Mitigasi Bencana Sedimen Teori dan Aplikasi
Hasnawir
Editor: Prof. Dr. Ir. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S.
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Mitigasi Bencana Sedimen Teori dan Aplikasi
Hak cipta dilindungi undang-undang
Penulis
: Hasnawir
Editor
: Prof. Dr. Ir. Abdullah SyariefMukhtar, M.S.
Desain sampul
: Tony Widianto
ISBN
: 978-602-95270-3-2
Diterbitkan oleh: Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar (90243) Tel/Fax: +62-411-554049/ +62-411-554058 Website: www.balithutmakassar.org, Email:
[email protected];
[email protected] Cetakan Pertama : Makassar, Oktober 2012
ii
PRAKATA KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN Bencana sedimen seperti bencana tanah longsor dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik jumlah kejadian maupun jumlah korban jiwa yang ditimbulkan.Di Indonesia, bencana sedimen banyak dipengaruhi oleh kondisi hujan yang ekstrim dan juga aktivitas penggunaan lahan yang kurang sesuai.Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menyikapi isu bencana sedimen sebagai salah satu isu penting sehingga berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan telah dilakukan dan direncanakan sebagaimanatermuat dalam Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Disadari bahwa pendekatan ilmiah dan teknologi mitigasi,termasuk perencanaan penggunaan lahan dan pencegahan bencana harus terus dikembangkan untuk mencari solusi yang efektif menyikapi potensial bencana sedimen. Penggabungan ilmu dan teknologi terbaru dari perspektif lokal dan nasional diperlukan untuk meningkatkan prediksi bencana sedimen dan mengembangkan sistem peringatan bencana sedimen secara tepat.
Buku dengan judul “Mitigasi Bencana
Sedimen: Teori dan Aplikasi” adalah sebuah buku yang memuat dasar-dasar teori bencana sedimen dan aplikasi dari mitigasi bencana. Dengan membaca buku ini, kita akan semakin memahami beberapa hal seperti
pemahaman
terhadap
proses
kejadian
bencana sedimen,
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana sedimen, konsep dan strategi mitigasi serta langkah pengendalian bencana sedimen. Buku yang ditulis oleh Saudara Hasnawir, S.Hut, M.Sc, Ph.D, salah seorang peneliti dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar ini sekaligus membuka perspektif kita akan perlunya pengembangan sistem peringatan dan evakuasi melalui suatu aplikasi ambang batas curah hujan untuk
iii
peringatan dini dan contoh kasus evakuasi bencana sedimen yang telah sukses dilakukan. Ini tentu akan memberikan suatu pengetahuan penting dan dorongan dalam upaya-upaya menyikapi isu bencana sedimen saat ini dan di masa yang akan datang. Harapan saya, buku ini dapat memberikan wawasan bagi para pembaca sehingga jika mereka harus mengambil bagian dalam operasi penanganan bencana sedimen, apapun kapasitasnya, mereka tidak terlalu ketinggalan dari sisi teori dan aplikasi. Jakarta, Agustus 2012 Kepala Badan
Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc. NIP. 1953 0922 198203 1 001
iv
KATA SAMBUTAN KEPALA PUSLITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Sesuai dengan visi Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PusKonseR) “menjadi lembaga penyedia IPTEK bidang konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam yang terpercaya untuk kepentingan
kelestarian
hutan
dan
kesejahteraan
masyarakat,”
PusKonseRbertekad untuk menjadi lembaga penyedia IPTEK yang mendapatkan kepercayaan publik sebagai lembaga yang kredibel dan mampu menjawab kebutuhan dan tantangan pembangunan kehutanan bidang konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam. Hal ini berimplikasi bahwa
PusKonseRharus
memiliki
kemampuan
mengemas
dan
mendesiminasikan teknologi yang dihasilkan. Sejalan dengan hal tersebut di atas PusKonseR sebagai unit esolon II Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan mendorong dan melakukan
pembinaan
kegiatan-kegiatan
desiminasi
hasil-hasil
penelitian dan pengembangan termasuk publikasi buku pada tingkat UPT Balai Penelitian Kehutanan. Dengan
dasar
tersebut
di
atas,PusKonseRmenyambut
baik
penerbitan buku dengan judul “Mitigasi Bencana Sedimen: Teori dan Aplikasi” sebuah karyailmiah ditulis oleh Hasnawir, S.Hut, M.Sc, Ph.D
salah
seorang
peneliti
dari
Balai
Penelitian
Kehutanan
Makassar.Buku ini memuat dasar-dasar teori bencana sedimen dan aplikasi dari mitigasi bencana. Teori dan aplikasi dari mitigasi bencana sedimen ini diharapkan dapat memberikan konstribusi penting dalam menetapkan strategi dan upaya mengurangi dan mencegah dampak dari bencana sedimen di Indonesia. Hal ini sangat mendasar mengingat bencana sedimen khususnya tanah longsor adalah salah satu tipe bencana yang paling sering terjadi setelah banjir di Indonesia. Kejadian bencana tanah longsor mencapai 18% dari total kejadian berbagai macam tipe
v
bencana di Indonesia setiap tahunnya dengan puluhan jumlah korban jiwa bahkan ratusan. Hal ini mengisyaratkan akan pentingnya kebutuhan pengetahuan dan informasi terhadap masalah bencana sedimen secara tepat. Buku ini telah menambah khasanah bacaan dan semoga dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Kepada Balai Penelitian Kehutanan Makassar dan kepada penulis kami menyampaikan selamat dan mengapresiasi atas terbitnya buku ini. Bogor, Agustus 2012
vi
KATA SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANANMAKASSAR Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, buku dengan judul “Mitigasi Bencana Sedimen: Teori dan Aplikasi” yang ditulis oleh Hasnawir, S.Hut, M.Sc, Ph.D, salah seorang peneliti dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar dapat diterbitkan. Buku ini ditulis berdasarkan tinjuan pustaka dan hasil penelitian yang dilakukan terkait bencana sedimen. Buku ini memuat dasar-dasar teori bencana sedimen dan aplikasi dari mitigasi bencana. Balai Penelitian Kehutanan Makassar yang memiliki tugas pokok melaksanakan
penelitian
di
bidang
konservasi
dan
rehabilitasi,
peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan dengan wilayah kerja meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Tengah serta Provinsi Maluku senantiasa berusaha memberikan sumbangan hasil pemikiran, penelitian dan pengembangan melalui tulisan publikasi termasuk pubikasi buku ini. Semoga buku ini dapat dimanfaatkan, memberikan informasi dan petunjuk terkait bencana sedimen. Makassar, Agustus 2012 Kepala Balai
Ir. Muh. Abidin, M.Si. NIP. 19600611 198802 1 001
vii
viii
KATA PENGANTAR Indonesia diberkati dengan lingkungan alam yang sangat kaya. Namun demikian, lingkungan alam dengan wilayah Indonesia yang terletak di daerah iklim tropis dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim dan digabungkan dengan kondisi topografi dan batuan, memiliki resiko tinggi terhadap bencana. Bencana sedimen di Indonesia seperti tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng menjadi ancaman yang serius. Ini disebabkan oleh karena jumlah kejadian dan dampak yang diakibatkan oleh bencana ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Bahkan bencana sedimen khususnya bencana tanah longsor menjadi bencana yang paling sering terjadi di Indonesia setelah banjir. Berdasarkan isu yang berkembang seperti dikemukakan di atas, buku ini disusun dengan maksud untuk memberikan pemahaman kepada pembaca sekaligus sebagai petunjuk menyikapi isu terkait bencana sedimen di Indonesia. Buku ini memuat dasar-dasar teori bencana sedimen
seperti
faktor
mekanis
dan
faktor
pendorong
yang
mengakibatkan bencana sedimen, konsep dan strategi mitigasi bencana sedimen serta langkah pengendalian bencana sedimen. Dalam buku ini pula memuat pengembangan sistem peringatan dan evakuasi dari bencana sedimen. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada banyak pihak yang memungkinkan diterbitkannya buku ini. Pertama kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang telah memberikan dukungan penelitian dan apresiasi yang tinggi terhadap penulisan buku ini. Kepada Kepala Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi atas dukungan dan masukan terhadap penulisan buku ini. Kepada Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar atas dukungan, masukan dan kerjasama yang sangat baik dalam
ix
penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya saya sampaikan pula kepada editor buku ini, Prof. Dr. Ir. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S. atas saran dan komentar yang sangat berguna dalam penulisan buku ini. Saya sampaikan pula terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. M. Nurdin Abdullah, M.Agr, Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S., Ir. Paimin, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. H. Baharuddin Mappangaja, M.Sc. atas masukan dan komentar yang sangat berguna dalam buku ini. Pada kesempatan ini pula saya sampaikan terima kasih kepada Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama BPK Makassar, Drs. Baharuddin atas kerjasama yang baik sehingga buku ini dapat diterbitkan. Tidak terkecuali terima kasih dan penghargaan saya kepada teman-teman peneliti dan staf BPK Makassar atas dukungan dan kerjasama yang diberikan. Penulis berharap buku ini dapat menambah wawasan pembaca sekaligus menjadi referensi untuk memperluas khasanah ilmiah dan pengetahuan untuk masalah bencana sedimen di Indonesia. Makassar,Agustus 2012 Penulis
Hasnawir, S.Hut, M.Sc, Ph.D.
x
DAFTAR ISI Hal Halaman Judul .........................................................................................
i
Prakata Kepala Badan Litbang Kehutanan.............................................
iii
Kata Sambutan Kepala Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi ..........
v
Kata Sambutan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar ............
vii
Kata Pengantar..........................................................................................
ix
Daftar Isi ....................................................................................................
xi
Daftar Tabel...............................................................................................
xii
Daftar Gambar ..........................................................................................
xiii
1.
