang lain
Tinggi Pilihan: Setia: menerima apapun jika hal itu baik untuk kepentingan bersama secara keseluruhan Teori permainan: Positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan bersama dengan mengesampingkan kepentingan sendiri Fungsi utilitas: Interdependent positive Dengan lebih banyak penekanan diberikan bagi kemanfaatan orang lain daripada keuntungan diri sendir
Sumber : Uphoff (2000)
2.1.3 Unsur-Unsur Modal Sosial Beberapa ahli telah menyebutkan berbagai unsur-unsur pembentuk modal sosial misalnya Putnam (1993) menyebutkan kepercayaan, norma-norma dan jaringan-jaringan, Flassy et al. (2009) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan unsur utama dalam modal sosial, sedangkan unsur lainnya yaitu partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai sosial dan tindakan proaktif merupakan syarat kecukupan dari mosal sosial. Hasbullah (2006) membagi unsur modal sosial menjadi enam yaitu partisipasi dalam jaringan, resiprocity, kepercayaan, norma sosial, nilai-nilai dan tindakan yang proaktif.
1.
Partisipasi dalam jaringan Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan kerjasama antar manusia
merupakan wujud dari infrastruktur dinamis modal sosial. Wujud nyata dari jaringan adalah adanya interaksi sehingga jaringan itulah yang disebut modal sosial (Coleman 1998). Modal
sosial
yang
kuat
sebagai
salah
satu
kunci
keberhasilan
pembangunan tidak dibangun oleh satu individu tetapi terletak pada jaringan
15 sosial yang kuat yang dibangun dengan prinsip-prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Tipologi dari jaringan sosial yang terbentuk di dalam masyarakat tergantung dari karakteristik dan orientasi kelompok. Kelompok sosial yang membangun jaringan atas dasar keturunan, pengalaman sosial dan kesamaan kepercayaan dan agama cenderung akan membentuk jaringan dengan kohesifitas yang tinggi namun rentang jaringan maupun kepercayaan yang sempit, sedangkan kelompok masyarakat yang membangun jaringan dengan dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan ciri pengelolan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi dan rentang jaringan yang lebih luas. Tipologi jaringan yang kedua inilah yang akan memberikan dampak positif bagi kemajuan kelompoknya dan masyarakat secara luas (Hasbullah 2006).
2.
Resiprocity Lenggono (2004) menyebutkan bahwa hubungan timbal balik adalah
terjadinya pertukaran sumber daya dengan menyediakan pelayanan pada orang lain. Rudito dan Fabiola (2008) menambahkan bahwa modal sosial terbentuk dari adanya dua macam solidaritas yaitu solidaritas mekanik yang mengikat masyarakat karena adanya rasa kebersamaan dan aturan dalam kelompok serta solidaritas organik yang mengikat masyarakat karena adanya perbedaan keahlian antar individu sehingga saling membutuhkan antara individu satu dengan yang lainnya. Modal sosial senantiasa diwarnai dengan kecenderungan untuk saling tukar kebaikan antar individu dalam kelompok maupun antar kelompak dengan nuansa altruism. Namun masyarakat dengan tingkat resiprositas yang kuat belum tentu memberikan dampak positif yang cukup besar bagi kelompok lainnya tergantung dari derajad keterbukaan masyarakat tersebut (Hasbullah 2006).
3.
Kepercayaan Kepercayaan adalah atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu
bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya
(Putnam
1993).
Fukuyama
(2007)
berpendapat
bahwa
16 kepercayaan
adalah
sikap
saling
mempercayai
di
masyarakat
yang
memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Kepercayaan merupakan warna dari suatu sistem kesejahteraan bangsa yang merupakan karakteristik yang menjadi prakondisi dari terciptanya kemampuan berkompetisi Qianhong Fu (2004) dalam Hasbullah (2006) membagi kepercayaan dalam tiga tingkatan yaitu (1) tingkatan individual yang merupakan kekayaan individu, variabel personal dan karakteristik individu, (2) tingkatan relasi sosial yang merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan kelompok dan (3) tingkatan sistem sosial yang merupakan nilai publik yang perkembangannya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada. Nahapit & Ghosal (1998) dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan pada tingkat individu berasal dari nilai-nilai yang yang bersumber pada kepercayaan dan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma-norma di dalam masyarakat, sedangkan pada tingkat komunitas kepercayaan bersumber dari norma sosial yang telah melekat pada struktur sosial yang ada. Putnam (1993) memandang kepercayaan terkait dengan perilaku dan ada atau tidaknya resiprocity dalam masyarakat. Pada tingkatan institusi sosial kepercayaan akan bersumber dari karakteristik sistem tersebjut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok. Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan memberikan nilai positif yang besar apabila memiliki rentang (the radius of trust) yang luas sehingga kelompok
yang
hanya
berorientasi
inward
looking
akan
sulit
untuk
mengembangkan modal sosialnya. Sedangkan kelompok yang lebih terbuka akan mempunyai potensi yang lebih baik untuk mengembangkan modal sosialnya.
4.
Norma sosial Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh
anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006). Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuantujuan yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang (Suharto 2007). Norma sosial ini sangat berperan dalam mengontrol perilaku yang masyarakat.
17 Norma-norma ini biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan tingkah laku dalam konteks hubungan sosial. Hasbullah (2006) menyatakan bahwa norma merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Fukuyama (2007) menyatakan bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal yang medukung kerjasama antar individu. Lawang (2005) juga memandang bahwa norma merupakan bagian penting dari modal sosial.
5.
Nilai-nilai (values) Menurut Hasbullah (2006) nilai adalah “suatu ide yang telah turun menurun
dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok”. Dalam kebudayaan manusia terdapat nilai-nilai yang akan mendominasi ide-ide yang berkembang. Ide-ide tersebut akan mempengaruhi aturan-aturan bertindak dalam masyarakat (the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang secara bersama-sama akan membentuk pola-pola kultural (cultural pattern). Kekuatan
modal sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh konfigurasi
nilai yang yang ada di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena sifat nilai yang memiliki konsekuensi ambivalen, misalnya nilai harmoni yang dianggap menciptakan
kerukunan
akan
menghalang
kompetisi.
Padahal
nilai-nilai
kompetisi dalam masyarakat dapat memicu perkembangan dan kemajuan yang lebih cepat pada bidang-bidang tertentu (Hasbullah 2006).
6.
Tindakan yang proaktif Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari
anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi mencari senantiasa jalan bagi keterlibatan mereka dalam kegiatan masyarakat (Hasbullah 2006). Lawang (2005) menyatakan bahwa keberadaan modal sosial baik yang bersifat proses, pelumas maupun perekat tidak akan terjadi tanpa ada tindakan dari masyarakat. Lenggono (2004) menyebutkan bahwa proaktif sebagai bagian dari modal sosial merupakan kerelaan warga sebagai subyek dalam suatu pembangunan.
18 2.2
Persepsi
2.2.1 Pengertian Persepsi Sarwono (2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar, peristiwa, dan lain-lain) dan organisme itu berespons dengan menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori (golongan) obyekobyek atau peristiwa-peristiwa. Proses menghubungkan ini adalah proses yang aktif di mana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian, persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan). Dalam terminologi psikologi Lindsay dan Norman (1977) menyebutkan bahwa “Perception is the process by which organisms interpret and organize sensation to produce a meaningful experience of the world”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa persepsi merupakan pandangan akhir seseorang setelah memproses semua input dan sensasi yang diperolehnya melalui panca indera. Vredentbergt (1974)
dalam Sattar (1985) memiliki pendapat bahwa
persepsi adalah sebagai proses selektif untuk membangun kesan dan membuat penilaian. Persepsi (perception) juga diartikan sebagai penglihatan atau tanggapan daya memahami/menanggapi (Echols & Shadily 1989). Persepsi merupakan cara bagaimana seseorang melihat dan menaksirkan suatu obyek atau kejadian. Seseorang akan melakukan tindakan sesuai persepsinya, sehingga persepsi memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang (Chartrand & Bargh 1999). Beberapa definisi persepsi menurut para ahli, antara lain: 1.
Menurut Grice (1964), persepsi merupakan proses sebab akibat. Proses pemberian arti oleh seseorang sebagai akibat atas berbagai rangsangan atau stimulus yang diterimanya, dan dari proses tersebut seseorang mempunyai opini tertentu mengenai apa yang diamatinya.
2.
Menurut Krech (1962), persepsi merupakan integrasi dari individu dan rangsangan yang diterimanya. Apa yang dipersepsikan individu dalam suatu saat tertentu tidak hanya dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima, namun dipengaruhi juga oleh apa yang ada dalam diri individu tersebut, misalnya pengalaman, perasaan, prasangka, keinginan, sikap dan tujuan.
19 3.
Menurut Lindsay dan Norman (1977), persepsi merupakan suatu proses dari seseorang dalam menyeleksi, mengorganisir dan menginterpretasikan rangsangan ke dalam sesuatu yang berarti dan koheren dengan dunia. Dengan demikian orang yang berbeda bisa jadi akan melihat sesuatu yang sama secara berbeda.
4.
Menurut Hufman (1987), persepsi merupakan proses penyeleksian, pengorganisasian, dan penyampaian data yang dapat dipahami oleh mental
2.2.2 Mekanisme Pembentukan Persepsi Proses pembentukan persepsi menurut Asngari (1984) diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan. Informasi tersebut selanjutnya disusun menjadi suatu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman tehadap obyek yang diamati. Informasi yang sampai pada seseorang merupakan suatu stimulus yang diteruskan ke syaraf sensoris, sehingga orang akan menyadari dan memahami stimulus tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut melakukan tindakan. Obyek persepsi dapat berada di dalam maupun di luar individu. Jika obyek persepsi berada di dalam individu yang mempersepsi, berarti individu tersebut mempersepsi dirinya sendiri, sehingga ia dapat mengerti dan mengevaluasi keadaan dirinya sendiri. Namun jika persepsi berada di luar individu yang mempersepsi, maka obyek persepsi dapat berupa benda-benda, situasi atau manusia (Swanky 2006). Selama proses mempersepsi suatu obyek, individu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri individu, seperti pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi. Faktor eksternal berupa rangsangan itu sendiri dan faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung. Asngari
(1984)
menyatakan
bahwa
Litterer
membagi
mekanisme
pembentukan persepsi menjadi 3 yaitu selectivity, interpretation dan closure. Dalam proses ini, pengalaman masa lalu memegang peranan sangat penting dalam proses interpretasi informasi. Namun Asngari (1984) menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi persepsi tidak hanya pengalaman masa silam tetapi juga karakteristik seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan
20 status kependudukan karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognitif seseorang. 2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Weaver (1978) dalam Susiatik (1998) menyatakan bahwa umumnya terjadi perbedaan persepsi antara individu satu dengan yang lain terhadap suatu obyek yang sama. Persepsi individu terhadap suatu obyek atau gejala dapat bersifat positif atau negatif, benar atau salah serta dapat berubah. Hal ini terjadi karena perbedaan karakteristik setiap individu yang bersifat pribadi dan unik. Ruch (1964) menyebutkan bahwa persepsi setiap individu terhadap obyek yang sama dapat berbeda tetapi persepsi dari individu yang sama terhadap suatu obyek yang sama juga dapat berbeda dalam waktu yang berbeda, dan disimpulkan bahwa perbedaan persepsi dipengaruhi oleh faktor tingkat intelejensia, pengharapan terhadap obyek yang dipersepsikan dan pengalaman masa lalu. Sadli (1976) menyatakan ada empat faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: 1.
Faktor obyek rangsangan seperti nilai, arti emosional, familiaritas dan intensitas suatu obyek.
2.
Faktor individu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional, dll
3.
Faktor pengaruh kelompok, bahwa respon orang lain dalam suatu kelompok akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang
4.
Faktor latar belakang kultural seperti adat istiadat dan kebudayaan seseorang akan mempengaruhi tingkah lakunya. Dalam penelitiannya mengenai persepsi masyarakat terhadap kegiatan
reboisasi dan penghijauan, Sattar (1985) menyimpulkan bahwa karakteristik individu yang mempengaruhi persepsi adalah pendidikan, sosial ekonomi, sosial budaya serta karakteristik penyuluhan yang dilakukan. Penelitian lain yang dilakukan Yuwono (2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap program hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Musi Rawas adalah umur, pendidikan, penyuluhan dan pemahaman program. Hasil penelitian Susiatik (1998) menyimpulkan bahwa selain umur dan pendidikan, pengalaman berusaha tani dan kekosmopolitan individu juga memiliki hubungan yang erat dengan persepsi masyarakat terhadap program Pembangunan Masyararakat Desa Hutan Terpadu di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.
21 2.3
Hutan Tanaman Rakyat
2.3.1 Definisi dan Pola Pembangunan HTR Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (Dephut 2011). Program pembangunan HTR ini dilatar belakangi oleh: 1.
Upaya pemerintah untuk mempercepat revitalisasi sektor kehutanan guna meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan.
2.
Untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih kuat kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi (Ditjen BPK 2007). Prinsip-prinsip penyelenggaraaan HTR ini antara lain: (1) masyarakat
mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat, (2) kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab, (3) pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar (Ditjen BPK 2007). Pemerintah
telah
menetapkan sasaran
dalam
pembangunan
HTR
sebagaiman tercantum dalam petunjuk teknis pembangunan HTR sebagai berikut : 1.
Masyarakat yang menjadi sasaran program HTR adalah masyarakat yang berada di dalam atau sekitar hutan yang bergantung pada hutan dalam hal mata pencaharian, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam kelembagaan.
22 2.
Kawasan hutan yang menjadi sasaran lokasi adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif, yang tidak dibebani hak dan diutamakan yang terletak dekat dengan industri hasil hutan dan telah ditetapkan pencadangannya sebagai lokasi HTR.
3.
Kegiatan yang menjadi sasaran program HTR berupa fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kewengannya antara lain melakukan pengakuan status, legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan dan penyuluhan teknis, pendidikan dan latihan, akses ke pembiayaan dan akses pasar.
4.
Kegiatan IUPHHK HTR adalah pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman yang meliputi tahapan kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil hutan (BPK 2007). Pola pengembangan HTR direncanakan mengikuti 3 pola, yaitu (1) Pola
Mandiri, (2) Pola Kemitraan dengan HTI, BUMN/S, dan (3) Pola Developer. Pengertian dari masing-masing pola adalah sebagai berikut: 1.
Pola
Mandiri
dimana
masyarakat
setempat
membentuk
kelompok,
Pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHKHTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/pemda. 2.
Pola Kemitraan dengan HTI BUMN/S dimana masyarakat setempat membentuk kelompok diajukan oleh Bupati ke Menhut. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK-HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar.
3.
Pola Developer dimana BUMN/S sebagai developer membangun hutan tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHKHTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.
2.3.2 Lokasi dan Proses Perijinan HTR Alokasi areal untuk HTR ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai lokasi pencadangan HTR pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak/izin lainnnya. Bagan alir proses pencadangan tersebut serta pihak-
23 pihak yang terkait dengan proses pencadangan tersebut dapat dilihat pada gambar 3. Pemerintah dalam Dephut (2011) telah memberikan beberapa ketentuan terkait dengan ijin IUPHHK-HTR diantaranya: 1. Luasan ijin IUPHHK-HTR untuk perorangan maksimal 15 ha dan untuk koperasi maksimal 700 ha. 2. Ijin IUPHHK-HTR berlaku selama 60 tahun dan dapat diperpanjang selama 35 tahun. 3. Ijin IUPHHK-HTR tidak dapat diperjual belikan, dipindahtangankan tanpa izin dan diwariskan namun apabila pemegang ijin perorangan meninggal maka salah satu ahli warisnya diutamakan untuk menjadi pemegang ijin IUPHHK-HTR untuk melanjutkan pembangunan HTR.
Peta arahan indikatif dari Baplan A.n Menteri
Tembusan
Tembusan : -Dirjen BPK -Sekjen Dephut -Gubernur -Kadishut Provinsi -BPKH
Bupati
SK Pencadangan
Usulan pencadangan HTR
Kadishut Kabupaten Menyiapkan pertimbangan teknis kawasan, areal tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi dan program daerah Peta usulan 1:50.000
Tembusan
‐Dirjen BPK -Baplan
Menteri
Gambar 3 Bagan alir proses pencadangan HTR (Dephut 2011)
Proses perijinan HTR mengikuti mekanisme sebagai berikut : 1.
Pemohon
IUPHHK-HTR
dari
perorangan
mengajukan
ijin
kepada
bupati/walikota melalui kepala desa, sedangkan permohonan dari koperasi diajukan kepada Bupati dengan tembusan kepada kepala desa
24 2.
Berdasarkan permohonan dari perorangan dan tembusan permohonan dari koperasi, kepala desa melakukan verifikasi atas keabsahan persyaratan permohonan
3.
Kepala desa menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi tersebut kepada Bupati/Walikota
sekaligus
menyampaikan
berkas
permohonan
untuk
pemohon perorangan. Tembusan rekomendasi Kepala Desa disampikan kepada Camat dan BPPHP dilampiri foto kopi berkas permohonan. 4.
Berdasarkan rekomendasi dari Kepala Desa, Kepala BPPHP berkoordinasi dengan Kepala BPKH melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang dimohon dan hasilnya disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai pertimbangan teknis.
5.
Berdasarkan rekomendasi dari kepala desa dan pertimbangan teknis Kepala BPPHP,
kepala
dinas
kabupaten/kota
yang
membidangi
kehutanan
melakukan penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR. 6.
Hasil penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR disampaikan Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.
7.
Dalam hal Bupati/Walikota menyetujui permohonan IUPHHK-HTR, Kepala Dinas menyiapkan konsep keputusan dan peta kerja IUPHHK-HTR.
8.
Bupati/Walikota menerbitkan keputusan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi.
2.3.3
Jenis Tanaman dan Tahapan Kegiatan Pembangunan HTR Jenis tanaman yang dapat dikembangkan dalam pembangunan HTR ini
terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tumpang sari. Tanaman pokok adalah tanaman berkayu yang dapat sejenis atau berbagai jenis yang terdiri dari kelompok jenis meranti, jenis keruing non dipterocarpaceae, kelompok kayu serat dan Kelompok Multi Purpose Tree Species/MPTS. Sedangkan tanaman tumpang sari adalah tanaman pangan setahun/musiman yang ditanam untuk memperoleh hasil tambahan selama masa menunggu waktu penebangan tanaman pokok antara lain jagung, padi, palawija dan lain-lain (Ditjen BPK 2008). Budidaya HTR dikembangkan sesuai dengan kondisi tapak, sosial ekonomi dan budaya setempat. Dalam pembangunan HTR, tanaman pokok dapat sejenis maupun tidak sejenis. Apabila tanaman pokok tidak sejenis maka komposisinya adalah tanaman hutan berkayu dan tanaman budidaya tahunan misalnya karet, tanaman buah, tanaman penghasil pangan dan energi dengan
25 luas maksimal tanaman budidaya tahunan 40%. Dalam hal di dalam areal HTR tersebut telah terdapat tanaman campuran atau tanaman monokultur (sawit) yang telah ada, pemegang izin wajib mengembangkan tanaman kehutanan yang bercampur dengan tanaman yang sudah ada. Apabila terdapat tanaman sawit di atas areal HTR dan berumur rata-rata diatas 3 (tiga) tahun, pemegang izin diberikan kesempatan mengembangkan tanaman sawit tersebut sampai umur 20 (dua puluh) tahun, dengan kewajiban menanam tanaman kehutanan sebagai batas petak dan blok. Untuk tanaman sawit berumur rata-rata diatas 10 (sepuluh) tahun maka areal HTR tersebut
wajib ditanami tanaman kehutanan sebagai
tanaman sela menyebar dengan jumlah 400 pohon per hektar dan/atau dengan jarak 5 (lima) x 5 (lima) meter. Apabila tanaman sawit berumur rata-rata 20 tahun atau lebih, tanaman sawit harus ditebang dan diganti tanaman hutan dan tanaman sela/tumpangsari. Ditjen BPK (2007) menyebutkan tahapan-tahapan dalam pembangunan HTR yang terdiri dari: 1. Perencanaan/penyiapan lahan yang terdiri dari kegiatan penataan areal, pembukaan wilayah hutan dan pembersihan lahan 2. Penyiapan bibit yang terdiri dari kegiatan pengadaan benih dan pengadaan bibit. 3. Penanaman yang terdiri dari kegiatan persiapan lapangan, pengangkutan bibit dan pelaksanaan penanaman 4. Pemeliharaan penyulaman,
tanaman
yang
pendangiran,
terdiri
dari
kegiatan
pemupukan,
penyiangan/pengendalian
gulma,
pemangkasan cabang dan penjarangan. 5. Pemanenan hasil hutan yang terdiri dari kegiatan inventarisasi tegakan, penebangan dan pengangkutan kayu 6. Perlindungan dan
pengamanan hutan yang terdiri dari kegiatan
pengendalian hama penyakit, pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan. Tahapan
kegiatan
pembangunan
pelaksanaannya dapat dilihat dalam Tabel 4.
HTR
tersebut
dan
tata
waktu
26 Tabel 4 Tahapan dan tata waktu kegiatan HTR No 1
2
3
4
5
Tahapan Kegiatan Perencanaan/penyiapan lahan a. penataan areal b. pembukaan wilayah hutan c. pembersihan lahan Penyiapan bibit a. pengadaan benih b. pengadaan bibit Penanaman a. persiapan lapangan b. pengangkutan bibit c. pelaksanaan penanaman Pemeliharaan Tanaman a. pemupukan b. penyulaman c. pendangiran d. penyiangan/pengendalian gulma e. pemangkasan cabang f. penjarangan Pemanenan Hasil Hutan a. Inventarisasi tegakan b. Penebangan c. Pengangkutan kayu
Waktu Pelaksanaan Ep-2 Ep-2 Ep-11
Ep-(1/2 s.d 1) Ep- (1/4 s/d 2/3) Ep Ep Ep EP + ¼ dan EP + ½ EP +1 s.d 2 Ep + 1 s.d 2 Ep + 1 s/d 4 Ep + Pm Ep + Pm Ep + Pm Ep + Pm Ep + Pm
6
Perlindungan dan pengamanan hutan a. Pengendalian hama dan penyakit Ep + terus menerus b. Pengendalian kebakaran Ep + terus menerus c. Pengamanan hutan Ep + terus menerus Keterangan: Ep adalah waktu penanaman pada permulaan musim hujan Pm adalah waktu pemanenan Sumber Ditjen BPK 2007
2.3.4 Hambatan-Hambatan Pembangunan HTR Kementerian kehutanan sudah menetapkan target alokasi lahan untuk pembangunan IUPHHK-HTR sampai dengan tahun 2010 sebesar 5,4 juta hektar dengan melibatkan 360.000 kepala keluarga (Emilia & Suwito 2007). Namun realisasi pencadangan lahan IUPHHK-HTR sampai dengan Bulan Juli 2009 baru mencapai 310.542,73 hektar atau 5,75% dari target sampai dengan tahun 2010, sedangkan perizinan IUPHHK-HTR yang sudah dikeluarkan baru 8 izin pada 8 kabupaten/kota yang tersebar pada 5 Provinsi dengan luas total ijin 155.305,95 ha atau sekitar 4,9% dari total areal pencadangan IUPHHK-HTR (Ditjen BPK 2009).
27 Realisasi pembangunan HTR yang sangat kecil menunjukkan adanya beberapa permasalahan dalam pembangunan HTR. Van Noordwijk et al. (2007) mengidentifikasi beberapa hambatan dalam pembangunan HTR di Indonesia diantaranya: (1) status dan kepemilikan lahan HTR, (2) akses kepada modal produksi, (3) permasalahan dalam penguasaan teknologi produksi dan menghasilkan produk-produk kehutanan yang dibutuhkan pasar, (4) pengaturan pasar hasil hutan yang terlalu ketat, (5) kurangnya penghargaan terhadap jasa lingkungan yang dihasilkan oleh petani HTR, dan (6) lemahnya institusi HTR serta kurangnya dukungan dari institusi formal. Lebih lanjut Noordwijk et al. (2007) menambahkan bahwa untuk meningkatkan keberhasilan program HTR ini diperlukan beberapa langkah strategis diantaranya: (1) Kejelasan dalam pembuatan kontrak dengan petani lokal untuk menjamin status dan kepemilikan lahan, (2) Pemberian insentif yang lebih luas terhadap petani HTR dengan memberikan kebebasan dalam memilih jenis tanaman, teknologi dan pemasaran serta pendampingan oleh tenaga teknis yang memadai, (3) Deregulasi dalam pemasaran hasil hutan dan pengangkutan hasil hutan, dan (4) meningkatkan kerjasama antar sektor kehutanan, pertanian, industri dan perdagangan serta pemerintahan lokal untuk mendukung program HTR. Sedangkan
Hakim
(2009)
memandang
permasalahan
dalam
pembangunan HTR terbagi dalam lima aspek yaitu aspek teknologi, aspek ketersediaan lahan, aspek jaminan pasar/industri pengguna hasil HTR, aspek kelembagaan dan aspek pembiayaan HTR. Untuk menghadapi berbagai aspek permasalah
dalam
pembangunan
Pembangunan HTR harus
HTR
maka
dalam
melaksanakan
didasarkan kepada pengalaman keberhasilan di
bidang teknologi, manajemen dan kelembagaan yang sudah tumbuh di masyarakat dalam mengelola lahan kawasan hutan. Oleh sebab itu disarankan agar seluruh jajaran pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten berjalan secara sinergis dan bersama-sama memanfaatkan kelembagaan pengelolaan hutan tanaman yang melibatkan masyarakat yang sudah tumbuh di lapangan dengan memperkuat kapasitas dan kualitas manajemen yang lebih profesional.
28
29 III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lokasi pencadangan pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang yang secara administratif terletak di Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara purposive dengan pertimbangan
bahwa
kawasan
tersebut
dicadangkan
menjadi
areal
pembangunan HTR sejak tahun 2009 namun sampai sekarang baru terdapat 1 ijin HTR sehingga diperkirakan terdapat permasalahan yang menghambat pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
tersebut.
Selain itu di areal tersebut terdapat permasalahan perambahan yang sudah terjadi sejak tahun 1997 sampai sekarang dan belum mendapatkan solusi yang memadai. Penelitian lapangan dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Maret sampai Mei 2012.
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk dalam kelompok penelitian deskriptif yang menurut Nazir (2009) digunakan dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk memperoleh deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey yaitu metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama dalam mengumpulkan data (Irawan 2007).
Metode survey ini digunakan
untuk
memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keteranganketerangan secara aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Selain itu metode juga dapat digunakan untuk mengenal secara mendalam,
mengevaluasi dan perbandingan dalam
mengatasi permasalan yang dihadapi (Nazir 2009).
30 Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik yaitu. 1.
Pengamatan secara langsung melalui observasi lapangan dan partisipatif
2.
Interview atau wawancara langsung
dengan menggunakan pedoman
wawancara semi terstruktur dan kuisioner yang telah disusun 3.
Focus group discussion (FGD) yang digunakan untuk mengidentifikasi akar permasalahan, mencari alternatif-alternatif strategi pemecahan masalah dan merumuskan strategi pemecahan masalah yang efektif dan efisien
4.
Pencatatan data sekunder dari dokumentasi data pada instansi yang terkait dan hasil-hasil penelitian terdahulu.
3.3 Jenis Data dan Instrumen Penelitian Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yang dikumpulkan melalui observasi secara langsung di lapangan, kuisioner dan melalui wawancara mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan HTR. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari: 1.
Kondisi/karakteristik sosial ekonomi masyarakat/komunitas
2.
Karakteristik individu
3.
Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR
4.
Unsur modal sosial masyarakat yang diadopsi dari konsep unsur modal sosial Uphoof (2000) dan Hasbullah (2006). Data sekunder adalah data yang diperoleh dari institusi atau lembaga
tertentu. Data sekunder ini diperoleh melalui studi literatur dan studi data-data dari hasil-hasil penelitian dan instansi terkait, lembaga informal dan sebagainya. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Kondisi umum lokasi penelitian
2.
Dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR
3.
Kebijakan dan dukungan program pembangunan hutan tanaman rakyat. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kuesioner
modifikasi Social Capital Asessment Tool atau SCAT (Krishna dan Shrader 1999) dengan Measuring Social Capital an Integrated Questionnaire atau SC-IQ (Grootaert et al. 2004), kuisioner untuk mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR serta pedoman wawancara untuk analisis SWOT
31 dan QSPM.
SCAT menilai unsur modal sosial melaui penelitian pada
tiga
komponen yaitu komunitas, rumah tangga dan organisasi. SCAT Menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk melakukan pengukuran dimensi modal sosial yang kompleks. Unit analisa SCAT adalah rumah tangga dan komunitas, serta variabel yang berhubungan dengan modal sosial yang mungkin diciptakan dan diakses individu, rumah tangga dan institusi lokal. SCAT mengukur modal sosial pada tiga level yang menghasilkan profil komunitas, profil rumah tangga dan profil organisasi karena SCAT tidak mengukur modal sosial pada level makro nasional tapi pada level mikro komunitas. a.
