Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association of Forensic Medicine
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Proceeding Annual Scientific Meeting 2017
DIFFERENCE IN THE USAGE OF 10% FORMALIN AND 5% BORAKS AS EMBALMING FLUID ON LIVER OF WHITE RATS (Rattus Norvegicus) WISTAR STRAIN AFTER 0 – 24 HOURS OF DEATH Nabil Bahasuan1, Muhammad Rafif Amir1
Abstrak Embalming is the act of giving thorough antiseptic and preserving dead bodies. To prevent decomposition. Formaldehyde is a material commonly used for preserving dead bodies. However, exposure to formaldehyde can cause side effects, from mild symptoms to life threatening. Boraks has been known as an antiseptic, preservative and has similar functions with formaldehyde. To know the differences in the usage of 10% formalin and 5% boraks as embalming fluid on the Liver of white rats (Rattus norvegicus) Wistar strain after 0 – 24 hours of death. This is a laboratory experimental research using post test only control group design method. Using 16 rats that randomly divided into 2 groups: control group which was given 10% formalin and experimental group which was given 5% Boraks. Each group was observed for 1 day, after this, we take liver for investigation. Result of statistical analysis using Chi-Square test showed significancy value 0,302 (p>0,05) that means there is no significant differences in the usage of 10% formalin and 5% boraks as embalming fluid on the Liver white rats (Rattus norvegicus) Wistar strain after 0 – 24 hours of death. There are no differences in the usage of 10% formalin and boraks 5% as embalming fluid on the Liver of white rats (Rattus norvegicus) Wistar strain after 0 – 24hours of death. Keywords: Embalming, Formalin, Boraks, Liver Afiliasi Penulis : 1 Faculty of medical, Hang Tuah University Surabaya Korespondensi: Nabil Bahasuan,
[email protected], 0811348972
PENDAHULUAN Pengawet merupakan senyawa kimia, digunakan sebagai agen antimikroba yang ditambahkan kedalam formulasi sediaan untuk mengontrol pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroba. Pengawet yang digunakan harus bebas dari efek toksik atau iritasi sesuai konsentrasi yang digunakan, serta dapat mengatur stabilitas terhadap suhu, dan lama penyimpanannya tidak mempengaruhi wadah dan tutup sediaan.2 Boraks pada saat ini sering sekali diberitakan melalui media cetak karena penyalahgunaannya dalam bahan tambahan makanan. Boraks seringkali ditemukan dalam produk pangan seperti bakso, tahu dan siomay. Pada zaman modern ini dimana mobilitas semakin tinggi dan terjadi penyebaran penduduk ke seluruh penjuru dunia, kematian yang terjadi jauh dari tempat asalnya terkadang memerlukan pengangkutan jenazah dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan transportasi umum yang sebagian besar mengharuskan jenazah untuk diawetkan terlebih dahulu guna mencegah pembusukan dan penyebaran kuman ke lingkungan selama di perjalanan.1 METODE Formaldehid adalah suatu senyawa kimia berbentuk gas dan baunya sangat
203 | I S B N 978-602-50127-0-9
Pekanbaru, 15-16 Juli 2017
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
menusuk. Formalin mengandung 37 persen formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan metanol hingga 15 persen sebagai pengawet dan stabilisator.4 Formaldehid dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai bahan pengawet. Sebagai desinfektan, Formaldehid dimanfaatkan untuk pembersih lantai, kapal, gudang, dan pakaian. Formaldehid dipakai sebagai pengawet dalam vaksinasi. Dalam bidang medis, larutan formaldehid dipakai untuk mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dari formaldehid sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuk sementara mengawetkan bangkai.10 Boraks adalah senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B), Boraks merupakan anti septik dan pembunuh kuman. Bahan ini banyak digunakan sebagai bahan anti jamur, pengawet kayu, dan antiseptik pada kosmetik.9 Boraks dan asam borat banyak digunakan dalam dunia farmasi dan pertanian. Bahan kimia tersebut mempunyai efek bakteristatik dan fungistatik.7 Pembusukan adalah keadaan dimana jaringan lunak tubuh mengalami penghancuran oleh proses autolisa dan aktivitas mikroorganisme. Autolisis adalah kerusakan jaringan dan organ melalui proses kimiawi yang disebabkan oleh enzim intraseluler. Organ yang kaya dengan enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ yang tidak memiliki enzim, sehingga pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat daripada jantung. Autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme, oleh karena itu pada mayat yang bebas hama misalnya mayat bayi dalam kandungan tetap berlangsung proses autolisis. 3
204 | I S B N 978-602-50127-0-9
Nabil Bahasuan, Difference In The Usage.....
Aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang menguraikan mayat dapat dipengaruhi oleh temperatur, selain itu perdedaan media dimana mayat berada seperti jenis tanah dapat mempengaruhi proses pembusukan mayat.5 Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di dalam laboratorium (penelitian eksperimental laboratoris). Metode penelitian yang digunakan adalah post test only control group design. Dalam metode penelitian ini digunakan 2 kelompok tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar: I. Kelompok tikus Wistar mati yang diberi formalin 10% II. Kelompok tikus Wistar mati yang diberi boraks 5% Pada kedua kelompok tikus tersebut dilakukan pengamatan selama 1 hari setelah itu dilkakukan pengambilan organ hepar untuk pemeriksaan histopatologi. SAMPEL Sampel yang dipakai adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar berumur 2 – 3 bulan dengan berat badan awal antara 120 – 160 gram sebanyak 16 ekor yang diperoleh dari Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya, yang memenuhi kriteria sebagai berikut: Kriteria inklusi: a) Jenis Wistar b) Umur 2 – 3 bulan c) Berat badan 120-160 gram d) Jenis kelamin jantan e) Sehat (gerakan lincah, mata cerah, bulu halus, nafsu makan baik, anatomi tubuh baik) Kriteria eksklusi: a) Jenis bukan Wistar
Pekanbaru, 15-16 Juli 2017
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
b) Umur kurang dari 2 bulan atau lebih dari 3 bulan c) Berat badan lebih rendah dari 120-gram atau lebih tinggi dari 160 gram d) Kelompok sudah diberi perlakuan Besar Sampel Besar sampel yang dipakai dalam penelitian ini dihitung dengan rumus8 : Besar sampel yang diperlukan untuk masing-masing kelompok adalah 8 tikus
Nabil Bahasuan, Difference In The Usage.....
dosis, waktu pemberian embalming fluid, dan kondisi lingkungan HASIL DAN PEMBAHASAN Pada kelompok hewan coba yang berjumlah 8 ekor tikus diberi formalin 10% tidak terlihat adanya perubahan nekrosis sel hepar, sedangkan pada kelompok hewan coba yang diberi boraks 5% terdapat 1 ekor tikus yang terdapat nekrosis dan 7 ekor tikus lain tidak terdapat nekrosis.