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1.
2
Bencana Sedimen .....................................................................
1.2. Faktor Mekanis dan Faktor Pendorong Bencana Sedimen ..
10
1.3. MekanismeTerjadinyaBencanaSedimen ................................
16
2. BENCANA SEDIMEN DI INDONESIA ...........................................
19
3. MITIGASI BENCANA SEDIMEN ....................................................
27
3.1. Konsep Mitigasi Bencana Sedimen .........................................
27
3.2. Strategi Mitigasi Bencana Sedimen ........................................
28
3.3. Langkah Pengendalian Bencana Sedimen .............................
31
4. PENGEMBANGAN SISTEM PERINGATAN & EVAKUASI ..........
39
4.1. Aplikasi Ambang Batas Curah Hujan untuk PeringatanDini
41
4.2. Kasus-Kasus Evakuasi .............................................................
49
PENUTUP...........................................................................................
51
Daftar Pustaka...........................................................................................
52
Singkatan-Singkatan ................................................................................
55
Tentang Penulis ........................................................................................
56
5.
xi
DAFTAR TABEL Hal Tabel 1:
Fenomena yang dapat menyebabkan bencana langsung: tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng ............. 6
Tabel 2:
Perbedaan antara tanah longsor dan kegagalan lereng...... 8
Tabel 3:
Tipe aliran debris berdasarkan penyebabnya ..................... 9
Tabel 4:
Faktor mekanis dan faktor pendorong bencana sedimen .. 11
Tabel 5:
Bencana alam besar di Indonesia ......................................... 20
Tabel 6:
Bencana tanah longsor di Indonesia 1 tahun terakhir (13-8-2011 sampai 16-7-2012) .............................................. 23
Tabel 7:
Pendekatan struktural terhadap pencengahan kegagalan lereng ...................................................................................... 37
Tabel 8:
Evakuasi dari aliran debris di Misugi, Jepang pada tanggal 1-8-1982 .................................................................................. 50
Tabel 9:
Evakuasi dari tanah longsor di Nagasaki, Jepang
pada
bulan Juli 1997 ....................................................................... 50
xii
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1:
Proses kejadian bencana........................................................ 1
Gambar 2:
Proses kejadian bencana sedimen ........................................ 5
Gambar 3:
Bencana langsungdari bencana sedimen :tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng ....................................... 7
Gambar 4:
Hubungan antara bencana sedimen dan jenis geologi ....... 10
Gambar 5:
Jenis-jenis tanah longsor: a) Longsoran translasi, b) Longsoran rotasi: c) Pergerakan blok, d) Runtuhan batu: e) Rayapan tanah, f) Aliran bahan rombakan...................... 13
Gambar 6:
Kelongsoran lereng ................................................................ 17
Gambar 7:
Kekuatan geser tanah/batuan ............................................... 18
Gambar 8:
Distribusi bencana berdasarkan tipe bencana, korban dan jumlah kejadian dari tahun 1815 hingga 2012 .............. 21
Gambar 9:
Distribusi kejadian bencana tanah longsor satu tahun terakhir (13-8-2011 sampai 16-7-2012) di berbagai provinsi di Indonesia ............................................................. 22
Gambar 10:
Situasi tanah longsor disertai aliran debris di Kaldera Bawakaraeng, Provinsi Sulawesi Selatan, 26 Maret 2004, mengakibatkan 32 jiwa meninggal dunia ............................ 26
Gambar 11:
Situasi tanah longsor di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, 24 Mei 2012, mengakibatkan 8 jiwa meninggal dunia........................................................................................ 26
Gambar 12:
Ilustrasi suatu tindakan yang bijaksana sebagai implementasi konsep mitigasi bencana ............................... 28
Gambar 13:
Soil retaining works di Kathmanhu, Nepal (a) dan Groundsill di Jawa, Indonesia (b) ........................................ 34
Gambar 14:
Sabo dam (a) dan sand pocket (b) di Sungai Jeneberang, Sulawesi Selatan ..................................................................... 35
xiii
Gambar 15:
Revetment works di kali Jenes, Solo (a) dan dam works di sungai Jeneberang, Sulawesi Selatan (b) ......................... 36
Gambar 16:
Tindakan pencegahan terhadap kegagalan lereng .............. 38
Gambar 17:
Sistem peringatan dan evakuasi yang dapat diadopsi di Indonesia ................................................................................ 41
Gambar 18:
Kurva peringatan bencana sedimen berdasarkan ambang batas curah hujan. Kurva peringatan didefinisikan sebagai batas di mana jika terlampaui maka prosedur keadaan darurat segera dilakukan (modifikasi dari Aleotti, 2004) .. 43
Gambar 19:
Diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor (dimodifikasi dari Aleotti, 2004) .................. 44
Gambar 20:
Tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan .......... 45
Gambar 21:
Ambang batas curah hujan untuk tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan, di atas garis peringatan kemungkinan tanah longsor dangkal terjadi ....................... 45
Gambar 22:
Distribusi tanah longsor dangkal dengan kondisi: a) curah hujan, b)
elevasi, c) geologi dan d) tipe tanah di Sulawesi
Selatan ..................................................................................... 46 Gambar 23:
Penakar curah hujan sederhana dengan botol plastik dan desain alat sederhana penakar hujan hasil rekayasa Balai Penelitian Kehutanan Makassar yang dapat digunakan untuk aplikasi peringatan bencana sedimen ....................... 47
Gambar 24:
Alat sensor peringatan tanah longsor hasil rekayasa Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Alat ini mendeteksi tanah longsor yang ditempatkan pada daerah yang berisiko tinggi untuk runtuh ................................................................ 48
xiv
1.
PENDAHULUAN Bencana merupakan fenomena yang menimbulkan kerusakan atau
kerugian pada kehidupan, baik secara individu ataupun publik oleh beberapa penyebab atau faktor (Ikeya, 1976). DiIndonesia berdasarkan Undang-undang No.24 tahun 2007 mendefenisikan bencana sebagai suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu; ancaman bencana, kerentanan dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian yang prosesnya sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1 di bawah ini.
PEMICU ANCAMAN BAHAYA RESIKO BENCANA
BENCANA
KERENTANAN
Gambar 1: Proses kejadian bencana. Secara garis besar faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lainadalah sebagai berikut:
Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International
1
Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi
bahaya
geologi
(geological
hazards),
bahaya
hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation).
Kerentanan
(vulnerability)
yang
tinggi
dari
masyarakat,
infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana.
Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat. Berbagai macam fenomena bencana diklasifikasikan berdasarkan
penyebab utamanya. Secara umum bencana dibagi dalam dua kategori yaitu bencana alam (natural disaster) dan bencana buatan (artificial disaster). Kebanyakan bencana alam disebabkan oleh kondisi anomali cuaca. Beberapa penyebab bencana alam seperti hujan ekstrim, angin kencang, gempa bumi, gunung berapi, gelombang air pasang dan sebagainya. Sedangkan bencana buatan umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia (Ikeya, 1976). Dalam buku ini secara spesifik akan membahas tentang bencana sedimen seperti tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng. 1.1 Bencana Sedimen Sedimen diartikan sebagai hasil dari proses pelapukan secara alami terhadap suatu tubuh batuan, yang kemudian mengalami erosi, tertansportasi oleh air, angin dan lainnya, dan pada akhirnya terendapkan atau tersedimentasikan.
2
Bencana
sedimen
didefinisikan
sebagai
fenomena
yang
menyebabkan kerusakan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia danharta benda, ketidaknyamanan bagi kehidupan
masyarakat,
dan
atau
kerusakan
lingkungan, melalui
suatuskala besar pergerakan tanah dan batuan. Kerusakan akibat bencana ini dapat terjadi dalam 4 bentuk: 1) bangunandan lahan pertanian hilang akibat tanah longsor atau erosi, 2) rumah-rumah hancur olehdaya rusak tanah dan batuan selama pergerakan tanah atau batuan, 3) rumah dan lahan pertanian terkubur di bawah tanah oleh akumulasi skala besar sedimen, dan 4)peningkatan endapan pada dasar sungai dan penguburan waduk disebabkan oleh sedimen sepanjangsungai yang dapat mengundang datangnya banjir, gangguan fungsi penggunaan air, dankerusakan lingkungan (Ministry of Land, Infrastructure and Transport-Japan, 2004). Beberapa ciri-ciri umum dari bencana sedimen adalah:
Adanya aliran material massa.
Adanya media pencampur air atau fluida.
Melaju dari posisi yang tinggi ke daerah yang lebih rendah.
Adanya pengaruh gravitasi terhadap material massa.
Membentuk perlapisan atau sedimen terhadap lingkungan yang dilalui.
Membentuk morfologi baru pada daerah yang mengalami bencana.
Mengakibatkan kerusakan dan kerugian nyawa, materil dan infrastruktur. Bencana sedimen merupakan salah satu bentuk hasil dari daya
rusak air, dimana bencana sedimen memiliki potensi daya rusak yang besar dan bersifat masif secara langsung atau tidak langsung yang memiliki tingkat kerusakan, kerugian dan fatalitas tinggi. Menilik dari pengalaman
bencana
sedimen
berpotensi
merusak
strukturdan
infrastruktur serta memiliki potensi kerugian ekonomi tinggi. Tingkat
3
fatalitas bencana sedimen cukup tinggi dimana potensi timbulnya korban jiwa dan kerusakan sangat tinggi. Bencana sedimen dapat dibedakan berdasarkan sumber sedimen (onsite) dan tempat deposisi sedimen (off site). Sumber sedimen meliputi tanah longsor akibat gempa, tanah longsor akibat aktifitas vulkanik, tanah longsor akibat hujan, gunung runtuh, kegagalan, lahar panas dan lahar dingin. Sedangkan tempat deposisi sedimen meliputi sedimentasi dam/waduk, sedimentasi sungai, sedimentasi danau, erosi dan abrasi pantai. Pada Gambar 2 menjelaskan diagram proses terjadinya bencana sedimen. Volume besar tanah dan pasir dapat dihasilkan oleh erosi, akan tetapi tidak selalu akan menimbulkan bencana dari erosi tersebut. Misalkan, jika jumlah tanah dan pasir(A) lebih kecil dibanding dengan sedimen yang diperkenankan atau sedimen tidak berbahaya(B), maka bencana tidak terjadi. Bahkan dalam kasus seperti jika (A) lebih besar dari(B), hasilnya tidak disebut bencana jika tidak ada rumah, masyarakat, atau fasilitas umum yang terlibat.