Profil Komunitas Profil komunitas ditentukan dengan melakukan FGD yang diadakan dalam komunitas selama awal masa penelitian, studi pustaka, observasi lapangan dan metode partisipatory. Profil komunitas yang digali dalam penelitian ini yaitu kondisi karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya komunitas, modal sosial komunitas, data lapangan (identitas aset komunitas, aksi kolektif dan kesetiakawanan, pengambilan keputusan dalam komunitas, organisasi dalam komunitas, hubungan organisasi dengan komunitas, jaringan kelembagaan
dan
kepadatan
organisasi)
dan
permasalahan
dalam
komunitas. b.
Survey Rumah Tangga Survey rumah tangga dimaksudkan untuk memformulasikan indikator yang bersifat kognitif dan struktural dari dimensi modal sosial sehingga mampu mengukur potensi rumah tangga, stok pada tingkat individu dan serta akses pada modal sosial. Untuk survey rumah tangga ini data dikumpulkan dari responden yang jumlahnya ditentukan dengan rumus slovin dengan metode wawancara, observasi lapangan dan partisipatif. Data yang diambil adalah data karakteristik individu dan tingkatan unsur modal sosial yang diukur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dimodifikasi dari SCAT dan SC-IQ.
C. Profil Organisasi Profil organisasi menggambarkan hubungan dan jaringan yang ada diantara institusi lokal formal maupun informal serta untuk mengukur karakteristik internal
organisasi
yang
mungkin
mendukung
atau
menghalangi
pembentukan modal sosial. Profil organisasi ini di tentukan dengan
32 melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci terkait dengan kepemimpinan organisasi, identitas organisasi dan kebijakan/program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Pokok penelitian, jenis data, sumber data dan metode pengumpulan data dapat dilihat dalam Lampiran 1.
4.4
Penentuan Responden Responden rumah tangga dalam penelitian adalah anggota masyarakat
yang berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang yang merupakan calon peserta dalam program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Responden rumah tangga dipilih secara acak. Jumlah responden ditentukan berdasarkan Rumus Slovin (Nazir 2009): n = N/(1 + Ne2)
dimana:
n
= Ukuran sampel
N
= Ukuran populasi
E
= Galat pendugaan
Populasi masyarakat yang berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang berdasarkan data Dinas Kehutanan Kabupaten OKI adalah 2.837 Kepala Keluarga dan galat/tingkat kesalahan yang masih ditolelir adalah 9% maka jumlah responden sampel adalah 119 responden. Selain wawancara
dari
responden,
mendalam
dengan
data
penelitian
informan
juga
kunci
dilengkapi
yang
terkait
dengan dengan
pembangunan HTR. Informan kunci tersebut antara lain Kepala Desa, tokoh masyarakat, pihak dinas Kehutanan, BPPHP Wilayah V, pendamping HTR, LSM dan Badan Penyuluh Kabupaten.
4.5
Variabel Pengamatan dan Definisi Operasional Variabel yang diamati dalam penelitian ini terbagi dalam tiga kelompok
variabel yaitu kelompok variabel karakteristik individu yang diduga akan mempengaruhi tingkatan unsur-unsur modal sosial yang terdiri dari: umur (X1), pendidikan formal (X2), pendidikan non-formal (X3), tingkat pendapatan (X4), kondisi kesehatan (X5), luas lahan garapan (X6), lama tinggal (X7) dan status sosial (X8). Kelompok variabel yang kedua yaitu kelompok variabel kelompok variabel yang merupakan unsur unsur dari modal sosial yang terdiri dari: kepercayan (Y1.1), jaringan (Y1.2), norma (Y1.3), tindakan yang proaktif (Y1.4) dan kepedulian (Y1.5). Kelompok Variabel ketiga yaitu kelompok variabel persepsi
33 masyarakat terhadap pembangunan HTR yang terdiri dari persepsi terhadap alokasi lahan HTR (Y2.1), pola pembangunan HTR (Y2.2), pemanfaatan Hasil HTR (Y2.3),
jenis tanaman HTR (Y2.4), persyaratan perijinan HTR (Y2.5), proses
perijinan HTR (Y2.6), jangka waktu dan luas pengusahaan ijin HTR (Y2.7), pewarisan ijin HTR (Y2.8), hak dan kewajiban HTR (Y2.9), pasar hasil HTR (Y2.10), kelembagaan HTR (Y2.11), sosialisasi HTR(Y2.12), pendampingan dan penyuluhan (Y2.13). Untuk memudahkan penelitian maka konsep-konsep dan variabel-variabel tersebut dibatasi dan ditentukan terlebih dahulu paramaternya pengukurannya sesuai dengan rencana penelitian yang dilakukan. 1.
Konsep modal sosial dalam penelitian ini adalah norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur masyarakat sehingga membuat komunitas petani di lokasi pencadangan HTR dapat bekerjasama dalam bertindak untuk mencapai tujuan bersama.
2.
Karakteristik individu adalah keadaan atau sifat baik bawaan maupun yang diperoleh dari pengaruh lingkungan yang terdapat pada individu tersebut, yang mendorong individu tersebut untuk berpartisipasi.
3.
Persepsi masyarakat adalah pandangan masyarakat terhadap ketentuanketentuan dalam proses pembangunan HTR. Variabel, indikator dan parameter pengukuran unsur karakteristik individu,
unsur modal sosial
dan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR
dapat dilihat dalam Lampiran 2.
3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul berupa data karakteristik sosial, karakteristik individu dan tingkatan unsur-unsur modal sosial dipadukan dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut: 3.6.1 Analisis Deskriptif kualitatif Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan: (1) karakteristik sosial, ekonomi dan budaya pada level komunitas; (2) kebijakan dan dukungan pihak-pihak terkait pada kegiatan pembangunan hutan tanaman rakyat; (3) karakteristik individu; (4) unsur-unsur modal sosial dan (5) penilaian tingkatan unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat area Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang.
Untuk mendeskripsikan karakteristik sosial, ekonomi dan
34 budaya masyarakat pada level komunitas, karakteristik individu dan tingkatan unsur-unsur modal sosial dilakukan dengan persamaan:
Adapun jumlah kelas disesuaikan dengan kategori tingkatan yang diinginkan yaitu 3 kelas untuk karakteristik sosial, ekonomi dan budaya komunitas (rendah, sedang dan tinggi), 3 kelas untuk karakteristik individu (rendah, sedang dan tinggi) dan 4 kelas untuk tingkatan modal sosial (minimum, rendah, sedang dan tinggi).
3.6.2 Analisis kuantitatif Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel karakteristik individu (X) terhadap variabel unsur-unsur modal sosial masyarakat (Y) dengan menggunakan uji koefisien Peringkat Spearman: 1
6∑ 1
Dengan RS (Koefisien Rank Spearman), di (selisih peringkat X dan Y) dan n (banyaknya sampel). Apabila Rs bernilai nol, maka tidak ada korelasi, apabila Rs bernilai +1,00 atau -1,00 maka terdapat korelasi sempurna.
2.3.4
Analisis Strategi Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Proses penyusunan perencanaan strategis menurut Rangkuti (2008)
melalui tiga tahapan analisis yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis dan (3) tahap pengambilan keputusan sebagimana tergambar dalam gambar 4.
1. Tahap Pengumpulan data Evaluasi Faktor Matrik Profil Kompetitif Evaluasi Faktor Eksternal Eksternal 2. Tahap Analisis Matrik SWOT 3. Tahap Pengambilan Keputusan Quantitave Strategic Planning Matrix (QSPM) Gambar 4 Kerangka formulasi strategis (dimodifikasi dari Rangkuti 2008)
35 1 Tahap Pengumpulan data Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data, pengklasifikasian dan praanalisis data. Data yang dikumpulkan terbagai menjadi dua kategori yaitu data internal dan data eksternal. Data internal merupakan data yang menggambarkan kekuatan dan kelemahan yang terdapat didalam masyarakat terkait dengan pembangunan
HTR.
Sedangkan
data
internal
merupakan
data
yang
menggambarkan peluang dan ancaman yang berasal dari luar masyarakat terkait dengan pembangunan HTR. Pada tahap pengumpulan data ini dilakukan pengumpulan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang diperoleh dari identifikas lapangan terhadap karakteristik sosial, karakteristik individu, modal sosial, persepsi masyarakat dan dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR. Faktor-faktor tersebut diidentifikasi berdasarkan penilaian beberapa stakeholders yang terkait dengan pembangunan HTR yaitu tokoh masyarakat, aparat pemerintahan, BPPHP Wilayah V, Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dan pendamping HTR. Pada tahap ini terdapat dua model matrik analisi data yang dipakai untuk mengkalsifikasikan dan membuat pra-analisis yaitu a.
Matrik Faktor strategi Eksterna/External factor evaluatian (EFE) Matrik EFE disusun untuk meringkas faktor faktor eksternal terkait dengan
peluang dan ancaman dari luar komunitas masyarakat. Matrik EFE disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Menyusun kolom 1 yang berisi peluang dan ancaman (5 s.d 10 kolom)
2.
Memberikan bobot masing-masing faktor tersebut dalam kolom 2 dengan skala 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (sangat penting)
3.
Menghitung rating dalam kolom 3 dengan skala 0 (Poor) sampai 4 (outstanding)
4.
Menghitung skor pembobotan pada kolom 4 dengan mengalikan kolom 2 dengan kolom 3
5.
Menggunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tersebut dipilih dan bagaimana mendapatkan bobot perhitungannya.
6.
Menjumlahkan skor pembobotan total pada kolom 4. Skor ini menunjukkan bagaimana reaksi masyarakat terhadap faktor-faktor eksternal.
36 b.
Matrik Faktor strategi Internal/Internal factor evaluatian (FE) Matrik IFE ini digunakan untuk meringkas faktor-faktor internal yang terkait
dengan kekuatan dan kelemahan yang terdapat di dalam masyarakat. Tahapan penyusunan matrik IFE ini sama dengan tahapan penyusunan matrik EFE. 1.
Tahap Analisis Tahapan analisis ini memanfaatkan semua informasi yang terkumpul
dalam model-model kuantitatis perumusan strategi. Alat analisis yang dipakai adalah matrik SWOT. Matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal (Rangkuti 2008). Matrik analisis ini menghasilkan empat kemungkinan strategi yaitu. a.
Strategi kekuatan-peluang. Strategi ini berusaha memanfaatkan kekuatan yang ada untuk merebut dan memanfaatkan peluang secara optimal.
b.
Strategi kekuatan-ancaman Strategi ini berusaha untuk memanfaatkan kekuatan yang ada untuk menghadapai ancaman yang datang.
c.
Strategi kelemahan-peluang Strategi ini digunakan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki.
d.
Strategi kelemahan-ancaman Strategi
ini
merupakan
strategi
defensif
yang
berusaha
untuk
meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. 2.
Tahap Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan atas berbagai pilihan strategi diatas dilakukan
dengan menggunakan metode analisi Quantitave Strategic Planning Method (QSPM). Analis QSPM dilakukan dengan memberikan skor daya tarik (Atractiveness Score) pada setiap faktor dalam pilihan strategi yang terdapat dalam matrik SWOT. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memberikan bobot pada masing-masing faktor dengan skala 0,0 (tidak penting) sampai dengan 1,0 (sangat penting) kemudian mengalikannya dengan skor daya tarik dengan skala 1 (kurang baik) sampai dengan 4 (sangat baik) untuk mendapatkan total skor daya tarik (total atractiveness score) atau TAS. Strategi yang dipilih adalah strategi dengan nilai TAS yang paling tinggi (David 2002).
37 IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang merupakan kawasan hutan
produksi yang telah ditetapkan sejak tahun 1937 oleh Belanda sebagai kawasan hutan register 10. Bahkan pada tahun 1924 telah ditunjuk oleh residen palembang
sebagai
Palembang
Nomor
hutan 4
produksi
Tanggal
30
dengan Juli
Surat
1924.
Keputusan
Departemen
Residen
Kehutanan
melaksanakan tata batas luar pada kawasan hutan ini di tahun 1985/1986 dan menetapkan sebagai kawasan hutan produksi pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 295/Kpts-II/1995 tanggal 13 juni 1995 seluas 8000 hektar. Pada tahun 1991 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 159/Kpts-V/1991 tanggal 30 Januari 1991,
Departemen Kehutanan
memberikan konsesi kepada PT Rimba Jaya Borang untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri di kawasan tersebut. Pada tahun 1996 hak pengelolaan tersebut dialihkan kepada PT Inhutani V berdasarkan surat Menteri Kehutanan Nomor
1153/Menhut-IV/1996
tanggal
20
Agustus
1996
dikarenakan
ketidakmampuan PT Rimba Jaya Borang untuk melaksanakan pembangunan HTI. Dalam melaksanakan pembangunan HTI karet tersebut PT Inhutani V bekerjasama dengan CV Sama Jaya dengan pola patungan dan disetujui oleh Menteri Kehutanan sesuai dengan surat nomor 1510/IHT-V/II-2/96 tanggal 21 Oktober 1996. Dalam perkembangannya PT Inhutani V tidak dapat melanjutkan pembangunan HTI karet dikarenakan adanya konflik perambahan lahan oleh masyarakat. Realisasi kegiatan yang dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 1998/1999 hanya seluas ± 1000 hektar terdiri dari kegiatan penanaman ± 300 ha dan kegiatan pembukaan lahan ± 700 ha. Melihat kondisi tersebut, PT Inhutani V Unit Sumatera Selatan mengusulkan kepada Menteri Kehutanan agar di kawasan tersebut dibangun hutan kemasyarakatan kepada Direktur Utama PT Inhutani V dengan rincian areal seluas 1000 ha dikelola oleh Koperasi Karyawan PT Inhutani V sedangkan sisanya dikelola oleh pondok pesantren dan masyarakat sekitar hutan. Usulan tersebut disetujui oleh Direktur Utama PT Inhutani V dan agar segera memproses perijinan kegiatan tersebut dengan instansi yang terkait berdasarkan surat Direktur Utama PT Inhutani V Nomor 494/IHT-V/II-2/1999 dan untuk pelaksanaannya
Koperasi
Karyawan
Inhutani
V
bekerjasama
dengan
PT Sama Jaya Nugraha. Berdasarkan surat tersebut PT Sama Jaya Nugraha melakukan penyadapan pada areal yang telah ditanami seluas ± 300 hektar.
38 Bupati Ogan Komering Ilir pada tanggal 30 Juli 2005 mengeluarkan surat nomor 271/D.kehut/2005 yang berisi permintaan untuk penghentian kegiatan penyadapan pada areal tersebut dikarenakan belum adanya ijin definitif. Permintaan tersebut ditindaklanjuti
oleh PT Inhutani V dengan mengajukan
permohonan IUPHHK HTI di areal eks PT Rimba Jaya Borang. Permohonan tersebut sampai saat ini tidak ditindaklanjuti oleh kementerian kehutanan. Pada tahun 2009, Bupati Ogan Komering Ilir mengajukan permohonan pencadangan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang menjadi areal pencadangan HTR kepada Departemen kehutanan melalui surat nomor 0619/D.kehut/2009 tanggal 19 Maret 2009. Permohonan tersebut ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor SK.357/Menhut-II/2009 tanggal 18 Juni 2009 tentang Pencadangan Areal Untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas ± 8000 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (Dishut Kab.OKI 2009).
4.2 Kondisi Biofisik Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
4.2.1 Letak dan Luas Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang secara geografis terletak antara 104o51’19’’ sampai dengan 105 o21’57’’ Bujur Timur dan 05o27’10’’ sampai dengan 05o41’44’’ Lintang Selatan seluas 8000 ha. Berdasarkan batas administrasi pemerintahan kawasan ini berada di tiga desa yaitu Desa Lubuk Makmur, Desa Lubuk Seberuk dan Desa Muara Burnai II Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten Ogan Komering Ilir.
4.2.2 Penggunaan Lahan kawasan Berdasarkan peta interprestasi citra Spot 5 path/row 280-357 tanggal 13 Agustus tahun 2005 ditemukan bahwa penutupan lahan kawasan tersebut didominasi oleh pertanian campuran dan tidak terdapat lagi potensi hutan alam. Selain itu perambahan terjadi hampir di semua kawasan sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang. Penggunaan lahan kawasan tersebut terdiri dari lahan garapan masyarakat untuk tanaman berkayu, lahan garapan tanaman semusim dan lahan pemukiman dengan luasan masing-masing tercantum dalam Tabel 5.
39 Tabel 5 Penggunaan lahan di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No
Penggunaan Lahan
1 2
Luas Keterangan Hektar Persentase (Ha) (%) 396 4,95 Termasuk 300 5.204 65,05 ha kawasan yang masih 2.400 30,00 kosong
Pemukiman Lahan garapan tanaman berkayu 3 Lahan garapan tanaman semusim Jumlah 8.000 Sumber: Dinas Kehutanan Kab. OKI (2009)
100,00
4.2.3 Iklim Wilayah Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan memiliki curah hujan yang tinggi. Berdasarkan Peta Iklim Sumatera Selatan yang dibuat oleh Balai Pengukuhan dan perpetaan hutan wilayah II Sumater Selaan Tahun 1996, Iklim Kabupaten Ogan Komering Ilir termasuk iklim B (menurut pembagian iklim Smith Ferguson), curah hujan di daerah ini tinggi dengan variasi curah hujan antara 2.000 – 2.500 mm/th dan setiap tahunnya jarang dijumpai bulan kering.
4.2.4 Topografi Topografi Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang relatif datar dan sedikit yang bergelombang dengan ketinggian 12 – 19 meter diatas permukaan laut. Ketinggian 19 meter terletak di kawasan sebelah Selatan, semakin ke Utara ketinggian semakin rendah. Terdapat dua sungai yang mengapit kawasan ini yaitu Sungai Burnai dan Sungai Lempuing yang merupakan anak Sungai Komering yang berhulu di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Selain itu sungai-sungai kecil
juga banyak
terdapat di sebelah Utara kawasan ini dengan ketinggian lahan 12 meter dpl. Pada musim kemarau sungai-sungai ini kering namun pada musim hujan sungai ini meluap menggenangi daerah sekitarnya sehingga menjadi daerah rawa-rawa.
4.2.5 Jenis Tanah Berdasarkan Peta Tanah dan Eksplorasi Sumatera Selatan Tahun 1989, jenis tanah di Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah podsolik merah kuning dengan ciri-ciri kedalaman solum sekitar 1 – 2 meter, tanah berwarna merah sampai kuning, berstruktur lempung berpasir sampai liat. Tanah bersifat asam dengan PH 3,5 – 5. Permeabilitas sedang hingga agak lambat, daya menahan air
40 kurang dan mudah tererosi dengan produktifitas rendah hingga sedang. Jenis tanah ini apabila digunakan untuk pertanian semusim seperti padi, jagung dan ketela pohon akan menyebabkan turunnya kesuburan tanah.
4.3 Kondisi Sosial ekonomi Masyarakat
4.3.1 Kependudukan Di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdapat 2.837 Kepala keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 12.956 jiwa dengan mata pencaharian sebagian besar adalah petani dengan perincian sebagai berikut: a. Penduduk di dalam kawasan yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Lubuk Seberuk sebanyak 1.219 KK b. Penduduk di dalam kawasan yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Lubuk Makmur sebanyak 866 KK c. Penduduk di dalam kawasan yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Muara Burnai sebanyak 762 KK
4.3.2 Pendidikan, Agama dan Asal Penduduk Tingkat pendidikan masyarakat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang masih rendah. Sebagian Besar hanya setingkat pendidikan dasar atau tidak bersekolah. Tingkat pendidikan masyarakat tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Sebagian besar penduduk yang berasal dari Suku Jawa dan penduduk asli Sumatera beragama Islam (86,13%). Sedangkan penduduk yang berasal dari Bali sebanyak 12,55% menganut agama hindu. Sisanya merupakan penganut agama kristen dan katolik.
Tabel 6 Tingkat pendidikan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (orang) (%) 1 Pendidikan dasar 6.558 50,62 2 Pendidikan menengah 3.65 2,82 3 Pendidikan tinggi 26 0,20 4 Belum/tidak sekolah/tidak tamat 6.007 46,36 Jumlah 12.956 100,00 Sumber: Dinas Kehutanan Kab. OKI (2009)
41 Penduduk di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang berasal dari daerah sekitar kawasan yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Provinsi Lampung. Penduduk di kawasan tersebut sebagian besar merupakan keluarga transmigran yang telah lama bermukim di daerah transmigrasi yang berada di sekitar kawasan tersebut. Secara terinci asal penduduk tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Asal domisili masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No 1 2 3 4
Daerah Asal Kabupaten Ogan Komering Ilir Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Lampung Lain-lain Jumlah
Jumlah KK (orang) 1.003 494 248 92 1.837
Persentase (%) 54,60 26,87 13,52 5,01 100,00
Sumber: Dinas Kehutanan Kab. OKI (2009)
4.3.3 Sarana dan prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang diantaranya adalah sarana pemukiman yang terdiri dari rumah tempat tinggal darurat sebanyak 1.473 unit, rumah semi permanen sebanyak 512 unit dan rumah permanen sebanyak 18 unit. Sarana pendidikan formal yang terdiri dari sekolah dasar sebanyak 4 unit dan Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 3 unit. Sarana pendidikan non formal yaitu pondok pesantren 2 unit dan TPA 2 unit. Sarana ibadah berupa masjid 2 unit, musholla 550 unit, gereja sebanyak 4 unit dan pura sebanyak 8 unit. Selain itu juga terdapat sarana penunjang perekonomian berupa penggilingan padi yang terdapat merata hampir diseluruh kawasan berjumlah 28 buah, warung 64 buah dan bengkel sepeda motor 5 buah. Sarana transportasi umum hanya yang tersedia untuk masuk ke dalam kawasan hanya ojek. Sedangkan di tepi kawasan sarana transportasi darat dapat dijumpai dengan mudah karena merupakan bagian dari jalan lintas timur sumatera yang merupakan jalur nasional utama di Pulau Sumatera. Sedangkan prasarana jalan di dalam kawasan masih berupa jalan tanah yang telah diperkeras dengan batu sehingga masih memungkinkan untuk dilewati kendaraan roda 4 walaupun pada musim penghujan.
42
43
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Komunitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Komunitas masyarakat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
mulai terbentuk sejak tahun 1997 sebagai akibat adanya perambahan di kawasan tersebut. Proses perambahan kawasan hutan produksi tersebut pada awalnya dilakukan oleh warga sekitar kawasan. Sekitar 36 kepala keluarga melakukan perambahan pada kawasan hutan produksi tersebut bersamaan dengan adanya kegiatan land clearing yang dilakukan oleh PT Inhutani V bekerjasama dengan PT Sama Jaya Nugraha. Jumlah perambah tersebut semakin bertambah terus dengan tidak adanya tindakan dari berbagai pihak baik pemegang konsesi maupun pemerintah hingga pada tahun 2000 kawasan tersebut telah penuh dengan masyarakat perambah. Jumlah masyarakat di kawasan tersebut sampai tahun 2009 mencapai 2.837 KK dengan jumlah penduduk 12.956 jiwa dengan latar belakang etnis didominasi oleh suku Jawa dan Bali serta sebagian kecil suku Komering, Sunda, Batak dan Padang (Dishut OKI, 2009). Pada awalnya penduduk sekitar kawasan melakukan perambahan hanya sekedar untuk ikut “numpang usaha”
setelah melihat adanya kegiatan
penanaman yang dilakukan oleh PT Sama Jaya Nugraha. Hal ini dapat dilihat dari pola pengelolaan hasil yang mereka dapatkan dari usaha di dalam kawasan tersebut yang sebagian besar digunakan untuk membeli aset dan juga memulai usaha diluar kawasan, sedangkan di dalam kawasan mereka membuat bangunan yang bersifat darurat untuk berjaga-jaga jika mereka diusir dari kawasan tersebut. Namun dengan tidak adanya respon dan tindakan dari pihak pemegang konsesi dan pemerintah serta semakin banyaknya masyarakat yang masuk dan juga semakin beragamnya latar belakang sosial dan budaya masyarakat menjadikan hal tersebut kemudian bergeser, mereka mulai membangun pemukiman semi permanen dan bahkan beberapa diantaranya sudah mulai membangun bangunan permanen. Keyakinan mereka untuk bermukim secara permanen semakin kuat ketika pada tahun 2008 mereka mendapatkan janji dari bupati di daerah tersebut bahwa akan ada penyelesaian
44 masalah kawasan tersebut dan juga diperbolehkan untuk ikut dalam pemilukada yang diadakan pada waktu itu. Mata pencaharian utama dari masyarakat dikawasan tersebut adalah petani baik petani padi maupun petani karet. Mereka menggarap lahan kawasan yang mereka kuasai yang didapatkan dari “membeli” lahan tersebut dari koordinator perambah. Karena adanya proses jual beli tersebut pada akhirnya ada beberapa perambah yang memiliki lahan sangat luas. Selain bertani, aktivitas masyarakat yang lain untuk mencari nafkah adalah berdagang, menjadi buruh tani, dan wiraswasta. Akses ke kawasan tersebut sangat mudah karena berada di tepi jalan trans nasional Lintas Timur Sumatera. Jarak terjauh kawasan tersebut dengan kota kecamatan sekitar 18 km sedangkan jarak terdekat cuma 1 km. Untuk mencapai bagian terdalam kawasan tersebut tidak terlalu sulit karena hampir semua jalan yang ada di dalam kawasan tersebut sudah diperkeras oleh masyarakat sehingga dapat dilewati dengan kendaraan roda empat. Jalan tersebut bekas jalan hutan yang dibuat oleh PT Inhutani V sewaktu melakukan pembukaan wilayah hutan. Selain itu pemeliharaan jalan juga secara swadaya rutin dilakukan oleh masyarakat setempat. Beberapa jembatan permanen juga sudah secara swadaya dibangun oleh masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat di dalam kawasan tersebut dan juga naiknya “harga jual” tanah di daerah tersebut yang mencapai 100 juta rupiah per hektar bila sudah ditanami dengan tanaman karet. Fasilitas kantor pos, sarana kesehatan, sarana ekonomi (pasar dan lembaga perkreditan) berada di luar komunitas walaupun letaknya tidak terlalu jauh (± 1 km). Kendati demikian akses mereka terhadap pelayanan di bidang tersebut sangat mudah. Hal disebabkan perkembangan perekonomian di dalam kawasan yang sangat pesat menyebabkan penyedia pelayanan kesehatan, ekonomi, komunikasi dan yang lainnya melakukan ekspansi pemasaran kedalam kawasan tersebut (jemput bola). Lembaga pendidikan yang terdapat didalam kawasan tersebut adalah Sekolah Dasar sebanyak 4 unit dan Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 3 unit. Sarana pendidikan non formal yaitu pondok pesantren 2 unit dan TPA 2 unit. Untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi masyarakat harus keluar dari kawasan dengan jarak ± 2 km (Desa Muara Burnai II dan Desa Lubuk
45 Seberuk). Dalam tiga tahun terakhir masyarakat di Kawasan tersebut merasakan membaiknya mutu pelayanan pendidikan. Akses masyarakat terhadap informasi dan komunikasi semakin membaik dalam tiga tahun terakhir. Hampir semua media komunikasi dapat diakses oleh masyarakat.