n = (Zα/2 + Zβ)² σ² δ Keterangan: α = 0,05 Zα/2 = 1,96 Pada penelitian eksperimental 2
/ =1
Gambar 1. Mikrosokopis hepar yang telah diberi boraks 5%
Sekarang: 2
n = (1,96 + 0,85) = 7,9 8 Teknik pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan pengambilan secara acak sederhana (simple random sampling). Dimana pada teknik ini, setiap anggota populasi memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih menjadi sampel.6
Gambar 2. Mikroskopis Hepar yang diberi formalin 10%
Variabel Penelitian 1. Variabel bebas: boraks dan formalin 2. Variabel terikat: derajat permbusukan hati 3. Variabel kendali: jenis hewan coba, umur, jenis kelamin, berat badan awal hewan coba,
205 | I S B N 978-602-50127-0-9
Pekanbaru, 15-16 Juli 2017
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
Gambar 3. Perubahan nekrosis sel hepar setelah pengawetan Alasan tikus digunakan pada penelitian ini adalah karena secara genetik karakteristik biologi mereka mirip dengan manusia. Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebanyak 16 ekor tikus yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak dan diamati selama 1 hari. Kelompok tersebut adalah kelompok kontrol yang diberi formalin 10% dan kelompok perlakuan yang diberi boraks 5%. Pada penelitian ini, tikus diberi formalin 10% dan boraks 5% yang dimasukkan melalui pembuluh darah aorta setelah 0 – 24 jam kematian. Pemberian larutan ini menghambat proses perubahan postmortem pada tubuh tikus. Pada kelompok hewan coba yang berjumlah 8 ekor tikus diberi formalin 10% tidak terlihat adanya perubahan nekrosis sel hepar, sedangkan pada kelompok hewan coba yang diberi boraks 5% terdapat 1 ekor tikus yang terdapat nekrosis dan 7 ekor tikus lain tidak terdapat nekrosis Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan nilai signifikansi p=0,302 yang menunjukkan bahwa H0 diterima, sehingga pada penelitian ini terbukti bahwa tidak 206 | I S B N 978-602-50127-0-9
Nabil Bahasuan, Difference In The Usage.....
terdapat perbedaan penggunaan formalin 10% dan boraks 5% sebagai bahan pengawetan pada hepar tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar setelah 0 – 24 jam kematian. Berdasarkan hasil penelitian, kelompok kontrol yang diberi formalin 10% menunjukkan hasil pengawetan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang diberi boraks 5%. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain aktivitas boraks melawan mikroorganisme, kondisi boraks yang terkontaminasi, kondisi tikus sebelum dilakukan prosedur penelitian, dan kondisi lingkungan sekitar. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian formalin 10% dapat mengawetkan hewan coba lebih baik dibandingkan dengan pemberian boraks 5%. Namun, boraks tetap dapat digunakan sebagai alternatif apabila tidak terdapat formalin. Keuntungan menggunakan boraks antara lain lebih mudah diperoleh, harga lebih murah, bau tidak tajam. SIMPULAN Dari hasil penelitian eksperimental yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan penggunaan formalin 10% dan boraks 5% sebagai bahan pengawetan pada hepar tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar setelah 0 – 24 jam kematian.
Pekanbaru, 15-16 Juli 2017
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
Nabil Bahasuan, Difference In The Usage.....
DAFTAR PUSTAKA 1.
Ajmani, ML 1998, Embalming: Principles and Legal Aspects, 1st edition, Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi
2. Clontz, L., 2009, Microbial Limit and Bioburden Tests: Validation Approaches and Global Requirements, 2 nd Edition, CRC Press, Boca Raton. 3. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Universitas Semarang; 2000: 47-62 4. Mulono, H.J,2005.Toksikologi Lingkungan. Surabaya:Universitas Airlangga.Hal: 134-135 5. Nandy,A Purba. Principles of Forensic Medicine. English:New Central Book Agency.2010
7. Soine,T.O., and Wilson, C.O., 1957, Roger’s Inorganic Pharmaceutical Chemistry, Sixth Edition, 121-123; 214-217, Lea & Febiger, Philadelphia 8. Steel, RGD., Torrie, JH 1991, Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan: Bambang Sumantri), PT. Gramedia, Jakarta 9. Svehla, G.. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, Terjemahan: Setiono dan A. Hadyana Pudjatmaka. Jakarta: PT. Kalman Media Pustaka 10. Windholz dkk,1976, The Merck Index an Encylopedia of Chemical and Drugs,Ninth edition.Rahway USA :Merck & CO.,inc
6. Notoatmodjo, Soekidjo 2010, Metode Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
207 | I S B N 978-602-50127-0-9
Pekanbaru, 15-16 Juli 2017