4
Gambar 2:Proses kejadian bencana sedimen.
Bencana sedimen secara umum dapat dibagi dua tipe 1) tipe sedimen bencana langsung, tipe sedimen ini menyebabkan kerusakan langsung sebagai akibat dari gerakan sedimen, 2) tipe sedimen bencana tidak langsung, tipe sedimen yang mengakibatkan banjir atau genangan air melalui peningkatan endapan dari dasar sungaiatau penutupan aliran sungai (Ministry of Land, Infrastructure and Transport-Japan, 2004). Fenomena yang dapat menyebabkan bencana langsungadalah termasuk tanah longsor, aliran debris, dan kegagalan lereng sebagaimana
5
didefinisikan pada Tabel 1 dan ditunjukkan pada Gambar 3. Sedangkan tipe sedimen bencana tidak langsung tidak dibahas dalam buku ini. Tabel 1: Fenomena yang dapat menyebabkan bencana langsung: tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng. Tanah longsor
Ini adalah fenomenadi mana sebagian atau seluruhtanah pada lereng bergerak ke bawah secara
perlahan-lahan
akibat
pengaruhair
tanahdan gravitasi. Jumlah volume massa tanah yang bergerak biasanya besar, kerusakan yang serius dapat terjadi. Jika longsor telah bergerak, maka akan sangat sulit untuk menghentikan longsoran tersebut. Aliran debris
Ini adalah fenomena dimana tanah dan batuan pada lereng bukit atau di dasar sungai terjadi akibat pengaruh hujan deras atau hujan yang terus
menerus.
Kecepatan
aliran
debris
berbeda-beda, kadang-kadang mencapai 20-40 km/jamsehingga
terkadang
dapat
merusak
rumah dan lahan pertanian dalam waktu sekejap. Kegagalan lereng
Dalam fenomena ini, lereng tiba-tiba ambruk ketika tanah telah kehilangan stabilitas akibat pengaruh hujan atau gempa bumi. Karena keruntuhan tiba-tiba dan mungkin terjadi di daerah sekitar pemukiman, banyak orang tidak sempat
melarikan
diri.
Hal
ini
menyebabkan tingginya tingkat kematian.
6
akan
Tanah retak dan menjadi tidak rata
Tanah longsor
Pohon tumbang
Pasokan listrik dihentikan
Sawah, ladang, dan kebun rusak
Air menggenang di daerah hulu menenggelamkan rumah
Sekolah dan rumah sakit rusak Rumah rusak
Pabrik rusak
Tanah longsor memblokir sungai
Aliran debris
Gambar3:
Jembatan hancur
Jalan terpotong memblokir lalu lintas Bendungan penahan sedimen runtuh, menyebabkan banjir di hilir
Kegagalan lereng
Bencana langsungdari bencana sedimen:tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng.
Komite untuk inventarisasitanah longsordunia yang didirikan oleh UNESCO bekerjasama dengan masyarakat akademik internasionalterkait
7
yayasan keteknikan mendefinisikan tanah longsor sebagai “gerakan dari massa batuan, debris atau tanah yang tergelincir dari lereng”. Dalam istilah kinematika, klasifikasi pergerakan tanah longsor tidak hanya tergelincir tetapi juga runtuh, roboh, menyebardan mengalir (Ministry of Land, Infrastructure and Transport-Japan, 2004). Untuk memudahkan perbedaan antara tanah longsor dan kegagalan lereng dapat dilihat pada Tabel2 di bawah ini. Tabel 2: Perbedaan antara tanah longsor dan kegagalanlereng. Uraian
Tanah longsor
Kegagalan lereng
Geologi
Terjadi pada tipe dan
Hampir tidak ada
struktur geologi tertentu
hubungannya dengan geologi
Topografi
Kedalam pergerakan
Dapat terjadi pada lereng
Terjadi pada lereng
yang sedang
curam
Beberapa lebih dari 10
Antara 1 s.d. 2 meter
meter Besaran pergerakan
Besar
Kecil
Kecepatan
Umumnya lambat, kadang
Tiba-tiba
pergerakan
tiba-tiba
Faktor pemicu
Air tanah
Hujan deras
Tanda-tanda
Pohon miring, retak tanah
Hampir tidak ada
pergerakan
permukaan
Penggunaan tanah
Digunakan sebagai lahan
Tidak digunakan
pertanian Kemungkinan terjadi kembali
Mungkin terjadi
Tidak mungkin terjadi untuk beberapa tahun
8
Aliran debris terjadi dalam berbagai bentuk tergantung pada kondisi
daerah
danfaktor
penyebabnya.
Aliran
debris
dapat
diklasifikasikan menjadi lima tipe berdasarkan faktor penyebabnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3: Tipe aliran debris berdasarkan penyebabnya. Tipe
Uraian
Tipe pergerakan sedimen dasar
Massa aliran sedimen dipicu ketika
sungai
akumulasi sungai
sedimen
melebihi
pada
dasar
gradien
oleh
transportasi sedimen dasar sungai. Tipe kegagalan lereng
Kegagalan lereng langsung berubah menjadi aliran debris.
Tipe bendungan alam
Aliran debris ini disebabkan karena runtuhnya sebuah bendungan alam yang dibentuk oleh tanah longsor atau kegagalan lereng.
Tipe tanah longsor
Aliran
debris
terjadi
sebagai
fenomena tahap terakhir dari tanah longsor. Ini terjadi karena tanah mencair akibat perubahan tanah liat yang cepat. Tipe aktivitas vulkanik
Dalam arti sempit, aliran debris disebabkan oleh letusan gunung berapi atau gempa bumi. Namun dalam arti luas, aliran debris terjadi di daerah gunung berapi aktif. Suatu semburan
lumpur
vulkanik
termasuk dalam tipe ini.
9
Beberapa kasus bencana sedimen telah dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara bencana sedimen dan jenis geologi. Ikeya (1976) menuliskan hubungan ini sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4 di bawah ini.
50%
Daerah dengan geologi
13% Batuan metamorf
11% 7%
Produk vulkanik
20% 5%
Batuan tersier
20% 35% Batuan granit
Persentase jumlah bencana sedimen dari geologi
21% Lain-lain
18%
Gambar 4: Hubungan antara bencana sedimen dan jenis geologi. 1.2
Faktor Mekanis dan Faktor Pendorong BencanaSedimen Faktor mekanis dan faktor pendorong adalah faktor yang
memberikan kontribusi terhadap terjadinya bencana sedimen. Faktor mekanis adalah kondisi internal suatu tempat yang dapat menyebabkan bencana sedimen terjadi, sedangkan faktor pendorong adalah kekuatan dari luar yang dapat menyebabkan bencana sedimen terjadi. Pada Tabel 4 diuraikan faktor mekanis dan faktor pendorong terjadinya bencana sedimen.
10
Tabel 4:Faktor mekanis dan faktor pendorong bencana sedimen. Uraian Faktor Mekanis
Aliran debris Topografi DAS: keberadaan dalam lereng bukit yang tidak stabil dan curam, adanya air tanah dan mata air.
Kegagalan lereng Geologi: selain dari kekuatan batuan, faktor dominan adalah tingkat pelapukan, perubahan, retak dan patah, arah lapisan, kondisi pori lapisan, dan distribusi lapisan yang hilang seperti lapisan permukaan.
Tanah Longsor Tanah longsor terjadi paling sering pada lapisan yang disebut formasi tersier yang terbentuk sekitar 2 sampai 6 juta tahun yang lalu. Ini disebabkan karena formasi ini Topografi sungai: relatif baru, batuan rendah longitudinal gradien dasar dengan tingkat pemadatan dan sungai dan longitudinal Topografi: kegagalan lereng kurang tahan terhadap konfigurasi arah sungai. cenderung terjadi pada lereng pelapukan. Pelapukan dari o 40-50 , dan pada lereng atau formasi ini adalah khas dalam Sedimen yang tidak stabil: daerah mudah untuk tanah dan batuan dengan cepat lapisan tanah lapuk yang menampung air, seperti lereng menjadi butiran dan menjadi tebal pada sisi bukit yang cekung. lempung. Dua jenis batu berupa dengan kemiringan, batu pasir dan batu lempung, ketebalan dan jumlah Vegetasi: hutan memiliki efek memiliki properti sedimen sungai, untuk mencengah keruntuhan pembengkakan yang konsentrasi volumetrik dan berkaitan dengan kegagalan merupakan salah satu penyebab distribusi ukuran butir dari disebabkan oleh infiltrasi tanah longsor. sedimen yang curah hujan. terakumulasi.
Faktor Curah hujan: peningkatan Pendorong mendadak debit air dan intensitas air hujan yang tinggi.
Curah hujan: jumlah kegagalan lereng meningkat jika curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi ketika tanah dalam keadaan lembab.