Media
yang
paling
sering
digunakan
masyarakat
dalam
mendapatkan informasi adalah televisi yang hampir setiap hari ditonton. Sedangkan yang jarang di gunakan adalah surat kabar dan internet. Akses terhadap internet sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat melalui jaringan selular yang telah tersedia di dalam kawasan tersebut namun hanya masyarakat yang masih berusia muda dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi yang mulai memanfaatkannya. Kondisi perekonomian masyarakat dalam tiga tahun terakhir meningkat pesat seiring semakin meningkatnya harga komoditas karet yang merupakan komoditas utama di dalam kawasan tersebut. Pendapatan rata-rata masyarakat setiap bulannya adalah Rp1.500.000 - Rp2.000.000 (hasil FGD dengan tokoh masyarakat). lapangan pekerjaan juga sangat mudah untuk didapatkan bahkan beberapa masyarakat merasakan kekurangan tenaga kerja untuk mengolah lahan yang mereka kuasai. Sarana dan prasarana produksi pertanian seperti lahan, alat-alat pertanian, bibit, dan pupuk relatif mudah untuk didapatkan. Permasalahan yang dalam sarana dan prasarana pertanian ini adalah masalah lahan dan pupuk. Lahan yang mereka kerjakan pada saat ini merupakan kawasan hutan produksi milik negara. Karena permasalahan kepemilikan tersebut maka saat ini masyarakat kesulitan untuk memperoleh tambahan lahan walaupun masih terdapat lahan kosong (± 300 ha) di dalam kawasan tersebut namun mereka belum berani menggarap lahan tersebut dikarenakan lahan tersebut dijaga ketat oleh aparat kehutanan. Untuk membeli lahan di kawasan tersebut sudah diluar jangkauan masyarakat karena harganya sudah sangat mahal. Sedangkan permasalahan pupuk terletak pada masalah distribusi pupuk anorganik yang kurang merata dan tidak tepat waktu. Pada saat masyarakat memerlukan pupuk dalam jumlah banyak terkadang pupuk tersebut tiba-tiba menghilang dari pasaran sehingga harganya menjadi naik. Dalam tiga tahun terakhir ini masyarakat merasakan perbaikan dalam fasilitas penerangan. Mereka mulai dapat menikmati pelayanan fasilitas listrik negara (PLN) walaupun pada saat-saat tertentu masih terjadi pengurangan arus
46 saat jam puncak pemakaian (18.00 – 21.00 WIB). Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat menggunakan sumur. Kualitas dan kuantitas air sumur dalam tiga tahun terakhir ini tetap. Masyarakat tidak dilayani oleh sistem pengumpulan sampah. Mereka membuang sampah dengan cara membakar atau menimbun di dalam tanah. Fasilitas rekreasi yang dimiliki oleh masyarakat hanya lapangan olah raga. Untuk rekreasi mereka biasanya harus keluar dari lingkungan komunitas dan ini pun jarang dilakukan. Masalah lingkungan yang ada di dalam komunitas adalah banjir
dan
kualitas air sumur. Banjir setiap tahun pasti terjadi terutama di bagian Utara kawasan yang juga merupakan daerah rawa pasang surut. Untuk mengurangi dampak banjir tersebut masyarakat tidak menebangi pohon-pohon yang terletak dipinggir-pinggir sungai supaya arus banjir tidak terlalu kuat dan secara swadaya mereka juga membuat tanggul-tanggul penahan banjir dari karung pasir. Sedangkan kualitas air sumur yang sedikit berminyak dan keruh pada waktu musim hujan terdapat di daerah-daerah lebak (bekas lahan rawa) yang terdapat di bagian Utara kawasan. Untuk daerah-daerah talang (lahan kering) kualitas air sumur biasanya masih bagus. Budaya masyarakat yang berkembang di dalam kawasan adalah budaya masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian baik sawah maupun pertanian lahan kering. Di dalam kawasan terdapat tiga bentuk pengelolaan lahan sebagai bentuk budaya masyarakat agraris yaitu: a
Sawah Berupa
pertanian lahan basah yang dilakukan tanpa melakukan
pergiliran tanaman. Tanaman utama yang dibudidayakan adalah padi dengan mengandalkan sumber air yang berasal dari hujan (tadah hujan) yang disalurkan melalui jaringan iriigasi sederhana yang dibuat secara swadaya oleh petani. Dalam melakukan budidaya padi ini terdapat tahapan-tahapan yang dilakukan oleh petani yaitu penyiapan lahan (mencangkul, ngluku, nggaru), pembenihan, penanaman, pemupukan, pendangiran, dan pemanenan. b
Sawah Pasang Surut/Lebak Berupa pertanian lahan basah yang dilakukan di areal rawa. Tanaman
utama yang dibudidayakan
adalah padi yang ditanam pada musim kemarau
ketika lahan rawa tersebut mulai surut dan kering. Dalam pengolahan tanah di lahan ini tidak dikenal mencangkul, nggaru dan ngluku namun yang ada adalah nebas atau pembersihan lahan dari ganggang dan tanaman air yang biasanya
47 dilakukan pada saat areal tersebut masiih berair tetapi sudah mulai mendangkal. Pemupukan juga tidak dilakukan pada tanaman padi demikian juga penyiangan hanya dilakukan sesekali. c
Kebun Kebun yang diusahakan adalah pertanian lahan kering dengan tanaman
utama adalah karet. Tahapan pengolahan lahan kebun dimulai dari penyiapan lahan, pembuatan lobang tanam, penanaman, pemupukan, penyiangan dan pemanenan (penyadapan getah dan penebangan kayu). Dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran yang cukup besar di dalam pola pemanfaatan lahan tersebut. Pada awal perambahan masyarakat cenderung untuk bersawah namun seiring dengan perubahan dalam harga komoditas dan juga ketersediaan tenaga kerja mereka mulai berkebun karet. Perubahan tersebut dapat terlihat dalam Tabel 8. Tabel 8
Perubahan penggunaan lahan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No Penggunaan lahan Tahun 2001 Tahun 2009 Luas (ha) Luas (ha) 1 Pemukiman 396 396 2 Lahan garapan tanaman 250 5.204 berkayu (karet) 3 Lahan garapan tanaman 5.049 2.400 semusim (padi) 4 Lainnya 2.305 0 8.000 8.000
Sumber :
Kantor Transmigrasi Kabupaten OKI (2001) dan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI (2009)
Kebanyakan masyarakat yang mendiami Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat seperti saudara, anak, menantu dan teman dekat. Pada umumnya mereka merupakan keturunan para transmigran yang ditempatkan di daerah yang sekitar Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Propinsi Lampung. Kedekatan hubungan kekerabatan tersebut menjadikan suasana kekeluargaan yang kental sangat terasa di dalam komunitas masyarakat tersebut. Secara umum norma yang berlaku di dalam kawasan tersebut adalah norma-norma budaya bali yang ditandai dengan diberlakukannya denda pada setiap
pelanggaran
norma.
Hal
ini
dilatarbelakangi
oleh
keberhasilan
kepemimpinan orang-orang bali dalam proses penguasaan lahan tersebut. Dalam perjalanan proses penjarahan kawasan tersebut beberapa kali masuk
48 pihak-pihak yang akan mengkoordinir kegiatan di kawasan tersebut. Namun dalam kenyataannya mereka hanya berusaha untuk mengambil keuntungan setelah itu meninggalkan para petani tersebut sampai akhirnya di tahun 2002 sempat terjadi gejolak yang cukup besar yang terjadi karena masyarakat yang sudah tidak tahan ditekan oleh pihak-pihak tersebut melakukan perlawanan yang dikoordinir oleh masyarakat bali. Sejak saat itu masyarakat bali menjadi pemimpin di dalam komunitas tersebut. Beberapa karakteristik budaya yang terlihat dalam kebiasaan dan pergaulan masyarakat di kawasan tersebut diantaranya: a
Aturan yang ketat terhadap pelanggaran larangan seperti yang berlaku di bali. Pelanggaran seperti pencurian, berzina, merampok dan perbuatan yang meresahkan masyarakat dapat menyebabkan mereka diusir dari kawasan tersebut dan lahannya dirampas oleh komunitas.
b
Toleransi yang tinggi. Walaupun berlaku “hukum bali” namun mereka tidak mencampuradukkan masalah agama. Komunitas masyarakat muslim yang merupakan mayoritas mempunyai kegiatan pengajian Yasinan yang rutin dilaksanakan setiap malam Jumat dan dihadiri juga oleh tokoh masyarakat bali. Dalam melaksanakan hajatan orang bali juga mengundang orang yang beragama lain namun pada hari yang berbeda karena masakan yang disajikan juga berbeda.
c
Sikap saling menghormati yang tinggi. Mayoritas penduduk yang ada adalah masyarakat jawa namun mereka menghormati kepemimpinan masyarakat bali dalam komunitas yang jumlahnya lebih kecil. Dalam kehidupan sehari-hari adat istiadat jawa yang dilaksanakan oleh orang jawa juga sangat didukung oleh orang bali. Beberapa suku minoritas yang ada di dalam kawasan juga merasakan bahwa mereka dapat dengan bebas melaksanakan adat masing-masing tanpa ada gangguan selama mereka tidak mengganggu orang lain.
d
Tingkat solidaritas yang tinggi. Budaya sambatan (gotong royong) sangat mudah dijumpai dalam komunitas. Dalam mendirikan rumah, memelihara jalan, membangun jembatan dan kegiatan lainnya mereka selalu melakukan sambatan. Bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya untuk kepentingan bersama yang tidak mengikuti kegiatan sambatan ini akan dikenakan denda sepuluh ribu rupiah perhari.
49 5.2
Karakteristik Individu Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Karakteristik individu
masyarakat didalam Kawasan Hutan Produksi
Terusan Sialang yang diidentifikasi meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, tingkat kesehatan, luas lahan, lama tinggal, status sosial, suku bangsa dan asal domisili.
5.2.1 umur Salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya adalah umur. Dari 119 responden rumah tangga yang diwawancarai sebagian besar berada pada tahap umur yang sangat produktif sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 9. Tabel 9 Sebaran kelompok umur responden No. 1 2 3
Kelompok umur (tahun) Kurang dari 30 30 s/d 50 Lebih dari 50 Jumlah
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Skor 1 2 3
Jumlah (orang) 33 62 24 119
Persentase (%) 27,74 52,10 20,16 100,00
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat berada pada umur yang produktif
yang merupakan salah satu faktor pendorong dalam
perkembangan perekonomian di kawasan tersebut.
5.2.2 Tingkat Pendidikan Formal Pendidikan
merupakan
suatu
proses
yang
berpengaruh
pada
pembentukan sikap dan perilaku, karena pendidikan meletakkan dasar pengetahuan dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral akan menentukan sikap dan perilaku seseorang (Saefudin 1988). Tingkat pendidikan formal masyarakat di dalam kawasan tersebut berdasarkan hasil survey terhadap responden menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Mayoritas responden (56,30%) tidak sekolah atau hanya tamat SD dan hanya sedikit (13,44%) yang tamat SMA, akademi atau perguruan tinggi (Tabel 10).
50 Tabel 10 Sebaran tingkat pendidikan formal responden No. 1 2 3
Pendidikan formal Tidak sekolah atau tamat SD Tamat SLTP atau sederajat Tamat SLTA, akademi atau perguruan tinggi Jumlah
Kategori
Skor
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
Jumlah Persentase (orang) (%) 67 56,30 36 30,25 16 13,45 119
100,00
Rendahnya tingkat pendidikan formal di dalam kawasan ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan fungsi dan tujuan pendidikan. Padahal Sidu (2006) menyatakan bahwa hasil dari pendidikan yang baik akan meningkatkan produktivitas dan kemungkinan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Namun hal tersebut belum disadari oleh masyarakat dan pola pikir masyarakat masih tertumpu pada bagaimana mereka dapat bertahan dalam bidang perekonomian, walaupun sebenarnya tingkat pendidikan masyarakat ini sudah jauh berkembang dibandingkan dengan data yang ada pada tahun 2001 (Tabel 11)
seiring dengan semakin membaiknya tingkat perekonomian
masyarakat. Suharto (2007) menyatakan bahwa peningkatan kemampuan intelektual, spiritual dan emosional yang didapatkan melalui pendidikan merupakan faktor kunci dalam peningkatan modal manusia dan berkorelasi positif dengan kemajuan pembangunan sektor makronya. Tabel 11 Tingkat pendidikan formal masyarakat di Kawasan Hutan Produksi terusan Sialang tahun 2001 No. Tingkat Pendidikan Persentase (%) 1 Tidak sekolah atau tamat SD 96,98 2 Tamat SLTP atau sederajat 2,82 3 Tamat SLTA, akademi atau perguruan tinggi 0,20 Jumlah 100,00 Sumber: Kantor Transmigrasi Kabupaten OKI (2001)
5.2.3 Tingkat Pendidikan Non formal Tingkat pendidikan non formal masyarakat responden pada umumnya masih rendah (Tabel 12).
Pendidikan non formal masyarakat diperoleh dari
kegiatan kursus, pelatihan dan bimbingan teknis yang pernah diikuti.
51 Tabel 12 Sebaran tingkat pendidikan non formal responden No . 1 2 3
Pendidikan non formal (kali) Tidak pernah 1 s/d 3 Lebih dari 3 Jumlah
Kategori
Skor
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
Jumlah (orang) 105 12 2 119
Persentase (%) 88,24 10,08 1,68 100,00
Tujuan pendidikan baik formal dan non formal adalah untuk memberikan tambahan pengetahuan, ketrampilan dan juga sikap masyarakat. Sidu (2006) menyatakan bahwa untuk memperkuat pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan usaha-usaha untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dan hal itu dapat dilakukan melalui pendiidikan baik formal maupun non formal.
5.2.4 Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan masyarakat pada rata-rata berada pada tingkat yang sedang (Tabel 13). Tingkat pendapatan masyarakat di dalam kawasan tersebut secara umum masih berada di atas upah minimum provinsi sebesar Rp1.195.220 dan juga kebutuhan hidup minimum provinsi sebesar Rp1.311.000. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat yang berada di dalam kawasan tersebut mempunyai tingkat penghasilan yang cukup memadai. Hal ini dikarenakan dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mulai membudidayakan tanaman karet yang harganya cukup baik. Secara umum dari 1 hektar lahan tanaman karet yang sudah berproduksi secara optimal mampu menghasilkan 2,5 juta s/d 3, juta rupiah per bulan. Sedangkan masyarakat yang masih membudidayakan padi mempunyai tingkat penghasilan yang lebih rendah yaitu antara 3,9 juta s/d 12,3 juta rupiah per tahun tergantung kondisi sawah. Kondisi tersebut menyebabkan saat ini banyak areal sawah yang mulai ditanami dengan tanaman karet. Tabel 13 Sebaran tingkat pendapatan responden No . 1 2 3
Tingkat pendapatan (Rp)/bulan <1.000.000 1.000.000 – 2.000.000 >2.000.000 Jumlah
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Skor 1 2 3
Jumlah (orang) 28 51 40 119
Persentase (%) 23,52 47,87 33,61 100,00
52 Masyarakat dengan penghasilan tinggi merupakan kelompok masyarakat yang membudidayakan tanaman karet. Mereka pada umumnya adalah para pemilik lahan dengan luas lebih dari 2 ha. Sedangkan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah adalah masyarakat yang tinggal di daerah lebak yang membudidayakan padi di lahan mereka. Namun dari pengamatan di lapangan didapati bahwa masyarakat saat ini sudah mulai menanami lahan padi tersebut dengan tanaman karet. Beberapa masyarakat mempunyai penghasilan yang sangat tinggi (lebih dari 10 juta/bulan) dikarenakan mereka mempunyai kebun karet yang luas ( lebih dari 10 ha).
5.2.5 Tingkat Kesehatan Mayoritas masyarakat berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Dari 119 responden hanya 2 responden atau 1,68% yang sedang mengalami sakit yang berat dan menyebabkan mereka harus rutin berobat sedangkan mayoritas (73,95%) berada dalam kondisi kesehatan yang tinggi (tidak pernah sakit atau sakit ringan kurang dari 3 kali dalam setahun) (Tabel 14). Tingkat
kesehatan
yang
tinggi
akan
meningkatkan
produktivitas
masyarakat karena akan menambah jam kerja dan kemampuan fisik masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Todaro dan Smith (2003) dalam Sidu (2006) bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar yang keduanya merupakan bentuk dari modal manusia (human capital) yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Tabel 14 Sebaran tingkat kesehatan responden No . 1 2 3
Tingkat kesehatan > 6 kali sakit/tahun/menderita penyakit menahun/sakit parah Sakit ringan 3 – 6 kali dalam setahun Tidak pernah sakit atau sakit ringan < 3 kali dalam setahun Jumlah
Kategori
Skor 1
Jumlah (orang) 2
Persentase (%) 1,68
Rendah Sedang
2
9
24,37
Tinggi
3
88
73,95
119
100,00
53 5.2.6 Luas Lahan Garapan Pada awal terbentuknya komunitas masyarakat di dalam kawasan hutan rata-rata masyarakat mendapatkan 2 ha lahan untuk digarap. Kemudian terjadi proses jual beli antar masyarakat sehingga sekarang luasan lahan garapan menjadi beragam. Terdapat anggota masyarakat yang mempunyai luas lahan garapan sampai dengan 24 ha dan juga ada masyarakat yang hanya mempunyai 0,5 ha. Masyarakat yang mepunyai lahan yang luas biasanya adalah para pemukim lama yang bertahan dan membeli lahan-lahan yang ditinggalkan/dijual oleh masyarakat lain. Sedangkan yang mempunyai lahan yang sempit adalah masyarakat yang datang belakangan atau mereka yang mendapatkan
lahan
pembagian (warisan) dari orang tua mereka. Hampir semua masyarakat menggarap lahannya sendiri. Namun di beberapa areal terdapat lahan-lahan yang dimiliki oleh orang diluar kawasan. Biasanya mereka mengupah orang untuk menggarap dan menunggu lahan tersebut. Tabel 15 Sebaran luas lahan garapan responden No . 1 2 3
Luas lahan (ha) <1 1 s/d 2 >2 Jumlah
Kategori
Skor
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
Jumlah (orang) 41 50 28 119
Persentase (%) 34,45 42,02 23,53 100,00
Status lahan mempengaruhi konsep diri seseorang terutama dalam menentukan jenis produksi dan pendapatan yang diperoleh dari usaha di lahan tersebut (Susiatik 1998). Masyarakat menyadari bahwa lahan yang selama ini mereka tempati adalah kawasan hutan negara. Selama ini mereka telah berusaha beberpa kali untuk melegalkan keberadaan mereka di dalam kawasan tersebut melalui beberapa LSM/LBH diantaranya LBH Arwan (1999), LBH Andi Amir (2002), BL Citra (2004) dan Forum Masyarakat (2006). Namun hampir semua usaha tersebut tidak berhasil dan bahkan pada tahun 2002 terjadi kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Usaha masyarakat tersebut akhirnya difasilitasi oleh pemerintah daerah Kabupaten OKI dengan mengusulkan areal tersebut menjadi areal pencadangan HTR. Program pembangunan HTR ini mendapatkan sambutan positif oleh masyarakat yang ditandai dengan pengajuan usulan mereka pada tahun 2009
54 melalui Koperasi karyawan Inhutani V namun usulan tersebut tidak lolos verifikasi oleh BPPHP Wilayah V Palembang. Usaha lanjutan masih tetap dilakukan dengan membentuk Koperasi baru yaitu Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut) dan juga Kelompok Tani Hutan Jelutung, Karet, Rengas, Gelam dan Wana Krida namun sampai saat ini belum ada kejelasan tentang usulan tersebut. Masyarakat di kawasan tersebut sebenarnya tidak terlalu risau dengan status kawasan karena mereka sudah lama bermukim dan tidak mendapatkan permasalahan selama ini. Kejelasan status lahan garapan mereka perlukan untuk beberapa alasan yaitu menaikkan tingkat perekonomian di kawasan tersebut (harga tanah dan komoditas), memperoleh hak-hak kependudukan dan mendapatkan akses pelayanan umum yang lebih baik.
5.2.7 Lama Tinggal Sebagian besar responden tinggal di kawasan tersebut lebih dari 10 tahun (58,,82%) yaitu antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 pada saat muali dilakukannya perambahan secara besar-besaran di kawsan tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang tinggal dikawasan tersebut kurang dari lima tahun (11,77%). Sebaran responden berdasarkan lama tinggal dapat dilihat dalam Tabel 16. Tabel 16 Sebaran lama tinggal responden No . 1 2 3
Lama tinggal (tahun) <5 5 s/d 10 >10 Jumlah
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Skor 1 2 3
Jumlah (orang) 14 35 70 119
Persentase (%) 58,82 29,41 11,77 100,00
5.2.8 Status Sosial Status sosial menunjukkan tingkat penghargaan masyarakat kepada individu yang bersangkutan dalam kelompok masyarakat. Status sosial responden dapat dilihat dalam Tabel 17.
55 Tabel 17 Sebaran status sosial responden No . 1
2
3
Status Sosial
Kategori
Skor 1
Jumlah (orang) 23
Persentase (%) 19,33
Masyarakat miskin/jika pendapatan dibawah ratarata dan atau memiliki lahan yang sempit dan tau bukan tokoh masyarakat/adat/ agama/pegawai pemerintah. Masyarakat kebanyakan/jika pendapatan dan atau lahan diantara rata-rata dan atau tokoh masyarakat/adat/agama/pega wai pemerintah tingkat rendah Orang kaya/jika pendapatannya diatas ratarata dan atau memiliki lahan yang luas dan atau tokoh masyarakat/adat/agama/pega wai pemerintah tingkat tinggi Jumlah
Rendah
Sedang
2
67
56,30
Tinggi
3
29
24,37
119
100,00
Status sosial ini umumnya ditentukan oleh kedudukan seseorang dalam masyarakat. Untuk menjaga keutuhan sosial orang wajib bertindak sesuai status masing-masing karena nilai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam struktur sosial berguna untuk kelangsungan hidup bersama (Lawang 2005).
5.2.9
Suku Bangsa Mayoritas responden merupakan suku Jawa dan Bali yang memang
paling banyak terdapat di dalam kawasan tersebut (89,08%). Sedangkan suku minoritas adalah suku-suku diluar suku Jawa, Bali dan Komering yang terdiri dari suku Sunda, Batak dan Padang/Minang sebesar 4,2%. Sebaran responden berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran suku bangsa responden No . 1 2 3
Suku Bangsa
Kategori
Skor
Minoritas (lainnya) Setempat (Komering) Mayoritas (Jawa dan Bali) Jumlah
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
Jumlah (orang) 5 8 106 119
Persentase (%) 4,20 6,72 89,08 100,00
56 Karakteristik individu dalam hal suku bangsa ini menjadi penting dikarenakan adanya kecenderungan kepercayaan yang lebih besar apabila anggota masyarakat tersebut berasal dari suku bangsa yang sama. Keinginan untuk bekerjasama dan saling membantu juga lebih besar pada anggota masyarakat dengan suku bangsa yang sama (Suandi 2007)
5.2.10 Asal Domisili Asal domisili responden didominasi oleh pemukim yang perasal dari luar kabupaten karena (55,46%) memang letak kawasan tersebut lebih dekat dengan kota Belitang Kabupaten OKUT yang merupakan daerah transmigrasi yang berhasil dibandingkan dengan jarak dari kota Kayu Agung (ibukota Kabupaten OKI). Sedangkan pemukim yang berasal dari daerah setempat hanya 14,28%. Sebaran asal domisili pemukim tersebut dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran asal domisili responden No . 1 2 3
Asal domisili Luar propinsi Luar kabupaten Setempat (dalam kabupaten) Jumlah
Kategori
Skor
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
Jumlah (orang) 36 66 17 119
Persentase (%) 30,25 55,46 14,29 100,00
5.3 Penilaian Karakteristik Individu Untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan dalam karakteristik individu maka dilakukan penilaian karakteristik individu responden. Karakteristik individu yang berada pada kategori tinggi menandakan adanya kekuatan sedangkan yang termasuk dalam kategori rendah menandakan adanya kelemahan dalam karakteristik individu tersebut. Hasil penilaian karakteristik individu responden dapat dilihat pada Tabel 20. Dari penilaian tersebut dapat diketahui bahwa karakteristik individu yang berada pada kategori rendah adalah pendidikan non formal, yang berada pada kategori sedang adalah umur, pendidikan formal, luas lahan, pendapatan, lama tinggal, status sosial dan asal domisili, sedangkan yang berada pada kategori tinggi adalah suku bangsa. Berdasarkan persamaan selang nilai dari 119 responden dengan Xmax = 30 dan Xmin = 10 dan jumlah kelas 3 (rendah, sedang dan tinggi) didapatkan
57 lebar kelas adalah 6,67. Maka skala penilaian karakteristik individu untuk masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah 1.
Karakteristik individu rendah bila jumlah skor ≤ 16,67
2.
Karakteristik individu sedang bila jumlah skor 16,67 – 23,33
3.
Karakteristik individu tinggi bila jumlah skor ≥ 23,33
Tabel 20 Penilaian karakteristik individu responden No. Karakteristik Individu
Skor
1
Umur
247
2
Pendidikan formal
187
3
Pendidikan Non formal
135
4
Pendapatan
250
5
Tingkat kesehatan
324
6
Luas lahan
225
7
Lama tinggal
294
8
Status sosial
244
9
Suku bangsa
339
10
Asal Domisili
219
Jumlah
2.464
Rata-rata Keterangan Skor skor 2,07≈ 2 1 : usia muda 2 : usia sedang 3 : usia tua 1,57≈ 2 1 : pendidikan rendah 2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi 1,13≈ 1 1 : pendidikan rendah 2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi 2,10≈ 2 1 : pendapatan rendah 2 : pendapatan sedang 3 : pendapatan tinggi 2,72≈ 3 1 : kesehatan rendah 2 : kesehatan sedang 3 : kesehatan tinggi 1,89≈ 2 1 : lahan sempit 2 : lahan sedang 3 : lahan luas 2,47≈ 2 1: lama tinggal rendah 2: lama tinggal sedang 3: lama tinggal tinggi 2,05≈ 2 1: status sosial rendah 2: status sosial sedang 3: status sosial tinggi 2,85≈ 3 1: suku mayoritas 2: suku setempat 3: suku minoritas 1,84≈ 2 1: asal luar propinsi 2: asal luar kabupaten 3: asal setempat 20,70
Karakteristik individu berdasarkan penilaian pada Tabel 20 adalah 20,70 berarti termasuk dalam kategori sedang. Sebaran tingkat karakteristik individu masyarakat dapat dilihat pada Tabel 25. Data tingkat karakteristik individu responden dapat dilihat dalam Lampiran 3.
58 Tabel 21 Sebaran karakteristik individu responden No. 1 2 3
Kategori karakteristik individu Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang nilai < 17 17 – 23 >23
Jumlah (orang) 10 83 26 119
Persentase (%) 9,09 75,45 23,64 100,00
Penilaian karakteristik individu ini menjadi penting karena tingkat karakteristik individu sangat berpengaruh terhadap
tingkat modal manusia.
Sementara saat ini diketahui bahwasanya modal manusia merupakan salah satu faktor utama yang menunjang keberhasilan pembangunan (Sidu 2006). Hal senada juga dinyatakan oleh Fukuyama (2007) dan Coleman (1998) yang menyatakan bahwa modal manusia dalam bentuk pendidikan dan ketrampilan justru lebih mendominasi dalam menentukan keberhasilan pembangunan dibandingkan modal yang berwujud fisik seperti teknologi, tanah, bangunan, mesin-mesin dan sebagainya.
5.4 Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Unsur-unsur modal sosial yang diukur dalam komunitas masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdiri dari kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial, tindakan proaktif dan kepedulian. Untuk tingkatan unsur modal sosial menggunakan 4 tingkatan modal sosial Uphoff (2000) yaitu minimum, rendah, sedang dan tinggi.
5.4.1 Kepercayaan Fukuyama (2007) menyatakan bahwa kepercayaan adalah sikap saling mempercayai masyarakat sedangkan Sidu (2006) mendifinisikan Kepercayaan antar
sesama
adalah
suatu
keyakinan
yang
dimiliki
seseorang
untuk
mempersepsikan seseorang atau suatu keadaan berdasarkan perasaan dan kondisi yang dialami. Grotaert et al (2004) menyatakan bahwa kepercayaaan merupakan unsur modal sosial yang sulit untuk diukur karena mempunyai arti yang sangat luas dan berbeda bagi setiap individu oleh karenanya diperlukan croscek dan juga memperluas cakupan kepercayaan yaitu kepercayaan terhadap individu, institusi dan bisnis. Penilaian Kepercayaan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang meliputi tingkat kepercayaan terhadap orang sekitar di dalam komunitas, orang dengan etnis yang sama tetapi di luar komunitas, orang dengan etnis yang berbeda baik di dalam maupun di luar
59 komunitas, aparat pemerintah, kepolisian, tokoh masyarakat/adat, tokoh agama, pihak luar (LSM/swasta, instansi-instansi terkait dengan pelaksanaan program pembangunan HTR) serta tingkat kepercayaan masyarakat dalam hal pinjammeminjam uang/barang. Tingkat kepercayaan masyarakat berdasarkan kuisioner dapat dilihat dalam Tabel 21. Selang nilai kepercayaan dengan Xmax=36, Xmin=12 dan n=4 adalah 6 sehingga tingkat kepercayaan masyarakat dapat dibagi menjadi: a tingkat kepercayaan minimum jika skor ≤ 18 b tingkat kepercayaan rendah jika skor 19 s/d 24 c tingkat kepercayaan sedang jika skor 25 s/d 30 d tingkat kepercayaan tinggi jika skor ≥ 30 Berdasarkan Tabel 21 di dapatkan bahwa skor rata-rata masyarakat adalah 32,28 sehingga termasuk dalam kategori tinggi. Masyarakat mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap komunitas di sekitarnya. Dalam hal pinjam-meminjam mereka mempunyai kepercayaan yang tinggi bahkan terhadap pihak luar (tengkulak karet). Kepercayaan masyarakat agak rendah terhadap pihak luar terutama LSM dikarenakan pengalaman mereka yang kurang baik dengan keberadaan LSM di daerah tersebut. Tingginya tingkat kepercaaan tersebut
merupakan
potensi
yang
besar
dalam
menunjang
kemajuan
masyarakat. Tingginya tingkat kepercayaan antar masyarakat ini tidak terlepas dari status mereka di dalam kawasan tersebut. Untuk menghadapi tekanan pihak luar yang ingin mengusir mereka dari dalam kawasan tersebut mereka harus membangun kepercayaan diantara mereka. Berbagai gejolak pernah terjadi di dalam kawasan itu dan puncaknya adalah peristiwa yang diakibatkan oleh LBH Andi Amir pada tahun 2002 yang menelan 4 korban jiwa menyebabkan mereka mulai membangun kepercayaan yang tinggi diantara mereka supaya tidak terulang kembali. Tingginya tingkat kepercayaan masyarakat ini juga tidak terlepas dari ketatnya penerapan norma yang tegas didalam pergaulan seharihari juga perasaan senasib sepenanggungan yang mereka hadapi. Dalam hal pinjam meminjam sebagian besar masyarakat meminjam uang kepada para tengkulak karet/kelompok timbang karet (73,11%), kemudian kepada saudara (14,29%) dan terakhir kepada tetangga (12,60%). Dari Tabel 26, diketahui bahwa masyarakat masih percaya kepada lingkungan sekitarnya untuk melakukan pinjam-meminjam barang dan uang (79,83%) dan hanya 20,17% masyarakat yang kurang percaya. Artinya bahwa masyarakat selama ini tidak pernah mengalami kesulitan untuk melakukan pinjam-meminjam uang atau barang dengan komunitas di lingkungannya.
60 Tabel 22 Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat No. 1
Sub unsur kepercayaan Kepercayaan terhadap orang sekitar (komunitas)
Tingkat Tidak percaya Kurang percaya Percaya
Jumlah (orang) 1 10 108
Persentase (%) 0,84 8,40 90,76
Skor
119
100,00
345
1 14 104 119 5 15 99 119 2 20 97 119 2 43 74 119 1 22 96 119 1 12 106 119 1 6 112 119 33 65 21
0,84 11,76 87,40 100,00 4,20 12,61 83,19 100,00 1,68 16,81 81,51 100,00 1,68 36,13 62,19 100,00 0,84 18,49 80,67 100,00 0,84 10,08 89,08 100,00 0,84 5,04 94,12 100,00 27,73 54,62 17,65
1 28 312 341 5 30 297 332 2 40 291 332 2 86 222 310 1 44 288 333 1 24 318 343 1 12 336 349 33 130 63
119 2 44 73 119 2 54 63 119 0 24 95 119
100,00 1,68 36,97 61,35 100,00 1,68 45,38 52,94 100,00 0 20,17 79,83 100,00
226 2 88 219 309 2 108 189 299 0 48 285 333
Jumlah 2
Kepercayaan terhadap orang dengan etnis yang sama
3
Jumlah Kepercayaan terhadap orang dengan etnis yang berbeda
4
jumlah Kepercayaan terhadap aparat pemerintah
5
Jumlah Kepercayaan terhadap aparat kehutanan (polhut)
6
jumlah Kepercayaan terhadap aparat kepolisian
7
Jumlah Kepercayaan terhadap tokoh masyarakat/adat
8
jumlah Kepercayaan terhadap tokoh agama
9
Jumlah Kepercayaan terhadap pihak luar (LSM/swasta)
10
Jumlah Kepercayaan terhadap dinas kehutanan kabupaten OKI
11
Jumlah Kepercayaan terhadap BPPHP Wilayah V Palembang
Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya Tidak percaya Kurang percaya Percaya
Jumlah Kepercayaan dalam hal Tidak percaya pinjam-meminjam Kurang percaya barang/uang Percaya Jumlah Jumlah skor = 3853 dan rata-rata skor = 32,38 Ket. skor tidak percaya=1, kurang percaya=2 dan percaya=3 12
1 20 324
61 Kepercayaan masyarakat terhadap pihak luar terutama dari instansi pemerintahan cenderung masih baik. Hal ini dapat menjadi modal yang penting bagi instansi kehutanan dalam mensukseskan program pembangunan HTR di kawasan tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa tingkat kepercayaan ini harus dipertahankan mengingat dalam beberapa kesempatan masyarakat sudah mulai menunjukkan ketidakpercayaan terhadap instansi kehutanan terkait dengan proses pengajuan ijin HTR yang belum jelas. Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat dapat dilihat dalam Tabel 23. Tabel 23 Sebaran tingkat kepercayaan responden No.
Kategori tingkat kepercayaan
Selang
1 2 3 4
Minimum Rendah Sedang Tinggi Jumlah
≤ 18 19 – 24 25 – 30 ≥ 31
Jumlah (orang) 0 4 21 94 119
Persentase (%) 0 3,36 17,65 78,99 100,00
5.4.2 Jaringan Sosial Sidu (2006) mendefinisikan jaringan sosial sebagai suatu hubungan yang tersusun dalam suatu interaksi yang melibatkan orang, kelompok, masyarakat, informasi dan beragam pelayanan sosial di dalamnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dari hasil studi Putnam di Italia menyimpulkan bahwa jaringan sosial berkaitan erat dengan konsep modal sosial. Meskipun konsep modal sosial bersifat multidimensi tetapi secara operasional modal sosial menunjuk pada norma-norma dan jaringan-jaringan yang memungkinkan terjadinya aksi kolektif. Tingkat jaringan sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dapat dilihat dalam Tabel 24. Selang nilai untuk tingkat jaringan sosial dengan Xmax=21 dan Xmin=7 dengan n=4 adalah 3,5, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi a Minimum bila skor jaringan sosial < 10 b Rendah bila skor jaringan sosial 11 s/d 14 c Sedang bila skor jaringan sosial 15 s/d 18 d Tinggi bila skor jaringan sosial > 18 Dari Tabel 24 diketahui bahwa skor rata-rata jaringan sosial masyarakat di kawasan Hutah Produksi Terusan Sialang adalah 17,74 yang masuk dalam kategori sedang. Sebaran responden berdasarkan tingkat jaringan sosial dapat dilihat dalam Tabel 25.
62 Tabel 24 Tingkat jaringan sosial responden No. 1
2
3
4
5
6
7
Sub unsur jaringan sosial Kepadatan organisasi (jumlah anggota Keluarga yang terlibat) Jumlah Keragaman keanggotaan organisasi Jumlah Partisipasi dalam kelompok Jumlah Kerelaan dalam membangun jaringan Jumlah Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di dalam komunitas Jumlah Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di luar komunitas
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tidak rela Kurang rela Rela Tidak pernah Jarang Sering Tidak pernah Jarang Sering
Jumlah Kebersamaan (inisiatif Rendah anggota menjadi ketua Sedang sementara) Tinggi Jumlah Jumlah skor = 2.111, rata-rata skor = 17,74
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Skor
0 114 5 119 5 101 15 119 0 47 72 119 0 16 103 119 3 32 84 119 2 25 92 119 0 33 86 119
0,00 95,80 4,20 100,00 4,20 84,87 10,93 100,00 0,00 39,50 60,50 100,00 0,00 13,45 86,55 100,00 2,5 26,89 70,59 100,00 1,68 21,01 77,31 100,00 0,00 27,73 72,27 100,00
0 228 15 243 5 202 45 252 0 94 216 310 0 32 309 341 3 64 252 319 2 50 276 328 0 66 258 324
Tabel 25 Sebaran tingkat jaringan sosial responden No. 1 2 3 4
Kategori tingkat jaringan sosial Minimum Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang ≤ 10 11 – 14 15 – 18 > 18
Jumlah (orang) 0 3 65 51 119
Persentase (%) 0,00 2,52 54,62 42,86 100,00
Organisasi di Dalam Kawasan Di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdapat beberapa organisasi yang didirikan oleh masyarakat dan pada umumnya bersifat informal. Organisasi tersebut berdiri karena memang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga kegiatan organisasi tersebut sangat aktif. Organisasi yang ada tersebut adalah.
63 a Kelompok timbang karet Kelompok timbang karet adalah organisasi informal yang beranggotakan petani karet di dalam kawasan tersebut. Kelompok tersebut melaksanakan kegiatannya setiap 2 minggu dengan melakukan penimbangan karet. Setiap kelompok timbang karet dikoordinir oleh seorang toke (tengkulak) karet. Kelompok ini sangat berguna dalam mengumpulkan sumber dana karena dalam setiap penjualan karet dikeluarkan iuran yang digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana di komunitas tersebut. Selain itu pengenaan denda dan sanksi apabila ada pelanggaran dalam komunitas tersebut biasanya dilaksanakan pada waktu timbang karet tersebut. Kelompok ini memiliki keanggotaan yang beragam dan hanya memiliki satu keseragaman yaitu profesi sebagai petani karet. b kelompok yasinan/pengajian Kelompok
yasinan
merupakan
organisasi
yang
dilatarbelakangi
keagamaan. Kelompok ini rutin melaksanakan kegiatan setiap minggu ditempat yang telah dijadwalkan. Organisasi ini diketuai oleh pemuka agama dan pemuka lingkungan. Organisasi ini sangat penting dalam membahas permasalahanpermasalahan lingkungan yang berkembang setiap minggunya. Walaupun dengan latar belakang agama yang sama namun pada saat ada isu-isu lingkungan yang perlu untuk dibahas, masyarakat lain yang tidak beragama islam pun datang ke acara yang diselenggarakan oleh kelompok ini. c Kelompok tani Organisasi kelompok tani didirikan dalam rangka untuk mendapatkan ijin HTR. Sehingga organisasi ini belum mempunyai kedudukan dan juga sumbangan yang berarti di dalam komunitas ini. Pada saat ini terdapat lima kelompok tani di dalam kawasan tersebut yaitu kelompok tani Jelutung, kelompok tani karet, kelompok tani Gelam, kelompok tani Rengas dan kelompok tani Wna Krida. d Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut) Koperasi ini juga diidirikan dalam rangka untuk mendapatkan ijin HTR. Proses pendirian koperasi ini dukung oleh beberapa tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh di daerah tersebut. Koperasi ini sudah memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan dan memenuhi beberapa persyaratan dalam pengajuan ijin HTR yang dirasakan memberatkan oleh masyarakat diantaranya kegaiatan pengukuran lahan dan pengurusan administrasi kependudukan.
64 5.4.3 Norma Sosial Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006). Norma ini biasanya mengandung sanksi sosial dan menentukan pola tingkah laku dalam masyarakat dalam konteks hubungan sosial. Tingkatan norma sosial yang ada di dalam masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 26. Tabel 26 Tingkatan norma sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No. 1
Sub unsur norma sosial Ketaatan terhadap aturan tidak tertulis (norma/adat istiadat)
2
Jumlah Ketaatan terhadap aturan pemerintah
3
Jumlah Ketaatan terhadap aturan agama
4
Jumlah Kejujuran dalam pergaulan sehari-hari
5
Jumlah Kesopanan dalam pergaulan sehari-hari
6
Jumlah Kerukunan dalam pergaulan sehari-hari
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Jumlah Jumlah skor = 2.079, rata-rata skor = 17,47
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Skor
1 6 112 119 1 5 113 119 0 3 116 119 0 5 114 119 0 21 98 119 0 19 100 119
0,84 5,04 94,12 100,00 0,84 4,20 94,96 100,00 0,00 2,52 97,48 100,00 0,00 4,20 95,80 100,00 0,00 17,65 82,35 100,00 0,00 15,97 84,03 100,00
1 12 336 349 1 10 339 350 0 6 348 354 0 10 342 352 0 42 294 336 0 38 300 338
Selang nilai tingkat norma sosial dengan Xmax=18 dan Xmin=6 serta n=4 adalah 3 sehingga tingkat norma sosial tersebut dapat dikelompokan menjadi: a tingkat norma sosial minimum bila skor ≤ 9 b tingkat norma sosial rendah bila skor 10 s/d 12 c tingkat normas sosial sedang bila skor 13 s/d 15 d tingkat norma sosial tinggi bila skor ≥ 16 Dari Tabel 26 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata skor norma sosial masyarakat adalah 17,47 yang berarti masuk dalam kategori tinggi. Mayoritas
65 masyarakat mempunyai tingkat ketaatan yang sangat tinggi terhadap normanorma agama, adat, aturan pemerintah juga dalam hal kejujuran, kesopanan dan kerukunan. Tingginya norma sosial ini tidak terlepas dari tegasnya sanksi dan denda yang diterapkan bila terjadi pelanggaran norma. Adaptasi sistem adat bali di dalam kawasan ini sangat mendorong terciptanya suasana ketertiban di dalam kawasan tersebut. Gangguan dalam kehidupan sosial biasanya berasal dari luar kawasan. Akses transportasi yang sangat mudah ke kawasan tersebut menyebabkan faktor-faktor eksternal dengan mudah masuk kedalam kawasan tersebut. Namun dengan adanya penerapan norma sosial yang ketat sampai saat ini kondisi kehidupan sosial di dalam kawasan tersebut masih tertib. Sebaran tingkatan norma sosial masyarakat berdasarkan kontinuum uphoff (2000) dapat dilihat dalam Tabel 27. Tabel 27 Sebaran tingkatan norma sosial responden No. 1 2 3 4
Kategori tingkat jaringan sosial Minimum Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang ≤ 9 10 – 12 13 – 15 ≥ 16
Jumlah (orang) 0 0 6 113 119
Persentase (%) 0,00 0,00 5,04 94,96 100,00
5.4.4 Tindakan Proaktif Salah satu unsur modal sosial yang penting adalah tindakan proaktif yang terwujud dalam keinginan untuk tidak saja berpartisipasi tetapi selalu mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan sosial masyarakat (Hasbullah 2006). Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dapat dilihat dalam Tabel 28. Selang nilai tingkat kepercayaan tindakan proaktif dengan Xmax=24 dan Xmin=8 serat n=4 adalah 4 sehingga tingkatan tindakan proaktif dapat dibagi menjadi: a Minimum apabila skor tingkatan tindakan proaktif ≤ 12 b Rendah apabila skor tindakan proaktif 13 s/d 16 c Sedang apabila skor tindakan proaktif 17 s/d 20 d Tinggi apabila skor tindakan proaktif ≥ 21 Tingkatan tindakan proaktif masyarakat sebagaimana tercantum dalam Tabel
29 rata-rata
termasuk dalam kategori sedang/baik. Hal ini ditunjukan
66 dengan tingginya tingkat keinginan
berbagi informasi (87,39%), keinginan
berbagai pengetahuan dan pengalaman (85,71%), keinginan membersihkan tempat tinggal (81,51%), dan keinginan saling mengunjungi untuk berbagi informasi (81,10%). Sedangkan tindakan proaktif yang lain berada pada tingkat yang sedang. Tabel 28 Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No.
Sub unsur norma sosial
1
Keinginan berbagi informasi
2
Jumlah Keinginan berbagi pengetahuan dan pengalaman
3
Jumlah Keinginan memungut sampah di tempat umum
4
Jumlah Keinginan membersihkan lingkungan tempat tinggal
5
Jumlah Keinginan menjaga keamanan bersama
6
7
8
Jumlah Partisipasi warga mendukung pembangunan untuk kepentingan bersama Jumlah Keinginan saling mengunjungi dalam rangka berbagi informasi Jumlah Keaktifan dalam menyelesaikan konflik
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Jumlah Jumlah skor = 2.479, rata-rata skor = 20,83
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Skor
0 15 104 119 0 17 102 119 43 63 13 119 2 20 97 119 8 47 64 119 1 11 107 119 0 22 97 119 5 64 60 119
0,00 12,61 87,39 100,00 0,00 14,29 85,71 100,00 36,14 52,94 10,92 100,00 1,68 16,81 81,51 100,00 6,72 39,50 53,78 100,00 0,84 89,92 9,24 100,00 0,00 18,49 81,1 100,00 4,20 53,78 42,02 100,00
0 30 312 342 0 34 306 340 43 126 39 208 0 10 342 352 0 42 294 336 1 22 321 344 0 44 291 335 5 128 180 313
67 Tabel 29 Sebaran tingkat tindakan proaktif responden No. 1 2 3 4
Kategori tingkat jaringan sosial Minimum Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang ≤ 12 13 – 16 17 – 20 ≥ 21
Jumlah (orang) 0 3 43 73 119
Persentase (%) 0,00 2,52 36,14 61,34 100,00
5.4.5 Kepedulian Kepedulian merupakan pola pertukaran yang tidak dilakukan secara resiprocal seketika, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain (altruism) (Rinawati 2012). Kelompok masyarakat yang mempunyai tingkat kepedulain yang tinggi akan mempunyai modal sosial yang kuat dan lebih memungkinkan untuk mengatasi berbagaimasalah sosial seperti kemiskinan (Hasbullah 2006). Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang berdasarkan SCAT dapat dilihat dalam Tabel 30. Tabel 30
Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No. Sub unsur norma sosial Kategori Jumlah Persentase Skor (orang) (%) 1 Kepedulian terhadap Minimum 0 0,00 0 Sesama Rendah 2 1,68 4 Sedang 33 27,73 99 Tinggi 84 70,59 336 Jumlah 119 100 429 0 0,00 0 2 Kepedulian terhadap Minimum 4 1,68 2 Lingkungan Rendah 82 34,45 41 Sedang 304 63,87 76 Tinggi Jumlah 119 100 390 Jumlah skor = 870, rata-rata skor = 7,31 Selang tingkat kepedulian masyarakat dengan Xmax=8 dan Xmin=2
dengan n=4 adalah 1,5 sehingga tingkat kepedulian masyarakat dapat dibagi menjadi: a Minimum bila skor tingkat kepedulian masyarakat ≤ 3,5 b Rendah bila skor tingkat kepedulian masyarakat 3,6 s/d 5 c Sedang bial skor tingkat kepedulan masyarakat 5,1 s/d 6,5 d Tinggi bila skor tingkat kepedulian masyarakat > 6,5
68 Dari Tabel 30 diketahui bahwa rata-rata skor kepedulian masyarakat adalah 7,31 sehingga masuk dalam kategori tinggi. Tingginya tingkat kepedulian masyarakat ini menjadi modal yang sangat baik dalam mengatasi masalah sosial yang ada di dalam masyarakat. Namun suatu kelompok masyarakat dengan tingkat kepedulian yang tinggi belum tentu memiliki dampak positif yang besar terhadap kelompok masyarakat yang lain. Hal ini tergantung pada sifat dan orientasi nilai kepedulian tersebut. Masyarakat dengan tipologi tertutup akan memberikan nilai poisitip bagi komunitas setempat tetapi belum tentu memberikan nilai positif bagi kelompok lain. Sebaliknya masyarakat yang bersifat terbuka yang akan mampu memberikan nilai positif yang lebih luas ke lingkungan sekitarnya (Hasbullah 2006). Sebaran tingkat kepedulian responden dapat dilihat dalam Tabel 31. Tabel 31 Sebaran tingkat kepedulian responden No. 1 2 3 4
Kategori tingkat kepedulian Minimum Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang ≤ 3,5 3,6 – 5 5,1 – 6,5 >6,5
Jumlah (orang) 0 3 43 73 119
Persentase (%) 0 2,52 36,14 61,34 100,00
5.5 Modal Sosial Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Berdasarkan skor unsur-unsur modal sosial masyarakat maka didapatkan skor modal sosial seperti terlihat dalam Tabel 32. Tabel 32
Skor modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No Unsur Modal Sosial Skor Rata-rata Nilai maksimum-minimum 36 - 12 32,38 3.853 Kepercayaan 1 21 - 7 17,74 2.111 Jaringan sosial 2 18 - 6 17,47 2.079 Norma sosial 3 24 - 8 20,83 2.479 Tindakan yang proaktif 4 8- 2 7,32 870 Kepedulian 5 Jumlah 11.392 95,74 107 – 35
Berdasarkan persamaan selang nilai, yaitu: Selang = Xmax – Xmin = 107 – 35 = 18 N 4
69 Skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan modal sosial pada masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah sebagai berikut: a Modal sosial masyarakat minimum apabila jumlah skor ≤ 53, dalam konteks pembangunan hutan tanaman rakyat maka sangat sulit untuk dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. b Modal sosial masyarakat rendah apabila jumlah skor antara 54 – 71, dalam konteks pembangunan hutan tanaman rakyat maka sulit untuk dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. c Modal sosial masyarakat sedang apabila jumlah skor antara 72 – 90, dalam konteks
pembangunan
hutan
tanaman
rakyat
maka
mudah
untuk
dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. d Modal sosial masyarakat tinggi apabila jumlah skor ≥ 91, dalam konteks pembangunan
hutan
tanaman
rakyat
maka
sangat
mudah
untuk
dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. Dari Tabel 32 diketahui bahwa modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang berada pada tingkat yang tinggi (skor 95,74). Sebaran tingkat modal sosial responden dapat dilihat dalam Tabel 33. Tabel 33
Sebaran tingkat modal sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang No. Kategori tingkat kepedulian Selang Jumlah Persentase (orang) (%) 0 0 ≤ 53 Minimum 1 0 0 54 – 71 Rendah 2 22,69 27 71 – 90 Sedang 3 77,31 92 ≥6,5 Tinggi 4 Jumlah 119 100,00 Sebagaian besar masyarakat memiliki modal sosial pada tingkat yang
tinggi (77,31%) dan sebagian lainnya pada tingkat yang sedang (22,69%). Dari pola-pola interelasi sosial yang terjadi dalam masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang tipe modal sosial yang terdapat di dalam masyarakat cenderung sebagai tipe modal sosial yang mengikat (bonding) dan bukan tipe yang menjembatani (bridging). Hal ini dapat diamati dari sikap mereka terhadap komunitas lain yang akan masuk kedalam lingkungan komunitas yang cenderung untuk disikapi sangat berhati-hati. Kelemahan dari modal sosial tipe terikat ini antara lain perbedaan yang kuat antara “orang dalam” dengan “orang luar”, sulit
70 menerima
arus
perubahan,
kurang
akomodatif
terhadap
pihak
luar,
mengutamakan kepentingan dan solidaritas kelompok (Hasbullah 2006). Keberadaan modal sosial yang kuat sangat berpengaruh dalam keberhasilan sebuah program pembangunan. Tingginya modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ini menjadi modal yang sangat berharga dalam pembangunan HTR di daerah tersebut. Secara de facto sebenarnya hutan di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang telah terbangun secara swadaya oleh masyarakat dalam bentuk kebun karet. Sehingga program pembangunan HTR dapat dipandang hanya bersifat melegalkan sekaligus untuk “membagi manfaat” keberadaan hutan tersebut bagi komunitas lain diluar kawasan tersebut. Selain itu tinggi collective action di kawasan telah menjadi salah satu faktor pendorong bagi kemajuan yang telah dicapai kawasan tersebut selama ini yang bahkan telah mengalahkan kemajuan desa-desa definitif yang berada
di sekitar kawasan tersebut. Hal ini senada
dengan penelitian tentang hubungan modal sosial dan pembangunan hutan rakyat di Sukabumi juga menemukan hubungan yang positif antara tingkat modal sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat (Rinawati 2012).
5.6
Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR Persepsi terkait dengan pembangunan HTR di terusan sialang yang
diukur adalah persepsi terhadap alokasi lahan HTR, pemanfaatan hasil HTR, pola pembangunan HTR, jenis tanaman HTR, persyaratan Perijinan HTR, proses perijinan HTR, jangka waktu dan luas pengusahaan HTR, pewarisan ijin HTR, hak dan kewajiban HTR, pasar hasil HTR, kelembagaan HTR, kegiatan sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan penyuluhan HTR.
5.6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Alokasi Lahan HTR Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2001 menyebutkan bahwa areal yang dicadangkan untuk pembangunan HTR adalah hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain. Ketentuan alokasi lahan yang ditanyakan kepada responden adalah ketentuan umum tentang lahan yang ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR yaitu apakah lahan
71 tersebut sudah tepat untuk dijadikan sebagai lahan HTR dari segi aksesibilitas, kepemilikan (bebas konflik) maupun kondisi lahan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai persepsi yang tinggi terhadap alokasi lahan HTR (84,87%), sedangakan sebagain lainnya memliki persepsi yang sedang (9,25%) dan rendah (5,88%) (Tabel 34). Tabel 34 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap alokasi lahan HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi
Selang Skor persepsi <5 5–7 >7
Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah (orang) 7 11 111 119
Persentase (%) 5,88 9,25 84,87 100,00
Akses masyarakat ke lahan calon lokasi HTR sangat mudah karena pada umumnya mereka tinggal di lahan tersebut. Akses ke kawasan tersebut juga sangat mudah karena kawasan tersebut terletak di jalur perlintasan jalan lintas timur sumatera yang merupakan jalan trans nasional. Jaringan jalan di dalam kawasan juga sudah teratur dan pada umumnya sudah mengalami perkerasan sehingga dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 walaupun pada musim penghujan. Pengaturan pembagian lahan juga sudah jelas. Walaupun tidak mempunyai surat tanah resmi namun batas-batas tanah mereka sudah jelas dan tidak ada lagi tumpang tindih kepemilikan diantara mereka. Bahkan mereka sudah memperjualbelikan lahan koordinator
masyarakat
mereka dan kuitansi yang diketahui oleh
perambah
tersebut
diakui
sebagai
tanda
bukti
kepemilikan tanah di dalam komunitas tersebut.
5.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Pembangunan HTR Pola pembangunan HTR menurut Peraturan Menteri Kehutanan terdiri dari tiga pola yaitu perorangan, kemitraan dan developer. Dalam penelitian ini persepsi terhadap pola pengelolaan HTR didasarkan pada bagaimana pilihan masyarakat dalam mengelola HTR, pandangan terhadap program kemitraan dan juga pandangan terhadap asal usul mitra. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat cenderung untuk memilih untuk mengajukan ijin secara perorangan (67,23%) dibandingkan dengan dengan pengajuan ijin melalui koperasi (21,01%) dan sisanya masih ragu-ragu (11,76%). Pilihan masyarakat yang memilih untuk
72 mengajukan ijin secara perorangan dilatar belakangi oleh keinginan mereka untuk mendapatkan status lahan atas nama mereka sendiri. Dalam pandangan mereka dengan memiliki ijin atas nama mereka sendiri mereka memiliki kebebasan dalam menentukan komoditas, melakukan jual beli lahan dan mengatur penggunaan lahan. Selain itu mereka juga memiliki pengalaman mengajukan ijin melalui koperasi Kopkarinhut V yang akhirnya gagal dan menimbulkan sedikit kesalahpahaman diantara masyarakat. Sedangkan pandangan terhadap mitra sebanyak 70,59% masyarakat tidak memerlukan mitra, 26,89% memerlukan mitra dan sisanya 2,52% menjawab ragu-ragu. Sikap masyarakat terhadap mitra ini dilatarbelakangi kondisi perekonomian mereka yang memang relatif sudah mantap. Dengan harga komoditas karet yang semakin membaik, mereka merasa sudah cukup berhasil dalam mengelola lahan mereka dan tidak memerlukan mitra yang belum mereka kenal. Kalaupun memerlukan mitra mereka cenderung memilih mitra yang telah mereka kenal (warga sekitar). Tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 35. Tabel 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi <12 12 – 17 >17
Jumlah (orang) 0 36 83 119
Persentase (%) 0 30,25 69,75 100,00
5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR Kegiatan pemanfaatan HTR yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan HTR, tujuan pemanfaatan HTR dan juga tentang pemanfaatan hasil sampingan (HHBK). Dari hasil survey didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat setuju dengan tahapan dalam kegiatan pemanfaatan HTR (85,71%) dan hanya sebagaian kecil saja yang tidak atau kurang setuju (14,29%). Sedangkan terhadap tujuan pemanfaatan HTR untuk produksi kayu saja sebanyak 47,06% responden setuju, 3,36% kurang setuju dan 49,58% tidak setuju. Tingginya tingkat ketidaksetujuan masyarakat terhadap tujuan pemanfaatan HTR ini dikarenakan selama ini mereka terbiasa dengan komoditas karet yang lebih menekankan pada produksi getah (HHBK) dibandingkan dengan produksi kayu. Selain itu mereka juga belum
73 melihat adanya contoh nyata keberhasilan budidaya kayu di daerah mereka. Hasil ini sejalan dengan persepsi mereka tentang HHBK yaitu sebagian besar masyarakat tidak setuju apabila HHBK tidak boleh dimanfaatkan dalam pemanfaatan HTR (94,96%) dan sisanya setuju dan kurang setuju/ragu-ragu (5,04%). Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan pemanfaatan HTR dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36
Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan pemanfaatan HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang Jumlah Persentase Skor persepsi (orang) (%) 1 Rendah <5 62 2,10 2 Sedang 5–7 54 45,38 3 Tinggi >7 3 2,52 Jumlah 119 100
5.6.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman HTR Jenis tanaman yang dikembangkan dapat dikembangkan di areal HTR adalah kayu pertukangan berdasarkan peraturan Direktur Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang petunjuk teknis pembangunan HTR Jenis tersebut adalah tanaman hutan berkayu yang terdiri dari: (1) kayu pertukangan (meranti, keruing, non dipterocarpaceae: jati, sengon, sonokeling, mahoni, kayu hitam, akasia, rajumas, sungkai dan kayu serat) dan (2) tanaman budidaya tahunan berkayu (karet, durian, nangka, mangga, duku, rambutan, kemiri, pala). Tanaman tersebut dapat ditanam secara monokultur atau campuran dengan komposisi 60% tanaman hutan berkayu dan 40% tanaman budidaya tahunan berkayu. Budidaya tanaman berkayu kehutanan tidak dikenal oleh masyarakat di dalam kawasan. Mereka saat ini merasa jenis tanaman karet yang sudah mereka budidayakan sangat sesuai dengan keinginan mereka (94,12%). Ketentuan tentang tanaman pokok yang harus tanaman kehutanan masih belum diterima oleh masyarakat dan mereka masih menginginkan tanaman karet untuk wilayah mereka sedangkan sisanya merasa tanaman mereka kurang/tidak sesuai (5,88%). Mayoritas masyarakat juga tidak menginginkan jenis tanaman yang boleh mereka tanam ditentukan oleh Menteri Kehutanan (95,80%), sedangkan yang setuju dengan ketentuan tersebut 3,36% dan sisanya ragu-ragu (0,84%). Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman HTR dapat dilihat pada Tabel 37.