Faktor pendorong menyebabkan tanah longsor adalah air. Air dari hujan meresap ke dalam tanah. Air yang meresap menghasilkan Aktivitas gempa, vulkanik: tekanan air pori dan kemudian jumlah sedimen yang tidak Aktivitas gempa, vulkanik: menurunkan kekuatan geser stabil dihasilkan oleh tanah menjadi tidak stabil tanah. Oleh karena itu, tanah kegagalan lereng (faktor ketika lereng stress akibat longsor cenderung terjadi pada mekanis), runtuhnya gempa bumi atau letusan musim hujan. sebuah kawah disebabkan gunung berapi. Sementara itu, tanah longsor oleh letusan vulkanik. yang disebabkan oleh aktivitas Air tanah: peningkatan manusia dikelompokkan tekanan air pori tanah menjadi dua jenis: tanah disebabkan karena aliran longsor yang terjadi akibat bawah permukaan oleh curah pemotongan lereng di daerah hujan menyebabkan kegagalan longsor dan tanah longsor yang lereng. terjadi akibat pemotongan atau penimbunan pada lereng bukan Aktifitas buatan: deforestasi daerah longsor. dan mengubah lereng alami dengan pemotongan dan penimbunan lereng.
11
Tanah longsor dapat di bagi enam berdasarkan proses kejadiannya, yaitu: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan (Highland dan Bobrowsky, 2008). Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Penjelasan terhadap tipe tanah longsor diuraikan di bawah ini dan juga ditunjukkan pada Gambar 5. 1) Longsoran translasi: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2) Longsoran rotasi: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. 3) Pergerakan blok: perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu. 4) Runtuhan batu: runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. 5) Rayapan tanah: jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah. 6) Aliran bahan rombakan: jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai
12
ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
Lereng asli
Lereng asli
Massa tanah yang bergerak
a)
Massa tanah yang bergerak
b) Posisi awal
Posisi awal
Blok yang bergerak
Jatuhan batu
c)
d)
Sebagian jalan tertutup material longsoran
e)
Gambar 5:
Material longsoran berasal dari lereng bagian atas, melanda alur dan meluas pada daerah landai
Lipatan batuan dasar di bawah tanah
f)
Jenis-jenis tanah longsor: a) Longsoran translasi, b) Longsoran rotasi, c) Pergerakan blok, d) Runtuhan batu, e) Rayapan tanah, f) Aliran bahan rombakan.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kejadian bencana tanah longsor di Indonesia diuraikan di bawah ini.
Hujan:ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan.Ketika hujan, air akan menyusup ke
13
bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.
Lereng terjal: lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 20o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.
Tanah yang kurang padat dan tebal: jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 22o. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.
Batuan yang kurang kuat: batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.
Jenis tata lahan: tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk
14
daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
Getaran: terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.
Susut muka air danau atau bendungan: akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 22o mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
Adanya beban tambahan: adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.
Pengikisan/erosi: pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.
Adanya
material
timbunan
pada
tebing:
untuk
mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang ada di bawahnya, sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.
Bekas longsoran lama: longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang
15
panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah, dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil, longsoran lama ini cukup luas.
Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung): memiliki ciri-ciri; bidang perlapisan batuan, bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar, bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat, bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air), bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat, bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.
Penggundulan hutan: tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.
Daerah pembuangan sampah: penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan.
1.3
MekanismeTerjadinyaBencanaSedimen Suatu permukaan tanah yang miring yang membentuk sudut
tertentu terhadap bidang horisontal disebut sebagai lereng (slope). Lereng dapat terjadi secara alamiah atau dibentuk oleh manusia dengan tujuan
16
tertentu. Jika permukaan membentuk suatu kemiringan maka komponen massa tanah di atas bidang gelincir cenderung akan bergerak ke arah bawah akibat gravitasi. Jika komponen gaya berat yang terjadi cukup besar, dapat mengakibatkan longsor pada lereng tersebut. Kondisi ini dapat dicegah jika gaya dorong (driving force) tidak melampaui gaya perlawanan yang berasal dari kekuatan geser tanah sepanjang bidang longsor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6 di bawah ini.
Keadaan tanah setelah longsor
Bidang gelincir Gambar 6:Kelongsoran lereng. Kegagalan lereng dapat terjadi dalam setiap lereng yang curam. Faktor pendorong kegagalan lereng terutama yang bersifat mengurangi resistensi geser tanah pada lereng, seperti curah hujan dan meningkatnya tingkat air tanah. Di sisi lain, tanah longsor dari tipe akumulasi sedimen sungai (sediment gradien type) dipicu ketika massa tanah kehilangan stabilitas akibat pengaruh kejenuhan. Mekanisme terjadinya tipe longsoran pada prinsipnya sama dengan penggunaan dalam analisis stabilitas lereng. Secara sederhana, kegagalan lereng dan aliran debris terjadi ketika gaya untuk memindahkan massa tanah menjadi lebih besar dari perlawanan geser yang diperoleh dari persamaan Mohr-Coulomb di bawah ini dan ditunjukkan pada Gambar 7.
17
τ = c + (δ − u) tanφ dimana :
(1)
τ = tegangan total pada bidang geserc= kohesi efektif
Kekuatan geser
u= tegangan air poriφ= sudut geser dalam efektif
Tegangan Normal efektif Gambar 7: Kekuatan geser tanah/batuan. Untuk menilai potensi terjadinya tanah longsor atau kegagalan lereng faktor keamanan (Fs) harus dimasukkan. Faktor Keamanan yang menunjukkan stabilitas lereng ditentukan oleh rasio kekuatan geser dengan tegangan geser, yang dinyatakan dengan rumus: Fs=τL/τ dimana: Fs= faktor keamanan
(2) τL = kekuatan geser
τ = tegangan geser Sedangkan stabilitas lereng dinilai dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Fs >1 : kegagalan lereng tidak mungkin terjadi Fs<1 : kegagalan lereng mungkin terjadi Fs= 1 : lereng dalam kondisi kritis
18
2.
BENCANA SEDIMEN DI INDONESIA Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard
potency) yang sangat tinggi. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir dan lain-lain. Dari indikator-indikator di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Di samping tingginya potensi bahaya utama, Indonesia juga memiliki potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator di atas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi. Perjalanan sejarah bencana di Indonesia khususnya bencana alam dimulai sejak tahun 1815 dengan meletusnya Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada tanggal 11 sampai 12 April 1815. Letusan gunung ini menyebabkan perubahan iklim dunia terutama perubahan cuaca di Amerika Utara dan Eropa. Beberapa catatan bencana alam besar yang terjadi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 5 di bawah ini.
19
Tabel 5: Bencana alam besar di Indonesia Tahun 1815
Bencana Gunung Tambora meletus: Jumlah korban dari berbagai penelitian menuliskan sekitar 71.000 jiwa meninggal dunia.
1883
Gunung Krakatau meletus: Mengakibatkan tsunami dan menghilangkan lebih dari 36.000 jiwa. Letusan ini menjadi catatan sejarah dunia tersendiri karena tsunami yang diakibatkan mencapai hingga Hawaii dan Amerika Selatan.
1930
Gunung Merapi meletus: Mengakibatkan 1.300 jiwa meninggal dunia.
1963
Gunung Agung meletus: Menewaskan sekitar 1.000 jiwa.
2004
Gempa dan Tsunami di Aceh dan kawasan sekitarnya: Menewaskan sekitar 170 ribu jiwa, jumlah terbesar yang tercatat dalam sejarah modern bencana alam Indonesia.
2005
Gempa di Nias, Sumatera: Mengakibatkan sekitar 1000 jiwa meninggal.
2006
Gempa di Yogyakarta: Menewaskan sekitar 5.782 jiwa
2007
Gempa di Bengkulu, Sumatera: Mengakibatkan sekitar 70 jiwameninggal dunia.
Di
Indonesia,
bencana
sedimen
khususnya
tanah
longsor
merupakan bencana yang paling sering terjadi setelah bencana banjir. Jumlah kejadian mencapai 18% dari total kejadian bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB, 2012). Pada Gambar 8 di bawah ini terlihat distribusi bencana berdasarkan tipe bencana, korban dan jumlah kejadian dari tahun 1815 hingga 2012. Melihat jumlah korban meninggal akibat bencana yang terjadi maka gempa bumi disertai tsunami adalah tipe bencana yang paling banyak menelan korban di samping letusan gunung berapi. Akan tetapi jika melihat dari jumlah kejadian
20
28 318 178 277
0
18 116 26 171
2500
109 95 111
Tsunami
Tsunami
Tanah longsor
0
Tanah longsor
5995 73 2198 2 1515
Puting beliung
Letusan gunung berapi
80000
Puting beliung
Konflik/kerusuhan sosial
Kejadian luar biasa (KLB)
Kekeringan
Kecelakaan transportasi
100000
Letusan gunung berapi
Konflik/kerusuhan sosial
1500
Kejadian luar biasa (KLB)
2000
Kekeringan
Kecelakaan Industri
8
Kecelakaan transportasi
Kebakaran hutan dan lahan
40
Kecelakaan Industri
18591 15562 2197 148
Hama tanaman
Gempa bumi dan tsunami
324
Kebakaran hutan dan lahan
9
Hama tanaman
Gempa bumi
Gelombang pasang/abrasi
Banjir dan tanah longsor
Jumlah korban 180000
Gempa bumi dan tsunami
Gempa bumi
500
Gelombang pasang/abrasi
4500
Banjir
20000
Banjir dan tanah longsor
Aksi teror/sabotase
40000
Banjir
Aksi teror/sabotase
Jumlah Kejadian
bencana di Indonesia maka banjir dan tanah longsor merupakan tipe
bencana yang paling sering terjadi.
160000 167768
140000
120000
78598
60000
3519 240 1739
Jenis Bencana
4000 4131
3500
3000
1919 1958
1415
1000
13
Jenis Bencana
Gambar 8: Distribusi bencana berdasarkan tipe bencana, korban dan
jumlah kejadian dari tahun 1815 hingga 2012.