74 Tabel 37 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap jenis tanaman HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi <5 5–7 >7
Jumlah (orang) 98 20 1 119
Persentase (%) 82,35 16,81 0,84 100,00
5.6.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Persyaratan Perijinan HTR Tingkat persepsi masyarakat terhadap persyaratan perijinan HTR yang berada pada level tinggi sebesar 48,74%, level sedang 48,74% dan level rendah 2,52 (Tabel 38). Sebagian masyarakat merasa kesulitan untuk mendapatkan salah satu persyaratan dalam perijinan HTR berupa KTP, surat keterangan domisili dan sketsa (50,42%) sedangkan sisanya merasa tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan persyaratan tersebut (49,58%). Tabel 38
Sebaran tingkat persepsi responden terhadap persyaratan perijinan HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang Jumlah Persentase Skor persepsi (orang) (%) 2,52 3 <5 Rendah 1 48,74 58 5–7 Sedang 2 48,74 58 >7 Tinggi 3 Jumlah 119 100,00 Kesulitan masyarakat dalam mendapatkan KTP dan surat keterangan
domisili karena status kependudukan mereka yang belum diakui sepenuhnya oleh desa di sekitar mereka. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mulai mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan. Dalam pembuatan sketsa atau peta mayoritas masyarakat juga mengalami kesulitan. Namun kesulitan tersebut dapat diatasi dengan adanya pendamping HTR dan juga asistensi
yang
dilakukan
oleh
koperasi
walaupun
masyarakat
harus
mengeluarkan biaya untuk membuat sketsa/peta tersebut. 5.6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Perijinan HTR Persepsi masyarakat masyarakat terhadap proses perijinan pada umumnya berada pada tingkat rendah (57,98%). Hal ini tidak terlepas dari pengalaman
mereka
dalam
mengajukan
ijin
HTR.
Masyarakat
pernah
memproses untuk mengajukan ijin pada tahun 2010 dengan difasilitasi oleh Kopkarinhut V. Namun proses tersebut mengalami kegagalan pada tahapan verifikasi oleh BPPHP wilayah V Palembang. Dalam melaksanakan verifikasi,
75 BPPHP Wilayah V Palembang menggunakan kebijakan kawasan hijau dan kawasan putih. Kawasan hijau artinya kawasan tersebut telah ditanami dengan tanaman berkayu (karet) sedangkan kawasan putih adalah kawasan yang belum ditanami dengan tanaman berkayu. Dalam verifikasi hanya kawasan hijau yang diloloskan sedangkan kawasan putih tidak diloloskan. Akibat dari kebijakan tersebut dari sekitar 400-an masyarakat yang mengajukan ijin hanya 88 orang yang lolos verifikasi. Hasil verifikasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Dinas Kehutanan Kabupaten OKI karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di dalam kawasan tersebut. Tabel 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi <5 5–7 >7
Jumlah (orang) 69 45 5 119
Persentase (%) 57,98 37,82 4,20 100,00
Pada tahun 2011 Masyarakat dengan difasilitasi oleh tenaga pendamping HTR berusaha mengajukan lagi ijin HTR. Untuk mempermudah dibentuklah lima kelompok tani (KTH) hutan yaitu KTH Jelutung, KTH Gelam, KTH Karet, KTH Rengas dan KTH Wana Krida. Pengukuran dan pembuatan sketsa juga sudah dilakukan. Pemenuhan syarat administrratif juga sudah dilaksanakan. Namun ketika diajukan ke BPPHP Wilayah V untuk diverifikasi berkas tersebut dikembalikan dengan keterangan bahwa syarat administrsi belum lengkap. Selain itu Kopkarinhut V memfasilittasi lagi untuk pengajuan ijin HTR atas nama koperasi. Namun dalam proses pengajuan keluar ketentuan bahwa luas lahan maksimal untuk koperasi adalah 700 ha sehingga menyebabkan kopkarinhut mundur. Pada tahun 2012 masyarakat mencoba mengajukan kembali ijin HTR melalui 4 kelompok tani tersebut dan membentuk satu koperasi baru yaitu Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut). Berkas pengajuan dari 4 kelompok tani dan koperasi tersebut pada bulan Mei sudah disampaikan ke BPPHP Wilayah V namun
sampai sekarang belum ada kejelasan untuk
verifikasi. Pengalaman tersebut menyebabkan persepsi masyarakat terhadap proses pengajuan ijin rendah. Selain itu kepercayaan masyarakat terhadap
76 BPPHP Wilayah V dan dinas kehutanan Kabupaten OKI mengalami penurunan. Apabila pada proses pengajuan yang terakhir ini kembali mengalami kegagalan maka dikhawatirkan masyarakat tidak antusias lagi dalam melaksanakan program pembangunan HTR.
5.6.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jangka waktu dan Luasan Usaha HTR Jangka waktu ijin usaha HTR diberikan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali selama 35 tahun. Luas pengusahaan yang diberikan untuk ijin perorangan adalah seluas maksimal 15 ha. Persepsi masyarakat terhadap jangka waktu ijin dan luasan ijin usaha berapa pada level tinggi (84,03%) dan sedang (115,97%) (Tabel 40). Tabel 40
Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang Jumlah Persentase Skor persepsi (orang) (%) 1 Rendah <5 0 0,00 2 Sedang 5–7 19 15,97 3 Tinggi >7 100 84,03 Jumlah 119 100,00
Tingginya tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin ini dikarenakan masyarakat merasa cukup dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang sampai 35 tahun apalagi dalam ketentuan yang baru terdapat klausul pengutamaan ahli waris untuk melanjutkan ijin tersebut. Pemilikan lahan di kawasan ini sudah tidak merata dikarenakan telah terjadinya proses jual beli diantara masyarakat sehingga beberapa masyarakat mempunyai lahan lebih dari 15 ha. Hal ini telah menjadi perhatian dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dikarenakan dalam proses verifikasi terhadap usulan ijin HTR Kopkarinhut V, pemilikan lahan yang melebihi 15 ha oleh seorang petani menjadi salah satu penyebab tidak diloloskannya usulan tersebut. Ketentuan perijinan HTR dalam Peraturan Menteri Kehutanan tidak menyebutkan batasan pemilikan lahan perorangan apabila usulan ijin disampaikan melalui koperasi. Hal ini menyebabkan sejumlah
responden tidak setuju dengan ketentuan
pembatasan lahan tersebut (12,60%).
77 5.6.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Pewarisan Ijin HTR Ketentuan dalam peraturan Menteri Kehutanan tentang perijinan HTR menyatakan bahwa HTR tidak dapat diwariskan. Hal ini tidak disetujui oleh masyarakat walaupun terdapat klausul bahwa ahli waris diutamakan untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut (Tabel 41). Klausul ini dinilai masyarakat tidak cukup. Tabel 41 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pewarisan ijin HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi ≤ 3 4–5 >5
Jumlah (orang) 112 5 2 119
Persentase (%) 94,12 4,20 1,68 100,00
Ketentuan tentang hak pewarisan ini dikeluarkan oleh pemerintah untuk menegaskan bahwa kawasan tersebut bukanlah hak milik dari petani HTR tetapi merupakan lahan milik negara yang pengelolaannya dipercayakan kepada petani penggarap. Secara hukum hal tersebut dipandang logis namun permasalahan yang dikhawatirkan muncul adalah kemungkinan adanya pihak yang akan mencoba mengambil keuntungan dari celah tersebut. Permasalahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: misalnya petani HTR berumur 30 tahun mulai menanam karet pada lahan usahanya. Maka dengan asumsi rotasi karet 25 tahun dan umur petani tersebut 65 tahun maka pada saat dia meninggal akan ada tanaman karet berumur 10 tahun di lahan tersebut dan masih ada sisa jangka waktu ijin 25 tahun lagi. Bila ketentuan bahwa lahan tersebut harus dikembalikan kepada negara apabila pemiliknya meninggal diberlakukan maka akan banyak pihak yang berebut untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut. Tentu hal ini tidak adil bagi ahli waris pemegang ijin. Untuk itu diperlukan jalan keluar untuk menghindari hal tersebut. Misalnya dibuat ketentuan bahwa apabila pemegang ijin meninggal maka ahli waris yang ditunjuk oleh pemegang ijin secara otomatis akan melanjutkan ijin tersebut sampai habis jangka waktunya. Kemudian apabila sudah habis jangka waktunya dilakukan evaluasi lagi untuk menerbitkan ijin baru atas nama ahli waris tersebut. Ketentuan-ketentuan kompromistis seperti ini perlu dilakukan karena tidak ada gunanya pemerintah membuat ketentuan yang tidak akan ditaati oleh masyarakat.
78 5.6.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Hak dan Kewajiban Hak dan kewajiban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan hak mendapatkan pinjaman, hak mendapatkan pendampingan dan kewajiban menyusun rencana kerja baik Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR (RKUPHHK-HTR) maupun Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR (RKTUPHHKHTR). Ketentuan dalam perijinan HTR memberikan masyarakat pemegang ijin hak untuk mendapatkan bantuan berupa pinjaman lunak untuk pembangunan HTR yang dalam persyaratan pencairannya mewajibkan pemegang ijin untuk membuat RKUPHHK-HTR dan RTKUPHHK-HTR. Pembuatan RKTUPHHK-HTR dan RKUPHHK-HTR difasilitasi oleh BPPHP setempat. Persepsi masyarakat terhadap hak dan kewajiban tersebut sebagain besar berada pada level yang tinggi (Tabel 42). Tingginya persepsi masyarakat terhadap hak dan kewajiban HTR tersebut dikarenakan mereka merasa mampu untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang ijin yaitu menyusun RKUPHHKHTR dan RKTUPHHK-HTR dan memandang hak mereka untuk mendapatkan pinjaman HTR bukanlah sebagai faktor utama yang mendorong mereka untuk mendapatkan ijin HTR. Keyakinan tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian mereka yang sudah membaik. Apalagi dengan adanya fasilitasi oleh BPPHP dalam pembuatan RKU dan RKT HTR Tabel 42 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap hak dan kewajiban No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi ≤ 6 7–9 ≥ 10
Jumlah (orang) 3 8 108 119
Persentase (%) 2,52 6,72 90,76 100,00
5.6.10 Persepsi Masyarakat Terhadap Pasar Kayu Hasil HTR Yang dimaksud dengan pasar kayu hasil HTR disini adalah industri kayu, kejelasan pemasaran hasil kayu dan juga mekanisme penentuan harga kayu. Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR pada umumnya berada pada level sedang dan rendah (Tabel 43).
79 Tabel 43 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pasar kayu hasil HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi <5 5–7 >7
Jumlah (orang) 47 67 5 119
Persentase (%) 39,50 56,30 4,20 100,00
Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR yang relatif rendah ini disebabkan pengetahuan mereka tentang pasar hasil hutan kayu yang kurang. Selama ini mereka tidak terbiasa dengan budidaya tanaman yang bertujuan untuk menghasilkan kayu. Sedangkan dalam hal penentuan harga jual komoditas baik kayu maupun non kayu mereka pada umumnya tidak setuju apabila harga jual ditentukan oleh Menteri Kehutanan. Mereka menginginkan harga jual komoditas ditentukan oleh mekanisme pasar yang adil.
5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kelembagaan HTR Kelembagaan yang ada di masyarakat dalam pengurusan ijin HTR ini adalah KTH dan koperasi. Terdapat 5 (lima) KTH dan 1 (satu) koperasi yang didirikan untuk mempermudah pengurusan ijin HTR. Persepsi masyarakat terhadap kelembagaan KTH dan koperasi untuk mempermudah pengurusan HTR sangat tinggi (Tabel 44). Mereka menaruh harapan yang besar terhadap KTH dan koperasi tersebut dalam mempermudah pengurusan ijin HTR mereka. Tabel 44 Sebaran tingkat perepsi responden terhadap kelembagaan HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi <5 5–7 >7
Jumlah (orang) 2 7 110 119
Persentase (%) 1,68 5,88 92,44 100,00
Tidak semua masyarakat yang terdapat di dalam Kawasan merupakan anggota KTH atau koperasi tersebut. Namun mereka tetap merasa bahwa keberadaan KTH dan koperasi penting dalam pengurusan HTR. Mereka yang tidak menjadi anggota KTH dan koperasi saat ini dalam posisi wait and see. Mereka menunggu dan mengamati proses pengajuan ijin HTR oleh KTH dan koperasi yang sedang berjalan. Apabila proses tersebut berhasil dan ijin HTR keluar meraka akan segera ikut mendirikan KTH atau koperasi di tempat mereka.
80 Peran KTH dan koperasi sampai saat ini baru sampai pada tahap pengajuan ijin. Mereka belum berperan dalam peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani HTR. Hal ini terjadi karena memang mereka baru dibentuk dalam rangka untuk mempermudah pengajuan ijin HTR. Untuk selanjutnya diharapkan
mereka
dapat
lebih
berperan banyak
dalam
meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan petani HTR sehingga dapat menjadi katalisator dalam peningkatan kesejahteraan petani HTR.
5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosialisasi HTR Kegiatan sosialisasi HTR dikawasan tersebut dilakukan sejak tahun 2008 oleh BPPHP Wilayah V Palembang sejak kawasan tersebut masuk dalam peta indikatif calon lokasi pencadangan HTR. Sosialisasi dilaksanakan hanya sekali dalam setahun dan hanya menjangkau tokoh masyarakat dan instansi terkait. Namun sejak tahun 2011 dengan adanya kegiatan fasilitasi yang dilakukan pendamping HTR kegiatan sosialisasi intens dilakukan oleh pendamping HTR dengan pendekatan lebih interpersonal. Akan tetapi terbatasnya jumlah tenaga pendamping HTR menyebabkan kegiatan sosialisasi tidak dapat menjangkau masyarakat secara optimal. Hal ini yang menyebabkan persepsi masyarakat terhadap kegiatan sosialisasi HTR rendah (Tabel 45). Tabel 45 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan sosialisasi HTR Kategori tingkat persepsi No. 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi <8 9 – 12 >12
Jumlah (orang) 85 34 0 119
Persentase (%) 71,43 28,57 0,00 100,00
Kendala utama yang dihadapi oleh instansi pemerintah baik di BPPHP Wilayah V, Dinas Kehutanan OKI ataupun aparat pemerintahan setempat dalam melaksanakan sosialisasi HTR adalah masalah anggaran. Alokasi anggaran untuk program HTR ini termasuk didalamnya kegiatan sosialisasi HTR di Dinas Kehutanan OKI baru dianggarkan pada tahun 2011 dengan jumlah yang sangat terbatas yaitu Rp75.000.000 sedangkan di BPPHP anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan HTR lebih besar yaitu Rp.960.000.000 untuk 4 wilayah di 2 Propinsi. Namun mulai tahun 2011 ini terdapat perubahan dalam pola sosialisasi
81 yang mulai dilakukan sampai pada tingkat tapak, artinya sosialisasi dilakukan langsung kepada calon-calon petani HTR. Peran pendamping dalam sosialisasi selama ini juga sangat terbatas dikarenakan jumlah mereka yang juga terbatas (3 orang). Dengan luas areal 8.000 ha dan jumlah penduduk 2.837 KK, 3 orang pendamping ini tidak akan cukup untuk memfasilitasi mereka dalam pembangunan HTR. Selain itu latar belakang pendidikan pendamping yang bukan berasal dari bidang kehutanan menyebabkan
mereka
mengalami
kesulitan
ketika
masyarakat
mulai
menanyakan dan meminta bimbingan teknis kepada pendamping. Faktor lain yang menghambat dalam sosialisasi ini adalah kurangnya peran LSM. Hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat terhadap LSM rendah yang tidak terlepas dari pengalaman masyarakat dalam berhubungan dengan LSM yang pada akhirnya hanya merugikan mereka. Oleh karena itu diperlukan adanya peran aktif LSM yang benar-benar berusaha untuk membantu masyarakat dalam membangun HTR di wilayah tersebut.
5.6.13
Persepsi
Masyarakat
Terhadap
Kegiatan
Penyuluhan
dan
Pendampingan HTR Untuk menunjang kegiatan HTR maka dibutuhkan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat berupa pendampingan. Pendampingan merupakan hak yang diperoleh setiap pemegang ijin HTR (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 Pasal 20). Pendamping HTR bertugas memfasilitasi
pengembangan
organisasi
pemegang
izin
HTR,
transfer
pengetahuan dan keterampilan kehutanan, perencanaan dan pelaksanaan HTR, peluang kerja dan peluang berusaha, partisipasi dan sikap dalam pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Pendampingan HTR dapat bersifat teknis dan bersifat penguatan kelembagaan. Pendampingan yang bersifat teknis dilakukan oleh penyuluh kehutanan dan teknisi kehutanan lainnya sedangkan pendampingan yang bersifat penguatan kelembagaan dilakukan oleh LSM, tenaga kerja sarjana terdidik, tenaga kerja sosial, tenaga kerja sarjana kehutanan dan pertanian, organisasi peduli lingkungan (kelompok pecinta alam, kader konservasi alam), penyuluh kehutanan lapangan dan organisasi lain yang dipandang perlu dilibatkan
dalam
pendampingan,
dimana
yang
bersangkutan
telah
berpengalaman atau telah mendapatkan pelatihan pemberdayaan masyarakat.
82 Persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR berapa pada tingkat yang sedang (Tabel 46). Tingkat persepsi masyarakat yang cenderung kurang baik pada kegiatan penyuluhan ini tidak terlepas dari kurangnya dukungan terhadap kegiatan tersebut dari pihak pemerintah (Dinas kehutanan, BPPHP V dan aparat pemerintah) dan pihak LSM. Selain itu kekurangan jumlah tenaga pendamping juga menyebabkan tidak semua masyarakat mendapatkan pendampingan dan penyuluhan yang memadai. Tabel 46 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang Jumlah Persentase Skor persepsi (orang) (%) 1 Rendah <15 9 7,56 2 Sedang 16 – 21 109 91,60 3 Tinggi >21 1 0,,84 Jumlah 119 100,00 Pendampingan merupakan kegiatan yang penting dan menentukan terhadap keberhasilan pembangunan HTR. Pendampingan memberikan kepada masyarakat bekal teknis dan penguatan kelembagaan masyarakat. Tanpa kedua hal tersebut keberhasilan pembangunan HTR akan rendah. Penguatan kelembagaan merupakan faktor penting dalam menyiapkan masyarakat untuk mengelola HTR (Hakim 2009). Penguatan kelembagaan berperan dalam membangun kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR (Emila & Suwito 2007). Pengembangan kapasitas masyarakat juga sangat berperan dalam partisipasi mereka (Iqbal 2007). Ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah masih difokuskan pada teknis dan prosedur administrasi, belum pada membangun masyarakat yang mandiri dalam mengelola hutan. Permasalahan khusus yang terkait dengan tenaga pendamping adalah terkait dengan status mereka. Dalam pengadaan tenaga pendamping seleksi dan penunjukan dilakukan oleh bupati serta dinas kehutanan setempat namun honorarium dan pelatihan bagi tenaga pendamping dilakukan oleh BPPHP. Ketentuan ini membuat tenaga pendamping cenderung untuk lebih banyak berkoordinasi dengan BPPHP dibandingkan dengan dinas kehutanan setempat. Hal ini di lapangan membuat beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara pendamping dengan dinas kehutanan karena kurangnya koordinasi.
83 5.6.14 Penilaian persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR Kegiatan pembangunan HTR telah diketahui oleh sebagian besar masyarakat dalam kawasan tersebut walaupun sampai dengan saat ini belum ada ijin yang dikeluarkan atas nama masyarakat. Sehingga dalam penelitian ini, persepsi yang dilihat lebih pada ekspetasi masyarakat terhadap program pembangunan HTR. Manfaat yang terbesar yang diharapkan masyarakat adalah pada aspek legalitas keberadaan mereka di dalam kawasan tersebut yaitu tentang kepastian status lahan. Dengan kepastian status lahan tersebut mereka mengharapkan adanya peningkatan terhadap harga jual komoditas dan lahan mereka. Skor persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan dalam pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 47. Tabel 47 Skor persepsi masyarakat dalam pembangunan HTR No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Persepsi masyarakat Alokasi lahan HTR Pola pembangunan HTR Manfaat HTR Jenis tanaman HTR Persyaratan Perijinan HTR Proses perijinan HTR Jangka waktu dan luas ijin HTR Pewarisan ijin HTR Hak dan kewajiban HTR Pasar hasil HTR Kelembagaan HTR Sosialisasi HTR Pendampingan dan Penyuluhan Jumlah
Skor
Rata-rata
1.020 2.098 688 632 936 641 982 256 1.194 574 1.045 913 2.156
8,57 17,63 5,78 5,31 7,87 5,39 8,25 2,15 10,03 4,82 8,78 7,67 18,12
Nilai maksimum-minimum 9–3 21 – 7 9–3 9–3 9–3 9–3 9–3 6–2 12 – 4 9–3 9–3 15 – 5 27 – 9
13.135
110,38
153 – 51
Berdasarkan persamaan selang dengan Xmax = 153 dan Xmin = 51 didapatkan selang nilai untuk persepsi masyarakat adalah : 153 – 51 = 34 3 Sehingga skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan modal sosial pada masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah sebagai berikut: a Persepsi masyarakat rendah apabila jumlah skor ≤ 85 b Persepsi masyarakat sedang apabila jumlah skor antara 86 – 119 c Persepsi masyarakat tinggi apabila jumlah skor antara ≥ 119
84 Dari Tabel 48 dapat dilihat secara umum mayarakat mempunyai persepsi yang sedang terhadap program HTR ini (98,32%) dan sisanya mempunyai persepsi yang tinggi (1,68%). Tingkat persepsi yang berada pada level sedang ini dikarenakan mereka belum melihat manfaat program HTR yang dirasakan petani secara langsung. Walaupun pada umumnya mereka menanggapi secara baik namun mereka masih berhati-hati karena belum ada contoh langsung yang mereka lihat. Tingkat persepsi masyarakat pada level sedang ini memberikan harapan yang cukup baik terhadap keberhasilan program pembangunan HTR ini asalkan ada dukungan kebijakan dan tindakan yang cukup dari stakeholders lain yang berkepentingan. Tabel 48 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap HTR No. 1 2 3
Kategori tingkat persepsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Selang Skor persepsi ≤ 85 86 – 119 >119
Jumlah (orang) 0 117 2 119
Persentase (%) 0,00 98,32 1,68 100,00
Poin-poin kebijakan HTR yang masih menjadi kendala dan keberatan masyarakat adalah masalah pewarisan ijin dan jenis tanaman. Masyarakat hampir semuanya menginginkan adanya hak pewarisan ijin secara langsung. Walaupun dalam ketentuan perijinan HTR dalam peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2011 tanggal 06 Juli 2011 mengutamakan ijin diberikan kepada ahli waris namun masyarakat menginginkan ijin tersebut langsung diberikan kepada ahli waris sampai ijin tersebut habis dan tidak harus melalui proses pengurusan perijinan lagi. Mereka mengkhawatirkan apabila tidak langsung diberikan ahli waris nantinya ada pihak-pihak yang memanfaatkan celah tersebut untuk mengambil lahan dan tanaman hasil budidaya mereka. Sedangkan untuk jenis tanaman, mereka pada umumnya menginginkan tanaman karet di seluruh areal mereka. Ketentuan dari peraturan menteri menyebutkan bahwa tanaman pokok (tanaman kehutanan) seluas 60% dan tanaman budidaya tahunan (karet, buah-buahan dll) seluas 40%. Hal ini masih menjadi salah satu ganjalan bagi mereka dalam menentukan untuk ikut atau tidak program HTR.
85 5.7
Hubungan Karakteristik Individu Dengan Unsur-Unsur Modal Sosial Masyarakat Karakteristik Individu merupakan unsur pembentuk modal manusia.
Semakin tinggi karakteristik individu seseorang maka akan semakin tinggi modal manusia. Modal manusia tinggi akan mampu mendorong peningkatan kesadaran diri, pengaturan diri dan motivasi. Sehingga semakin tinggi modal manusia semakin besar peluang untuk membentuk kapital sosial (Lawang 2005). Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar karakteristik individu digunakan korelasi Spearman (Tabel 49). Sedangkan nilai korelasi sprearman secara lengkap tersaji pada Lampiran 4. Tabel 49 Hubungan antar komponen pada karakteristik individu Karakteristik Individu
Umur
Umur Pend. Formal Pend. non formal Pendapatan Tingkat kesehatan Luas lahan
Pend. formal
Pend. Non formal
Penda patan
Tk. Kesehatan
Luas lahan
Lama tinggal
Status Sosial
Suku
Asal
-
-0,275**
-0,049
0,023
0,168
0,208*
0,040
0,313**
0,145
-0,060
-0,275**
-
0,398**
0,175
-0,012
0,088
-0,088
0,229*
0,070
0,111
-0.049
0,398**
-
0,064
0,044
0,201*
0,029
0,257**
0,128
0,089
0,023
0,175
0,064
-
-0,051
0,639**
0,354**
0,540**
0,006
-0,048
0,168
-0,012
0,044
-0,051
-
0,098
-0,050
0,148
0,261**
0,060
0,208*
0,088
0,201*
0,639**
0,098
-
0,256**
0,605**
0,044
-0,091
Lama tinggal
0,040
-0,088
0,029
0,354**
-0,050
0,256**
-
0,411**
0,124
-0,051
Status sosial
0,313**
0,229*
0,257**
0,540**
0,148
0,605**
0,411**
-
0,265**
-0,140
Suku
0,145
0,070
0,128
0,006
0,261**
0,044
0,124
0,265**
-
-0,044
Asal Karakteristik individu
-0,060
0,111
0,089
-0,048
0,060
-0,091
-0,051
-0,140
-0,044
-
0,346**
0,331**
0,365**
0,648**
0,302**
0,708**
0,452**
0,803**
0,365**
0,194*
Keterangan **
Korelasi nyata pada taraf 0.01
*
Korelasi nyata pada taraf 0.05
Dari Tabel 49 diketahui bahwa umur berkorelasi negatif dengan pendidikan formal artinya bahwa semakin tinggi umur semakin rendah pendidikan formal yang dipunyai. Umur berkorelasi positif dengan luas lahan dan status sosial.
artinya semakin besar umur semakin luas lahan dan semakin
tinggi status sosial masyarakat. Pendidikan formal berkorelasi positif dengan pendidikan non formal dan juga status sosial. Pendidikan non formal berkorelasi positif dengan luas lahan dan status sosial. Luas lahan berkorelasi positif dengan pendapatan, lama tinggal dan status sosial. Lama tinggal berkorelasi positif dengan status sosial dan suku berkorelasi positif dengan status sosial.
86 Hubungan antara modal karakteristik individu dengan unsur modal sosial dapat dilihat dalam Tabel 50. Nilai korelasi peringkat Spearman antara karakteristik individu dan unsur modal sosial dapat dilihat dalam Lampiran 5. Tabel 50 Hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial No
Karakteristik Individu
Unsur-unsur modal sosial Kepercayaan
Jaringan
Norma
Proaktif
Kepedulian
1
Umur
0.245**
0.388**
0.046
0.389**
0.369**
2
Pendidikan formal
-0.107
0.038
0.307**
0.095
-0.120
3
Pendidikan non formal
-0.070
0.159
0.145
0.233*
0.037
4
Pendapatan
-0.007
0.183*
0.009
0.144
0.196*
5
Tingkat kesehatan
0.039
0.305**
0.175
0.187*
0.333**
6
Luas lahan
0.108
0.422**
0.072
0.150
0.285**
7
Lama tinggal
0.107
0.172
0.167
0.147
0.179
8
Status sosial
0.284**
0.499**
0.172
0.455**
0.490**
9
Suku
0.133
0.252**
0.192*
0.255**
0.372**
Asal Domisili
0.040
-0.034
-0.073
-0.099
-0.077
x10
Keterangan **
Korelasi nyata pada taraf 0.01
*
Korelasi nyata pada taraf 0.05
Dari Tabel 50 diketahui bahwa faktor umur berkorelasi positif dengan kepercayaan, jaringan, proaktif dan kepedulian. Artinya bahwa semakin bertambah umur masyarakat maka semakin tinggi tingkat kepercayaan, jaringan sosial,
proaktif dan kepedulian mereka. Dalam kenyataan di kehidupan
masyarakat Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang didapati bahwa pemimpin informal, penggerak dan motivator dalam kehidupan bermasyarakat adalah para koordinator pemukiman yang dipilih masyarakat dan berumur lebih tua dari rata-rata pemukim yang lain. Adat-istiadat bali dan jawa yang mendominasi sistem masyarakat juga memberikan penghormatan kepada orang yang berumur lebih tua. Demikian juga dalam pelaksanaan ibadah keagamaan mereka yang selalu menempatkan orang yang lebih tua sebagai imam dan pemimpin dalam ritual peribadatan. Hal tersebut menyebabkan Keluarga muda yang ada di dalam komunitas tersebut belum banyak yang memiliki kedudukan sosial yang mantap. Sehingga tingkat kepercayaan, jaringan, proaktif dan kepedulian masih berada pada tingkat yang sedang atau rendah. Faktor pendidikan formal sebagai salah satu unsur modal manusia utama ternyata hanya berpengaruh pada norma. Semakin tinggi pendidikan seseorang
87 maka akan semakin tinggi pula ketaatan orang tersebut terhadap norma sosial yang berlaku di dalam komunitas tersebut. Sedangkan pendidikan non formal berpengaruh
pada
tindakan
proaktif
masyarakat.
dengan
peningkatan
ketrampilan dan pengetahuan mereka dalam bidang tertentu mendorong mereka untuk lebih proaktif dalam pergaulan masyarakat untuk mempraktekkan ketrampilan dan pengetahuan tersebut. Tingkat pendapatan masyarakat berkorelasi positif dengan jaringan dan kepedulian. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula jaringan dan kepedulian sosial. Kepedulian ini terutama dalam membantu sesama baik dari segi konsumsi, sarana produksi maupun hubungan sosial. Masyarakat juga tidak segan untuk memberikan sumbangan baik uang maupun tenaga guna memperbaiki kondisi lingkungan. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Siswiyanti (2006), bahwa pendapatan yang tinggi cenderung membuat orang berpartisipasi lebih dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan rendah yang cenderung memiliki kesempatan yang terbatas. Demikian juga dengan jaringan untuk membentuk ataupun ikut dalam jaringan memerlukan biaya tertentu sehingga kesempatan orang dengan pendapatan yang lebih baik untuk membentuk/ikut jaringan sosial akan lebih baik. Tingkat kesehatan masyarakat berkorelasi positif dengan jaringan proaktif dan kepedulian. Dengan tingkat kesehatan yang baik memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat dengan tingkat kesehatan yang kurang baik. Kesehatan yang baik memberikan mereka kemampuan fisik untuk ikut bergotong royong, melakukan kegiatan untuk membangun jaringan sosial dan juga menolong orang lain yang membutuhkan. Luas lahan berkorelasi positif terhadap jaringan sosial dan kepedulian, semakin luas lahan maka tingkat jaringan sosial dan kepedulian semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa modal fisik (lahan) berperan dalam modal sosial terutama dalam tingkat jaringan sosial sehingga seseorang mau berpartisipasi pada organisasi yang dianggap berperan penting dalam kehidupan keluarganya. Seseorang mau berhubungan atau berinteraksi sosial dalam rangka mengelola sumberdaya yang dimilikinya, sebab berbeda dengan bentuk modal sosial lainnya, membangun jaringan ini memang memerlukan investasi yang cukup banyak (waktu, uang, informasi dan gengsi) sampai dia dapat mengalirkan manfaat/keuntungan (Uphoff 2000).
88 Lama tinggal tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial di dalam masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. Sedangkan status sosial berkorelasi positif dengan kepercayaan, jaringan, tindakan proaktif dan kepedulian. Penelitian Setyowati (2010) menunjukkan tidak adanya hubungan antara lama tinggal dengan tingkat partisipasi masyarakat. Lain halnya dengan status sosial yang berkorelasi positif dengan kepercayaan, jaringan sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian. Masyarakat dengan status sosial tinggi biasanya mampu berinteraksi dan berelasi sosial lebih baik sehingga dapat memiliki tingkat jaringan yang lebih tinggi. Status sosial juga menunjukkan tindakan yang proaktif. Jika status adalah unsur statis maka peran adalah unsur dinamis, sehingga berlaku di mana ada status di situ ada peran atau peran selalu mengacu pada status yang dimilikinya, sehingga keduanya saling mengimplisit, artinya orang hidup dengan dasar status (Lawang 2005). Asal suku bangsa masyarakat yang bermukim di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang berpengaruh terhadap norma sosial, jaringan sosial, tindakan proaktif dan kepedulian. Suatu suku biasanya mempunyai nilai-nilai tertentu yang dianggap penting. Nilai tersebut akan menentukan pola tingkah laku dan kebiasaaan yang ada di dalam masyarakat (Hasbullah 2006). Sehingga latar belakang suku seseorang akan memberikan ciri pada pola tingkah laku seseorang tersebut di dalam masyarakat. Masyarakat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang terdiri dari beberapa suku bangsa dan pada umumnya ciri-ciri pola kultural mereka masih terlihat di dalam pergaulan sehari-hari. Sedangkan asal domisili masyarakat tidak mempunyai korelasi yang nyata dengan unsur modal sosial.
5.8
Hubungan Modal Sosial Dengan Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Dari hasil analisis korelasi peringkan spearman didapatkan bahwa modal
sosial berkorelasi nyata dengan unsur-unsur modal sosial (Tabel 51). Berdasarkan nilai korelasi maka didaptkan bahwa korelasi terbesar adalah antara modal sosial dengan tindakan yang proaktif (0,766), kepercayaan (0,745), jaringan (0,735), kepedulian (0,695) dan norma (0,195). Semakin besar nilai korelasi menunjukkan semakin tinggi tingkat hubungan atau pengaruh unsur modal sosial dengan modal sosial. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Oktadiyani (2010) yang menyatakan bahwa unsur kepercayaan, jaringan, norma,
89 tindakan proaktif dan kepedulian berpengaruh nyata terhadap modal sosial masyarakat Kutai dalam pengembangan ekowisata. Tabel 51 korelasi antara modal sosial dengan unsur-unsur modal sosial No
Karakteristik Individu
Unsur-unsur modal sosial Kepercayaan
Jaringan
Norma
Proaktif
Kepedulian
-
0,306**
-0,131
0,406**
0,367**
1
Kepercayaan
2
Jaringan
0,306**
-
0,237**
0,532**
0,677**
3
Norma
-0,131
0,237**
-
0,052
0,111
4
Proaktif
0,406**
0,532**
0,052
-
0,547**
5
Kepedulian
0,367**
0,677**
0,111
0,547**
-
6
Modal Sosial
0,745**
0,735**
0,195*
0,766**
0,695**
Keterangan **
Korelasi nyata pada taraf 0.01
*
Korelasi nyata pada taraf 0.05
5.9
Hubungan Karakteristik Individu Dengan Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR Beberapa
penelitian
yang
telah
dilakukan
menyatakan
bahwa
karakteristik individu berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap program pembangunan (Pujiastuti, 2012). Hubungan antara karakteristik individu masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dengan persepsi masyarakat dalam pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 52. Dari Tabel 52 tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan formal (X2) berkorelasi nyata dengan persepsi terhadap alokasi lahan HTR (Y2.1). artinya bahwa semakin tinggi pendidikan masyarakat semakin tinggi pula persepsi mereka terhadap alokasi lahan HTR. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi menyebabkan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat sehingga kemampuan mereka untuk memahami kondisi lingkungan sekitar juga semakin meningkat. Hal ini lebih mempermudah masyarakat untuk menerima informasi tentang program pembangunan HTR sehingga mereka akhirnya memahami tentang alokasi lahan tempat mereka sebagai calon lokasi HTR. Tingkat pendapatan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang (X4) ternyata berhubungan positif dengan persepsi mereka terhadap alokasi lahan HTR (Y2.1),
pasar hasil HTR dan kegiatan penyuluhan dan
pendampingan HTR serta berkorelasi negatif dengan
kegiatan pemanfaatan
90 HTR (Y2.3) dan persyaratan Perijinan HTR (Y2.5). Semakin tinggi pendapatan masyarakat yang diperoleh dari kawasan tersebut akan semakin meningkatkan keterkaitan mereka dengan pembangunan HTR. Sehingga mereka akan berusaha untuk dapat ikut dalam program HTR untuk menjamin pendapatan yang selama ini mereka dapatkan dari kawasan tersebut tetap akan mereka terima. Dalam hal pola pembangunan HTR dan
persyaratan HTR, semakin
rendahnya persepsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi tidak terlepas dari latar belakang mereka telah mempunyai kemapanan dalam perekonomian dengan mengusahakan komoditas non kehutanan (non kayu) sehingga dalam pembangunan HTR persepsi mereka terhadap ketentuan bahwa tanaman HTR harus didominasi dengan tanaman kehutanan (60%) kurang mereka terima. Sedangkan terkait masalah persyaratan perijinan pengalaman mereka yang telah berusaha untuk mendapatkan ijin HTR dan mengalami kesulitan dalam memperoleh persyaratan ijin tersebut menyebabkan semakin menurunnya tingkat persepsi mereka. Luas lahan masyarakat berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap alokasi lahan HTR, kegiatan sosialisai HTR dan kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan hasil
HTR. Hal ini berarti bahwa semakin luas kepemilikan lahan di dalam
kawasan maka semakin tinggi pula kesadaran masyarakat terhadap alokasi lahan HTR dilokasi tersebut juga bahwa semakin banyak pula mereka terlibat dalam kegiatan sosialisasi, penyuluhan dan pendampinga HTR. Namun semakin luas lahan kepemilikan menyebabkan mereka semakin tidak menyetujui ketentuan bahwa pengusahaan HTR hanya untuk menghasilkan kayu hal ini dikarenakan selama ini mereka menggantungkan perekonomian mereka pada hasil komoditas non kayu (karet dan padi). Status sosial masyarakat berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap alokasi lahan HTR, hak dan kewajiban pembangunan HTR, pasar komoditas hasil HTR, kegiatan sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan penyuluhan HTR serta berkorelasi negatif dengan kegiatan pemanfaatan hasil HTR. Sedangkan Asal domilisi masyarakat berkorelasi positif dengan jangka waktu dan luas pengusahaan HTR. Artinya bahwa semakin dekat asal domisili masyarakat dengan lokasi mereka semakin tinggi persepsi mereka terhadap ketentuan jangka wantu dan luas pengusahaan HTR.
91 Tabel 52 Persepsi masyarakat
Korelasi karakteristik individu dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR Karakteristik individu X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
Y2.1
0.135
0.315**
0.153
0.200*
0.128
0.249**
0.106
0.355**
0.013
0.153
Y2.2
-0.048
0.144
0.066
-0.013
0.103
0.020
-0.147
-0.109
-0.086
0.042
Y2.3
0.091
-0.135
-0.101
-0.358**
-0.065
-0.223*
-0.175
-0.203*
-0.002
-0.064
Y2.4
0.056
0.011
0.010
-0.010
0.110
-0.021
0.056
0.033
0.170
-0.158
Y2.5
0.007
0.147
0.121
-0.206*
0.150
-0.066
-0.061
-0.029
0.110
0.101
Y2.6
0.112
0.083
0.169
-0.019
0.110
0.114
-0.067
0.163
0.022
-0.030
Y2.7
-0.092
-0.004
0.134
0.001
-0.027
0.046
-0.136
-0.134
-0.034
0.231*
Y2.8
-0.074
-0.091
0.123
-0.037
-0.087
-0.059
-0.134
-0.021
0.087
-0.054
Y2.9
0.042
0.158
0.018
0.156
-0.056
0.092
0.099
0.285**
0.126
-0.019
Y2.10
0.033
0.108
0.071
0.290**
-0.076
0.137
0.135
0.188*
-0.072
-0.078
Y2.11
0.127
-0.100
0.104
-0.121
0.085
0.002
-0.011
-0.020
-0.100
-0.111
0.111
0.096
0.167
0.101
0.095
0.218*
0.044
0.307**
0.086
-0.006
0.111
0.132
0.125
0.267**
0.083
0.278**
0.088
0.231*
-0.001
0.074
Y2.12
Y2.13 keterangan ** Korelasi nyata pada taraf 0.01 * Korelasi nyata pada taraf 0.05 X1 : Umur X2 : Pendidikan formal X3 : Pendidikan non formal X4 : Tingkat pendapatan X5 : Tingkat kesehatan X6 : Luas lahan X7 : Lama tinggal X8 : Status sosial X9 : Suku X10 : Asal domisili
5.10
Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5 Y2.6 Y2.7 Y2.8 Y2.9 Y2.10 Y2.11 Y2.12 Y2.13
: Alokasi lahan HTR : Pola pembangunan HTR : Kegiatan pemanfaatan hasil HTR : Jenis tanaman HTR : Persyaratan perijinan HTR : Proses perijinan HTR : Jangka waktu dan luasan usaha HTR : Pewarisan ijin HTR : Hak dan kewajiban HTR : Pasar komoditas hasil HTR : Kelembagaan HTR : Kegiatan sosialisasi HTR : Penyuluhan dan Pendampingan HTR
Hubungan Antara Modal Sosial Masyarakat Dengan Persepsi Masyarakat Terhadap pembangunan HTR Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program pembangunan
kehutanan termasuk pembangunan HTR adalah faktor kultural masyarakat yang bermanifestasi dalam bentuk modal sosial. Selain itu penelitian tentang program pengelolaan hutan serupa yang melibatkan masyarakat menyebutkan perlunya mengetahui pandangan masyarakat terhadap program yang akan dilaksanakan terutama jika program tersebut merupakan program baru (Mehta & Kellert 1998). Penelitian Robertson dan Lawes (2005) menyimpulkan bahwa sikap dan pandangan masyarakat sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut serta dalam beberapa skema pengelolaan hutan yang ditawarkan di Afrika Selatan. Dengan demikian untuk mengetahui kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka diperlukan pandangan atau kajian terhadap
92 ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR dari perspektif masyarakat sebagai pelaku utama. Dari hasil analisis korelasi peringkat spearman diperoleh hasil bahwa modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di daerah tersebut. Hubungan antara karakteristik individu, tingkat modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang dan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di wilayah tersebut dapat dilihat dalam Tabel 53. Tabel 53
Hubungan antara karakteristik individu, modal sosial dan persepsi responden terhadap pembangunan HTR Karakteristik Modal Sosial Persepsi Individu Terhadap HTR Karakteristik Individu 0,683** 0,230* Modal Sosial
0,683**
-
0,233*
Persepsi terhadap HTR
0,230*
0,233*
-
Keterangan ** Korelasi nyata pada taraf 0.01 * Korelasi nyata pada taraf 0.05
Korelasi posistif tersebut berarti bahwa semakin tinggi karakteristik individu masyarakat maka akan semakin tinggi pula modal sosial dan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang.
Semakin tinggi modal sosial yang dimiliki masyarakat maka akan
semakin tinggi pula persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR. Hal ini sesuai dengan pendapat Putnam (1993) yang menyebutkan bahwa modal sosial sangat berkaitan dengan masyarakat sipil (civil society) sehingga modal sosial yang tinggi akan membawa dampak pada tingginya partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai bentuknya. Tingkat modal sosial masyarakat yang tinggi di kawasan tersebut merupakan modal yang berharga. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan HTR seharusnya masyarakat lebih dilibatkan untuk meningkatkan keberhasilannya. Proses pembangunan HTR yang terkesan tidak mengalami kemajuan di daerah tersebut lebih disebabkan kurangnya pengetahuan pengambil kebijakan tentang kondisi sosial budaya masyarakat di dalam kawasan tersebut. Hal ini dapat diketahui dari tidak adanya pengetahuan dan
93 informasi tentang kondisi sosial budaya masyarakat di instansi-instansi yang mengambil kebijakan dalam pembangunan HTR di wilayah tersebut. Kebijakan kawasan hijau dan kawasan putih yang diambil dalam melakukan verifikasi oleh BPPHP V diakibatkan tidak adanya pengetahuan tentang kondisi sosial budaya tersebut. Dengan alasan untuk menghindari konflik di kawasan tersebut areal yang termasuk dalam kawasan putih tidak diloloskan dalam verifikasi. Padahal dalam kenyataan di lapangan konflik kepemilikan lahan sudah tidak ada lagi. Semua lahan di kawasan tersebut sudah habis dibagi oleh masyarakat dengan batas-batas yang sudah jelas dan diakui oleh masyarakat setempat. Sebagai akibat dari kesalahan dalam pengambilan kebijakan tersebut, masyarakat yang tadinya mempunyai harapan dan keinginan ynag cukup besar untuk dapat berperan aktif dalam pembangunan HTR mengambil sikap menunggu. Mayoritas mereka masih mempunyai harapan namun tidak lagi terlibat secara aktif. Untuk saat ini masyarakat yang masih terlibat secara aktif adalah kelompok masyarakat yang secara karakteristik individu mempunyai kelebihan baik dalam hal modal manusia, modal fisik dan modal sosial. Adanya beberapa pihak yang ingin menjadi free rider dalam pelaksanaan pembangunan HTR juga telah menyebabkan terhambatnya program HTR tersebut. Di dalam kawasan tersebut terdapat ± 300 ha lahan yang masih kosong (bekas areal proyek PHPL kerjasama dengan JICA) yang dijaga ketat oleh aparat kehutanan. Kawasan tersebut diperebutkan oleh beberapa pihak yang ingin menjadi free rider dalam pembangunan HTR. Masyarakat sekitar yang berhak untuk mengelola kawasan tersebut dalam skema HTR akhirnya malah terpinggirkan. Para pembonceng yang dekat dengan instansi pengambil keputusan berhasil memaksakan kehendak dan menyebabkan usulan masyarakat untuk mengelola kawasan tersebut dalam skema pembangunan HTR terhambat. Karena status yang belum jelas dari kawasan tersebut mengakibatkan terhambatnya seluruh proses pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. 5.11
Dukungan Infrastruktur Dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR merupakan modal fisik masyarakat dalam mendukung keberhasilan pembangunan HTR disamping dukungan modal manusia dan modal sosial. Penilaian terhadap dukungan infrastruktur dalam pembangunan HTR ini tidak hanya pada ketersediaannya namun juga pada kualitas pelayanan dalam 3 tahun terakhir ( Tabel 58). Dari Tabel 54 diketahui bahwa pada umumnya sarana/prasarana pendukung masyarakat dirasakan tersedia dan pelayanan yang diberikan bertambah baik oleh masyarakat kecuali untuk sarana pelatihan, penyuluhan dan
94 bimbingan teknis serta sarana penyedia modal. Hal ini tidak terlepas dari status tempat tinggal masyarakat yang berada dalam kawasan hutan produksi sehingga permasalahan-permasalahan yang menyangkut dengan formalitas administrasi pemerintahan tidak dilayani. Kegiatan penyuluhan pertanian tidak pernah dilakukan di kawasan tersebut dan juga lembaga-lembaga penyalur kredit untuk petani juga tidak melayani mereka dikarenakan hal tersebut. Kejelasan status lahan mereka dengan adanya pembangunan HTR di daerah tersebut diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan dan pelayanan kedua prasarana tersebut. Dengan meningkatnya infrastruktur pendukung diharapkan kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat. Tabel 54 Ketersediaan dan pelayanan infrastruktur pendukung pembangunan No 1
Sarana/prasarana Produksi a lahan b bibit c pupuk d alat pertanian
2
Sarana Transportasi Pelayanan 3 tahun terakhir
3
Sarana Komunikasi Pelayanan 3 tahun terakhir
4
Sarana informasi Pelayanan 3 tahun terakhir
5
Sarana kesehatan Pelayanan 3 tahun terakhir
6
Sarana pendidikan Pelayanan 3 tahun terakhir
7
8
Sarana pelatihan, penyuluhan dan bimbingan teknis Pelayanan 3 tahun terakhir Sarana penyedia modal Pelayanan 3 tahun terakhir
Ketersediaan/ pelayanan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik 1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik 1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik 1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik 1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik 1 sulit 2 mudah
21 98 20 99 29 90 18 101 5 114 4 115 2 117 4 115 4 115 2 117 2 117 4 115 6 113 3 116 116 3
17,65 82,35 16,81 83,19 24,37 75,63 15,13 84,87 4,20 95,80 3,36 96,84 1,68 98,32 3,36 96,64 3,36 96,64 1,68 98,32 1,68 98,32 3,36 96,64 5,04 94,96 2,52 97,48 97,48 2,52
1 tidak semakin baik 2 semakin baik 1 sulit 2 mudah 1 tidak semakin baik 2 semakin baik
116 3 114 5 116 3
97,48 2,52 95,80 4,20 97,48 2,52
95 5.12
Strategi Pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Pembangunan HTR merupakan
program pembangunan di bidang
kehutanan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar hutan untuk ikut mengelola kawasan hutan. Program ini diluncurkan sebagai salah satu bentuk implementasi dari kebijakan nasional dalam pembangunan yaitu pro poor, pro job dan pro growth yang dicanangkan oleh pemerintah. Untuk
mempercepat
proses
pembangunan
HTR
ini
pemerintah
mendelegasikan pemberian ijin kepada bupati (pemerintah daerah) dengan tujuan untuk lebih mendekatkan dan mempercepat pelayanan perijinan HTR kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya realisasi pembangunan HTR tidak sesuai dengan target pemerintah bahkan sangat jauh dari target tersebut. Proses pembangunan HTR di kabupaten OKI sudah dimulai sejak tahun 2009 dengan ditunjuknya Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagai areal pencadangan untuk pembangunan HTR. Penunjukan ini dilatarbelakangi oleh usulan dari Bupati OKI. Usulan Bupati OKI untuk membangun HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang tidak terlepas dari kondisi kawasan yang sudah sejak tahun 1997 dirambah dan digarap oleh masyarakat sekitar. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan perambahan dan juga untuk memberikan manfaat sosial lebih luas maka bupati OKI mengusulkan untuk pembangunan HTR di daerah tersebut. Namun sejak dicadangkan dari tahun 2009 sampai dengan saat ini baru terdapat satu ijin HTR yang dikeluarkan oleh bupati OKI yaitu atas nama Koperasi karyawan Inhutani (Kopkarinhut) V seluas 301 ha. Pengelolaan hutan termasuk di dalamnya pembangunan hutan tanaman rakyat membutuhkan keputusan yang berdasarkan pada pengetahuan tentang hutan dan nilai manusia yang dapat dijabarkan melalui perencanaan hutan baik secara formal maupun informal. Perencanaan pengelolaan hutan meliputi perpaduan sistem ekologi, ekonomi dan sosial yang masing-masing bersifat kompleks. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan nilai-nilai ekologi, ekonomi dan sosial sehingga mampu memberikan kelestarian hasil dengan ciri utama adanya kewajiban bagi pemilik lahan dan masyarakat membuat komitmen jangka panjang untuk mengelola hutannya bagi generasi mendatang (Davis et al 2001). Untuk meningkatkan keberhasilan dalam pembangunan hutan tanaman rakyat di kabupaten OKI maka diperlukan strategi pembangunan HTR yang tidak hanya berdasarkan pada sumberdaya alam, sumberdaya fisik dan sumberdaya manusia saja, tetapi membutuhkan penguatan modal sosial masyarakat sasaran
96 program
pembangunan.
Strategi
pembangunan
hutan
tanaman
rakyat
seharusnya melibatkan unsur-unsur sosial, ekonomi dan budaya setempat, sehingga tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah dan dapat berkelanjutan sehingga akan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitar serta menjadi stimulus bagi perkembangan ekonomi yang lebih luas di daerah tersebut. Perumusan strategi pembangunan HTR di kabupaten OKI menggunakan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau analisis SWOT. Perumusan strategi pembangunan/pengelolaan hutan skala kecil dengan menggunakan analisi SWOT ini sudah dilakukan pada pembangunan hutan rakyat di Tana Toraja (Patabang et al 2008) dan di Sub DAS Cisedane Hulu (Rinawati 2012). Untuk pemilihan strategi pembangunan HTR digunakan analisis matrik perencanaan strategis kuantitatif (QSPM). Analisis SWOT dan QSPM ini dilaksanakan melalui 3 tahapan yaitu pengumpulan data, analisis dan pengambilan keputusan. 5.12.1 Faktor SWOT Dari hasil pengumpalan data dan wawancara terhadap stakeholders dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembangunan
HTR
tersebut.
Faktor-faktor
tersebut
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal Pembangunan HTR sangat dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam masyarakat berupa kekutan dan kelemahan. Faktor internal tersebut dievaluasi untuk menentukan faktor apa saja yang paling berpengaruh dalam pembangunan HTR di wilayah tersebut. a Kekuatan 1. Masyarakat memiliki karakteristik individu yang cukup baik dalam hal umur produktif, tingkan kesehatan dan tingkat penghasilan. Karakteristik individu ini merupakan modal manusia yang baik untuk pembangunan HTR. 2. Kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi pada tokoh masyarakat, agama dan aparat pemerintahan. 3. Kepercayaan masyarakat yang masih cukup baik terhadap instansi kehutanan 4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik
97 5. Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi 6. Tingkat proaktif masyarakat yang cukup tinggi 7. Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup tinggi 8. Persepsi
masyarakat
terhadap
sebagian
besar
ketentuan
dalam
perijianan pembangunan HTR yang cukup baik 9. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka yang tinggi b
Kelemahan 1. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah 2. Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar 3. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfaatan hasil HTR dan proses peijinan HTR 4. Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat 5. Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat 6. Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR Matrik evaluasi faktor internal atau internal factor evaluation (IFE) dapat
dilihat pada Tabel 55 Dari Tabel 55 diketahui bahwa peubah pada faktor kekuatan yang mempunyai nilai pengaruh yang sangat besar adalah kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintahan dan cukup baik pada instansi kehutanan (0,310). Kepercayaan masyarakat yang tinggi ini menjadi pertanda yang positif karena masyarakat yang kuat hanya dapat dicapai oleh komunitas yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Suharto 2007). Kepercayaan ini menjadi modal yang penting karena akan meningkatkan berbagai tindakan kolektif di dalam masyarakat untuk kemajuan bersama (Hasbullah 2006). Sedangkan nilai pengaruh yang terkecil adalah tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik (0,150). Tingkat kepedulian masyarakat dalam pembangunan HTR dinilai tidak memberikan pengaruh yang cukup banyak dalam keberhasilan pembangunan HTR.
98 Tabel 55 Matrik IFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI No A 1 2
3 4 5 6 7 8
Faktor Internal
Rata-rata bobot
Rata-rata rating
Nilai Pengaruh
0,080
3,600
0,288
0,086
3,600
0,310
0,080
3,600
0,288
Kepatuhan masyarakat terhadap normanorma yang berlaku dalam masyarakat tinggi Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi
0,056
3,800
0,213
0,052
3,000
0,156
Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR yang cukup baik
0,050
3,000
0,150
0,082
3,200
0,262
0,082
3,600
0,292
Kekuatan Karakteristik individu yang cukup baik (usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan dan cukup baik pada instansi kehutanan Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik
Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka yang tinggi Total
B
Kelemahan
1
Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar
2 3
4
Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses perijinan HTR Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat
0,568
1,962
0,074
2,600
0,192
0,060
2,600
0,156
0,050
2,600
0,130
0,104
2,800
0,291
5
Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat
0,056
2,600
0,146
6
Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR
0,088
2,400
0,211
Total Kecenderungan terhadap faktor internal
0,432
1,126
1,000
0,836
Faktor kelemahan yang mempunyai nilai pengaruh yang paling besar adalah kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat (0.291). Kelembagaan dalam pembangunan HTR merupakan sebuah prasyarat yang penting dalam keberhasilan pembagunan HTR (Noordwijk et al. 2007). Permasalahan-permasalahan yang sering dijumpai
99 dalam pembangunan kehutanan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kurang
memadainya
kelembagaan
dalam
pembangunan
kehutanan
(Kartodihardjo 2007). Sedangkan nilai terendah untuk faktor kelemahan adalah pada persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses perijinan HTR (0.130). Rendahnya persepsi masyarakat ini dikarenakan akumulasi dari pengalaman mereka dalam memanfaatkan lahan dan mengikuti kegiatan yang terkait dengan perijinan HTR. Persepsi ini dapat ditingkatkan apabila masyarakat diberikan pengetahuan dan pengalaman untuk mengelola lahan mereka dengan tanaman budidaya kehutanan serta instansi kehutanan terkait dengan perijinan HTR ini memperbaiki kinerja mereka dalam memproses usulan perijinan HTR dengan mengedepankan dialog dan keterbukaan.