21
Berdasarkan data BNPB 2012 satu tahun terakhir (13-8-2011 sampai 16-7-2012) terdapat 67 kejadian bencana terkait sedimen khususnya tanah longsor di Indonesia pada berbagai provinsi. Dari kejadian ini telah menelan korban sebanyak 74 jiwa meninggal dunia, ratusan rumah mengalami kerusakan, fasilitas umum dan luka ringan maupun luka berat pada penduduk. Tiga provinsi yang paling sering mengalami bencana tanah longsor satu tahun terakhir ini adalah Provinsi Jawa Barat mencapai 31% dari total bencana tanah longsor, kemudian disusul Provinsi Jawa Tengah mencapai 18% dan selanjutnya Provinsi Sumatera Selatan mencapai 9% (Gambar 9). Secara rinci jumlah kejadian bencana tanah longsor 1 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini dan Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan situasi dari bencana tanah longsor di Indonesia.
Jumlah kejadian bencana
25 20
15 10 5
Kalimantan Selatan
Banten
Lampung
Bali
Bengkulu
Maluku
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Tangah
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
0
Provinsi
Gambar 9: Distribusi kejadian bencana tanah longsor satu tahun terakhir (13-8-2011 sampai 16-7-2012) di berbagai provinsi di Indonesia.
22
Tabel 6: Bencana tanah longsor di Indonesia 1 tahun terakhir (13-8-2011 sampai 16-7-2012) No 1
Tanggal 16/07/2012
Provinsi Maluku
Korban 2 jiwa meninggal dunia
2
08/07/2012
Sulawesi Tengah
3
19/06/2012
Maluku
4
01/06/2012
Jawa Barat
5
26/05/2012
Maluku
6
24/05/2012
Jawa Barat
7
08/05/2012
Jawa Tengah
3 jiwa meninggal dan beberapa 8 rumah rusak berat terluka 5 jiwa meninggal dan beberapa 2 rumah rusak berat terluka 1 jiwa meninggal dan 1 jiwa Nihil terluka 9 jiwa meninggal dan beberapa 8 rumah rusak total, 33 rumah jiwa terluka, 87 jiwa mengungsi rusak berat, 88 rumah rusak ringan, 2 sekolah tergenang, 24 titik bahu jalan longsor 16 jiwa tertimbun (8 jiwa Nihil meninggal, 8 selamat) 70 KK mengungsi Dalam pendataan
8
05/05/2012
Jawa Tengah
Nihil
2 rumah rusah sedang
9
02/05/2012
Bengkulu
Nihil
Jalan rusak 100 m
10
02/05/2012
Jawa Barat
11
30/04/2012
Jawa Tengah
12
23/04/2012
Sulawesi Barat
13
20/04/2012
Jawa Barat
14
18/04/2012
Jawa Barat
1 jiwa meninggal dan beberapa jiwa terluka Nihil 7 rumah rusak dan beberapa fasilitas umum rusak 1 jiwa meninggal dunia dan 2 4 mobil RB, 2 motor RB jiwa terluka Nihil 2 rumah rusak berat, 2 rumah rusak ringan 12 rumah rusak
15
14/04/2012
Jawa Barat
Nihil
16 17
09/04/2012 05/04/2012
Jawa Barat Jawa Barat
Nihil, 9 jiwa terdampak
18
04/04/2012
Jawa Barat
Nihil
19
02/04/2012
Jawa Barat
Bebera KK terkena dampak
20
16/03/2012
Nusa Tenggara Barat Nihil
Kerugian 2 rumah rusak
Puluhan rumah rusak dan puluhan KK mengungsi 2 rumah rusak berat Merusak fasilitas umum berupa jalan 200 m 5 rumah ruak berat, 6 rumah rusak ringan 3 rumah rusak berat, 2 rumah rusak ringan, 3 rumah rusak sedang 64 rumah rusak berat, 20 KK terancam longsor, 70 Ha pertanian dan 30 Ha perkebunan rusak
23
Tabel 6 (lanjutan) No 26
Tanggal 26/02/2012
Provinsi Sumetera Selatan
27 28
21/02/2012 19/02/2012
Jawa tengah Jawa Barat
29 30
15/02/2012 14/02/2012
Jawa Barat Jawa Barat
31
10/02/2012
Jawa Barat
32 33 34 35
04/02/2012 01/02/2012 20/01/2012 19/01/2012
Bali Banten Sumatera Selatan Jawa tengah
Kerugian Jalan utama longsor sepanjang 4 meter 2 jiwa meninggal dunia 8 rumah roboh Nihil 2 rumah rusak berat, 3 rumah terancam longsor Nihil 2 rumah rusak berat Nihil 1 rumah rusak berat, 4 rumah terancam longsor 1 jiwa meninggal dunia, 1 luka 1 rumah rusak ringan ringan Nihil 1 rumah rusak berat Nihil 21 rumah rusak ringan 1 jiwa meninggal dunia Nihil Nihil 2 rumah Roboh, 1 terancam roboh
36 37
18/01/2012 11/01/2012
Sumetera Selatan Jawa tengah
2 jiwa meninggal dunia Nihil
38 39
09/01/2012 08/01/2012
Sumatera Barat Jawa Barat
40
07/01/2012
Sumatera Barat
41
05/01/2012
Sumatera Selatan
42
01/01/2012
Jawa Tengah
43
01/01/2012
Jawa Tengah
44 45
01/01/2012 30/12/2011
Jawa Timur Banten
46
20/12/2011
Sumatera Utara
47
19/12/2011
Sumatera Barat
48
14/12/2011
Lampung
49
06/12/2011
Jawa Barat
50
04/12/2011
Jawa Tengah
24
Korban
Nihil
Nihil Akses jalan kecamatan tertimbun material Nihil Menimbun jalur aliran sungai 2 Jiwa meninggal dunia, 2 jiwa 1 ruas jalan putus 10 meter luka berat 1 jiwa meninggal dunia dan 1 jiwa terluka Jalan sepanjang 25 meter, mengalami penurunan sekitar 1,5 meter 16 jiwa / 5 KK mengungsi 3 rumah rusak berat dan 7 rusak ringan Nihil 12 rumah rusak berat, 6 desa terisolir Nihil 1 rumah rusak berat 1 jiwa meninggal dan beberapa Tidak ada data jiwa terluka 3 jiwa meninggal dunia dan Badan jalan ambles, 1 minibus puluhan terluka Nihil 3 rumah hancur, 2 mobil, jalan lintas sumatera terputus Nihil Badan jalan menonjol 1,5 m sepanjang 100 meter, sehingga akses ke 25 dusun di 12 desa terputus 57 KK/223 jiwa mengungsi 12 rumah rusak berat dan 29 rusak ringan Nihil 3 rumah rusak berat
Tabel 6 (lanjutan) No 51 52
Tanggal 01/12/2011 30/11/2011
53 54
27/11/2011 25/11/2011
55
24/11/2011
56
24/11/2011
57
13/11/2011
58
04/11/2011
59
04/11/2011
60 61 62
03/11/2011 01/11/2011 20/09/2011
63 64 65 66
20/09/2011 10/09/2011 06/09/2011 13/08/2011
67
13/08/2011
Provinsi Sumatera Selatan Sumatera Utara
Korban Nihil 6 jiwa meninggal dunai, 30 hilang 22 jiwa mengungsi Nihil
Kerugian 2 rumah roboh, 1 terancam roboh 37 rumah tertimbun, 28 sepeda motor, 4 mobil, 1 jembatan. Bengkulu 6 rumah roboh Jawa Timur 20 meter tanggul longsor, dengan kedalaman 4 meter Jawa Barat 2 jiwa meninggal dunia, 2 jiwa 5 rumah rusak berat luka ringan, 28 mengungsi Sumatera Barat 2 jiwa meninggal dunai, 1 1 rumah tertimbun, dan material hilang longsor menutup badan jalan Jawa Barat 3 jiwa meninggal dunia, 2 luka 1 rumah rusak berat berat Jawa Tengah 2 jiwa meninggal dunia 6 rumah rusak berat dan 6 rusak ringan Jawa Tengah Nihil beberapa rumah dan jalan rusak terkena longsor Jawa tengah Nihil Puluhan rumah rusak Jawa Barat 16 jiwa mengungsi 3 rumah rusak berat Jawa tengah 4 jiwa meninggal dunia dan 2 Nihil terluka Sumatera Selatan Nihil 1 rumah rusak berat Sumatera Barat 4 jiwa meninggal dunia 1 rumah rubuh Sulawesi Utara 1 jiwa tertimbun 3 motor Kalimantan Selatan 17 jiwa terluka ringan 5 rumah ambruk, 1 rumah rusak berat Nusa Tenggara Timur 4 jiwa meninggal dunia dan 9 jiwa terluka
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, PNPB, 2012.
25
Kaldera yang runtuh
Kawasan hutan Sungai Jeneberang
Gambar 10:
Situasi tanah longsor di sertai aliran debris di Kaldera Bawakaraeng, Provinsi Sulawesi Selatan, 26 Maret 2004, mengakibatkan 32jiwa meninggal dunia.
Gambar 11: Situasi tanah longsor di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, 24 Mei 2012, mengakibatkan 8 jiwa meninggal dunia.
26
3.