Faktor Eksternal Faktor
eksternal
adalah
faktor-faktor
yang
berpengaruh
dalam
pembangunan HTR di kabupaten OKI yang berasal dari luar terdiri dari peluang dan ancaman. Evaluasi terhadap faktor eksternal juga dilakukan oleh stakeholders seperti pada evaluasi faktor internal. a
Peluang 1. Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait 2. Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 3. Adanya
kegiatan
pendampingan
untuk
meningkatkan
kapasitas
kelembagaan dan teknis masyarakat terkait dengan pembangunan HTR 4. Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi. b
Ancaman 1. Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI 2. Kebijakan verifikasi yang membagi areal kawasan hijau dan kawasan putih 3. Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai 4. Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan masyarakat 5. Belum jelasnya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR 6. Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak 7. Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR
100 8. Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR 9. Matrik evaluasi faktor eksternal atau external factor evaluation (EFE) dapat dilihat pada Tabel 56. Tabel 56 Matrik EFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI No
Faktor Internal
Rata-rata bobot
Rata-rata rating
Nilai Pengaruh
A 1
Peluang Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait
0,114
3,600
0,410
2
Dukungan dari aparat pemerintahan lokal
0,110
3,600
0,396
3
Adanya kegiatan pendampingan
0,100
2,600
0,260
4
Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) membaik Total
0,068
2,800
0,190
B
Kelemahan
1
Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI Kebijakan verifikasi yang membagi areal kawasan hijau dan kawasan putih
2
0,392
1,256
0,086
3,400
0,292
0,086
2,800
0,241
3
Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai
0,054
1,800
0,097
4
Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan masyarakat
0,102
1,600
0,163
5
Belum adanya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR
0,056
2,000
0,112
6
Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR
0,056
2,400
0,134
0,072
2,000
0,144
Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR
0,096
3,000
0,288
Total
0,608
1,472
Kecenderungan terhadap faktor internal
1,000
-0,215
7 8
Dari Tabel 56 diketahui bahwa faktor peluang dengan nilai pengaruh terbesar adalah dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait (0,410). Dukungan kebijakan pembangunan HTR dari instansi terkait ini merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan HTR karena adanya dukungan dan bantuan tersebut dapat membantu menutupi kekurangmampuan masyarakat dalam beberapa aspek
101 terkait dengan pembangunan HTR di wilayah tersebut. Sedangkan nilai pengaruh terendah ada pada faktor harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi (0,190). Faktor ancaman dengan nilai pengaruh paling tinggi adalah Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI (0,292). Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini yang menyebabkan terhambatnya proses perijinan. Masyarakat dan aparat pemerintah lokal melihat bahwa free rider yang ingin menumpang dalam pembangunan HTR berasal dari BPPHP V dan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI sehingga aparat pemerintah lokal cenderung berhati-hati dalam mengeluarkan rekomendasi untuk perijinan. Sedangkan Dinas Kehutanan Kabupaten memandang bahwa free rider ini berasal dari masyarakat dan BPPHP V sehingga mereka membentuk tim konsolidasi di dalam kawasan HTR tersebut untuk mengkondisikan masyarakat dalam proses perijinan HTR. Sedangkan BPPHP V melihat bahwa free rider ini berasal dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dan masyarakat sehingga mereka membuat kebijakan verifikasi dengan membagikan areal dalam kawasan hijau dan kawasan putih. Sebagai akibat dari berbagai tindakan tersebut, proses perijinan HTR di kabupaten OKI tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan faktor ancaman dengan nilai pengaruh terkecil adalah jumlah dan kemampuan pendamping yang belum memadai (0,097). Peran pendamping dalam pembangunan HTR sangat strategis. Pendamping merupakan pihak yang bertugas untuk membakeli masyarakat dalam hal pengetahuan teknis dan pemberdayaan kelembagaan pembangunan HTR. 5.12.2 Tahapan Analisis Tahapan analisis dilakukan dengan memadukan faktor internal dan faktor eksternal dalam dengan menggunakan matrik SWOT. Dari matrik SWOT yang dihasilkan pada tahapan analisis ini (Tabel 60) dihasilkan Sembilan alternatif strategi pembangunan HTR yang merupakan perpaduan unsur kekuatan dan peluang, Kekuatan dan ancaman, kelemahan dan peluang serta kelemahan dan ancaman. Strategi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI tersebut adalah: a Strategi S – O (strength – opportunity/kekuatan – ancaman) Strategi S – O merupakan strategi agresif yang memanfaatkan kekuatan untuk menggunakan semua peluang yang ada sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Strategi S – O tersebut adalah : 1.
Mengaktifkan
dan
mengefektifkan
mendukung pembangunan HTR.
lembaga
non
formal
dalam
ikut
102 2.
Membangun komunikasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan HTR.
b Strategi W – O (weakness – opportunity/kelemahan – ancaman) Strategi W – O merupakan strategi konservatif yang menggunakan peluang yang ada untuk mengatasi kelemahan. Alternatif strategi W – O tersebut adalah: 1.
Pemberdayaan petani dalam bidang iptek, kelembagaan, dan pemasaran sesuai karekteristik sosial budaya setempat.
2.
Peningkatan akses petani terhadap informasi, lembaga permodalan, pendidikan dan penyuluhan serta pasar hasil hutan.
c Strategi S – T (strength – threat/kekuatan – ancaman) Strategi S –T adalah strategi kompetitif yang memanfaatkan faktor kekuatan internal untuk mengurangi ancaman eksternal. Alternatif strategi S – T tersebut adalah: 1.
Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR dalam kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR.
2.
Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders solusi
dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari
permasalahan
pembangunan
HTR,
pengembangan
peluang
kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR. 3.
Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan
persyaratan dan proses
perijinan serta verifikasi HTR d Strategi W – T (weakness – threat/kelemahan – ancaman) Strategi W – T adalah strategi defensif yang berusaha meminimalkan kelemahan untuk mengatasi ancaman eksternal. Alternatif strategi W – T tersebut adalah: 1. Perlu campur tangan pemerintah dan mitra strategis dalam meningkatkan kapabilitas petani. 2. Membuka
dialog
antara
masyarakat,
LSM
dan
pemerintah
dalam
pembangunan HTR. Strategi
pembangunan
HTR
di
Kabupaten
OKI
terpilih
yang
memungkinkan untuk diimplementasikan adalah hasil pertemuan sumbu x (faktor internal) dan sumbu y (faktor eksternal). Berdasarkan selisih jumlah nilai pengaruh unsur internal yaitu antara kekuatan dan kelemahan (1,962 - 1,126 = 0,836) dan selisih total nilai pengaruh unsur eksternal yaitu peluang dan ancaman (1,257 – 1,472 = -0,215). Sehingga kedudukan pembangunan HTR di Kabupaten OKI berada pada sel atau kuadran II yaitu pada titik 0,836;-0,215 (Gambar 5).
103 Posisi ini mendukung strategi kompetitif (S – T) yang didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan internal (strength) pada komunitas untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal (threats). Strategi kompetitif yang dilakukan antara lain berupa integrasi horizontal serta melakukan pengembangan produk melalui diversifikasi baik produk ataupun pasar (David 2009).
Strategi
alternatif
pembangunan
HTR
di
Kabupaten
OKI
yang
memungkinkan untuk diimplementasikan berdasarkan posisi pada kuadran II adalah: 1.
Peningkatan
kapasitas
petani
dan
pendamping
HTR
dalam
hal
kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR. 2.
Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders solusi
dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari
permasalahan
pembangunan
HTR,
pengembangan
peluang
kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR. 3.
Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan
persyaratan dan proses
perijinan serta verifikasi HTR Opportunities (O) 0.6 Kuadran III Merubah Strategi
Kuadran I Strategi Agreasif
0.4 0.2 -6E-16
Weakness (W) -1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2 1E-16
Strength (S) 0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.2 0.836, -0.215 Kuadran IV Strategi Defensif
-0.4
Kuadran II Strategi Kompetitif
-0.6
Threat (T) Gambar 5 Kedudukan strategi pembangunan HTR di Kabupaten OKI berdasarkan analisis SWOT
104 Tabel 57 Matrik SWOT Pembangunan HTR di Kabupaten OKI Internal
Kekuatan (S) 1. Karakteristik individu yang cukup baik (usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) 2. Kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi pada tokoh masyarakat, agama dan aparat pemerintahan. 3. Kepercayaan masyarakat yang masih cukup baik terhadap instansi kehutanan 4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik 5. Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi 6. Tingkat proaktif masyarakat yang cukup tinggi 7. Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup tinggi 8. Persepsi masyarakat terhadap sebagian besar ketentuan dalam perijianan pembangunan HTR yang cukup baik 9. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas atas lahan mereka yang tinggi
Kelemahan (W) 1. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah 2. Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar 3. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfaatan hasil HTR dan proses peijinan HTR 4. Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat 5. Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat 6. Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR
Peluang (O) 1. Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terkait 2. Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 3. Adanya kegiatan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan teknis masyarakat terkait dengan pembangunan HTR 4. Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) yang semakin tinggi Ancaman (T) 1. Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI 2. Kebijakan verifikasi yang membagi areal kawasan hijau dan kawasan putih 3. Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai 4. Persyaratan perijinan HTR yang masih menyulitkan mayarakat 5. Belum jelasnya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR 6. Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak 7. Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR 8. Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR
Strategi S-O 1. Mengaktifkan dan mengefektifkan lembaga non formal dalam ikut mendukung pembangunan HTR (S2, S3, S4, S5 S6,S7,S8, O1,O2,O3) 2. Membangun komunikasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan HTR (S1,S2,S3,S4,S5, S6, S7, S8,S9, O1,O2,O3,O4)
Strategi W-O 1. Pemberdayaan petani dalam bidang iptek, kelembagaan, dan pemasaran sesuai karekteristik sosial budaya setempat. (W1,W3,W4,W6,O1,O2,O3) 2. Peningkatan akses petani terhadap informasi, lembaga permodalan, pendidikan dan penyuluhan serta pasar hasil hutan (W1, W2, W3,W4,W,W6, O1,O2,O3,O4)
Strategi S-T 1. Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR dalam kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR(S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T3, T4, T5, T6) 2. Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR (S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T1, T2, T4, T5, T6, T7, T8) 3. Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR (S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, S8, S9, T2, T3, T4)
Strategi W-T 1. Perlu campur tangan pemerintah dan mitra strategis dalam meningkatkan kapabilitas petani (W1, W2, W4,W5,W6.T4, T5, T6,) 2. Membuka dialog antara masyarakat, LSM dan pemerintah dalam pembangunan HTR (W2, W3, W6, T1, T2, T4, T6, T7, T8)
Eksternal
105 5.12.2 Tahap Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan terhadap alternatif strategi kebijakan dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI menggunakan matriks QSPM (David 2009). Pengambilan keputusan dengan menggunanakan matriks QSPM menggunakan skor ketertarikan atau attractiveness score (AS) dari stake holders terhadap alternatif strategi kebijakan yang diperoleh dengan menggunakan analisis SWOT. Stake holders yang dilibatkan dalam QSPM ini adalah tokoh masyarakat, aparat pemerintahan lokal, Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, BPPHP Wilayah V dan Pendamping HTR. Dari hasil penilaian AS pada alternatif strategi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini dapat dilihat dalam Tabel 58. Tabel 58 Rekapitulasi matriks QSPM pada pembangunan HTR di Kabupaten OKI Faktor Strategis Faktor strategi internal Kekuatan Kelemahan Total Faktor strategi eksternal Peluang Ancaman Total Total skor ketertarikan Strategi terpilih
Strategi I AS
TAS
Skor Ketertarikan Strategi II AS TAS
0,568 0,432 1,000
3,175 3,033 6,208
1,803 1,310 3,113
3,355 3,167 6,522
1,903 1,368 3,271
2,775 3,000 5,775
1,576 1,296 2,872
0,392 0,608 1,000
2,400 2,325 4,725
0,941 1,414 2,355 5,468 III
2,950 2,850 6,400
1,156 1,733 2,889 6,160 I
2,600 2,875 5,475
1,019 1,748 2,767 5,639 II
bobot
Strategi III AS TAS
Dari matriks QSPM seperti terlihat pada Tabel 62, strategi alternatif yang terpilih adalah strategi II yaitu membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR dengan nilai TAS 6,160 lebih baik dari strategi Memfasilitasi masyarakat dalam pemenuhan persyaratan dan proses perijinan serta verifikasi HTR dengan nilai TAS 5,639 dan strategi Peningkatan kapasitas petani dan pendamping HTR dalam hal kelembagaan, pengetahuan teknis kehutanan dan pemasaran dalam pembangunan HTR dengan nilai TAS 5,465. Pembentukan forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini dipilih sebagai alternatif strategi dengan nilai TAS tertinggi oleh tokoh
106 masyarakat, aparat pemerintahan desa dan Dinas Kehutanan kabupaten OKI (gambar 6). Pembentukan forum multi stakeholders dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini diharapkan mampu menjadi sarana bagi bertemunya dan berdialogya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam pembangunan HTR. Sehingga isu-isu seperti adanya free rider, keterbukaan proses perijinan, kesulitan persyaratan, peluang pemasaran, keterbatasan kapasitas masyarakat, masalah pendanaan dan lain-lain dapat dibicarakan dan dicarikan jalan keluar dalam forum tersebut. 8 7 6 5 4 3
Alternatif kebijakan I
2
Alternatif kebijakan II
1
Alternatif kebijakan III
0
Gambar 6 Perbandingan nilai TAS stakeholders terhadap alaternatif kebijakan dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI Alternatif kebijakan yang lain dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI (penguatan kapasistas masyarakat dan fasilitasi masyarakat) juga perlu dilaksanakan apalagi beberapa instansi pemerintah untuk melaksakan kegiatan tersebut. Namun
sudah menganggarkan
pelaksanaan dari kebijakan
tersebut akan kurang maksimal apabila masih terdapat isu-isu keterbukaan dan free rider yang belum dicarikan jalan keluar. Dan yang lebih penting adalah dukungan dari masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan tersebut karena tanpa dukungan dari masyarakat maka hasil dari kebijakan tersebut akan kurang maksimal. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan adalah collective action yang tinggi (Kartodihardjo 2006). Karena alasan tersebut maka pembentukan forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ini menjadi penting untuk segera diwujudkan guna menunjang keberhasilan pembangunan HTR di Kabupaten OKI.
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Karakteristik individu yang dapat diidentifikas dari masyarakat di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kabupaten OKI adalah Umur, pendidikan formal dan non formal, pendapatan, tingkat kesehatan, luas lahan, lama tinggal, status sosial, suku bangsa dan asal domisili dengan tingkat karakteristik individu pada kategori sedang. Unsur modal sosial yang dapat diidentifikasi dari masyarakat adalah kepercayaan, jaringan, norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian dengan tingkat modal sosial masyarakat pada kategori tinggi/sangat kuat. Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR secara umum berada dalam kategori sedang kecuali persepsi pada pemanfatan HTR, proses perijinan HTR, Jenis tanaman HTR, Pewarisan ijin HTR dan Kegiatan sosialisasi HTR yang berada pada kategori rendah. Karakteristik individu yang berhubungan nyata dengan unsur modal sosial adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan, tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, status sosial dan suku bangsa. Unsur-unsur modal sosial yang berhubungan dengan modal sosial adalah kepercayaan, jaringan, norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian. Karakteristik individu yang berkorelasi dengan persepsi masyarakat adalah tingkat pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas lahan status sosial dan suku bangsa. Karakteristik individu dan modal sosial juga berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di Kabupaten OKI. Strategi alternatif yang terpilih dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI adalah Membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR. 6.2
Saran Saran yang dapat disampaikan dalam upaya pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang adalah: (1) Mempertimbangkan faktorfaktor sosial budaya dalam bentuk modal sosial masyarakat dalam proses pembangunan HTR. (2) Modal sosial masyarakat cenderung bersifat mengikat sehingga perlu usaha dari pemerintah agar masyarakat dapat lebih mempercayai pihak-pihak dari luar kawasan. (3) Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat dan agama dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan pembangunan HTR. (4) Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih komprehensif dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI perlu kajian tentang modal manusia, modal fisik dan modal finansial dalam pembangunan HTR.
109
DAFTAR PUSTAKA
Ancok D. 2003. Modal Sosial dan Kualitas Manusia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada pada tanggal 3 Mei 2003 di Jogjakarta. Jogjakartta: Universitas Gadjah Mada. Anonim. 2003. Millenium Development Goals (MDGs): In Asia and the Facific. Meeting the Chalenger of Poverty Reduction. New York: United Nations. Ariwibowo. 2007. Modal Sosial dalam pengembangan Masyarakat. Di Dalam Sugeng B dan Susantyo B, Editor. Bunga Rampai Modal Sosial dalam Pembangunan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Hlm 33-63 Asngari P. 1984. Persepsi Direktur Penyuluh di Tingkat Karesidenan dan Kepala Penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Negara Bagian Texas Amerika Serikat, Jurnal Media Peternakan IPB, vol. 9 no. 2. Awang
SA. 2003. Kehutanan Sosial Berbasis Reforma Agraria. http://sanafriawang .staff.ugm.ac.id/kehutanan-sosial-berbasis-reformaagraria.html (21 April 2011)
Bourdieu P. The Form of Capital. 1986 Di dalam JG Richardson, editor. Handbook of Theory and Researcc for Sociology of Education. New York: Greenwood Press. Hlm 46-58 Chartrand TL, Bargh JA. 1999. The Chameleon Effect: The Perception-Behavior Link and Social Interaction. Journal of Personality and Social Psychology 76(6):893-910. Coleman JS. 1998. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American Journal Sociology 94:S95-S120 Darusman D. 2002. Pembenahan kehutanan Indonesia. Bogor: Ekonomi dan sosial kehutanan Fak. Kehutanan, IPB.
Lab.Politik,
David FR. 2002. Manajemen Strategis. Sindoro A, Penerjemah. Jakarta: PT Prehalindo. Terjemahan dari: Strategic Management: Concepts and Cases. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic and Social Value. Fourth Edition. New York: Published by McGraw-Hill [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia: Forestry Statistic of Indonesia 2008. Jakarta: Dephut.
110 [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan nomor:P.55/Menhutt-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil hutan Kayu Dalam Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan tanaman. Jakarta: Dephut. [Dishut Kab. OKI] Dinas Kehutanan Kabupaten OKI. 2009. Kronologis HPHTI Karet Menjadi HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kabupaten Ogan Komering Ilir. Kayu Agung. Dishut Kab. OKI. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Peraturan Direktur Jenderal Bina produksi Kehutanan nomor : P.06/VI-BPTH/2007 tentang Petunjuk teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta. Ditjen BPK [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2008. Peraturan Direktur Jenderal Bina produksi Kehutanan nomor : P.06/VI-BPTH/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina produksi Kehutanan nomor : P.06/VI-BPTH/2007 Petunjuk teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta. Ditjen BPK. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Daftar Realisasi Pencadangan HTR dan IUPHHK HTR. Jakarta: Ditjen BPK. Echols JM, Shadily H. 1989. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan XVII. Jakarta: Gramedia. Emilia, Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat Agenda Baru Untuk Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Warta Tenure Vol 4(2007): 14-19 Flassy DJ, Rais S, Supriono A. 2009. Modal sosial: Unsur-unsur Pembentuk. Jakarta:Bappenas.http://images.dancesorsel.multiply.multiplycontent.co m/attachment/0/S3J-AooCGsAABXRR6k1/Sosial%20Capital,%20UnsurUnsur%20 Pembentuknya.pdf?nmid=316741032. [14 Maret 2011] Frank T, Heres J. 2004. Social Capital Communicating. Socquit and results from EURESCOM’S P903 study. E-Living Results Conferences RWI essen, 20-21 January, 2004. Flores M, Fernando. 2003. Social Capital and Poverty Lessons from Case Studies in Mexico and Central America. ESA Working Paper No. 03-12. Vol 25, Number 1. Agricultural and Development Economics Division, The Food and Agricultural Organization of the United Nations. Fukuyama F. 2001. Social capital, civil society and development. Third World Quarterly, Vol 22, No 1:7– 20. Fukuyama F. 2007. Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Ruslani, penerjemah. Cetakan kedua. Jakarta: Penerbit Qalam. Terjemahan dari: Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.
111 Grice HP. 1961. The Causal Theory of Perception. Proceedings of the Aristotelian Society Supp. vol. xxxv. 1961. pp. 121-53. Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Well-being and Poverty in Indonesia. Working Paper No. 6. Washington: The World Bank, Social Development Departement. DC 20433, USA. Grootaert C, Narayan D, Veronica N J, dan Woolcock M. 2004. Measuring Social Capital: An Integrated Questionaire. Washington: The Wold Bank.
Haddad L, Maluccio J. 2000. Social Capital and Household Well-being in South Africa: Patways of Influnce. Prepered for presentation at the Study of African Economies. Washington: International Food policy Research Institute. DC 20006 USA. Hakim I. 2009. Kajian Kelembagaan dan Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 1 : 27 – 41. Hasbullah J. 2006. Social capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Cetakan Pertama. Jakarta. MR-United Press. Hauberer J. 2010. Social Capital theory towards a Methodological Faundation. Heidelberg: VS Verlag für Sozialwissenschaften, Springer Fachmedien Wiesbaden GmbH. Hobbs G. 2000. What is Social Capital? A Brief Literature Overview. Economic and Social Research Foundation. Hufman K., Vernoy M. dan Williams B. 1987. Psychology in Action. Singapore: John Wiley & Son, Inc. Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Cetakan kedua. Departemen Ilmu Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Kartodihardjo H. 2006a. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan. Bogor: Ideals. Kartodihardjo H. 2006b. Politik Lingkungan dan Kekuasaan. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia. Krech BD, Crutchfield RS, Ballachey AE. 1962. Individual in Society: a Textbook of Social Psychology. New York: Mc Graw-Hill Kogakusha, Ltd. Krishna A, Shrader E. 1999. Social capital Asessment Tools. Makalah pada Conference on Soccial Capital and Poverty Reduction. Washington DC. June 22-24, 1999. The World Bank. Lawang, Rober MZ. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI PRESS. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
112 Lindsay P, Norman DA. 1977. Human Information Processing: An Introduction to Psychology. Lenggono PS. 2004. Modal Sosial dalam pengelolaan Tambak (studi kasus pada kamunitas petambak di desa Muara Pantuan Kecamatan Angggana Kabupaten Kutai Kertanegara)[tesis]. Bogor: Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mehta JN, Kellert SR. 1998. Local Attitudes Toward Community-Based Conservation Policy and Programmes in Nepal: A Case Study in the Makalu-Barun Conservation Area. Environmental Conservation 25(4):320–333. Narayan D, Cassidy M F. 2001. A Dimensional Approach to Measuring Social Capital: Development and Validation of a Social Capital Inventory. Vol. 49(2): 59-102 SAGE Publication, London. Nazir M. 2009. Metode Penelitian. Cetakan ke-7. Bogor: Ghalia Indonesia. Noordwijk M V, Suyanto S, Budidarsono S, Sakuntaladewi N, James M. Roshetko, Hesti, Galudra TG, Fay C. 2007. Is Hutan Tanaman Rakyat a new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Bogor: ICRAF Working Paper Number 45. ICRAF Southeast Asia. Obidzinski K, Dermawan A. 2010. Small Holder Timber Plantation in Indonnesia: What is Preventing Progress? International Forestry Review Vol.12(4): 339 – 348. Oktadiyani P. 2010. Modal sosial masyarakat kawasan penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) dalam pengembangan ekowisata [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Patabang M, Wijayanto N, Hardjanto. 2008. Strategi pembangunan hutan rakyat pinus di Tana Toraja. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 3:97 – 103. Pujiastuti, E. 2012. Persepsi dan Partisipasi masyarakat Dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjanan, Institut Pertanian Bogor. Putnam RD. 1993. The prosperous community social capital and public life. The American Prospect 4:1-11. Ramli. 2007. Institusi Lokal Sebagai Modal Sosial. Di Dalam Sugeng B dan Susantyo B, Editor. Bunga Rampai Modal Sosial dalam Pembangunan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Hlm 81-102. Rangkuti F. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Rinawati R. 2012. Modal Sosial Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan Rakyat di Sub DAS Cisedane Hulu (Studi Kasus di Area Model DAS Mikro Sub DAS Cisedane Hulu). [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
113
Robertson J, Lawes MJ. 2005. User Perceptions of Conservation and Participatory Management of Igxalingenwa Forest, South Africa. Environmental Conservation 32(1):64–75. Roslinda E. 2008. Hutan kemasyarakatan. Bandung: ALFABETA. Rudito B, Famiola M. 2008. Social mapping, Metode Pemetaan Sosial: Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Bandung: Rekayasa Sains. Sadli S. 1976. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia. Saefudin. 1998. Sikap Manusia. Yogyakarta. Liberty. Sarwono. 2003. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sattar AL. 1985. Persepsi Masyarakat Pedesaan terhadap Usaha Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan di DAS Bila Walanae Sulawesi Selatan. [tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana KPK IPB-UNHAS Sidu D. 2006. Pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan hiutan lindung Jompi Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Siswiyanti Y. 2006. Hubungan karakteristik anggota masyarakat sekitar hutan dan beberapa faktor pendukung dengan partisipasinya dalam pelestarian hutan di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung Panjang Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suandi. 2007. Modal Sosial dann Kesejahteraan ekonomi keluarga di Pedesaan Jambi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertaniian bogor. Stone W dan Hughes J. 2002. Social Capital: Emperical Meaning and Measurement Validity. Australia: Australian Institute of Family Studies, Working Paper No. 27. ISSN 1446-9863. 278. Stone W, Gray M, Hughes J. 2003. Social Capital at Work: How Family, friends and civic ties relate to labour market outcomes. Australia: Australian Institute of Family Studies, Working Paper No. 31. Suharto E. 2007. Modal Sosial dalam Kebijakan Publik. Di Dalam Sugeng B dan Susantyo B, Editor. Bunga Rampai Modal Sosial dalam Pembangunan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Hlm 1 – 14. Susiatik T. 1998. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Terpadu (PMDHT) di Desa Mojokerto Kecamatan Wirosari Kabupaten Dati II Grobogan Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
114
Swanky OH. 2006. The Self-Perception Theory Versus A Dynamic Learning Model. Tinbergen Institute Discussion Paper TI 2006-092/1. Erasmus University Rotterdam and Tinbergen Institute. Tau LM. 2003. Investing in Social Capital to Stimulate Economic Growth and Grade in Africa. paper presennted in the Biennial Conference of the Economic Society of South Africa, 17-19 September 2003. Somerset west, Western Cape.
117
LAMPIRAN
118
117
Lampiran 1 pokok penelitian, jenis data, sumberdata dan metode pengumpulan data No .
Pokok Penelitian
Jenis Data
1
Kondisi Umum • Keadaan geografis, iklim dsb. • Data Monografi dsb.
2
Karakteristik a. Karakteristik sosial ekonomi sosial ekonomi komunits dan budaya • Kependudukan masyarakat/ • Aksesibilitas komunitas • Pendapatan • Lapangan pekerjaan • Ketersediaan sarana produksi • Ketersediaan sarana ekonomi • Penerangan • Air minum • Budaya dan adat istiadat setempat b. Isu lingkungan c. Unsur modal sosial komunitas • Kepercayaan • Jaringan sosial/kerja • Norma • Tindakan proaktif • Kepedulian terhadap sesama d. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat e. Partisipasi dalam pembangunan Hutan Tanaman rakyat
3
Karakteristik Individu petani
4
Unsur sosial
Modal
• • • • • • • • • • • • • • •
Umur Pendidikan formal Pendidikan non-formal Pendapatan Kondisi kesehatan Luas lahan Lama tinggal Status sosial Suku Asal Kepercayaan Jaringan sosial Norma-norma sosial Tindakan yang proaktif Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan
Sumber Data
Pemerintah daerah, Dinas terkait, BPPHP Wilayah V, BPKH Wilayah II, Badan penyuluh, LSM Pemerintah daerah, tokoh masyarakat/adat / agama, kelompokkelompok pada komunitas dan instansi/lembaga terkait.
Metode Pengumpuilan Data Studi pustaka dan wawancara
Studi pustaka, wawancara dan observasi
Responden rumah tangga
survey rumah tangga dengan dafar pertanyaan terstruktur
Responden rumah tangga
survey rumah tangga dengan dafar pertanyaan terstruktur
118
No . 5.