MITIGASI BENCANA SEDIMEN
3.1
Konsep Mitigasi Bencana Sedimen Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk
pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan
pengurangan
resiko
jangka
panjang.Dalam
Undang-undang RI No.24 tahun 2007 menyebutkan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi (Coburn et al., 1994). Konsep mitigasi bencana adalah bahwa seorang yang bijaksana tidak akan mendekati daerah bahaya dan mengevakuasi diri dari bahaya. Konsep ini memiliki arti yang sangat penting dalam rangka mencengah ataupun mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi. Tidak bermukim pada daerah yang rawan longsor adalah salah satu bentuk mengimplementasi dari konsep ini, yakni tidak mendekati daerah berbahaya. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 12, bahwa satu keluarga ingin membangun sebuah rumah dan setelah dilakukan penyelidikan ternyata lokasi untuk mendirikan rumah berbahaya terkena bahaya longsor. Dengan tindakan yang bijaksana mereka menghindari untuk membangun rumah pada lokasi tersebut.
27
Gambar 12:
Ilustrasi
suatu
tindakan
yang
bijaksana
sebagai
implementasi konsep mitigasi bencana. Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu :1) tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuktiap jenis bencana, 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana, 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4)pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana. 3.2 Strategi Mitigasi Bencana Sedimen Beberapa strategi dalam mitigasi bencana dapat dilaksanakan sebagai suatu kebijakan sebagai berikut:
Pemetaan Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah
melakukan
pemetaan daerah rawan bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan terutama dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saat ini penggunaan
28
peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : 1) Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan, 2) Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik, 3) Peta bencana belum terintegrasi, 4)Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga menyulitkan dalam proses integrasinya.
Pemantauan Dengan mengetahui tingkat kerawanan secaradini, maka dapat
dilakukan antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan mudah melakukan penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategis secara jasa dan ekonomi dilakukan di beberapa kawasan rawan bencana.
Penyebaran informasi Penyebaran
informasi
dilakukan
antara
lain
dengan
cara:
memberikan poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi seluruh Indonesia yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan elektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran
informasi dengan
tujuan
meningkatkan
kewaspadaan
terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah
daerah
dalam
hal
penyebaran
informasi
diperlukan
mengingat Indonesia sangat luas.
Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan
kepada SATKOR-LAK PB, SATLAK PB, danmasyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dankesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal penting yang perlu diketahui masyarakat dan pemerintah daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu dilakukan dan dihindarkan di daerah
29
rawan bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana.
Pelatihan/Pendidikan Pelatihan
difokuskan
kepada
tata
cara
pengungsian
dan
penyelamatan jika terjadi bencana. Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur informasi daripetugas lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB,SATLAK PB dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk.
Peringatan Dini Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat
kegiatan hasil pengamatan secara kontinyu disuatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika
sewaktu-waktu
terjadi
bencana.
Peringatan
dini
tersebut
disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini secara teknis dapat lakukan antara lain dengan pengalihan jalur jalan (sementara atau seterusnya), pengungsian dan atau relokasi. Sedangkan tindakan yang dapat dilakukan selama dan sesudah kejadian bencana sedimen antara lain:
Tanggap darurat: yang dilakukan dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban
tidak
bertambah.
Ada
beberapa
hal
yang
harus
diperhatikan, antara lain: kondisi medan, kondisi bencana, peralatan dan informasi bencana.
Rehabilitasi: upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga
perkembangan
pengendaliannya
30
sedimen
supaya
terkait
sedimen
bencana
terkait
dan
teknik
bencana
tidak
berkembang. Penentuan relokasi korban perlu ditetapkan jika bencana sedimen sulit dikendalikan.
Rekonstruksi: penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan bencana sedimen tidak menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh sedimen seperti
tanah
longsor,
karena
kerentanan
untuk
bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%. 3.3
Langkah Pengendalian BencanaSedimen Dalam kasusbencanasedimen, sangat sulit untuk melakukan
tindakan secara menyeluruh terhadap pengendalian disetiap lokasi yang rawan. Ini di sebabkan karenalokasi kejadian hampirtak terhitung jumlahnya.
Oleh karena itu, penting untuk mengurangi kerusakan
dengan mendirikan peringatan yang efektif dan sistem evakuasi, yang mencakup jangkauan wilayah bahaya, prediksi fenomena berbahaya yang mengarah ke bencana, dan penunjukan wilayah bahaya bencana sedimen. Sebenarnya, banyak kasus telah dilaporkan dimana orang tidak terkena dalam bencana sedimen karena mereka dievakuasi tepat pada waktunya dengan mendeteksi tanda-tanda bencana dengan cepat .Ini jelas menunjukkan bahwa masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang potensi bencana di daerah mereka. Sebelum zaman modern, beberapa orang tinggal di daerah rentan terhadap bencana sedimen. Mereka menurunkan pengalaman bencana dari generasi ke generasi sebaga isejarah daerah mereka.
Namun,
dengan peningkatan jumlah penduduk dan perluasan lahan pertanian setelah memasuki zaman modern, penduduk yang tinggal di daerah berbahaya telah meningkat pesat. Masyarakat yang tinggal di daerah yang
31
baru dikembangkan seringkali tidak memiliki pengetahuan tentang bencana sedimen. Ada dua pendekatan untuk mengendalikan bencana sedimen yaitu dengan pendekatan struktur dan non struktur. Pendekatan dengan stuktur dapat dilakukan dengan cara membangun bangunan pengendali sedimen. Sedangkan pendekatan dengan non struktur dapat dilakukan mempertimbangkan metode seperti: (i) pengembangan sistem peringatan dan evakuasi (ii) membatasi penggunaan lahan pada daerah beresiko bencana sedimen (iii) mempersiapkan peta bahaya bencana dengan melibatkan masyarakat. Mencegah terjadinya bencana dengan pengendalian faktor mekanis dan
faktor
pendorong
dengan
pendekatan
struktur
merupakan
pendekatan yang paling dasar untuk pencegahan bencana. Pendekatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk merealisasikannya. Harus dipahami bahwa bencana kadang-kadang menyerang kita di luar kemampuan dan prediksi kita. Oleh karena bencana kadang sangat sulit untuk
mengidentifikasi
lokasi
dan
waktu
kejadian
sebelumnya.
Pencegahan sempurna dari bencana sedimen hampir mustahil dilakukan meskipun dengan perkembangan teknologi yang maju saat ini, dengan demikian secara bersama upaya yang terus menerus untuk mencegah terjadinya bencana sedimen. Aspek lain yang penting menjadi fokus adalah untuk mencegah dampak lebih besar kerusakan jika bencana terjadi dan hal ini dapat dilakukan dengan sistem evakuasi yang efektif. 3.3.1 Pendekatanstruktur terhadap aliran debris Sebagai metode untuk pengendalian aliran debris, ada tiga metode yang dipertimbangkan: (i) mencegah gerakanaliran debris yang akan mulai bergerak, (ii) mencegah gerakan aliran debris yang sudah mulai bergerak, (iii) mengendalikan energi dari gerakan aliran debris.
32
Tindakan pengendalian terhadap aliran debris harus ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi topografi, subjek konservasi, penyebab aliran debris, daerah kejadian, daerah yang dialiri dan daerah sedimentasi. Langkah-langkah pencegahan utama dengan pendekatan struktur yang dapat dilakukan berdasarkan daerah kejadian dijelaskan sebagai berikut: -
Daerah kejadian(on site):soil retaining works dangroundsill (Gambar 13).
-
Daerah transportasi atau sepanjang daerahaliran: sabo dam dan sand pocket (Gambar 14).
-
Daerah sedimentasi: revetment works dandam works (Gambar 15). Daerah transportasi dan daerah sedimentasi dapat digolongkan
sebagai daerah off site. Langkah-langkah pencengahan utama dengan pendekatan struktur dapat dilakukan dengan mengkombinasikan metode sipil teknisdan metode vegetatif seperti terlihat pada Gambar 13 (a).
33
a)
b)
Gambar 13:
Soil retaining works di Kathmanhu, Nepal (a) dan Groundsill di Jawa, Indonesia (b).
34
a)
b)
Gambar 14:
Sabo dam(a) dan sand pocket(b) di Sungai Jeneberang, Sulawesi Selatan.
35
a)
b)
Gambar 15:
Revetment works di kali Jenes, Solo (a) dan dam works di sungai Jeneberang, Sulawesi Selatan (b).
36
3.3.2 Pendekatan
struktur
terhadap
pencegahan
kegagalanlereng Secara umum, pencegahan bencana terkait kegagalan lereng dengan menggunakan pendekatan struktural diklasifikasikan menjadi dua jenis pekerjaan yaitu: pekerjaan pengawasan dan pekerjaan pengendalian. Pekerjaan pengawasan digunakan untuk mengurangi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan lereng, sedangkan pekerjaan pengendalian dimaksudkan untuk mencegah kegagalan lereng dengan instalasi struktur. Secara sederhana dijelaskan dalam Tabel 7 dan ditunjukkan dalam Gambar 16. Tabel7: Pendekatan struktural terhadap pencegahan kegagalanlereng. Tipe
Tujuan utama
Tipe pekerjaan
Pekerjaan
Untukmengurangi dampak
Pekerjaan drainase,
pegawasan
daricurah hujan
pekerjaan vegetasi, pekerjaan perlindungan lereng.
Untuk mengurangi massa tanah yang mungkin longsor
Pelandaian lereng dari tanah yang tidak stabil
Pekerjaan
Untuk memperkuatlapisan
Pekerjaan dinding
pengendalian
permukaantanahdalamlereng
penahan, pekerjaan jangkar pada tanah/batuan, pekerjaan tanggul
37
Pekerjaan lereng yang curam
Pekerjaan beton boks
Pekerjaan mempertahankan diding
Pekerjaan jangkar pada tanah
Gambar 16: Tindakan pencegahanterhadap kegagalan lereng.
38
4.
PENGEMBANGAN SISTEM PERINGATAN DAN EVAKUASI Sistem peringatan (warning system) merupakan serangkaian
sistem untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena waktu yang sempit dari saat dikeluarkannya informasi dengan saat (dugaan) datangnya bencana. Kondisi kritis, waktu sempit, bencana besar dan penyelamatan penduduk merupakan faktor-faktor yang membutuhkan peringatan dini. Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu bagi penduduk untuk meresponnya. Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya merupakan muara dari suatu alur proses analisis data mentah tentang sumber bencana dan sintesis dari berbagai pertimbangan. Ketepatan informasi hanya dapat dicapai apabila kualitas analisis menuju pada keluarnya informasi mempunyai ketepatan yang tinggi. Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua bagian utama dalam peringatan dini yaitu bagian hulu yang berupa usaha-usaha untuk mengemas data menjadi informasi yang tepat dan bagian hilir berupa usaha agar infomasi cepat sampai di masyarakat. Bagi masyarakat Indonesia, sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana sangatlah penting, mengingat secara geologis dan klimatologis wilayah Indonesia termasuk daerah rawan bencana alam. Dengan ini diharapkan akan dapat dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah atau paling tidak mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat. Keterlambatan dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi masyarakat. Dalam siklus manajemen penanggulangan bencana, sistem
39
peringatan dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap kesiagaan, sistem peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun instrumentasinya. Tujuan akhir dari peringatan dini ini adalah masyarakat dapat tinggal dan beraktivitas dengan aman pada suatu daerah serta tertatanya suatu kawasan. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut maka sebelumnya perlu dicapai beberapa hal sebagai berikut: (a) diketahuinya daerah-daerah rawan bencana di Indonesia, (b) meningkatkan pengetahuan
(knowledge), sikap
(attitude)dan praktik
(practice)dari masyarakat dan aparat terhadap fenomena bencana, gejala-gejala awal dan mitigasinya, (c) tertatanya suatu kawasan dengan mempertimbangkan
potensi
bencana,
(d)
secara
umum
perlu
pemahaman terhadap sumber bencana. Evakuasi adalah perpindahan langsung dan cepat bagi orang-orang untuk menjauh dari ancaman atau kejadian yang membahayakan. Evakuasi merupakan bagian dari manajemenbencana.Rencana evakuasi dikembangkan untuk memastikan waktu evakuasi yang paling aman dan efisien bagi penduduk dari ancaman suatu bangunan, kota atau wilayah. Urutan evakuasi dapat dibagi ke dalam tahap-tahap berikut:
deteksi
keputusan
alarm
reaksi
perpindahan ke area perlindungan
transportasi Sistem peringatan dan evakuasi bencana sedimen secara sederhana
dapat diaplikasikan di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 17 di bawah ini.
40
Radio Communication
Posko 2
Kentongan
Posko 1
Monitoring sedimen
Monitoring Curah Hujan
Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat
Posko 3 Evakuasi pada daerah aman
Camat Kelompok Masyarakat
Gambar 17: Sistem peringatan dan evakuasi yang dapat diadopsi di Indonesia.
4.1
Aplikasi Ambang Batas Curah Hujan untuk Peringatan Dini Penggunaan sistem peringatan berbasis ambang batas curah hujan
telah banyak digunakan pada berbagai tipe bencana di dunia. Secara umum, ada dua jenis ambang batas curah hujan yaitu; ambang batas empiris (emperical thresholds) dan ambang batas fisik (physical thresholds). Ambang batas empiris adalah nilai relasional berdasarkan analisis statistik hubungan antara kejadian hujan dan tanah longsor, aliran debris atau kegagalan lereng,sedangkan ambang batas fisik biasanya digambarkan dengan bantuan model hidrologi dan stabilitas yang mempertimbangkan parameter seperti hubungan antara curah hujan dan tekanan air-pori, infiltrasi, morfologi lereng dan struktur batuan dasar.
41
Sistem peringatan berbasis ambang batas empiris menggunakan komponen terkait dengan prakiraan curah hujan, real-time pengamatan curah hujan dan ambang batas curah hujan dengan tanah longsor atau aliran debris. Sistem peringatan ini pertama kali dikembangkan oleh USGS di San Francisco (Keefer et al., 1987; Wilson danWieczorek, 1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada perkiraan kuantitatifcurah hujan (6 jam curah hujan mendatang) dari kantor pelayanan cuaca nasional dalam sebuah sistem jaringan alat pengukur curah hujan real-time lebih dari 40 buah secara terus menerus dan ambang batas curah hujan yang menginisiasi tanah longsor (Cannon dan Ellen, 1985). Sistem serupa juga dikembangkan di Hong Kong (Brand et al., 1984.), Italia (Sirangelo dan Braca, 2001), Jepang (Onodera et al., 1974), Selandia Baru (Crozier, 1999), Afrika Selatan (Gardland dan Olivier, 1993) dan Virginia (Wieczorek dan Guzzetti, 1999). Di Hong Kong telah menerapkan sistem komputer secara otomatis untuk sistem peringatan tanah longsor dan ini merupakan sistem yang pertama kali di dunia untuk pendugaan tanah longsor (Premchitt, 1997). Sistem peringatan tanah longsor ini berdasarkan perkiraan curah hujan jangka pendek dan sistem ini dilengkapi alat pengukur curah hujan sebanyak 86 buah. Peringatan akan tanah longsor umumnya dikeluarkan jika dalam 24 jam hujan diperkirakan akan melebihi 175 mm atau dalam satu jam curah hujan diperkirakan akan melebihi 70 mm. Dalam situasi seperti ini radio lokal dan stasiun televisi diminta untuk menyiarkan peringatan kepada publik secara berkala. Ketika mengidentifikasi ambang batas peringatan maka adalah penting untuk mempertimbangkan dua hal pokok yaitu kecenderungan untuk memicu ambang batas dan masalah logistik yang bisa terjadi selama prosedur
darurat
evakuasi.
Misalnya,
batasan
peringatan
dapat
didefinisikan sebagai kurva yang sejajar dengan ambang memicu (kurva A pada Gambar 18), atau kurva yang ditetapkan sebagai waktu kritis “∆tc”
42
(yaitu waktu minimum yang diperlukan untuk mengevakuasi penduduk dari bahaya), bersifat konstan tidak terpengaruh dari jalur hujan dari curah hujan kritis, ∆tc1= ∆tc2 (kurva B pada Gambar18). Sedangkan diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 19.
TOTAL CURAH HUJAN (mm)
40
30
KONDISI TIDAK STABIL
T
20
10
Dtl0 0
Dtl2
40
0 Dtc0
Gambar 18:
Dtl1
KONDISI STABIL 80
Dtc1
Dtc2
120 WAKTU (Jam) (DURASI HUJAN)
Kurva peringatan bencana sedimen berdasarkan ambang batas curah hujan. Kurva peringatan didefinisikan sebagai batas di mana jika terlampaui maka prosedur keadaan darurat segera dilakukan (modifikasi dari Aleotti, 2004).
43
Ulangi prakiraan hujan
PRAKIRAAN HUJAN REGIONAL
Ya
Melebihi Ambang?
KEADAAN KRITIS
Tidak
KEADAAN BIASA
Penilaian bahaya longsor pada wilayah terkait
Ulangi prakiraan hujan
Tidak
Ya
Longsor mengancam wilayah?
MULAI PROSEDUR PERINGATAN DINI
Pengambilan data hujan berjalan (real-time)
Pengambilan data hujan sebelumnya (15 hari)
Pengambilan statistik hujan berjalan (MAP, kala ulang dll)
Identifikasi awal hujan kritis (to)
Identifikasi awal kumulatif dari pengukuran berjalan
Tidak
Gambar lintasan hujan pada kurva ambang
Ya
Hujan berakhir (min. 6 jam
Tidak
Waktu kritis Dtc meningkat
Tidak
Melebihi ambang peringatan
Ya KEADAAN KRITIS BERAKHIR
Ya PEMBERIAN PERINGATAN DINI
Mulai prosedur darurat (Evakuasi)
Gambar 19:
Diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor (dimodifikasi dari Aleotti, 2004).
44
Suatu penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan tentang ambang batas curah hujan terhadap tanah longsor khususnya tanah longsor dangkal. Penelitian ini menunjukkan bahwa durasi hujan pendek dengan intensitas curah hujan tinggi memicu tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa intensitas curah hujan di atas 50 mm/jam dapat menyebabkan tanah longsor dangkal yang dapat mengakibatkan kerusakan harta benda dan kehilangan jiwa manusia (Gambar 20, 21 dan Gambar 22).
Gambar 20:Tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan.
Intensitas (mm/jam)
100
10
I= 52D-0.79
1
0
1
10 Durasi (jam)
100
Gambar 21: Ambang batas curah hujan untuk tanah longsor dangkal di Provinsi
Sulawesi
Selatan,
di
atas
garis
peringatan
kemungkinan tanah longsor dangkal terjadi (Hasnawir et al., 2012).
45
a)
b)
c)
Gambar 22:
d)
Distribusi tanah longsor dangkal dengan kondisi: a) curah hujan, b) elevasi, c) geologi dan d) tipe tanah di Sulawesi Selatan.
46
Beberapa kendala yang dihadapi di Indonesia terutama pada daerah-daerah pengunungan dalam menerapkan sistem peringatan dini terhadap bencana sedimen salah satunya adalah ketersediaan dan keterbatasan informasi curah hujan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat penakar curah hujan yang tersedia. Secara sederhana untuk memonitoring curah hujan dapat menggunakan botol plastik ataupun desain sederhana seperti terlihat pada Gambar 23 di bawah ini. Selain itu dapat pula mengaplikasikan suatu alat sensor peringatan terhadap tanah longsor, aliran debris ataupun kegagalan lereng jarak jauh hasil rekayasa alat dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar seperti ditunjukkan pada Gambar 24.