Lanjutan Pokok Penelitian
Jenis Data • • • • • • •
Persepsi terhadap pembangunan HTR
• • • • • • • 5
Dukungan infrastrukltur
• • • • • • • •
6
Alokasi lahan Pola pembangunan HTR Pemanfaatan hasil HTR Jenis tanaman Persyaratan Perijinan Proses perijinan Jangka waktu dan luas pengusahaan Pewarisan ijin Hak dan kewajiban Pasar Kelembagaan Sosialisasi Tenaga pendamping Dukungan Ketersediaan sarana produksi HTR Ketersediaan sarana transportasi Ketersediaan sarana komunikasi Ketersediaan sarana informasi Ketersediaan sarana kesehatan Ketersediaan sarana pendidikan Ketersediaan sarana pelatihan, penyuluhan, pendampingan dan bimbingan teknis HTR Ketersediaan sarana penyedia modal HTR
Kondisi • Kebijakan pembangunan HTR pembangunan HTR • Dukungan pembangunan dari pihak-pihak terkait
Sumber Data
HTR
Responden rumah tangga, aparat pemerintahan, LSM
Metode Pengumpulan Data survey rumah tangga dengan dafar pertanyaan terstruktur
Responden rumah tangga
Wawancara mendalam dan observasi lapangan
BPPHP Wilayah V, Dinas terkait dan pemerintah daerah
Wawancara mendalam dan studi pustaka
Aparat desa, Tokoh masyarakat , pendamping HTR, LSM
119 Lampiran 2 Variabel dan definisi operasional dari modal sosial (Y1) Variabel /Definisi perasional 1. Kepercayaan (Y1.1) Anggapan atau keyakinan yang dimiliki seseorang untuk persepsikan seseorang atau suatu keadaan berdasarkan perasaan dan kondisi yang dialami
2. Jaringan Sosial (Y1.2) Hubungan yang saling berkaitan antar individu dan kelompok yang bersifat sukarela dan memakai asas persamaan
3. Norma Sosial (Y1.3) Bentuk kontrol sosial informal tetapi dimengerti secara umum sebagai suatu formula untuk dapat menentukan pola tingkah laku yang diharapkan 4. Tindakan yang proaktif (Y1.4) Peran aktif dan kerelaan warga selaku subyek pembangunan
5. Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (Y1.5) Sikap yang menunjukkan perhatian, solidaritas dan empati
Ukuran/Indikator
Kategori
Tingkat kepercayaan terhadap: 1 Orang dengan latar belakang/etnis yang sama 2 Orang dengan latar belakang/etnis yang berbeda 3 Aparat pemerintahan 4 Aparat kehutanan 5 Aparat kepolisian 6 Tokoh masyarakat/adat 7 Tokoh agama 8 Pendamping HTR/LSM 9 Pinjam meminjam Tingkat : 1 Kepadatan dan karakteristik jaringan 2 Keragaman anggota organisasi 3 Partisipasi 4 Kerelaan membangun jaringan 5 Kerjasama kelompok dengan kelompok lain dalam komunitas 6 Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di luar komunitas 7 Kebersamaan dalam organisasi Tingkat ketaatan terhadap: 1 Aturan tidak tertulis 2 Aturan pemerintah 3 Aturan agama 4 Kejujuran 5 Kesopanan 6 Kerukunan
Menggunakan empat tingkatan modal sosial Uphoff (2000): 1 minimum 2 rendah 3 sedang 4 tinggi
Tingkat: 1 Keinginan berbagi informasi 2 Keinginan berbagi pengetahuan dan pengalaman 3 Kerelaan melakukan hal-hal yang terpuji dalam kehidupan (memungut sampah, membersihkan lingkungan, menjaga keamanan) 4 Partisipasi warga untuk mendukung pembangunan 5 Keinginan untuk saling mengunjungi dalam rangka mencari informasi 6 Keaktifan dalam menyelesaikan konflik Tingkat kepedulian terhadap sesama dan lingkungan untuk membantu orang lain dan melestarikan lingkungan
Menggunakan empat tingkatan modal sosial Uphoff (2000): 1 minimum 2 rendah 3 sedang 4 tinggi
Menggunakan empat tingkatan modal sosial Uphoff (2000): 1 minimum 2 rendah 3 sedang 4 tinggi Menggunakan empat tingkatan modal sosial Uphoff (2000): 1 minimum 2 rendah 3 sedang 4 tinggi
Menggunakan empat tingkatan modal sosial Uphoff (2000): 1 minimum 2 rendah 3 sedang 4 tinggi
120 Lampiran 2 Variabel dan definisi operasional dari karakteristik individu (X) Variabel /Definisi Operasional 1. Umur (X1) Jumlah usia responden sejak lahir sampai dengan menjadi responden dinyatakan dalam tahun
Ukuran/Indikator • < 30 tahun • 30 – 50 tahun • > 50 tahun
Kategori 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
2. Pendidikan Formal (X2) Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh responden
• Tidak sekolah atau tamat SD • Tamat SLTP • Tamat SLTA, Akademi, Perguruan Tinggi
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
3. Pendidikan Non-Formal (X3) Frekuensi keikutsertaan responden dalam pendidikan non-formal seperti pelatihan, penyuluhan atau kursus 4. Tingkat pendapatan (X4) Penghasilan responden yang diperoleh dari berbagai sumber baik dari pekerjaan tetap maupun sampingan dalam satu bulan yang dihitung berdasarkan nilai tukar mata uang (Rp/bulan) 5. Tingkat kesehatan (X5) Kondisi kesehatan responden berdasarkan frekuensi terjangkit penyakit sehingga responden tidak bekerja dalam kurun waktu 1 tahun terakhir sampai menjadi responden
• Tidak pernah • 1 – 3 kali • > 3 kali
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
• < Rp500 000 • Rp500 000 – Rp1 000 000 • > Rp1 000 000
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
• Sering tidak bekerja karena sakit atau menderita penyakit menahun atau sakit parah sehingga tidak mampu beraktifitas • Kadang-kadang • Tidak pernah
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
6. Luas lahan garapan (X6) Luas lahan yang digarap responden baik milik sendiri maupun sewa untuk tujuan produksi pertanian atau yang lainnya yang dinyatakan dalam hektar 7. Lama tinggal (X7) Masa mukim responden yang dihitung dari awal masa mukim di desa tersebut
• < 1 ha • 1 – 2 ha • > 2 ha
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
• < 5 tahun • 5 – 10 tahun • > 10 tahun
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
8. Status sosial (X8) Kedudukan masyarakat dilihat dari aspek ekonomi dan aspek sosial 9. Suku (X9) Latar belakang suku responden
• • • • • •
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
10. Asal (X10) Asal domisili responden sebelum bertempat tinggal di kawasan tersebut
• Provinsi lain • Kabupaten lain • Penduduk sekitar
Skor <2 Skor 2 – 3 Skor >3 Minoritas Setempat Mayoritas
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
121 Lampiran 2 Variabel dan definisi operasional dari Persepsi masyarakat (Y2) Variabel /Definisi Operasional 1. Alokasi lahan (Y 2.1) Perspektif responden terhadap ketentuan penetapan dan kondisi lahan yang dicadangkan untuk HTR di wilayah mereka 2. Pola HTR (Y 2.2) Perspektif responden terhadap ketengtuan pola pemanfaatan HTR
Ukuran/Indikator 1 tidak setuju 2 kurang setuju 3 setuju
Kategori 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
1. tidak setuju 2. kurang setuju 3. setuju
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
3.
1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
1 2 3 1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju tidak setuju kurang setuju setuju
1 2 3 1 2 3
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1 2 3 1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju tidak setuju kurang setuju setuju
1 2 3 1 2 3
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1 2 3 1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju tidak setuju kurang setuju setuju
1 2 3 1 2 3
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
1 2 3
tidak setuju kurang setuju setuju
1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pemanfaatan Hasil HTR(Y 2.3) Perspektif responden terhadap tujuan, keuntungan dan manfaat yang akan diperoleh dengan mengikuti HTR. Jenis tanaman (Y 2.5) Perspektif responden terhadap ketentuan jenis tanaman yang boleh diusahakan dalam areal HTR Persyaratan perijinan (Y 2.6) Perspektif responden terhadap ketentuan pembentukan kelompok dan kemudahan syaratsyarat yang harus dipenuhi untuk pengajuan ijin usaha pengelolaan HTR Proses perijinan (Y 2.7) Perspektif responden terhadap tata cara permohonan ijin, waktu dan biaya yang dikeluarkan Jangka waktu dan luas ijin (Y 2.8) Perspektif responden terhadap ketentuan jangka waktu ijin pengelolaan HTR dan luasan yang diberikan Pewarisan ijin (Y 2.9) Perspektif responden terhadap ketentuan bahwa ijin pengelolaan HTR tidak dapat diwariskan Hak dan kewajiban (Y 2.10) Perspektif responden terhadap kemudahan pemenuhan hak dan kewajiban pemegang ijin HTR yaitu hak mendapatkan pinjaman, pendampingan dan penyusunan RKU dan RKT Kelembagaan (Y 2.11) Perspektif responden tentang manfaat dan peranan kelompok tani hutan (KTH) dalam tukar menukar informasi dan memudahkan proses perijinan Pasar (Y 2.12) Perspektif responden terhadap potensi dan keberadaan pasar hasil tanaman HTR terutama getah karet dan kayu hutan lainnya Sosialisasi (Y 2.13) Perspektif responden tentang kegiatan sosialisasi atau penyebaran informasi kepada masyarakat yang dilakukan oleh pemenrintah daerah, perangkat desa, tokoh masyarakat atau LSM Penyuluhan dan Pendampingan (Y 2.13) Perspektif responden tentang kegiatan penyuluhan dan pendampingan dilakukan oleh instansi pemerintah, pendamping atau LSM
122 Lampiran 3 data responden, karakteristik individu, modal sosial dan persepsi masyarakat dalam pembangunan HTR di Terusan Sialang.
No
Nama Responden
kelamin
Agama
Suku
Nilai Total
Nilai total
Nilai Total
Karakteristik
modal
Persepsi
Individu
sosial
Masyarakat
1
Toni
L
Islam
Jawa
20
96
116
2
Supri
L
Islam
Jawa
20
91
117
3
Bakri
L
Islam
Jawa
17
87
116
4
Puguh
L
Islam
Jawa
28
102
115
5
Hairul
L
Islam
Jawa
22
95
113
6
Bambang N S
L
Islam
Jawa
18
88
113
7
Mukhlas
L
Islam
Jawa
23
95
113
8
Ketut subugio
L
hindu
Bali
25
97
112
9
L
hindu
Bali
25
88
113
L
hindu
Bali
22
98
104
11
Made Sutarcik Nyoman Darmawan Nengah Sudiahse
L
hindu
Bali
18
96
116
12
Dul Kodir
L
Islam
Jawa
20
88
113
13
Endri Wahyudi
L
Islam
Sunda
18
88
113
14
Ishak Muryadin
L
Islam
Jawa
21
88
113
15
Selamet
L
Islam
Jawa
21
88
113
16
M.H Taufik
L
Islam
Jawa
21
88
113
10
17
Bibit
L
Islam
Jawa
28
102
115
18
Hermanto
L
Islam
Jawa
21
103
114
19
Aria Musal
L
Islam
Komering
20
89
115
20
Tumiran
L
Islam
Jawa
26
104
116
21
Yadi
L
Islam
Jawa
16
89
93
22
saryono
L
Islam
Jawa
17
88
99
23
Naryo
L
Islam
Jawa
18
97
106
24
Darsono
L
Islam
Jawa
18
93
95
25
Suparjo
L
Islam
Jawa
17
96
95
26
Poniran
L
Islam
Jawa
15
94
102
27
HM Dulroji
L
Islam
Jawa
20
98
102
28
Made Lare
L
Hindu
Bali
24
99
115
29
nyoman Mandre
L
Hindu
Bali
24
102
116
30
Nyoman Kari
L
Hindu
Bali
24
104
116
31
Bambang
L
Islam
Jawa
20
100
113
32
Wayan Suparta
L
Hindu
Bali
23
101
107
33
Hadi
L
Islam
Jawa
24
99
125
34
Amin Tohari
L
Islam
Jawa
24
103
111
35
Sumitro
L
Islam
Jawa
24
98
116
36
Dasar
L
Islam
Jawa
22
98
120
37
Suwarno
L
Islam
Jawa
16
94
112
123
No
Nama Responden
kelamin
Agama
Suku
Nilai Total
Nilai total
Nilai Total
Karakteristik
modal
Persepsi
Individu
sosial
Masyarakat
38
Triaman
L
Islam
Jawa
20
86
115
39
Nurkufri
L
Islam
Jawa
24
102
115
40
Kade Jamin
L
hindu
Bali
19
95
118
41
Ketut Diarse
L
hindu
Bali
20
99
118
42
Made Karde
L
hindu
Bali
22
100
113
43
Made Tokolan
L
hindu
Bali
22
93
116
44
Suwandi
L
hindu
Bali
22
100
113
45
Balori
L
Islam
Komering
17
83
113
46
Ronaldo
L
Islam
Komering
15
79
118
47
katino
L
Islam
Jawa
20
97
118
48
Dullatief
L
Islam
Jawa
24
103
118
49
Sugito
L
Islam
Jawa
23
100
118
50
Agus Suranto
L
Islam
Jawa
19
87
114
51
Mujimin
L
Islam
Jawa
19
96
116
52
Ratmen
L
Islam
Jawa
16
88
108
53
Jhon Hend
L
Islam
Komering
17
85
110
54
Eko
L
Islam
Jawa
19
97
118
55
Rebo
L
Islam
Jawa
20
99
118
56
Marlan
L
Islam
Jawa
22
101
113
57
Sukidi
L
Islam
Jawa
22
93
116
58
Latip
L
Islam
Komering
18
103
108
59
Widodo
L
Islam
Jawa
25
105
112
60
Jon Sunariyanto
L
Islam
Jawa
20
99
113
61
Samsuri
L
Islam
Komering
16
79
115
62
Hendrias K
L
Kristen
Jawa
18
91
102
63
Nyoman Suarta
L
Hindu
Bali
24
104
115
64
komarudin
L
Islam
Jawa
25
105
113
65
Sabar
L
Islam
Jawa
20
103
111
66
Made Adyane
L
Hindu
Bali
20
96
118
67
Made Suladre
L
Hindu
Bali
22
101
113
68
Kamino
L
Islam
Jawa
19
97
118
69
Hambali
L
Islam
Jawa
23
103
118
70
Japar
L
Islam
Jawa
22
100
118
71
Romli
L
Islam
Jawa
20
87
114
72
Rustam
L
Islam
Jawa
18
96
116
73
Mulyono
L
Islam
Jawa
21
99
108
74
Nurkholim
L
Islam
Jawa
22
95
105
75
Rojak
L
Islam
Jawa
18
89
97
76
Saryono
L
Islam
Jawa
18
93
103
77
Tarsimin
L
Islam
Jawa
18
82
116
124
No
Nama Responden
kelamin
Agama
Suku
Nilai Total
Nilai total
Nilai Total
Karakteristik
modal
Persepsi
Individu
Sosial
Masyarakat
78
Fathur R
L
Islam
Jawa
18
85
100
79
Mukiar
L
Islam
Jawa
17
82
100
80
Badri
L
Islam
Jawa
21
95
102
81
Solihin
L
Islam
Jawa
20
95
102
82
Abdul Halim
L
Islam
Jawa
22
99
108
83
Tusirin
L
Islam
Padang
16
83
104
84
Thamrin
L
Islam
Jawa
18
93
102
85
Ibrahim
L
Islam
Jawa
20
87
97
86
Saring
L
Islam
sunda
16
89
102
87
Misni
L
Islam
Jawa
19
94
115
88
Rahman
L
Islam
Jawa
22
98
102
89
Gita
L
Hindu
Bali
25
98
114
90
Budi
L
Islam
Jawa
21
92
102
91
Joko Sutresno
L
Kristen
Jawa
16
100
114
92
Mulyadi
L
Kristen
Jawa
21
100
115
93
Karimin
L
Islam
Jawa
19
92
116
94
Yosmar
L
Islam
Komering
20
88
93
95
Selamet
L
Islam
Jawa
20
93
99
96
Sunarto
L
Islam
Jawa
13
97
106
97
Made Sane
L
Hindu
Bali
20
102
95
98
Kusnanto
L
Islam
Jawa
25
103
107
99
Wayan wartike
L
Hindu
Bali
22
101
106
100
Abdi trimoko
L
Islam
Jawa
25
101
107
101
nyoman Sunatra
L
Hindu
Bali
26
103
105
102
Sudaryono
L
Islam
Jawa
19
97
105
103
Prayitno
L
Islam
Jawa
21
99
102
104
Sabaryono
L
Islam
Jawa
25
102
105
105
Syaefudin
L
Islam
Sunda
17
93
110
106
Waluyo
L
Islam
Jawa
18
97
104
107
Edi Sutrisno
L
Islam
Jawa
23
98
104
108
Joko
L
Islam
Jawa
22
98
104
109
Purwanto
L
Islam
Jawa
18
96
116
110
Agus
L
Kristen
Jawa
18
96
116
111
joko
L
Islam
Jawa
23
103
118
112
Gimin
L
Islam
Jawa
23
103
118
113
Budi Harto
L
Islam
Jawa
24
101
118
114
Nurhadi
L
Islam
Jawa
24
99
104
115
Wahbudi
L
Islam
Jawa
24
103
102
116
Komang Sudane
L
Hindu
Bali
23
104
104
125
No
Nama Responden
kelamin
Agama
Suku
Nilai Total
Nilai total
Nilai Total
Karakteristik
modal
Persepsi
Individu
Sosial
Masyarakat
117
Nyoman Ayu
L
Hindu
Bali
25
105
118
118
Bonadi
L
Islam
Jawa
22
96
103
119
Sarimo
L
Islam
Jawa
24
98
116
126 Lampiran 4 Korelasi rank spearman antara karakteristik individu dengan modal sosial. Spearman Correlation x1
Y1.1
Y1.2
Y1.3
Y1.4
Y1.5
Correlation Coefficient
0.245
0.388
0.046
0.389
0.369
Sig. (2-tailed)
0.007
0.000
0.623
0.000
0.000
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
-0.107
0.038
0.307
0.095
-0.120
Sig. (2-tailed)
0.247
0.684
0.001
0.302
0.193
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
-0.070
0.159
0.145
0.233
0.037
Sig. (2-tailed)
0.450
0.085
0.115
0.011
0.690
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
-0.007
0.183
0.009
0.144
0.196
Sig. (2-tailed)
0.942
0.048
0.927
0.120
0.033
N x2
N x3
N x4
N x5
118
118
118
118
118
Correlation Coefficient
0.039
0.305
0.175
0.187
0.333
Sig. (2-tailed)
0.677
0.001
0.056
0.042
0.000
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.108
0.422
0.072
0.150
0.285
Sig. (2-tailed)
0.243
0.000
0.435
0.104
0.002
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.107
0.172
0.167
0.147
0.179
Sig. (2-tailed)
0.248
0.062
0.069
0.110
0.051
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.284
0.499
0.172
0.455
0.490
Sig. (2-tailed)
0.002
0.000
0.061
0.000
0.000
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.133
0.252
0.192
0.255
0.372
Sig. (2-tailed)
0.150
0.006
0.037
0.005
0.000
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.040
-0.034
-0.073
-0.099
-0.077
Sig. (2-tailed)
0.668
0.715
0.430
0.285
0.404
119
119
119
119
119
N x6
N x7
N x8
N x9
N x10
N **
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
127 Lampiran 5 korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu dengan persepsi masysrakat terhadap pembangunan HTR Spearman Correlation x1
x2
x3
x4
x5
x6
x7
x8
x9
x10
Y2.1
Y2.2
Y2.3
Y2.4
Y2.5
Y2.6
Y2.7
Y2.8
Y2.9
Y2.10
Y2.11
Y2.12
Y2.13
Correlation Coefficient
0.135
-0.048
0.091
0.056
0.007
0.112
-0.092
-0.074
0.042
0.033
0.127
0.111
0.111
Sig. (2-tailed)
0.144
0.604
0.325
0.546
0.940
0.224
0.318
0.425
0.649
0.725
0.169
0.231
0.229
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.315
0.144
-0.135
0.011
0.147
0.083
-0.004
-0.091
0.158
0.108
-0.100
0.096
0.132
Sig. (2-tailed)
0.000
0.117
0.143
0.906
0.111
0.368
0.962
0.326
0.087
0.244
0.281
0.299
0.151
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.153
0.066
-0.101
0.010
0.121
0.169
0.134
0.123
0.018
0.071
0.104
0.167
0.125
Sig. (2-tailed)
0.096
0.475
0.273
0.910
0.191
0.066
0.147
0.183
0.847
0.443
0.259
0.070
0.175
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.200
-0.013
-0.358
-0.010
-0.206
-0.019
0.001
-0.037
0.156
0.290
-0.121
0.101
0.267
Sig. (2-tailed)
0.029
0.892
0.000
0.915
0.025
0.842
0.992
0.691
0.092
0.001
0.192
0.278
0.003
N
118
118
118
118
118
118
118
118
118
118
118
118
118
Correlation Coefficient
0.128
0.103
-0.065
0.210
0.250
0.110
-0.027
-0.087
-0.056
-0.076
0.185
0.195
0.083
Sig. (2-tailed)
0.167
0.267
0.479
0.022
0.006
0.235
0.772
0.345
0.546
0.414
0.044
0.034
0.367
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.249
0.020
-0.223
-0.021
-0.066
0.114
0.046
-0.059
0.092
0.137
0.002
0.218
0.278
Sig. (2-tailed)
0.006
0.830
0.015
0.822
0.477
0.217
0.619
0.524
0.322
0.137
0.979
0.017
0.002
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.106
-0.147
-0.175
0.056
-0.061
-0.067
-0.110
-0.136
0.099
0.135
-0.011
0.044
0.088
Sig. (2-tailed)
0.252
0.111
0.057
0.544
0.513
0.471
0.232
0.140
0.282
0.143
0.909
0.632
0.341
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.355
-0.109
-0.203
0.033
-0.029
0.163
-0.134
-0.021
0.285
0.188
-0.020
0.307
0.231
Sig. (2-tailed)
0.000
0.236
0.027
0.722
0.753
0.076
0.145
0.824
0.002
0.041
0.826
0.001
0.012
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.013
-0.086
-0.002
0.170
0.110
0.022
-0.034
0.087
0.126
-0.072
-0.100
0.086
-0.001
Sig. (2-tailed)
0.888
0.352
0.986
0.065
0.234
0.809
0.717
0.345
0.173
0.438
0.279
0.350
0.995
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
Correlation Coefficient
0.153
0.042
-0.064
-0.158
0.101
-0.030
0.231
-0.054
-0.019
-0.078
-0.111
-0.006
0.074
Sig. (2-tailed)
0.097
0.650
0.489
0.085
0.275
0.750
0.012
0.562
0.840
0.402
0.231
0.947
0.423
N
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
119
128 Lampiran 6
Korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu, modal sosial dan persepsi masyarakat terhadap
Pembangunan HTR
Correlations
Spearman's rho
KARAKTERISTIK INDIVIDU MODAL sosial
PERSEPSI TERHADAP HTR
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
PERSEPSI KARAKTERIS TERHADAP TIK INDIVIDU MODAL sosial HTR 1.000 .683** .230* . .000 .012 119 119 119 .683** 1.000 .233* .000 . .011 119 119 119 .230* .233* 1.000 .012 .011 . 119
119
119
129 Lampiran 7 Nilai rata‐rata bobot dan rata rating pada faktor strategis analisis SWOT No
Faktor Internal
Jumlah Jumlah Bobot Rating
Rata‐ rata bobot
Rata‐ rata rating
Nilai pengaruh
Kekuatan Karakteristik individu yang cukup baik (usia 1 produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan dan instansi 2 kehutanan
0.4
18
0.08
3.6
0.288
0.43
18
0.086
3.6
0.3096
0.4
18
0.08
3.6
0.288
0.28 0.26
19 15
0.056 0.052
3.8 3
0.2128 0.156
0.25
15
0.05
3
0.15
Persepsi masyarakat terhadap 7 pembangunan HTR yang cukup baik
0.41
16
0.082
3.2
0.2624
Motivasi masyarakat untuk mendapatkan 8 legalitas lahan mereka yang tinggi
0.41
18
0.082
3.6
0.2952
2.84
137
0.568
27.4
1.962
0.37
13
0.074
2.6
0.1924
Tingkat partisipasi masyarakat dalam 3 jaringan sosial yang cukup baik Kepatuhan masyarakat terhadap norma‐ norma yang berlaku dalam masyarakat 4 tinggi 5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup 6 baik
Jumlah Kelemahan 1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah Kepercayaan masyarakat yang rendah 2 terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses peijinan 3 HTR
0.3
13
0.06
2.6
0.156
0.25
13
0.05
2.6
0.13
Kelembagaan HTR yang belum berfungsi 4 secara optimal di dalam masyarakat
0.52
14
0.104
2.8
0.2912
Tidak adanya lembaga permodalan yang 5 membantu masyarakat
0.28
13
0.056
2.6
0.1456
Pengetahuan masyarakat yang rendah 6 dalam pembangunan HTR
0.44
12
0.088
2.4
0.2112
2.16
78
0.432
15.6
1.1264
5
215
1
43
3.0884
Jumlah Jumlah FSI
130
No
Faktor Eksternal
Jumlah Bobot
Jumlah Rata‐ Rating rata bobot
Rata‐ rata rating
Nilai pengaruh
Peluang Dukungan kebijakan, dana dan 1 infrastruktur HTR dari instansi terabit Dukungan dari aparat pemerintahan 2 lokal 3 Adanya kegiatan pendampingan
0.57
18
0.114
3.6
0.4104
0.55 0.5
18 13
0.11 0.1
3.6 2.6
0.396 0.26
Harga komoditas hasil hutan (kayu dan 4 non kayu) membaik
0.34
14
0.068
2.8
0.1904
1.96
63
0.392
12.6
1.2568
Adanya free rider dalam proses 1 pembangunan HTR di Kab OKI
0.43
17
0.086
3.4
0.2924
Kebijakan verifikasi yang membagi 2 areal kawasan hijau dan kawasan putih
0.43
14
0.086
2.8
0.2408
Jumlah dan Kemampuan pendamping 3 yang belum memadai
0.27
9
0.054
1.8
0.0972
Kesulitan masyarakat dalam memenuhi 4 beberapa persyaratan perijinan HTR
0.51
8
0.102
1.6
0.1632
0.28
10
0.056
2
0.112
0.28
12
0.056
2.4
0.1344
Kurangnya koordinasi antar instansi 7 dalam pembangunan HTR
0.36
10
0.072
2
0.144
Tidak adanya keterbukaan dalam 8 proses perijinan HTR
0.48
15
0.096
3
0.288
3.04
95
0.608
19
1.472
5
158
1
31.6
2.7288
Jumlah Ancaman
Belum adanya pasar kayu yang akan 5 menampung hasil HTR Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di 6 tingkat tapak
Jumlah Jumlah FSE
131 Lampiran 8 Prioritas alternatif strategi terpilih berdasarkan QSPM Faktor strategis
Bobot
No Kekuatan 1 Karakteristik individu yang cukup baik (usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) 2 Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan dan instansi kehutanan 3 Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik 4 Kepatuhan masyarakat terhadap norma‐norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi 5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi 6 Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik 7 Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR yang cukup baik 8 Motivasi masyarakat unruk mendapatkan legalitas lahan mereka yang tinggi
Kelemahan 1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah 2 Kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap LSM dan pihak/mitra dari luar 3 Persepsi masyarakat terhadap ketentuan pewarisan, jenis tanaman HTR yang rendah, pemanfataan hasil HTR dan proses peijinan HTR 4 Kelembagaan HTR yang belum berfungsi secara optimal di dalam masyarakat 5 Tidak adanya lembaga permodalan yang membantu masyarakat 6 Pengetahuan masyarakat yang rendah dalam pembangunan HTR
Skor Ketertarikan Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 AS TAS AS TAS AS TAS
0.08 3.2 0.26
0.086 0.08
3 0.24 2.6
0.208
3 0.26 3.4 0.29 2.4 0.2064 3 0.24 3.6 0.29 2.6
0.208
0.056 3.4 0.19 3.2 0.18 2.8 0.1568 0.052 3.6 0.19 3.6 0.19 2.6 0.1352 0.05 3.4 0.17 3.4 0.17 2.6 0.082 2.8 0.23 3.6
0.082
3 0.25
0.13
0.3 3.4 0.2788
3 0.25 3.2 0.2624
0.074 3.8 0.28 2.8 0.21 3.2 0.2368
0.06 2.8 0.17 3.4
0.05 2.4 0.12
0.104
4 0.42
0.2 2.6
0.156
3 0.15 3.2
0.16
4 0.42 3.4 0.3536
0.056 1.8
0.1 2.4 0.13 2.2 0.1232
0.088 3.4
0.3 3.4
0.3 3.4 0.2992
132 Bobot No Faktor strategis
Peluang 1 Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur HTR dari instansi terabit 2 Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 3 Adanya kegiatan pendampingan 4 Harga komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) membaik
Skor Ketertarikan Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 AS TAS AS TAS AS TAS
0.114 2.6
0.3 3.2 0.36 3.2 0.3648
0.11 2.6 0.29 3.4 0.37 2.4 0.1 3 0.3 3 0.3 2.8 0.068 1.4
0.1 2.2 0.15
2
0.264 0.28 0.136
Ancaman 1 Adanya free rider dalam proses pembangunan HTR di Kab OKI 2 Kebijakan verifikasi yang membagi
0.086 1.8 0.15
3 0.26 2.6 0.2236
areal kawasan hijau dan kawasan putih 0.086 1.8 0.15
3 0.26 2.8 0.2408
3 Jumlah dan Kemampuan pendamping yang belum memadai 4 Kesulitan masyarakat dalam memenuhi beberapa persyaratan perijinan HTR 5 Belum adanya pasar kayu yang akan menampung hasil HTR 6 Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang HTR yang belum menjangkau sampai masyarakat di tingkat tapak 7 Kurangnya koordinasi antar instansi dalam pembangunan HTR 8 Tidak adanya keterbukaan dalam proses perijinan HTR Jumlah TAS
0.054 3.4 0.18 2.8 0.15 3.2 0.1728
0.102 3.2 0.33 0.056 1.8
3 0.31 3.8 0.3876
0.1 2.2 0.12 2.4 0.1344
0.056 2.8 0.16 2.6 0.15 3.2 0.1792 0.072
2 0.14 3.2 0.23 2.6 0.1872
0.096 1.8 0.17 5.53
3 0.29 2.4 0.2304 6.26
5.7152
133 Lampiran 9 Dokumentasi penelitian
134
135
136
137 Lampiran 10 Peta lokasi penelitian
138