Bagian saluran hujan
Bagian menampung hujan
Gambar 23:
Penakar curah hujan sederhana dengan botol plastik dan desain alat sederhana penakar hujan hasil rekayasa Balai Penelitian Kehutanan Makassar yang dapat digunakan untuk aplikasi peringatan bencana sedimen.
47
<<< >>
Gambar 24:
Alat sensor peringatan tanah longsor hasil rekayasa Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Alat ini mendeteksi tanah longsor yang ditempatkan pada daerah yang berisiko tinggi untuk runtuh.
48
4.2
Kasus-Kasus Evakuasi
Hampir setiap hari orang mengungsi dari rumah, kantor, tempat umum, bahkan kapal, dalam menanggapi ancaman aktual atau diprediksi suatu bahaya atau bencana. Evakuasi adalah
aksi utama dari
perlindungan atas bencana seperti banjir, tsunami, letusan gunung berapi dan tanah longsor atau aliran debris. Beberapa kasus evakuasi yang berhasil di Jepang terutama kasus bencana sedimen, misalnya, di Fudonokuchi pada tahun 1981, ketika penduduk mengalami bencana sedimen. Penduduk dievakuasi 3 jam sebelum terjadinya aliran debris skala besar (Tabel 8). Sumikawa-Akita vulkanik daerah, di mana pada tahun 1997 tanah longsor terjadi disertai aliran debris. Peringatan diberitahu dengan klakson mobil, penduduk dievakuasi. Beberapa jam kemudian, longsor terjadi disertai aliran debris. Pada tahun 1997 di Nagasaki, hujan deras memicu tanah longsor skala besar. Rumah-rumah terkubur di bawah tanah tebal, akan tetapi penduduk
sudah
dievakuasi.
Keberhasilan
evakusi
di
Nagasaki
disebabkan beberapa hal antara lain; observasi pergerakan tanah dan seorang pria bijaksana memberitahukan melalui sistem informasi, dan juga kerjasama yang baik dari pihak terkait serta waktu peringatan untuk evakuasi yang tepat (Tabel 9).
49
Tabel 8: Evakuasi dari aliran debris di Misugi, Jepang pada tanggal 1-8-1982 (Omura, 2002) Waktu 12:45
Fenomena
15:00 16:00 17:13
Gema kuat pada radar
20:00
Curah hujan maksimum Resesi level air Batu-batu bergulir Aliran debris
21:00
Mengatasi Tanah Longsor Peringatan akan hujan lebat Menetapkan ukuran peringatan dari kantor pusat Evakuasi garis pertama Evakuasi garis kedua Evakuasi garis ketiga Persiapan darurat dari grup pemadam kebakaran Signal tanda aliran debris
Tabel 9: Evakuasi dari tanah longsor di Nagasaki, Jepang pada bulan Juli 1997 (Omura, 2002)
Tanggal 15
Waktu Fenomena rembesan dari celah baru
16
50
Mengatasi Tanah Longsor Pemberitahuan yang melihat gejala kepada masyarakat Menetapkan ukuran peringatan dari kantor pusat
Batu-batu kecil jatuh
18
18:20 Tanah longsor skala kecil 19:30 21:00
19
1:10 2:00 2:18 3:00 3:16 3:49
Pemberitahuan kepada pemerintah kota Memulai evakuasi secara spontan Meminta 25 keluarga untuk mengungsi
Spontan sebanyak 29 keluarga mengungsi Tanah longsor skala kecil Tanah longsor skala sedang Formal peringatan bencana di kota Tanah longsor skala besar
63 keluarga dianjurkan mengungsi
5.
PENUTUP Bencana sedimen adalah fenomena yang menyebabkan kerusakan
baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan harta benda, ketidaknyamanan bagi kehidupan masyarakat, dan atau kerusakan lingkungan, melalui suatu skala besar pergerakan tanah dan batuan. Bencana sedimen khususnya tanah longsor merupakan salah satu tipe bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Mitigasi bencana diperlukan sebagai tindakan untuk mengurangi dampak bencana sedimen yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Buku dengan judul “Mitigasi Bencana Sedimen: Teori dan Aplikasi” memuat dasar-dasar teori bencana sedimen seperti faktor mekanis dan faktor pendorong yang mengakibatkan bencana sedimen, mekanisme terjadinya bencana sedimen, konsep mitigasi bencana sedimen, strategi mitigasi bencana sedimen, langkah pengendalian bencana sedimen serta pengembangan sistem peringatan dan evakuasi dari bencana sedimen. Buku ini memuat pula beberapa kasus bencana sedimen dan aplikasi ambang batas curah hujan untuk peringatan dini terhadap bencana sedimen disamping memuat kasus-kasus evakuasi bencana sedimen yang pernah terjadi. Teori dan aplikasi dari mitigasi bencana sedimen khususnya tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng
dalam
buku
ini
diharapkan
dapat
berkonstribusi
dalam
menyediakan informasi dan petunjuk dalam upaya mengurangi dampak bencana sedimen di Indonesia.
51
Daftar Pustaka Aleotti, P. (2004): A warning system of rainfall-induced shallow failure. Engineering Geology, Vol.73, pp.247–265. Brand, E.W., Premchitt, J. and Phillipson, H.B. (1984): Relationship between rainfall and landslides in Hong Kong. Proc. of theIV International Symposium on Landslides, Toronto, vol. 1, pp. 377–384. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB(2012) : Data Informasi Bencana Indonesia, Jakarta. Cannon, S.H. and Ellen, S.D. (1985): Rainfall conditions for abundant debris avalanches, San Francisco Bay region, California. Geology, Vol.38, pp.267–272. Coburn, A.W, Spences, R.J.S.and Pomonis, A. (1994) Disaster Mitigation. Cambridge Architectural Research Limited, United Kingdom. Crozier, M.J. (1999): Prediction of rainfall-triggered landslides: a test of the antecedent water status model. Earth Surface Processes and Landforms, Vol.24, pp.825–833. Gardland, G.G. and Olivier, M.J. (1993): Predicting landslides from rainfall in a humid, subtropical region. Geomorphology, Vol. 8, pp.165– 173. Hasnawir, Kubota T. and Castillo L.S. (2012): Rainfall-induced shallow landslides in South Sulawesi, Indonesia. International Session of Sabo meeting, 23-25 May 2012, Kochi,Japan. Highland, L.M. and Bobrowsky, P. (2008): The Landslide Handbook-A Guide to Understanding Landslides. Reston, Virginia, U.S. Geological Survey Circular 1325, 129 p. Ikeya, H. (1976): Introduction to sabo works: The preservation of land against sediment disaster. The Japan Sabo Association, Japan.
52
Keefer, D.K.,Wilson, R.C., Mark, R.K., Brabb, E.E., Brown,W.M.,Ellen, S.D., Harp, E.L., Wieczorek, G.F., Alger, C.S. and Zatkin, R.S. (1987): Real time landslide warning system during heavy rainfall. Science, Vol. 238, pp.921–925. Ministry
of
Land,
Infrastructure
and
Transport-Japan
(2004):
Development of warning and evacuation system against sediment disasters in developing countries. Omura, H. (2002): Evolution of mitigation strategy of debris flow disaster in Japan. First International Conference on Debris Flow Disaster Mitigation Strategy, 3-4 December 2002, Taipe, Taiwan. Onodera, T., Yoshinaka, R. and Kazama, H. (1974): Slope failures caused by heavy rainfall in Japan. Proc. of the II International Congress International Association of Engineering Geology, Sao Paulo, Brasil, Vol. 11, pp.1–10. Premchitt, J. (1997): Warning system based on 24-hour rainfall in Hong Kong. Manual for zonation on areas susceptible to raininduced slope failure. Asian Technical Committee on Geotechnology for Natural Hazards in International Society of Soil Mechanics and Foundation Engineering, pp.72– 81. Sirangelo, B. and Braca, G. (2001): L‟individuazione delle condizioni dipericolo di innesco elle colate rapide di fango. Applicazione del modello FlaIR al caso di Sarno. Atti del Convegno: „„Il dissesto idrogeologico: inventario e prospettive‟‟, Roma. Undang-Undang Nomor 24 Tahun2007 tentang Penanggulangan Bencana (2007) : Presiden Republik Indonesia, Jakarta. Wilson, R.C. and Wieczorek, G.F. (1995): Rainfall threshold for the initiation of debris flow at La Honda, California. Environmental and Engineering Geoscience , Vol.11, pp.11–27.
53
Wieczorek, G.F. and Guzzetti, F. (1999): A review of rainfall thresholds for triggering landslides. Proc. of the EGS Plinius Conference, Maratea, Italy October 1999, pp. 407– 414.
54
Singkatan-Singkatan BNPB
:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPK
:
Balai Penelitian Kehutanan
P3KR
:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
SATKOR-LAK PB
:
Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana
SATLAK PB
:
Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana
UN-ISDR
:
United Nations International Strategy for Disaster Reduction
UNESCO
:
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
USGS
:
United States Geological Survey
UPT
:
Unit Pelaksana Teknis
55
TENTANG PENULIS Hasnawir, S.Hut, M.Sc, Ph.D adalah Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Memulai karir peneliti sejak tahun 2000. Menyelesaikan studi doktoral dan master bidang konservasi hutan dan pengendalian
erosi
padaGraduate
School
of
Bioresource
and
Bioenvironmental Sciences, Kyushu University, Japantahun 2010 dan 2007. Sarjana bidang manajemen hutan diperoleh pada Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 1998. Beberapa tulisan dimuat pada jurnal internasional antara lain:International Journal of Erosion Control Engineering,International
Journal
of
Ecology&Development,dan
Journal of Agriculture. Penulis buku dengan judulEarly Warning of Sediment Related Disasters in Mountain Rangesditerbitkan oleh LAP LAMBERT Academic Publishing, Germany, tahun 2012.Anggota dari the Japan Society of Erosion Control Engineering.
56